Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
TANYA JAWAB SEPUTAR FILSAFAT ILMU 1. Apakah pengertian ontologi, epistemologi, dan aksiologi dalam filsafat? 2. Apakah paradigma? Apakah peran paradigma dalam pengembangan ilmu? 3. Mengapakah satu paradigma dalam ilmu pengetahuan berubah? Tuliskan contoh untuk mendukung argumen Saudara! 4. Uraikan hubungan filsafat dengan ilmu? 5. Ada 5 kriteria yang digunakan unuk menentukan teori ilmiah. Uraikanlah kelima kriteria itu dengan menuliskan contoh. 6. Satu teori dalam ilmu pengetahuan tidak mungkin mutlak kebenarannya. Dengan kata lain, teori ilmu pengetahuan harus memiliki kesalahan. Uraikan pengertian dan interpretasi pernyataan ini. 7. Jelaskan pegertian logika positivistik. 8. Apakah ciri dan asumsi ilmu pengetahuan? 9. Uraikan perbedaan antara fakta dan teori dan anatara fenomena dan konsep? 10. Uraikan perbedaan Numena dari Phenomena. Yang manakah menjadi data dalam kajian ilmu sosial dan kajian ilmu pengetahuan alam? 11. Apakah perbedaan utama ilmu sosial dari ilmu pengetahuan alam? Patutkah dikatakan bahwa kajian ilmu sosial lebih rendah daripada kajian ilmu penetahuan alam? 12. Dapatkah ilmu pengetahuan bebas dari nilai? Apakah kritik para pendukung kelompok Feminisme, Sosiologi Ilmu dan Posmodernisme terhadap konsep ilmu pengetahuan bebas dari nilai? 13. Menurut David Hume ada 6 langkah dalam metode induktif. Uraikan keenam langkah itu dengan menuliskan contoh.
1
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Soal : 1. Apakah pengertian Ontologi, Epistemologi, dan Aksiologi dalam filsafat? Jawab : Filsafat ilmu beserta cabang-cabangnya secara sederhana terbagi menjadi tiga macam yang menjadi lahan kerja filsafat, yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ketiga dari lahan garapan filsafat tersebut termuat dalam tiga pertanyaan di mana dalam ontologi bertanya tentang apa. Pertanyaan apa tersebut merupakan pertanyaan dasar dari sesuatu. Sedangkan dalam epistemologi mengenalinya dengan menggunakan pertanyaan mengapa. Pertanyaan mengapa ini merupakan kelanjutan dari mengetahui dasar dan pertanyaan mengapa merupakan kajian bagaimana cara mengetahuinya tersebut. Sedangkan untuk aksiologi merupakan kelanjutan dari dari epistemologi dengan menggunakan pertanyaan bagaimana. Pertanyaan bagaimana tersebut merupakan kelanjutan dari setelah mengetahui dan cara mengetahuinya diteruskan dengan bagaimanakah sikap kita selanjutnya. Kalau menurut Imanuel Kant bahwa sistematika dalam filsafat mencangkup dengan tiga pertanyaan apa yang dapat saya ketahui, apa yang dapat saya harapkan, apa yang dapat saya lakukan. Pertanyaan tersebut mewakili dari wilayah pengetahuan ada, dan nilai. Ontologi. Objek yang menjadi kajian dalam ontologi tersebut adalah realitas yang ada. Dan dalam ontologi adalah studi tentang yang ada yang universal, dengan mencari pemikiran semesta universal. Ontologi berusaha mencari inti yang termuat dalam setiap kenyataan atau menjelaskan yang ada dalam setiap bentuknya. Dalam ontologi merupakan studi yang terdalam dari setiap hakekat kenyataan, seperti dapatkah manusia sungguh-sungguh memilih, apakah ada Tuhan, apakah nyata dalam hakekat material ataukah spiritual, apakah jiwa sungguh dapat dibedakan dengan badan. Epistemologi. Objek yang menjadi kajian dalam Epistemologi adalah studi tentang asal usul hakekat dan jangkauan pengetahuan. Apakah pengalaman merupakan satu-satunya sumber pengetahuan. Apakah yang menyebabkan suatu keyakinan benar dan yang lain salah. Adakah soal-soal penting yang tidak dapat 2
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
dijawab dengan sains dan dapatkah kita mengetahui pikiran dan perasaan orang lain. Pengkajian dari epistemologi adalah hakekat pengetahuan yang terdiri empat pokok persoalan pengetahuan seperti keabsahan, struktur, batas dan sumber. Aksiologi dan Estetika. Aksiologi atau etika studi tentang prinsip-prinsip dan konsep yang mendasari penilaian terhadap prilaku manusia. Contohnya tindakan yang membedakan benar atau salah menurut moral, apakah kesenangan merupakan ukuran dapat dikatakan sebagai ukuran yang baik, apakah putusan moral bertindak sewenang-wenang atau bertindak sekehendak hati. Sedangkan estetika studi yang mendasarkan prinsip yang mendasari penilaian kita atas berbagai bentuk seni. Apakah tujuan seni, apa peranan rasa dalam pertimbangan estetis, bagaimana kita mengenal sebuah karya besar seni. Soal : 2. Apakah paradigma? Apakah peran paradigma dalam pengembangan ilmu? Jawab : Paradigma adalah istilah sebuah pandangan ilmiah dalam pemikiran filsuf ilmu Thomas Kuhn. Dia mendefinisikan Paradigma sebagai “Praktek yang mendefinisikan disiplin ilmiah pada beberapa poin dalam waktu.” Paradigma dalam pemikiran Thomas Kuhn adalah sesuatu yang berdasar budaya dan deskrit. Seorang ilmuan pengobatan Cina, dengan ilmu yang mendalam mengenai pengobatan timur, akan memiliki pandangan pemikiran yang berbeda daripada pemikiran seorang peneliti dari barat. Fungsi dari Paradigma menyediakan puzzle bagi para ilmuan. Paradigma sekaligus menyediakan alat untuk solusinya. Ilmu digambarkan oleh Thomas Kuhn sebagai sebuah kegiatan menyelesaikan puzzle. Thomas Kuhn pertamakali menggunakannya dalam sains, menunjukkan bahwa penelitian ilmiah tidak menuju ke kebenaran. Penelitian ilmiah sangat tergantung pada dogma dan terikat pada teori yang lama. Dalam pemikiran Kuhn paradigma secara tidak langsung mempengaruhi proses ilmiah dalam empat cara dasar. 3
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
1. Apa yang harus dipelajari dan diteliti 2. Pertanyaan yang harus ditanyakan 3. Struktur sebenarnya dan sifat dasar dari pertanyaan itu 4. Bagaimana hasil dari riset apapun diinterpretasikan. Kuhn
mempercayai
bahwa
ilmu
pengetahuan
memiliki
periode
pengumpulan data dalam sebuah paradigma. Revolusi kemudian terjadi setelah sebuah paradigma menjadi dewasa. Paradigma mampu mengatasi anomali. Beberapa anomali masih dapat diatasi dalam sebuah paradigma. Namun demikian ketika banyak anomali anomali yang mengganggu yang mengancam matrik disiplin maka paradigma tidak bisa dipertahankan lagi. Ketika sebuah paradigma tidak bisa dipertahankan maka para ilmuan bisa berpindah ke paradigma baru. Ketika berada pada periode pengumpulan data maka ilmu pengetahuan mengalami apa yang dikatakan perkembangan ilmu biasa. Dalam perkembangan ilmu biasa sebuah ilmu pengetahuan mengalami perkembangan. Ketika Paradigma mengalami pergeseran maka itu disebut masa revolusioner. Ilmu dalam tahap biasa bisa dikatakan sebagai pengumpulan yang semakin banyak dari solusi Puzzle. Sedangkan pada tahap revolusi ilmiah terdapat revisi dari kepercayaan ilmiah atau praktek. Peran Paradigma dalam Pengembangan Ilmu: 1. Pengantar : Sebuah Peran bagi Sejarah. Sejarah, jika dipandang lebih sebagai khasanah daripada sebagai anekdot atau kronologi, dapat menghasilkan transformasi yang menentukan dalam citra sains yang merasuki kita sekarang. Citra itu telah dibuat sebelumnya , bahkan oleh para ilmuwan sendiri, terutama dari studi tentang pencapaian ilmiah yang tuntas seperti yang direkam dalam karya-karya klasik dan, yang lebih baru, dalam bukubuku teks yang dipelajari oleh setiap generasi ilmuwan yang baru untuk mempraktekkan kejujurannya. Namun, dari sejarah pun konsep yang baru itu tidak akan datang jika datadata historis masih terus dicari dan diteliti dengan cermat terutama untuk 4
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
menjawab pertanyaan-pertanyaan yang dikemukakan oleh stereotip yang tidak historis dan diambil dari buku-buku teks sains. Jika sains itu kontelasi fakta, teori dan metode yang dihimpun dalam buku-buku teks yang ada sekarang, maka para ilmuwan adalah orang-orang yang berhasil atau tidak, berusaha untuk menyumbangkan suatu unsur kedalam konstelasi tertentu itu. Perkembangan sains menjadi suatu proses timbunan yang semakin membesar yang membentuk tekhnik dan pengetahuan sains. Tetapi dalam tahun-tahun belakangan ini beberapa sejarahwan sains berpendapat bahwa memenuhi fungsi yang diberikan kepada mereka oleh konsep perkembangan dengan akumulasi itu semakin bertambah sulit. Sebagai pencatat rangkain proses pertambahan mereka menemukan bahwa riset tambahan itu menyebabkan lebih sukar, bukan lebih mudah, untuk menjawab pertanyaan seperti: kapan oksigen ditemukan ? siapa yang pertama kali menemukan konsep tentang penghematan energi? Penemuan baru dalam teori juga bukan satu-satunya peristiwa ilmiah yang mempunyai dampak revolusioner terhadap para spesialisasi yang wilayahnya menjadi tempat terjadinya peristiwa itu. Komitmen-komitmen yang menguasai sains yang normal juga tidak hanya menetapkan jenis-jenis maujud (entity) apa yang dikandung oleh alam semesta, tetapi juga, dengan implikasi, maujud-maujud yang tidak dikandungnya. 2. Jalan Menuju Sains yang Normal. Dalam essai ini, sains yang normal berarti riset yang dengan teguh berdasar satu atau lebih pencapaian ilmiah yang lalu, pencapaian yang oleh masyarakat ilmiah tertentu pada suatu ketika dinyatakan sebagai pemberi fondasi pada praktek selanjutnya. Sekarang pencapaian-pencapaian itu diceritakan, meskipun jarang dalam bentuk aslinya, oleh buku-buku teks sains tingkat dasar maupun tingkat lanjutan. Buku- buku tersebut populer pada awal abad 19, buku-buku klasik termasyur karya : Physica karya Aristoteles, Almagest karya Ptolemaeus, Princip dan Opticks karya Newton, Electricity karya Franklin, Chemistery karya Lavoisier, dan Geology karya Lyell. Mereka bisa berbuat demikian karena samasama memiliki karateristik yang esensial. Pencapaian mereka cukup baru, dan belum pernah ada sebelumnya. Pencapaian yang turut memiliki kedua karateristik ini selanjutnya disebut “Paradigma”, istilah yang erat kaitannya dengan “ sains yang normal “. Dengan memilih istilah ini bermaksud mengemukakan bahwa beberapa contoh praktek ilmiah nyata yang diterima – contoh-contoh yang bersama-sama mencakup dalil, teori, penerapan dan intrumentasi – menyajikan model-model yang daripadanya lahir tradisi-tradisi padu tertentu dari riset ilmiah. Karena dalam essay ini konsep 5
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
paradigma akan sering menggantikan berbagai gagasan yang dikenal, maka lebih banyak yang perlu dikatakan tentang alasan penggunaannya. Pemisahan bidang-bidang yang di dalamnya telah terdapat paradigma yang mantap sejak zaman prasejarah, seperti matematika dan astronomi, dan juga bidang-bidang yang muncul dengan pembagian dan penggabungan ulang, seperti biokimia, keadaan di atas merupakan kekhasan historis. Namun sejarah juga mengemukakan beberapa alasan bagi kesulitan yang dijumpai di jalan itu. Dalam ketiadaan paradigma atau calon paradigma, semua fakta yang mungkin dapat merupakan bagian dari perkembangan sains tertentu cenderung tampak sama relevannya. 3. Sifat Sains yang Normal Dalam penggunaannya yang telah mapan, paradigma adalah model atau pola yang diterima, dan aspek maknannya itu telah memungkinkan, karena tidak memiliki kata yang lebih baik untuk mengambil paradigma, bagi keperluan sendiri disini. Akan tetapi tidak lama lagi akan jelas bahwa pengertian model dan pola yang memungkinkan pengambilan paradigma itu tidak sama benar dengan pengertian yang biasa digunakan untuk mendefinisikan paradigma. Dalam penerapan yang baku ini, paradigma berfungsi dengan memperbolehkan replikasi contoh-contoh yang masing-masing pada prinsipnya dapat menggantikannya. Di pihak lain, dalam sebuah sains paradigma jarang merupakan obyek dari replikasi, akan tetapi, seperti keputusan yudikatif yang diterima dalam hukum tak tertulis, ia adalah objek bagi pengutaraan dan rincian lebih lanjut dalam keadaan yang baru atau lebih keras. Untuk mengetahui bagaimana hal itu bisa terjadi, kita harus ingat betapa sangat terbatasnya suatu paradigma, baik dalam cakupannya maupun dalam ketepatannya, pada saat pertama kali muncul. Paradigma memperoleh statusnya karena lebih berhasil darpada saingannya dalam memecahkan beberapa masalah yang mulai diakui oleh kelompok pemraktek bahwa masalah-masalah itu rawan. Tiga fokus penyelidikan sains yang aktual yaitu : - Pertama adalah kelas fakta-fakta yang telah diperlihatkan oleh paradigma bahwa sangat menyingkapkan sifat tertentu. - Kedua yang biasa tetapi lebih kecil dari penetapan-penetapan fakta ditujukan kepada fakta-fakta yang, meskipun sering tanpa banyak kepentingan hakiki, dapat dibandingkan secara langsung dengan prakiraan-prakiraan teori paradigma. - Ketiga adalah yang ditujukan untuk mengartikulasikan suatu paradigma. Eksperimen ini, lebih dari yang lain-lain, dapat menyerupai eksplorasi, dan terutama sangat sering digunakan dalam periode-periode itu dan dalam sainsains yang lebih banyak berurusan dengan aspek-aspek kualitatif daripada aspek-aspek kuantitatif dari regularitas alam. 6
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
4. Sains Normal sebagai Pemecah Teka-teki Pada abad ke 18 , misalnya hanya sedikit perhatian yang diberikan kepada eksperimen-eksperimen yang mengukur tarikan listrik dengan piranti seperti neraca. Karena memberikan hasil yang konsisten maupun yang sederhana, eksperimen-eksperimen itu tidak bisa digunakan untuk mengartikulasikan paradigma yang menurunkannya. Oleh sebab itu, eksperimen-eksperimen itu tetap merupakan kenyataan yang tidak berhubungan dan tidak dapat dihubungkan dengan kemajuan yang berlanjut dalam riset kelistrikan. Mengantarkan pada masalah riset yang normal kepada kesimpulan adalah mencapai apa yang diantisipasi dengan suatu cara baru, dan hal ini memerlukan pemecahan segala jenis teka-teki instrumental, konseptual dan matematis yang rumit. Orang yang berhasil membuktikan bahwa ia adalah seorang pakar pemecah teka-teki, dan tantangan teka-teki itu merupakan bagian penting dari apa yang biasanya mendorongnya. Meskipun demikian , individu yang terlibat di dalam masalah riset yang normal itu hampir tidak pernah mengerjakan yang manapun diantara hal-hal ini. Begitu terlibat, motivasinya agak berbeda jenisnya. Yang kemudian menantangnya ialah keyakinan bahwa, jika ia cukup terampil, ia akan terampil memecahkan tekateki yang belum pernah dipecahkan atau dipecahkan lebih sempurna oleh siapapun. Adanya jaringan komitmen yang kuat ini, yang konseptual, teoritis dan instrumental, dan metodologis, merupakan sumber utama metafora yang menghubungkan sains yang normal kepada pemecahan teka-teki. Karena ia menyajikan kaidah-kaidah yang mengatakan kepada pemraktek spesialisasi yang telah matang seperti apa dunia dan sainsnya itu, pemraktek dengan yakin memusatkan perhatiannya kepada masalah-masalah esoterik yang didefinisikan baginya oleh pengetahuan yang ada dan oleh kaidah-kaidah ini. 5. Keunggulan Paradigma Penyelidikan historis yang cermat terhadap suatu spesialitas tertentu pada masa tertentu pada masa tertentu menyingkapkan seperangkat keterangan yang berulang-ulang dan kuasistandar tentang berbagai teori dalam penerapan konseptual, observational, dan instrumental. Inilah paradigma-paradigma masyarakat yang diungkapkan dalam buku-buku teks, ceramah-ceramah, dan praktek-praktek laboratoriumnya. Meskipun kadang-kadang terdapat ambiguitas, paradigma-pardigma masyarakat sains yang matang bisa ditentukan dengan relatif mudah. Dan memang kehadiran suatu paradigma tidak perlu menyiratkanpun bahwa ada seperangkat kaidah yang lengkap. 7
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Paradigma-paradigma bisa lebih unggul, lebih mengikat, dan lebih lengkap darpada perangkat manapun dari kaidah-kaidah untuk riset, yang tidak diragukanpasti disarikan dari paradigma-paradigma itu. 6. Anomali dan Munculnya Penemuan Sains. Penemuan diawali dengan kesadaran akan anomali, yakni dengan pengakuan bahwa alam, dengan suatu cara, telah melanggar pengharapan yang didorong oleh paradigma yang menguasai sains yang normal. Kemudian ia berlanjut dengan eksplorasi yang sedikit banyak diperluas pada wilayah anomali. Dan ia hanya berakhir jika teori paradigma itu telah disesuaikan sehingga yang menyimpang itu menjadi yang diharapkan. Pengasimilasian suatu fakta jenis baru menuntut lebih dari penyesuaian tambahan pada teori, dan sebelum penyesuaian itu selesai, sebelum ilmuwan itu tahu bagaimana melihat alam dengan cara yang berbeda, fakta yang baru itu sama sekali bukan fakta ilmiah. 7. Krisis dan Munculnya Teori Sains Perubahan yang melibatkan penemuan-penemuan ini semuannya destruktif dan sekaligus konstruktif. Namun penemuan atau bukan, satu-satunya sumber paradigma destruktif – kostruktif ini berubah. Kita akan mulai meninjau perubahan yang serupa, tetapi biasanya lebih luas, yang disebabkan oleh penciptaan teori-teori baru. Dalam memahami munculnya teori-teori baru, tidak bisa tidak kita pun akan memperluas pandangan dan pemahaman kita tentang penemuan. Meskipun demikian kesalinglingkupan itu bukan identitas. Jika kesadaran akan anomali memainkan peran dalam munculnya jenis-jenis gejala yang baru, maka tidak akan mengejutkan bahwa kesadaran yang serupa, tetapi lebih mendalam, merupakan prasarat bagi perubahan teori yang akan diterima. Karena menuntut paradigma secara besar-besaran dan perubahan-perubahan besar dalam masalah-masalah dan tehnik-tehnik sains yang normal. Munculnya teori-teori itu pada umumnya didahului oleh periode ketidakpastian yang sangat tampak pada profesi. Para filsuf sains telah berulang-ulang mendemonstrasikan bahwa terhadap sekelompok data tertentu selalu dapat diberikan lebih dari satu konstruksi teoritis. Sejarah sains menunjukkan bahwa, terutama pada tahap-tahap awal perkembangan suatu paradigma baru , bahkan tidak begitu sulit menciptakan alternatif seperti itu.
