BAHAN AJAR PALEOBOTANI
1. PENGANTAR PALEOBOTANI 1.1 Definisi Dan Ruang Lingkup Paleobotani Paleobotani adalah ilmu yang mempelajari fosil tumbuhan. Kajian Paleobotani meliputi aspek fosil tumbuhan, rekonstruksi taksa, dan sejarah evolusi dunia tumbuhan. Tujuan mempelajari Paleobotani adalah: 1. Untuk rekonstruksi sejarah dunia tumbuhan. Hal ini dapat dilakukan karena fosil tumbuhan dari suatu kolom geologis tertentu berbeda dengan yang terdapat pada kolom geologis lainnya. Dengan demikian dapat diketahui jenis tumbuhan yang ada dari waktu ke waktu, atau dengan kata lain dapat diketahui sejarahnya, khususnya mengenai kapan kelompk tumbuhan tersebut mulai muncul di muka bumi, kapan perkembangan maksimalnya, dan kapan kelompok tumbuhan tersebut punah. 2. Untuk keperluan analisa pola dan suksesi vegetasi dari waktu ke waktu. 3. Untuk
analisa
endapan
dari
masa
Karbon
(khususnya
yang
mengandung sisa tumbuhan), yang berpotensi dalam presiksi sifatsifat batubara. Dengan demikian dapat diketahui macam batubara serta dari tumbuhan apa batubara tersebut berasal.
Paleobotani
hal.2
PENGANTAR PALEOBOTANI
4. Untuk dapat melakukan dedukasi mengenai aspek-aspek perubahan iklim. Dengan cara ini maka dimungkinkan untuk merekonstruksi lingkungan masa lampau beserta perubahan-perubahan yang terjadi, dan juga untuk mempelajari hubungan antara tumbuhan dengan hewan yang menghuni lingkungan tersebut. Salah satu perubahan iklim yang seringkali dapat diungkap dengan pendekatan ini adalah perubahan ternperatur rata-rata.
1.2 Keterkaitan Paleobotani Dengan Bidang Ilmu Lainnya Untuk dapat memahami Paleobotani dengan baik diperlukan penguasaan pada bidang- bidang ilrnu pendukung, seperti Geologi, Anatorni Tumbuhan, dan Taksonomi Tumbuhan. Pengetahuan mengenai proses-proses geologi, sifat-sifat batuan, dan sejarah terbentuknya kulit bumi diperlukan antara lain untuk rnengenali karakteristik lingkungan yang rnengandung fosil, habitat tumbuhan pada
masa
pra-sejarah,
dan
pengaruh
lingkungan
terhadap
perkernbangan perkernbangan populasi tumbuhan. Pengetahuan
dan
pemahaman
mengenai
struktur
dalam
(anatorni) organ tumbuhan diperlukan dalam mempelajari kaitan antara struktur anatomi tumbuhan dengan habitat di masa lampau, indikasi perubahan iklim dan kondisi lingkungan, rekonstruksi tumbuhan foisl, dan perkembangan evolusi organ turnbuhan.
Paleobotani
hal.3
PENGANTAR PALEOBOTANI
Dasar
pengetahuan
sangat
Sistematik
Tumbuhan
sangat
diperlukan dalam menentukan hubungan kekerabatan antara fosil tumbuhan dengan tumbuhan yang masih hidup di masa kini, dan dalam upaya rekonstruksi sejarah evolusi dunia tumbuhan.
Paleobotani
hal.4
2. FOSIL TUMBUHAN
2.1 Definisi Fosil, Kegunaannya, Dan Persyaratan Terbentuknya Fosil Fosil adalah bukti-bukti yang didapatkan dari kehidupan pra- sejarah. Batasan masa pra-sejarah lebih dari enam juta tahun yang lalu. Menurut definisi tersebut, maka yang dimaksud dengan fosil adalah meliputi segala macam bukti, baik yang bersifat langsung maupun tak langsung. Contoh bukti langsung dari kehidupan prasejarah adalah tulang dinosaurus, sedangkan bukti tak langsung adalah jejak tapak kaki bewail yang terawetkan dalam lumpur, dan koprolit (material faeces). Kegunaan Fosil Tumbuhan: •
Untuk mengidentifikasi unit-unit strartigrafi permukaan bumi, atau untuk mengidentifikasi umur re1atif dan posisi relatif batuan yang mengandung fosil. Identifikasi ini dapat dilakukan dengan mempelajari fosil indeks. Persyaratan bagi sutau fosil untuk dapat dikategorikan sebagai fosil indeks adalah : (a). terdapat
dalam
jumlah
yang
melimpah
dan
mudah
diidentifikasi; dan (b). memiliki distribusi horizontal yang luas,
Paleobotani
hal.5
FOSIL TUMBUHAN
tetapi dengan distribusi vertikal yang relatif pendek (kurang lebih 1 juta tahun). •
Menjadi
dasar
dalam
mempelajari
paleoekologi
dan
paleoklimatologi. Struktur dan distribusi fosil diasumsikan dapat mencerminkan kondisi lingkungan tempat tumbuhan tersebut tumbuh dan bereproduksi. •
Untuk
mempelajari
paleofloristik,
atau
kumpulan
fosil
tumbuhan dalam dimensi ruang dan waktu tertentu. Hal ini dapat memberikan gambaran mengenai distribusi populasi tumbuhan dan migrasinya, sebagai respon terhadap perubahan yang terjadi pada lingkungan masa lampau. •
Menjadi dasar dalam mempelajari evolusi tumbuhan yaitu dengan cara mempelajari perubahan suksesional tumbuhan dalam kurun waktu geologi.
Persyaratan terbentuknya fosil: 1. adanya badan air 2. adanya sumber sedimen anorganik dalam bentuk partikel atau senyawa terlarut 3. adanya bahan tumbuhan atau hewan (yang akan menjadi fosil).
