STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI KITIN DAN KITOSAN DI INDONESIA
DENA SISMARAINI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
PERNYATAAN MENGENAI THESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA*
Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Strategi Pengembangan Industri Kitin dan Kitosan di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. pun. Sumber informasi informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir t hesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Desember 2015 Dena Sismaraini NIM F351137061 F351137061
RINGKASAN
DENA SISMARAINI. Strategi Pengembangan Industri Kitin dan Kitosan di Indonesia. Dibimbing oleh NASTITI SISWI INDRASTI dan SUPRIHATIN. Industri kitin dan kitosan adalah industri yang memproduksi kitin dan kitosan yaitu sumber polimer terbarukan yang berasal dari cangkang Crustaceae. Potensi pengembangan industri kitin dan kitosan didukung oleh kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumber daya perikanan khususnya udang dan memiliki banyak industri pengolahan udang yang dalam proses produksinya akan menghasilkan produk samping berupa cangkang, ekor dan kepala udang. Persebaran industri pengolahan udang di Indonesia mengindikasikan tingginya persebaran produk samping yang merupakan bahan baku utama industri kitin dan kitosan. Hal ini tentu menjadi peluang tumbuhnya industri kitin dan kitosan di banyak daerah di Indonesia, walaupun pada kenyataannya industri belum banyak tumbuh dan industri eksisting hanya tersentralisasi di Pulau Jawa. Melihat kondisi tersebut, maka dilakukan penelitian untuk mengetahui karakteristik salah satu industri kitin dan kitosan yang merupakan leading industry di Indonesia , mengetahui faktor internal dan eksternal terkait industri kitin dan kitosan dan pada akhirnya memformulasikan strategi untuk mengembangkan industri kitin dan kitosan berdasarkan identifikasi karakteristik, faktor internal dan faktor eksternal yang diketahui. Terdapat beberapa tahapan metode penelitian yang dilakukan berdasarkan wawancara mendalam kepada beberapa responden. Hasil wawancara berupa data kualitatif dan kuantitatif dianalisis menggunakan 4 teknik yang saling terintegrasi yaitu analisis matriks evaluasi faktor internal (IFE) dan eksternal (EFE), analisis matriks internal dan eksternal (IE), analisis matriks Strengths, Weaknesses, Opportunities and Threats (SWOT) dan penetapan strategi dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Hasil analisis matriks IE menentukan strategi berdasarkan posisi industri yang kemudian dibandingkan dengan hasil penetapan strategi dengan AHP sehingga dapat diformulasikan strategi yang tepat bagi industri kitin dan kitosan. Hasil penelitian menunjukkan industri kitin dan kitosan merupakan industri yang menghasilkan produk biopolimer seperti kitin dan kitosan yang tergolong pada produk antara (intermediate) dengan segmen pasar yaitu ekspor untuk industri pengguna. Pengembangan industri kitin dan kitosan di Indonesia dipengaruhi beberapa faktor internal yaitu penerapan kontrol kualitas produk yang selalu dipertahankan dan penerapan efisiensi biaya produksi yang belum terlaksana dengan baik, serta faktor eksternal yaitu potensi pasar ekspor yang perlu dimanfaatkan dan persaingan penjualan dengan negara lain yang perlu diantisipasi. Diperlukan tiga alternatif strategi pengembangan bagi industri kitin dan kitosan yaitu, meningkatkan pemasaran produknya dengan pemilihan target pasar internasional, mengembangkan akuisisi atau joint ventures internasional, dan menguatkan bisnis melalui penguatan kolaborasi antar pemangku kepentingan terkait.
Kata kunci: Industri, Kitin dan Kitosan, Pengembangan, Strategi, Udang
SUMMARY
EMILIA FATMAWATI. The Development Strategy for Chitin and Chitosan Industry in Indonesia. Supervised by NASTITI SISWI INDRASTI and SUPRIHATIN. Chitin and chitosan industry is an industry that produce chitin and chitosan which are known as renewable source of Crustacean shell based polymer. The development of this industry is supported by Indonesia’s characteristic as an islands country that rich of fisheries resources especially shrimp and also having many shrimp processing industry that generates by products such as shrimp shells, tails and heads. The spreading of shrimp processing industries in almost all islands in Indonesia indicates the spreading of its by products which are utilized as main raw material for chitin and chitosan industry. This condition becomes the opportunity for the growth of chitin and chitosan industry in many areas in Indonesia, in fact, the industry have not growing fast and the existing industries are still centralized in Java Island. Then, research was conducted to find out the problem by analyzing characteristic of chitin and chitosan industry based on the case study in one leading industry for chitin and chitosan industry in Indonesia, to analyse internal and external factors related to chitin and chitosan industry and at the end to formulate the strategy to develop chitin and chitosan industry based on identification of characteristic and also its internal and external factors. Several research methods was conducted. Qualitative and quantitative data were collected through in-depth interview to respondents, and then analyzed by 4 integrated methods: Internal Factor Evaluation (IFE) and External Factor Evaluation (EFE) analysis, Internal External (IE) analysis, SWOT analysis and strategy selection by AHP method. The results of IE analysis determined the suit strategy based on industry position and then compared to the results of strategy selection by AHP so the best strategy can be formulated. The results of this research shows that chitin and chitosan industry is industry that is producing bioplymer products such as chitin and chitosan, kind of intermediate products with export for industrial use as its market segment. The development of chitin and chitosan industry is influenced by several internal factors such as quality control implementation and inefficiency production cost, and also external factors such as the potency of export market and competition with other foreign industry. There are three recommendation alternative strategies for chitin and chitosan industry, which are accelerating product marketing with international market as main target, development of acquisition and joint ventures, and the last is business strengthening by collaboration among related stakeholders to guarantee raw material supply and increase promotion. Keywords: Chitin and chitosan, development, industry, shrimp, strategy
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
STRATEGI PENGEMBANGAN INDUSTRI KITIN DAN KITOSAN DI INDONESIA
DENA SISMARAINI
Tesis sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Teknologi Industri Pertanian
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji pada Ujian Tertutup: Prof. Dr. Ono Suparno, S.TP., M.T.
Judul Tesis : Strategi Pengembangan Industri Kitin dan Kitosan di Indonesia Nama : Dena Sismaraini NIM : F351137061
Disetujui oleh Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Nastiti S. Indrasti Ketua
Prof. Dr. Ir. Suprihatin Anggota
Diketahui oleh
Ketua Program Studi Teknologi Industri Pertanian
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Machfud, MS
Dr Ir Dahrul Syah, MScAgr
Tanggal Ujian: 27 November 2015
Tanggal Lulus:
PRAKATA
Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian ialah strategi pengembangan industri, dengan judul Strategi Pengembangan Industri Kitin dan Kitosan di I ndonesia. Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Nastiti S. Indrasti dan Prof. Dr. Ir. Suprihatin selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada Bapak Eka Linggadjaja, Ibu Linawati Hardjito, Ibu Pipih Suptijah, Bapak Yapisman, serta Bapak Jef Rinaldi, yang telah membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada suami, Fadel, mama, papa, teteh serta seluruh keluarga, atas segala dukungan, motivasi dan doa yang terus diberikan. Tidak lupa penulis ingin mengucapkan terima kasih Pusdiklat Kementerian Perindustrian atas beasiswa yang diberikan serta kepada semua teman program Double Degree Kementerian Perindustrian atas pengalaman-pengalaman berharga yang tidak dapat penulis lupakan. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat.
Bogor, Desember 2015 Dena Sismaraini
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL DAFTAR GAMBAR DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Penelitian Manfaat Penelitian Ruang Lingkup Penelitian 2 TINJAUAN PUSTAKA Kitin dan Kitosan Karakteristik Sumber Proses Produksi Kitin dan Kitosan Produk Aplikasi Strategi Pengembangan Agroindustri Penyusunan Perencanaan Strategis 3 METODE PENELITIAN Kerangka Pemikiran Penelitian Lokasi dan Waktu Penelitian Teknik Pengumpulan Data Analisis Strategi Pengembangan Industri 4 HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Udang di Indonesia Industri Kitin dan Kitosan di Indonesia Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman Analisis Matriks IFE Analisis Matriks EFE Analisis Matriks IE Analisis Matriks SWOT Analisis Pemilihan Alternatif Strategi Formulasi Strategi Pengembangan Industri Kitin dan Kitosan Implikasi Praktis 5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran DAFTAR PUSTAKA Lampiran
i ii ii iii 1 1 2 3 3 3 4 4 4 6 7 7 8 10 14 14 15 15 16 22 22 24 27 33 34 35 36 41 46 48 49 49 49 50 52
ii DAFTAR TABEL
Tabel 1 Tabel 2 Tabel 3 Tabel 4 Tabel 5 Tabel 6 Tabel 7 Tabel 8 Tabel 9 Tabel 10 Tabel 11 Tabel 12 Tabel 13 Tabel 14 Tabel 15 Tabel 16 Tabel 17
Karakteristik Fisikokimia Kitosan Alasan Ilmiah Pemanfaatan Kitin dan Kitosan pada Berbagai Aplikasi Data Responden Penilaian Bobot Faktor Strategis dengan Metode Matriks Perbandingan Berpasangan Matriks Evaluasi Faktor Strategis Eksternal Matriks Evaluasi Faktor Strategis Internal Skala Perbandingan pada AHP (Marimin 2013) Total dan Volume Ekspor dan Impor Cangkang Udang Nilai Ekspor Produk (HS 3913909000) Konsumsi Kitosan Dunia Berdasarkan Aplikasi (t), 2010, 2015 Faktor Strategis Internal Industri Kitin dan Kitosan Faktor Strategis Internal Industri Kitin dan Kitosan Matriks SWOT Alternatif Strategi Pengembangan Industri Kitin dan Kitosan Nilai Eigen Kriteria untuk Pemillihan Strategi Nilai Eigen Aktor untuk Pemilihan Strategi Nilai Eigen Tujuan untuk Pemilihan Strategi Hasil Penilaian Hirarki Level 4 (Alternatif Strategi)
5 9 16 17 18 19 20 23 24 30 34 35 40 44 45 46
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 Gambar 2 Gambar 3 Gambar 4 Gambar 5 Gambar 6 Gambar 7 Gambar 8 Gambar 9 Gambar 10 Gambar 11 Gambar 12 Gambar 13
Cangkang Udang Cangkang Kepiting Contoh Matriks Internal Eksternal (IE) (Rangkuti 2014) Contoh Matriks SWOT (Rangkuti 2014) Alur Proses Pelaksanaan Penelitian Pengembangan Produk Berbasis Udang Pohon Industri Udang Produk Anti Jamur dari Kitin dan Kitosan Produk Bahan Tambahan Makanan dari Kitin dan Kitosan Berbagai Produk Kecantikan dari Kitin dan Kitosan Hasil Analisa Matriks IE Hierarki Pemilihan Strategi Tampilan Hirarki AHP Strategi Pengembangan Industri Kitin dan Kitosan (Expert Choice 2000) Gambar 14 Hierarki Proses Penentuan St rategi Pengembangan Industri Kitin dan Kitosan
6 6 11 12 14 23 24 25 26 26 36 41 43 48
iii
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Contoh Perhitungan Faktor Strategis Internal Lampiran 2 Contoh Perhitungan AHP Expert Choice 2000 (Berdasarkan Seluruh Responden)
52 56
1 PENDAHULUAN Latar Belakang
Agroindustri adalah suatu usaha di bidang pertanian yang berorientasi pada komersial dan tidak dapat berdiri sendiri dan memiliki beberapa subsistem, yaitu pengadaan agroinput termasuk sarana produksi, yaitu pengadaan bahan baku, teknologi proses, pemanfaatan dan pengolahan limbah, pemasaran, transportasi, fasilitas kelembagaan ekonomi dan non ekonomi (Soekartawi 2000 dalam Erlina 2011). Sektor agroindustri merupakan bagian dari sektor manufaktur yang memproses bahan baku dan produk antara yang dihasilkan dari pertanian, perikanan dan kehutanan, sehingga lingkup dari agroindustri mencakup manufaktur makanan, minuman, rokok, tekstil dan pakaian, produk kayu dan furnitur, kertas, produk kertas dan percetakan dan juga karet dan produk karet (Henson and Cranfield 2009). Industri kitin dan kitosan adalah industri yang memproduksi kitin dan kitosan yaitu sumber polimer terbarukan yang berasal dari cangkang crustaceae dan memiliki potensi yang besar untuk digunakan pada sektor industri biomedis, kimia dan makanan (Tharanathan et al., 2003 di dalam Vargas dan Martinez 2010). Potensi pengembangan industri kitin dan kitosan didukung oleh kondisi Indonesia yang merupakan negara kepulauan yang kaya akan sumber daya perikanan khususnya udang. Indonesia juga memiliki sekitar 170 unit industri pengolahan udang dengan kapasitas produksi mencapai 500000 ton per tahun (Indrasti 2012). Tingginya tingkat produksi udang dan ekspor udang dalam bentuk olahan dapat mempengaruhi tingginya produk samping berupa cangkang ataupun kepala udang. Chasanah (1994) menemukan bahwa 40% bagian dari udang yang dapat dikonsumsi dan sisanya adalah cangkang dan kepala. Sehingga dapat diestimasikan dari total unit pengolahan udang, sekitar 300000 ton limbah udang yang akan dihasilkan. Jumlah cangkang udang yang sangat besar inilah yang menjadi peluang pengembangan industri kitin dan kitosan jika dilihat dari aspek ketersediaan bahan baku. Cangkang dan kepala udang tersebut memiliki nilai ekonomi tinggi jika dimanfaatkan sebagai bahan baku industri kitin dan kitosan namun selama ini limbah udang di Indonesia hanya dimanfaatkan untuk pakan ternak, bahan baku terasi, petis dan kerupuk udang. Data BPS menyebutkan bahwa dalam 3 tahun terakhir yaitu pada tahun 2012 hingga 2014, rata-rata kitosan yang diekspor sebesar 341 ton dengan nilai ekspor yang cenderung meningkat dan mencapai US$ 14 /ton kitosan pada tahun 2014. Selain Jepang dan Amerika, kitin dan kitosan juga diproduksi secara komersial di India, Polandia, Norwegia, Australia (Dutta 2004), dan China yang merupakan produsen kitin terbesar di dunia (Hayes 2012). Secara global, permintaan kitin dan produk turunannya meningkat cukup signifikan. Hal ini telah diproyeksikan bahwa pada tahun 2015 konsumsi kitosan dunia akan mencapai 26.379 ton dengan aplikasi pada pengolahan air memberikan kontribusi paling besar yaitu sebesar 11436 ton. Global Industry Analysts, Inc mengumumkan bahwa pasar global untuk kitin dan derivatifnya diproyeksi akan mencapai US$ 63 milyar, dengan pasar global untuk kitosan akan mencapai US$ 21,4 milyar
1
pada tahun 2015. Jepang mewakili negara dengan pasar paling besar bagi kitin dan kitosan, dengan aplikasi di biomedis seperti material penyembuh luka dan sebagai bahan benang operasi sebagai pengguna terbesar (GIA 2012). Pengembangan industri kitin dan kitosan di Indonesia juga didukung oleh Pemerintah Indonesia melalui Peraturan Presiden No 28 tahun 2008 mengenai Kebijakan Industri Nasional, yang menyatakan bahwa pemanfaatan limbah produk perikanan untuk aplikasi yang memberikan nilai tambah seper ti kitin dan kitosan harus ditingkatkan. Hal tersebut juga tercantum dalam Peraturan Menteri Perindustrian No 41 Tahun 2010 mengenai Peta Strategi dan Indikator Kinerja Utama Kementerian Perindustrian dan Unit Eselon 1 Kementerian Perindustrian, bahwa salah satu target pengembangan klaster industri berbasis agro adalah meningkatkan penggunaan limbah produk laut untuk dijadikan bahan makanan dan famasi/suplemen seperti kitin dan kitosan. Dukungan pemerintah lain juga dapat dilihat berdasarkan keputusan Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Non Konsumsi No 17 Tahun 2013 tentang Pedoman Umum Registrasi Unit Penanganan, Pengolahan Hasil Perikanan Non Konsumsi bahwa kitin dan kitosan adalah salah satu produk non konsumsi yang menjadi salah satu fokus yang akan dikembangkan. Oleh karena itu, penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi berbagai faktor strategis internal dan eksternal yang menjadi pendukung dan penghambat pengembangan industri kitin dan kitosan di Indonesia serta memformulasikan strategi pengembangan industri kitin dan kitosan untuk mengatasi masalah tersebut.
Perumusan Masalah
Industri kitin dan kitosan di Indonesia memiliki potensi yang besar untuk dikembangkan. Hal ini didukung oleh potensi bahan baku dari cangkang udang dan permintaan kitin dan kitosan yang turut meningkat. Keberlangsungan industri kitin dan kitosan dipengaruhi oleh beberapa faktor, yaitu faktor internal dan faktor eksternal. Faktor internal adalah kondisi internal industri kitin dan kitosan dalam menjalankan bisnisnya, yaitu kekuatan dan kelemahan. Faktor eksternal adalah faktor yang mempengaruhi pertumbuhan industri kitin dan kitosan dan tidak dapat dikendalikan oleh pelaku industri, yaitu peluang dan ancaman. Berdasarkan ilustrasi di atas, maka perumusan masalah pada penelitian ini adalah: 1. Bagaimana karakeristik industri kitin dan kitosan di Indonesia? 2. Faktor internal apa saja yang mempengaruhi pengembangan industri kitin dan kitosan? 3. Faktor eksternal apa saja yang mempengaruhi pengembangan industri kitin dan kitosan? 4. Bagaimana bentuk strategi yang tepat dalam pengembangan industri kitin dan kitosan?
2
Tujuan Penelitian
1. 2. 3.
Tujuan utama dari penelitian ini adalah: Mengetahui kondisi dan karakteristik industri kitin dan kitosan Mengidentifikasi faktor internal dan faktor eksternal industri kitin dan kitosan Memformulasikan strategi terbaik dalam hal pengembangan industri kitin dan kitosan
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai acuan bagi praktisi di sektor industri kitin dan kitosan maupun yang terkait untuk menerapkan strategi pengembangan yang diformulasikan berdasarkan kondisi internal dan eksternal yang terjadi pada industri kitin dan kitosan. Bagi pemerintah, penelitian ini dapat menjadi acuan untuk membuat kebijakan yang dapat mendukung pengembangan industri kitin dan kitosan. Sedangkan bagi akademisi, penelitian ini dapat menjadi dasar penelitian tentang kitin dan kitosan selanjutnya khususnya yang terkait dengan pengembangan industri yang lebih teknis, mendetail dan aplikatif.
Ruang Lingkup Penelitian
Penentuan strategi dibatasi ke dalam penentuan strategi umum berdasarkan kondisi yang terjadi pada industri kitin dan kitosan dari sudut pandang akademisi, pelaku industri dan pemerintah yang terkait.
