BAB 1 PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Kimia merupakan salah satu mata pelajaran ilmu pengetahuan alam yang secara spesifik diberikan kepada siswa SMA/MA/SMALB. Mata pelajaran kimia mempelajari segala sesuatu tentang zat yang meliputi komposisi, struktur dan sifat, perubahan, dinamika, dan energitika zat yang melibatkan keterampilan dan penalaran (BSNP, 2006). Mata pelajaran kimia dianggap sulit oleh sebagian besar siswa SMA, sehingga banyak dari mereka tidak berhasil dalam belajar kimia (Mentari, L., Suardana, I.N., & Subagia,I.W., 2014). Banyak faktor yang menyebabkan kimia dianggap sebagai pelajaran yang sulit, diantaranya kurangnya pemahaman siswa terhadap konsep kimia dan banyak konsep kimia yang bersifat abstrak. Mata pelajaran kimia memiliki karakteristik: (1) sebagian besar konsepnya bersifat abstrak, sederhana, berjenjang, dan terstruktur; (2) ilmu untuk memecahkan masalah serta mendeskripsikan fakta-fakta dan peristiwa-peristiwa (Kean, E. & Middlecamp, C., 1985). Kimia merupakan salah satu mata pelajaran yang mengandung banyak konsep yang yang saling berhubungan. Konsep dalam ilmu kimia dipelajari melalui tiga level representasi, yaitu level makroskopis, level submikroskopis, dan level simbolik (Johnstone, A.H., 2006). Ketika ketiga level tersebut tidak dapat dipahami oleh siswa, maka mereka akan menganggap bahwa kimia itu sulit. Ujian Nasional (UN) merupakan salah satu sistem penilaian untuk mengukur pencapaian kompetensi lulusan siswa jenjang satuan pendidikan dasar dan pendidikan menengah sebagai hasil dari proses pembelajaran. Ujian Nasional sebagai sub-sistem penilaian dalam Standar Nasional Pendidikan menjadi salah satu tolak ukur pencapaian Standar Nasional Pendidikan dalam rangka penjamin dan peningkatan mutu pendidikan. Hasil Ujian Nasional siswa SMA pada tahun pelajaran 2014/2015 mata pelajaran kimia memiliki nilai rata-rata yang lebih rendah dari mata pelajaran yang lainnya. Nilai persentase penguasaan materi kimia dengan kategori rendah pada materi sifat periodik unsur (41,18%), senyawa karbon (49,46%), perubahan energi (56,70%), termokimia (36,91%), Ksp (55,30%). Secara umum, data ini juga mencerminkan pemahaman kimia yang rendah. Walaupun begitu, soal dalam Ujian Nasional juga tidak seluruhnya mengandung soal pemahaman konsep. Menurut Ramli (2015), selaku koordinator
UN mengatakan bahwa soal UN terdiri dari soal mudah, sedang, dan sulit termasuk soal yang mengandung HOT. Akan tetapi, soal dalam UN masih banyak dalam bentuk hitungan dan juga hapalan. Soal ujian nasional belum bisa dijadikan acuan untuk menganalisis tingkat pemahaman siswa. Penanaman konsep yang benar dalam proses pembelajaran merupakan salah satu tujuan agar mutu pendidikan meningkat. Ketika sekolah hanya bertujuan untuk memperoleh nilai tinggi, guru akan lebih menekankan pada penyelesaian soal-soal tes yang mengacu pada penyelesaian soal ujian nasional atau tes sejenisnya. Hal ini mengakibatkan penanaman konsep tidak menempati porsi yang semestinya. Siswa mampu memahami konsep kimia merupakan salah satu tujuan pembelajaran kimia. Oleh karena itu, penekanan pemahaman konsep dalam pelajaran kimia sangat penting. Setiap peserta didik memiliki konsepsi awal tentang suatu hal. Konsepsi awal ini selanjutnya ditambah dengan konsepsi baru yang diberikan oleh guru. Kedua konsep yang diterima akan dikonstruksi sendiri oleh mereka, sehingga dapat menghasilkan berbagai konsep yang berbeda antar peserta didik. Ketika konsep yang dimiliki oleh peserta didik berbeda dengan konsep ilmiah, maka peserta didik tersebut telah salah dalam mengkonstruksi konsep. Konsep ini selanjutnya disebut konsep alternatif atau miskonsepsi (Gurel, D.K., A. Eryilmaz, L.C. McDermott, 2015). Hasil penelitian terdahulu di beberapa negara menunjukkan terjadinya miskonsepsi pada peserta didik dalam mempelajari kimia, antara lain: konsep asam-basa (Artdej dkk, 2010), Kesetimbangan Kimia (Tyson, 1999), Kimia Inti (Tekin, 2006), Kelarutan (Adadan & Savasci, 2012), Ikatan Kovalen (Treagust, 1986), Kimia Anorganik (Tan, Goh, Chia & Treagust, 2002), Termodinamika (Sreenivasulu & Subramaniam, 2013). Tidak berbeda jauh dengan di luar negeri, di Indonesia juga terjadi miskonsepsi dalam kimia antara lain pada materi Stoikiometri (Sidauruk, 2005), Kesetimbangan Kimia (Salirawati, 2011), Ikatan Kimia, struktur atom dan sistem periodik (Redhana, 2004), Perubahan wujud air (Wisudawati, A.W., 2015), Buffer (Mentari, L., Suardana, I.N., & Subagia, I.W., 2014), Perhitungan Kimia (Nursiwin, 2014), Termokimia (Sumarna, 2014). Penelitian miskonsepsi sudah mulai dilakukan di sejumlah daerah di Indonesia.
Miskonsepsi kimia yang merujuk pada pemahaman konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah masih banyak dialami oleh peserta didik di SMA. Miskonsepsi yang terjadi sangat merugikan bagi kelancaran dan keberhasilan belajar. Miskonsepsi akan mengganggu jika tidak diremediasi karena adanya miskonsepsi akan mengganggu proses pengolahan konsep dalam struktur kognitif yang dilakukan oleh peserta didik. Berdasarkan pemikiran ini, sangat penting bagi guru untuk senantiasa mengetahui miskonsepsi pada peserta didiknya agar dapat melakukan upaya untuk meremidiasi miskonsepsi. Hal ini berguna untuk memberi arah kemana, darimana, dan bagaimana pembelajaran yang akan dilakukan, sehingga hasil belajar peserta didik lebih optimal. Miskonsepsi merupakan suatu keadaan yang dapat dialami oleh setiap peserta didik, namun bukan berarti dibiarkan begitu saja terjadi. Oleh karena itu, pengembangan instrumen yang dapat mengungkapkan terjadi tidaknya miskonsepsi sangat penting. Instrumen yang diperoleh melalui penelitian dengan kajian yang mendalam akan menghasilkan instrumen yang baik, sehingga mampu mengungkapkan miskonsepsi yang dialami oleh peserta didik, dapat dilaksanakan dengan mudah oleh guru dan membantu guru dalam melaksanakan kegiatan remedial untuk memperbaiki pemahaman konsep peserta didiknya.
