Beritahu saya mengenai komentar-komentar selanjutnya melalui surel. Beritahu saya tulisan-tulisan baru melalui surel. Blog pada WordPress.com. Theme: Vigilance by The Theme Foundry.
BERITA HARI INI
BALI NUSATENGGARA NUSANTARA MANCANEGARA EKONOMI PARIWISATA BUDAYA OLAHRAGA RUBRIK
OPINI SISIPAN TOPIK SURAT PEMBACA
DENPOST harian warga kota Denpasar
Rabu Pon, 30 April 2008
Ajeg Bali
Pentingnya Manajemen Upacara Kata ''upacara'' berasal dari bahasa Sansekerta yang artinya mendekat. Itu artinya upacara yadnya pada intinya menuntun umat Hindu untuk mendekatkan diri pada alam lingkungan, pada sesama umat manusia dan pada yang tertinggi yaitu Sang Hyang Widhi Wasa. Mendekatkan diri pada tiga aspek itu b erdasarkan yadnya. Ekspresi yadnya pada tiga sasaran itu dengan melakukan asih pada alam lingkungan, punia pada sesama umat manusia dan bhakti pada Hyang Widhi Wasa. Asih punia dan bhakti inilah yang disebut Tri Para Artha. Dengan mendekatkan diri berdasarkan yadnya pada alam, sesama manusia dan pada Hyang Widhi menyebabkan arti upakara banten juga ada tiga. Apakah sesungguhnya makna upacara itu? Bagaimana cara mengelola upacara? =========================================================== Menurut Lontar Yadnya Prakerti, banten itu ada tiga maknanya yang dinyatakan sebagai berikut: Sehananing Bebanten pinaka ragan ta twi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka anda bhuwana. Artinya, semua upakara banten sebagai lambang diri manusia, sebagai lambang kemahakuasaan Tuhan dan lambang alam semesta. Demikian juga setiap upacara yadnya dan juga hari raya Hindu menurut berbagai ketentuan pustaka suci Hindu dilakukan dengan dua arah yaitu ke arah ke luar diri yang disebut Prawrti Marga dan ke arah menuju dalam diri sendiri yang disebut Niwrti Marga. Jalan Prawrti itu diwujudkan untuk mempersembahkan berbagai bentuk upacara bebantenan di berbagai tempat p emujaan. Banten penuh arti karena sebagai perwujudan nilai-nilai tatwa dan susila Hindu. Bakti dalam wujud ini disebut Arcanam dalam Pustaka Bhagawata Purana. Ada juga wujud Prawrti Marga dengan melakukan tirthayatra berdana punia, melayani sesama yang membutuhkan pelayanan seperti mereka yang miskin, bodoh, sakit, sedih dan dalam keadaan menderita lainnya. Sementara wujud pengamalan upacara yadnya untuk melakukan pendekatan spiritual dengan jalan Niwrti Marga dilaksanakan dengan melakukan kontemplasi diri dalam wujud penguasaan diri. Dalam Lontar Sundarigama, wujud pendekatan diri dengan Prawrti Marga dengan melakukan widhi widhana. Sedangkan dalam wujud Nrwrti Marga dinyatakan dalam Lontar Sundarigama : ...sang wruh ring Tattwa Janyana wenang mangadakaken tapa, brata, yoga, semadi. Artinya, mereka yang paham akan ajaran tatwam Hindu wajib melakukan tapa, brata, yoga dan semadi. Nampaknya saat ada upacara besar atau kecil sekalipun di Pura Besakih, dua jalan mengamalkan upacara yadnya ini diberikan tempatnya masing-masing. Umat yang sudah paham dan mendalam tentang tatta pustaka suci diberikan tempat melakukan tapa, brata, yoga dan samadhi di Pura Dukuh Sakti. Hal ini dapat kita lihat dari segi tempat Pura Dukuh Sakti di tengah-tengah hutan pinus yang lebat. Letaknya amat sepi tetapi indah, sejuk amat cocok untuk melakukan kontemplasi diri. Lingkungan alam di Pura Dukuh Sakti ini bebas dari berbagai polusi alam maupun polusi hiruk-pikuk sosial yang negatif. Dalam kondisi alam dan sosial budaya seperti itu akan
mempermudah mereka yang melakukan tapa brata, yoga, semadhi mencapai tujuan menyucikan diri. Dengan dua arah melakukan upacara yadnya itu t ermasuk di Pura Besakih sebagai pura yang terbesar tentunya amat dibutuhkan penyelenggaraannya dengan sistem manajemen yang selalu relevan dengan perkembangan zaman. Adanya Pura Catur Lawa yang menggambarkan adanya fungsi yang berbeda-beda dalam mencapai tujuan yang satu yaitu tercapainya tiga rasa dekat dengan pendekatan Asih, Punia dan Bhakti sebagai perwujudan yadnya dalam melangsungkan upacara agama di Pura Besakih. Empat Pura Catur Lawa ini sebagai nilai sakral yang dapat diimplementasikan ke dalam sistem manajemen modern agar tujuan berbagai kegiatan d i Pura Besakih itu terfasilitasi dengan koordinasi yang sebaik-baiknya. Tujuan membangun sistem manajemen yang relevan dengan perkembangan zaman dalam suatu penyelenggaraan upacara yadnya agar dapat semakin terjamin terselenggaranya upacara yang Satvika Yadnya sebagaimana diisyaratkan menurut Bhagawad Gita. Tentunya amat berbeda nuansa manajemen upacara yadnya untuk membangun nilai-nilai spiritual lewat media ritual sakral untuk menguatkan jati diri manusia, baik sebagai makhluk individual maupun sebagai makhluk sosial. Ciri suatu upacara yadnya berhasil kalau upacara itu dapat membangun kecintaan dan kepedulian umat pada pelestarian alam berdasarkan hukum Rta, membangun kepedulian umat pada nasib sesama atau sosial care sesuai dengan dharma. Semuanya itu muncul sebagai akibat umat melakukan bakti kepada Tuhan. Meskipun, kegiatan bakti kepada Tuhan demikian semaraknya kalau keadaan alam semakin rusak. Demikian dalam masyarakat keadaannya semakin senjang. Apa itu kesenjangan e konomi, hukum semakin tidak tegak, birokrasi semakin tidak melayani, politik semakin kehilangan prinsip untuk mengabdi pada mereka ya ng menderita. Pendidikan tidak mengembangkan karakter mulia. Pe ngembangan ilmu semakin meninggalkan nilai-nilai kemanusiaan. Hal itu menyebabkan kegiatan beragama kehilangan maknanya. Ini tentunya bukan berarti kesalahan agama sebagai sabda Tuhan. Umat penganutlah yang keliru memahami dan mengimplementasikan bentuk baktinya kepada Tuhan. Pura Besakih adalah pura yang terbesar di Bali bahkan mungkin di Indonesia. Karena itu amat memerlukan suatu sistem manajemen yang solid. Tentunya nuansa manajemen yang diterapkan manajemen pelayanan spiritual yang mampu mengetuk hati nurani setiap orang agar di Pura Besakih benar-benar dijadikan media untuk memotivasi umat dalam menguatkan aspek spiritualnya dalam memajukan daya nalar intelektualnya untuk menjadi landasan dalam membangun kepekaan emosionalnya yang halus. Kegiatan beragama di Pura Besakih tentunya b isa saja menjadi media untuk mendatangkan perputaran ekonomi, sepanjang dilakukan berdasarkan nilai-nilai suci agama Hindu itu sendiri. Seperti menjadi daya tarik wisata, menimbulkan l apangan kerja seperti adanya transaksi berbagai sarana keagamaan. Seperti adanya penjualan pakaian adat ke pura berbagai sarana upacara lainnya. Sepanjang hal itu dilakukan dengan tidak melanggar moral etika keagamaan tentunya bisa saja. Namun harus senantiasa diingat bahwa hal itu jangan sampai mengesampingkan Pura Besakih sebagai media sakral spiritual Hindu. * wiana
CUACA
ACARA TV & RADIO
Radio Global FM 99,15 (LIVE)
1
Banten menurut Lontar Yadnya Prakerti by Cu Deblag in Dharma Wacana Sahananing bebanten pinaka raganta tuwi, pinaka warna rupaning Ida Bhatara, pinaka andha buwana. Sekare pinaka kasucian katulusan kayunta mayadnya, Reringgitan tatuwasan pinaka kalanggengan kayunta mayadnya. Raka-raka pinaka widyadhara widyadhari. (Dipetik dari Lontar Yadnya Prakerti).
i.
Upacara Perkawinan. Upacara perkawinan merupakan suatu persaksian, baik kehadapan Hyang Widhi Wasa maupun kepada mayarakat luas, bahwa kedua mempelai mengikat dan mengikrarkan diri sebagai pasangan suami istri yang sah. Di samping itu, di tinju dari segi rohaniah, upacara perkawinan ini merupakan pembersihan diri terhadap kedua orang mempelai, terutama terhadap benih atau bibit baik laki maupun perempuan ( Sukla dan Swanita ), apabila bertemu agar bebas dari pengaruh-pengaruh buruk sehingga dapat di harapkan atman yang akan menjelma adalah atman yang dapat memberi sinar dan mempunyai kelahiran yang baik dan sempurna. Upacara perkawinan, pada umumnya dapat di bagi atas dua bagian, yaitu Upacara Makala-kalaan dan Natab. Upacara Makala-kalaan sebagai rangkaian dari upacara perkawinan merupakan kebahagiaan tersendiri, karena secara Samskara kedua mempelai ini di hadapkan kepada Hyang Widhi mohon pembersihan dan persaksian atas upacara yang di laksanakan. Sedangkan upacara Natab bertujuan untuk meningkatkan pembersihan, memberi bimbingan hidup dan menentukan status kedua mempelai.
Pasraman's Blog
Just another WordPress.com site • •
Beranda About
ACARA AGAMA III I II 13 September 2010 oleh pasraman ACARA AGAMA III BAB I PENDAHULUAN
1. A. Latar belakang Acara agama Hindu merupakan bentuk pelaksanaan ajaran agama yang tercermin dalam kegiatan praktis bagaimana menunjukkan rasa bhakti dan kasihnya kepada Hyang Widhi Wasa, Tuhan Yang Maha Esa, kepada leluhur/roh nenek moyang, kepada sesama manusia dan kepada orang-orang suci kepada alam semesta seisinya Bahwa pelaksanaan ajaran Agama Hindu Hindu mengacu mengacu pada tiga kerangka dasar yaitu tatwa (fisafat), susila (etika) dan upacara (ritual). Yang akan dibicarakan disini nanti adalah acara agama sebagai salah satu dari kerangka dasar Agama Hindu tersebut. Atharwa Weda XXI.1.1 menyebutkan :
Satyambrihadh rtam ugram diksa tapo Brahma yajna prithivim dharayanti Artinya
:
Kebenaran, hukum abadi yang agung dan penyucian diri pengendalian diri, doa dan ritus (Yajna) inilah yang menegakkan bumi 1. B. Tujuan Dalam masyarakat manusia, yang senantiasa mengalami perubahan dan perkembangan sesuai tempat waktu dan keadaan maka cara-cara yang ditempuh dalam menunjukkan rasa bhakti pada Hyang Widhi dansegala ciptaan-Nya makaperlu memahami acara Agama Hindu. Demikian juga untuk menjaga keharmonisan alam semesta inilah maka umat Hindu supaya betul-betul melaksanakan Tri hita karana sesuai dengan ajaran agama.
Manusia dianugerahi pemikiran, perasaan dan daya karsa dan usaha, usaha, oleh karena itu dalam rangka meningkatkan kualitasnya sebagai manusia perlu kiranya meningkatkan pengetahuan tentang sradha bakti dan karmanya untuk mewujudkan tujuan beragama Hindu yaitu Moksartham Jagadita ya ca iti Dharma. Dharma. C. Standar Kompetensi
Memahami pengertian, konsep, hakekat Acara Agama Hindu dan mampu menerapkannya dalam kehidupan sehari-hari, serta mampu menyampaikan ajaran tersebut kepada masyarakat D. Kompetensi Dasar
Untuk mewujudkan mewujudkan Standar kompeetensi ini perlu pelaksanaan proses proses pembelajaran agar memperoleh kemampuan (kompetensi dasar) yang yang diharapkan, maka pembahasan mencakup materi pembelajaran sebagai berikut : 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Acara Agama Pengertian, Pengertian, tujuan tujuan dan dan peranan peranan Yajna dalam Agama Agama JenisJenis-Jen Jenis is Yajna Yajna menuru menurutt Kitab Kitab Suci Suci Upak Upakar araa /sar /saran anaa upa upaca cara ra Panca Panca yajna yajna dan Panca Panca Maha Maha Yajna Yajna Tempat Su Suci Pand Pandita ita dan dan Pina Pinand ndita ita Sudi Sudi Wadani Wadani,, Penyum Penyumpah pahan an dan dan Cuntak Cuntakaa Hari Suci
BAB II A CA RA A GA MA A. Pengertian
1. 1. Acara • • • • • •
Perilaku yang baik, perilaku yang diatur oleh ajaran agama Adat istiadat, tradisi atau kebiasaan yang turun temurun Hukum adat, yang mempunyai nilai moral dan kepercayaan Dresta > kuna, purwa, loka, sastra Aturan yang diikuti dan dipatuhi oleh masyarakat Lembaga
1. 2. Upacara Upacara berasal dari kata upa upa dan cara. Upa artinya berhubungan dengan, cara artinya berserak kemudian mendapat akhiran a berarti gerakan. Selanjutnya arti upacara adalah : yajna.
gerakan (pelaksanaan) dari upakara-upakara pada pelaksanaan suatu
Serangkaian perilaku berupa cara cara melakukan hubungan antara Atman dengan Paramatman, antara manusia dengan Hyang Widhi beserta manifestasinya. 1. 3. Upakara Upakara berasal dari kata upa dan kara, Upa artinya berhubungan dengan, kara artinya perbuatan atau pekerjaan. Upakara adalah segala sesuatu yang berhubungan dengan pekerjaan (perbuatan). Kemudian yang dimaksud adalah sarana keagamaan yang berbentuk sesaji dan segala perlengkapan B. Peranan Acara
-
Tertib hokum dan moral
-
Jagadita – kesejahteraan manusia
1. Catur Purushartha : empat tujuan(jalan) utama umat Hindu untuk mencapai bahagia sejahtera a. Dharma = kebajikan, pengetahuan( pengetahuan( kebenaran &kejujuran) b. Artha = kekayaan, materi, jer basuki mawa bea c. Kama = keinginan, kesenangan
1. d. Moksa = kebahagiaan bebas dari ikatan duniawi. 2. Catur marga : a. Bakti marga
= hormat taat tekun,
b. Karma marga = kerja, aktif c. Adjnana marga = menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi d. Yoga Marga 3. Panca dresta
= samadi berserah diri, disiplin, tekun : lima adat kebiasaan
-
Sastra dresta = hokum tertulis
-
Desa dresta
-
Purwa atau atau kuna kuna dresta dresta = kebiasaan yang dianut sejak dahulu
-
Loka dresta = adat istiadat setempat
-
Kula dresta = adat kebiasaan keluarga atau masyarakat
= peraturan desa
B. Ruang Lingkup Acara 1. Kula acara : adat kebiasaan dalam suatu keluarga 2. Desa Acara : Adat daerah tertentu (dipengaruhi oleh geografis,
kondisi social ekonomi. 3. Dharma acara : kebiasaan berdasarkan hokum agama/dharma, 4. Jati acara
-
Kebiasaan dalam satu golongan, kelompok
-
Catur warna > pembagian berdasar profesi, pekerjaan, keahlian
Brahmana > kebijakan, pemikiran (pendeta, pendidik, guru, dokter) Ksatria
> ketangkasan fisik ( tentara, polisi, hansip, satpam)
Waisya
> keahlian bisnis ( pedagang, nelayan,petani)
Sudra
> mengandalkan fisik (buruh, pekerja)
5. Wyawahara Acara : hokum acara > hokum Negara 6. Sista Acara : Kebiasaan yang sudah tingkat sista= suci=
diksita(Mahareshi, pendeta) kebiasaan ini bukan untuk umum. C. Sumber Acara Sumber Acara
> sebagai sila
- Agama
= diambil dari kita
- Rta
= hokum alam
Sumber Acara
> sebagai dharma
1. 1. Kitab Weda Sruti = berdasar pendengaran Mahareshi - Mantra : catur Veda (Rg. Veda, Sama Veda, Yajur Veda dan Athrwa Veda) - Brahmana : Aitareya, Satapatha, Tandya, Gopatha > Aitareya Araniyaka, Satapatha A, Tandya Araniyaka, Gopatha Araniyaka.
- Upanisad : Ulasan Catur Veda > 92 bh, Upanisad Rg Veda 10 bh, - Upanisad Sama Veda 10 bh, Upanisad Yajur Veda 10 bh Sukla + 31 bh Krsna Yajur veda, Upanisad Atharwa Veda 31 bh. 2. Kitab Veda Smerti = berdasar ingatan Mahareshi
= Wedangga > enam buah (Sad Wedangga) * Siksa = cara pengucapan mantra yang benar * Wyakarana = tata bahasa > pemahaman terhadap Veda
lebih tepat
* Chanda = lagu, irama, tembang tentang isi veda. *
Jyotisa = astronomi > letak tata surya sangat berpengaruh thd manusia
* Kalpa = pedoman hidup sehari-hari berupa kelompok kitab seperti srauta sutra = upacara besar, Grhya Sutra = berumah tangga, Dharma Sutra = menjalankan pemerintahan, Sulwa Sutra = membuat bangunan, Silpasastra = asta bumi, kosala kosali.) - Upaveda : Itihasa, Purana, Artasastra, Ayurveda. 3. Acara (Sadacara) : Kebiasaan, tingkah laku ; peraturan tentang
baik buruk; Tidak bertentangan dengan harga diri. 4. Sila : - Tingkah laku yang baik dari orang suci; perbuatan yang
menyenangkan orang lain. 5. Atmanastuti = priyatmana : hati nurani ; kepuasan diri sendiri. 6. Nibanda : ditulis Mahareshi, Resi seperti Sarasamuscaya,
Purwamimamsa, Brahmasutra, Wedantasutra, Wahya Pengertian dharma : - Satya = kebenaran, kejujuran - Rta
= mengakui hokum alam
- Tapa = pengendalian diri - Diksa = penyucian - Brahman = Hyang Widhi
- Yajna = pengorbanan BAB III Y A J N A A. Pengertian
Secara etimologi kata yajna dari bahasa Sansekerta dari urat kata yaj yang berarti memuja, mempersembahkan atau melakukan pengorbanan Dari kata Yaj kemudian menjadi yajna atau yadnya dan timbul kata yajus dan yajamana : 1. Yajna artinya : Secara niskala yang tidak nampak:
- pengorbanan suci lahir batin, demi kebenaran (dharma) - sistem persembahyangan, kebaktian > upacara, upakara, pemujaan, persembahan atau korban suci - system penerapan dan mengamalkan ajaran agama Secara sekala /yang nampak
- pengorbanan suci > menegakkan dharma( menolong orang) - menyelaraskan dan mengharmoniskan hubungan antara bhuana agung dengan bhuana alit, jagat raya dengan umat manusia (contoh memelihara kelestarian lingkungan) - Hyang widhi menciptakan jagat melalui yajna 2. Yajus artinya aturan tentang yajna 3. Yajamana artinya orang yang melaksanakan yajna
Yajna/upacara bagian ketiga dari kerangka dasar ajaran agama Hindu. Ditinjau dari sudut filsafatnya yajna berarti cara melakukan hubungan antara Atman dengan Paramatman, antara manusia dengan Hyang Widhi Wasa serta semua Agama : Agama Saiwa, Waisnawa, Saktisme, manifestasinya. Beberapa pernyataan mengenai yajna dalam kitab suci sebagai berikut ; Saha yajnahprajah srstva purovacaprajapatih ‘anenaprasavisadhauam esa vo stu ista-kama dhuk
(Bhagawadgita III.10) Artinya: Sesungguhnya sejak dulu dikatakan, Tuhan setelah menciptakan manusia melalui yajna, berkata : dengan (cara) ini engkau akan berkembang, sebagaimana sapi perah yang memenuhi keinginanmu (sendiri). Satyam brhadrtamugram diksa, tapo brahma yadnya Prthiwimdharayanti (Atharwa Weda) Artinya : Sesungguhnya satya,rta, diksa, tapa, brahma dan yadnya yang menyangga dunia. Yajna ngaraning manghanaken homa (Wraspati Tattwa) Artinya : Yajna artinya mengadakan homa Yajna ngaranya “Agnihotradi” kapujan Sang Hyang Siwagni pinakadinya
(Agastya Parwa)
Artinya : Yajna artinya “Agnihotra” yang utama yaotu pemujaan atau persembahan kepada Sang Hyang Siwa Agni.
Yang dimaksud dengan homa dalam Wraspati tattwa mempunyai makna sama dengan “Agnihotra” dalam Agastya Parwa, yaitu pemujaan ayau persembahan kepada Agni antara lain berupa minyak dari biji-bijian (kranatila), madu kayu cendana (sri wrksa) mentega susu dan sebagainya seperti digambarkan dalam Kakawin Ramayana I.24-27. Jadi pada prinsipnya semula pengertian yajna adalah pemujaan pada Agni berupa minjak dan susu. Dengan yajna itu menimbulkan hujan, dari hujan timbul makanan, dari makanan lahir mahkluk hidup. Sedang yajna lahir dari karma (Bhagawadgita III.14), yajna termasuk karma kanda atau karma sanyasa atau prawrti yaitu jalan perbuatan. Pola pikir manusia semakin luas maka pengertian yajna kemudian tidak hanya pemujaan pada Agni tapi juga pada Aspek lain. Agni berkedudukan sebagai perantara manusia berhubungan dengan Tuhan dan dengan Dewa-Dewa. Jadi kemudian Yajna berarti segala bentuk pemujaan dan persembahan dan pengorbanan yang tulus ikhlas yang timbul dari hati yang suci demi maksud yang mulia dan luhur. Masyarakat umum sering mempunyai pengertian bahwa yajna hanya berkisar pada upacara atau ritual semata, walaupun itu tidak salah tapi sebetulnya upacara hanyalah salah satu bentuk yajna yang tampak dengan nyata.
