MENGATUR DAFTAR PUSTAKA DARI ABJAT A KE Z. DAN JUGA MENGATUR MARZIN
BIASA, KERTAS A4, 1,5 SPASI.
ISLAMISASI ILMU PENGETAHUAN
A. Pendahuluan
Ketika pertama kali penulis mendengar istilah Islamisasi llmu
Pengetahuan, penulis merasakan kebingungan dengan maksud istilah ini.
Jika perlu dilakukan Islamisasi, itu berarti ilmu pengetahuan saat ini
tidak Islami. Topik Islamisasi ilmu pengetahuan dan pendidikan dalam
Islam sudah diperdebatkan sejak Konferensi Dunia Pertama tentang
Pendidikan Islam di Makkah pada 1977. Tetapi sayangnya tidak ada usaha
serius untuk melacak sejarah gagasan dan mengkaji atau mengevaluasi
sejumlah persoalan pokok yang berkenaan dengan topik ini pada tingkat
praktis.
Adapun yang menjadi tokoh utama dalam ide Islamisasi ilmu
pengetahuan ini adalah Syed Muhammad Naquib Al-Attas dan Ismail Raji Al-
Faruqi, namun yang paling mengerikan dalam menetapkan tokoh utamanya
saja, sudah ada perdebatan, artinya ada yang mengatakan bahwa ide
Islamisasi ini datangnya dari al-Attas akan tetapi al-Faruqi juga
mengakui bahwa dia tidak pernah meniru idenya al-Attas.
Dalam makalah ini akan dibahas tentang pengertian, tujuan, langkah-
langkah, pro kontra terhadap ide Islamisasi ini serta pengaruh gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan. Akan tetapi penulis disini menyampaikan
bahwa yang berkenaan dengan pengaruh gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan
tidak penulis temukan.
B. Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Islamisasai ilmu pengetahuan terdiri dari tiga kata yaitu, kata
Islamisasi, ilmu dan pengetahuan. Di sini penulis akan menjelaskan satu
persatu dari ketiga kata tersebut. Islamisasi; artinya adalah
pengIslaman, pengIslaman dunia, bisa juga usaha mengIslamkan dunia.[1]
Sedangkan ilmu adalah merupakan cara berfikir dalam menghasilkan suatu
kesimpulan yang berupa pengetahuan yang dapat diandalkan. Ilmu merupakan
produk dari proses berfikir menurut langkah-langkah tertentu yang secara
umum dapat disebut sebagai berfikir ilmiah.[2] Dan yang terakhir adalah
pengetahuan. Didalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), pengetahuan
disamakan artinya dengan ilmu. Ilmu adalah pengetahuan[3]. Akan tetapi
dari berbagai referensi yang penulis baca bahwa ilmu dan pengetahuan
tidaklah sama persis, dimana ilmu lebih luas cakupannya, karna
pengetahuan belum pasti dikatakan ilmu sedangkan pengetahuan sudah
barang tentu dikatakan ilmu. Dari pengertian di atas jadi yang dikatakan
Islamisasi pengetahuan adalah; berarti mengIslamkan segala ilmu
pengetahuan.
Pengertian di atas merupakan pengertian kata perkata dari Islamisasi
ilmu pengetahuan, sedangkan pengertian dari gabungan ketiga kata
tersebut; sebagaimana menurut AI-Faruqi dalam bukunya Budi Handrianto;
menyebutkan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan (Islamization of knowladge)
merupakan usaha untuk mengacukan kembali ilmu, yaitu untuk mendefenisikan
kembali, menyusun ulang data, memikir kembali argument dan rasionalisasi,
menilai kembali tujuan dan melakukannya secara yang membolehkan disiplin
itu memperkaya visi dan perjuangan Islam. Islamisasi ilmu juga merupakan
sebagai usaha yaitu memberikan defenisi baru, mengatur data-data,
memikirkan lagi jalan pemikiran dan menghubungkan data-data, mengevaluasi
kembali kesimpulan-kesimpulan, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan
melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin itu
memperkaya wawasan Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita) Islam. [4]
Islamisasi pengetahuan kata al-Faruqi adalah solusi terhadap dualism
sistem pendidikan kaum Muslimin saat ini. Baginyan dualisme sistem
pendidikan harus dihapuskan dan disatukan dengan paradigm Islam.
Paradigma tersebut bukan imitasi dari Barat, bukan juga untuk semata-mata
memenuhi kebutuhan ekonomis dan pragmatis pelajar untuk ilmu pengetahuan
profesional, kemajuan pribadi atau pencapaian materi. Namun, paradigma
tersebut bukan diisi dengan sebuah misi, yang tidak lain adalah
menanamkan, menancapkan serta merealisasikan visi Islam dalam ruang dan
waktu.
Dapat disimpulkan bahwa mengIslamkan ilmu pengetahuan modren adalah
dengan cara menyusun dan membangun ulang sains sastra, dan sains-sains
pasti dengan memberikan dasar dan tujuan-tujuan yang konsisten dengan
Islam. Setiap disiplin harus dituangkan kembali sehingga mewujudkan
prinsip-prinsip Islam dalam metodologinya, dalam strateginya, dalam apa
yang dikatakan sebagai data-datanya, dan problem-problemnya.
Al-faruqi adalah orang yang pertama menggagas Islamisasi ilmu
pengetahuan. Ketajaman intelektual dan semangat kritik ilmiyahnya,
membawa ia sampai kepada kesimpulan bahwa ilmu-ilmu sosial model barat
menunjukkan kelemahan metodologi yang cukup mendasar, terutama bila
diterapkan untuk memahami kenyataan kehidupan sosial umat Islam yang
memiliki pandangan hidup yang sangat berbeda dari masyarakat Barat. Untuk
mencapai tujuan al-Faruqi mendirikan Himpunan Ilmu Sosial Muslim (The
Asociation of Muslim Social Scientists-AMSS) pada tahun 1972 dan
sekaligus menjadi presidennya yang pertama hingga 1918, melalui lembaga
ini ia berharap bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan terwujud.[5]
Setelah menyampaikan ide Islamisasinya pada tahun 1981, al-Faruqi
langsung mendirikan sebuah lembaga penelitian khusus untuk mengembangkan
gagasan-gagasannya tentang proyek Islamisasi, yaitu International
Institute of Islamic Though (IIIT), merupakan lembaga internasional untuk
pemikiran Islam, yang penyelenggaranya adalah AMSS sendiri.
Sedangkan Syed M. Naquib al-Attas Secara teoritis dan ideologis,
mendefenisikan islamisasi ilmu pengetahuan sebagai: pembebasan manusia
dari tradisi magis, mitologis, animistis, kultur-nasional (yang
bertentangan dengan Islam) dan dari belengu paham sekuler terhadap
pemikiran dan bahasa. Juga pembebasan dari kontrol dorongan fisiknya yang
cenderung sekuler dan tidak adil terhadap hakikat diri atau jiwanya,
sebab manusia dalam wujud fisiknya cenderung lupa terhadap hakikat
dirinya yang sebenarnya, dan berbuat tidak adil terhadapnya.[6]
Menurut al-Attas ini, islamisasi ilmu pengetahuan terkait erat
dengan pembebasan manusia dari tujuan-tujuan hidup yang bersifat dunyawi
semata, dan mendorong manusia untuk melakukan semua aktivitas yang tidak
terlepas dari tujuan ukhrawi. Bagi al-Attas, pemisahan dunia dan akhirat
dalam semua aktivitas manusia tidak bisa diterima. Karena semua yang kita
lakukan di dunia ini akan selalu terkait dengan kehidupan kita di
akhirat.
