Linda Smith dalam “Dekolonisasi Metodologi” Buku Dekolonisasi Metodologi yang Metodologi yang ditulis Linda Smith ini dipresentasikan oleh oleh Kelompok IV yang terdiri dari Laila, Nurjannah, Mansur, Dony, dan Nanang. Buku Dekolonisasi Dekolonisasi Metodologi sendiri merupakan merupakan perlawanan paling berterus terang terhadap hegemoni pendekatan Barat dalam produksi pengetahuan. Buku ini bercerita penelitian pribumi, yakni penelitian yang menempatkan pribumi sebagai subyek yang aktif bersuara, bukan objek pengamatan yang pasif. Dikatakan pasif karena pendekatan penelitian yang selama ini lebih banyak ditawarkan Barat, selalu bertolak dari paradigma positivistik; yang bertolak dari asumsi bahwa peristiwa-peristiwa alam berlangsung secara mekanis (sesuai dengan ketentuan baku yang sudah ada) dan atomistik (layaknya seperti atom yang proses perubahannya di dasarkan pada hubungan sebab akibat). Penelitian selama ini di lakukan dengan ukuran-ukuran objektivitas yang dirumuskan dengan menggunakan kerangka berpikir Barat. Sebuah kebenaran dinilai sebagai produk gaya berpikir tertentu, dengan metodologi berpikir tertentu yang semua itu dirumuskan dengan kategori-kategori yang Barat sentris. Linda Smith, dalam buku ini menawarkan pendekatan yang sama sekali berbeda
dengan
dilakukan
peneliti-peneliti
Barat.
Linda
menawarkan
pendekatan yang bertolak dari pentingnya pribumi bersuara atas nama diri mereka sendiri. Bukan diwakili orang luar yang menggunakan kerangkakerangka ilmiah untuk mengaku kebenaran terkait apa yang disampaikan. Linda melakukan penelitian terhadap komunitas suku asli (Indigenous ( Indigenous Peoples) di sebuah perkampungan di Maori-New Zealand (Selandia Baru). Bagi Peoples) Linda, penelitian semestinya sebuah proses yang memberi ruang kepada subyek penelitian untuk bersuara atas nama diri mereka sendiri. Penelitian seharusnya menjadi alat yang diberikan seorang peneliti kepada subyek yang menjadi perhatian dalam penelitiannya, untuk bersuara.
Di sinilah, Linda berusaha melawan keras kerangka berpikir Barat tentang apa yang disebut sebagai ilmiah. Menurut kerangka berpikir Barat, sesuatu pengetahuan dikategorikan sebagai ilmiah ketika sudah melewati sebuah proses penyimpulan tertentu yang kriteria-kriterianya sudah ditetapkan para ilmuwan dari Barat. Tapi menariknya, bagi Linda, Barat tetaplah Barat. Para ilmuwan Barat tidak akan pernah berbicara untuk sesuatu yang di luar kepentingan diri mereka. Metodologi penelitian, dalam pandangan Linda merupakan bagian dari kerangka para ilmuwan Barat untuk melakukan normalisasi dan seleksi untuk menerima atau menolak sebuah kerangka berpikir tertentu. Karena itu, kalau penelitian-penelitian
tentang
pribumi
dilakukan
dengan
menggunakan
pendekatan-pendekatan keilmuan yang selama ini ditawarkan Barat, ia tidak lebih sekedar menjadi perpanjangan tangan Barat dalam melakukan kolonisasi terhadap masyarakat pribumi. Tawaran Linda tentang Dekolonisasi Metodologi merupakan sesuatu yang menarik dicermati. Perspektif yang ditawarkan Linda Smith mengingatkan kita tentang perlunya untuk membebaskan diri tersandera kategori-kategori keilmiahan yang dirumuskan Barat. Sebaliknya, kata Linda Smith, seorang peneliti pribumi harus menempatkan penelitiannya sebagai bagian dari kegiatan advokasi terhadap hak-hak pribumi. Untuk mencapai tujuan ini, maka kerangka berpikir Barat dalam soal metodologi pencarian kebenaran sudah saatnya diacuhkan. Pendekatan penelitian yang ditawarkan Linda sangat berguna untuk kegiatan penelitian yang diorientasikan untuk kegiatan pemberdayaan masyarakat. Dengan pemberdayaan, masyarakat dapat memperkuat kearifan lokal komunitas kawasan pedesaan sesuai karakteristiknya masing-masing. ********************** *********************************** ********************** ********************** *********************** ********************** ************** ** UGM 2013