Dari Bhagawadgita dapat disimpulkan bahwa ada beberapa unsure mutlak dalam yajna : • •
Karya (adanya perbuatan) Sreya (ketulus ihklasan) o Budhi (kesadaran) o Bhakti (persembahan)
Semua perbuatan yang berdasarkan dharma, dilakukan dengan tulus ihklas disebut yajna seperti “ 1. 2. 3. 4.
Belajar mengajar dengan ihklas untuk memuja Hyang Widhi Mengendalikan hawa nafsu Saling mengasihi pada sesamamahkluk hidup Menolong orang sakit, mengentaskan kemiskinan, menghibur orang susah dll.
Jadi upacara dan upakara merupakan bagian dari yajna. Bhagawadgita III.9 menyebutkan : Setiap melakukan pekerjaan hendaknya dilakukan sebagai yajna dan untuk yajna. Bhagawadgita III.12 menyebutkan
Para dewa akan memelihara manusia dengan memberikan kebahagiaan. Karena itu manusia yang mendapatkan kebahagiaan bila tidak membalas pemberian itu dengan yajna pada hakikatnya adalah pencuri. Kemudian seloka selanjutnya menyebutkan bahwa orang yang terlepas dari dosa adalah orang yang makan sisa persembahan atau yajna. Maka sebelum menikmati makanan, kita harus mempersembahkan makanan itu pada Tuhan. Kita makan prasadam (lungsuran=bahasa Bali) artinya makan anugrah Tuhan. Atharwa Weda XII.I menyebutkan : “Satyam behad rtam ugram, diksa tapa brahma yadnyah, prthiwim dharayanti, sa no bhutasya bhany asya patyanyurumlokam”
Artinya : Kebenaran (satya) hokum yang agung, yang kokoh dan suci (rta), tapa brata, doa dan yajna inilah yang menegakkan bumi, semoga bumi ini, ibu kami sepanjang masa memberikan tempat yang melegakan bagi kami. Jadi dari pernyataan dalam Atharwa Weda ini dapat kita tarik kesimpulan bahwa kita harus menjalani hidup dan kehidupan yang benar suci hati tulus ihklas dalam berbuat sesuatu. Dengan kemantapan srada, bhakti dan iman yajna dilaksanakan oleh umat beragama untuk mewujudkan kesejahteraan dan kebahagiaan seluruh mahkluk yang hidup dialam semesta ini. B. Tujuan Yajna
1. 1. Untuk mengamalkan ajaran Weda Disebutkan dalam kitab Rg Weda X.71.11 : “Ream tvah posagste pupusvam Goyatram tvo gayati savavarisu Brahmatvo vadati jatavidyam Yadnyasyamatram vi mimita u tvah Artinya
Seorang bertugas mengucapkan seloka-seloka Weda, seorang melakukan nyanyiannyanyian pujian dalam Sakwari, seorang lagi yang menguasai pengetahuan Weda, mengajarkan isi Weda, yang lain mengajarkan tata cara melaksanakan korban suci (Yajna). Demikianlah cara mengungkapkan ajaran Weda adalah dengan yajna. Pengungkapannya dalam bentuk symbol-simbol atau niyasa.Simbol-simbol ini untuk mempermudah menghayati ajaran Weda. Bhagawadgita VII.16 menyebutkan : “Chaturvidha bhayante mam Janah sukrtino ,rjuna Arto jijnasur artharthi Jnani ca bharatasabha” Artinya
Ada empat macam orang yang baik hati memuja padaku, wahai Bharatasabha, mereka yang sengsara, yang mengejar ilmu, yang mengejar artha dan yang berbudi Arjuna. Orang yang memuja Tuhan dikatakan baik hati, untuk memuja Tuhan dapat dilakukan dalam berbagai cara. 2. Untuk meningkatkan diri
Makhluk hidup didunia ini dikelompokkan tiga golongan yaitu - Tumbuh-tumbuhan yang memiliki bayu (eka pramana) - Binatang memiliki bayu dan sabda (dwi pramana) - Manusia memiliki bayu, sabda dan idep (tri pramana) Manusia diciptakan sebagai mahkluk yang paling sempurna, dengan memiliki idep atau disebut manu yaitu mental power, kemampuan berpikir. Kemampuan berpikir itulah dapat mengangkat harkat dan martabatnya sebagai manusia yang mulia, dapat membebaskan dirinya dalam berbagai beban hidup. Dalam kitab Sarasamucaya 81 disebutkan dalam terjemahannya sbb.:
Demikianlah hakikatnya pikiran tidak menentu jalannya, banyak yang dicita-citakan terkadang berkeinginan, terkadang penuh keragu-raguan, demikianlah kenyataanya, jika ada orang yang dapat mengendalikan pikiran pasti orang itu memperoleh kebahagiaan baik sekarang maupun didunia lain. Karena sifat pikiran demikian rumit maka manusia perlu beragama. Dalam agama ada ajaran pengendalian diri , manusia perlu mengendalikan pikirannya agar dapat mencapai apa yang dicita-citakan. Yajna sebagai salah satu ajaran agama yang bertujuan untuk mengurangi rasa egois menghilangkan rasa keakuan dan dorongan nafsu yang meledak-ledak untuk mencapai kebahagiaan yang lebih sempurna. 3.
Penyucian
Berbagai macam upacara atau yajna pada bagian-bagian tertentu dari pelaksanaannya mengandung tujuan dan makna pensucian. Pedudusan, caru, tawur, prayascita, pelukatan disamping sebagai persembahan juga bermakna sebagai pebersihan atau penyucian. Kitab Bhagawadgita XIV.16 menyebutkan : “Karmanah sukrtasyah ,huh Satvikam nirmalam phalam Rajasas tu phalam duhkham Ajnanam tamasah phalam” Artinya :
Hasil perbuatan satwika dikatakan kebajikan yang suci nirmala, sedangkan hasil rajasa adalah dukha dan hasil dari tamasa adalah ketidaktahuan. Ada tiga sifat manusia yang disebut Tri Guna, Sattwika, Rajasa dan Tamasa. Masingmasing unsure Tri Guna ini berpengaruh pada gerak pikirannya. Bila manusia ingin hidupbersih dan suci, hendaknya memposisikan Sattwika menguasai rajasa dan tamasa. Setiap saat bila akan melaksanakan upacara agama kecil maupun besar harus didahului dengan mensucikan diri maupun lingkungannya. Kitab Manawa Dharmasastra V . 109 menyebutkan “Adbhirgatrani suddhayanti manah satyena suddhayanti, Widyatapobhyam bhutatma buddhir jnanena suddhayanti” Artinya :
Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran disucikan dengan kebenaran , jiwa manusia dibersihkan dengan pelajaran suci dan tapa brata, kecerdasan dibersihkan dengan pengetahuan yang benar. Sastra agama selalu menjelaskan perlunya kesucian hati. Maka setiap upacara agama akan berarti bila pelaksanaannya didasar kesiapan dan kesucian rohani, jasmani suci, hati suci kehidupan suci sesuai ketentuan moral dan spiritual
4. Untuk sarana berhubungan dengan Tuhan.
Yajna, upacara dan upakara merupakan sarana untuk mengadakan hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa beserta manifestasi Nya. Melaksanakan Yajna berarti melaksanakan yoga. Yang melaksanakan yajna bukan hanya pendeta tetapi semua masyarakat umumnya. Dalam pelaksanaan Yajna ada tiga unsure yang disebut Tri Manggalaning Yajna yaitu : a. Sang Yajamana adalah orang yang mempunyai atau melaksanakan yajna b. Sang Widya/Pancagra adalah tukang banten c. Sang Sadhaka adalah orang yang muput upacara (sulinggih). Semua umat yang melaksanakan Yajna tanpa disadari adalah melaksanakan yoga yaitu pemusatan diri pada Tuhan Yang Masha Esa dan pengendalian diri secara utuh. Dari persiapan sampai puncak upacara dan akhirpelaksanaan yajna, pikiran terpusat pada Tuhan Yang Maha Esa. Sekarang ada pertanyaan apakah dengan demikian umat dapat berhubungan dengan Tuhan ? Kitab Rg Weda III .54.5 menyebutkan : “Ko addha Veda ka iha pravocad, Dewam accha pathyaaka sameti Dadrsra esamavamak sadamsi, paresu ya guhyesu wratesu “ Artinya :
Siapakah yang mengetahui dan yang akan mengatakan jalan mana yang sesungguhnya akan mengantar bersama menuju Tuhan ? Sesungguhnya yang tampak hanyalah bagian terbawah saja dari sthana Sang Hyang Widhi yang bersemayam ditempat yang maha tinggi, diwilayah rahasia Kitab Bhagawadgita VII.8 memberi petunjuk sbb. : “Raso ‘ham apsu kaunteya, prabha ‘smi sasisuryayoh, Pranavah sarvavedeshu, sabdah khe paurusham nrisu” Artinya :
Aku adalah rasa dalam air, Kunti putra, Aku adalah cahaya pada bulan dan matahari. Aku adalah huruf aum dalam kitab suci Weda, Aku adalah suara diether dan kemanusiaan pada manusia. Tuhan berada dimana-mana, pada seluruh ciptaannya. Beliau diair, di bulan di matahari, huruf dan manusia adalah ciptaan-Nya. Kekuatan-kekuatan yang ada pada ciptaan-Nya adalah pancaran-Nya. Manusia telah dapat menikmati rasanya air, cahaya
bulan dan matahari, huruf-huruf kitab suci, getaran suara dan kemanusiaan dalam hidup ini merekalah yang mampu berhubungan dengan Sang Pencipta. 5. Untuk mencetuskan rasa terima kasih
Berterima kasih pada Tuhan adalah kewajiban sebagai manusia. Utamalah yang dilahirkan sebagai manusia karena dengan diberinya pikiran manusia dapat menolong dirinya sendiri, dapat berterima kasih pada Tuhan. Tentang keutamaan lahir dan hidup manusia dijelaskan dalam kitab-kitab suci seperti :Kitab Sarasamucaya I. 4. menyebutkan “Iyam hi yonih prathma yonih prapya jagadipe Atmanam sakyate tratum karmabhih sublalaksanaih Apan ikang dadi wwang uttama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ya Tinulung awaknyasangkeng sangsara, makasadanang subhakarma Hinganina kotamamaningdadi wwang ika Artinya :
Sebab menjadi manusia sungguh utama juga, karena itu, ia dapat menolong dirinya dari keadaan sengsara dengan jalan karma yang baik, demikianlah keistimewaan menjadi manusia. Keberadaan manusia dialam semesta ini adalah saling ketergantungan. Ada tiga macam jenis ketergantungan yang menimbulkan akibat timbale balik dalam kehidupan manusia yaitu Tri Rna yang menimbulkan Panca Yajna yaitu : * Dewa Rna adalah hutang pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang telah mencitakan alam semesta dan memberikan pada manusia yang dibutuhkan untuk hidup. Hutang ini harus dibayar dengan melaksanakan Dewa Yajna dan Bhuta Yajna. * Rsi Rna adalah hutang jasa pada Rsi atau Maha Rsi yang telah memberikan pengetahuan suci untuk membebaskan manusia dari kebodohandan untuk mendapatkan kesejahteraan dunia akhirat. Hutang ini dibayar dengan melaksanakan Rsi Yajna. * Pitra Rna adalah hutang jasa pada para leluhur yang telah melahirkan, memelihara/mengasuh melindungi dan membesarkan diri kita. Hutang ini dibayar dengan melaksanakan Manusa Yajna dan Pitra Yajna.
Ungkapan terima kasih yang berujud yajna biasanya diiringi melantunkan lagu keagamaan atau dharma gita dalam bentuk kidung, pupuh, wirama, sloka, palawakya. Seni tabuh, seni tari dll ikut mendukungnya.
D. Dasar dan peranan Yajna
Konsepsi Yajna telah ada dalam kitab Rg Weda, Upanisad dan Bhagawadgita menjadi dasar dalam pelaksanaan yajna, dan dijelaskan pula peranan yajna dalam kehidupan manusia. Rg Weda X.10
: Alam ini ada adalah berdasarkan yajna-Nya.
Bhagawadgita III.11 : Dengan yajna itu para dewa akan memelihara manusia dan dengan yajna itu pula manusia memelihara para dewa. Jadi saling memelihara satu sama lain maka manuis akan mencapai kebahagiaan. Bhagawadgita III.12 : Ia yang hanya suka dipel;ihara tidak mau memelihara maka ia adalah pencuri. Manawa Dharmasatra, VI.35 : “Rinani trinyapakritya manomokse niwesayet, ana pakritya moksam tu sewama no wrajatyadhah”
Artinya : Kalau ia telah membayar tiga macam hutangnya (kepada Tuhan, kepada leluhur, dan kepada orang tua) hendaknya ia menunjukkan pikirannya untuk mencapai kebebasan terakhir, ia yang mengejar kebebasan terakhir ini tanpa menyelesaikan tiga macam hutangnya akan tenggelam kebawah (neraka). Dari seloka diatas disimpulkan bahwa manusia memiliki tiga hutang (Tri Rna) :
1. 1. Dewa Rna ialah hutang pada Ida Sang Hyang Widhi Wasa 2. 2. Rsi Rna ialah hutang kepada para Maha Rsi 3. 3. Pitri Rna ialah hutang kepada orang tua atau leluhur BAB
IV
JENIS A.
YAJNA
Jenis-jenis dan bentuk-bentuk yajna
Ada bermacam-macam bentuk yajna antara lain : 1. Persembahan menggunakan sarana upakara ( sajen /banten) 2. Persembahan dalam bentuk pengorbankan diri (pengendalian diri) 3. Persembahan dalam bentuk mengorbankan segala aktifitas 4. Persembahan dalam bentukharta benda (kekayaan). 5. Persembahan dalam bentuk ilmu pengetahuan. Sloka Bhagawadgita menjelaskan hal ini sbb.:
“ye yatha mam prapadyante, tams tathai ‘va bhayamy aham
Mam vartma .nuvartante, manushyah partha sarvasah” Artinya
Dengan jalam manapun (beryajna) ditempuh manusia kearah-Ku, semuanya Ku-terima dari mana-mana semua mereka menuju jalan-Ku oh Partha. Yajna dilihat dari waktu pelaksanaan dibedakan menjadi : 1. Nitya Yajna
Yajna yang dilaksanakan setiap hari 2. Naimitika Yajna • •
•
Tri Sandhya ialah sembahyang 3 kali sehari, pagi sing dan sore Yajna sesa atau ngejot ialah membersembahkan dulu apa yang kita masak pada Hyang Widhi beserta manifestasinya, sebelum kita makan masakan itu. Jnana Yajna adalah yajna dalam bentuk pengetahuan, pelaksanaannya adalah proses belajar mengajar. Proses pembelajaran hendaknya dilaksanakan setiap saat, setiap hari baik dalam bentuk pendidikan formal maupun non formal.
Yajna yang dilaksanakan pada waktu-waktu tertentu yang sudah terjadwal Dasar pelaksanaannya sbb.: a. Dasar perhitungan wara seperti ; - eka wara = Luang -
dwi wara = Menga, Pepet
-
tri wara = Pasah, Beteng, Kajeng
-
catur wara = Sri, Laba, Jaya, Menala
-
panca wara = Pahing, Pon. Wage, Kliwon. Legi,
-
sapta wara = Minggu, Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jumat, Sabtu,
Redite, Soma, Anggara, Buda, Wraspati, Sukra, Saniscara, Kemudian perpaduan Panca wara dengan Sapta wara seperti Selasa Kliwon (Anggara kasih) untuk di Jawa, untuk di Bali ditambah dengan wuku contoh Rabu Kliwon Dungulan hari Galungan . 1. Perhitungan berdasarkan wuku yaitu : Sinta, landep, Ukir, Kulantir, Tolu, Gumbreg, Wariga, Warigadian, Julungwangi, Sungsang, Galungan, Kuningan, Langkir, Medangsia, Pujut, Pahang, Krulut, Merakih, Tambir, Medangkungan,
Matal, Uye, Menail, Perangbakat, Bala, Ugu, Wayang, Kulawu, Dukut, Watugunung. 1. Perhitungan sasih : Purnama, Tilem, Siwaratri, Nyepi, Equinok(matahari diatas katulistiwa), Solstis (matahari diatas belahan bumi paling utara dan paling sekatan). 3. Insidental adalah yajna yang dilaksanakan atas dasar kejadian-kejadian tertentu yang tidak terjadwal, dan dipandang perlu untuk melaksanakan yajna. Sebagai contoh upacara melaspas, ngulapin orang jatuh, Sudi wadani dll. B. Landasan pelaksanaan yajna
Prinsip moral berdasar keyakinan (Panca Srada), ketulusan, kesucian hati. Pelaksanaan upacara dan upakara sesuai dengan desa (tempat), kala ( waktu), dan patra (keadaan), hendaknya untuk menjamin kelancaran, keseimbangan dan keharmonisan perlu menyesuaikan kemampuan umatnya. Berdasar kuantitas yajna maka dapat dibedakan : -
Nista artinya yajna tingkatan kecil
-
Madya artinya yajna tingkatan sedang
-
Utama artinya yajna tingkatan besar.
Berdasar kualitas yajna (Bhagawadgita XVII 12 ) maka dapat dibedakan : - Tamasika yajna adlah yajna yang dilaksanakan tanpa mengindahkan sastra, mantra, kidung suci daksina dan srada - Rajasika yajna adalah yajna yang dilaksanakan dengan penuh harapan akan hasilnya dan pamer kemewahan. - Satwika yajna adalah yajna yang dilaksanakan berdasar sradha, lascarya, sastra agama, daksina, mantra, gita annasewa dan nasmi Supaya yajna berkualitas Satwika maka syarat yang wajib adalah : 1. 2. 3. 4. 5.
Sradha artinya yajna dilakukan penuh keyakinan (ingat Panca Sradha). Daksina artinya pelaksanaannya perlu sarana upacara (benda dan uang) Mantra dan Gita artinya pelaksanaan dengan melantunkan lagu-lagu suci. Annasewa : yajna dilaksanakan persembahan jamuan makan para tamu. Nasmita artinya yajna yang dilaksanakn bukan untuk memamerkan kemewahan dan kekayaan.
Panca yajna adalah lima macam korban suci yang dipersembahkan umat Hindu kepadapan Sang Hyang Widhi Wasa dan segala manifestasinya. Panca Yajna dilaksanakan sebagai perwujudan manusia membayar hutang-hutangnya (Tri Rna), dalam hidup ini.
Penjelasan tentang Panca Yajna dari kitab Suci sbb : 1. Kitab Satapatha Brahmana
1. Bhuta Yajna adalah yajna yang dipersembahkan pada para bhuta. 2. Manusa Yajna adalah yajna yang dipersembahkan berupa makanan yang ditujukan kepada orang lain atau sesame manusia 3. Pitra Yajna adalah yajna yang ditujukan kepada para leluhur yang disebut swadha 4. Brahma Yajna adalah persembahan yang dilaksanakan dengan mempelajari pengucapan ayat-ayat suci Weda. 2. Kitab Bhagawadgita IV.28 sbb.: “Dravya-Yajnas tapa-yajna, yoga-yajnas tathapare, Svadhyaya, jnana yajnas ca yatayah samstia vratah Artinya : Ada yang mempersembahkan harta, ada tapa, ada yoga, dan yang lain pula pikirkan yang terpusat dan sumpah berat, mempersembahkan ilmu dan pendidikan budi. Dalam sloka in Panca Yajna dijelaskan sbb .:
1. Drvya Yajna yaitu persembahan dilakukan dengan berdana punia harta benda 2. Tapa yajna yaitu persembahan berupa pantangan untuk mengendalikan indria 3. Yoga yajna yaitu persembahan dengan melakukan astangga yoga untuk mencapai hubungan dengan Tuhan Yang Maha Esa 4. Swadhyaya yajna yaitu persembahan brupa pengendalian diri dengan belajar langsung kehadapan Tuhan Yang Maha Esa 5. Jnana yajna : persembahan berupa ilmu pengetahuan dan pendidikan budi 3. Kitab Manawa Dharmasastra ada 3 seloka : * Manawa Dharmasastra III.70 “Adhyapanam brahma yadnyah pitr yadnyastu tarpanam homodaiwa balbhaurto nryajno’tithi pujanam” Artinya :
Mengajar dan belajar adalah yajna bagi brahmana, menghaturkan tarpana dan air adalah korban untuk para leluhur, persembahan dengan minyak dan susu adalah korban untuk para Dewa, persembahan dengan bali adlah korban untuk para bhuta dan penerimaan tamu dengan ramah adalah korban untuk manusia. Penjelasan sloka tersebut diatas ialah sbb.:
1. Brahma Yajna adalah persembahan yang dilaksanakan dengan belajar dan mengajar secara penuh keikhlasan. 2. Pitra Yajna adalah persembahan dengan menghaturkan terpana dan air kepada para leluhur 3. Dewa Yajna adalah persembahan yang dilaksanakan dengan menghaturkan minyak dan susu kehadapan para Dewa. 4. Bhuta Yajna adalah persembahan yang dilaksanakan dengan upacara bali kepada para bhuta 5. Nara Yajna adalah yajna yang berupa penerimaan tamu dengan ramah tamah * Manawa Dharmasastra I.74 “Japa ‘huto huto homah prahuto bhautiko balih Brahmayam hutam dwijagryarcaprasitam pitr tarpanam Artinya :
Ahuta adalah pengucapan dari doa Weda, huta persembahyangan homa, prahuta adalah upacara bali yang dihaturkan diatas tanah kepada para bhuta, Brahmahuta, yaitu menerimatetap Brahmana secara hormat seolah-olah menghaturkan kepada api yang ada dalam tubuh Brahmana dan prasita adalah persembahan terpana kepada para pitara. Panca Yadnya yang berdasarkan seloka tersebut dilaksanakan sbb.: Ahuta yaitu persembahanan mengucapkan doa-doa suci Weda 1. 2. 3. 4.
