FAKTOR-FAKTOR PERTUMBUHAN HEMATOPOIETIK Faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik merupakan hormon-hormon glikoprotein yang mengatur proliferasi dan diferensiasi sel-sel progenitor hematopoietik di sumsum tulang. Faktor-faktor pertumbuhan pertama yang diidentifikasi disebut faktor-faktor perangsang koloni karena faktor ini dapat merangsang pertumbuhan koloni berbagai macam sel progenitor sumsum tulang in vitro. Pada decade lalu, banyak faktor-faktor pertumbuhan ini yang telah dipurifikasi (dimurnikan) dan diklon. Dalam kuantitas yang yang memadai, faktor pertumbuhan ini telah diproduksi melalui teknologi rekombinan DNA untuk penggunaan klinis. Dari faktor-faktor pertumbuhan hematopoietik yang telah diketahui, eritropoietin (epoietin-α ), faktor perangsang koloni granulosit, faktor perangsang granulosit-makrofag dan interleukin 11 digunakan secara klinis. Trombopoietin sedang dalam penelitian klinis dan akan segera tersedia. Faktor pertumbuhan hematopoietik memiliki efek kompleks pada fungsi berbagai jenis tipe sel, termasuk tipe sel-sel non-hematologis. Manfaatnya di bidang lain dari kedokteran, khususnya sebagai obat antikanker dan obat antiperadangan yang potensial sedang dalam penelitian.
1. ERITROPOIETIN. a. Kimia dan farmakokinetika. Eritropoietin merupakan hematopoietik pertama manusia yang diisolasi. Eritopoietin ini aslinya dimurnikan dari urin pasien dengan anemia yang parah. Rekombinan eritropioetin manusia (rHuEpo, epoetin- α) dihasilkan dalam ekspresi sel mamalia menggunakan teknologi rekombinan DNA. Ini merupakan peptida yang sangat diglikolasi terdiri dari 165 asam amino dengan berat molekul 34-39 kDa. Setelah pemberian secara IV, eritropoietin memiliki masa paruh serum 4-13 jam pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Eritropoietin tidak dapat dibersihkan lewat dialisis. Pengukurannya dalam unit internasional (IU). b. Farmakodinamika. Eritopoietin merangsang proliferasi dan diferensiasi eritroid melalui interaksi dengan reseptor-reseptor eritopoietin khusus pada progenitor sel darah merah. Eritropoietin juga mempengaruhi rilis retikulosit dari sumsum tulang. Eritropoietin endogen diproduksi oleh ginjal sebagai respon terhadap hipoksia jaringan. Bila terjadi anemia, lebih banyak lagi diproduksi diproduksi eritropoietin oleh ginjal dan memberikan sinyal pada sumsum tulang untuk memproduksi lebih banyak lagi sel darah merah. Hasil perbaikan anemia ini menunjukkan bahwa respon sumsum tulang tidak tidak dirusak oleh defisiensi nutrisi sel darah merah merah (terutama defisiensi besi), kelainan sumsum tulang primer atau penekanan sumsum tulang dari obat atau penyakit kronik. Secara normal, ada hubungan yang berlawanan antara hematokrit atau hemoglobin dengan kadar eritropoietin serum. Individu-individu yang nonanemis memiliki kadar eritropoietin serum <20 IU/L. Ketika hematokrit dan kadar hemoglobin turun dan anemia menjadi lebih parah, kadar eritropoietin serum naik secara eksponensial. Pasien dengan anemia yang tidak terlalu parah biasanya menunjukkan kadar eritropoietin dalam rentang 100-500 IU/L dan pasien-pasien dengan anemia yang parah dapat meiliki kadar ribuan IU/L. pengecualian paling penting dari hubungan yang berlawanan ini terdapat pada anemia pada gagal ginjal kronik. Pada pasien dengan penyakit ginjal, kadar eritropoietin biasanya rendah karena gagal ginjal tidak dapat memproduksi faktor pertumbuhan. Pasien-pasien ini paling dimungkinkan memberi respon pada pengobatan dengan eritropoietin eksogen. Pada kebanyakan kelainan sumsum tulang primer (anemia aplastik, leukemia kelainan mieloproliferatif, kelainan mielodisplastik, dll) dan kebanyakan anemia akibat nutrisi dan anemia sekunder, kadar eritropietin endogen tinggi, jadi kemungkinan kecil merespon eritropoietin endogen. c. Farmakologis klinis. Tersedianya eritropoietin mempunyai dampak positif yang nyata pada pasien dengan gagal ginjal kronik. Eritropoietin secara konsisten memperbaiki hematokrit dan kadar hemoglobin dan tidak diperlukan lagi transfusi pada pasien-pasien ini. Suatu peningkatan dalam hitung retikulosit biasanya terobservasi dalam 10 hari dan peningkatan hematokrit dan kadar hemoglobin dalam 2-6 minggu. Kebanyakan pasien dapat mempertahankan hematokrit pada
