LAPORAN PRAKTIKUM FARMAKOGNOSI DENGAN SAMPEL SIMPLISIA
Curcuma aeruginosa
Disusun Oleh: KELOMPOK I
1. Ajeng Dwi A
(M3511002)
2. Alfiah Khumaida
(M3511003)
3. Anisa Azzahra
(M3511004)
4. Aprilia Kusuma R
(M3511005)
5. Atifah Nurlailati
(M3511006)
6. Auliya Rahmawati
(M3511007)
7. Awibi Nur Aisyah
(M3511008)
LABORATORIUM BIOLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2011
ACARA I
I DENTI ENTI F I KAS KASI KAN KANDUNG UNGAN KIMI KI MI A
ACARA I
I DENTI ENTI F I KAS KASI KAN KANDUNG UNGAN KIMI KI MI A
IDENTIFIKASI KANDUNGAN KIMIA
I.
TUJUAN: 1. Dapat melakukan uji pendahuluan 2. Dapat melakukan uji antrakinon 3. Dapatmelakukan uji polifenol 4. Dapat melakukan uji tanin 5. Dapat melakukan uji saponin
II.
DASAR TEORI:
Terdapat 2 pendekatan dalam melakukan pencarian kandungan senywa dari bahan
alami
yang
memiliki
aktivitas
biologi
tertentu
yaitu
pendekatan
fitofarmakologi dan pendekatan skrining fitokimia. Pendekatan fitofarmakologi meliputi uji berbagai efek farmakologi terhadap hewan percobaan baik in vivo atau in vitro dengan ekstrak tumbuhan dan bagian tumbuhan. Berbagai pengujian antara lain antiviral, antikanker, antimikroba, antimalaria, insektisida, hipoglikemik dan sebagainya. Pendekatan skrining fitokimia meiputi analisa kualitatif. Kandungan kimia dalam tumbuhan atau bagian tumbuhan (akar, batang, daun, dunga, buah dan biji) terutama kandungan metabolit sekundernya, yaitu alkaloid, senyaea fenol dan terpenoid. Tujuan dilkaukan skrining fitokimia yaitu mensurvai tumbuhan dalam mendapat kandungan senyawa bioaktif atau kandungan yang berguna untuk pengobatan. Metode skrining fitokimia dipilih beberapa persyaratan antara lain sederhana, cepat, dapat dilakukan dengan dengan peralatan minimal dan selektif terhadap golongan senyawa yand dipelajari serta dapat memberikan keterangan ada tidaknya senyawa tertentu dari golongan senyawa sen yawa yang ada. Analisa kuantitatif digunakan untuk mengetahui berapa jumlah atau kadar senyawa yang terkandung terkandung dalam suatu bahan sedangkan analisa analisa kualitatif digunakan untuk untuk mengetahui ada tidaknya suatu senyawa dalam suatu bahan contonya dengan menggunakan KLT. Kedua metode ini dapat digabungkan dan dapat dilakukan untuk melakukan survai tumbuhan di lapangan.
1.
Uji Pendahuluan Serbuk tumbuhan (2 gram) dipanaskandengan 10 ml air selama 30 menit di
atas tangas air mendidih, larutan yang terjadi disaring melalui kapas. Suatu larutan berwarna kuning sampai merah, menunjukkan adanya senyawa yang mengandung kromofor (flavanoid, antrakinin dsb) dengan gugus hidrofilik (gugus gula, asam, fenolat dsb). Pada tumbuhan penambahan larutan kalium hidoksida (3 tetes) waran larutan akan lebih intensif. (Tim penyusun, 2012). Alasan lain melakukan analisis fitokimia adalah menentukan senyawa aktif penyebab efek racun atau efek yang bermanfaat, yang ditunjukkan oleg ekstrak tumbuhan kasar bila diuji dengan sistem biologi.
2. Uji Antrakinon Untuk identifikasi digunakan reaksi Borntraeger (Iihat MMI). Antrakuinon yang mengandung gugus karboksilat (rein) dapat diekstraksi dengan penambahan basa, misalnya dengan natrium bikarbonat. Hasil reduksi antrakuinon adalah antron dan antranol, terdapat bebas di alam atau sebagai glikosida. Antron bewarna kuning pucat, tidak menunjukkan fluoresensi dan tidak larut dalam alkali, sedangkan isomemya, yaitu antranol bewarna kuning kecoklatan dan dengan alkali membentuk larutan berpendar (berfluoresensi) kuat. Oksantron merupakan zat antara (intermediate) antara antrakinon dan antranol. Reaksi Borntraeger modifikasi Fairbairn, yaitu dengan menambahkan hidrogen peroksida akan menujukkan reaksi positif. Senyawa ini terdapat dalam Frangulae cortex. Diantron adalah senyawa dimer tunggal atau campuran dari molekul antron, hasil oksidasi antron (misalnya larutan dalam aseton yang diaerasi dengan udara). Diantron merupakan aglikon penting dalam Cassia, Rheum, dan Rhamnus; dalam golongan ini misalnya senidin, aglikon senosida. Reidin A, B, dan C yang terdapat dalam sena dan kelembak merupakan heterodiantron.
Kuinon adalah senyawa berwarna dan memiliki kromofor dasar seperti kromofor pada benzokuinon, yang terdiri atas gugus karbonil yang berkonjugasi dengan 2 ikatan rangkap karbon-karbon. Untuk tujuan identifikasi kuino dibagi menjadi 4 kelompok : benzokuinon, naftokuinon, dan kuinon isoprenoid.
Dalam setiap mengidentifikasi pigmen dari sumber tanaman baru tidak banyak antrakuinon yang terdapat secara teratur dalam tumbuhan. Yang sering dijumpai ialah emodin. Kurannya terdapat dalam 6 suku tumbuhan tinggi dan dalam sejumlah gugus.
3. Uji Polifenol Senyawa fenol ada hubungannya dengan lignin terikat sabagai ester atau tedapat pada daun di dalam fraksi yang tak larut dalam etanol, atau mungkin terdapat di dalam fraksi yang larut dalam etanol, sebagai gli kosida sederhana. Satu golongan polifenol alam yaitu melanin tumbuhan, pada penguraian basa menghasilkan juga fenol sederhana, katekol. Sebagian besar melanin tumbuhan, misalnya pigmen hitam pada kulit biji atau pada spora fungus karat berupa polimer tak bernitrogen. Mencirikannya yaaitu dengan cara pemanasan 200º C - 300º C dalam lingkungan nitrogen akan menghasilkan katekol dan peleburan dasa akan menghasilkan katekol, asam protokatekuat dan asam salisilat. Polifenol merupakan bagian terpenting bagi tumbuhan kayu, terkait dengan kualitas kayu dan ketahanan terhadap penyakit. Mengancung paling sedikitnya satu cincin aromatik yang tersubstitusi satu minimal gugus hidroksil (-OH). Cincin aromatik yang mengandung bermacam gugus pengganti yang menempel seperti gugus hidoksil (-OH), karboksil (-COOH) dan metoksi (-OCH 3). Sifat fenol lebih larut dalam air, dan pelarut orgaik polar serta kurang larut dalam pelarut organik non polar.
