DAS Citarum Daerah Aliran Sungai (DAS) Citarum merupakan DAS terbesar dan terpanjang di Provinsi Jawa Barat, secara geografis berada 106°51‘36‖ – 107°°51‘ BT dan 7°19‘ – 6°24‘ LS, dengan jumlah penduduk sebesar 15.303.758 jiwa (Data BPS 2009). Daerah Aliran Sungai ini meliputi 5 DAS yaitu DAS Citarum, DAS Cipunegara, DAS Cilamaya, DAS Cilalanang dan DAS Ciasem yang melalui 9 Kabupaten dan 3 Kota meliputi Kabupaten Bandung Barat, Kabupaten Bandung, Kabupaten Subang, Kabupaten Purwakarta,Kabupaten Karawang, sebagian Kabupaten Sumedang, sebagian Kabupaten Cianjur,sebagian Kabupaten Bekasi, sebagian Kabupaten Indramayu, serta Kota Bandung, Kota Bekasi dan Kota Cimahi. Gambar 6.87. Batas DAS Citarum, sumber: www.citarum.org Terdapat Sungai Citarum yang melintasi Kabupaten/Kota. Sungai Citarum berawal dari mata air yang terletak di Gunung Wayang (Kabupaten Bandung) yang mengalir kebagian tengah Provinsi Jawa Barat dari selatan ke arah utara sepanjang 269 Km hingga akhirnya bermuara di Laut Jawa di daerah Muara Gembong dengan melewati Kabupaten Bandung/Bandung Barat, Kabupaten Cianjur, Kabupaten Purwakarta dan Kabupaten Karawang/Bekasi Gambar 6.88. Peta DAS Citarum, sumber: www.citarum.org A. Karakteristilk Lingkungan Fisik •Klimatologi Distribusi hujan secara keruangan di daerah DAS Citarum umumnya tidak seragam. Berdasarkan hasil perhitungan, rata-rata hujan tahunan berkisar antara 1966 mm sampai 2600 mm. Variabilitas curah hujan di DAS Citarum sangat dipengaruhi oleh variasi topografi atau ketinggian. Gradien sungai terbagi menjadi tiga bagian, yaitu bagian hulu sepanjang + 25 km merupakan daerah peling terjal, bagian tengah sepanjang + 150 km memiliki kemiringan yang cukup terjal, dan bagian hilir sepanjang + 70 km memiliki topografi yang landai. Hal ini sejalan dengan variabilitas curah hujan di DAS Citarum, dimana sangat variatif dibagian hulu dan berangsur seragam kebagian hilir. Bagian hulu DAS Citarum memiliki variasi curah hujan yang tinggi disebabkan kondisi di daerah hulu yang merupakan daerah cekungan antar gunung (inter-mountain basin) dimana pada daerah dengan kondisi seperti ini, curah hujan akan relatif lebih tinggi dibagian lereng pegunungan yang menghadap arah angin, dan untuk bagian disebaliknya atau yang disebut daerah bayangan hujan memiliki curah hujan yang relatif lebih kecil. Fenomena ini disebut dengan fenomena hujan orografis. Rata-rata terendah terjadi di daerah pantai utara dengan curah hujan sekitar 1500 mm per tahun, sedangkan rata-rata tertinggi terjadi di daerah hulu Sungai Ciherang, Cilamaya, dan hulu Sungai Cipunegara dengan curah hujan mencapai 4000 mm per tahun. Keadaan iklim di DAS Citarum, sebagaimana umumnya wilayah di Jawa Barat, memiliki iklim tropis monsoon dengan suhu dan kelembaban udara yang relatif konstan sepanjangn tahun. Iklim tropis monsoon dicirikan dengan terjadinya dua musim, yaitu musim hujan dan kemarau. Musim hujan terjadi pada bulanbulan Oktober – Maret dan musim kemarau terjadi pada bulan-bulan Juni – September. Bulan-bulan lainya merupakan masa transisi atau pancaroba. Suhu rata-rata di dataran rendah sekitar 27oC, sedangkan dibagian hulu sungai yang berada di dataran tinggi/pegunungan, suhu udara minimum rata-rata 15,3oC yang tercatat di daerah Ciwidey. Pangelengan, dan Lembang. Kelembaban relatif berkisar antara 80-92%, dengan tingkat penguapan rata-rata tahunan sekitar 1640 mm. • Geologi dan Geomorfologi Morfologi yang terbentuk di DAS Citarum adalah hasil kegiatan tektonik dan vulkanisme, dilanjutkan proses erosi dan sedimentasi. Kondisi morfologi DAS Citarum terbagi atas:
- Morfologi Gunung Api. Daerah hulu anak-anak sungai di DAS Citarum terbentuk dari morfologi gunung api yang memiliki kharakteristik relief landai–bergunung, elevasi ketinggian 750 – 2300 m diatas permukaan air laut, kemiringan lereng di kaki 5 – 15%, di tengah 15 – 30%, dan di puncak 30 – 90%. Pola aliran sungai sejajar dan radier, umumnya merupakan daerah resapan utama air tanah dangkal dan dalam serta tempat keluarnya mataair pada lokasi tekuk lereng. Batuan penyusun berupa endapan gunung api muda dan tua, terdiri dari tufa, breksi, lahar, dan lava. Proses geodinamis adalah aktivitas gunung api dan pengangkatan karena magma, serta agradasikarena longsoran tebing, erosi, dan aktivitas manusiaseperti penggalian, pemotongan lereng, dan lain-lain. DAS Citarum berada pada morfologi gunung api, di daerah Bandung Utara antara lain berderet G. Tangkubanparahu (2.075m), G. Burangrang (2.064m), G. Bukit Tunggul (2.209m), dan G. Manglayang (1800m), dengan anak-anak Sungai Citarum antara lain: S. Cikapundung, S. Cikeruh, S. Cimahi, S. Cipamokolan, S. Cibeureum, dan S. Cipalasari yang mengalir ke arah Selatan. Sedangkan deretan di sebelah selatan adalah G. Malabar (2.343 m), G Tilu (2.040 m), G Wayang (2.182m), G. Patuha, dan G. Guntur (2.040m) dengan anak-anak Sungai Citarum antara lain: S. Citarum Hulu, S. Citarik, S. Cisangkuy, S. Ciasiah, dan S. Ciwidey, mengalir ke Utara. Di daerah Cianjur antara lain G. Gede dengan anak-anak sungainya yang mengarah ke Timur menuju