Huta adalah persembahan dengan api homa Prahuta adalah persembahan berupa upacara bali kehadapan para bhuta Brahmahuta adalah yajna dengan menghormati Brahmana Prasita adalah yajna dengan mempersembahkan tarpana kepada para pitara.
* Manawa Dharmasastra III.81 “Swadhyayanarcayetsamsimnhomair dewanyathawidhi. Pitrrn Sraddhaisca nrrnam nairbhutani balikarmana” Artinya
Hendaknya ia sembahyang menurut peraturan kepada Rsi dengan mengucap Weda, kepada Dewa dengan persembahan yang dibakar, kepada leluhur dengan sradha, kepada manusia dengan pemberian makanan dan kepada para bhuta dengan upacara korban. Panca Yajna berdasar seloka diatas maka dapat dilaksanakan dengan:
•
•
• • •
Swadhyaya Yajna adalah persembahan berupa pengabdian kepada guru suci,sembahyang kepada Rsi dengan mengucapkan Weda Dewa Yajna adalah persembahan dengan menghaturkan buah-buahan yang telah masak kehadapan para Dewa. Pitra Yajna adalah menghaturkan persembahan upacara srada kepada leluhur Nara Yajna adalah memberikan makanan kepada masyarakat Bhuta yajna adalah menghaturkan upacara bali karma kepada para bhuta.
4. Kitab Gautama Dharmasastra
Dalam kitab Gautama Dharmasastra ini dijelaskan ada 3 macam yajna: • •
•
Dewa Yajna adalah persembahan kepada Hyang Agni dan Dewa Amodaya Bhuta Yajna adalah persembahan kehadapan Lokapala (Dewa Pelindung) dan para dewa penjaga pintu pekarangan, pintu rumah serta pintu tengah rumah. Brahma Yajna adalah persembahan dengan pembacaan ayat-ayat suci Weda.
5. Lontar Korawa Srama Panca Yajna sbb.: •
•
• • •
Dewa yajna adalah persembahan dengan sesajen, mengucapkan Sruti dan Stawa pada waktu bulan purnama Rsi Yajna adalah persembahan punia, buah-buahan, makanan dan barang barang yang tidak rusak kepada para Maha Rsi. Manusa Yajna adalah memberikan makanan kepada masyarakat Pitra yajna adalah mempersembahkan puja dan bali/banten kepada leluhur Bhuta Yajna adalah mempersembahkan puja dan caru kepada para bhuta.
6. Lontar Singhalanghyala
Dalam lontar ini dijelaskan mengenai Panca Yajna sbb.: • • • • •
Bojana Patra Yajna adalah persembahan dengan menghidangkan makanan Kanaka Ratna Yajna adalah persembahan berupa mas dan permata Kanya Yajna adalah persembahan berupa gadis suci Brata Tapa Samadhi Yajna : persembahan dengan brata, tapa dan Samadhi. Samya Jnana Yajna adalah persembahan dengan keseimbangan dan keserasian
7. Lontar Agastya Parwa
Dari lontar Agastya Parwa ini yang paling sesuai penerapannya di Indonesia, mengenai Panca Yajna dijelaskan sbb.: •
• • •
•
Dewa Yajna yaitu persembahan minyak dan biji-bijian kehadapan Dewa Siwa dan Dewa Agni ditempat pemujaan Dewa. Rsi Yajna : persembahan dengan menghormati pendeta & membaca kitab suci Pitra Yajna : upacara kematian agar roh yang meninggal mencapai alam Siwa Bhuta Yajna yaitu persembahan dengan mensejahterakan tumbuh-tumbuhan dan menyelenggarakan upacara tawur serta upacara panca wali karma. Manusa Yajna yaitu persembahan dengan memberi makanan kepada masyarakat.
BAB V UPAKARA
1. A. Pengertian Upakara berasal dari kata ”upa” yang artinya perantara (jalaran) dan ”kara” artinya sembah. Jadi upakara adalah sarana perantara dari sembah bhakti umat Hindu kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Untuk di Bali ucapan upakara yang lebih mentradisi dengan sebutan ”banten ” Banten berasal dari kata ”Bang ” yang diartikan Brahma dan ” enten” yang artinya ingat atau dibuat sadar. Di Jawa upakara bisa disebut sesaji yang artinya sesuatu yang disajikan atau dihidangkan kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Kemampuan umat Hindu bermacam-macam ada yang hanya hanya mampu melakukan pekerjaan mama akan mengambil jalan Karma Yoga, ada yang mampu dengan melaksanakan persembahyangan, ada yang memiliki kekuatan jnana yoga yang tinggi, juga ada yang lebih dari itu mampu menjalani margasampai tingkat Raja Yoga. Dari uraian singkat diatas menunjukkan bahwa sebetulnya dengan adanya upakara sebagai perantara atau sesuatu yang disajikan kepada Hyang Widhi akan mendidik umat agar selalu ingat kepada-Nya. Dalam lontar ”Tutur Tapeni” disebutkan bahwa upakara itu merupakan simbolsimbol yang mengandung nilai-nilai magis dan memiliki bagian-bagian seperti dalam Tri angga antara lain : •
•
•
Semua bentuk daksina merupakan simbol kepala (hulu sebagai sumber kekuatan atau sumber pengatur Seemua bentuk ayaban seperti pengambeyan, dapetan adalah simbol badan dan jerimpen simbol tangan semua bentuk tebasan dansesayut adalah perut. Semua bentuk lealaban seperti caru, segehan adalah simbol pantat.
Petikan Tutur Tapeni :
Hana pewarah mami ri para areringgit ikang yadnya weruha rumuhun peluta muang akutu kang yadnya apan ikang yadnya pinaka widhi, arupa gama anuntun kang manusa anyembah Widhi meraga Widhi widana apan upa ngaran jalaran, kara ngaran sembah, upakara ngaran bhakti ring Widhi, nimitaning samangkana pagehakna ikang yadnya, apan eidhine araga ika sami apan pelutan ikang reringgitan ra ngaran raditya, ringgit ngara, patemon, patemon Sang Hyang Raditya lawan manusa, ngaran pesaksi, sahananing dasa guna parekrama ring manusa
Apan Widhi widana juga ngaran banten, kang ngaran Sang hyang Prajapati (Widhi), anten ngaran inget, ngaran eling, ling ngaran tunggal, ngaran kimanusa anunggal lawan Widhi. Iki paribasa Aidhining yadnya, luiripun, yadnya adruwe prabu (hulu), tangan dafda muah suku manut manista, madya, motama. Daksina pinaka huluia, jerimpen karo pinaka asta karo sehananing banten ring areping widhine pinaka angga, sahananing palelabanan pinaka suku. Dalam beryajna ada gerak kendali yang memiliki dua kecernderungan : 1. Daiwi Sampad
Adalah suatu kecenderungan buddhi yang memiliki mutu kedewataan serta mutu ini tercermin kedalam persembahan sebagai simbol 2. Asuri Sampad
Adalah suatu kecenderungan buddhi yang memiliki mutu keraksasaan serta mutu ini akan tercermin kedalam persembahan sebagai simbol. B. Makna simbol dalam Upakara 1. Banten Canang a. Pengertian
Kata ”Canang” berasal dari bahasa Jawa kuno yang mulanya berarti sirih yang dihidangkan kepada para tamu yang sangat dihormati. Kebiasaan makan sirih jaman dulu merupakan tradisi yang sangat terhormat Kekawin Nitisastra menjelaskan :
” Masepi tikang waktra tan amucang wang ” Artinya
” Sepi rasanya bila mulut kita tidak makan sirih” Jadi Siri merupakan sarana yang benar-benar memiliki nilai tinggi, apalagi dengan banyak penelitian mengenai manfaat daun sirih bagi pengobatan dan pemeliharaan kesehatan. Kebiasaan makan sirih kiranya sudah membudaya diseluruh Nusantara, terbukti bila ada upacara adat pasti ada suguhan makan sirih (kinang untuk bahasa Jawa). Dalam persembahyangan untuk di Jawa ada sesaji yang bernama Gedang Ayu Suruh Ayu Kembang wangi ( Bahasa Jawa, artinya Pisang yang cantih, sirih yang cantih dan bunga harum). Setelah Agama Hindu berkembang di Bali, daun sirih menjadi unsur penting dalam setiap sesajian, yang menjadi unsur pokok dalam apa yang disebut banten canang. Rangkaian sirih itu kemudian disebut porosan.
b. Bahan Banten Canang * Porosan
Porosan dibuat dari daun sirih, kapur dan buah pinang (jambe dalam Bahasa Jawa) dijepit atau dibungkus dengan potongan janur dibentuk lancip Porosan dimaknai pemujaan kepada Ida Sang Hyang Widhi dalam manifestasi Tri Murti (buah pinang sebagai lambang Brahma, sirih sebagai lambang Wisnu, dan kapur sebagai lambang Siwa. * Plawa
Plawa adalam daun dari tumbuh-tumbuhan. Berdasar lontar Yajna Prakerti bahwa plawa melambangkan tumbuhnya pikiran yang hening dan suci, maksudnya dalam memuja Hyang Wdhi hendaknya berusaha dengan pikiran hening dan suci. * Bunga
Bunga dalam canang melambangkan keihklasan. Memuja Tuhan Yang Maha Esa berlandaskan keihklasan Dalam Bhagawadgita, VII.1 disebutkan
Sribhagavan uvacha : mayy asaktamanah partha, yogam yunjan madarasyah, asamsayam samagram mam, yatha jnasyasi tach chhrinu Artinya
Dengarkan kini oh Partha, melaksanakan yoga, Dengan pikiranmu terpaku kepadaku, Dengan aku sebagai pelindungmu, Tanpa ragu kau akan mengenal Aku sepenuhnya. Manusia yang tidak mengihklaskan hidupnya akan selalu mengalami keresahan dalam hidupnya. Seseorang yang resah tidak pernah memiliki perasaan tenang apalagi hening dan suci. * Tetuesaan, Reringgitan dan jejahitan
Tetuesan, reringgitan dan jejahitan melambangkan keteguhan hati untuk menuju kebaikan dan kebenaran * Urassari
Urassari dibuat darijejahitan, tetuesan dan reringgitan pertama dibuat garis silang menyerupai tapak dara yaitu bentuk sederhana dari Swastika. Kemudian disusun sedemikian rupa menjadi bentuk lingkaran yang menyerupai Padma Astadala, lambang stana Hyang Widhi dengan delapan penjuru mata anginnya Berdasarkan ajaran Agama Hindu penciptaan alam semesta ini oleh Hyang Widhi melalui tiga proses
- Srasti adalah proses penciptaan alam semesta beserta isinya melalui evolusi dua unsur purusa dan perdana - Swastika adalah proses ketika alam semesta seisinya mencapai puncak keseombangan yang bersifat dinamis, kondisi ini dilambangkan dengan jejahitan dengan bentuk tapak dara dan kemudian menjadi Padma Astadala Padma Astadala adalah lambang perputaran alam yang dinamis dan seimbang sebagai sumber kebahagiaan. -. Pralaya adalah proses alam semesta lebur keeembali keasalnya yaitu Tuhan Yang Maha Esa. Kitab Bhagawadgita III.24 menyebutkan
Utsideyur ime loka na kuryam karma ched aham samkarasya cha karta syamupahanyam imah praja h Artinya
Jika Aku berhenti bekerja, dunia akan hancur lebur dan Aku jadi pencipta keruntuhan memusnahkan manusia ini semu 1. a. Makna Canang -
Lambang perjuangan hidup manusia dengan memohon perlindungannya
-
Lambang menumbuhkan keteguhan, kelanggengan dan kesucian pikiran
-
manusia berlandaskan yajna kehadapan Hyang Widhi
Sebagai lambang suatu usaha umat manusia untuk mevisualisasikan ajaran Agama -
Hindu dalam bentuk banten memberi keterangan dan arti dan makna hidup ini
2. Kewangen a.
Pengertian
Bentuk persembahan yang dipakai untuk menyembah Ista Dewata yaitu aspek Tuhan yang dimohon hadir dalam persembahyangan tersebut untuk menerima persembahan atau bbbhati para pemujanya. b. Cara memakainya
Karena Kewangen simbol Tuhan maka memakainya hendaknya sedemikian rupa sehingga muka kewangen berhadapan muka dengan pemakainya atau penyembahnya.
Yang merupakan muka adalah uang kepeng, bila tidak ada uang kepeng dapat diganti dengan uang logam. c. Bahan
Kewangen dibuat, tempatnya dari daun pisang atau janur yang dibentuk kojong. Isi kewangen, daun-daunan (plawa), bunga, uang kepeng dan porosan silih asih. Adapun yang disebut porosan silih asih adalah dua helei daun sirih yang diisi kapur, gambir dan buah pinang, diatur sehingga bila digulung kelihatan bolak-balik baik bagian perut maupun punggungnya. 3. Daksina a. Pengertian
Kata Daksina menngandung arti Brahma dan Brahma menjadi Brahman yaitu Sang Hyang Widhi. Daksina dibuat sebagai simbol manifestasi dari Brahman sendiri atau Hyang Widhi. b. Bahan-bahan, isi dan makna simbol dalam Daksina :
Kalau melihat banyaknya isi dari daksina dan makna yang terkandung dalam tersebut, sebetulnya merupakan permohonan pada Ida Sang Hyang Widhi. Me ngenai telor kenapa harus telor itik, karena itik siwatnya baik, dapat membedakan yang kotor dan yang bersih, tidak mau bertengkar. Jadi kalau memakai telor itik seolah-olah persembahan itu permohonan agar kita dianugerahi kebijaksanaan oleh Hyang Widhi. 4. Segehan a. Pengertian
Upacara mesegeh adalah upacara Dewa Yajna yang dilaksanakan pada - Kajeng kliwon : Sang Kala Bucari = halaman rumah Sang Bhuta Bucari = halaman merajan Sang Dewi Durga = dipintu luar b. Bahan segehan
-
Nasi (sega) ditaruh dalam tangkih (alas dari janur berbentuk segitiga)
-
untuk dihalaman rumah 4 warna (putih, merah, kuning dan hitam)
-
masing-masing dalam tangkih ditaruh di 4 arah mata angin
-
untuk di merajan/sanggah : 5 warna masing-masing ditaruh ditangkih
-
(putih, merah, kuning, hitam dan ditengah pancawarna/brumbun)
-
- untuk didepan pintu keluar halaman pekarangan 1 warna putih
-
dalam 9 tangkih (8 mata angin 1 ditengah)
-
beras, uang kepeng (2bh) base (sirih), benang putih dalam 1 tangkih
-
bawang (merah), jahe (putih) dan garam areng (hitam) dalam 1 tangkih
-
canang yasa atau plaus sampian tangas dan bunga.
-
api takep atau dupa
-
air (tirtha) dan bunga dalam batil (tiap tampat disediakan 1 batil tirtha.
Bahan ini semua ditaruh dalam tamas, sehingga perlu 3 buah tamas banten segehan, juga api takep/dupa dan tirtha masing-masing harus ada. c. Etika Religius masegeh • •
Waktu : kajeng kliwon (seminggu sebelum Purnama/dan tilem) Tempat/menaruh dengfan urutan: o
dihalaman rumah, dihalaman pemerajan, didepan pintu pekarangan
* Tata cara menghaturkan segehan •
• • • • • •
• • • •
Tamas berisi segehan, api dan tirta dibawa dengan tangan setinggi bahuditaruh ditempat seperti diatas, letak segehan sesuai dengan warnanya, putih timur, merah selatan, kuning barat dan hitam utara begitu pula yang lain. Api takep diletakkan disebelah kanan tamas, batil sebelah kiri. Upacara mesegeh dimulai dari halaman rumah, merajan terakir diluar. Segehan dipersiki tirtha pelukatan tiga kali Berdoa sesuai dengan bahasa sehari-hari, pemujaan atau mantra. Memercikkan tirtha pengayaban 3 kali Ayaban tangan 4 kali dihalaman rumah, 5 kali untuk dimerajan, 9 kali untuk didepan pintu prkarangan Berdoa atau memantra Memercikkan tirtha (pamuput) 3 kali Matabuh dengan air (tirtha) dituang mengelilingi tamas dari kiri kanan 3 kali. Bila ini upacara besar dapat diiringi gamelan, kidung tarian atau wayang
5. Prayascita a.Pengertian :
Prayascita adalah banten yang termasuk kelompok yang berfungsi pembersihan (penyucian) yang merupakan simbol yang mengandung nilai religius sebagai kekuatan Siwa Guru. b. Bahan Prayascita • • •
•
• •
• • •
•
•
•
•
Tamas Gede sebagai simbol Windhu dan memiliki makna sebagai kekuatan pawitra (penyucian) 5 buah tulung sebagai simbol panca indria memiliki makna sebagai permohonan kehadapan Hyang Widhi agar panca indria dapat disucikan untuk menjadi Panca Dewata. 5 buah tipat burung kukur sebagai simbol angin memiliki makna kekuatan penyucian seperti sebutir debu ditiup angin sehingga betul betul suci. 5 buah tumpeng simbol manca giri dan bermakna kekuatan Panca Dewata. Nasi Soda simbolpredana tattwa berarti Sang Hyang Ayu bermakna memohon kerahayuan kehadapan Hyang Siwa. Sampian nagasari bermakna memohon sarining mertha Lis dari kata”les’ artinya inti permohonan kesucian 5 buah kewangen simbol Ongkara waliang bermakna kekuatan Sang Hyang Siwa Guru. Dua tanda usehan satu sebagai simbol ubun-ubun (kekuatan Hyang Suniatma) dan satu lagi simbol pabahan ( Sang Siwatma) Ceper berisi tepung tawar, pengresikan dan pengelelenga sebagai simbol tri pramana bermakna sabda (tepung tawar), bayu (pengresikan), dan idep (pengelelenga). Pengresikan terbuat dari arang jajan yang ditumbuk halus, pengelelenga terbuat dari minyak wangi. Bungkak kelapa gading sebagai simbol toya (air) sukla bermakna kekuatan tirtha maha mertha (siwa tirtha) Jajan pisang tebu dan porosan kacang saur dan sambal serta garam mengandung makna permohonan
1. 6. Yajna Sesa a. Pengertian
Yajna Sesa adalah yajna atau korban suci yang dipersembahkan kehadapan Hyang Widhi beserta manifestasiNya sesudah masak atau sebelum menikmati makanan, (prasadham istilah India) Dasar Bhagawad Gita III.13 menyebutkan : Yajna sishtasinah santo, mucyante sarva kilbisaih, bhunyate te tv agham papa, ye pacaanty atma karamat” Artinya
Yang baik makan setelah bhakti, akan terlepas dari segala dosa, Tetapi menyediakan makanan lezat hanya bagi dirinya sendiri
mereka ini sesungguhnya makan dosa. Jadi intinya orang yang baik akan makan setelah melakukan persembahyangan, menghaturkan terima kasih terlebih dahulu pada Tuhan, akan memperoleh kebahagiaan. 1.Tujuan
Tujuan Yajna Sesa adalah menyampaikan rasa sukur atau terima kasih kehadapan Sang hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasi Nya atas anugrah yang dilimpahkan kepada kita. 2.Pelaksanaan
Di India biasanya mempersembahkan makanan tersaji dalam bokor dan dipersembahkan di altar pemujaan, baru kemudian menikmati hidangan. Di Bali Yajna Sesa selain berupa “jotan” (sajen sederhana) juga menghaturkan punjung kehadapan leluhur. Di Jawa terdapat budaya memberikan sajen untuk yang dibawah dan “pancen” untuk leluhur. Yajna Sesa yang berupa “Jotan” dilaksanakan sesudah masak mula-mula disiapkan daun-daun sebagai alas sejumlah yang akan diberi sesaji. Sesaji yang dihaturkan dalam Yajna Sesa sangat sederhana, yaitu nasi sedikit ditaruh diatas daun dengan diberi lauk atau garam saja, ini dihaturkan setiap pagi sesudah masak, ditujukan kepada Tuhan lewat Sarwa Prani.Tempat Yajna sesa : * Diatas atap rumah atau diatas tempat tidur (pelangkiran) dipersembahkan untuk menifestasi Tuhan dalam prabawanya sebagai Akasa dan Ether * Ditungku dipersembahkan untuk Dewa Brahma atau Dewa Agni * Ditempat air dipersembahkan untuk Dewa Wisnu sumber air rumah dipersembahkan untuk Dewi Pertiwi
* Dihalaman
* Ada juga yang member ditempat beras, dipintu pekarangan, ditempat menumbuk padi dll 3. Makna
Yajna Sesa memiliki makna : * Mengucapkan terima kasih pada Tuhan lewat ciptaanNya. * Belajar dan berlatih mengendalikan diri * Melatih kepekaan perasaan peduli terhadap lingkungan
Yajna Sesa ini merupakan latihan spiritual tahap pertama dan perwujudan sadhana atau bhakti kepada Tuhan. Yajna ini sangat erat hubungannya dengan latihan kepekaan perasaan. Orang melaksanakan yajna dengan tulus ikhlas akan menimbulkan perasaan bahagia. Kasih sayang terhadap semua mahkluk ciptaan-Nya yang dalam istilah Hindu ‘Sarwa prani hitangkarah’ sudah dilaksanakan berabad abad lamanya oleh umat Hindu, sehingga dengan demikian tercipta keseimbangan dunia materiil antara Pencipta dan ciptaan-Nya (Kawula-Gusti) BAB VI PANCA YAJNA DAN MAHA YAJNA A. Pengertian
Dalam pelaksanaan Panca Yajna hendaknya dilandasi dengan jnana, karma dan bhakti dan pelaksanaannya dijabarkan dalam upacara-upacara keagamaan yang dipimpin oleh pendeta atau pinandita. Sampai saat ini pelaksanaan agama masih berkisar pada pelaksanaan Panca Yajna yang dapat membangkitkan rasa keagamaan (Brahman Rasa), sesungguhmya harus ditingkatkan pada Brahman Hredaya.Dharma sedana merupakan suatu upaya umat Hindu untuk mewujudkan kesucian Ida Sang Hyang Widhi Wasa berada dalam diri sendiri. Brahman Hredaya perlu diwujudkan melalui Brahman Rasa. Pelaksanaan Yajna harus disesuaikan dengan kemampuan sehingga setiap umat bias melakukan yajna. Pelaksanaan Yajna ini mengandung nilai yang bias membentuk kepribadian umat dalam kehidupan sehari-hari. Dalam pelaksanaan Yajna terkandung nilai etika dan moral yang tinggi yang pada hakikatnya akan mengantarkan kita kepada tujuan yang kita cita-citakan yaitu Moksartham jagadhita ya ca iti dharma. Telah kita ketahui Panca Yajna karena manusia merasa memiliki hutang-hutang yang disebut dengan Tri Rna. B. PANCA YAJNA Dewa yajna 1. Pengertian
Dewa Yajna ialah korban suci dan tulus ikhlas kehadapan Hyang Widhi beserta manifestasinya dengan jalan sujud bakti memuja mengikuti segala ajaran-ajaran sucinya serta melakukan Tirtha Yatra (kunjungan ke tempat suci) Wujud : Niskala > upacara, upakara untuk Hyang Widhi dan Dewa-Dewa, Batara Sekala > melaksanakan ajaran agama didunia (Tri kaya Parisudha) 2. Tujuan Dewa Yajna
a. Mengamalkan ajaran- ajaran Weda
b. Meningkatkan kualitas diri c. Untuk mensucikan diri d. Sarana berhubungan dengan Tuhan e. Untuk mencetuskan rasa terima kasih 3. Jenis pelaksanaan Dewa Yajna a. Dengan memhaturkan sajen (banten) dan melakukan persembahyangan
Perlu diperhatikan, yang penting dalam membuat sajen dan harus ada dalam yajna : - Simbol Brahma : Agni (dupa, kemenyan, ratus, lilin) sebagai saksi dan pengantar persembahyangan - Simbol Siwa : bunga segar dan harum sebagai sarinya bumi untuk mengucapkan terima kasih pada Hyang Widhi - Simbol Wisnu : tirtha sebagai alat pembersihan dan penyucian jiwa. Bhagawadgita IX.26 menyebutkan : “Patram, puspham, phalam toyam, yo me bhaktya praya chchati,
Tad aham bhaktyu pahritam,
Asnami
prayatatmanah”
Artinya : Siapa yang sujud kepada Ku dengan mempersembahkan Setangkai daun, sekuntum bunga, sebiji buah-buahan atau seteguk air, aku terima sebagai bakti persembahan dari orang yang berhati suci.
