1. URAIAN UMUM 1.1 Judul:
Judul yang diambil pada tugas akhir ini adalah “Penyisihan “Penyisihan bahan organik pada air baku tercemar dengan proses ozonisasi. oz onisasi.”” Identitas Mahasiswa
Nama
: Chindy Cinthya
Jurusan NRP
: Teknik Lingkungan : 25-2013-001
No. TLP E-mail
: 082219229226 :
[email protected]
1.2 Subjek Perencanaan
a. Penyisihan bahan organik pada air baku yang tercemar menggunakan proses ozonisasi. 1.3 Periode Pelaksanaan
Januari 2017 – 2017 – Agustus Agustus 2017 1.4 Hasil Akhir yang diinginkan
a. Menentukan teknologi ozonisasi yang sesuai den gan karakteristik air baku. b. Menyisihkan bahan organik pada air baku tercemar. 1.5 Keterangan Lain yang dianggap Perlu
Sudah berdiskusi dengan Bapak Moh.Rangga Sururi, S.T., MT. sebagai pihak yang terlibat dalam penelitian penyisihan bahan organik yang terdapat pada air baku tercemar. 2. Latar Belakang
Perairan sungai merupakan tempat yang memiliki peran penting bagi makhluk hdup. Kegiatan pembangunan akan berdampak pada perairan sungai. Adanya kegiatan manusia dan industri yang memanfaatkan sungai sebagai tempat untuk membuang limbah. Hal ini akan berdampak pada penurunan kualitas air, yaitu dengan adanya perubahan kondisi fisika, kimia dan biologi. Kondisi sungai yang tercemar tidak dapat digunakan untuk kebutuhan makhluk hidup (Salmin,2005). 1
Bahaya atau resiko kesehatan yang berhubungan dengan pencemaran air secara umum dapat diklasifikasikan menjadi dua yaitu bahaya langsung dan bahay tidak langsung. Bahaya langsung terhadap kesehatan manusia/ masyarakat dapat terjadi akibat mengkonsumsi air yang tercemar atau air yang berkualitas buruk, baik secara langsung diminum atau melalui makanan, dan akibat penggunaan air yang tercemar seperti mandi dan cuci.
Masalah air yang saat ini dihadapi Indonesia selain karena adanya pertambahan penduduk juga disebabkan oleh adanya kerusakan lingkungan yang telah menghambat proses hidrologi, sehingga kuantitas pada air tanah mulai berkurang yang menyebabkan masyarakat mulai menggunaan air minum yang dikelola oleh perusahaan daerah air minum (PDAM).
Untuk mengatasi perminataan terhadap kebutuhan air minum, PDAM melakukan daur ulang air dari sungai maupun mengambil langsung dari mata air yang masih jernih. Permasalahan lain yang terjadi untuk memenuhi kebutuhan air minum tersebut adalah sungai di Indonesia mulai tercemar oleh adanya aktivitas industri maupun rumah tangga yang membuang limbahnya ke sungai.
Menurut Effendi, (2014) kandungan organik yang terdapat pada air sungai pada dasarnya merupakan gabungan dari karbon, hidrogen, oksigen dengan nitrogen pada suatu senyawa. Agregat organik biasanya berasal dari protein, karbohidrat, lemak dan minyak, urea, makanan dan tinja. Adanya kandungan organik di air permukaan mendominasi hingga mencapai 60%. Maka oleh sebab itu, pengolahan air baku menjadi air minum yang sesuai dengan baku mutu diperlukan untuk menunjang aspek kesehatan terhadap masyarakat.
Berdasarkan Peraturan pemerintah no. 82 tahun 2001 tentang pengelolaan kualitas air dan pengendalian pencemaran air, penggunaan air baku untuk dikonsumsi memiliki parameter kandungan organik pada air baku yang kurang diperhatikan hal tersebut dapat dilihat bahwa peraturan tesebut hanya memperhatikan kandungan 2
BOD yang dinilai kurang dalam menentukan kandungan organik pada air baku karena pengukuran tersebut hanya berlaku pada bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable). Bahan organik ini dapat berupa lemak, protein, kanji ( strach), glukosa, ladehida, ester, dan sebagainya.
Pada umumnya, desinfektan yang dilakukan pada pengolahan air minum yang masih digunakan oleh PDAM di Indonesia adalah khlorinasi. Khorinasi sering dijadikan sebagai desinfektan disamping harganya yang terjangkau, khlorinasi juga mampu menyisihkan mikroorganisme pada air baku. Akan tetapi, dengan seiringan dengan kemajuan IPTEK, diketahui bahwa dalam proses khlorinasi terjadi produk samping berupa senyawa halogen organik yang dapat meracuni manusia, sehingga mendorong untuk menemukan desinfektan yang lebih aman.
Adanya kandungan organik yang tidak terdeteksi untuk menentukan standar baku mutu untuk peruntukan air yang dapat dikonsumsi menyebabkan bahan organik bergabung
dengan
klor
yang akan
menyebabkan
trihalomethane
(THMs).
Trihalomethane tersebut merupakan senyawa organik derivat methan (CH4) yang mana tiga buah atom hidrogen (H)nya diganti oleh atom halogen yakni khlor (Cl), brom (Br), Iodium (I).
