Drh. Ardilasunu Wicaksono Fakultas Kedokteran Hewan Institut Pertanian Bogor
Schistosomiasis Pendahuluan Latar belakang Schistosomiasis merupakan salah satu penyakit zoonotik yang menurut cara penularan/ transmisinya diklasifikasikan pada golongan metazoonosis. Metazoonosis merupakan zoonosis dengan siklus penularan yang membutuhkan vertebrata dan melibatkan invertebrata untuk menyempurnakan siklus hidup agen penyebab penyakit. Schistosomiasis merupakan metazoonosis obligat dimana manusia/vertebrata harus menjadi salah satu induk semang dalam siklus hidupnya. Schistosomiasis adalah penyakit zoonotik dan merupakan masalah kesehatan
masyarakat.
Penyakit
ini
berjalan
kronis
dan
menimbulkan
penderitaan selama bertahun-tahun, menurunkan kapasitas kerja, dan dapat berakhir dengan kematian. Pada tempat-tempat endemik, schistosomiasis menjadi penyakit masyarakat dimana dapat menyerang manusia yang berumur kurang dari 15 tahun. Schistosomiasis adalah masalah kesehatan masyarakat yang berkaitan erat dengan masalah sosial budaya dan kemiskinan.
Pada umumnya orang
yang terinfeksi adalah orang-orang yang mempunyai kehidupan dekat dengan perairan atau tidak terpisahkan dengan lingkungan air Schistosomiasis adalah suatu penyakit yang ditularkan melalui air (water-borne-disease) yang biasanya didapat karena berenang dalam air yang mengandung induk semang antaranya yaitu siput. Penyakit ini juga menjadi perhatian masyarakat di seluruh dunia dikarenakan dapat ditularkan kepada wisatawan yang berkunjung ke daerah
Ardilasunu Wicaksono 2010 endemis. Hal lain yang harus diperhatikan bahwa penyakit ini menyerang manusia selama bertahun-tahun dan bisa bersifat asimptomatis, sehingga manusia yang terserang berperan sebagai reservoir. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah pengendalian untuk meningkatkan kewaspadaan masyarakat dan menurunkan tingkat kejadian penyakit.
Tujuan Tujuan pembuatan makalah ini adalah untuk membahas mengenai penyakit schistosomiasis berdasarkan etiologi dan agen penyebab, siklus hidup agen, cara transmisi, epidemiologi dan penyebaran penyakit, gejala klinis yang ditimbulkan, dan pengobatan serta pengendaliannya.
Pembahasan Etiologi dan agen penyebab Schistosomiasis disebut juga bilharziasis karena pertama kali ditemukan trematoda dewasa oleh Theodor Bilharz pada tahun 1851 di vena messenterica pada manusia di Kairo, Mesir. Nama lain penyakit ini disebut juga Katayama syndrome. Diduga penyakit ini juga merupakan penyebab hematuria endemic di Mesir yang telah dilaporkan kejadiannya sejak zaman Fir’aun. Penyakit ini bersifat kronis yang disebabkan oleh cacing Trematoda dari genus Schistosoma. Saat ini dikenal 6 spesies yaitu Schistosoma hematobium, S. mansoni, S. intercalatum, S. japonicum, S. bovis, dan S. mattheei. Schistosoma hematobium, S. mansoni, dan S. intercalatum memiliki induk semang utamanya adalah manusia, dan terkadang dapat juga menyerang hewan. Pada kasus S. japonicum, secara alamiah manusia dan hewan samasama dapat menjadi induk semang. Pada kasus infeksi oleh S. bovis, dan S. mattheei induk semang utamanya adalah hewan sedangkan manusia terkadang dapat terinfeksi. Keenam spesies cacing Schistosoma secara biologis maupun morfologis identik, hidup di vena dari induk semangnya dan memiliki siklus hidup yang serupa. Perbedaan utamanya adalah rincian anatomis setiap spesies, bentuk telur, dan induk semang antaranya. Schistosoma adalah trematoda dengan jenis kelamin berbeda yang hidup pada pembuluh darah induk semang definitif
Ardilasunu Wicaksono 2010 (berbagai jenis siput). Lokasi akhir parasit ini adalah sistem peredaran darah. Schistosoma mansoni dijumpai di vena mesenterica yang membawahi usus besar terutama di cabang sigmoidea, sedangkan S. japonicum ditemukan di daerah venulae dari usus halus dan S. haematobium dijumpai di plexus sistem vena cava yang membawa darah dari vesica urinaria. Schistosomiasis adalah penyakit yang disebabkan oleh sejenis parasit cacing dari famili shistosomatidae yang memiliki habitat pada pembuluh darah disekitar usus atau vesica urinaria. Schistosoma merupakan cacing yang mampu menginfeksi berbagai hewan