Waduk Cirata. (Atlas SDA Dinas PSDA, 2005). - Morfologi Perbukitan, morfologi ini dibagi menjadi perbukitan batuan beku dan bergelombang, mempunyai kharaktersitik yaitu relief berbukit, terpisah, elevasi ketinggian 700 – 1500 m diatas permukaan air laut, kemiringan lereng 15 – 70%, berpola aliran sungai sejajar dan dendritik, umumnya bukan daerah resapan utama air tanah. Batuan penyusun berupa batuan beku intrusi dan lava serta breksi gunung dan batuan sedimen tersier. Proses geodinamis adalah patahan aktif, serta agradasi karena longsoran tebing, erosi dan aktivitas manusia. DAS Citarum mempunyai morfologi perbukitan intrusi antara lain G. Parang (975m), G Haur (522m) di sekitar waduk Jatiluhur, G Lagadar (800 m), G. Lalakon di Cimahi Bandung, dan gugusan G.Geulis di sekitar Banjaran- Ciparay Bandung. Perbukitan bergelombang memanjang, terjal terdapat di sekitar Rajamandala dekat Waduk Saguling. – Morfologi Dataran, Morfologi dataran dapat dibagi menjadi dataran tinggi, dataran kipas aluvium, dataran aluvium sungai, dataran rawa dan pantai. Mempunyai karaktersitik yaitu relief rendah, elevasi ketinggian 0 – 700 m diatas muka laut (m dpl) kemiringan lereng 0 – 15%. Sungai-sungai meandering, berpola sejajar dan dendritik, umumnya merupakan daerah banjir dan lepasan air tanah. Batuan penyusun berupa kipas gunung api, endapan sedimen sungai, pantai dan rawa. Proses geodinamis adalah longsoran tebing sungai, erosi dan aktivitas manusia seperti penggalian, penimbunan dan lain-lain. Datarantinggi terdapat di Cekungan Bandung dan sekitarnya, sedangkan sisanya berada pada dataran kipas aluvium ditempati Kota Karawang, Purwakarta dan Subang. Dataran limpah banjir menghampar meluas di dataran pantai utara berbentuk meandering, Dataran aluvium sungai terdapat pada alur-alur dibentuk oleh endapan sungai-sungai. Dataran rawa dan pantai yang berbatasan langsung dengan garis pantai terdapat muara beserta cabang-cabangnya membentuk delta. • Jenis Tanah Di DAS Citarum terdapat 4 macam jenis tanah, yaitu Andosol, Andosol hitam, Aluvial, dan Latosol. Jenis tanah di DAS Citarum hulu didominasi oleh jenis tanah Andosol da tersebar di area pegunungan. Jenis Andosol hitam terbentuk di daerah datar Lembang, sedangkan di daerah patahan Lembang jenis tanah yang berkembang adalah tanah Latosol. Jenis tanah Aluvial ada di lembah sungai. Tabel 6.85. Jenis Tanah di Cekungan Bandung Keterangan 1.
Andosol : tekstur silt loam, keberadaan pada lereng-lereng gunungapi dan mempunyai permeabilitas tinggi
2.
Regosol : tekstur Clay Loam, keberadaan pada Lanau pasiran sampai lempung lanauan dan mempunyai permeabilitas Rendah 3. Latosol : tekstur Clay Loam, keberadaan pada Lapisan tanah muda hasil pelapukan vulkanis dan mempunyai permeabilitas rendah 4. Aluvial : tekstur Clay Loam, keberadaan pada Daerah bekas banjir/sepanjang sungai dan mempunyai permeabilitas sangat rendah • Hidrologi DAS Citarum Hulu mencakup 7 sub DAS yaitu: Sub DAS Citarik, Sub DAS Cisangkui, Sub DAS Cirasea, Sub DAS Ciwidey, Sub DAS Cihaur, Sub DAS Cikapundung, dan Sub DAS CIminyak. Aliran air ketujuh sub DAS tersebut bergabung kedalam sungai Citarum dan ditampung lagi kedalam Waduk Saguling. Kondisi hidrologi di DAS Citarum umumnya bervariasi. Sistem akuifer dangkal kedudukan air tanah umumnya kurang dari 30 m, akuifer tengah antara 50-90 m, sedangkan akuifer dalam lebih dari 100 m. batuan penyusun sistem akuifer ini secara umum terdiri dari material klasik gunungapi dengan vulkanik blok, andesit, dan fragmen basal atau pumise putih. • Penggunaan Lahan Penggunaan lahan di DAS Citarum dari tahun ke tahun mengalami perubahan. Pemanfaatan lahan di DAS Citarum tergolong eksploitatif dimana luas hutan primer dari tahun ke tahun terus mengalami penurunan, yang berdampak pada degradasi lahan. Pemanfaatan lahan di DAS Citarum didominasi oleh area pemukiman, kebun campur, perkebunan dan permukiman. Tabel 6.86. Penggunaan Lahan DAS Citarum Gambar 6.89. Peta Penggunaan Lahan DAS Citarum B. Potensi Sumberdaya Air DAS Citarum secara geografis melalui 2 Cekungan Air Tanah (CAT) yaitu CAT Bandung-Soreang pada DAS Citarum Hulu dan CAT Karawang-Bekasi pada DAS Citarum Tengah-Hilir. Untuk di CAT BandungSoreang yang secara geografis mempunyai batas-batas berhimpit dengan DAS Citarum secara umum mempunyai potensi air tanahnya sebagai berikut: Kelompok Akuifer Dangkal (< 40 m). Sistem akuifer dangkal dapat terlihat pada singkapan batuan dan sumur gali penduduk kedalaman 1,2 – 22,5 m dan kedalaman sumur bor 30 m. Tebal akuifer 1,2 – 30 m, muka air tanah 0,5 – 20,8 m dibawah muka tanah setempat, semakin dangkal di dataran sekitar Sungai Citarum, dan semakin dalam di lereng utara, timur, dan selatan. Fluktuasi muka air tanah di daerah dataran rendah dan kemiringan tinggi relatif tinggi. Arah aliran mengarah ke dataran mengitari Sungai Citarum. Kelompok Akuifer Tengah (40-150 m). Kedudukan kelompok akuifer ini di 35 – 100 m dibawah muka tanah setempat (mbmt), posisi saringan 34,5 dan 69,5 mbmt, Muka Air Tanah 1,1 – 30 mbmt dan 34,5 – 69,5 mbmt di daerah pengambilan intensif dengan debit sumur 10 L/detik. Kelompok Akuifer Dalam (> 150 m). Kelompok akufer dalam mempunyai kedalaman 100 – 200 mbmt, bersifat tertekan, dengan posisi saringan 57 – 192 mbmt. Gambar 6.90. Cekungan Air Tanah Bandung-Soreang (DAS Citarum Hulu) Sedangkan untuk wilayah DAS Citarum Tengah-Hilir termasuk pada CAT Karawang-Bekasi yang mempunyai potensi air tanahnya sebagai berikut: Kelompok Akuifer Dangkal (<40 m).Kelompok akuifer ini tersusun oleh konglomerat, breksi, dan batu pasir yang merupakan Formasi Citalang. Kedudukan satuan ini hampir sulit dipisahkan dengan lapisanlapisan yang berada di permukaan, Ketebalan minimum ketiga satuan ini secara keseluruhan mencapai 50
