Postanesthesia care Jawahir Madeaming
MARET 2013
Postanesthesia care
MARET 2013
Kata pengantar
Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala limpahan Rahmat dan karunia-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan referat ini yang berjudul “ postanesthesia care” care ” dalam bentuk maupun isinya yang sangat sederhana. Referat ini disusun dalam rangka memenuhi tugas saya selama mengikuti Kepaniteraan Klinik di bagian Ilmu Anestesi Rumah Sakit Daerah Ciawi. Dalam kesempatan ini penyusun ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesarbesarnya kepada dr Rizqan Anugrah SpAn , selaku pembimbing dalam penyusunan referat ini. Ucapan terima kasih juga saya tujukan kepada semua pihak yang turut membantu dalam menyelesaikan menyelesaikan referat ini. Penulis sangat menyadari bahwa penyusunan referat ini masih banyak kekurangan yang harus diperbaiki. Oleh karena itu kritik dan saran serta masukan yang membangun terhadap referat ini akan diterima dengan tangan terbuka semoga kedepannya akan lebih baik. Akhirnya, harapan penulis semoga referat ini dapat membantu menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca.
Ciawi , Maret 2013.
Penulis
ii
Postanesthesia care
MARET 2013
Daftar isi Halaman
KATA PENGANTAR..................................................... PENGANTAR................................................................................................... .............................................................................. ................................
i
DAFTAR ISI..................................... ISI...................................................................................... ........................................................................................................... ..........................................................
ii
ISI
Pendahuluan……………………………………………………………………………………………………
1
Unit Perawatan Postanestesi Desain
………………………………………………………………………………………………
3
Peralatan dan kelengkapan ………………….…………………………………………………
3
Petugas PACU……………………………………………………………………………………. PACU……………………………………………………………………………………. .
4
Perawatan pasien Emergence dari anestesi umu..…………………………………………………………………… umu.. ……………………………………………………………………
5
Emergence tertunda.……………………………………………………………… tertunda.……………………………………………………………… ..……….…… ..……….……... ...
6
Transportasi dari kamar operasi………………………………………………………………….
6
Pemulihan rutin ……………………………………………………………………………………….
7
Kriteria discharge…………………………………………………………………………………… discharge……………………………………………………………………………………
13
Manajemen komplikasi Komplikasi respirasi……………………………………………………………………………………
17
Komplikasi sirkulasi………………….………………………………………………………………… sirkulasi ………………….…………………………………………………………………
22
Daftar pustaka…………………………………………………………………………………………….…..
25
iii
Postanesthesia care
MARET 2013
Pendahuluan
Kamar pemulihan telah ada selama kurang dari 50 tahun di kebanyakan pusat-pusat pusat-p usat medis yang. Sebelum waktu itu, banyak kematian pascaoperasi awal terjadi segera setelah anestesi dan pembedahan. Kesadaran bahwa banyak dari kematian yang dapat dicegah menekankan perlunya perawatan khusus segera setelah operasi. Kekurangan perawat di Amerika Serikat setelah Perang Dunia II juga mungkin telah berkontribusi untuk sentralisasi perawatan ini dalam bentuk kamar pemulihan di mana satu atau lebih perawat bisa memperhatikan memperhatikan beberapa pasien pada satu waktu. 1
Karena prosedur bedah menjadi menjadi semakin kompleks kompleks dan dilakukan dilakukan pada pasien sakit, perawatan perawatan kamar pemulihan sering melampaui beberapa jam pertama setelah operasi, dan beberapa pasien sakit kritis ditempatan ditempatan di ruang pemulihan pemulihan semalaman. semalaman. Keberhasilan awal awal
kamar pemulihan pemulihan ini
merupakan faktor utama dalam evolusi modern unit perawatan bedah intensif (ICU). Ironisnya, ruang pemulihan menerima status perawatan intensif relatif baru di kebanyakan rumah sakit, di mana mereka disebut sebagai unit perawatan postanesthesia (PACUs). Di beberapa pusat PACU dapat berfungsi sebagai tempat tidur ICU overflow (semalam) ketika ICU penuh. 1
Salah satu transformasi paling dramatis dalam penyediaan layanan kesehatan selama dua dekade terakhir ini telah terjadi pergeseran dari operasi untuk pasien rawat inap ke operasi untuk pasien rawat jalan (juga disebut ambulatory surgery). surgery ). Diperkirakan bahwa 60-70% dari semua prosedur bedah di Amerika Serikat dilakukan secara rawat jalan. Dorongan utama untuk perubahan ini adalah penghematan ekonomi yang mana pasien tidak perlu dirawat malam sebelum operasi atau menginap di rumah sakit malam setelah operasi. Keuntungan lain dari bedah rawat jalan termasuk kenyamanan kenyamanan pasien, dan penurunan risiko infeksi nosokomial. 1
Kesimpulannya, prosedur yang memerlukan anestesi, penghentian agen anestesi, penghentian monitor, dan pasien sendiri(sering masih dibius) akan dibawa ke PACU. Setelah anestesi umum, jika pasien diintubasi dan jika ventilasi dinilai memadai, pipa endotrakeal biasanya dilepas sebelum transportasi. Pasien juga sering terlihat di PACU setelah anestesi regional, dan dalam kebanyakan kasus turut disertai pemantauan perawatan anestesi (pembiusan lokal dengan sedasi). Pedoman prosedur mengharuskan pasien harus dirawat di PACU untuk semua jenis anestesi, kecuali atas perintah khusus dari ahli anestesi. Setelah laporan lisan singkat untuk perawat PACU, pasien dirawat di PACU sampai
iv
Postanesthesia care
MARET 2013
efek utama dari anestesi dinilai telah hilang. Periode ini ditandai dengan insiden komplikasi pernapasan dan peredaran darah yang relatif tinggi dan berpotensi mengancam mengancam nyawa. 1
Di beberapa pusat kesehatan, pasien rawat jalan yang habis operasi langsung pulang ke rumah dari PACU, pusat lainnya memiliki PACU terpisah dengan area rawat jalan. Yang terakhir ini juga dapat berfungsi sebagai daerah pra operasi dan daerah pemulihan postanestesi (predischarge). Dengan demikian, dua fase pemulihan dapat dikenal untuk operasi rawat jalan. Tahap 1 adalah perawatan tingkat intensif segera selama pemulihan pasien hingga terbangun dari anestesi dan berlanjut sampai kriteria standar PACU terpenuhi. Tahap 2 adalah perawatan tingkat yang lebih rendah yang menjamin pasien siap untuk pulang. 1
Pulih dari anestesi umum atau dari anelgesia regional secara rutin di kelola di kamar pulih di kamar pulih atau unit perawatan pasca anestesi (RR, recovery room atau PACU, Post Anesthesia Care Unit). Unit ). Idealnya bangun dari anestesia secara bertahap, tanpa keluhan dan mulus. Kenyataanya sering dijumpai hal-hal yang tidak menyenangkan akibat stres pasca bedah atau pasca anestesia yang berupa gangguan napas, gangguan kardiovaskular, gelisah, kesakitan, mual-muntah, menggigil, dan kadang-kadang kadang-kadang perdarahan.2
v
Postanesthesia care
MARET 2013
1.
Unit perawatan postanestesi 1.1
Desain
Unit perawatan post anestesi (UPPA) atau Postanesthesia Care Unit (PACU) harus terletak di dekat ruang operasi. Diperlukan sebuah lokasi berpusat di wilayah ruang operasi itu sendiri, untuk memastikan bahwa pasien dapat bergegas kembali ke kamar operasi jika diperlukan atau anggota staf ruang operasi dengan cepat dapat hadir untuk membantu membantu pasien. Kedekatan dengan r adiografi, laboratorium,
dan
fasilitas
perawatan
intensif
lainnya
di
lantai
yang
sama
juga
sangat
direkomendasikan. Pemindahan pasien sakit kritis di lift atau melalui koridor yang panjang dapat membahayakan membahayakan perawatan mereka, karena keadaan darurat mungkin timbul di sepanjang jalan. 1,2
Sebuah desain bangsal terbuka memfasilitasi pemantauan terhadap semua pasien secara bersamaan. Setidaknya satu ruang tertutup untuk pasien yang membutuhkan isolasi untuk pengendalian infeksi. Rasio 1,5 tempat tidur PACU per kamar operasi sering jadi anutan. Setiap ruang pasien harus mempunyai pencahayaan yang baik dan ukuran yang cukup besar untuk memungkinkan akses mudah ke pasien.