vertebrata termasuk manusia. Hewan yang mampu bertindak sebagai inang definitif untuk cacing ini sangat luas karena bersifat non spesific hospest. S. japonicum selain menginfeksi manusia juga dapat menginfeksi hewan mamalia. Schistosomiasis dapat ditularkan dari manusia ke hewan mamalia dan dari hewan mamalia ke manusia melalui perantaraan siput Oncomelania hupensis lindoensis. Parasit ini dapat ditemukan pada berbagai spesies hewan, namun masih menjadi pertanyaan apakah hewan tersebut bertindak sebagai reservoir atau hanya secara incidental menjadi hospes. Dari penelitian yang dilakukan, S. japonicum dapat menginfeksi anjing, kucing, sapi, kerbau, babi, kuda, domba, kambing, tikus, dan mencit. Anjing, sapi, dan kerbau mengeluarkan lebih banyak telur cacing daripada manusia. Daya tetas telur yang berasal dari sapi dan babi mencapai 70% dibandingkan hanya 42% dari manusia Manusia merupakan reservoir utama dari S. haematobium, S. mansoni, dan S, japonicum. Hewan-hewan domestik dan liar memegang peranan penting sebagai reservoir hanya pada S. japonicum. Penyakit ini dapat dianggap sebagai penyakit yang umum pada manusia dan hewan. Parasit dapat berpindah secara bebas antar spesies melalui induk semang antara kecuali pada beberapa keadaan tertentu karena adaptasi fisiologis/ galur geografis. Siklus hidup Telur cacing dalam tinja manusia atau hewan dilingkungan yang berair akan segera menetas dan mengeluarkan larva yang dissebut mirasidium. Masa hidup mirasidium sangat singkat, oleh karena itu harus segera menemukan siput yang bertindak sebagai inang antaranya yaitu siput. Jika larva ini tidak menemukan inang antara maka dalam waktu 24 jam larva akan mati. Mirasidium
Ardilasunu Wicaksono 2010 berenang dengan bantuan silia sampai mendapatkan spesies siput yang cocok sebagai inang antara. Bila berhasil menemukan siput, mirasidum melakukan penetrasi kedalam tubuh siput dan melakukan perubahan bentuk menyerupai kantung yang disebut sporokista. Di dalam tubuh sporokista memperbanyak diri secara aseksual menghasilkan ratusan serkaria. Ketika serkaria lolos keluar dari siput, serkaria mampu menginfeksi manusia dan hewan yang rentan. Dilingkungan berair serkaria berenang menggunakan ekornya sampai mendapatkan inang definitif. Pertumbuhan dari mirasidium ke serkaria memerlukan waktu antara 4 – 8 minggu dengan suhu optimal 26ºC. Serkaria biasanya dikeluarkan dari siput senja hari.
Gambar 1. Siklus hidup Schistosoma
Manusia atau hewan terinfeksi pada saat kontak dengan air yang terkontaminasi dengan serkaria. Serkaria masuk kedalam tubuh manusia melalui kulit. Pada saat memasuki kulit manusia, serkaria melepaskan ekornya dan berubah menjadi cacing muda (sistosomula). Selanjutnya cacing ini menembus
Ardilasunu Wicaksono 2010 jaringan memasuki pembuluh darah masuk kedalam jantung dan paru-paru untuk selanjutnya masuk kedalam vena porta disekitar hati. Cacing dewasa dalam vena porta akan berpasangan dan melakukan perkawinan. Pada akhirnya pasanganpasangan cacing Schistosoma bersama-sama pindah ketempat tujuan terakhir yaitu pembuluh darah usus kecil (vena mesenterika) yang merupakan habitatnya dan sekaligus tempat bertelur. Cacing dewasa Schistosoma tinggal didalam pembuluh darah vena mesenterika disekitar usus halus dan vena porta. Cacing betina dalam pembuluh darah penderita, memproduksi telur dalam jumlah ratusan sampai ribuan setiap hari. Sebagian besar telur tetap berada dalam tubuh dan lainnya memasuki pembuluh empedu atau usus dan kemudian keluar bersama feses penderita. Cacing betina meletakkan telur di pembuluh darah dekat mukosa usus. Telurtelur dapat menembus keluar dari pembuluh darah dan masuk ke dalam jaringan sekitar dan masuk ke lumen usus/ vesika urinaria dikeluarkan bersama tinja/ urin. Sebagian lagi akan ikut aliran darah dan menuju paru-paru, hati, dan organ lainnya. Cara transmisi Penularan schistosomiasis terjadi apabila larva serkaria yang berada dalam air menemukan inang definitif, dengan kata lain transmisi penyakit schistosomiasis pada manusia terjadi apabila manusia berada pada lingkungan perairan
yang
sudah
mengandung
larva
serkaria
dari
Schistosoma.
