BAB I PENDAHULUAN
Asfiksia adalah progresif hipoksemia dan hiperkapnea yang disertai dengan perkembangan progresif progresif dari asidosis metabolik. Kejadian Kejadian Asphyixia neonatorum neonatorum adalah suatu keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uteris dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Faktor tersebut diantaranya dalah adanya (1) penyakit pada ibu sewaktu hamil seperti hipertensi, gangguan atau penyakit paru, dan gangguan kontraksi uterus, (2) pada ibu yang kehamilannya beresiko, (3) faktor plasenta, seperti janin dengan solusio plasenta, (4) faktor janin itu sendiri, seperti terjadi kelainan pada tali pusat antara janin dan jalan lahir, serta (5) faktor persalinan seperti partus lama atau partus dengan tindakan tertentu.1,2,3 Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang dan ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami episode hipoksia-iskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi otak sebagai pertimbangan utama Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di seluruh dunia disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir mati yang lebih besar. 2 Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak t ahun 20002003 asfiksia menempati menempati urutan ke-6, yaitu yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian kematian anak diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur.1,3 Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia s aat lahir kini hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, palsy, retardasi mental dan gangguan belajar.4 Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama kematian perinatal di Indonesia adalah gangguan pernapasan/respiratory pernapasan/respiratory disorders (35,9%), prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12.0%).5
1
Penyebab utama kematian pada minggu pertama kehidupan adalah komplikasi kehamilan dan persalinan seperti asfiksia, sepsis dan komplikasi berat lahir rendah. Kurang lebih 99% kematian ini terjadi di negara berkembang dan sebagian besar kematian ini dapat dicegah dengan pengenalan dini dan pengobatan yang tepat. 1 Mengingat besaran masalah penyakit asfiksia neonatorum neonatorum ini makan penulis ingin membahas lebih dalam tentang asfiksia neonatorum mulai dari definisi hingga tatalaksananya.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
I.
DEFINSI
Beberapa sumber mendefinisikan asfiksia neonatorum dengan berbeda : Ikatan Dokter Anak Indonesia
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan napas secara spontan dan teratur pada saat lahir atau beberapa saat setelah saat lahir yang ditandai dengan hipoksemia, hiperkarbia dan asidosis.1 WHO
Asfiksia neonatorum adalah kegagalan bernapas secara spontan dan teratur segera setelah lahir.2 ACOG dan AAP
Seorang neonatus disebut mengalami asfiksia bila memenuhi kondisi sebagai berikut:3
Nilai Apgar menit kelima 0-3
Adanya asidosis pada pemeriksaan darah tali pusat (pH<7.0)
Gangguan neurologis (misalnya: kejang, hipotonia atau koma)
Adanya
gangguan
sistem
multiorgan
(misalnya:
gangguan
kardiovaskular, gastrointestinal, hematologi, pulmoner, atau sistem renal). Asfiksia dapat bermanifestasi sebagai disfungsi multiorgan, kejang dan ensefalopati hipoksik-iskemik, serta asidemia metabolik. Bayi yang mengalami episode hipoksiaiskemi yang signifikan saat lahir memiliki risiko disfungsi dari berbagai organ, dengan disfungsi disfungsi otak sebagai pertimbangan utama.4
3
II.
EPIDEMIOLOGI
Diperkirakan bahwa sekitar 23% seluruh angka kematian neonatus di seluruh dunia disebabkan oleh asfiksia neonatorum, dengan proporsi lahir mati yang lebih besar. Laporan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyebutkan bahwa sejak tahun 2000-2003 asfiksia menempati urutan ke-6, yaitu sebanyak 8%, sebagai penyebab kematian anak diseluruh dunia setelah pneumonia, malaria, sepsis neonatorum dan kelahiran prematur.1,3 Diperkirakan 1 juta anak yang bertahan setelah mengalami asfiksia saat lahir kini hidup dengan morbiditas jangka panjang seperti cerebral palsy, retardasi mental dan gangguan belajar.4 Menurut hasil riset kesehatan dasar tahun 2007, tiga penyebab utama kematian perinatal di Indonesia adalah gangguan pernapasan/respiratory disorders (35,9%), prematuritas (32,4%) dan sepsis neonatorum (12.0%).
5
Menurut data-data di Rumah Sakit Haji Adam Malik Medan tahun 2004 bayi baru lahir berjumlah 184 orang, meninggal 9 orang (4,89%) 1 bayi meninggal dengan asphyxia neonatorum. Tahun 2005 bayi baru lahir berjumlah 215, meninggal 9 orang (4,19%) dimana 1 bayi meninggal dengan asphyxia neonatorum.6 Di Rumah Sakit Dr Pirngadi Medan. Tahun 2005, bayi baru lahir berjumlah 754 orang, 27 bayi (3,58%) meninggal dan tahun 2006 dari jumlah kelahiran 1.185 bayi, bayi dengan asphyxia neonatorum 205 meninggal sebelum usia 7 hari sejumlah 134 (11,31%), dimana asphyxia neonatorum merupakan penyebab kematian bayi yang terbanyak yaitu 108 bayi (81%) dan tahun 2007 angka kelahiran 757, bayi lahir dengan asfiksia neonatorum sebanyak 234 (30,31%) dan meninggal sebelum usia 7 hari sebanyak 59 (77,94 per seribu) dan bayi meninggal dengan asphyxia neonatorum sebanyak 20 bayi (34%).