Setelah penulis membahas pengertian Islamisasi ilmu pengetahuan,
maka disini perlu juga disebutkan apa itu hakikat Islamisasi ilmu
pengetahuan, adapun hakikat Islamisasi ilmu pengetahuan adalah:
1. Similiarisasi
Menyamaratakan konsep-konsep sains dengan konsep-konsep dari
agama.
2. Paraleliasi
Konsep al-Qu`an sejalan dengan konsep sains, karena kemiripan
konotasinya, tanpa mengidentikkan keduanya.
3. Komplementasi
Antara al-Qur`an dan sains saling mengisi dan memperkuat satu
sama lainnya, tetapi tetap mempertahankan eksistensi masing-
masing.
4. Komparasi
Membandingkan konsep atau teori sains dengan konsep atau teori
agama mengenai gejala yang sama.
5. Induktifikasi
Asumsi-asumsi dari teori ilmiah yang didukung dengan penemuan
empiris, dilanjutkan pemikirannya secara teoritis-abstrak kearah
metafisik (gaib), kemudian dihubungkan dengan prinsip-prinsip al-
Qur`an.
6. Verifikasi
Mengungkapkan hasil-hasil penelitian ilmiah yang menopang dan
membenarkan kebenaran al-Qur`an.[7]
Itulah yang disebut dengan hakikat Islamisasi ilmu
pengetahuan, dimana dijelaskan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan
itu tidak terlepas dari ilmu-ilmu yang berkembang di Barat,
sehingga banyak ilmuan kita yang mengatakan bahwa pekerjaan
Islamisasi ilmu pengetahuan itu adalah pekerjaan orang bodoh,
artinya mereka mengatakan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan itu
menciblak karya orang lain dengan menyebutnya dengan karya dia
sendiri. Akan tetapi yang disebut Islamisasi ilmu pengetahuan itu
bukan semata-mata mengambil karya mereka dengan tanpa adanya
penyaringan, karena ilmu yang diambil itu harus disesuaikan dulu
dengan kaidah-kaidah ajaran Islam.
C. Tujuan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Tujuan adalah hal yang sangat perlu dalam merumuskan sesuatu, karena
tujuan merupakan titik yang akan kita tuju dalam melakukan sesuatu, jadi
tanpa adanya tujuan maka akan sulit untuk melakukan perencanaan, langkah-
langkah dan lain-lain. Begitu juga dalam merumuskan Islamisasi ilmu
pengetahuan, dimana ada beberapa tujuan yang harus dicapai dalam
menjalakan ide Islamisasi ilmu pengetahuan ini. Dalam menjalankan proses
Islamisasi ilmu pengetahuan ini ada beberapa tujuan yaitu:
1. Menguasai disiplin ilmu modern
2. Menguasai warisan Islam
3. Menetapkan relevansi khusus pada setiap bidang ilmu pengetahuan
modern.
4. Mencari jalan untuk sintesis kreatif antara warisan (Islam) dan ilmu
pengetahuan modern.
5. Membangun pemikiran Islam pada jalan yang mengarah pada kepatuhan pada
hukum Tuhan. Islamisasi juga membebaskan manusia dari sikap tunduk
kepada keperluan jasmaninya yang cenderung menzhalimi dirinya sendiri,
karena sifat jasmani adalah cenderung lalai terhadap hakikat dan asal
muasal manusia. Dengan demikian, Islamisasi tidak lain adalah proses
pengembalian kepada fitrah.
6. Bahwa di dalam Islamisasi ilmu pengetahuan terdapat pengakuan akan
adanya hirarki atau tingkatan-tingkatan ilmu pengetahuan
7. Meletakkan wahyu bukan saja sebagai salah satu sumber ilmu pengetahuan
tetapi juga standar tertinggi dalam menemukan kebenaran[8]
Selanjutnya, Secara umum, Islamisasi ilmu tersebut dimaksudkan untuk
memberikan respon positif terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang
sekularistik dan Islam yang "terlalu" religius, dalam model pengetahuan
baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antaranya. Kegiatan al-
Faruqi dalam masalah Islamisasi didorong oleh pendapatnya bahwa ilmu
pengetahuan dewasa ini sudah sekuler, dan jauh dari kerangka tauhid.
Untuk itu dia menyusun kerangka teori, metode dan langkah-langkah praktis
menuju Islamisasi ilmu pengetahuan. Sebagaimana dapat disimak dalam
bukunya Islamization of knowledge (Islamisasi ilmu pengetahuan). Sejalan
dengan itu, dia juga menyerukan adanya perombakan sistem pendidikan Islam
yang mengarah kepada Islamisasi ilmu pengetahuan dan terciptanya
paradigma tauhid dalam pengetahuan dan pendidikan.[9] Sebagai panduan
untuk usaha tersebut, al-Faruqi menggariskan satu kerangka kerja dengan
lima tujuan dalam rangka Islamisasi ilmu, sebagai berikut :
1. Penguasaan disiplin ilmu modern
2. Penguasaan khasanah warisan Islam
3. Membangun relevansi Islam dengan masing-masing bidang ilmu modern dan
khazanah warisan Islam secara kreatif dengan ilmu-ilmu modren.
4. Memadukan nilai-nilai dan khazanah warisan Islam secara kreatif dengan
ilmu-ilmu modern.
5. Pengarahan aliran pemikiran Islam ke jalan-jalan yang mencapai
pemenuhan pola rencana Allah Swt.[10]
Itulah tujuan-tujuan yang harus dicapai menurut al-Faruqi, dimana
tujuan itu sejalan dengan langkah-langkah yang ia berikan. Al-Faruqi
adalah orang yang benar-benar jelas idenya dalam merumuskan Islamisasi
ilmu pengetahuan ini. Karena al-Faruqi, mulai dari langkah-langkah sampai
ketujuan ia merumuskannya dengan sangat jelas, dan bahkan bukan cuma satu
tujuan yang ia rumuskan tapi ada lima, begitu juga dengan langkah-
langkahnya ada dua belas langkah-langkah Islamisasi ilmu pengetahuan yang
dirumuskan al-Faruqi.
D. Langkah-langkah Islamisasi
Pandangan al-Faruqi berkenaan dengan langkah-langkah dalam
Islamisasi ilmu pengetahuan, dia mengemukakan ide Islamisasi ilmunya
berlandaskan pada esensi tauhid yang memiliki makna bahwa ilmu
pengetahuan harus mempunyai kebenarannya. Al-Faruqi menggariskan beberapa
prinsip dalam pandangan Islam sebagai kerangka pemikiran metodologi dan
cara hidup Islam. Prinsip-prinsip tersebut ialah:
1. Keesaan Allah.
2. Kesatuan alam semesta.
3. Kesatuan kebenaran dan kesatuan pengetahuan.
Menurut al-Faruqi, kebenaran wahyu dan kebenaran akal itu tidak
bertentangan tetapi saling berhubungan dan keduanya saling melengkapi.
Karena bagaimanapun, kepercayaan terhadap agama yang di topang oleh wahyu
merupakan pemberian dari Allah dan akal juga merupakan pemberian dari
Allah yang diciptakan untuk mencari kebenaran.[11]
Menurut al-Faruqi, sasaran atau tujuan yang dituliskan di atas bisa
dicapai atau untuk mempermudah proses Islamisasi ilmu pengetahuan adalah
melalui 12 langkah sistematis yaitu;
1. Penguasaan disiplin ilmu modren: penguraian kategoris. Disiplin ilmu
dalam tingkat kemajuannya sekarang di Barat harus dipisah-pisahkan
menjadi kategori-kategori, prinsip-prinsip, metodologi-metodologi,
problema-problema dan tema- tema.
