MAKALAH
Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah
Untuk memenuhi tugas matakuliah Ilmu Kalam Jurusan Syari'ah
Program Studi Ekonomi Syari'ah
Dosen Pembimbing :
Dr. Muniron, M.Ag
Disusun oleh :
Kelompok 6
Kelas K2
Ria Rosdiyana Dewi (083 134 090)
Putri Lailatul Mukaromah (083 134 071)
Nuril Fitria (083 134 054)
Syaifurrahman (083 134 092)
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) JEMBER
2014
Kata Pengantar
Puji syukur ke hadirat Allah SWT. yang telah menganugerahkan segala rahmat dan hidayah-Nya, karena hanya dengan karunia-Nya makalah yang berjudul "Ahl As-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah" ini dapat selesai tanpa hambatan yang berarti. Shalawat dan salam tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. utusan dan manusia pilihan-Nya yang mengantarkan umat manusia minadzdzulumati ilan-nuur, yakni addinul Islam (dari zaman kegelapan menuju zaman yang bercahaya, yakni agama Islam).
Dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
Dr. Muniron M.Ag sebagai dosen pembimbing mata kuliah Ilmu Kalam;
Rekan-rekan yang memberikan saran-sarannya dan semangat pada pemakalah agar dapat menyusun makalah ini dengan baik.
Penulis menyadari bahwa makalah ini masih jauh dari sempurna dan dengan senang hati menerima kritik dan saran yang konstruktif demi kesempurnaan makalah ini.
Jember, 25 April 2014
Penulis
Daftar Isi
Kata Pengantar ii
Daftar Isi iii
BAB I PENDAHULUAN
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan 1
BAB II PEMBAHASAN
Pengertian Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah 2
Tokoh Pelopor Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah 2
Sejarah Munculnya Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah 3
Metode Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah 5
Ajaran-ajaran Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah 6
BAB III PENUTUP
Kesimpulan 14
Kritik dan Saran 14
Daftar Pustaka
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Ilmu kalam adalah ilmu yang membahas tentang Tuhan dan derivasi-Nya dengan berfikir secara agamis, dialektis untuk menguatkan keimanan umat Islam dan membantah serangan non-muslim atas akidah Islam. Ilmu ini menjadi sangat penting karena berkaitan langsung dengan keyakinan seorang hamba kepada Tuhannya. Sejarah mencatat, bahwasanya ilmu ini berkembang terus-menerus dan banyak memunculkan aliran-aliran seiring dengan perpecahan umat Islam yang saling memegang erat argumentasinya.
Hal ini dikarenakan pemahaman akal terhadap nash-nash al-Qur'an maupun hadits mengenai segala sesuatu tentang Tuhan serta faktor lain yang mendukung kemunculan berbagai aliran tersebut. Aliran yang pertama kali muncul dalam ilmu kalam adalah aliran Khawarij, lalu muncul aliran lain Salah satu di antaranya adalah Ahl as-Sunnah Khalafiah Asy'ariyah dan Maturidiyah. Namun, di dalam makalah ini akan membahas lebih rinci tentang Ahl as-Sunnah Khalafiah Asy'ariyah.
Rumusan Masalah
Apa yang dimaksud dengan Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah ?
Siapa pelopor Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah ?
Bagaimana sejarah munculnya aliran Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah ?
Bagaimana metode yang digunakan dalam pemikirannya tentang ilmu kalam ?
Apa saja ajaran-ajaran dalam Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah ?
Tujuan
Memberikan pengetahuan serta wawasan baru mengenai Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah.
Membantu pelajar mengerti dan memahami perkembangan aliran ini.
Untuk bahan diskusi pembelajaran atau perkuliahan.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah
Jika membicarakan aliran ilmu kalam Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah ini, maka tidak mungkin terlepas dari pembicaraan golongan terbesar umat Islam yang terkenal dengan sebutan Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah. Ahl as-Sunnah artinya penganut sunnah Nabi. Wal Jama'ah artinya penganut i'tiqad sebagai i'tiqad jama'ah sahabat-sahabat Nabi. Jadi, kaum Ahl as-Sunnah wal Jama'ah adalah kaum yang menganut i'tiqad seperti yang dianut oleh Nabi SAW. dan sahabat-sahabat beliau. Sebagai reaksi dari timbulnya firqah-firqah yang sesat sebelumnya, maka pada abad ke-III Hijriyah timbullah golongan yang bernama Ahl as-Sunnah wal Jama'ah ini yang dikepalai oleh dua orang ulama besar dalam Ushuluddin, yaitu Syeikh Abu Hasan al Asy'ari dan Syeikh Abu Mansur al Maturidi. Kadang-kadang Ahl as-Sunnah wal Jama'ah ini disebut dengan Sunny, terkadang juga disebut Asy'ari atau Asy'ariyah karena dikaitkan kepada guru besarnya yang pertama Abu Hasan al Asy'ari.