2.2 Lingkungan Tempat Ditemukannya Fosil Kondisi lingkungan yang memungkinkan untuk terjadinya proses fosilisasi adalah yang tempat dimana proses dekomposisi berjalan sangat lambat, dan biasanya merupakan lingkungan anaerob. Suatu contoh tempat yang mendukung terjadinya proses fosilisasi adalah
Paleobotani
hal.6
FOSIL TUMBUHAN
delta sungai, dasar danau, atau danau tapal kuda (oxbow lake) yang terjadi dari putusnya suatu meander.
2.3
Jenis-Jenis Matriks Untuk Fosilisasi Macam batuan atau matriks yang mengandung fosil adalah: •
Batuan sedimen
•
Diatomit: batuan yang terbentuk dari dinding sel Diatomae.
•
Amber: resin tumbuhan yang telah mengalami perubahan kimiawi selama proses fosilisasi.
2.4
Fosil Dan Kaitannya Dengan Stratigrafi Dan Skala Waktu Geologi
•
Penentuan umur fosil
•
Skala waktu geologi (Paleozoic, Mesozoic, Cenozoic beserta masing-masing epoh di dalamnya), dan tumbuhan yang hidup pada tiap masa.
•
Fosil indeks (makrofosil dan mikrofosil)
Paleobotani
hal.7
FOSIL TUMBUHAN
2.5
Preservasi Fosil
a. Perm ineralisasi seluler Tipe preservasi ini terjadi hila senyawa-senyawa silikat, karbonat, dan besi yang terlarut mengisi sel-sel dan ruang antar sel. Presipitasi senyawa-senyawa terse butakan menghasilkan matriks batuan yang mengisi jaringan tumbuhan, sehingga struktur dalam (anatomi) tumbuhan tersebut menjadi terawetkan dalam bentuk susunan tiga dimensi. Fosil yang dihasilkan dari preservasi ini disebut fosil petrifaksi. b. K o m p r e s i Kompresi
terjadi
bila
tumbuhan
yang
terdeposisi
pada
lingkungan pengendapan mengalami kerusakan atau pembusukan pada
struktur
dalamnya,
mengalami
proses
kehilangan
gas,
kelembaban, dan materi-materi terlarut lainnya, serta ditambah adanya tekanan dari luar yang berupa akumulasi sedimen dan air. Proses-proses
tersebut
akan
menyebabkan
tumbuhan
tersebut
membatu, menjadi deposit yang berwarna hitam. Jika kemudian sedimen ini tersingkap, antara lain oleh pengaruh cuaca atau dibelah dengan sengaja, maka akan terlihat kompresi pada satu sisi, dan impresi pada sisi lainnya. Fosil semacam ini dapat dipelajari strukturnya dengan teknik transfer untuk mendapatkan gambaran detilnya, misalnya pertulangan daun, pola epidermis, dan rambutrambut pada permukaan organ.
Paleobotani
hal.8
FOSIL TUMBUHAN
c. Seme ntasi (preservasi autigenik) Pada saat mulai terjadi proses pembusukan jaringan tumbuhan, timbul muatan listrik yang menarik partikel-partikel koloid sedimen yang bermuatan listrik berlawanan (plus dan minus). Partikel-partikel sedimen umumnya terdiri dari mineral-mineral besi dan karbonat yang terakumulasi dan menjadi semen pada bagian luar jaringan atau organ tumbuhan yang membusuk tadi sehingga terjadi pengawetan struktur luarnya. Pada umumnya, selama terjadinya proses sementasi, bagian dalam tumbuhan tersebut (struktur internalnya) juga menjadi rusak
dan
digantikan
oleh
sedimen
juga.
Dengan
demikian
dimungkinkan untuk terjadinya pengawetan terhadap struktur luar dan dalam organ tumbuhan. d. Preservasi duripartik Preservasi tipe ini terjadi pacta bagian-bagian tumbuhan yang resisten, tanpa mengalami perubahan oleh adanya proses oksidasi atau faktor-faktor lainnya, misalnya bagian luar sel Diatome (yang mengandung silika) , dan sel-sel yang dindingnya mengandung kapur.
2.6
Metode pembuatan preparat fosil tumbuhan
a. Metode gosok Batuan yang mengandung fosil (coal ball) dipotong untuk mendapatkan penampang fosil. Selanjutnya permukaannya diratakan
Paleobotani
hal.9
FOSIL TUMBUHAN
dengan cara menggosokkannya pada bubuk karborundum (silikon karbida) yang diletakkan pacta permukaan kaca dan dibasahi dengan air. Potongan batuan yang sudah dihaluskan permukaannya tersebut kemudian ditempelkan pacta gelas benda dengan menggunakan perekat resin. Selanjutnya batuan dipotong tipis, dan setelah permukaannya dihaluskan, bagian atasnya ditutup dengan gelas penutup. b. Metode sayat Pembuatan preparat fosil dengan metode sayat dibedakan menjadi dua macam teknik, yaitu: teknik cairan dan teknik lembaran.
•
Teknik cairan Potongan batuan yang permukaannya telah diratakan dengan bubuk karborundum diletakkan dalam baki yang terbuat dari kaca, yang diisi dengan kerikil dari bahan silika, serta asam klorida 2 - 3%. Proses ini dinamakan etching, yang bertujuan melarutkan
matriks
yang
berada
di
sekitar
fosil.
Setelah
dibersihkan dengan air, maka pada bagian permukaan batuan yang ada fosilnya dituangkan larutan Darrah , dengan terlebih dahulu dibasahi dengan butil asetat. Komposisi larutan Darrah per 1 liter adalah: a. Parlodion 28 g b. Butil asetat 250 ml c. Amil alkohol 30 ml d. Xylol 10 ml
Paleobotani
hal.10
FOSIL TUMBUHAN
e. Minyak kastor / minyak jarak 3 ml f. Eter 3 ml. Larutan terdsebut didiamkan selarna 12 - 20 jam hingga mengering, untuk selanjutnya dapat dilepas sehingga bagian fosil tumbuhan akan terikut pada lapisan yang dikelupas tersebut.