Ozonisasi merupakan salah satu proses desinfektan yang memiliki keunikan yaitu ozon akan terdekomposisi menjadi OH radikal yang merupakan oksidator terkuat dalam air. OH radikal bersifat tidak selektif sehingga jika ada bahan yang tahan terhadap ozon maka akan dioksidasi oleh OH radikal (Von Gunten, 2003). Preozonisasi pada proses pengolahan air monum dapat menurunkan potensi pembentukan THMs dan membuat partikel koagulasi pada saat pengolahan air. Ozon dapat diterapkan pada beberapa titik pada pengolahan konvensional. Efektifitasnya sebagai desinfektan tidak dapat dikontrol oleh pH, dan tidak bereaksi dengan amonia.
3
3. Maksud dan Tujuan
Maksud dari penyusunan Tugas Akhir ini adalah menyisihkan kandungan organik pada sumber air baku tercemar dengan proses ozon untuk mengurangi dampak negatif bagi kesehatan, yang bertujuan: a. Mengidentifikasi karakteristik bahan organik yang terdapat di sumber air baku tercemar. b. Memaparkan dampak kesehatan adanya bahan organik dari produk samping klorinasi sebagai desinfektan yang dominan dilaksanakan di Indonesia. c. Menganilisis efektifitas pengurangan bahan organik pada proses ozonisasi d. Menentukan teknologi ozonisasi yang sesuai dengan konsentrasi bahan organik pada air baku tercemar.
4. Deskripsi Penelitian Penelitian efektifitas proses ozonisasi dalam menyisihkan bahan organik dilakukan pada air sample titik sungai tercemar yang digunakan sebagai sumber air baku bagi PDAM. 5. Tinjauan Pustaka 5.1 Air Permukaan
Air permukaan berasal dari dua sumber, yaitu air permukaan (surface water) dan air tanah (ground water). Air permukaan adalah air yang berada di sungai, danau, waduk, rawa, dan badan air lain, yang tidak mengalami inflitrasi ke bawah tanah. Air yang mengalir dari daratan menuju suatu badan air disebut limpasan permukaan (surface run off); dan air yang mengalir dari daratan menuju badan air yang mengalir di sungai menuju laut disebut aliran air sungai (river run off). Sekitar 60% air yang masuk ke sungai beassal dari hujan, pencairan es atau salju dan sisanya berasal dari air tanah wilayah di sekitar daerah aliran sungai yang menjadi tangkapan air disebut catchment basin. Air hujan yang jatuh ke bumi dan menjadi air permukaan memiliki kadar bahan bahan terlarut atau unsur hara yang sangat sedikit. Air hujan biasanya bersifat 4
asam, dengan nilai pH sekitar 4,2. Hal ini disebabkan air hujan melarutkan gasgas yang terdapat di atmosfer, misalnya gas karbondioksida (CO2), sulfur (S), dan nitrogen oksida (NO2) yang dapat membentuk asam lemah (Novotny dan Olem,1994). 5.1.1
Perairan Mengalir (Lotik) Salah satu contoh perairan mengalir adalah sungai. Sungai dicirikan oleh arus yang searah dan relatif kencang, dengan kecepatan berkisar antara 0,1-1,0 m/dt, serta sangat dipengaruhi oleh waktu, iklim, dan pola drainase. Pada perairan sungai, biasanya terjadi pencampuran massa air secara menyeluruh. Kecepatan arus, erosi dan sedimentasi merupakan fenomena yang biasa terjadi di sungai sehingga kehidupan akuatik sangat dipengaruhi oleh ketiga variabel tersebut. Kecepatan arus dan pergerakan air sangat dipengaruhi oleh jenis bentang alam (landscape), jenis batuan dasar dan curah hujan. semakin rumit bentang alam, semakin besar ukuran batuan dasar, dan semakin banyak curah hujan, pergerakan air semakin kuat dan kecepatan arus semakin cepat. (Haslam,1995;Jeffries and Mills,1996).
5.1.2
Pencemaran Perairan Pencemaran air diakibatkan oleh masuknya bahan pencemar (polutan) yang dapat berupa gas, bahan-bahan terlarut, dan pertikulat. Pencemaran memasuki badan air dengan berbagai cara, misalnya atmosfer, tanah, limpasan
(run
off)
pertanian,
limbah
domestik
dan
perkotaan,
pembuangan limbah industri, dan pertanian. Sumber pencemar (polutan) dapat berupa suatu lokasi tertentu (point source). Pencemaran yang beasal dari point source bersifat lokal seperti misalnya limbah industri. Efek yang ditimbulkan dapat ditentukan berdasarkan karakteristik spasial kualitas air. Volume yang pencemaran dari point source biasanya relatif tetap.