Hal ini
tentunya memberikan kontribusi positif pada peningkatan kualitas pembelajaran kimia dalam meningkatkan hasil belajar kimia peserta didik. Studi pendahuluan tentang materi apa saja yang sering menyebabkan miskonsepsi kimia pada peserta didik telah dilakukan oleh Das Salirawati (2011). Studi dilakukan terhadap 125 guru kimia SMA di D.I. Yogyakarta. Hasil studi pendahuluan menunjukkan enam urutan materi poko yang sering dianggap oleh guru bahwa peserta didik mengalami miskonsepsi, yaitu: (1) Tatanama senyawa anorganik dan organik sederhana serta persamaan reaksinya (38%), (2) kesetimbangan kimia (34%), (3) ikatan kimia (32%), (4) struktur atom (29%), (5) Hukum-hukum dasar kimia (26%), dan (6) hidrolisis garam (23%). Instrumen untuk mendeteksi miskonsepsi kimia, khususnya pada pokok materi hukum-hukum dasar kimia belum banyak dikembangkan. Beberapa jenis instrumen pendeteksi miskonsepsi yang telah dikembangkan antara lain: (1) wawancara, (2) tes uraian, (3) tes pilihan ganda biasa, (4) tes pilihan ganda bertingkat. Instrumen pendeteksi miskonsepsi dengan wawancara banyak digunakan (53%), akan tetapi membutuhkan waktu yang lama untuk mendeteksi
pada setiap peserta didik dan juga sulit dalam menganalisis data yang diperoleh (Gurel, 2015) . Hal ini berlaku juga untuk tes uraian, sedangkan pada tes pilihan ganda biasa dengan lima pilhan jawaban mempunyai kemungkinan 20% siswa untuk menebak, siswa dapat menjawab dengan benar tanpa perlu mengetahui alasannya (Maunah, N., Wasis, 2014). Instrumen yang akan dikembangkan dalam penelitian ini adalah two-tier multiple chioice diagnostic test yakni tes pilihan ganda dengan dua tingkat. Pada tingkat pertama terdiri atas pertanyaan dan lima pilihan jawaban, pada tingkat kedua terdiri atas lima pilihan jawaban yang mengacu jawaban pada tingkat pertama (Tuysuz, 2009). Penggunaan two-tier multiple chioice diagnostic test dalam instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia akan mengurangi kesalahan dalam pengukuran, selain itu juga kesempatan siswa menebak dengan benar hanya 4%. 1.2. Identifikasi Masalah Berdasarkan
latar
belakang
yang telah
disampaikan
maka
dapat
diidentifikasikan permasalahan sebagai berikut: 1.
Materi kimia dianggap sulit oleh siswa karena siswa kurang paham dalam mempelajari konsep kimia.
2.
Konsep kimia saling berhubungan dan juga banyak konsep yang sulit digambarkan oleh siswa terutama pada level mikroskopis, sehingga siswa dapat mengalami miskonsepsi.
3.
Soal-soal yang digunakan dalam evaluasi lebih banyak menggunakan hapalan dan juga hitungan, dan soal mengenai pemahaman konsep sedikit.
1.3. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah disampaikan dapat dirumuskan permasalahan sebagai berikut: 1.
Apakah Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia yang akan dikembangkan memiliki kelayakan secara isi dan empiris sebagai instrumen untuk menganalisis pemahaman konsep kimia SMA pada pokok materi hukumhukum dasar kimia?
2.
Bagaimana karakteristik implementasi Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia sebagai instrumen untuk menganalisis pemahaman konsep kimia SMA pada pokok materi hukum-hukum dasar kimia?
1.4. Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah disampaikan maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1.
Menghasilkan produk berupa Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia yang layak secara isi dan empiris sebagai instrumen untuk menganalisis pemahaman konsep kimia siswa SMA pada pokok materi hukum-hukum dasar kimia.
2.
Mengetahui karakteristik implementasi produk IPMK sebagai instrumen untuk menganalisis pemahaman konsep kimia SMA pada pokok materi hukum-hukum dasar kimia.
1.5. Manfaat Penelitian Desain instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia ini diharapkan dapat memberikan manfaat yaitu: 1.5.1. Manfaat Teoritis Penelitian ini dapat digunakan sebagai dasar pengembangan instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia pada pokok materi hukum-hukum dasar kimia maupun pada materi yang lain. 1.5.2. Manfaat Praktis 1. Memberikan suatu instrumen pendeteksi miskonsepsi kimia yang dapat digunakan untuk menganalisis pemahaman konsep. 2. Bagi guru, dapat membantu dalam mendeteksi miskonsepsi pada siswanya. Dari hasil diagnosis dengan instrumen ini guru dapat memperbaiki pemahaman konsep siswa, serta dapat menjadi refleksi dari hasil mengajarnya. 3. Bagi siswa, untuk mengetahui miskonsepsi yang ada pada dirinya, sehingga bisa mendapatkan penanganan dari gurunya untuk mengurangi miskonsepsi tersebut.
BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Konsep, Konsepsi, Prakonsepsi, dan Miskonsepsi
2.1.1. Konsep Definisi tentang konsep banyak diungkapkan oleh para ahli dan tampaknya belum ada defenisi yang disepakati secara umum. Konsepsi sering dianalogikan dengan ide. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, konsep diartikan sebagai ide atau pengetahuan yang diabstraksikan dari peristiwa kongkret. Konsep merupakan kelas atau kategori stimulus (objek, peristiwa atau orang) yang memiliki ciri-ciri umum (Hamalik dalam Munawaroh, 2011). Adapun Ausubel (dalam Halomoan, 2008) mengungkapkan bahwa “Konsep adalah benda-benda, kejadian-kejadian, situasi-situasi, atau ciri-ciri yang memiliki ciri khas dan yang terwakili dalam setiap budaya oleh suatu tanda atau simbol (objects, events, situations, or properties that possess common critical attributcs and are designated in any given culture by some accepted sign or symbol . Sedangkan Berg (1991) mengungkapkan bahwa “Konsep merupakan abstraksi dari ciri-ciri sesuatu yang mempermudah komunikasi antara manusia dan yang memungkinkan manusia herfikir (bahasa adalah alat berfikir)”. Dari teori-teori di atas, maka konsep dapat dinyatakan sebagai suatu ide, ilmu pengetahuan dan abstraksi berupa penandaan atau simbolisasi dari suatu ciri khas tertentu dan terwakili dalam setiap budaya yang memungkinkan manusia dapat berkomunikasi satu sama lain dan berfikir. 2.1.2. Konsepsi, dan Prakonsepsi Penafsiran sesorang terhadap suatu konsep tentu memiliki perbedaan dengan penafsiran orang lain pada konsep itu. Sebagai contoh, penafsiran seseorang pada konsep indah atau cantik akan berbeda dengan penafsiran orang lain pada konsep itu. Berg (1991:8) mengungkapkan bahwa “Tafsiran perorangan dari suatu konsep ilmu disebut konsepsi”. Walaupun dalam fisika kebanyakan konsep mempunyai arti yang jelas, bahkan yang sudah disepakati oleh para tokoh Fisika, tapi konsepsi siswa/mahasiswa/guru/dosen berbeda-beda. Duit dan Treagust mendefenisikan konsepsi sebagai interpretasi mental idiosyncratic individu. Adapun Suparno (2005) mendefenisikan konsepsi sebagai kemampuan memahami konsep, baik yang diperoleh melalui interaksi dengan
lingkungan maupun konsep yang diperoleh dari pendidikan formal. Dari uraian di atas, diperoleh pengertian bahwa konsepsi adalah sebuah interpretasi dan tafsiran perorangan pada suatu konsep ilmu yang diperoleh melalui interaksi dengan lingkungan dan melalui pendidikan formal. Setiap siswa telah memiliki konsepsi sendiri-sendiri tentang sesuatu sebelum mereka memasuki ruang-ruang belajar. Termasuk yang berkaitan dengan materi pelajarani fisika. Sebelum mereka mengikuti pelajaran mekanika, siswa telah banyak memiliki pengalaman dengan peristiwa-peristiwa mekanika seperti benda yang jatuh, benda yang bergerak, gaya, dan sebagainya. Karena pengalamannya itu, mereka telah memiliki konsepsi-konsepsi yang belum tentu sama dengan konsepsi fisikawan. Konsepsi seperti itu disebut dengan prakonsepsi (Berg 1991). 2.1.3. Miskonsepsi “Miskonsepsi atau salah konsep menunjuk pada suatu konsep yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah atau pengertian yang diterima para pakar dalam bidang itu. Bentuk miskonsepsi dapat berupa konsep awal, kesalahan, hubungan yang tidak benar antara konsep-konsep, gagasan intuitif atau pandangan yang naif” (Suparno 2005:4). Novak (dalam Suparno 2005:4) mendefenisikan miskonsepsi sebagai suatu interpretasi konsep-konsep dalam suatu pernyataan yang tidak dapat diterima. Adapun Brown (dalam Suparno 2005:4) menjelaskan misonsepsi sebagai suatu pandangan yang naif dan mendefeisikannya sebagai suatu gagasan yang tidak sesuai dengan pengertian ilmiah yang sekarang diterima. Sedangkan Fowler (dalam Suparno 2005) menjelaskan dengan lebih rinci arti miskonsepsi. Ia memandang miskonsepsi sebagai pengertian yang tidak akurat akan konsep, penggunaan konsep yang salah, klasifikasi contoh-contoh yang salah, kekacauan konsep-konsep yang berbeda, dan hubungan hirearkis konsepkonsep yang tidak benar. Dari beberapa teori di atas tergambarkan dengan jelas bahwa miskonsepsi adalah sebuah interpretasi, pandangan naif dan defenisi yang tidak akurat terhadap suatu konsep yang tidak dapat dterima karena bertentangan dengan pengertian ilmiah. Suparno
(2005)
menjelaskan
miskonsepsi sebagai berikut :
beberapa
faktor
penyebab
lahirnya
1. Faktor siswa yang memiliki masalah pada prakonsepsi, pemikiran asosiatif, pemikiran humanistik, reasoning yang tidak lengkap, intuisi yang salah, perkembangan kognitif, kemampuan siswa dan minat belajarnya. 2. Faktor pengajar yang tidak menguasai bahan, bukan lulusan dari bidang ilmu tertentu, tidak membiarkan siswa mengungkapkan gagasan/ide, dan relasi guru dengan siswa yang tidak baik 3. Faktor buku teks. Terdapat banyak buku yang penjelasannya salah, salah tulis terutama dalam rumus, tingkat penulisan buku terlalu tinggi untuk siswa, buku fiksi dan kartun sains yang sering salah konsep karena alasan menariknya yang perlu. 4. Faktor Konteks. Konteks hidup yang sering menjadi penyebab antara lain pengalaman siswa, bahasa sehari-hari yang berbeda, teman diskusi yang salah keyakinan dan agama, penjelasan orang tua/orang lain yang keliru, konteks hidup siswa (tv, radio, film yang keliru, perasaan senang tidak senang dan perasaan bebas atau tertekan. 5. Faktor cara mengajar yang kadang kala hanya berisi ceramah dan menulis, langsung ke dalam bentuk matematika, tidak mengungkapkan miskonsepsi, tidak mengoreksi PR, model analogi yang dipakai kurang tepat, model demonstrasi sempit dan lain-lain. Renner dan Brumby (dalam Djailani, 2013) menyusun kriteria untuk mengelompokkan pemahaman konsep seperti pada tabel berikut :
Tabel 1. Pengelompokan Derajat Pemahaman Konsep
No. 1. 2.
3. 4.
5.