4.
Uji Tanin Tanin
merupakan
senyawa
polifenol
yang
berarti
termasuk
dalam
senyawafenolik. Tanin dapat bereaksi dengan protein membentuk kopolimer mantap yang tak larut dalam air. Terdapat 2 jenis utama tanin yaitu tanin terkondensasi, tersebar pada paku-pakuan, angiospermae dan gymnospermae; dan tanin terhidrolisis, terdapat padatumbuhan berkeping dua. Tanin dapat dideteksi dengan sinar UV pendek berupa bercak lembayung yang bereaksi positif dengan setiap pereaksi fenol
baku. Elagitanin(tanin terhidrolisis) bereaksi khas dengan asam nitrit (NaNO2 ditambah dengan asamasetat) membentuk warna merah cerah yang kian lama berubah menjadi biru indigo.(Harborne, 1987) Menurut batasanya tanin dapat bereaksi dengan proteina mambentuk kopolimie mantap yang tidak larut air. Di dalam industri tanin, dimanfaatkan dalam mengubah kulit hewan mentah menjadi kulit hewan jadi siap pakai karena kemampuan silang protein. Fungsi utama tanin dalam tumbuhan adalah sebagai penolak hewan pemakan tumbuhan.
5.
Uji Saponin
Saponin adalah glikosida triterpena dan sterol dan telah terdeteksi dalam lebih dari 90 suku tumbuhan. Saponin merupakan senyawa aktif permukaan dan bersifat seperti sabun, serta dapat dideteksi berdasarkan kemampuannya membentuk busa dan menghemolisis sel darah. Encarian saponin dalam tumbuh-tumbuhan telah dirangsang oleh kebutuhan akan sumber sapogenin yang mudah diperoleh dan dapat diubah di laboratorium menjadi sterol hewan yang berkhasiat penting (misal kortison, esterogen kontrasepsi dll) Sifat-sifat saponin : berasa pahit dan berbusa dalam air, mempunyai sifat deterjen yang baik, beracun bagi binatang berdarah dingin, mempunyai aktivitas hemolisis, merusak sel darah merah, tidak beracun bagi binatang berdarah panas, mempunyai sifat antieksudatif, mempunyai sifat antiinflamasi mempunyai aplikasi yang baik dalam preparasifilm fotograf Pembentukan busa yang mantap sewaktu mengekstraksi tumbuhan atau waktu memekatkan ekstrak tumbuhan merupakan bukti terpercaya adanya saponin. Memang benar bila dalam tumbuhan terdapat banyak saponin, sukar untuk memekatkan ekstrak alkohol dengan vaik, walaupun digunakan penguap pputar. Karena itu uji saponin yang sederhana aialah mengocok ekstak alkohol – air dari tumbuhan dalam tabung reaksi dan diperhatikan apakah ada terbentuk busa tahan lama pada permukaan cairan. (JB.Harbone,1987)
III.
ALAT & BAHAN : Alat : 1. erlenmeyer 2. corong 3. Cawan porselin 4. Oven 5. Tabung reaksi 6. Pipet 7. gelas ukur 8. cawan porselin 9. penjepit 10. kaki tiga 11. gelas beker 12. kertas saring 13. spirtus 14. korek api 15. corong
Bahan : 1. serbuk tanaman 2. kloroform 3. etanol 95 % 4. kertas saring 5. KOH 0,5 N 6. HCl 7. Dragendroff 8. pereaksi mayer 9. serbuk Na2CO3 10. kertas pH 11. CH3COOH 5% 12. larutan hidrogen peroksida 13. kapas 14. FeCl3 15. NaCl 2% 16. gelatin 1 %
IV.
CARA KERJA 1. Uji Pendahuluan
Serbuk curcuma aeruginosa 2
Air 10 ml
gram
Dimasukkan
Tabung Reaksi
Dipanaskan 30 menit
Tangas air mendidih
Disaring
Kertas Saring
Dihasilkan
Filtrat
Ditambahkan KOH 3 tetes
Warna larutan menjadi lebih intensif
2. Uji Antrakinon
H2O2 3 tetes
100 mg serbuk Curcuma
2 ml KOH 0,5 N
aeruginosa Dimasukkan Dimasukkan Tabung reaksi
Dididihkan 2 menit Dididihkan 2 menit Tangas air mendidih
Kertas Saring Disaring
Dihasilkan
Filtrat
3 ml Toluena
Ditambahkan
Asam asetat Ditambahkan
Terbentuk Lapisan
Tabung reaksi
Ditambahka
Dipisahkan dengan pipet
Warna merah menunjukkan senyawa antrakinon
KOH 0,5 N
3. Uji Polifenol
500 mg serbuk simplisia
5 ml air
Dimasukkan Tabung Reaksi
Dipanaskan selama 10 menit Tangas air mendidih
Filtrat
Disaring panas-panas Ditambahkan
Warna hijau biru
3 tetes FeCl3
4. Uji Tanin
500 mg serbuk simplisia
10 ml air
Dimasukkan Tabung Reaksi
Dipanaskan selama 10 menit
Tangas air mendidih Disaring
Filtrat Ditambahkan
1 ml NaCl 1 %
Endapan disaring
Filtrat
Endapan menunjukkan adanya tanin
2 ml Larutan gelatin
5. Uji Saponin
100 mg serbuk simplisisa
10 ml air
Dimasukkan
Tabung reaksi
Ditutup dan dikocok 30 detik, dibiarkan 30 menit
Buih/sarang lebah menunjukkan adanya saponin
V.
HASIL PENGAMATAN
NO
UJI IDENTIFIKASI
1. Polifenol
+/-
KETERANGAN Tidak mengalami perubahan warna. Warna tetap kuning kecokelatan.
2. Saponin
+
Terdapat buih setelah dikocok dan didiamkan selama 30detik.
3. Uji pendahuluan
+
Wrna yang semula kuning kecokelatan, setelah disaring dan ditetesi KOH sebanyak 3 tetes maka larutan berubah warna menjadi berwarna kuning sampai merah.
4. Antrakinon
-
Setelah campuran didihkan dan disaring didapatkan cairan bening. Kemudian saat diuji dengan kertas lakmus berwarna hitam yang menunjukkan basa. Setelah diencerkan untuk mendapatkan pH 5 dan ditambah dengan KOH
tidak terdapat perubahan pada filtrat tersebut. 5. Tanin
-
Setelah dipanaskan 30 menit campuran memisah. Setelah ditambah NaCl tidak ada endapan begitu juga saat penambahan larutan gelatin, tidak ditemukan adanya endapan.
VI.