meter. Lapisan-lapisan batupasir dan konglomerat pada ketiga satuan ini merupakan penyusun akuifer tidak tertekan (bebas) dan akuifer semi tertekan (semi confined aquifer). Kelompok Akuifer Tengah (40 – 140 m). Kelompok akuifer tengah tersusun oleh batu pasir dan batu lempung dengan ketebalan bervariasi yang merupakan Formasi Kaliwungu antara 40 – 100 m. Lapisan batu pasir diperkirakan berfungsi sebagai akuifer yang produktif dengan jenis media pori. Lapisan-lapisan batu pasir ini merupakan penyusun utama lapisan akuifer tertekan. Bentuk akuifer tertekan (confined aquifer) ini menjemari dengan lapisan batu lempung yang berfungsi sebagai lapisan penekannya. Kedalaman bagian atas lapisan akuifer semakin dalam ke arah utara dan mencapai kedalaman 80 m di bawah muka tanah setempat. Kelompok Akuifer Dalam ( > 140 m). Kelompok akuifer ini tersusun oleh batu lempung, batu pasir, dan batu pasir gampingan, diendapkan pada laut dangkal. Formasi yang secara regional berpotensi sebagai akuifer dengan produktifitas rendah – sedang. Mengingat keberadaan sungai Citarum yang sangat penting sebagai penyedia airbaku ibukota, mempunyai dampak ekonomi serta sosial secara regional, menjadikannya sebagai wilayah sungai strategis nasional sehingga kewenanganannya berada di Pemerintah Pusat. Mengingat keberadaan sungai Citarum yang sangat penting sebagai penyedia airbaku ibukota, mempunyai dampak ekonomi serta sosial secara regional, menjadikannya sebagai wilayah sungai strategis nasional sehingga kewenanganannya berada di Pemerintah Pusat. Sungai Citarum mengairi ratusan ribu hektar sawah khususnya di wilayah Pantai Utara (Pantura) Jawa Barat melalui jaringan irigasi Jatiluhur, sumber air bagi penduduk kotabesar seperti Bandung dan Jakarta, serta sumber Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) untuk Pulau Jawa dan Bali, menjadikan Citarum sebagai salah satu sungai terpenting diIndonesia terutama di Provinsi Jawa Barat. Selain itu Sungai Citarum juga mengairi 3 (tiga) waduk, yaitu Waduk Saguling (982 juta m3), Waduk Cirata (2.165 juta m3) dan Waduk Djuanda (3.000 juta m3). Untuk skala nasional, wilayah Sungai Citarum merupakan bagian dari wilayah sungai Cidanau-Ciujung-Cidurian-Ciliwung-Cisadane-Citarum, yang mana DAS 6 Ci‘s merupakan wilayah sungai lintas provinsi Banten-DKI Jakarta-Jawa Barat. Gambar 6.91. Sawah dengan Irigasi Jatiluhur dan Turbin PLTA Jatiluhur Gambar 6.92. Diagram Pemanfaatan Air di Sungai Citarum Namun kini, Sungai Citarum terancam bahaya. Pembangunan ekonomi dan pertumbuhan penduduk yang tinggi telah mengancam kelestarian Sungai Citarum. Penebangan hutan di hulu wilayah sungai telah menghancurkan ekosistem yang mengakibatkan erosi tanah serta terjadi pendangkalan sungai dan banjir. Masyarakat kota,warga desa dan kalangan industri dengan segala aktivitasnya, telah memperlakukan Sungai Citarum sebagai tempat sampah dan pembuangan limbah. Saat ini Sungai Citarum dikenalsebagai salah satu sungai terkotor di dunia. C. Permasalahan Lingkungan Permasalahan yang terjadi di DAS Citarum pada dasarnya diakibatkan oleh pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali yang berakibat pada meningkatnya eksploitasi ruang dan sumber daya air. Penduduk di Cekungan Bandung tumbuh pada kisaran 3% pertahun, sebagai pengaruh migrasi ke daerah dengan pertumbuhan yang cepat. Tingginya tekanan kependudukan ini menyebabkan terjadinya peningkatan lahan kritis akibat perubahan tata guna lahan sehingga Citarum termasuk DAS utama di JawaBarat yang memiliki luasan lahan kritis yang tinggi. Kerusakan banyak diakibatkan penggundulan lahan serta pencemaran industri dan rumah
tangga yang berdampak terhadap terjadinya bencana banjir, kekeringan, dan menurunnya kualitas air di sepanjang sungai Citarum. Untuk memudahkan identifikasi terhadap semua permasalahan yang ada di Daerah Aliran Sungai Citarum tersebut, maka DAS Citarum dibagi menjadi 3 zona wilayah yaitu: • Zona Citarum Hulu : Hulu sungai di Gunung Wayang – Ujung Saguling • Zona Citarum Tengah : Saguling – Cirata – Jatiluhur • Zona Citarum Hilir : Citarum Hilir – Muara Citarum • Permasalahan di Zona Citarum Hulu Permasalahan di daerah Citarum Hulu disebabkan oleh berkurangnya fungsi kawasan lindung (hutan dan non hutan), berkembangnya permukiman tanpa perencanaanyang baik, dan budi daya pertanian yang tidak sesuai dengan kaidah konservasi yang menyebabkan banyaknya lahan