Kriteria Tidak ada jawaban / kosong, mejawab “saya tidak tahu” Mengulang pernyataan, menjawab tapi tidak berhubungan dengan pertanyaan atau tidak jelas Menjawab dengan penjelasan tidak logis Jawaban menunjukkan ada konsep yang dikuasai tetapi ada pernyataan dalam jawaban yang menunjukkan miskonsepsi Jawaban menunjukkan hanya sebagian konsep dikuasai tanpa ada miskonsepsi
Derajat Pemahaman
Kategori
Tidak ada respon
Tidak memahami
Tidak memahami
Miskonsepsi Memahami sebagian Memahami sebagian
Miskonsepsi
Memahami
2.2. Tes Diagnostik Menurut Arikunto (2013) tes diagnostik berguna untuk mengetahui kesulitan belajar yang dihadapi peserta didik. Tes ini dilakukan apabila diperoleh informasi bahwa sebagian besar peserta didik gagal dalam mengikuti proses pembelajaran. Hasil tes diagnostik memberikan informasi tentang konsep-konsep yang sudah atau belum dipahami. Konsep yang belum dipahami tersebut salah satunya dapat disebabkan terjadinya miskonsepsi yang dialami peserta didik. Berkaitan dengan hal itu, maka tes diagnostik juga dapat digunakan untuk mengetahui materi-materi yang dirasa sulit dipahami oleh peserta didik, termasuk materi yang sering menyebabkan miskonsepsi. Tes diagnostik yang baik dapat memberikan gambaran akurat tentang miskonsepsi yang dialami peserta didik berdasarkan informasi kesalahan yang dibuatnya. Tes diagnostik digunakan untuk menilai pemahaman konsep-konsep kunci (key concepts) pada topik tertentu, khususnya konsep-konsep yang cenderung dipahami salah oleh peserta didik. Jadi, tes diagnostik mencakup topik terbatas dan spesifik, dan dapat dilakukan untuk mengungkap miskonsepsi. Untuk membedakan tes pilihan ganda biasa (bukan untuk diagnosa) dengan tes pilihan ganda untuk diagnosa, pengecoh pada tes pilihan ganda untuk tes diagnostik dirancang berdasarkan miskonsepsi yang telah teridentifikasi melalui penelitian, masukan dari peserta didik maupun pendidik. Berdasarkan uraian tersebut, maka produk awal pada penelitian ini yang berupa Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Hukum dasar kimia disusun dan dikembangkan berdasarkan cakupan materi pokok Hukum Dasar Kimia yang dipilih berdasarkan masukan guru-guru kimia SMA ketika menjadi reviewer terhadap produk awal Instrumen yang dikembangkan. Dengan demikian diharapkan butir-butir tes yang dibuat benar-benar berkaitan dengan materi Hukum dasar kimia yang sering menyebabkan miskonsepsi pada peserta didik. 2.3. Pengembangan Instrumen Tes Pada penelitian ini dikembangkan instrumen tes pendeteksi miskonsep yang mengacu pada two-tier multiple choice diagnostic choice seperti yang dikembangkan oleh Treagust (1988). Pemilihan bentuk tes ini merupakan pertanyaan dua tingkat yang digunakan sebagai pengganti wawancara untuk
mendiagnosis pemahaman siswa, tingkat pertama siswa memilih jawaban dan tingkat kedua siswa memilih alasan. Tujuan pemberian tes diagnostik untuk menilai pemahaman konseptual siswa terhadap topik tertentu, khususnya untuk topik yang dipahami secara salah. Oleh karena itu, ketepatan cakupan materi, kesuaian dengan cakupan konsep, kesesuaian butir soal, dan kebenaran isi menjadi fokus dalam pengembangan instrumen. Semua penilaian dilakukan oleh dosen kimia dan guru kimia. Keragaman para penilai ini dilakukan untuk memperoleh ketepatan penilaian yang tinggi. 2.4. Miskonsepsi pada Hukum-hukum Dasar Kimia Konsep dalam ilmu kimia yang menimbulkan miskonsepsi tidak hanya konsep ikatan kimia, konsep kesetimbangan, konsep asam-basa saja melainkan konsep hukum dasar kimia seperti yang dikemukakan Salirawati (2012). Hukum dasar kimia merupakan salah satu konsep dalam ilmu kimia yang dianggap sulit oleh peserta didik bahkan guru (Salirawati, 2012). Penelitian yang dilakukan oleh Sidauruk (2005) bahwa pemahaman siswa tentang stoikiometri masih rendah. 2.5. Kajian Penelitian yang Relevan Konsep kimia yang diajarkan biasanya tidak berdiri sendiri, artinya antara konsep kimia yang satu saling berhubungan dan berkaitan dengan konsep kimia yang lainnya. Maka setiap konsep kimia haruslah dapat dipahami dan dikuasai dengan benar sebellum mempelajari konsep kimia yang lain. Pada kenyataannya, banyak siswa yang berhasil memecahkan soal sistematis tetapi tidak memahami konsep kimianya karena hanya menghapal rumusnya (Smith dan Metz, dalam Penelitian Dosen Muda). Siswa cenderung hanya menghapal gambaran (level) mikroskopik yang bersifat abstrakk dalam bentuk deskripsi kata-kata. Akibatnya, siswa tidak mampu untuk membayangkan bagaimana proses dan struktur dari suatu zat yang mengalami reaksi. Hal ini menunjukkan bahwa sebagian siswa gagal memahami konsep pada level mikroskopis.
Penelitian
yang
dilakukan
oleh
Sholehudin,
dkk
(2009)
membuktikan bahwa ada hubungan yang kuat dan positif antara peningkatan pemahaman level mikroskopik dengan peningkatan konsep siswa. Semakin tinggi pemahaman level mikroskopik siswa akan semakin tinggi pula penguasaan konsepnya.