5
Sumber pencemar non-point source dapat berupa point source dalam jumlah yang banyak. Misalnya: limpasan dari daerah pertanian yang mengandung pertisida dan pupuk, limpasan dari daerah permukiman (domestik), dan limpasan dari daerah perkotaan. David dan Cornwell (1991) mengemukakan beberapa jenis pencemar dan sumbenya. Tabel 1 Sumber pencemar air permukaan Sumber tertentu (point source) Jenis pencemar
Sumber tak tentu (non point source)
Limbah domestik
Limbah industri
Limpasan daerah pertanian
Limpasan daerah perkotaan
Limbah yang dapat menurunkan kadar oksigen
X
X
X
X
Nutriten
X
X
X
X
Patogen
X
X
X
X
Sedimen
X
X
X
X
Garam-garam
-
X
X
X
Logam tak toksik
-
X
-
X
Bahan organik yang toksik
-
X
X
-
Pencemaran panas
-
X
-
-
Sumber : davis dan cornwell,1991
5.2 Bahan pencemar (polutan)
Bahan pencemar (polutan) adalah bahan-bahan yang bersifat asing bagi alam atau bahan yang berasal dari alam itu sendiri yang memasuki suatu tatanan ekosistem sehingga mengganggu peruntukan ekosistem tersebut. Berdasarkan cara masuknya ke dalam lingkungan, polutan dikelompokkan menjadi dua, yaitu polutan alamiah dan polutan antropogenik. Polutan alamiah adalah polutan yang memasuki suatu lingkungan (misalnya badan air) secara alami, misalnya akibat letusan gunung berapi, tanah longsor, banjir dan fenomena alam yang lain. Polutan yang memasuki suatu ekosistem secara alamiah sukar dikendalikan. 6
Polutan antropogenik adalah polutan yang masuk ke badan air akibat aktivitas manusia,
misalnya
kegiatan
domestik
(rumah
tangga),
kegiatan
urban
(pertokoan), maupun kegiatan industri. Intensitas polutan antropogenik dapat dikendalikan dengan cara mengontrol aktivitas yang menyebabkan timbulnya polutan tersebut. (Effendi, 2014). 5.3 Sumber Agregat Organik
Menurut (Metcalf & Eddy,) kandungan organik pada
dasarnya merupakan
gabungan dari karbon, hidrogen, oksigen dengan nitrogen pada suatu senyawa. Agregat organik biasanya berasal dari protein, karbohidrat, lemak dan minyak, urea, makanan dan tinja. Sumber dari senyawa organik sintetik juga berasak dari kegiatan medis, produk kebutuhan pribadi dam kebutuhan pembersih. Bahan organik berasal dari tiga sumber utama sebagai berikut (Sawyer dan McCarty,1978). Semua bahan organik mengandung karbon (C) berkombinasi degan satu atau lebih elemen lainnya. Bahan organik berasal dari tiga sumber utama sebagai berikut (Sawyer dan McCarty,19878) 1. Alam, misalnya fiber, minyak nabati dan hewani, lemak hewani, alkaloid, selulosa, kanji, gula, dan sebagainya. 2. Sintesis, yang meliputi semuga bahan organik yang dirposes oleh manusia. 3. Fementasi, misalnya alkohol, aseton, gliserol, antiiotika dan asam; yang semuanya diperoleh melalui aktivitas mikroorganisme. Sumber utama karbon di perairan adalah aktivitas fotosintesis. Selain itu, fiksasi karbon oleh bakteri juga merupakan sumber karbon organik di perairan. (Nas,1977). Danau dan sungai biasanya memiliki kadar bahan anorganik sepuluh kali lebih besar daripada kadar bahan organik. karakteristik bahan organik yang membedakannya dari bahan anorganik adalah sebagai berikut (Sawyer dan McCarty,1978). 1. Mudah terbakar
7
2. Memiliki titik beku dan titik didih dalam air. 3. Bersifat isomerisme; beberapa jenis bahan organik memiliki rumus moleul yang sama. 4. Reaksi dengan senyawa lain berlangsung lambat karena bukan terjadi dalam bentuk ion, melainkan dalam bentuk molekul. 5. Biasnya lebih sukar larut dalam air. 5.4 Pengukuran kadar organik
Penentuan masing-masing bahan organik dinilai sulit karena cukup kompleks. Oleh karena itu, ditentukan kandungan total bahan organik atau TOC (Total oganik carbon). Karbon, yang merupakan penyusun utama bahan organik, merupakan elemen/unsur yang melimpah pada semua makhluk hidup. Senyawa karbon adalah sumber energi bagi semua organisme, kebereadaan karbon anorganik dalam bentuk CO2,HCO3- dan CO32- mengatur aktivitas biologi di perairan (Wetzel,1975). Selain dengan pengukuran TOC, indikasi keberadaan bahan organik dapat diukur dengan parameter lain, misalnya kebutuhan oksigen biokimiawi atau BOD (biochemical oxygen demand) dan kebutuhan oksigen kimiawi atau COD (chemical oxygen demand). Nilai COD biasanya lebih besar daripada nilai BOD, meskipun tidak selalu demikian. 5.4.1
kandungan karbon organik total (Total Organic Carbon/TOC) karbon organik total atau disebut Total Organic Carbon terdiri atas bahan organik terlarut atau DOC ( Dissolved Organic carbon) dan partikulat atau POC ( Particulate Organic Carbon)
dengan perbandingan 10:1. Bahan
organik yang tercakup dalam TOC misalnya asam amino dan karbohidrat. (Jeffries dan Mills,1996). DOC dan POC dapat diukur secara terpisah dengan menyaring ai sampel menggunakna filter berdiameter 0,7 μm; sedangkan untuk pengukuran TOC tidak memerlukan penyaringan. TOC juga dapat
8