Bila selama ini kita tahu bahwa proses kolonisasi (seharusnya dekolonialisasi, dan selanjutnya saya sebutkan dengan Dekolonialisasi) yang ada dalam sejarah selalu bentuk penjajahan secara langsung dengan penguasaan bangsa penjajah ke bangsa terjajah. Yaitu dengan pola penguasaan atas elemen-elemen yang ada pada bangsa terjajah, maka bangsa
sekarang adalah muncul sebuah penjajahan yang tanpa datang langsung ke daerah jajahan itu, inilah yang disebutkan dalam buku ini sebagai dekolonisasi Metodologi Karya Linda T. Smith (selanjutnya saya sebut Linda). Modernitas dalam penjajahan. Munculnya istilah bangsa penjajah dan bangsa terjajah seolah telah banyak merangkai sebuah pertautan dan sebuah penghambaan antara ” tuan dan pembantu” pembantu” yang seolah hal itu sebagai bentuk pengekangan yang terjadi. Dalam hal lain apa yang diktakan oleh Edwar Said sebuah penghakiman bahwa proses ini sebagai wacana barat tentang yang lain. Yaitu sebuah pertukaran timbal balik yang simultan antara kontruksi sekolahan dan kontruksi imajinatif terhadap ide tentang timur. Dalam hemat saya bahwa proses ini adalah sebuah upaya dari pemerintah kolonial untuk terus menjajah daerah terjajah dengan karakter pola pikir bangsa terjajah yang harus sesuai dengan bangsa penjajah.
Barangkali inilah yang dinamakan dekolonialisasi yang cukup rentan. Cara pandang imperialis tersebut untuk melakukan infiltrasi bagi negara bekas jajahan. Kenapa hal ini terjadi, dalam pandangan Comte dalam masalah paradigma, inilah yang dimaksudkan sebuah kelemahan yang terjadi dalam etnosentris peradapan. Selama ini eropa menganggap peradapannya paling maju dan bangsa terjajah kurang maju dan harus berjalan menuju kemajuan seperti Eropa. Padahal dalam cara pandang antara barat dan timur, eropa dan wilayah bekas jajahannya punya karakteristik tersendiri. Kita lihat dalam karakteristik pola penulisan sejarah di Indonesia, yaitu punya tradisi menulis dengan bentuk babad, hikayat, tambo, dll. Sedangkan dalam konsep barat tradisi tulisan I ndonesia itu dianggap kuno, kolot penuh subyektifitas dan hanya untuk kepentinga kepentingan n pemimpin. Menurut barat yang ada dalam tradisi tulisan dengan dengan pola yang yang terasiparis datanya datanya sepertiverslag seperti verslag dll. Padahal dibalik itu justru penulisan ini banyak terjadi unsur subyektifitas dan kelebihan di masing-masing pola penulisan itu. Namun yang terjadi banyak sarjana barat menyusupi pada sejarawan pemula Indonesia agar bisa seperti pola penulisan yang di inginkan barat, cara lain dengan memberi beasiswa bagi sejarawan timur untuk belajar di barat. Inilah yang dimaksud oleh Edwar Said sebagai bentuk penjajahan secara tidak langsung dalam kemoderan itu .Imperialis terhadap pandangan yang ada dalam berbagai bidang kehidupan telah membuat barat sebagai seorang pemimpin yang bisa menggunakan kekuasaannya untuk mengatur negara-negara barat dalam pandangan dan berbagai aspek manapun. Dalam pemaparan buku Linda diketengahkan bagaimana barat memupuk bangsa terjajah dalam kerangka berpikir dalam pengetahuannya. Kegairahan akan Imperialisme pendidikan bagi negara barat yang notabene merupakan hasil dari sebuah konsesi bersama, dilakukan oleh barat telah membawa politisasi pengetahuan di dalamnya. Pengetahuan padahal punya sebuah solusi bahwa sebenarnya suatu negara terjajah