8
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
8. Tanggapan terhadap Krisis Kita asumsikan bahwa krisis merupakan prakondisi yang diperlukan dan penting bagi munculnya teori-teori baru. Meskipun mereka mungkin kehilangan kepercayaan dan kemudian mempertimbangkan alternatif-alternatif, mereka tidak meninggalkan paradigma yang telah membawa mereka kedalam krisis. Artinya mereka tidak melakukan anomali-anomali sebagai kasus pengganti meskipun dalam perbendaharaan kata filsafat sains demikian adanya. Akan tetapi, ini memang berarti apa yang akhirnya akan menjadi masalah pokok – bahwa tindakan mempertimbangkan yang mengakibatkan para ilmuwan menolak teori yang semula diterima itu selalu didasarkan atas lebih daripada perbandingan teori itu dengan dunia. Putusan untuk menolak sebuah paradigma selalu sekaligus merupakan putusan untuk menerima yang lain, dan pertimbangan yang mengakibatkan putusan itu melibatkan perbandingan paradigma-paradigma dengan alam maupun satu sama lain. Sains yang normal berupaya dan harus secara berkesinambungan berupaya membawa teori dan fakta kepada kesesuaian yang lebih dekat, dan kegiatan itu dapat dengan mudah dilihat sebagai penguji atau pencari pengukuhan dan falsifikasi. Ini berarti bahwa jika suatu anomali akan menimbulkan krisis, biasanya harus lebih daripada sekadar sebuah anomali. Selalu ada kesulitan dalam kecocokan paradigma alam; kebanyakan diantara cepat atau lambat diluruskan, seringkali dengan proses-proses yang mungkin tidak diramalkan. Kadang-kadang sains yang normal akhirnya ternyata mampu menangani masalah yang membangkitkan krisis meskipun ada keputusan pada mereka yang melihatnya sebagai akhir dari suatu paradigma yang ada. Transisi dari paradigma dalam krisis kepada paradigma baru yang daripadanya dapat muncul dari tradisi baru sains yang normal itu jauh dari proses kumulatif yang dicapai dengan artikulasi atau perluasan paradigma yang lama.antisipasi sebelumnya bisa membantu kita mengenal krisis sebagai pendahuluan yang tepat bagi munculnya teori-teori baru, terutama karena kita telah meneliti versi kecil-kecilan dari proses yang sama dalam membahas munculnya sebuah penemuan. Paradigma baru sering muncul, setidak-tidaknya sebagai embrio, sebelum krisis berkembang jauh atau telah diakui dengan tegas. Bertambah banyaknya artikulasi yang bersaingan, kesediaan untuk mencoba apapun, pengungkapan ketidakpuasan yang nyata, semuannya merupakan gejala transisi dari riset yang normal kepada riset istimewa. Gagasan sains yang normal lebih bergantung eksistensi semua ini ketimbang pada revolusi-revolusi.
9
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
9. Sifat dan Perlunya Revolusi Sains Pada saat masyarakat terbagi kedalam dua kelompok atau partai yang bersaing, yang satu berusaha mempertahankan konstelasi kelembagaan yang lama dan yang lain berupaya mendirikan yang baru. Dan jika polarisasi itu terjadi, maka penyelesaian secara politis gagal. Karena mereka berselisih tentang matrik kelembagaan tempat mencapai dan menilai perubahan politik, karena tidak ada supraintitusional yang diakui oleh mereka untuk mengadili perselisihan revolusioner ini menggunakan bantuan tehnik-tehnik persuasi massa, seringkali dengan melibatkan kekuatan. Meskipun revolusi mempunyai peran yang vital dalam evolusi lembaga-lembaga politik, peran ini bergantung pada apakah revolusi itu merupakan peristiwa yang sebagian ekstrapolitis dan ekstraintitusional. Seperti dalam revolusi politik, dalam pemilihan paradigmapun tidak ada standar yang lebih tinggi daripada persetujuan masyarakat yang bersangkutan. Untuk menyingkapkan bagaimana revolusi sains dipengaruhi, kita tidak hanya harus meneliti dampak sifat dan dampak logika, tetapi juga tehnik-tehnik argumentasi persuasif dan efektif didalam kelompok-kelompok yang sangat khusus yang membentuk masyarakat sains itu. Sesuatu yang bahkan lebih fundamental daripada standar-standar dan nilainilai, bagaimanapun juga dipertaruhkan. Sampai disini saya berargumentasi hanya bahwa paradigma-paradigma adalah esensial bagi sains. Sekarang saya ingin memperagakan suatu pengertian bahwa paradigma-paradigma itu esensial bagi alam. 10. Revolusi sebagai Perubahan atas Dunia Yang lebih penting lagi, selama revolusi para ilmuwan melihat hal-hal yang baru dan berbeda ketika mereka menggunakan instrumen-instrumen yang sangat dikenalnya untuk menengok tempat-tempat yang pernah dilihatnya. Dalam sains, jika perubahan persepsi menyertai perubahan paradigma, kita tidak mengharapkan para ilmuwan secara langsung menyokong perubahan ini, ketika memandang bulan, orang yang beralih kepada Copernicanisme tidak berkata ,” saya biasanya melihat planet, tetapi sekarang saya melihat satelit,” ungkapan itu akan menyiratkan pada sistem Ptolomeus adalah benar. Akhirnya orang yeng beralih ke Astronomi baru berkata, “ Dulu saya menganggap bulan sebagai planet, tetapi saya keliru.” Pernyataan itu memang berulang setelah terjadi revolusi sains. Jika hal itu biasanya menyamarkan perubahan pandangan ilmiah atau transformasi mental yang lain yang efeknya sama, kita tidak bisa mengharapkan kesaksian langsung tentang perubahan itu. Akan tetapi, kita harus mencari bukti 10
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
tak langsung atau bukti berupa prilaku yang oelh ilmuwan dengan paradigma baru terlihat berbeda dari yang telah dilihatnya sebelum itu. 11. Tampaknya Bukan sebagai Revolusi Sampai disini saya telah mencoba memperagakan revolusi-revolusi dengan ilustrasi, dan contoh-contohnya dapat dilipat gandakan sampai tingkat yang memuakkan. Akan tetapi, jelas bahwa kebanyakan diantarannya, yang dengan sengaja dipilih karena sudah dikenal, biasanya dipandang bukan sebagai revolusi, melainkan tambahan kepada pengetahuan sains. Namun, sebagai wahana pedagogis untuk melestarikan sains yang normal, buku teks harus ditulis ulang seluruhnya atau sebagian apabila bahasa, struktur masalah, atau standar sains yang normal berubah. Singkat kata, buku teks harus ditulis ulang setelah revolusi sains dan, setelah ditulis ulang, mau tak mau ia akan menyamarkan bukan hanya peran, melainkan juga adanya revolusi yang menghasilkannya. Kecuali jika masa hidupnya pribadi mengalami revolusi, kesadaran historis ilmuwan yang berkarya maupun orang awam pembaca kepustakaan buku teks hanya memperluas akibat revolusi yang paling baru dalam bidangnya. Lebih dari aspek manapun dari sains, bentu pedagogis itu lebih menekankan citra kita tentang sifat sains dan tentang peran penemuan dan penciptaan dalam kemajuan. 12. Pemecahan Revolusi Buku-buku teks yang baru saja kita bahas hanya dihasilkan sebagai akibat revolusi sains. Mereka merupakan dasar tradisi baru sains yang normal. Tak dapat dihindarkan pada masa-masa revolusi nampaknya keyakinan tangguh dan bandel, dan kadang-kadang memang menjadi demikian. Akan tetapi, ia juga suatu kelebihan. Keyakinan yang sama itulah yang memungkinkan adanya sains yang normal atau sains yang memecah teka-teki. Dan hanya yang melalui sains yang normallah masyarakat profesional para ilmuwan berhasil, pertama dalam memanfaatkan lingkup potensial dan petisi paradigma yang lama, dan kemudian dalam mengisolasi kesukaran melalui studi yang bisa memunculkan paradigma baru. Ini tidak menyatakan bahwa paradigma baru pada akhirnya meraih kemenangan melalui estetika mistik. Sebaliknya, sangat sedikit orang yang meninggalkan tradisi hanya karena alasan-alasan ini. Seringkali mereka yang berbalik itu disesatkan. Akan tetapi jika suatu paradigma bagaimanapun harus menang, ia harus memperoleh beberapa pendukung, yakni orang-orang yang akan mengembangkannya sampai titik ketika argumen-argumen yang keras kepala itu dapat dibuat dan dilipat gandakan. 11
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
13.
Email :
[email protected]
Kemajuan melalui Revolusi Mengapa kemajuan itu merupakan keuntungan yang dicadangkan hampir
eksklusif bagi kegiatan yang kita sebut sains? Jawaban yang paling biasa atas pertanyaan itu adalah telah ditolak dalam tubuh esai ini. Kita harus menyimpulkannya dengan bertanya apakah dapat ditemukan pengganti. Kita harus belajar menyadari apa yang biasanya kita anggap efek itu sebagai suatu penyebab. Jika kita dapat melakukannya, frase-frase seperti “ kemajuan sains” dan “Objektivitas sains” akan menjadi tampak seolah-olah sebagian dibesar-besarkan. Sebenarnya, satu aspek dari pleonasme itu baru saja dilukiskan. Namun, jika dipandang dari dalam suatu masyarakattersendiri yang mana saja , apakah masyarakat ilmuwan atau non ilmuwan, hasil dari karya yang kreatif yang berhasil itu adalah kemajuan. Paragrap terakhir menunjukkan arah , dipercaya pemecahan yang lebih baik bagi masalah kemajuan sains harus dicari. Barangkali mereka memberi petunjuk bahwa kemajuan sains itu tidak benar-benar seperti yang kita anggap. Akan tetapi kesemertaan mereka menunjukkan bahwa suatu jenis kemajuan akan memberi karakter pada kegiatan sain selama kegiatan itu bertahan. Dalam sain tidak perlu ada kemajuan jenis lain. Agar lebih presis, mungkin kita harus melepaskan pikiran, secara tegas dan tersirat, bahwa perubahab paradigma membawa ilmuwan dan mereka yang belajar daripadanya semakin mendekati kebenaran. 14. Pascawacana – 1969. Tanggapan para kritikus telah meningkatkan pemahaman tentang sejumlah masalah yang ditimbulkan. di sekitar konsep paradigma. Dan pembahasanny dimulai dari kesulitan itu. Setidak-tidaknya secara fisiologis, arti kedua dari paradigma ini adalah yang lebih dalam dari yang dua, dan klaim yang dIbuat atas namannya merupakan sumber utama berbagai kontroversi dan kesalahpahaman yang ditimbulkan, terutama untuk tuduhan yang dibuat dari sains menjadi kegiatan yang subyektif dan irasional.
