Tuhan atau Alam: Agama dan Sains dalam Filsafat Ketuhanan Spinoza1 Oleh Amin Mudzakkir (NPM: 01920811) Pendahuluan Perdebatan antara agama dan sains adalah perdebatan klasik. Dalam sejarah filsafat modern, perdebatan tersebut menemukan momen radikalnya dalam pemikiran Baruch Spinoza. Dalam sistem filsafatnya, agama dan sains berusaha dipertemukan sedemikian rupa. Istilah ‘Deus sive Natura’ atau ‘God or Nature’ adalah kata kunci dalam filsafat ketuhanan Spinoza yang lahir dalam konteks pertemuan itu. Meski Spinoza adalah filsuf modern yang lahir dan dibesarkan dalam tradisi agama-agama, pada saat yang sama dia sedang menyaksikan revolusi sains terutama yang diwakili oleh Galileo. Hubungan dengan tradisi agama-agama, dalam hal ini Yahudi dan Kristen, baik penerimaan maupun penolakannya, memainkan peran penting dalam perjalanan intelektual Spinoza. Akan tetapi, argumen-argumen dia tentang Tuhan dan agama bercorak saintifik. Dia, misalnya, menyebut penggunaan metode geometri dalam menyusun argumen-argumennya. Apa yang dilakukan oleh Spinoza memang cukup khas zaman itu, yaitu zaman ketika konsepsi manusia dan alam mengalami perubahan radikal. Manusia dinilai bukan lagi sentral dari kehidupan, melainkan bagian dari alam atau jagat raya. Makanya, pada Spinoza, Tuhan dan Alam berusaha disatukan. Tulisan ini akan mendiskusikan lebih lanjut bagaimana Spinoza merumuskan filsafat ketuhanannya dengan argumentasi-argumentasi yang ditimba dari tradisi agama-agama dan sains. Konsepsi tentang Tuhan Seperti Descartes, Spinoza adalah seorang rasionalis. Akan tetapi, konsepsi Spinoza tentang Tuhan justru dimulai dengan perbedaan argumennya dengan Descartes. Bagi Descartes, substansi pada pada manusia selalu bersifat dualistis, yaitu jiwa (res cogitans) dan tubuh (res extensa), sementara bagi Spinoza, substansi adalah satu, dan itu tidak lain adalah Tuhan. Tidak ada substansi di luar Tuhan. Jiwa dan tubuh bukan substansi, melainkan hanya atribut. Pada Spinoza, substansi adalah “sesuatu yang ada 1
Tugas akhir MK Filsafat Agama, Program Pascasarjana, STF Driyarkara, Jakarta, Semester Ganjil 2012.
1
dalam dirinya sendiri dan dipikirkan oleh dirinya sendiri”,2 sementara atribut adalah “ciri khas yang melekat pada substansi”. Atribut, dengan ungkapan lain, adalah cara intelek manusia mengindra adanya Tuhan. Oleh karena itu, atribut Tuhan sudah pasti plural, baik yang bersifat rohani maupun jasmani. Atribut-atribut yang plural tersebut adalah modi Tuhan. ‘Modi’ adalah bentuk jamak dari ‘modus’ yang artinya adalah cara. Atribut-atribut itu adalah cara Tuhan mengada. Dengan argumen-argumen ini Spinoza hendak mengatasi dualisme Cartesian. Substansi atau Tuhan dalam filsafat Spinoza bersifat tidak terbatas, sementara atribut terbatas. Akan tetapi, berbeda juga dengan kalangan agama-agama Ibrahim, Tuhannya Spinoza adalah Tuhan yang impersonal, bukan Tuhan personal. Tuhannya Spinoza adalah Tuhan yang lahir dari pengembaraan dan cinta intelektual. Tuhannya Spinoza bukan Tuhan yang menciptakan kemanusiaan dan menyapa manusia dalam kasih-Nya secara individual. Dalam kata-katanya sendiri, Tuhan didefinisikan sebagai “a being absolutely infinite, i.e., a substance consisting of an infinity of attributes, of which each one expresses an eternal and infinite essence”.3 Akan tetapi, substansi pada Spinoza tidak hanya Tuhan, tetapi juga Alam. Yang dimaksud Alam di sini bukan alam yang terbatas, melainkan Alam yang tidak terbatas. Inilah