•
Teknik lembaran Langkah kerja yang dilakukan hingga proses etching adalah sarna dengan pada teknik cairan. Selanjutnya permukaan fosil ditutup dengan lembaran selulosa asetat (ketebalan 0,003 inchi), dengan terlebih dulu dibasahi dengan aseton. Lembaran selulosa asetat dibiarkan selama 30 menit, dan kemudian dilepas untuk mendapatkan penampang fosil.
Paleobotani
hal.11
FOSIL TUMBUHAN
Gambar 4.1. Pembuatan preparat fosil dengan teknik lembaran menggunakan selulose asetat
2.7
Cara Pengamatan Preparat Fosil
a. Menggunakan mikroskop cahaya, SEM, dan TEM. b. Menggunakan Scanning Electron Microscope (SEM) c. Menggunakan sinar- X d. Analisis fitokimia e. Spektrofotometri infra merah
Paleobotani
hal.12
3. KLASIFIKASI TUMBUHAN FOSIL 3.1 Lycopsida
Klasifikasi Divisi
: Tracheophyta
Kelas
: Lycopsida
Bangsa
: Lepidodendrales a. Suku Marga
: Lepidodendraceae : Lepidodendron, Lepidophloios, Stigmaria,
Lepidostrobus, Lepidocarpon b. Suku
: Sigillariaceae
Marga : Sigillaria
Lepidodendraceae Dua marga yang mendominasi pada masa Karbon adalah Lepidodendron dan Lepidophloios. Nama marga Lepidodendron berasal dari struktur batang, sedangkan Lepidophloios merupakan nama yang semula diberikan untuk menyebut struktur daun. Spesimen Lepidodendron yang ditemukan menunjukkan bahwa tinggi pohonnya mencapai lebih dari 38 m, dengan diameter basal 2 m. Batangnya besar, tegak, bercabang banyak membentuk tajuk yang Ie bar. Batang
Paleobotani
hal.13
KLASIFIKASI TUMBUHAN FOSIL
seringkali tidak bercabang hingga ketinggian 20 m atau lebih, dan di bagian apikal membentuk percabangan menggarpu. Cabang-cabang yang membentuk akar disebut rhizofor atau rhizomorf. Daun berbentuk linier, dengan panjang minimall m, dan hila gugur dari cabang akan meninggalkan bekas pada batang. Organ reproduktif Lepidodendrales berupa strobilus atau konus yang terdapat pada cabang-cabang distal. Sturktur strobilus terdiri dari aksis sentral dengan sporofil yang tersusun spiral dan bersirap. Sporangia terdapat pada permukaan atas sporofil. Pada jenis jenis yang heterospor, mikrosporangia terdapat pada bagian apikal strobilus, sedangkan megasporangia pada bagian basal.
Gambar 5.1. Rekonstruksi Lepidodendron. A. Habitus; B. Stuktur batang.
Paleobotani
hal.14
KLASIFIKASI TUMBUHAN FOSIL
Stigmaria merupakan nama marga untuk menyebut organ rhizofor, yaitu cabang-cabang yang membentuk akar. Nama marga Lepidostrobus semula diberikan untuk organ konus, baik yang monosporangiat maupun bisporangiat. Adapun Lepidocarpon adalah nama marga untuk konus megasporangiat yang struktur dasarnya sarna dengan Lepidostrobus, tetapi dengan sporangia yang hampir seluruhnya tertutup oleh sporofil.
Gambar 5.2. Rekonstruksi organ reproduktif vbangsa Lepidodendrales. (A). Strobilus tipe Lepidostrobus; (B) dan (C). Spora tipe Lycospora; (D). Megaspora tipe Lepidocarpon.
Paleobotani
hal.15
KLASIFIKASI TUMBUHAN FOSIL
Sigillariaceae Sigillaria merupakan tumbuhan yang berhabitus pohon, batang tidak bercabang, atau pada bagian apikalnya membentuk percabangan menggarpu sebanyak satu atau dua kali. Bagian basalnya memiliki rhizofor tipe Stigmaria. Daunnya berbentuk seperti daun rumput, memiliki satu atau dua tulang daun, dan apabila gugur akan meninggalkan bekas yang berbentuk heksagonal, bulat, atau oval. Konus pada Sigillaria terbentuk pada cabang-cabang lateral diantara daun-daun.
Gambar 5.3 Rekonstruksi habitus Sigillaria
Paleobotani
hal.16
KLASIFIKASI TUMBUHAN FOSIL
3.2 Sphenopsida
Klasifikasi Divisi
: Tracheophyta
Kelas
: Spheopsida 1. Bangsa
: Sphenophyllales
Suku
: Sphenophyllaceae
Marga
: Sphenophyllum
2. Bangsa
: Equisetales
Suku
: Calamitaceae
Marga
:
Calamites,
Arthrophytis,
Asteromyelon,
Calamostachys.
Sphenophyllaceae Tumbuhan anggota Sphenophyta ditemukan pada masa Devon Atas, kemudian mencapai puncak pada Karbon Atas hingga menjelang akhir Permian. Habitus tumbuhan Sphenophyta berupa herba, batangnya muncul dari suatu rhizom yang berada di dalam tanah. Batang bercabang menggarpu, biasanya terdapat satu cabang pada tiap buku batang. Daun tersusun dalam lingkaran, dengan jumlah daun 6 - 9 pada tiap berkas. Panjang daun kurang dari 2 cm, memiliki satu atau dua tulang daun pada bagian pangkalnya, yang "kemudian tulang daun ini membentuk percabangan menggarpu 2 - 6 kali
Paleobotani
hal.17
KLASIFIKASI TUMBUHAN FOSIL
sebelum mencapai bagian apikal daun. Organ reproduktif berupa konus yang terdiri dari sporangiofor yang, tersusun melingkar, dan terdapat diantara braktea. Sporangiofor berbentuk perisai, dengan empat sporangia yang menghadap ke aksis konus.