12
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Istilah paradigma sejak dini memasuki halaman-halaman yang terdahulu, dan cara masuknya itu hakikatnya sirkular. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains, dan sebaliknya, masyarakat sains terdiri atas orang-orang yang memiliki paradigma bersama. Pengetahuann sains, seperti bahasa, pada hakikatnya adalah milik bersama suatu kelompok, kalau tidak sama sekali tidak ada apa-apa. Untuk memahaminya kita perlu mengetahui karateristik-karateristik khusus dari kelompok yang menciptakan dan menggunakannya. Soal : 3. Mengapakah satu paradigma dalam ilmu pengetahuan berubah? Tuliskan contoh untuk mendukung argumen Saudara! Jawab : Berawal dari kesadaran tentang realitas atas tangkapan indra dan hati yang kemudian diproses akal untuk menentukan sikap mana yang benar dan mana yang salah terhadap suatu objek atau realitas. Cara seperti ini bisa disebut sebagai proses rasionalitas dalam limu. Sementara itu, proses rasionalitas itu mampu mengantarkan seseorang untuk memahami metarsional sehingga muncul suatu kesadaran baru tentang realitas metafisika yakni apa yang terjadi di balik objek rasional yang bersifat fisik itu. Para ilmuwan dalam ilmu normal biasanya bekerja dalam kerangka seperangkat aturan yang sudah dirumuskan secara jelas berdasarkan paradigma dalam bidang tertentu, sehingga pada dasarnya solusinya sudah dapat diantisipasi terlebih dahulu. Dengan demikian, kegiatan ilmiah dalam kerangka ilmu noprmal adalah seperti kegiatan “puzzle solving”. Implikasinya adalah bahwa kegagalan menghasilkan suatu solusi terhadap masalah tertentu lebih mencerminkan tingkat kemampuan ilmuwannya ketimbang sifat dari masalah yang bersangkutan atau metode yang digunakan. Jika paradigma baru itu diterima oleh komunitas ilmiah, maka hal itu berarti bahwa paradigma terdahulu ditolak atau ditinggalkan. Paradigma yang baru akan diterima sebagai pengganti yang lama, jika paradigma baru itu mampu memberikan penyelesaian terhadap anomali yang ditemukan dan tidak terselesaikan dalam kerangka paradigma lama, memiliki lebih banyak prefisi kuantitatif dan dapat meramalkan fenomena baru, memiliki kualitas estetika tertentu atau idukung oleh sejumlah anggota komunitas yang berpengaruh. 13
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Diterimanya paradigma baru berarti terbentuk ilmu normal baru yang akan berkembang sampai terjadi lagi revolusi ilmiah. Demikianlah bahwa dalam dinamika kegiatan ilmiah, para ilmuwan dapat menyadari adanya peningkatan anomali yang penyelesaiannya menyimpang dari paradigma yang berlaku. Perubahan paradigma itu menimbulkan berbagai perubahan dalam kegiatan ilmiah. Hal itu akan menimbulkan redefinisi ilmu yang bersangkutan. Beberapa masalah dinyatakan sebagai masalah yang termasuk dalam disiplin lain atau dinyatakan bukan masalah ilmiah lagi. Dengan demikian, yang sebelumnya dianggap bukan masalah atau hanya masalah kecil, kini menjadi masalah pokok. Standar dan kriteria untuk menentukan keabsahan masalah dan keabsahan solusi masalah dengan sendirinya juga berubah. Secara umum dapat dikatakan bahwa perubahan paradigma itu membawa transformasi dalam “ the scientific imagination” dan dengan itu juga terjadi “transformation of the world”. Berdasarkan deskripsi perkembangan aliran filsafat ilmu yang berpengaruh tersebut di atas, kiranya dapat dikemukakan argumen sebagai berikut: Pertama, bahwa apa yang dikemukakan oleh Thomas Kuhn adalah sebagai suatu pengungkapan sejarah perkembangan sains yang secara analitis dapat diketahui secara pasti kategoris-kategoris yang terkandung dalam suatu pilihan objek perkembangan sains itu sendiri. Dari segi metodologis apa yang dikemukakan oleh Thomas Kuhn tersebut dapat menambah pemahaman kita tentang suatu proses perkembangan ilmu pengetahuan dalam hal ini sains secara revolusioner dengan paradigma sebagai citra pencarian kebenaran. Kedua, sumbangan terbesar Thomas Kuhn di bidang disiplin ilmu lainnya adalah tawaran suatu telaah baru terhadap ketatnya konstruksi metodologi yang mungkin dapat membelenggu perkembangan ilmu itu sendiri walaupun disadari hal itu tidaklah mudah manakala keberanian menampilkan suatu perspektif paradigma baru dalam menatap persoalan suatu disiplin ilmu tidak juga memunculkan persoalan-persoalan mendasar untuk ditelaah. Dalam hal ini disinyalir adanya kebebasan untuk secara berani menelaah perkembangan disiplin ilmu dan implementasinya terhadap masyarakat. Ketiga, Indonesia saat ini sedang dilanda krisis multi dimensional, hal ini ditandai dengan munculnya berbagai persoalan hidup yang kompleks dan tak kunjung terselesaikan. Pendekatan secara sistematik masing-masing disiplin ilmu kiranya tidak cukup untuk mengatasi multi krisis tersebut. Untuk itu perlunya suatu dimensi paradigma baru yang mampu menciptakan keterkaitan antara berbagai disiplin ilmu tanpa harus kehilangan jati diri masing-masing dalam bentuk lahirnya sebuah terapi ilmiah baru guna memecahkan berbagai krisis tersebut. Telaah alternatif yang dikemukakan oleh Thomas Kuhn tersebut di atas kemungkinan bisa dijadikan solusi bagi pencapaian tujuan yang dimaksud. 14
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Soal : 4. Uraikan hubungan filsafat dengan ilmu? Jawab : · Dalam sejarah filsafat Yunani, filsafat mencakup seluruh bidang ilmu pengetahuan. Lambat laun banyak ilmu-ilmu khusus yang melepaskan diri dari filsafat. Meskipun demikian, filsafat dan ilmu pengetahuan masih memiliki hubungan dekat. Sebab baik filsafat maupun ilmu pengetahuan sama-sama pengetahuan yang metodis, sistematis, koheren dan mempunyai obyek material dan formal. · Yang membedakan diantara keduanya adalah: filsafat mempelajari seluruh realitas, sedangkan ilmu pengetahuan hanya mempelajari satu realitas atau bidang tertentu. ·
Filsafat adalah induk semua ilmu pengetahuan. Dia memberi sumbangan dan peran sebagai induk yang melahirkan dan membantu mengembangkan ilmu pengetahuan hingga ilmu pengetahuan itu itu dapat hidup dan berkembang.
·
Filsafat membantu ilmu pengetahuan untuk bersikap rasional dalam mempertang-gungjawabkan ilmunya. Pertanggungjawaban secara rasional di sini berarti bahwa setiap langkah langkah harus terbuka terhadap segala pertanyaan dan sangkalan dan harus dipertahankan secara argumentatif, yaitu dengan argumen-argumen yang obyektif (dapat dimengerti secara intersuyektif).
Ditinjau dari segi historis, hubungan antara filsafat dan ilmu pengetahuan mengalami perkembangan yang sangat menyolok. Pada permulaan sejarah filsafat di Yunani, “philosophia” meliputi hampir seluruh pemikiran teoritis. Tetapi dalam perkembangan ilmu pengetahuan di kemudian hari, ternyata juga kita lihat adanya kecenderungan yang lain. Filsafat Yunani Kuno yang tadinya merupakan suatu kesatuan kemudian menjadi terpecah-pecah (Bertens, 1987, Nuchelmans, 1982). Lebih lanjut Nuchelmans (1982), mengemukakan bahwa dengan munculnya ilmu pengetahuan alam pada abad ke 17, maka mulailah terjadi perpisahan antara filsafat dan ilmu pengetahuan. Dengan demikian dapatlah dikemukakan bahwa sebelum abad ke 17 tersebut ilmu pengetahuan adalah identik dengan filsafat. Pendapat tersebut sejalan dengan pemikiran Van Peursen 15
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
(1985), yang mengemukakan bahwa dahulu ilmu merupakan bagian dari filsafat, sehingga definisi tentang ilmu bergantung pada sistem filsafat yang dianut. Dalam perkembangan lebih lanjut menurut Koento Wibisono (1999), filsafat itu sendiri telah mengantarkan adanya suatu konfigurasi dengan menunjukkan bagaimana “pohon ilmu pengetahuan” telah tumbuh mekarbercabang secara subur. Masing-masing cabang melepaskan diri dari batang filsafatnya, berkembang mandiri dan masing-masing mengikuti metodologinya sendiri-sendiri. Dengan demikian, perkembangan ilmu pengetahuan semakin lama semakin maju dengan munculnya ilmu-ilmu baru yang pada akhirnya memunculkan pula sub-sub ilmu pengetahuan baru bahkan kearah ilmu pengetahuan yang lebih khusus lagi seperti spesialisasi-spesialisasi. Oleh karena itu tepatlah apa yang dikemukakan oleh Van Peursen (1985), bahwa ilmu pengetahuan dapat dilihat sebagai suatu sistem yang jalin-menjalin dan taat asas (konsisten) dari ungkapan-ungkapan yang sifat benar-tidaknya dapat ditentukan. Terlepas dari berbagai macam pengelompokkan atau pembagian dalam ilmu pengetahuan, sejak F.Bacon (1561-1626) mengembangkan semboyannya “Knowledge Is Power”, kita dapat mensinyalir bahwa peranan ilmu pengetahuan terhadap kehidupan manusia, baik individual maupun sosial menjadi sangat menentukan. Karena itu implikasi yang timbul menurut Koento Wibisono (1984), adalah bahwa ilmu yang satu sangat erat hubungannya dengan cabang ilmu yang lain serta semakin kaburnya garis batas antara ilmu dasar-murni atau teoritis dengan ilmu terapan atau praktis. Untuk mengatasi gap antara ilmu yang satu dengan ilmu yang lainnya, dibutuhkan suatu bidang ilmu yang dapat menjembatani serta mewadahi perbedaan yang muncul. Oleh karena itu, maka bidang filsafatlah yang mampu mengatasi hal tersebut. Hal ini senada dengan pendapat Immanuel Kant (dalam Kunto Wibisono dkk., 1997) yang menyatakan bahwa filsafat merupakan disiplin ilmu yang mampu menunjukkan batas-batas dan ruang lingkup pengetahuan manusia secara tepat. Oleh sebab itu Francis Bacon (dalam The Liang Gie, 1999) menyebut filsafat sebagai ibu agung dari ilmu-ilmu (the great mother of the sciences).
16
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Lebih lanjut Koento Wibisono dkk. (1997) menyatakan, karena pengetahuan ilmiah atau ilmu merupakan “a higher level of knowledge”, maka lahirlah filsafat ilmu sebagai penerusan pengembangan filsafat pengetahuan. Filsafat ilmu sebagai cabang filsafat menempatkan objek sasarannya: Ilmu (Pengetahuan). Bidang garapan filsafat ilmu terutama diarahkan pada komponenkomponen yang menjadi tiang penyangga bagi eksistensi ilmu yaitu: ontologi, epistemologi dan aksiologi. Hal ini didukung oleh Israel Scheffler (dalam The Liang Gie, 1999), yang berpendapat bahwa filsafat ilmu mencari pengetahuan umum tentang ilmu atau tentang dunia sebagaimana ditunjukkan oleh ilmu. Interaksi antara ilmu dan filsafat mengandung arti bahwa filsafat dewasa ini tidak dapat berkembang dengan baik jika terpisah dari ilmu. Ilmu tidak dapat tumbuh dengan baik tanpa kritik dari filsafat. Dengan mengutip ungkapan dari Michael Whiteman (dalam Koento Wibisono dkk.1997), bahwa ilmu kealaman persoalannya dianggap bersifat ilmiah karena terlibat dengan persoalan-persoalan filsafati sehingga memisahkan satu dari yang lain tidak mungkin. Sebaliknya, banyak persoalan filsafati sekarang sangat memerlukan landasan pengetahuan ilmiah supaya argumentasinya tidak salah. Lebih jauh, Jujun S. Suriasumantri (1982:22), –dengan meminjam pemikiran Will Durant– menjelaskan hubungan antara ilmu dengan filsafat dengan mengibaratkan filsafat sebagai pasukan marinir yang berhasil merebut pantai untuk pendaratan pasukan infanteri. Pasukan infanteri ini adalah sebagai pengetahuan yang diantaranya adalah ilmu. Filsafatlah yang memenangkan tempat berpijak bagi kegiatan keilmuan. Setelah itu, ilmulah yang membelah gunung dan merambah hutan, menyempurnakan kemenangan ini menjadi pengetahuan yang dapat diandalkan. Untuk melihat hubungan antara filsafat dan ilmu, ada baiknya kita lihat pada perbandingan antara ilmu dengan filsafat dalam bagan di bawah ini, (disarikan dari Drs. Agraha Suhandi, 1992)
17
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Ilmu Segi-segi yang dipelajari dibatasi agar dihasilkan rumusan-rumusan yang pasti Obyek penelitian yang terbatas
Tidak menilai obyek dari suatu sistem nilai tertentu.