6
4
III.
ETIOLOGI
Asfiksia neonatorum dapat terjadi selama kehamilan, pada proses persalinan dan melahirkan atau periode segera setelah lahir. Janin sangat bergantung pada pertukaran plasenta untuk oksigen, asupan nutrisi dan pembuangan produk sisa sehingga gangguan pada aliran darah umbilikal maupun plasental hampir selalu akan menyebabkan asfiksia.5 Perubahan pertukaran gas dan transport oksigen selama kehamilan dan persalinan akan mempengaruhi oksigenasi sel-sel tubuh yang selanjutnya dapat mengakibatkan gangguan fungsi sel. Gangguan fungsi sel ini dapat ringan dan sementara atau menetap, tergantung dari perubahan homeostatis yang terdapat pada janin. Perubahan homeostatis ini berhubungan erat dengan beratnya dan lamanya anoksia atau hipoksia yang diderita dan mengakibatkan terjadinya perubahan fungsi sistem kardiovaskuler. 6 Toweil (1966) menggolongkan penyebab asphyxia neonatorum terdiri dari 7: 1.
Faktor Ibu
Hipoksia ibu
Terjadi karena hipoventilasi akibat pemberian obat analgetika atau anestesia dalam. Hal ini akan menimbulkan hipoksia janin dengan segala akibatnya
Gangguan aliran darah uterus Mengurangnya aliran darah pada uterus akan menyebabkan
berkurangnya pengaliran oksigen ke plasenta dan kejanin. Hal ini sering ditemukan pada (a) Ganguan kontraksi uterus, misalnya hipertoni, hipotoni atau tetani uterus akibat penyakit atau obat, (b) Hipotensi mendadak pada ibu karena perdarahan, (c) Hipertensi pada penyakit akiomsia dan lain-lain.
5
2. Faktor Plasenta
Pertukaran gas antara ibu dan janin dipengaruhi oleh luas dan kondisi plasenta. Asfiksia janin akan terjadi bila terdapat gangguan mendadak pada plasenta, misalnya solusio plasenta, perdarahan plasenta dan lain-lain. 3. Faktor Fetus
Kompresi umbilikus akan mengakibatkan terganggunya aliran darah dalam pcmbuluh darah umbilikus dan menghambat pertukaran gas antara ibu dan janin. Gangguan aliran darah ini dapat ditemukan pada keadaan : tali pusat menumbung, tali pusat melilit leher kompresi tali pusat antar janin dan jalan lahir dan lain-lain. 4. Faktor Neonatus
Depresi pusat pernapasan pada bayi baru lahir dapat terjadi karena beberapa hal, yaitu : (a) Pemakaian obat anestesia/analgetika yang berlebihan pada ibu secara langsung dapat menimbulkan depresi pusat pernafasan janin. (b) Trauma yang terjadi
pada
persalinan,
misalnya
perdarahan
intrakranial.(c)
Kelainan
konginental pada bayi, misalnya hernia diafrakmatika atresia/stenosis saluran pernafasan, hipoplasia paru dan lain-lain.
IV.
FAKTOR RESIKO
Lee, dkk.(2008) melakukan penelitian terhadap faktor risiko antepartum, intrapartum dan faktor risiko janin pada asfiksia neonatorum. Didapatkan bahwa gejala-gejala penyakit maternal yang dilaporkan 7 hari sebelum kelahiran memiliki hubungan yang bermakna terhadap peningkatan risiko kematian akibat asfiksia neonatorum. Gejala gejala tersebut adalah demam selama kehamilan, perdarahan pervaginam, pembengkakan tangan,wajah atau kaki, kejang, kehamilan ganda juga berhubungan kuat dengan mortalitas asfiksia neonatorum .Bayi yang lahir dari wanita primipara memiliki risiko mortalitas asfiksia neonatorum yang lebih tinggi, sedangkan adanya riwayat kematian bayi sebelumnya tidak bermakna dalam memperkirakan kematian akibat asfiksia
6
neonatorum. Partus lama
dan ketuban pecah dini juga meningkatkan risiko
asfiksia neonatorum secara bermakna.4,5 Prematuritas memiliki risiko yang lebih besar terhadap kematian akibat asfiksia neonatorum. Risiko tersebut meningkat 1.61 kali lipat pada usia kehamilan 34-37 minggu dan meningkat 14.33 kali lipat pada usia kehamilan < 34 minggu. 4 Kortikosteroid perlu diberikan 7 hari sebelum kelahiran hingga paling lambat 24 jam sebelum bayi lahir untuk meningkatkan maturasi paru fetus. Pada suatu studi kohort dikatakan bahwa penggunaan kortikosteroid antenatal adalah faktor protektif terhadap sindroma distres respirasi (OR: 0.278; 95%KI: 0.177-0.437).5 .