Setangkai daun, sekuntum bunga sebiji buah-buahan atau seteguk air bersifat simbolik. Yang utama adalah hati suci, pikiran terpusatkan jiwa dalam keseimbangan tertuju kepada Nya. Membuat banten sesuai dengan kemampuan, tidak usah bermewah-mewah, jangan sampai menghaturkan banten hatinya susah, marah, iri dengki dll. b. Memelihara bangunan suci tempat kita melakukan yajna
Tempat untuk sembahyang harus dipelihara kebersihan, kenyamanan agar dalam proses pelaksanaan persembahyangan berjalan lancar. Disamping itu perlu penanaman bunga, serta daun-daun yang diperlukan untuk upacara dan menambah keindahan, sehingga umat akan kerasan berada di pura atau tempat suci itu. c. Mempelajari dan mengamalkan ajaran-ajaran suci Nya serta malakukan pensucian diri lahir batin (Sauca dan Tira yatra).
Di pura perlu ada perpustakaan untuk meningkatkan pemahaman tentang ajaran agama, disamping itu juga perlu ada tempat untuk latihan pembuatan banten, latihan tari, mekidung (nyekar dalam bhs. Jawa). Juga untuk latihan meditasi (raja yoga). 4. Tata cara pelaksanaan Dewa Yajna Tempat : di Pura, atau dirumah (kamar suci/ altar, di luar rumah (pekarangan yang dibuat tempat suci untuk sembahyang) atau suatu tempat yang bersih yang dianggap pantas untuk melaksanakan Trisandya. Sarana
:
1. Ada Sanggar Surya bila tidak ada Padmasana tempat stana Hyang Widhi 2. Ada sesaji ( banten) terutama api/dupa, air, bunga bila ada buahbuahan, 3. c. Ada tempat untuk menghaturkan sesaji (banten) yang dihias indah sesuai budaya setempat untuk menimbulkan kesucian. Pelaksanaan :
1. Banten telah disiapkan dan ditempatkan pada tempatnya masing-masing. 2. Sulinggih/pendeta,pinandita/ pemangku siap untuk memuja bhakti ditempat yang sudah disediakan dibantu oleh pamangku yang lain yang tidak bertugas untuk muput. 3. Pelinggih (padmasana/sanggar Surya/ Patung) diberi upacara penyucian d. Sulinggih/pendeta/pinandita/pemangku muput/melaksanakan upacara
-
Pemuput upacara duduk, asuci laksana, ngastawa genta, mohon pengaksama.
-
Nglinggihang/ngantep banten taksu
-
Memohon tirtha untuk diri sendiri dilanjutkan tirtha pelukatan pebersihan
-
Nganteb banten Byakala, Durmenggala dan Prayascita untuk banten
-
Ngastawa banten dilanjutkan Surya Stawa dan Pertiwi Stawa
Memohon Hyang Widhi beserta manifestasiNya turun berstana di pelinggih memakai puja “Utpatti”, puja “Sthiti”/Apadeku. -
Menghaturkan banten, ngantep segehan dan pengaksama jagatnata
Menghaturkan puja wali sesuai dengan tingkat atau macam upacara sebagai simbul sujud pada Hyang Widhi. -
Selama pemuput upacara memuja bhakti, umat menghaturkan kidung-kidung
-
Umat melaksanakan persembahyangan diantar oleh pemangku yang bertugas.
-
Umat nunas tirtha dilayani oleh pemangku-pemangku yang bertugas.
-
Ngantukan Betara, Prelina Genta kemudian penutup.
5. Upacara yang termasuk Dewa Yajna :
1. a. Hari Purnama dan Tilem 2. b. Hari berdasar pawukon (contoh Budha Kliwon Sinta = Hari Pagerwesi) 3. c. Hari berdasarkan Pancawara : Kajeng Kliwon : Sang Kala Bucari(natar rumah), Sang Bhuta Bucari (natar merajan) dan Sang Dewi Durga pintu keluar. Anggara Kasih > Dewa Rudra menghilangkan kekotoran jagat Buda Cemeng > Betari Manik Galih turunnya Sang Hyang Ongkara Merta/kehidupan 1. d. Hari-hari tertentu : Gerhana Matahari (Hyang Surya), Gerhana Bulan Hyang Candra), panen (Dewi Sri), mendirikan bangunan suci, piodalan pura/merajan, kahyangan dll. PITRA YAJNA 1. Pengertian
Pitra (Pitara) artinya orang tua atau roh leluhur yang sudah meninggal dunia. Pitra Yajna berarti upacara pemujaandengan hati yang tulus ikhlas dan suci yang ditujukan pada pitara untuk menghormati roh-roh leluhur yang sudah meninggal. Ptra Yajna juga berarti penghormatan dan pemeliharaan atau pemberian suatu yang baik dan layak kepada orang tua (ayah, ibu) serta memperlakukan dengan baik. Wujud Niskala : Upacara, upakara untuk para pitara, orang yang sudah meninggal Sekala : menghormati, tidak membuat susah orang tua yang masih hidup dan sesudah meninggal 2. Dasar
Pelaksanaan Pitra Yajna adalah merupakan tanda penghormatan dan kelanjutan rasa bhakti seorang putra yang baik kepada orang tua dan leluhurnya. Dasar-dasar pokok pelaksanaan Pitra Yajna
Kesadaran seorang anak manusia merasa mempunyai hutang pada orang tua (ayah, ibu) yang memelihara dari kecil sampai dewasa, mulaimemberi makan, kesehatan, pendidikan sampai kesejahteraan lahir dan batin (Pitra Rnam) 3. Tujuan
Bila orang tua masih hidup untuk menyenangkan hati supaya orang tuan menjalani masa tuanya dengan baik dalam rangka mencari bekal dalam menghadap Ida Sang Hyang Widhi (pada waktu meninggal). Bila orang tua sudah meninggal Pitra Yajna dilaksanakan untuk mensucikan roh-roh leluhur dengan memberi punia-punia dan sedekah-sedekah. 4. Tata cara pelaksanaan Pitra yajna
Untuk orang tua yang masih hidup, titik beratnya pada susila, berbuat sesuatu yang selalu membuat orang tua bahagia, ini sebetulnya kelihatan dalam cetusan baktinya anak pada orang tua. Tentang materi yang dihaturkan sebatas kemampuan, orang tua yang baik tidak banyak menuntut pada anak. Anak yang hendaknya tanggap akan keperluan orang tuan agar menjadi suputra. Untuk orang tua yang sudah meninggal Pitra yajna ini kebanyakan berupa simbolis yang hakekatnya harapan agar jenasah kembali ke Panca Maha Bhuta dan jiwatman kembali ke paramatman (Hyang Widhi). Tingkatan Pitra Yajna sbb.:
Sawa Preteka ialah : usaha menyelenggarakan agar sawa (jenasah) kembali kepada “Panca Maha Bhuta” dengan jalan dikubur atau dibakar/digeseng. Sawa Wedana adalah pembakaran jenasah yang dapat diketemukan Asti Wedana adalah upacara setelah pembakaran jenasah , abu tulang-tulangnya dihanyutkan kelaut atau sungai yang bermuara kelaut. Swasta adalah pembakaran jenasah yang tidak diketemukan hanya dibuatkan symbol saja. Atma Wedana ialah upacara pengembalian atma dari alam pitara kealam Hyang Widhi. Pelaksanaan Pitra Yajna Sawa Preteka : Jenasah dimandikan dengan air bersih kemudia air kungkuman bunga wangi. Sesudah itu semua lubang tubuh ditutup dengan kapas, dibungkus kain putih dan dinakar atau dikub ur. Sawa Wedana : membakar jenasah di kuburan atau di tempat pembakaran jenasah (modern), dengan kayu api yang dianggap suci cendana atau maje gau sekedar syarat supaya wangi. Abunya ditaruh di buah kelapa kemudian dihanyutkan kelaut atau sungai. Upacara selalu memakai sesaji terutama api (dupa), bunga tirtha. Diantar sembah oleh sanak keluarga terakhir sujud pada pitara.
Atma Wedana : Tempatnya dirumah, disanggah atau tempat lain yang ditentukan. Dibuat simbur atme dari bunga (puspa sarira) yaitu bunga disusun seperti badan manusia. Toyam Sarira dibuat dari air suci ditambah bunga-bungadiwujudkan dengan puja Atma Tatwa. Banten-banten juga disiapkan untuk itu. Kemudian diantar puja praline Puspam Sarira dibakar dan selanjutnya dihanyutkan kelaut Hembusan nafas terakhir
Bila menunggui orang tua yang sakit hendaknya pada waktu akan menghembuskan nafas terakhir hendaknya dibisikkan Puja Pralina : Om
a ta sa ba I
wasi mana ya mang ang ong
atau
Murcahntu, swargantu, moksantu, angksama sampurna ya
namah swaha
RESI YAJNA 1. Pengertian
Rsi yajna adalah korban suci yang tulus ikhlas dipersembahkan pada Maharsi, para Rsi atau orang yang berjiwa suci dan berjasa dalam pengajaran agama Hindu. Wujud Niskala : Upacara, upakara kependetaan Sekala : menghormati Sulinggih, Orang suci, belajar agama 2. Tujuan
Untuk mewujudkan kesejahteraan bagi para Rsi, Sulinggih, Pedanda, Pendeta, Sri Empu, Pinandita, Wasi, Pemangku dll. 3. Cara melaksanakan Rsi Yajna
Melaksanan upacara mewinten ( mensucikan calon pinandita, wasi, atau pemangku). Menobatkan calon Sulinggih (mediksa/medwijati) menjadi orang suci (Sulinggih). Membangunkan tempat pemujaan bagi para sulinggih Menghaturkan punia, Rsi Bojana (santapan) kepada para Sulinggih Mengadakan pendidikan bagi calon Sulinggih Membantu tugas para Sulinggih Mentaati dan mengamalkan ajaran dari para Sulinggih Diksa artinya disucikan, sedang dwijati adalah lahir yang kedua kali. Syarat Calon Sulinggih
-
Laki-laki yang sudah kawin dan yang nyukla brahmacari
-
Wanita yang sudah kawin dan yang tidak kawin (kanya)
-
Pasangan suami istri
-
Umur minimal 40 Tahun
Paham bahasa kawi, Sanskerta, dan bahasa Indonesia, memiliki pengetahuan umum, mendalami intisari ajaran agama Hindu Sehat lahir batin dan berbudi luhur sesuai sesana, berkelakuan baik dan tidak pernah tersangkut perkara pidana -
Mendapat tanda kesediaan dari pendeta calon nabenya yang mensucikan
Tidak terikat pekerjaan sebagai pegawai negeri maupun swasta kecuali bertugas keagamaan. Syarat-Syarat Nabe
1. 2. 3. 4. 5. 6.
a. Seorang yang selalu dalam bersih, sehat lahir batin b. Mampu melepaskan diri dari keduniawian c. Tenang dan bijaksana d. Paham dan mengerti Catur Weda, dan selalu berpedoman Kitab suci Weda e. Mampu membaca Sruti dan Smerti f. Teguh melaksanakan sadhana (sering berbuat amal, jasa dan kebajikan).
Langkah pelaksanaan upacara Diksa
1. a. Upacara awal • • •
Mejauman > berkunjung kegria nabe + upakaranya Sembah pamitan kepada keluarga mohon doa restu Mapinton = asucilaksana > disegara, gunung dan merajan nabe
1. b. Upacara Puncak. •
•
Amati raga = penyekepan, melakukan yoga (monabrata dan upawasa) sehari penuh sebelum mediksa. Calon diksita dimandikan oleh guru saksi & sanak keluarga kemudian menuju ke pemerajan untuk didiksa.
1. c. Upacara pokok • •
•
Pedanda nabe memuja atau ngarga Calon diksita melakukan upacara mebyakaon, muspa dan luhur apari sudana (ganti nama) Calon diksita menghadap guru nabe metepung tawar.
•
•
•
Calon diksita membersihkan kaki kanan guru nabe, digosok minyak kayu putih, diasapi 3 kali, digosok minyak dan ditaruh diubun-ubun Guru nabe memberikan kekuatan gaib kepada sisya dengan anilat empuning pada tengen Anuwun pada ( Guru nabe napak calon diksita dan seterusnya
MANUSA YAJNA 1. Pengertian
Manusa Yajna adalah korban suci tulus ikhlas untuk keselamatan keturunanserta kesejahteraan manusia lainnya. Wujud : Niskala > upacara & upakara kemanusiaan Sekala > monolong & berkorban untuk kemansiaa 2. Tujuan
Untuk memelihara hidup dan membersihkan lahir dan batin manusia dari terwujudnya jasmani dalam kandungan sampai akhir hidup manusia. Untuk meningkatan kesempurnaan hidup manusia, manusia dapat hidup selamat, sejahtera, rukun, aman, damai di bumi ini dan yajna bagi sesame manusia. Bagi mereka yang sudah tinggi kekuatan batinnya sudah tentu pembersihan itu dapat dilakukan sendiri tanpa alat atau bantuan orang lain yaitu dengan melakukan yoga samadi secara tekun dan disiplin. Intinya unsure pembersihan dalam manusa yajna perlu adanya “Tirtha pelukat/pebersihan” yang dipujai (dibuat melalui puja, mantra Weda) oleh pendeta atau pimpinan upacara. Pada umumnya orang yang jujur, berilmu dan bijaksana adalah orang yang dianggap sesana beliau. Buku Tilakrama (hlm 90) menyebutkan : Ad bhir gatrani cudhayanti, manah satyena sudhayanti, widhyatapo bhyam bhrtatma buddhir jnanena cudhayanti. Artinya: Tubuh dibersihkan dengan air, pikiran dibersihkan dengan kejujuran, roh dibersihkan dengan ilmu dan tapa. Akal dibersihkan dengan kebijahsanaan. 3. Tata cara pelaksanaan upacara manusa Yajna a. Upacara mabyakala (mabyakaon)
Upacara ini berupa pemberian korban, suguhan kepada “Bhuta kala” dengan maksud agar setelah disuguhi tidak mengganggu keselamatan dan ketentraman seseorang dan
meninggalkan tempat tersebut, dan malah merestui. Upakaranya disebut banten byakala atau byakaon. Tempat upacara dihalaman menghadap kepintu rumah, waktu natap banten diarahkan kearah belakang dan samping. Sebetulnya upacara ini tidak hanya untuk manusa Yajna juga Panca Yajna. b. Upacara melukat/mejaya-jaya
Upacara ini ada 3 tingkatan yaitu : Eteh-eteh pengelukat (Kecil), eteh eteh padudusan alit (lebih besar), eteh-eteh padudusan agung (paling besar). Tirtha pengelukatan dibuat melalui puja-puja dan mantra oleh pimpinan upacara, dilaksanakan disalah satu tempat dipemerajan atau bagian dari rumah orang tersebut. Tujuan upacara untuk membersihkan diri manusia itu lahir dan batin. c. Upacara Natab (ngayab)
Upakaranya disebut banten tataban (ayaban). Banten-banten dipersembahkan kepada Dewa-Dewa agar berkenan menempati banten dan member restu. Kemudian banten diayab agar Dewa-Dewa tersebut menempati jasmani orang yang diupacarai. Lontar Anggas Tyaprana menyebutkan bahwa jasmani manusia ditempati kekuatankekuatan dari dewa-dewa tertentu seperti: * Hati ditempati oleh Dewa Brahma * Jantung ditempati oleh Dewa Iswara * Empedu ditempati oleh Dewa Wisnu, * Usus ditempati oleh Dewa Rudra dll. Maka waktu ngayab telapak tangan dihadapkan kedada. d. Upacara muspa (bersembahyang)
Upacara ini dapat dilakukan dua macam : - Setelah mebyakala untuk memohon waranugraha ditujukan kepada Hyang Surya Raditya dan Hyang Guru - Setelah natab tujuannya untuk menghubungkan diri/dan memohon restu pada Hyang Widhi kemudian dilanjutkan nunas tirtha. 4, Jenis-jenis manusa Yajna a. Mengadakan upacara selamatan pada waktu :
- Bayi dalam kandungan (3 , 4 , 5 , 7bulan, procotan)
- Bayi baru lahir (nyambutin) - Bayi puput puser (kepus pungset) - Upacara ngelepas aon (12 hari) - Bayi berumur 42 hari (tutug kambuhan) - Bayi berumur 3 bulan Bali (3 lapan = 3 x 35 hari) - Bayi berumur 6 bulan Bali (6 lapan)= wetonan) - Tumbuh gigi, kemudian meketus. - Anak meningkat dewasa (raja Sewala) - Upacara potong gigi (mesangih/mepandes) - Upacara perkawinan (pawiwahan). b. Peningkatan kualitas kemanusiaan : pendidikan , seni
budaya, kesehatan, moral/ budi pekerti dll. c. Peningkatan jiwa sosial/ kemasyarakatan : Menghormati dan menolong sesama manusia, seperti ramah tamah pada orang. BHUTA YAJNA
1. 1. Pengertian Bhuta yajna adalah korban suci tulus ikhlas yang ditujukan kepada Panca Maha Bhuta atau semua makhluk dibawah manusia baik yang kelihatan maupun yang tidak kelihatan. Atau penyucian alam semesta beserta isinya Upacaranya disebut mecaru, bantennya banten caru. Caru artinya mengharmoniskan. Wujud : niskala > melaksanakan upacara & upakara mecaru ( Panca Maha Bhuta)\\\ Sekala > melestarikan, mengharmoniskan jagat/alam seisinya 1. 2. Tujuan Bhuta yajna dilaksanakan dengannya menjaga keseimbangan, keselarasan, keharmanonisan alam semesta seisinya, kesejahteraan semua makhluk. a. dengan cara : •
Nitya Karma (setiap saat/setiap hari) seperti saiban atau banten jotan setiap habis masak ditungku, di sumber air dll (Yajna sesa.