Pedoman konstruksi
menyatakan minimal minimal 7 kaki antara
tempat tidur dan 120 kaki persegi / pasien. Beberapa outlet listrik dan setidaknya satu outlet untuk oksigen, udara, dan suction harus ada di masing-masing masing-masing ruang. 1
1.2
Peralatan dan KelengKapan
Pulse oximetry (SpO2), elektrokardiogram (EKG), dan monitor tekanan darah otomatis noninvasif (NIBP) untuk masing-masing ruang yang diinginkan tetapi tidak wajib. Namun, semua tiga monitor harus segera tersedia untuk setiap pasien. Beberapa PACU memantau hanya SpO2 dan NIBP untuk setiap pasien dalam tahap awal pemulihan dari anestesi (fase 1 perawatan), EKG hanya digunakan untuk pasien dengan sejarah masalah jantung atau yang menunjukkan kelainan EKG intraoperatif. 1
Insiden PACU yang menyebabkan morbiditas serius atau kematian paling banyak terkait dengan pemantauan tidak memadai. Monitor dengan kemampuan untuk mentransduksi setidaknya dua tekanan secara secara bersamaan bersamaan harus tersedia tersedia untuk arteri, vena sentral, sentral,
arteri pulmonalis, pulmonalis, atau
pemantauan tekanan intrakranial. Kapnografi mungkin berguna untuk pasien diintubasi. Strip sensitif suhu dapat digunakan untuk mengukur suhu di PACU tetapi umumnya tidak cukup akurat untuk mengikuti hipotermia atau hipertermia, termometer merkuri atau elektronik harus digunakan jika diduga kelainan pada temperatur. Sebuah perangkat pemanas udara, lampu pemanas, dan selimut pemanas/pendingin pemanas/pendingin harus tersedia. 1
vi
Postanesthesia care
MARET 2013
PACU harus memiliki persediaan peralatan dasar dan darurat sendiri, terpisah dari ruang operasi. Ini termasuk kanula oksigen, pilihan sungkup, laryngoscopes, pipa endotrakeal, laryngeal mask airways (LMA), dan self-inflating dan self-inflating bag untuk ventilasi. Kateter untuk kanulasi vaskular (vena, arteri, vena sentral, atau arteri pulmonalis) adalah wajib. Transvenous pacing catheters dan generator juga harus tersedia. Perangkat defibrilasi transkutan dan troli darurat dengan obat-obatan dan perlengkapan untuk resusitasi dan pompa infus harus ada dan diperiksa secara berkala. Troli untuk peralatan trakeostomi, chest tube, tube, dan vascular cutdown juga penting.1
Peralatan terapi pernapasan untuk perawatan bronkodilator aerosol, tekanan udara positif terus menerus atau continuous positive airway pressure (CPAP), dan ventilator harus dekat dengan ruang pemulihan. Sebuah bronkoskop untuk PACU PACU sebaiknya tersedia tetapi tidak wajib. 1
1.3
Petugas PACU
PACU harus dikelola hanya oleh perawat khusus terlatih dalam perawatan pasien post anestesi. Mereka harus memiliki memiliki keahlian dalam dalam manajemen manajemen saluran napas dan resusitasi jantung paru serta masalah yang biasa ditemui pada pasien bedah yang berkaitan dengan perawatan luka, kateter drainase, dan perdarahan pasca operasi. 1
PACU harus di bawah arahan medis ahli anestesi. Seorang dokter harus ditugaskan sepenuh waktu untuk PACU di pusat kesehatan yang sibuk tetapi tidak wajib di fasilitas yang lebih kecil. Manajemen pasien di PACU seharusnya tidak berbeda dari manajemen di ruang operasi dan harus mencerminkan upaya yang terkoordinasi di antara ahli anestesi, ahli bedah, dan konsultan lainnya.
Anestesi masih mengelola analgesia serta saluran napas, masalah jantung, paru, dan metabolik, sedangkan ahli bedah mengelola masalah yang secara langsung berhubungan dengan prosedur pembedahan itu sendiri. Berdasarkan asumsi bahwa pemulihan di PACU rata-rata 1 jam dan prosedur rata-rata berlangsung 2 jam, dan rasio satu perawat untuk dua pasien umumnya memuaskan. memuaskan.
Staf untuk perawatan harus disesuaikan dengan kebutuhan yang unik dari setiap fasilitas. Minimal dua perawat umumnya memastikan bahwa jika satu pasien memerlukan perawatan terus menerus, pasien lain masih akan dirawat secara memadai. Yang terakhir ini juga penting secara medikolegal, karena staf yang tidak memadai sering dikutip sebagai faktor utama untuk kecelakaan di PACU. Ketika jadwal ruang operasi rutin termasuk pasien anak-anak atau prosedur singkat, rasio satu perawat untuk satu pasien sering dibutuhkan. Seorang perawat harus ditugaskan untuk memastikan staf yang optimal setiap saat.1
vii
Postanesthesia care
MARET 2013
2. Perawatan pasien / care of the patient
2.1
Emergence dari Emergence dari anestesi umum
Pemulihan dari anestesi umum atau regional adalah waktu stres fisiologis yang besar bagi banyak pasien. Kesadaran dari anestesi umum idealnya harus menjadi mulus dan bertahap dalam lingkungan yang terkendali. Sayangnya, sering dimulai di ruang operasi atau selama transportasi ke ruang pemulihan dan sering ditandai oleh obstruksi jalan napas, menggigil, agitasi, delirium, nyeri, mual dan muntah, hipotermia, dan lability otonom. Bahkan pasien yang menerima anestesi spinal atau epidural dapat mengalami penurunantekanan darah selama transportasi atau pemulihan, efek sympatholy efek sympatholytic tic dari blok regional mencegah refleks kompensasi vasokonstriksi ketika pasien dipindahkan atau ketika mereka duduk. 1
Pada anastesi berbasis berbasis inhalasi, kecepatan emergence berbanding lurus dengan ventilasi alveolar namun berbanding terbalik dengan kelarutan agen dalam darah. Apabila durasi anestesi meningkat, emergence juga menjadi semakin tergantung pada serapan jaringan total, yang merupakan fungsi dari kelarutan agen, konsentrasi rata-rata yang digunakan, dan durasi paparan obat bius. Oleh karena itu pemulihan tercepat dengan desflurane dan nitrous oksida dan paling lambat dari anestesi yang mendalam berkepanjangan dengan halotan dan enfluran. Hipoventilasi tertunda munculnya dari anestesi inhalasi. 1
Emergence dari anestesi intravena merupakan fungsi dari farmakokinetik nya. Pemulihan dari agen anestesi intravena tergantung terutama pada redistribusi bukan pada paruh eliminasi. Dengan meningkatnya dosis total yang diberikan, efek kumulatif menjadi nyata dalam bentuk emergence berkepanjangan, penghentian aksi menjadi semakin tergantung pada eliminasi atau metabolisme paruh. Dengan kondisi tersebut, usia lanjut atau penyakit ginjal dan hati dapat memperpanjang emergence. emergence. Penggunaan agen anestesi pendek dan ultra-short-acting seperti propofol dan remifentanil remifentanil secara signifikan lebih pendek emergence nya, waktu untuk sadar, dan discharge. discharge. Selain itu, penggunaan Skala Indeks Bispektrum (BIS) monitor (dan mungkin indeks status pasien [PSI] monitor,) mengurangi dosis obat total dan mempersingkat mempersingkat pemulihan dan waktu untuk discharge. discharge. Penggunaan laryngeal mask airway juga mungkin membantu tingkat anestesi lebih ringan yang dapat mempercepat emergence. emergence .1
Kecepatan emergence juga dapat dipengaruhi oleh obat-obatan sebelum operasi (praoperasi). Premedikasi Premedikasi dengan agen yang berdurasi