Bertugas memberikan jawaban
Filsafat Mencoba merumuskan pertanyaan atas jawaban. Mencari prinsip-prinsip umum, tidak membatasi segi pandangannya bahkan cenderung memandang segala sesuatu secara umum dan keseluruhan Keseluruhan yang ada Menilai obyek renungan dengan suatu makna, misalkan , religi, kesusilaan, keadilan dsb. Bertugas mengintegrasikan ilmu-ilmu
Soal : 5. Ada 5 kriteria yang digunakan unuk menentukan teori ilmiah. Uraikanlah kelima kriteria itu dengan menuliskan contoh Jawab : Filsafat ilmu memiliki tiga cabang kajian yaitu ontologi, epistemologi dan aksiologi. Ontologi membahas tentang apa itu realitas. Dalam hubungannya dengan ilmu pengetahuan, filsafat ini membahas tentang apa yang bisa dikategorikan sebagai objek ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, realitas hanya dibatasi pada hal-hal yang bersifat materi dan kuantitatif. Ini tidak terlepas dari pandangan yang materialistik-sekularistik. Kuantifikasi objek ilmu pengetahuan berari bahwa aspek-aspek alam yang bersifat kualitatif menjadi diabaikan. Epistemologis membahas masalah metodologi ilmu pengetahuan. Dalam ilmu pengetahuan modern, jalan bagi diperolehnya ilmu pengetahuan adalah metode ilmiah dengan pilar utamanya rasionalisme dan empirisme. Aksiologi menyangkut tujuan diciptakannya ilmu pengetahuan, mempertimbangkan aspek pragmatis-materialistis. Dari semua pengetahuan, maka ilmu merupakan pengetahuan yang aspek ontologi, epistemologi, dan aksiologinya telah jauh lebih berkembang dibandingkan dengan pengetahuan-pengetahuan lain, dilaksanakan secara 18
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
konsekuen dan penuh disiplin (Jujun S.Suriasumantri, 1998). Kerangka filsafat di atas akan memudahkan pemahaman mengenai keterkaitan berbagai ilmu dalam mencari kebenaran. 1. TEORI KEBENARAN KORESPONDENSI Teori kebenaran korespondensi adalah teori yang berpandangan bahwa pernyataan-pernyataan adalah benar jika berkorespondensi terhadap fakta atau pernyataan yang ada di alam atau objek yang dituju pernyataan tersebut. Kebenaran atau suatu keadaan dikatakan benar jika ada kesesuaian antara arti yang dimaksud oleh suatu pendapat dengan fakta. Suatu proposisi adalah benar apabila terdapat suatu fakta yang sesuai dan menyatakan apa adanya. Teori ini sering diasosiasikan dengan teori-teori empiris pengetahuan. Gejala-gejala alamiah, menurut kaum empiris, adalah bersifat kongkret dan dapat dinyatakan lewat panca indera manusia. Gejala itu bila ditelaah mempunyai beberapa karakteristik tertentu. Logam bila dipanaskan akan memuai. Air akan mengalir ke tempat yang rendah. Pengetahuan inderawi bersifat parsial. Hal ini disebabkan adanya perbedaan antara indera yang satu dengan yang lain dan berbedanya objek yang dapat ditangkap indera. Perbedaan sensivitas tiap indera dan organ-organ tertentu menyebabkan kelemahan ilmu empiris. Ilmu pengetahuan empiris hanyalah merupakan salah satu upaya manusia dalam menemukan kebenaran yang hakiki dengan segala kelebihan dan kekurangannya. Penyusunan pengetahuan secara empiris cenderung menjadi suatu kumpulan fakta yang belum tentu bersifat konsisten, dan mungkin saja bersifat kontradiktif. Adanya kecenderungan untuk mengistimewakan ilmu eksakta sebagai ilmu empiris untuk mengatasi berbagai masalah yang dihadapi manusia tidak selalu tepat. Pengistimewaan pengetahuan empiris secara kultural membuat manusia modern seperti pabrik. Semua cabang kebudayaan yang terbentuk menjadi produksi yang bersifat massal. Keberhasilan ilmu eksakta yang berdasarkan empirisme dalam mengembangkan teknologi -ketika berhadapan dengan ”kegagalan ” ilmu-ilmu human dalam menjawab masalah manusia- membawa dampak buruk terhadap kedudukan dan pengembangan ilmu-ilmu human. Analisis filsafat tentang kenyataan ini harus ditempatkan secara proporsional, karena merupakan suatu usaha ilmiah untuk membantu manusia mengungkap misteri kehidupannya secara utuh. 2. TEORI KEBENARAN KOHERENSI ATAU KONSISTENSI Teori kebenaran koherensi adalah teori kebenaran yang didasarkan kepada kriteria koheren atau konsistensi. Suatu pernyataan disebut benar bila 19
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
sesuai dengan jaringan komprehensif dari pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara logis. Pernyataan-pernyataan ini mengikuti atau membawa kepada pernyataan yang lain. Seperti sebuah percepatan terdiri dari konsepkonsep yang saling berhubungan dari massa, gaya dan kecepatan dalam fisika. Kebenaran tidak hanya terbentuk oleh hubungan antara fakta atau realitas saja, tetapi juga hubungan antara pernyataan-pernyataan itu sendiri. Dengan kata lain, suatu pernyataan adalah benar apabila konsisten dengan pernyataanpernyataan yang terlebih dahulu kita terima dan kita ketahui kebenarannya. Salah satu dasar teori ini adalah hubungan logis dari suatu proposisi dengan proposisi sebelumnya. Proposisi atau pernyataan adalah apa yang dinyatakan, diungkapkan dan dikemukakan atau menunjuk pada rumusan verbal berupa rangkaian kata-kata yang digunakan untuk mengemukakan apa yang hendak dikemukakan. Proposisi menunjukkan pendirian atau pendapat tentang hubungan antara dua hal dan merupakan gabungan antara faktor kuantitas dan kualitas. Contohnya tentang hakikat manusia, baru dikatakan utuh jika dilihat hubungan antara kepribadian, sifat, karakter, pemahaman dan pengaruh lingkungan. Psikologi strukturalisme berusaha mencari strukturasi sifat-sifat manusia dan hubungan-hubungan yang tersembunyi dalam kepribadiannya. Pengetahuan rasional yang berdasarkan logika tidak hanya terbatas pada kepekaan indera tertentu dan tidak hanya tertuju pada objek-objek tertentu. Gagasan rasionalistis dan positivistis cenderung untuk menyisihkan seluruh pemahaman yang didapat secara refleksi. Pemikiran rasional cenderung bersifat solifistik dan subyektif. Adanya keterkaitan antara materi dengan non materi, dunia fisik dan non fisik ditolak secara logika. Apabila kerangka ini digunakan secara luas dan tak terbatas, maka manusia akan kehilangan cita rasa batiniahnya yang berfungsi pokok untuk menumbuhkan apa yang didambakan seluruh umat manusia yaitu kebahagiaan. 3. TEORI KEBENARAN PRAGMATIS Teori kebenaran pragmatis adalah teori yang berpandangan bahwa arti dari ide dibatasi oleh referensi pada konsekuensi ilmiah, personal atau sosial. Benar tidaknya suatu dalil atau teori tergantung kepada berfaedah tidaknya dalil atau teori tersebut bagi manusia untuk kehidupannya. Kebenaran suatu pernyataan harus bersifat fungsional dalam kehidupan praktis. Menurut teori ini proposisi dikatakan benar sepanjang proposisi itu berlaku atau memuaskan. Apa yang diartikan dengan benar adalah yang berguna (useful) dan yang diartikan salah adalah yang tidak berguna (useless). Bagi para pragmatis, batu ujian kebenaran adalah kegunaan (utility), dapat dikerjakan 20
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
(workability) dan akibat atau pengaruhnya yang memuaskan (satisfactory consequences). Teori ini tidak mengakui adanya kebenaran yang tetap atau mutlak. Francis Bacon pernah menyatakan bahwa ilmu pengetahuan harus mencari keuntungan-keuntungan untuk memperkuat kemampuan manusia di bumi. Ilmu pengetahuan manusia hanya berarti jika nampak dalam kekuasaan manusia. Dengan kata lain ilmu pengetahuan manusia adalah kekuasaan manusia. Hal ini membawa jiwa bersifat eksploitatif terhadap alam karena tujuan ilmu adalah mencari manfaat sebesar mungkin bagi manusia. Manusia dengan segala segi dan kerumitan hidupnya merupakan titik temu berbagai disiplin ilmu. Hidup manusia seutuhnya merupakan objek paling kaya dan paling padat. Ilmu pengetahuan seyogyanya bisa melayani keperluan dan keselamatan manusia. Pertanyaan-pertanyaan manusia mengenai dirinya sendiri, tujuan-tujuannya dan cara-cara pengembangannya ternyata belum dapat dijawab oleh ilmu pengetahuan yang materialis-pragmatis tanpa referensi kepada nilainilai moralitas. Aksiologi ilmu pengetahuan modern yang dibingkai semangat pragmatismaterialis ini telah menyebabkan berbagai krisis lingkungan hidup, mulai dari efek rumah kaca akibat akumulasi berlebihan CO2, pecahnya lapisan ozon akibat penggunaan freon berlebihan, penyakit minimata akibat limbah methylmercury hingga bahaya nuklir akibat persaingan kekuasaan antar negara. Ketiadaan nilai dalam ilmu pengetahuan modern yang menjadikan sains untuk sains, bahkan sains adalah segalanya, telah mengakibatkan krisis kemanusiaan. Krisis lingkungan dan kemanusiaan, mulai dari genetic engineering hingga foules solitaire (kesepian dalam keramaian, penderitaan dalam kemelimpahan). Manusia telah tercerabut dari aspek-aspek utuhnya, cinta, kehangatan, kekerabatan, dan ketenangan. Kedua krisis global ini telah menghantui sebagian besar lingkungan dan masyarakat modern yang materialis-pragmatis. 4. TEORI KEBENARAN PERFORMATIF Teori ini menyatakan bahwa kebenaran diputuskan atau dikemukakan oleh pemegang otoritas tertentu. Contoh pertama mengenai penetapan 1 Syawal. Sebagian muslim di Indonesia mengikuti fatwa atau keputusan MUI atau pemerintah, sedangkan sebagian yang lain mengikuti fatwa ulama tertentu atau organisasi tertentu. Contoh kedua adalah pada masa rezim orde lama berkuasa, PKI mendapat tempat dan nama yang baik di masyarakat. Ketika rezim orde baru, PKI adalah partai terlarang dan semua hal yang berhubungan atau memiliki atribut PKI tidak berhak hidup di Indonesia. Contoh lainnya pada masa pertumbuhan 21
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
ilmu, Copernicus (1473-1543) mengajukan teori heliosentris dan bukan sebaliknya seperti yang difatwakan gereja. Masyarakat menganggap hal yang benar adalah apa-apa yang diputuskan oleh gereja walaupun bertentangan dengan bukti-bukti empiris. Dalam fase hidupnya, manusia kadang kala harus mengikuti kebenaran performatif. Pemegang otoritas yang menjadi rujukan bisa pemerintah, pemimpin agama, pemimpin adat, pemimpin masyarakat, dan sebagainya. Kebenaran performatif dapat membawa kepada kehidupan sosial yang rukun, kehidupan beragama yang tertib, adat yang stabil dan sebagainya. Masyarakat yang mengikuti kebenaran performatif tidak terbiasa berpikir kritis dan rasional. Mereka kurang inisiatif dan inovatif, karena terbiasa mengikuti kebenaran dari pemegang otoritas. Pada beberapa daerah yang masyarakatnya masih sangat patuh pada adat, kebenaran ini seakan-akan kebenaran mutlak. Mereka tidak berani melanggar keputusan pemimpin adat dan tidak terbiasa menggunakan rasio untuk mencari kebenaran. 5. TEORI KEBENARAN KONSENSUS Suatu teori dinyatakan benar jika teori itu berdasarkan pada paradigma atau perspektif tertentu dan ada komunitas ilmuwan yang mengakui atau mendukung paradigma tersebut. Banyak sejarawan dan filosof sains masa kini menekankan bahwa serangkaian fenomena atau realitas yang dipilih untuk dipelajari oleh kelompok ilmiah tertentu ditentukan oleh pandangan tertentu tentang realitas yang telah diterima secara apriori oleh kelompok tersebut. Pandangan apriori ini disebut paradigma oeh Kuhn dan world view oleh Sardar. Paradigma ialah apa yang dimiliki bersama oleh anggota-anggota suatu masyarakat sains atau dengan kata lain masyarakat sains adalah orang-orang yang memiliki suatu paradigma bersama. Masyarakat sains bisa mencapai konsensus yang kokoh karena adanya paradigma. Sebagai konstelasi komitmen kelompok, paradigma merupakan nilainilai bersama yang bisa menjadi determinan penting dari perilaku kelompok meskipun tidak semua anggota kelompok menerapkannya dengan cara yang sama. Paradigma juga menunjukkan keanekaragaman individual dalam penerapan nilai-nilai bersama yang bisa melayani fungsi-fungsi esensial ilmu pengetahuan. Paradigma berfungsi sebagai keputusan yuridiktif yang diterima dalam hukum tak tertulis. Pengujian suatu paradigma terjadi setelah adanya kegagalan berlarut-larut dalam memecahkan masalah yang menimbulkan krisis. Pengujian ini adalah 22
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
bagian dari kompetisi di antara dua paradigma yang bersaingan dalam memperebutkan kesetiaan masyarakat sains. Falsifikasi terhadap suatu paradigma akan menyebabkan suatu teori yang telah mapan ditolak karena hasilnya negatif. Teori baru yang memenangkan kompetisi akan mengalami verifikasi . Proses verifikasi-falsifikasi memiliki kebaikan yang sangat mirip dengan kebenaran dan memungkinkan adanya penjelasan tentang kesesuaian atau ketidaksesuaian antara fakta dan teori. Pengalihkesetiaan dari paradigma lama ke paradigma baru adalah pengalaman konversi yang tidak dapat dipaksakan. Adanya perdebatan antar paradigma bukan mengenai kemampuan relatif suatu paradigma dalam memecahkan masalah, tetapi paradigma mana yang pada masa mendatang dapat menjadi pedoman riset untuk memecahkan berbagai masalah secara tuntas. Adanya jaringan yang kuat dari para ilmuwan sebagai peneliti konseptual, teori, instrumen, dan metodologi merupakan sumber utama yang menghubungkan ilmu pengetahuan dengan pemecahan berbagai masalah. Dalam ilmu astronomi, keunggulan kuantitatif tabel-tabel Rudolphine dan Keppler dibandingkan yang hitungan manual Ptolomeus merupakan faktor utama dalam konversi para astronom kepada Copernicanisme. Dalam fisika modern, teori relativitas umum Einsten mendapat ejekan karena ruang itu tidak mungkin melengkung. Untuk membuat transisi kepada alam semesta Einstein, seluruh konsep ruang, waktu, materi, gaya, dan sebagainya harus diubah dan di reposisi ulang. Hanya orang-orang yang bersama-sama menjalani atau gagal menjalani transformasi akan bisa menemukan dengan tepat apa yang mereka sepakati dan apa yang tidak. KESIMPULAN Uraian dan ulasan mengenai berbagai teori kebenaran di atas telah menunjukkan kelebihan dan kekurangan dari berbagai teori kebenaran. Teori Kebenaran Kelebihan Kekurangan Korespondensi sesuai dengan fakta dan empiris kumpulan fakta-fakta Koherensi bersifat rasional dan Positivistik Mengabaikan hal-hal non fisik Pragmatis fungsional-praktis tidak ada kebenaran mutlak Performatif Bila pemegang otoritas benar, pengikutnya selamat Tidak kreatif, inovatif dan kurang inisiatif Konsensus Didukung teori yang kuat dan masyarakat ilmiah Perlu waktu lama untuk menemukan kebenaran. Teori kebenaran yang menurut penulis paling sesuai pada masa kini adalah Teori Kebenaran Konsensus. Dengan kekuatan paradigma dan masyarakat sains pendukungnya, diharapkan kebenaran konsensus dapat menjawab berbagai problema kehidupan manusia di masa depan. Krisis global berupa krisis lingkungan 23
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
dan krisis kemanusiaan yang selama ini telah dialami oleh manusia karena Sains Modern, cepat atau lambat akan dijawab oleh konsensus baru dengan paradigma yang menghasilkan metode yang lebih tepat dalam mengantisipasi krisis global tersebut. Teori kebenaran yang paling lemah argumennya, adalah kebenaran performatif. Kebenaran yang kuat adalah yang didasari oleh rasio, logika dan fakta empiris serta fungsional bagi umat manusia. Kebenaran yang didukung luas oleh masyarakat ilmiah, dan menjadi rujukan kebenaran tidak hanya dalam sains tetapi juga masalah budaya dan sosial lebih baik dan kuat lagi. Kelima macam teori kebenaran di atas adalah berbagai cara manusia memperoleh kebenaran yang sifatnya relatif atau nisbi. Kebenaran absolut atau kebenaran mutlak berasal dari Tuhan yang disampaikan kepada manusia melalui wahyu. Alam dan kehidupan merupakan sumber kebenaran yang tersirat dari tuhan untuk dipelajari dan diobservasi guna kebaikan umat manusia. Soal : 6. Satu teori dalam ilmu pengetahuan tidak mungkin mutlak kebenarannya. Dengan kata lain, teori ilmu pengetahuan harus memiliki kesalahan. Uraikan pengertian dan interpretasi pernyataan ini. Jawab : Karl R. Popper (1902-1994) seorang pemikir Jerman yang sebenarnya aktif di Lingkaran Wina, namun ia menolak prinsip verifikasi (pembuktian teori lewat cocoknya fakta-fakta). Teori merupakan salah satu teori utama dalam Lingkaran Wina, melalui teori ini, Lingkaran Wina menentukan batas antara pengetahuan dan non-pengetahuan. Bila suatu pengetahuan tidak ditemukan fakta pendukungnya atau tidak bisa di verifikasi, maka ia bukanlah pengetahuan. Popper menolak verifikasi dan mengajukan penggantinya, yaitu falsifikasi. Falsifikasi adalah kebalikan dari verifikasi, yaitu pengguguran suatu teori lewat fakta. Berikut ini akan dikemukakan beberapa inti pemikiran Popper. Popper menegaskan bahwa ilmu pengetahuan tidak hanya dihasilkan dan bekerja dengan logika induksi semata. Logika induksi adalah logika penarikan kesimpulan umum melalui pengumpulan fakta-fakta konkret. Fakta-fakta konkret yang terkumpul atau dikumpulkan digunakan untuk membenarkan suatu teori. Popper menolak logika ini dan mengajukan kelemahannya. Menurut Popper, logika induksi akan menuntut ilmuwan berfokus pada fakta-fakta yang mendukung saja sembari mengabaikan fakta-fakta yang 24