kritis, kadar erosi yang semakin tinggi yang mengakibatkansedimentasi di palung sungai, waduk, bahkan masuk ke jaringan prasarana air. Sungai tercemar limbah permukiman, industri dan pertanian karena perilakumasyarakat, baik industri ataupun rumah tangga yang menjadikan sungai sebagai tempat pembuangan air limbah dikarenakan pengelolaan limbah belum tertata dengan baiksehingga sungai Citarum dominan akan genangan banjir, sampah, dan limbah industri dan domestik. Permasalahan utama lainnya di bagian hulu DAS Citarum meliputi degradasi fungsi konservasi sumber daya air seperti luas lahan kritis mencapai 26.022,47 ha, yang mengakibatkan run off aliran permukaan sebesar 3.632,50 juta m3 /tahun serta sedimentasi sebesar 7.898,59 ton/ha. Permasalahan lainnya adalah tingkat pengambilan air tanah yangdiluar kendali dimana sebagian besar pengambilan air tanah tidak teregistrasi. Diperkirakan pengambilan air tanah mencapai tiga kali lipat dari jumlah yang dilaporkan oleh pemerintah. Diperkirakan 90 % penduduk dan 98 % industri di Cekungan Bandung menggantungkan kebutuhan air sehari – hari pada air tanah. Pengambilan air tanah yang berlebih dan tidak terkendali dapat mengakibatkan penurunan muka tanah dan kerusakan struktur pada bangunan gedung serta memperbesar potensidaerah rawan banjir.Semua permasalahan di Citarum Hulu tersebut berakibat hampir setiap tahun luapan Sungai Citarum menyebabkan banjir. Banjir-banjir besar di Bandung dan sekitarnya tercatatpada tahun 1931, 1945, 1977, 1982, 1984, 1986, 1998, 2005, 2010 dan akan tetap terjadi pada tahun berikutnya bila tidak segera dilakukan penanganan. Gambar 6.94. Penanganan Terpadu Daerah Sungai Citarum • Permasalahan di Zona Citarum Tengah Tingginya pertumbuhan penduduk di Cekungan Bandung berdampak terhadap bertambahnya pembuangan limbah domestik tanpa pengolahan, pembuangan sampah dan limbah industri yang menambah beban pencemaran ke Sungai Citarum. Berdasarkan PD Kebersihan Kota Bandung rata-rata produksi sampah sebesar 6.500 m3per hari, dimana1500 m3 diantaranya tidak dikumpulkan dan dibuang secara benar. Dengan demikian sampah yang tidak terkumpul dengan benar akan masuk ke sistem drainase dan sungai sebesar 500.000 m3 pertahun. Berdasarkan kantor pengelola Waduk Saguling diperkirakan jumlah sampah yang masuk ke Waduk Saguling adalah sebesar 250.000 m3 per tahun. Gambar 6.95. Tumpukan Sampah di sebagian Sungai Citarum Kualitas air yang masuk ke Waduk Saguling memiliki rata-rata kandungan BOD lebihdari 300 mg/liter. Pada tahun 2004 dilaporkan konsentrasi BOD sebanyak 55 mg/liter danmeningkat menjadi 130 mg/liter pada musim kemarau. Pencemaran waduk akibat sampah rumah tangga, sampah padat, dan industri, serta adanya penambangan pasir menyebabkan terjadinya pendangkalan waduk akibat adanya sedimentasi.
Selain itu, maraknya usaha keramba jaring apung memperburuk pencemaran air di Waduk Saguling, Cirata dan Jatiluhur yang disebabkan oleh pemberian makanan ikan jaringapung yang tidak tepat dan berlebihan sehingga menambah beban limbah yang menumpuk di dasar waduk serta membahayakan kelangsungan instalasi PLTA akibat korosif. • Permasalahan di Zona Citarum Hilir Permasalahan di Citarum Hilir dikarenakan banyaknya alih fungsi lahan dari lahan pertanian menjadi permukiman akibat berkembangnya permukiman tanpa perencanaan yang baik. Terjadinya degradasi prasarana pengendali banjir, menurunnya fungsi prasarana jaringan irigasi, kurangnya prasarana pengendali banjir di muara, dan terjadinya abrasi pantai di muara. Semua hal tersebut menyebabkan daerah Citarum Hilir pun merupakan daerah rawan banjir. Banjir terakhir yang terjadi di bagian hilir Sungai Citarum disebabkan oleh curah hujan tinggi yang berlangsung terus menerus, Waduk Jatiluhur tidak mampu menampung debit banjirsehingga limpas di pelimpah dengan tinggi maksimum 141 cm. Akibatnya aliran keluar dariwaduk mengalir ke Sungai Citarum adalah sebesar 700 m3 /detik. Bersamaan dengan meluapnya Sungai Cikao di Purwakarta mengakibatkan banjir Sungai Cibeet di Karawangyang mengalir ke Sungai Citarum, sehingga alur Sungai Citarum di Karawang tidak mampulagi menampung debit banjir dari hulu, sehingga terjadi banjir di Telukjambe, Karawang Kulon, Karawang Wetan Kabupaten Karawang dan Kabupaten Bekasi. Solusi penanganan DAS Citarum dilakukan melalui pendekatan struktural dan non-struktural serta sosiokultural simultan hulu-hilir dengan sinergi multi sector bersama masyarakat secara terintegrasi dalam wadah koordinasi badan strategis pengelolaan DAS Citarum. Pendekatan non-struktural meliputi manajemen hulu DAS, penataan ruang, pengendalian erosi dan alih fungsi lahan, perijinan pemanfaatan lahan, pemberdayaan masyarakat kawasan hulu, manajemen daerah rawan banjir, sistem peringatan dini ancaman dan evakuasi banjir, peningkatan kapasitas kelembagaan dan partisipasi masyarakat untuk penanggulangan banjir, pengendalian penggunaan air tanah, pengelolaan dan perbaikan kualitas air sungai. Pendekatan struktural meliputi normalisasi sungai, tanggul penahan banjir, kolam penampungan banjir, sistem polder dan sumur-sumur resapan,pembangunan waduk dan embung, penyediaan prasarana air baku, pengembangan sistem penyediaan air minum danair kotor, rehabilitasi jaringan irigasi, pengembangan pembangkitan tenaga listrik.Sejak beberapa tahun lalu, sejumlah instansi pemerintah dan lembaga swadaya masyarakat berpartisipasi dalam serangkaian dialog yang menghasilkan Citarum Roadmap yaitu suatu rancangan strategis berisi hasil identifikasi program-program utama untuk meningkatkan sistem pengelolaan sumber daya air terpadu dan memperbaiki kondisi di sepanjang Daerah Aliran Sungai Citarum