lama melebihi melebihi prosedur prosedur dapat dapat memperpanjang memperpanjang
viii
Postanesthesia care
MARET 2013
emergence. emergence. Durasi singkat midazolam membuatnya sesuai untuk agen premedikasi pada prosedur singkat. Efek kurang tidur pra operasi atau konsumsi obat (alkohol, obat penenang) juga dapat aditif dengan agen anestesi dan dapat memperpanjang emergence. emergence .1
2.2
Emergence tertunda/ Emergence tertunda/ delayed emergence
Penyebab paling sering emergence tertunda (ketika pasien gagal untuk mendapatkan kembali kesadaran 30-60 menit setelah anestesi umum) adalah anestesi residual, obat penenang, dan efek obat analgesik. Emergence tertunda mungkin terjadi sebagai akibat dari overdosis obat absolut atau relatif atau potensiasi dari agen anestesi sebelum konsumsi obat (alkohol). Administrasi nalokson (0,04 mg increment) dan flumazenil (0.2 mg increment) mudah membalikkan dan dapat menghilangkan dampak dari opioid dan benzodiazepine masing-masing. Physostigmine 1-2 mg sebagian mungkin membalikkan efek dari agen lain. Sebuah perangsang saraf dapat digunakan untuk menghilangkan blokade neuromuskuler yang signifikan pada pasien dengan ventilator mekanis yang memiliki volume tidal spontan tidak memadai.1
Penyebab tidak umum emergence tertunda termasuk hipotermia, gangguan metabolik , dan stroke perioperatif. Suhu inti kurang dari 33°C memiliki efek anestesi dan sangat meningkatkan efek depresan sistem saraf pusat. Perangkat pemanas paksa-udara ( forced-air warming devices) devices ) adalah yang paling efektif dalam meningkatkan suhu tubuh. Hipoksemia dan hiperkarbia dapat segera disingkirkan dengan analisa gas darah. Hypercalcemia, hypermagnesemia, hiponatremia, hipoglikemia dan hiperglikemia adalah penyebab langka yang membutuhkan pengukuran laboratorium untuk diagnosis. Stroke perioperatif jarang kecuali setelah bedah saraf, jantung, dan otak; diagnosis memerlukan memerlukan konsultasi neurologis dan pencitraan radiologi. 1
2.3
Transportasi dari Kamar operasi
Periode ini biasanya rumit karena kurangnya monitor yang memadai, akses terhadap obat-obatan, atau peralatan resusitasi. Pasien tidak boleh meninggalkan ruang operasi kecuali mereka memiliki napas yang stabil, memiliki ventilasi dan oksigenasi yang adekuat, dan hemodinamik stabil. Oksigen tambahan harus diberikan selama transportasi untuk pasien yang beresiko untuk hipoksemia. Beberapa studi menunjukkan bahwa hipoksemia transient (SpO2 <90%) dapat berkembang pada sebanyak 30-50% dari sebaliknya "normal" pasien selama transportasi saat menghirup udara ruangan; Oksigen tambahan dianjurkan pada semua pasien jika PACU tidak dekat dengan ruang operasi. Pasien yang tidak stabil harus dibiarkan diintubasi dan diangkut dengan sebuah monitor portabel (ECG, SpO2, dan tekanan darah) dan pasokan obat-obatan darurat.1
ix
Postanesthesia care
MARET 2013
Semua pasien harus dibawa ke PACU di tempat tidur yang dapat ditempatkan baik dalam posisi kepala di bawah (Trendelenburg) atau kepala diatas (head-up (head-up). ). Posisi kepala di bawah berguna untuk pasien hipovolemik, sedangkan posisi kepala diatas berguna untuk pasien dengan disfungsi paru. Pasien yang beresiko tinggi untuk muntah atau perdarahan saluran pernapasan bagian atas (misalnya, tonsilektomi) harus diangkut dalam posisi lateral. Posisi ini juga membantu mencegah obstruksi jalan napas dan memfasilitasi drainase sekresi. 1
2.4
Pemulihan rutin / routine recovery
2.4.1
Anestesi umum
Patensi jalan napas, tanda-tanda vital, dan oksigenasi harus diperiksa segera setelah tiba di PACU. Tekanan darah, denyut nadi, dan pengukuran tingkat pernapasan secara rutin dilakukan setidaknya setiap 5 menit selama 15 menit atau sampai stabil, dan setiap 15 menit sesudahnya. Pulse oxymetry harus dipantau terus menerus pada semua pasien fase pemulihan dari anestesi umum, setidaknya sampai mereka sadar kembali. Terjadinya hipoksemia tidak selalu berkorelasi dengan tingkat kesadaran.1
Fungsi neuromuskuler harus dinilai secara klinis, misalnya angkat kepala. Setidaknya satu pengukuran temperatur juga harus diperoleh. Pemantauan tambahan termasuk penilaian nyeri (misalnya, skala numerik atau deskriptif), ada atau tidak adanya mual atau muntah, dan masukan cairan dan output termasuk aliran urin, drainase, dan pendarahan. Setelah tandatanda vital awal telah direkam, anesthesiologist harus memberikan laporan singkat kepada perawat PACU yang mencakup sejarah pra operasi (termasuk status mental dan masalah komunikasi apapun seperti hambatan bahasa, tuli, buta, atau keterbelakangan mental), terkait peristiwa intraoperatif ( Jenis anestesi, prosedur bedah, kehilangan darah, penggantian cairan, dan komplikasi), masalah pasca operasi yang dikhawatirkan, dan perintah postanesthesia postanesthesia (perawatan (perawatan kateter epidural, transfusi, ventilasi pasca operasi, dll). 1
Semua pasien pulih dari anestesi umum harus menerima oksigen 30-40% selama emergence karena hipoksemia transient dapat berkembang bahkan pada pasien yang sehat. Pasien pada peningkatan risiko hipoksemia, seperti pasien dengan disfungsi paru atau mereka yang menjalani prosedur pembedahan abdomen bagian atas atau daerah toraks, harus terus dipantau dengan pulse oxymetry bahkan setelah emergence dan mungkin perlu suplemen oksigen untuk waktu yang lebih lama. Sebuah keputusan rasional tentang pelunya terapi oksigen tambahan berterusan pada saat keluar dari PACU dapat dibuat berdasarkan bacaan SpO2 di udara ruangan. Pengukuran gas darah arteri dapat diperoleh untuk mengkonfirmasi pembacaan pembacaan oksimetri yang abnormal. Terapi oksigen harus hati -hati dikendalikan pada pasien
x
Postanesthesia care
MARET 2013
dengan penyakit paru obstruktif kronik dan riwayat retensi CO 2. Pasien umumnya harus dirawat dengan posisi kepala tinggi bila memungkinkan untuk mengoptimalkan oksigenasi. Namun, meninggikan bagian kepala pada tempat tidur sebelum pasien responsif dapat menyebabkan obstruksi jalan napas. Dalam kasus tersebut, alat saluran pernapasan oral atau nasal harus dibiarkan terpasang sampai pasien terjaga. Pernapasan dalam dan batuk harus didorong secara berkala. 1
2.4.2
Anestesi regional
Pasien yang mengalami sedasi berat atau hemodinamik tidak stabil setelah anestesi regional juga harus menerima oksigen tambahan di PACU. Tingkat sensorik dan motorik harus dicatat secara berkala mengikuti anestesi regional untuk mendokumentasikan disipasi blok. Tindakan pencegahan
berupa
padding atau peringatan berulang mungkin diperlukan untuk
mencegah mencegah kecederaan dari gerakan lengan tak terkoordinasi terkoordinasi mengikuti blok pleksus brakialis. Tekanan darah harus dimonitor setelah anestesi spinal dan epidural. Kateterisasi kandung kemih mungkin diperlukan pada pasien yang memiliki anestesi spinal atau epidural selama lebih dari 4 jam.
