BAB I PENDAHULUAN
Atresia ani atau malformasi anorektal (anus imperforata) adalah malformasi kongenital pada laki-laki atau perempuan dimana rektum tidak mempunyai lubang keluar, melibatkan anus,rektum distal serta saluran kemih dan genital. Anus tidak ada, abnormal atau ektopik. Kelainan anorektal umum pada laki-laki dan perempuan memperlihatkan hubungan kelainan anorektal rendah dan tinggi diantara usus, muskulus levator ani, kulit, uretra dan vagina. Atresia berasal dari bahasa Yunani, “a” artinya tidak ada, “trepis” artinya nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital. 1 Atresia ani merupakan masalah penting yang memerlukan penanganan segera, sebab sedikit keterlambatan akan memberikan kelainan yang lebih luas seperti perforasi sekum, obstruksi/distensi usus, dan fistula yang menyebabkan inkontinensia. Insiden terjadinya atresia ani dilaporkan antara 1 : 1500 sampai 1:1500 kelahiran hidup, dengan perbandingan yang hampir sama banyak pada perempuan dan laki-laki, yaitu 1 : 1,4 insiden di Eropa dan Amerika Utara Ut ara (1962) dilaporkan sebanyak 1 : 4000-5000 kelahiran hidup. Insiden yang terjadi di Israel (1983) yaitu 1 : 3000 kelahiran hidup, dan Pakistan (1979) sebesar 1:3000-4000 kelahiran hidup. Angka kejadian kasus di indonesia sekitar 90%. Berdasarkan data yang didapatkan kasus atresia ani yang terjadi di Jawa Tengah khususnya Semarang yaitu sekitar 50% dari tahun 2007-2009. Sekitar 20-75% bayi yang menderita atresia juga menderita anomali lain. Kejadian tersering pada laki-laki dan perempuan adalah anus impeforata dengan fistula antara usus distal uretra pada laki-laki dan vestibulum vagina pada perempuan.2 Etiologi atresia ani belum diketahui secara pasti. Atresia ani diduga merupakan kelainan yang berhubungan dengan genetik dan lingkungan yang diturunkan secara resesif autosomal, serta sering dikaitkan dengan sindrom VACTERL (anomali vertebra, cardio, trakea, esophageal, renal, limb) yang memiliki keterkaitan dasar genetik.7
1
Atresia ani terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional. Manifestasi klinis diakibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorbsi sehingga terjadi asidosis hiperchloremia, sebaliknya feses mengalir kearah traktus urinarius menyebabkan infeksi berulang. Pada keadaan ini biasanay akan terbentuk fistula antara rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90% dengan fistula ke vagina (rektovagina) atau perineum (rektovestibuler). (r ektovestibuler). Pada laki-laki biasanya letak tinggi, umumnya fistula membran kloaka secara sempurna.3 Sebagian besar bayi diketahui mengalami kelainan atresia ani saat pemeriksaan pertama setelah bayi lahir, yakni tidak ditemukan adanya lubang pada anus yang ditunjukan kegagalan ke gagalan untuk mengeluarkan mekonium. Bayi akan cepat kembung antara 4 – 8 jam setelah lahir, atau ditemukannya mekoneum di perineum karena ka rena adanya fistula pada perineum. Pada sekitar 60% kasus k asus kelainan atresia ani dapat dijumpai adalah penyakit jantung bawaan (75%), atresia esofagus, hidronefrosis, kelainan vertebra, sindrom down serta kelainan jari tanga dan kaki. Kelainan-kelainan tersebut lebih dikenal dengan VATER atau VACTERL syndrome (vertebra, anal, cardiac, tracheo, esophageal, renal anomalies.)7 Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Atresia ani letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pena dan Defries pada tahun 1982 memperkenalkan metode operasi dengan pendekatan postero sagital anorectoplasty, anorectoplasty, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rektum dan pemotongan fistel.4
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1 Definisi Atresia ani atau anus imperforate disebut sebagai malformasi anorektal atau anomali anorektal, merupakan kelainan bawaan (kongenital) yang ditandai dengan tidak terdapatnya lubang anus atau kurang lengkapnya pembukaan anus, baik lokasi maupun ukuran yang normal. Pada keadaan ini anus tidak memiliki lubang, kantung rektumnya tampak buntu dan keduanya terpisah dengan jarak yang bervariasi. Atresia berasal dari bahasa Yunani , “a” artinya tidak ada, “trepis” artinya nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital.1 II.2 anatomi8 Rektum berawal kira-kira setinggi vertebra sakrum 3, mengikuti lengkungan sacrococcygeus lengkungan sacrococcygeus dengan dengan menembus diafragma pelvis menjadi kanalis analis (saluran anus). Ke arah proksimal rektum bersinambung dengan kolon sigmoid. Rektum berbentuk seperti huruf S dan memiliki tiga lengkungan yang tajam sewaktu mengikuti lengkungan sacrococcygeus lengkungan sacrococcygeus.. Bagian rektum yang diatas diafragma pelvis melebar, disebut ampulla recti yang berperan menopang dan menyimpan massa tinja. Bagian akhir rektum membelok tajam ke dorsal (lengkung anorektal) untuk beralih menjadi kanalis analis. Sebagian muskulus levator ani / muskulus puborektalis membentuk jerat pada batas rektum-anus dan menarik bagian ini ventral sehingga terjadi sudut anorektal (angulus anorektalis ).