Penelitian tentang kesalahan konsep telah banyak dilakukan baik di Indonesia maupun di luar negeri. Griffith dan Preston (1992) menemukan kesalahan konsep
untuk konsep atom dan molekul pada siswa dalam
hubungannya dengan struktur, komposisi, ukuran, massa, ikatan dan energi molekul. Dalam penelitiannya, air digunakan sebagai sampel. Birk dan Kurtz (1999) menemukan salah konsep untuk konsep stuktur molekul dan ikatan pada mahasiswa lulusan jurusan kimia. Smith dan Metz dan (1996) menemukan kesalahan konsep untuk larutan pada level mikroskopis. Penelitian lain yang dilakukan oleh Garnett, Peterson dan Treagust (1989) menemukan adanya kesalahan konsep yang dialami siswa untuk materi struktur dan ikatan kovalen dan hubungannya dengan kepolaran ikatan, bentuk molekul, kisi, gaya antarmolekul dan aturan oktet. Di dalam negeri ditemukan beberapa penelitian tentang kesalahan konsep materi ikatan kovalen. Dinihari (2004) melaporkan adanya kesalahan konsep pada siswa menengah atas tentang ikatan kovalen polar dan ikatan kovalen nonpolar. Penelitian lain yang dilakukan oleh Erman (1998) juga melaporkan adanya kesalahan konsep yang dialami mahasiswa pada materi ikatan kovalen. Sidauruk (2006) menuliskan adanya kesalahan konsep pada materi persamaan reaksi pada siswa SMA. 2.6. Kerangka Berpikir Hasil UN tahun 2014/2015 kurang memuaskan
Tingkat Pemahaman yang rendah mengarah pada dua kemungkinan Tidak Paham Konsep
Miskonsepsi
Analisis hasil UN dan wawancara dengan guru mengenai potensi miskonsepsi yang dialami siswa
Guru belum pernah melakukan analisis miskonsepsi pada peserta didiknya
Perlu dikembangkang instrumen untuk membantu guru
Instrumen yang dikembangkan harus memiliki kelayakan secara isi dan empiris
BAB 3 METODE PENELITIAN 3.1. Metode Penelitian yang dilakukan menggunakan pendekatan penelitian dan pengembangan (Research and Development). Penelitian dan pengembangan merupakan metode penelitian yang digunakan untuk menghasilkan sebuah produk tertentu, dan menguji keefektifan produk tersebut (Sugiyono, 2014). Produk yang dikembangkan berupa instrumen tes yang digunakan untuk mendeteksi miskonsepsi. Tahapan penelitian terdiri atas (1) menyusun spesifikasi tes, (2) menulis soal tes, (3) menelaah soal tes, (4) melakukan uji coba (5) menganalisis butir soal, (6) memperbaiki soal tes, (7) merakit tes, (8) melaksanakan tes, dan (9) menafsirkan hasil tes (Jihad & Haris, 2013). Metode penelitian lebih jelas dapat dilihat pada gambar 3.1. Metode Penelitian
Gambar 3.1. Metode Penelitian
3.1.1. Menyusun Spesifikasi Tes Penentuan spesifikasi tes berdasarkan pada fakta dari hasil observasi awal di SMA yang menunjukkan perlunya pendeteksian miskonsepsi pada siswa untuk materi hukum-hukum dasar kimia. Observasi dilakukan dengan melakukan wawancara dengan guru. Instrumen tes yang dikembangkan berbentuk tes pilihan ganda dengan alasan. Bentuk tes mengacu pada penelitian yang dikembangkan oleh Treagust (1988) yakni two-tier multiple choice diagnostic test.
3.1.2. Menulis soal tes Tahap penulisan soal tes diawali dengan pembuatan kisi-kisi soal yang didasarkan pada silabus yang berlaku di SMA 1 Kendal. Silabus yang berlaku yakni silabus kurikulum 2013, dengan kompetensi dasar yang diujikan dalam tes adalah (1) Menerapkan hukum-hukum dasar kimia, konsep massa molekul relatif, persamaan kimia, konsep mol, dan kadar zat untuk menyelesaikan perhitungan kimia; (2) Mengolah data terkait hukum-hukum dasar kimia, konsep massa molekul relatif, persamaan kimia, konsep mol, dan kadar zat untuk menyelesaikan perhitungan kimia. Kisi-kisi soal yang disusun menjadi dasar penyusunan soal dalam instrumen. Instrumen pendeteksi miskonsepsi hukum-hukum dasar kimiaterdiri atas kisi-kisi, soal inti dan soal alasan, kunci jawaban, serta petunjuk analisis. Tahapan selanjutnya aadalah penilaian kelayakan oleh pakar atau yang disebut validasi isi. 3.1.3. Menelaah soal tes Tujuan tahap ini adalah untuk mendapatkan instrumen yang memiliki kelayakan secara isi. Validasi soal dilakukan dengan teknik panel, yakni telah dilakukan oleh validator di tempat dan waktu yang terpisah. Dala penelitian ini, validator yang terlibat berjumlah empat orang yakni dosen ... sebagai ahli instrumen tes dan nontes, dosen pengampu kimia dasar sebagai ahli materi, serta dua guru mata pelajaran kimia sebagai praktisi pendidikan yang mengetahui kondisi peserta didik di lokasi penelitian. Telaah soal menilai kesesuaian butir soal dengan indikator dan kemampuan butir soal sebagai pendeteksi miskonsepsi kimia, serta ditambah penilaian pada kaidah penulisan soal yang berdasarkan aspek materi, konstruksi, dan bahasa. Instrumen kemudian direvisi berdasarkan komentar validator. Hasil revisi diverifikasi kembali kepada validator untuk mendapatkan instrumen yang memiliki kualitas secara isi pada seluruh butir soal. 3.1.4. Melakukan uji coba tes Tahapan uji coba dilaksanakan dengan uji coba di SMA 1 Kendal. Penentuan subyek uji coba berdasarkan sampling kuota, dengan kuota siswa berjumlah 60 (Arikunto, 2006). Syarat penentuan subyek coba yakni subyek coba pada uji coba II berbeda dengan subyek coba pada saat uji coba I.
3.1.5. Menganalisis butir soal Butir soal yang telah diuji coba kemudian dianalisis untuk mendapatkan kelayakan secara empiris. Kelayakan yang diuji dalam uji coba ini adalah validitas butir soal, daya beda butir soal, tingkat kesukaran butir soal, dan reliabilitas instrumen keseluruhan. Hasil analisis, maka didapatkan instrumen yang layak secara empiris untuk digunakan sebagai instrumen tes pendeteksi miskonsepsi. 3.1.6. Memperbaiki tes Hasil analisis pada tahapan sebelumnya menjadi dasar revisi instrumen, sehingga didapatkan instrumen tes yang layak secara empiris. Pada tahapan ini didapatkan produk berupa instrumen tes pendeteksi miskonsepsi hukum-hukum dasar kimiayang valid secara empiris. 3.1.7. Merakit tes Butir soal yang telah valid secara isi dan empiris disusun menjadi butir soal yang baru. Penyusunan butir soal adalah dengan mengurutkan kisi-kisi soal, nomor soal, dan kunci jawaban. 3.1.8. Melaksanakan tes Instrumen tes pendeteksi miskonsepsi hukum-hukum dasar kimiayang telah disusun menjadi produk yang valid diujikan kepada peserta didik di SMA 1 Kendal, dengan tujuan membuktikan kemampuan instrumen sebagai pendeteksi miskonsepsi kimia untuk peserta didik. Instrumen diujikan kepada peserta didik, dengan keterlibatan guru yang bertujuan untuk memperoleh komentar dari guru untuk memperbaiki instrumen yang dikembangkan. 3.1.9. Menafsirkan hasil tes Tahapan ini merupakan penafsiran dari hasil pelaksanaan tes kepada peserta didik, yakni berupa analisis klasifikasi pemahaman konsep peserta didik beserta proporsinya. Analisis pemahaman konsep berdasarkan pada petunjuk analisis yang ada pada instrumen. Prosedur analisis soal dapat dilihat pada gambar 3.2. Apabila miskonsepsi yang terdeteksi adalah MI-1 yakni jawaban soal inti benar dan jawaban soal alasan salah, maka analisis miskonsepsi berdasarkan pada penjelasan alasan. Sedangkan apabila miskonsepsi yang terjadi adalah MI-2 yakni jawaban pada soal inti salah dan jawaban pada soal alasan benar, maka analisis miskonsepsi berdasarkan pada penyimpangan penerapan konsep pada soal alasan.