PEMBAHASAN
Uji Pendahuluan Untuk mengetahui suatu sampel simplisia itu mengandumg senyawa seperti kromofor(flavonois, antrakinon, dsb) dengan gugus hidrofilik(gugus gula, asam fenolat, dsb) maka harus dilakukan prosedur kerja sebagai berikut serbuk tanaman sebanyak 2 gram dipanaskan dengan 10ml air selama 30menit diatas tangas air mendidih, larutan yang terjadi disaring melalui kertas saring. Jika laruta berwarna kuning sampai merah menunjukkan bahwa larutan tersebut terdapat senyawa yang mengandung kromofor(flavonois, antrakinon, dsb) dengan gugus hidrofilik(gugus gula, asam fenolat, dsb). Jika pada saat pengamatan warna yang teramati kurang sempurna, maka dapat dilakukan dengan cara penambahan 3 tetes laruta kalium hidroksida agar warna larutan lebih intensif. Uji pendahuluan yang dilakukan pada sampel Curcuma aeruginosa didapatkan hasil bahawarna larutan yang baru disaring berwarna kuning kecokelatan namun setelah penambahan 3 tetes KOH, maka lama kelamaan warna berubah menjadi kuning sampai merah. Hal ini dapat menunjukkan bahwa sampel simplisia temu ireng terdapat senyawa yang mengandung kromofor dengan gugs hidropilik. Uji Antrakinon Pada pengujian antrakinon harus dilakukan pengamatan dengan prosedur sebagai berikut. Pertama 100gram serbuk tumbuhan didihkan selama 2 menit dengan kalium hidroksida dan larutan hidrogen peroksida. Seyelah dingin, suspensi disaring melalui kertas saring. Filtrat ditambahkan asam asetat sampai pH 5, lalu ditambah toluen 3ml. Lapisan atas dipisahkan dengan pipet dan dimasukkan dalam tabung reaksi, kemudian ditambah KOH. Perubahan warna yang terjadi yaitu akan berwarna merah pada lapisan air (basa) yang menunjukkan adanya senyawa antrakinon. Dari prosedur tersebut didapatkan hasil pengamatan yaitu setelah campuran didihkan dan disaring akan didapat cairan yang bening.
Kemudian, saat diuji dengan kertas lakmus berwarna hitam yang menunjukkan basa. Setelah diencerkan untuk mendapat pH 5 dan ditambah KOH. Tidak terdapat perubahan pada filtrat tersebut sehingga dapat disimpilkan bahwa Curcuma aeruginosa tidak mengandung senyawa antrakinon. Uji Tanin Pada uji tanin prosedur yang harus dilakukan adalah 500mg serbuk tanaman dipanaskan dengan 10ml air selama 30 menit diatas tangas air. Filtrat yang tersaring ditambah dengan larutan Natrium klorida, bila terjadi suspensi atau endapan disaring melalui kertas saring, kemudian filtrat ditambah larutan gelatin. Jika terbentuk endapan menunjukkan adanya tanin. Pada pengjian tanin pada simplisia didapat hasil bahwa setelah dipanaskan 30 menit campuran tidak memisah. Setelah ditambah NaCl tidak ada endapan begitu juga dengan penambahan larutan gelatin yang juga tidak didapatkan adanya endapan. Dari pengamatan tersebut dapat diketahui bahwa curcuma aeruginosa tidak terdpat senyawa tanin. Uji saponin Pada uji saponin ini dilakukan dengan cara memenambahkan air suling pada tabung reaksi yang berisi serbuk tumbuhan 100mg, kemudian ditutup lalu dikocok kuat- kuat selama 30 detik. Lalu, dibiarkan tabung dalam posisi tegak selama 30 menit. Apabila terdapat buih maka menunjukkan adanya andungan saponin. Saat dilakukan pengujian saponin pada serbuk simplisia Curcuma aeruginosa didapatkan hasil bahwa terdapat buih setelah dilakukan pengocokan selama 30 detik dan didiamkan selama 30 menit. Hal ini menunjukkan bahwa sampel Curcuma aeruginosa (+) mengandung saponin. Uji polifenol Pada uji polifenol dapat diidentifikasi bahwa senyawa polifenol merupakan kelompok zat kimia yang ditemukan pada tumbuhan. Zat ini memiliki tanda khas yakni memiliki banyak gugus fenol dalam molekulnya. Pada uji yang pertama yakni uji polifenol. Uji polifenol dilakukan pada sample serbuk simplisia temu ireng. Untuk menguji keberadaan suatu polifenol maka terlebih dahulu sampel simplisia Curcuma aeruginosa dihaluskan. Hal ini bertujuan untuk mnghancurkan dinding sel yang sifatnya kaku sehingga senyawa target (metabolic sekunder) yang berada dalam vakuola mudah diambil. Kemudian sample diekstraksi dengan aquadest dengan bantuan pemanasan untuk melarutkan polifenol, kemudian disaring. Tabung reaksi yang berisi filtrat tadi ditambahkan larutan FeCl3
sebanyak 3 tetes. Dimana jika sampel tersebut mengandung senyawa polifenolat maka akan menghasilkan warna hijau- biru pada larutan filtrat. Untuk sampel serbuk simplisia, setelah dilakukan penambahan larutan FeCl3 tidak ditemukan terjadinya perubahan warna dari hijau biru, hal itu menunjukkan bahwa sampel Curcuma aeruginosa tidak mengandung senyawa polifenol.
VII.
KESIMPULAN:
1. Pengujian kandungan kimia disebut juga skrining fotokimia yang bertujuan untuk mengetahui kandungan metabolit sekunder/ senyawa identitas dari simplisia yang di uji 2. Kandungan senyawa metabolit sekunder dari simplisia Curcuma aerugenosa adalah saponin dan kromofor 3. Pengujian saponin ditandai positif dengan terbentuknya buih/ sarang lebah setelah dilakukan pengocokan 4. Pengujian senyawa yang mengandung kromofor pada uji pendahuluan ditandai positif dengan adanya perubahan warna kuning sampai merah pada penambahan 3 tetes KOH 5. Pengujian pada praktikum kali ini bersifat kualitatif karena tidak disertai dengan identifikasi prosentase kadar dari masing- masing senyawa identifikasi.
VIII.
DAFTAR PUSTAKA: Anonim. 2000. Materi Materia Medika Indonesia. Jakarta: Depkes RI Sudarsono,dkk. 2006. Tanaman Obat I. Yogyakarta: UGM press Tim Penyusun. 2012. Petunjuk praktikum Farmakognosi. Surakarta: FMIPA UNS
ACARA II
PENETAPAN KADAR SARI YANG LARUT DALAM AI R DAN ETANOL
PENETAPAN KADAR SARI YANG LARUT DALAM AIR DAN SARI YANG LARUT DALAM ETANOL
I.
TUJUAN: 1. Dapat menetukan kadar sari dari serbuk simplisia Curcuma aeruginosa yang larut dalam air 2. Dapat menentukan kadar sari dari serbuk simplisia Curcuma aeruginosa yang larut dalam etanol
II.