Kata khalaf biasanya digunakan untuk merujuk para ulama yang lahir setelah abad ke-III H dengan karakteristik yang bertolak belakang dengan yang dimiliki oleh salaf. Dan berkaitan dengan aliran ilmu kalam itu sendiri, nama Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah adalah salah satu aliran dari kelompok Ahl as-Sunnah yang dipelopori oleh Abu Hasan al Asy'ari.
Tokoh Pelopor Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah
Tokoh yang menjadi pelopor dalam aliran ini merupakan seorang ulama besar besar, yakni al-Asy'ari. Nama lengkap beliau adalah Abu al-Hasan 'Ali Ismail bin Ishaq bin Salim bin Ismail bin 'Abdillah bin Musa bin Bilal bin Abi Burdah bin Abi Musa al-Asy'ari dan lebih dikenal dengan nama Abu al-Hasan al-Asy'ari. Beliau lahir di kota Basrah (Irak) pada tahun 260 H/873 M dan wafat pada tahun 324 H/935 M di kota Baghdad. Ia merupakan keturunan salah seorang sahabat Rasulullah yang termasyhur, yaitu Abu Musa al-Asy'ari. Pada waktu kecil, al-Asy'ari berguru pada seorang tokoh Mu'tazilah terkenal sekaligus sebagai ayah tirinya bernama Abu 'Ali al-Jubba'i (w. 303 H/915 M). berkat didikan ayah tirinya itu, al-Asy'ari kemudian menjadi tokoh Mu'tazilah.
Al-Asy'ari menganut paham Mu'tazilah sampai ia berusia 40. Setelah itu, dia mengasingkan dirinya sendiri selama 15 hari di rumahnya. Lalu, secara tiba-tiba ia pergi ke masjid Basrah untuk menyatakan di depan orang banyak bahwa ia telah keluar dan akan menunjukkan keburukan-keburukan dan kelemahan-kelemahan Mu'tazilah. Menurut Ibn 'Asakir, yang melatarbelakangi al-Asy'ari meninggalkan paham Mu'tazilah adalah pengakuan al-Asy'ari telah bermimpi bertemu dengan Rasulullah SAW. sebanyak tiga kali, yaitu pada malam ke-10, ke-20, dan ke-30 bulan Ramadhan. Dalam tiga kali mimpinya, Rasulullah SAW. memperingatkannya agar segera meninggalkan paham Mu'razilah dan segera membela paham yang telah diriwayatkan dari beliau.
Sejarah Munculnya Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah
Aliran ini lahir tidak terlepas dari oleh situasi politik yang berkembang pada masa itu. Pada masa khalifah al-Ma'mun, serangan Mu'tazilah terhadap para fuqaha dan muhadditsin semakin gencar. Tak seorangpun pakar fiqh yang populer dan pakar hadits yang masyhur luput dari gempuran mereka. Serangan dalam bentuk pemikiran serta penyiksaan fisik oleh penguasa dalam bentuk suasana al-mihnah (inkuisisi). Akibatnya timbul kebencian masyarakat terhadap Mu'tazilah dan berkembang menjadi permusuhan.
Pada akhir abad ke-3 Hijriah muncul dua tokoh yang menonjol, yaitu Abu Hasan 'Ali al-Asy'ari di Bashrah dan Abu Manshur al-Maturidi di Samarkand. Keduanya bersatu dalam melakukan bantahan terhadap Mu'tazilah walaupun di tempat yang berbeda. Al-Asy'ari awalnya adalah seorang murid dan juga seorang tokoh Mu'tazilah. karena kepintaran serta kemahirannya, ia bahkan sering mewakili gurunya dalam berdiskusi. Namun, hal itu berjalan hanya sampai ia berusia 40 tahun. Setelah itu ia menyatakan keluar dan menjauhkan diri dari Mu'tazilah. Sebelum ia menyatakan keluar dari Mu'tazilah, ia sempat mengasingkan dirinya di dalam rumah selama 15 hari. Dan sebelumnya ia juga mengalami perdebatan dengan al-Jubbai gurunya sendiri.