yang paling khas pada Spinoza, yaitu konsepsinya tentang Deus siva Natur (Tuhan atau Alam). Secara radikal Spinoza menyamakan Tuhan dan Alam. Antara Tuhan dan Alam identik. Seperti telah dikemukakan di atas, Tuhan bagi Spinoza bukanlah seorang pencipta, Ia bukan apa-apa, Ia adalah Alam itu sendiri. Dengan kalimat lain bisa diungkapkan bahwa Tuhan bukan alam jagat raya (natura naturata), Ia adalah sumber di balik jagat raya (natura naturans). Dengan ungkapan terkenal ini Spinoza sesungguhnya hendak mempertemukan pengetahuan sains modern tentang alam (natura naturata) dan sebuah metafisika tentang Alam (natura naturans). “Before proceeding, I would wish to explain, or rather to remind you, what we must understand by active and passive nature (natura naturans and natura naturata), for I think that from the past propositions we shall be agreed that by active nature we must understand that which is in itself and is conceived through itself, or, such attributes of substance as express eternal and infinite essence, that is ... God, in so far as he is 2
Simon Petrus L. Tjahyadi, Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern (Yogyakarta: Kanisius, 2004), hlm. 212; Simon Petrus L. Tjahyadi, Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan (Yogyakarta: Kanisuis, 2007), hlm. 29-30. 3
http://plato.stanford.edu/entries/spinoza/ -- diakses 9 Mei 2012.
2
considered as a free cause. But by passive nature I understand all that follows from the necessity of the nature of God, or, of any one of his attributes, that is, all the modes of the attributes of God, in so far as they are considered as things which are in God, and which cannot exist or be conceived without God.”4 Kehadiran Tuhan dalam skema argumentasi Spinoza mesti dipahami dalam bangunan besar sistem pemikirannya tentang etika. Untuk sampai kepada ajarannya tentang etika, Spinoza mengajukan dalil umum sebagai premis dasar dari logika berpikirnya yang bersifat deduktif. Dalil umum itu adalah ‘conatus’, yaitu usaha manusia untuk mempertahankan diri. Dengan kemampuan inteleknya, manusia mampu mengolah usaha tersebut menuju kebahagiaan atau kenikmatan. Sebaliknya, jika tidak, manusia akan terjerembab dalam kesedihan. Puncak tertinggi dari kebahagiaan atau kenikmatan manusia adalah mengenal Tuhan. Dikatakan bahwa semakin kita mengerti Tuhan secara intelektual, semakin kita mencintai-Nya (amor Dei intellectualis). Dalam khazanah filsafat agama, argumen tentang Tuhan yang disampaikan oleh Spinoza dapat disebut sebagai argumen ontologis. Argumen seperti ini bisa ditemukan, misalnya, pada Santo Anselmus dan Descartes. Secara umum argumen ontologis berupaya untuk menunjukkan bahwa Tuhan harus ada sebagai soal keharusan dan bahwa kita bisa tahu itu sungguh-sungguh dengan mempertimbangkan apa yang dimaksud dengan konsep Tuhan.5 Banyak pengamat menyebut Spinoza sebagai seorang panteis dan monis.6 Panteisme percaya bahwa Tuhan ada dalam semua benda. Monisme adalah pandangan yang melihat realitas sebagai sesuatu yang tunggal. Akan tetapi, ada juga pengamat yang menggolongkan Spinoza sebagai seorang panenteis. Panenteisme berbeda dengan panteisme. Dalam panenteisme, hubungan antara Tuhan dan alam adalah identik, tidak terpisahkan, sedangkan dalam panteisme alam masih dianggap sebagai emanasi Tuhan. Konsep sentral dalam filsafat Spinoza bukan manusia, Cogito, atau subjek, tetapi Tuhan atau Alam.7 4
De Dijn, “Spinoza on Knowledge and Religion”, hlm. 130.