Pada tahapan ini, guru juga berperan dalam proses menganalisis, sehingga akan didapatkan pula tanggapan guru mengenai kemudahan dan kemampuan instrumen sebagai instrumen untuk mendeteksi miskonsepsi kimia pada materi hukum-hukum dasar kimia. Tanggapan yang diberikan guru didapatkan melalui angket yang berisi keefektifan, kemudahan, dan kecocokan instrumen yang dikembangkan untuk peserta didik di tingkat SMA. 3.2. Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan di SMA 1 Kendal pada bulan Maret hingga April 2017. 3.3. Instrumen Penelitian 3.3.1. Lembar penilaian kelayakan IPMK Lembar penilaian kelayakan berupa angket untuk menilai soal inti maupun soal alasan. Soal inti dinilai dengan kriteria pada aspek materi, konstruksi, dan bahasa, sedangkan soal alasan dinilai dari kesesuaiannya dengan soal inti dan kemampuannya untuk mendeteksi miskonsepsi. pada angket juga ditambahkan isisan kosong agar validator dapat memberikan masukan lain yang penting. 3.3.2. Lembar penilaian penerapan Instrumen Lembar
penilaian
penerapan
instrumen
digunakan
untuk
menilai
keefektifan, kemudahan, dan kecocokan instrumen yang dikembangkan untuk peserta didik SMA. Lembar penilaian berupa angket yang diberikan kepada guru yang terlibat dalam proses pelaksanaan tes dan analisis miskonsepsi menggunakan instrumen yang dikembangkan. 3.4. Sumber Data dan Subyek Penelitian 3.4.1. Sumber Data Sumber data dalam penelitian ini diantaranya validasi instrumen tes, validasi empiris yang didapatkan dari tahap uji coba pada kelas X MIPA yang kemudian dianalisis untuk mendapatkan validitas butir soal, reliabilitas, daya beda, dan tingkat kesukaran butir soal. 3.4.2. Subyek Penelitian Penelitian
ini
melibatkan
beberapa
pihak
dalam
pelaksanaannya,
diantaranya ahli instrumen, ahli materi, dan responden. Adapun penjelasannya adalah sebagai berikut:
3.4.2.1. Ahli Instrumen Ahli instrumen merupakan seorang yang ahli dan mempunyai pengalaman dalam bidang instrumen penilaian pembelajaran. Ahli instrumen dalam penelitian ini bertindak sebagai validator dari instrumen tes yang dikembangkan yaitu instrumen pendeteksi miskonsepsi two-tier diagnostic test. Ahli instrumen ini juga bertindak sebagai evaluator aspek instrumen untuk menentukan kelayakan dari instrumen tes yang dikembangkan. Ahli instrumen dalam penelitian ini adalah dosen ahli instrumen di lingkungan jurusan Kimia FMIPA Unnes. 3.4.2.2.Ahli Materi Ahli materi merupakan seorang yang ahli dalam bidang ilmu kimia dan pembelajaran kimia. Ahli materi dalam pembelajaran ini bertindak sebagai validator terkait isi dari media pembelajaran yang dikembangkan. Ahli materi juga bertindak sebagai evaluator aspek standar isi dari instrumen tes pendeteksi miskonsepsi two-tier diagnostic test yang dikembangkan. Ahli materi dalam penelitian ini adalah dosen di lingkungan Kimia FMIPA Unnes dan juga guru mata pelajaran kimia kelas X di SMA N 1 kendal. 3.4.2.3.Responden Responden bertindak sebagai tester terhadap instrumen tes pendeteksi miskonsepsi yang dikembangkan. Responden dalam penelitian ini yaitu siswa salah satu kelas X MIPA SMA N 1 kendal yang digunakan untuk menguji keefektifan instrumen tes pendeteksi miskonsepsi yang dikembangkan. 3.5. Teknik Pengumpulan Data 3.5.1. Telaah Soal Tes Penelaahan soal tes dilakukan untuk mendapatkan validitas isi instrumen. Data validasi didapatkan dengan memberikan kisi-kisi, soal, kunci jawaban, petunjuk analisis, serta angket secara langsung kepada dosen dan guru kimia selaku validator. 3.5.2. Analisis butir soal Analisis butir soal didasarkan pada hasil uji coba di kelas X MIPA SMA Negeri 1 Kendal. Hasil uji coba kemudian dianalisis dengan validitas butir soal, reliabilitas instrumen, daya beda, dan tingkat kesukaran butir soal.
3.5.3. Uji Coba Lapangan Uji coba lapangan atau tahapan pelaksanaan tes dan penafsiran tes, data didapatkan dari uji coba produk kepada peserta didik kelas X MIPA SMA N 1 Kendal. Uji coba dilakukan diluar jam pelajaran. 3.6.
Teknik Analisis Data
3.6.1. Telaah soal tes Hasil penilaian kelayakan instrumen tes pendeteksi miskonsepsi oleh dosen dan guru dianalisis secara deskriptif untuk keperluan perbaikan pada instrumen tes yang dikembangkan. 3.6.2. Analisis Butir Soal Hasil uji coba dari soal yang dikembangkan dianalisis dengan mencari validitas butir soal, reliabilitas instrumen, daya beda, dan tingkat kesukaran butir soal. Analisis validitas butir soal dapat dihitung menggunakan rumus Korelasi point biserial yaitu sebagai berikut:
𝑟𝑝𝑏𝑖𝑠 =
𝑋̅𝑝 − 𝑋̅𝑡 𝑝 √ 𝑠𝑡 𝑞
Keterangan: rpbis
= koefisien korelasi point biserial
Xp
= skor rata-rata kelas yang menjawab benar
Xt
= skor rata-rata total
P
= proporsi peserta yang menjawab benar
Q
= 1-p
St
= standar deeviasi skor total
(Arikunto, 2013).