•
Naimiyika karma (waktu tertentu missal : Panca sata, Panca Kelut, Rsi Gana, Balik Sumpah, Tabuh Getuh, Tawur Agung, Panca Wali Krama (10 Th. Sekali), Eka Dasa Rudra ( 100 Th. Sekali)
1. Dengan menjaga dan menyelenggarakan kehidupan mahkluk hidup bawahan antara lain binatang peliharaan serta tumbuh-tumbuhan sebaik-baiknya. Di Bali untuk binatang ada tumpek kandang, dan untuk tumbuh-tumbuhan tumpek pengatak. Inilah sebetulnya sebagai realisasi dari “Tat Twam Asi” manusia merasa bersatu dengan alam, mencintai alam, tidak hanya meminta dari alam tapi juga dengan pikirannya dia harus memberi dengan kasih saying 1. C. PANCA MAHA YAJNA Korban suci yang lebih besar dari Panca Yajna : “Panca Maha Yajna” yaitu : 1. 1. Drewiya Yajna ialah korban suci yang dilakukan melalui banten, sajen, harta benda, dn material lainnya milik orang yang menyelenggarakan yajn, ini menjadi Panca Yajna. 2. 2. Tapa Yajna ialah korban suci dengan jalan tapa yaitu dengan jalan tahan menderita,meneguhkan iman, menghadapi segala godaan dengan menguatkan jiwa menghadapi perjuangan hidup.( mengendalikan indria.) 3. Swadhyaya Yajna ialah korban suci yang berupa kebajikan yang diamalkan dengan mempergunakan diri pribadi sebagai alat atau dana pengorbannanya. Kalau Panca Yajna (Drewiya Yajna) mengorbankan materi, Swadhyaya Yajna mengerbankan diri pribadi (contoh mempelajari kitab suci dengan penuh tanggung jawab) 4. Yoga Yajna ialah korban suci melalui pemujaan kepada Hyang Widhi dengan jalan Yoga yaitu menyatukan pikiran guna dapat menunggalkan Atman dengan Paramatman (Hyang Widhi) sehingga mencapai kebebasan dan kebahagiaan abadi atau kealam nirwana (mukti). 5. Jenyana Yajna ialah korban suci dengan mengamalkan pengetahuan kepada sesame mahkluk untuk kesempurnaan mahkluk hidup tersebut. Bhagawad Gita VI. 33 menyebutkan :
“ Jelasnya seorang pelaksana Jenyana Yajna berpikir, berkata dan berbuat demi untuk kesejahteraan dan kesentausaan alam dunia, segala hidupnya diabadikan serta sendiri yang sangat cinta kepada perdamaian”.lain, menjamu tamu menghormati hak orang lain (bersikap toleran), menjamu tamu, memberi sedekah dengan tulus ihklas.dicurahkan untuk kepentingan kehidupan bersama; kehidupan yang serba damai. PANCA YAJNA BUDAYA JAWA A.
Pengertian
Agama Hindu mengajarkan empat jalan untuk mendekatkan diri pada Tuhan yaitu Karma Marga (jalan perbuatan), Bhakti Marga (jalan kebaktian), Jnana Marga (jalan pengetahuan ) dan Yoga Marga (jalan yoga/menghubungkan diri kepada Tuhan). Upacara persembahyangan, berdoa, memantra termasuk Bhakti Marga, jalan ini yang sering dilaksanakan karena jalan ini mudah dan sederhana.
Yajna (Upacara persembayangan/ritual) yang diambil sebagai contoh adalah Dewa Yajna dan Bhuta Yajna dilaksanakan di Pura Sahasra Adhi Pura, Piodalan pura lain di Jawa, Mahisa Lawung di Alas Krenda Wahono, Upacara di Candi Menggung. Manusa Yajna, Pitri Yajna dilaksanakan ditempat keluarga yang melaksanakan Yajna, sedang Rsi Yajna pernah juga dilaksanakan di Pura dekat Gunung Bromo. Adapun Yajna tersebut antara lain : 1. Dewa yajna : Upacara Agni Hotra, Upacara Malem Rabu Pon, Malem Jum’at Legi, Upacara Tawur Kesanga, Piodalan Pura Sahasra Adhi Pura, upacara Mahisa Lawung dll. 2. Manusa yajna : upacara bayi dalam kandungan, bayi lahir, wetonan naik dewasa, perkawinan. 3. Pitri Yajna : Geblak (hari meninggalnya), peringatan kematian 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, pendak pisan, Pendak pindo,dan Nyewu (100 hari). (dilaksanakan dirumah duka umat) 4. Bhuta Yajnya : Tawur Kesanga, odalan pura dan setiap ada yajna Upacara Rsi Yadnya belum pernah dilaksanakan di Pura Sahasra Adhi Pura. Semua upacara pada umumnya berdasar apa yang ditetapkan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia hanya pelaksanaannya menggunakan desa kala patra. Baik sajen, karawitan serta pakaian umat memakai adat Jawa, tapi tidak tertutup bagi yang menggunakan adat lain. B.
Dewa Yajna
1. Upacara Agni Hotra
Ritual Agni Hotra ini termasuk Dewa Yajna seperti diungkap dalam Kitab Mahabharata yang menyatakan : Seperti raja diantara umat manusia, seperti Gayatri dalam semua mantra, Demikianlah sangat utamanya Agni Hotra diantara semua upacara Yajna dalam Kitab Suci Weda “
Agni Hotra diungkap dalam Kitab Suci Manawa Dharmasastra (Buku III.75,76) yang diterjemahkan oleh G. Pudja MA dan Tjokorde Rai Sudharta MA dinyatakan : Hendaknya setiap orang yang menjadi kepala rumah tangga setiap harinya menghaturkan mantra suci Weda dan juga melakuk upacara pada para Dewa karena ia yang rajin dalam melakukan korban pada hakekatnya membantu kehidupan ciptaan Tuhan yang bergerak maupun yang tidak bergerak Persembahan yang dijatuhkan kedalam api akan mencapai
matahari, dari matahari turunlah hujan, dari hujan timbulah makanan dari mana mahkluk hidup mendapatkan hidupnya.
Upacara Agni Hotra dalam perkembangannya muncullah pemujaan kepada para dewata dengan menggunakan sarana Arca ( Titib 2003: 297). Upacara Agni Hotra dilaksanakan didepan Arca Ganeshya. Ganeshya (Ganapati dikenal juga dengan nama Vinayaka) adalah Dewa yang paling populer secara universal dipuja dimana saja, karena lambang pengetahuan duniawi, spiritual dan sains sekaligus menggambarkan manusia dengan segala perikemanusiaan, peri kebinatangan peri kedewataan secara utuh. Berbagai mantram-mantram yang menyiratkan Ganeshya pada awalnya telah hadir di Rig-Weda (2.23.1 dan 10.112.9). \Konsep paling dini kemudian berkembang menjadi Ganeshya masa kini, ganapati-Brahmanaspati (Rig-Weda) lambat laun mengalami evolusi spiritual dan menjadigajavadana-Ganeshya- Veghneswara. Di RigWeda beliau juga disebut Brhaspati & Vasaspati (wujud Cahaya). Tidak ada suatu upacara apapun juga dalam Agama Hindu yang dapat dimulai tanpa memuja Dewa Ganeshya lebih dulu, karena oleh Tuhan Yang Maha Esa mewakilkan Ganeshya menjaga kelestarian jagat raya ini. Beliau juga adalaaaah Vighneswara (penetralisir) dan Vighnaharja (pengusir bala dan bencana). Ganeshya adalah simbol vidya dan avidya (gading sempurna dan tak sempurna/patah),tiada pengetahuan didunia ini yang sempurna. Dari istri-istrinya sebagai simbol dharma dan adharma, ilmu hitam dan ilmu putih tapi lebih dikenal dharmanya. Beliau adalah tuntunan ke Kesadaran yang Tertinggi dan berupa simbol buana alit (Sukmananda) dan buana agung (brahmananda). Kepala beliau lambang Makro kosmos, badan melambangkan mikro kosmos. Ganeshya menyiratkan inti sari Tat Twam Asi begitu kata Resi Upanishad (Mohan, 2003 : 9). Waktu pelaksanakan : tiap hari Senin dan Kamis sore dimulai jam 16.00 Pengikut Ritual : Kelompok Meditasi yang ada di Pura Sahasra Adhi Pura Pelaksanaan : api di dibuat tempat Agni Hotra (didepan) Ganeshya, pengikut upacara mengucapkan Puja Bhakti Mantra “Om Sri Ganesha ya namah, ridhi, sidhi, budhi “ sebanyak 108 kali.
Salah satu pengikut membawa genitri untuk menghitung mantra itu sampai selesai (108 butir). Pada waktu mengucapkan mantra sampai kata namah, sambil menaburkan bunga kedalam api, biji-bijan. Setelah Puja Mantra selesai dilanjutkan meditasi selama 45 menit 2. Upacara Persembahyangan Malem Rabu Pon Maksud dan tujuan Ritual
Rabu Pon adalah hari kelahiran Dewa Wisnu, maka termasuk Dewa Yajna Waktu pelaksanaan :
Selasa Paing jam 19.00 (jam tujuh malam
Pengikut Upacara : Umat Hindu dari sekitar pura atau lain daerah.
Pakaian : Pengikut upacara biasanya berpakaian adat Jawa, baik laki-laki maupun perempuan bawah batik dengan baju hitam, menurut tradisi Jawa sejak dulu umumnya menganut Waisnawa (pemuja Wisnu = warna hitam) Upakara atau sesaji untuk Malem Rabu Pon.
1. Sesaji
: 13 ekor ayam jago dimasak ingkung/utuh (jantan, lancur) , bulu
dan cakar ditanam ditanah, selesai upacara ayam dapat dimakan. Dihaturkan : Sang Hyang Dharma-Djaka (Sanatkumara, Sanadana,Sanaka, Sanaatana = Sang Hyang Langgeng). Bunga 2. Sesaji
: Teratai (merah 9 biji) dan (putih 9 biji) : Tumpeng Buddha Mitra (Tumpeng 9 warna ditata melingkar
putih (timur), dadu Tenggara), merah (Selatan), jingga (barat daya), kuning (barat), hijau (timur laut), hitam (utara), Biru (timur laut), berbagai macam warna (tengah). Dihaturkan : semua dewa 3. Sesaji
: Tumpeng katul (kulit ari beras) 21 biji selesai upacara dibuang
Dihaturkan : Bandung (Jaka Pengalasan) 4. Sesaji pucuknya
Bunga
: Mawar Putih.
: Tumpaeng bangun tapa 1 biji, wujudnya tumpeng putih warna biru ditancapi cabe merah 1 biji dasarnya
telur dadar (telur jantan). Sesudah upacara dimakan. Dihaturkan : Ki Lurah Semar Bunga
: 7 warna, mawar, mlati, kantil, kenanga, gambir, cempaka,
dewandaru. 5. Sesaji
: Tumpeng Sabdopalon 1 biji wujudnya tumpeng hitam mulus
(luar dalam) dan 12 nasi golong putih serta daging mentah (selain sapi). Dihaturkan : Sang Hyang Sabdopalon sekeluarga (Pamong Tanah Jawa).
Bunga
: 9 macam selesai upacara ditaruh diperempatan.
6. Sesaji
: Ayam jago putih mulus dipanggang dan nasi liwet tanpa
Garam dan 1 takir kecambah sesudah upacara dimakan. Dihaturkan : Sang Hyang Dharma Bunga 7. Sesaji
: Mawar putih
: 10 butir nasi golong putih dan 1 ingkung ayam bulunya walik
dimasak tanpa garam. Dihaturkan : Ki Lurah Badranaya (Klampisireng) Bunga
: Sekar Boreh komplit
8. Sesaji
: Tumpeng Rajapati : 4 tumpeng pucuknya merah bawah putih
Dihaturkan : Jenggespati Bunga
: 4 mawar mwrah sesudah upacara dibuang ke perempatan.
9. Sesaji
: Nasi diliwet dikendil sesudah masak ditancapi lidi satu
Dihaturkan :
Dewi Sri (Rara Jonggrang)
Bunga
Campur, sesudah upacara nasi dimakan.
10. Sesaji
:
:
Es batu pecahan (2 piring)
Dihaturkan : Ratu Kutub Utara & Kutub Selatan Bunga : Dewandaru/Teratai 11. Sesaji
:
Bunga mawar merah jambu Dihaturkan : Dewi Ismayawati.
(Brosur DPP Sadharmapan tanpa tanggal ). Biasanya selain upakara/ sajen tersebut diatas ditambah dengan : Daksina, Pisang Ayu Suruh Ayu, Jajan Pasar, Nasi liwet beserta lauknya. * Pelaksanaan Upacara
Setelah Upakara/sesaji diletakkan dan diatur dialtar pemujaan, dinyalakan lilin 18 batang melingkari sesaji dan membakar kemenyan kemudian dimulailah upacara. Acara upacara itu berturut-turut yaitu : Dharma Wacana, Mantram Budha Pengayoman Pemujaan oleh Pinandita, yang memuja dan menghaturkan semua sesajian, yang diiringi dengan kidung Jawa oleh umat beserta alunan gamelan Jawa lengkap. Bila ada umat Hindu dari Bali ingin menghaturkan kidung dapat dilaksanakan setelah selesai kidungan Jawa tadi. Persembahyangan Gayatri Tri Sandya dilanjutkan Panca Sembah kemudian meditasi. Metirtha yang dilayani oleh pinandita-pinandita yang ada didalam persembahyangan itu, dengan diringi kidung
turun tirtha oleh umat lengkap dengan iringan gamelan. Sesudah Parama Santi, sajian disurut untuk makan bersama. * Mantram Buda Pengayoman Olah Negara.
-
Buddha Pengayoman Olah Negara
- OM shanno PARAMA SHIWA -
shanno IISMAYA - BUDDHA MaiTeRA AMITABHA - sham
BRHASPATIH -
shanno BHAWADVARIYYAMA - KALKI AVATAR
-
SANATKUMARA - SANANDHANA SANAKA - SANAATANA
-
SHRII ERLANGGA - SABDHAPALON - MANU WISWAWATA
-
SHIVA MAHADEVA - SURYA - INDRA - CANDRA - KUWERA
– NILA - AGNI - YAMA - WARUNA -
shanno PERTIWI - TAARAA - SHRII RADHA - KWAN IM
- KALI - IISMAYAWATI - SHRII BHAIRAWA BHAGAWATI -
shanno DHARMA - ISWARAH - BRAHMA - RUDRA - WISNU urukramah.
Mantram ini diucapkan 9 kali Mantram Pinandita selanjutnya sesuai dengan aturan yang telah ditetapkan oleh Parisadha Hindu Dharma Indonesia ditambah mantra dalam bahasa Jawa. Mantram Gayatri Trisandya dalam Bahasa Jawa
Duh Gusti asta kawula kasucekna Duh Gusti sanget kasucekna asta kawula Duh Gusti ingkang nyipta sarta nguwaosi TRILOKA (Bhur-Bhuah-Swah Loka ) Ingkang acahya cumlorong pinuji. Duh Gusti ingkang Maha Kuwaos, anugrahana kawula ambuka cahya Paduka sumunar Maha Suci ing budhi manah kawula. Duh Gusti kawula puja Paduka, seestunipin sadaya punika; ingkang sampun wonten, ingkang bade wonten namung saking Narayana (dasaring sadaya wonten).
Duh Pangeran Tunggal, datan wonten sanes Pangeran Ingkang Suci, mboten kalahiraken, Ingkang wonten sakjawining pepeteng, mboten kasad mripat. Duh Gusti saestunipun Paduka punika Siwah, inggih Mahadewa, Iswarah Parameswarah, Brahma lan Wisnu saha Rudra. Tuking sadaya gesang, bibitipun sadaya dumados. Duh Gusti kawula tiang dosa sadaya pandamel kawula nestapa, jiwatman kawula nestapa, dosa wiwit dumados Duh Gusti Pangeran Siwah, paringana pitulung angayomi nuceaken jiwa raga kawula. Duh Hyang Maha Agung mugi paring pangaksama sadhaya titah gesang, kabegjakna sirna sadaya dosanipun. Duh Gusti Pangeran Maha Langgeng mugi paring pangayoman. Duh Gusti ingapuntena dosa kawula, ingkang saking tindak tanduk, ingapuntena wicara kawula, ingapuntena dosa memanahan kawula, kawula nyuwun pangaksama anggen kawula weya lan sembrana Duh Gusti amaringana hayu bagya turut runtut tentrem Duh Gusti mugi tentrem ing salajengipun * Puja sebelum Panca sembah (berupa kidung)
Duh Hyang Agung, sinembah umat sedarum, dahat sru nalangsa, ngaturake sembah bekti, hamemuji, mugi-mugi, Hyang Widhi paring nu graha. Pembukaan sesudah Pinandita menyalakan dupa
Wus kumelun, kukusing dupa keluhur, Ganda arum, merwawangi, Saking pra jalma sadarum Sumedya hangesthi Widhi Haminta sih mring Hyang Manon Contoh Kidung Jawa yang mengiringi Pinandita memantra
* Kinanti Trisandya.
Duh Gusti Kang Maha Agung Pangeraning jagat katri
Acahya suci gumilang Dahat ulun sun pepuji Anglunturna sih nugraha
2 X
Sumunaring cahyo wening Tumandhuk ing manah ulun Manter amadangi budhi Dadosa jalaranira Rahayu mulya sayekti Gesang wonten madya pada 2 X Dumugi delahan nenggih Hyang Tunggal ugi sinebut Narayana dedasaring Kang tumitah sakbuwana Ingkang sampun, ingkang wingking Tanpa purwa, tan wasana
2 X
Datan wujud datan lahir Pepeteng datan manaput Netra kang wening umeksi Satuhu sucining Dewa Narayana datan kalih Datan wonten nimbangana 2 X Ingkang uning saget tunggil Paduka ugi sinebut Hyang Siwah Maha Dewa Di Iswara Parameswara
Brahma wisnu Rudra nenggih Purusah parikirtitah
2 X
Asmo yutan eko yekti Kawula rumaos estu Tiyang dosa langkung nistib Karma jiwa sarwa dosa Dosa wiwit duk dumadi Maha suci asih mirah
2 X
Nucekna jiwangga mami Maha Dewa amba nyuwun Sih nugrahaning aksami Sagung gesang kabegjakna Luwar saking dosa sisip Mugi Sang Hyang Sadha Siwa 2 X Karsa tansah angayomi Dosa saking tindak tanduk Pangucap myang muna-muni Dosa saklebeting manah Sembrana myang weya mami Gusti ngluberna haksama 2 X Manunggaling tur sesant) 3. Upacara Siwaratri
Pelaksanaan Upacara Siwaratri : jam 21.00 (jam 9 malam) Sajen : Daksina, Pisang Raja, Ingkung nasi liwet beserta lauknya dan jajan pasar. Pengikut upacara : umat Hindu dan orang-orang di sekitar Pura Sahasra Adhi Pura.
Kesepakatan Umat Hindu diwilayah Surakarta, pelaksanakan Upacara Siwaratri dipusatkan di Pura Mandira Seta Kraton Surakarta, maka sebagian umat yang dari Pura Sahasra Adhi Pura mengikuti Upacara Siwaratri di Pura Mandira Seta Kraton Surakarta jam 19.00 malam sampai satu setengah jam. Sesudah selesai kembali ke Sonosewu untuk mengikuti upacara Siwaratri dan dilanjutkan tirakat atau meditasi sesuai kemampuan. (Cleo, wawancara tgl. 15 Pebruari 2006). 4. Upacara Tawur Kesanga/Ngerupuk menjelang Hari Nyepi
Upacara Tawur Kesanga termasuk Bhuta Yajna. Pelaksanaan upacara tersebut di Pura Sahasra Adhi Pura, setelah selesai dilaksanakan Tawur kesanga yang biasanya di Jawa Tengah dipusatkan di sekitar Candi Prambanan. Dilaksanakan upacara ngerupuk/mebuu-buu di Pura Sahasra Adhi Pura pada menjelang matahari terbenam. Sesaji untuk yang dibawah : * Sesaji pencok bakal lima buah , ditaruh di lima tempat, empat pojok lokasi pura dan yang satu ditaruh ditengah. * Ayam mentah utuh beserta pencok bakal ditaruh dibawah Arca Bathara Kala. Sesaji yang diatas meja : * Daksina, Tumpeng Pengyoman, Pisang Ayu Setangkep, suruh ayu dan bunga, Jajan Pasar, Ingkung, Nasi Liwet beserta lauknya. Pelaksanaan Upacara.
* Pada jam 15.00 (jam tiga ) dimulai dengan nunas Tirtha yang diambil dari Petirthan didekat Arca Bagong oleh Pinandita, kemudian membuat Titha Suci. * Menghaturkan sesaji pencok bakal di lima tempat (pajupat kalima pancer) dengan diberi dupa dan air suci, diperuntukan bhutakala yaitu makhluk yang lebih rendah (jin, dedemit, gandarwa dll.) yang menimbulkan malapetaka. * Menghaturkan sesaji ayam mentah diberi tirtha dan dupa dibawah Arca Sang Hyang Bethara Kala dengan memohon supaya menyuruh pergi bhutakala tadi. * Dilanjutkan dengan upacara persembahyangan Trisandya. * Tepat waktu senjakala dilaksanakan ngerupuk/mebuu-buu dengan membentuk barisan mengelilingi lokasi Pura Sahasra Adhi Pura, dimulai dengan yang membawa anglo (perapian yang diberi menyan) kemudian yang membawa dupa, yang membawa Nyala api (Oncor Jawa dari bambu), Tirtha suci, bunga, dan lainnya membawa bunyi-bunyian apa saja sambil meneriakkan supaya bhutakala pergi ketempatnya jangan mengganggu manusia. * Mengambil pencok bakal dan ayam caru dibuang kesungai.
* Setelah nyurut sesaji mulailah mebrata bagi yang mampu, tidak bicara, tidak bekerja, tidak makan satu hari satu malam pada tanggal 1 Tahun Saka, besuk paginya ngembak api artinya menyalakan api, boleh beraktivitas lagi. 5. Upacara Piodalan Pura Sahasra Adhi Pura Waktu : Upakara
Diadakan tiap tahun sekali yaitu tiap Purnama Kedasa : Seperti Upacara Malem Rabu Pon,
Nasi kuning beserta lauknya.