DASAR TEORI: Penetapan kadar sari yang larut dalam air
Sampel serbuk sebanyak 5 g dimaserasi selama 24 jam dengan 100 mL kloroform, ekstraksi dilakukan dalam labu bersumbat, berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Sebanyak 20 mL filtrat disaring dan diuapkan sampai kering dalam cawan porselen, hasil penguapan dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar dalam persen sari larut dalam air, dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol
Sampel serbuk sebanyak 5 g dimaserasi selama 24 jam dengan 100 mL etanol 95%, ekstraksi dilakukan dalam labu bersumbat, berkali-kali dikocok selama 6 jam pertama dan kemudian dibiarkan selama 18 jam. Filtrat disaring lalu diambil sebanyak 20 mL filtrat dan diuapkan sampai kering dalam cawan porselen, hasil penguapan dipanaskan pada suhu 105oC sampai bobot tetap. Kadar sari larut dalam etanol 95% dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara.
III.
ALAT & BAHAN:
ALAT: 1) Erlenmeyer bertutup 2) Corong 3) Cawan porselen 75 ml 4) Oven
BAHAN: 1) Serbuk tanaman 2) Kloroform 3) Etanol 95% 4) Kertas saring
IV.
CARA KERJA: 1. Penetapan Kadar Sari yang Larut Dalam Air
Serbuk simplisia 4/18 5 gram
Ditambahkan 100 ml kloroform dimasukkan Erlenmeyer bertutup
Dimaserasi 24 jam ( 6 jam pertama dikocok, 18 jam didiamkan
saring
Uapkan 20 ml filtrat ad kering
Cawan porselen
Sisa dipanaskan sampai bobot tetap
Dihitung kadar dalam persen sari yang larut dalam air terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara
2. Penetapan kadar sari larut dalam etanol
5 gram serbuk simplisia
Ditambah 100 ml etanol (95%)
4/18 Dimasukkan
erlenmeyer
Di maserasi 24 jam (6 jam dikocok, 18 jam dibiarkan) Saring dengan kertas saring
20 ml filtrat di uapkan sampai kering Cawan porselin
Oven 105° C
Sisa di panaskan hingga bobot tetap Dihitung kadar dalam persen sari yang larut dalam etanol, dihitung terhadap bahan yang dikeringkan di udara
V.
HASIL
Jenis uji
Kadar
Bobot
Bobot awal
Bobot cawan
cawan
serbuk
+serbuk
gram)
(gram)
(gram)
28,4
95,3
66,86
Penguapan
Bobot
I
II
(gram)
(gram) (gram)
67
66,9
III
Kadar
sari larut
sari
air
larut
akhir (gram) 66,86
air Kadar
72,69
15,91
88,6
72,9
72,9
Kadar
sari larut
sari
etanol
larut etanol
72,69
Perhitungan kadar : 1. Penetapan kadar sari yang larut dalam air Kadar sari yang larut dalam air (tanpa cawan)
x100%
x 100%
Kadar sari yang larut dalam air (dengan cawan)
x100%
x 100%
2. Penetapan kadar sari yang larut dalam etanol Kadar sari yang larut dalam etanol (tanpa cawan):
x100%
x 100%
Kadar sari yang larut dalam etanol(dengan cawan):
x100%
x 100%
VI.
PEMBAHASAN Pada acara II ini bertujuan untuk menetapkan kadar sari yang larut dalam air dan sari
yang larut dalam etanol.
Penetapan kadar sari yang larut dalam air dilakukan untuk mengetahui kandungan terendah zat yang larut dalam air. Penetapan kadar sari yang larut dalam air dilakukan dengan mengeringkan 5 gram serbuk Curcuma aeruginosa diudara lalu dimaserasi dengan 100 ml kloroform selama 24 jam. Dipilih larutan kloroform karena kloroform memiliki beberapa kesamaan sifat dengan air dalam mengekstraksi zat. Sari yang larut dalam air kloroform adalah bersifat polar, sehingga sari yang larut dalam kloroform P bersifat semi polar. Karena serbuk dilarutkan dalam kloroform, maka proses maserasi harus ditempatkan pada tabung erlenmeyer bertutup, agar kloroform tidak menguap. Setelah dimasukkan dalam tabung, erlenmeyer ditutup rapat dan digoyang-goyangkan secara konstan. Proses ini dilakukan untuk meratakan konsentrasi larutan diluar butir s erbuk simplisia, sehingga dengan penggoyangan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecilkecilnya antara larutan didalam sel dengan larutan di luar sel. Setelah dimaserasi selama 24 jam, larutan disaring dengan kertas saring atau kapas menggunakan corong. Penyaringan harus dilakukan sampai semua pelarut tersaring hingga didapat filtrat yang dibutuhkan. Kemudian dari hasil filtrasi diambil 20 ml untuk diuapkan dalam c terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. Maserasi dilakukan selama 24 jam agar semua zat aktif yang terdapat pada penyari dapat keluar yang dapat diketahui dari kejenuhan larutan dengan zat aktif tersebut. Penetapan kedua adalah penetapan kadar sari yang larut dalam etanol. Penetapan tersebut dilakukan untuk mengetahui kandungan terendah zat yang larut dalam etanol tetapi mungkin tidak larut dalam air. Penetapan ini tidak jauh berbeda prosedurnya dengan penetapan kadar sari dalam air, yaitu 5 gram serbuk Curcuma aeruginosa dilarutkan atau dimaserasi dengan 100 ml etanol selama 24 jam. Digunakan etanol karena zat aktif yang akan diambil adalah semuanya baik polar maupun non polar. Selain itu, etanol dipertimbangkan sebagai penyari karena lebih selektif, kapang dan kuman sulit tumbuh dalam etanol diatas 20%, tidak beracun, netral dan absorbsinya baik. Etanol dapat bercampur dengan air di segala perbandingan dan energi yang digunakan untuk pemekatan lebih sedikit. Karena serbuk dilarutkan dalam etanol, maka proses maserasi harus ditempatkan pada tabung erlenmeyer bertutup, agar etanol tidak menguap. Setelah dimasukkan dalam tabung, erlenmeyer ditutup rapat dan digoyang-goyangkan secara konstan. Proses ini dilakukan untuk
meratakan konsentrasi larutan diluar butir serbuk simplisia, sehingga dengan penggoyangan tersebut tetap terjaga adanya derajat perbedaan konsentrasi yang sekecil-kecilnya antara larutan didalam sel dengan larutan di luar sel. Setelah dimaserasi selama 24 jam, larutan disaring dengan kertas saring atau kapas menggunakan corong. Penyaringan harus dilakukan sampai semua pelarut tersar etanol dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara. Maserasi dilakukan selama 24 jam agar semua zat aktif yang terdapat pada penyari dapat keluar yang dapat diketahui dari kejenuhan larutan dengan zat aktif tersebut.
VII.
VIII.
KESIMPULAN: 1.
Persentase kadar sari yang larut dalam air adalah 98,68%
2.