3
2 TINJAUAN PUSTAKA Kitin dan Kitosan
Kitin adalah biopolimer alami yang dapat diperoleh di laut dan daratan. Kitin (C8H13 NO5) merupakan polisakarida yang paling melimpah kedua setelah selulosa, berbentuk padatan amorf atau kristal berwarna putih, dapat terurai secara hayati (biodegradable). Perbedaan utama antara selulosa dan kitin adalah sumber kedua material tersebut diambil. Selulosa didapatkan dari tumbuh-tumbuhan sedangkan kitin diambil dari invertebrata laut dan jamur (Rout 2001). Kitin bersifat tidak larut dalam air, asam organik encer, asam organik, alkali pekat dan pelarut organik tapi larut dalam asam pekat seperti asam sulfat, asam nitrit, dan asam fosfat (Junianto 2008). Keberadaan kitin di alam umumnya terikat dengan protein, mineral dan berbagai macam pigmen. Kitin dapat ditemukan dari jenis kelompok Crustaceae yang memiliki kerangka eksternal keras, seperti udang, lobster dan kepiting, sayap lalat, serta dinding sel pada beberapa kelompok jamur. Kitin yang saat ini banyak diproduksi berasal dari kelompok crustacea dengan alasan ketersediaannya di pasaran. Data menunjukkan bahwa kulit udang mengandung 25-40% protein, 40-50% CaCO3 dan 15-20% kitin (Altschul 1976 dalam Purwatiningsih 2009). Kitin dapat ditransformasi menjadi kitosan yaitu produk biopolimer yang memiliki aplikasi lebih luas di dunia industri karena sifatnya yang alami, dapat terdegradasi secara biologis, biocompatible dan tidak beracun. Kitosan adalah jenis polisakarida yang diperoleh dari deasetilasi kitin yang memilliki rumus molekul C6H11 NO4. Kitosan produk turunan kitin yang diperoleh melalui deasetilasi secara kimiawi menggunakan basa atau deasetilasi secara enzimatik menggunakan enzim lipase dan fosfolipase (Vargaz dan Martinez 2010). Dengan demikian, kitin dan kitosan merupakan jenis polimer yang sama namun dengan derajat deasetilasi (DD) yang berbeda. Istilah kitosan digunakan apabila derajat deasetilasi yang terukur lebih besar dari 40%. Telah diteliti sebelumnya bahwa biodegradasi menurun tajam saar derajat deasetilasi lebih dari 70% (Abbas 2010). DD dapat ditingkatkan dengan cara meningkatkan suhu atau kekuatan dari larutan alkali. Pendorong utama penelitian mengenai kitosan diberikan melalui Konferensi Internasional Kitin dan Kitosan yang pertama kali dilaksanakan di Boston pada Mei 1977 (Robert 2008). Setelah itu, banyak penelitian yang telah dilakukan untuk mengetahui manfaat kitosan, dan seluruh penelitian tersebut menunjukkan hasil bahwa kitosan memiliki banyak aplikasi dalam berbagai penggunaan. Kitosan memiliki potensi yang besar pada penggunaan biomedis, kimia dan industri makanan (Tharanathan, 2003 dalam Vargas and Martinez 2010). Di Amerika Serikat, kitosan digunakan pada sektor pertanian dan industri kosmetik (Anon, 1995 dalam Teftal 2000).
Karakteristik
Konsistensi pada aspek fisikokimia merupakan faktor penting bagi produk kitin dan kitosan untuk diaplikasikan di sektor industri. Karakteristik fisikokimia 4
kitosan diantaranya adalah derajat deasetilasi, berat molekul, viskositas, bulk density, kelarutan, kandungan nitrogen, kapasitas pengikat air, kapasitas pengikat lemak dan kestabilan (Tabel 1). Terdapat dua faktor penting yang menentukan karakteristik fisikokimia yaitu derajat deasetilasi dan berat molekul, yang dipengaruhi oleh konsentrasi basa, waktu dan temperatur proses. Derajat deasetilasi dan berat molekul memberikan pengaruh besar pada kitosan dalam hal kelarutan dalam larutan asam, viskositas dan aktivitas biologis (Vargas dan Martinez 2010). Pada umumnya, DD lebih besar dari 40% akan larut dalam larutan asam. Saat DD lebih kecil dari 40%, ikatan kitosan akan menjadi tidak larut dalam air. Berat molekul (BM) kitosan memiliki dampak yang signifikan terkait dengan keefektifannya pada beberapa aplikasi. Hal ini terlihat dari keefektifan kitosan untuk mempercepat penyembuhan luka bakar, koagulan, penurunan tingkat kolesterol dalam darah, mengontrol viskositas yang semuanya diketahui memiliki kergantungan pada berat molekul. Sebagai contoh, kitosan dengan BM 9,3 kDa dapat menghambat pertumbuhan bakteria Eschericia coli, namun kitosan dengan BM 2,2 kD justru dapat meningkatkan pertumbuhannya (Abbas 2010). Sehingga penting sekali untuk mengontrol berat molekul kitosan agar dapat sesuai dengan berbagai aplikasi dan produk hasil yang diharapkan. Tabel 1 Karakteristik Fisikokimia Kitosan No 1 2 3 4 5 6
7
8 9
Karakteristik Tampilan (bubuk atau ] flakes) Derajat Deasetilasi (DDA) Berat Molekul Viskositas Densitas Kelarutan
Keterangan Putih atau Kuning (Bansal et al, 2011)
Berkisar antara 70-95% (Kurita, 2001; Cheba, 2011) 100-1,200,000 Daltons (Li et al, 1992, Rout, 2001) Kurang dari 5cps (Bansal et al, 2011) Antara 1,35 to 1,4 g/cm3 (Bansal et al, 2011) Tidak larut dalam air, alkali dan pelarut organik, namun larut dalam larutan asam orgnaik dengan pH kurang dari 6 (Rout, 2001). Kandungan Nitrogen Bervariasi untuk beberapa jenis Crustaceans, 7,2% pada kepiting (Shepherd et al, 1997; Rout, 2001) and 7% pada udang (Cho et al, 1998; Rout, 2001) Kapasitas pengikat air Bervariasi antara 581 to 1150% (Rout, 2001) Kestabilan Stabil pada larutan basa terkonsentrasi pada temperatur tinggi (Cheba, 2011)
Hingga saat ini banyak ketertarikan secara komersial terhadap penggunaan kitosan karena karakteristik biologisnya seperi alami, biodegradable, biocompatible, tidak memiliki rasa dan tidak beracun (Muzzarelli, 1996 dalam Dyahningtyas 2010). Karakteristik biologis ini yang menjadikan kitosan sebagai pilihan yang unggul sebagai komponen natural zat aditif makanan, material untuk farmasi, biomedis serta aplikasi industri (Shahidi et al. 2002, Rafaat and Sahl 2009 dalam Dyahningtyas 2010). Biodegradability memiliki pengertian bahwa kitosan adalah produk ramah lingkungan karena merupakan polimer alami, aman dan tidak beracun atau menyebabkan alergi. Toksisitas kitosan jika dibandingkan dengan polisakarida lainnya tergolong rendah, sehingga daya tarik kitosan untuk aplikasi makanan sangat tinggi. Keamanan kitosan telah ditunjukkan melalui studi
5
in vivo. Sifat biocompatible yang dimiliki kitosan disebabkan karena kitosan tidak memiliki zat antigen. Biocompatibility memiliki pengertian kemampuan material untuk menunjukkan fungsi yang diharapkan khususnya pada terapi medis, tanpa memunculkan efek lokal atau sistemik yang tidak diharapkan pada penerima terapi medis, namun menghasilkan respon yang baik dari sel atau jaringan dan mengoptimalkan kinerja secara klinis atas terapi tersebut (Williams 2008). Kitosan sangat ditoleransi dengan baik oleh jaringan hidup, termasuk kulit, membran okular dan epitel hidung dan sudah teruji bermanfaat bagi aplikasi biomedis (Kumar et al., 2004 dalam Dyahningtyas 2010). Dilaporkan juga bahwa kitosan memiliki karakteristik bioaktivitas seperti bakteriostatis, hemostatis, imunologis, analgesik, cicatrizant, antiulcer , antikolik, anti inflamatori, hypourouricemic, hypocholesteroloemic, free radical scavenging activity, antikoagulan , anti-gastritis, anti-thrombogenic, antiviral , antibakteri, antijamur, anti-tumor, and spermicidal (Okamoto et al., 2002; No et al., 2002; Nagahama; 2008 dalam Cheba 2011) Sumber
Kandungan kitin banyak terdapat di hewan tak bertulang belakang, serangga, diatom laut, alga, jamur dan Crustaceae seperti kepiting, udang dan lobster (Synowiecki and Al-khateeb, 2003 dalam Bolat et al. 2010). Di alam, kitin terdapat pada beberapa spesies jamur seperti zygomycetes dan mucorales seperti Absidia coerulae (Muzarelly et al., 1995 dalam Cheba 2011). Semua sumber (kecuali Crustaceae) tidak tersedia secara komesial di pasar, sehingga cangkang Crustacea adalah sumber yang digunakan sebagai bahan baku produksi pada industri kitin dan kitosan. Bentuk cangkang udang dan kepiting yang biasa digunakan sebagai bahan baku kitin dan kitosan dapat dilihat pada Gambar 1 dan Gambar 2.
Gambar 1 Cangkang Udang
Gambar 2 Cangkang Kepiting
Produsen kitin dan kitosan lebih banyak menggunakan cangkang dari Crustaceae sebagai bahan baku dikarenakan ketersediaanya di pasaran. Penggunaan cangkang udang lebih dapat diandalkan karena adanya produksi dari tambak udang yang memberikan suplai bahan baku secara berkelanjutan. Hal ini juga seiring dengan meningkatnya konsumsi udang, khususnya di Asia dan Timur Tengah (Roberts 2008). Di samping itu, meningkatnya pertumbuhan industri seafood yang menghasilkan produk samping olahan udang berpotensi sebagai sumber bahan baku untuk industri kitin dan kitosan.
6
Proses Produksi Kitin dan Kitosan
Produksi kitin dan kitosan dapat dilakukan melalui dua cara, yaitu secara kimiawi yaitu proses yang dilakukan menggunakan beberapa bahan kimia dan proses enzimatis yaitu proses yang dilakukan menggunakan katalis dari beberapa jenis enzim. Pada penelitian ini, pembahasan proses produksi difokuskan pada proses kimiawi. Terdapat 4 tahapan penting yang perlu dilakukan untuk memproduksi kitosan secara kimiawi, yaitu deproteinisasi, demineralisasi, penghilangan warna dan deasetilasi. Dua tahapan pertama (deproteinisasi dan demineralisasi) tidak harus dilakukan secara berurutan, namun dapat dilakukan berkebalikan (Rout 2001). 1. Deproteinisasi Cangkang Crustacea mengandung kitin yang terikat dengan mineral CaCO3 dan protein (Austin, 1988 dalam Purwatiningsih et al. 2009). Dalam satu cangkang udang terdapat sekitar 30-40% protein (Johnson and Peniston, 1982 dalam Purwatiningsih et al. 2009). Deproteinisasi dapat dilakukan dengan cara mengencerkan cangkang udang pada larutan NaOH pada temperatur yang ditingkatkan, sehingga protein yang ada dalam cangkang udang dapat melarut (Rout 2001). Deproteinisasi juga dapat dilakukan dengan melakukan pengenceran pada larutan potasium hidroksida (KOH) (Shahidi and Synowiecki, 1991 di dalam Rout 2001). 2. Demineralisasi Demineralisasi adalah proses penghilangan kandungan mineral dalam cangkang. Cangkang Crustacea umumnya mengandung 30-50% mineral dalam basis kering dengan kalsium karbonat (CaCO3) sebagai komponen utamanya. Demineralisasi dapat dilakukan dengan cara melakukan ekstraksi dengan larutan asam klorida (HCl) pada temperatur ruang dengan pengadukan sehingga CaCO3 dapat melarut menjadi kalsium klorida (CaCl) (Rout 2001). 3. Penghilangan warna Untuk kepentingan komersial, kitin yang diterima di pasaran adalah kitin yang berwarna putih. Proses yang melibatkan cairan asam dan basa pada proses sebelumnya akan menimbulkan warna pada produk kitin, sehingga proses penghilangan warna diperlukan. Pelarut yang umumnya digunakan adalah aseton (Rout 2001). 4. Deasetilasi Kitosan didapatkan melalui proses pengilangan gugus asetil-N. Deasetilasi dapat dilakukan melalui perlakuan dengan konsentrasi NaOH atau KOH 4050% pada temperatur 100oC atau lebih tinggi selama 30 menit (Muzarelli, 1977 dalam Rout 2001). Proses deasetilasi perlu dilakukan untuk mempersiapkan kitosan yang tidak dapat terdegradasi dan larut pada larutan asam dalam waktu singkat (Rout 2001).
Produk Aplikasi
Melalui proses kimiawi dan enzimatis, kitin dan kitosan dapat diproses menjadi berbagai produk dengan nilai tambah cukup tinggi yang dapat
7
diaplikasikan pada berbagai industri. Pada pengolahan air dan air limbah, kitosan memiliki fungsi sebagai flokulan untuk menjernihkan air (air minum dan kolam renang), menghilangkan ion logam dan mengurangi bau. Pada tahun 1981, penggunaan kitosan sebagai penjernih air telah disetujui oleh United States Environmental Protection Agency (USEPA) hingga level maksimum 10 mg/L (Hahn et al. 2004). Pada aplikasi di makanan, kitosan memiliki beberapa aplikasi diantaranya sebagai serat makanan, pengikat lemak yang dapat menurunkan kolesterol, pengawet alami, pengental dan stabilisator untuk saus dan sebagai edible coating pada buah, daging atau ikan. Kitosan berbasis udang mendapatkan notifikasi Generally Recognize as Safe (GRAS) dari Food and Drug Administration (FDA). Pada aplikasi di dunia medis, kitosan memiliki fungsi untuk mempertahankan kelembaban kulit, mengobati jerawat, meningkatkan kelembutan rambut, mengurangi listrik statis pada rambut, mengencangkan kulit dan sebagai perawatan mulut (pasta gigi dan permen karet). Sementara itu, pada aplikasi di biomedis, kitosan dapat diaplikasikan sebagai bahan benang operasi, kulit artifisial, material enkapsulasi (penghilang luka, antibakteri, antivirus dan antijamur). Pada aplikasi di bidang pertanian, kitosan berfungsi sebagai stimulan pertumbuhan tanaman, mekanisme pertahanan pada tanaman, coating pada benih, dan nutrien bagi tanah. Menurut Morrisey (2003) terdapat tingkatan nilai tambah yang berbeda beda pada beberapa aplikasi produk kitin dan kitosan untuk industri. Secara berurutan aplikasi kitin dan kitosan pada biomedik dan farmasi memiliki nilai tambah tertinggi dengan volume pemakaian sedikit, lalu diikuti oleh aplikasi pada teknologi kimia, kosmetika, teknologi pangan, penjernih air, pertanian, dan tekstil. Sedangkan aplikasi yang memiliki nilai tambah terendah dengan volume pemakaian besar adalah pada teknologi kertas (Junianto 2008). Manfaat kitin dan kitosan yang dapat diaplikasikan secara luas ini telah dibuktikan secara ilmiah oleh beberapa peneliti. Tabel 2 menunjukkan alasan ilmiah yang mendasari penggunaan kitin dan kitosan pada berbagai aplikasi.
Strategi Pengembangan Agroindustri
Strategi didefinisikan sebagai alat untuk mencapai tujuan perusahaan dalam kaitannya dengan tujuan jangka panjang, program tindak lanjut, serta prioritas alokasi sumber daya (Chandler 1962 di dalam Rangkuti 2014). Erlina (2011) menjelaskan bahwa strategi adalah suatu pola atau perencanaan yang mampu mengintegrasikan sasaran, kebijakan dan tindakan-tindakan organisasi secara kohesi. Agroindustri adalah suatu model yang cocok untuk dikembangkan mengingat agroindustri memiliki keterkaitan ke depan maupun ke belakang. Keterkaitan ke depan memiliki pengertian bahwa agroindustri dapat memberi peluang lapangan kerja bagi unskilled sampai skilled labour , sedangkan ke belakang memiliki pengertian bahwa agroindustri dapat memacu pertumbuhan perekonomian daerah dan dapat mengurangi arus urbanisasi. Sehingga dapat dikatakan bahwa strategi pengembangan agroindustri adalah suatu pola pengembangan agroindustri yang mengintegrasikan sasaran, kebijakan dan tindakan-tindakan organisasi usaha secara terpadu sehingga menjadi lebih baik, dalam arti terciptanya nilai tambah dari keadaan sebelumnya (Erlina 2011).
8
Tabel 2 Alasan Ilmiah Pemanfaatan Kitin dan Kitosan pada Berbagai Aplikasi No 1
Aplikasi Pertanian: bahan mempercepat pertumbuhan tanaman
2
Antimikroba dan antijamur
3
Antioksidan
4
Flocculating dan Clarifying Agent
5
Dietary fibre
6
Edible Film dan Coating
Alasan Ilmiah Kandungan gula amino, ß-D-glukosamin yang berfungsi untuk : menstimulasi sintesis agen pelindung, meningkatkan kemampuan tanaman dalam menyerap air, menjaga air dengan cara menutup stomata dan menurunkan laju penguapan (Burrows et al. 2007) Kandungan grup amino yang menunjukkan ion positif (derajat deasetilasi) dapat berinteraksi dengan dinding sel mikroba/jamur, merubah permeabilitasnya yang diikuti keluarnya sitoplasma sehingga berakhir pada kematian sel. (Vargaz & Martinez 2010); (Jung & Kim 1999); (Cuero RG 1999) Hidroksil aktif dan grup amino akan bereaksi dengan senyawa radikal bebas dan membentuk makroradikal yang stabil. Semakin tinggi derajat deasetilasi menunjukkan keefektifan kitosan dalam aktivitas antioksidan, menangkap radikal hidroksil dan kemampuan berikatan dengan ion besi. (Yen et al. 2008); (Xing et al. 2007) Karakteristik kimia menunjukkan afinitas yang tinggi terhadap ion logam berat seperti kromium, timbal, merkuri, tembaga dan kadmium karena kitosan memiliki kapasitas penyerapan lebih tinggi daripada karbon aktif atau pelarut organik yang secara tradisional digunakan untuk mereduksi kontaminan air limbah. (Synowiecki et al. 2003); (Shaidi et al. 1999) Kriteria yang menyerupai serat untuk diet, yaitu tidak dapat dicerna, polimer alami, dan memiliki kemampuan mengikat air yang tinggi. Kondisi perut yang asam dapat memicu kitosan untuk larut dan bereaksi dengan asam lemak dan mengikat lipid karena adanya interaksi hidrofobik (trigliserid, lemak dan asam empedu, kolesterol dan sterol lainnya) untuk kemudian diekskresikan dari tubuh. (Muzzarelli RAA. 1999) Kitosan memiliki kemampuan untuk membentuk suatu selaput ( film) sebagai lapisan semipermeabel yang dapat dimakan sehingga dapat memperpanjang umur hidup buah-buahan olahan atau segar, produk daging dan seafood. ( Vargaz & Martinez 2010)
Berdasarkan Grand Strategy Pengembangan Agroindustri yang telah disusun oleh Deptan (2005), program pengembangan agroindustri diarahkan pada hal-hal berikut:
9
1. Mengembangkan klaster industri, yaitu industri pengolahan yang terintegrasi dengan sentra-sentra produksi bahan baku serta sarana penunjangnya. 2. Mengembangkan industri pengolahan skala rumah tangga dan kecil yang didukung oleh industri pengolahan skala menengah dan besar. 3. Mengembangkan industri pengolahan yang mempunyai daya saing tinggi untuk meningkatkan ekspor dan memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pengembangan agroindustri memerlukan suatu perencanaan strategi yang baik sehingga dapat terus berkembang dan da n mencapai keunggulan keunggu lan bersaing. Tujuan Tujua n utama perencanaan strategis adalah agar perusahaan dapat melihat secara objektif mengenai kondisi-kondisi internal dan eksternal, sehingga dapat diantisipasi perubahan lingkungan yang ada. Sehingga dapat ditekankan bahwa perencanaan perencanaa n strategis sangat penting untuk perusahaan dalam mencapai keunggulan bersaing dan memiliki produk yang sesuai dengan keinginan konsumen, dengan dukungan optimal dari sumber daya yang ada (Rangkuti, 2014). Terdapat sembilan elemen kunci ekoefisiensi yang dapat diadaptasi untuk bagi perencanaan strategi agroindustri dalam meningkatkan daya saingnya yaitu (1) aspek kepemimpinan, (2) kemampuan meninjau ke depan, (3) budaya perusahaan atau bisnis yang mendukung, (4) teknik manajemen, (5) daur hidup manajemen, (6) riset dan pengembangan, (7) proses produksi dan operasi, (8) aspek pemasaran, serta (9) layanan purna jual dan pemanfaatan kembali limbah (Sa’id 2010).