Gambar 5.4. Rekonstruksi habitus, strobilus, dan struktur anatomi batang Sphenophyllum.
Paleobotani
hal.18
KLASIFIKASI TUMBUHAN FOSIL
Calami taceae Arthrophytis adalah nama marga untuk spesimen batang, sedangkan Calamites adalah nama marga yang semula diberikan untuk spesimen yang berupa bagian empulur batang. Nama marga untuk
akar
adalah
Astromyelon,
sedangkan
Calamostachys
merupakan nama marga untuk konus.
Gambar 5.5. Rekonstruksi habitus Calamites
Paleobotani
hal.19
KLASIFIKASI TUMBUHAN FOSIL
Gambar 5.6. Rekonstruksi konus tipe Calamostachys
3.3 Filicopsida Klasifikasi Divisi : Tracheophyta Kelas : Filicopsida 1
Bangsa
: Stauropteridales
Suku
: Saturopteridaceae
Marga
: Stauropteris
2 Bangsa
: Zygopteridales
Suku
: Zygopteridaceae
Marga
: Zygopteris, Metaclepsidropsis.
3 Bangsa
: Coenopteridales
Suku
: Marattiaceae
Marga
: Psaronius, Scolecopteris.
Paleobotani
hal.20
KLASIFIKASI TUMBUHAN FOSIL
Stauropteridaceae Tumbuhan anggota Stauropteridaceae berupa semak, ukuran tubuhnya kecil, daun tidak memiliki lamina, sporangia terminal, xilem batang dengan empat buah rigi-rigi. Pacta Stauropteris oldhamia, di setiap tingkat percabangan terdapat pasangan-pasangan aphlebiae (struktur seperti mikrofil) yang sel-selnya berdinding tebal dan memiliki berkas pengangkut kedl, yang menunjukkan bahwa struktur tersebut bersifat non-fotosintetik.
Zygopteridaceae Zygopteris memiliki rhizoid yang memanjang, bercabang menggarpu, membentuk dua tingkat tangkai daun. Permukaan rhizoid tertutup oleh aphlebiae yang berpasangan dan tersusun seperti tangga berpu tar (helix). Metaclepsidropsis
duplex
memiliki
rhizoid
horizontal
yangmendukung daun dengan susunan quadriseriat. Sporangia tersusun dalam sorus, masing-masing terdiri dari 3 - 4 sporangia. Spora tertipe trilet, dengan diameter 52 µm.
Marattiaceae Tumbuhan
anggota
marga
Psaronius berhabitus pohon,
tingginya lebih kurang 10 m. Struktur dalam (anatomi) batang berbentuk bintang, terdiri dari serangkaian berkas pengangkut
Paleobotani
hal.21
KLASIFIKASI TUMBUHAN FOSIL
ampiflois konsentris yang terpisah oleh celah-celah. Akar adventif muncul dari batang, kemudian melengkung ke bawah sejajar dengan permukaan batang. Nama marga untuk spesimen sporangia suku Marattiaceae adalah Scolecopteris. Sporangia tersusun dalam synangium yang bertangkai. Pada S. saharaensis, synangia terdiri dari 4 - 5 sporangia, dengan spora berbentuk oval, bertipe monolet, dan memiliki ornamentasi beru paspina (seperti duri).
Gambar 5.7. Rekonstruksi daun Psaronius (A) dengan synangium tipe Scolecopteris (B).
Paleobotani
hal.22
KLASIFIKASI TUMBUHAN FOSIL
3.4 Progymnospermopsida dan Gymnospermopsida
Klasifikasi Divisi: Tracehophyta 1.
Kelas : Progymnospermopsida Bangsa : Cordaitales Suku
: Cordaitaceae
Marga : Mesoxylon, Cardiocarpus. 2. Kelas
: Gymnospermopsida
Bangsa : Pteridospermales Suku
: Medullosaceae
Marga : Dolerotheca
Cordaitaceae Tumbuhan anggota suku Cordaitaceae memiliki habitus berupa pabon, tingginya diperkirakan mencapai 30 m, dengan diameter basal lebih dari 1 m. Daunnya tak bertangkai, tersusun spiral, berbentuk pita. Pucuk yang
mendukung
organ reproduksi
membentuk
fruktifikasi, terletak diantara daun-daun, atau pacta posisi aksiler. Nama marga Mesoxylon meruapakan nama yang diberikan untuk
spesimen
Paleobotani
batang
dari
suku
Cordaitaceae,
sedangkan
hal.23
KLASIFIKASI TUMBUHAN FOSIL
Cardiocarpus merupakan nama marga untuk menyebut spesimen ovulum, yang berbentuk bikonveks, bertipe platispermis, dengan ukuran 10 x 15 mm. Bagian luar sarkotesta ovulum tersebut tersusun atas gel-gel berdinding tipis yang makin ke dalam ukurannya makin keci!. Sklerotesta terdiri dari gel-gel sklerotik berdinding tebal dengan tonjolan-tonjolan seperti duri ke arab sarkotesta. Nuselus terpisah dari integumen, kecuali pacta bagian basalnya. Bagian distal nuselus yang berada tepat di sebelah bawah lubang mikropil berdifierensiasi membentuk ruang serbuk sari (pollen chamber)..