Persentase kadar sari yang larut dalam etanol adalah 17,71%
DAFTAR PUSTAKA Anonim. Materia Medika Indonesia Jilid VI. 1995. Jakarta: Depkes RI Tim Penyusun. 2012. Petunjuk Praktikum Farmakognosi. FMIPA: Surakarta
ACARA III
UJ I ALKALOI D & UJ I FLAVONOI D
UJI ALKALOID & UJI FLAVONOID
I.
TUJUAN: 1. Dapat melakukan identifikasi kandungan alkaloid
2. Dapat melakukan identifikasi kandungan flavonoid
II.
DASAR TEORI: Alkaloid Alkaloid adalah sebuah golongan senyawa basa bernitrogen yang kebanyakan heterosiklik dan terdapat di tetumbuhan (tetapi ini tidak mengecualikan senyawa yang
berasal dari hewan). Asam amino, peptida, protein, nukleotid, asam nukleik, gula amino dan antibiotik biasanya tidak digolongkan sebagai alkaloid. Dan dengan prinsip yang sama, senyawa netral yang secara biogenetik berhubungan dengan alkaloid termasuk digolongan ini. Alkaloid dihasilkan oleh banyak organisme, mulai dari bakteria, fungi (jamur), tumbuhan, dan hewan. Ekstraksi secara kasar biasanya dengan mudah dapat dilakukan melalui teknik ekstraksi asam- basa. Rasa pahit atau getir yang dirasakan lidah dapat disebabkan oleh alkaloid. Istilah "alkaloid" (berarti "mirip alkali", karena dianggap bersifat basa) pertama kali dipakai oleh Carl Friedrich Wilhelm Meissner (1819), seorang apoteker dari Halle (Jerman) untuk menyebut berbagai senyawa yang diperoleh dari ekstraksi tumbuhan yang bersifat basa (pada waktu itu sudah dikenal, misalnya, morfina, striknina, serta solanina). Hingga sekarang dikenal sekitar 10.000 senyawa yang tergolong alkaloid dengan struktur sangat beragam, s ehingga hingga sekarang tidak ada batasan yang jelas untuknya. Alkaloid bersifat basa yang tergantung pada pasangan electron pada nitrogen. Kebasaan alkaloid menyebabkan sentawa tersebut sangat mudah mengalami dekomposisi terutama oleh panas dan sinar dengan adanya oksigen. Dekomposisi alkaloid selama atau setelah isolasi dapat menimbulkan berbagai persoalan jika penyimpanan dalam waktu lama. Pembentukan garam dengan senyawa organic atau anorganik
sering
mencegah
dekomposisi.
Alkaloid biasanya diklasifikasikan menurut kesamaan sumber asal molekulnya (precursors),didasari dengan metabolisme pathway (metabolic pathway) yang dipakai untuk membentuk molekul itu. Kalau biosintesis dari sebuah alkaloid tidak diketahui, alkaloid digolongkan menurut nama senyawanya, termasuk nama senyawa yang tidak mengandung nitrogen (karena struktur molekulnya terdapat dalam produk akhir. sebagai contoh: alkaloid opium kadang disebut "phenanthrenes"), atau menurut nama tumbuhan atau binatang dimana senyawa itu diisolasi. Jika setelah alkaloid itu dikaji, penggolongan sebuah alkaloid dirubah menurut hasil pengkajian itu, biasanya
mengambil nama amine penting-secara-biologi yang mencolok dalam proses sintesisnya. Alkaloid secara umum mengandung paling sedikit satu buah atom nitrogen yang bersifat basa dan merupakan bagian dari cincin heterosiklik. Kebanyakan alkaloid berbentuk padatan kristal dengan titik lebur tertentu atau mempunyai kisaran dekomposisi. Alkaloid dapat juga berbentuk amorf atau cairan. Dewasa ini telah ribuan senyawa alkaloid yang ditemukan dan dengan berbagai variasi struktur yang unik, mulai dari yang paling
sederhana
sampai
yang
paling
sulit.
Flavonoid Flavonoid adalah senyawa yang terdiri dari dari 15 atom karbon yang umumnya tersebar di dunia tumbuhan. Lebih dari 2000 flavonoid yang berasal dari tumbuhan telah diidentifikasi, namun ada tiga kelompok yang umum dipelajari, yaitu antosianin, flavonol, dan flavon. Antosianin (dari bahasa Yunani anthos , bunga dan kyanos, birutua) adalah pigmen berwarna yang umumnya terdapat di bunga berwarna merah, ungu, dan biru . Pigmen ini juga terdapat di berbagai bagian tumbuhan lain misalnya, buah tertentu, batang, daun dan bahkan akar. Flavnoid sering terdapat di sel epidermis. Sebagian besar flavonoid terhimpn di vakuola sel tumbuhan walaupun tempat sintesisnya
ada
di
luar
vakuola.
Fungsi Antosianin dan flavonoid lainnya menarik perhatian banyak ahli genetika karena ada kemungkinan untuk menghubungkan berbagai perbedaan morfologi di antara spesies yang berkerabat dekat dalam satu genus misalnya dengan jenis flavonoid yang dikandungnya. Flavonoid yang terdapat di spesies yang berkerabat dalam satu genus memberikan informasi bagi ahli taksonomi untuk megelompokkan dan menentukan garis evolusi
III.
tumbuhan
ALAT & BAHAN:
ALAT: a) Tabung reaksi b) Corong
itu.
c) Pipet
BAHAN: a) Serbuk simplisia b) ammonia 25% c) kloroform d) pereaksi dragendroff e) pereaksi meyer f) Natrium karbonat g) Asam asetat h) Asam klorida 1% i) Metanol j) Eter k) Asam klorida pekat
IV.
CARA KERJA Uji Alkaloid
2 gram serbuk simplisia
10 ml HCl 1%
dimasukkan
Tabung reaksi
Dipanaskan 20 menit
Dihasilkan
Disaring dan dimasukkan
Tabung A
Tabung B
Dipisahkan
Tabung A1
Tabung A2
Ditambah
pereaksi
dragendorff Diamati Ditambah Na2CO3
Diamati sampai pH 8-9
Ditambahkan
V.
HASIL: NO
Uji identifikasi
1
Uji flavonoid
+/-
Keterangan
-
Tidak ditemukan lapisan methanol pada saat pengocokan campuran.
2
Uji alkaloid
-
Tidak adanya endapan pada filtrate setelah ditetesi reagen dragendroff maupun reagen mayer.
VI.