5
Errol E. Harris, Spinoza’s Philosophy: An Outline (New Jersey/London: Humanities Press, 1992), hlm. 21; Julian Baggini, Lima Tema Utama Filsafat (Jakarta: Teraju, 2002). 6
Errol E. Harris, hlm. 25.
7
De Dijn, hlm. 132.
3
Implikasi dari konsepsi ketuhanan Spinoza terhadap eksistensi manusia sunggguh serius dan di sinilah persis pemikiran Spinoza memperlihatkan kontradiksinya. Manusia tidak mempunyai kebebasan individual sebab mereka adalah modus Tuhan. Dengan demikian tidak ada kebebasan individual bagi manusia. Menanggapi ini bisa diajukan pertanyaan. Kalau manusia tidak mempunyai kebebasan, lalu dari mana kejahatan berasal? Kalau mengikuti alur argumen Spinoza, jawaban terhadap pertanyaan itu sangat mudah, yaitu dari Tuhan dan Alam, sebab secara substansial tidak ada sesuatu di luar itu. Masalahnya, bagaimana bisa diterima pernyataan bahwa Tuhan menjadi asal kejahatan? Kebebasan adalah perkara yang pelik dalam filsafat Spinoza. Determinasi Tuhan atau Alam tidak menyisakan ruang sama sekali bagi kebebasan manusia. Ini terlihat paradoks dengan minat politik Spinoza yang sepanjang hidupnya justru menentang praktik fanatisme dan intoleransi dalam beragama. Untuk menjawab problem ini kita perlu menengok apa yang dimaksud kebebasan dalam ajaran etikanya. Menurut Spinoza, pertanyaan etis yang akan terus menerus menantang manusia bukan ‘apakah kewajibanku?’ melainkan ‘apakah kebahagiaanku?’. Kewajiban tidak mendapat tempat dalam filsafat Spinoza karena ia terkait dengan kebebasan. Yang ditekankan adalah cara mencapai kebahagiaan. Dalam rangka mencapai itu, manusia diberi bekal emosi, yaitu emosi pasif dan emosi aktif. Emosi pasif adalah emosi yang dialami manusia secara spontan. Dengan kata lain emosi pasif tidak memerlukan usaha intelek sama sekali sebab ia hanya datang kepada manusa sebagai ‘kebetulan’. Sementara itu, emosi aktif adalah usaha intelek manusia mencapai kebahagian. Dengan aktivasi emosi aktif inilah manusia akan sampai pada Tuhan. Jadi, pada unsur emosi aktif inilah kita masih menangkap adanya nuansa kebebasan. Akan tetapi, kebebasan ini pun pada dasarnya terbatas sebab akhirnya ia berujung pada Tuhan atau Alam.8 Tabel 1: Skema Substansi-Atribut dalam Filsafat Spinizo Tuhan (substansi) Hubungan antara esensi Esensi Tuhan adalah dan eksistensi eksistensi Kausalitas Mendeterminasi segalanya Determinasi-diri
Ya
Atribut dan Modi Eksistensi dan esensi berbeda Tidak menentukan segalanya Tidak
Sumber: Jousse, 2004.