3
Rektum8 a. Peritoneum pembungkus rektum Peritoneum membungkus 1/3 bagian superior pada facies anterior dan lateralis, 1/3 bagian media mempunyai peritoneum hanya pada facies anteriornya, 1/3 bagian rektum inferior tidak dibungkus peritoneum. Pada pria peritoneum melipat dari facies anterior rektum ke dinding posterior vesika urinaria, pada tempat itu peritoneum membentuk lantai kantung rektovesikalis. Pada anak laki-laki peritoneum membentang ke inferior hingga dasar prostat. Pada wanita, peritoneum melipat ke rektum menuju ke fornix posterior vagina dan pada tempat tersebut peritoneum membentuk lantai kantung rektouterina (kavitas Douglasi). Pada pria dan wanita, peritoneum melipat ke lateralis dari rektum membentuk fossa pararektalis pada tiap sisi rektum dibagian 1/3 superiornya. Fossa pararektalis memungkinkan rektum untuk menggelembung.
4
b. Vaskularisasi rektum8 Percabangan arteri iliaca comunis membentuk arteri iliaka interna dan arteri iliaka eksterna. Cabang arteri iliaka interna menyuplai darah kehampir seluruh struktur pelvis. Arteri rektalis superior yang merupakan kelanjutan dari arteri mesenterika inferior memasok darah ke rektum bagian tengah dan rektum distal, dan arteri rektalis inferior mengatur perdarahan bagian distal rektum. Darah dari rektum disalurkan kembali melalui vena rektalis superior, vena rektalis media, vena rektalis inferior. Kira-kira setinggi vertebra S-3, a.rektalis superior membagi diri dalam dua cabang yang menuruni tiap sisi rektum. Dua a.rektalis media merupakan cabang-cabang aa. iliaka interna yang memasok rektum pars media dan inferior. Dua aa. Rektalis inferior, cabang-cabang aa. Pudendi interna yang memasok pars inferior rekti dan kanalis analis. Aliran vena rektum dialirkan melalui vv. Rektalis superior, media dan inferior.
II.3 Etiologi Etiologi atresia ani belum diketahui secara pasti. Diduga kelainan ini dikarenakan ketidaksempurnaan dalam proses fusi. Pada atresia letak tinggi, septum urorektal turun secara tidak sempurna/berhenti pada suatu tempat pada jalan penurunannya. Atresia ani diduga merupakan kelainan yang berhubungan dengan lingkungan dan genetik yang diturunkan secara resesif autosomal serta 5
sering dikaitkan dengan Sindrom VACTERL (anomali vertebrata, Anorektal, Trakeal, Cardio, Esophageal, Renal, Limb) yang memiliki keterkaitan dasar genetik. Menurut penelitian beberapa ahli, penyebab atresia ani karena keterkaitannya dengan gen autosomal masih jarang terjadi. Orang tua yang mempunyai gen karier penyakit ini mempunyai peluang sekitar 25% untuk diturunkan pada anaknya saat kehamilan. 30% anak yang mempunyai sindrom genetik, kelainan kromosom atau kelainan kongenital lain juga beresiko untuk menderita atresia ani. Sedangkan kelainan bawaan rektum terjadi karena gangguan pemisahan kloaka menjadi rektum dan sinus urogenital sehingga biasanya disertai dengan gangguan perkembangan septum urorektal yang memisahkannya.4 II.4 Patofisiologi Anus
dan
rektum
berasal
dari
embriologi
yang
di
sebut kloaka.Pertumbuhan ke dalam sebelah lateral bangunan ini membentuk septum urorektum yang memisahkan rektum di sebelah dorsal dari saluran kencing di sebelah vintal.Kedua sistem ( rectum dan saluran kencing ) menjadi terpisah sempurna pada umur kandungan minggu ke 7,pada saat yang sama, bagian
urogenital
yang
berasal
dari kloaka sudah
mempunyai
lubang
eksternal,sedangkan bagian anus tertutup oleh membran yang baru terbuka pada kehamilan minggu ke 8. Malformasi anorektal terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional. Kelainan dalam perkembangan proses-proses