sekitar 35% dengan dosis eritropoietin 50-150 IU/kg secara IV atau subkutan tiga kali seminggu. Kegagalan merspon eritropoietin paling umum disebabkan oleh defisiensi zat besi yang muncul bersamaan, yang disembuhkan dengan memberikan terapi zat besi oral. Suplementasi folat mungkin juga perlu untuk beberapa pasien. Pada pasien tertentu eritropoietin juga mungkin berguna untuk pengobatan anemia-anemia akibat kelainan sumsum tulang dan anemia sekunder. Ini termasuk anemia aplastik dan keadaan kegagalan sumsum tulang lainnya. Eritropoietin juga digunakan dengan sukses untuk mengimbangi anemia akibat pengobatan zidovudine pada pasien-pasien yang terinfeksi HIV dan dalam pengobatan anemia pada kasus prematuritas. Eritropoietin juga dapat digunakan untuk meningkatkan eritropoiesis setelah flebotomi , ketika darah dikumpulkan untuk tranfusi autologus untuk pembedahan elektif atau untuk pengobatan kelebihan kandungan zat besi (hemokromatosis). (hemokromatosis). Eritropoietin merupakan satu-satunya obat yang dilarang oleh International Olympic Committee . Penggunaan eritropoietin oleh atlet-atlet didasarkan pada harapan mereka bahwa peningkatan konsentrasi sel darah merah akan meningkatkan pengiriman oksigen dan memperbaiki kinerja. d. Toksisitas . Efek samping yang paling umum dari eritropoietin terkait dengan kenaikan hematokrit dan hemoglobin secara cepat dan termasuk komplikasi-komplikasi hipertensi dan trombotik. Kesulitan-kesulitan ini dapat diminimalisir dengan menaikkan hematokrit dan hemoglobin dengan perlahan-lahan dan dengan memonitor serta mengobati hipertensi secara adekuat. Reaksi alergi jarang terjadi dan bersifat ringan.
2. FAKTOR-FAKTOR PERTUMBUHAN MIELOID a. Kimia & Farmakokinetika. G-CSF dan GM-CSF, kedua faktor pertumbuhan myeloid ini tersedia untuk penggunaan klinis, telah dimurnikan dari barisan sel manusia yang dibiakkan. GCSF manusia rekombinan (rHuG-CSF; filgrastim) dihasilkan dalam sistem ekspresi bakteri dengan menggunakan teknologi DNA rekombinan. Ini merupakan peptida yang nonglikosilasi dari 175 asam amino dengan berat molekul 18 kDa. GM-CSF manusia rekombinan (rHuGM-SCF; sargramostim) dihasilkan pada sistem ekspresi ragi dengan menggunakan teknologi DNA rekombinan. Ini merupakan peptida yang secara parasit diglikosilasi dari 127 asam amino, dengan tiga spesies molekul dengan berat molekul 15.500-15.800 dan 19.500. Preparat ini memiliki waktu paruh serum 2-7 jam sesudah pemberian secara intravena atau subkutan. b. Farmakodinamika. Faktor-faktor pertumbuhan myeloid merangsang proliferasi dan diferensiasi melalui interaksi dengan reseptor khusus yang terdapat pada berbagai macam sel progenitor myeloid. Reseptor-reseptor ini adalah anggota dari superfamili reseptor-reseptor yang mentransduksi sinyal-sinyal melalui asosiasi dengan cytoplasmic tyrosine kinase pada jalur JAK/STAT. G-CSF merangsang proliferasi dan diferensiasi progenitor yang telah terkait pada turunan neutrofil. G-CSF juga mengaktifkan aktivitas fagositik dan neutrofil dewasa dan memperpanjang kesempatan hidup mereka dalam sirkulasi. G-CSF memiliki kemampuan istimewa untuk memobilisasi sel stem hematopoietik, yaitu untuk meningkatkan konsentrasi mereka dalam peredaran darah perifer. Efek darah perifer peripheral blood stem cells; PBSCs) sebagai pengganti sel stem sumsum tulang ( peripheral untuk transpalntasi sel stem hematopoietik alogenik dan autologus. Aksi biologis GM-CSF lebih luas dari pada G-CSF. Faktor pertumbuhan multipotensial-lah yang merangsang proliferasi dan diferensiasi sel progenitor granulositik awal dan akhir dan juga progenitor megakariosit dan eritroid. Seperti G-CSF, GM-CSF merangsang fungsi neutrofil dewasa. GM-CSF