punya nation nation dalam dalam pendidikan yang mereka ajarkan sendiri. Namun karena barat merupakan punya pemegang kartu as dalam politisasi ini, mereka akan selalu melakukan apa yang di sebutkan oleh Edwar Said sebagai Superoaritas posisional dalam dalam berfikir untuk mengedepankan mengedepankan penddikan barat seolah lebih maju dan bangsa terjajah harus mengikutinya dalam mencapai kemodernan. Dalam pandangan saya ada beberapa yang menarik dalam tulisan Linda ini, pertama bahwa kemodernan di indentikka indentikkan n sebagai sebuah akhir dari kuasa absolut terhadap Illahiah. Rupanya pandangan ini justru kurang lebih adalah bentuk ketidak konsistenan barat untuk membuat abad kegelapan eropa yang rentan dengan aura agamis tersebut sebagai hal yang jelek. Padahal bila di tela’ah justru euforia modernitas sekarang banyak orang menganggap agama sebagai pegangan untuk melangkah ke arah modernitas ini. Pandangan kedua adalah bentuk penjajahan terhadap pendidikan. Seolah di belahan negara menganggap bahwa ilmu pengetahuan telah menyulap pendidikan sebagai bentuk potensial untuk mendapatkan jatidirinya. Kita lihat bahwa saat ini untuk mencapai sebuah kepintaran harus di indentikkan dengan ” pintar yang mana harus diselipkan. pintar dalam dalam pendidikan” pendidikan” yang
Para penggagas rupanya sadar bahwa pola tarik garis imajiner untuk mempresentasika mempresentasikan n bahwa pengetauhan barat lebih unggul, hal senada juga di amini oleh James Clifford yang etnosentris merupakan satu bentuk koleksi budaya yang mencermati cara bermacam-macam pengalaman dan fakta diseleksi. Dalam artian bawa budaya baratlah yang merupakan garis pembanding atas budaya yang lain. Hal lain yang dapat merepresentasikan atas penjajahan ini adalah harus memasukkan unsur pengetahuan barat sebagai sebuah entitas yang unggul, bila kita menggunakan budaya pendidikan sendiri justru dianggap kuno dan bila kita memakai pendidikan barat adalah modern. Ambil kasus seperti ini: ini: Ada seorang pelajar yang selalu belajar di negaranya negaran ya dengan secara secar a tidak sadar telah tersisipi budaya barat, suatu ketika pelajar itu harus menempuh pendidikan tingginya di negara barat karena dianggap modern, dan bila akhirnya seorang pelajar itu harus jadi pengajar di negara jajahan atau kembali ke negara asalnya akan sangat dihormati karena konsepsi pikiran negara jajahan telah terkonstruk dengan kata modern dibanding lulusan dari negara sendiri. Inilah globalism pengetahuan barat yang melegitimate.
Konstruksi inilah yang menurut saya harus banyak dirubah bahwa seharusnya aura pikiran akan keagungan barat di dekontruksi, karena pikiran yang telah melekat ini seolah akan justru menghilangkan nation dan jati dan jati diri bangsa terjajah akan pengetauh pengetauhannya. annya. Bila kita membayangkan globlalisasi telah membawa perubahan yang cukup besar. Negara terjajah seolah harus lari untuk terus mengejar pengetauhan barat yang dianggap lebih modern, dan barat di bisa berlari kemana-mana tergantung apa yang di inginkannya. Dalam pandangan Foucault, bahwa proyek penjajahan yang ada dengan membungkus modernitas ini adalah bagian dari pendisiplinan bangsa terjajah dengan agar sejalan dengan bangsa penjajah. Sebenarnya karakteristik ini bisa rukun manakala modernitas dengan menggunakan kata ”kolonialisasi modern” bi sa berjalan dengan cultur negara negara setempat. Kita lihat Jepang, meski dia tidak menolak modernitas barat tetapi modernitas itu bisa berjalan dengan budayanya. Banyak produk jepang yang berbau barat, tetapi dia tidak kehilangan budayanya untuk disisipkan disisipkan..