2. Survei disiplin ilmu. Semua disiplin ilmu harus disurvei dan di esei-
esei harus ditulis dalam bentuk bagan mengenai asal-usul dan
perkembangannya beserta pertumbuhan metodologisnya, perluasan
cakrawala wawasannya dan tak lupa membangun pemikiran yang diberikan
oleh para tokoh utamanya. Langkah ini bertujuan menetapkan pemahaman
muslim akan disiplin ilmu yang dikembangkan di dunia Barat.
3. Penguasaan terhadap khazanah Islam. Khazanah Islam harus dikuasai
dengan cara yang sama. Tetapi disini, apa yang diperlukan adalah
antologi-antologi mengenai warisan pemikir muslim yang berkaitan
dengan disiplin ilmu.
4. Penguasaan terhadap khazanah Islam untuk tahap analisa. Jika antologi-
antologi telah disiapkan, khazanah pemikir Islam harus dianalisa dari
perspektif masalah- masalah masa kini.
5. Penentuan relevansi spesifik untuk setiap disiplin ilmu. Relevensi
dapat ditetapkan dengan mengajukan tiga persoalan. Pertama, apa yang
telah disumbangkan oleh Islam, mulai dari al-Qur'an hingga pemikir-
pemikir kaum modernis, dalam keseluruhan masalah yang telah dicakup
dalam disiplin-disiplin moderen. Kedua, seberapa besar sumbangan itu
jika dibandingkan dengan hasil- hasil yang telah diperoleh oleh
disiplin modren tersebut. Ketiga, apabila ada bidang-bidang masalah
yang sedikit diperhatikan atau sama sekali tidak diperhatikan oleh
khazanah Islam, kearah mana kaum muslim harus mengusahakan untuk
mengisi kekurangan itu, juga memformulasikan masalah- masalah, dan
memperluas visi disiplin tersebut.
6. Penilaian kritis terhadap disiplin moderen. Jika relevensi Islam telah
disusun, maka ia harus dinilai dan dianalisa dari titik pijak Islam.
7. Penilaian krisis terhadap khazanah Islam. Sumbangan khazanah Islam
untuk setiap bidang kegiatan manusia harus dianalisa dan relevansi
kontemporernya harus dirumuskan.
8. Survei mengenai problem-problem terbesar umat Islam. Suatu studi
sistematis harus dibuat tentang masalah-masalah politik, sosial,
ekonomi, inteltektual, kultural, moral dan spritual dari kaum muslim.
9. Survei mengenai problem-problem umat manusia. Suatu studi yang sama,
kali ini difokuskan pada seluruh umat manusia, harus dilaksanakan.
10. Analisa kreatif dan sintesa. Pada tahap ini sarjana muslim harus sudah
siap melakukan sintesa antara khazanah-khazanah Islam dan disiplin
moderen, serta untuk menjembatani jurang kemandekan berabad-abad. Dari
sini khazanah pemikir Islam harus disenambungkan dengan prestasi-
prestasi moderen, dan harus membuat batas ilmu pengetahuan ke horison
yang lebih luas dari pada yang sudah dicapai disiplin-disiplin
moderen.
11. Merumuskan kembali disiplin-disiplin ilmu dalam kerangka kerja
(framework) Islam. Keseimbangan antara khazanah Islam dengan disiplin,
ilmu moderen dan harus ditulis untuk menuangkan kembali disiplin-
disiplin moderen dalam cetakan Islam.
12. Penyebarluasan ilmu pengetahuan yang sudah diIslamkan. Selain langkah
tersebut di atas, alat-alat bantu lain untuk mempercepat Islamisasi
pengetahuan adalah dengan mengadakan konferensi-konferensi dan seminar
untuk melibat berbagai ahli di bidang-bidang ilmu yang sesuai dalam
merancang pemecahan masalah-masalah yang menguasai pengkotakan antar
disiplin.[12]
Dua langkah pertama merupakan untuk memastikan pemahaman dan
penguasaan umat muslim terhadap disiplin ilmu tersebut sebagaimana yang
berkembang di Barat. Dua langkah seterusnya adalah untuk memastikan
sarjana Islam yang tidak mengenali warisan ilmu Islam karena masalah
akses kepada ilmu tersebut mungkin disebabkan masalah bahasa akan
berpeluang untuk mengenalinya dari antologi yang disediakan oleh sarjana
Islam tradisional.[13]
Demikian langkah sistematis yang ditawarkan oleh al-Faruqi dalam
rangka Islamisasi ilmu pengetahuan. Dari kesemua langkah yang diajukan
oleh al-Faruqi, tentunya dalam aplikasinya, membutuhkan energi ekstra
dan kerja sama berbagai belah pihak. Karena, Islamisasi merupakan proyek
besar jangka panjang yang membutuhkan analisa tajam dan akurat, maka
dibutuhkan usaha besar pula dalam mengintegrasikan setiap disiplin
keilmuan yang digeluti oleh seluruh cendekiawan muslim. Dari langkah-
langkah dan rencana sistematis seperti yang terlihat di atas, nampaknya
bahwa langkah Islamisasi ilmu pengetahuan pada akhirnya merupakan usaha
menuang kembali seluruh khazanah pengetahuan barat ke dalam kerangka
Islam.
Bagi al-Faruqi Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan suatu
keharusan yang tidak dapat ditawar-tawar lagi oleh para ilmuan muslim.
Karena menurutnya apa yang telah berkembang di dunia Barat dan merasuki
dunia Islam saat ini sangatlah tidak cocok untuk umat Islam. Ia melihat
bahwa ilmu sosial Barat tidak sempurna dan karena itu tidak berguna
sebagai model untuk pengkaji dari kalangan muslim, yang ketiga
menunjukan ilmu sosial Barat melanggar salah satu syarat krusial dari
metodologi Islam yaitu kesatuan kebenaran. Dan menurutnya ilmu sosial
tidak boleh diintimidasi oleh ilmu-ilmu alam, tepatnya dalam skema yang
utuh pengetahuan manusia adalah satu dan sama. Ilmu-ilmu sosial dan ilmu-
ilmu alam bermakna menemukan dan memahami sunnatullah. Islamisasi ilmu-
ilmu sosial harus berusaha keras menunjukkan hubungan realitas yang
ditelaah dengan aspek atau bagian dari sunnatullah.[14]
Al-Faruqi juga menjelaskan alat bantu lain untuk mempercepat
proses islamisai ilmu pengetahuan.
1. Melakukan kegiatan-kegiatan ilmiah semacam konfrensi, seminar,
lokakara, talkshow dan lain-lain.
2. Pelatihan dan pembinaan instruktur-instruktur dan staf-staf
pengajar.[15]
Sementara itu aturan-aturan implementasi dijelaskan oleh al-Faruqi
dalam tiga hal.
1. Menyediakan honorarium yang setimpal dengan pekerjaan para ilmuwan.
2. Hanya ilmuwan yang kompeten yang ditugaskan untuk menulis baha-bahan
pengajaran yang direncanakan.
3. Memecah pekerjaan yang dianggap besar menjadi bagian-bagian kecil yang
diserahkan kepada imuwan lain.