Penyusunan Perencanaan Strategis
Analisis Strengths, Weaknesses, Opportunities dan Threats (SWOT) merupakan analisis yang paling banyak dipertimbangkan dan merupakan alat yang lazim digunakan untuk perencanaan strategis (Glaister dan Falshaw 1999). Perencanaan strategi seringkali merupakan proses yang rumit yang perlu mengadopsi suatu pendekatan sistem untuk mendiagnosa faktor eksternal dan menyesuaikan dengan kemampuan internal yang ada dalam suatu organisasi (Wehrich 1982 di dalam Koo et al. 2011). Analisis SWOT didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan kekuatan dan peluang, namun secara bersamaan dapat meminimalkan kelemahan dan ancaman yang ada (Rangkuti 2014). Proses penyusunan perencanaan strategis dengan menggunakan analisis SWOT ini dilakukan melalui tiga tahap analisis yaitu (1) tahap pengumpulan data, (2) tahap analisis dan (3) tahap pengambilan keputusan. Tahap Pengumpulan Data Tahap pengumpulan data ini pada dasarnya tidak hanya sekadar kegiatan pengumpulan data, melainkan juga merupakan suatu kegiatan pengklasifikasian pengklasifikasia n dan pra analisis. Dalam melakukan analisis SWOT diperlukan data eksternal dan data internal. Beberapa hal yang dapat digolongkan sebagai data eksternal dapat diperoleh dari lingkungan di luar perusahaan seperti: analisis pasar, komunitas, pemasok, pemerintah dan analisis kelompok kepentingan tertentu. Sebaliknya, data internal dapat diperoleh dari dalam perusahaan seperti: laporan keuangan (neraca, laba rugi, cash flow, struktur pendanaan), laporan sumber kegiatan sumber daya manusia (jumlah karyawan, pendidikan, keahlian, pengalaman, gaji,
10
perputaran tenaga kerja), laporan kegiatan operasional, laporan kegiatan pemasaran, dan lain-lain lain-la in (Erlina 2011). Model yang dapat dipakai pada tahap pengumpulan data diantaranya adalah model Matriks Faktor Strategi Eksternal (Matriks EFAS), dan Matriks Faktor Strategi Internal (Matriks IFAS). Matriks EFAS adalah matriks yang digunakan untuk menganalisis faktor eksternal yang mencakup peluang dan ancaman. Sedangkan matriks IFAS adalah matrik yang digunakan untuk menganalisis faktor internal yang mencakup kekuatan dan kelemahan. Tahap Analisis Tahap analisis merupakan tahapan yang dilakukan setelah semua informasi yang berpengaruh terhadap kelangsungan industri dikumpulkan, untuk kemudian dimanfaatkan dalam suatu model kuantitatif perumusan strategis. Matriks Internal Eksternal (Matriks IE) merupakan salah satu metode analisis dalam suatu perencanaan strategis. Gabungan kedua kondisi internal dan eksternal yang telah diketahui nilainya selanjutnya dimasukkan ke dalam (Matriks IE) yang ditunjukkan pada Gambar 3 . Hasil yang didapatkan pada matriks IE dapat digunakan untuk menentukan posisi industri, sehingga dapat diketahui arah strategi yang akan diterapkan. Total skor strategis internal internal menunjukkan kekuatan bisnis suatu industri, sedangkan total skor strategis eksternal menunjukkan daya tarik industri.
Gambar 3 Contoh Matriks Internal Eksternal (IE) (Rangkuti 2014) Berdasarkan matriks IE sebagaimana dijelaskan pada Tabel 3, dapat diidentifikasikan 9 sel strategi perusahaan, yang pada prinsipnya kesembilan sel tersebut dapat dikelompokkan menjadi tiga strategi utama, yaitu: a. Growth Strategy yang merupakan pertumbuhan perusahaan itu sendiri atau upaya diversifikasi b. Stability strategy yaitu strategi yang diterapkan tanpa mengubah arah strategi yang telah ditetapkan
11
c. Retrenchment strategy yaitu usaha memperkecil atau mengurangi usaha yang dilakukan. Berbagai alternatif strategi dapat dirumuskan berdasarkan model analisis matriks SWOT. Matriks ini dapat menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimiliki (Rangkuti 2014). Keunggulan matriks SWOT ini adalah dapat dengan mudah memformulasikan strategi yang diperoleh dari gabungan faktor internal dan eksternal berdasarkan hasil analisis matriks IFAS dan EFAS. Terdapat 4 alternatif strategi yang didapatkan berdasarkan matriks SWOT (Tabel 4), yaitu: 1. Strategi SO, yaitu strategi yang dibuat dengan menggunakan seluruh kekuatan untuk memanfaatkan peluang 2. Strategi ST, yaitu strategi dalam menggunakan kekuatan yang dimiliki untuk mengatasi ancaman 3. Strategi WO, yaitu strategi yang diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada 4. Strategi WT, yaitu strategi yang didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan berusaha meminimalkan kelemahan serta menghindari ancaman.
Gambar 4 Contoh Matriks SWOT (Rangkuti 2014) Tahap Pengambilan Keputusan Untuk mengetahui alternatif strategi yang paling efektif diterapkan untuk pengembangan industri diperlukan suatu teknik pengambilan keputusan yang didasari atas pertimbangan para ahli di bidangnya. Proses Hierarki Analitik ( Analytical Analytical Hierarchy Process-AHP) merupakan suatu teknik pengambilan keputusan yang dikembangkan oleh Dr. Thomas L. Saaty pada tahun 1970an untuk mengorganisir informasi dan pendapat ahli dalam memilih alternatif yang disukai (Marimin 2013). AHP adalah penyederhanaan suatu situasi kompleks dan tidak terstruktur ke dalam bagian-bagian komponennya, menata bagian atau variabel itu ke dalam suatu susunan hirarki, memberi nilai numerik pada pertimbangan subjektif tentang relatif pentingnya setiap variabel dan mensintesis
12
berbagai pertimbangan tersebut untuk menetapkan variabel mana yang memiliki prioritas paling tinggi dan bertindak untuk mempengaruhi hasil pada situasi tersebut (Saaty, 1993 di dalam Erlina 2011). Secara grafis, persoalan keputusan AHP dapat dikonstruksikan sebagai diagram bertingkat (hierarki) yang dimulai dengan sasaran ( goal ) lalu kriteria level pertama, subkriteria dan alternatif (Marimin 2013). AHP memungkinkan pengguna untuk memberikan nilai bobot relatif dari suatu kriteria majemuk atau alternatif majemuk terhadap suatu kriteria secara intuitif, yaitu dengan melakukan perbandingan berpasangan ( pairwise comparison).
13
3
METODE PENELITIAN
Kerangka Pemikiran Penelitian
Industri kitin dan kitosan adalah industri potensial yang baru berkembang di Indonesia dan memiliki beberapa kendala yang perlu disiasati dengan strategi yang tepat sehingga dapat berkembang dan memiliki daya saing. Dalam mengembangkan industri kitin dan kitosan diperlukan analisis mendalam untuk mengetahui kondisi eksisting industri kitin dan kitosan, faktor-faktor eksternal dan internal yang berpengaruh dalam perumusan strategi pengembangan industri kitin dan kitosan.
Gambar 5 Alur Proses Pelaksanaan Penelitian Gambar 5 menunjukkan beberapa tahapan dan metode yang dilakukan untuk mendukung dalam penelitian ini. Langkah-langkah yang diperlukan untuk menyusun strategi pengembangan agroindustri kitin dan kitosan adalah mengidentifikasi kondisi eksisting tentang industri kitin dan kitosan. Tahapan selanjutnya adalah analisis faktor internal dan eksternal dengan metode matriks IFE dan EFE, yang diikuti secara paralel oleh analisis SWOT yang dilanjutkan dengan penetapan strategi pilihan dengan metode AHP dan analisis matriks internal dan eksternal. Analisis matriks internal dan eksternal serta analisis penetapan strategi pilihan dengan AHP menghasilkan dua kelompok strategi yang kemudian dianalisis keterkaitannya dan diformulasikan kedalam suatu strategi pengembangan industr i kitin dan kitosan.
14
Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan beberapa lokasi berbeda sesuai dengan lokasi kerja expert atau pemangku kepentingan yang terkait. Lokasi pengumpulan data dan informasi terkait dengan industri kitin dan kitosan dilakukan di beberapa tempat, yaitu (1) Industri kitin kitosan PT. X yang berlokasi di Kota Cirebon – Provinsi Jawa Barat (2) Kantor Asosiasi Pengusaha Pengolahan Pemasaran Produk Perikanan Indonesia (AP5I) yang berlokasi di Jakarta dan (3) CV. Ocean Fresh yang berlokasi di Kabupaten Bogor (4) Direktorat Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan (Ditjen. P2HP), Kementerian Kelautan dan Perikanan, (5) Direktorat Jenderal Industri Agro (Ditjen IA)Kementerian Perindustrian, (6) Departemen Teknologi Hasil Perikanan (Dept. THP), Fakultas Ilmu Perikanan dan Kelautan, Institut Pertanian Bogor. Pemilihan lokasi sebagaimana disebutkan diatas dilakukan secara sengaja ( purposive), yang didasarkan pada pertimbangan: (1) PT. X merupakan industri kitin dan kitosan terbesar di Indonesia, yang memiliki teknologi yang terbaik dalam memproduksi kitin kitosan dan turunannya (2) AP5I merupakan representasi industri pengolahan udang yang tersebar di seluruh Indonesia (3) CV. Ocean Fresh merupakan unit usaha yang bergerak di bidang kitin kitosan, produk turunan dan produk aplikasi di bidang kosmetika (4) Dirjen P2HP merupakan instansi pemerintah yang mengeluarkan kebijakan-kebijakan terkait dengan pengembangan industri kitin dan kitosan (5) Ditjen. IA adalah pembina teknis industri pertanian yang salah satunya adalah industri pengolahan udang (6) Dept. THP merupakan salah satu program studi yang memiliki fokus khusus pada pengembangan kitin dan kitosan. Waktu penelitian dilakukan selama 3 bulan, yaitu bulan April sampai Juli 2015. Sedangkan tahap pengolahan data hingga penyelesaian akhir laporan penelitian dilaksanakan selama 3 bulan yaitu bulan Juli – September 2015.
Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari data primer dan sekunder yang bersifat kualitatif dan kuantitatif. Data primer diperoleh dari observasi pada salah satu industri kitin dan kitosan, wawancara mendalam dan pengisian kuesioner kepada para pelaku industri, pakar dari Perguruan Tinggi, da n para pengambil kebijakan di instansi pemerintah yang terkait dengan pengembangan kitin dan kitosan. Data sekunder didapatkan dari buku-buku, publikasi dari instansi pemerintah (Badan Pusat Statistik, Kementerian Perindustrian, Kementerian Kelautan dan Perikanan), jurnal nasional maupun jurnal internasional, laporan penelitian yang terkait dengan strategi pengembangan agroindustri serta dokumen-dokumen lain yang relevan. Pemilihan responden dalam penelitian ini didasari atas konsep Triple Helix, dimana interaksi antara akademisi, pelaku bisnis dan pemerintahan merupakan hal yang penting dalam penentuan strategi secara umum (Etzkowitz 2007) dan khususnya dalam strategi pengembangan agroindustri kitin dan kitosan. Metode yang digunakan dalam penentuan responden adalah metode snowball sampling , yaitu melakukan kontak dengan responden pertama, kemudian mengidentifikasi
15
responden selanjutnya berdasarkan informasi dari responden pertama. Lee (1993) menyebutkan bahwa responden yang cenderung mengidentifikasi responden potensial lain yang memiliki kesamaan karakteristik dengan dirinya akan berujung pada sampel yang homogen. Wawancara mendalam dilakukan untuk mendapatkan gambaran umum dan kondisi eksisting industri kitin kitosan di Indonesia. Kuesioner digunakan sebagai alat untuk mendapatkan informasi-informasi yang terkait dengan strategi pengembangan agroindustri kitin dan kitosan, yaitu faktor-faktor kunci pengembangan agroindustri kitin dan kitosan, faktor eksternal dan faktor internal yang berpengaruh serta masukan lain yang berguna dalam merumuskan strategi pengembangan agroindustri kitin dan kitosan. Tabel 3 menunjukkan responden yang terlibat pada penelitian ini. Tabel 3 Data Responden Lingkup
Perguruan Tinggi Industri
Instansi Pemerintah
Responden
1. Pakar teknologi kitin dan kitosan (Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor) 1. Manajer Produksi (PT X), representasi atas produsen kitin dan kitosan 2. Ketua Asosiasi Pengusaha Pengolahan dan Pemasaran Produk Perkanan Indonesia (AP5I), representasi dari industri pengolahan udang selaku penyuplai bahan baku kitin kitosan 3. Pemilik CV. X, representasi atas pengguna kitin dan kitosan 1. Pejabat Es IV Direktorat Pengembangan Produk Non Konsumsi, Ditjen. P2HP- Kementerian Kelautan dan Perikanan 2. Pejabat Es IV Direktorat Industri Makanan, Hasil Laut dan Perikanan, Ditjen. Industri Agro, Kementerian Perindustrian
Analisis Strategi Pengembangan Industri
Analisis strategi pengembangan industri kitin kitosan dilakukan melalui identifikasi faktor-faktor yang berpengaruh. Faktor-faktor tersebut diketahui berdasarkan masukan para pakar atau pihak yang terkait dengan pengembangan industri kitin dan kitosan melalui teknik wawancara mendalam. Analisis Matriks IFE-EFE Data internal dan eksternal yang telah diidentifikasi kemudian akan dirangkum dalam suatu matriks Internal Factor Evaluation (IFE) dan External Factor Evaluation (EFE). Identifikasi faktor internal dan eksternal dapat digunakan untuk menciptakan strategi yang efektif bagi pengembangan industri kitin kitosan. Matriks IFE dan EFE dapat diolah dengan menggunakan beberapa langkah sebagai berikut.
A.
Evaluasi Faktor Eksternal (EFE) Matriks EFE digunakan untuk mengetahui peluang terbesar dan terkecil yang dimiliki oleh industri serta mengetahui ancaman terbesar dan terkecil yang memiliki pengaruh terhadap industri kitin kitosan. Dalam suatu perencanaan strategis, lingkungan eksternal perlu dianalisis guna mengetahui berbagai peluang
16
dan ancaman yang mempengaruhi industri di masa yang akan datang. Rangkuti (2013) menjelaskan beberapa tahapan penentuan strategi eksternal, yaitu: 1. Susunlah dalam kolom 1 berupa faktor-faktor yang menjadi peluang dan kelemahan industri kitin dan kitosan 2. Pada kolom 2, berikan bobot masing-masing faktor tersebut dengan skala mulai dari 1,0 (paling penting) sampai 0,0 (tidak penting), berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategi industri. Semua bobot yang telah dijumlahkan tidak boleh melebihi skor total (1,00). Pemberian bobot berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap posisi strategis perusahaan. Penentuan bobot dilakukan dengan metode perbandingan berpasangan ( pairwise comparison) yaitu memberikan bobot numerik dan membandingkan antara satu peubah dengan peubah lainnya (Tabel 4). Skala 1, 2 dan 3 digunakan dalam menentukan bobot setiap peubah. Penjelasan skala yang digunakan adalah sebagai berikut: 1 = jika indikator horisontal kurang penting daripada indikator vertikal 2 = jika indikator horisontal sama penting daripada indikator vertikal 3 = jika indikator horisontal lebih penting daripada indikator vertikal Tabel 4 Penilaian Bobot Faktor Strategis dengan Metode Matriks Perbandingan Berpasangan Faktor Strategik Internal/Eksternal
A
B
C
...
Bobot
A B C ... Total
3. Pada kolom 3, hitung rating untuk setiap faktor dengan pemberian skala mulai dari 4 (outstanding ) sampai dengan 1 ( poor ) berdasarkan pengaruh faktor tersebut terhadap kondisi industri yang bersangkutan. Variabel yang bersifat positif (variabel peluang) diberi nilai mulai dari +1 sampai dengan +4 (sangat besar). Sedangkan untuk variabel yang bersifat negatif yaitu ancaman adalah kebalikannya. Misalnya jika nilai ancamannya besar, ratingnya adalah 1, namun jika ancamannya sedikit maka ratingnya bernilai 4. 4. Kalikan bobot pada kolom 2 dengan rating pada kolom 3 untuk memperoleh faktor pembobotan pada kolom 4. Hasilnya berupa skor pembobotan untuk masing-masing faktor yang nilainya mulai dari 4,0 (outstanding ) sampai dengan 1,0 ( poor ) 5. Jumlahkan skor pembobotan (kolom 4) untuk memperoleh total skor pembobotan. Nilai total menunjukkan bagaimana suatu industri bereaksi terhadap faktor-faktor strategis internalnya. Tabel 5 menunjukkan bentuk matriks EFE sebagaimana telah dijelaskan pada tahap penetapan faktor strategis eksternal no 1 hingga no 5.
17
Tabel 5 Matriks Evaluasi Faktor Strategis Eksternal Bobot (a)
Faktor-Faktor Strategis Eksternal
Rating (b)
Skor (c = a x b)
I. Peluang 1. 2. Jumlah (A) II. Ancaman 1. 2. Jumlah (B) Total (A+B)
Berdasarkan matriks EFE, total nilai skor untuk faktor eksternal menunjukkan semakin nilai mendekati 1, maka semakin banyak ancamannya dibandingkan peluangnya. Sedangkan apabila total nilai skor mendekati 4, artinya semakin banyak peluang dibandingkan ancamannya. B.