UGM 2013
Di banyak belahan dunia, kolonialisme sudah menjadi masa lalu. Namun rupanya bagi sebagian orang kolonialisme bukan sekadar cerita yang sudah berlalu melainkan sesuatu yang masih meninggalkan jejaknya hingga sekarang, jejak yang berisi kepahitan, perasaan tertindas, dan eksploitasi. Kehendak untuk melepaskan diri dari warisan kolonialisme itulah yang melatarbelakangi Linda Tuhiwei Tuhiwei Smith – Smith – seorang wanita Maori, penduduk asli Selandia Baru- menulis buku “Decolonizing “Decolonizing Methodology ” (dalam edisi bahasa Indonesiany Indonesianya a berjudul “Dekolonisas “ Dekolonisasii Metodologi”). Mengapa dekolonisasi metodologi menjadi penting? Sesungguhnya dekolonisasi metodologi adalah konsekuensi logis dari dekolonisasi politik yang berlangsung sejak berakhirnya Perang Dunia II. Adalah ironis ji ka bangsa-bangsa yang baru merdeka ternyata masih menggantungkan konstruksi pengetahuannya pengetahuannya pada konstruksi bentukan kaum kolonialis. Sangat wajar bila bangsa-bangsa yang baru merdeka itu ingin membangun konstruksi pengetahuan yang didasarkan atas persepsi dan pengalamannya sendiri tentang realitas terutama dalam kaitannya dengan ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Dalam konteks ini kita perlu memahami bagaimana kolonisasi itu beroperasi dalam pembentukan pengetahuan pengetahuan dan mencari jalan untuk membentuk konstruksi konstruksi pengetahuan baru yang yang sedapat mungkin mungkin
menjaga jarak dari warisan kolonialisme. Perlu dicatat bahwa penulis buku ini sendiri bukan berasal dari negara Dunia Ketiga melainkan dari negara yang tergolong sebagai negara Dunia Pertama dan bagian dari Peradaban Barat hanya saja ia berasal dari komunitas penduduk asli yang dimarjinalkan oleh penguasa kulit putih sehingga dalam banyak hal tidak jauh berbeda dengan bangsa-bangsa terjajah di koloni-koloni Eropa yang kini digolongkan sebagai negera-negara Dunia Ketiga. Kelebihan dari posisi Smith adalah karena ia hidup di sebuah negara Barat maka ia dapat memahami persis bagaimana konstruksi pengetahuan kolonial (baca: Barat) itu dikembangkan, dilembagakan, dan dipelihara dalam kehidupan keseharian, suatu hal yang mungkin tidak begitu disadari oleh mereka yang hidup di luar negaranegara Barat. Dalam bab II dari buku “Decolonizing “Decolonizing Methodology ”, ”, Smith memaparkan bagaimana kerangka pemikiran Barat digunakan dalam penelitian terhadap masyarakat-masyarakat masyarakat-masyarak at non-Barat yang kemudian menghasilkan konstruksi tertentu mengenai masyarakat tersebut. Konstruksi itu lalu disosialisasikan dan diinternalisasikan kepada anggota masyarakat itu sendiri terutama lewat proses pendidikan yang dijalankan lembaga pendidikan bentukan penguasa kolonial atau agen-agennya – agen-agennya –seperti seperti misionaris. Sebelum berhadapan dengan masyarakatmasyarakat di luarnya, orang Barat telah memiliki kerangka pemikiran yang sedikit banyaknya sudah mapan sebagai hasil pengalaman sejarahnya selama berabadabad. Dalam perjalanan sejarahnya, Barat telah mengalami sekian banyak perdebatan pemikiran yang menyurutkan sebuah paradigma dan mengangkat paradigma lainnya akan tetapi bila dilihat lebih dalam kesemua paradigma itu pada dasarnya mencerminkan pandangan dunia Barat yang ter bentuk dari pengalaman sejarahnya yang panjang. Smith mengidentifikasi beberapa unsur pembentuk karakteristik pemikiran Barat yang pada gilirannya memengaruhi pengkonstruksian mereka atas bangsabangsa non-Barat. Unsur-unsur itu mencakup konsepsi tentang ras, gender, individu, masyarakat, ruang, dan