beraksi bersama dengan interleukin-2 untuk merangsang proliferasi sel T dan tampak sebagai faktor aktif secara local pada tempat inflamasi. GM-CSF memobilisasi sel stem darah perifer, tetapi dalam hal ini secara nyata efikasinya kurang dibandingkan dengan G-CSF. Faktor sel stem ( stem cell factor , SCF) juga diketahui sebagai ligan c-kit dan faktor Steel , sebuah protein terglikosilasi (26-38 kDa) yang telah diklon dan dihasilkan dengan teknologi DNA rekombinan. Hal ini terkemuka untuk setiap efek stimulatornya pada sel progenitor pluripotent awal. Faktor sel stem telah dievaluasi untuk penggunaan dalam kombinasi dengan faktor-faktor pertumbuhan lain sebagai pemobilisasi sel stem darah perifer. c. Farmakologi Klinis Neutropenia suatu efek umum yang tidak diinginkan dari obat-obat sitotoksik yang digunakan untuk mengobati kanker menyebabkan pasien beresiko tinggi untuk mendapat infeksi yang serius. Tidak seperti pengobatan anemia dan trombositopenia, transfusi pasien-pasien neutropenik dengan granulosit yang
dikumpulkan dari donor-donor jarang dilakukan dan dengan keberhasilan yang tidak terlalu besar. Pengenalan G-CSF untuk pertama kalinya di tahun 1991 merupakan tonggak sejaran pengobatan neutropenia akibat kemoterapi. Faktor pertumbuhan ini secara dramatis menaikkan laju pemulihan neutrofil setelah pemberian kemoterapi mielosupresi dosis intensif. Faktor pertumbuhan ini mengurangidurasi neutropenia dan biasanya menaikkan nadir, hitung neutrofil terendah yang terlihat menyertai suatu siklus kemoterapi. Sementara, kemampuan G-CSF meningkatkan hitung neutrofil setelah kemoterapi mielosuresif hampir bersifat universal, dampaknya terhadap hasil klinis lebih beragam. Beberapa Beberapa percobaan percobaan klinis menunjukkan menunjukkan bahwa G-CSF G-CSF mengurangi episode demam neutropenia, yang membutuhkan antibiotik spectrum luas, berhari-hari perawatan di rumah sakit; namun percobaanpercobaan lain gagal menemukan hasil-hasil yang menguntungkan. Saat ini tidak ada percobaan klinis yang menunjukkan kelangsungan hidup (survival) yang lebih besar pada pasien kanker yang diobati dengan G-SCF. Panduan klinis penggunaan G-CSF setelah kemoterapi kemoterapi sitotoksik sitotoksik telah diterbitkan yang merekomendasikan merekomendasikan untuk penyediaan G-CSF untuk pasien-pasien yang sebelumnya dengan episode demam neutropenia setelah kemoterapi yang intensif dan pasien-pasien yang tampaknya tidak bertahan hidup dengan episode demam neutropenia. Seperti G-CSF, GM-CSF juga mengurangi durasi neuropenia setelah kemoterapi sitotoksik. Lebih sulit untuk menunjukkan bahwa GM-CSF mengurangi episode demam neutropenia, mungkin karena GM-CSF itu sendiri dapat menyebabkan demam. Dalam pengobatan neutropenia karena kemoterapi, G-CSF 5µg/hari atau GM-CSF 250 µg/m 2/ hari, biasanya dimulai dalam waktu 24-27 jam setelah penyelesaian kemoterapi dan dilanjutkan sampai hitung neutrofil absolute >10.000 sel/µl. Penggunaan dan keamanan faktor-faktor pertumbuhan myeloid pada perawatan pendukung pescakemoterapi dari pasien-pasien dengan leukemia myeloid akut (AML) telah menjadi sebuah objek sejumlah percobaan-percobaan klinis. Karena sel-sel leukemia timbul dari progenitor yang proliferasi dan diferensiasinya biasanya diatur oleh faktor pertumbuhan hematopoietik, termasuk GM-CSF dan G-CSF, namun ada kekhawatiran bahwa faktor pertumbuhan myeloid dapat merangsang pertumbuhan sel leukemia dan meningkatkan laju kekambuhan. Hasil-hasil percobaan klinis acak menunjukkan bahwa GM-CSF dan G-CSF keduanya aman setelah pengobatan induksi dan konsolidasi myeloid dan leukemia limpoblastik. Tidak ada bukti bahwa faktor pertumbuhan ini mengurangi laju remisi atau meningkatkan laju kekambuhan, sebaliknya mempercepat pemulihan neutrofil dan mengurangi tingkat infeksi dan lamanya rawat inap. G-CSF dan GM-CSF telah disetujui oleh FDA untuk mengobati pasien dengan AML. G-CSF dan GM-CSF juga efektif dalam pengobatan neutropenia yang terkait dengan neutropenia kongenital, neutropenia siklis, mielodisplasia dan anemia aplastik. Banyak pasien-pasien dengan kelainan ini merespon melalui peningkatan hitung neutrofil secara langsung dan kadang-kadang dramatis. Pada kasus-kasus tertentu, ini berakibat pada penurunan frekuensi infeksi karena GCSF dan GM-CSF tidak merangsang pembentukan eritrosit atau platet; mereka