* Pisang Ayu, Suruh Ayu dan bunga, jajan pasar * Pencok bakal lima dan ayam mentah (caru) . * Tiap pelinggih/arca diberi sesaji bunga dan pisang serta jajan , kurang lebih ada 150 Pelinggih/Pesimpangan. Pelaksanaan
* Pertama kali mohon Air Suci oleh Pinandita Pendamping kemudian diserahkan pada Pinandita Utama untuk dipuja menjadi Tirtha Suci. * Menghaturkan pencok bakal dan ayam mentah seperti Upacara menjelang Nyepi. * Menghaturkan sesaji untuk semua Dewa di Pelinggih/Pesimpangan Nya. * Diadakan Upacara Persembahyangan seperti Upacara Rabu Pon * Para Pamong Desa dan Pejabat Kecamatan Majalaban, diundang menghadiri Upacara Persembahyangan. 6. Upacara Hari Wetonan Sang Hyang Semar ( Sang Hyang Ismaya) Waktu pelaksanaan :
Kamis sore (Malem Jum’at Legi ), Jam 16.00, tiap 35 hari seka Upakara/sesaji
Seperti Sesaji Budha Pon (Ingkungnya hanya satu saja), Pisang Ayu Suruh Ayu Bunga, Jajan Pasar , Nasi Kuning dengan rangkaian lauknya. Pelaksanaan :
Upacara seperti Upacara Malem Rabu Pon, dengan fokus Sang hyang Semar. Setelah upacara, makan surudan bersama. C. Manusa yajna
Upacara Manusa Yajna ini biasanya dinamakan selamatan/wilujengan, umum juga mengatakan bancakan (yang artinya sajen itu dibagi untuk yang hadir). Sajen untuk Manusa Yajna umumnya berwujud nasi gudangan atau nasi kuning, sedang untuk Pitri Yadnya biasanya nasi liwet, ingkung dan nasi asahan. Cara membuat nasi-nasi tersebut : 1. Nasi kuning beserta lauknya
Nasi kuning : beras dikukus, sesudah 10 menit beras yang telah dikukus tadi dimasukkan kesantan kuning (diberi kunir, sere, salam/daun pandan, garamdan daun jeruk wangi) yang telah mendidih. Kira-kira 10 menit lagi nasi yang telah kuning tadi dikukus sampai matang (30 menit). Lauk nasi kuning ialah : tempe/kentang dibuat sambel goreng kering, bregedel, srundeng, sambel goreng basah, irisan telur dadar, irisan timun. 2. Nasi Gudangan beserta lauknya
Nasi kukus biasa sedang lauknya ialah : gudangan (sayur urap), bongko, pelas, gereh petek, bubuk dele, botok, lodeh keluwih yang cara membuat lauk sebagai berikut : * Gudangan : sayuran direbus, biasanya kangkung, kenikir, bayam, kacang panjang tidak dipotong, kecambah kacang hijau. Sayuran ini diberi samba kelapa (Kelapa parut, cabe,bawang putih, kencur, terasi, garam, daun jerut purut, gula Jawa * Bongko: dibuat dari kacang merah/tolo ditumbuk tidak terlalu halus, kelapa muda diparut ditambah garam, ketumbar, bawangputih bawang merah, kencur, gula Jawa, salam, laos. Semuanya diaduk, dibungkus dengan daun pisang dan dikukus sampai matang.(3) Pelas : sama seperti diatas hanya bahan dasarnya kedeleai hitam * Gereh petek: atau ikan kering yang tipis dibakar. * Bubuk dele : Kedelai digoreng tanpa minyak ditumbuk sampai halus. * Botok : bahan dasar kelapa muda parut dan daun melinjo, biji lamtoro yang muda diberi sambel (cabe, garam, tempe bosok/yang sudah 3 hari, gula Jawa, salam laos, kencur, terasi) diaduk dibungkus daun pisang dan dikukus sampai matang. * Sayur lodeh keluwih : keluwih dipotong kecil-kecil/disuwir diberi bumbu garam, bawang putih, bawang merah, ketumbar, tempe bosok, salam laos, gula Jawa dimasak diberi santan. 3. Jajan pasar, isinya buah-buahan sad rasa, ada jambu, salak, jeruk, pisang, apel, mangga, pala kependem seperti ketela rebus, kacang rebus, kentang hitam, ubi-ubian, dapat ditambah dawet, jadah, ketan hitam diberi bunga lima macam mawar merah jambu, kenanga kantil putih kantil kuning, kenanga dan melati.dll.
4. Intuk-intuk : tempatnya batok bolu = tempurung kelapa yang berisi matanya diberi tumpeng, diatasnya bawang merah dan cabe merah, telur ayam, kluwak kemiri(pakai kulit) 5. Nasi Liwet atau nasi uduk atau nasi gurih beserta ingkung ayam
* Nasi liwet/Nasi gurih : beras dikukus 10 menit, kemudian dimasukkan disantan yang diberi garam dan daun pandan/salam yang sedang mendidih 10 menit, sesudah itu dikukus sampai matang (30 menit). * Ingkung ayam : Ayam utuh jerohannya dimasukkan diperut dimasukkan diair mendidih diberi garam, brambang, daun salam dimasak sampai matang. * Sambel goreng jepan/labu jepan, jepan diiris kecil-kecil panjang dimasak dengan bumbu diiris boleh ditumbuk boleh, garam, cabe merah, bawang putih, bawang merah, ebi/udang kering, daun salam, laos, santan dimasak sampai matang 6. Nasi Asahan : Nasi biasa dialasi samir/daun pisang digunting bulat diatasnya juga diberi samir lagi, diatas samir diberi lauknya melingkar, ditengah lauk yang kering seperti srundeng, rempeyek kacang/teri, krupuk. Diluar lauk basah misal tahu terik, daging ayam terik atau apa saja. Upacara Manusa Yajna 1. Upacara untuk Bayi dalam kandungan a. Bayi dalam kandungan 1 sampai 3 bulan dengan bancakan ”ebor-eboran”.
Sajen/upakara bubur sumsum ditaruh ditakir. Bubur sumsum dibuat dari tepung beras diberi garam, santan dan dimasak. Sesudah matang ditaruh ditakir dituangi gula Jawa cair. Maksud upacara ini agar ibu dan bayi dalam kandungan sehat. b. Bayi dalam kandungan 4 bulan dengan bancakan rujak dan ketupat.
Rujak, dibuat dari buah-buahan seperti mangga mentah, bangkuang, pepaya setengah matang, kedondong, pisang klutuk mentah dll. diberi saus rujak (gula, cabe, terasi garam dan asam air sedikit, diuleg/digilas) Ketupat, beras dimasukkan diselongsong ketupat dimasak sampai matang. c. Bayi dalam kandungan 5 bulan. Sajennya Nasi kuning berta lauknya ditaruh di
layah(piring dari tanah liat) alasnya daun pisang digunting bulat (samir) d. Bayi dalam kandungan 6 bulan Sajennya Nasi gudangan.
e. Bayi dalam kandungan 7 bulan (mitoni/tingkepan).
Sajen/upakara : 7 buah Tumpeng Gudangan,7 buah Pontang/takir (Nasi kuning beserta lauk srundeng, irisan telur dadar, bregedel, sambel goreng, ditambah lele dan udang goreng), 7 buah ketupat, 7 takir rujak, 7 takir butiran ketan 5 warna ( putih, merah, kuning, hijau dan tengahnya coklat/enten-enten ini dibuat dari kelapa parut ditambah gula Jawa/gula merah dimasak), 7 buah nasi layah. Upacara mitoni begitu unik :, * mohon doa restu para orang tua * siraman, disirami dengan diiringi doa oleh 7 orang-orang tua * Kelapa gading yang digambari Kamajaya dan Kamaratih, satu dibelah sekalitebas supaya terbelah oleh suami yang mengandung. * Ganti pakaian baik kain maupun kebayak sampai tujuh kali yang terakhir oleh hadirin mengatakan pantas memakai kain lurik baju lurik itu yang sangat sederhana. * Kain-kain yang tertumpuk dipakai oleh ibu yang mengandung itu untuk mengeram . * Kelapa yang belum terbelah dimasukkan kain seakan-akan ibu itu melahirkan lancar dan diterima suami/ ayah bayi yang akan keluar. Doa bersama f. Bayi dalam kandungan 9 bulan : Bancakan procotan dengan sajen : -
bubur procotan, bubur sumsum diberi pisan raja rebus yang utuh.
Maksudnya biar lahir procot atau lancar dan selamat. -
Bubur merah putih : bubur merah (gula Jawa) ditakir diberi satu
sendok bubur putih) -
Jongkong : (singkong diparut diberi gula merah) dikukus
-
Intil : katul dibuat butiran dan dikukus.
2. Upacara bayi lahir a.
Pada hari lahirnya bayi (Sambutan Bhs. Bali)
Sajennya : Nasi gudangan, Jajan pasar, Intuk-intuk (uraian tersebut diatas) Pada hari lahirnya ini dicatat sebagai weton/ wedalan atau tingalan bahasa halusnya, setiap 35 hari ketemu weton/tingalan sajen seperti diatas. b. Hari kelima = Sepasaran Bayi
Sajen sama seperti diatas waktu itu diumumkan nama si bayi, biasanya diadakan bancakan(pesta) untuk anak-anak balita. c. Puput puser = lepasnya ikatan puser
Sajen sama, bayi dijaga seharian, kadang-kadang bayi sering menangis. d.
Wetonan = 35 hari = selapanan bayi Sajen sama tiap weton
e. Tedak siti = 7 lapan = 7 X 35 hari ini bancakan/pesta khusus
Saat bayi belajar menapakkan kaki di bumi/siti/pertiwi, sesajinya : - Nasi gudangan, jajan pasar dan intuk-intuk - Tangga dari tebu wulung dengan lima anak tangga - Jadah lempengan 7 buah 7 warna : putih, merah, kuning, hitam, hijau, biru dan coklat(gula jawa), ini untuk menapak kaki bayi sebelum naik ke tangga tebu wulung. - Kurungan ayam berisi ayam dan barang mainan untuk bayi. Pelaksanaan upacara : bayi dibimbing untuk berjalan menapaki jadah satu persatu kemudian naik tangga satu persatu anak tangga. Kurungan diberi ayam, secara bergiliran ayam dikeluarkan diganti bayi tersebut 3 X berturut-turut, terakhir didalam kurungan ada bayi yang diberi mainannya. Dan ayam dipelihara oleh ibu si bayi. 3. Upacara sewindu anak (8 tahun Jawa)
Sajen sama dengan wetonan, biasanya ada pesta kecil. 4. Upacara anak naik dewasa :
Anak perempuan yang mendapatkan menstruasi pertama kali. Sajen seperti wetonan. Si anak diberi minum jamu wejah (daun-daunan) didalam jaum dimasukkan batu yang dibakar dengan maksud supaya segar dan badannya tetap langsing. 5. Upacara Perkawinan/Pawiwahan
Upacara perkawinan untuk di Jawa biasanya dilakukan dirumah calon pengantin wanita. Dilaksanakan upacara siraman, midodareni dan panggih. Secara garis besar yang dibicarakan disini adalah sesajinya. * Siraman dengan sajen : Nasi Gudangan, Jajan pasar, Ingkung panggang * Midodareni dengan sajen nasi liwet dengan lauknya dengan maksud mohon turunnya bidadari memberi berkah pada pengantin. * Upacara pewiwahan/perkawinan ke Surya, daksina, nasi liwet, ingkung, gedang ayu suruh ayu bunga. Sedang untuk Pertiwi = guwakan/buangan yang ditaruh
ditanah : (a) pencok bakal satu takir, (b) daging/ati mentah dengan bumbu mentah satu takir dan (c) tumpeng kecil kluwak kemiri telor mentah PITRA YAJNA 1. Hari meninggalnya seseorang Bedah Bumi/gali lubang kubur: Sajen jenang lebu gula jawa jajan pasar Selamatan Geblak/hari meninggalnya : sajen Tumpeng ungkur2an, nas gudangan tanpa cabe, nasi liwet dan ingkung sebagai nasi untuk permintaan maaf, nasi asahan, nasi golong sati, lauk ayam goreng, tempe goreng, ditaruh pinggir melingkar maksudnya supaya golong bulat kembali kepadaNya, nasi iber-iber.
Pelaksanaan persembahyangan, dilaksanakan semua umat, untuk penghormatan (sembah) pada Pitri dilaksanakan oleh anggota keluarganya. 2. Slametan/Wilujengan :
Wilujengan/slametan untuk 3 hari, 7 hari, 40 hari, 100 hari, pendak (1 tahun Jawa). Pendak pindo (2 tahun Jawa ) dan 1000 hari sama sajennya, selalu dengan nasi liwet dengan ingkung, pisang ayu suruh ayu. Untuk selamatan 1000 hari orang meninggal ini diadakan upacara khusus. Sajennya sama hanya dikurangi nasi golong, ungkurungkuran dan nasi iber-iber. Sajen ditambah dengan ketan kukus, kolak dan apem, ketiga jenis sajen ini suatu pasangan sesaji untuk leluhur. Butha Yajna
Butha Yajna adalah korban suci tulus ikhlas kepada sekalian mahkluk bawahan baik yang kelihatan maupun yang tidak keluhatan untuk memelihara kesejahteraan dan ketentraman alam semesta. Di Jawa untuk melaksanakan Butha Yajna ini yang diberikan pada mahkluk yang tidak kelihatan biasanya disebut guwakan, yang wujudnya bahan-bahan mentah disebut pencok bakal. Bila dilaksanakan untuk dirumah ditaruh 4 sudut rumah ditambah yang ditengah. Bila untuk perjalanan maka dibuang disungai (Jembatan), perempatan dll. Salah satu Pungawa Kraton mengatakan tradisi Kraton Surakarta dulu selain membuat guwakan, untuk menjaga kelestarian hidup binatang seperti burung, semut, tikus dll. Raja mempekerjakan seseorang untuk memberi makan binatang-binatang itu. Untuk makanan burung diberi buah-buahan ditaruh diatas pohon, untuk semut diberi gula dipojok Bangunan Kraton. BAB VII TEMPAT SUCI A. Pengertian
Yang dimaksud tempat suci atau /tempat pemujaan adalah tempat untuk melakukan persembahyangan, tempat untuk bersujud, berbakti, menyembah lahir maupun batin kehadapan Hyang Widhi Wasa secara tulus ikhlas. Tempat umat Hindu bersembahyang dalam berbagai istilah dalam bahasa Sankerta antara lain mandira, dharmashala, devalaya, devagriha, devabhawana, Ssivalaya dll. Tempat itu dikatakan tempat suci karena sebelum dipakai disucikan dan tempat itu untuk mensucikan diri lahir maupun batin. B. Fungsi tempat suci/tempat pemujaan
1. Tempat Suci berfungsi sebagai - tempat pemujaan pada Hyang Widhi beserta manifestasi-Nya - tempat mengabdi dan berbakti kepada-Nya. - tempat memohon tuntunan dalam hidup - tempat memohon pertolongan - tempat untuk memohon ampunan - tempat untuk mengucapkan puji sukur terhadap anugrah-Nya - tempat untuk menyatukan diri pada Idan Sang Hyang Widhi Wasa. 2. Dibagian lain dari tempat suci tersebut dapat berfungsi sebagai : - sarana pendidikan agama (perpustakaan, pesantian), -
pelatihan sosia, seni, budaya & agama seperti dharma wacana, dharma tula,
sarasehan, pelatihan pembuatan upakara (banten,sesaji), dll. C.
Jenis dan bentuk-bentuk Tempat Suci Agama Hindu
Tempat suci umat Agama Hindu dinamakan Pura. Disamping istilah Pura, Candi juga nama tempat suci baik umat agama Hindu maupun umat Agama Budha. 1. Gunung
Oleh umat Hindu, gunung dipandang dan diyakini sebagai tempat atau linggih Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta Ista dewata dan roh leluhur yang telah suci. Di India gunung Maha Meru, di Jawa gunung Semeru, di Bali gunung Agung adalah simbol alam semesta sehingga puncakknya simbol tempat bersemayamnya Tuhan beserta segala manifestasinya. dipercaya sebagai tempat bersemayamnya Ida Sang Hyang Widhi Wasa beserta segala manifestasinya. Bagian bawah gunung alam Bhur, bagian tengah alam Bhuah dan puncaknya Swah disama dianggah Bhatara Siwa bersemayam
Dalam kitab kakawin Dharma Sunya menyebutkan : ” Bhatara Siwa = suwung Sipat ipun ikang kasar a wijud donya kanggep wangun ndi, yen karingkes dados meru ndi Himalaya, yen karingkes malih dados meru kadi ring tanah Bali, yen karingkes malih dados tiyang Artinya ” Bhatara Siwa = suwung Sifat kasarnya berbentuk dunia, dianggap berbangun gunung, jika diringkas lagi menjadi Meru (gunung Himalaya), kalau diringkas lagi menjadi Meru seperti di Bali, makin diringkas lagi menjadi manusia. Uraian tersebutpenggambaran tentang hakikat Bhatara Siwa atau Tuhan Yang Maha Esa dalam perwujudan kasar Sedang wujud beliau yang halus sbb.: ”Bhatara Siwa = suwung Sipat ipun ikang halus, inggih punika alusing donia, yen karingkes dados alusing ndi meru, yen karingkes dados alusing meru, yen karingkes malih dados alusing manusya” Uraian diatas barangkali dipakai alasan mengapa tempat tempat suci di Bali umumnya dibangun dekat dengan gunung, orang bersembahyang menghadap gunung. 2. Lingga
Lingga adalah lambang Siwa. Lingga adalah simbol gunung sebagai tempat bersemayamnya Ida Sang Hyang Widhi berserta manifestasinya. Kitab Bhagawad Gita IV ; 11 menyebutkan
”Ye yatha mem prapadyante tams tahthai ’va bhayamy aham mama vartma ’nuvartante manusyah partha sarvasah” Artinya Jalan manapun ditempuh manusia kearah-Ku semuanya Ku-terima, dari manamana semua mereka menuju jalan-Ku oh partha”
Berdasar bahan yang dipaki untuk membuat lingga maka dapat dibedakan : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Lingga phala (lingga yang terbuat dari batu) Kanaka Lingga ( lingga yang terbuat dari emas) Spata Lingga ( lingga yang terbuat dari permata) Gomaya lingga (lingga yang terbuat dari tahi sapi dan susu, terdapat di India) Lingga cala (lingga sebagai gunung) f. Lingga (dewa dewwi) terbuat dari banten yang terdapat di Bali.
Bentuk suatu lingga
1. Bagian puncak berbentuk bulat disebut Siwabhaga lingga, merupakan simbol stana atau linggih Bethara Siwa 2. Bagian tengah berbentuk segi delapan disebut Wisnubhaga merupakan simbol stana atau linggih Hyang Wisnu. 3. Bagianbawah lingga berbentuk segi empat disebut Brahmabhaga merupakan simbol stana atau linggih Bhatara Brahma. 4. Dasar lingga berbentuk segi empat dan pada salah satu sisinya terdapat sebuah saluran menyerupai mulut adalah tempat dimana air yang dialirkan seperti pancuran. Dasar lingga disebut Yoni Siwabhaga, Wisnubhaga dan Nrahmabhaga sebagai bagian lingga melambangkan Purusa sedang dasar lingga yang disebut Yoni melambangkan Pradana . Pertemuan Purusan danPradana disebut pertemuan akasan dan Pertiwi mengakibatkan terjadinya kesuburan. Kesuburan dianugerahkan oleh Tuhan pada manusia sebagai sumber kemakmuran.. 3. Candi
Menurut Dr. Soekmono dalam Pengeantar Sejarah Kebudayaan Indonesia Jilit II kata Candi berasal dari kata Candika. Candika merupakan salah satu nama lain dari nama Dewi Durga sebagai sakti (istri) Ciwa. Candi dimaksud adalah rumah Dewi Durga atau tempat pemujaan Dewi Durga. Dalam perkembangan selanjutnya Candi tidak hanya digunakan untuk pemujaan Dewi Durga tetapi digunakan juga untuk tempat pemujaan semua Dewa dan Sang Hyang Widhi Wasa. Candi bagi umat Hindu diyakini sebagai tempat sementara bagi Dewa merupakan bangunan tiruan dari tempat Dewa (Gunung Mahameru). Hiasan Candi sesuai dengan alam gunung, ada bidadari-bidadari, bunga-bunga teratai, daun-daun dan sebagainya (Soekmono, 1973:84). Nama lain dari Candi adalah Prasada, Sudharma dan Mandira. Dr. Soekmono mengatakan fungsi Candi seperti : a. Candi yang berfungsi tempat pemujaan pada Hyang Widhi dan manifestasi-Nya : Candi Dieng, Candi Prambanan, Candi Penataran dll. b. Candi yang berfungsi tempat pemujaan pada roh suci : candi Kidal, Candi Jago, Candi Singosari, Candi Simping dll
c. Candi yang berfungsi sebagai tempat semedi : Candi Borobudur, Candi Pawon, Candi Mendut, Candi sewu, Candi Kalasan, Candi Sari dll. 4. Meru
Meru merupakan simbol atau lambang andha bhuwana (alam semesta tingkat atapnya melambangkan lapisan alam besar dan alm kecil (macrocosmos dan microcosmos) DalamLontar Andhabhuana lembar ke14 menyebutkan : “ Matang nyan meru mateges, me ngaran meme, ngran bapak ngaran ibu, ngaran pradana tattwa, mwah ru ngaran guru ngaran bapa, ngaran purusa tattwa panunggalannya meru ngaran batur kalawasan petak Meru ngaran pratimbha anda bhuwana tumpangnya tumpangnya pawakan patalaning bhuwana bhuwana agung alit. Artinya Oleh karena itu, meru berarti me mermakna meme bermakna ibu, bermakna pradana tattwa dan ru bermakna guru bermakna bapa, bermakna purusa tattwa, penggabungan meru bermakna batur kalawasan petak ( cikal bakal/leluhur) Tingkatan atap meru merupakan simbol penggabungan Dasaksara, Dasaksara adalah simbol berupa huruf sebagai jiwa seluruh baian dari alam semesta (hurip bhuwana). Kesepuluh huruf itu ialah (1) Sa bertempat di arah timur (2) Ba bertempat di arah selatan (3) Ta bertempat di arah barat (4) A bertempat di arah utara (5) I bertempat ditengah (6) Na bertempat diarah tenggara (7) Ma bertempat diarah barat daya (8) Si bertempat di arah barah laut (9) Wa bertempat diarah timur laut
(10) Ya bertempat ditengah. Penggabungan 10 10 huruf itu menghasilkan menghasilkan satu huruf suci Om (Ongkara). 4.