waktu. Konsepsi Barat tentang hal-hal tersebut amat berpengaruh dalam membentuk persepsi mereka atas bangsa-bangsa nonBarat – Barat –yang yang notabene memiliki budaya yang seringkali berbeda jauh dengan orang Barat- yang lalu dibakukan dalam sebuah konstruksi pengetahuan. Ironisnya konstruksi itu ditransfer kembali kepada bangsa jajahan yang lalu mengadopsi konstruksi itu menjadi milik mereka sendiri sehingga tanpa sadar mereka akhirnya menggunakan kacamata kacamata orang lain untuk memahami dirinya sendiri. Salah satu contoh klasik konstruksi pengetahuan orang Barat atas orang pribumi adalah anggapan bahwa orang pribumi itu malas. Timbulnya persepsi semacam itu sebenarnya adalah akibat dari perbedaan budaya antara orang Barat dan masyarakat pribumi yang dalam hal ini ada perbedaan dalam pengalaman kehidupan orang Barat dengan orang pribumi yang membuat mereka memahami dan menghayati fenomena waktu dengan cara yang berbeda.
Secara garis besar, buku karya Linda Tuhiwei Smith ini member i keinsafan kepada kita tentang bagaimana konstruksi pengetahuan Barat tentang bangsabangsa di luarnya terbentuk yang kerapkali tidak dapat dilepaskan dari motif -motif eksploitatif kolonial di masa lalu serta prasangka-prasangka negatif. Konstruksi pengetahuan yang tanpa sadar mendikte bangsa-bangsa non-Barat untuk berfikir, bersikap, dan bertindak sesuai apa yang dipersepsikan Barat tentang mereka sementara bangsa-bangsa Barat itu sesungguhnya memiliki persepsinya sendiri yang sangat bisa jadi berbeda dari persepsi Barat. Akan tetapi di sisi lain kita pun perlu berhati-hati agar wacana dekolonisasi metodologi yang ditawarkan Smith ini tidak menjadi justifikasi bagi balas dendam atau sikap kebencian membabi buta terhadap segala sesuatu yang berbau Barat. Dendam dan kebencian hanya membawa kita pada sikap dan perilaku yang serupa dengan sikap serta perilaku orang-orang yang kita benci. Dengan kata lain dendam dan kebencian hanya akan melahirkan lingkaran permusuhan yang tiada habisnya. Satu hal yang perlu diingat yaitu bahwa hingga kini Barat dengan segala kekurangan dan kelemahannya masih menjadi pemegang hegemoni dunia. Suka tidak suka, negara-negara bekas jajahan Barat sedikit banyak masih bergantung kepada negara-negara Barat. Harus diakui sampai saat ini peradaban Barat masih menjadi peradaban paling maju di muka bumi – bumi –terlepas terlepas bahwa maju itu tidak selalu identik dengan sesuatu yang lebih baik. Dalam perjalanan sejarah umat manusia kita bisa melihat bahwa bangsa-bangsa dengan tingkat peradaban yang sederhana cenderung mengikuti bangsa yang lebih maju tingkat peradabannya. Oleh karena itu jika hari ini banyak bangsa bangsa non-Barat mengikuti jejak langkah langkah Barat itu adalah hal yang wajar belaka terlebih untuk kasus bangsa-bangsa yang ketika didatangi kaum kolonialis Eropa kebudayaannya masih ada dalam taraf yang sangat sederhana seperti orang Aborigin, orang Maori, dan penduduk asli kepulauan Pasifik lainnya. Bagi bangsa-bangsa terjajah yang tertinggal taraf kebudayaannya dari Barat wacana dekolonisasi metodologi hendaknya tidak dipandang sebagai alat balas dendam ataupun mengalahkan hegemoni Barat yang kenyataannya masih sulit dit andingi tetapi lebih sebagai sarana mendefinisikan diri kembali menurut kerangka berfikir bangsa itu sendiri agar bisa berdiri tegak dengan penuh harga diri di hadapan bangsa-bangsa lain khususnya khususnya di hadapan Barat. Itulah pilihan sikap yang paling realistis dalam konstelasi global dewasa ini yang di situ batas-batas antar bangsa dan negara semakin lebur.