Medullosaceae Salah satu genus yang mewakili suku Medullosaceae adalah Dolerotheca, yang merupakan nama marga untuk organ penghasil serbuk sari. Organ ini berupa kampanulum, suatu struktur berbentuk lonceng, hemispheris dengan tangkai yang letaknya eksentris, berdiameter 4 cm. Sporangia berpasangan, dan tersusun radier. Hasil interpretasi bahwa selanjutnya menyebutkan bahwa kampanulum merupakan synagium majemuk yang tersusun atas empat buah synagia radial yang terlipat.
Paleobotani
hal.24
KLASIFIKASI TUMBUHAN FOSIL
Gambar 5.8. Rekonstruksi habitus Medullosa (A) dan struktur anatomi batangnya (8 dan C)
Gambar 5.9. Rekonstruksi kampanulum tipe Dolerotheeaformosa
Paleobotani
hal.25
4. PENGANTAR PALINOLOGI
4.1 Pengertian Dan Ruang Lingkup Palinologi Palinologi Merupakan ilmu yang mempelajari tentang serbuk sari dan spora, baik yang masih hidup maupun yang sudah menjadi fosil. Kajian palinologi meliputi: sifat dan ciri, cara penyebaran, dan preservasinya. Serbuk sari adalah tempat gametofit jantan pada generasi gametofit tumbuhan Gymnospermae dan Angiospermae. Spora adalah rase istirahat, dan merupakan alat pemencaran pada generasi gametofit tumbuhan Cryptogamae. Serbuk sari Gymnospermae dan spora Cryptogamae berbeda dengan serbuk sari Angiospermae, baik dalam hal sifat morfologinya maupun komposisi kimianya. Penyebaran serbuk sari dan spora dapat terjadi melalui berbagai perantara, yaitu: angin, air, dan binatang. Penyebaran ini dipengaruhi oleh berbagai faktor, antara lain: turbulensi udara, arab dan kecepatan angin, berat dan bentuk serbuk sari / spora, serta ketinggian dan kekuatan sumber serbuk sari / spora. Dalam hal preservasi, maka proses-proses fisik, kimia, dan biologi dapat mempengaruhi ketahanan dan keawetan serbuk sari / spora setelah dilepaskan dari tumbuhan.
Paleobotani
hal.26
PENGANTAR PALINOLOGI
Kaitan Palinologi Dengan Bidang Ilmu Lainnya Keterkaitan
antara
Palinologi
dengan
Biokimia
dapat
dipelajari melalui kajian melisopalinologi. Dalam bidang Kedokteran, dikenal adanya hayfever, yang memerlukan kajian imunologi yang berkaitan dengan reaksi alergi yang ditimbulkan oleh serbuk sari. Dalam bidang pertanian, khususnya pemuliaan tanaman dapat dilakukan pembentukan tanaman diploid homozigot melalui teknik kultur jaringan tumbuhan.
Paleobotani
hal.27
5. PALINOLOGI DAN KEGUNAANNYA
5.1 Kegunaan Analisis Serbuk Sari Dan Spora A Analisis serbuk sari (pollen analysis) merupakan metode yang paling penting dalam rekonstruksi flora, vegetasi, dan lingkungan masa lampau, karena: a. Sifat serbuk sari yang sangat awet atau tahan terhadap kerusakan akibat proses diagenesis. b. Serbuk sari dihasilkan dalam jumlah yang sangat banyak. c. Serbuk sari dapat tersebar sevara lebih luas dan merata dibandingkan dengan makrofosil. d. Serbuk sari dapat diperoleh dari sedimen dalam jumlah yang sangat banyak sehingga memungkinkan untuk diuji secara kuantitatif / statistik. Analisis serbuk sari dan spora dapat digunakan untuk: a. Melacak sejarah kelompok dan jenis (spesies) tumbuhan b. Melacak sejarah komunitas tumbuhan dan habitatnya c. Menentukan umur relatif batuan atau sedimen d. Memperlajari sejarah iklim e. Mempelajari pengaruh manusia terhadap lingkunga
Paleobotani
hal.28
PALINOLOGI DAN KEGUNAANNYA
f. Mempelajari kandungan serbuk sari di udara dan pengaruhnya terhadap kesehatan manusia g. Menentukan kandungan serbuk sari dalam madu (melisopalinologi) h. Membantu memecahkan kasus kriminologi
Paleobotani
hal.29
6. MORFOLOGI SERBUK SARI DAN SPORA
6.1 Struktur dinding serbuk sari dan spora
Dinding serbuk sari Angiospermae terdiri dari dua lapisan: eksin (lapisan luar) dan in tin (lapisan dalam). Eksin tersusun atas sporopolenin, sedangkan intin tersusun atas selulosa. Lebih lanjut eksin terbagi atas dua lapisan, yaitu seksin dan neksin. Seksin merupakan lapisan yang memiliki ornamenetasi, sedangkan neksin tidak. Struktur dinding serbuk sari, khususnya bagian eksin, merupakan salah satu karakter yang digunakan dalam identifikasi. Struktur halus eksin dapat dibedakan menjadi tiga tire, yaitu: tektat, semitektat, dan intektat.
6.2 Unit serbuk sari, bentuk, dan ukuran Unit serbuk sari dibedakan atas: monad, diad, tetrad, dan polyad. Selain itu ada pula serbuk sari yang dilepaskan dari tumbuhan dalam bentuk massulau atau polinia. Serbuk sari tertrad dibedakan ke dalam lima tire, yaitu: tetrahedral, tetragonal, rhomboid, decussata, dan tetrad silang.