Evaluasi Faktor Internal (IFE) Analisis faktor stratetgis internal perlu dilakukan setelah mengetahui faktor strategis eksternal yang dimiliki suatu perusahaan/organisasi Matriks IFE digunakan untuk mengetahui kekuatan terbesar dan terkecil serta kelemahan terbesar dan terkecil yang dimiliki oleh industri kitin dan kitosan. Terdapat beberapa cara untuk menentukan faktor – faktor strategis internal (Rangkuti 2013): 1. Tentukan faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan perusahaan pada kolom 1 2. Pada kolom 2, berikan bobot masing-masing faktor tersebut dengan skala mulai dari 1 (paling penting) sampai O (tidak penting), berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap posisi strategi industri. Semua bobot yang telah dijumlahkan tidak boleh melebihi skor total (1,00). Penentuan bobot dilakukan sama dengan penentuan bobot pada matriks EFE. 3. Pada kolom 3, hitung rating untuk setiap faktor dengan pemberian skala mulai dari 4 (outstanding ) sampai dengan 1 ( poor ) berdasarkan pengaruh faktor-faktor tersebut terhadap kondisi industri yang bersangkutan. Variabel yang bersifat positif (variabel kekuatan) diberi nilai mulai dari +1 sampai dengan +4 (sangat baik). Sedangkan untuk variabel yang bersifat negatif, kebalikannya. 4. Kalikan bobot (kolom 2) dengan rating (kolom 3) untuk memperoleh faktor pembobotan. Hasilnya berupa skor pembobotan (kolom 4) untuk masingmasing faktor yang nilainya mulai dari 4,0 (outstanding ) sampai dengan 1,0 ( poor ) 5. Jumlahkan skor pembobotan untuk memperoleh total skor pembobotan. Nilai total menunjukkan bagaimana suatu industri bereaksi terhadap faktor-faktor strategis internalnya. Tabel 6 menunjukkan bentuk matriks IFE sebagaimana telah dijelaskan pada tahap enetapan faktor strategis internak No. 1 hingga No. 5. Berdasarkan matriks IFE, total nilai skor untuk faktor internal menunjukkan bahwa smakin dekat nilai mendekati 1, maka semakin banyak kelemahan internal
18
dibandingkan kekuatannya. Kebalikannya, apabila smakin nilai mendekati 4, maka semakin banyak kekuatan dibandingkan kelemahannya. Tabel 6 Matriks Evaluasi Faktor Strategis Internal Faktor-Faktor Strategis Internal
Bobot (a)
Rating (b)
Skor (c = a x b)
I. Peluang 1. 2. Jumlah (A) II. Ancaman 1. 2. Jumlah (B) Total (A+B)
Analisis Matriks Internal Eksternal Analisis Matriks Internal Eksternal (Matriks IE) merupakan analisis yang dibuat berdasarkan nilai yang didapat dari gabungan kedua kondisi eksternal dan internal industri kitin dan kitosan. Pada matriks IE (sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 3), diketahui nilai pada sumbu X menunjukkan nilai faktor strategi internal, sedangkan pada sumbu Y menunjukkan nilai faktor strategis eksternal. Berdasarkan analisis EFE dan IFE, didapatkan nilai total skor pembobotan untuk setiap faktor eksternal dan internal. Nilai yang didapatkan kemudian diplotkan ke dalam sumbu X dan sumbu Y pada tabel matrik IE sehingga dapat diketahui posisi sel strategi industri yang menggambarkan kondisi industri kitin dan kitosan. Analisis Matriks SWOT Matriks SWOT adalah matriks yang menggambarkan secara jelas bagaimana peluang dan ancaman eksternal yang dihadapi perusahaan dapat disesuaikan dengan kekuatan dan kelemahan yang dimilikinya. Dengan menggunakan tabel EFE dan IFE, transfer peluang dan ancaman serta kekuatan dan kelemahan ke dalam sel yang sesuai dengan matriks SWOT sebagaimana dapat dilihat pada Gambar 4. Rangkuti (2013) menjelaskan beberapa tahapan dalam analisis matriks SWOT, yaitu: 1. Dalam sel Opportunities (O), buatlah 5-10 peluang eksternal yang dihadapi industri. 2. Dalam sel Threats (T), buatlah 5-10 ancaman eksternal yang dihadapi industri. 3. Dalam sel Strengths (S), buatlah 5-10 kekuatan internal baik yang dimiliki sekarang maupun yang akan datang. 4. Dalam sel Weaknesses (W), buatlah 5-10 kelemahan yang dimiliki industri. 5. Buat kemungkinan strategis berdasarkan pertimbangan kombinasi empat set faktor strategis tersebut. a. Strategi SO Strategi ini dibuat berdasarkan jalan pikiran perusahaan, yaitu dengan menggunakan seluruh kekuatan untuk memanfaatkan peluang b. Strategi ST
19
Strategi ini dibuat dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki dengan cara menghindari ancaman. c. Strategi WO Strategi ini diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada, dengan cara mengatasi kelemahan-kelemahan yang dimiliki. d. Strategi WT Strategi ini didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan ditujukan untuk meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman. Model Penetapan Strategi Pilihan Penetapan strategi pilihan untuk pengembangan industri kitin dan kitosan dilakukan dengan metode Analytical Hierarchy Process (AHP). Marimin (2014), menyatakan terdapat 4 (empat) prinsip dasar kerja AHP, yaitu: 1. Penyusunan Hierarki Penyusunan hirarki dilakukan dengan cara mengidentifikasi pengetahuan atau informasi yang sedang diamati. Penyusunan tersebut dimulai dari permasalahan yang kompleks diuraikan menjadi elemen pokoknya, kemudian elemen pokok tersebut diuraikan ke dalam bagian-bagiannya lagi, dan seterusnya secara hirarki. 2. Penilaian setiap level hirarki Penilaian setiap level hierarki dinilai melalui perbandingan berpasangan ( pairwise comparison). Marimin (2014) yang mengutip Saaty (1983), menjelaskan bahwa penggunaan skala 1-9 adalah yang terbaik dalam mengekspresikan pendapat. Nilai dan definisi pendapat kualitatif dari skala perbandingan dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Skala Perbandingan pada AHP (Marimin 2013) Nilai Definisi 1 Faktor Vertikal Sama penting dengan Faktor horizontal 3 Faktor Vertikal Lebih penting dari Faktor horizontal 5 Faktor Vertikal Jelas Lebih penting dari Faktor horizontal 7 Faktor Vertikal Sangat Jelas Lebih penting dari Faktor horizontal 9 Faktor Vertikal Mutlak lebih penting dari Faktor horizontal 2,3,4,6 Apabila ada keraguan antara dua elemen yang berdekatan Kebalikan (1/(2- Kebalikan dari keterangan nilai 2-9 9))
3.
Penentuan Prioritas Untuk setiap level hierarki, perlu dilakukan perbandingan berpasangan ( pairwise comparison) untuk menentukan prioritas. Sepasang elemen dibandingkan berdasarkan kriteria tertentu dan menimbang intensitas preferensi antarelemen. Nilai-nilai perbandingan relatif kemudian diolah untuk menentukan peringkat relatif dari seluruh alternatif. Setiap level hierarki baik kuantitatif atau kualitatif dapat dibandingkan sesuai dengan judgement yang telah ditentukan untuk menghasilkan bobot dan prioritas. Bobot dan prioritas dapat dihitung dengan manipulasi matriks atau melalui penyelesaian persamaan matematik.
20
4.
Konsistensi Logis Penilaian yang memiliki konsistensi tinggi sangat diperlukan untuk pengambilan keputusan agar hasil keputusannya akurat. Konsistensi sampai batas tertentu dalam menetapkan prioritas sangat diperlukan untuk memperoleh hasil-hasil yang sahih dalam dunia nyata. AHP mengukur konsistensi menyeluruh dari berbagai pertimbangan melalui suatu rasio konsistensi. Nilai rasio konsistensi harus 10% atau kurang, jika tidak memenuhi maka penilaiannya masih acak dan perlu diperbaiki.
21
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Produksi Udang di Indonesia
Indonesia memiliki potensi perikanan yang sangat besar, baik dari segi jenis maupun volume produksinya. Produksi perikanan indonesia meningkat sebesar 13,64% pada tahun 2012 atau mencapai 15,5 juta ton dibandingkan pada tahun sebelumnya. Peningkatan produksi perikanan ini diikuti oleh peningkatan jumlah ekspor sebesar 6% pada tahun 2012. Salah satu produksi perikanan yang menjadi komoditas penting adalah udang. Berdasarkan data statistik yang dimiliki oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan, udang dikategorikan sebagai produk perikanan dengan peningkatan produksi rata-rata sebesar 1,51% dari tahun 2008 – 2012, dimana produksi udang pada tahun 2012 meningkat 2,65% mencapai 678.549 ton. Udang juga turut memberikan kontribusi ekspor terbesar bagi Indonesia. Jumlah ekspor udang pada tahun 2012 mencapai 162.068 ton dengan nilai ekspor sebesar US$ 1.304 juta. Disamping itu, udang memberikan kontribusi yang signifikan dalam peningkatan ekonomi nasional yaitu 33,85% dari keseluruhan komoditi produksi perikanan. Pada umumnya, udang diproses terlebih dahulu sebelum diekspor. Painte (2008) menjelaskan bahwa untuk memenuhi kebutuhan pasar, bentuk penyajian udang yang akan diekspor disajikan dalam beberapa bentuk yang lebih spesifik yaitu whole (utuh), headless (tanpa kepala), peeled (dikupas kulitnya), deveined (dibuang ususnya), raw (segar), frozen (beku), dan canned (dikalengkan). Adanya peningkatan permintaan di pasar internasional akan diikuti dengan peningkatan jumlah limbah udang seperti cangkang dan ekornya. Penelitian yang telah dilakukan Chasanah (1994) menyimpulkan bahwa rata-rata sebesar 40% dari satu ekor udang adalah bagian yang dapat dimakan, dimana bagian lainnya seperti kepala udang, cangkang udang dan ekor udang berakhir menjadi limbah yang tidak memiliki nilai ekonomi. Cangkang dan kepala udang tidak akan memberikan nilai ekonomi apabila dibuang begitu saja dan hanya akan menimbulkan permasalahan lingkungan. Limbah cangkang udang bersifat mudah membusuk dan bersifat bulky atau menyita ruangan, sehingga dalam penanganannya diperlukan tempat yang cukup luas dan tertutup agar tidak mencemari lingkungan (Prasetyo 2003). Ekspor dan impor tidak hanya dilakukan untuk komoditi udang, namun juga untuk komoditi cangkang udang. Berdasarkan data yang didapatkan dari Statistik Kelautan dan Perikanan pada tahun 2012, cangkang udang terdaftar melalui kode HS 0508002000 dengan deskripsi produk cangkang moluska, crustacean. Data jumlah ekspor dan impor cangkang udang dapat ditunjukkan pada Tabel 8. Tabel 8 menunjukkan bahwa ekspor cangkang udang mengalami peningkatan dari tahun ke tahun dengan peningkatan rat a-rata sebesar 90,24% dari tahun 2009 hingga tahun 2013. Total impor cenderung mengalami penurunan rata-rata sebesar 73,45%. Data peningkatan jumlah ekspor menunjukkan bahwa terdapat peningkatan produksi cangkang udang di Indonesia yang disertai dengan adanya kecenderungan peningkatan pemanfaatan cangkang udang secara global. Kondisi global ini tentunya perlu dijadikan peluang untuk memacu pengembangan industri kitin dan kitosan di Indonesia. Di sisi lain,
22
Tabel 8 Total dan Volume Ekspor dan Impor Cangkang Udang
2009
2010
2011
2012
2013
Peningkatan rata-rata (%) 2009-2013
573334
1125414
1449031
1917913
1090739
90,24
324785 184375
899762 167865
893123 37249
918266 157494
585306 48946
80,21 -73,45
128766
201453
176346
494497
93958
-27.03
Tahun
Data
Total Ekspor (Kg) Nilai (US$) Total Impor (Kg) Nilai (US$)
Sumber : Statistik Kelautan dan Perikanan 2012 penurunan impor kitin dan kitosan di Indonesia perlu di analisis lebih lanjut dan ditelusuri sebabnya. Penurunan impor dapat dikatakan positif jika ternyata suplai bahan baku untuk industri kitin dan kitosan di Indonesia berlebih dan stabil dengan mengandalkan pasokan dari dalam negeri. Namun dapat menjadi negatif jika faktor penurunan impor ini dikarenakan menurunnya produksi kitin dan kitosan di dalam negeri atau berkurangnya industri kitin dan kitosan di dalam negeri. Pemilihan limbah cangkang udang sebagai sumber bahan baku utama kitin dan kitosan didasari oleh adanya tambak udang yang menjamin suplai bahan baku kitin kitosan yang berkelanjutan dan dapat diandalkan (Roberts, 2008 di dalam Hayes 2012). Kementerian Kelautan dan Perikanan telah memetakan pengembangan produk berbasis udang yang dibagi berdasarkan bagian kepala udang, badan udang dan kulit udang. Peta pengembangan produk berbasis udang dapat dilihat pada Gambar 6.
Sumber: Kementerian Kelautan dan Perikanan
Gambar 6 Pengembangan Produk Kelautan dan Perikanan)
Berbasis Udang (sumber:
23
Kementerian
Industri Kitin dan Kitosan di Indonesia
Kitin dan kitosan adalah bagian dari pohon industri udang, dimana kitin dan kitosan adalah produk turunan dari bahan baku cangkang dan kepala udang. Pohon industri udang dapat dilihat pada Gambar 7. Peeled devined Tail on
Udang Kaleng Head less
Udang Beku Head On
Daging Kerupuk Udang Pigmen Astaxantin
Udang Se ar
Penguat rasa
Fotografi
Kitin
Pembuatan
Kitosan
Farmasi
Cangkang
Kosmetik
Kitin
Kepala
Pengolahan air Kitosan Bahan Pen awet
Terasi
Gambar 7 Pohon Industri Udang Data unit penanganan, pengolahan hasil perikanan nonkonsumsi (UPPN) Kitin -Kitosan yang ada di Indonesia saat ini terdapat lebih kurang 3 (tiga) UPPN dengan kode produk HS No 3913909000 (Polimer alami lainnya dan modifikasi) yang tersentralisasi di Pulau Jawa yaitu di Cirebon (Provinsi Jawa Barat), Serang (Provinsi Banten) dan Pasuruan (Provinsi Jawa Timur). Pemasaran produk kitin maupun kitosan tersebut dilakukan ke beberapa wilayah di Jabodetabek, Jawa Barat dan Jawa Tengah. Pemasaran kitin dan kitosan ke luar negeri diantaranya Australia, Korea, China dan Jepang. Hingga saat ini, harga jual kitin dalam bentuk cair untuk ekspor dalam kemasan berkisar US$ 6-8/kg, sedangkan harga jual kitosan mencapai US$ 30-50/kg dengan kebutuhan bahan baku cangkang udang sebesar 20-40 ton per bulan dengan kisaran harga Rp 6000-6500/kg. Nilai ekspor dari kitin dan kitosan dapat dilihat pada Tabel 9. Tabel 9 Nilai Ekspor Produk (HS 3913909000)
Berat Bersih (kg) Nilai F.O.B (US$)
2012
2013
2014
348715 4044389
329511 4293581
344597 4631544
*Data diolah dari BPS
Pengembangan industri kitin dan kitosan di Indonesia mendapatkan dukungan pemerintah seperti tercantum dalam Peraturan Presiden Republik 24
Indonesia No 28 tahun 2008 tentang Kebijakan Industri Nasional, yaitu industri kitin dan kitosan adalah bagian dari agroindustri khususnya industri produk perikanan dan kelautan yang terklaster sebagai industri prioritas untuk pengembangan industri di Indonesia tahun 2015. Tujuan jangka panjang terkait dengan pengembangan industri kitin dan kitosan adalah pengembangan industri bioteknologi yang berbasis produk hasil laut, seperti kosmetika dan farmasi. Sementara itu, pada tujuan jangka menengah diharapkan agar industri hasil laut dan perikanan akan fokus untuk meningkatkan pemanfaatan limbah produk hasil laut dan perikanan menjadi produk yang memiliki nilai seperti kitin, kitosan dan gelatin. Dukungan pemerintah atas pengembangan industri kitin dan kitosan ini juga muncul dari Kementerian Kelautan dan Perikanan, bahwa industri kitin dan kitosan terintegrasi dengan industrialisasi udang yang juga menjadi bagian dari Implementasi Blue Economy. Konsep Blue economy adalah alternatif konsep ekonomi yang diaplikasikan pada sektor perikanan dan kelautan berdasarkan lima prinsip utama, yaitu: (1) efisiensi sumber daya alam (2) zero waste (3) melibatkan aspek sosial (4) sistem produksi yang terus berputar dan (5) inovasi dan adaptasi. Oleh karena itu, industri kitin dan kitosan difokuskan pada pemanfaatkan produk samping khususnya dari industri pengolahan udang. Di samping kitin dan kitosan, industri kitin dan kitosan di Indonesia juga menghasilkan beberapa produk turunannya. Beberapa produk turunan dari kitin dan kitosan yaitu: a. Anti jamur alami bagi tumbuhan Dengan menggunakan bahan aktif kitosan, produk ini berfungsi sebagai aktivator (meningkatkan aktivitas sel-sel tumbuhan dan proses fotosintesis), regulator (memacu sistem imun dan ketahanan pada tumbuhan), dan stimulator (menstimulasi pertumbuhan tanaman dengan meningkatkan nutrisi alami dari tanah). Penggunaan bahan ini dapat menurunkan penggunaan pestisida maupun bahan kimia lain yang akan mencemari lingkungan. Produk turunan yang memiliki nama dagang Chi-farm, dapat dilihat pada Gambar 8.
Sumber: www.biotech.co.id
Gambar 8 Produk Anti Jamur dari Kitin dan Kitosan b.
Bahan tambahan pada makanan. Bahan tambahan ini merupakan bahan yang dapat digunakan untuk mempertahankan kualitas dan rasa pada beberapa jenis makanan seperti daging, mie, bakso, roti, sayur, buah-buahan, serta ikan dan produk ikan lainnya. Bahan ini memiliki keunggulan untuk menggantikan bahan kimia lain pada makanan seperti STPP (Sodium Tripoliposfat ), CMC (Carboxymethyl Cellulose) dan Natrium Carbonate. Selain itu, bahan ini
25
dapat menghambat proses oksidasi untuk mempertahankan warna dan membantu meningkatkan ketahanan pada makanan. Terdapat dua merk dagang untuk produk ini yaitu Chito-fresto dan Chito-F Deli. Salah satu contoh produk tersebut dapat dilihat pada Gambar 9.
Sumber: www.biotech.co.id
Gambar 9 Produk Bahan Tambahan Makanan dari Kitin dan Kitosan c. Produk kecantikan Beberapa produk kecantikan yang telah dibuat dari kitin dan kitosan adalah sabun, pembersih muka, lotion, pelembab bibir, sampo, dan penyegar ruangan. Produk-produk tersebut telah diekspor ke beberapa negara tujuan seperti Uni Emirat Arab, Jerman, dan Malaysia. Di Indonesia, telah dipasarkan melalui perusahaan retail yang telah bekerja sama dengan Institut Pertanian Bogor yang tersebar di beberapa pusat perbelanjaan di kota-kota besar seperti Yogyakarta, Jakarta, Bali, Bandung. Contoh produk kecantikan tersebut dapat dilihat pada Gambar 10.
Gambar 10 Berbagai Produk Kecantikan dari Kitin dan Kitosan d. Anti bau alami Produk yang memiliki nama dagang Chito-Q Green memiliki fungsi sebagai deodoran yang dapat menghilangkan bau, amis dan busuk, ikan, rokok dan lain-lain. Produk ini dapat diaplikasikan pada lemari sepatu, pasar ikan, dan toilet. e. Antibakteri pada tekstil Produk ini merupakan anti bakteri yang merupakan gabungan dari kitosan dan senyawa logam kompleks (Zn dan Ag). Produk yang memiliki merk
26
dagang AntiTex-66-8, dapat diaplikasikan pada pakaian (pakaian bayi, seragam militer, kaos kaki, pakaian dalam, kaos dan lainnya) dan bahan tekstil lainnya (gorden, seprai, selimut, pelapis dinding dan matras).