“Buku ini merupakan cerita tandingan tandingan (counter-story) terhadap ide-ide Barat tentang cara pandang dan pengetahuan. Meneropong lewat mata bangsa jajahan, dongeng-dongeng penuh pesan kehati-hatian dituturkan dari perspektif pribumi, dongeng yang ditujukan bukan saja untuk menyuarakan kaum yang terbungkam melainkan juga menjauhkan dari kesekaratan kesekaratan— — entah itu rakyat, budaya maupun ekosistem. Buku ini terutama unggul dalam menempatkan perkembangan praktek-praktek praktek-praktek penelitian tandingan (counter-practices of research) baik dalam
kritik-kritik Barat atas pengetahuan Barat maupun gerakan-gerakan pribumi global. Berbekal evaluasi kritis dan feminis terhadap positivisme, Tuhiwai Smith mendesakkan penelitian ulang dan mengusik aturan main penelitian ke arah praktek-praktek yang bermartabat, etis, simpatik dan bermanfaat versus berbagai praktek dan sikap rasis, asumsi etnosentris dan penelitian eksploititatif. Memanfaatkan Kaupapa Maori, sebuah pendekatan awal menuju protokol dan metodologi penelitian yang cocok secara kultural, buku ini terutama dimaksudkan untuk mengembangkan bangsa pribumi sebagai peneliti. Pendek kata, Tuhiwai Smith mulai mengartikulasikan praktek-praktek penelitian yang menyeruak dari kekhasan epistemologi dan metodologi yang berakar dalam perjuangan bertahan hidup (survival), suatu jenis penelitian yang sama sekali berbeda dari sebuah sebuah kata menjijikkan yang dilekatkan pada sisi sisi sakit sejarah.” (Patti Lather: Professor Of Educational, Policy And Leadership, Ohio State University) (less)
Dekolonisasi Metodologi: Reclaim Your Knowledge!
“Kami punya sejarah tentang orang -orang yang meletakkan Maori dibawah mikroskop, persis seperti seorang ilmuwan mencermati serangga. Mereka yang mengamati merasa punya kekuasaan untuk mendefinisikan” (Merata Mita dalam Linda Tuhiwai Smith, Dekolonisasi Metodologi)
Pada dasarnya gelombang kemerdekaan yang mengubah wajah Asia-Afrika diikuti sejumlah langkah perjuangan dibidang politik, ekonomi, dan budaya. Dalam rentang waktu 1940 sampai 1960-an yang namanya urusan kedaulatan dan ke-berdikari-an adalah problem hidup mati bagi keberlangsungan keberlangsungan negara-bangsa baru. Singkat kata persoalan dekolonisasi mengagendakan mengagendakan kedaulatan total mulai dari sumber daya alam sampai ilmu pengetah pengetahuan. uan. Linda Tuhiwai Smith dalam bukunya Dekolonisasi Metodologi menyebutkan bahwa kebutuhan mendekolonisasi mendekolonisasi adalah counter dari proses kolonialisme Eropa yang menancapkan menancapka n misi pencerah pencerahan, an, superioritas ras, berikut pula keunggulan ilmu pengetahuan.. Hal ini berdampak pula pada perkembangan ilmu pengetahu pengetahuan pengetahuan an yang merupakan bagian dari unsur kebudayaan sebuah peradaban selain mata pencaharian, kesenian, bahasa, sistem kepercayaan, dan organisasi kemasyarakatan. Jika ditelisik lebih jauh pembedaan antar tingkat kebudayaan atau peradaban bermula dari ditariknya garis imajiner antara “Barat” dan “Timur”, tapal batas imajiner itu merupakan formasi