4. Negara menangung pembiyaan islamisasi ini.[16]
Sedangkan menurut al-Attas Islamisasi ilmu pengetahuan saat ini
melibatkan dua proses yang saling terkait:
1. Mengisolir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya
dan peradaban Barat, dan setiap bidang ilmu pengetahuan modern saat
ini, khususnya dalam bidang ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun
ilmu-ilmu alam, fisika dan aplikasi harus diIslamkan juga khususnya
dalam penafsiran-penafsiran akan fakta-fakta dan formulasi teori-
teori. Menurut al-Attas jika tidak sesuai dengan pandangan hidup
Islam, maka fakta menjadi tidak benar. Selain itu, ilmu-ilmu modern
harus diperiksa dengan teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga,
symbol dan ilmu modern beserta aspek-aspek empiris dan rasional dan
yang berdampak kepada nilai dan etika.
2. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap
bidang dan ilmu pengetahuan saat ini yang relevan. Jika kedua proses
tersebut selesai dilakukan, maka Islamisasi akan membebaskan manusia`
dan magic, mitologi, animism, tradisi budaya nasional yang
bertentangan dengan Islam. Islamisasi akan membebaskan manusia dan
keraguan (syakk), dugaan (zann) dan argumentasi kosong (mira`) menuju
keyakinan akan kebenaran mengenai realitas spiritual, intelligible dan
materi. Islamisasi akan mengeluarkan penafsiran-penafsiran ilmu
pengetahuan kontemporer dan ideology, makna dan ungkapan sekuler. [17]
Menurut al-Attas ilmu pengetahuan dalam budaya dan peradaban Barat
justru menghasilkan krisis ilmu pengetahuan yang berkepanjangan, ia
berpendapat ilmu yang berkembang di Barat tidak semestinya harus diterapkan
di dunia Muslim. Ilmu bisa dijadikan alat yang sangat halus dan tajam bagi
menyebarluaskan cara dan pandangan hidup sesuatu kebudayaan. Karena menurut
al-Attas ilmu bukan bebas nilai (value free), tetapi sarat nilai (value
laden). [18]
Itulah pendapat al-Attas tentang langkah-langkah Islamisasi ilmu
pengetahuan, dimana menurut dia Islamisasi itu harus mengisolir konsep-
konsep kunci yang membentuk budaya Barat serta harus memasukkan unsure-
unsur Islam kedalam konsep-konsep itu. Al-Attas mengatakan demikian karena
menurut beliau bahwa ilmu itu bukan bebas nilai, tapi ilmu itu syarat
nilai.
Selanjutnya penulis akan menjelaskan proses atau pendekatan
Islamisasi ilmu pengetahuan karena menurut penulis bahwa langkah-
langkah sulit dibedakan proses atau pendekatan, untuk itu disini akan
dijelaskan ada beberapa proses Islamisasi ilmu pengetahuan yaitu:[19]
1. Menjadikan Islam sebagai landasan penggunaan ilmu pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan dapat di lakukan dengan cara
menjadilan Islamisasi ilmu pengetahuanam sebagai landasan
penggunaan Ilmu pengetahuan, tanpa mempersalahkan aspek antologis
dan epistemology ilmu pengetahuan tersebut. Dengan kata lain ilmu
dan teknologinya tidak di permasalahkan, yang dipermasalahkannya
adalah orang yang mempergunakannya. Cara ini melihat bahwa
Islamisasi ilmu pengetahuan hanya penerapan etika Islam dalam
pemanfaatan ilmu pengetahuan dan kriteria pemilihan suatu jenis
ilmu pengetahuan yang akan dikembangkannya. Dengan kata lain,
Islam hanya berlaku sebagai kreteria etis di luar struktur ilmu
pengetahuan. Islamisasi ilmu pengetahuan yang demikian itu
didasarkan pada asumsi bahwa ilmu pengetahuan adalah bebas nilai.
Konsekuensi logisnya mereka menganggap mustahil muncul ilmu
pengetahuan Islami, sebagaiman mustahilnya kemunculan ilmu
pengetahuan Marxistis.
Islamisasi imu pengetahuan dengan cara ini memandang bahwa ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam arti produknya adalah netral,
pesawat terbang yang digunakan oleh jamaah haji sama dengan pesawat
yang digunakan oleh para pedagan obat-obat terlarang atau digunakan
oleh orang-orang yang yang bertentangan dengan ajaran agama Islam.
Demikian pula alat suntik yang digunakan oleh dokter muslim dengan
alat suntik yang digunakan oleh dokter kafir juga sama, alat suntik
yang sama menimbulkan bahaya apabila penggunaanya salah, dengan
mempermasalahkan apakah muslim atau kafir. Dokter muslim yang
kurang ahli dapat mencelakakan pasiennya, sebaliknya dokter yang
kafir dapat menyelamatkan pasiennya karena dengan teliti dan
keahliannya, jadi keselamatan pasien bukanlah terletak pada di
katakanya kafir atau muslim melainkan pada keahlian dan ketelitain
seorang dokter, begitu juga contoh lain yang semisal dengan ini.
Pengaruh keagamaan seseorang yang menggunakan ilmu pengetahuan
dan teknologi jelas amat dibutuhkan jika dipadukan dengan
keahlian dan ketelitian masing-masing. Yang baik adalah jika ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut berada di tangan seseorang
muslim yang mengamalkan agamanya serta dalam bekerjanya didukung
dengan keahlian dan kecermatan yang tinggi. Seorang Dokter muslim
yang baik misalnya, ia akan melihat bahwa tugasnya itu adalah
sebagai amanah, yakni perintah Tuhan untuk mengatasi penderitaan
orang lain, dengan pemikiran demikian, maka ia tidak akan
mempergunakan jabatannya untuk tujuan yang tidak benar yang dapat
merugikan orang lain.
Dengan pendekatan Islamisasi yang bersifat substansila ini,
maka tugas utama Islamisasi ilmu pengetahuan bertumpu pada dua hal.
Pertama, pada manusia yang akan mempergunakan ilmu pengetahuan dan
teknologi tersebut, yaitu manusia yang memiliki komitmen yang
tinggi untuk mengamalkan agamanya dengan teguh dan istiqomah, serta
menguasai bidang pekerjaannya yang didukung dengan keahlian dan
pengalaman. Kedua, pada ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri,
apakah dalam keadaan berfungsi dengan baik atau tidak. Jika ilmu
pengetahuan dan teknologi dalam keadaan baik, maka pengaruh
kerjanya dapat dengan mudah diidentifikasi, ilmu pengetahuan dan
teknologi yang baik itulah yang netral dan tidak dapat disalahkan,
ilmu pengetahuan dan teknologi yang dalam keadaan baik itu tak ada
yang salah, yang salah adalah penggunanya. Masalahnya yang sekarang
adalah dunia modern dan berkembang melalui ilmu pengetahuan telah
dukuasai oleh orang-orang yang tidak Islami. Manusia yang hidup di
dunia modern ini telah salah dalam menggunakan ilmu pengetahuan.
2. Memasukkan nilai-nilai Islam dalam konsep ilmu pengetahuan
Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan
dengan cara memasukkan nilai-nilai Islami kedalam konsep ilmu
pengetahuan dan teknologi tersebut. Asumsi dasarnya adalah ilmu
pengetahuan tersebut tidak netral, melainkan penuh dengan muatan-
muatan nilai yang dimasukkan oleh orang-orang yang merangcangnya.
Dengan demikian Islamisasi imu pengetahuan dan teknologi harus di
lakukan terhadap ilmu pengetahuan dan teknologi itu sendiri.