kadang-kadang digunakan dalam kombinasi dengan faktor-faktor pertumbuhan untuk pengobatan pansitopenia. Faktor-faktor pertumbuhan myeloid memainkan peranan penting pada transplantasi sel stem autologus untuk pasien yang menjalani kemoterapi dosis tinggi. Kemoterapi dosis tinggi dengan dukungan sel stem autologus semakin sering digunakan untuk mengobati pasien-psien dengan tumor yang resisten terhadap dosis standar obat kemoterapi. Regimen dosis tinggi menghasilkan mielosupresi kemudian dilawan dengan infus sel stem hematopoietik pasien itu sendiri. Pemberian G-CSF atau GM-CSF segera setelah transplantasi sel stem autologus mengurangi waktu untuk pencangkokan dan pemulihan dari neutropenia pada pasien-pasien yang menerima sel stem yang didapat dari sumsum tulang atau darah perifer. Efek-efek ini terlihat pada pasien yang diobati untuk limfoma atau untuk tumor yang solid. G-CSF dan GM-CSF ini juga digunakan untuk membantu pasien yang menjalai transplantasi sumsum tulang alogenik untuk pengobatan keganasan hematologis atau keadaan kegagalan sumsum tulang. Pada situasi ini, faktor-faktor pertumbuhan mempercepat pemulihan neutropenia tanpa meningkatkan kejadian penyakit cangkokan versus inang (acute graft versus-host disease) . Mungkin peran yang paling penting dari faktor-faktor pertumbuhan myeloid pada transplantasi ialah untuk memobilisasi sel stem yang dikumpulkan dari darah perifer hampir menggantikan sumsum tulang sebagai sel stem hematopoietic untuk transplantasi autologus. Sel-sel dapat dikumpulkan pada pasien-pasien rawat jalan dengan prosedur yang menghindari resiko dan ketidaknyamanan pengambilan sumsum tulang, termasuk perlunya anestesi umum. Sebagai tambahan, ada bukti bahwa transplantasi PBSCs mengakibatkan pencangkokan yang lebih cepat pada semua barisan sel hematopoietik dan berkurangnya tingkat kegagalan pencangkokan atu penundaan pemulihan platelet. Pemulihan PBSCs untuk transplantasi alogenik juga sedang diselidiki. Pada transplantasi alogenik, donor-donor diobati dengan G-CSF untuk memobilisasi PBSCs-nya sebelum leukaferesis, suatu prosedur yang memisahkan bagian yang berisi sel stem dari komponen lain dalam darah. G-CSF merupakan sitokin yang paling umum digunakan untuk mobilisasi PBSCs karena efikasinya yang lebih tinggi dan toksisitasnya yang lebih rendah dibandingkan dengan GM-CSF. Untuk memobilisasi sel stem , pasien-pasien atau pendonor diberi 5-10 µg/kg/hari secara secara subkutan selama 4 hari. Pada hari ke lima, mereka menjalani leukferesis. Suksesnya transplantasi PBSCs tergantung pada tranfusi sejumlah sel stem yang memadai. CD-34, suatu antigen yang terdapat pada sel progenitor awal dan tidak terdapat pada sel berikutnya digunakan sebagai penanda ( marker ) untuk sel stem yang diperlukan. Tujuannya 6 ialah untuk mengifus kembali paling sedikit 5x10 sel CD-34/kg; jumlah sel CD-34 ini biasanya menimbulkan pencangkokan yang segera dan tahan lama pada semua barisan sel. Perlu beberapa leukaferesis terpisah untuk mengumpulkan sel CD-34 yang cukup teruitama dari pasien-pasien yang kebih tua dan pasien yang telah terkena paparan radioterapi dan kemoterapi. Para penyelidik pada akhirakhir ini menguji kemampuan kombinasi beberapa faktor pertumbuhan dan kombinasi kemoterapi mielosupresi dengan faktor-faktor pertumbuhan untuk memobilisasi PBSCs. PBSCs. Faktor Faktor sel stem merupakan merupakan satu satu calon untuk terapi
gabungan; percobaan praklinis dan klinis awal telah menunjukkan bahwa SCF beraksi secara sinergis dangan G-CSF dalam memobilisasi sel-sel CD-34. Kombinasi G-CSF dan GM-CSF juga sedang diselidiki.