8
F. Budi Hardiman, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzche (Jakarta: Gramedia, 2007), hlm. 50-51.
4
Tradisi Agama-Agama Spinoza adalah seorang Yahudi. Pada masa muda dia bahkan diharapkan keluarganya untuk menjadi rabbi. Akan tetapi, sejarah menunjukkan bahwa konsepsi tentang Tuhan dan agama yang dikemukakan oleh Spinoza sebagian besar justru merupakan penolakan terhadap tradisi agama leluhurnya. Secara terbuka, Spinoza menolak antromorfisme dalam teologi Yahudi. Dia juga menyerang kepercayaan terhadap adanya kebangkitan tubuh dan eksistensi ‘kerajaan Tuhan’. Lebih jauh dia juga mengkritik sakralitas Tuhannya orang Yahudi yang bersandar pada dualitas Kitab Torah. Visi historis Sinoza jelas bertentangan dengan visi historis komunitas Yahudi yang linier dan teleologis. Meski demikian, Spinoza juga menggunakan beberapa aspek dalam tradisi Yahudi ketika merumuskan argumen-arumennya tentang Tuhan dan agama, tetapi membuang jauh segala yang bertendensi ke arah fanatisme atau intoleransi. Salah satu aspek yang ditimba dari tradisi Yahudi itu adalah mistisisme, berkait dengan apa yang dalam tradisi mereka disebut ‘kabbala’. Tradisi mistik ini menarik dipelajari lebih jauh karena mengandung sebuah paham tentang divinitas Tuhan dalam alam. Konsepsi Tuhan atau Alam-nya Spinoza sedikit banyak berasal dari paham ini. Kritik Spinoza terhadap fanatisme dan intoleransi dalam agama adalah tanggapannya terhadap situasi sejarah ketika itu. 9Konteksnya adalah Belanda pada abad ke-17. Keluarga Spinoza adalah bagian dari komunitas imigran Yahudi yang terusir dari Portugal. Di Belanda, mereka berharap mendapatkan kebebasan dalam beragama. Pada masa itu Belanda terkenal sebagai tempat di mana kebebasan diperhatikan dan dijamin oleh pemerintah yang dikuasai kaum Republikan (terdiri dari kalangan aristokrat Protestan). Kondisi ini didukung oleh kemakmuran (the golden age) yang dicapai oleh Belanda sebagai negara dengan armada dan kemampuan manajerial dagang yang tanggguh. Saingan mereka di Eropa (dan Dunia) hanyalah Inggris dan Perancis. Akan tetapi, Belanda pada saat yang sama menghadapi problem sosial yang kompleks. Ketimpangan antara orang kaya dan orang miskin sangat kentara. Antagonisme di antara kelompok-kelompok politik sangat tinggi. Dalam politik domestik, persaingan antara kaum republik dan kaum monarkis terus menerus membayangi jalannya pemerintahan. Pada 1654 berlangsung perang yang hebat 9
Henry E. Allison, hlm. 25.
5
dengan Inggris, juga ancaman dari Perancis. Politik domestik goyah, pemerintah kaum Republikan jatuh. Pada 1672 kaum Monarki mendirikan pemerintahan. Dibanding kaum Republikan, kaum Monarki cenderung anti-intelektual. Kritisisme, termasuk yang dikemukakan oleh Spinoza, direpresi.10 Komunitas Yahudi di mana Spinoza lahir dan tumbuh adalah komunitas yang sedang mengalami krisis. Sejak terusir dari Portugal, mereka terlihat kehilangan identitas dan kepercayaan diri. Dalam suasana itu, komunitas Yahudi di Belanda justru menjadi konservatif. Otoritas keagamaan membatasi sedemikian rupa ruang interpretasi terhadap teks keagamaan dan tradisi. Akibatnya, kritik Spinoza terhadap pemahaman dan praktik dalam tradisi Yahudi dijawab dengan hukuman ekskomunikasi. Dalam situasi sejarah inilah pemikiran Spinoza tentang Tuhan dan agama dilahirkan. Spinoza juga terpengaruh oleh tradisi Kristen. Dalam banyak hal, konsepsi ketuhanan Spinoza adalah penolakan terhadap konsepsi ketuhanan Kristen. Konseptualisasi bahwa Tuhan atau Alam adalah identik merupakan bentuk oposisi dari keyakinan Tuhan Kristen yang menempatkan Tuhan sebagai sesuatu yang unik (omne unum, totum et solum bonum). Namun persis pada bagian ini terlihat pengaruh Kristen terhadap Spinoza. Penempatan Tuhan sebagai premis dasar dalam skema argumentasi Spinoza merupakan modifikasi dari keyakinan teologis ini. Dari Sains ke Mistisisme Saintifik Spinoza adalah seorang anak kandung Pencerahan. Oleh karena itu, untuk memahami Spinoza kita harus menempatkan pemikirannya dalam situasi zamannya. Zaman dia hidup adalah zaman ‘scienza mova’ dengan Galileo sebagai tokoh utamanya. Sementara itu, Descartes dan Hobbes juga anak kandung Pencerahan. Mereka berusaha menjelaskan etika dan politik dengan argumentasi saintifik. Mereka juga mencoba mengkonseptualisasi ulang ide-ide tentang Tuhan dan manusia. Untuk mencapai tujuannya, Descartes menggunakan argume-argumen yang diekstraksi dari keahliannya dalam ilmu kedokteran, sementara Hobbes dalam fisika dan psikologi. Akan tetapi, manusia pada Descartes masih dilihat sebagai makhluk yang unik, mempunyai entitas spiritual (dualisme Cartesian jiwa-materi), dan dicirikan oleh karakternya yang immortal. Hobbes juga memandang manusia sebagai makhluk yang 10
Jousse, “The Idea of God in Spinoza’s Philospohy”, hlm. 7.