Faktor Kekuatan, Kelemahan, Peluang dan Ancaman
Berdasarkan hasil wawancara mendalam terhadap responden terpilih, dapat diidentifikasikan faktor-faktor internal yaitu kekuatan (strengths-S) dan kelemahan (weaknesses-W), serta faktor-faktor eksternal seperti peluang (opportunities-O) dan ancaman (threats-T) yang berpengaruh terhadap pengembangan industri kitin dan kitosan. Hasil identifikasi ini kemudian akan ditransfer pada matriks internal eksternal untuk penetapan posisi industri kitin dan kitosan. Selain itu, hasil identifikasi faktor internal dan eksternal juga akan digunakan untuk merumuskan alternatif strategi melalui analisis SWOT dan AHP. Analisis terhadap faktor kekuatan, kelemahan, peluang dan ancaman pada industri kitin dan kitosan dijelaskan pada sub bab selanjutnya. Faktor Kekuatan Dilihat dari segi akademisi, pelaku industri dan instansi pemerintahan, terdapat 6 faktor kekuatan yang dapat digunakan dalam pengembangan industri kitin dan kitosan. Faktor kekuatan tersebut diantaranya adalah: a. Kemampuan Industri mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi Ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) berkembang sangat pesat dan hal ini merupakan salah satu kekuatan industri kitin dan kitosan. Banyaknya informasi mengenai penelitian yang telah dilakukan dan disebarkan melalui berbagai jurnal ilmiah terakreditasi menjadi sarana bagi transfer teknologi untuk mendukung proses produksi kitin dan kitosan. Kemajuan IPTEK dapat mendukung efisiensi industri kitin dan kitosan dalam hal penggunaan bahan baku dan material lainnya, meningkatkan kualitas produk dan melakukan pengembangan produk. b. Penerapan quality control Industri kitin dan kitosan di Indonesia menghasilkan produk kitin dan kitosan yang berkualitas. Jaminan kualitas ini ditandai dengan diberlakukannya Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk produk kitin dan kitosan. Ekspor kitin dan kitosan juga menunjukkan bahwa kualitas kitin dan kitosan sudah memenuhi kriteria global dan dapat bersaing dengan produsen dari negara lain. c. Relasi yang baik dengan pemasok bahan baku Industri kitin dan kitosan mampu membina hubungan yang baik dengan pemasok bahan baku. Hal ini dapat d iketahui dari jaminan ketersediaan bahan baku dan berdasaarkan wawancara pada salah satu industri, disampaikan bahwa bahan baku yang mereka dapatkan melimpah dari pengepul khusus di wilayah industri tersebut berdiri. Kitin dan kitosan merupakan jenis biopolimer yang berasal dari cangkang Crustaceae seperti udang, kepiting dan rajungan. Industri pengolahan udang dan kepiting terus meningkat dari tahun ke tahun. Indonesia memiliki sekitar 170 unit industri pengolahan
27
udang dengan kapasitas produksi mencapai 500 ribu ton per tahun (Indrasti 2012). Banyaknya jumlah unit pengolahan udang maka limbah cangkang udang yang ditimbulkan akan semakin tinggi. Namun yang perlu diperhatikan adalah ketersediaan bahan baku ini sifatnya sporadis di seluruh Indonesia dengan jumlah yang tidak menentu. Di sisi lain, bukti melimpahnya cangkang udang di Indonesia dapat dilihat dari adanya jumlah ekspor cangkang udang yang meningkat dari tahun ke tahun. d. Penerapan Standar Nasional Indonesia untuk produk kitin dan kitosan Industri kitin dan kitosan PT X turut dilibatkan dalam penyusunan SNI dan saat ini sudah menerapkan SNI tersebut dalam produksi kitin dan kitosan. Pemerintah Indonesia melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan telah menerbitkan Standar Nasional Indonesia (SNI) 7948: 2013: Kitin – syarat mutu dan pengolahan serta SNI 7949:2013: Kitosan – syarat mutu dan pengolahan. SNI tersebut diberlakukan dalam rangka untuk meningkatkan merupakan jaminan mutu kitin dan kitosan. Faktor Kelemahan Faktor kelemahan merupakan faktor strategis yang perlu diatasi dalam hal pengembangan industri kitin dan kitosan. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat 8 faktor kelemahan yang terkait dengan pengembangan industri kitin dan kitosan: a. Keterbatasan modal untuk Industri Kecil Menengah (IKM) Kitin Proses pembuatan kitin merupakan proses yang cukup sederhana dibandingkan dengan proses pembuatan kitosan. Oleh karena itu, industri kecil menengah yang berada di daerah produsen udang maupun produk olahan udang perlu didorong untuk dapat memanfaatkan limbah cangkang udang menjadi kitin. Namun kendala yang terjadi adalah keterbatasan modal bagi IKM yang menjalankan usaha tersebut. Minimnya kualitas SDM untuk IKM, menjadi salah satu faktor penghambat IKM untuk mengajukan pinjaman modal pada bank atau instansi keuangan lain. b. Lemahnya kerjasama antar Instansi Pemerintahan, pelaku industri dan Perguruan Tinggi Pengembangan industri kitin dan kitosan memerlukan interaksi dan kolaborasi dari berbagai stakeholder yaitu Instansi Pemerintahan, pelaku industri dan Perguruan Tinggi. Industri dalam hal ini berfungsi sebagai penggerak (driving force), sementara itu perguruan tinggi berfungsi untuk melakukan transfer teknologi dan ilmu pengetahuan pada industri baru maupun industri eksisting. Pemerintah memiliki peran sebagai pendorong dan penyedia modal bagi industri baru berbasis teknologi baru. Namun pada kenyataannya, kerjasama antar stakeholder masih belum terjalin secara dinamis. Sebagai contoh, instansi pemerintah, industri dan perguruan tinggi memiliki badan penelitian dan pengembangan yang berjalan masing-masing dengan tujuan dan kepentingan yang berbeda-beda. c. Ketidakmampuan industri untuk mengefisiensikan biaya produksi Tingginya biaya produksi merupakan salah satu aspek yang menjadi perhatian pengembangan industri kitin dan kitosan. Salah satu komponen biaya produksi yang menjadi fokus adalah biaya bahan baku. Terpenuhinya kebutuhan bahan baku berupa cangkang udang sangat dipengaruhi oleh tingginya produksi udang tambak atau udang tangkap dan kondisi
28
d.
e.
f.
g.
h.
lingkungan. Karena hal itulah, maka harga yang ditentukan untuk bahan baku menjadi fluktuatif tergantung pada kondisi ketersediaan cangkang udang di pasaran. Belum ada kerjasama untuk membentuk asosiasi industri kitin dan kitosan Berdasarkan informasi yang didapatkan, bahwa industri kitin dan kitosan yang ada saat ini belum memiliki tujuan membentuk asosiasi industri. Asosiasi memiliki peranan penting dalam meningkatkan iklim usaha yang kondusif dan kompetitif baik dalam negeri ataupun secara global. Disamping itu, asosiasi juga dapat berperan sebagai wadah untuk menyalurkan aspirasi/kepentingan pelaku industri kepada penentu kebijakan atau pihak lain juga dalam hal penyeimbang harga jual dan harga beli produk atau bahan baku di pasaran. Dengan adanya asosiasi industri kitin dan kitosan, diharapkan industri kitin dan kitosan dapat berkembang dengan pesat dan dapat berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi Indonesia. Lemahnya promosi produk kitin kitosan Kitin dan kitosan merupakan produk antara atau intermediate product yang tergolong baru dan belum banyak dikenal di pasar khususnya Indonesia. Berbagai penelitian mengenai kegunaan dan manfaat kitin dan kitosan telah dilakukan baik di dalam maupun di luar negeri, namun komersialisasi kitin dan kitosan masih terbatas hanya di kalangan peneliti pada universitas atau lembaga penelitian dan pengembangan. Industri kitin dan kitosan PT X juga memiliki kelemahan tidak memiliki divisi pemasaran khusus. Minimnya promosi produk kitin dan kitosan menyebabkan tingkat pembelian yang stagnant karena jumlah konsumen yang tidak bertambah. Ketidakmampuan untuk bersaing dengan industri pakan ternak Limbah udang berupa cangkang dan kepala juga dapat dimanfaatkan sebagai bahan baku pakan ternak. Penggunaan cangkang udang sebagai bahan baku tambahan untuk pakan ternak lebih mudah diterapkan karena tidak membutuhkan teknologi ataupun peralatan khusus dan hanya melalui proses pengeringan dan pencacahan. Disamping itu, tingginya kebutuhan pakan ternak di suatu daerah tertentu menjadi penyebab sulitnya akses terhadap bahan baku limbah udang. Belum mampu melakukan perluasan industri kitin dan kitosan di remote area Industri kitin dan kitosan di Indonesia tersentralisasi di Pulau Jawa, walaupun di sisi lain potensi bahan baku (limbah cangkang udang) tersebar secara sporadis dalam jumlah besar di seluruh pulau di Indonesia khususnya di remote area atau area terpencil yang belum memiliki fasilitas atau infrastruktur yang memadai. Pemanfaatan limbah cangkang udang yang tersebar di remote area sebagai bahan baku industri kitin dan kitosan yang eksisting di Pulau Jawa tidak efektif dan menimbulkan ekonomi biaya tinggi. Namun menanggapi kondisi tersebut, industri kitin dan kitosan PT X belum memiliki arah untuk melakukan perluasan industri khusus kitin di remote area untuk dapat mengoptimalkan pemanfaatan limbah cangkang udang dan meminimumkan biaya pengiriman bahan baku. Keterbatasan jumlah Sumber Daya Manusia (SDM) ahli bidang kitin dan kitosan Pengembangan industri kitin dan kitosan khususnya industri kitin di kawasan remote area harus diawali dengan persiapan SDM yang kompeten untuk
29
mendidik tenaga terampil di daerah tersebut. Peran SDM berkompeten ini adalah untuk melatih pekerja khususnya di industri pengolahan udang yang tersebar di seluruh Indonesia untuk memberikan nilai tambah atas cangkang udang yang dihasilkan menjadi produk lain khususnya kitin yang memiki nilai ekonomi tinggi. Tersebarnya potensi bahan baku industri kitin dan kitosan, disertai dengan dibutuhkannya banyak SDM yang berkompeten untuk melatih para pelaku industri pengolahan udang maupun unit-unit pengolahan udang di seluruh Indonesia untuk memproduksi kitin dan/atau kitosan, yang pada akhirnya dapat mendorong peningkatan pertumbuhan industri kitin. Faktor Peluang Faktor peluang merupakan faktor eksternal yang mendukung perkembangan industri kitin dan kitosan. Berdasarkan hasil wawancara, terdapat 5 faktor peluang yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan industri kitin kitosan, yaitu: a. Potensi pasar ekspor Terdapat permintaan pasar global yang signifikan dan terus meningkat terhadap kitin dan kitosan untuk berbagai aplikasi seperti industri pangan, bioteknologi, farmasi, kedokteran serta lingkungan. Jepang adalah pasar terbesar untuk kitosan khususnya untuk aplikasi pada pengolahan air. Sementara itu, Amerika Serikat adalah pasar terbesar kedua untuk kitin dengan aplikasi penggunaan terbesar pada penjernih air, sedangkan penggunaan terbesar kitosan adalah untuk kosmetik dan toiletries seperti sabun, shampo dan pasta gigi. Potensi konsumsi kitosan dunia (Chitin & Chitosan, April 2008 dalam Hayes 2012) dapat dilihat pada Tabel 10.
Tabel 10 Konsumsi Kitosan Dunia Berdasarkan Aplikasi (t), 2010, 2015 Aplikasi
2010
2015 (Proyeksi)
Proyeksi CAGR (%)
Pengolahan Air Kosmetik dan toiletries Makanan dan minuman Kesehatan dan Medis Bahan Kimia Pertanian Bioteknologi Pulp dan Kertas Tekstil Fotografi Lain-lain
6,670 2,031 1,641 1,474 1,181 508 252 172 116 225
11,436 3,776 3,154 3,063 2,604 925 456 336 222 407
11.55 13.39 14.12 15.93 17.36 12.81 12.77 14.48 14.04 12.75
Secara global, produksi kitin dan kitosan di Eropa didestinasikan untuk pasar Amerika. Sementara itu permintaan di Eropa diproyeksikan semakin meningkat sejak Jerman diekspektasikan sebagai pasar terbesar karena adanya tekanan dari kelompok lingkungan untuk menggunakan produk yang alami/biodegradable (Hayes, 2012). Hal tersebut tentunya patut dijadikan sebagai peluang yang perlu dimanfaatkan bagi industri kitin dan kitosan di Indonesia untuk mencapai pasar ekspor dunia.
30
b. Trend industri ramah lingkungan Kesadaran untuk melakukan upaya pelestarian lingkungan menjadi acuan bagi pelaku bisnis untuk melakukan aktivitas bisnis yang berwawasan lingkungan. Pembangunan industri yang berkelanjutan pun tidak hanya mengacu pada faktor ekonomi dan sosial, namun juga mencakup faktor lingkungan seperti menggunakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, melakukan efisiensi energi dan bertanggung jawab atas limbah yang dihasilkan. Adanya insentif seperti pengurangan pajak bagi industri pioner yang menggunakan sumber daya alam yang dapat diperbaharui, penghargaan seperti PROPER dan sertifikasi manajemen lingkungan turut mempengaruhi pertumbuhan dan peningkatan daya saing setiap industri. Adanya trend industri ramah lingkungan ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk pengembangan industri kitin dan kitosan khususnya di Indonesia. c. Peran Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) di remote area sebagai pembentuk tenaga terampil IKM kitin Arah pengembangan industri kitin dan kitosan di Indonesia adalah fokus pada pengembangan industri kitin khususnya di daerah tertentu yang memiliki banyak industri pengolahan udang. Hal ini didasari oleh persebaran bahan baku berupa cangkang udang dipengaruhi oleh keberadaan industri pengolahan udang itu sendiri. Kondisi yang ada saat ini adalah banyaknya jumlah cangkang udang yang tidak termanfaatkan seperti di Kalimantan Utara. Namun tingginya biaya transportasi dan infrastruktur yang tidak memadai menjadikan cangkang udang tersebut tidak layak secara ekonomi untuk dijadikan bahan baku di industri kitin dan kitosan yang ada di Pulau Jawa. d. Banyaknya riset terkait dengan pengembangan kitin dan kitosan Kitin dan kitosan merupakan hal yang bukan baru dalam dunia penelitian di kalangan akademisi. Berbagai penelitian telah dilakukan untuk meneliti tentang pemanfaatan cangkang udang sebagai kitin dan kitosan ataupun mengenai potensi pemanfaatan kitin dan kitosan untuk berbagai produk turunannya (kito-oligosakarida, nanochitosan dsb) atau produk aplikasinya (aplikasi di bidang kesehatan, kecantikan, makanan, industri, serta pengendalian pencemaran). Banyaknya riset tersebut merupakan peluang bag i suatu industri eksisting atau industri baru untuk melakukan pengembangan produk kitin dan kitosannya menjadi lebih berkualitas, variatif dan memiliki daya saing. e. Implementasi blue economy oleh pemerintah dengan mengintegrasikan industri kitin kitosan dalam industrialisasi udang Konsep blue economy merupakan aspek penting dalam pembangunan perikanan dan kelautan. Blue economy merupakan evolusi dari pembangunan berkelanjutan yang mengedepankan peningkatan ekonomi melalui prinsip efisiensi bahan baku, sistem produksi nol limbah, kepedulian sosial serta inovasi dan kreatifitas. Pengembangan industri kitin dan kitosan turut mendukung industri kelautan dan perikanan khususnya industri pengolahan udang untuk menerapkan sistem produksi nol limbah, dimana limbah cangkang udang dimanfaatkan kembali untuk produk yang memiliki nilai tambah.
31
Faktor Hambatan Berdasarkan wawancara yang dilakukan terhadap beberapa responden, dapat diketahui 5 faktor ancaman pada saat ini atau di waktu yang akan datang, yang perlu diantisipasi oleh industri kitin dan kitosan eksisting maupun industri baru, yaitu: a. Hambatan kelembagaan Salah satu industri kitosan dan produk turunannya yaitu pupuk organik dan pengawet makanan, menghadapi kendala dalam hal penerbitan izin produk dari pemangku kepentingan terkait. Rumitnya syarat perizinan, lamanya proses perizinan, lemahnya kompetensi dan terbatasnya jumlah sumber daya manusia menjadi hambatan kelembagaan yang perlu diantisipasi dan dicarikan solusi terbaik demi terciptanya pengembangan industri kitin dan kitosan di Indonesia. Disamping itu kurangnya koordinasi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah dalam hal peningkatan investasi turut menjadi hambatan. b. Kompetisi dengan negara lain seperti China Saat ini China merupakan produsen kitin terbesar di dunia (Hayes 2012). Dari segi harga, kitin dan kitosan dari Indonesia jauh di bawah harga produk dari China. Pemerintahan China memiliki kebijakan pemberian subsidi sebesar 15% bagi industri yang melakukan ekspor, sehingga industri dapat menjual produknya dengan harga murah. Menanggapi hal tersebut, industri kitin dan kitosan di Indonesia perlu mengantisipasi kompetisi tersebut dengan meningkatkan daya saing melalui peningkatan kualitas produk. c. Hambatan perdagangan internasional untuk ekspor kitin dan kitosan Dalam hal pengembangan industri kitin dan kitosan yang berorientasi ekspor, yang perlu diantisipasi di masa yang akan datang adalah kebijakan perdagangan internasional dalam bentuk non-tariff measures (NTM) yang bertujuan untuk memproteksi produsen domestik dalam menghadapi persaingan impor dengan produk asing. Kebijakan yang ditetapkan negara tujuan mengharuskan negara pengekspor untuk memperhatikan dan memenuhi standar, baik dalam hal pengolahan maupun mutunya. Hal yang seringkali menjadi alasan penolakan diterimanya produk ekspor adalah adanya kandungan zat kimia berbahaya. Sebagai contoh pada tahun 2002/2003, terdapat penurunan suplai kitin di China akibat penolakan impor seafood dari China di Eropa. Tentunya hal tersebut berpengaruh pada penjualan udang olahan dan juga produksi maupun harga kitin. d. Terbatasnya konsumen lokal Kitin dan kitosan merupakan jenis produk antara (intermediate product ) yang membutuhkan proses lebih lanjut untuk mendapatkan fungsinya dan dapat diaplikasikan pada dunia industri, biomedis dan pertanian. Hingga saat ini penggunaan kitin dan kitosan di Indonesia belum mendapatkan perhatian lebih khususnya di dunia industri pengguna kitin dan kitosan. Hal ini berbeda dengan negara-negara lain seperti Jepang, Amerika Serikat, Jerman dan Kanada yang menjadi pasar dunia untuk kitin dan kitosan (Hayes 2012). Saat ini, pasar ekspor untuk kitin dan kitosan lebih dominan dibandingkan pasar lokal karena hanya beberapa negara maju seperti Jepang, Korea, Eropa dan Amerika yang memiliki teknologi untuk mengembangkan kitin dan kitosan menjadi produk turunan yang memiliki nilai tambah lebih tinggi. Di dalam
32
negeri, kitin dan kitosan membutuhkan pasar khusus yaitu industri yang menggunakan kitin dan kitosan sebagai bahan baku atau bahan penolongnya serta untuk kebutuhan riset di laboratorium riset perguruan tinggi maupun lembaga riset pemerintahan. Terbatasnya konsumen lokal ini dikarenakan minimnya promosi yang dilakukan baik kepada masyarakat maupun industri pengguna langsung. Di samping itu, harga kitin dan kitosan yang tergolong tinggi untuk bahan baku suatu industri menyebabkan industri pengguna lebih memilih menggunakan bahan kimia yang memiliki karakteristik serupa dengan kitin atau kitosan namun dengan harga yang lebih murah. e. Impor kitin dan kitosan Indonesia akan menghadapi Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada Desember 2015 dimana lalu lintas perdagangan bebas di kawasan Asia Tenggara menjadi tanpa kendala. MEA diberlakukan dalam rangka peningkatan daya saing ekonomi kawasan yang menjadikan ASEAN sebagai basis produksi dunia. Terdapat 7 sektor yang barang industri yang dijadikan prioritas dalam perdagangan bebas, yaitu produk berbasis pertanian, elektronik, perikanan, produk berbasis karet, tekstil, otomotif dan produk berbasis kayu (Wangke 2014). Menimbang sektor perikanan turut menjadi prioritas, maka bukan tidak mungkin laju impor kitin dan kitosan akan semakin deras dan berakibat melemahnya produksi kitin dan kitosan dalam negeri. Derasnya laju impor perlu diantisipasi dengan pemberlakuan screening dalam bentuk syarat dan ketentuan bagi produk maupun pendukungnya. Analisis Matriks IFE
Matriks IFE menganalisis faktor-faktor strategis internal yaitu faktor-faktor yang menjadi kekuatan dan kelemahan industri kitin dan kitosan. Hasil identifikasi kekuatan dan kelemahan dimasukkan sebagai faktor strategis internal, yang kemudian diberi bobot dan rating sehingga diperoleh nilai (skor) seperti Tabel 11. Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 11, relasi yang baik dengan pemasok bahan baku untuk menjamin ketersediaan bahan baku dan penerapan quality control menjadi faktor kekuatan paling penting dengan bobot 0,094. Kemampuan industri untuk mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pesat (bobot 0,073). Kekuatan lain adalah penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk kitin dan SNI untuk kitosan (bobot 0,072) yang dibuat harmonis dengan standar internasional untuk dapat menjamin kualitas dan keamanan kitin dan kitosan yang pada akhirnya dapat meningkatkan daya saing industri nasional di pasar internasional. Faktor kelemahan utama dalam pengembangan industri kitin dan kitosan adalah ketidakmampuan untuk melakukan efisiensi biaya produksi (bobot 0,101) yang dapat diakibatkan karena tingginya biaya transportasi untuk pasokan bahan baku dan belum memadainya fasilitas infrastruktur di daerah. Kelemahan lain yang perlu mendapat perhatian yaitu keterbatasan jumlah SDM ahli bidang kitin (bobot 0,092) yang menjadikan industri kitin dan kitosan belum banyak berkembang khususnya di luar Pulau Jawa dan persaingan bahan baku dengan industri pakan ternak (bobot 0,087).