Pura
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia Edisi kedua kedua yang disusun oleh Tim Tim Penyusun Kamus Dep.Dik Bud. RI tahun 1995 1995 Pura artinya kota, negeri atau istana.. Contoh penggunaan kata pura seperti Pura Mangkunegara di Surakarta. Selain itu artinya juga tempat untuk persembahyangan umat Agama Hindu. Bapak Sri Jangkung (Dosen STHD Klaten) menjelaskan Pura berasal dari kata Pur (bahasa Sanskrta) yang artinya pagar atau benteng, tempat yang dibuat khusus dengan dipagari tembok atau benteng untuk mengadakan kontak dengan kekuatan suci. Pura berfungsi tempat suci untuk memuja Hyang Widhi Wasa dalam segala prabhawa Nya Nya dan Atma Sidha Devata (roh suci leluhur). Selain istilah Pura untuk tempat suci atau tempat pemujaan dipergunakan juga istilah Kahyangan atau Parahyangan, Candi, Kuil dan sebagainya. Buku Purana Sumber Ajaran Agama Hindu Komprehensip yang disusun oleh Dr. Made Titip tahun 2003 menjelaskan mengenai pura. Disebutkan dalam buku tersebut pura seperti halnya meru atau candi merupakan simbol kosmos atau alam sorga (kahyangan). Titib juga mengungkap dari Kitab Suci Weda sebagai sumber sumber ajaran Agama Hindu sampai dengan Susastra tentang kahyangan, pura atau mandira a. l. :
Prasabam vacchiva saktyatmakam Tacchktyantaih syadvisudhadyaistu tatvaih Saivi murtih khalu devalayakhyattyasmad Dhyeya prathamam cabhipujya Isanasivagurudevapaddha Isanasivagu rudevapaddhati ti III. 12. 16
Terjemahan : ” Pura dibangun untuk memohon kehadiran Sang Hyang Siva dan Sakti dan kekuatan/Prinsip dasar dan segala manifestasi atau wujud-Nya, dari elemen hakekat yang pokok, Prthivi sampai dengan sakti-Nya. Wujud konkrit (materi) Sang Hyang Hyang Siva merupakan Sthana Sang Hyang Widhi. Widhi. Hendaknya seseorang melakukan perenungan dan memuja-Nya.” Dijelaskan pula oleh Titib mengenai persembahyangan Agama Hindu seperti Upacara Piodalan (istilah Bali) atau Abhiseka (untuk India) dimulai dengan memohon kepada para Devata turun ke bumi atau nedunan Ida Bethara (dalam bahasa Bali). Setelah
upacara persembahyangan berakhir mengembalikan ke Kahyangan Sthana-Nya yang abadi, hal ini menunjukkan bahwa pura adalah reprika kahyangan atau sorga (titp, 2003 : 291-293). 3. Kuil, Mandir
Kuil adalah tempat suci umat Hindu dari keturunan India Tamil. Fungsi Kuil adalah tempat suci untuk memuja manifestasi Tuhan (Deva) yang dikagumi. Mandir adalah tempat suci umat Hindu keturunan India Tamil. Mandir berfungsi tempat suci untuk memuja Tuhan dengan segala manifestasi-Nya. 4. Balai Antang
Balai antang adalah tempat suci umat agama Hindu dari Kaharingan. Balai Antang ini terbuat dari kayu yang dirangkai sehingga bentuknya seperti pelangkiran di Bali. Fungsi Balai Antang adalah tempat distanakan roh leluhur yang sudah disucikan yang bersifat sementara. 5. Balai Kaharingan
Balai Kaharingan adalah tempat suci umat Hindu dari Kaharingan. Bentuk hampir mirip bangunan rumah dan ruangan diletakkan sebuah tiang besar sebagai penyangga. Atapnya bersusun tiga, semakin keatas semakin kecil. Fungsi Balai Kaharingan adalah untuk menstanakan Hyang Widhi Widhi dengan berbagai manifestasi-Nya. Balai Kaharingan dibangun dtengah wilayah masyarakat atau pada tempat yang mudah dijangkau oleh umat Hindu Kaharingan unauk melaksanakan persembahyangan. 6.
Sandung
Sandung adalah tempat suci umat Kaharingan. Sandung terbuat dari kayu dirangkai berbentuk pelinggih rong satu. Bentuk atapnya segitiga sama kaki dan memakai satu tiang sebagai penyangga. Sandung diletakkan diluar rumah dan pekarangan. Fungsi Sandung adalah sebagai stana roh leluhur yang telah disucikan (ditiwahkan). 7.
Inan Kepemalaran Pak Buaran
Inan Kepemalaran Pak Buaran adalah tempat suci umat Hindu Tanah Toraja dengan ciri-cirinya terdapat lingga/batu besar pohon cendana dan pohon andong. Pak Buaran merupakan tempat sembahyang yang digunakan dalam lingkungan satu desa (seperti Pura Desa di Bali). 8.
Inan Kepemalaran Pedatuan
Ini adalah tempat suci umat umat Hindu di Tanah Tanah Toraja dengan ciri-cirinya terdapat lingga/batu besar, pohon cendana dan pohon andong. Pedatuan ini merupakan tempat sembahyang yang digunakan dalam beberapa lingkungan keluarga (seperti banjar di Bali) Pedatuan biasanya terdapat dilereng gunung. 9.
Inan Kepemalaran Pak Pesungan
Ini adalah tempat sembahyang umat Hindu di Tanah Toraja yang digunakan untuk lingkungan rumah tangga (seperti pemerajan di Bali). 10.
Sanggar
Ini adalah salah satu bentuk tempat persembahyangan umat Hindu di Jawa. Sanggar ini merupakan tempat suci yang ukuran ruangnya kecil yang berisikan satu buah Padmasana untuk tempat persembahyangan yang bersifat umum. 11.
Payuh-Payuhan
Ini adalah tempat persembahyangan umat Hindu Batak Karo. Payuh-Payuhan terbuat dari kayu yang dirangkai berbentuk segi empat, biasanya dibangin didekat mata air dan untuk persembahyangan bersifat umum. Fungsinya stana roh leluhur yang telah disucikan. 12.
Cubal-cubalan
Ini adalah tempat sembahyang umat Hindu Batak Karo. Bentuknya seperti pelangkiran di Bali yang diletakkan di dalam rumah. Tujuannya untuk melakukan persembahyangan dan yadnya yang ditujukan pada roh leluhur dan Hyang Widhi. D.
Pendirian Tempat Suci / tempat pemujaan
1.
Syarat pendirian Tempat Suci (Pura)
1. Keputusan Bersama Menteri Dalam Negeri dan Menteri Agama N0. 01/BER/mdn/mag/1989 dan Keputusan Menteri Dalam Negeri No. SK.556/DJA/1986 isinya ……….. 2. Weda, Lontar, Awig-Awig, Bhisama, Keput. Mahasabha ke VI 13 Desember 1991 di Jakarta a l : 2.
Prosedur mendirikan tempat suci
a. Persiapan
*. Membuat Yayasan yang bertanggung-jawab terhadap pendirian dan pengelolaan tempat suci yang akan didirikan. *. Menyiapkan tanah yang cocok dan menguntungkan *. Tanah tidak dalam keadaan sengketa *. Status tanah bersertifikat
b. Pengurusan sertifikat
*. Pengurusan sertifikat tanah *. Pengurusan ijin lokasi untuk bangunan tempat ibadah *. Melampirkan denah 3. Denah Pura
Secara umum Pura (Tempat suci) terbagi menjadi 3 baguan (Tri Mandala) : *. Utama Mandala (jeroan) tempat bangunan suci * Madya Mandala (halaman tengah) untuk penunjang uapacara keagamaan * Kanista Mandala (halaman luar) tempat untuk upacara keagamaan. Masing-masing ruang (halaman dipagari tembok, untuk masuk halaman pertama melewati gapura, halaman pertama ini biasanya kosong. Untuk masuk halaman kedua melewati gapura yang beratap dinamai Gapura Paduraksa dan kemudian ada bintang aling (aling-baling) didepan gapura (untuk masuk harus lewat kiri kanan bintang aling). Apabila akan masung di Utama Masndala maka melewati gapura (seperti candi terbelah/ tanpa atap) disebut Candi Bentar. Tiga Mandala melambangkan bhur loka, bhuah loka dan swah loka. Apa bila tanah nya hanya memungkin membuat dua ruang maka ini melambangkan alam atas atau akasa dan pertiwi atau alam bawah. Bila hanya satu halaman melambangkan Eka bhuana. Bila tanah yang tersedia luas ruang dapat dibagi dalam 7 halaman yang melambangkan Sapta Loka, Bhur, Bhuah Swah, Maha, Jana, Tapa dan Satya Loka.. Candi Ceto terdiri 13 halaman. E. Bentuk-bentuk Bangunan suci yang biasanya ada di Jeroan. 1. Prasada
Bentuknya seperti tugu, terdiri dari tiga bagian, dasar, badan dan atap memakai gelung seperti mahkota. Fungsi Prasada pemujaan Hyang Widhi. Prasada ini terdapat di Pura Prasada desa Kapal (Badung), Candi Margarana, Pura Maos Pahit Desa Tatasan Badung. 2. Meru
Bangunan Meru ini biasanya beratap ijuk, ada meru atap satu atap dua, atap tiga, lima tujuh, sembilan dan sebelas. Bagian dasar biasanya dari batu alam dan badan meru terbuat dari kayu. Fung si Meru tempat memuja Hyang Widhi dengan segala manifestasi-Nya. 3. Gedong
Bangunan ini berbentuk segi empat atau bujur sangkar, terdiri tiga bagian dasar, badan dan puncak atau atap. Bagian dasar terbuat dari batu bata, padas, bagian badan terbuat dari batu bata atau dari kayu, bagian ini kadan diukir gambaran tentang deva. Atap terbuat dari ijuk/alang-alang/ genteng. 4. Rong Tiga
Bangunan Rong Tiga ini hampir seperti Gedong tapi ada tiga ruang letaknya sejajar. Fungsi Rong Tiga ini untuk memuja Tri Murti dan Roh Leluhur yang telah disucikan. 5. Tugu
Tugu hampir seperti Prasada namun ukurannya lebih kecil. Fungsi Tugu adalah tempat bersemayamnya bhuta diberi sesaji agar tidak mengganggu bila dilaksanakan upacara. Letaknya diluar halaman pura. 6. Padmasana
Bangunan Padmasana ini pertama kali diperkenalkan oleh Dang Hyang Nirarta di Bali abad ke 16 Masehi. Di Jawa, Padmasana berbentuk bunga Teratai sebagai simbol stana Hyang Widhi. Padmasana di Bali bibangun seperti singgasana/kursi Raja . Jenis Padmasana : Padmasana, Padmasari, Padma Capah, Padma kurung Jenis Padmasana berdasar arah pengider-ider :
1. 2. 3. 4. 5.
a. Padma kencana berada di timur menghadap kebarat stana hyang iswara Padmasana berada di selatan menghadap keutara stana Deva Brahma c. Padmasari berada di barat menghadap ketimur stana Deva Maheswara Padmasana Lingga di utara menghadap keselatan adalah stana Deva Wisnu e. Padma saji di timur laut menghadap kebarat daya adalah stana Deva Sambhu 6. f. Padma Asta Sedana di tenggara menghadap ke barat laut Stana Deva Mahesora 1. Padmonoja di barat daya menghadap ke timur laut stana DevA Mahadeva 2. Padmokaro di barat laut menghadap ke tenggara adalah stana Deva Sangkara 3. Padma Kurung ditengah beruang tiga menghadap kearah depan adalah stana Trimurt Jenis Padmasana berdasar ruang dan tingkatannya :
1. Padma anglayang beruang tiga mempergunakan Bedawang Nala (kura-kura) dengan Palih tujuh 2. Padma Agung, beruang tiga dan mempergunakan Bedawang Nala dengan Palih lima 3. Padmasari tidak menggunakan Bedawang Nala dan naga fungsi penyawangan
4. Padma Capah mirip Padmasari tapi lebih rendah ini diperuntukkan makhluk yang lebih rendah dari manusia. BAB VIII PANDITA DAN PINANDITA A. Pandita
Mengenai Pandita atau Sulinggih adalah yang telah memasuki golongan Brahmana. Manawa Dharmasastra I.96 menyebutkan :
Bhutanam paninah sresthah praninam bhddhijiwinam Buddhihmastu narah srestha narestu brahmana smrtih Artinya
Diantara ciptaanNya, mahkluk hidup yang paling tinggi. Diantara mahkluk hidup yang punya pikiranadalah yang paling tinggi. Diantara yang punya pikiran manusialah yang paling tinggi. Diantara manusia Brahmanalah yang paling tinggi Manawa Dharmasastra I. 97 menyebutkan :
Brahmanestu ca widwamco widwamco widwastu krta buddhayah Krtsbuddhistu kartarah kartrsu bhrahmawedinah Artinya : Diantara para Brahmana, yang ahli Weda adalah yang tertinggi. Diantara yang ahli Weda, yang mengetahui makna dan cara-cara melaksanakan tugas yang tertinggi, Diantara yang mengetahui makna dan cara melaksanakan tugas yang telah ditentukan, yang melaksanakan adalah yang tertinggi. Diantara yang melaksanakan upacara, yang mengetahui Brahman adalah yang tertinggi Bangsa Indonesia terbentuk dari latar belakang keanekaragaman budaya, bahasa dan kemampuan daerah. Walaupun ada rambu-rambu aturan mengenai kepinanditaan, pinandita dan lain-lain bukan tidak mungkin dalam praktek upacara pensudhian, ekajati maupun upacara dwijati, masuk budaya daerah setempah yang bermacammacam begitu pula tentang jenis upakaranya.
1. Pengertian
Pandita, wiku, Sadhaka atau Acharya termasuk Sulinggih adalah umat yang telah mendapatkan upacara penyucian (Diksa/Padiksan atau medwijati) yang dilakukan oleh seorang Nabe. Sedang abhiseka (nama) Kawikon masing-masing sesuai dresta warganya ialah Ida Pedanda, Ida Rsi Bhujangga, Rsi, Ida Pandhita, Ida Sri Empu, Ida Bhagawan, Dukuh.
Mereka yang tergolong sebagai Pandita atau Sulinggih telah memasuki golongan yang disebut Brahmana. Brahmana bukan karena kelahiran namun Brahmana dari pelaksanaan tugas kesehariannya. Pad dasarnya sebagai seorang brahmana berat hukumnya, sehingga tidak sembarang orang dapat digolongkan sebagai seorang Brahmana. Brahmana sejati sangat mulia dihadapan Tuhan. Manawa Dharmasastra I.96 menyebutkan
Bhutanam paninah,sresthah praninam buddhijiwinam Buddhimatsu narah srestha naresu brahmanah smrtah Artinya
Diantara semua ciptaanNya, makhluk hidup adalah yang paling tinggi. Diantara makhluk hidup yang punya pikiran yang paling tinggi. Diantara yang punya pikiran, manusialah yang paling tinggi. Diantara manusia Brahmanalah yang paling tinggi . Manawa Dharmasastra I.97 menyebutkan
Brahmanesu ca widwamso widwastu krta buddhayah Krtabuddhisu kartarah kartrsu brahmawedinah Artinya
Diantara Brahmana, yang ahli weda adalah yang tertinggi. Diantara ahli weda, yang mengetahui makna dan cara melaksanakan tugas yang tertinggi. Diantara yang mengeatahui makna dan cara cara tugas yang ditentukan, yang melaksanakan upacara adalah yang tertinggi. Diantara yang melaksanakan upacara, yang mengetahui Brahman adalah yang tertinggi . Inilah yang disebut Brahmana sejati. 2. Sesana Pandita
Menurut Lontar Siwa Sasana umat Hindu yang ingin mrnjadi Pandita atau Sulinggih harus memenuhi syarat untuk mediksa yaitu : Umat Hindu yang boleh didiksa :
1. 2. 3. 4. 5.
Laki-laki yang sudah kawin dan yang tidak kawin (Nyukla Brahmacari) Wanita yang sudah kawin atau yang tidak kawin (Kanya) Pasangan suami istri Umum minimal 40 tahun Paham dalam bahasa Kawi, Sanskerta, Indonesia, memiliki pengetahuan umum, pendalaman intisari ajaran agama 6. Sehat lahir batin dan berbudi pekerti luhur sesuai dengan sasana
7. Berkelakuan Berkelakuan baik, tidak pernah pernah tersangk tersangkut ut perkara perkara pidana pidana 8. Mendapat Mendapat tanda tanda kesediaan kesediaan dari pendet pendetaa calon nabenya nabenya yang yang akan akan meensucik meensucikan an 9. i. Sebaiknya tidak terikat akan pekerjaan sebagai pegawai negeri ataupun swasta, kecuali bertugas untuk hal keagamaan . Sifat-sifat Calon Sulinggih
1. Bers ersifat ifat sos sosia iall 2. Bijaksana 3. Seti Setiaa pad padaa uca ucapa pan n 4. Memi Memili liki ki kesu kesusi sila laan an 5. Tegu Teguh h pada pada dha dharm rmaa tanpa tanpa nod nodaa 6. Ketu Keturu runa nan n oran orang g baikbaik-ba baik ik 7. Pand Pandai ai dala dalam m ilm ilmu u 8. Berji erjiwa wa besa besar r 9. Tega Tegass dal dalam am sias siasat at 10. Kuat menahan menahan suka suka dan duka duka 11. Setia dan hormat hormat pada pada catur guru guru 12. Suka melaksana melaksanakan kan ajaran Dharma Dharma 13. Teguh Teguh melakukan melakukan tapa tapa Orang yang tidak patut didiksa •
Orang-orang kotor, orang yang wangsanya turun sebagai walaka, cacat tubuhnya, orang yang sangat mendertita o Cuntaka Janma, orang yang dijadikan sesaji, Asti Widhana, pencuci mayat, orang pemakan darah, penadah barang kotor o Patita Walaka yaitu penyembah orang hina, penyembah orang cuntaka o Sadigawe yaitu otang segala yang sudra, candala mleca, wulu-wulu o Chandala berarti menjagal, melempar, memukul o Manusia kuci yaitu manusia cacat ( bungkuk belang dll) o Maha dhuka yaitu orang yang sangat menderita.
Perilaku yang baik dan benar benar harus dipersiapkan dipersiapkan calon calon diksika sesuai deng deng Tri Kaya Parisudha • • •
Kayika Parisudha artinya berperilaku yang baik Wacika Parisudha artinya berbbicara yang baik Manacika Parisudha artinya bepikir bepikir yang yang baik dan benar
Panca Yama Brata • • • •
•
Ahimsa artinya tidak membunuh membunuh atau menyakiti menyakiti mahklul lain Brahmacari artinya belajar dan menuntut ilmu Satya artinya tidak menipu atau berbuat bebar/jujur Awyawaharika artinya tidak suka bertengkar, membebaskan diri dari kehidupan keduniawian, tidak bermewah-mewah (tidak ngumbar hawa nafsu. Asteya artinya tidak mencuri, tidak mengingini milik orang lain
Panca Niyama Brata • • • • •
Akroda artinya sabar tidak dikuasai kemarahan Guru Susrusa Susrusa artinya berbakti pada Guru Sauca artinya bersih lahir batin dan selalu melakukan Japa Aharalagawa artinya tidak banyak makan Apramada artinya tidak lalai
Dasa Dharma atau Dasa Sila • • • • • • • • • •
Drti artinya pikiran bersih Ksama artinya suka mengampuni Dama artinya kuat mengendalikan pikiran Asteya artinya tidak mencuri Sauca artinya bersih lahir dan batin Indrayanigraha artinya mengendalikan gerak pancaindra Hrih artinya memiliki sifat malu Widya artinya rajin menuntut ilmu Satya artinya jujur dan setia pada ucapan Akroda artinya sabar tidak dikuasai kemarahan.
Perilaku yang salah atau tidak boleh dilakukan oleh calon diksita antara lain a.Tri Mala • • •
Mithya hrdya artinya berperasaan atau berpikiran buruk. Mithya wacana artinya berkata sombong, angkuh, tidak menepati janji Mithya laksana artinya berbuat kurang ajar, merugikan orang lain
b. Sad ripu • • • • • •
Kama artinya hawa nafsu yang tak terkendali Lobha artinya kelobaan tingin selalu mendapatkan lebih Kroda artinya kemarahan yang melampaui batas Mada artinya kemabukan yang membawa kegelapan Moha artinya kebingungan artinya kurang mampu konsentrasi Matsarya artinya irihati atau dengki yang menyebabkan permusuhan
c. Sad Atatayi • • • • • •
Agnida artinya membakar milik orang lain Atharwa artinya melakukan ilmu hiram Dratikrama artinyaaa memperkosa Rajapisuna artinya memfitnah Sastraghna artinya mengamuk Wisada artinya meracun
d.Sapta Timira (tujuh macam kegelapan •
Dana artinya sombong karena kekayaan
• • • • • •
Guna artinya sombong karena kepandaian Kasuran artinya sombong karena kemenangan Kulina artinya sombong karena keturunan (kebangsawanan) Sura artinya minum-minuman keras Surupa artinya sombong karena rupa yang tampan atau cantik Yowana artinya sombong karena merasa masih remaja /muda
3. Guru Nabe a. Syarat-Syarat Syarat-Syara t Nabe • • • • • •
Seorang yang selalu dalam bersih, sehat lahir batin Mampu melepaskan diri dari keduniawian Tenang dan bijaksana Paham dan mengerti Catur Catur Weda, dan berpedoman Kitab suci Weda Mampu membaca Sruti dan Smerti Teguh melaksanakan sadhana (sering berbuat amal, jasa dan kebajikan).
b. Sadhaka yang yang tidak patut dijadikan dijadikan Nabe •
• • •
• • • • • •
Sadhaka yang sombong, suka marah, benci melihat sisya. Sadhaka yang demikian disebut Sadkaka kroda. Sadhaka yang ingin memiliki benda kepunyaansisya (Sadkala lobha) Sadhaka yang suka memukul (Sadhaka Capala Tangan) Sadhaka yang menyebabkan telinga sakit, menyebar fitnah, iri, dengki, (Sadhaka Capala Wus Wus) Sadhaka yang membahayakan sisyanya (Sadhaka Drodhi) Sadhaka yang suka mabuk, menipu, pikiran kotor (Sadhaka Murka) Sadhaka yang memuaskan hawa nafasu (Sadhaka Raga) Sadhaka yang berusaha mencelakakan sisya (Sadhaka Dwesa) Sadhaka yangkurang memahami sastra (Sadhaka Dungu) Sadhaka yang menyimpang ajaran dharma (Sadhaka Duryusa)
c. Kewajiban seorang Guru Nabe
1. 2. 3. 4.