PPE Regional Jawa -
Kementerian Lingkungan Hidup
Rusaknya DAS Citarum dan Gagalnya Proyek Integrated Citarum Water Resources Management and Investment Projekct ICWRMIP Salah Siapa ? Jumat, 26 Desember 2014 - by RJS,tarungnews.com - 746 pembaca
Banjir di Kabupaten Bandung semakin meluas dan jumlah pengungsi pun terus bertambah. Gambar diambil pada Selasa (23/12/2014). Kompas.com/Reni susanti
Lintas Jabar,TarungNews.com - Aliran air Sungai Citarum seakan tak terkendali saat memasuki musim penghujan ini , akibatnya kerusakan parah terjadi pada daerah aliran Sungai (DAS) Citarum di Kabupaten Bandung. Imbasnya masyarakat yang berada di bagian tengah aliran Sungai Citarum tersebut menderita akibat banjir dari luapan sungai tersebut, seperti Kec. Baleendah, Dayeuhkolot, Bojongsoang, Kab. Bandung. Sebagian lagi masyarakat di Kec. Banjaran, Rancaekek, dan Majalaya. Direktur Eksekutif Walhi Jawa Barat Dadan Ramdan menilai bencanabencana tersebut muncul lantaran tidak terkendalinya proyek-proyek pembangunan infrastruktur dan investasi yang terus menerus tanpa kebijakan dan perencanaan ekologis yang matang. Hal itu mengakibatkan siklus hidrologi berubah drastis. "Perubahan tata kelola hidrologi dan siklusnya, kerusakan lingkungan hidup dan ekosistemnya turut berkontribusi pada petaka bencana, kemiskinan baru daan krisis keberlanjutan kehidupan masyarakat," kata Dadan dalam siaran pers selasa (23/12/2014). Dadan Ramdan menjelaskan, DAS Citarum merupakan salah satu DAS strategis di Jawa Barat yang sedang ditangani oleh pemerintah pusat dan daerah dengan dukungan dana terbesar dibanding alokasi untuk daerah aliran sungai lainnya di Jawa Barat. Wilayah DAS Citarum hulu adalah wilayah langganan banjir tahunan.
Dari kajian Walhi Jawa Barat, banjir tahunan di wilayah Bandung Selatan (Cekungan Bandung) disebabkan oleh degradasi siklus hidrologi di DAS Citarum bagian hulu yang dialami oleh sungai Cikapundung, Citepus, Cirasea, Cipamokolan, Cidurian, Cisangkuy, Ciminyak, Ciwidey dan Cihaur.
"Degradasi fungsi hidrologi akibat alih fungsi lahan di das citarum yang terus bertambah di kawasan hutan dan luar kawasan hutan (perdesaan dan perkotaan) oleh permukiman, perumahan mewah, industri, dan sarana komersil lainnya," ujar Dadan. Berdasarkan perhitungan, luasan lahan kritis di cekungan bandung mencapai 96.668,84 ha dengan jumlah air limpasan mencapai 3,924 juta meter kubik/tahun dan sedimentasi mencapai 8.207.387 atau 8,2 juta ton/tahun. Namun hingga saat ini, bencana banjir yang terus menerus berlangsung setiap tahun belum terselesaikan. Beragam intervensi kebijakan, program dan anggaran untuk Citarum tidak efektif dan gagal menjawab akar masalah yang sebenarnya. Pemerintah gagal mencegah dan menyelesaikan banjir di Cekungan Bandung. Anggaran sebesar Rp3,5 triliun ditambah hampir Rp6-9 miliar/tahun danadana CSR dikeluarkan belum membawa perbaikan dan pemulihan yang nyata. Program penanganan Citarum hanya melanggengkan keberlanjutan proyek-proyek belaka. Lain halnya dengan pernyataan Aktivis Lingkungan dari Kab. Bandung Umar Alam yang di lansir oleh salah satu media online, Menurut Alam, kerusakan alam yang terjadi di hulu DAS Citarum itu, sekitar 99.000 hektare lahan kritis.
“Puluhan ribu lahan yang kritis itu berada di cekungan Bandung,” Dampak buruk terjadinya lahan kritis itu, kata Umar, berdasarkan hasil survei dan pantauan di lapangan potensi terbentuknya sedimentasi di aliran Sungai Citarum mencapai 8,2 juta ton per tahun. “Terbentuknya sedimentasi itu, karena terjadinya erosi pada lahan kritis mencapai 2,5 juta meter kubik per tahun yang ada di DAS Citarum, khususnya di bagian hulu sungai tersebut,” tegas Umar.
kerusakan lingkungan di DAS Citarum itu, yang signifikan akibat adanya alih fungsi lahan yang berlangsung secara masif. Pelakunya yang paling dominan adalah para pengusaha industri, permukiman (komplek perumahan), fasilitas komersial dan pelaku lainnya. “Bahkan, perusahaan industri yang ada di DAS Citarum itu, berpotensi menimbulkan kerusakan pada lingkungan. Di antaranya menimbulkan pencemaran lingkungan. Kami melihat, pemerintah terkait gagal dalam mengendalikan tata ruang dari ancaman kerusakan di DAS Citarum,” tutur,nya. Bencana banjir yang terus berulang kali melanda sejumlah kecamatan di Kab. Bandung, seperti Kec. Baleendah, Dayeuhkolot, Bojongsoang, Banjaran, Rancaekek, dan Majalaya menjadi bukti proyek Integrated Citarum Water Resources Management and Investment Project (ICWRMIP) gagal menjawab persoalan Sungai Citarum.