Schistosomiasis adalah suatu penyakit yang ditularkan melalui air (water-bornedisease) yang biasanya didapat karena berenang dalam air yang mengandung induk semang antaranya yaitu siput Beragam siput yang bertindak sebagai induk semang antara yang masing-masing beradaptasi dengan galur lokal dari parasit. Siput Bulinus sp. Merupakan inang antara untuk S. haematobium adalah siput akuatik yang akan berbiak di perairan yang airnya tidak terlalu banyak seperti kolam atau saluran irigasi. Siput Biomphalaria sp. Yang merupakan inang antara dari S. mansoni dapat ditemukan di perairan serupa, tetapi dapat juga berkembang pesat di danau dan perairan deras. Siput Oncomelania sp. Merupakan inang antara S. japonicum yang bersifat amfibi sehingga banyak dijumpai di tepian kanal irigasi, saluran drainase,
Ardilasunu Wicaksono 2010 ataupun daerah-daerah tergenang. Sumber utama penularan S. haematobium adalah anak kecil terinfeksi yang buang air kecil di perairan, sedangkan S. mansoni dan S. japonicum sumber utamanya adalah kontaminasi feses hewan/ manusia yang terbawa air. Telur Schistosoma dikeluarkan melalui feses manusia (S. mansoni dan S. japonicum) atau urin (S. haematobium). Telur akan menetas di air dan berubah menjadi larva yang disebut mirasidium yang akan menginfeksi siput sebagai inang antara. Larva selanjutnya berkembang di dalam tubuh siput dan dikeluarkan sebagai serkaria. Larva ini dapat berenang dan mampu untuk menembus ke dalam lapisan kulit inang definitif. Setelah penetrasi ke dalam kulit, serkaria mengalami perkembangan dan bermigrasi menuju hati. Setelah itu kembali bermigarasi melalui pembuluh darah vena menuju usus besar (S. mansoni dan S. japonicum) atau vesika urinaria (S. haematobium) dimana di sana cacing akan tumbuh menjadi dewasa, kawin, dan bertelur. Faktor penting yang berhubungan dengan penyebaran penyakit ini antara lain proyek perluasan dan pengembangan sistem perairan, pembuatan danau buatan, dan sistem irigasi. Faktor tersebut memicu pertumbuhan populasi siput sebagai inang antara. Perpindahan populasi manusia juga dapat menyebarkan penyakit ini. Sebagai contoh adalah adanya arus urbanisasi dari desa ke kota, transmigrasi, dan perpindahan turis wisata. Karena penyakit ini menular melalui siput sebagai induk semang antara yang menyukai tempat-tempat berair,maka penyakit ini banyak terjadi pada daerah dengan curah hujan yang cukup tinggi atau pada daerah yang memiliki danau atau kolam dengan populasi ternak yang cukup tinggi. Masyarakat di sebagian wilayah Indonesia mempunyai kebiasaan mandi, mencuci, mengambil air disungai dan buang hajat disungai, parit, atau disawah. Kebiasaan mandi, mencuci, dan mengambil air di sungai sangat beresiko terinfeksi S. japonicum. Mereka terinfeksi cacing S. japonicum pada saat kontak dengan air yang terkontaminasi dengan larva serkaria yaitu pada saat melakukan kegiatan harian tersebut. Selain kegiatan tersebut, infeksi S japonicum juga berkaitan dengan
pekerjaan. Bertani, memancing dan
berburu
dihutan
merupakan pekerjaan yang memiliki resiko sangat besar terhadap infeksi S. japonicum.