Dalam Sudjana (2005) menyatakan hasil perhitungan rpbis digunakan untuk mencari signifikasi (thitung) dengan rumus:
𝑡ℎ𝑖𝑡𝑢𝑛𝑔 =
𝑟𝑝𝑏𝑖𝑠 √𝑛 − 2 2 √1 − 𝑟𝑝𝑏𝑖𝑠
Jika thitung > ttabel, maka butir soal dinyatakan valid dengan n adalah jumlah siswa.
Reliabilitas instrumen dapat diukur dengan menggunakan Cronbach’s Alpha atau Koefisien Alpha. Rumus tersebut dinyatakan dengan: ∑ 𝜎𝑖2 𝑛 ) (1 − ) ∑ 𝜎𝑡2 𝑛−1
𝑟11 = ( Keterangan: R11
= reliabilitas yang dicari
N
= jumlah butir soal
∑σi2
= jumlah varian butir soal
∑σt2
= varian skor total
Tingkat reliabilitas dari soal yang diujicobakan didasarkan pada klasifikasi Guilford (Rusefendi, 2003) ditunjukkan pada tabel 3.1. Tabel 3.1. Klasifikasi Tingkat Reliabilitas
Besarnya 0,00≤α≤0,20 0,20≤α≤0,40 0,40≤α≤0,60 0,60≤α≤0,80 0,80≤α≤1,00
Tingkat Reliabilitas Kecil Rendah Sedang Tinggi Sangat tinggi
Analisis tingkat kesukaran digunakan untuk melihat soal apakah soal termasuk kategori mudah, sedang, atau sukar. Tingkat kesukaran untuk tiap butir soal dapat dinyatakan dengan indeks kesukaran menggunakan rumus : 𝐼𝐾 =
𝐽𝐵𝐴 + 𝐽𝐵𝐵 2 𝐽𝑆𝐴
Keterangan: IK = Indeks Kesukaran JBA = Jumlah jawaban benar kelas atas JBB = Jumlah jawaban benar kelas bawah JSA = jumlah peserta didik kelas atas Tingkat kesukaran dari hasil perhitungan diinterpretasikan menggunakan kriteria tingkat kesukaran butir soal yang dikemukakan oleh Arikunto (2013) ditunjukkan pada Tabel 3.2. Tabel 2.2. Kriteria Tingkat Kesukaran
Besarnya
Tingkat Kesukaran
0,00≤P≤0,30 0,31≤P≤0,70 0,71≤P≤1,00
Sukar Sedang Mudah
Daya beda digunakan untuk mengetahui apakah butir soal dapat membedakan antara siswa yang pandai (berkemampuan tinggi) dengan siswa yang bodoh (berkemampuan rendah). Angka yang menunjukkan besarnya daya pembeda disebut indeks diskriminasi, disingkat D. Rumus untuk menentukan indeks diskriminasi adalah: 𝐷=
𝐵𝐴 𝐵𝐵 − = 𝑃𝐴 − 𝑃𝐵 𝐽𝐴 𝐽𝐵
Keterangan: J
= jumlah peserta tes
JA
= banyaknya peserta kelompok atas
JB
= banyaknya peserta kelompok bawah
BA
= benyaknya peserta kelompok atas yang menjawab soal itu dengan benar.
BB
= banyaknya peserta kelompok bawah yang menjawab soal itu dengan benar
PA
= proporsi peserta kelompok atas yang menjawab benar (P sebagai indeks kesukaran)
PB
= proporsi peserta kelompok bawah yang menjawab benar.
Tingkat daya beda dari hasil perhitungan diinterpretasikan menggunakan kriteria daya pembeda yang ditunjukkan pada tabel 3.3. Tabel 3.3. Kriteria Tingkat Daya Pembeda
Besarnya 0,00 – 0,20 0,21 – 0,40 0,41 – 0,70 0,71 – 1,00
Tingkat Daya Pembeda Jelek Cukup Baik Baik sekali
3.6.3. Hasil Pelaksanaan Tes dan Penafsiran Tes Hasil pelaksanaan tes yang berupa komentar dari guru kimia yang terlibat dalam uji lapangan dianalisis dengan menghitung persentase tingkat pemahaman
peserta didik pada kategori yang telah ditetapkan. Analisis tingkat pemahaman bertujuan untuk membuktikan kemampuan instrumen tes pendeteksi miskonsepsi sebagai pendeteksi miskonsepsi pada pokok materi hukum dasar kimia untuk peserta didik SMA. Selain analisis tingkat pemahaman konsep peserta didik, data juga diambil dari tanggapan guru tentang instrumen yang dikembangkan. Tanggapan guru dapat dijadikan sebagai evaluasi dalam perbaikan instrumen yang dikembangkan. Berdasarkan hasil ujian dengan menggunakan Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Kimia (IPMK) yang diadopsi dari Das Salirawati ini diperoleh data yang berupa pola jawaban inti tes dan alas an dari setiap butir soal yang dikerjakan siswa. Pola jawaban selanjutnya dimasukkan kedalam kategori tingkat pemahaman sebagai berikut: Tabel 3.4. Pola Jawaban siswa dan Kategorinya
No. 1 2 3 4 5 6
Pola jawaban peserta didik Jawaban inti tes benar – alasan benar Jawaban inti tes benar – alas an salah Jawaban inti tes salah – alas an benar Jawaban inti tes salah – alasan salah Jawaban inti tes salah – alasan tidak diisi Jawaban inti tes benar – alasan tidak diisi
7
Tidak menjawab inti tes dan alasan
Kategori tingkat pemahaman Memahami (M) Miskonsepsi (Mi-1) Miskonsepsi (Mi-2) Tidakmemahami (TM-1) Tidakmemahami (TM-2) Memahami sebagian tanpa miskonsepsi (MS-1) Tidak memahami (TM-3)
Berdasarkan kategori tersebut, siswa yang diduga mengalami miskonsepsi kemudian diwawancarai. Setelah itu maka data uji coba lapangan dapat dianalisis untuk menentukan pada butir-butir tes mana saja siswa mengalami miskonsepsi dan seberapa besar (persentase) siswa yang mengalami miskonsepsi. Adapun tabel yang digunakan untuk memasukkan data dasar dapat dibuat seperti tabel 3.4. Tabel 3.5. Data Dasar Hasil Uji Coba Lapangan