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
mementahkan teori. Padahal suatu teori ketika diakurkan dengan kenyataan berkemungkinan memiliki anomali (suatu peristiwa yang berbeda dari yang diramalkan suatu teori. Oleh karena itu, menurut Popper daripada bersusah payah mengumpulkan fakta-fakta yang membenarkan, lebih baik ilmuwan menggunakan waktunya untuk mencari fakta anomali. Pandangan rasionalistis beranggapan bahwa suatu teori baru akan diterima kalau sudah terbukti bahwa ia dapat meruntuhkan teori lama yang ada sebelumnya. Adapun pengujian terhadap kekuatan dua teori akan dilakukan melalui suatu tes empiris, yaitu suatu tes yang direncanakan untuk memfalsifikasi apa yang diujinya. Kalau dalam tes tersebut sebuah teori ternyata terfalsifikasi, maka teori tersebut akan dianggap batal, sedangkan teori yang bertahan dan lolos dalam akan diterima, sampai ditemukan cara pengujian yang lebih ketat untuk mengujinya kembali. Disini pengetahuan menjadi maju, bukan karena hasil akumulasi pengetahuan dari waktu ke waktu, melainkan oleh proses eliminasi yang semakin keras terhadap kemungkinan kekhilafan dan kesalahan. Dengan demikian apa yang dimaksud dengan objektif tidak pernah akan tercapai, karena setiap ilmu memiliki kemungkinan salah atau keliru. Yang bisa dicapai dalam sebuah ilmu hanyalah mengurangi kadar kesalahan sampai sejauh mungkin dapat mendekati kebenaran objektif. Pengetahuan tidak maju secara kumulatif, melainkan hanya berupa suatu aproximasi (semakin mendekati) kebenaran. Dari sisi lain hipotesis suatu pengetahuan mengharuskan adanya error elimination yang terus-menerus, yang berarti melakukan kritik yang terusmenerus. Maka kemajuan pengetahuan sebenarnya berarti pula meningkatnya sikap kritis. P1
TT
EE
P2
(Baca : Problem pertama
Teori Tentatif Problem 2)
Error Eliminatiom
Berarti pengetahuan akan dimulai dengan suatu masalah (P1). Untuk memecahkan masalah tersebut diajukan suatu teori yang bersifat tentatif. Kalau teori tersebut cukup sesuai dan berguna, maka dengan bantuannya dapat tersingkir kekeliruan-kekeliruan yang antara lain telah menimbulkan P1. Akan tetapi dengan dipecahkannya P1 maka serentak dengan itu lahir persoalan baru 25
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
(P2) -tidak peduli apakah kita menghendaki atau tidak) dan P2 kembali harus diselesaikan dengan prosedur pada P1 dan begitu seterusnya. Dari uraian Popper ini dapat dikemukakan beberapa kesimpulan. Pertama, teori dijelaskan dalam hubungannya dengan masalah, karena pengetahuan selalu dimulai dengan masalah. Untuk mengatasi masalah itu harus dimunculkan teori tentatif. Teori tentatif berarti teori yang diduga dapat menyelesaikan masalah, yang baru terbukti setelah ia secara empiris dapat menyelesaikan masalah. Kedua, fungsi teori tentatif adalah “menyingkirkan kontradiksi” antara teori dan kenyataan yang diamati. Bila teori tentatif sanggup menyingkirkan kontradiksi maka teori tentatif itu dapat terus digunakan. Teori tentatif merupakan hipotesis atau prognosis (rumusan yang bisa benar atau salah) yang diturunkan dari teori utama untuk menyelesaikan suatu masalah. Bila teori tentatif tidak terbukti menyelesaikan masalah, maka teori utamanya dianggap gagal atau tidak berlaku. Falsifikasi adalah pengujian pengetahuan secara asimetris, dimana kebenaran teori tersebut hanya sekedar dugaan sedangkan perkiraan kesalahan merupakan suatu kepastian. Falsifikasi dijalankan menurut aturan logika modes tollens, yang berarti bahwa konsekuensi yang ditarik dari suatu teori terbukti salah maka teori itu sendiri pun pasti salah. Dari teori falsifikasi ini, Popper menyimpulkan bahwa data positif tidak pernah menjadi dasar pengetahuan. Yang menjadi dasar pengetahuan, terciptanya teori baru atau runtuhnya teori lama, adalah kemampuan teori untuk di falsifikasi. Kemudian Popper menjelaskan bahwa data se-objektif apapun selalu sudah hasil interpretasi berdasarkan teori tertentu. Disinilah kemudian Popper memperkenalkan apa yang dinamakannya sebagai dunia satu, yaitu dunia pengetahuan objektif. Dunia tiga dibedakan dari dunia satu (dunia fisik) dan dunia dua (dunia kesadaran). Bagi Popper yang benar-benar objektif (terlepas dari pengaruh subjek dan nilai) adalah dunia tiga. Karena dunia satu (dunia bendabenda) yang diamati adalah benda-benda yang dipilih dan ditafsirkan berdasar dunia satu. Dunia dua (kesadaran) juga demikian, kesadaran manusia tidak pernah merupakan kesadaran hampa melainkan selalu berupa kesadaran yang terisi oleh pelbagai teori, kepercayaan, dam pengetahuan yang berasal dari dunia tiga. Dunia tiga dinamakan dunia pengetahuan objektif, karena pengetahuan pengetahuan yang terkumpul dalam dunia tiga tidak lagi dapat di kontrol akibatakibatnya oleh subjek yang melahirkannya. Dia berkembang menurut hukumnya sendiri. Konsep-konsep Popper ini kemudian banyak dikritik oleh Thomas Kuhn, seorang filsuf yang menuliskan gagasannya dalam buku The Structure of Scientific Refolution (1962). Kuhn mengatakan, Popper dianggap sebagai pendukung 26
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
positivisme terselubung, karena Popper masih mempercayai kesatuan ilmu. Padahal menurut Kuhn, ilmu itu tidaklah tunggal melainkan plural. Ilmu-ilmu atau teori-teori yang muncul dari paradigma tertentu. Paradigma dapat dianggap sebagai super teori yang menjadi sumber bagi munculnya teori-teori. (Gahral Adian. 2002:85). Paradigma adalah : (1) kerangka konseptual untuk mengklasifikasi dan menerangkan objek-objek fisikal alam; (2) patokan untuk menspesifikasi metode yang tepat, teknik-teknik, dan instrumen penelitian; (3) kesepakatan tentang tujuan-tujuan kognitif yang absah (Gahral, 2003: 86). Paradigma menjadi kerangka konseptual dalam memersepsi kenyataan. Suatu pemikiran dapat berkembang menjadi paradigma bila : (1) Memiliki cukup banyak pengikut, yang berarti ada banyak komunitas ilmiah yang mendukungnya (2) Pemikiran tersebut membicarakan dan membuka cukup banyak daerah persoalan yang merangsang para ilmuwan untuk mencari pemecahannya. Komunitas ilmuwan itulah yang kemudian memberikan legitimasi kebenaran suatu teori jadi suatu paradigma mendapatkan legitimasinya bukan secara objektif melainkan secara intersubjektif (antar ilmuwan). Positivisme berkembang bukan karena dirinya objektif, melainkan karena ada komunitas ilmuwan yang menjunjung dan terus memperbaharuinya. Sementara itu, suatu paradigma selalu memiliki dua sisi : sisi ilmiah empiris yang dapat di-tes, dan sisi metafisis (keyakinan tentang dunia dan manusia). Seseorang menjadi penganut paradigma tertentu biasanya karena tertarik pada sisi metafisis yang tidak bisa di-tes secara empriris, karena itu ketertarikan dan ketidaktertarikan pada suatu paradigma tak bisa di falsifikasi. Bagi Kuhn, Popper sangat dipengaruhi oleh idea of progress, yaitu keyakinan bahwa perkembangan pengetahuan akan berjalan secara linear dan bahwa setiap pergantian paradigma lama oleh paradigma baru selalu berarti kemajuan. Kuhn meyakini idea of progress tidaklah benar, atau suatu model yang tidak memiliki bukti dalam sejarah ilmu pengetahuan. Pertama, apabila suatu eksperimen tidak berhasil membuktikan prognosisnya, maka yang pertama harus disalahkan bukanlah teori utama yang menjadi dasar prognosis itu, melainkan ilmuwan yang merencanakan prosedur penelitian. Kedua, eksperimen yang secara sungguh-sungguh hendak menjatuhkan suatu teori (experimentum crucis) merupakan peristiwa yang sangat langka. Experimentum crucis diadakan bila terdapat krisis yang melanda suatu bidang ilmu tertentu, dan karena itu mengundang para ilmuwan untuk mengatasinya. Krisis 27
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
muncul bila suatu hipotesis tidak terbukti dalam suatu tes empiris, namun hipotesis tersebut tidak langsung dibatalkan melainkan dimasukkan dalam kelompok anomali, dan apabila anomali itu mulai bertambah banyak dan kian menumpuk, barulah kemudian timbul krisis. Ketiga, Popper tidak membedakan dua jenis kerja ilmiah, yaitu kerja ilmiah normal dan kerja ilmiah revolusioner. Ilmu normal adalah tahap pengembangan dan penerapan suatu teori. Kekeliruan Popper adalah menganggap seluruh kerja ilmiah sebagai kerja revolusi yang mengetes suatu teori kemudian menggugurkannya. Popper mengabaikan cara kerja ilmiah normal, padahal banyak ilmuwan yang disiapkan untuk mengikuti cara kerja ilmiah normal ketimbang cara kerja ilmiah revolusioner. Kerja ilmiah normal merupakan dasar dari kerja ilmiah revolusioner, karena prosedur experimentum crucis direncanakan justru pada tahap ilmiah normal; jadi tanpa kerja ilmiah normal, revolusi ilmiah sama sekali tidak mungkin ada. Simpulnya, revolusi ilmiah bagaikan rencana-rencana baru yang membawa perubahan penting, sedangkan ilmu normal kerja rutin keilmuan yang bila tidak ada akan mengakibatkan proyek ilmiah tak dapat terpikirkan. Keempat, setiap teori dengan sendirinya mengandung sifat kebal terhadap falsifikasi. Kekebalan terhadap falsifikasi ini disebabkan karena setiap teori selalu mengandung unsur hukum utama dan hukum empiris. Hukum utama merupakan unsur logis dari suatu teori, sedangkan unsur empiris menetapkan seberapa luas penerapan teori itu dalam kenyataan. Bidang terapan suatu teori sebenarnya dapat diperluas ke segala arah, namun ketika penerapann itu tidak berhasil, tidak serta merta teori utama (unsur hukum) di falsifikasi. Bila teori terapan gagal maka ada dua kemungkinan yang terjadi : (1) Teori bersangkutan belum bisa diperluas ke bidang terapannya (2) Bidang bersangkutan ternyata bukan bidang yang tepat untuk penerapan teori tersebut. Maka dengan dua kemungkinan ini, kegagalan teori terapan dalam tes empiris bukan menggugurkan teori inti, melainkan memperluas atau mempersempit bidang terapan suatu teori. Untuk lebih memahami pemikiran Kuhn, ada baiknya kita bicarakan Kuhn secara terstuktur : P1 P2
SN
A
K
P1 : Paradigma 1 SN : Ilmu Pengetahuan Normal A : Anomali 28
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
K : Krisis P2 : Paradigma 2
a. b. c.
d.
e.
f.
Dari model diatas dapat dikemukakan bahwa : Paradigma menjadi patokan bagi ilmu umtuk melakukan riset, memecahkan masalah bahkan menyeleksi masalah apa saja yang layak dibicarakan. Kemajuan ilmu pengetahuan berawal dari perjuangan kompetitif berbagai teori untuk mendapatkan legitimasi intersubjektif dari komunitas ilmuwan Teori yang memperoleh legitimasi sosial akan tampil menjadi paradigma. Ini adalah periode ilmu pengetahuan normal yang menjalankan pengetahuan untuk melakukan pembenaran berdasarkan paradigma yang dianut. Ketika suatu teori/ ilmu pengetahuan normal tidak dapat menyelesaikan masalah, teori itu tidak langsung di falsifikasi melainkan dianggap memiliki anomali. Ketika anomali itu terus semakin melebar, terjadilah krisis ilmu pengetahuan normal. Krisis memaksa komunitas ilmuwan mempertanyakan kembali secara radikal dasar-dasar ontologis, metodologis, dan nilai-nilai yang selama ini dianutnya. Krisis pada akhirnya mendorong lahirnya paradigma baru yang sama sekali berbeda dengan paradigma sebelumnya. Catatan : kita tidak mungkin membandingkan satu paradigma dengan paradigma lain yang memiliki asumsi yang berbeda. Kuhn menyatakan, “Dua ilmuwan yang bekerja pada dua paradigma yang berbeda “.
Soal : 7. Jelaskan pegertian logika positivistik. Jawab : Dalam dunia filsafat perdebatan antara epistemologi positivistik dengan epistemologi humanistik sebenarnya sudah lama terjadi. Terutama oleh filosuf Jerman Wilhelm Dilthey (1833-1911) dan Windeband, dimana keduanya telah memasalahkan apa yang mereka namakan ilmu ideografis dan ilmu nomotetis. Ilmu nomotetis (beta) yang berkaitan dengan pengkajian ilmu alam (natural science) dengan gejalanya berulang-ulang, memungkinkan terciptanya sebuah hukum. Sebaliknya ilmu ideografis (alfa) yang berhubungan dengan gejala yang unik dan tak berulang, maka dibutuhkan metode yang berbeda dengan metode ilmu alam.
29
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Sementara itu dalam ilmu sosial, khususnya sosiologi, biasanya yang disebut-sebut sebagai pelopor epistemologi positivistik adalah Auguste Comte (1798-1875). Dia pula lah yang menamakan sosiologi sebagai fisika sosial. Namun sebenarnya yang paling berjasa dalam penggunaan metode itu adalah Emile Durkheim (1858-1917). Kendatipun Karl Popper (1906-1994) lah yang sebenarnya paling berjasa mempromosikan logika positivistik dalam beberapa bukunya antara lain : The Logic of Scientific Discovery (1959) dan Objective Knowledge (1973). Paradigma positivistik ini pada dasarnya terikat pada ide yang memandang sosiologi sebagai ilmu, memiliki kesamaan dengan ilmu alam sebagai ilmu. Dan salah satu keyakinan yang paling penting dari pandangan ini adalah adanya keyakinan bahwa fenomena sosial pada dasarnya memiliki pola, serta tunduk pada hukum-hukum yang determenistik; sebagaimana hukum-hukum yang mengatur hukum ilmu alam (Poluma, 1984:5) Emile Durkheim adalah salah satu tokoh yang menghasilkan karya klasik yang menjadi tumpuan teori positivistik. Ia menyebut konsep di atas sebagai “fakta sosial”. Dan fakta sosial itu adalah sesuatu konsep yang memiliki realitas empiris di dalam imajinasi individu. Fakta sosial antara lain meliputi : status perkawinan, usia, agama, kondisi ekonomi, tingkat bunuh diri dan kejahatan. Fakta sosial atau variabel itu konkrit, dapat diamati dan dapat diukur. Dalam penelitiannya tentang bunuh diri, melalui data statistik, ia melihat keajegan yang mencolok dalam data yang ditemui, ternyata gejala itu, tidak dapat dijelaskan melalui faktor-faktor iklim, keturunan, penyakit jiwa dan sebagainya. Namun keajegan itu harus dijelaskan secara sosial. Data juga menunjukkan bahwa orang-orang yang sendirian ternyata lebih banyak yang bunuh diri daripada orang yang sudah menikah. Hal ini menunjukkan tiadanya kepaduan kelompok (kohesi sosial). Karenanya, fenomena yang menunjukkan lebih banyaknya orang Protestan yang bunuh diri daripada orang Katolik, dapat dijelaskan, karena orang Katolik lebih terikat pada komunitas-komunitas keagamaan, sedangkan dalam Protestanisme terdapat anjuran yang kuat untuk bertanggungjawab secara individual (Laeyendecker, 1983:288). Temuan-temuan inilah yang kemudian hari melahirkan sebuah teori yang terkenal, yang menyatakan ada korelasi positif antara lemah dan kuatnya integrasi sosial dengan gejala bunuh diri. Ringkasnya ajaran Durkheim sebenarnya lebih diorientasikan dalam integrasi sosial, khususnya dalam mencapai equilibrium. Karenanya ketertiban, 30
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
keselarasan dan solidaritas merupakan keperluan-keperluan umum dari keharusan organisasi sosial. Dan di sini dibutuhkan indeks ekstern (peraturanperaturan) sebagai polisi lalu lintas individu. Dari uraian singkat atas pengertian fakta sosial Durkheim di atas, sangatlah jelas bagaimana sebenarnya yang menjadi dasar epistemologi Durkheim yang membawa pada kesimpulan atas kebutuhan-kebutuhan pengutamaan faktor eksternal, keajegan hukum sosial, hukum kausalitas, tuntutan obyektifitas dan sifat empirik dalam ilmu sosial, yang kemudian menjadi dasar epistemologi positivistik. Dari semuanya itulah akhirnya mencirikan paham positivistik ini pada kecermatan mengkonstruksikan teori. Khususnya dalam penyusunan proposisi yang berkaitan dengan sifat teori sebagai “set of interconnected propositions” di samping sebagai “unified theory of society”. Oleh karena itu konseptualisasi seharusnya mampu melakukan prediksi setelah mengalami verifikasi dan falsifikasi. Positivisme logis adalah aliran pemikiran dalam filsafat yang membatasi pikirannya pada segala hal yang dapat dibuktikan dengan pengamatan atau pada analisis definisi dan relasi antara istilah-istilah. Fungsi analisis ini mengurangi metafisika dan meneliti struktur logis pengetahuan ilmiah. Tujuan dari pembahasan ini adalah menentukan isi konsep-konsep dan pernyataanpernyataan ilmiah yang dapat diverifikasi secara empiris. Tujuan akhir dari penelitian yang dilakukan pada positivisme logis ini adalah untuk mengorganisasikan kembali pengetahuan ilmiah di dalam suatu sistem yang dikenal dengan ”kesatuan ilmu” yang juga akan menghilangkan perbedaan-perbedaan antara ilmu-ilmu yang terpisah. Logika dan matematika dianggap sebagai ilmu-ilmu formal. Positivisme berusaha menjelaskan pengetahuan ilmiah berkenaan dengan tiga komponen yaitu bahasa teoritis, bahasa observasional dan kaidahkaidah korespondensi yang mengakaitkan keduanya. Tekanan positivistik menggarisbawahi penegasannya bahwa hanya bahasa observasional yang menyatakan informasi faktual, sementara pernyataan-pernyataan dalam bahasa teoritis tidak mempunyai arti faktual sampai pernyataan-pernyataan itu
31
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
diterjemahkan ke korespondensi.