Ardilasunu Wicaksono 2010 Epidemiologi dan penyebaran penyakit Schistosomiasis merupakan salah satu penyakit infeksi parasit pada manusia yang menyebar luas di dunia. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) memperkirakan schistosomiasis menempati 40% dari keseluruhan penyakit di daerah tropis. Penyebaran schistosomiasis sangat luas di daerah tropis maupun subtropis. Diperkirakan penyakit ini menginfeksi 200 sampai 300 juta orang pada 79 negara dan sebanyak 600 juta orang mempunyai resiko terinfeksi. Pada awalnya di tahun 1904, seorang berkenegaraan Jepang, Katsudara, menemukan parasit pada vena porta kucing yang juga sejenis dengan parasit yang menyerang manusia. Setelah itu disadari bahwa parasit tersebut merupakan penyebab penyakit pada hewan dan manusia yang telah lama dikenal di Jepang. Kemudian para peneliti Jepang menemukan bahwa siput merupakan induk semang antara dari Schistosoma ini. Pada tahun 1914 daur hidup dari Schistosoma telah berhasil dipelajari. Schistosomiasis merupakan parasit yang biasa ditularkan melalui kontak dengan air. Penyakit ini endemis bagi lebih dari 70% negara berkembang di dunia. Lebih dari 650 juta orang memiliki risiko terinfeksi, dengan lebih dari 200 juta orang positif terinfeksi. Dari data tersebut, 120 juta orang menampakkan gejala klinis dengan 20 juta orang terinfeksi dengan parah. Schistosomiasis menimbulkan dampak kesehatan dan ekonomi yang besar. Penyakit ini kebanyakan menyerang anak-anak usia 14 tahun. S. mansoni (hepatik/intestinal) menyebar di daerah Sahara Afrika dan Timur Tengah, tetapi jugadapat ditemukan di Pulau karibia, Brazil, Venezuela, dan pantai Suriname. S. haematobium (urinari) berisiko pada lebih dari 50% negara di Afrika (prevalensi tinggi pada daerah Afrika Timur, lebih tepatnya di danau Malawi), Kepulauan Madagascar dan Mauritus, daerah Timur Tengah, dan beberapa area di India. S. japonicum (hepatik/intestinal) menyebar di daerah Asia Timur, Asia Tenggara, dan Pasifik Barat, dan banyak ditemukan di Cina, Indonesia, dan Filipina. S. intercalatum (hepatik/intestinal) ditemukan di daerah hutan pada Afrika bagian tengah dan barat. Schistosoma haematobium dan S. mansoni tersebar dari hulu sungai Nil di Afrika Tengah sampai ke hilirnya yaitu Mesir. Sedangkan S. japonicum ditemukan di negara Asia Timur dan Asia Tenggara seperti Jepang, Cina,
Ardilasunu Wicaksono 2010 Filipina, Thailand, dan Indonesia. Infeksi campuran dengan spesies hewan dan manusia sering muncul di Asia dan di Afrika. Hibridisasi secara alamiah telah terjadi antara S. mattheei dan S. haematobium di Afrika Selatan dan antara S. haematobium dengan S. intercalatum di Kamerun. Schistosoma mansoni memiliki penyebaran yang paling luas meliputi 52 negara di Afrika, mediterania timur, Karibia, dan Amerika Selatan. Schistosoma mansoni merupakan satu-satunya spesies yang dikenal di benua Amerika. Infeksi oleh spesies ini menyebar di daerah Brazil, Venezuela, Suriname, Puerto Rico, Dominika, dan pulau-pulau Antilla. Diduga Schistosoma dibawa ke Amerika karena perdagangan budak belian dari benua Afrika. Schistosomiasis menyebar dan merupakan penyakit penting di Cina, Afrika, Amerika Selatan, dan Asia Tenggara. Di Indonesia schistosomiasis pada manusia hanya ditemukan didaerah dataran tinggi Lembah Napu (desa Wuasa, Maholo, Winowanga, Alitupu, dan Watumaeta) dan Danau Lindu (desa Anca, Langko, Tomado, dan Puroo), Sulawesi Tengah yang disebabkan oleh cacing Schistosoma japonicum dengan induk semang antara Oncomelania hupensis lindonensis. Di Jakarta pernah dilaporkan seseorang terinfeksi oleh parasit ini dan diduga mendapatkan infeksinya dari Kalimantan Tengah. Gejala klinis Kontak langsung pada kulit oleh serkaria dapat menyebabkan kegatalan dan ruam pada kulit yang biasa disebut swimmers itch. Gejala klinis dapat terlihat terlihat setelah 23 minggu, namun kebanyakan tidak memperlihatkan gejala klinis (asimptomatis). Schistosoma haematobium, S. mansoni, dan S. japonicum memiliki masa inkubasi 8 sampai 12 minggu dihitung dari mulai larva memasuki tubuh sampai cacing mencapai feses/ urin penderita. Infeksi Schistosoma dapat menimbulkan gejala-gejala yang bersifat umum seperti gejala keracunan, demam, disentri , penurunan berat badan, penurunan nafsu makan, gejala saraf, kekurusan dan lambatnya pertumbuhan pada anak-anak. Sedang pada penderita yang sudah kronis dapat menimbulkan pembengkakan hati dan limpa serta sirosis hati yang umumnya berakhir dengan kematian.