Gambar 1 . Faktor Resiko Asfiksia Neonatorum 5
7
V.
PATOFISIOLOGI
Sebelum lahir, paru janin tidak berfungsi sebagai sumber oksigen atau jalan untuk mengeluarkan karbondioksida. Pembuluh arteriol yang ada di dalam paru janin dalam keadaan konstriksi sehingga tekanan oksigen (pO2) parsial rendah. Hampir seluruh darah dari jantung kanan t idak dapat melalui paru karena konstriksi pembuluh darah janin, sehingga darah diali rkan melalui pembuluh yang bertekanan lebih rendah yaitu duktus arteriosus kemudian masuk ke aorta. 5 Setelah lahir, bayi akan segera bergantung pada paru-paru sebagai sumber utama oksigen. Cairan yang mengisi alveoli akan diserap ke dalam jaringan paru, dan alveoli akan berisi udara. Pengisian alveoli oleh udara akan memungkinkan oksigen mengalir ke dalam pembuluh darah di sekitar alveoli. 5 Arteri dan vena umbilikalis akan menutup sehingga menurunkan tahanan pada sirkulasi plasenta dan meningkatkan tekanan darah sistemik. Akibat tekanan udara dan peningkatan kadar oksigen di alveoli, pembuluh darah paru akan mengalami relaksasi sehingga tahanan terhadap aliran darah bekurang. 5 Keadaan relaksasi tersebut dan peningkatan tekanan darah sistemik, menyebabkan tekanan pada arteri pulmonalis lebih rendah dibandingkan tekanan sistemik sehingga aliran darah paru meningkat sedangkan aliran pada duktus arteriosus menurun. Oksigen yang diabsorbsi di alveoli oleh pembuluh darah di vena pulmonalis dan darah yang banyak mengandung oksigen kembali ke bagian jantung kiri, kemudian dipompakan ke seluruh tubuh bayi baru lahir. Pada kebanyakan keadaan, udara menyediakan oksigen (21%) untuk menginisiasi relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat kadar oksigen meningkat dan pembuluh paru mengalami relaksasi, duktus arteriosus mulai menyempit. Darah yang sebelumnya melalui duktus arteriosus sekarang melalui paru-paru, akan mengambil banyak oksigen untuk dialirkan ke seluruh jarin gan tubuh. 5 Pada akhir masa transisi normal, bayi menghirup udara dan menggunakan paru-parunya untuk mendapatkan oksigen. Tangisan pertama dan tarikan napas yang dalam akan mendorong cairan dari jalan napasnya. Oksigen dan
8
pengembangan paru merupakan rangsang utama relaksasi pembuluh darah paru. Pada saat oksigen masuk adekuat dalam pembuluh darah, warna kulit bayi akan berubah dari abu-abu/biru menjadi kemerahan. 5 Bila terdapat gangguaan pertukaran gas/pengangkutan O2 selama kehamilan persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fugsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversibel/tidak tergantung kepada berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu ( Primany apnea) disertai dengan penurunan frekuensi jantung selanjutnya bayi akan memperlihatkan usaha bernafas ( gasping ) yang kemudian diikuti oleh pernafasan teratur. Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apnu kedua ( Secondary apnea). Pada tingkat ini ditemukan bradikardi dan penurunan tekanan darah. 7 Disamping adanya perubahan klinis, akan terjadi pula G3 metabolisme dan pemeriksaan keseimbangan asam basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama dan pertukaran gas mungkin hanya menimbulkan asidoris respiratorik, bila G3 berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi metabolisme anaerobik yang berupa glikolisis glikogen tubuh , sehingga glikogen tubuh terutama pada jantung dan hati akan berkuang.asam organik terjadi akibat metabolisme ini akan menyebabkan tumbuhnya asidosis metabolik. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi perubahan kardiovaskuler yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung terjadinya asidosis metabolik akan mengakibatkan menurunnya sel jaringan termasuk otot jantung sehinga menimbulkan kelemahan jantung dan pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan menyebabkan akan tingginya resistensinya pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru dan kesistem tubuh lain akan mengalami gangguan. Asidosis dan gangguan kardiovaskuler yang terjadi dalam tubuh berakibat buruk terhadap sel otak. Kerusakan sel otak yang terjadi menimbuikan kematian atau gejala sisa pada kehidupan bayi selanjutnya. 7
9
Gambar 2 . Pathway Asfiksia Neonatorum 5
10
Gambar 3. Mekanisme cedera hipoksik-iskemik yang berkontribusi pada cedera otak jangka panjang dan disabilitas8
11
Gambar 4. Perubahan frekuensi jantung dan tekanan darah selama apnu9
VI.
DIAGNOSIS
A. Anamnesis Pada anamnesis didapatkan gangguan/ kesulitan bernapas waktu lahir dan lahir tidak bernafas/menangis. 5 Pada anamnesis juga diarahkan untuk mencari faktor resiko.