Email :
[email protected]
dalam
bahasa
observasional
dengan
kaidah-kaidah
Auguste Comte dan Positivisme Comte adalah tokoh aliran positivisme yang paling terkenal. Kamu positivis percaya bahwa masyarakat merupakan bagian dari alam dimana metodemetode penelitian empiris dapat dipergunakan untuk menemukan hukum-hukum sosial kemasyarakatan. Aliran ini tentunya mendapat pengaruh dari kaum empiris dan mereka sangat optimis dengan kemajuan dari revolusi Perancis. Pendiri filsafat positivis yang sesungguhnya adalah Henry de Saint Simon yang menjadi guru sekaligus teman diskusi Comte. Menurut Simon untuk memahami sejarah orang harus mencari hubungan sebab akibat, hukum-hukum yang menguasai proses perubahan. Mengikuti pandangan 3 tahap dari Turgot, Simon juga merumuskan 3 tahap perkembangan masyarakat yaitu tahap Teologis, (periode feodalisme), tahap metafisis (periode absolutisme dan tahap positif yang mendasari masyarakat industri. Comte menuangkan gagasan positivisnya dalam bukunya the Course of Positivie Philosoph, yang merupakan sebuah ensiklopedi mengenai evolusi filosofis dari semua ilmu dan merupakan suatu pernyataan yang sistematis yang semuanya itu tewujud dalam tahap akhir perkembangan. Perkembangan ini diletakkan dalam hubungan statika dan dinamika, dimana statika yang dimaksud adalah kaitan organis antara gejala-gejala ( diinspirasi dari de Bonald), sedangkan dinamika adalah urutan gejala-gejala (diinspirasi dari filsafat sejarah Condorcet). Bagi Comte untuk menciptakan masyarakat yang adil, diperlukan metode positif yang kepastiannya tidak dapat digugat. Metode positif ini mempunyai 4 ciri, yaitu : 1. Metode ini diarahkan pada fakta-fakta 2. Metode ini diarahkan pada perbaikan terus menerus dari syarat-syarat hidup 3. Metode ini berusaha ke arah kepastian 4. Metode ini berusaha ke arah kecermatan. Metode positif juga mempunyai sarana-sarana bantu yaitu pengamatan, perbandingan, eksperimen dan metode historis. Tiga yang pertama itu biasa dilakukan dalam ilmu-ilmu alam, tetapi metode historis khusus berlaku bagi 32
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
masyarakat yaitu untuk mengungkapkan hukum-hukum yang menguasai perkambangan gagasan-gagasan. Karl R Popper: Kritik terhadap Positivisme Logis Asumsi pokok teorinya adalah satu teori harus diji dengan menghadapkannya pada fakta-fakta yang dapat menunjukkan ketidakbenarannya, dan Popper menyajikan teori ilmu pengetahuan baru ini sebagai penolakannya atas ias ivism logis yang beranggapan bahwa pengetahuan ilmiah pada dasarnya tidak lain hanya berupa generalisasi pengalaman atau fakta nyata dengan menggunakan ilmu pasti dan logika. Dan menurut ias ivism logis tugas filsafat ilmu pengetahuan adalah menanamkan dasar untuk ilmu pengetahuan. Hal yang dikritik oleh Popper pada Positivisme Logis adalah tentang metode Induksi, ia berpendapat bahwa Induksi tidak lain hanya khayalan belaka, dan mustahil dapat menghasilkan pengetahuan ilmiah melalui induksi. Tujuan Ilmu Pengetahuan adalah mengembangkan pengetahuan ilmiah yang berlaku dan benar, untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan logika, namun jenis penalaran yang dipakai oleh ias ivism logis adalah induksi dirasakan tidak tepat sebab jenis penalaran ini tidak mungkin menghasilkan pengetahuan ilmiah yang benar dan berlaku, karena elemahan yang ias terjadi adalah kesalahan dalam penarikan kesimpulan, dimana dari premis-premis yang dikumpulkan kemungkinan tidak lengkap sehingga kesimpulan atau generalisasi yang dihasilkan tidak mewakili fakta yang ada. Dan menurutnya agar pengetahuan itu dapat berlaku dan bernilai benar maka penalaran yang harus dipakai adalah penalaran deduktif. Penolakan lainnya adalah tentang Fakta Keras, Popper berpendapat bahwa fakta keras yang berdiri sendiri dan terpisah dari teori sebenarnya tidak ada, karena fakta keras selalu terkait dengan teori, yakni berkaitan pula dengan asumsi atau pendugaan tertentu. Dengan demikian pernyataan pengamatan, yang dipakai sebagai landasan untuk membangun teori dalam ias ivism logis tidak pernah ias dikatakan benar secara mutlak.
33
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Soal : 8. Apakah ciri dan asumsi ilmu pengetahuan? Jawab : Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Ilmiah Filsafat Ilmu Pengetahuan merupakan cabang filsafat yang menelaah baik ciri-ciri
ilmu pengetahuan ilmiah
maupun cara-cara
memperoleh
ilmu
pengetahuan ilmiah. Ciri-ciri Ilmu Pengetahuan Ilmiah adalah sebagai berikut: 1) Sistematis. Ilmu pengetahuan ilmiah bersifat sistematis artinya ilmu pengetahuan ilmiah dalam upaya menjelaskan setiap gejala selalu berlandaskan suatu teori. Atau dapat dikatakan bahwa teori dipergunakan sebagai sarana untuk menjelaskan gejala dari kehidupan sehari-hari. Tetapi teori itu sendiri bersifat abstrak dan merupakan puncak piramida dari susunan tahap-tahap proses mulai dari persepsi sehari-hari/ bahasa sehari-hari, observasi/konsep ilmiah, hipotesis, hukum dan puncaknya adalah teori. Ciri-ciri yang sistematis dari ilmu pengetahuan ilmiah tersebut dapat digambarkan sebagai berikut:
teori hukum hipotesa
Hasil observasi (konsep ilmiah) Persepsi sehari-hari (bahasa sehari-hari)
Gambar 5: Piramida Ilmu Pengetahuan Ilmiah Sumber: Noerhadi T. H. (1998) Diktat Kuliah Filsafat Ilmu Pengetahuan. Pascasarjana Universitas Indonesia. 34
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
a) Persepsi sehari-hari (bahasa sehari-hari). Dari persepsi sehari-hari terhadap fenomena atau fakta yang biasanya disampaikan dalam bahasa sehari-hari diobservasi agar dihasilkan makna. Dari observasi ini akan dihasilkan konsep ilmiah. b) Observasi (konsep ilmiah). Untuk memperoleh konsep ilmiah atau menyusun konsep ilmiah perlu ada definisi. Dalam menyusun definisi perlu diperhatikan bahwa dalam definisi tidak boleh terdapat kata yang didefinisikan. Terdapat 2 (dua) jenis definisi, yaitu: 1) definisi sejati, 2) definisi nir-sejati. Definisi sejati dapat diklasifikasikan dalam: 1) Definisi Leksikal. Definisi ini dapat ditemukan dalam kamus, yang biasanya bersifat deskriptif. 2) Definisi Stipulatif. Definisi ini disusun berkaitan dengan tujuan tertentu. Dengan demikian tidak dapat dinyatakan apakah definisi tersebut benar atau salah. Benar atau salah tidak menjadi masalah, tetapi yang penting adalah konsisten (taat asas). Contoh adalah pernyataan dalam Akta Notaris: Dalam Perjanjian ini si A disebut sebagai Pihak Pertama, si B disebut sebagai Pihak Kedua. 3) Definisi Operasional. Definisi ini biasanya berkaitan dengan pengukuran (assessment) yang banyak dipergunakan oleh ilmu pengetahuan ilmiah. Definisi ini memiliki kekurangan karena seringkali apa yang didefinisikan terdapat atau disebut dalam definisi, sehingga terjadi pengulangan. Contoh: ”Yang dimaksud inteligensi dalam penelitian ini adalah kemampuan seseorang yang dinyatakan dengan skor tes inteligensi”. 4) Definisi Teoritis. Definisi ini menjelaskan sesuatu fakta atau fenomena atau istilah berdasarkan teori tertentu. Contoh: Untuk mendefinisikan Superego, lalu menggunakan teori Psikoanalisa dari Sigmund Freud. Definisi nir-sejati dibedakan menjadi 2 (dua), yaitu: 1) Definisi Ostensif. Definisi ini menjelaskan sesuatu dengan menunjuk barangnya. Contoh: Ini gunting. 2) Definisi Persuasif. Definisi yang mengandung pada anjuran (persuasif). Dalam definisi ini terkandung anjuran agar orang melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Contoh: ”Membunuh adalah tindakan menghabisi nyawa secara tidak terpuji”. Dalam
35
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
definisi tersebut secara implisit terkandung anjuran agar orang tidak membunuh, karena tidak baik (berdosa menurut Agama apapun). c) Hipotesis Dari konsep ilmiah yang merupakan pernyataan-pernyataan yang mengandung informasi, 2 (dua) pernyataan digabung menjadi proposisi. Proposisi yang perlu diuji kebenarannya disebut hipotesis. d) Hukum Hipotesis yang sudah diuji kebenarannya disebut dalil atau hukum. e) Teori Keseluruhan dalil-dalil atau hukum-hukum yang tidak bertentangan satu sama lain serta dapat menjelaskan fenomena disebut teori. 2) Dapat dipertanggungjawabkan. Ilmu pengetahuan ilmiah dapat dipertanggungjawabkan melalui 3 (tiga) macam sistem, yaitu: a) Sistem axiomatis Sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu fenomena atau gejala sehari-hari mulai dari kaidah atau rumus umum menuju rumus khusus atau konkret. Atau mulai teori umum menuju fenomena/gejala konkret. Cara ini disebut deduktif-nomologis. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu-ilmu formal, misalnya matematika. b) Sistem empiris Sistem ini berusaha membuktikan kebenaran suatu teori mulai dari gejala/ fenomena khusus menuju rumus umum atau teori. Jadi bersifat induktif dan untuk menghasilkan rumus umum digunakan alat bantu statistik. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu pengetahuan alam dan sosial. c) Sistem semantik/linguistik Dalam sistem ini kebenaran didapatkan dengan cara menyusun proposisi-proposisi secara ketat. Umumnya yang menggunakan metode ini adalah ilmu bahasa (linguistik).
36
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
3) Objektif atau intersubjektif Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat mandiri atau milik orang banyak (intersubjektif). Ilmu pengetahuan ilmiah itu bersifat otonom dan mandiri, bukan milik perorangan (subjektif) tetapi merupakan konsensus antar subjek (pelaku) kegiatan ilmiah. Dengan kata lain ilmu pengetahuan ilmiah itu harus ditopang oleh komunitas ilmiah. Asumsi Ilmu mengemukakan beberapa asumsi mengenai objek empiris. Ilmu menganggap bahwa objek-objek empiris yang menjadi bidang penelaahannya mempunyai sifat keragaman, memperlihatkan sifat berulang dan semuanya jalinmenjalin secara teratur. Sesuatu peristiwa tidaklah terjadi secara kebetulan namun tiap peristiwa mempunyai pola tetap yang teratur. Bahwa hujan diawali dengan awan tebal dan langit mendung, hal ini bukanlah merupakan suatu kebetulan tetapi memang polanya sudah demikian. Kejadian ini akan berulang dengan pola yang sama. Alam merupakan suatu sistem yang teratur yang tunduk kepada hukum-hukum tertentu. Secara lebih terperinci ilmu mempunyai tiga asumsi mengenai objek empiris. Asumsi pertama menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, umpamanya dalam hal bentuk, struktur, sifat dan sebagainya. Berdasarkan ini maka kita dapat mengelompokkan beberapa objek yang serupa ke dalam satu golongan. Klasifikasi merupakan pendekatan keilmuan yang pertama terhadap objek-objek yang ditelaahnya dan taxonomi merupakan cabang keilmuan yang mula-mula sekali berkembang. Konsep ilmu yang lebih lanjut seperti konsep perbandingan (komparatif) dan kuantitatif hanya dimungkinkan dengan adanya taxonomi yang baik. Asumsi yang kedua adalah anggapan bahwa suatu benda tidak mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kegiatan keilmuan bertujuan mempelajari tingkah laku suatu objek dalam suatu keadaan tertentu. Kegiatan ini jelas tidak mungkin dilakukan bila objek selalu berubah-ubah tiap waktu. 37
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Walaupun begitu tidak mungkin kita menuntut adanya kelestarian yang absolut, sebab alam perjalanan waktu tiap benda akan mengalami perubahan. Oleh sebab itu ilmu hanya menuntut adanya kelestarian yang relatif, artinya sifat-sifat pokok dari suatu benda tidak berubah dalam jangka waktu tertentu. Tercakup dalam pengertian ini adalah pengakuan bahwa benda-benda dalam jangka panjang akan mengalami perubahan dan jangka waktu ini berbeda-beda untuk tiap benda. Determinisme merupakan asumsi ilmu yang ketiga. Kita menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan. Tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dengan urut-urutan kejadian yang sama. Namun seperti juga dengan asumsi kelestarian, ilmu tidak menuntut adanya hubungan sebab akibat yang mutlak sehingga suatu kejadian tertentu harus selalu diikuti oleh suatu kejadian yang lain. Ilmu tidak mengemukakan bahwa X selalu mengakibatkan Y, melainkan mengatakan X mempunyai kemungkinan (peluang) yang besar untuk mengakibatkan terjadinya Y. Determinisme dalam pengertian ilmu mempunyai konotasi yang bersifat peluang (probabilistik).
Soal : 9. Uraikan perbedaan antara fakta dan teori dan antara fenomena dan konsep? Jawab : Menurut Soetrisno dan Hanafie (2007), bahwa teori tersusun dari beberapa komponen pembentuk teori atau dengan kata lain komponen yang tersusun ini merupakan komponen ilmu yang hakiki. Adapun komponen yang dimaksud, yakni: fenomena, konsep, fakta, dan teori. Jika dianalisis lebih lanjut bahwa ketiga komponen (fenomena, konsep, dan fakta) yang akhirnya membentuk teori merupakan proses siklikal yang tidak linear, dimana teori yang lahir akan terus dikoreksi akibat dari perubahan yang ada sekaligus menjawab fenomena yang sesungguhnya.