Ardilasunu Wicaksono 2010 Gejala klinis pada fase akut (dikenal dengan Katayama Fever) berupa demam, malaise, urticaria, dan eosinofilia. Gejala lain dapat berupa batuk, demam, letargi, diare, kekurusan, hematuria, sakit kepala, nyeri persendian dan otot, eosinofilia, splenomegali, dan hepatomegali. Infeksi Schistosoma haematobium akan menyebabkan demam disertai batuk kering yang diikuti dengan kesakitan perut ringan, hati menjadi lunak, dan eosinofilia. Pada infeksi yang berkepanjangan, S. japonicum dapat menyebabkan granuloma di perut dan karsinoma pada lambung. Infeksi kronis dari S. mansoni dan S. japonicum menyebabkan fibrosa periportal hati dan hipertensi vena porta yang menyebabkan ascites dan varises oesofagial. Infeksi jangka panjang dari S. haematobium menyebabkan perlukaan vesica urinaria, obstruksi renalis, infeksi kronis saluran urinari, dan kemungkinan carcinoma pada vesica urinaria. Diagnosa dapat diteguhkan dengan menemukan telur Schistosoma pada pemeriksaan mikroskopis di feses dan urin. Dapat pula dilakukan biopsi rectal untuk menemukan telur cacing, atau dengan uji serologis untuk menemukan antibodi atau antigen dari Schistosoma. Pengobatan dan pengendalian Penularan schistosomiasis disuatu daerah dipengaruhi oleh berbagai faktor yang saling berkaitan. Keberadaan inang definitif yang rentan yaitu manusia dan hewan mamalia merupakan salah satu faktor yang penting. Luasnya inang definitif yang dapat diinfeksi menjadi kendala dalam pengendalian schistosomiasis.
Pengobatan
yang
cocok
untuk
schistosomiasis
adalah
praziquantel. Dosis untuk praziquantel yang dapat diberikan adalah 20 mg/kg. Pengobatan pada hewan dapat diberikan praziquantel dengan dosis 25mg/kg dan diulangi 3 – 5 minggu kemudian. Pada manusia dapat diobati dengan metrifonate, oxamniquine, atau praziquantel. Pada
tempat-tempat
endemik,
schistosomiasis
menjadi
penyakit
masyarakat dimana dapat menyerang manusia yang berumur kurang dari 15 tahun. Pengendalian efektif yang dapat dilakukan adalah dengan meningkatkan pendidikan masyarakat (public awareness) yang disertai perbaikan sanitasi untuk mencegah ekskreta yang mencemari persediaan air bersih atau dengan
Ardilasunu Wicaksono 2010 memperbaiki tata cara penyediaan air bersih untuk keperluan sehari-hari. Pengobatan secara massal untuk S. haematobium adalah niridazole, sedangkan S. mansoni dan S. japonicum adalah hycanthone dan potassium antimony dimercaptosuccinate. Untuk mengendalikan Schistosomiasis pada manusia tentu harus juga dilakukan pengendalian pada hewan. Tanpa adanya pengendalian pada hewan, infeksi pada manusia akan berlangsung terus menerus karena masih terdapat sumber penular yaitu hewan reservoir. Hewan mamalia mempunyai peranan yang sangat penting dalam transmisi schistosomiasis sebagai inang reservoir. Sumber infeksi akan selalu tersedia dari kontaminasi lingkungan oleh telur schistosoma yang berasal dari hewan seperti anjing, kucing, ruminansia, babi dan hewan mamalia lainnya, Pengendalian populasi siput sebagai inang antara juga dilakukan dengan cara modifikasi lingkungan fisik melalui pengeringan semua perairan yang dicurigai. Dapat juga dilakukan secara kimia dengan penggunaan cuprisulfat atau natrium pentaklorofenate. Zat moluscida yang dapat digunakan adalah Frescon dan Baylucide. Pengendalian biologis dengan menggunakan predator, parasit, dan kompetitor alamiah seperti siput predator, ikan, katak, burung, dan sebagainya. Pengendalian schistosomiasis di Sulawesi Tengah diawali tahun 1974 melalui pengobatan penderita, pemberantasan siput sebagai inang antara dengan
molusida
dan
melalui
agroengineering.