ini
pada
berbagai
stase
menimbulkan
suatu
spektrum
anomaly,kebanyakan mengenai saluran usus bawah dan bangunan genitourinaria dan bagian rektum kloaka menumbulkan fistula.5 Malformasi anorektal terjadi akibat kegagalan penurunan septum anorektal pada kehidupan embrional. Manifestasi klinis di akibatkan adanya obstruksi dan adanya fistula. Obstruksi ini mengakibatkan distensi abdomen, sekuestrasi cairan, muntah dengan segala akibatnya. Apabila urin mengalir melalui fistel menuju rektum, maka urin akan diabsorsi sehingga terjadi asidosis hipperchloremia,
sebaliknya
feses
mengalir
ke
arah
truktus
urinarius
menyebabkan infeksi berulang. Keadaan ini biasanya akan terbentuk fistula antara
6
rektum dengan organ sekitarnya. Pada wanita 90 % dengan fistula ke vagina (revtovagina) atau perineum.3 II.5 Klasifikasi Klasifikasi Malformasi Anorektal menurut Levit dan Pena 2
Pria
Wanita
Fistula perineum
Fistula perineum
Fistula rektouretra
Fistula vestibular
Bulbar
Kloaka persisten
Prostatik
≤ 3 cm saluran umum
Fistula leher rektobladder
>3cm saluran umum
Anus imperforata tanpa fistula
Anus imperforata tanpa fistula
Atresia rektum
Atresia rektum
Defek kompleks
Defek kompleks
Malformasi Anorektal pada laki-laki
1.
3
Perineal Fistula, Adanya fistula pada perineum.
Bucket handle : atau disebut gagang ember yaitu daerah lokasi anus normal tertutup kulit yang berbentuk gagang ember. Evakuasi feses tidak ada.
7
2.
Rectourethral fistula a. Bulbar
b. Prostatic
3. Bladder-neck fistula
4. No fistula : rektum buntu. Tidak ada evakuasi feses.
8
Malformasi Anorektal pada perempuan
1.
3
Perineal fistula : terdapat lubang antara vulva dan tempat dimana lokasi anus normal.
2.
Rectovestibuler fistula : muara fistel di vulva dibawah vagina. Umumnya evakuasi feses lancar selama penderita hanya minum susu. Evakuasi mulai terhambat saat penderita mulai makan makanan padat
3.
Vagina fistula : mekonium tampak keluar dari vagina. Evakuasi feses bisa tidak lancar. a. Low
b. high
9
4.
Kloaka : pemisahan antara traktus urinarius, traktus genitalia dan traktus digestivus tidak terjadi. Evakuasi feses umumnya tidak sempurna sehingga perlu cepat dilakukan kolostomi.
5.
Rectal atresia : kelainan dimana anus tampak normal, tetapi pada pemeriksaan colok dubur jari tidak dapat masuk lebih dari 1 -2 cm.
6.
Hidrocolpos : Hidrocolpos adalah distensi vagina yang disebabkan oleh akumulasi cairan akibat obstruksi vagina bawaan
10
Beberapa jenis kelainan yang sering ditemukan bersamaan dengan malformasi anorektal adalah:5 1. Kelainan kardiovaskuler Ditemukan pada sepertiga pasien dengan anus imperforata. Jenis kelainan yang paling banyak ditemui adalah atrial septal defect dan paten ductus arteriosus, diikuti oleh tetralogi of fallot dan vebtrikular septal defect. 2. Kelainan gastrointestinal Kelainan yang ditemui berupa kelainan trakeoesofageal (10%), obstruksi duodenum (1%-2%) 3. Kelainan tulang belakang dan medulla spinalis Kelainan tulang belakang yang sering ditemukan adalah kelainan lumbosakral seperti hemivertebrae, skoliosis, butterfly vertebrae, dan hemisacrum. Sedangkan kelainan spinal yang sering ditemukan adalah myelomeningocele, meningocele, dan teratoma intraspinal. 4. Kelainan traktus genitourinarius Kelainan traktus urogenital kongenital paling banyak ditemukan pada malformasi anorektal. Beberapa penelitian menunjukkan insiden kelainan urogeital dengan malformasi anorektal letak tinggi antara 50 % sampai 60%, dengan malformasi anorektal letak rendah 15% sampai 20%.