menggambarkan tingkat pencemaran, terutama apabila nilai TOC antara bagian hulu dan bagian hilir dari tempat pembuangan suatu limbah dapat dibadingkan. Pada penentuan nilai TOC, bahan organik dioksidasi menjadi karbondioksida yang diukur dengan non-dipersive infrared analyzer. Pengukuran TOC juga dapat dilakukan dengan menggunakan flame ionization detector. Pada metode ini, karbondioksida direduksi menjadi gas metana (Rao,1991). Pengukuran TOC relatif lebih cepat daripada pengukuran BOD dan COD. Pada perairan alami yang relatif jernih, nilai DOC biasanya akan lebih besar dibandingkan POC. Pada saat sungai mengalami banjir, nilai POC akan lebih besar daripada DOC. Pada peraira alami, nilai TOC biasanya berkisar antar 1-30 mg/l (McNely et.al., 1979). Kadar bahan organik terlarut (DOC) pada air tanah berkisar 0,5 mg/l, sedangkan pada air laut sekitar 30 mg/l. Nilai bahan organik terlarut (DOC) pada perairan tawar alami yang mengalir berkisar antara 1-3 mg/l. Danau dan sungai memiliki kadar DOC sekitar 2-10 mg/liter, sedangkan pada rawa berkisar antara 10-60 mg/liter DOC (Thurman,1985). 5.4.2 biochemical oxygen demand (BOD) dekomposisi bahan organik pada dasarnya terjadi melalui dua tahap. Pada tahap pertama, bahan organik diuraikan menjadi bahan anorganik. Pada tahap kedua, bahan anorganik yang tidak stabil mengalami oksidasi menjadi bahan organik yang lebih stabil, misalnya amonia mengalami oksidasi menjadi nitrit dan nitrat (nitrifikasi). Pada penentuan nilai BOD, hanya dekomposisi tahap pertama yang berperan, sedangkan oksidasi bahan anorganik (nitrifikasi) dianggap sebagai pengganggu. Secara tidak langsung, BOD merupakan gambaran kadar bahan organik, yaitu jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerob untuk mengoksidasi bahan organik menjadi karbondioksida dan air (Davis and 9
Cornwell,1991). Dengan kata lain, BOD menunjukkan jumlah oksigen yang dikonsumsi oleh proses respirasi mikroba aerob yang terdapat dalam botol BOD yang diinkubasi pada suhu sekitar 20oC selama lima hari, dalam keadaan tanpa cahaya (Boyd,1988). BOD hanya menggambarkan bahan organik yang dapat didekomposisi secara biologis (biodegradable). Bahan organik ini dapat berupa lemak, protein, kanji ( strach), glukosa, ladehida, ester, dan sebagainya. Dekomposisi selulosa secara biologis berlangsung relatif lambat. Namun, untuk kepentingan praktis, poses oksidasi dianggap berlangsung lengkap selama 20 hari. Meskipun demikian, penentuan BOS selama 20 hari dianggap terlalu lama. Oleh karena itu, pengukuran nilai BOD didasarkan pada lima hari inkubasi. Selain mempersingkat waktu yang diperlukan, hal ini juga dimaksudkan untuk meminimumkan pengaruh oksidasi amonia yang juga menggunakan oksigen. Proses oksidasi amonia (nitrifikasi) berlangsung pada hari ke-8 hingga 10. Selama 5 hari masa inkubasi, diperkirakan 70%-80% bahan organik telah mengalami oksidasi. ( Effendi,2014) Pada penentuan nilai BOD, selama waktu lima hari diperkirakan oksidasi bahan organik sederhana, misalnya glukosa, berlangsung secara sempurna. Akan tetapi, bahan organik yang terkandung dalma limbah domestik teroksidasi sekitar 65% dan bahan organik kompleks teroksidasi hanya sekitar 45% (Tebbut,1992). Pada perairan alami, yang berperan sebagai bahan organik adalah pembusukan tanaman. Perairan alami memiliki nilai BOD antara 0,5-7,0 mg/l (Jeffries and Mills,1996). Perairan yang memiliki nilai BOD lebih dari 10 mg/l dianggap telah mengalami pencemaran. 5.4.3
Kebutuhan Oksigen kimiawi atau chemical oxygen demand (COD) Cod menggambarkan jumlah oksigen yang dibutuhkan untuk mengoksidasi bahan organik secara kimiawi, baik yang dapat didegradasi secara biologis (biodegradable) maupun yang sukar didegradasi secara biologis (non10
biodegradable) menjadi CO2 dan H2O. Pada prosedur penentuan COD, oksigen yang dikonsumsi setara dengan jumlah dikromat yang diperlukan untuk mengoksidasi air sampel (Boydm1988). Jika pada perairan terdapat bahan organik yang resisten terhadap degradasi biologis, misalnya selulosa, tanin, lignin, fenol, polisakarida, benzena dan sebagainya,
maka
lebih
cocok
dilakukan
pengukuran
nilai
COD