Program
pengendalian
dilanjutkan dengan 2 program pengendalian yang lebih intensif dengan melibatkan berbagai institusi dimulai pada tahun 1982. Program ini mampu menekan tingkat infeksi sampai 2,2 % dan 3,5 % pada tahun 1994 masingmasing untuk daerah Lembah Napu dan lembah Lindu. Tingkat infeksi sebelum program penegendalian adalah 15,8 % dan 35,8 % untuk lembah Lindu dan Napu. Tingkat infeksi menurun kembali dua tahun kemudian yaitu 1,4 % untuk Lembah Napu sedangkan untuk lembah lindu adalah 1,1 % Reinfeksi masih berlangsung dimungkinkan karena masih adanya sumber infeksi yang berasal dari hewan reservoar dan kebiasan manusia yang memungkinkan kontak dengan larva infektif sehingga infeksi berlangsung secara terus menerus. Saat ini belum ada vaksin untuk schistosomiasis, namun telah
Ardilasunu Wicaksono 2010 dilakukan tahap awal pembuatan vaksin untuk penyakit ini. Untuk reinfeksi dapat diobati dengan praziquantel untuk mengurangi gejala klinis yang ditimbulkan. Untuk wisatawan diharapkan untuk tidak berenang dan menyelam di sungai atau danau pada daerah endemis schistosomiasis. Pemberian repellent insekta secara topikal dapat digunakan sebelum kontak dengan air. Klorinasi pada air dapat membunuh larva cacing. Serkaria mati pada air yang dipanaskan 50ºC selama 5 menit. Filtrasi pada air juga dapat membantu eliminasi Schistosoma.
Kesimpulan Schistosomiasis adalah penyakit zoonotik dan merupakan masalah kesehatan
masyarakat.
Penyakit
ini
berjalan
kronis
dan
menimbulkan
penderitaan selama bertahun-tahun, menurunkan kapasitas kerja, dan dapat berakhir dengan kematian. Saat ini dikenal 6 spesies yaitu Schistosoma hematobium, S. mansoni, S. intercalatum, S. japonicum, S. bovis, dan S. mathei. Schistosoma hematobium, S. mansoni, dan S. intercalatum. Penyebaran schistosomiasis sangat luas di daerah tropis maupun subtropis. Pengobatan dapat dilakukan pada manusia dan pengendalian dilakukan baik pada hewan yang terinfeksi sebagai reservoir maupun pada siput sebagai inang antara dan air sebagai sumber pencemar.
Ardilasunu Wicaksono 2010 Daftar Pustaka Atmawinata E. 2006. Mengenal Beberapa Penyakit Menular dari Hewan kepada Manusia. Penerbit Yrama Widya: Bandung. Eernisse DJ. 2001. Schistosoma. http://biology.fullerton.edu/biol261/ch/ch14.html [18 Desember 2010]. IAMAT [International Associate for Medical Assistance to Traveler]. 2010. World Schistosomiasis Risk Chart. Toronto: Canada. NaTHNaC [National Travel Health Network and Center]. 2008. Schistosomiasis. Heath Protection Agency. Posey D dan Weinberg M. 2005. Recommendations for presumptive treatment of schistosomiasis and strongyloidiasis among the Somali Bantu refugees. Department of Health and Human Services: Center for Disease Control and Prevention. Ridwan Y. 2004. Potensi Hewan Reservoar dalam Penularan Schistosomiasis pada Manusia di Sulawesi Tengah. Makalah Pribadi Falsafah Sains. Bogor: Program Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. SABIN [Sabin Vaccine Institute]. 2010. Schistosomiasis. www.sabin.org [2 Desember 2010]. Soeharsono. 2005. Zoonosis: Penyakit dari Hewan ke Manusia. Kanisius: Yogyakarta. Soejoedono RR. 2004. Zoonosis. Laboratorium Kesehatan Masyarakat Veteriner, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesmavet. Bogor: Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.