2.4.3
Kontrol nyeri / pain control
Administrasi preoperative obat antiinflamasi nonsteroid (NSAID) sendiri atau dengan acetaminophen dapat secara signifikan mengurangi kebutuhan opioid pascaoperasi untuk prosedur tindakan yang dipilih. Penggunaan selektif siklooksigenase-2 inhibitor (misalnya, rofecoxib dan parecoxib) mengurangi efek samping yang potensial pada fungsi platelet dan komplikasi gastrointestinal. Demikian pula, intraoperatif infiltrasi luka dan blok saraf (misalnya, ilioinguinal dan caudal) untuk prosedur yang dipilih juga dapat mengurangi kebutuhan analgesik operasi. 1
Nyeri ringan sampai sedang dapat diobati secara oral dengan acetaminophen ditambah codeine, hydrocodone, atau oxycodone. Atau pilihan lain, opioid agonis-antagonis (butorphanol, 1-2 mg, atau nalbuphine, 5-10 mg) atau ketorolactromethamine, 30 mg, dapat digunakan secara secara intravena. intravena. Yang Yang terakhir ini sangat berguna berguna pada prosedur ortopedi ortopedi dan ginekologi. 1
Untuk nyeri sedang sampai berat pasca operasi di PACU dapat dikelola dengan opioid parenteral atau intraspinal, anestesi regional, atau blok saraf tertentu. Ketika opioid digunakan, titrasi dosis intravena kecil umumnya paling aman. Meskipun variabilitas yang cukup besar mungkin ditemui, kebanyakan pasien sangat sensitif terhadap opioid dalam satu
xi
Postanesthesia care
MARET 2013
jam pertama setelah anestesi umum. Analgesia Analgesia yang memadai memadai harus seimbang terhadap sedasi berlebihan. Opioid durasi menengah sampai panjang, seperti meperidine, 10-20 mg (0.25-0.5 mg / kg pada anak-anak), hidromorfon 0.25-0.5 mg (0,015-0,02 mg / kg pada anakanak), atau morfin, 2-4 mg ( 0,025-0,05 mg / kg pada anak-anak), yang paling sering digunakan. Biasanya puncak efek analgesik dalam 4-5 menit. Depresi pernafasan maksimal, terutama dengan morfin dan hidromorfon, mungkin tidak terlihat sampai 20-30 menit kemudian. Ketika pasien sepenuhnya terjaga, analgesia pasien-dikendalikan atau patientcontrolled analgesia (PCA) dapat digunakan untuk pasien rawat inap. Administrasi opioid intramuskular memiliki kelemahan onset tertunda dan variabel (10-20 menit) dan depresi pernafasan tertunda (sampai 1 jam). 1
Apabila kateter epidural ditinggalkan di tempat, peberian fentanil epidural, 50-100 g, sufentanil, 20-30 g, atau morfin, 3-5 mg, dapat memberikan efek anti nyeri yang sangat baik pada orang dewasa, namun terdapat risiko depresi pernapasan pernapasan tertunda yang harus dicegah dengan tindakan pemantauan khusus dalam 12-24 jam sesudahnya. Intercostal, interscalene, anestesi femoralis, epidural, atau caudal sering membantu ketika analgesia opioid saja tidak memuaskan. 1
2.4.4
Agitasi
Sebelum pasien sepenuhnya responsif, nyeri sering dimanifestasikan sebagai kegelisahan pasca operasi. Gangguan sistemik yang serius (seperti hipoksemia, asidosis, atau hipotensi), distensi kandung kemih, atau komplikasi bedah (seperti perdarahan intraabdominal) harus selalu dipertimbangkan juga. Agitasi mungkin memerlukan pembatasan gerakan lengan dan kaki untuk menghindari cedera, terutama pada anak-anak. Ketika gangguan fisiologis yang serius telah disingkirkan pada anak-anak, pelukan dan kata simpatik dari petugas atau orang tua (jika mereka diizinkan dalam PACU) sering menenangkan pasien pediatrik. Faktor penyebab lainnya termasuk kecemasan dan ketakutan pra operasi serta efek samping obat (dosis besar agen antikolinergik sentral, fenotiazin, atau ketamin). Physostigmine, 1-2 mg intravena (0,05 mg / kg pada anak-anak), adalah yang paling efektif dalam mengobati delirium akibat atropin dan skopolamin, tetapi juga mungkin berguna dalam kasus lain. Jika gangguan sistemik yang serius dan nyeri dapat disingkirkan, agitasi persisten mungkin memerlukan sedasi intravena dengan dosis intermiten midazolam mg, 0,5-1 (0,05 mg / kg pada anak-anak).1
2.4.5
Nausea dan vomitus
Mual dan muntah pasca operasi (PONV) adalah masalah umum terutama anestesi umum, terjadi pada 20-30% dari semua pasien. Selain itu, PONV mungkin terjadi di rumah dalam
xii
Postanesthesia care
MARET 2013
waktu 24 jam dari lepas rawat (discharge ( discharge)) (postdischarge nausea and vomiting) vomiting ) dalam sejumlah besar pasien . Etiologi PONV biasanya multifaktorial, melibatkan agen anestesi, jenis prosedur, dan faktor pasien. Adalah penting untuk mengenali bahwa mual adalah keluhan umum yang dilaporkan pada awal hipotensi, terutama setelah anestesi spinal atau epidural.
Tabel 1 menunjukkan daftar faktor risiko umum yang menyebabkan PONV. Peningkatan kejadian mual dilaporkan setelah pemberian opioid selama anestesi, bedah intraperitoneal (terutama laparoskopi), dan operasi strabismus. Insiden tertinggi tampaknya pada wanita muda, studi menunjukkan mual lebih umum selama menstruasi. Peningkatan tonus
vagal
dimanifestasikan sebagai bradikardia mendadak biasanya mendahului atau bertepatan dengan emesis. Anestesi propofol menurunkan kejadian PONV, seperti halnya sejarah preoperatif merokok. Selektif 5-hydroxytryptamine (serotonin) reseptor 3 (5-HT3) antagonis seperti ondansetron 4 mg (0,1 mg / kg pada anak-anak), granisetron 0,01-0,04 mg / kg, dan dolasetron 12,5 mg (0,035 mg / kg pada anak-anak) yang juga sangat efektif dalam mencegah PONV dan mengobati PONV. 1,3 Obat ini bekerja di sentral maupun perifer, menghambat menghambat reseptor di usus (aferen vagal) dan di zona pencetus kemoreseptor (CTZ). 3
Perlu dicatat bahwa tidak seperti ondansetron, yang biasanya segera efektif, dolasetron membutuhkan 15 menit untuk memulai onset. Persiapan tablet oral disintegrasi (ODT) ondansetron (8 mg) mungkin berguna untuk pengobatan dan profilaksis terhadap mual dan muntah postdischarge. postdischarge.1 Dosis oral biasanya diberikan tiap 8 jam. 3 Metoclopramide, 0,15 mg / kg intravena, agak kurang efektif, tetapi merupakan alternatif yang baik untuk 5-HT3 antagonis. 5-HT3 antagonis tidak terkait dengan manifestasi akut reaksi ekstrapiramidal (dystonic) (dystonic) dan dysphoric yang mungkin timbul pada penggunaan metoclopramide atau antiemetik jenis fenotiazin. 1
Golongan
antagonis
dopamin,
metaclorpramid
dan
domperidone
bekerja
dengan
menghambat reseptor D2 (dopamin) di CTZ. Golongan ini juga memiliki efek prokinetik. Metaclorpramide relatif kurang efektif untuk PONV dan dapat menimbulkan efek samping ekstrapiramidal. ekstrapiramidal. Domperidone memiliki memiliki efek samping yang lebih sedikit sehingga merupakan merupakan obat pilihan pada golongan ini. Derivat phenotiazine seperti prochlorperazine dapat menghambat menghambat reseptor D2 dan 5-HT di CTZ.3
Skopolamin Transdermal efektif tetapi dapat dikaitkan dengan efek samping yang mengganggu pada beberapa pasien, seperti memperburuk glaukoma, retensi urin, dan kesulitan dalam akomodasi visual. Deksametason, 4-10 mg (0,10 mg / kg pada anak-anak), bila dikombinasikan dengan antiemetik lain sangat efektif untuk mual dan muntah refraktori. Selain itu, ia efektif untuk sampai 24 jam dan dengan demikian mungkin berguna untuk mual dan muntah postdischarge. postdischarge.1
xiii
Postanesthesia care
MARET 2013
Droperdol intravena 0,625-1,25 mg (0,05-0,075 mg / kg pada anak-anak), ketika diberikan intraoperatif, secara signifikan mengurangi kemungkinan mual pasca operasi tanpa secara signifikan memperpanjang emergence dan efektif dapat mengobati PONV. Sayangnya, droperidol sekarang membawa peringatan "kotak hitam" dari 2001 Food and Drug Administration (FDA) yang mengayakan obat ini dapat memperpanjang interval QT dan dikaitkan dengan aritmia jantung yang fatal .Walaupun kejadian ini sangat langka dan berhubungan dengan dosis yang sangat tinggi (> 25 mg), peringatan FDA menimbulkan kontroversi yang cukup besar dan banyak dokter tidak lagi menggunakan obat ini. Profilaksis nonpharmacological terhadap PONV termasuk memastikan hidrasi yang memadai (20 mL / kg) setelah puasa dan stimulasi titik akupunktur P6 (pergelangan (pergelangan tangan). Ini mungkin termasuk termasuk aplikasi tekanan, arus listrik, atau suntikan. 1 Tabel 1: faktor resiko meningkatnya insiden PONV Patient factors Young age Female gender, particularly if menstruating menstruating on day of surgery of in first trimester of pregnancy Large body habitus History of prior postoperative emesis History of motion sickness Anesthetic techniques General anesthesia Drugs Opioids Volatile agents Neostigmine
Surgical procedures Strabismus surgery Ear surgery Laparoscopy Orchiopexy Ovum retrieval Tonsillectomy Postoperative factors Postoperative Postoperat ive pain Hypotension
xiv
Postanesthesia care
MARET 2013
Kontroversi timbul mengenai profilaksis rutin untuk PONV pada semua pasien. Jelas pasien dengan faktor risiko harus menerima profilaksis. Selain itu, penggunaan dua atau lebih agen lebih efektif daripada profilaksis agen tunggal. Hasil penelitian dan survei menunjukkan sedikit atau tidak adaa perbedaan perbedaan antara profilaksis rutin rutin dan stratesi pengbatan sesuai sesuai dibutuhkan strategi (treat-as-needed (treat-as-needed strategies). strategies ).1