10
B. Pemeriksaan Fisik Pada pemeriksaan fisis, skor apgar dipakai untuk menentukan derajat berat ringannya asfiksia 10
12
Klinis Warna Kulit
0
1
2
Biru Pucat
Tubuh merah,
Merah seluruh
ekstremitas biru
tubuh
Tidak Ada
<100x/ menit
>100x/menit
Tidak Ada
Gerakan sedikit
Batuk/ Bersin
Lunglai
Fleksi ekstremitas
Gerakan aktif
Tidak ada
Menangis lemah /
Menangis kuat
( Appearance) Frekuensi Jantung (Pulse) Rangsangan Refleks (Grimace) Tonus Otot
(Activity) Pernafasan
terdengar seperti
(Respiratory)
meringis atau mendengkur
Tabel 1 . APGAR Score 11
Berdasarkan penilaian apgar dapat diketahui derajat vitalitas bayi adalah kemampuan sejumlah fungsi tubuh yang bersifat esensial dan kompleks untuk kelangsungan hidup bayi seperti pernafasan, denyut jantung, sirkulasi darah dan refleks-refleks primitif seperti mengisap dan mencari puting susu, salah satu cara menetapkan vitalitas bayi yaitu dengan nilai apgar. (IDAI, 1998) 11 1. Skor apgar 7-10 ( Vigorous Baby). Dalam hal ini bayi di anggap sehat dan tidak memerlukan tindakan istimewa. 12 2. Skor apgar 4-6 ( Mild-moderate asphyxia)- Asfiksia sedang. Pada pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung lebih dari 100/menit, tonus otot kurang baik atau baik, sianosis, refleks iritabilitas tidak ada. 12 3. A. Asfiksia berat. Skor apgar 0-3. Pada pemeriksaan fisis akan terlihat frekuensi jantung kurang dari 100/menit, tonus otot
13
buruk, sianosis berat, dan kadang-kadang pucat, refleks iritabilitas tidak ada. B. Asfiksia berat dengan henti jantung. Dimaksudkan dengan henti jantung ialah keadaan (a) bunyi jantung fetus menghilang tidak lebih dari 10 menit sebelum ;ahir lengkap, (b) bunyi jantung bayi menghilang post partum. Dalam hal ini pemeriksaan fisis lainnya sesuai dengan yang ditemukan pada penderita asfiksia berat. 12 Dilakukan pemantauan nilai apgar pada menit ke-1 dan menit ke5, bila nilai apgar 5 menit masih kurang dari 7 penilaian dilanjutkan tiap 5 menit sampai skor menjadi 7. Nilai apgar berguna untuk menilai keberhasilan resusitasi baru lahir dan menentukan prognosis, bukan untuk memulai resusitasi karena resusitasi dimulai 30 detik setelah lahir bila ba yi tidak menangis. 10
C. Pemeriksaan Penunjang - Foto Polos dada - Laboratorium : Darah rutin, analisa gas darah
10
Pada pemeriksaan analisa gas darah, menunjukkan hasil :
Pa O2 < 50 mm H 2O
PaCO2> 55 mm H2O
pH < 7,30
Bila bayi sudah tidak membutuhkan bantuan resusitasi aktif, pemeriksaan penunjang diarahkan pada kecurigaan atas komplikasi, berupa :
Darah perifer lengkap
Pemeriksaan radiologi/foto dada
14
Analisis gas darah sesudah lahir
Pemeriksaan radiologi/foto abdomen tiga posisi
Gula darah sewaktu
Pemeriksaan USG Kepala
Elektrolit darah (Kalsium, Natrium, Pemeriksaan EEG Kalium)
VII.
Ureum kreatinin
CT scan kepala
Laktat
PENATALAKSANAAN
Prinsip manajemen bayi baru lahir yang mengalami cedera hipoksikiskemik dan berisiko cedera sekunder adalah: 13 1. Identifikasi awal bayi dengan risiko tinggi Tanda yang mungkin didapat adalah denyut jantung janin abnormal, bayi depresi berat (skor APGAR rendah dan berkepanjangan), perlu resusitasi (intubasi, kompresi dada, pemberian epinefrin), asidosis berat (pH umbilikal <7,0 dengan atau base deficit ≥16 mEq/L), diikuti hasil pemeriksaan neurologis awal abnormal atau hasil EEG abnormal. 13 2. Perawatan suportif intensif Untuk memfasilitasi perfusi dan nutrisi otak yang adekuat, dibutuhkan perawatan suportif seperti
koreksi
gangguan
hemodinamis (hipotensi,
ventilasi
adekuat,
asidosis
metabolik),
koreksi gangguan metabolik seperti kadar glukosa, kalsium, magnesium, dan elektrolit lainnya, penanganan kejang, serta monitor kegagalan fungsi organorgan lain.3,14 Salah satu faktor utama perawatan intensif adalah menjaga ventila si dan perfusi adekuat. Kekurangan oksigen akan menyebabkan gangguan autoregulasi serebrovaskuler dengan konsekuensi bertambahnya cedera sel-sel otak. Sedangkan hiperoksia berat pada awal masa kehidupan akan menyebabkan peningkatan stres oksidatif yang pada akhirnya memperburuk status neurologis jangka panjang.13,5 3. Pertimbangan intervensi untuk memper baiki proses cedera otak yang sedang terjadi.13 Intervensi terapi neuroprotektif dapat dipilah menjadi intervensi
15
farmakologi dan non-farmakologi. Meskipun banyak terapi neuroprotektif telah diteliti, hingga saat ini tidak ada agen neuroprotektif yang aman dan efektif mengobati sekuele neurologis setelah kejadian HIE pada neonatus. 1 Tujuan terapi neuroprotektif adalah untuk mengurangi kerusakan serebral dengan cara mengurangi pembentukan radikal bebas yang toksik, menghambat masuknya kalsium berlebihan ke dalam neuron, dan mengurangi edema serebral.1 Beberapa terapi farmakologi dan nonfarmakologi mempunyai saat terapi optimal yang berbeda setelah kejadian HIE.