dibandingkan nilai BOD. Pengukuran COD didasarkan pada kenyataan bahwa hampir semua bahan organik dapat dioksidasi menjadi karbondioksida dan air dengan bantuan oksidator kuat ( kalium dikromat/ K 2Cr 2O7) dalam suasana asam. Dengan menggunakan dikromat sebagai oksidator, diperkirakan sekitar 95% - 100% bahan organik dapat dioksidasi. Meskipun demikian, terdapat juga bahan organik yang tidak dapat dioksidasi dengan metode ini, misalnya piridin dan bahan organik yang bersifat sangat mudah menguap (volatile). Glukosa dan lignin dapat dioksidasi secara sempurna. Asam amino dioksidasi menjadi amonia nitrogen. Nitrogen organik dioksidasi menjadi nitrat. Pengukuran bahan organik yang tidak dapat didegradasi secara biologis dapat dilakukan secara langsung dengan parameter total organic carbon (TOC). Pada penentuan COD, kalium dikromat yang ditambahkan harus melebihi kebutuhan untuk mengoksidasi bahan organik. Kelibihan oksidator ini dititrasi kembali untuk mengetahui oksidator yang sesungguhnya terpakai. Asam lemak (fatty acid) dan hidrokarbon aromatik tidak dapat dioksidasi oleh kalium dikromat. Kalium dikromat dapat mengoksidasi bahan organik secara sempurna apabila berlangsung dalam suasana asam dan suhu tinggi. Oleh karena itu, bahan bahan mudah menguap (volatile) yang terdapat dalam air akan menguap selama proses oksidasi berlangsung, jika tidak dilakukan pencegahan. Salah satu cara untuk mencegah terjadinya penguapan bahan-bahan mudah 11
menguap ini adalah dengan menggunakan kondensor refluks. Pada metode refluks, air sampel dapat dididihkan tanpa kehilangan bahan-bahan mudah menguap. Perairan yang memiliki nilai COD tinggi tidak diinginkan bagi kepentingan perikanan dan pertanian. Nilai COD pada perairan yang tidak tercemar biasanya kurang dari 20 mg/l. Sedangkan pada perairan yang tercemar dapat lebih dari 200 mg/l. (UNESCO/WHO/UNEP,1992). 5.4.4
UV-254 Uv 254 adalah pengukuran jumlah cahaya yang diserap oleh senyawa organik khususnya aromatik dalam sampel air. Uv 254 merupakan parameter penting unutk pengukuran selama proses pengolahan air minum. UV254 memberikan
indikasi
konsentrasi
bahan
organik,
khususnya
yang
mengandung cincin aromatik atau obligasi tidak jenus (dua dan tiga) dalam struktur molukel. Banyak senyawa
organik yang terjadi secara alami di
lingkungan, seperti humus yang merupakan bahan organik aromatik yang terdapat di permukaan air dengan konsentrasi yang tinggi. Senyawa ini merupakan salah satu prekursor utama pembentukan Trihalomethane. Oleh karena itu, UV254 memberikan salah satu indikasi terbaik dari potensi untuk membentuk trihalomethane pada penambajan klorin dan harus dipantau selama proses pengolahan untuk memastikan penyisihan bahan organik. UV 254 tersebut dapat diukur pada saat pra dan pasaca koagulasi untuk mengoptimalkan dosis kimia untuk kekeruhan dan penyisihan organik, pra dan pasca adsorpsi kabron (filtrasi) untuk memantai efisiensi removal dan menfgoptimalkan dosis klor pada potensi pembentukan trihalomethane pada sistem distribusi. (realtechwater.com,2004) 5.4.5
SUVA Spesifik UV absorbansi (Suva) didefinisikan sebagai UV absorbansi dari sampel air pada panjang gelombang tertentu yang dinormalisasi untuk 12
karbon organik terlarut (DOC) konsentrasi. Suva yang ditentukan pada 254 nm, memiliki keterkaitan dengan persen aromatisitas yang ditemukan untuk menentukan kadar organik pada perairan. Oleh karena itu, suva ditunjuk menjadi parameter yang berguna untuk memperkirakan terlarut kandungan karbon aromatik dalam sistem perairan. Pengukuran Suva adalah parameter yang baik dari karakteristik kimia umum DOC. 5.4.6
Kandungan Bahan Organik Total Atau Total Organic Matter (TOM) Kalium permanganat (KmnO4) telah lama dipakai sebagai oksidator pada penentuan konsumsi oksigen untuk mengoksidasi bahan organik, yang dikenal sebagai parameter nilai permangatan atau sering disebut sebagai Kandungan Bahan Organik Total Atau Total Organic Matter (TOM). Akan tetapi , kemampuan oksidasi oleh permanganat sangat bervariasi, tergantung pada senyawa-senyawa yang terkandung dalam air. Penentuan nilai nilai oksigen yang dikonsumsi dengan metode permanganat selalu memberikan hasil yang lebih kecil daripada nilai BOD. Kondisi ini menunjukkan bahwa permanganat tidak cukup mampu mengoksidasi bahan organik secara sempurna.
5.5 Desinfeksi Untuk Pengolahan Air Minum
5.5.1
Disinfeksi Dengan Senyawa Khlor (Khlorine) Gas khlor (Cl2) bila dimasukkan ke dalam air akan terhidrolisa, seperti persamaan berikut : Cl2
+
H2O ↔ HOCl Gas
+
H+
+
Cl-
asam
Khlor
hipokhlorit
Asam hipokhlorit berdisosiasi dalam air, seperti persamaan berikut :
13
HOCl ↔
H+
+ OCl-
Perbandingan HOCl dan OCl- tergantung pada pH air. Khlor sebagai HOCl atau OCl- disebut sebagai khlorin bebas yang tersedia ( free available chlorine). Dissosiasi asam hipokhlorit (HOCl) akan berkurang pada pH rendah (suasana asam). Pada pH 5 atau lebih kecil sisa khlor akan berupa HOCl, pada pH 7,5 sekitar 50 % sisa khlor berupa HOCl dan pada pH 9 sebagian besar sisa khlor berupa OCl-. HOCl bergabung dengan amonia dan
senyawa
organik, nitrogen membentuk khloramin, yang dapat
bergabung dengan khlorin yang tersedia. 5.5.2
Inaktivasi Mikroorganisme Dengan Khlor Dari ketiga senyawa khlor (HOCl, OCl- dan NH2Cl), asam hipokhlorit merupakan
senyawa
yang
paling
efektif
untuk
menginaktivasi
mikroorganisme dalam air. Keberadaan zat yang mengganggu akan mengurangi efektifitas khlor, sehingga diperlukan konsentrasi khlor yang tinggi (20 – 40 ppm) untuk mengurangi virus.