6
mempunyai hak dan kewajiban alamian yang spesial, meskipun dalam kondisi asalinya. Singkatnya, bagi Descartes dan Spinoza, manusia tetap mempunyai tempat khusus dalam alam yang secara intrinsik terhubung dengan ide tentang tuhan yang personal sebagaimana diimani dalam Kristen. Berbeda dengan Descartes dan Hobbes, Spinoza mengajukan argumen yang sama sekali berbeda. Menurutnya, jika iman kepada Tuhan masuk akal, itu tidak bisa diacu kepada sebuah persona, tetapi kepada Alam. Manusia bukan kerajaaan dalam kerajaan alam, bukan juga suatu diri yang unik atau makhluk setengah dewa, tetapi hanya salah satu atau lebih modus Tuhan. “Now since all these prejudices which I am undertaking to point out depend upon this one point, that men commonly suppose that all natural things act like themselves with an end in view, and since they assert with assurance that God directs all things to a certain end (for they say that God made all things for man, and man that he might worship God), I shall therefore consider this one thing first, inquiring in the first place why so many acquiesce in this prejudice, and why all are by nature so pone to embrace it; then I shall show its falsity, and finally, how from this there have arisen prejudices concerning good and bad, merit and wrong-doing, praise and blame, order and confusion, beauty and ugliness, and other things of this kind. But this is not the place to deduce these things from the nature of the human mind. It will suffice here for me to take as a basis of argument what must be admitted by all: that is, that all men are born ignorant of the causes of things, and that all have a desire of seeking what is useful to them; that they are conscious of their volitions and appetites, and as they are ignorant of the causes by which they are led to seek and to will, they do not even dream of their existence. It follows, in the second place, that men do all things with an end in view, that is, they seek what is useful. Whence it comes about that they always seek out only the final causes of things performed, and when they have divined these they are satisfied, for then they have no cause of further doubt. If they are unable to learn these causes from some one, nothing remains for them but to turn to themselves and reflect on the ends that could induce them personally to bring about such a thing, and thus they necessarily estimate other natures by their own... Whence it has come about that each individual has devised, in accordance with his own nature, different ways of worshipping God, that God may love him above the rest and direct the whole of nature for the gratification of his blind cupidity and insatiable avarice. Thus this prejudice became a superstition, and fixed its roots deeply in the mind, and this was the reason why all diligently endeavoured to understand and explain the final causes of all things.”11 11
Dikutip dalam De Dijn, hlm. 129.