spesifik yang dipakai Barat untuk melihat, menamai dan mengetahui m engetahui komunitaskomunitas pribumi (hal.79). Disamping itu, era pencerahan yang mengguncang Eropa mendorong para pelaut disana untuk melakukan penjelajahan demi diketemukann diketemukannya ya tanah baru atau New World/Terra Nullius . Gagasan untuk “mencerahkan” bangsa pribumi ini persis dengan pemikiran dasar filsuf Prancis, Michel Foucault F oucault bahwa pengetahuan digunakan sebagai sarana pendisiplinan serta membedakan mana yang ilmiah dan takhayul, bahkan menyokong kekuatan yang sedang berkuasa. berkuasa. Hal itu it u saling bersinggungan pula semasa kolonialisme Eropa di wilayah Selatan, Frantz Fanon seorang psikiater dari Martinique melihat bahwa kedatangan pihak Eropa selalu dibumbui dengan dominasi mentalitas m entalitas yang disusun atas komponen penguasaan penguasaan akan tubuh serta struktur sosial-politik dan ekonomi. Sementara itu, disatu sisi tercipta pula sistem pendidikan kolonial untuk mencetak para elit pribumi dan hirarki tradisional yang bertujuan untuk menunjang kepatuhan dan ketertiban rejim pengetahuan kolonial. Bagi kaum kolonialis, langkah ini ditempuh untuk memantapkan dominasinya di lapangan ekonomi, politik, dan budaya. Sehingga saat kolonialisme,
beberapa pembedaan diciptakan untuk melihat mana yang masuk m asuk kategori beradab dan tidak beradab. Dengan demikian, dekolonisasi ialah upaya pembangkitan kembali produksi pengetahuan dalam ruang kebudayaan sekaligus sebagai usaha melepas stigmatisasi Indigenous Peoples yang digolongkan sejajar dengan flora dan fauna, tipologi hirarkis evolusi manusia dan berbagai sistem perekamannya diisi oleh penemuan baru, peta wilayah yang diperebutkan penguasa Eropa. Artinya, Indigenous Peoples disusun dalam urutan berdasarkan keyakinan bahwa mereka mendekati manusia (nearly human), hampir manusia (almost human) atau belum manusia (subhuman) (hal.78). Sebagai contoh, pertunjukkan Human Zoo yang diadakan di Eropa sekitar abad 17- 18 ialah bagian dari legitimasi kultural bahwa bangsa “kulit berwarna” setara dengan hewan. Persoalan inilah yang ditangkap oleh Linda Tuhiwai Smith dalam merumuskan dekolonisasi ilmu pengetahuan. Penulis buku yang berlatar belakang suku Maori memaparkan bahwa dampak fatal Barat terhadap t erhadap masyarakat masyarakat pribumi pada umumnya um umnya diteorikan sebagai sebuah fase kemajuan dari: 1) penemuan dan kontak awal (discovery), 2) penyusutan populasi (okupansi (okupansi wilayah), 3) akulturasi, 4) asimilasi, 5) perekaan ulang sebagai sebuah hibrida budaya etnis. Perspektif pribumi diusahakan untuk mencapai gerak maju bertahap yang bisa diartikan 1) kontak dan invasi, 2) genocida dan penghancuran penghancuran,, 3) survival, 4) pemulihan bangsa bangsa pribumi (hal.130). Linda Tuhiwai Smith mencoba merumuskan hal baru yaitu bangsa Maori meneliti atauK aupa aupapa pa Maori Maori . Agenda ini adalah negasi dari konsep penelitian bangsa Barat, bagi Smith gagasan penelitian pribumi harus berpijak pada tujuan Reclaiming Knowledge . Pengetahuan yang memihak