"Padahal proyek ini sudah menghabiskan anggaran hampir Rp 3 triliun," kata Umar Alam. Menurut Umar, anggaran trilunan rupiah yang sudah digulirkan pemerintah untuk menanggulangi bencana banjir dan persoalan lingkungan di daerah aliran Sungai Citarum itu, berasal dari dana pinjaman luar negeri. "Utang triliunan rupiah itu harus dibayar oleh rakyat," kata Umar. Umar pun sempat menyinggung tentang adanya pemeriksaan yang dilakukan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) terkait proyek Citarum
tersebut. "Berdasarkan informasi di lapangan, hasil audit BPK pada tahun 2012 lalu, pada proyek Citarum itu ditemukan di antaranya adanya dualisme perencanaan antara Bappenas dan Kementerian Pekerjaan Umum," kata dia. Ia menghawatirkan dalam proyek itu ada potensi illegal karena tidak ada pijakan regulasi. Diinformasikan ada potensi dugaan penyelewengan anggaran Rp 22,5 miliar. "Persoalan itu harus disikapi bersama," tegasnya. Berbagai sumber Editor : RJS,tarungnews.com
Benahi Hulu Sungai Citarum, Pemprov Jabar Relokasi Pabrik dan Permukiman Media Online Rabu, 30 November -0001 07:07 Dilihat: 291 Share 0
http://www.bisnis-jabar.com/index.php/berita/benahi-hulu-sungai-citarum-pemrovjabar-relokasi-pabrik-dan-permukiman Bisnis-jabar.com, BANDUNG – Pemerintah Provinsi Jawa Barat akan membenahi tata ruang dan wilayah hulu sungai Citarum mulai 2014 guna mengembalikan keberadaan kawasan lindung dan budidaya berfungsi lindung hingga mencapai 50%. Kepala Bidang Tata Ruang dan Wilayah Dinas Perumahan dan Permukiman Jawa Barat Bobby Subroto menuturkan dalam sepuluh tahun terakhir kawasan yang terbangun di hulu Citarum bertambah lebih dari 100%, diantaranya untuk peternakan, perumahan, dan industri sehingga menyebabkan banjir di sejumlah wilayah di Jabar dan mengurangi mutu air Citarum hingga berstatus tercemar berat. “Pembenahan hulu Citarum penting karena sungai ini menjadi sumber air minum air 25 juta penduduk di Jabar dan Jakarta serta menjadi areal penyerap hujan. Namun, dalam sepuluh tahun terakhir hutan primer di hulu Citarum berkurang 30,8%, hutan sekunder berkurang 26,1% dan sawah berkurang 27,1%, sedangkan permukiman malah bertambah 101,2%,” ucapnya kepada Bisnis, Rabu (5/3). Bobby mengatakan program penataan kawasan hulu Citarum ini akan dilaksanakan bertahap mulai 2014 hingga 2026. Pemprov Jabar berencana mengembalikan fungsi kawasan lindung di seluruh kecamatan di Kabupaten Bandung yang menjadi bagian hulu Citarum. Menurut Bobby, dengan pembenahan hulu Citarum, pihaknya menargetkan luas kawasan lindung di Kabupaten Bandung dapat mencapai 20,82% atau 63.872,58 hektare yang terdiri dari hutan lindung, suaka alam dan cagar alam, ruang terbuka hijau, sempadan, dan wisata alam, sedangkan luas kawasan budidaya yang berfungsi lindung sebesar 31,14% atau 95.558,90 hektare yang terdiri dari hutan
produksi terbatas, hutan produksi tetap, hutan rakyat, dan kawasan tanaman tahunan. Sementara itu, luas kawasan budidaya yang tidak berfungsi lindung direncanakan seluas 147.399,40 hektare atau mencapai 48,04%. Menurut Bobby, dalam kawasan yang boleh dibangun ini, kawasan permukiman hanya mendapat jatah 16,78% atau 51.481 hektare, sedangkan kawasan industri 8.040 hektare atau hanya 2,62%. Sementara itu, jatah areal peternakan lebih sedikit lagi, yakni hanya 250,06 hektare atau 0,08%. “Kondisi saat ini banyak lahan di hulu Citarum diperuntukkan untuk peternakan, industri, dan permukiman. Selain menyebabkan banjir, para peternak, pengelola industri dan perumahan juga membuang limbah ke Citarum sehingga air tercemar,” ucapnya. Bobby menuturkan untuk mengembalikan fungsi lindung hulu Citarum, kegiatan peternakan, industri, dan permukiman yang telah terbangun di hulu Citarum akan direlokasi ke daerah lain. “Namun, ini masalahnya, siapa yang akan menanggung biaya relokasi ini? Kami masih berkoordinasi dengan pemkab dan pemerintah pusat,” ujarnya.(k10/k29)
Menengok Perubahan Pemanfaatan Lahan di Aliran 10 Hulu Sungai Citarum News Kamis, 18 Juni 2015 11:58 Ditulis oleh Super User Dilihat: 1209 Share 2
Berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi/RTRWP Jawa Barat, kawasan hulu Sungai Citarum diarahkan menjadi kawasan lindung dan budidaya pertanian. Penetapan Kawasan Lindung sendiri telah ditetapkan oleh Kementerian Kehutanan dan mempunyai fungsi untuk melindungi kelestarian lingkungan hidup. Sedangkan kawasan budidaya dapat dikembangkan berdasarkan potensi sumber dayanya baik alam maupun buatan. Klasifikasi pemanfaatan lahan di empat desa hulu Citarum saat ini didominasi oleh perkebunan tanaman sayur, permukiman penduduk, serta lahan dengan tutupan tegakan tinggi yang hanya tersisa sedikit. Tanahnya yang subur dan iklim pegunungan, membuat kawasan ini berpotensi untuk kegiatan baik pertanian, perkebunan hingga pariwisata alam.