d. Toksisitas. Meskipun kedua faktor pertumbuhan memiliki efek yang hampir sama pada hitung neutrofil, G-CSF lebih seing digunakan karena lebih baik toleransinya. GMCSF dapat menimbulkan nyeri tulang yang hilang bila obat tidak dilanjutkan . GM CSF dapat menyebabkan efek yang tidak diinginkan yang lebih parah, khususnya untuk dosis yang lebih tinggi. Ini termasuk demam, malaise , atralgia, mialgia dan sindrom kebocoran kapiler yang ditandai oleh edema perifer dan efusi perikardium. Reaksi alergi mungkin terjadi, namun jarang.
3. FAKTOR-FAKTOR PERTUMBUHAN MEGAKARIOSIT
Interleukin-11 merupakan protein 65-68 kDa yang dihasilkan oleh fibroblas dan sel-sel stroma di sumsum tulang. Oprelvektin, bentuk rekombinan dari interleukin-11 yang disetujui untuk penggunaan klinis, dihasilkan melalui ekspresi dalam E.coli. Waktu paruh IL-11 adalah 7-8 jam yang diinjeksikan secara subkutan. Thrombopoetin, protein 65- 68 kDa yang diglikolisasi secara konstitutif diekspresikan oleh berbagai macam organ dan tipe-tipe sel. Hepatosit nampaknya merupakan sumber penting dari thrombopoietin manusia, dan pasien-pasien dengan sirosis dan trombositopenia memiliki kadar thrombopoietin serum rendah. Thrombopoietin rekombinan dihasilkan melalui ekspresi dalam sel-sel manusia; produk rekombinan berisi dua ikatan disulfide intramolekular dan sejumlah rantai samping karbohidrat. a. Farmakodinamika. Interleukin-11 beraksi melalui reseptor permukaan sel yang khusus untuk merangsang pertumbuhan sel-sel limfoid dan myeloid ganda. Interleukin-11 beraksi secara sinergik dengan faktor pertumbuhan lain untuk merangsang pertumbuhan progenitor megakariosit primitive dan paling penting meningkatkan jumlah platelet dan neutrofil perifer. Beraksi melalui reseptor cytoline-nya sendiri, thrombopoietin juga merangsang pertumbuhan progenitor megakariosit yang sudah dewasa dan bahkan mengaktifkan platelet dewasa untuk memberi respon pada rangsangan yang ditimbulkan oleh agregasi. Peran kritis in vivo dari thrombopoietin telah ditunjukkan pada mencit-mencit yang dirancang secara genetis yang kekurangan thrombopoietin atau reseptornya. Mencit-mencit ini sangat trombositopenia tetapi tidak menunjukkan anemia atau leukopenia. b. Farmakologi Klinik. Pasien-pasien dengan trombositopenia mempunyai resiko tinggi untuk perdarahan. Sementara tranfusi platelet biasanya digunakan untuk mengobati trombositopenia, prosedur ini dapat menyebabkan reaksi yang tidak diinginkan pada resipien; selanjutnya dalam jumlah yang signifikan, sejumlah pasien gagal untuk menunjukkan peningkatan yang diharapkan dalam hitung platelet. Interleukin-11 merupakan faktor pertumbuhan pertama yang mendapat persetujuan FDA untuk pengobatan trombositopenia. Obat ini disetujui untuk pencegahan sekunder dari trombositopenia pada pasien-pasien yang menerima kemoterapi sitotoksik untuk pengobatan kanker nonmieloid. Percobaan-percobaan klinis menunjukkan bahwa obat ini mengurangi jumlah transfusi platelet yang dibutuhkan oleh pasien-pasien yang menderita trobositopenia parah setelah siklus kemoterapi sebelumnya. Meskipun IL-11 memiliki efek perangsangan yang luas pada barisan sel hematopoietik in vtiro, tampaknya tidak ada efek signifikan pada leukopenia atau neutropenia akibat