11
II.6 Diagnostik
Gambar 3: Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus
laki-laki2
Selama 24 jam pertama, bayi baru lahir hendaknya menerima cairan intravena, antibiotik, dan dekompresi nasogastrik untuk mencegah aspirasi. Klinisi perlu menggunakan waktu ini untuk mengevaluasi adanya defek yang terkait seperti malformasi jantung, atresi aesofagus dan masalah urologik. Sebuah ekokardiogam perlu dilakukakn, dan bayi hendaknya diperiksa bila ada atresia esofagus. Radiografi polos pada spinal lumbar dan sakrum perlu diambil untuk mengevaluasi anomali hemovertebra dan sakrum. Ultrasonografi spinal membantu menyaring untuk tethered cord dan masalah spinal lainnya. Ultrasonografi abdomen memeriksa adanya hidronefrosis.2,5 Jika bayi mempunyai tanda-tanda fistula perineum, anoplasti bisa dilakukan tanpa kolostomi protektif selama masa bayi baru lahir. Jika bayi masih
12
sakit karena masalah terkait lainnya, masih amat prematur atau jika klinisi memilih untuk menunggu hingga bayi sedikit lebih tua, maka fistula bisa didilatasikan dengan lembut. Perbaikan pada kasus semacam ini hendaknya tidak ditunda hingga lebih dari beberapa bulan. Setelah 24 jam, jika mekonium belum terlihat di perineum atau di urin, maka perlu dilakukan pemeriksaan x-ray lateral cross table dengan bayi berada pada posisi pronasi. Jika udara di rektum berlokasi di bawah koksigeus dan bayi berada dalam kondisi bagus tanpa defek lain yang signifikan, tergantung pada pengalaman ahli bedah, operasi sagital posterior tanpa kolostomi protektif bisa dipertimbangkan. Alternatif yang lebih konservatif akan mempertimbangkan kolostomi, dengan perbaikan definitif direncanakan sebagai tahap kedua. Jika udara rektum terlihat di atas koksigeus atau pasien mempunyai mekonium di urinnya, defek terkait yang signifikan, dan/ atau sakrum abnormal atau pantat datar, kolostomi direkomendasikan dengan menunda perbaikan utama untuk operasi berikutnya. Tindakan ini bisa dilakukan 2 hingga 3 bulan kemudian, setelah kolostogram distal yang menggambarkan anatomi telah dilakukan dan karena bayi telah mencapai berat badan yang normal.5 Manfaat potensial dari operasi awal mesti diperhitungkan melawan kemungkinan yang merugikan dari ahli bedah yang belum terbiasa dengan struktur anatomi panggul bayi. kolostomi
protektif
mesti
Tren untuk memperbaiki defek
diseimbangkan
melawan
ini tanpa
pertimbangan
bahwa
perbaikan tanpa kolostomi harus dilakukan dengan presisi anatomis menurut tipe defek anorektal pasien yang spesifik. Komplikasi yang paling membahayakan terlihat pada pasien yang dioperasi tanpa kolostomi, terjadi pada pasien dimana ahli bedah tidak melakukan kolostogram distal preoperatif. Sementara mencari rektum, ahli bedah mungkin menemukan secara tidak sengaja kerusakan uretra, ektopik ureter, leher kandung kemih, vas deferen, atau vesikula seminalis. 2
13
Gambar 4: Algoritma penatalaksanaan malformasi anorektal pada neonatus
perempuan 2
Seperti pada pria, langkah paling penting pada diganosis dan pengambilan keputusan ialah inspeksi perineum. Pada 24 jam pertama perlu digunakan pula untuk menyingkirkan defek terkait lain yang serius. Inspeksi perineum bisa meneukan adanya orifisium perineum soliter. Temuan ini menyokong diagnosis sebuah kloaka. Klinisi hendaknya mengetahui bahwa pasien itu mempunyai kemungkinan besar untuk defek urologik. Adanya hidrokolpos hendaknya disingkirkan dengan ultrasonografi. 5
II.7 penatalaksanaan Penatalaksanaan atresia ani tergantung klasifikasinya. Pada atresia ani letak tinggi harus dilakukan kolostomi terlebih dahulu. Pada beberapa waktu lalu penanganan atresia ani menggunakan prosedur abdominoperineal pullthrough, tapi metode ini banyak menimbulkan inkontinent feses dan prolaps mukosa usus yang lebih tinggi. Pena dan defries pada tahun 1982 memperkenalkan metode
14
operasi dengan pendekatan postero sagital anorectoplasty, yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rectum dan pemotongan fistel. 5,8
Keberhasilan penatalaksanaan atresia ani dinilai dari fungsinya secara jangka panjang, meliputi anatomisnya, fungsi fisiologisnya, bentuk kosmetik serta antisipasi trauma psikis. Sebagai hasilnya adalah defekasi secara teratur dan konsistensinya baik. Untuk menangani secara tepat, harus ditentukan ketinggian
15