33
Tabel 11 Faktor Strategis Internal Industri Kitin dan Kitosan No
Faktor Strategis Internal
Bobot (A)
Rating (B)
Skor (AxB)
0,073
3,333
0,243
0,094 0,094 0,072
3,500 3,500 2,833
0,329 0,329 0,204
0,085 0,081
2,167 2,333
0,184 0,189
0,101 0,067
2,500 2,667
0,252 0,179
0,085 0,087
1,667 2,167
0,142 0,189
0,068
2,000
0,136
0,092 1
2,167
0,200 2,576
KEKUATAN
1 2 3 4
Kemampuan industri mengikuti perkembangan IPTEK Penerapan quality control Relasi yang baik dengan pemasok bahan baku Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) KELEMAHAN
5 6 7 8 9 10 11 12
Keterbatasan modal untuk IKM Lemahnya kerjasama antara pemerintah, pelaku industri dan perguruan tinggi Belum mampu melakukan efisiensi biaya produksi Belum ada kerjasama untuk membentuk asosiasi industri kitin kitosan Lemahnya pemasaran produk kitin dan kitosan Ketidakmampuan untuk bersaing dengan industri pakan ternak Belum mampu melakukan perluasan industri kitin ke daerah Keterbatasan jumlah SDM ahli bidang kitin Total
Di samping itu adanya keterbatasan modal untuk IKM kitin (skor 0,085), dan lemahnya pemasaran produk kitin dan kitosan baik pada masyarakat atau industri pengguna (skor 0,085). Belum adanya industri kitin khususnya di remote area yang memiliki potensi bahan baku melimpah (skor 0,068) dan tidak adanya asosiasi industri kitin dan kitosan (skor 0,067) turut menjadi kelemahan yang perlu diatasi melalui strategi pengembangan industri kitin dan kitosan. Analisis Matriks EFE
Matriks EFE menganalisis faktor-faktor strategis eksternal yaitu faktorfaktor yang menjadi peluang dan hambatan dalam pengembangan industri kitin dan kitosan. Hasil identifikasi peluang dan hambatan dimasukkan sebagai faktor strategis eksternal, yang kemudian diberi bobot dan rating sehingga diperoleh nilai (skor) seperti Tabel 12. Peluang utama dalam hal pengembangan industri kitin dan kitosan adalah potensi pasar ekspor (skor 0,452) kepada negara-negara tujuan yang telah menyadari akan pentingnya penggunaan produk ramah lingkungan (skor 0,308). Tersebarnya SMK bidang perikanan dan kelautan di seluruh Indonesia merupakan peluang bagi penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang dapat mendukung pertumbuhan industri kitin (skor 0,215).
34
Tabel 12 Faktor Strategis Internal Industri Kitin dan Kitosan No
Faktor Strategis Eksternal
Bobot (A)
Rating (B)
Skor (AxB)
0,129 0,097 0,081
3,500 3,167 2,667
0,452 0,308 0,215
0,070
2,667
0,187
0,085
2,333
0,198
0,091 0,149 0,098
2,667 1,833 2,333
0,242 0,273 0,228
0,115 0,086 1
1,667 2,333
0,192 0,201 2,495
PELUANG
1 2 3 4 5
Potensi pasar ekspor Trend penggunaan produk ramah lingkungan Peran SMK di remote area sebagai pembentuk tenaga terampil IKM kitin Banyaknya riset mahasiswa yang terkait dengan pengembangan kitin kitosan Implementasi konsep blue economy dengan mengintegrasikan industri kitin kitosan dalam industrialisasi udang ANCAMAN
6 7 8 9 10
Hambatan kelembagaan (perijinan, birokrasi) Kompetisi dengan negara lain seperti China Hambatan perdagangan internasional untuk ekspor kitin dan kitosan Terbatasnya konsumen lokal Impor Kitin dan Kitosan
Total
Faktor hambatan utama dalam mengembangkan industri kitin dan kitosan adalah adanya kompetisi dengan negara lain salah satunya China (bobot 0,149), diikuti oleh terbatasnya konsumen lokal untuk kitin dan kitosan (bobot 0,115), hambatan perdagangan internasional (bobot 0,098) seperti hambatan tarif (pemberlakuan bea masuk dan tarif lainnnya) dan hambatan non tarif (hambatan selain penerapan pengenaan tarif atas suatu barang) dari negara tujuan serta hambatan kelembagaan (bobot 0,091). Hambatan lain yang perlu diantisipasi adalah potensi derasnya arus impor kitin dan kitosan akibat dibukanya Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) pada akhir tahun 2015 (skor 0,201). Analisis Matriks IE
Berdasarkan hasil analisis matriks IFE dan EFE didapatkan nilai total skor terbobot faktor strategis internal sebesar 2,576 dan nilai total skor faktor strategis eksternal sebesar 2,495. Nilai tersebut kemudian dipetakan pada matriks IE (Gambar 11) untuk selanjutnya dilakukan analisis untuk mengetahui posisi industri dalam pemilihan alternatif strategi. Total nilai faktor internal pada industri kitin dan kitosan sebesar 2,576 menunjukkan bahwa industri kitin dan kitosan memiliki faktor internal pada kondisi rata-rata dan total nilai eksternal sebesar 2,495 menunjukkan bahwa respon yang diberikan industri kitin dan kitosan tergolong sedang. Jika dipetakan pada matriks IE sebagaimana ditunjukkan pada Gambar 11, maka nilai tersebut berada pada kuadran atau sel kelima atau menunjukkan strategi yang sesuai bagi
35
Gambar 11 Hasil Analisis Matriks IE industri kitin dan kitosan adalah strategi pertumbuhan (growth) dengan konsentrasi melalui integrasi horizontal dan strategi stabilitas (stability). Strategi pertumbuhan melalui konsentrasi horizontal merupakan suatu usaha untuk memperluas industri dengan cara membangun industri di lokasi lain dan meningkatkan jenis produk serta jasa. (Rangkuti 2014). Mengacu pada Rangkuti (2014), strategi yang dapat diterapkan pada industri kitin dan kitosan yang ada saat ini difokuskan pada konsolidasi, yaitu bertujuan untuk menghindari kehilangan penjualan dan kehilangan profit. Hal-hal yang perlu dilakukan oleh industri pada posisi strategi tersebut adalah memperluas pasar, meningkatkan fasilitas produksi dan teknologi melalui pengembangan internal dan eksternal melalui akuisisi atau joint ventures dengan industri lain yang juga bergerak dalam proses yang sama. Industri kitin dan kitosan merupakan industri yang tergolong baru di Indonesia dengan jumlah yang masih terbatas, sehingga kerjasama antar perusahaan yang bergerak di bidang industri kitin dan kitosan diperlukan untuk mencapai target pasar yang tidak dapat dicapai secara individual.
Analisis Matriks SWOT
Analisis Matriks SWOT digunakan untuk memformulasikan alternatif strategi pengembangan industri kitin dan kitosan berdasarkan kombinasi berbagai faktor internal dan eksternal yang telah diidentifikasi sebelumnya. Hasil formulasi tersebut kemudian dikelompokkan menjadi empat kelompok strategi yang terdiri dari strategi Kekuatan – Peluang (SO), strategi Kekuatan – Ancaman (ST), strategi Kelemahan – Peluang (WO) dan strategi Kelemahan – Ancaman (WT), seperti yang dimuat dalam Tabel 12 . 1. Strategi SO Strategi SO adalah strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang yang ada, yaitu: a. Pengembangan kurikulum tentang teknologi pembuatan kitin dan kitosan pada SMK-SMK di remote area
36
Remote area dalam pembahasan ini merujuk pada daerah di kawasan pesisir atau pantai yang sebagian besar penduduknya bermata pencaharian sebagai nelayan dan wilayah tersebut memiliki produksi perikanan khususnya udang yang tinggi. Tersebarnya SMK-SMK di beberapa daerah pesisir khususnya yang memiliki fokus pada kelautan dan perikanan tentunya dapat menjadi sarana untuk pengembangan kurikulum tentang teknologi pembuatan kitin dan kitosan. Strategi ini dilakukan untuk membentuk sumber daya manusia yang terlatih dan dapat menerapkan ilmu yang didapatkan khususnya mengenai bagaimana memanfaatkan limbah cangkang udang yang ada di daerah tersebut menjadi kitin dan kitosan. b. Pembukaan akses dan pengembangan pasar internasional Hingga saat ini pemanfaatan kitin dan kitosan sebagai bahan baku pada aplikasi di dunia medis, industri maupun pertanian banyak dilakukan di berbagai negara maju mengingat teknologi yang digunakan tergolong teknologi tinggi. Sebagai contoh, di Indonesia terdapat satu industri yang khusus memproduksi kitin dan kitosan untuk diekspor ke Korea untuk kemudian diproses kembali menjadi berbagai produk salah satunya untuk pengolahan air limbah. Peluang ini perlu dimanfaatkan oleh pemangku kepentingan khususnya pemerintah untuk membuka akses penjualan ke pasar internasional mengingat pasar dalam negeri belum menaruh perhatian lebih pada penggunaan kitin dan kitosan. Diharapkan permintaan impor kitin dan kitosan dari Indonesia dapat membantu meningkatkan pertumbuhan industri kitin dan kitosan, yang secara tidak langsung dapat menimbulkan dampak positif bagi pengembangan industri kitin dan kitosan di Indonesia. c. Membangun kelembagaan kemitraan antar industri pengolahan udang sebagai penyuplai bahan baku industri kitin dan kitosan Indonesia memiliki banyak industri pengolahan udang yang tersebar di seluruh pulau, sehingga menjamin ketersediaan limbah cangkang udang sebagai bahan baku industri kitin dan kitosan. Mengingat bahan baku merupakan faktor penting bagi keberlangsungan industri, maka keberlanjutan suplai bahan baku perlu dikontrol agar tidak terjadi gap antara supply dan demand . Dengan membentuk kemitraan antar industri pengolahan udang di setiap daerah, maka diharapkan akan ada jaminan pasokan bahan baku dari limbah industri pengolahan udang baik dari segi kualitas, kuantitas dan harga. 2. Strategi ST Strategi ST adalah strategi yang menggunakan kekuatan yang ada untuk menghindari atau mengantisipasi ancaman, yaitu: a. Implementasi kebijakan kemudahan investasi di tingkat pemerintah daerah (Prov dan Kab/Kota) Salah satu strategi pengembangan industri kitin dan kitosan adalah dengan meningkatkan pertumbuhan industri tersebut melalui investasi baik dalam negeri maupun asing. Namun pada kenyataannya, prosedur untuk investasi tersebut harus melalui jalur birokrasi yang panjang dan rumit karena adanya ketidakselarasan kebijakan antar pemerintah pusat dan daerah. Oleh karena itu, kemudahan investasi perlu didukung tidak hanya oleh
37
kebijakan namun juga didukung oleh aparatur pemerintah yang kompeten dalam menciptakan iklim usaha industri yang kondusif. b. Menjaga kualitas produk kitin dan kitosan Dalam menghadapi ancaman di era perdagangan bebas ini, tentunya industri kitin dan kitosan perlu melakukan tindakan defensive agar produk kitin dan kitosan dalam negeri tetap dapat bersaing dengan produk asing. Oleh karena itu, tetap menjaga kualitas produk kitin dan kitosan dapat menjadi pertahanan dalam menghadapi ancaman yang ada. c. Melakukan diversifikasi produk turunan kitin dan kitosan Hingga saat ini, pasar dalam negeri untuk kitin dan kitosan masih bersifat stagnan. Penggunaan kitin dan kitosan pun masih terbatas pada penggunaan untuk uji laboratorium di universitas atau di lembaga pemerintahan. Diversifikasi produk turunan kitin dan kitosan perlu dilakukan untuk meningkatkan nilai tambah produk dan juga untuk menarik pasar dalam negeri karena masyarakat Indonesia cenderung membeli produk yang dapat dirasakan secara langsung fungsi dan kegunaannya tanpa melalui pengolahan terlebih dahulu. d. Kebijakan pemerintah untuk pembatasan kuota impor kitin dan kitosan Dibukanya keran perdagangan bebas atau Masyarakat Ekonomi Asean (MEA) menjadi tantangan yang perlu dihadapi ke depannya oleh industri kitin dan kitosan untuk dapat bersaing dengan industri internasional. Untuk melindungi industri kitin dan kitosan dalam negeri, maka perlu dibuat kebijakan untuk membatasi kuota impor kitin dan kitosan. Salah satu cara untuk membatasi kuota impor adalah melalui Standar Nasional Indonesia ataupun menetapkan bea masuk bagi impor kitin dan kitosan. e. Pemanfaatan teknologi yang inovatif sebagai sarana promosi Teknologi komunikasi dan informasi berkembang dengan pesat. Hal ini perlu dimanfaatkan oleh industri dalam menjalin hubungan dengan pembeli atau pelanggannya. Penggunaan web site yang informatif dapat menarik perhatian dan mempengaruhi setiap calon pembeli yang ada di dalam negeri maupun internasional. 3. Strategi WO Strategi WO adalah strategi yang dapat dilakukan untuk memanfaatkan peluang yang ada dengan cara mengatasi kelemahan yang dimiliki, yaitu: a. Pelaksanaan Training of Trainer (TOT) Training of trainer adalah suatu konsep pelatihan kepada individuindividu yang bertujuan untuk mempersiapkan mereka sebagai pelatih (trainer ). Persebaran cangkang udang (produk samping industri pengolahan udang) di seluruh daerah di Indonesia berpotensi untuk diolah lebih lanjut menjadi kitin. Mengingat bahwa cangkang udang banyak yang belum termanfaatkan dengan nilai tambah yang tinggi, maka TOT tersebut perlu diterapkan untuk menciptakan SDM yang ke depannya mampu menciptakan industri-industri kecil atau menengah untuk mengolah cangkang udang menjadi kitin dan/atau kitosan. b. Memaksimalkan peran pusat inkubator bisnis perguruan tinggi Pusat inkubator bisnis merupakan suatu wadah untuk memfasilitasi percepatan penumbuhan usaha baru yang juga dapat membentuk sumber daya manusia yang kreatif, inovatif, produktif dan kooperatif sehingga
38
dapat menciptakan usaha atau industri baru yang kompetitif. Perguruan tinggi berpotensi besar menghasilkan wirausaha baru melalui transfer teknologi dan lembaga penelitian (Agustina 2011). c. Mendirikan asosiasi industri kitin dan kitosan Strategi mendirikan asosiasi bertujuan untuk menghimpun seluruh industri kitin dan kitosan di Indonesia agar dapat bersama-sama menuju industri yang kompetitif. Melalui asosiasi, pertukaran informasi menjadi lebih mudah sehingga akses menuju pasar global menjadi lebih terbuka. Dengan adanya asosiasi, berbagai kendala untuk kemajuan industri seperti keterbatasan bahan baku, perlunya pembaharuan teknologi, peningkatan kapasitas SDM, pengembangan pasar, hingga pengontrolan harga dapat ditemukan solusi yang terbaik tentunya dengan melibatkan pelaku industri juga stakeholder terkait. 4. Strategi WT Strategi WT adalah strategi yang dilakukan dengan meminimalkan kelemahan yang dimiliki serta menghindari ancaman yang ada, yaitu: a. Business meeting antara pelaku usaha dengan potential buyer Strategi untuk melaksanakan business meeting antara pelaku usaha dan potential buyer dilakukan untuk membentuk konektivitas dan penjajakan pasar antar pelaku usaha. Melalui strategi ini, industri pengolahan udang, industri kitin dan kitosan serta potential buyer dari beberapa industri pengguna dapat saling bertukar informasi dan pada akhirnya terbentuk hubungan bisnis yang menguntungkan bagi seluruh pihak. b. Bantuan pembiayaan atau kemudahan pembiayaan khususnya pada IKM Kitin Pemberdayaan industri kecil menengah di daerah untuk memulai usaha atau produksi kitin tentunya membutuhkan modal yang tidak sedikit. Bantuan pembiayaan dapat berupa bantuan alat dan mesin, serta pinjaman modal dari Pemerintah. c. Perbaikan dan penyediaan infrastruktur industri di remote area Pengembangan industri kitin atau kitosan di remote area membutuhkan fasilitas infrastruktur yang memadai. Perbaikan atau penyediaan infrastruktur di daerah seperti jalan raya, jembatan, pelabuhan, jaringan telekomunikasi dan transportasi, akan dapat memudahkan proses pengiriman bahan baku ataupun distribusi produk kepada customer. Disamping itu infrastruktur jaringan listrik juga perlu disiapkan oleh suatu wilayah yang menjadi lokasi baru pengembangan industri, karena tanpa pasokan listrik yang cukup industri tidak mungkin dapat beroperasi. d. Meningkatkan promosi melalui pameran nasional atau internasional Mengingat produk kitin dan kitosan belum banyak diketahui secara global, maka strategi pemasaran merupakan strategi yang perlu dilakukan. Dengan meningkatnya jumlah masyarakat yang mengetahui apa dan bagaimana manfaat dari kitin dan kitosan, maka akan semakin meningkat permintaan produk dan diikuti oleh peningkatan pertumbuhan industri. Oleh karena itu, industri perlu lebih aktif dan tanggap untuk memasarkan produknya pada berbagai pameran bertaraf nasional maupun internasional yang diselenggarakan oleh Pemerintah atau Perguruan Tinggi.
39
Tabel 13 Matriks SWOT Alternatif Strategi Pengembangan Industri Kitin dan Kitosan Faktor Internal (IFAS)
Strengths (S) 1. Kemampuan industri mengikuti perkembangan IPTEK 2. Penerapan quality control yang baik 3. Relasi yang baik dengan pemasok bahan baku 4. Penerapan Standar Nasional Indonesia untuk produk kitin dan kitosan
Weaknesses (W) 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Faktor Eksternal (EFAS)
7. 8.
Opportunities (O)
Strategi SO
Keterbatasan modal untuk IKM Lemahnya kerjasama antara pemerintah, pelaku industri dan perguruan tinggi Ketidak mampuan industri untuk mengefisiensikan biaya produksi Belum ada kerjasama untuk m embentuk asosiasi industri kitin dan kitosan Lemahnya promosi produk kitin dan kitosan Ketidakmampuan untuk bersaing dengan industri pakan ternak Belum mampu melakukan perluasan industri kitin dan kitosan di remote area Keterbatasan jumlah SDM ahli bidang kitin Strategi WO
1. Potensi pasar ekspor 2. Trend penggunaan produk ramah lingkungan 3. Peran SMK di remote area sebagai pembentuk tenaga terampil IKM kitin 4. Banyaknya riset mahasiswa yang terkait dengan pengembangan kitin kitosan 5. Implementasi konsep blue economy melalui integrasi industri kitin kitosan dalam industrialisasi udang Threats (T)
1. Pengembangan kurikulum tentang Teknologi Pembuatan Kitin dan Kitosan pada SMK-SMK di Remote Area 2. Pembukaan akses dan pengembangan pasar internasional 3. Membangun kelembagaan kemitraan rantai suplai
1. Pelaksanaan Training of Trainer (TOT) 2. Memaksimalkan peran Pusat Inkubator Bisnis perguruan tinggi 3. Mendirikan asosiasi industri kitin dan kitosan
Strategi ST
Strategi WT
1. Hambatan kelembagaan (perijinan, birokrasi) 2. Kompetisi dengan negara lain seperti China 3. Hambatan perdagangan internasional untuk ekspor kitin dan kitosan 4. Terbatasnya konsumen lokal 5. Impor Kitin dan Kitosan
1. Implementasi kebijakan kemudahan investasi di tingkat pemerintah daerah (Prov dan Kab/Kota) 2. Menjaga kualitas produk kitin dan kitosan 3. Melakukan diversifikasi produk turunan kitin dan kitosan 4. Kebijakan Pemerintah untuk pembatasan kuota impor kitin dan kitosan 5. Pemanfaatan teknologi yang inovatif sebagai sarana promosi
1. Business meeting antara pelaku usaha dengan potential buyer 2. Bantuan pembiayaan atau kemudahan pembiayaan khususnya pada IKM 3. Perbaikan dan penyediaan infrsatruktur industri di remote area 4. Meningkatkan promosi melalui pameran n asional atau internasional
40
Analisis Pemilihan Alternatif Strategi
Berdasarkan studi literatur, wawancara dan pengisian kuesioner yang dilakukan kepada beberapa responden, dapat disusun suatu hierarki strategi pengembangan industri kitin dan kitosan yang terbagi menjadi 4 level, yaitu kriteria (Level 1), aktor (Level 2), tujuan (Level 3) dan Alternatif Strategi (Level 4). Hierarki sistem pengembangan industri kitin dan kitosan sebagaimana tercantum pada Gambar 12, merupakan acuan yang digunakan dalam penentuan prioritas strategi melalui matriks perbandingan berpasangan.