Pasien yang diifentifikasi berisiko mengalami PONV harus diberikan antiemetik sebelum bangun dari anestesia karena seringkali lebih mudah untuk mencegah muntah dibandingkan menghentikannya begitu sudah terjadu. Kegagalan terapi dapat diatasi di ruang pemulihan dengan pemberian obat kedua atau ketida dari golongan berbeda. 3
2.4.6
Hipotermia dan menggigil
Menggigil dapat terjadi saat di PACU sebagai akibat hipotermia intraoperatif atau efek dari agen anestesi. Hal serupa juga terjadi dalam periode pasca-melahirkan (post partum). Penyebab paling penting dari hipotermia adalah redistribusi panas dari inti tubuh ke kompartemen perifer. Suhu dingin di ruang operasi, eksposur yang terlalu lama dari luka yang besar, dan penggunaan dalam jumlah besar cairan intravena yang tidak hangat atau arus tinggi gas unhumidified juga bisa menjadi penyebab.1
Hampir
semua
agen
anestesi,
terutama
agen
volatile,
mengurangi
respon
normal
vasokonstriksi terhadap hipotermia. Meskipun anestesi agen juga menurunkan ambang menggigil, menggigil umumnya diamati selama atau setelah emergence dari anestesi umum. Menggigil dalam kasus tersebut merupakan upaya tubuh untuk meningkatkan produksi panas dan meningkatkan suhu tubuh dan mungkin berhubungan dengan intensitas vasokonstriksi. Emergence
dari anestesi umum singkat kadang-kadang juga berhubungan dengan
menggigil. 1
Meskipun menggigil dapat menjadi bagian dari tanda-tanda neurologis nonspesifik (sikap, clonus, atau tanda Babinski) yang kadang-kadang diamati selama emergence, emergence, tanda-tanda ini paling sering karena hipotermia dan sering dikaitkan dengan anestesi volatil. Terlepas dari mekanisme, insiden ini juga terkait dengan durasi operasi dan penggunaan konsentrasi tinggi zat volatil. Menggigil kadang-kadang dapat cukup kuat untuk menyebabkan hipertermia (3839 ° C) dan asidosis metabolik yang signifikan, kedua efek ini segera hilang ketika berhenti menggigil. Kedua anestesi spinal dan epidural juga menurunkan ambang menggigil dan respon vasokonstriksi hipotermia, menggigil juga dapat ditemui di ruang pemulihan setelah anestesi regional. Penyebab lain menggigil harus dikecualikan, seperti sepsis, alergi obat, atau reaksi transfusi. 1
xv
Postanesthesia care
MARET 2013
Hipotermia harus ditangani dengan perangkat pemanas udara (forced-air ( forced-air warming device), device ), atau (kurang memuaskan) dengan lampu atau selimut penghangat, untuk meningkatkan suhu tubuh normal. Menggigil menyebabkan kenaikan dalam konsumsi oksigen, produksi CO 2, dan cardiac output. Efek fisiologis ini sering kurang ditoleransi oleh pasien dengan gangguan jantung atau paru yang sudah ada sebelumnya. sebelumnya. Hipotermia telah dikaitkan dengan peningkatan
insiden
iskemia
miokard,
aritmia,
kebutuhan
transfusi
meningkat,
dan
peningkatan durasi efek relaksasi otot. Dosis kecil meperidin intravena, 10-50 mg, secara dramatis dapat mengurangi atau bahkan menghentikan menggigil. Pasien yang diintubasi dan medapat ventilasi mekanik dapat dibius dan diberi relaksan otot sampai normothermia kembali dan efek anestesi telah hilang. 1
2.5
Kriteria discharge
2.5.1
PACU
Semua pasien harus dievaluasi oleh seorang ahli anestesi sebelum keluar dari PACU kecuali kriteria dischage yang ketat telah diberlakukan. Kriteria untuk discharge pasien dari PACU ditetapkan oleh departemen anestesiologi dan staf medis rumah sakit. Mereka mungkin mengizinkan perawat PACU untuk menentukan kapan pasien dapat dipindahkan tanpa kehadiran seorang dokter bila semua kriteria telah dipenuhi. Kriteria dapat bervariasi tergantung pada apakah pasien akan dipindahkan ke unit perawatan intensif, bangsal biasa, departemen rawat jalan (fase 2 recovery), atau langsung pulang. 1
Sebelum discharge, discharge, pasien seharusnya diamati ada tidaknya depresi pernapasan paling tidak selama 20-30 menit setelah dosis terakhir narkotika parenteral. Kriteria discharge minimum lainnya untuk pasien pulih dari anestesi umum biasanya meliputi:
1.
Mudah dibangunkan (easy (easy arousability) arousability )
2.
Orientasi terkendali penuh (full ( full orientation) orientation)
3.
Kemampuan untuk mempertahankan dan melindungi jalan napas
4.
Tanda-tanda vital stabil selama setidaknya 15-30 menit
5.
Kemampuan untuk meminta bantuan jika diperlukan
6.
Tidak ada komplikasi bedah yang jelas (seperti perdarahan aktif).
Mengontrol nyeri pasca operasi, mengendalikan mual dan muntah, dan menstabilkan menstabilkan kembali suhu (normothermia) sebelum discharge juga sangat diperlukan. Sistem penilaian secara luas
xvi
Postanesthesia care
MARET 2013
digunakan. Sebagian menilai SpO2 (atau warna), kesadaran, sirkulasi, respirasi, dan aktivitas motorik (Tabel 2). Sebagian besar pasien dapat memenuhi kriteria discharge dalam waktu 60 menit di PACU. Pasien yang akan dipindahkan ke fasilitas perawatan intensif lainnya tidak perlu memenuhi semua persyaratan. 1
Selain kriteria di atas, pasien yang menerima anestesi regional juga harus menunjukkan tandatanda resolusi blokade baik sensorik dan motorik. Resolusi lengkap dari blok umumnya diinginkan untuk menghindari cedera tidak sengaja karena kelemahan motor atau defisit sensorik. Mendokumentasikan resolusi blok juga sangat penting. Kegagalan resolusi blok spinal atau epidural setelah 6 jam meningkatkan kemungkinan hematoma korda spinalis atau epidural, yang harus disingkirkan dengan pencitraan radiologi. 1 Tabel 2 : kriteria discharge untuk pasien PACU Original Criteria
Modified Criteria
Point Value
Color
Oxygenation
Pink
SpO2 > 92% on room air
2
Pale or dusky
SpO2 > 90% on oxygen
1
Cyanotic
SpO2 < 90% on oxygen
0
Can breathe deeply and cough
Breathes deeply and coughs freely
2
Shallow but adequate exchange
Dyspneic, shallow or limited breathing
1
Apnea or obstruction
Apnea
0
Blood pressure within 20% of normal
Blood pressure ± 20 mm Hg of normal
2
Blood pressure within 20 – 20 – 50% 50% of normal
Blood pressure ± 20 – 50 50 mm Hg of normal
1
Blood pressure deviating > 50% from normal
Blood pressure more than ± 50 mm Hg of normal
0
Awake, alert, and oriented
Fully awake
2
Arousable but readily drifts back to sleep
Arousable on calling
1
No response
Not responsive
0
Moves all extremities
Same
2
Moves two extremities
Same
1
No movement
Same
0
Respiration
Circulation
Consciousness
Activity
xvii
Postanesthesia care
MARET 2013
2.5.2
Rawat jalan/Outpatient jalan/Outpatient
Selain emergence dan kesadaran, pemulihan dari anestesi mengikuti prosedur rawat jalan meliputi dua tahap tambahan: kesiapan pulang ke rumah (fase 2 recovery) recovery) dan pemulihan psikomotor lengkap. Sebuah sistem penilaian telah dikembangkan untuk membantu menilai kesiapan pulang kerumah (Tabel 3). Pemulihan propriseptif, tonus simpatik, fungsi kandung kemih, dan kekuatan motorik adalah kriteria tambahan setelah anestesi regional. Misalnya, propriseptif utuh dari jempol kaki, perubahan ortostatik yang minimal, dan fleksi plantar kaki normal merupakan sinyal penting dari pemulihan setelah anestesi spinal. Buang air kecil sebelum dipulangkan dan minum atau makan sebelum dipulangkan umumnya tidak lagi diperlukan; pengecualian termasuk pasien dengan riwayat retensi urin dan penderita diabetes.1 Tabel 3 : kriteria discharge untuk pasien rawat jalan Criteria
Points
Vital signs Within 20% of preoperative baseline
2
Within 20 – 40% 40% of preoperativ preoperative e baseline
1
> 40% of preoperat preoperative ive baseline
0
Activity level Steady gait, no dizziness, at preoperative level
2
Requires assistance
1
Unable to ambulate
0
Nausea and vomiting Minimal, treated with oral medication
2
Moderate, treated with parenteral medication
1
Continues after repeated medication
0
Pain: minimal or none, acceptable to patient, controlled with oral medication Yes
2
No
1
Surgical bleeding Minimal: no dressing change required
2
Moderate: up to two dressing changes
1
xviii
Postanesthesia care
MARET 2013
Severe: three or more dressing changes
0
Semua pasien rawat jalan yang pulang ke rumah di harus dibawah pengawasan orang dewasa yang bertanggung jawab yang akan tinggal bersama mereka semalam. semalam. Pasien harus disediakan dengan instruksi pasca operasi yang ditulis tentang cara untuk memperoleh bantuan darurat dan melakukan rutinitas perawatan. Penilaian kesiapan pulang ke rumah adalah tanggung jawab dokter, sebaiknya ahli anestesi, yang akrab dengan pasien. Kewenangan untuk melepaskan pasien pulang ke rumah dapat didelegasikan kepada perawat jika kriteria discharged yang ketat telah diterapkan.1
Kesiapan pulang ke rumah tidak berarti bahwa pasien memiliki kemampuan untuk membuat keputusan
penting,
untuk
mengendara,
atau
untuk
kembali
bekerja.