akhiran rectum yang dapat ditentukan dengan berbagai cara antara lain dengan pemeriksaan fisik, radiologis dan USG.6
Tatalaksana Post-Operatif pada Kasus Malformasi Anorektal
2,5
Perawatan Pasca Operasi PSARP a. Antibiotik intra vena diberikan selama 3 hari ,salep antibiotik diberikan selama 8- 10 hari. b. 2 minggu pasca operasi dilakukan anal dilatasi dengan heger dilatation, 2 kali sehari dan Tiap minggu dilakukan anal dilatasi dengan anal dilator yang dinaikan sampai mencapai ukuran yang sesuai dengan umurnya. Businasi dihentikan bila busi nomor 13-14 mudah masuk. UMUR
UKURAN
1 - 4 bulan
#12
4 - 12 bulan
#13
8 - 12 bulan
#14
1 - 3 tahun
#15
3 - 12 tahun
#16
> 12 tahun
#17
Frekuensi
Dilatasi
tiap 1 hari
1x dalam satu bulan
tiap 3 hari
1x dalam satu bulan
tiap 1 minggu
2x dalam satu bulan
tiap 1 minggu
1x dalam satu bulan
tiap 1 bulan
1x dalam tiga bulan
16
Kalibrasi anus tercapai dan orang tua mengatakan mudah mengejan serta tidak ada rasa nyeri bila dilakukan 2 kali sehari selama 3-4 minggu merupakan indikasi tutup kolostomi, secara bertahap frekuensi diturunkan. Pada kasus fistula rektouretral, kateter foley dipasang hingga 5-7 hari. Sedangkan pada kasus kloaka persisten, kateter foley dipasang hingga 10-14 hari. Drainase suprapubik diindikasikan pada pasien persisten kloaka dengan saluran lebih dari 3 cm. Antibiotik intravena diberikan selama 2-3 hari, dan antibiotik topikal berupa salep dapat digunakan pada luka. Dilatasi anus dimulai 2 minggu setelah operasi. Untuk pertama kali dilakukan oleh ahli bedah, kemudian dilatasi dua kali sehari dilakukan oleh petugas kesehatan ataupun keluarga. Setiap minggu lebar dilator ditambah 1 mm tercapai ukuran yang diinginkan. Dilatasi harus dilanjutkan dua kali sehari sampai dilator dapat lewat dengan mudah. Kemudian dilatasi dilakukan sekali sehari selama sebulan diikuti dengan dua kali seminggu pada bulan berikutnya, sekali seminggu dalam 1 bulan kemudian dan terakhir sekali sebulan selama tiga bulan. Setelah ukuran yang diinginkan tercapai, dilakukan penutupan kolostomi. 2 Komplikasi yang terjadi pasca operasi banyak disebabkan oleh karena kegagalan menentukan letak kolostomi, persiapan operasi yang tidak adekuat, keterbatasan pengetahuan anatomi, serta ketrampilan operator yang kurang serta perawatan post operasi yang buruk dan konstipasi. Dari berbagai klasifikasi penatalaksanaannya berbeda tergantung pada letak ketinggian akhiran rektum dan ada tidaknya fistula.
II.9 Prognosis Prognosis
bergantung
dari
fungsi
klinis.
Dengan
khusus
dinilai
pengendalian defekasi, Sensibilitas rektum dan kekuatan kontraksi otot sfingter pada colok dubur. Fungsi kontineia tidak hanya bergantung pada kekuatan sfingter atau ensibilitasnya, tetapi juga bergantung pada usia serta kooperasi dan keadaan mental penderita Hasil operasi atresia ani meningkat dengan signifikan sejak ditemukannya metode PSARP
17
BAB III LAPORAN KASUS
I.
IDENTITAS PASIEN
Nama
: An. O.L
Umur
: 1 tahun
Jenis kelamin
: laki-laki
Suku/bangsa
: minahasa/ Indonesia
Alamat
: Bahu lingkungan VII
Agama
: Kristen
Tanggal MRS
: 9/9/2013
II. ANAMNESIS
Alloanamnesis dengan orang tua penderita tanggal 13 September 2013 pukul 12.00 WITA
Keluhan Utama (alloanamnesis)
Melanjutkan operasi penutupan stoma
Keluhan penyerta
Demam (-), mual (-), muntah (-), kembung (-)
Riwayat Perjalanan Penyakit
± 2 tahun sebelum masuk rumah sakit pasien lahir spontan dari seorang ibu G2P2A0 36 tahun hamil aterm, di rumah. Ditolong oleh biang kampung, pasien lahir cukup bulan dengan berat badan 3400 gram, langsung menangis, tidak biru-biru. Pasien belum BAB 2 hari setelah lahir. Pasien diketahui tidak memiliki lubang anus 2 hari kemudian, kembung (+), muntah (-), riwayat kencing berwarna keruh (-) lalu pasien dibawa ke Puskesmas lalu dirujuk ke RSUP Prof. Kandou dan dibuat anus di dinding perut (kolostomi) pada Oktober 2011. BAB keluar melalui lubang di dinding anus, lancar. Pasien dibawa ke RSUP Prof.Kandou pada bulan September 2012 untuk operasi pembuatan anus, kontrol teratur ke poliklinik untuk
18
pemasangan busi. Saat ini pasien dibawa ke RSUP Prof. Kandou untuk operasi penutupan Stoma
Riwayat operasi
Oktober 2011
: kolostomi + pasang stoma
September 2012 : PSARP September 2013 : tutup Stoma
Riwayat Ante Natal Care
ibu pasien rutin melakukan pemeriksaan ANC
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit dan keluhan serupa.