Paleobotani
hal.30
MORFOLOGI SERBUK SARI DAN SPORA
Tumbuhan Angispermae yang memiliki serbuk sari polyad diketahui
ada
lima
suku,
yaitu:
annonaceae,
Leguminosae,
Hippocrateaceae (pada marga Hippocraea), Asclepiadaceae, dan Orchidaceae. Bentuk butir serbuk sari dapat dicandra menggunakan kenampakan pada pandangan polar dan pandangan ekuatorial. Bentuk serbuk sari dapat pula ditentukan berdasarkan perbandingan antara panjang aksis polar (P) dan diameter ekuatorial (E), atau lndeks PIE. Bentuk butir serbuk sari juga terkait erat dengan tipe aperturanya, contohnya: butir serbuk sari dengan tire apertura trikolpat akan cenderung berbentuk bulat hingga bulat telur, sedangkan pada serbuk sari yang aperturanya monosulkat akan cenderung berbentuk seperti perahu. Ukuran serbuk sari dibedakan dalam enam kelas, berdasarkan aksis terpanjang (kecuali pada serbuk sari yang ekinat, maka durinya tidak dimasukkan dalam ukuran). Pembagian kelas ukuran tersebut adalah: 1. < 10 µm = sarigat kecil 2. 10 - 25 µm = kecil 3. 25 - 50 µm = sedang 4. 50 - 100 µm = besar 5. 100 - 200 µm = sangat besar 1. 200 µm = raksasa
Paleobotani
hal.31
MORFOLOGI SERBUK SARI DAN SPORA
Gambar 9.1. Macam-macam bentuk butir serbuk sari dan spora tetrad
Paleobotani
hal.32
MORFOLOGI SERBUK SARI DAN SPORA
Gambar 9.2 Tipe-tipe bentuk serbuk sari
Gambar 9.3 Tipe-tipe spora
Paleobotani
hal.33
MORFOLOGI SERBUK SARI DAN SPORA
Gambar 9.4 Klasifikasi bentuk serbuk sari berdasarkan indeks P/E
Paleobotani
hal.34
7. MORFOLOGI SERBUK SARI DAN SPORA (BAGIAN 2)
7.1 Apertura
Apertura adalah suatu area yang tipis pada eksin yang
berhubungan
dengan
perkecambahan
serbuk
sari.
Apertura
merupakan salah satu karakter serbuk sari yang sangat penting, yaitu bahwa evolusi apertura sangat berguna dalam menentukan perjalanan evolus i tumbuhan berbiji. Pada tumbuhan Petridophyta, spora tidak memiliki apertura, dan tidak terdapat suatu homologi dengan apertura tumbuhan berbiji. Suatu area tipis yang menyerupai apertura pada spora Pteridophyta adalah bekas luka tetrad, yang memiliki dua bentuk yaitu trilet atau monolet. Apertura serbuk sari dibedakan menjadi dua tipe, yaitu yang celah memanjang (disebut kolpus) dan yang merupakan celah pendek, atau berbentuk bulat (disebut porus).
Paleobotani
hal.35
MORFOLOGI SERBUK SARI DAN SPORA (BAGIAN 2)
7.2 Ornamentasi Eksin
Pencandraan tipe ornamentasi eksin dibuat berdasarkan ukuran, bentuk, dan susunan unsur ornamentasinya. Kapp (1969) dan Moore & Webb (1978) membagi tipe ornamnetasi sebagai berikut: Psilat
seluruh permukaannya halus, rata dan licin.
Perforat
permukannya berlubang, dan ukuran lubangnya kurang dari 1µm.
Foveolat
permukaannya berluang, dan ukuran lubangnya lebih besar dari 1µm.
Skabrat
unsur ornamentasi berbentuk isodiametrik, ukuran tidak lebih besar dari 1µm.
Verukat
unsur ornamentasi berbentuk isodiametrik, dan tingginya lebih dari 1µm.
Gemat
unsur ornamnetasi berbentuk isodiametrik, dan besarnya lebih dari 1µm.
Klavat
unsur omamentasi
berbentuk seperti tangkai,
bagian dasarnya menyempit, dan ukuran tingginya lebih besar daripada lebarnya. Pilat
unsur ornamentasi seperti pada klavat, tetapi bagian apikalnya menggembung.
Ekinat
unsur ornamentasi berbentuk seperti duri.
Rugulat
unsur ornamentasi memanjang horizontal, dengan pola yang tidak be.raturan.
Paleobotani
hal.36
MORFOLOGI SERBUK SARI DAN SPORA (BAGIAN 2)
Striat
unsur ornamentasi memanjang horizontal, dengan susunan sejajar antara satu dengan lainnya.
Retikulat
unsur ornamentasi membentuk pola seperti jala.
Gambar 10.1. Tipe-tipe apertura serbuk sari
Paleobotani
hal.37
MORFOLOGI SERBUK SARI DAN SPORA (BAGIAN 2)
Gambar 10.2 Penampang unsur-unsur ornamentasi Gambar 10.3 Kenampakan ornamentasi pada permukaan serbuk sari
Paleobotani
hal.38
MORFOLOGI SERBUK SARI DAN SPORA (BAGIAN 2)
Gambar 10.4 Kenampakan ornamentasi permukaan dan strukturnya.
Paleobotani
hal.39
8. MORFOLOGI SERBUK SARI DAN SPORA (BAGIAN 3)
8.1 Pencandraan Serbuk Sari dan Spora Pencandraan, atau yang dikenal pula dengan istilah pertelaan atau deskripsi serbuk sari dan spora dibuat dalam bentuk uraian kalimat, mulai dari sifat yang umum menuju khusus, atau dari yang paling mudah diamati menuju ke sifat-sifat yang memerlukan pengamatan secara mendetil. Serbuk sari dan spora dicandra berdasarkan sifat-sifat morfologi, yang meliputi:
Unit
Bentuk (pandanganpolar dan ekuatorial)
Ukuran
Apertura (tipe, jumlah, dan posisi) Ornamentasi. Sifat-sifat tersebut di atas adalah yang mininal diperlukan
untuk
pencandraan,
dan
yang
memungkinkan
untuk
diamati
menggunakan mikroskop cahaya. Untuk mendapatkan gambaran serbuk sari dan spora yang lebih detil dan akurat, dapat ditambahkan sifat-sifat lain dari pustaka, misalnya sifat polaritas dan struktur dinding.