Melatonin Allopurinol Statin
Kanabis
Hipotermia
N-asetilsistein
Magnesium Sulfat
Iminobiotin
Xenon
Melatonin
Argon
Eritropoeitin
Deferoxamine
Stem cell
Kanabis
Tabel 2. Terapi neuroprotektif dan saat pemberian yang optimal113
16
Intervensi Non-farmakologi
1. Terapi Hipotermia Saat ini terapi hipotermia merupakan terapi utama HIE dan terbukti sangat efektif mengurangi risiko kematian dan disabilitas bayi baru lahir usia gestasi ≥36 minggu dengan klasifikasi HIE derajat sedang dan berat.1 Namun, defisit neurologis menetap pada 40- 50% pasien setelah t erapi hipotermia.4 Tujuan utama terapi hipotermi adalah menurunkan metabolisme otak, menyimpan energi, dan mencegah kegagalan energi sekunder dan kematian sel, sehingga tidak terjadi fase cedera sekunder.16 Penurunan temperatur hingga suhu 34,5±0,5°C untuk selective head cooling dan 33,5±0,5°C untuk whole-body cooling telah menjadi standar penanganan bayi dengan cedera otak.9 Untuk setiap penurunan 1°core temperature, laju metabolik serebral turun sebesar 6-7%.1 Dua metode terapi hipotermia, yaitu wholebody cooling dan selective head cooling; belum ada met ode yang dianggap lebih superior.1 Mortalitas kedua metode tersebut tidak terlalu berbeda, namun morbiditasnya berbeda; pada whole-body cooling terdapat peningkatan frekuensi kejadian trombositopenia, koagulopati, dan/atau kolestasis. Sedangkan kejadian kejang dan penggunaan obat antikonvulsan lebih tinggi pada metode selective head cooling. 13
Terapi hipotermi dilakukan berdasarkan beberapa faktor berikut: 13
Berat lahir ≥1800 gram
Hasil analisis gas darah
Riwayat kejadian perinatal akut
Skor APGAR
Kebutuhan untuk resusitasi
Pemeriksaan fisik (kejang, tingkat kesadaran, aktivitas spontan, postur, tonus, refleks primitif, dan parameter sistem saraf otonom)
Saat tepat untuk memulai terapi hipotermi yang efektif dan optimal adalah sesegera mungkin dalam usia kehidupan enam jam, serta dijaga hingga 48-72 jam.1,15 Selama terapi, beberapa parameter harus dipantau, antara lain laju dan fungsi jantung, tekanan darah, elektrolit, gas darah, gula darah, faktor koagulasi.15 Setelah terapi selesai,
17
proses penghangatan harus dilakukan bertahap dan perlahan menggunakan selimut penghangat atau udara hangat.13,4
Efek samping jangka pendek terapi hipotermi adalah peningkatan sinus bradikardi dan peningkatan signifikan trombositopenia. Namun, keuntungan terapi hipotermi jauh lebih signifkan dibandingkan kejadian efek samping jangka pendek. 13
2. Terapi Sel Punca/ Stem Cell Therapy Pada cedera hipoksik-iskemik, terjadi kerusakan sel yang berakibat nekrosis dan apoptosis. Terapi sel punca bertujuan untuk mengganti sel-sel rusak serta efek pelepasan faktor tropik dan faktor antiapoptosis yang memiliki efek antiinflamasi.10 Akan tetapi, jenis dan sumber sel terbaik masih belum diketahui, kebanyakan peneliti menggunakan sel punca neural atau sel punca mesenkimal. Beberapa penelitian menggunakan darah tali pusat sebagai sumber sel punca karena diketahui kaya akan sel punca; keuntungannya mudah didapat, kaya sel punca primitif, tidak membutuhkan imunosupresan untuk transplantasi autologus, dan dapat disimpan hingga ≥30 tahun. Sedangkan kerugiannya adalah jumlah sel terbatas, berpotensi menularkan infeksi dan penyakit genetik.10,13
Intervensi Farmakologi
Secara umum, efek farmakologi yang diharapkan adalah efek antioksidan, antiinflamasi, dan antiapoptosis. Efek antioksidan diharapkan dapat mengurangi radikal bebas yang toksik dan menghambat masuknya kalsium yang berlebih ke dalam sel saraf.1 Allopurinol memiliki efek antioksidan dan diketahui dapat mengurangi pembentukan radikal bebas yang merusak jaringan dan dapat menjaga sawar darah otak. Penelitian pada manusia menggunakan 500 mg allopurinol intravena sesaat sebelum persalinan pada bayi yang dicurigai asfiksia janin. Dalam beberapa tahun terakhir, cannabinoid diketahui memiliki fungsi neuroprotektor karena dapat memodulasi respons neuronal dan glial. Selain itu, cannabinoid juga memiliki fungsi sel endotelial, antieksitotoksik, antiinflamasi, efek vasodilator, dan mengatur homeostasis kalsium. 13 Makin banyak bukti klinis dan eksperimental bahwa recombinant human erythropoietin (rhEPO) memiliki efek neuroprotektif dengan mengikat reseptor EPO di