Khlor terutama HOCl, umumnya sangat efektif untuk inaktivasi patogen dan bakteri indikator. Pengolahan air dengan pemberian khlor 1mg/l dengan waktu
kontak
kurang
dengan waktu 30 menit umumnya efektif untuk
mengurangi bakteri dalam jumlah yang cukup besar. 5.5.3 Kerusakan sel khlor Perlakuan fisik misalnya pemanasan, pendinginan, sinar matahari dan zat kimia misalnya khlor, logam berat misalnya cooper atau tembaga dapat merusak sel bakteri. Kerusakan yang disebabkan faktor lingkungan dapat menyebabkan pengurangan ukuran sel, kerusakan pada dinding sel serta dapat merubah physilogi sel.
14
Khlor dan tembaga menyebabkan kerusakan besar pada bakteri coliform dalam air minum. Bakteri yang rusak tidak dapat berkembang apabila terdapat zat-zat tertentu (misal sodium lauryl sulfate, sodium deoxycholate).
5.6 Trihalomethane (THMs)
Trihalomethane adalah senyawa organik derivat methan (CH4) yang mana tiga buah atom hidrogen (H)nya diganti oleh atom halogen yakni khlor (Cl), brom (Br), Iodium (I). Beberapa senyawa trihalomethane yang umum dijumpai antara lain adalah khloroform (CHCl3), dibromokhloromethan (CHBr 2Cl), bromoform (CHBr 3). Jumlah total ke empat senyawa tersebut sering disebut total trihalomethan (TTHM). Senyawa precursors tri halomethane adalah Senyawa-senyawa yang secara potensial dapat menyebabkan terjadinya THMs. Salah satu precursor THMs adalah senyawa humus (Humic and Fulvic Substances) yang secara alami terbentuk akibat proses pelapukan daun daun yang gugur atau sisa tumbuhtumbuan yang telah mati oleh aktifitas mikroorganisme. Air limpasan hujan (Run Off) membawa senyawa humus dari daerah hutan atau pertanian, kemudian air limpasan tersebut masuk ke sungai pada bagian hulu, kemudian akan terbawa ke bagian hilir. Di samping itu, air limbah yang berasal dari buangan domistik mupun industri sebagian diolah di pusat pengolahan limbah dan sebagian lagi yang tidak terolah masuk ke badan sungai. Air limbah baik domistik maupun industri mengandung zat organik yang besar. Pengolahan air limbah yang mengandung zat organik, umumnya menggunakan proses biologi dengan menggunakan mikrobakteria yang mana mikroba tersebut akan menguraikan zat organik yang ada dalam air. Dan sebagai akibatnya jumlah mikroba akan bertambah banyak. Selama proses penguraian zat organik tersebut, mikroorganisme akan 15
mengeluarkan senyawa hasil metabolisme misalnya ammonia dan senyawa organik yang sangat stabil seperti senyawa humus. Air limbah yang langsung masuk ke badan sungaipun mengalami proses penguraian secara alami oleh mikroorganisme yang ada dalam air, yang merupakan proses pembersihan sendiri (self purification) dari sungai itu sendiri. Dengan demikian jumlah mikroba yang ada dalam air sungai juga bertambah banyak, dan sebagai akibatnya hasil metabolisme mikroorganisme seperti ammonia dan senyawa humus seperti tersebut diatas juga bertambah besar. Senyawa- senyawa tersebut akhirnya akan terbawa ke daerah hilir sungai. Jelaslah bahwa senyawa precursor THMs dapat terbentuk akibat proses alami maupun akibat proses kegiatan manusia. Berikut merupakan beberapa jenis trihalometan yang terdapat dalam air minum akibat hasil samping dari desinfeksi
Tabel 5.1 trihalometan yang terdapat dalam air minum akibat hasil samping dari desinfeksi NO
JENIS SENYAWA HALOGEN ORGANIK
1
TRIHALOMETHANES
2
HALOACETONITRILE
3 4
HALOALIPHATIC ACID (Asam Aliphatis Halogen) HALOALDEHYDES (Aldehyd Halogen)
5
HALOKETONES
6
KHLOROPHENOL
16
CONTOH SENYAWA
khloroform bromodikhloromethane khlorodibromomethane bromoform dll. Bromokhloroacetonitrile dibromoacetonitril dikhloroacetonitrile trikhloroacetonitrile dikhloroacetic acid trikhloroacetic acid dikhloroacetaldehyd trikhloroacetaldehyd 1,1-dikhloropropanon 1,1,1-trikhloropropanon 1,1-dikhloro-2-butanon 3,3-dikhloro-2-butanon 1,1,1-trikhloro-2 butanon 2-khlorophenol 2,4dikhlorophenol 2,4,6trikhlorophenol pentakhlorophenol
7
MISCELLANEOUS
khloropicrin cyanogen khlorida lain-lain yang belum dapat diidetifikasi
Sumber : Nusa Idaman Said,
Secara umum reaksi pembentukan THMs dapat digambarkan sebagai berikut :
Khlorine + (ion bromide atau ion iodide) + precursor → trihalomethane dan senyawa organik lain.