dan memberikan suara kepada kaum pribumi untuk memaknai masa lalunya (sejarah) untuk kemudian self-determination pada masa mendatang, artinya pengetahuan Maori bisa dibingkai dan dimaknai secara menyeluruh. m enyeluruh. Dalam buku ini, penulis secara hati-hati menafsirkan m enafsirkan istilah antara pos-kolonial dan dekolonisasi, menurutnya keadaan pos-kolonial yaitu situasi yang menganggap bahwa penjajahan sudah berakhir, struktur yang diciptakan sudah buyar , padahal sisa-sisa dan warisannya masih bermutasi dalam bentuk lain, oleh karena itu dekolonisasi dianggap sebagai obat penawar dan membereskan masalah pasca kolonialisme bagi bangsabangsa yang baru merdeka. Dalam pandangan Maori dinyatakan bahwa kerangka gerakan pribumi dikonseptualisasi dalam kerangka konsep kultural yang sesuai dengan K aupa aupapa pa Maori Maori antara lain sebagai berikut Tiwo R ang atirat tirata ang a (kedaulatan), Whana Whanau, u, Ha H apu, Iwi I wi (keluarga segaris, kelompok sub suku dan suku), Te Reo (bahasa Maori), dan Tikanga (adat budaya Maori). Untuk kemudian, dimanifestasikan dimanifestasikan dalam dalam dua puluh lima Maori (adat macam program pribumi yang bersendikan pada 1) Gugatan, 2) Kesaksian, 3) Meriwayatkan cerita, 4) Merayakan kelangsungan hidup, 5) Mengenang, 6) Pribumisasi, 7) Intervensi, 8) Revitalisasi, 9) Koneksi, 10) Menelaah, 11) Penulisan, 12) Representasi, 13) Gender, 14) Pembentukan visi, 15) Pengerangkaan ulang, 16) Restorasi, 17) Pengembalian aset, 18) Demokratisasi, 19) Penyusunan jaringan, 20) Penamaan, 21) Perlindungan, 22) Penciptaan, 23) Negosiasi, 24) Penemuan, 25) Berbagi (halaman 225-260). Secara keseluruhan buku ini banyak memberikan informasi bagaimana pengalaman pengalaman Linda Tuhiwai Smith dalam memulihkan kondisi Maori setelah kolonialisme Eropa. Bangsa Maori yang merupakan penduduk asli Selandia Baru mendapat banyak perlakuan diskriminatif dalam aspek budaya, ekonomi, dan politik. Pengalaman ini memberikan pelajaran berharga bagi pemulihan identitas budaya dan ilmu pengetahu pengetahuan an
di bangsa-bangsa yang sedang melakukan dekolonisasi khususnya Asia dan Afrika. Disamping itu latar belakang penulis yang berbasis ilmu kependidikan membuat buku ini menitikberatkan aspek pendidikan dan pengajaran sebagai agenda penting dalam dekolonisasi serta penekanan bahwa mendobrak kemapanan ilmu pengetahu pengetahuan an Barat serupa dengan merebut kedaulatan pengetahuan. Keberhasilan sang penulis yang menjelajah ranah penelitian berbasis kaum pribumi berbuah pada Declaration on the Rights of Indigenous Peoples tahun Peoples tahun 2007. [1] [1] Salah satu peristiwa penting yang meliputi Declaration on the Rights of Indigenous Peoples yaitu kontroversi Columbus Day setiap 12 Oktober di Amerika Serikat, bagi sejumlah komunitas Indian Amerika, sosok Christoper Columbus tidak jauh beda dengan perampok, pembunuh massal yang mengatasn m engatasnamakan amakan pencerahan Eropa. Sejak 5 tahun t ahun terakhir, para komunitas Indian Amerika Am erika mengadakan event tandingan yaitu Indigenous Resistance Day.