Ibnu 'Asakir menceritakan bahwa pada suatu malam al-Asy'ari bermimpi bertemu Rasulullah SAW. lalu beliau menyuruhnya untuk meninggalkan paham Mu'tazilah dan supaya al-Asy'ari membela sunnahnya. Selain itu, al-Asy'ari juga merasa tidak puas dengan jawaban-jawaban sang guru mengenai konsepsi aliran tersebut. Al-Asy'ari sendiri menceritakan, "Pada suatu malam timbul keraguan-keraguanku tentang aqidah yang aku anut, lalu aku berdiri dan shalat dua rakaat. Kemudian aku berdo'a kepada Allah SWT. supaya diberi-Nya petunjuk ke jalan yang tepat. Lantas aku tidur. Tiba-tiba aku melihat Rasulullah SAW. dalam mimpiku. Makan aku adukan halku kepada beliau, dan Rasulullah bersabda, 'Tetaplah engkau pada sunnahku'. Setelah aku bangun, aku coba bandingkan masalah-masalah teologi (kalam) dengan apa yang terdapat dalam al-Qur'an dan al-Sunnah. Maka aku berketetapan hati memilih bimbingan yang terdapat pada kedua sumber itu dan aku tinggalkan apa yang selama ini aku anut".
Selanjutnya, pada suatu hari jum'at di Bashrah ia naik mimbar dan berkata, "Saudara-saudara kaum Muslimin yang terhormat! Siapa yang sudah mengetahui saya, baiklah. Namun bagi yang belum mengetahui saya, saya ini adalah Abu Hasan 'Ali al Asy'ari, anak dari Ismail bin Abi Basyar. Dulu saya pernah berpendapat bahwa Al-Qur'an itu makhluq, bahwa Tuhan Allah itu tidak bisa dilihat dengan mata kepala di akhirat, dan bahwasanya manusia menjadikan (menciptakan) perbuatannya sendiri serupa dengan kaum Mu'tazilah. Nah, sekarang saya nyatakan terus terang bahwa saya telah taubat dari faham Mu'tazilah dan sekarang saya lemparkan i'tiqad Mu'tazilah itu seperti saya melemparkan baju saya ini (ketika itu dibukanya bajunya itu lalu dilemparkan) dan saya setiap saat siap untuk menolak faham Mu'tazilah yang salah dan sesat itu".
Al-Asy'ari merupakan seorang muslim yang sanngat gairah terhadap keutuhan kaum muslimin. Ia sangat mengkhawatirkan al-Qur'an dan hadits menjadi korban paham-paham Mu'tazilah yang menurut pendapatnya tidak dapat dibenarkan karena didasarkan atas pemujaan akal fikiran, sebagaimana juga dikhawatirkan menjadi korban sikap ahli hadits anthropomorphist yang hanya memegangi nash-nash dengan meninggalkan jiwanya dan hampir menyeret Islam kepada kelemahan kebekuan yang tidak dapat dibenarkan agama. Oleh karena itu, al-Asy'ari mengambil jalan tengah antara golongan rasionalis dan golongan tekstualis dan ternyata jalan tersebut dapat diterima oleh mayoritas kaum Muslimin.
Secara ringkas, kemunculan dan perkembangan aliran Asy'ariyah ini dapat digambarkan bahwa, setelah abad ke-3 Mu'tazilah semakin melemah maka ketika itulah al-Asy'ari tampil di tengah-tengah ulama sunni, melanjutkan aktivitas mereka untuk melaksanakan pekerjaan besar sebab ia adalah murid para ulama Mu'tazilah dan mengenal benar kegigihan mereka dalam hal ini. Di samping itu ia telah menjadi imam Ahl as-Sunnah yang terkenal waktu itu, setelah dominasi Mu'tazilah hilang. Kebanyakan ulama pada masanya memberi gelar al-Asy'ari sebagai Imam Ahl as-Sunnah wa al-Jama'ah.