Didalam proses desinfeksi, senyawa desinfektan misalnya khlorine dapat beraksi dengan senyawa organik dalam air. Pertama, khlorine akan bereaksi dengan air membentuk ion ClO-, kemudian ion ClO- akan bereaksi dengan senyawa organik termasuk THMs. Reaksi sederhana adalah sebagai berikut :
O
O
║
║ R-C-CH3 + 3 ClO- → CHCl3 + R─C─O + 2OHHampir semua senyawa organik komplek dapat terksidasi dan menghasilkan senyawa methilketon yang kemudian bereaksi dengan ion ClO- membentuk THMs. Konsentrasi senyawa THMs yang terbentuk dalam air minum biasanya bervariasi tergantung pada musim, dosisi khlorine yang digunakan, waktu kontak, temperatur air, pH, dan jenis atau cara pengollahan yang digunakan. Untuk mencegah atau memperkecil terbentuknya senyawa THMs dalam air minum,
prinsipnya
precursor menghindari
dengan hal
yakni mencegah senyawa
tersebut,
terjadinya
disinfektant
cara
yang
reaksi
khususnya
paling
penting
antara
senyawa
khlorine. yakni
Untuk
mencegah
pencemaran atau pengotoran terhadap air sungai atau air bakunya. Selanjutnya
17
adalah
dengan
menghilangkan
atau
memperkecil
konsentrasi
precursor
THMsnya dalam air, sebelum dilakukan proses disinfeksi (khlorinasi). Beberapa cara untuk menghidari atau mengurangi terbentuknya THMs dalam air minum yakni antara lain : 1. Menghilangkan precursor THMs dengan menggunakan proses adsorpsi dengan karbon aktif; oksidasi dengan ozone atau oksidator lainnya sebelum dilakukan pembubuhan khlor. 2. Menghilangkan senyawa THMs yang terbentuk dengan cara aerasi atau proses adsorpsi dengan karbon aktif. 3. Menggunakan disinfektant lainnya misalnya ozone, hidrogen peroksida, khloramine atau khlordioksida. 4. Menghilangkan senyawa senyawa yang secara langsung atau tidak langsung dapat menimbulkan terbentuknya THMs, misalnya senyawa organik (BOD, COD), ammonia dll, dengan cara melakukan pengolahan awal (pretreatment) secara proses biologi (biological process). Dari beberapa alternatif tersebut di atas, menurut penulis, salah satu cara yang perlu dikaji yakni pengolahan pendahuluan dengan proses biologi. Proses ini sebenarnya sangat sederhana tetapi hasilnya cukup baik. Selain menghilangkan zat organik (BOD,COD), proses biologi ini juga dapat menghilangkan
ammonia,
deterjen,
zat
organik
volatile
serta
dapat
menguraikan beberapa senyawa pestisida. 5.7 Desinfeksi Dengan Ozon 5.7.1 Senyawa Ozon
Ozon
merupakan
senyawa
yang
mampu
membunuh bakteri dan
mempunyai daya oksidasi yang kuat. Sejak beberapa dekade terakhir beberapa negara di Eropa telah memanfaatkan ozon untuk mengolah air minum, demikian pula Amerika dan bahkan Jepang. Ozon pertama kali diperkenalkan sebagai zat pengoksidasi kuat untuk menghilangkan rasa, bau 18
dan warna. Pengolahan air pertama menggunakan ozon pada tahun 1906 di Bon Voyage Water Treatment Palnt, Nice, Perancis (Bitton,1994). Oksidator ini sekarang
digunakan
sebagai disinfektan utama untuk
membunuh atau menginaktivasi mikroorganisme patogen dan mengoksidasi zat besi dan
untuk
mangan, senyawa penyebab rasa dan bau,
warna, zat organik, deterjen, fenol serta zat organik lain. Sebagai disinfektan, ozon dapat dengan cepat membunuh virus, bakteri dan jamur serta mikroorganisme lainnya. Dibandingkan dengan disinfektan konvesional seperti senyawa khlor (khlorin) atau kaporit yang umun digunakan untuk pengolahan air minum, ozon mempunyai beberapa kelebihan. Khlorin misalnya, dapat menimbulkan bau yang tajam (bau kaporit). Selain itu disinfeksi dengan khlor (khlorin) dapat menimbulkan dampak sampingan dengan terbentuknya senywa trihalomethan (THMs) yang bersifat karsinogen. Sedangkan ozon selain tidak menimbulkan bau juga dapat membuat air menjadi lebih segar. Umumnya pengolahan air dengan ozon digabungkan dengan flokulasi,
pengendapan
proses
koagulasi-
dan penyaringan seperti pada pengolahan air
konvensional atau digabungkan dengan pengolahan khusus. Pre-ozonisasi pada proses pengolahan air minum dapat menurunkan potensi pembentukan THMs dan pencetus partikel koagulasi pada saat pengolahan air. Pengolahan dengan ozon dapat juga digabungkan bersama-sama dengan proses adsorpsi dengan karbon aktif. Ozon dapat diterapkan pada beberapa titik pada pengolahan air konvensional. Efektifitasnya sebagai disinfektan tidak bisa dikontrol oleh pH, dan tidak bereaksi dengan amonia. Ditinjau dari biaya konstruksinya maupun biaya operasi dan pemeliharaan, disinfeksi dengan Ozon lebih mahal dari pada khlorinasi dengan
UV.