38
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Pembentukan teori berawal dari fenomena sebagai gejala atau kejadian yang ditangkap oleh indera manusia, kemudian diabstraksi dengan konsepkonsep. Konsep ialah istilah atau simbol-simbol yang mengandung pengertian singkat dari fenomena. Dikarenakan konsep merupakan simbol-simbol yang nampak dari suatu fenomena, maka ketika konsep tersebut semakin mendasar akan melahirkan apa yang dinamakan variabel. Variabel sendiri dapat diartikan suatu sifat atau jumlah yang mempunyai nilai kategorial, baik secara kualitatif maupun kuantitatif. Jadi variabel akan berkembang seiring dengan kompleksitas konsep yang dipakai untuk mengetahui fenomena yang hadir. Untuk menganalisis fenomena atau kejadian sosial, seringkali kita mencoba menghubungkan antara satu konsep dengan konsep lainnya. Keterhubungan antar konsep (relation consept) yang didukung dengan data-data empirik disebut fakta. Tentunya fakta tidak berdiri sendiri, melainkan mempunyai jalinan dengan fakta-fakta yang lainnya. Jalinan fakta inilah yang disebut dengan teori. Atau dengan kata lain teori adalah seperangkat konsep, defenisi, dan proposisi-proposisi yang berhubungan satu sama lain, yang menunjukkan fenomena secara sistematis, dan bertujuan untuk menjelaskan (explanation) dan meramalkan (prediction) fenomen-fenomena. Definisi tentang teori di atas senada dengan Richard Rudner (Poloma, 2004) yang mendefinisikan teori sebagai seperangkat pernyataan yang secara sistematis berhubungan, termasuk beberapa generalisasi yang memiliki kemiripan sebagai hukum, yang dapat diuji secara empiris. Selanjutya Poloma (2004) menambahkan bahwa batasan demikian membutuhkan batasan konsep atau variabel setepat-tepatnya, yang kemudian melahirkan pernyataan-pernyataan atau proposisi-proposisi yang saling berkaitan satu sama lain untuk membentuk suatu teori ilmiah. Tidak hanya itu saja, Poloma (2004) menegaskan bahwa unit dasar teori sosiologi adalah konsep atau variabel sosiologis yang memberikan dasar bagi pengujian empiris.
39
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Soal : 10. Uraikan perbedaan Numena dari Phenomena. Yang manakah menjadi data dalam kajian ilmu sosial dan kajian ilmu pengetahuan alam? Jawab : Pengertian Numena Dan Phenomena Numena adalah arti hakiki dari benda itu sendiri yang tidak dapat kita jelaskan dengan persepsi panca indera. Benda itu sendiri “The thing it self “yang satu, yang tetap, tidak berubah, yang benar hanya nomena yang menjadi objek ilmu yang benar. Noumena=Wahyu dalam bahasa filsafat=sebagai “Necessit”. Phenomena berasal dari bahasa Yunani; “phainomenon”, apa yang terlihat, dalam bahasa ndonesia bisa berarti: 1. Gejala, misalkan gejala alam 2. Hal-hal yang dirasakan dengan panca indra 3. Hal-hal mistik atau klenik 4. Fakta, kenyataan, kejadian Jadi phenomena adalah segala sesuatu yang bisa kita persepsi dengan panca indera. Soal : 11. Apakah perbedaan utama ilmu sosial dari ilmu pengetahuan alam? Patutkah dikatakan bahwa kajian ilmu sosial lebih rendah daripada kajian ilmu penetahuan alam? Jawab : A. Perbedaan Ilmu-Ilmu Alam dengan Ilmu-Ilmu Sosial ditinjau dari Ontologi Menganalisis tentang masalah perbedaan ilmu-ilmu alam dengan ilmuilmu sosial ditinjau dari segi ontologi. Perlu diwacanakan tentang kriteria ilmu sebagai latar dari kajian. Ilmu merupakan pengetahuan yang diatur secara sistematis dan langkah-langkah pencapaiannya dipertanggungjawabkan secara teoritis (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 46). Ilmu pengetahuan juga memiliki ciriciri yang umum yaitu memiliki objek, metode, sistematis dan kriteria kebenaran (Kaelan, 1996: 26). Kajian ontologi dalam filsafat ilmu berhubungan dengan telaah terhadap ilmu yang menyelidiki landasan suatu ilmu yang menanyakan apa asumsi ilmu terhadap objek material dan objek formal, baik bersifat fisik atau kejiwaan (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 53).
40
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Ilmu berkembang dengan pesat sering dengan penambahan jumlah cabang-cabangnya. Hasrat untuk menspesialisasikan diri pada satu bidang telaah yang memungkinkan analisis yang makin cermat dan seksama menyebabkan objek forma dari disiplin keilmuan menjadi kian terbatas. Pada dasarnya cabang-cabang ilmu tersebut berkembang dari dua cabang utama yakni filsafat alam yang kemudian menjadi rumpun ilmu-ilmu alam atau the natural sciences dan filsafat moral yang kemudian berkembang ke dalam cabang ilmu-ilmu sosial atau the social sciences (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 93). Ilmu-ilmu alam membagi diri kepada dua kelompok lagi yakni ilmu alam (the physical sciences) dan ilmu hayat (the biological sciences). Ilmu alam bertujuan mempelajari zat yang membentuk alam semesta, sedangkan ilmu alam kemudian bercabang lagi menjadi fisika (mempelajari massa dan energi), kimia (mempelajari substansi zat), astronomi (mempelajari benda-benda langit, dan ilmu bumi yang mempelajari bumi (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 93). Tiap-tiap cabang kemudian membikin ranting-ranting baru seperti fisika berkembang menjadi mekanika, hidrodinamika, bunyi, cahaya, panas, kelistrikan dan magnetisme, fisika nuklir dan kimia fisik (ilmu-ilmu murni). Ilmu murni merupakan kumpulan teori-teori ilmiah yang bersifat dasar dan teoritis yang belum dikaitkan dengan masalah-masalah kehidupan yang bersifat praktis. Ilmu terapan merupakan aplikasi ilmu murni kepada masalahmasalah kehidupan yang mempunyai manfaat praktis (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 94). Ilmu-ilmu sosial berkembang agak lambat dibanding dengan ilmu-ilmu alam. Pada pokoknya terdapat cabang utama ilmu-ilmu sosial yakni antropologi (mempelajari manusia dalam perspektif waktu dan tempat), psikologi (mempelajari proses mental dan kelakuan manusia) ekonomi (mempelajari manusia dalam memenuhi kebutuhan kehidupannya lewat proses pertukaran), sosiologi (mempelajari struktur organisasi sosial manusia) dan ilmu politik (mempelajari sistem dan proses dalam kehidupan manusia berpemerintahan dan bernegara) (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 94). Cabang utama ilmu-ilmu sosial ini kemudian mempunyai cabang-cabang lain seperti antropologi terpecah menjadi lima yakni arkeologi, antropologi fisik, linguistik, etnologi dan antropologi sosial/kultural (Jujun S. Suriasumantri, 2005: 95).
41
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
B. Perbedaan Ilmu-Ilmu Alam dengan Sosial ditinjau dari Epistimologi Epistemologi atau teori pengetahuan membahas secara mendalam segenap proses yang terlibat dalam usaha untuk memperoleh pengetahuan. Ilmu merupakan pengetahuan yang didapat melalui proses tertentu yang dinamakan metode keilmuan. Metode inilah yang membedakan ilmu dengan buah pemikiran yang lainnya (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 9). Munculnya persoalan epistemologi bukan mengenai suatu prosedur penyelidikan ilmiah, tetapi dengan mempertanyakan “mengapa prosedur ini bukan yang lain”. Dalam konteks ilmu sosial, filsafat mempertanyakan metode dan prosedur yang dipergunakan peneliti sosial dari disiplin sosial (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 46). Ilmu alam memang terkait secara pokok dalam positivistik, mempelajari sesuatu yang objektif, tidak hidup, dunia fisik. Kajian masyarakat, hasil akal manusia, adalah subjektif, emotif bersifat subyektif. Tingkah laku masyarakat adalah selalu mengandung nilai, dan pengetahuan reliabel tentang kebudayaan hanya dapat digapai dengan cara mengisolasi ide-ide umum, opini atau tujuan khusus masyarakat. Hal tersebut membuat tindakan sosial adalah penuh bermakna subyektif. Alat untuk memperoleh pengetahuan sangat tergantung dari asumsi terhadap objek. Demikian juga telaah dalam filsafat ilmu, sarana dan alat untuk memproses ilmu harus konsisten dengan karakter objek material ilmu. Berdasarkan kondisi tersebut terdapat perbedaan paradigma yang disebabkan oleh karakter objek yang berbeda. Misalnya antara ilmu alam dan ilmu sosial yang terdapat perbedaan metode dan sarana yang dipakai (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 47). Objek material adalah bahan yang dijadikan sasaran penyelidikan (misalnya ilmu kedokteran, ilmu sastra, psikologi) sedangkan objek formal adalah sudut pandang tertentu terhadap objek materialnya misalnya ilmu kedokteran objek formalnya keadaan fisik manusia (Lasiyo dan Yuwono, 1984: 5). Hindes Barry (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 47) menyatakan bahwa keabsahan yang merupakan bukti bahwa suatu ilmu adalah benar secara epistemologis bukanlah sesuatu yang didatangkan dari luar, melainkan hasil dari metode penyelidikan dan hasil penyelidikan. Oleh karena itu masalah keabsahan apakah ukurannya cocok tergantung pada metode dan karakter objek, sehingga jenis ilmu yang satu dan lainnya tidak sama. Dengan kata lain seseorang tidak bisa menguji metode dan hasil ilmu yang satu dengan menggunakan ilmu lainnya. 42
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Kajian tersebut dapat menjadi dasar perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial berdasarkan perspektif epistimologi yaitu: 1. Ilmu-Ilmu Alam Ilmu alam merupakan ilmu yang mempelajari objek-objek empiris di alam semesta ini. Ilmu alam mempelajari berbagai gejala dan peristiwa yang mempunyai manfaat bagi kehidupan manusia. Berdasarkan objek telaahnya maka ilmu dapat disebut sebagai suatu pengetahuan empiris. Ilmu membatasi diri hanya pada kejadian yang bersifat empiris. Objek-objek yang berada di luar jangkauan pengalaman manusia tidak termasuk bidang penelaahan ilmu (Yuyun S, 1981: 6). Ilmu alam mempunyai asumsi mengenai objek, antara lain: 1. Menganggap objek-objek tertentu mempunyai keserupaan satu sama lain, yaitu dalam hal bentuk struktur dan sifat, sehingga ilmu tidak bicara mengenai kasus individual melainkan suatu kelas tertentu. 2. Menanggap bahwa suatu benda tidak mungkin mengalami perubahan dalam jangka waktu tertentu. Kelestarian relatif dalam jangka waktu tertentu ini memungkinkan dilakukan pendekatan keilmuan terhadap objek yang sedang diselidiki. 3. Menganggap tiap gejala bukan merupakan suatu kejadian yang bersifat kebetulan, tiap gejala mempunyai pola tertentu yang bersifat tetap dan urut-urutan kejadian yang sama (Yuyun S, 1981: 7). Dalam pandangan empirisme ilmu tidak menuntut adanya hubungan kausalitas yang mutlak, sehingga suatu kejadian tertentu harus diikuti oleh kejadian yang lain, melainkan bahwa suatu kejadian mempunyai kemungkinan besar untuk mengakibatkan terjadinya kejadian lain. Ilmu tentang objek empiris pada dasarnya merupakan abstraksi yang disederhanakan, hal ini perlu sebab kejadian alam sangat kompleks. Kegiatan yang dilakukan dalam ilmu alam tidak merupakan objek penelitian ilmu alam, sebab praktek ilmu alam merupakan suatu aktivitas manusia yang khas. Manusia memang dapat terlibat sebagai subjek dan sebagai objek, dengan kata lain manusia adalah mempraktekkan dan diprakteki (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 49).
43
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
2. Ilmu-ilmu Sosial Ilmu sosial adalah ilmu yang mempelajari manusia dalam segala aspek hidupnya, ciri khasnya, tingkah lakunya, baik perseorangan maupun bersama, dalam lingkup kecil maupun besar. Objek material ilmu sosial lain sama sekali dengan objek material dalam ilmu alam. Objek material dalam ilmu sosial adalah berupa tingkah laku dalam tindakan yang khas manusia, bebas dan tidak deterministik (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 49). Kajian yang berbeda-beda terhadap ilmu merupakan konsekuensi dari perbedaan objek formal. Objek ilmu sosial yaitu manusia sebagai keseluruhan. Penelitian dalam ilmu sosial juga menimbulkan perbedaan pendekatan. Dalam ilmu manusia praktek ilmiah sebagai aktivitas manusiawi merupakan juga objek penelitian ilmu manusia, misalnya psikologi, psikis, sosiologis, dan sejarah. Spesifikasi ilmu sejarah adalah data peninggalan masa lampau baik berupa kesaksian, alat-alat, makam, rumah, tulisan dan karya seni, namun objek ilmu sejarah tidak dapat dikenai eksperiment karena menyangkut masa lampau. Kondisi tersebut yang mempengaruhi kemurnian objek manusiawi berkaitan dengan sikap menilai dari subjek penelitian, maka objektivitas ilmu sejarah sebagai ilmu kemanusiaan (Tim Dosen Filsafat Ilmu, 2007: 51). Klaim terhadap ilmu-ilmu sosial kadang dinilai gagal dalam menangkap kekomplekan gejala, didasarkan pada kegagalan dalam membedakan antara pernyataan beserta sistematika yang dipakai dengan gejala sosial yang dinyatakan oleh pernyataan tersebut. Tidak semua argumentasi tentang kerumitan gejala sosial yang menyebabkan ketidakmungkinan ilmu-ilmu sosial. Rangkaian argumentasi yang lain didasarkan pada tuduhan bahwa metode keilmuan tidak mampu untuk menangkap “keunikan” gejala sosial dan manusiawi. Penelaahan sosial tertarik kepada keungikan tiap-tiap kejadian sosial, padahal metode keimuan hanya mampu mensistematikakan berdasarkan generaslisasi, maka keadaan in menyebabkan harus ditetapkannya metode yang lain dalam ilmu-ilmu sosial (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 143).
44
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Objek penelaahan Ilmu Sosial mempunyai karakter (Jujun S. Suriasumantri, 2006: 134) di bawah ini: 1. Objek Penelaahan yang Kompleks Gejala sosial lebih kompleks dibandingkan dengan gejala alam. Ahli ilmu alam berhubungan dengan satu jenis gejala yakni gejala yang bersifat fisik. Gejala sosial juga mempelajari karakteristik fisik namun diperlukan penjelasan yang lebih dalam untuk mampu menerangkan gejala tersebut. Guna menjelaskan hal ini berdasarkan hukum-hukum seperti yang terdapat dalam ilmu alam tidaklah cukup. Ahli ilmu alam berhubungan dengan gejala fisik yang bersifat umum. Penelaahannya meliputi beberapa variabel dalam jumlah yang relatif kecil yang dapat diukur secara tepat. Ilmu-ilmu sosial mempelajari manusia selaku perseorangan maupun selaku anggota dari suatu kelompok sosial yang menyebabkan situasi yang bertambah rumit. Variabel dalam penelaahan sosial adalah relatif banyak kadang-kadang membimbingkan peneliti. Apabila seorang ahli kimia mencampurkan dua buah zat kimia dan meledak, hal itu dapat dijelaskan dengan tepat dalam ilmu alam, namun apabila terjadi kejahatan, maka kajiannya terdapat faktor yang banyak sekali untuk dijelaskan. Faktor-faktor penjelas yang dimaksud antara lain, apa latar belakang kejahatan, bagaimana latar belakang psikologi orang, mengapa harus memilih melakukan kejahatan dan sebagainya. Tingkat-tingkat kejadian suatu peristiwa sosial selalu menyulitkan ahli ilmu sosial untuk menetapkan aspek-aspek apa saja yang terlibat, pola pendekatan mana yang paling tepat dan variabel-variabel apa saja yang termasuk di dalamnya. 2. Kesukaran dalam Pengamatan Pengamatan langsung gejala sosial lebih sulit dibandingkan dengan gejala ilmu-ilmu alam. Ahli ilmu sosial tidak mungkin melhat, mendengar, meraba, mencium atau mengecap gejala yang sudah terjadi di masa lalu. Serorang ahli pendidikan yang sedang mempelajari sistem persekolahan di zaman penjajahan dulu tidak dapat melihat dengan mata kepala sendiri kejadian-kejadian tersebut. Keadaan ini berbeda dengan seorang ahli kimia yang bisa mengulang kejadian yang sama setiap waktu dan mengamati suatu kejadian tertentu secara langsung.