Metode Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah
Al-Asy'ari memang merupakan seorang ulama yang pernah menganut paham Mu'tazilah. Dalam perkembangan pemikirannya, ia tidak menjauhkan diri dari pemakaian akal fikiran dan argumentasi akal. Di dalam kitabnya "Istihsan al khawdi fil 'ilmi al-kalam" (kebaikan menyelami ilmu kalam), ia menentang keras orang yang berkeberatan membela agama dengan ilmu kalam dan argumentasi fikiran. Selain itu, menurut al-Asy'ari berpegang kepada nash harfiah dan mengharamkan menggunakan akal untuk memahami hakikat agama adalah suatu kekeliruan yang hanya dilakukan oleh orang pemalas dan bodoh.
Di samping itu, ia juga mengingkari orang-orang yang berlebih-lebihan menghargai akal fikiran, yaitu golongan Mu'tazilah. karena golongan ini tidak mengakui sifat-sifat Tuhan karena dalam bentuk yang tidak dapat diterima oleh akal. Juga karena mereka mengingkari kemungkinan melihat Tuhan dengan mata kepala. Maka, yang terbaik untuk kepentingan agama dan umat adalah mengkompromikan antara nash dan akal.
Dengan demikian, jelaslah kedudukan al-Asy'ari seperti yang digambarkan para pengikutnya, sebagai seorang muslim yang benar-benar ikhlas membela kepercayaannya. Al-Asy'ari sampai pada kesimpulannya mempercayai sepenuhnya isi nash-nash al-Qur'an dan hadits dengan menjadikannya sebagai dasar, di samping menggunakan akal fikiran yang tugasnya tidak lebih daripada memperkuat nash-nash tersebut.
Ajaran-ajaran Ahl as-Sunnah Khalafiyah Asy'ariyah
Hampir setiap pendapat dan pemikiran dalam aliran ini yang dipelopori oleh al-Asy'ari bercirikan pengambilan jalan tengah. Formulasi pemikiran al-Asy'ari secara esensial menampilkan sebuah upaya sintesis antara formulasi ortodoks ekstrem pada satu sisi dan Mu'tazilah di sisi lain.
Doktrin-doktrin dari berbagai pendapat Asy'ari antara lain sebagai berikut:
Sifat-Nya
Perbedaan pendapat di kalangan mutakallimin mengenai sifat-sifat Allah tidak dapat dihindarkan walaupun mereka setuju bahwa mengesakan Allah adalah wajib. Al-Asy'ari harus berhadapan dengan dua kubu yang saling bertentangan dalam pandangan mengenai sifat-sifat Allah. Dua kubu itu adalah Mu'tazilah yang rasionalis dan Mujassimah, Musyabbihah dan Hasywiyah yang antropomorfis.
Dalam hal ini, Mu'tazilah berpendapat bahwasanya Tuhan tidak mempunyai sifat melainkan dzat-Nya. Aliran Mu'tazilah memberikan pada akal daya yang besar berpendapat bahwa Tuha tidak dapat dikatakan mempunyai sifat jasmani. Oleh karena itu, Mu'tazilah menafsirkan ayat-ayat yang terkesan Tuhan bersifat jasmani secara metaforis dengan pengertian yang layak bagi kebesaran dan keaguangan Allah. Dalam sebuah karangan Imam Mu'tazilah yakni Zamakhsyari, ia terang-terang-terangan mengatakan bahwa kursi Tuhan hanya "khayal" fantasi saja. Kaum Mu'tazilah sendiri mengartikan 'Arsy sebagai "kerajaan" dan "kursi" sebagai pengetahuan.
Berbeda dengan Mu'tazilah yang berusaha mengartikan sifat-sifat Tuhan dengan mengkiaskan kepada sesuatu yang lebih rasional, kaum Mujassimah, Musyabbihah dan Hasywiyah sebaliknya. Mereka mengartikan sifat yang ada pada Allah secara dominan dengan hanya pada yang lahirnya saja, atau hanya secara harfiahnya. Golongan-golongan ini mempersamakan sifat-sifat Tuhan dengan sifat makhluknya.
Menghadapi kedua kubu ini, al-Asy'ari mengakui adanya sifat-sifat Allah seperti mendengar, melihat, bertangan, bersela, bermuka dan lainnya tetapi tidak boleh diartikan secara harfiah. Selain itu, al-Asy'ari berpendapat bahwa sifat-sifat Allah itu tidak bisa dibandingkan dengan sifat-sifat makhluk-Nya, sifat Tuhan itu adalah sesuatu yang bukan dzat tetapi melekat pada dzat itu.