PEMBAHASAN: Pada praktikum kali ini dilakukan uji flavonoid dan uji alkaloid pada sampel yang digunakan yaitu Curcumae aeruginosae Rhizoma atau lebih dikenal temu hitam. Yang pertama uji flavonoid dilakukan dengan cara serbuk simplisia yang sudah diayak sesuai derajat halusnya ditimbang sebanyak 0,5gram dipanaskan dengan menggunakan 10ml methanol selama 10 menit, setelah itu disaring dengan kertas saring. Encerkan filtrate dengan 10 ml air, setelah dingin ditambahkan 5 ml eter,dikocok. Ambil lapisan methanol kemudian diuapkan 40°C dan sisa dilarutkan dalam 5 ml etil asetat dan disaring. Diuapkan hingga 1ml larutan kemudian ditambahkan 1 ml etanol 95%, 0,5gram serbuk seng, dan 2ml asam klorida 2N, diamkan 1 menit. Tambahkan 10 ml HCl conc jika dalam waktu 2-5 menit terjadi warna merah intensif menunjukan adanya flavonoid. Namun dalam praktikum
tidak ditemukan lapisan methanol yang memisah setelah dilakukan
penyaringan. Sehingga dapat dinyatakan temu hitam tidak mengandung senyawa flavonoid. Pecobaan selanjutnya dilakukan iji alkaloid, pada percobaan ini dilakukan dengan cara ditimbang 2 gram serbuk temu hitam dan dilembabkan dengan ammonia 25%, lalu digerus. Dan ditambah 20ml kloroform digerus kuat. Dalam penggerusan jangan terlalu halus dalam penyerbukan simplisia karena dapat memecah dinding selnya. Sehingga ada kemungkinan proses uji alkaloid terhambat. Disaring kemudian filtrate diteteskan pada kertas saring dan diberi dragendroff, bila warna menjadi jingga maka simplisia mengandung alkaloid nmun pada percobaan setelah penambahan dragendroff warna tidak menjadi jingga. Namun untuk lebih memastikan lagi serbuk simplisia 2 gram dipanaskan dengan penambahan 10ml HCl 1% selama 30 menit. Kemudian disaring dan dibagi menjadi dua, larutan A dibagi menjadi dua lagi larutan A1 ditetesi dragendroff dan larutan A2 ditetesi reagen mayer. Bila terdapat endapan pada kedua larutan tersebut maka positif mengandung alkaloid, namun dalam praktek tidak ditemukan endapan sedikitpun maka sampel negative alkaloid. Pada uji alkaloid ini digunakan pereaksi dragendroff dan mayer karena kedua reagen ini paling baik untuk uji alkaloid.
VII.
KESIMPULAN:
1) Tidak terdapat kandungan alkaloid pada sampel Curcuma aeruginosa 2) Tidak terdapat kandungan flavonoid pada sampel Curcuma aeruginosa VIII.
DAFTAR PUSTAKA: http://Scribd.com diakses pada tanggal 30 maret 2012 Tim Penyusun.2012. Buku Petunjuk Praktikum Farmakognosi. Surakarta: FMIPA UNS
ACARA IV
PENETAPAN KADAR ABU, PENETAPAN KADAR ABU TI DAK LARUT ASAM, PENETAPAN KADAR ABU LARUT AIR, I NDEKS BIAS,BOBOT J ENIS & KADAR MI NYAK ATSI RI
PENETAPAN KADAR ABU, PENETAPAN KADAR ABU TIDAK LARUT ASAM, PENETAPAN KADAR ABU LARUT AIR, INDEKS BIAS,BOBOT JENIS & KADAR MINYAK ATSIRI
I.
TUJUAN: 1. Dapat menentukan kadar abu pada sampel simplisia Curcuma aeruginosa 2. Dapat menetukan kadar abu pada sampel simplisia Curcuma aeruginosa yang tidak larut asam 3. Dapat menetukan kadar abu pada sampel simplisia Curcuma aeruginosa yang larut air 4. Dapat menentukan bobot jenis pada sampel minyak atsiri 5. Dapat menentukan indeks bias pada minyak atsiri 6. Dapat menentukan kadar minyak atsiri
II.
DASAR TEORI: KADAR ABU
Abu adalah zat organik sisa hasil pembakaran suatu bahan organic. Kandungan abu dan komposisinya tergantung pada macan bahan dan cara pengabuanya. Kadar abu ada hubunganya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam suatu bahan terdapat dalam suatu bahan dapat merupakan dua macam garam yaitu garam organik dan garam anorganik. Yang termasuk dalam garam organik misalnya garam-garam asam mallat, oksalat, asetat, pektat. Sedngkan garam anorganik antara lain dalam bentuk garam fosfat, karbonat, klorida, sulfat, nitrat. Selain kedua garam tersebut, kadang-kadang mineral berbentuk sebagai senyawaan komplek yang bersifat organis. Apabila akan ditentukan jumlah mineralnya dalambentuk aslinya sangatlah sulit,oleh karena itu biasanya dilakukan dengan menentukan sisa-sisa
pembakaran
(Sudarmadji.2003).
garam
mineral
tersebut,
yang
dikenal
dengan
pengabuan.
Penentuan kadar abu total dapat digunakan untuk berbagai tujuan sebagai berikut: 1. Untuk menentukan baik tidaknya suatu proses penggolahan 2. Untuk mengetahui jenis bahan yang digunakan 3. Untuk memperkirakann kandungan buah yang digunakan untuk membuat jelly. Kandungan abu juga dapat dipakai untuk menentukan atau membedakan fr uit uinegar (asli) atau sintesis 4. Sebagai parameter nilai bahan pada makanan. Adanya kandungan abu yang tidak larut dalam asam yang cukup tinggi menunjukkan adanya pasir atau kotoran lain. (Irawati.2008 ). Penentuan kadar abu adalah mengoksidasikan senyawa organik pada suhu yang tinggi,yaitu sekitar 500-600°C dan melakukan penimbangan zat yang tinggal setelah proses pembakaran tersebut. Lama pengabuan tiap bahan berbeda – beda dan berkisar antara 2-8 jam. Pengabuan dilakukan pada alat pengabuan yaitu tanur yang dapat diatur suhunya. Pengabuan diangap selesai apa bila diperoleh sisa pembakaran yang umumnya bewarna putih abu-abu dan beratnya konstan dengan selang waktu 30 menit. Penimbangan terhadap bahan dilakukan dalam keadan dingin,untuk itu krus yang berisi abu diambil dari dalam tanur harus lebih dahulu dimasukan ke dalam oven bersuhu 105°C agar suhunya turun menyesuaikan degan suhu didalam oven,barulah dimasukkan kedalam desikator sampai dingin,barulah abunya dapat ditimbang hingga hasil timbangannya konstan.
BOBOT JENIS
Bobot jenis adalah perbandingan bobot zat di udara pada suhu 25º C terhadap bobot air dengan volume dan suhu yang sama. Bobot jenis suatu zat adalah hasil yang diperoleh dengan membagi bobot zat dengan bobot air dalam piknometer, kecuali dinyatakan lain dalam monografi, keduanya ditetapkan pada suhu 25º C [FI IV hal 1030].
INDEKS BIAS
Refraktometer yaitu alat yang bekerja berdasarkan pembiasan sinar, dipakai untuk menentukan
indeks
bias
cairan
(Godman,1991:452).
Indeks bias adalah ukuran kemampuan suatu medium untuk membiaskan cahaya. Indeks bias
suatu medium sama dengan kecepatan rambat cahaya di ruang hampa dibagi dengan kecepatan rambat cahaya di dalam medium tersebut.