Riwayat Sosial Ekonomi
Ayah pasien bekerja sebagai petani, ibu sebagai ibu rumah tangga. Biaya pengobatan ditanggung oleh jamkesmas. Kesan : sosial ekonomi kurang.
III. PEMERIKSAAN FISIK Status Generalis
Keadaan umum
: sedang
Kesadaran
: compos mentis
Berat badan
: 3400 gram
Heart rate
: 112 kali/menit
Pernapasan
: 32 kali/menit
Suhu
: 370C
Kepala
:Mata
: Exophtalmus / Enophtalmus : -/-
Tekanan Bola Mata : normal pada perabaan Konjungtiva : anemis (+) Sklera : ikterik -/Thorax
: bentuk : normal Paru-paru: Inspeksi
: simetris
19
Palpasi
: stem fremitus kanan = kiri
Perkusi
: sonor kanan = kiri
Auskultasi
: Sp.Bronkovesikuler, Rhonki -/-
,wheezing -/Abdomen:
inspeksi
: cembung, DC (-), Darm Steifung (-), stoma terawat + viable, warna kemerahan, feses (+)
Auskultasi
: bising usus (+) meningkat
Palpasi
: distensi (+), nyeri tekan (-)
Perkusi
: timpani
Genitalis
: laki-laki
Anggota gerak
: hangat, capillary refill time 2”
Tulang
: deformitas (-)
Status lokalis
: inspeksi
: regio anal lubang anus (+), fistel (-), flat
bottom (+) Foto klinis Oktober 2011
Foto Klinis (17/09/2013)
20
IV.
PEMERIKSAAN PENUNJANG Pemeriksaan Laboratorium (27/8/2013)
Leukosit
: 8800 /mm 3
Eritrosit
: 4,57.106/mm3
Hemoglobin
: 12,4 g/dL
Hematokrit
: 36,3 %
Trombosit
: 383.000/mm3
CT
: 8 menit
BT
: 2 menit
Protein total
: 6,2 g/dL
GDS
: 38 mg/dL
Albumin
: 4,2 g/dL
Globulin
: 2,0 g/dL
Na
: 143 mmol/L
K
: 3,64 mmol/L
Cl
: 108,3 mmol/L
Diagnosis
Atresia ani tanpa fistula letak tinggi post kolostomi 2 tahun yang lalu post PSARP 1 tahun yang lalu Follow up 12-16 September 2013
S
:-
O
: regio abdominal : tampak stoma terawat + viable, warna kemerahan, feses (+), darah (-), passase lancar
A
: Post PSARP + kolostomi ec atresia ani
P
: Rencana tutup Stoma Ceftriaksone 2 x 250 mg iv Ranitidin 2x1/2 amp iv
21
Pemeriksaan Laboratorium (11/9/2013)
Leukosit
: 8800 /mm 3
Eritrosit
: 4,63.106/mm3
Hemoglobin
: 13,0 g/dL
Hematokrit
: 37,2 %
Trombosit
: 339.000/mm3
CT
: 7 menit
BT
: 2 menit
Ureum
: 17 mg/dL
Creatinin
: 0,3 mg/dL
GDS
: 73 mg/dL
Na
: 143 mmol/L
K
: 4,82 mmol/L
Cl
: 107,3 mmol/L
Foto abdomen
22
Laporan operasi Operasi dilakukan tanggal 17 September 2013 jam 09. 00-13.00 lama operasi berlangsung 4 jam. -
Pasien terlentang dengan general anestesi
-
Asepsis dan antisepsis lapangan operasi
-
Jahit stoma
-
Insisi transversa intraumbilikal dan melingkar. Stoma dibebaskan sampai peritoneum
-
Peritoneum dibuka
-
Dilakukan identifikasi stoma proksimal dan distal
-
Dilakukan reseksi anastomosis
-
Kontrol perdarahan
-
Tutup operasi lapis demi lapis
-
Operasi selesai
Instruksi Post operasi -
Cefrtiaxone 2 x 500 mg iv
-
Ranitidin 2 x ½ amp iv
-
Ketorolac 3 x ½ amp iv
-
Transfusi PRC 100 cc
-
Cek Hb setelah transfusi
Pemeriksaan Laboratorium (18/9/2013)
Leukosit
: 16.400/mm3
Eritrosit
: 3,54.106/mm3
Hemoglobin
: 10,5 g/dL
Hematokrit
: 29,5 %
Trombosit
: 210.000/mm3
GDS
: 40 mg/dL
Na
: 152 mmol/L
K
: 5,01 mmol/L
Cl
: 121,0 mmol/L
Ca
: 8,20 mg/dL
23
Follow up 18/9/2013
S
:-
O
: Regio abdomen : Inspeksi
: tampak luka operasi terawat Kembung (-)
Auskultasi : Bising usus (+) Normal Palpasi
: Lemas
Perkusi
: timpani
A
: post tutup stoma et causa colostomi et causa atresia ani