7
Hal pokok yang terkandung dalam kutipan di atas adalah penolakan Sponoza terhahap antroposentrisme. Manusia bukan lagi sentral dalam kerajaan alam. Selain itu, Spinoza juga menolak teleologi. Manusia adalah bagian dari sebuah proses tanpa tujuan. Akan tetapi, Spinoza juga menolak kehendak bebas dan, sebagai konsekuensinya, mengafirmasi determinisme. Manusia dalam kata-kata Spinoza dibahasakan sebagai berikut: “We are but clay in the hands of the potter.”12 Perjumpaan Spinoza dengan sains menghasilkan sintesis yang menarik. Meski pada masa muda dia dikatakan “lost his faith”, sains justru telah mengantarkan kembali Spinoza ke pangkuan agama. Akan tetapi, agama yang dipeluk oleh Spinoza bukan agama ‘teologis’, melainkan agama ‘filosofis’. Dalam Tractatus TheologicoPoliticus, Spinoza menunjukkan minat yang dalam studi agama secara saintifik. Dapat dikatakan bahkan dia adalah orang pertama yang memahami Kitab Suci (Bible) dengan pendekatan saintifik, eksegetis, dan hermeneutis. Sebelum David Hume, Spinoza telah mengembangkan apa yang disebut ‘sejarah keagamaan yang alamiah’, yaitu sebuah eksplanasi tentang bagaimana komunitas manusia secara tak terelakkan membangun bentuk-bentuk keagamaan yang berbeda dan konsekuensi-konsekuensi agama terhadap kehidupan sosial politik. Dalam pandangan Spinoza, meskipun manusia berpikir rasional secara individual, mereka tetap tidak bisa terpisah dari kolektivitas. Dalam kolektivitas itulah manusia dibimbing oleh emosi harapan dan ketakutan. Agama tumbuh-kembang dalam suasana emosional tersebut. Dalam pikiran Spinoza, agama adalah peristiwa alamiah. Oleh karena itu, ia sangat tergantung pada lingkungan. Bentuk ekspresinya bermacam-macam dari mulai yang bersifat takhayul sampai agama yang terpurifikasi. Secara umum pandangan sosiologis Spinoza terhadap agama cukup positif. Interpretasi mistik Spinoza berkembang di kalangan tertentu yang menyebut diri mereka sebagai ‘Spinozis’. Di antara mereka adalah Albert Einstein. Mereka berpendapat bahwa sains bisa dikombinasikan dengan atau ditransformasikan menjadi sebuah bentuk agama filosofis. Bagi Einstein, sebagaimana juga menurut Spinoza, sudut pandang saintifik memberi jalan keluar dari kesuraman eksistensial manusia. Dari sini manusia akan terhubung dengan kontemplasi dan, oleh karena itu, keselamatan. Dengan kata lain, aktivitas saintifik bisa membawa manusia ke dalam 12
Dalam De Dijn, hlm. 31
8
suasana eksistensial yang relijius, atau, dalam kata-kata Einstein, “a cosmic religious feeling”, sehingga menciptakan sejenis “rapturous amazement”.13 Bertrand Russel juga terpengaruh oleh gagasan ‘Tuhan atau Alam’-nya Spinoza. Dia mengemukakan pendapatanya tentang relasi antara sains dan wawasan intuitif. Menurutnya, aktivitas saintifik adalah aktivitas yang sangat intens dengan persoalan penafsiran, sehingga menghasilkan ketegangan, dan ketika sampai pada pencapaian wawasan baru tertentu, sang ilmuwan sesungguhnya mengalami semacam perasaan eforia. Akan tetapi, agak berbeda dengan Einstein dan bahkan Spinoza sendiri, perasaan eforia pada Russel ini betul-betul mengarah pada ‘Nature’ yang tak terhingga. Sementara itu, dalam sebuah interpretasi lainnya, filsafat agama atau mistismenya Spinoza mungkin bahkan sampai tingkat tertentu bisa dibandingkan dengan bentuk-bentuk relijiusitas Timur. Di dalamnya terdapat elemen-elemen yang paradoksal: transendensi diri, anti-antropomorpik yang radikal, kesalehan impersonal, dan kemungkinan sejenis penyelamatan dari semua macam kerinduan dan penderitaan manusia. Akan tetapi, mistisme Spinoza secara tipikal adalah modern dan Barat. Ini dimediasi oleh pengetahuan saintifik, tetapi bukan pengetahuan saintifik yang sifatnya fisik melainkan emosionalitas manusia. Dalam hal ini Spinoza berbeda denagn Einstein dan Russel yang mistismenya tidak berkait langsung dengan meditasi tentang emosionalitas manusia, tetapi sebuah kontemplasi tentang Alam sebagai sebuah keseluruhan. Penutup Filsafat ketuhanan Spinoza lahir dari usaha radikal untuk mengintegrasikan agama dan sains. Akan tetapi, agama di sini bukan agama personal yang terlembagakan sedemikian rupa sehingga membentuk hierarki dan ortodoksi, melainkan spiritualitas yang impersonal. Persekusi yang dialami oleh Spinoza menghasilkan trauma cukup mendalam terhadapnya. Agama yang personal dalam kenyataannya mempunyai kecenderungan untuk mendaku kebenaran secara absolutis, sehingga dalam situasi sosial tertentu justru rawan dimobilisasi oleh kekuasaan politik dan ekonomi yang dominan. Sejarah Belanda pada abad ke-17 menunjukkan hal itu dengan bernas. Untuk mengkritisi itu, Spinoza tidak lari dari agama, tetapi mencoba menawarkan 13
De Dijn, hlm. 133.