Mayoritas penduduk di kawasan ini berprofesi sebagai petani baik pemilik lahan maupun hanya sebagai buruh petani. Komoditas utama yang masih diminati adalah tanaman sayuran dataran tinggi. (Lokasi: Cihawuk, Oktober 2013). Dari hasil analisa perhitungan yang dilakukan berdasarkan pemetaan rupa bumi, prosentase luas kawasan terbangun yang paling luas berada di Desa Cibeureum yaitu 184,70 Ha dan Desa Tarumajanya yaitu 147,74 Ha. Sedangkan kegiatan pertanian tanaman sayur hampir mendominasi pemanfaatan lahan di semua kawasan empat desa di aliran 10 km pertama Sungai Citarum. Dominasi kegiatan perkebunan dan pertanian juga paling luas ada di Tarumajaya, sedangkan sisa hutan paling sedikit ada di wilayah Desa Cibeureum yang menyisakan hutan lindung seluas 66,42 Ha. Sedangkan dari analisa pola perubahan lahan di kawasan ini, dapat dilihat bahwa perubahan lahan dari kawasan lindung menjadi kawasan pertanian paling tinggi terjadi di Desa Tarumajaya dan Desa Cibeureum.
Erosi yang terjadi saat ini selain dikarenakan oleh perubahan kawasan lindung menjadi areal pertanian sayuran, juga dikarenakan berkembangnya pemukiman penduduk di daerah kawasan lindung. Walaupun perkembangan pemukiman di kawasan ini tidak terjadi secara signifikan, namun luasan tersebut sangat mempengaruhi berbagai permasalahan terutama lahan kritis yang menyebabkan erosi. Kondisi permukiman masyarakat sendiri sebenarnya berkembang secara lambat dan bersifat mengelompok terutama di Desa Cibeureum dan Tarumajaya. Selebihnya masih merupakan kawasan lahan pertanian. Tingkat konversi lahan pertanian/lindung menjadi permukiman tidak menonjol dalam 10 tahun terakhir. Usaha-usaha untuk mengurangi konversi kawasan lindung menjadi lahan terbangun/permukiman terus dilakukan di daerah yang terambah dan saat ini telah ditetapkan sebagai zona lahan kritis. Walaupun kegiatan perluasan lahan terbangun di kawasan lindung ini berjalan secara perlahan-lahan, namun juga berdampak pada peningkatkan pola pertanian yang tidak sesuai kaidah konservasi. Sedangkan untuk relokasi penduduk yang sudah terlanjur bermukim di kawasan yang tidak sesuai harus disepakati antara masyarakat dengan pihak-pihak terkait. STRUKTUR DAN POLA RUANG KAWASAN
Pengaturan dan penertiban bangunan harus diakomodir melalui sebuah perencanaan kawasan untuk mengantisipasi perkembangan di masa yang akan datang. (Lokasi: Kertasari, Oktober 2013). Perencanaan penataan lahan dan ruang merupakan salah satu upaya yang juga penting dilakukan untuk mengantisipasi arah perkembangan area budidaya yang tidak sesuai dengan perencanaan yang bersifat konservatif. Kecamatan Kertasari dalam wilayah administrasi Kabupaten Bandung mempunyai pusat pemerintahan di Desa Cibeureum. Beberapa fasilitas dengan tingkat pelayanan skala kecamatan berada di Desa Cibeureum. Kecamatan Kertasari merupakan salah satu wilayah administrasi Kabupaten Bandung yang harus diatur perkembangannya. Sebagai kawasan Hulu Sungai Citarum, perkembangan Kecamatan Kertasari harus dikendalikan dan disesuaikan dengan fungsi kawasan dan arahan Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bandung yaitu masuk ke dalam kawasan lindung. Perencanaan yang setara dengan Rencana Detail Tata Ruang (RDTR) Kecamatan diperlukan sebagai acuan dalam mengatur arahan perkembangan kawasan. Aliran 0-10 km Sungai Citarum ini akan bergantung pada bagaimana pengembangan kawasan budidaya dapat seimbang dengan kawasan lindungnya. Sedangkan untuk mengakomodasi perkembangan jumlah penduduk dan kebutuhan lahan sebagai kawasan permukiman dan budidaya pertanian masih dapat dikembangkan di kawasan Alokasi Penggunaan Lain (APL) yang telah ditetapkan dalam RTRW Propinsi Jawa Barat. Namun arahan perkembangannya harus disesuaikan dan diatur dalam sebuah perencanaan tata ruang yang lebih rinci dan sesuai dengan fungsi kawasan Hulu Sungai Citarum. STATUS LEGALITAS LAHAN DAN KEWENANGAN PENGELOLAAN
Dalam menentukan upaya-upaya penangan dalam memperbaiki kondisi hulu Sungai Citarum, salah satu faktor terpenting adalah adanya kejelasan legalitas status lahan dan kewenangan pengelolanya. Pada wilayah empat desa di Kecamatan Kertasari, terdapat Kawasan Suaka dan Konservasi Pelestarian Alam (KSPA) yang dijadikan inti dari kawasan lindung dan pengelolaannya ada di bawah BKSDA Provinsi Jawa Barat, sedangkan untuk kawasan hutan lindung dikelola oleh Perum Perhutani. BUMN yang juga mengelola kawasan perkebunan di wilayah empat desa ini adalah PTPN VIII yang bekerja sama dengan PT. London Sumatera.
Salah satu perkebunan teh yang masih tersisa di Kertasari, kejelasan penetapan status lahan akan memudahkan dalam upaya pengelolaan kawasan di masa yang akan datang. (Lokasi: Kertasari, Oktober 2011). Namun kondisi baik lahan Perhutani maupun perkebunan dibawah pengelolaan PTPN VIII sudah banyak beralih fungsi menjadi kawasan pertanian. Dengan membandingkan data wilayah kewenangan dan kondisi eksisting saat ini maka dapat dilihat perambahan atau alih fungsi yang terjadi pada masing-masing kawasan tersebut. AKSESIBILITAS KAWASAN Kecamatan Kertasari dilewati oleh akses jalan kabupaten yang menghubungkan Kota Bandung dengan Kabupaten Bandung melalui jalur bagian Selatan. Jalur ini digunakan sebagai jalur transportasi barang dan orang menuju ke pusat Kota Bandung. Selain mengangkut kebutuhan bahan pokok, barang yang paling banyak didistribusikan melalui jalur ini adalah kebutuhan yang mendukung kegiatan pertanian seperti pupuk. Hasil pertanian dan susu dari Kecamatan Kertasari yang akan didistribusikan keluar daerah juga melalui akses jalan ini.