Subjek uji coba 1 2 3 Dst
1
2
3
Nomor Butir Soal 4 5 6
7
Dst
M Mi-1 Mi-2
Berdasarkan siswa yang memahami, miskonsepsi, tidak memahami maupun memahami sebagian tanpa miskonsepsi untuk setiap tes. Dengan demikian,
pesentase tiap butir tersebut, selanjutnya dapat diketahui pula materi pokok ikatan kimia mana yang memiliki kecenderungan siswa mengalami miskonsepsi. Tabel 2 adalah rekapitulasi persentase tiap butir tes dalam berbagai kategori tingkat pemahaman. Tabel 2. Persentase setiap butir tes dalam berbagai kategori tingkat pemahaman Uraian materi pokok hukum dasar kimia
No buti r soal
Kategori tingkat pemahaman
M Hukum lavoisi er Hukum proust
1 2
∑
%
Mi-1 ∑ %
Mi-2 ∑ %
TM-1 ∑ %
TM-2 ∑ %
Ms-1 ∑ %
TM-3 ∑ %
3 4
Teknik analisis dilakukan untuk mengakategorikan siswa kedalam kategori memahami, miskonsepsi dan tidak memahami. Kategori memahami dibagi menjadi dua yaitu memahami (M) dan memahami sebagian tanpa miskonsepsi (MS-1). Kategori Miskonsepsi juga dibagi menjadi dua yaitu miskonsepsi (Mi-1) dan miskonsepsi (Mi-2) dan kategori tidak memahami dibagi menjadi tiga yaitu tidak memahami (TM-1), tidak memahami (TM-2) dan tidak memahami (TM-3). Adapun Persentase siswa yang memahami, miskonsepsi dan tidak memahami dihitung menggunakan rumus sebagai berikut: 𝑀
Persentase siswa yang memahami (M) = 𝑁 𝑥 100% Persentase siswa yang memahami sebagian tanpa miskonsepsi = 𝑀𝑆−1 𝑁
𝑥 100% Total persentase siswa yang memahami = persentase siswa yang memahami
+ persentase siswa yang memahami sebagian tanpa miskonsepsi.
Persentase siswa yang mengalami miskonsepsi (Mi-1) = Persentase siswa yang mengalami miskonsepsi (Mi-2) =
𝑀𝑖−1 𝑁 𝑀𝑖−2 𝑁
𝑥 100% 𝑥 100%
Total siswa yang mengalami miskonsepsi = Persentase siswa yang mengalami miskonsepsi (Mi-1) + Persentase siswa yang mengalami miskonsepsi (Mi-2). Persentase siswa yang tidak memahami (TM-1) = Persentase siswa yang tidak memahami (TM-2) = Persentase siswa yang tidak memahami (TM-3) =
𝑇𝑀−1 𝑁 𝑇𝑀−2 𝑁 𝑇𝑀−3 𝑁
𝑥 100% 𝑥 100% 𝑥 100%
Total persentase siswa yang tidak memahami = Persentase siswa yang tidak memahami (TM-1) + Persentase siswa yang tidak memahami (TM-2) + Persentase
siswa
yang
tidak
memahami
(TM-3).
Daftar Pustaka Arikunto. 2006. Prosedur Penelitian: Suatu Pendekatan Praktik. Jakarta: Rineka Cipta Arikunto. 2013. Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan. Jakarta: Bumi Aksara BSNP. 2006. Standar Isi untuk Satuan Pendidikan Dasar dan Menengah. Jakarta: Badan Standar Nasional Pendidikan. Gurel, D.K., A. Eryilmaz, L.C. McDermott. 2015. A Review and Comparison of Diagnostic Instruments to Identify Students’ Misconceptions in Science. Eurasia Journal of Mathematics, Science & Technology Education. 11(5): 989-1008. Doi: 10.12973/eurasia.2015.1369a. Jihad & Haris. 2013. Evaluasi Pembelajaran. Yogyakarta: Multi Presindo Johnstone, A.H. 2006. Chemical education research in Glasgow in perspective. Chemistry Education Research and Practice. 7(2): 49-63. Kean, E & Middlecamp, C. 1985. Panduan Belajar Kimia Dasar. Jakarta: Gramedia. Maunah, Nailul. 2014. Pengembangan Two-Tier Multiple Choice Diagnostic Test untuk Menganalisis Kesulitan Belajar Siswa Kelas X pada Materi Suhu dan Kalor. Jurnal Inovasi Pendidikan Fisika. 03(02). 195-200. ISSN : 2302-4496. Mentari, L., Suardana, I.N., & Subagia,I.W. 2014. Analisis Miskonsepsi Siswa SMA Pada Pembelajaran Kimia untuk Materi Larutan Penyangga. EJurnal Kimia Visvitalis Universitas pendidikan Ganesha Jurusan Pendidikan Kimia, 2(1): 76-87. Nursiwin. 2014. Menggali Miskonsepsi Siswa SMA pada Materi Perhitungan Kimia Menggunakan Certainty of Response Index. Artikel Penelitian. Tidak diterbitkan. Salirawati, D. 2012. Pengembangan Instrumen Pendeteksi Miskonsepsi Materi Ikatan Kimia untuk Peserta Didik. Jurnal Kependidikan. 42(2). 118129.
Sidauruk, S. 2005. Miskonsepsi Stoikiometri pada Siswa SMA. Jurnal Penelitian dan Evaluasi Pendidikan. VII(2): 253-272. Sumarna, O. 2014. Identifikasi dan Reduksi Miskonsepsi Menggunakan Pembelajara Kimia Kontekstual pada Materi Pokok Termokimia. Jurnal Riset dan Praktik Pendidikan Kimia. 1(2): 193-202. Suparno, Paul. 2005. Miskonsepsi dan Perubahan Konsep dalam Pendidikan Fisika. Jakarta : Grasindo Wisudawati, A.W. 2015. Pengembangan Instrumen Three-Tier Test untuk mengidentifikasi Representasi Tingkat Mikroskopis Perubahan Wujud Air sebagai Alternatif Assesment Integrasi Islam-Sains. Seminar Nasional Kimia dan Pendidikan Kimia VII.