45
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
3. Objek Penelaahan yang Tak Terulang Gejala fisik pada umumnya bersifat seragam dan gejala tersebut dapat diamati sekarang. Gejala sosial banyak yang bersifat unik dan sukar untuk terulang kembali. Abstraksi secara tepat dapat dilakukan terhadap gejala fisik melalui perumusan kuantitatif dan hukum yang berlaku umum. Masalah sosial sering kali bersifat spesifik dan konteks historis tertentu. Kejadian tersebut bersifat mandiri. Bervariasinya kejadian-kejadian sosial ditambah dengan sulitnya pengamatan secara langsung waktu penelaahan dilakukan menyebabkan sukarnya mengembangkan dan menguji hukum-hukum sosial. 4. Hubungan antara Ahli dan Objek Penelaahan Sosial Gejala fisik seperti unsur kimia bukanlah suatu individu melainkan barang mati. Ahli ilmu alam tidak usah memperhitungkan tujuan atau motif dari planet. Ahli sosial mempelajari manusia yang merupakan makhluk yang penuh tujuan dalam tingkah laku. Manusia bertindak sesuai dengan keinginannya dan mempunyai kemampuan untuk melakukan pilihan atas tindakan yang akan diambilnya. Hal ini menyebabkan manusia dapat melakukan perubahan dalam tindakannya. Kondisi ini menyebabkan objek penelaahan ilmu sosial sangat dipengaruhi oleh keinginan dan pilihan manusia maka gejala sosial berubah secara tetap sesuai dengan tindakan manusia yang didasari keinginan dan pilihan tersebut. Ahli ilmu alam menyelidiki proses alami dan menyusun hukum yang bersifat umum mengenai proses. Ahli alam tidak bermaksud untuk mengubah alam atau harus setuju dan tidak setuju dengan proses tersebut. Ahli ilmu alam hanya berharap bahwa pengetahuan mengenai gejala fisik dari alam akan memungkinkan manusia untuk memanfaatkan proses alam. Ahli ilmu sosial tidaklah bersikap sebagai penonton yang menyaksikan suatu proses kejadian sosial. Ahli ilmu alam mempelajari fakta dan memusatkan perhatiannya pada keadaan yang terjadi pada alam. Ahli ilmu sosial juga mempelajari fakta umpamanya mengenai kondisi-kondisi yang terdapat dalam suatu masyarakat. Peneliti mencoba untuk tidak terlibat dalam pola yang ada di masyarakat, namun kadang peneliti kemudian mengembangkan materi berdasarkan penemuannya tersebut untuk dapat diaplikasikan kepada masyarakat. 46
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Perbedaan-perbedaan secara epistemologi tersebut dapat dijadikan asumsi bahwa pada pengkajian ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial tidak dapat disamakan. Metode dalam pengkajian ilmu-ilmu alam berbeda objeknya sehingga akan menyebabkan perbedaan cara pengkajian. Kesimpulannya, bahwa perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial dalam perspektif ontologi dan epistemologi antara lain: 1. Ditinjau dari perspektif ontologi, perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial yaitu ilmu-ilmu alam merupakan cabang cari filsafat alam (the natural sciences) sedangkan ilmu-ilmu sosial merupakan cabang dari filsafat moral (the social sciences). Ilmu-ilmu alam kemudian terbagi menjadi ilmu alam dan ilmu hayat. Ilmu alam terbagi lagi menjadi fisika, kimia, astronomi dan ilmu bumi. Ilmu-ilmu sosial terbagi menjadi antropologi, psikologi, ekonomi, sosiologi, dan ilmu politik. 2. Ditinjau dari perspektif epistemologi, perbedaan ilmu-ilmu alam dan sosial terletak pada penggunaan prosedur ilmiah. Ilmu alam terkait secara pokok dalam positifistik, mempelajari yang objektif, tidak hidup, dan dunia fisik. Objek ilmu alam dianggap serupa, tidak mengalami perubahan dalam jangka tertentu, dan setiap gejala terpola. Ilmu-ilmu sosial merupakan hasil akal manusia, subjektif, dan emotif. Objek material ilmu sosial adalah tingkah laku khas manusia dan tidak desterministik. 3. Pengetahuan tentang perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu-ilmu sosial ditinjau dari aspek ontologis memberi pemahaman bahwa ilmu alam dan ilmu sosial tersegmentasi dalam karakter yang sama. Perbedaan secara ontologis menjadikan kejelasan batasan mengenai karakter ilmu yang lebih bersifat ilmu alam atau ilmu sosial. 4. Tinjauan epistemologi tentang perbedaan ilmu-ilmu alam dan ilmu sosial memberikan wacana tentang metode yang digunakan dalam mengkaji masalah ilmu alam dan sosial. Metode yang digunakan harus disesuaikan dengan karakter objeknya baik ilmu alam atau ilmu sosial. Ketepatan metode menjadikan ilmu dapat dikaji secara benar
47
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Soal : 12. Dapatkah ilmu pengetahuan bebas dari nilai? Apakah kritik para pendukung kelompok Feminisme, Sosiologi Ilmu dan Posmodernisme terhadap konsep ilmu pengetahuan bebas dari nilai? Jawab : Menurut saya ilmu itu bebas nilai karena dilihat dari dua aspek. Pertama yaitu etika teologis dan yang kedua yaitu ontologis. Maka ilmu dalam penempatan teoritis bebas nilai. Kegiatan ilmiah dapat dilakukan oleh siapa saja tanpa memandang agama, etnis, ideologi, dan bangsa. Kecuali nilai yang bisa mengikat, adalah kebenaran atau hikmah. kebenaran ilmu dalam penempatan yang praktis adalah ilmu harus tunduk kepada nilai-nilai yang bersifat menyeluruh atau universal yaitu mengabdi untuk kebenaran sehingga tidak mungkin ilmu itu tidak bebas nilai. Sumber: http://id.shvoong.com/humanities/philosophy/2003335-ilmu-bebasnilai-atau-tidak/#ixzz1dozlwOld Menurut The Liang Gie (1987) pengertian ilmu adalah rangkaian aktivitas penelaahan yang mencari penjelasan suatu metode untuk memperoleh pemahaman secara rasional empiris mengenai dunia ini dalam berbagai seginya dan keseluruhan pengetahuan sistematis yang menjelaskan berbagai gejala yang ingin dimengerti manusia. Di atas dijelaskan bahwa ilmu adalah rangkaian aktivitas manusia. Dan aktivitas itu tidak akan dilaksanakan tanpa adanya metode tertentu. Apabila suatu aktivitas dilaksanakan dengan metode tertentu maka akan mendetangkan pengetahuan yang sistematis. Metode tertentu itu bisa disebutkan salah satunya metoe ilmiah. Metode ilmiah bertujuan untuk memperoleh atau mengembangkan pengetahuan. Ilmu memiliki cirri-ciri tersendiri diantaranya : Adanya system dalam penelitian, bersifat universalitas, objektivitas, ilmu pengetahuan harus dapat diverifikasi oleh semua peneliti ilmiah yang bersangkutan karena ilmu harus dapat dikomunikasikan, bersifat progresivitas, kritis, sebagai perwujudan kebertautan antara teori dengan praktis. Salah satu ciri dari ilmu adalah objektivitas. Yang dimaksud dengan ilmu yang bersifat objektivitas adalah setiap ilmu terpimpin oleh objek dan tidak didistorsi oleh prasangka-prasangka subjektif. Ilmu bersifat objektivitas bisa mengantarkan ilmu itu sendiri, apakah ilmu itu bebas nilai atau tidak.
48
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Ada beberapa pendapat yang membahas tentang itu. Masing-masing ada yang berpendapat bahwa ilmu itu bebas nilai dan adda juga yang berpendapat bahwa ilmu itu tidak bebas nilai. Menurut pendapat Joseph Situmorang (1996) bebas nilai artinya tuntunan setiap kegiatan ilmiah agar didasarkan pada hakekat ilmu pengetahuan itu sendiri. Itu berarti bahwasannya ilmu pengetahuan menolak campur tangan faktor eksternal yang tidak secara hakiki menentukan ilmu pengetahuan. Adapun ciri-ciri bahwa ilmu itu bebas nilai adalah: Bebas dari pengaruh eksternal. Contoh: faktor politis, geografis, ideologis, agama, budaya dan lain lain. - Tidak adanya batasan usaha ilmiah agar kemurnian ilmu peengetahuan terjamin. - Adanya pertimbangan etis dalam penelitian ilmiah. Salah satu ciri mutlak ilmu pengetahuan adalah adanya objektivitas. Padahal di pihak lain subjek yang mengembangkan ilmu dihadapkan pada nilainilai yang ikut menentukan pemilihan atas masalah dan kesimpulan yang dibuatnya. Oleh sebab itu tokoh sosiologis Weber sangat berhati-hati dalam memutuskan apakah ilmu bebas nilai atau tidak. Ada pula yang beranggapan bahwa ilmu itu tidak pernah bebas nilai. Menurut Habermas bahwa ilmu pengetahuan terbentuk berdasarkan kepentingan teknis. Karena tidak bisa lepas dari kepentingan teknis, ilmu pengetahuan tidak bisa bersifat netral. Sebagai contoh ilmu sejarah dan hermeneutika juga ditentukan oleh kepentingan praktis. Setiap kegiatan teoritis yang melibatkan subjek-objek memiliki kepentingan tertentu. Ilmu sebagai aktivitas ilmiah dapat berwujud penelaah (study), penyelidikan (inquiry), usaha menemukan (attempt to find) atau pencarian (find) . Untuk menemukan pengetahuan baru bagi aktivitas ilmiah yang paling berbobot digunakan istilah research (penelitian) dan pencarian biasanya dilakukaan berulang kali. Aktivitas ilmiah sendiri tidak bisa terlepas dari beberapa faktor. Beberapa faktor tersebut bisa saja mempengaruhi hasil dari aktivitas ilmiah. Beberapa faktor tersebut diantaranya mengenai tempat dimana aktivitas ilmiah itu dilakukan, siapa yang melakukan dan dari mana asalnya. Ada kalanya aktivitas ilmiah sering terwarnai atau sering terpengaruh entah itu dari aktivitas awal seperti mencari latar belakang, menentukan rumusan masalah juga dalam hal mencari sampel atau bahan penelitian kadang-kadang hanya ada di daerah asalnya. 49
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
Jadi netralitas nilai dalam aktivitas ilmiah sering dipertanyakan keabsahannya. Karena aktivitas nilai sulit untuk melepaskan diri dari beberapa faktor apalagi dari pengaruh faktor eksternal. Contoh : Kenapa ilmu dikatakan bebas nilai?. Karena ilmu itu hanyalah suatu pengetahuan belaka yang membuat manusia bisa mengetahui segala sesuatu dan bisa bertindak (meskipun itu terbatas) dengan ilmu tersebut. Ilmu apa saja tetap dikatakan bebas nilai; karena pada dasarnya, ilmu itu tidak mempunyai tempat (mau dikatakan ilmu itu baik atau tidak baik, karena tergantung pemakainya). Contoh ilmu hukum (yurisprudensi); ilmu hukum itu sendiri bertempat dimana? Dan apakah ilmu hukum itu sendiri baik?. Kalau toh ilmu hukum itu betempat pada kebaikan atau kebenaran, lalu kenapa orang yang tidak bersalah harus di klaim salah, malah yang benar-benar terbukti salah dianggap benar, itu kan konyol namanya. Makanya, ilmu itu diktakan bebas nilai. Ilmu dinilai baik karena konsumennya baik, sebaliknya ilmu dinilai tidak baik (buruk) karena pemakai salah menempatkan, meskipun esensinya ilmu itu baik. Soal : 13. Menurut David Hume ada 6 langkah dalam metode induktif. Uraikan keenam langkah itu dengan menuliskan contoh. Jawab : Metode Induktif Induksi
yaitu
suatu
metode
yang
menyimpulkan
pernyataan
pernyataan hasil observasi dalam suatu pernyataan yang lebih umum dan menurut suatu pandangan yang luas diterima, ilmu-ilrnu empiris ditandai oleh metode induktif, disebut induktif bila bertolak dari pernyataan tunggal seperti
50
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
gambaran mengenai hasil pengamatan dan penelitian orang sampai pada pernyataan pernyataan universal. David Hume telah membangkitkan pertanyaan mengenai induksi yang membingungkan para filosof dari zamannya sampai sekarang. Menurut Hume, pernyataan yang berda observasi tunggal betapapun besar jumlahnya, secara logis tak dapat menghasilkan suatu pernyataan umum yang tak terbatas. dalam induksi setelah diperoleh pengetahuan, maka akan dipergunakan ha-hal lain, seperti ilmu mengajarkan kita bahwa kalau logam dipanasi juga akan mengembang, bertotak dari teori ini kita tahu bahwa logam lain yang kalau dipanasi juga akan mengambang. Dari contoh di atas bisa diketahui bahwa induksi tersebut memberikan suatu pengetahuan yang disebut juga dengn pengetahuan sintetik.
Komponen langkah-langkah Metodologis, yang terdiri 6 (enam) langkah metodologis, yaitu: a. Inferensi logis b. Deduksi logis c. Interpretasi, instrumentasi, penetapan sampel, penyusun skala. d. Pengukuran, penyimpulan sampel, estimasi parameter. e. Pengujian hipotesis. f. Pembentukan konsep, pembentukan dan penyusunan proposisi. Langkah Metodologis digambarkan dengan elips. Penjelasan tentang langkah-langkah Metodologis adalah sebagai berikut: a. Langkah pertama. Ada masalah yang harus dipecahkan. Seluruh langkah ini (6 langkah) oleh Popper disebut Epistomology Problem Solving. Untuk 51
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst
Twitter : @dnezzotion
Email :
[email protected]
pemecahan masalah tersebut diperlukan kajian pustaka (inferensi logis) guna mendapatkan teori-teori yang dapat digunakan untuk pemecahan masalah. b. Langkah kedua. Selanjutnya dari teori disusun hipotesis. Untuk menyusun hipotesis diperlukan metode deduksi logis. c. Langkah ketiga. Untuk membuktikan benar tidaknya hipotesis perlu adanya observasi. Sebelum melakukan observasi perlu melakukan interpretasi teori yang digunakan sebagai landasan penyusunan hipotesis dalam penelitian adalah
penyusunan
kisi-kisi/dimensi-dimensi,
kemudian
penyusunan
instrumen pengumpulan data, penetapan sampel dan penyusunan skala. d. Langkah keempat. Setelah observasi, selanjutnya melakukan pengukuran (assessment), penetapan sampel, estimasi kriteria (parameter estimation). Langkah tersebut dilakukan guna mendapatkan generalisasi empiris (empirical generalization). e. Langkah kelima. Generalisasi emperis tersebut pada hakekatnya merupakan hasil pembuktian hipotesis. Apabila hipotesis benar akan memperkuat teori (verifikasi). Apabila hipotesis tidak terbukti akan memperlemah teori (falsifikasi). f. Langkah keenam. Hasil dari generalisasi empiris tersebut dipergunakan sebagai bahan untuk pembentukan konsep, pembentukan proposisi. Pembentukan atau penyusunan proposisi ini dipergunakan untuk memperkuat atau memantapkan teori, atau menyusun teori baru apabila hipotesis tidak terbukti.
52
Matakuliah : Filsafat Ilmu Oleh : Wahyu Efendi Nst