3. Penerapannya dimulai dengan mengkaji dengan pendekatan ontologi dan
epistemology
Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi di lakukan melalui
penerapan konsep tauhid dalam arti seluas-luasnya. Tauhid bukan
hanya difahami secara teo-centris, yaitu mempercayai dan meyakini
adanya tuhan dengan segala sifat kesempurnaan yang dimilikinya
serta jauh dari sifat-sifat yang tidak sempurna, melaikan tauhid
yang melihat bahwa antara manusia dengan manusia lain, manusia
dengan alam, dan manusia dengan segenap ciptaan tuhan lainnya
adalah merupakan suatu kesatuan yang saling membutuhkan dan saling
mempengaruhi, dan semuanya itu merupakan wujud kekuasaan dan
kebesaran Tuhan.
Dengan antologi dapat dijelaskan bahwa sumber-sumber
pengembangan ilmu berupa ayat-ayat tuhan yang tertulis (al-Qur'an)
dan ayat-ayat tuhan yang tidak tertulis sebagaimana terdapat
dijagat raya (ayat kauniyah) dan ayat-ayat tuhan yang terdapat pada
manusia dan prilaku sosial, semuanya itu adalah ayat-ayat tuhan.
Oleh karena itu ilmu pengetahuan, baik ilmu agama Islam yang
dihasilkan melalui kajian terhadap ayat-ayat al-Qur'an, ilmu-ilmu
alam (sains) yang dihasilkan melalui kajian terhadap jagat raya,
dan ilmu-ilmu sosial yang dihasilakan melalui kajian terhadap
fenomena sosial. Namun pada hekekatnya berasal dari Allah SWT,
karena semua ilmu tersebut sebagi hasil dari pengkajian terhadap
ayat-ayat Allah SWT.
Dengan epistemology dapat dijelaskan bahwa sebuah ilmu
pengetahuan tersebut disusun, ilmu agama Islam yang bertumpu pada
kajian ayat-ayat yang ada dalam al-Qur'an menggunakan metode kajian
ijtihadiyah dengan syarat dan langkah-langkah yang telah teruji
dalam sejarah, melalui metode ijtihadiyah ini maka di hasilkan
berbagai ilmu-ilmu agama Islam seperti teologi, hukum Islam,
tafsir, filsafat, pendidikan dan sebagainya dengan berbagai mazhab
dan aliran yang ada didalamnya.
Karena ilmu-ilmu tersebut menggunakan ayat-ayat Allah, maka
seluruh ilmu tersebut pada hakekatnya dari Allah, oleh karenanya,
ia harus di abdikan untuk ibadah kepada Allah melalui pengabdian
terhadap kepentingan dan kemaslahatan umat manusia.
Dengan demikian maka jelas bagi kita semua bahwa segala sesuatu
yang kita capai di dunia itu bukanlah hasil dari kita sendiri akan
tetapi kita harus sadar bahwa disitu ada keikutsertaan Allah kepada
kita atau dengan kata lain Allah hanya menggunakan jasa kita
sebagai perantara, ilmu kedokteran dikembangakan misalnya bukan
ilmu kedokteran yang arogan yang melihat kesembuhan pasien sebagai
disebabkan oleh satu-satunya bantuan medis, melainkan kesembuhan
itu juga berkat anugrah Tuhan.
4. Pemberian pendidikan secara berjenjang dan berkesinambungan sejak
kecil
Islamisasi imu pengetahuan, juga dapat diberikan melalui
inisiatif pribadi melalui proses pendidikan yang diberikan secara
berjenjang dan berkesinambungan, dalam prakteknya tidak ada ilmu
agama dan ilmu umum yang disatukan. Yang terjadi sejak kecil
kedalam diri seseorang sudah ditanamkan jiwa agama yang kuat,
praktek pengalaman tradisi keagamaan dan sebagainya. Setelah ituÂ
kepadanya diajarkan dasar-dasar ilmu agama yang kuat, diajarkan al-
Qur'an baik dari segi membaca maupun pemahaman isinya. Selain itu
juga diajarkan pula hubungan antara satu ilmu dengan ilmu lainnya
secara umum. Selanjutnya ia mempelajari beberapa bidang ilmu dan
keahlian sesuai dengan bidang yang di minatinya.
Dengan demikian akan melahirkan manusia yang ahli dalam bidang
ekonomi, industri, pertanian dan sebagainya, namun dalam waktu yang
bersamaan ia dengan kemampuannya sendiri mampu menghubungkan jiwa
dan dasar-dasar keagaman yang dimilikinya itu untuk mengarahkan
keahlian yang dimilikinya, ia boleh saja menjadi dokter misalnya
tapi dokter yang Islami dan sebagainya. Hal ini dapat dilakukan
dengan memetakan anak didik didalam memasuki lembaga pendidikannya,
tanpa harus mengubah bentuk sekolah atau kurikulum atau lainnya,
pendekatan ini pun sukup efektif dan efesien.
5. Melakukan integrasi antara dua paradigma agama dan ilmu yang seolah-
olah memperlihatkan perbedaan.
Agama mengasumsikan atau melihat sesuatu persoalan dari segi
norma (bagaimana seharusnya) sedangkan sains meneropongnya dari
objektifnya (bagaimana adanya). Agama melihat problematika dan
solusinya melalui petunjuk Tuhan, sedangkan sains melalui
eksperimen dan rasio manusia. Selain itu ajaran agama diyakini
sebagai petunjuk Tuhan, kebenarannya mutlak, sedangkan kebenaran
sains bersifat relatif. Agama banyak berbicara tentang yang gaib,
sementara sains hanya berbicara mengenai hal empiris.
E. Pro-Kontra tentang Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Diskursus seputar Islamisasi ilmu pengetahuan ini telah begitu lama
menebarkan perdebatan penuh kontroversi di kalangan umat Islam. Semenjak
dicanangkannya sekitar 30 tahun yang lalu, berbagai sikap baik yang pro
maupun yang kontra terus bermunculan. Satu pihak dengan penuh antusias
dan optimisme menyambut momentum ini sebagai awal revivalisme
(kebangkitan) Islam. Namun di pihak lain menganggap bahwa gerakan
"Islamisasi" hanya sebuah euphoria sesaat untuk mengobati "sakit hati"
dan inferiority complex karena ketertinggalan mereka yang sangat jauh
dari peradaban Barat, sehingga gerakan ini hanya membuang-buang waktu dan
tenaga dan akan semakin melemah seiring perjalanan waktu dengan
sendirinya.
Pemikiran al-Faruqi dan al-Attas tentang Islamisasi ilmu
pengetahuan menimbulkan pro dan kontra dikalangan ilmuan muslim. Meskipun
demikian dalam hal ini mereka banyak memperoleh pengikut di berbagai
Negara. Untuk mempublikasikan dan menyebarkan pemikirannya seperti al-
Faruqi mendirikan the association of muslim social.[20] Sedangkan al-
Attas dalam menggagas ide islmisasinya dia mendirikan sebuah institutsi
pendidikan yang prestius yaitu International Instituse of Islamic Thogth
and Civilization, yang dikenal dengan singkatan ISTAC.