Analisis Pemilihan Alternatif Strategi
Berdasarkan studi literatur, wawancara dan pengisian kuesioner yang dilakukan kepada beberapa responden, dapat disusun suatu hierarki strategi pengembangan industri kitin dan kitosan yang terbagi menjadi 4 level, yaitu kriteria (Level 1), aktor (Level 2), tujuan (Level 3) dan Alternatif Strategi (Level 4). Hierarki sistem pengembangan industri kitin dan kitosan sebagaimana tercantum pada Gambar 12, merupakan acuan yang digunakan dalam penentuan prioritas strategi melalui matriks perbandingan berpasangan.
Gambar 12 Hierarki Pemilihan Strategi Dalam hal pemilihan strategi pengembangan industri kitin dan kitosan, terdapat tiga faktor penting yang menjadi fokus yaitu bahan baku, proses produksi dan pemasaran produk. Bahan baku merupakan faktor penting yang perlu dikaji sebelum suatu perusahaan melakukan investasi, karena sistem pengadaan bahan baku merupakan biaya paling dominan bagi kebanyakan agroindustri. Jika bahan baku yang digunakan rusak atau tidak sesuai dengan yang dibutuhkan maka dapat mempengaruhi proses produksi dan proses pemasaran lebih lanjut. Pemasaran produk agroindustri berbeda dengan produk non agroindustri karena melibatkan politik dan kontrol pemerintah dalam hal harga, kualitas dan distribusi produk. Di sisi lain, proses produksi merupakan hal penting karena menghubungkan proses pengadaan bahan baku dan pemasaran. Proses produksi tidak berdiri sendiri namun melibatkan beberapa elemen diantaranya pemilihan teknologi, lokasi
41
produksi, manajemen inventarisasi, pasokan untuk proses produksi, program dan kontrol serta by-product (Austin 1981). Pengembangan industri kitin dan kitosan melibatkan beberapa aktor yaitu pemerintah, akademisi dan sektor industri. Keterlibatan tiga aktor tersebut mengacu pada konsep triple helix, yaitu suatu konsep di negara maju yang berawal dari kebutuhan universitas untuk bekerja bersama dengan industri dalam mempertajam pengetahuan yang semakin melimpah dan untuk mempertahankan pengembangan yang berkelanjutan antara industri dan universitas. Peran pemerintah dalam konsep ini adalah untuk mendukung sinergi antara universitas dan industri melalui perannya sebagai pembuat keputusan dalam kaitannya mengembangkan daerah lokal (Irawati, 2006). Strategi pengembangan industri kitin dan kitosan difokuskan pada empat tujuan utama yaitu memanfaatkan limbah secara optimal, meningkatkan pertumbuhan industri, menuju industri yang kompetitif dan meningkatkan pemasaran produk. Pemanfaatan limbah secara optimal dalam konteks ini adalah pemanfaatan kembali produk samping proses pengolahan udang seperti cangkang, ekor dan kepala udang yang jumlahnya melimpah namun tidak tersebar secara merata atau bersifat sporadis. Produk samping tersebut akan memiliki nilai tambah lebih tinggi jika diproses kembali sebagai bahan baku industri kitin dan kitosan. Tingginya pertumbuhan industri kitin dan kitosan dipacu oleh adanya sentralisasi industri kitin dan kitosan di Pulau Jawa. Persebaran pertumbuhan industri di Pulau Jawa mencapai 69% dibanding keseluruhan pulau di Indonesia. Adanya potensi persebaran limbah cangkang udang di beberapa provinsi dan perlunya pertumbuhan industri kitin dan kitosan di luar Pulau Jawa menjadi alasan untuk meningkatkan pertumbuhan industri kitin dan kitosan. Di samping itu, industri kitin dan kitosan yang kompetitif diperlukan agar industri kitin dan kitosan di Indonesia menjadi industri yang memiliki daya saing dan turut berkontribusi dalam meningkatkan perekonomian negara. Tujuan terakhir yang ingin dicapai adalah meningkatkan pemasaran produk, baik pasar dalam negeri maupun pasar internasional. Pemasaran yang baik menjadi acuan bagi industri untuk terus meningkatkan kapasitas maupun kualitas produksinya agar mampu memenuhi permintaan pasar lokal maupun pasar ekspor. Setelah hirarki AHP terbentuk, penyebaran kuesioner disebarkan kepada lima pakar terkait untuk memberikan penilaian bagi setiap komponen yang ada, untuk kemudian diolah hasilnya menggunaan program aplikasi Expert choice 2000. Terdapat lima belas alternatif strategi pengembangan industri kitin dan kitosan yang didapatkan berdasarkan analisis SWOT. Dengan menggunakan metode Analytical Hierarchy Process (AHP) akan didapatkan urutan prioritas strategi tertinggi hingga terendah untuk masing-masing responden dan dapat disimpulkan strategi dengan prioritas tertinggi berdasarkan hasil kombinasi 5 pakar. Gambar 13 menunjukkan tampilan hirarki pemilihan strategi pengembangan industr i kitin dan kitosan pada ap likasi Expert Choice 2000.
42
Gambar 13 Tampilan Hirarki AHP Strategi Pengembangan Industri Kitin dan Kitosan (Expert Choice 2000) Hasil Penilaian Hirarki Level 2 (Faktor) Berdasarkan hasil wawancara yang dituangkan dalam penghitungan menggunakan Expert Choice 2000, didapatkan nilai eigen setiap faktor dan bobot faktor dari keenam pakar sebagaimana tercantum pada Tabel 14. Hasil wawancara pada pakar dari sisi pemerintah dan pemasok bahan baku menunjukkan bahwa pengadaan bahan baku merupakan faktor penting dalam strategi pengembangan industri kitin dan kitosan. Sementara itu menurut akademisi, Faktor penting dalam pemilihan strategi adalah prosesnya. Dan bagi pengguna, pemasaran yang menjadi Faktor yang paling penting. Lain halnya dengan pelaku industri yang cenderung menilai pengadaan bahan baku, proses dan pemasaran merupakan tiga faktor terpenting. Setelah dikombinasikan, dapat diketahui bahwa pengadaan bahan baku merupakan Faktor terpenting dalam menentukan strategi pengembangan industri kitin dan kitosan dengan bobot kriteria 0,409, diikuti pemasaran produk dengan bobot 0,328. Nilai konsistensi rasio (CR) yang dihitung pada Expert Choice 2000 menunjukkan nilai 0 (konsisten) Pengadaan bahan baku menjadi kriteria penting karena adanya potensi bahan baku untuk industri kitin dan kitosan yang melimpah jika pasokan bahan baku dari seluruh daerah di Indonesia dapat dikelola dengan baik. Pemasaran juga
Tabel 14 Nilai Eigen Faktor untuk Pemillihan Strategi Pakar P1 (Pemerintah-KKP) P2 (Pemerintah-Kemenperin) P3 (Akademisi) P4 (Pelaku Industri) P5 (Pengguna) P6 (Pemasok Bahan Baku) Bobot Faktor
Nilai Eigen Pengadaan Bahan Proses Baku 0,429 0,143 0,594 0,249 0,200 0,600 0,333 0,333 0,249 0,157 0,594 0,157 0,409 0,263
43
Pemasaran 0,429 0,157 0,200 0,333 0,594 0249 0,328
menjadi kriteria terpenting karena produk kitin dan kitosan belum memiliki pasar dalam negeri yang cukup baik. Kitin dan kitosan yang diproduksi di Indonesia ada yang diolah sebagai pupuk, zat pengawet pada makanan dan juga ada yang diekspor untuk diolah kembali menjadi produk turunannya. Kendala pun dirasakan dalam memasarkan produk aplikasi kitin dan kitosan yaitu dalam hal izin edar karena produk tersebut masih tergolong jenis produk baru. Hasil Penilaian Hirarki Level 3 (Aktor) Berdasarkan hasil wawancara yang dituangkan dalam penghitungan menggunakan Expert Choice 2000, didapatkan nilai eigen untuk masing-masing penilaian pakar dan didapatkan bobot aktor dari keenam pakar sebagaimana tercantum pada Tabel 15. Hasil wawancara pada pakar dari pemerintah 1 (KKP) dan pengguna menunjukkan bahwa industri kitin dan kitosan merupakan aktor penting dalam strategi pengembangan industri kitin dan kitosan. Sedangkan dari sisi Pemerintah 2 (Kemenperin) dan pemasok bahan baku, aktor yang paling berperan adalah industri pengolahan udang. Sementara itu menurut akademisi dan pelaku industri kitin dan kitosan, aktor terpenting dalam pemilihan strategi adalah sektor pengguna kitin dan kitosan. Berdasarkan hasil integrasi bobot aktor yang didapatkan dari pengalian bobot masing-masing level kriteria dengan bobot aktor di setiap kriteria (Marimin 2010), dapat diketahui bahwa industri kitin dan kitosan merupakan aktor terpenting dalam menentukan strategi pengembangan industri kitin dan kitosan dengan nilai 0,305. Nilai konsistensi rasio (CR) yang dihitung pada Expert Choice 2000 menunjukkan nilai < 0,10 (konsisten). Hasil Penilaian Hirarki Level 3 (Tujuan) Berdasarkan hasil wawancara yang dituangkan dalam penghitungan menggunakan Expert Choice 2000, didapatkan nilai eigen untuk masing-masing penilaian pakar dan bobot tujuan dari keenam pakar sebagaimana tercantum pada Tabel 16. Hasil wawancara pada pakar pemerintah menunjukkan bahwa “meningkatkan pertumbuhan industri” merupakan tujuan terpenting dalam strateg i pengembangan industri kitin dan kitosan. Menurut akademisi, pelaku industri dan pengguna, tujuan terpenting dalam pemilihan strategi adalah “meningkatk an pemasaran produk”. Dari sisi pemasok bahan baku, “mengoptimalkan pemanfaatan limbah” merupakan tujuan terpenting dalam menentukan strategi pengembangan industr i kitin dan kitosan. Setelah dikombinasikan, diketahui
Tabel 15 Nilai Eigen Aktor untuk Pemilihan Strategi
Pakar P1 (Pemerintah-KKP) P2 (Pemerintah-Kemenperin) P3(Akademisi) P4 (Pelaku Industri) P5 (Pengguna) P6 (Pemasok Bahan Baku) Bobot Aktor
Pemerintah
0,176 0,233 0,173 0,167 0,263 0,088 0,178
Nilai Eigen Akademisi Industri Pengolahan Udang 0,100 0,215 0,108 0,277 0,097 0,221 0,165 0,127 0,145 0,155 0,054 0,360 0,110 0,215
44
Industri Kitin dan Kitosan 0,338 0,264 0,228 0,242 0,287 0,339 0,305
Pengguna Kitin dan Kitosan 0,172 0,118 0,280 0,300 0,150 0,159 0,192
Tabel 16 Nilai Eigen Tujuan untuk Pemilihan Strategi
Pakar P1 (Pemerintah-KKP) P2 (PemerintahKemenperin) P3 (Akademisi) P4 (Pelaku Industri) P5 (Pengguna) P6 (Pemasok Bahan Baku) Bobot Tujuan
Mengoptimalkan Pemanfaatan Limbah 0,234 0,245 0,146 0,136 0,230 0,440 0,228
Nilai Eigen Meningkatkan Menuju Pertumbuhan Industri Industri Kompetitif 0,274 0,225 0,347 0,214 0,248 0,216 0,121 0,186 0,225
0,281 0,272 0,305 0,189 0,257
Meningkatkan Pemasaran Produk 0,268 0,193 0,325 0,377 0,343 0,184 0,289
masing-masing tujuan dan “meningkatkan pemasaran produk” merupakan tujuan terpenting dalam strategi pengembangan industri kitin dan kitosan dengan bobot tertinggi sebesar 0,289. Nilai konsistensi rasio (CR) yang dihitung pada Expert Choice 2000 menunjukkan nilai < 0,10 (konsisten). Hasil Penilaian Hirarki Level 4 (Alternatif Strategi) Tujuan utama pada penelitian ini adalah untuk menemukan strategi terbaik dalam mengembangkan industri kitin dan kitosan, oleh karena itu hasil penilaian hirarki level 4 ini dapat memberikan jawaban atas tujuan yang dimaksud. Hasil penilaian hirarki level 4 didapatkan berdasarkan sudut pandang yang berbeda beda dari para pakar yaitu (a) Pemerintah, (b) Akademisi, (c) Industri Pengolahan Udang, (d) Industri Kitin dan Kitosan, (e) Pengguna kitin dan kitosan (user ). Keseluruhan nilai eigen untuk penilaian hierarki level 4 berdasarkan wawancara pada responden yang dihitung menggunakan Expert Choice 2000 dapat dilihat pada Tabel 17. Nilai konsistensi rasio (CR) yang dihitung pada Expert Choice 2000 menunjukkan nilai < 0,10 (konsisten). Hasil analisis penetapan strategi dari beberapa responden perlu dikombinasikan sehingga dapat diketahui nilai rata-rata alternatif strategi yang mewakili keseluruhan responden. Berdasarkan nilai rata-rata tersebut didapatkan tiga strategi yang menjadi prioritas dalam pengembangan industri kitin dan kitosan yaitu pembukaan akses dan pengembangan pasar internasional (skor 0,086), perbaikan dan penyediaan infrastruktur industri di remote area (0,087) dan penguatan bisnis antar pelaku usaha dengan pembeli potensial (0,082). Integrasi dari penilaian pada setiap level pada hierarki dalam proses penentuan strategi pengembangan indusri kitin dan kitosan menurut beberapa responden sebagai partisipan dapat dilihat pada Gambar 14. Gambar 14 menunjukkan bahwa dalam mengembangkan industri kitin dan kitosan, jaminan ketersediaan bahan baku dan pemasaran adalah dua kriteria penting. Untuk menjalankan strategi tersebut, peran industri kitin dan kitosan selaku aktor utama dan beberapa pemangku kepentingan lain seperti industri pengguna, penyuplai bahan baku, Pemerintah dan akademisi sangatlah diperlukan. Aktor-aktor tersebut yang memiliki peran penting khususnya dalam meningkatkan pemasaran produk dan menciptakan industri yang kompetitif. Untuk mencapai tujuan tersebut, maka beberapa alternatif strategi dapat dilakukan seperti membuka akses dan
45
Tabel 17 Hasil Penilaian Hirarki Level 4 (Alternatif Strategi) Alternatif
Perbaikan dan Penyediaan Infrastruktur Industri di Remote Area Pembukaan Akses dan Pengembangan Pasar Internasional Business Meeting antar Pelaku Usaha dengan Potential Buyer Membangun lembaga kemitraan antar industri pengolahan udang Bantuan Pembiayaan atau Kemudahan Pembiayaan IKM Kitin di Remote Area Meningkatkan Promosi melalui Pameran Nasional atau Internasional Menjaga Kualitas Produk Kitin dan Kitosan Implementasi Kebijakan Kemudahan Investasi di Tingkat Pemerintah Daerah Pemanfaatan Teknologi yang Inovatif sebagai Sarana Promosi Melakukan diversifikasi produk turunan kitin dan kitosan Memaksimalkan peran Pusat Inkubator Bisnis Perguruan Tinggi Mendirikan Asosiasi Industri Kitin dan Kitosan Pelaksanaan Training of Trainer Pengembangan Kurikulum Teknologi Pembuatan Kitin dan Kitosan pada SMK Pembatasan Kuota Impor Kitin dan Kitosan
Bobot
0,087 0,086 0,082 0,082 0,079 0,078 0,078 0,076 0,066 0,056 0,051 0,048 0,047 0,044 0,043
pengembangan pasar internasional, perbaikan dan penyediaan infrastruktur industri di area pesisir atau daerah yang memiliki tingkat produksi udang yang tinggi, serta penguatan bisnis melalui pertemuan bisnis antar pelaku usaha kitin dan kitosan dengan pembeli potensial. Formulasi Strategi Pengembangan Industri Kitin dan Kitosan
Merujuk pada hasil analisis matriks internal eksternal, posisi industri kitin dan kitosan merupakan industri yang membutuhkan strategi pertumbuhan dengan konsentrasi horizontal atau memperluas industri dengan cara perluasan atau membangun industri kitin dan kitosan di lokasi lain atau dengan cara meningkatkan jenis produk. Menurut Rangkuti (2014), terkait strategi pertumbuhan maka hal-hal yang diperlukan oleh industri yang dapat diadopsi oleh industri kitin dan kitosan adalah memperluas pasar dan meningkatkan fasilitas industri dan teknologi melalui pengembangan internal dan eksternal melalui akuisisi atau joint ventures. Terdapat keterkaitan antara strategi pertumbuhan oleh Rangkuti dengan penetapan strategi pengembangan industri kitin dan kitosan menggunakan metode AHP. Strategi memperluas pasar sejalan dengan strategi pembukaan akses dan pengembangan pasar internasional, peningkatan fasilitas industri dan teknologi melalui pengembangan internal dan eksternal sejalan dan dapat diintegrasikan dengan strategi penguatan bisnis melalui pertemuan bisnis yang dilakukan antara pelaku industri dengan calon pembeli potensial Berdasarkan dua analisis penentuan strategi pengembangan industri kitin dan kitosan, maka dapat diformulasikan strategi, yaitu: 1. Meningkatkan pemasaran produknya dengan pemilihan target pasar internasional dengan melibatkan pemerintah dalam hal promosi produk melalui pameran internasional dan dalam hal penjaminan mutu produk serta melibatkan industri kitin dan kitosan (secara mandiri atau bekerja sama dengan pihak lain) untuk proaktif dalam melakukan penelitian dan pengembangan mengenai pasar
46
yang potensial. Penentuan target pasar internasional perlu mempertimbangkan jumlah konsumen dan kapasitas pembelian yang besar, zona perdagangan bebas regional dan evaluasi pasar potensial. Selain itu, perlu diputuskan bagaimana cara memasuki pasar, menentukan cara untuk memasarkan produk dengan cepat, menentukan organisasi pemasaran dan hal yang paling utama adalah memenuhi spesifikasi standar produk bagi negara tujuan ekspor. 2. Mengembangkan akuisisi atau joint ventures dalam hal alih teknologi, peningkatan investasi yang mendukung pertumbuhan industri, penguasaan pasar ekspor dan perluasan industri di wilayah Indonesia. Strategi ini perlu dilakukan dengan melibatkan industri sebagai pelaku usaha dan Pemerintah selaku pemangku kepentingan dalam memfasilitasi pembukaan investasi bagi investor dalam maupun luar negeri. Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Pemerintah Daerah dan instansi teknis terkait perlu dilibatkan dalam pelaksanaan strategi ini.