18
neuron dan glia. Dosis rendah rhEPO (300 atau 500 U/kg) berhubungan dengan penurunan risiko kematian dan disabilitas pada bayi HIE ringan cukup bulan, sedangkan dosis tinggi rhEPO (2500 U/kg) diberikan dalam 48 jam pertama kehidupan meningkatkan perbaikan perkembangan neurologis, menurunkan aktivitas kejang, perbaikan abnormalitas EEG dalam 2 minggu, dan mengurangi abnormalitas neurologis dalam 6 bulan pada bayi cukup bulan dengan HIE ringan atau sedang. 14 Banyak agen farmakologi lain yang memiliki efek antioksidan, antiinflamasi, atau antiapoptosis seperti statin, xenon, argon, fenobarbital, MgSO4, melatonin, dan Nasetilsistein.1 Masih diperlukan penelitian lebih lanjut terhadap manusia. 14
19
Bagan 1 . Algoritma Resusitasi Neonatus (2015)
20
positif
langkah
Bagan 2 . Algoritma Resusitasi Neonatus (2010) 5
21
Management of an asphyxiated newborn
22
Flowchart 2 Management of a newborn who has been resuscitated for moderate or severe birth asphyxia
Bagan 3 . Algoritma Resusitasi Neonatus 15 Standard Treatment Protocol for management of common newborn conditions in small hospitals (Adapted from WHO Guidelines)
23
VIII.
KOMPLIKASI
Asfiksia neonatorum dapat menyebabkan berbagai macam gangguan organ. Sistem
Pengaruh
Sistem Saraf Pusat
Ensefalopati perdarahan
hipoksik-iskemik, intrakranial,
infark,
kejang-kejang,
edema otak, hipotonia, hipertonia Kardiovaskular
Iskemia miokardium, kontraktilitas jelek, bising jantung, insufisiensi trikuspidalis, hipotensi
Sirkulasi janin persisten, perdarahan paru,
Pulmonal
sindrom kegawatan pernapasan
Ginjal
Nekrosis tubular akut atau korteks
Adrenal
Perdarahan adrenal
Saluran Cerna
Perforasi, ulserasi, nekrosis
Metabolik
Sekresi
ADH
yang
tidak
sesuai,
hiponatremia, hipoglikemia, hipokalsemia, mioglobinuria Kulit
Nekrosis lemak subkutan
Hematologi
Koagulasi intravaskular tersebar
Tabel 2. Pengaruh Asfiksia (dikutip dari kepustakaan 8)
24
Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi yang dilakukan.4 Komplikasi yang
Sistem Organ
Tindakan Pasca resusitasi
mungkin terjadi
Otak
Apnu Kejang
Pemantauan apnu Bantuan ventilasi kalau perlu Pemantauan gula darah, elektrolit Pencegahan hipotermia Pertimbangkan terapi anti kejang
Paru-paru
Hipertensi Pulmoner Pneumotoraks
Pertahankan
ventilasi
Pneumonia
oksigenasi
dan
Pertimbangkan antibiotika Takipnu transien Foto toraks bila sesak napas Sindrom Defisiensi surfaktan
aspirasi Pemberian oksigen alir bebas mekonium Tunda minum bila sesak Pertimbangkan
pemberian
surfaktan
Kardiovaskuler
Hipotensi
Pemantauan tekanan darah dan frekuensi jantung Pertimbangkan dopamin)
dan
inotropik /
(misal atau
cairan penambah volume darah
25
Ginjal
Nekrosis tubuler akut
Pemantauan produksi urin Batasi masukan cairan bila ada oliguria dan volume vaskuler adekuat Pemantauan kadar elektrolit
Gastrointestinal
Ileus Enterokolitis
Tunda pemberian minum Berikan cairan intravena
Pertimbangkan
nutrisi
parenteral Nekrotikans Metabolik/ hematologik
Hipoglikemia
Pemantauan gula darah
Hipokalsemia
Pemantauan elektrolit
Hiponatremia
Pemantauan hematokrit
Anemia
Pemantauan trombosit
Trombositopenia
Tabel 3. Komplikasi yang mungkin terjadi dan perawatan pasca resusitasi yang dilakukan (dikutip dari kepustakaan 4)
26
Tanda Klinis
Stadium 1 (Ringan)
Stadium 2 (Sedang)
Stadium 3 ( Berat )
Tingkat Kesadaran
Hyperalert
Letargi
Stupor, Koma
Tonus Otot
Normal
Hipotonus
Lemas
Postur
Normal
Fleksi
Deserebrasi
Refleks
Hiperaktif
Hiperaktif
Tidak ada
Mioklonus
Tampak
Tampak
Tidak tampak
Refleks Moro
Kuat
Lemah
Tidak ada
Pupil
Midriasis
Miosis
Tidak ada.