kemoterapi mielosupresif. Interleukin-11 diberikan melalui suntikan subkutan dengan dosis 50ug/kg/hari. Dimulai 6-24 jam setelah pengobatan kemoterapi dan dilanjutkan sampai 14-21 hari atau sampai jumlah platelet melewati nadir dan naik >50.000sel/uL. Thrombositopenia rekombinan masih merupakan agen dalam penyelidikan. Fokus dari percobaan-percobaan klinis akhir-akhir ini ialah pengobatan trombositopenia akibat kemoterapi dan trombositopenia setelah transplantasi sel stem hematologis. Percobaanpercobaan lain sedang berusaha mencari kemungkinan untuk menggunakan trombopoietin pada donor-donor normal supaya meningkatkan jumlah sel yang dipulihkan melaului eferesis (apheresis) platelet. Kegunaan yang disebutkan terakhir ini
akan disetujui bila thrombopoeitin dapat menunjukkan profil keamanan jangka pendek dan jangka panjang. c.
Toksisitas. Efek-efek samping interleukin-1 yang paling umum ialah kelelahan, sakit kepala, pusing dan efek-efek kardiovaskular. Efek-efek kardiovaskular mungkin disebabkan oleh retensi cairan yang nampaknya berasal dari peningkatan yang diperantarai oleh interleukin-11 terhadap penyerapan kembali natrium dalam ginjal. Efek kardiovaskular termasuk anemia (akibat hemodilusi), dispnea (akibat akumulasi cairan pada paru) dan aritmia atrial sesaat. Hipokalemia juga tampak pada beberapa pasien. Semua efek yang tidak diinginkan ini tampak rever sibel. Pada data percobaan klinis yang terbatas yang tersedia sampai sejauh ini, thrombopoietin rekombinan tampaknya ditoleransi dengan baik. Namun, bentuk yang sudah diperpendek dari thrombopoietin yang kekurangan karbohidrat dan yang telah di modifikasi melalui penambahan glycol polyethylene (faktor pertumbuhan dan perkembangan megakariosit manusia rekombinan yang dikonjugasikan dengan PEG; PEG-conjugated recombinant megakaryocite growth and development factor , PDGrhMGDF) dihentikan pada tahun 1998. Obat ini ternyata pada percobaan-percobaan klinis efektif untuk pengobatan trombositopenia. Namun, beberapa pasien dalam percobaan klinis membentuk antibodi yang menetralisasi komponen tersebut dan memaksa penghentian percobaan segera. Beberapa antibodi ini bereaksi silang dengan thrombopoeitin endogen. Untungnya, tidak satupun dari pasien-pasien yang membentuk antibodi-antibodi menunjukkan berkurangnya hitung platelet. Perbedaan kimiawi yang besar atara thrombopoetin dan PDG-rhMDGF membuat tampaknya tidak akan muncul problem yang sama dengan thrombopoetin rekombinan dan tidak ada bukti-bukti signifikan adanya pembentukan antibodi penetralisasi dalam percobaan-percobaan klinis terhadap thrombopoetin rekombinan. Kejadian ini merupakan peringatan penting adanya komplikasi-komplikasi imunologis yag dapat terjadi secara potensial pada agen biologi apapun.
4. PREPARAT YANG TERSEDIA. Epoetin alfa (erythropoietin, Epo) (Epogen, Procrit ). ). Parenteral : 2000, 3000, 4000, 10.000, 20.000 IU/mL.vial for IV or SC. Deferoxamine (Desferal ). ). Parenteral : 500 mg vial for IM, SC, or IV injection. Filgrastim (G-CSF) ( Neupogen ). Parenteral : 30 ug vial for IV or SC injection. Oprelvekin ( interleukin-1 ) ( Neumega ). Parenteral : 5 mg vials for SC injection. Sargramostim (GM-CSF) (Leukine ). Parenteral : 250, 500 ug vial for IV infection.