Kegiatan
ini
membutuhkan pemulihan psikomotor lengkap, yang sering tidak tercapai sampai 24-72 jam pasca operasi. Semua pusat rawat jalan harus menggunakan beberapa sistem tindak lanjut (follow up) up) pasca operasi yang melibatkan penggunaan kuesioner pasien atau lebih dianjurkan kontak telepon sehari setelah discharge. discharge.1
xix
Postanesthesia care
MARET 2013
3. Manajemen KompliKasi
3.1
KompliKasi respirasi/pernapasan
Masalah pernapasan adalah komplikasi serius yang paling sering ditemui di PACU. Mayoritas berhubungan dengan obstruksi jalan nafas, hipoventilasi, atau hipoksemia. Karena hipoksemia merupakan jalur akhir akhir yang umum untuk morbiditas morbiditas dan mortalitas yang serius, rutinitas pemantauan pemantauan pulse oximetry di PACU memperbolehkan deteksi awal dari komplikasi dan efek buruk yang timbul 1
akan lebih sedikit .
3.1.1
ObstruKsi jalan napas
Obstruksi jalan napas pada pasien tidak sadar adalah paling umum karena lidah jatuh ke belakang dan menutup menutup faring posterior. posterior. Penyebab lainnya adalah adalah spasme spasme laring, edema glotis, sekresi, muntahan, atau darah dalam saluran napas, atau tekanan eksternal pada trakea (paling sering dari hematoma leher). Obstruksi jalan napas parsial biasanya ditandai dengan suara napas yang nyaring ( sonorous respiration). Obstruksi total menyebabkan berhentinya aliran udara, tidak adanya bunyi nafas, dan ditandai gerakan toraks paradoksal. Perut dan dada biasanya harus naik bersama-sama selama inspirasi, namun, dengan obstruksi jalan napas, dada turun saat perut naik setiap inspirasi (gerakan dada paradoxic). Pasien dengan obstruksi jalan napas harus menerima oksigen tambahan, tambahan, sementara langkah-langkah perbaikan dilakukan. Kombinasi manuver jaw jaw thrust dan head tilt menarik lidah ke depan dan membuka jalan jalan napas. Penyisipan Penyisipan alat bantu
pernanapasan pernanapasan oral atau nasal nasal juga sering
meredakan masalah. Saluran udara nasal mungkin lebih baik ditoleransi daripada saluran udara oral oleh pasien selama emergence dan dapat menurunkan kemungkinan trauma pada gigi ketika pasien menggigit.1
Jika manuver di atas gagal, spasme laring harus dipertimbangkan. Spasme laring biasanya ditandai dengan suara bernada tinggi tetapi bisa juga tidak, dengan penutupan glotis lengkap. Spasme pita suara lebih mudah terjadi saat adanya trauma saluran napas, atau instrumentasi berulang, atau stimulasi dari sekresi atau darah di saluran napas. Manuver jawManuver jawthrust, thrust , terutama bila dikombinasikan dengan tekanan udara positif melalui masker ( face mask) yang ketat, biasanya bisa mengatasi spasme laring. Penyisipan alat bantu pernapasan oral atau nasal (insertion (insertion of oral or nasal airway ) juga membantu. Setiap sekret atau darah di hipofaring harus disedot untuk mencegah kekambuhan. Spasme laring refraktor harus ditangani secara agresif dengan dosis kecil succinylcholine (10-20 mg) dan ventilasi tekanan
xx
Postanesthesia care
MARET 2013
positif sementara dengan oksigen 100% untuk mencegah hipoksemia berat atau tekanan negatif edema paru. Intubasi endotrakeal sesekali mungkin diperlukan untuk membuka kembali ventilasi, cricothyrotomy cricothyrotomy atau ventilasi jet transtracheal diindikasikan jika intubasi tidak berhasil. 1
Edema glotis mengikuti instrumentasi saluran napas merupakan penyebab penting dari obstruksi jalan napas pada bayi dan anak-anak. Kortikosteroid intravena (deksametason, 0,5 mg / kg) atau epinefrin rasemat aerosol (0,5 mL 2,25% larutan dengan 3 mL salin normal) mungkin berguna dalam kasus tersebut. Hematoma luka pasca operasi setelah dilakukan tindakan pada kepala dan leher, tiroid, dan karotid cepat bisa menekan jalan napas, membuka luka dengan segera dapat mengurangi kompresi trakea. Bisa tapi jarang, kemasan kasa dapat tidak sengaja tertinggal di hipofaring setelah bedah mulut dan dapat menyebabkan obstruksi jalan napas total segera setelah operasi atau beberapa jam kedepan. 1
3.1.2
Hipoventilasi
Hipoventilasi, yang secara umum didefinisikan sebagai PaCO2 lebih besar dari 45 mmHg, merupakan kejadian sering setelah anestesi umum. Dalam kebanyakan kasus, hipoventilasi adalah ringan, dan banyak kasus yang diabaikan. Hipoventilasi signifikan biasanya jelas secara klinis hanya ketika PaCO2 lebih besar dari 60 mm Hg atau pH darah arteri kurang dari 7,25. Tanda-tandanya bervariasi termasuk mengantuk yang berlebihan atau berkepanjangan, obstruksi jalan napas, frekuensi pernapasan pernapasan lambat, tachypnea dengan pernapasan dangkal, atau sesak napas. Asidosis respiratori ringan sampai sedang menyebabkan takikardia dan hipertensi atau iritabilitas jantung (melalui stimulasi simpatis), tapi asidosis lebih parah menghasilkan depresi sirkulasi. Jika diduga terjadi hipoventilasi signifikan, pengukuran gas darah arteri harus diperoleh untuk menilai keparahan dan sebagai panduan manajemen lebih lanjut.1
Hipoventilasi di PACU paling sering disebabkan oleh sisa efek depresan agen anestesi pada pernapasan. Depresi pernafasan terinduksi opioid khas menghasilkan tingkat pernapasan lambat, sering dengan volume tidal yang besar. Sedasi berlebihan juga sering hadir, tetapi pasien mungkin responsif dan mampu meningkatkan pernapasan dengan perintah. Pola bifasik atau depresi pernafasan berulang telah dilaporkan pada semua opioid. Mekanisme yang diusulkan termasuk variasi dalam intensitas stimulasi selama pemulihan dan tertundanya rilis opioid dari kompartemen perifer seperti otot rangka (atau mungkin paru-paru dengan fentanil) saat pasien mulai bergerak. 1
xxi
Postanesthesia care
MARET 2013
Pembalikan tidak memadai (inadequate ( inadequate reversal), reversal ), overdosis, hipotermia, interaksi farmakologis (seperti dengan antibiotik "mycin" atau terapi magnesium), farmakokinetik yang terganggu (karena hipotermia, volume distribusi terganggu, disfungsi ginjal atau hati), atau faktor-faktor metabolik (seperti hipokalemia atau asidosis pernapasan ) dapat bertanggung jawab untuk sisa kelumpuhan otot di PACU. Terlepas dari penyebabnya, gerakan bernapas tidak terkoordinasi dengan volume tidal dangkal dan tachypnea biasanya jelas kelihatan. Diagnosis dapat dibuat dengan perangsang saraf pada pasien tidak sadar, pasien sadar dapat diminta untuk mengangkat kepala mereka. Kemampuan untuk mempertahankan angkat kepalauntuk 5 detik mungkin tes yang paling sensitif untuk menilai kecukupan reversal. 1
Immobilisasi karena sakit akibat insisi dan disfungsi diafragma setelah operasi perut atau dada bagian atas, distensi abdomen, atau dressing perut ketat adalah faktor-faktor lain yang dapat berkontribusi terhadap hipoventilasi. Produksi CO 2
yang meningkat saat menggigil,
hipertermia, atau sepsis juga dapat meningkatkan PaCO 2 bahkan pada pasien normal yang pulih dari anestesi umum. Harus diingat, hipoventilasi i dan asidosis respiratory dapat terjadi ketika faktor-faktor ini terjadi pada cadangan ventilas yang tidak memadai dan terganggu akibat penyakit paru neuromuskuler, atau neurologis yang mendasari. mendasari. 1
3.1.2.1
penatalaKsanaan
Pengobatan umumnya harus diarahkan pada penyebab yang mendasarinya, tapi harus diingat hipoventilasi selalu membutuhkan ventilasi terkendali sampai faktor penyebab diidentifikasi dan diperbaiki. Obtundation, depresi peredaran darah, dan asidosis berat (pH darah arteri <7.15) merupakan indikasi untuk intubasi endotrakeal segera. Antagonisme opioid-induced depresi dengan nalokson adalah pedang bermata dua, peningkatan mendadak dalam ventilasi alveolar biasanya juga berhubungan dengan nyeri tiba-tiba dan debit simpatik. Yang terakhir ini dapat memicu krisis hipertensi, edema paru, dan iskemia miokard atau infark.1
Jika nalokson digunakan untuk meningkatkan respirasi, titrasi sedikit demi sedikit (0,04 mg pada orang
dewasa) dapat menghindari komplikasi dengan
memungkinkan memungkinkan pembalikan sebagian dari depresi pernafasan tanpa pembalikan yang
signifikan
diperhatikan
dari
analgesia
kemungkinan
tersebut.