Gambar 14 Hierarki Proses Penentuan Strategi Pengembangan Industri Kitin dan Kitosan
47
3. Penguatan bisnis melalui penyelenggaraan pertemuan bisnis antar pemangku kepentingan terkait dengan melibatkan pemerintah sebagai fasilitator. Tujuan dari pertemuan bisnis ini adalah terbentuknya Memorandum of Understanding (MoU) atau nota kesepahaman antara pihak-pihak yang terlibat agar tercipta kepastian hubungan bisnis yang lebih mengikat dalam hal penjaminan kesediaan bahan baku dan peningkatan pemasaran produk bagi industri kitin dan kitosan. Implikasi Praktis
Penentuan strategi pengembangan industri kitin dan kitosan diharapkan dapat memberikan implikasi bagi praktisi dalam menjalankan industri dan bagi pemerintah agar dapat menciptakan kebijakan yang mendukung pengembangan industri ini.Implikasi praktis tersebut adalah: 1. Industri kitin dan kitosan agar menempatkan aspek pemasaran di pasar global dengan memperhatikan berbagai aspek penting seperti pemilihan pasar, mekanisme memasuki pasar, strategi pemasaran dan mengelola pemasaran (Elilitan dan Anatan 2009); 2. Pemerintah agar dapat mengembangkan kerjasama internasional dalam hal: a. Peningkatan integrasi industri kitin dan kitosan dalam negeri ke dalam jaringan rantai suplai global melalui pembangunan jejaring kerja dengan negara mitra industri, pelaksanaanforum koordinasi dan penyesuaian standar kualitas kitin dan kitosan dengan standar negara mitra; b. Peningkatan kerjasama investasi melalui penyusunan perencanaan kebutuhan investasi industri kitin dan kitosan serta promosi investasi industri dengan melibatkan instansi pemerintah seperti Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), asosiasi dan dunia usaha terkait; c. Pengadaan teknologi industri melalui akuisisi atau joint venture. 3. Pemerintah daerah terkait dapat melakukan promosi kitin dan kitosan sebagai potensi daerah yang memiliki nilai tambah yang tinggi, melalui penyelenggaraan forum bisnis dengan melibatkan dunia usaha (Kamar Dagang dan Industri dan asosiasi industri terkait) dan investor.
48
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan
Industri kitin dan kitosan merupakan bagian dari pohon industri udang, yaitu industri yang menghasilkan produk biopolimer seperti kitin dan kitosan yang tergolong pada produk antara (intermediate) dengan segmen pasar yaitu industri pengguna. Industri kitin dan kitosan di Indonesia cenderung berorientasi pada pasar ekspor untuk diolah kembali menjadi berbagai produk turunan olah negara tujuan ekspor. Pengembangan industri kitin dan kitosan di Indonesia dipengaruhi beberapa faktor internal dan eksternal. Faktor internal utama yaitu penerapan kontrol kualitas produk yang selalu dipertahankan dan penerapan efisiensi biaya produksi yang belum terlaksana dengan baik, sedangkan faktor eksternal utama yaitu potensi pasar ekspor yang perlu dimanfaatkan dan persaingan penjualan dengan negara lain yang perlu diantisipasi. Berdasarkan faktor-faktor tersebut, maka diperlukan tiga alternatif strategi pengembangan bagi industri kitin dan kitosan yaitu, 1. Meningkatkan pemasaran produknya dengan pemilihan target pasar internasional 2. Mengembangkan akuisisi atau joint ventures internasional dalam hal alih teknologi, peningkatan investasi dan penguasaan pasar ekspor 3. Menguatkan bisnis kitin dan kitosan melalui penguatan kolaborasi antar pemangku kepentingan terkait dengan tujuan menjamin kesediaan bahan baku dan meningkatkan pemasaran produk.
Saran
Hal-hal lebih lanjut yang dapat diusulkan terkait dengan penelitian ini, yaitu: 1. Strategi pengembangan industri kitin dan kitosan pada penelitian ini bersifat umum berdasarkan kondisi di lapangan menurut para pakar, sehingga agar penelitian selanjutnya dilakukan strategi pengembangan industri yang bersifat teknis melalui studi kasus pada satu industri. 2. Pengembangan industri kitin dan kitosan tidak lepas dari peran pemerintah, sehingga diharapkan pemerintah dapat membuat suatu kebijakan dan dukungan khusus pada industri berbasis limbah khususnya industri kitin dan kitosan sebagai salah satu industri prioritas di Indonesia. 3. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai potensi dan strategi pasar ekspor kitin dan kitosan, mengingat banyak negara maju yang fokus pada pemanfaatan kitin dan kitosan pada berbagai aplikasi.
49
DAFTAR PUSTAKA
Abbas AOM. 2010. Chitosan for biomedical aplications . University of Iowa. Agustina TS. 2011. Peran Inkubator Bisnis Perguruan Tinggi dalam Meminimalkan Resiko Kegagalan Bagi Wirausaha Baru pada Tahap Awal (Start Up). Majalah Ekonomi. Tahun XXI. No 1:64-74 . Austin JE. 1981. Agroindustrial Project Analysis. The Johns Hopkins University Press. Baltmore and London. Bansal V, Sharma PK, Sharma N, Pal OP, Malviya R. 2011. Applications of Chitosan and Chitosan Derivatives in Drug Delivery. Advances in Biological Research 5 (1), pg. 2837, ISSN 1992-0067. Burrows F, Louime C, Abazinge M, Onokpise O. 2007. Extraction and Evaluation of Chitosan from Crab Exoskeleton as a Seed Fungicide and Plant Growth Enhancer. American-Eurasian J. Agric & Environ. Sci., 2(2): 103-111 Chasanah E, Barus HR. 1994. Komposisi Kimia Udang dan Ikan Demersal Perairan Laut Dalam. Jurnal Penelitian Perikanan Laut No 86 Tahun 1994: 42-47. Cheba BA. 2011. Chitin and Chitosan: Marine Biopolymers with unique Properties and Versatile Applications. Global Journal of Biotechnology & Biochemistry . Cuero RG. 1999. Antimicrobial action of exogenus chitosan. In: Chitin and Chitinases, Jollés P, Muzzarelli RAA, Eds, Birkhäuser Verlag: Basel, Switzerland:315-33. Dutta PK, Dutta J, Tripathi VS. 2004. Chitin and Chitosan: Chemistry, Properties and Applications, Journal of Scientific and Industrial Research, Vol. 63: 20-31. Dyahningtyas TE. 2010. Potency of Chitosan as a Bioactive Edible Coating for Preservation of Meat of Common Shrimps (Crangon crangon). University of Hamburg. Hamburg. Etzkowitz H. 2007. University-Industry-government: The Triple Helix Model of Innovation [internet]. [diacu 2014 Juli 9]. Tersedia dari: http://www.eoq.org/fileadmin/user_upload/Documents/Congress_proceedings/Prague_ 2007/Proceedings/007_EOQ_FP_-_Etzkowitz_Henry_-_A1.pdf Glaister KW, and Falshaw JR. 1999. Strategic Planning Still Going Strong, Long Range Planning, Vol. 32 No.1:107-116 Hahn HH, Hoffmann E, Odegaard H. 2004. Chemical water and wastewater treatment. IWA Publishing: London, UK; VolumeVIII. Hayes M. 2012. Chitin, Chitosan and their Derivatives from Marine Rest Raw Materials: Potential Food and Pharmaceutical Applications. Marine Bioactive Compounds: Sources, Characterization and Appications, DOI 10.1007/978-1-4614-1247-2_4. Henson S, Cranfield J. 2009. Building the Political Case for Agro-industries and Agribusiness in Developing Countries. FAO and UNIDO. Agro-industries for Development. Indrasti NS, Suprihatin, Setiawan WK. 2012. The Combination of Chitosan-Nutmeg Extract For The Natural Antibacteria and Preservative Agents of Red Snapper (Lutjanus sp.) Fillet, Jurnal Teknologi Industri Pertanian Vol. 22: 122-130. ISSN 0216-3160 Irawati D. 2006. Understanding The Triple Helix Model from The Perspective of The Developing Country: A Demand or A Challenge for Indonesian Case Study?, MPRA Paper No. 5829, posted 20 November 2007 Koo H, Chau K, Koo L, Liu S, Tsui S. 2011. A Structured SWOT Approach to Develop Strategies of Macau, SAR, Journal of Strategy and Management, 4(1).62-81 50
Lee RM. 1993. Doing Research on Sensitive Topic . London: Sage Muzzarelli RAA. 1999. Clinical and biochemical evaluation of chitosan by hypercholesterolemia and overweight control. In: Chitin and Chitinases. Jollés P, Muzzarelli RAA, Eds. Birkhäuser Verlag: Basel, Switzerland; 293-04. Rout SK. 2001. Physicochemical, Functional and Spectroscopic Analysis of Crawfish Chitin and Chitosan as Affected by Process Modification , Louisiana State University. Shaidi F, Arachchi JKV, Jeon YJ. 1999. Food applications of chitin and chitosan. Trends Food Sci Technol; 10: 37-51 Sugita P, Wukirsari T, Sjahriza A, Wahyono D. 2009. Kitosan Sumber Biomaterial Masa Depan. IPB Press Synowiecki J, Al-Khateeb N. 2003. Production, properties, and some new applications of chitin and its derivatives. Crit Rev Food Sci Nutr; 43(2): 145-71. Teftal H. 2000. Chitin and Chitosan Industry and Its Potential in Quebec . McGill University. Canada. Vargas M, Martinez CG. 2010. Recent Patents on Food Applications of Chitosan, Recent Patents on Food, Nutrition & Agriculture: 121-128 Williams DF. 2008. On The Mechanisms of Biocompatibility. Biomaterials, Vol. 29, No. 20: 2941-29953, ISSN 0142-9612 Wangke H. 2014. Peluang Indonesia dalam Masyarakat Ekonomi Asean 2015. Info Singkat Hubungan Internasional. Vol. VI, No.10/II/P3DI/Mei/2014. [internet]. [diacu 2015 Maret 16]. Tersedia dari: http://statistik.kkp.go.id Xing R, Liu S, Guo Z, Yu H, Wang P, Li C, Li Z, Li P. 2007. Relevance of molecular weight of chitosan and its derivatives and their antioxidant activities in vitro. Bioorg Med Chem; 13: 1573-77 . Yen MT, Yang JH, Mau JL. 2008. Antioxidant properties of chitosan from crab shells. Carbohydr Polym; 74: 840-44.
51
LAMPIRAN
Lampiran 1. Contoh Perhitungan Faktor Strategis Internal A. Pembobotan faktor strategis internal menurut pakar Pemerintah - Hasil wawancara Tabel A. Hasil wawancara dengan Pakar dari KKP A B C D E F G H I J K A 1 1/2 1 ½ ½ ½ ½ ½ 1/2 ½ ½ B 1 1 1 ½ 2 1 1 2 2 2 C 1 2 ½ 2 1 1 2 2 1 D 1 ½ 2 ½ ½ 2 1 ½ E 1 2 1 1 2 2 2 F 1 ½ ½ ½ ½ ½ G 1 1 2 2 ½ H 1 2 2 2 I 1 1/2 ½ J 1 ½ K 1 L Keterangan: A-L = Faktor-saktor strategis internal ½ = Jika indikator horizontal kurang penting daripada indikator vertikal 1 = Jika indikator horizontal sama penting dengan indikator vertikal 2 = Jika indikator horizontal lebih penting daripada indikator vertikal -
L ½ 2 2 2 2 2 2 2 ½ ½ 2 1
Perhitungan nilai bobot faktor Strategis Eksternal dengan manipulasi matriks Pembobotan dengan metode pairwise comparison menggunakan prinsip kerja AHP. Contoh perhitungan untuk pembobotan untuk faktor strategis internal (menggunakan software Expert Choice 2000) 1. Jalankan program expert choice dengan perintah : Start/Program/Expert Choice 2000 2. Buka file brainstorming dengan perintah : File/New, lalu ketik nama file. Setelah selesai buka file dengan perintah : open 3. Ketikkan goal atau sasaran yang ingin dicapai di kotak goal description dengan nama “Menentukan bobot faktor strategis internal”
Gambar A. Tampilan Deskripsi Sasaran yang Ingin Dicapai 52
4.
Buat hierarki level 2 (alternatif) dengan cara klik “simbol Add alternatve” pada pojok kanan atas, ketikkan nama-nama alternatif faktor strategis internal. Klik enter selesai mengetikkan nama alternatif.
Gambar B. Tampilan Alternatif Pilihan untuk Faktor Strategis Internak 5.
Untuk mengisi level kedua, letakkan kursor di level pertama (goal ), klik simbol 3:1 atau klik Assessment/Pairwise, kemudian muncul tabel perbandingan dan isikan nilai perbandingan pada level kedua sesuai dengan matriks pengisian.
Gambar C. Tampilan Pembuatan Matriks Pairwise Comparison
53
Gambar D. Tampilan Nilai pada Matriks Pairwise Comparison 6.
Hasil penilaian bobot alternatif ditunjukkan dengan cara: letakkan kursor di level pertama ( goal ), klik assessment/calculate maka akan muncul bobot faktor strategis internal seperti gambar berikut.
Gambar E. Tampilan Hasil Penilaian Bobot Alternatif Faktor Strategis Internal 7.
Untuk partisipan (responden) selanjutnya, maka penilaian dilakukan dengan cara: a. Klik simbol participant b. Tambahkan participant yang akan dimasukkan dengan perintah: Edit/Add N participant / masukkan jumlah participant (karena jumlah partisipan ada 5, maka default nya adalah P2, P3, P4, P5, P6)/OK c. Masukkan judgement setiap partisian (mengulang proses No 5) d. Integrasikan pendapat para responden dengan cara: pilih combined pada pilihan participant , klik assessment/combine participant judgement/entire hierarcy. Hasil integrasi beberapa responden ditunjukkan pada Gambar 6.
54
Gambar F. Tampilan Hasil Penilaian Bobot Alternatif terhadap 6 Responden B. Rating Tabel B. Perhitungan Nilai Rating berdasarkan 6 Responden A 3
B 4
Rating C D 3 4
4 3 4
4 3 2
3 3 2
2 4 3
4 4 2
4 4 4
3,5 3,5 2,833
Keterbatasan modal untuk IKM Lemahnya kerjasama antara pemerintah, pelaku industri dan perguruan tinggi
1 2
3 3
3 3
1 1
3 3
2 2
2,167 2,333
Ketidakmampuan untuk melakukan efisiensi biaya produksi 8 Belum ada kerjasama untuk membentuk asosiasi industri kitin kitosan 9 Lemahnya promosi produk kitin dan kitosan 10 Ketidakmampuan untuk bersaing dengan industri pakan ternak 11 Belum mampu melakukan perluasan industri kitin ke daerah 12 Keterbatasan jumlah SDM ahli bidang kitin Total
2
2
3
2
4
2
2,5
2
2
3
4
2
3
2,667
1 2
2 2
2 3
1 1
2 1
2 4
1,667 2,167
1
3
3
1
1
3
2
2
3
3
1
3
1
2,167
No
Faktor Strategis Internal
1
Kemampuan industri mengikuti perkembangan IPTEK Penerapan quality control Relasi yang baik dengan pemasok bahan baku Penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI)
2 3 4 5 6 7
Rataan E 3
F 3
3,333
Keterangan : A = Akademisi B = Industri Kitin dan Kitosan C = Industri Pengolahan Udang D = Industri Pengguna Kitin dan Kitosan
E = Kementerian Perindustrian F = Kementerian Kelautan dan Perikanan
55
Lampiran 2. Contoh Perhitungan AHP menggunakan Expert Choice 2000 (Berdasarkan Seluruh Responden)
1. Penentuan Bobot Faktor Untuk mengetahui bobot masing-masing kriteria hasil integrasi dari seluruh responden, klik pada simbol yang diberi tanda lingkaran merah menjadi “Combined”. Untuk mengetahui bobot masing-masing kriteria pada salah satu responden, dapat dilakukan dengan klik simbol segitiga terbalik pada simbol yang ditandai lingkaran merah, lalu pilih responden yang diinginkan
Gambar G. Tampilan Hierarki AHP – Penentuan Bobot Faktor 2. Penghitungan Bobot Aktor Tabel C. Penghitungan Bobot Aktor Faktor Aktor Pemerintah Akademisi Industri Pengolahan Udang Industri Kitin dan Kitosan Pengguna Kitin dan Kitosan
Bahan Baku 0,198 0,078 0,343
Proses 0,12 0,174
Pemasaran 0,199 0,1
Bobot Faktor 0,409 0,263
0,156
0,103
0,328
Bobot Aktor 0,178 0,110
0,215 0,235
0,343
0,361 0,305
0,146 1
0,208
0,237
1,001
1 56
0,192 1,000263
Contoh Perhitungan Bobot Aktor (Pemerintah): Bobot Aktor j= ∑( ) (0,198*0,409)+( 0,12*0,263)+( 0,199*0,328) = 0,178 3. Penghitungan Bobot Tujuan Tabel D. Penghitungan Bobot Tujuan Aktor
Tujuan Optimalisasi Pemanfaatan Limbah Udang Meningkatkan Pertumbuhan Industri
Pemerint ah
Akade misi
Industri Industri Kitin Pengolahan dan Udang Kitosan
Industri Pengguna Kitin dan Kitosan
Bobot aktor
Bobot tujuan
0,137
0,371
0,352
0,18
0,167
0,178
0,228
0,288
0,171
0,212
0,222
0,217
0,110
0,225
Industri yang Kompetitif
0,257
0,22
0,19
0,321
0,254
0,215
0,257
Meningkatkan Pemasaran Produk
0,317
0,238
0,246
0,276
0,361
0,305
0,289
0,999
0,192 1,000
1,000
Jumlah
0,999
1
1
0,999
Contoh Perhitungan Bobot Tujuan (Optimalisasi Pemanfaatan Limbah Udang) : Bobot Tujuan j= ∑( ) (0,137*0,178)+( 0,371*0,110)+( 0,352*0,215)+( 0,18*0,305)+( 0,167*0,192) = 0,228 4. Penghitungan Bobot Alternatif Tabel E. Penghitungan Bobot Aternatif Optimalisasi Pemanfaatan Limbah Udang
Pembukaan akses dan pengembangan pasar internasional Perbaikan dan penyediaan infrsatruktur industri di remote area Business meeting antara pelaku usaha dengan potential buyer Meningkatkan promosi
Tujuan Meningkat kan Industri Pertumbuh yang an Industri Kompetitif
Meningkat kan Pemasaran Produk
Bobot Tujuan
Bobot Alternatif
0,058
0,073
0,071
0,13
0,228
0,0855
0,086
0,119
0,078
0,071
0,225
0,0870
0,066
0,064
0,075
0,115
0,257
0,0820
0,05
0,068
0,069
0,116
0,289
0,0780
57
Tabel E. Penghitungan Bobot Aternatif Optimalisasi Pemanfaatan Limbah Udang
melalui pameran nasional atau internasional Bantuan pembiayaan atau kemudahan pembiayaan khususnya pada IKM kitin di Remote area Membangun kelembagaan kemitraan antar industri pengolahan udang sebagai penyuplai bahan baku industri kitin dan kitosan Implementasi kebijakan kemudahan investasi di tingkat pemerintah daerah Menjaga kualitas produk kitin dan kitosan Pemanfaatan teknologi yang inovatif sebagai sarana promosi Melakukan diversifikasi produk turunan kitin dan kitosan Mendirikan asosiasi industri kitin dan kitosan Memaksimalkan peran Pusat Inkubator Bisnis perguruan tinggi Pelaksanaan Training of Trainer (TOT) Pengembangan kurikulum tentang Teknologi Pembuatan Kitin dan Kitosan pada SMK-SMK di Remote Area Pembatasan kuota impor kitin dan kitosan
Tujuan Meningkat kan Industri Pertumbuh yang an Industri Kompetitif
Meningkat kan Pemasaran Produk
Bobot Tujuan
Bobot Alternatif
0,083
0,101
0,072
0,065
0,0790
0,108
0,081
0,1
0,047
0,0822
0,086
0,107
0,069
0,051
0,0762
0,076
0,055
0,106
0,071
0,0775
0,062
0,056
0,054
0,086
0,0655
0,062
0,057
0,046
0,059
0,0559
0,053
0,038
0,05
0,05
0,0480
0,049
0,053
0,064
0,039
0,0509
0,058
0,046
0,055
0,031
0,0467
0,066
0,037
0,056
0,029
0,0462
0,036
0,045
0,036
0,038
0,0386
58