P
: -
O2
-
Ceftriaxone 2 x 500 mg iv
-
Ranitidin 3 x ½ amp
-
Ketorolac 3 x ½ amp
Follow up 19,20, 21,22 September 2013
S
:-
O
: kembung (-), BAB (+) Inspeksi
: datar, luka operasi terawat
Auskultasi
: Bising usus + Normal
Palpasi
: Lemas
Perkusi
: timpani
A
: post tutup stoma et causa colostomi et causa atresia ani
P
: - Rawat Luka - IVFD KAEN 3B - Ceftriaxone 2 x 500 mg iv - Ranitidin 3 x ½ amp - Ketorolac 3 x ½ amp - Metronidazole 3 x 500 mg drip - Cek DL
24
Follow up 23, 24, 25 September 2013
S
: demam (+), mual (-), BAB (+)
O
: Kembung (-), BAB (+) T : 100/60
N : 100 Sb: 38,1 0C
R : 24 Inspeksi
: datar, luka operasi terawat
Auskultasi
: Bising usus (+) Normal
Palpasi
: Lemas
Perkusi
: timpani
A
: post tutup stoma et causa colostomi et causa atresia ani
P
: - Rawat Luka - IVFD KAEN 3B - Ceftriaxone 2 x 500 mg iv - Ranitidin 3 x ½ amp - Ketorolac 3 x ½ amp - Metronidazole 3 x 500 mg drip
Pemeriksaan Laboratorium (23/9/2013)
Leukosit
: 15.400/mm3
Eritrosit
: 1,94.106/mm3
Hemoglobin
: 5,7 g/dL
Hematokrit
: 17,1 %
Trombosit
: 105.000/mm3
BT
: 2 menit
CT
: 8 menit
GDS
: 116 mg/dL
Creatinin
: 1,7 mg/dL
Ureum
: 88 mg/dL
SGOT
: 166 u/L
SGPT
: 2429 u/L
Na
: 141 mmol/L
K
: 3,62 mmol/L
Cl
: 115,9 mmol/L
25
Pemeriksaan Laboratorium (25/9/2013)
Leukosit
: 15.500/mm3
Eritrosit
: 2,74.106/mm3
Hemoglobin
: 8,0 g/dL
Hematokrit
: 24,2 %
Trombosit
: 130.000/mm3
Follow Up 26, 27 September 2013
S
:-
O
: Regio abdomen : Inspeksi
: tampak luka operasi terawat Kembung (-)
Auskultasi : Bising usus (+) Normal Palpasi
: Lemas
Perkusi
: timpani
A
: post tutup stoma et causa colostomi et causa atresia ani
P
: - IVFD KAEN 3B -
Ceftriaxone 2 x 500 mg iv
-
Metronidazole 3 x 250 mg drip
Pemeriksaan Laboratorium (27/9/2013)
-
Leukosit
: 21.400 /mm 3
-
Eritrosit
: 3,22.106/mm3
-
Hemoglobin : 9,9 g/dL
-
Hematokrit
: 28,2 %
-
Trombosit
: 135.000/mm3
26
Follow Up 28 September 2013
S
:-
O
: Regio abdomen : Inspeksi
: tampak luka operasi terawat Kembung (-)
Auskultasi : Bising usus + Normal
A P
Palpasi
: Lemas
Perkusi
: timpani
: post tutup stoma et causa colonostomi et causa atresia ani : - AFF Infus (Hb : 9,9) -
Cefadroksil syrup 2 x 250 mg
-
Paracetamol syrup 3 x 1 sendok teh
27
BAB IV PEMBAHASAN
Diagnosis atresia ani ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Atresia ani atau anus impeforata disebut sebagai malformasi anorectal atau anomaly anorectal, merupakan kelainan bawaan (kongenital) yang ditandai dengan tidak terdapatnya lubang anus atau kurang lengkapnya pembukaan anus, baik lokasi maupun ukuran yang normal. Atresia berasal dari bahasa yunani, “a” artinya tidak ada, “trepis” artinya nutrisi atau makanan. Dalam istilah kedokteran atresia adalah keadaan tidak adanya atau tertutupnya lubang badan normal atau organ tubular secara kongenital. 