Kebebasan dalam Berkehendak
Manusia adalah makhluk ciptaan-Nya yang paling sempurna dengan anugerah akalnya untuk memilah dan memilih, menentukan serta mengaktualisasikan perbuatannya. Mengenai masalah ini, ada beberapa kelompok dari perpecahan Islam yang juga berbeda pendapat. Mereka adalah Mu'tazilah, Qadariyah dan Jabariyah.
Menurut aliran Mu'tazilah, manusia itulah yang mengerjakan perbuatannya dengan suatu kekuasaan yang diberikan Tuhan kepadanya. Mu'tazilah yang berprinsip keadilan Tuhan mengatakan bahwa Tuhan itu adil dan tidak mungkin berbuat zalim dengan memaksakan kehendak kepada hamba-Nya kemudian hambalah yang harus menanggung akibat perbuatan-Nya. Dengan demikian, manusia mempunyai kebebasan untuk melakukan perbuatannya tanpa ada paksaan sedikitpun dari Tuhan. Selanjutnya, kaum Mu'tazilah mengemukakan apabila Allah yang menciptakan perbuatan manusia, maka perbuatan itu tidak dapat dikatakan perbuatan bagi mereka. Ayat-ayat yang dojadikan sandaran bagi pemikiran mereka ini antara lain sebagai berikut:
وَمَا رَبُّكَ بِظَلَّامٍ لِّلْعَبِيدِ (فصلت : ٤٦)
"Tuhanmu tidaklah zalim kepada hamba".
إِنَّ اللّهَ لاَ يَظْلِمُ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ ... (النساء : ٤٠)
"Sesungguhnya Allah tidaklah zalim sedikitpun".
وَلَا يَظْلِمُ رَبُّكَ أَحَداً (الكهف : ٤٩)
"Tuhanmu tidaklah menzalimi seorang pun".
Dengan berlandaskan ayat-ayat tersebut, Mu'tazilah berpendapat bahwa manusialah yang menciptakan perbuatan-perbuatan mereka. Tuhan tidak ikut campur tangan di dalamnya.
Sedangkan menurut Jabariyah, manusia tidak mempunyai daya upaya, ataupun ikhtiar. Manusia tidak berkuasa mengadakan atau menciptakan sesuatu, tidak memperoleh (kasb) sesuatu, yang laksana bulu yang bergerak kesana-kemari dipermainkan oleh angin. Jabariyah membebaskan manusia dari tenggung jawab terhadap perbuatannya. Manusia berada di bawah kekuasaan qadar dan taqdir Tuhan.Dan sebenarnya manusia terpaksa dalam semua perbuatannya.
Sebaliknya, Qadariyah berbeda pendapat dengan Jabariyah. Menurut Qadariyah, manusia melakukan perbuatan dengan bebas dan menurut keinginan mereka sepenuhnya. Tuhan sama sekali tidak ada hubungannya dengan perbuatan manusia. Aliran ini berpendapat bahwa manusia mempunyai kemerdekaan dalam kehendak dan perbuatannya, yang dalam istilah modern disebut free will and free act.
Sebagai jalan tengah dari keduanya, maka datanglah al-Asy'ari berpendapat bahwa manusia tidak berkuasa menciptakan sesuatu tetapi berkuasa untuk memperoleh sesuatu. Lebih jauh lagi, al-Asy'ari menyatakan bahwa kehendak Tuhan harus berlaku. Apabila kehendak Tuhan tidak berlaku, berarti Tuhan lupa, lalai dan lemah untuk melakukan kehendak-Nya. Manusia sendiri berkehendak setelah Tuhan menghendaki agar manusia berkehendak. Tanpa dikehendaki oleh Tuhan, manusia tidak akan berkehendak apa-apa.