Dalam berbagai pergolakan keilmuan selalu ada penerimaan dan
penolakan (pro-kontra) dan hal inilah yang terjadi dalam gagasan
Islamisasi ilmu pengetahuan, banyak alasan yang dipaparkan oleh mereka
yang kontra, begitu juga bagi yang pro berbagai alasan di ketengahkannya
untuk mendukung hal pembenaran atas konsep mereka. Adapun alasan dari
masing-masing tersebut sebagai berikut :
Orang-orang yang kontra dan alasan-alasannya
Tokoh pemikir Islam yang menolak gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan salah satunya adalah Muhammad Arkoun, Guru besar Universitas
Sorbonne Prancis, mengatakan bahwa keinginan dari para cendikiawan muslim
untuk melakukan Islamisasi ilmu dan teknologi merupakan kesalahan, sebab
hal ini dapat menjebak kita pada pendekatan yang menggap bahwa Islam
hanya semata-mata sebagai ideologi. Yang tidak bisa berbuat apa-apa
selain menciplak karya orang.
Sedangkan di Indonesia salah satu tokoh yang tidak sejalan dengan
gagasan ini yaitu Usep Fathuddin, yang mengatakan bahwa Islamisasi ilmu
pengetahuan tidak perlu, karena dengan Islamisasi bukanlah kerja ilmiah
dan kreatif, karena yang dibutuhkan sekarang adalah terlebih-lebih lagi
bagai para cendikiawannya adalah menguasai dan mengembangkan ilmu.
Islamisasi ilmu pengetahuan hanyalah kerja kreatif atas karya orang lain
saja, sampai tingkat tertentu, dan hal itu tak ubahnya sebagai pekerja
jalanan di pinggir jalan, manakalah orang ilmuan berhasil menciptakan
atau mengembangkan ilmu, maka orang Islam (sebagian) akan mencoba
menangkap dan berusaha mengIslamkannya.
Lebih lanjut Usep Fathuddin memberi komentar, bahwa seorang tukang
yang sangat ahli, barangkali akan mampu mengubah sesuatu sehingga berbeda
dengan watak aslinya, atau berbeda paradigmanya. Tapi kalau tukang yang
kurang ahli, barangkali hanya cukup dengan mengalungkan label. Islamisasi
ilmu pengetahuan tidak ubahnya seperti pembuat label, seperti membuat
kaligrafi pada suatu bangunan, supaya dikatakan bangunan Islami, lebih
lanjut dijelaskan bahwa semangat Islamisasi ilmu pengetahuan itu
didasari satu anggapan tentang keilmuan dan Islam, klaim yang paling
sering kita dengar ialah adanya dua kebenaran di dunia ini, kebenaran
ilmu dan kebenaran agama. Ilmu dikatakan sebagai relatif, spekulatif dan
tak pasti, semantara agama dianggap absolute, transcendental dan pasti.
Tapi kalau kita lihat sejarah, ternyata Islam tidak menganal permasalahan
antara "keagamaan" dan "ilmu". Bahkan sebaliknya, sering dianggap
puncaknya sejarah dan perdaban Islam, justru terjadi ketika menyatukan
keagamaan dan ilmu itu.[21]
Selanjutnya yang kontra terhadap ide Islamsasi ilmu pengetahuan ini
adalah Fazlur Rahman, kritik Rahman diarahkan kepada beberapa konsep
Islamisasi sains yang kurang memahami tradisi intelektual Islam masa
lampau. Rahman juga mengkritik rencangan sistematis al-Faruqi mengenai
langkah-langkah Islamisasi ilmu pengetahuan yang dianggapnya terlalu
mekanistis. Dalam sejarah Islam sendiri, para ilmuan muslim banyak
menyerap unsur-unsur baru dari peradaban non-Islam. Menurut Fazlur Rahman
ilmu pengetahuan tidak perlu disilamkan, karena tidak ada yang salah di
dalam ilmu pengetahuan. Masalahnya hanya dalam menyalahgunakan, ia
menyatakan ilmu pengetahuan akan tergantung kepada cara
menggunaannya.[22]
Kritikan berikutnya datang dari Pervez Hoodbhoy, kritiknya mirip
dengan pandangan para instrumentalis bahwa tujuan agama adalah
meningkatkan moralitas, dan bukan menyatakan fakta-fakta ilmiah secara
spesifik. Ia juga mengatakan bahwa usaha Islamisasi sains itu tidak
mungkin dan setiap upaya untuk membangunnya merupakan usaha mubazzir.
Selanjutnya dia juga mengajukan data-data historis bahwa; ketika masalah
keyakinan religius dibawa-bawa dalam praktek ilmu pengetahuan, maka yang
kerap terjadi adalah eksekusi ilmuan oleh kaum agamawan ortodoks, yang
dikhawatirkan justru menghambat perkembangan ilmu pengetahuan,
sebagaimana telah terjadi dalam sejarah Kristen maupun dalam sejarah
Islam yang lebih awal.[23]
Selanjutnya adalah Abdus Salam yang merupakan orang yang
mengkritik Islamisasi sains, sebagaimana argumennya yang menyatakan
bahwa; hanya ada satu sains universal, problem-problemnya dan bentuk-
bentuknya adalah internasional dan tidak ada sesuatu seperti sains Islam
sebagaimana tidak ada sains Hindu, sains Yahudi atau sains Kristen.[24]
Kritikan terhadap Islamisasi ilmu pengetahuan juga diajukan oleh
Abdul Karim Sorush. Ia menyimpulkan Islamisasi ilmu pengetahuan adalah
tidak mungkin atau tidak logis, alasannya; realitas bukan Islami atau
bukan pula tidak Islami. Para filosof terdahulu tidak pernah menggunakan
istilah filsafat Islam. Mengelaborasi ringkas argumentasinya, Abdul Karim
Sorush menyatakan bahwa; jawaban-jawaban yang benar tidak bisa
diIslamkan, kebenaran adalah kebenaran, dan kebenaran tidak bisa
diIslamkan, pertanyaan-pertanyaan dan masalah-masalah yang diajukan
adalah mencari kebenaran sekalipun diajukan oleh non muslim.[25]
Orang-orang yang pro dan alasan-alasannya :
Ilmuwan yang mendukung gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini
salah satunya adalah Mulyanto dengan argumennya bahwa Islamisasi ilmu
pengetahuan sering dipandang sebagai proses penerapan etika Islam dalam
memanfaatkan ilmu pengetahuan kriteria pemilihan suatu jenis ilmu
pengetahuan yang akan dikembangkannya. Dengan kata lain, ilmu hanya
berlaku sebagai kriteria etis di luar struktur ilmu pengetahuan. Asumsi
dasarnya adalah bahwa ilmu pengatahan adalah bebas nilai, konsekuensi
logisnya mereka menggap mustahil munculnya ilmu pengetahuan Islami,
sebagaimana mustahilnya pemunculan ilmu pengetahuan Marxisme. Dan Islam
berserta ideology lainnya, hanya mampu memasuki subjek ilmu pengetahuan
dan tidak pada ilmu itu sendiri. Islam hanya berlaku sebelum dan sesudah
ilmu pengetahuan beraksi, lalu menyerahkan kedaulatan mutlak pada
metodelogi ilmu bersangkutan. Lebih lanjut ditegaskan bahwa Islamisasi
ilmu pengetahuan, tak lain dari proses yang hakiki, yakni tauhid,
kesatuan makna kebenaran dan kesatuan ilmu pengetahuan.[26]
Senada dengan hal tersebut di atas Haidar Bagir menjelaskan bahwa
Islamisasi ilmu pengetahuan secara implisit adalah penting, misalnya
tentang perlunya di bentuk sains yang Islami, hal ini didukung dengan dua
argumentasi yang sangat mendasar yaitu : pertama, Islam butuh sebuah
sistem sains yang memenuhi kebutuhan-kebutuhan material dan spiritual,
sistem sains yang ada tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut,
ini disebabkan sains modern mengandung nilai-nilai khas Barat yang
melakat padanya, nilai ini banyak bertentangan dengan nlai-nilai Islam
selain itu telah terbukti menimbulkan ancaman bagi keberlangsungan hidup
manusia di muka bumi. Kedua, ummat Islam pernah memiliki peradaban Islami
di mana sains berkembang sesuai dengan nilai dan kebutuhan-kebutuhan umat
Islam. Jadi sebetulnya, jika syarat-syarat untuk itu mampu dipenuhi,
kita punya alasan untuk tetap menciptakan kembali sebuah sains Islam
dalam peradaban Islam pula.[27]
Ilmu pengetahuan perlu dibangun dengan dasar ajaran Islam yaitu al-
Qur'an , yaitu ilmu yang didasarkan atas ajaran tauhid, yang melihat
bahwa antara ilmu pengetahuan modern dengan ajaran Islam harus
bergandengtangan. Ilmu pengetahuan adalah hasil teorisasi terhadap gejala-
gejala alam dengan menggunakan metode dan pendekatan ilmiah. Sedangkan
ajaran Islam juga hasil ijtihad terhadap ayat-ayat Allah yang terdapat
didalam al-Qur`an, al-Sunnah. Ayat-ayat Allah yang terdapat di jagat raya
adalah berasal dari Allah. Demikian pula ajaran agama juga berdasarkan
pada ayat-ayat Allah. Dengan demikian antara keduanya adalah ayat-ayat
Allah. Satu dan lainnya berasal dari satu kesatuan (tauhid). [28]
Islam sebagai agama yang mendukung tentang ilmu tidak menghendaki
pola fikir yang sempit dan fanatik karena semua itu hanya akan
mengantarkan pada kekendoran dan kelemahan manusia dan menjadikannya
terisolir dari dunia kehidupam yang sangat komleks, dan yang lebih
tegasnya lagi bahwa Islam tidak mau ummatnya berfikir dan bertindak dari
hal-hal yang siafatnya tradisional saja tetapi Islam membawa manusia
supaya maju, dinamis, dan peka terhadap perkembangan zaman, mampu
memahami kehidpan lingkungannya dan masyarakatnya.