Paleobotani
hal.40
MORFOLOGI SERBUK SARI DAN SPORA (BAGIAN 3)
8.2 Karakteristik Serbuk Sari Tumbuhan Pada Tingkat Suku
Ada dua golongan suku tumbuhan berbunga berdasarkan sifat serbuk sarinya, yaitu:
Stenopalynous family : kelompok tumbuhan yang serbuk sarinya seragam, atau variasi serbuk sarinya sangat kecil. Contoh: suku Poaceae
(Gramineae). Sifat serbuk sari suku
Poaceae adalah: monoporat, struktur dindingnya tektat, ornamentasi (skulptur) psilat dan skabrat.
Eurypalynous family: kelompok tumbuhan yang serbuk sarinya sangat bervariasi. Contoh: suku Arecaceae (Palmae). Sifat serbuk sari suku Arecaceae adalah: monokolpat, sebagian tanpa apertura, ornamentasi bervariasi dari psilat sampai ekinat. Contoh karakteristik serbuk sari pada beberapa suku tumbuhan
adalah se bagai berikut: •
Pinaceae: serbuk sari vesikulat atau inaperturat; bentuk steroidal sampai subsferoidal, ukuran korpus 25-104 x 23-100 x 24-91 )µm, ukuran kantong udara 25-93 x 20-71 x 24-77 )µm, atau untuk yang inaperturat ukurannya: 50-58 x 50-64 )µm; tektat, tektum psilat atau skabrat; seksin retikulat.
Paleobotani
hal.41
MORFOLOGI SERBUK SARI DAN SPORA (BAGIAN 3)
•
Amaranthaceae: serbuk sari pantoporat atau fenestrat; bentuk steroidal atau polyhedral; lebar 14-36 )µm; tektat, tektum skabrat atau ekinat; seksin granulat atau retikulat.
•
Araliaceae: serbuk sari dengan apertura trikolporat; bentuk oblat sampai prolat; ukuran 16-48 x 15-36 )µm; tektat, tektum psilat, skabrat, atau verukat; seksin retikulat.
•
Bombacaceae:
serbuk
sari
trikolpat,
3-6
porat,
atau
trikolporat; bentuk per-oblat sampai sub-oblat; ukuran 23-50 x 48-62 )µm; tektat, tektum skabrat atau bakulat; seksin retikulat. •
Asteraceae (Compositae ): serbuk sari trikolpat, 2-4 kolporat, atau fenestrat; bentuk sub-oblat sampai prolat; ukuran 12-53 x 12-60 µm; ukuran kolpi 5-42 x 1-10 µm; tektat, tektum skabrat, verukat, atau ekinat; seksin lophat, granulat, atau rugulat.
•
Cucurbitaceae: serbuk sari 3-4 kolpat, triporat, atau 3-4 kolporat; oblat sampai prolat; ukuran 17-91 x 17-91 µm; tektat, tektum psilat, skabrat, verukat, gemat, c1avat, atau ekinat; seksin granulat, retikulat, atau striat.
•
Ericaceae: serbuk sari dalam unit tetrad, lebar 25-62 µm; tektat, tektum psilat, seksin granulat atau retikulat; memiliki perekat.
•
Lamiaceae (Labiatae): serbuk sari tri- atau heksa-kolpat; bentuk oblat sampai prolat; ukuran 17-75 x 13-80 µm; tektat, tektum skabrat atau verukat; seksin retikulat atau granulat; bakula bulat; muri simpli-bakulat atau halus; lebar lumina 0,5-3 µm, tetapi untuk Oscimum lebarnya 5-11 x 3-5 µm.
•
Leguminosae : serbuk sari polyad atau monad; trikolpat, trikolporat, 3-6 porat, atau heteroporat; bentuk oblat sampai
Paleobotani
hal.42
MORFOLOGI SERBUK SARI DAN SPORA (BAGIAN 3)
prolat; ukuran 15-75 x 11-63 µm; tektat, tektum psilat, skabrat, verukat, atau gemat. •
Malvaceae: serbuk sari pantoporat, trikolporat, atau triporat; bentuk sferoidal atau sub-oblat; lebar 60-220 µm atau 50-60 x 50- 65 µm; tektat, tektum ekinat, unsur ornamentasi berupa spina atau bakula, panjang spina 4-30 µm, bakula terdapat dalam dua ukuran: 4-30 µm daTI 1-2 µm; seksin granulat.
•
Cannaceae: serbuk sari inaperturat; lebar 63-102 µm; tektat, tektum ekinat, panjang spina 2-3 x 2,5-3 µm; seksin granulat.
•
Cyperaceae: serbuk sari 1-4 aperturat; bentuk obovoid (seperti apel), segi empat, subsferoidal, atau triangular; ukuran 21-60 x 25- 95 x 23-70 µm; tektat, tektum psilat, skabrat, atau verukat; seksin granulat.
•
Liliaceae: serbuk sari monosulkat, trikhotomosulkat, atau inaperturat; bentuk subsferoidal atau triangular sampai triangularlobat; ukuran 11-86 x 16-120 x 11-74 µm; tektat, tektum psilat, skabrat, gemat, verukat, atau ekinat; seksin umumnya retikulat.
Paleobotani
hal.43
9. STUDI KASUS PALINOLOGI (BAGIAN 1) 1. palinologi dalam pemecah an masalah taksonomi Sub pokok bahasan ini diulas melalui diskusi tentang penggunaan sumber bukti palinologi, baik yang berupa serbuk sari dan spora fosil maupun dari tumbuhan yang masih hidup dalam pemecahan masalah taksonomi. Masalah taksonomi yang diangkat antara lain klarifikasi status taksonomi, penentuan takson baru, dan hubungan kekerabatan antar taksa. Bahan diskusi diambil dari jurnal ilmiah, dan pembahasannya didasarkan pada teori dalam buku teks palinologi. 2. Analisis data palinologi untuk tujuan taksonom i Untuk mengetahui berbagai cara analisis data palinologi dalam penelitian bidang taksonomi tumbuhan, maka kepada mahasiswa diberikan contoh-contoh metode analsis data, baik dari buku teks maupun jurnal ilmiah. Selanjutnya dibahas latar belakang pemilihan metode, dan hasil yang didapatkannya dalam menjawab permasalahan yang diangkat dalam penelitian tersebut.