Akal dan Wahyu dan Kriteria Baik dan Buruk
Meskipun al-Asy'ari dan orang-orang Mu'tazilah sama-sama mengakui pentingnya akal dan wahyu, tetapi keduanya berbeda dalam memberikan porsi terhadap akal dan wahyu dalam menghadapi persoalan kontradiktif antara akal dan wahyu. Kaum Mu'tazilah mengutamakan akal daripada wahyu. Sedangkan al-Asy'ari mengutamakan wahyu daripada akal. Akal dijadikan pendukung untuk memahami ayat-ayat al-Qur'an maupun hadits. Karena kedudukan al-Qur'an dan hadits lebih tinggi daripada akal. Dalam menentukan baik dan buruk, Mu'tazilah mendasarkannya pada akal, sedangkan al-Asy'ari harus mendasarkannya pada wahyu.
Bagi kaum Mu'tazilah segala pengetahuan dapat diperoleh dengan perantara akal, dan kewajiban-kewajiban dapat diketahui dengan pemikiran yang mendalam. Dengan demikian, berterima kasih kepada Tuhan sebelum turunnya wahyu adalah wajib. Baik dan jahat wajib diketahui melalui akal dan demikian pula mengerjakan yang baik dan menjauhi yang jahat adalah pula wajib. Tegasnya, sebelum mengetahui kewajiban berterima kasih kepada Tuhan dan berkewajiban berbuat baik dan menjauhi perbuatan buruk, orang harus terlebih dahulu mengetahui Tuhan dan mengetahui baik dan buruk.
Al-Asy'ari dalam pendapatnya, segala kewajiban manusia hanya dapat diketahui melalui wahyu. Akal tak dapat membuat sesuatu menjadi wajib dan tak dapat mengetahui bahwa mengerjakan yang baik dan menjauhi yang buruk adalah wajib bagi manusia. Betul akal dapat mengetahui Tuhan, tetapi wahyulah yang mewajbkan orang mengetahui Tuhan dan berterima kasih kepada-Nya. Juga dengan wahyulah dapat diketahui bahwa yang patuh kepada Tuhan akan memperoleh upah dan yang tidak patuh kepada-Nya akan mendapat hukuman.
Melihat Tuhan
Menurut aliran Mu'tazilah, Tuhan tidak dapat dilihat dengan mata kepala walaupun dalan surga, hal itu akan menimbulkan kesan seolah-olah Tuhan ada dalam surga atau di mana. Dengan demikian, mereka mena'wilkan ayat-ayat yang mengatakan adanya ru'yat. Sedangkan menurut golongan Zahiriah atau Musyabbihah, Tuhan dapat dilihat dengan cara tertentu dan pada arah tertentu pula.
Dengan menempuh jalan tengah antara kedua golongan tersebut, al-Asy'ari berpendapat bahwa Tuhan dapat dilihat tetapi tidak menurut cara tertentu dan tidak pula pada arah tertentu apalagi digambarkan. Kemungkinan ru'yat dapat terjadi ketika Allah yang menyebabkan dapat dilihat atau Ia menciptakan kemampuan penglihatan manusia untuk melihat-Nya.
Pembuat Dosa Besar
Persoalan kalam pertama yang muncul adalah persoalan siapa yang kafir dan siapa yang bukan kafir. Persoalan ini kemudian menjadi wacana perbincangan aliran-aliran kalam yang ada. Kerangka berfikir yang digunakan setiap aliran ternyata mewarnai terhadap pandangan masing-masing tentang status pelaku dosa besar. Aliran-aliran itu antara lain:
Aliran Khawarij
Mereka berpandangan bahwa pembuat dosa besar adalah kafir seperti berbuat zina, membunuh sesama manusia tanpa sebab, dan dosa-dosa besar lainnya membuat pelaku keluar dari Islam. Bahkan kaum Khawarij juga lekas-lekas menuduh kafir bagi orang yang tidak suka mengikutinya. Maka halal darahnya, halal hartanya dan halal anak isterinya. Sejarah mencatat bahwa cap kafir itu bermula pada peristiwa tahkim dan mereka menganggap bahwa yang terlibat dalam peristiwa tersebut adalah kafir.
Aliran Mu'tazilah
Menurut pandangan mereka, setiap pelaku dosa besar berada pada posisi tengah di antara posisi mukmin dan posisi kafir. Jika meninggal dunia dan belum sempat bertobat, ia akan dimasukkan ke dalam neraka selama-lamanya tetapi siksaan yang akan diterima lebih ringan daripada siksaan orang kafir.