Penggunaan
dan
disinfeksi
energi merupakan bagian biaya operasi yang
paling mahal. Oleh karena ozon tidak meninggalkan residu pada air, pengolahan
dengan ozon kadangkala dikombinasikan dengan post-
19
khlorinasi. Ozon merubah senyawa komplek menjadi sederhana, beberapa senyawa kemungkinan sebagai makanan mikroba pada sistem distribusi air. Ozon merupakan oksidator yang lebih kuat dibandingkan dengan khlor. 5.7.2
Pengaruh ozon pada Mikroorganisme Indikator dan Patogen
Sebagai oksidan ozon sangat kuat dibandingkan khlorin. Inaktivasi bakteri sangat cepat pada konsentrasi yang hanya sebesar 0,1 mg/l. Ozon lebih efektif dari pada khlorin, monokhloramin atau khlorin dioksida terhadap rotavirus manusia dan simian. Padatan tersuspensi sangat mengurangi kemampuan inaktivasi ozon. 5.7.3
Mekanisme Cara Kerja Ozon Dalam media cair ozon menghasilkan radikal bebas yang menginaktivasi mikroorganisme. Ozon mempengaruhi permeabilitas, aktivitas enzim dan DNA dari sel bakteri. Ozon inaktivasi virus dengan cara merusak inti asam nukleat. Pelapis protein terpengaruh juga, namun perusakan pelapis protein kecil dan mungkin tidak ada pengaruhnya pada adsorpsi poliovirus ke dalam sel host (VP4, capsid polypeptide penyebab penempelan pada sel host, tidak terpengaruh oleh ozon).
5.7.4
Hasil Samping Ozonisasi Telah diketahui terbentuknya senyawa mutagenik atau karsinogen akibat proses khlorinasi air dan air buangan. Namun sedikit diketahui mengenai hasil samping ozonisasi. Aldehid merupakan hasil samping. Jika air mengandung zat besi atau mangan, maka dinsinfeksi dengan menggunakan ozon dapat mengakibatkan terjadinya reaksi oksidasi sehingga zat besi anatau mangan yang terlarut di dalam air akan bereaksi dengan ozon membentuk oksida besi atau oksida mangan yang tidak larut di dalam air, sehingga warna air berubah menjadi kecoklatan atau kadang- kadang terbentuk endapan yang berwarna coklat kehitaman.
6. Metode Pelaksanaan 20
Waktu
: Januari 2017-Agustus 2017
Tempat
: Laboratorium Institut Teknologi Nasional, Jl. PH.H Mustofa No. 23, Bandung.
7. Diagram Alir Metode Perencanaan
Mulai
Studi Literatur
Survei Lapangan
Pengolahan Data meliputi, karakteristik air sungai yang digunakan untuk PDAM sebagai analisa awal
Penentuan titik sampling
Pengukuran kandungan organik pada titik sampling
Penentuan teknologi ozonisasi yang sesuai Gambar 1 metode perencanaan
8. Metodologi Perencanaan
21
Perencanaan penelitian penyisihan bahan organik dengan proses ozonisasi ini dilakukan dengan cara: 1. Studi Literatur Melakukan tinjauan pustaka mengenai teori-teori yang berhubungan dengan kandungan organik pada air sungai tercemar, pengaruh kandungan organik pada air bagi kesehatan dan penjelasan mengenai proses ozonisasi. 2. Survey Lapangan Data Sekunder meliputi karakteristik air sungai yang digunakan untuk air baku guna menentukan titik sampling 3. Pengolahan Data Pengolahan data terdiri dari : a. Analisa karakteristik pada air sample. Meliputi pH, suhu sebagai parameter umum, bromide (Br -) untuk mengetahui pengaruh ozonisasi pada air sample sebagai analisa awal. b. Analisa kandungan organik pada air sample. Untuk mengetahui kandungan organik yang digunakan pada air sampel, digunakan metode pengukuran berupa BOD5,COD, dan TOC c. Penentuan teknologi ozonisasi yang sesuai dengan karakteristik air sampel. d. laporan Akhir 9. Daftar pustaka
1. Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air bagi Pengelolaan Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Cetakan Kelima. Yogjakarta : Kanisius. 2. Metcalf dan Eddy. 1991. Wastewater Engineering Treatment, Disposal, Reuse. New Delhi: McGraw-Hill Book Company.
22
3. Sururi, Rangga. 2008. Penyisihan Fe-Organik pada air tanah dengan proses ozonisasi. Lampung : seminar nasional sains & te knologi-III. 4. Idaman, Nusa. 2010. Desinfeksi untuk pengolahan air minum. Kelair. Bppt. 5. U.S. EPA. 1978. Drinking Water Guidance On Desinfection By-Products. (www.epa.ie/pubs/advice/drinkingwater/DrinkingWaterGuide4_v8) 6. Environ.Sci.Techol. 2003. Evaluation Of Specific Ultraviolet Absorbance As An Indicator Of The Chemical Composition And Reactivity Of Dissolved Organic. California : U.S. Geological Survey.
23