Paleobotani
hal.44
10.STUDI KASUS PALINOLOGI (BAGIAN 2) 1. Palinologi dalam reko nstruksi lingkungan ma sa lampau Aplikasi data serbuk sari dan spora, khususnya yang berupa rriikrofosil dalam upaya rekonstruksi lingkungan masa lampau dibahas dengan penekanan pada pengenalan tipe-tipe serbuk sari yang menjadi indikator utama. Contoh kasus diambil dari basil penelitian. 2. Analisis data palinologi: berbagai model diagram serbuk sari Berbagai contoh model diagram serbuk sari sebagai salah satu bentuk basil analisis data palinologi disajikan dan didiskusikan penggunaannya. Macam diagram serbuk sari untuk pollen analy sis: i. cumulative diagram ii. composite diagram iii. resolved diagram Diagram serbuk sari mengandung dua variable: •
waktu (yang digambarkan dalam bentuk kedalaman sample / sampling site)
•
kompisisi jenis / spesies, yang meliputi dua komponen:
Paleobotani
o
jumlah spesies
o
jumlah serbuk sari (kuantitatif)
hal.45
11. TEKNIK KOLEKSI SERBUK SARI DAN SPORA
11.1 Teknik Koleksi Serbuk Sari Fosil Dua hal penting yang harus diperhatikan dalam koleksi serbuk sari fosil adalah:
tidak terkontaminasi
representatif
Pekerjaan dan data yang diperlukan pada waktu koleksi sample: a. pemberian label pada sample b. catatan keadaan sample c. data untuk penyusunan kolom dan penampang stratigrafi d. deskripsi vegetasi pada lokasi sampling (termasuk jenis-jenis tumbuhan yang sedang berbunga) e. ketinggian tempat Teknik sampling: i. kontinyu ii. diskontinyu
Paleobotani
hal.46
TEKNIK KOLEKSI SERBUK SARI DAN SPORA
Sampler atau alat untuk pengambilan sample sedimen: •
Hiller sampler
•
Russian sampler
•
Dachnowsky sampler
•
Livingstone sampler
•
Reissinger sampler
11.2 Teknik Koleksi Serbuk Sari Masa Kini Sumber-sumber serbuk sari dan spora masa kini (non fosil): a. dari udara (pollen rain): didapatkan dari tiga macam kelompok, yaitu: serbuk sari yang terkandung di udara pada kondisi udara statis; serbuk sari yang terbawa di udara yang melewati
suatu
penampang
per
satuan
waktu;
dan
pengendapan serbuk sari dari udara, atau serbuk sari yang mengendap pada permukaan horizontal pada interval waktu tertentu. b. dari tumbuhan yang masih hidup. Perangkap serbuk sari (pollen trap) untuk sampling di permukaan tanah: 1. petridish yang dilapisi kertas saring dan dibasahi gliserin. 2. gelas dari bahan kaca yang diisi gliserin dalam volume keci!. 3. Tauber trap.
Paleobotani
hal.47
12. TEKNIK PREPARASI SERBUK SARI DAN PENGAMATAN PREPARAT SERBUK SARI 1. Teknik preparasi serbuk sari. Teknik preparasi yang dikemukakan pada perkuliahan ini ditekankan pada sample yang berasal dari sedimen, atau untuk serbuk sari dan spora fosil. Tahapan kerjanya adalah sebagai berikut:
•
Deflokulasi, menggunakan: a. Etanol atau larutan deterjen: perlu waktu beberapa hari. b. Sodium pirofosfat: untuk deflokulasi lempung. c. Vibrasi ultrasonic.
•
Penghilangan bahan-bahan sedimen dan bahan organik, baik secara kimia maupun fisik: a. Kalsium karbonat: dihilangkan dengan HCl 10%. b. Asam humat (koloid tanah organik): dihilangkan dengan KOH 10% atau NaOh 10%. c. Bahan-bahan kasar: pengayakan. d. Materi silica: dihilangkan dengan HF 30-40% dengan pemanasan selama beberapa menit, atau HF 10% tanpa pemanasan, yang dilakukan selama beberapa hari. Perlu diketahui bahwa HF sangat korosif terhadap kulit dan
Paleobotani
hal.48
TEKNIK PREPARASI SERBUK SARI
bahan dari kaca / gelas, sehingga reak si harus dilakukan dalam tabung logam (nikel) atau plastik, dan sisanya harus ditampung dalam ember plastik yang diisi kalsium karbonat. e. Selulosa: dihilangkan dengan proses asetolisis atau oksidasi. Asetolisis menggunakan: asam sulfat pekat (bebas air), atau dengan metode Erdtman, sedangkan oksidasi dilakukan menggunakan KClO3 dan HNO3 atau KClO3 dan HCl. f. Partikel-partikel tak terlarut yang berukuran kecil: penyaringan.
•
Pewarnaan: 1) Untuk preparat yang akan disimpan dalam medium gliserin atau gliserin jeli: a. Neutral red b. Safranin c. Basic fuchsin 2) Untuk serbuk sari masa kini (non fosil): pewarna nigrosin memberi hasil yang sangat baik, tetapi tidak cukup baik untuk serbuk sari fosil. 3) Untuk preparat yang akan disimpan dalam medium minyak silikon: pewarna safranin memberi hasil yang lebih baik daripada fuchsin.
Paleobotani
hal.49