Aliran Murji'ah
Kaum Murji'ah memiliki sebuah pemahaman jika orang yang telah beriman dalam hatinya tetapi lalu menjadi pelaku dosa besar, mereka menganggapnya masih mukmin. Karena bagi kaum Murji'ah, siapa yang beriman kepada Tuhan dan mengikhlaskan diri kepada-Nya, maka bagaimanapun besar dosa yang dikerjakannya, tidak akan mempengaruhi imannya.
Lalu, datanglah al-Asy'ari sebagai penengah dari sekian pendapat di atas. Al-Asy'ari sebagai wakil dari Ahl as-Sunnah menyatakan pendiriannya dengan tidak mengkafirkan orang-orang yang sujud ke Baitullah walaupun melakukan dosa besar seperti berzina atau mencuri. Menurutnya, mereka masih tetap sebagai orang yang beriman dengan keimanan yang mereka miliki.
Al-Asy'ari juga mengatakan bahwa orang mu'min yang mengesakan Tuhan tetapi fasik, terserah pada Tuhan apakah akan diampuni dan langsung masuk surga ataukah dijatuhi siksa karena kefasikannya, tetapi kemudian dimasukkan ke dalam surga.
Iman dan Kufur
Persoalan iman dan kufur dalam teologi Islam muncul untuk pertama kali ketika kaum Khawarij mencap kafir sejumlah tokoh sahabat karena peristiwa tahkim yang selanjutnya berkembang dengan tesis utama terhadap setiap pelaku dosa besar yang dianggap kafir. Lalu hal ini berkembang menjadi sebuah perbincangan aliran-aliran teologi Islam, di antaranya Murji'ah, Mu'tazilah.
Aliran Khawarij yang lebih bertendensi politis memandang bahwa iman tidak semata-mata percaya kepada Allah SWT. tetapi mengerjakan segala perintah kewajiban agama. Siapa pun yang menyatakan dirinya beriman kepada Allah dan Muhammad adalah Rasul-Nya, tetapi tidak melaksanakan kewajiban agama atau bahkan melakukan dosa besar dipandang kafir.
Aliran Murji'ah beranggapan bahwa iman ialah mengenal Tuhan dan Rasul-rasul-Nya. Jika sudah mengenal Tuhan dan Rasul-Nya maka itu sudah cukup, sudah menjadi mu'min. Kaum ini juga mengatakan bahwa orang mu'min yang percaya dalam hati adanya Tuhan dan para Rasul-Nya ia adalah mu'min walaupun ia mengerjakan segala macam dosa.
Aliran Mu'tazilah berpendapat bahwa amal perbuatan merupakan salah satu unsur terpenting dalam konsep iman. Iman tidak bisa mempunyai arti tasdiq, yaitu menerima apa yang dikatakan atau disampaikan orang sebagai benar. Iman mesti mempunyai arti aktif, karena manusia akalnya mesti dapat sampai kepada kewajiban mengetahui Tuhan. Dengan demikian iman bagi mereka bukanlah tasdiq, bukan pula ma'rifah, tetapi 'amal yang timbul sebagai akibat dari mengetahui Tuhan. Tegasnya, iman bagi mereka adalah pelaksanaan perintah-perintah Tuhan.
Dari beberapa argumentasi tentang iman di atas, maka definisi iman menurut al-Asy'ari dapat kita peroleh dari penjelasan yang dikemukakan oleh Asy-Syahrastani, salah seorang teolog Asy'ariyah seperti ini:
Al-Asy'ari berkata, "…Iman (secara esensial) adalah tashdiq bi al-janan (membenarkan dengan kalbu). Sedangkan 'mengatakan' dengan (qawl) dengan lisan dan melakukan berbagai kewajiban utama (amal bi al-arkan) sekadar meupakan furu' (cabang-cabang) iman. Oleh sebab itu, siapa pun yang membenarkan keesaan Tuhan dengan kalbunya dan membenarkan utusan-utusan-Nya beserta yang mereka bawa darinya, iman orang semacam itu merupakan iman yang shahih…. Dan seseorang tidak akan tanggal keimanannya, kecuali jika ia mengingkari salah satu dari hal-hal tersebut".
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Berbagai penjelasan mengenai Ahl as-Sunnah Khalafiah Asy'ariyah telah kami paparkan di bagian sebelumnya. Kita mendapatkan sebuah kesimpulan bahwasanya aliran ini merupakan reaksi dari berbagai ajaran aliran-aliran yang banyak muncul dari kalangan umat Islam sendiri terutama dalam membahas masalah teologi atau ilmu kalam yang sangat penting bagi kehidupan manusia sebagai seorang hamba. Di mana berbagai pandangan dan persoalan tersebut banyak dipertanyakan.