terjadi
Setelah
kekambuhan
nalokson,
pasien
opioid-induced
harus depresi
pernafasan (renarcotization), apa lagi nalokson memiliki durasi lebih pendek dari kebanyakan opioid. Sebagai alternatif, doxapram, 60-100 mg, diikuti dengan 1-2 mg / menit intravena, dapat digunakan, doxapram tidak membalikkan analgesia, tetapi dapat menyebabkan hipertensi dan takikardi. Jika paralisis otot residu hadir, inhibitor cholinesterase tambahan dapat diberikan. Jika tetap ada kelumpuhan
xxii
Postanesthesia care
MARET 2013
sisa
( residual residual
paralysis) paralysis)
meskipun
telah
mendapat
dosis
penuh
inhibitor
cholinesterase, dibutuhkan ventilasi terkontrol sampai pemulihan spontan terjadi. Analgesia opioid (intravena atau intraspinal), anestesi epidural, atau blok saraf interkostal sering bermanfaat dalam mengurangi splinting setelah prosedur tindakan pada perut bagian atas atau dada. 1
3.1.3
HipoKsemia
Hipoksemia ringan adalah umum pada pasien pulih dari anestesi kecuali oksigen tambahan diberikan selama emergence. emergence. Hipoksemia ringan sampai sedang (PaO2 50-60 mm Hg) pada pasien muda yang sehat dapat ditoleransi dengan baik pada awalnya, tetapi dengan peningkatan durasi atau keparahan stimulasi simpatis sering terlihat terjadinya asidosis progresif dan depresi sirkulasi. Sianosis yang jelas mungkin tidak terlihat jika konsentrasi hemoglobin berkurang. Secara klinis, hipoksemia juga dapat diduga dari kegelisahan, takikardia, atau iritabilitas jantung (ventrikel atau atrium). Obtundation, bradikardia, hipotensi, dan serangan jantung adalah tanda-tanda akhir yang timbul. Penggunaan rutin pulse oxymetri di PACU memfasilitasi deteksi dini. Pengukuran gas darah arteri harus dilakukan untuk mengkonfirmasi diagnosis dan sebagai panduan terapi. 1
Hipoksemia di PACU biasanya disebabkan oleh hipoventilasi, peningkatan shunting intrapulmonal kanan-ke-kiri, atau keduanya. Penurunan curah jantung atau peningkatan konsumsi oksigen (seperti saat menggigil) akan menonjolkan menonjolkan hipoksemia. Difusi hipoksia adalah penyebab umum dari hipoksemia. Nitrogen oksida yang diabsorbsi selama anestesi harus dikesresikan selama pemulihan. Senyawa ini sangat tidak larut dalam darah sehingga berdifusi dengan cepat mengikuti gradien konsentrasi ke dalam alveoli, akibatnya akan menurunkan tekanan parsial oksigen dan membuat pasien mengalami hipoksemia. Ini dapat diatasi apabila pasien pulih diberikan oksigen tambahan melalui sungkup untuk meningkatkan konsentrasi oksigen inspirasi. 1,3
Hipoksemia karena hipoventilasi murni juga jarang pada pasien yang menerima oksigen tambahan kecuali hypercapnia seiring bertambahnya shunting intrapulmonal. Peningkatan shunting intrapulmonal dari penurunan kapasitas residual fungsional (FRC) adalah penyebab paling umum dari hipoksemia setelah anestesi umum. Penurunan terbesar terjadi di FRC setelah operasi abdomen bagian atas dan toraks. Hilangnya volume paru-paru sering dikaitkan dengan microatelectasis, microatelectasis, atelektasis sering tidak terlihat jelas pada foto toraks. Posisi semiupright semiupright membantu menjaga FRC.1
xxiii
Postanesthesia care
MARET 2013
Shunting intrapulmonal intrapulmonal kanan-ke-kiri (S / T> 15%) biasanya dikaitkan dengan temuan radiografi dilihat seperti atelektasis paru, infiltrat parenkim, atau pneumotoraks besar. Penyebab termasuk hipoventilasi berkepanjangan intraoperatif dengan volume tidal rendah, intubasi endobronchial yang tidak disengaja, kolaps lobar dari obstruksi bronkus oleh sekresi atau darah, aspirasi paru, atau edema paru. Edema paru pascaoperasi paling sering ditandai sebagai mengi (wheezing (wheezing)) dalam 60 menit pertama setelah operasi, mungkin karena kegagalan ventrikel kiri (kardiogenik), sindrom pernapasan akut (ARDS), atau teratasinya obstruksi jalan napas yang berkepanjangan secara tiba-tiba. Berbeda dengan mengi yang berhubungan dengan edema paru, mengi karena penyakit paru-paru obstruktif primer, yang juga sering mengakibatkan mengakibatkan peningkatan besar dalam shunting intrapulmonal, intrapulmonal, tidak terkait dengan auskultasi crackles, crackles , cairan edema pada jalan napas, atau infiltrat pada foto toraks. Kemungkinan pneumotoraks pasca operasi harus selalu dipertimbangkan mengikuti blok interkostal, patah tulang rusuk, pembedahan leher, trakeostomi, nephrectomies, atau retroperitoneal atau intraabdominal prosedur (termasuk laparoskopi), terutama ketika diafragma mungkin ditembus. Pasien dengan blebs subpleural atau bula besar juga dapat mengembangkan mengembangkan pneumotoraks selama ventilasi tekanan positif. 1
Setiap kondisi kronik yang menyebabkan penebalan membran alveolus misalnya alveolitis fibrosa akan mengganggu pemindahan oksigen ke dalam darah. Pada masa pemulihan, hal ini dapat pula terjadi sekunder akibat berkembangnya edema paru setelah beban cairan berlebihan atau terganggunya fungsi ventrikel kiri. Ini sebaiknya diatasi pertama-tama dengan memberikan oksigen untuk meningkatkan tekanan parsial oksigen di dalam alveoli kemudian dengan penaganan setiap penyebab yang mendasarinya.3
3.1.3.1
`PenatalaKsanaan
Oksigen terapi dengan atau tanpa tekanan udara positif adalah dasar pengobatan. Pemberian rutin oksigen 30-60% biasanya cukup untuk mencegah hipoksemia bahkan dengan hipoventilasi dan hiperkapnia moderat. Pasien dengan penyakit paru atau jantung mungkin memerlukan konsentrasi oksigen yang lebih tinggi, terapi oksigen harus dipandu oleh pengukuran SpO2 atau gas darah arteri. Konsentrasi oksigen harus dikontrol ketat pada pasien dengan retensi CO2 kronik untuk menghindari menghindari kegagalan pernafasan akut.
1
Pasien dengan hipoksemia berat atau persisten harus diberikan oksigen 100% melalui masker nonrebreathing atau endotracheal tube sampai penyebabnya diidentifikasi diidentifikasi dan terapi lain diberikan. Ventilasi mekanis dikendalikan atau dibantu mungkin juga diperlukan. Foto toraks (sebaiknya film tegak) sangat berguna
xxiv
Postanesthesia care
MARET 2013
dalam
menilai volume paru-paru
pneumotoraks pneumotoraks atau infiltrat i nfiltrat paru.
dan
ukuran jantung
dan menunjukkan
1
Pengobatan tambahan harus diarahkan pada penyebab yang mendasari. Sebuah
pipa
toraks
harus
dimasukkan
untuk
setiap
pneumotoraks
yang
menimbulkan gejala atau yang lebih besar dari 15-20%. Bronkospasme harus ditangani dengan bronkodilator aerosol dan mungkin a minofilin intravena. Diuretik harus diberikan untuk kelebihan cairan sirkulasi. Fungsi jantung harus dioptimalkan. Hipoksemia Persistent meskipun oksigen 50% pada umumnya merupakan indikasi untuk ekspirasi tekanan positif akhir (PEEP) atau CPAP. Bronkoskopi sering berguna dalam reexpanding dalam reexpanding atelektasis lobar disebabkan oleh plak bronkial atau aspirasi partikel. 1
3.2
KompliKasi sirKulasi
Gangguan peredaran darah/sirkulasi darah/sirkulasi yang paling umum di PACU adalah hipotensi, hipertensi, dan aritmia. Kemungkinan bahwa kelainan peredaran darah/sirkulasi merupakan kelainan sekunder dari gangguan pernapasan harus selalu dipertimbangkan sebelum intervensi lainnya
.