2 Pada anamnesis didapatkan penderita Tidak memiliki lubang anus yang dialami penderita sejak lahir pada 12 Oktober 2011. Sesuai dengan kepustakaan yang menyatakan bahwa Malformasi anorektal merupakan salah satu anomali bawaan yang paling umum terjadi pada bayi baru lahir. Sebelumnya penderita tidak memiliki riwayat keluar mekonium dari saluran kencing dan perut kembung pada hari setelah lahir. Anamnesis ini penting untuk mendiagnosis suatu malformasi anorektal, dimana kepustakaan menjelaskan bahwa jika mekonium tampak diperineum, ini merupakan bukti adanya fistula rektoperineal. Jika mekonium tampak diurin, maka diagnosis fistula rektouretra menjadi jelas. Riwayat demam (-). Penderita dibawa ke Puskesmas untuk berobat, kemudian penderita dirujuk ke RSUP Prof.Dr.Kandou Malalayang dan dianjurkan untuk dilakukannya pembuatan lubang pada perut bagian kiri sebagai saluran pembuangan kotoran sementara. Tindakan tersebut disebut Kolostomi, tindakan ini biasanya dilakukan sebagai tahap pertama pada bayi baru lahir dengan anomali tinggi.3 Pemeriksaan fisik juga mendukung untuk menegakkan diagnosis. Pertama pemeriksa harus melakukan inspeksi menyeluruh terhadap perineum, dimana biasanya ditemukan petunjuk yang paling penting tentang jenis malformasi pada pasien. Hal ini penting untuk tidak langsung membuat keputusan untuk tindakan
28
kolostomi atau operasi utama sebelum 20 sampai 24 jam pertama kelahiran. Alasan untuk menunggu adalah bahwa secara signifikan tekanan intraluminal diperlukan mengisi mekonium melalui fistula, yang merupakan tanda yang paling penting dari lokasi rektum distal pada bayi tersebut.5 Untuk melakukan tindakan kolostomi perlu dipertimbangkan pemeriksaan foto x-ray lateral cross table dengan bayi berada pada posisi pronasi. namun sebelum itu perlu diketahui, evaluasi radiologis tidak selalu menunjukkan anatomi nyata sebelum 24 jam karena rektum tertutup oleh otot dari sfingter yang melingkar di bagian bawahnya. oleh karena itu evaluasi radiologis dilakukan setelah 24 jam akan mungkin memperlihatkan "rektum letak tinggi" dan akan menghasilkan diagnosis palsu. Pemeriksaan penunjang pada kasus ini adalah xfoto knee chest position yang dilakukan lewat dari 24 jam, dimana didapatkan hasil tampak udara berkumpul di bagian paling distal, sehingga dapat didiagnosis sebagai malformasi letak tinggi.8 Dengan pertimbangan keadaan bayi yang normal dan didukung oleh pemeriksaan echocardiografi, maka penanganan lanjut untuk pasien ini pada September 2012 adalah tindakan PSARP (Posterior Sagital Anorektoplasty) yaitu dengan cara membelah muskulus sfingter eksternus dan muskulus levator ani untuk memudahkan mobilisasi kantong rectum dan pemotongan fistel. 8 Dengan pertimbangan keadaan anak yang normal maka penanganan lanjut setelah dilakukannya PSARP adalah operasi tutup stoma yang dilaksanakan pada September 2013. Sesuai dengan kepustakaan yang mengatakan bahwa indikasi tutup stoma dilakukan apabila ukuran dari saluran pencernaan bagian bawah yang diinginkan tercapai atau kalibrasi anus telah tercapai yaitu orang tua mengatakan mudah mengedan serta tidak ada rasa nyeri pada saat kalibrasi yang dilakukan 2x selama 3-4 minggu. Pada pasien ini, lubang anus sudah terlihat normal. Pada perawatan postoperatif, pasien sudah bisa buang air besar dengan normal setelah operasi tutup stoma. Hal ini menandakan bahwa komplikasi berupa konstipasi yang sering terjadi pada pasien dengan malformasi anorektal letak tinggi tidak terjadi pada pasien ini.
29