Ahl as-Sunnah Khalafiah Asy'ariyah hadir sebagai jalan tengah antara berbagai pendapat yang mendasarkan pemikiran akalnya pada nash-nash al-Qur'an dan hadits sehingga ada keseimbangan antara akal dan wahyu. Al-Asy'ari adalah ulama yang dipandang sebagai tokoh ulama paling berpengaruh dalam pemikiran aliran ini dan bisa dikatakan sebagai pelopornya. Berbagai pemikirannya banyak dijadikan rujukan bagi para ulama untuk memecahkan masalah-masalah teologi karena dianggap netral dan membuat porsi yang tidak berlebihan dalam penggunaan wahyu dan akal dalam hal-hal teologi. Walaupun dalam beberapa hal beliau tidak menggunakan akal untuk menafsirkannya karena bersifat qath'i.
Kritik dan Saran
Penulis menyadari jika makalah yang ada dalam tangan para pembaca ini belum mencukupi dalam kesempurnaan karena kesempurnaan hanyalah milik Allah SWT. dan masih banyak kekurangan di dalamnya. Oleh karena itu, kami meminta kritik dan saran yang mendukung untuk pembuatan bacaan dan makalah untuk yang lebih baik lagi.
Untuk para pembaca yang budiman, masalah-masalah teologi sering kita jumpai dalam kehidupan di dunia ini. Oleh karena itu lebih banyaklah membaca guna mendapatkan informasi tentang ilmu kalam untuk kehidupan yang lebih nyaman dengan keyakinan dalam qalbu.
Daftar Pustaka
Abbas, Siradjuddin. I'tiqad Ahlussunnah Wal-Jama'ah. 2001. Jakarta: Pustaka Tarbiyah
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar. Ilmu Kalam. 2013. Bandung: Pustaka Setia
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam. 1967. Jakarta: Pustaka al-Husna
Abbas, Nukman Al-Asy'ari. t.th. Jakarta: Erlangga
A. Hanafi, Theology Islam. 1979. Jakarta: Bulan Bintang
Nasution, Harun. Teologi Islam. 2010. Jakarta: UI-Press
6
K.H. Siradjuddin Abbas, I'tiqad Ahlussunnah Wal-Jama'ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah: 2001) hal. 16
Ibid., hal. 30
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam ( Bandung: Pustaka Setia, 2013) hal. 146
A. Hanafi, Theology Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) hal. 66
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam ( Bandung: Pustaka Setia, 2013) hal. 147
Nukman Abbas, Al-Asy'ari (Jakarta: Erlangga, t.th) hal. 104
Ibid., hal 106-107
K.H. Siradjuddin Abbas, I'tiqad Ahlussunnah Wal Jama'ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2001) hal. 32
A. Hanafi, Theology Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1979) hal. 69
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam ( Bandung: Pustaka Setia, 2013) hal. 203
K.H. Siradjuddin Abbas, I'tiqad Ahlussunnah Wal Jama'ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2001) hal. 209
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Jakarta: Pustaka al-Husna, 1967) hal. 109
Nukman Abbas, Al-Asy'ari (Jakarta: Erlangga, t.th) hal. 60
Nukman Abbas, Al-Asy'ari (Jakarta: Erlangga, t.th) hal. 58
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam ( Bandung: Pustaka Setia, 2013) hal. 223
Ibid., hal. 149
Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarta: UI-Press, 2010) hal. 83
Ibid., hal. 84
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam ( Bandung: Pustaka Setia, 2013) hal. 150
Ibid., hal. 163
A. Hanafi, Pengantar Theology Islam (Jakartaha: Pustaka al-Husna, 1967) hal. 109
K.H. Siradjuddin Abbas, I'tiqad Ahlussunnah Wal Jama'ah (Jakarta: Pustaka Tarbiyah, 2001) hal. 169
Harun Nasution, Teologi Islam (Jakarrta: UI-Press, 2010) hal. 147
Abdul Rozak dan Rosihon Anwar, Ilmu Kalam ( Bandung: Pustaka Setia, 2013) hal. 174