9
pandangan teologi alternatif yang ditimba baik dari tradisi agama-agama, dalam hal ini Yahudi dan Kristen, dan sains. Tradisi agama-agama, dalam pandangan Spinoza, adalah khazanah yang bisa digunakan untuk memperkaya pemahaman tentang Tuhan dan agama. Sementara itu, meskipun mendapat kritik yang tajam dari beberapa kalangan, penggunaan metode geometri dalam filsafat ketuhanan memperlihatkan kemampuan Spinoza dalam menkontekstualisasikan iman dengan jiwa zamannya. Istilah ‘Tuhan atau Alam’ yang lahir dari usaha kontekstualisasi itu masih sangat relevan hingga sekarang. Para aktivis dan bahkan pemikir yang berminat pada isu-isu ekologi pada masa kini mendasarkan sebagian argumen-argumennya pada filsafat Spinoza. Ini terlihat, misalnya, dalam karya-karya Arne Naess yang menyatakan bahwa “No great philosopher has so much to offer in the way of clarification and articulation of basic ecological attitudes as Baruch Spinoza”.14 Di tengah keprihatinan global terhadap perubahan iklim akhir-akhir ini, gagasan-gasasan filosofis Spinoza kembali hidup dan menemukan relevansinya. Spinoza memang telah menyingkirkan iman yang personal, sehingga kebebasan individul tidak mendapat tempat lagi dalam filsafat ketuhanannya. Akan tetapi, kebebasan tetap hadir dalam gagasan Spinoza tentang etika. Dalam hal itu dia menekankan pentingnya emosi aktif, yaitu usaha manusia menggapai kebahagiannya. Di sini terlihat Spinoza sebagai seorang pemikir yang mengusung sekularisme dalam politik. Dan persis pada titik inilah relevansi pemikiran Spinoza bagi Indonesia masa kini memperoleh signifikansinya. Di tengah banyaknya praktik intoleransi beragama di Indonesia sekarang ini, yang mengingatkan kita pada persekusi terhadap Spinoza tiga abad lebih lampau, kiranya penting untuk mengaktifkan solidaritas kemanusiaan untuk menghadapi itu.[]
Daftar Pustaka Allison, Henry E., Benedict de Spinoza: An Introduction, New Haven/London: Yale University Press, 1987. Baggini, Julian, Lima Tema Utama Filsafat, Jakarta: Teraju, 2002. 14
Dikutip dalam K.L.F.Houle, “Spinoza and Ecology Revisited”, Environmental Ethics, Vol. 18, Winter, 1997.
10
De Dijn, Herman, “Spinoza on Knowledge and Religion” daalm Peter Losonczi, Andras Szigeti, dan Miklos Vassanyi (eds.), Religio Academici: Essays on Scepticism, Religion, and Pursuit of Knowledge, Budapest: Akademiai Kiado, 2009. Hardiman, F. Budi, Filsafat Modern Dari Machiavelli sampai Nietzche, Jakarta: Gramedia, 2007. Harris, Errol E., Spinoza’s Philosophy: An Outline, New Jersey/London: Humanities Press, 1992. Houle, K.L.F., “Spinoza and Ecology Revisited”, Environmental Ethics, Vol. 18/Winter, 1997. http://plato.stanford.edu/entries/spinoza/ -- Diakses 9 Mei 2012. Jousse, Emmanuel, “The Idea of God in Spinoza’s Philospohy”, E-Logos: Electronic Journal for Philosophy, 2004. Tjahyadi, Simon Petrus L., Petualangan Intelektual: Konfrontasi dengan Para Filsuf Dari Zaman Yunani hingga Zaman Modern, Yogyakarta: Kanisius, 2004. ----------, Tuhan Para Filsuf dan Ilmuwan, Yogyakarta: Kanisius, 2007.
11