Tendon/ Klonus
Refleks cahaya lemah Kejang
Tidak ada
Sering
Deserebrasi
EEG
Normal
Voltase rendah hingga
Burst suppresion ke isoelektrik
bangkitan kejang Lamanya
<24 jam
24 jam – 14 hari
Beberapa hari hingga minggu
Hasil
Baik
Bervariasi
Meninggal atau cacat berat
27
Tabel 4. Klasifikasi derajat hypoxic-ischemic encephalopathy (Sarnat dan Sarnat).12
IX.
PROGNOSIS
Hasil akhir asfiksia perinatal bergantung pada apakah komplikasi metabolik dan kardiopulmonalnya (hipoksia, hipoglikemia, syok) dapat diobati, pada umur kehamilan bayi (hasil akhir paling jelek jika bayi preterm), dan pada tingkat keparahan ensefalopati hipoksik-iskemik.16 Prognosis tergantung pada kekurangan O 2 dan luasnya perdarahan dalam otak. Bayi yang dalam keadaan asfiksia dan pulih kembali harus dipikirkan kemungkinannya menderita cacat mental seperti epilepsi dan bodoh pada masa mendatang. 16 Prognosis HIE berkisar antara kesembuhan total hingga kematian, berkorelasi dengan saat dan lamanya cedera, derajat keparahan cedera, dan manajemen terapi. Bayi dengan pH awal darah tali pusat 20-25 mmol/L), postur deserebrasi, lesi basal ganglia-thalamus berat, HIE berat hingga usia 72 jam, dan kurangnya aktivitas spontan, meningkatkan risiko kecacatan dan kematian.8,16
28
KEJADIAN Akut, asfiksia Sedang hampir total
Berlanjut, asfiksia parsial
AREA CEDERA OTAK Ganglia basalis, thalamus
DISABILITAS Atetoid atau CP distonik, gangguan kognitif ringan
Berat
Korteks serebri, basal Disabilitas berat, kuadriplegia spastik, ganglia, thalamus gangguan visual kortikal, mikrosefali, gangguan kognitif
Sedang
Area watershed
Disabilitas sedang, kuadriplegia spastik, gangguan kognitif
Berat
Kortikal ekstensif
Kuadriplegia spastik, gangguan kognitif berat, gangguan visual kortikal, mikrosefali
Tabel 5. Hubungan antara saat kejadian asfiksia dengan area cedera otak dan tipe disabilitas.13
BAB III KESIMPULAN
Asfiksia adalah progresif hipoksemia dan hiperkapnea yang disertai dengan perkembangan progresif dari asidosis metabolik. Kejadian Asphyixia neonatorum adalah suatu keadaan dimana bayi tidak dapat bernafas secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam uteris dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Faktor tersebut diantaranya dalah adanya (1) penyakit pada ibu sewaktu hamil seperti hipertensi, gangguan atau penyakit paru, dan gangguan kontraksi uterus, (2) pada ibu yang kehamilannya beresiko, (3) faktor plasenta, seperti janin dengan solusio plasenta, (4) faktor janin itu sendiri, seperti terjadi kelainan pada tali pusat antara janin dan jalan lahir, serta (5) faktor persalinan seperti partus lama atau partus dengan tindakan tertentu.1,2,3
29
Bila terdapat gangguaan pertukaran gas/pengangkutan O2 selama kehamilan persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan mempengaruhi fugsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian. Kerusakan dan gangguan fungsi ini dapat reversibel/tidak tergantung kepada berat dan lamanya asfiksia. Asfiksia yang terjadi dimulai dengan suatu periode apnu ( Primany apnea) disertai dengan penurunan frekuensi jantung selanjutnya bayi akan memperlihatkan usaha bernafas ( gasping ) yang kemudian diikuti oleh pernafasan teratur. Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas ini tidak tampak dan bayi selanjutnya berada dalam periode apnu kedua (Secondary apnea). Pada tingkat ini ditemukan bradikardi dan penurunan tekanan darah. 7 Prinsip manajemen bayi baru lahir yang mengalami cedera hipoksik-iskemik dan berisiko cedera sekunder adalah: 13 1. Identifikasi awal bayi dengan risiko tinggi Tanda yang mungkin didapat adalah denyut jantung janin abnormal, bayi depresi berat (skor APGAR rendah dan berkepanjangan), perlu resusitasi (intubasi, kompresi dada, pemberian epinefrin), asidosis berat (pH umbilikal <7,0 dengan atau base deficit ≥16 mEq/L), diikuti hasil pemeriksaan neurologis awal abnormal atau hasil EEG abnormal. 13 2. Perawatan suportif intensif Untuk memfasilitasi perfusi dan nutrisi otak yang adekuat, dibutuhkan perawatan suportif seperti koreksi gangguan hemodinamis (hipotensi, asidosis metabolik),