Sebenaranya bagi mereka yang menolak gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan hanya terkesan ada sedikit rasa gengsi mengambil ilmu
pengetahuan dari barat kemudian mengIslamkannya, bagi mereka bahwa Islam
perlu memiliki pengetahuan yang Islami sebagaimana dalam sejarah Islam.
Namun caranya bukan dengan mengambil ilmu dari barat dan mengIslamkannya,
melainkan langsung saja membentuk dan mengembangakan ilmu pengetahuan
yang didasarkan pada ciri dan sifat ajaran Islam. semantar itu bagi
meraka yang setuju dengan gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini, bukan
berari tidak setuju dengan membentuk ilmu pengetahuan dengan corak Islam
dengan mandiri melainkan bersamaan dengan itu dipandang tidak ada
salahnya bila kita mengambil ilmu pengetahuan dari barat lalu
mengIslamkannya sebagaiman misalnya barat juga pernah mengambil ilmu
pengetahuan dari Islam di zaman klasik lalu mensesuaikannya dalam
ajaranya.[29]
Terlepas dari pro-kontra di atas, yang menjadi tantangan besar bagi
kelanjutan proses Islamisasi dan merupakan the real challenge adalah
komitmen sarjana dan institusi pendidikan tinggi Islam sendiri. Tantangan
globalisasi yang terus berkembang seiring dengan perkembangan teknologi
komunikasi dan informasi semakin membingungkan. Ilmu dianggap sebagai
komoditi yang bisa diperjualbelikan untuk meraih keuntungan. Akibatnya,
orientasinyapun ikut berubah, tidak lagi untuk meraih "keridhaan Allah"
tetapi untuk kepentingan diri sendiri. Universitaspun hanya berorientasi
untuk memenuhi kebutuhan pragmatis, menjadi pabrik industri tenaga kerja
dan bukan lagi merupakan pusat pengembangan ide-ide ilmu pengetahuan.
Sehingga merupakan hal yang wajar jika al-Attas mengungkapkan bahwa
tantangan terbesar terhadap perkembangan gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan muncul dari kalangan umat Islam itu sendiri. Dan tantangan
yang tak kalah besarnya adalah akibat kedangkalan pengetahuan umat Islam
terhadap agamanya sendiri. Hal ini, menurutnya, bisa dilihat dari karya
tulis yang mereka hasilkan yang mencerminkan bahwa mereka belum memahami
Islam dengan baik.[30]
F. Pengaruh Gagasan Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Adapun pengaruh gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ada yang
merupakan pengaruh positif dan ada yang negatif, yaitu:
1. Adanya ilmuan muslim yang mengatakan bahwa gagasan Islamisasi ilmu
pengetahuan muncul sebagai reaksi adanya konsep dikhotomi antara agama
dan ilmu pengetahuan yang dimasukkan masyarakat Barat dan budaya
masyarakat modern.
2. Selanjutnya dengan munculnya ide islamisasi ilmu pengetahuan maka
mengakibatkan pertentangan diantara ilmuan kita.
3. Yang menjadi pengaruh positifnya adalah melalui islamisasi ilmu
pengetahuan munculnya ilmu-ilmu dan juga perekonomian yang islami,
seperti ilmu kedokteran yang islami, Bank Syari`ah. Makanya mari
menabung di Bank Syari`ah dan berinvestasi agar instrumen ekonomi
Islam membesar.
4. Dengan gagasan islamisasi sains tersebut maka sains dapat memproduk
teknologi yang ramah lingkungan. Teknologi bisa serasi dengan maqasid
syariah dan bukan dengan nafsu manusia.[31]
5. Gagasan atau gerakan Islamisasi Ilmu Pengetahuan menggugah hati kaum
muslimin untuk sadar dengan keadannya, karena islamisasi ssains
merupakan salah satu upaya menjawab tantangan modernitas yang melanda
umat Islam. Karena ada semacam guncangan di kalangan umat Islam,
menyaksikan realitas yang menempatkan diri mereka pada sudut buram
sejarah. Di balik kemegahan peradaban Barat yang terus melaju pasca
Renaissance, sebagian besar dunia Islam secara kontras justru termegap-
megap dalam sesuatu yang dalam visi modern disebut perangkap
kemunduran dan keterbelakangan. Terlebih, masih segar dalam ingatan
kolektif umat Islam bahwa beberapa abad lampau mereka pernah memegang
supremasi peradaban dengan dominasi yang kukuh pada ranah kebudayaan,
politik maupun ekonomi. Dengan simbol kekuasaan politik Kekhalifahan
Abbassiyah di Bagdad, Kekhalifahan Umayyah di Cordova, mereka pernah
berada pada posisi superior dibandingkan masyarakat Eropa yang pada
masa itu justru terkungkungi masamasa sejarah yang gelap. Seiring
dengan gerakan "kembali ke Islam" yang marak di kampus-kampus semenjak
tahun 1980-an, gerakan Islamisasi Ilmu Pengetahuan menjadi semacam
cermin kerinduan para intelektual dan ilmuan Muslim modern terhadap
sesuatu yang "khas" milik mereka. Gerakan ini juga menggambarkan tekad
mereka untukmenerapkan ajaran Islam yang diyakini kaafah, syaamil dan
kaamil, sempurna dan mencakup segalanya. Dan tentu saja, kesadaran
akan "kejayaan umat Islam di masa lalu" menjadi bagian inheren dari
gerakan ini.