Aktivitas bongkar muat tanaman sayur yang dilakukan di sepanjang jalan utama. Diperlukan adanya depo atau sub-terminal untuk mengakomodasi kegiatan bongkar muat. (Lokasi: Kertasari, Agustus 2009). Aksebilitas baik dari dalam maupun keluar kawasan Kecamatan Kertasari didukung oleh kondisi jalan yang kurang begitu bagus dan berlubang. Upaya perbaikan dilakukan melalui pembuatan jalan dengan konstruksi beton. Sampai saat ini kegiatannya masih dilakukan secara bertahap. Jalur ini sebenarnya mempunyai potensi sebagai jalur wisata karena melewati pemandangan alam pegunungan yang berhawa sejuk. Sedangkan akses jalan yang menghubungkan desa-desa di Kecamatan Kertasari rata-rata merupakan jalan batu dan belum diperkeras. Tipologi kawasannya lebih cenderung bersifat kluster perdesaan. Namun seiring mudahnya mobilitas yang didukung oleh akses dan kemudahan moda transportasi kawasan ini berkembang menjadi pusat pertumbuhan baru. Hal ini dilihat dari semakin berkembangnya kegiatan perdagangan dan jasa yang terkonsentrasi di Pasar Cibeureum. Fasilitas perkantoran, pendidikan dan pelayanan kesehatan juga lebih banyak terkonsentrasi di Desa Cibeuruem. Arahan ke depannya, kawasan ini berpotensi sebagai Ibu Kota Kecamatan Kertasari. Kegiatan perekonomian berkembang di tepi kanan kiri jalan baik dengan bangunan yang sudah permanen, semi permanen dan kaki lima yang memanfaatkan sebagian daerah milik jalan. Untuk menampung aktivitas
perekonomian ini perlu di kembangkan atau dibangun sebuah tempat pusat perekonomian terpadu dengan tempat transit moda perangkutan orang dan barang. Selain untuk menghindari daktivitas yang berkembang di sepanjang jalan, juga untuk mengendalikan berkembangnya aktivitas perekonomian pada kawasan yang tidak sesuai atau bahkan merambah kawasan konservasi. PERENCANAAN DAN PENATAAN RUANG Manajemen pengelolaan kawasan sangat dibutuhkan untuk menjawab tantangan, bagaimana tetap meningkatkan perekonomian masyarakat setempat dengan memanfaatkan potensi lokal yang ada namun tetap berupaya menjaga kelestarian dan keseimbangan lingkungan agar kegiatan tersebut dapat berlangsung secara berkelanjutan. Sebuah perencanaan kawasan yang lebih detail diperlukan sebagai acuan pembangunan di Kertasari.
Walaupun berada jauh dari kawasan perkotaan dan pusat pemerintahan Kabupaten Bandung, namun pemukiman di kawasan Desa Tarumajaya dan Cibeureum ini tergolong padat. (Lokasi: Cihawuk, Oktober 2013). Perencanaan penataan ruang dianggap sangat penting bukan hanya untuk mengakomodasi pembangunan kawasan di masa yang akan datang, namun juga sebagai acuan dan arahan untuk mengendalikan pertumbuhan kawasan agar tetap sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan. Dalam laporan ini akan merekomendasikan arahan fungsional pemanfaatan ruang untuk dapat dijadikan dasar dalam perencanaan yang lebih detail dan teknis sesuai dengan kaidah perencanaan yang ada. Rekomendasi dan arahan penataan kawasan akan membagi aliran 10K Sungai Citarum sebagai kawasan zona konservasi, kawasan pengembangan ekowisata, serta zona pengendali erosi dan sedimentasi. Sedangkan arahan pemanfaatan kawasannya akan terbagi menjadi beberapa kawasan pemanfaatan lahan dengan tetap memperimbangkan keseimbangan intensifikasi pengembangan kawasan budidaya dan perlindungan kawasan lindung. Arahan penataan kawasan pemukiman penduduk diarahkan menjauhi kawasan hutan lindung dan kawasan konservasi. Untuk menampung perkembangan penduduk tetap diarahkan pada kawasan budidaya pemukiman. Pengelolaan kawasan hutan lindung diarahkan untuk dikelola bersama dengan masyarakat setempat melalui bentuk-bentuk kerjasama dengan masyarakat. Pengembangan kegiatan hutan rakyat atau perkebunan dititikberatkan pada komoditas tanaman hasil bukan kayu, misalnya kopi atau tanaman buah alpukat. Sedangkan intensifikasi pertanian dengan tujuan meningkatkan kesejahteraan para buruh tani melalui optimalisasi lahan yang terbatas, tetap dapat dilakukan pada kawasan yang telah ditetapkan sebagai kawasan budidaya. Intensifikasi lahan pertanian harus tetap dikelola melalui pendampingan baik dari dinas terkait maupun lembaga penelitian pertanian atau akademisi yang bergerak di bidang pertanian. Penerapan sistem pertanian yang tepat guna dan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan, efisiensi penggunaan air dan didukung oleh sarana dan prasarana pertanian beskala kawasan diharapkan dapat meningkatkan pengembangan ekonomi lokal dan dapat mengurangi kegiatan perambahan kawasan hutan lindung hulu Citarum.
Pengaturan distribusi kepadatan penduduk kawasan ini secara umum diarahkan untuk kepadatan rendah. Untuk kepadatan menengah hingga tinggi diarahkan hanya pada pusat-pusat yang mempunyai potensi untuk berkembang sebagai pusat pelayanan. Fasilitas tingkat kecamatan seperti perdagangan dan jasa, pusat pemerintahan kecamatan, pendidikan tingkat menengah dan atas serta kesehatan dapat dikembangkan di kawasan Potensial I dan II. Sedangkan arahan untuk tingkat kepadatan kawasan terbangun lainnya adalah rendah. Sementara itu untuk mengakomodasi aktifitas masyarakat yang mayoritas merupakan petani dapat diakomodasi pada kawasan di area penggunaan lain. Walaupun area ini merupakan kawasan budaya yang dapat dikelola untuk pertanian, namun tetap harus memperhatikan jenis-jenis vegetasi yang tidak menimbulkan potensi merusak lingkungan. Tulisan ini merupakan bagian dari Dokumen Aliran Citarum 10K; Identifikasi Potensi, Tantangan dan Rencana Kerja.