ventilasi adekuat, koreksi gangguan metabolik seperti kadar
glukosa, kalsium, magnesium, dan elektrolit lainnya, penanganan kejang, serta monitor kegagalan fungsi organ-organ lain. 3,14 3. Pertimbangan intervensi untuk memper baiki proses cedera otak yang sedang terjadi.13 Intervensi terapi neuroprotektif dapat dipilah menjadi intervensi. Hasil akhir asfiksia perinatal bergantung pada apakah komplikasi metabolik dan kardiopulmonalnya (hipoksia, hipoglikemia, syok) dapat diobati, pada umur kehamilan bayi (hasil akhir paling jelek jika bayi preterm), dan pada tingkat keparahan ensefalopati hipoksik-iskemik.16
30
DAFTAR PUSTAKA
1
IDAI. Asfiksia Neonatorum. Dalam: Standar Pelayanan Medis Kesehatan Anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2004.h. 272-276. (level of evidence IV)
2
World Health Organization. Basic Newborn Resuscitation: A Practical GuideRevision.
Geneva:
World
Health
Organization;
1999.
Diunduh
dari:
www.who.int/reproductivehealth/publications/newborn_resus_citation/index.html. 3
American Academy of Pediatrics and American College of Obstetricians and Gynaecologists. Care of the neonate. Guidelines for perinatal care. Gilstrap LC, Oh W, editors. Elk Grove Village (IL): American Academy of Pediatrics; 2002: 196-7.
4
Lee, et.al. Risk Factors for Neonatal Mortality Due to Birth Asphyxia in Southern Nepal:
A Prospective,
Community-Based Cohort
Study. Pediatrics
2008;
121:e1381e1390 (doi:10.1542/peds.2007-1966). (Level of evidence IIb)
31
5
Departemen kesehatan republik Indonesia. 2008. Pencegahan dan penatalaksanaan Asfiksia Neonatorum.
6
Desfauza, Evi. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Asphyxia Neonatorum Pada bayi Baru Lahir yang Dirawat di RSU Dr. Pirngadi Medan. 2007. Medan :Universitas Sumatera Utara.
7 Hidayat, A. Aziz Alimul. Pengantar Ilmu Kesehatan Anak untuk Pendidikan
Kebidanan. 2008. Jakarta : Salemba Medika. 8 Davidson JO, Wassink G, Heuji LG, Bennet L, Gunn AJ. Therapeutic hypothermia for
neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy – where to from here? Frontiers in Neurology 2015;6(198):1-10. 9 American Academy of Pediatrics dan American Heart Association. Bukupanduan
resusitasi 32eonates. Edisi ke-5, 2006 10 Utomo, Martono Tri. Asfiksia Neonatorum. Cited on : December 28 th. 2011. Updated
on : 2006. Available on http://www.pediatrik.com 11 Desfauza, Evi. Faktor – faktor yang Mempengaruhi Terjadinya Asphyxia
Neonatorum Pada bayi Baru Lahir yang Dirawat di RSU Dr. Pirngadi Medan. 2007. Medan :Universitas Sumatera Utara. 12 Dr. Rusepno Hassan,dkk. 1985. Buku Kuliah 3 Ilmu Kesehatan Anak. Info Medika
Jakarta : Fakultas Kedokteran UI. 13 Anggriawan Alonso. Tinjauan Klinis Hypoxic Ischemic Encephalopathy. CDK-
243..Vol 43.No 8. 2016 (Dokter PTT Puskesmas Seba, Kabupaten Sabu Raijua, NTT,Indonesia) 14 Davidson JO, Wassink G, Heuji LG, Bennet L, Gunn AJ. Therapeutic hypothermia
for neonatal hypoxic-ischemic encephalopathy – where to from here? Frontiers in Neurology 2015;6(198):1-10 15 For additional / next level management please refer to WHO Guidelines (Managing
Newborn Problems and Pocket Book of Hospital Care of Children), http://www.ontop-in.org/sick-newborn/, http://www.newbornwhocc.org/ 16 Behrman, Kliergman, Arvin. Ilmu Kesehatan Anak Nelson Edisi 15 Vol. 1.
32