6. Terwujudnya keadilan, tersebarnya kedamaian dan kasih sayang kepada
seluruh umat manusia, juga terciptanya kesetaraan, kebersamaan, tolong
menolong dan penghormatan hak asasi antar umat manusia.[32]
G. Kesimpulan
Dari uraian diatas penulis berkesimpulan bahwa Islamisasi Ilmu
Pengetahuan perlu ditindaklanjuti karena sesuai dengan konsep, prinsip
metodologi yang jelas yaitu berlandaskan ketauhidan dan keimanan serta
memiliki rencana kerja mengingat keterpurukan dunia Islam saat ini
ditingkat yang paling parah. Sehingga perlu adanya pembaharuan salah
satunya adalah dibidang pendidikan. Dimana pendidikan kita harus
diarahkan pada keimanan yang merupakan core dari gagasan tersebut yang
menyebutkan lima kesatuan yaitu kesatuan tuhan, kesatuan alam semesta,
kesatuan kebenaran dan pengetahuan, kesatuan kehidupan dan kesatuan
kemanusiaan.
Gerakan Islamisasi ilmu ini perlu diimplementasikan oleh para
cendikia muslim sendiri yang memiliki keluasan ilmu dan keahlian yang
mantap terhadap ilmu -ilmu keIslaman dan ilmu pengetahuan yang non Islam.
Pada masa awal Islam sampai masa keemasannya memang tidak ada labelisasi
Islam pada setiap ilmu pengetahuan, karena saat itu umat Islam mempunyai
posisi yang kuat dan penguasa ilmu pengetahuan, walaupun tidak
menggunakan label Islam, tapi framework yang mereka miliki berlandaskan
Islam sehingga kegiatan-kegiatan yang mereka lakukan saat itu semakna
dengan Islamisasi. Ini berbeda dengan kondisi umat Islam saat ini, Islam
berada pada posisi yang kalah, terhegemoni dan terdesak oleh keilmuan dan
peradaban Barat sehingga untuk membuatnya bebas dari hegemoni tersebut
perlu dimunculkan ciri keIslaman yang tegas dan jelas dalam bidang
keilmuwan.
DAFTAR PUSTAKA
Al-Faruqi. Isma'il Raji Al-Faruqi. Islamisasi Pengetahuan, Cet ke-3,
Bandung: Penerbit Pustaka, 2003
Armando. Nina M. Ensiklopedi Islam Jilid 2, Jakarta: Ichtiar Baru van
Hoeve, 2005.
Bagader. Abu Bakar A. Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial, Yogyakarta: CV.Bayu
Grafika Offset, 1989.
Habib. Zainal. Islamisasi Sains Mengembangkan Integrasi Mendialogkan
Perspektif, Malang: UIN Malang Press, 2007.
Handrianto. Budi. Islamisasi Sains Sebuah Upaya MengIslamkan Sains Barat
Modren, Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010.
http://drmiftahulhudauin.multiply.com/journal/item/13, diakses pada hari
kamis tanggal 29 September 2011.
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta : Balai Pustaka, 2002
Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan &
Pengembangan Bahasa, Jakarta : Balai Pustaka, 2002
M.Ridwan, dkk, Kamus Ilmiah Populer, Jakarta: Pustaka Indonesia, tt.
Muhaimin & Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian Filosofis dan
Kerangka Dasar Operasionalisasinya, Bandung: Trigenda Karya, 1993.
Nasution. Harun. Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta: Dzambatan, 1992.
Nata. Abuddin. Metodologi Studi Islam, Jakarta: Rajawali Pers, 2009.
Praja. Juhaya S. Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan Penerapannya
di Indonesia, Jakarta: Teraju, 2002.
Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam, Mengenal
Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan di Indonesia, Ciputat:
Quantum Teaching, 2005.
Salim. Peter & Yenny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer, Jakarta:
PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1986
Syadily. Ahmad, dan Mudzakir, Filsafat Umum, Bandung: Pustaka Setia,
1997.
-----------------------
[1] Peter Salim & Yenny Salim. Kamus Bahasa Indonesia Kontemporer,
(Jakarta: PT.Ichtiar Baru Van Hoeve, 1986), hlm. 971.
[2] H. Ahmad Syadaly, dan Mudzakir, Filsafat Umum, ( Bandung:
Pustaka Setia, 1997), hlm. 34
[3] Kamus Besar Bahasa Indonesia. Tim Penyusun Kamus Pusat Pembinaan &
Pengembangan Bahasa, (Jakarta : Balai Pustaka, 2002), hlm. 879.
[4] Isma'il Raji al-Faruqi. Islamisasi Pengetahuan, Cet ke-3,
(Bandung: Penerbit Pustaka, 2003), hlm. 38-39.
[5] Harun Nasution. Ensiklopedi Islam Indonesia, (Jakarta: Dzambatan,
1992) , hlm. 243.
[6] Budi Handrianto. Islamisasi Sains Sebuah Upaya MengIslamkan Sains
Barat Modren, (Jakarta: Pustaka Al-Kautsar, 2010), hlm. 133.
[7] Ramayulis dan Syamsul Nizar, Ensiklopedi Tokoh Pendidikan Islam,
Mengenal Tokoh Pendidikan Islam di Dunia Islam dan di Indonesia, (Ciputat:
Quantum Teaching, 2005), hlm. 109.
[8] Zainal Habib. Islamisasi Sains Mengembangkan Integrasi
Mendialogkan Perspektif, (Malang: UIN Malang Press, 2007), hlm. 54.
[9] Nina M. Armando. Ensiklopedi Islam Jilid 2, (Jakarta: Ichtiar
Baru van Hoeve, 2005), hlm. 144.
[10] Budi Handrianto. Op.cit., hlm. 140-141.
[11] Zainal Habib. Op.Cit., hlm. 53.
[12] Juhaya S.Praja. Filsafat dan Metodologi Ilmu dalam Islam dan
Penerapannya di Indonesia, (Jakarta: Teraju, 2002), hlm. 73-74.
[13] Budi Handrianto. Op.cit., hlm. 142.
[14] Abu Bakar A. Bagader, Islamisasi Ilmu-ilmu Sosial, (Yogyakarta:
CV.Bayu Grafika Offset, 1989), hlm. 16-17.
[15] Isma`il Raji Al-Faruqi, Op.cit., hlm. 118-119.
[16] Ibid., hlm. 119-121.
[17] Muhaimin & Abdul Mujib. Pemikiran Pendidikan Islam Kajian
Filosofis dan Kerangka Dasar Operasionalisasinya, (Bandung: Trigenda Karya,
1993), hlm. 99.
[18] Budi Handrianto. Op.cit., hlm. 131-136.
[19] Isma`il Razi AL-Faruqi. Op.Cit., hlm. 131-137.
[20] Nina M. Armando. Loc.Cit.
[21] Abuddin Nata, Metodologi Studi Islam, (Jakarta: Rajawali Pers,
2009), hlm. 406-408.
[22] Budi Handrianto. Op.cit., hlm.197-201.
[23] Ibid., hlm. 202-203.
[24] Ibid., hlm. 204.
[25] Ibid., hlm. 205.
[26] Abuddin Nata, Op.Cit., hlm. 409.
[27] Ibid.,
[28] Ibid., hlm. 409.
[29] Ibid., hlm. 410.
[30] Budi Handrianto. Op.cit., hlm.97.
[31] Zainal Habib. Op.Cit., hlm. 55.
[32] Muhaimin & Abdul Mujib. Op.cit., hlm. 101.