KADAR MINYAK ATSIRI
Minyak atsiri juga dikenal dengan nama minyak mudah menguap atau minyak terbang. Pengertian atau defenisi minyak atsiri yang ditulis dalam Encyclopedia of Chemical Technology menyebutkan bahwa minyak atsiri merupakan senyawa, yang pada umumnya berwujud cairan, yang diperoleh dari bagian tanaman, akar, kulit, batang, daun, buah, biji maupun dari bunga dengan cara penyulingan dengan uap (Sastrohamidjojo, 2004). Minyak atsiri adalah zat yang berbau yang terkandung dalam tanaman. Minyak ini disebut juga minyak menguap, minyak eteris, atau minyak essensial karena pada suhu biasa (suhu kamar) mudah menguap di udara terbuka. Istilah essensial dipakai karena minyak atsiri mewakili bau dari tanaman asalnya. Dalam keadaan segar dan murni tanpa pencemaran, minyak
atsiri umumnya tidak berwarna. Namun, pada penyimpanan lama
minyak atsiri dapat teroksidasi dan membentuk resin serta warnanya berubah menjadi lebih tua (gelap). Untuk mencegah supaya tidak berubah warna, min yak atsiri harus terlindung dari pengaruh cahaya, misalnya disimpan dalam bejana gelas yang berwarna gelap. Bejana tersebut juga diisi sepenuh mungkin sehingga tidak memungkinkan berhubungan langsung dengan oksigen udara, ditutup rapat serta disimpan ditempat yang kering dan sejuk (Gunawan dan Mulyani, 2004).
III.
ALAT & BAHAN:
ALAT: a) Krus silikat b) Air panas c) Corong d) Alat destilat e) Refraktometer
f)
Piknometer
BAHAN: a) Serbuk tanaman b) Kertas saring abu c) Asam klorida d) Aquades
IV.
CARA KERJA:
1. Penetapan Kadar Abu
2 gram serbuk simpisisa
Digerus,
ditimbang,
dimasukkan Krus platina atau krus
Ditara dan diratakan
silikat
Dipijarkan Oven
Didinginkan,ditimbang Filtrat
Jika
arang
tidak
dapat
dihilangkan, ditambah air panas Kertas saring bebas abu
Sisa+kertas saring
Dipijarkan Krus yang sama di oven
Bobot tetap
Kadar abu dihitung terhadap bahan yang dikeringkan di udara
2. Penetapan Kadar Abu Yang Tidak Larut Dalam Asam
Abu
25 ml HCl encer
Dimasukkan
Dimasukkan
Tabung reaksi
Dididihkan 5 menit, lalu disaring
Kertas saring bebas abu
Dicuci
dengan
panas, dipijarkan
Bobot tetap
Kadar abu yang tidak larut dalam asam dihitung terhadap bahan yang telah dikeringkan di udara
air
Penetapan Kadar Minyak Atsiri
Simplisia
Cairan penyuling
Dimasukkan
Labu Dipanaskan dan Disuling Dibiarkan 15 menit
Volume minyak atsiri pada buret
Kadar minyak atsiri dihitung
Uji Bobot Jenis
Ekstrak cair suhu ± 20° C
Dimasukkan
Piknometer bersih kering dan dikalibrasi
Suhu diatur hingga 25° C
Kelebihan ekstrak cair
Dibuang, sisanya ditimbang
Bobot piknometer kosong dikurangkan dari bobot piknometer yang telah diisi
Bobot jenis diperoleh dengan membagi bobot ekstrak dengan bobot air dalam piknometer pada suhu 25° C
V.
HASIL & PEMBAHASAN
Abu adalah zat anorganik dari sisa hasil pembakaran suatu bahan organik.Penentuan kadar abu ada hubungannya dengan mineral suatu bahan. Mineral yang terdapat dalam bahan pangan terdiri dari 2 jenis garam, yaitu garam organik
misalnya asetat, pektat, mallat dan garam anorganik misalnya karbonat, fosfat, sulfat, dan nitrat. Proses untuk menentukan jumlah mineral sisa pembakaran disebut pengabuan. Kandungan dan komposisi abu atau mineral pada bahan tergantung dari jenis bahan dan cara pengabuannya. Pada praktikum kali ini, proses pengabuan dilakukan hingga suhu mencapai 400°C . Sampel yang digunakan adalah serbuk Curcuma aeruginosa atau biasa kita sebut Temu Ireng. Serbuk Curcuma aeruginosa kita timbang sebanyak 2 gram, lalu dimasukkan dalam krus platina atau krus silikat yang sebelumnya sudah kita tara sebesar 19,2 gram. Lalu kita masukkan dalam oven hingga suhu 400°C. Kira-kira setiap 45 menit kita lihat apakah serbuk sudah menjadi abu ditandai dengan warna putih keabuan dan tidak ada serbuk hitam yang menggumpal. Jika masih tersdapat gumpalan, krus platina kembali kita pijarkan hongga diperoleh bobot tetap dalam keadaan abu. Setelah menjadi abu semua, ditimbang dan dapat dihitung besar kadar abunya dengan menggunakan rumus. Rumus Perhitungan Kadar Abu :
% Kadar abu =
x 100%
Sehingga pada penentuan kadar abu Curcuma aeruginosa diperoleh : Berat awal sampel
: 2 gram
Berat krus platina
: 19,20 gram
Berat krus platina dan abu bobot tetap : 19,27 gram Sehingga diperoleh bobot tetap abu Curcuma aeruginosa sebesar 0,07 gram atau 70 mg. Dari hasil data tersebut kita dapat menghitung besar kadar abu Curcuma aeruginosa menggunakan rumus diatas sehingga diperoleh kadar abu sebesar 3,5 % .
Berat abu yang didapat pada sampel Curcuma aeruginosa yakni seberat 0,07 gram atau 70 mg, jauh sekali penurunan berat yang terjadi karena berat sampel awal yaitu 2 gram, berarti selama proses pemanasan awal sampai pada proses pengabuan telah terjadi penguapan air dan zat-zat yang terdapat pada sampel, sehingga yang tersisa hanyalah sisa dari hasil pembakaran yang sempurna yakni abu. Pada sampel Curcuma aeruginosa didapat kadar abu yaitu sebesar 3,5 % yang dihitung berdasarkan berat kering. Presentase abu yang diperoleh besarnya relatif kecil sehingga besarnya kadar abu yang didapat dalam praktikum kali ini, mungkin
disebabkan oleh suhu ruang ataupun adanya kotoran yang terdapat dalam sampel. Apalagi waktu pemanasan atau pemijaran kurang sempurna tidak bisa mencapai suhu 600°C karena faktor alat.