3.2.1
Hipotensi
Hipotensi biasanya karena aliran balik vena ke jantung menurun, disfungsi ventrikel kiri, atau, kurang umum, vasodilatasi arteri berlebihan. Hipovolemia adalah penyebab paling umum dari hipotensi di PACU. Hipovolemia absolut biasanya karena cairan pengganti intraoperatif yang tidak memadai, penyerapan cairan oleh jaringan yang berterusan, atau drainase luka, atau perdarahan pasca operasi. Venokonstriksi selama hipotermia dapat menutupi hipovolemia sampai suhu pasien mulai naik kembali. Hipovolemia relatif adalah hipotensi terkait dengan anestesi spinal atau epidural, venodilators, dan blokade adrenergik; peningkatan kapasitas vena mengurangi aliran balik vena meskipun volume intravaskular sebelumnya normal dalam. Hipotensi yang berhubungan dengan sepsis dan reaksi alergi biasanya merupakan hasil dari kedua hipovolemia dan vasodilatasi. vasodilatasi. Hipotensi setelah tension pneumothorax pneumothorax
atau
tamponade jantung adalah hasil dari pengisian jantung terganggu.1
Hipovolemia merupakan penyebab tersering hipotensi setelah anestesi dan pembedahan. Walaupun kehilangan darah intraoperatif biasanya tampak, namun perdarahan yang terus berlangsung mungkin tidak tampak, terutama bila tidak terpasang drainase. Kehilangan
xxv
Postanesthesia care
MARET 2013
cairan dapat juga terjadi akibat kerusakan jaringan yang menimbulkan edema, atau akibat penguapan selama pembedahan yang lama pada rongga-rongga tubuh, misalnya abdomen atau toraks.3
Disfungsi ventrikel kiri pada orang yang sebelumnya sehat jarang terjadi kecuali dikaitkan dengan gangguan metabolik yang berat (hipoksemia, asidosis, atau sepsis). Hipotensi karena disfungsi ventrikel terutama ditemui pada pasien dengan penyakit arteri ko roner atau penyakit katup jantung, dan biasanya dipicu oleh kelebihan cairan, iskemia miokard, peningkatan akut pada afterload, atau disritmia.
3.2.1.1
PenatalaKsanaan
Hipotensi ringan selama pemulihan dari anestesi biasanya mencerminkan penurunan tonus simpatik biasanya terkait dengan tidur atau efek residual dari agen anestesi, biasanya tidak memerlukan pengobatan. Hipotensi signifikan biasanya didefinisikan sebagai pengurangan 20-30% dari tekanan darah di bawah
tingkat
dasar
pasien
dan
menunjukkan
kekacauan
serius
yang
memerlukan pengobatan. Pengobatan tergantung pada kemampuan untuk menilai volume intravaskular. Peningkatan tekanan darah setelah bolus cairan (250-500 mL kristaloid atau koloid 100-250 mL) pada umumnya menegaskan terjadininya hipovolemia. hipovolemia. 1
Pada hipotensi parah, vasopressor atau inotropic (dopamin atau epinefrin) mungkin diperlukan untuk meningkatkan tekanan darah arteri sampai defisit volume intravaskular setidaknya sebagian dikoreksi. Tanda-tanda disfungsi jantung harus dicari pada pasien usia lanjut dan pasien dengan penyakit jantung. Pasien yang gagal untuk segera merespon terhadap pengobatan wajib dilakukan pemantauan hemodinamik hemodinamik invasif, i nvasif, manipulasi preload jantung, kontraktilitas, dan afterload. Adanya tension pneumotoraks, yang ditandai oleh hipotensi dengan suara napas melemah unilateral, hyperresonance, dan deviasi trakea, merupakan indikasi aspirasi pleura langsung bahkan sebelum konfirmasi radiografi. Demikian pula, hipotensi akibat tamponade jantung, trauma dada atau bedah toraks, sering memerlukan perikardiosentesis langsung atau reeksplorasi. 1
3.2.2
Hipertensi
Hipertensi pascaoperasi di PACU biasanya terjadi dalam 30 menit pertama setelah masuk. Rangsangan dari rasa sakit, intubasi endotrakeal, atau distensi kandung kemih biasanya bertanggung jawab untuk kejadian hipertensi ini. Hipertensi pasca operasi juga dapat
xxvi
Postanesthesia care
MARET 2013
mencerminkan aktivasi simpatik, yang mungkin menjadi bagian dari respon neuroendokrin terhadap operasi atau sekunder untuk hipoksemia, hiperkapnia, atau asidosis metabolik. Pasien dengan riwayat hipertensi sistemik cenderung untuk mengembangkan hipertensi di PACU bahkan tanpa adanya penyebab yang dapat diidentifikasikan. diidentifikasikan. Cairan yang berlebihan atau hipertensi intrakranial juga bisa sesekali hadir sebagai hipertensi pasca operasi. 1
3.2.2.1
PenatalaKsanaan
Hipertensi ringan umumnya tidak memerlukan pengobatan, tetapi penyebab reversibel harus dicari. Hipertensi dapat memicu perdarahan pasca operasi, iskemia miokard, gagal jantung, atau perdarahan intrakranial. Keputusan tentang derajat hipertensi apa yang harus ditangani tergantung individual. Secara umum, peningkatan tekanan darah lebih dari 20-30% dari baseline normal pasien atau mereka yang berhubungan dengan efek samping (seperti iskemia miokard, gagal jantung, atau perdarahan) harus dirawat. Peningkatan tekanan darah ringan sampai moderat dapat diobati dengan blocker adrenergik intravena seperti labetalol, esmolol, atau propranolol; propranolol; kalsium channel blocker nicardipine, atau nitrogliserin. Nifedipine sublingual dan hydralazine juga efektif tetapi sering menyebabkan refleks takikardia dan dikaitkan dengan iskemia dan infark miokard. Hipertensi pada pasien dengan cadangan jantung yang terbatas memerlukan pemantauan tekanan langsung intraarteri dan harus diberikan infus intravena nitroprusside, nitrogliserin, nicardipine, nicardipine, atau fenoldopam. Titik akhir untuk perawatan harus konsisten dengan tekanan darah normal pasien sendiri. 1
3.2.3
Aritmia
Peran gangguan pernapasan, terutama hipoksemia, hiperkarbia, dan asidosis, dalam menyebabkan aritmia jantung tidak bisa terlalu ditekankan. Efek sisa dari agen anestesi, meningkatnya aktivitas sistem saraf simpatik, kelainan metabolik lainnya, penyakit jantung atau paru yang sudah ada sebelumnya juga mempengaruhi untuk terjadinya aritmia di PACU.1
Bradikardia sering mewakili efek residual dari inhibitor cholinesterase (neostigmine), sintetis opioid ampuh (sufentanil), atau β -adrenergik bloker (propranolol). Takikardia mungkin merupakan efek dari agen antikolinergik (atropin), obat vagolytic (pancuronium atau meperidin), β-agonis β -agonis (albuterol), refleks takikardia (hydralazine), di samping penyebab yang lebih umum seperti nyeri, demam, hipovolemia, dan anemia. Selain itu, anestesi-induced
xxvii
Postanesthesia care
MARET 2013
depresi fungsi baroreseptor membuat membuat denyut jantung tidak dapat diandalkan sebagai monitor volume intravaskular di PACU.
1
Denyut prematur atrium dan ventrikel biasanya mewakili hipokalemia, hypomagnesemia, peningkatan tonus simpatik, atau, kurang umum, iskemia miokard. Yang terakhir ini dapat didiagnosis dengan EKG 12-lead. Tachyarrhythmias supraventricular termasuk takikardia supraventrikuler paroksismal, flutter atrium, dan atrial fibrilasi biasanya ditemui pada pasien dengan riwayat aritmia, dan lebih sering ditemui setelah operasi toraks. 1
xxviii
Postanesthesia care
MARET 2013
Daftar pustaKa 1. 1.
Manajemen KompliKasi
Morgan GE, Murray MJ, Mageds JR. Postanesthesial care dalam Clinical Anethesiology Anethesiology 4 th edition. Mc Graw Hill Company, New York, 2006, hal : 1001-1017.
2.
Latief SA, Suryadi K, Dachlan M.R. Tatalaksana pasca anestesi, dalam Petunjuk Praktis Anestesiologi edisi edisi kedua cetakan ketiga. Bagian Anestesiologi Anestesiologi dan Terapi Intensif Fakultas Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Indonesia, Jakarta 2007, hal: 125-128
3.
Gwinnut C.L. Perawatan pascaanestesia dalam Anestesi Klinis edisi ketiga. Alih bahasa oleh Susanto D. Penerbit buku kodeokteran EGC, Jakarta 2012, hal: 89 -109
xxix