A. Penetapan Kadar Abu Yang Tidak Larut Dalam Asam
Tujuan Praktikum pada penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam adalah untuk mengetahui besarnya kadar abu yang tidak larut dalam asam. Pada penetapan kadar abu yang tidak larut dalam asam kita menggunakan abu yang berasal dari abu yang diperoleh dari penetapan kadar abu ( dibagi 2 untuk tidak larut dalam asam dan larut dalam air). Sebanyak 70 mg abu Curcuma aeruginosa dididihkan dengan Asam Klorida encer sebanyak 10 ml selama 5 menit, pada proses ini kita menggunakan oven. Kemudian kita ambil abu yang tidak larut dalam asam dengan cara disaring menggunakan kertas saring. Lalu bersama dengan kertas saring yang sebelumnya sudah kita tara sebesar , kita pij arkan hingga diperoleh bobot tetap. Perhitungan kadar abu tidak larut dalam asam dapat kita hitung dengan rumus sebagai berikut :
Kadar abu tidak larut asam =
x 100%
Dalam percobaan ini kita dapatkan data sebagai berikut : Berat abu awal
: 0,07 gram
Berat kertas saring
: 0,78 gram
Berat kertas saring dan abu bobot tetap tidak larut dalam asam : 0,85 gram Dari data tersebut dapat kita peroleh bahwa berat abu yang tidak larut dalam asam yaitu 0,85 – 0,78 = 0,06 gram. Sehingga dari data tersebut dapat kita hitung kadar abu yang tidak larut dalam asam menggunakan rumus diatas dan diperoleh kadar sebesar 85,71 % .
Kesimpulan yang dapat kita ambil bahwa abu Curcuma aeruginosa tidak dapat melarut sempurna dalam pelarut dengan suasana asam.
B. Penetapan Kadar Abu Yang Larut Dalam Air Tujuan dari praktikum ini adalah untuk mengetahui kadar abu yang larut dalam air, digunakan pelarut aquadest. Penetapan kadar abu ini dilakukan dengan bahan abu yang kita peroleh dari penetapan kadar abu. Sebanyak 0,07 gram abu Curcuma aeruginosa kita larutkan dalam 15 ml aquadest dalam cawan lalu dididihkan selama 5 menit di dalam oven. Lalu kita saring dengan kertas saring yang sebelumnya telah kita timbang. Jika dalam cawan masih ada sisa abu yang tidak larut kita tuangkan air panas hingga larut semua baru kita saring. Lalu sisa abu dalam kertas saring kita pijarkan selama 15 menit dengan suhu tidak lebih dari 450° C hingga diperoleh bobot tetap dengan ditimbang. Lalu dapat kita hitung kadar abu yang larut dalam air menggunakan rumus sebagai berikut :
Kadar abu larut air =
x 100%
Dan pada praktikum diperoleh data sebagai berikut : Berat abu awal
: 0,07 gram
Berat kertas saring
: 0,46 gram
Berat kertas saring dan abu bobot tetap : 0,47 gram Sehingga dari data tersebut berat akhir abu adalah 0,47 – 0,46 = 0,01 gram. Maka dari data-data tersebut dapat kita hitung kadar abu yang larut dalam air menggunakan rumus diatas dan diperoleh kadar sebesar 85,71 %. Dapat dilihat kalau abu yang larut dalam air sangat banyak, hampir semua abu larut dalam pelarut air. Maka dapat ditarik kesimpulan kalau Curcuma aeruginosa sangat baik dilarutkan dalam air.
C. BOBOT JENIS
Berat piknometer
9.7gram
Dikalibrasi dengan aquadest
16,11gram
Piknometer + minyak atsiri
15,80gram
Bobot jenis
15,80 – 9,70 = 6,10gram÷ 6.4ml =0,95 g/ml
Bobot jenis adalah suatu perbandingan bobot zat terhadap air volume sama yang ditimbang diudara pada suhu yang sama. Penetapan bobot jenis dilakukan dengan cara gunakan piknometer bersih , kering dan dikalibrasi dengan menetapkan bobot piknometer dan bobot air yang baru dididihkan pada suhu 25°C atur hingga suhu ekstrak cair lebih kurang 20°C, masukkan kedalam piknometer. Dalam memasukan minyak atsiri disarankan hingga penuh agar saat ditutup tidak ada ruang atau gelembung dalam piknometer. Karena gelembung ini akan mempengaruhi berat piknometer. Atur suhu piknometer yang telah diisi hingga suhu 25°C , buang kelebihan ekstrak cair dan ditimbang. Kurangkan bobot piknometer kosong dari bobot piknometer yang tela diisi . bobot jenis ekstrak cair adalah yang diperoleh dengan membagi bobot ekstrak dengan bobot air, dalam piknometer pada suhu 25°C.
D. INDEKS BIAS indeks bias bunga mawar : 1,348 cm
1,348- 1,3495
9,5 mm
Indeks bias bunga melati: 1,342 cm
1,342- 1,3465
6,5 mm
Metode standard dalam pengukuran indeks bias yang paling sederhana yaitu dengan mengukur sudut pembelokan cahaya yang melewati wadah berbentuk prisma berisi larutan uji. Meskipun metode ini akurat, namun membutuhkan ruangan yang cukup besar. Kemudian dikembangkan metode lain. Makalah ini membahas penelitian tentang pengukuran indeks bias menggunakan metode interferometri. Umumnya metode interferometri bekerja dengan mengukur jari-jari cincin interferensinya, namun untuk bisa menghasilkan bayangan cincincincin interferensi membutuhkan komponen optik dengan kualitas sangat baik dan sangat mahal. Pada Tugas Akhir ini dicoba untuk melihat adanya kemungkinan indeks bias dapat diukur hanya dengan mengukur intensitas cahaya hasil interferensi meskipun interferometer yang dibuat tidak mampu menghasilkan cincin interferensi. Metode ini bekerja dengan cara sinar laser dipisahkan menjadi dua berkas. Berkas uji dilewatkan ke sampel yang hendak diukur, sedangkan berkas referensi tidak melewati apa-apa. Kedua sinar tersebut kemudian digabungkan kembali. Hasil interferensi cahaya yang diukur berupa pelemahan amplitudo intensitas) cahaya. Data yang didapat dianalisa secara grafis untuk dihasilkan persamaan kurva. VI.
KESIMPULAN:
1.
Pengukuran kadar abu bertujuan untuk mengukur kemurnian dan kebersihan
simplisia. Makin tinggi kadar abu makin rendah mutu simplisia 2.
Kadar abu tidak larut asam diperoleh hasil persentase sebesar 85,71 %
3.
Kadar abu larut air diperoleh hasil persentase sebesar 85,71 %.
4. VII.
Bobot jenis yang dihasilkan adalah 0,95 g/ml
DAFTAR PUSTAKA:
Anonim.2010.LAPORAN PENENTUAN KADAR ABU.http://scribd.com. Diakses 31 oktober 2010. Anonim.1995.Farmakope Indonesia Edisi IV. Jakarta: Depkes RI Irawati.2008.MODUL
PENGUJIAN
MUTU
1.Diploma
IV
PDPPTK
VEDCA.Cianjur. Sudarmadji.dkk.2003.Prosedur Pertanian.Liberti.Yogyakarta.
Analisa
Bahan
Makanan
Dan