Guru Nabe berwenang berwenang untuk untuk memberi memberikan kan upacara upacara Diksa Memberi Memberi peringat peringatan an kepada kepada para sisya sisya tingkah tingkah laku laku yang yang benar benar dan dan salah salah Menuntun Menuntun para para sisya sisya menuju menuju kejalan kejalan yang yang benar benar sesuai sesuai sastra sastra agama agama Meng Mengaj ajark arkan an ten tenta tang ng dos dosaa
Prosedur administrasi untuk melakukan Diksa
1. Calon Diksa mengajukan mengajukan permoh permohonan onan untuk untuk didiksa didiksa pada pada PHDI yang yang dilampiri keterangan sebagai syarat calon diksika 2. Permohona Permohonan n juga juga ditembu ditembuskan skan pada pemerintah pemerintah (Depag) (Depag) 3. PHDI PHDI men menga gada daka kan n test testin ing g 4. PHDI PHDI menentu menentukan kan sika sikap p ditola ditolak k atau dite diterim rimaa 5. Pendet Pendetaa kemud kemudia ia didik didiksa sa kala kala dite diterima rima 6. Parisa Parisada da mengumu mengumumka mkan n tentan tentang g Lokapalas Lokapalasray raya. a.
B. Pinandita 1. Pengertian • •
•
•
Pinandita atau pemangku adalah rohaniwan tingkat Ekajati Pinandita adalah Duta Dharma yang mengutamakan penjabaran ajaran Agama Hindu pada masyarakat Pinandita adalah rohaniwan yang bertugas sebagai pemup[ut wali (banten) dalam upacara agama/adat, dapat ngolapalasrayaseraya sebatas ijin/panugrahan dari Nabe/Guru. Upakara pewintenan Ekajati dan agem-ageman seorang pamangku/pinandita disesuaikan dengan tingkat Pura yang diemongnya
2. Tingkatan Pamangku •
o
Pamangku tapakan Widhi : pada Sad Kahyangan, Dang Kahyangan, Kahyangan Tiga, Paibon, Panti, Padharman, Merajan, Gede dll. Pamangku Dalang
o
3. Sasana Pamangku a. Gegelaran Pamangku
* Gegelaran/Agem-agem Pamangku sesuai dengan rontal Kusuma Dewa, Sangkul Putih disesuaikan dengan tingkat Pura yang diamongnya. * Gegelaran/Agem-agem Pamangku Dalang sesuai dengan Dharmaning
Padalangan, Panyudamalan dan Nyapu Leger b. Hak seorang Pemangku/Pinandita
*. Bebas dari ayah-ayahan/tugas desa/banten * Dapat menerima pembagian sesari * Bila pemangku meninggal dunia upacara/upakara ditanggung umat Pura c. Wewenang Pamangku
* Nganteb Upakara/Upacara pada Kahyangan yang diamongnya * Meloka pala sraya sampai tingkat madudus alit, sesuai tingkat pewintenannya, dan juga atas panygrahan nabe. * Waktu melaksanakan tugas agar berpakaian serba putih dandanan rambut :
wenang agotra, berambut panjang, anyondong, memakai destar. 4.. Bebratan Pemangku a. Tri Kaya Parisudha : Manacika, Wacika dan Manacika b. Catur Paramita : - Metria (kasih sayang pada semua mahkluk) •
o
c. Yama Brata
Karuna (welas asih pada semua mahkluk) Rasa simpati terhadap sesama dalam suka dan duka Upeksa teliti, waspada tidak gegabah dalam kejadian
: Ahimsa, Brahmacari, Awyawahara, Satya, Asteya
Niyama Brata : Akroda, Gurususruca, Sauca, Aharalagawa, Apramada 5. Kegiatan yang harus dilakukan Pemangku sehubungan dharmanya
1. Membicarakan tentang pemujaan kepada para Dewa 2. Mendiskusikan pengetahuan, filsafat dan agama. 3. Mempelajari dan merapal mantra-mantra Weda 4. Selalu jujur, tidak menyakiti hati dan tidak kasar dalam berkata-kata, 5. Tidak memfitnah, berbohong dan menghina, mencerca pemangku lain BAB VIII SUDI WADANI PENYUMPAHAN DAN CUNTAKA A. SUDI WADANI 1. Pengertian
Sudi
artinya penyucian, wadani artinya ucapan/pernyataan/kata-kata.
Sudi Wadani artinya penyucian perkataan Upacara Sudi Wadani adalah upacara penyucian untuk menjadi umat Hindu. 2. Tata Cara Upacara Sudi Wadani
a. Membuat surat pernyataan penyucian yang sah. b. Melaksanakan upacara
- Utama : mempergunakan banten biyakala, prayascita, tataban . -. Madya : mempergunakan Bhasma air cendana - Nista
: mempergunakan air , bunga, bija.
c. Pelaksanaannya selalu disertai dengan api. 3. Mantra Om Sa, Ba, Ta, A, I, Na, Ma, Si, Wa, Ya, Ang Ung Mang B.
P E N YU MP AH AN
1. Pengertian
Penyumpahan atau disebut dengan Upasaksi adalah pernyataan kesaksian ke hadapan Hyang Widhi/Tuhan Yang Maha Esa yang bertujuan untuk menyatakan kebenaran perbyuatan seseorang baik yang telah lalumaupun yang akan datang. 2. Bentuk Upacara Upasaksi
a. Upasaksi Sumpah Jabatan adalah upasaksi dalam hubungan dengan sumpah jabatan yang akan dipangku oleh ABRI maupun sipil. b. Upasaksi/Sumpah di Pengadilan adalah sumpah berhubungan dengan perkara di Pengadilan. c. Upasaksi/Sumpah dalam bentuk cor (penguatan pengakuan) adalah sumpah yang mempergunakan mantram Aricandani. 3. Pelaksanaan Upasaksi a. Upasaksi Sumpah Jabatan
* Pengambilan sumpah oleh Pejabat yang ditunjuk * Yang akan disumpah berpakaian dinas * Sikap yang akan disumpah - untuk sipil sikap tangan *Dewa Prestistha” memegang dupa - Anggota ABRI sikap sempurna * Saksi Pendamping (Rohaniwan/pejabat yang ditunjuk), dengan sikap tangan ”Dewa Prestistha” Mantram : Om atah paramawisesa, saya bersumpah ….. sesuai ketentuan. Bila memungkinkan dengan sarana Daksina, canang sari dan air suci.
b. Upasaksi/Sumpah di Pengadilan
* Pengambilan Sumpah oleh Pejabat yang ditunjuk * Yang disumpah berpakaian sopan. *
Sikap yang akan disumpah
- Sikap tangan ”Dewa Prastistha” untuk sipil dan memegang dupa - Anggota ABRI sikap sempurna *
Sikap pendamping (rohaniawan) berdiri dengan sikap ”Dewa Prastistha”
c. Upasaksi/Sumpah dalam bentuk cor :
* Pengambilan Sumpah oleh rohaniwan yang ditunjuk * Tempat pelaksanaan di Tempat Suci * Yang disumpah berpakaian putih atau pakaian adat setempat * Sarana upacara sesuai kondisi setempat (Air suci hanya dipercikkan C.
CUNTAKA
1. Pengertian
Cuntaka adalah suatu keadaan tidak suci menurut pandangan agama Hindu 2.Penyebab Cuntaka (sebel –istilah Bali)
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Sebel karena kematian Sebel karena haid Sebel karena wanita keguguran kandungan Sebel karena sakit (kelainan) Sebel karena perkawinan Sebel karena gamia gamana Sebel karena wanita hamil tanpa byakaon Sebel karena salah timpal (bersetubuh dengan binatang) Sebel karena orang lahir dari kehamilan tanpa upacara
10. Sebel karena melakukan Sad Tatayi. 3.Ruang Lingkup, dan batas waktu Cuntaka(sebel):
1. Kematian : keluarga terdekat serta orang-orang yang ikut mengantar jenasah, sesuai Loka dresta dan Sastra Dresta. 2. Haid : diri pribadi serta kamar tidurnya, sampai bersih darah dan membersihkan diri.
3. wanita bersalin : diri pribadi, suaminya danrumah yang ditempatinya, sampai kepus puser (putus pusernya) 4. keguguran : diri pribadi, suaminya dan rumah yang ditempatinya, 42 hari dan mendapat tirtha pebersihan. 5. Perkawinan : diri pribadi dan kamar tidurnya, smpai mendapat tirtha pebyakaonan. 6. Karena sakit : Pribadi dan pakaiannya. 7. Gamia gamana : diri pribadi dan desa tempat tinggalnya, sampai diceraikan, diadakan upacara pebersihan baik diri pribadi dan desa adat. 8. Wanita hamil tanpa byakaon : diri pribadi dan kamar tidurnya, sampai diadakan upacara byakaon 9. Mitra ngalang : diri pribadi dan kamar tidurnya, sampai upacara byalaon 10. orang lahir dari kehamilan tanpa upacara perkawinan : diri pribadi. Anak dan rumah yang ditempati, sampai ada yang memeras (mengangkat anak dengan upacara agama) 11. Orang yang pernah melakukan Sad Tatayi : diri pribadi, sampai diprayascita dan selamanya tidak boleh menjadi rohaniwan. 1. 3. Larangan bagi yang cuntaka (sebel) Seseorang yang sedang dalam keadaan sebel atau cuntaka tidak diperkenankan memasuki tempat suci ataupun melaksanakan pekerjaan yang dianggap suci. BAB IX HARI SUCI AGAMA HINDU A. Pengertian Hari Suci
Hari Suci pada umumnya disebut Hari Besar atau Hari Raya (rerainan dalam bhs. Bali) adalah hari yang diistimewakan, dirayakan atau diperingati berdasarkan keyakinan hari itu memiliki nilai-nilai yang berpengaruh dalam kehidupan. B.
Hari Suci Agama Hindu
1. Dasar perhitungan Hari Suci
Selain hari suci yang bersifat haarian, asa pula tata cara pelaksanaan upacar hari suci rutin yang disesuaikan dengan sistem perhitungan hari antara lain : 1. a. Sistem Wara yaitu perhitungan yang berdasarkan atas nilai hari, nama yang dikuasai oleh berbagai macam jenis kekuatan yang berbeda-beda seperti Eka wara (luang), Dwi Wara (menga, pepet) Tri Wara (pasah beteng, kajeng), Panca Wara (Pon,, Wage, Kliwon, Legi, Pahing), Sapta Wara (Senin, Selasa, Rabu, Kamis, Jum’at dan Sabtu) 2. b. Sistem Tithi yaitu perhitungan hari suci yang dihubungkan dengan hari bulan (Lunar), seperti Hari Purnama dan Tilem , Panglong atau penanggal.
3. c. Sistem Naksatra yaitu hari suci yang dirayakan berdasarkan pada perhitungan musim atau musiman . 4. d. Sistem Yoga yaitu hari suci yang dirayakan menurut perhitungan letak tatasurya atau plenet-planet karena sebagaimana kita ketahui bahwa planet planet itu berpengaruh sangat besar terhadap diri manusia . 5. Sistem Karana yaitu hari suci yang dirayakan erdasarkan perhitungan pertemuan antara bulan dan matahari Pelaksanaan upacara yajna pada hari suci sangat dipengaruhi oleh dasar-dasar pengertian ajaran astronomi karena setiap planet merupakan wilayah kekuasaan dari para dewa tertentu dan mempunyai arti yang berbeda-beda. Karena itu tiap upacara harus mengingat dasar dan sistem kekuatan yang ada Dari kitab Purana, Upanisad dan Aranyaka mengemukakan sbb.:
1. Hari Minggu (Redite atau Rawi Wara) merupakan hari suci yang menurut mitologi dikuasai oleh Aditya atau Surya. Surya dalam bahasa Inggris Sun maka nama harinya Sunday. 2. Hari Senin (Soma atau Soma Wara) adalah hari suci untuk Dewa Soma atau Candra atau bulan. Candra sering dihubungkan dengan tilak dalam bentuk ”ardha candra”, bulan sabit didahi Dewa Siwa. Bulan dalam bahasa Inggris Moon jadi harinya Monday. 3. Hari Selasa (Anggara atau Manggala Wara) adalah hari suci untuk Planet Mars menurut mitologi untuk Kertikeya atau Dewa Kumara 4. Hari Rabu (Budha Wara) adalah hari suci untuk Planet Budha (Mercuri) ynag dihubungkan dengan Brhaspati(Yupiter yang berasal dari Tara (Bintang). 5. Hari Kamis (Wrhaspati atau Brhaspati) disebut juga Guru Wara atau hari suci Dewa Wrhaspati (Yupiter). 6. Hari Jum’at (Sukra atau Sukra Wara) hari suci Dewa Sukra(Venus) yang dianggap leluhur para asura 7. Hari Sabtu (Saniscara atau Sani Wara) adalah hari suci untuk Sani (Saturnus) dianggap paling kuasa atas ilmu hitam, dipuji untuk menjauhkan pengaruh ilmu hitam. Dalam bahasa Inggris menjadi Saturday Dari uraian diatas berarti tiap hari merupakan hari suci, hanya nilai-nilai dan tujuannya saja yang dapat berbeda-beda dalam pemujaannya. 1. 2. Jenis Hari Suci Rerahinan 2. Nitya Karma adalah upacara yang dilaksanakan pada hari suci yang rutin dan berlain umum untuk umat Hindu yaitu : •
•
Yajna kecil ”Ngejot atau Yjna Sesa” yaitu mempersembahkan makanan pada Tuhan dalam manifestasinya di dapur, sumber air, pemerajan, sanggah dll. Upacara Trisandya yaitu doa tiga kali sehari
1. b. Naimitika Karma adalah upacara yang bersifat relatif, dilaksanakan menurut tujuan secara khusus oleh siapa saja tanta terikat waktu, seperti Dewa Yajna, Manusa Yajna dll. 3. Prinsip-Prinsip pokok Hari Suci Keagamaan
Dalam lontar Sundhari Gama disebutkan : Iki Kadrstyaning pakrittigama lumaksakna ling ira Sang Hyang Suksma Licin, ri sawateking purohita kabek, maka drstaning praja mandhala, wnang warah-warah kramanya ri sira kawisesang rat, wnang kalaksanan dening wwang sapraja mandhala kabeh, nimittaning drsta prajanira sri haji, tkeng kajagatanika, apan parikramaning dahat suksma uttama, iki tinarimapuja gamanya de watek dewata kabeh, wiyoga dera Sang Hyang Tiga Wisesa, Brahma Wisnu Iswara pinuja dening watek maharsing langit, winastu de ra Sanghyang Siwa Dharma, andhyata kalinganya nahanta ling bhatara. Om ranak sira purohita makabehan siwa soghata, rengen warahkwa ri kitanaku, an linging aji sundhari gama Artinya : Inilah kebiasaan pada hari-hari tertentu akan melaksanakan upacara keagamaan, sabda beliau Sang Hyang Suksma Licin, kepada Para Purohita, demi untuk kesejahteraan jagat raya, agar disampaikan sabda peraturan-peraturan-Nya kepada beliau yang memegang tampuk pemerintahan didunia, harus dilaksanakan oleh semua orang yang ada dibawah kekuasaannya supaya aman wilayah sang raja, sehingga mencapai masyarakat makmur sejahtera, karena melaksanakan hal-hal yang utama. Ini semua diterima oleh para dewa, demikian pula oleh Sanghyang Tiga Wisesa, Brahma Wisnu Iswara yang juga diutus oleh Sang Hyang Widhi Wasa (Siwa) untuk melaksanakan dharma; demikian perintah-Ku sabda Bhatara, Om putra-putraku semua purohita Siwa Sogata (orang-orang suci Siwa dan Budha) dengalah sabdaku, begitu tersebut dalam sastra Sundhari Gama. Pemujaan atau penghormatan kepada Sang Hyang Widhi Wasa dengan segala manifestasinya diselenggarakan dengan Yajna. Pelaksanaannya memiliki ketentuan pada hari-hari tertentu dalam lontar Sundhari Gama diatur menjadi 5 bagian yaitu : 1) Hari Raya/yajna dilakukan sehari-hari
Pemujaan dilakukan setiap hari(Yajna Sesa) : Surya sewana (pemujaan pada Hyang Surya waktu matahari terbit), persembahyangan Trisandya, Tapa Yajna, Yoga Yajna, Swadhyaya Yajna, Dhyana Yajna dll. 2) Hari Raya berdasar pertemuan Tri Wara dengan Panca Wara
1. Pemujaan pada tiaphari Kliwon pada Hyang Siwa (beliau sedang bersemedi) 2. Pemujaan patiap Kajeng Kliwon (15 hari sekali)pada Hyang Siwa dan segehan pada Sang Hyang Durga Dewi. 3) Hari Raya berdasar pertemuan Sapta Wara dengan Panca Wara
1. Anggora Kliwon (Anggoro Kasih) hari beryoganya Hyang Ayu, Hyang Ludra 2. Budha Wage (Budha Cemeng) hari beryoganya Sang Hyang Manik Galih menurunkan Sang Hyang Ongkara Amertha dibumi. Yajna untuk Sanggah Kemulan Pada Sang Hyang Sri Nini untu kemakmuran dunia. 3. Budha Kliwon untuk Sang Hyang nirmala Jati Sang Hyang Ayu 4. Saniscara Kliwon ditujukan pada Hyang Parameswara.
5. Untuk di Jawa Jum’at Kliwon (Sukra Kliwon) malam sebelumnya biasa untuk tirakat. 4) Hari Raya berdasar pawukon
1. Sinta * Soma Ribek (Soma Pon Sinta) utk Hyang Tri Murti (Hyang Tri Pramana) * Sabuh Mas (Anggara Wage Sinta) penyucian Dewa Mahadewa * Pagerwesi (Budha Kliwon Sinta) Peyogaan Hyang Pramesti Guru disertai Dewata Nawa Sangga b. Landep Tumpek Landep (Saniscara Kliwon Landep) penghormatan pada senjata Sang Hyang Pasopati c. Ukir Radite Umanis persembahan pada Bhatara Guru di Sanggal Kemulan d. Kulantir Anggara Kliwon Kulantir persembahan pada Bhatara Mahadewa e. Wariga Saniscara Kliwon Wariga, Tumpek Penguduh atau Pengatag, Pengarah Bubuh, untuk kemakmuran, persembahan kepada Sang Hyang Sangkara dan menghormati tumbuh-tumbuhan f. Warigadian Saniscara Pahing adalah penyucian Hyang Brahma g. Sungsang * Wrhaspati Wage (Pererebuan) turunnya semua Bhatara kedunia (Sugihan Jawa) Upacara pebersihan Bhuana Agung) * Sukra Kliwon (Sugihan Bali) manusia mohon pebersihan pada Bathara (Bhuana alit)
h. Dungulan Budha Kliwon Dungulan (Hari Galungan) peringatan tercintanya alam semesta seisinya dan kemenangan dharma melawan adharma. i. Kuningan * Redite Wage Kuningan (Ulihan) kembalinya bethara ke kahyangan * Soma Kliwon Kuningan (Soma Pemacekan Agung ) segehan agung pada Bhutakala * Budha Pahing Kuningan puja pada Hyang Wisnu * Saniscara Kliwon Kuningan (Hari Raya Kuningan) j. Pahang Budha Kliwon Pahang (Pegatwakan memuja para Dewa dan Hyang Tunggal k. Merakih Budha Wage Merakih (budha Cemeng Merakih) pemujaan kepada Bethara Rambut Sedhana penguasa artha, mas perak permata. 1. Uye Saniscara Uye (Tumpek kandang) penghormatan pada binatang pemujaan Sang Hyang Rare Angon m. Wayang Saniscara Kliwon Wayang (Tumpek Wayang) pemujaan pada Beethara Iswara 1. Watugunung Saniscara Kliwon Watugunung (Hari Saraswati) memuja Bethari Saraswati 1. Sinta Redite Pahing Sinta(Banyu Pinaruh)mohon air suci pengetahuan(D Saraswati) 5) Hari Raya berdasar Pasasihan
a. Purnama Tilem Pada bulan purnama Hyang Candra beryoga, pada waktu tilem Hyang Surya
beryoga, jadi purnama tileeem pensucian Sang Hyang Rwa Bhineda. Pada waktu gerhana bulan pujalah dengan Candrastawa, waktu gerhana matahari dengan Suryacakra Bhuanastawa. b. Sasih Kapat Purnama Kapat, Hyang Bhatara Paramaeswara (Sang Hyang Purusangkara) Beryoga diiringi para dewa maka pemujaan pada para Dewa. c. Sasih Kapitu Purwaning Tilem Kapitu hari Siwaratri, beryoganya Sang Hyang Siwa, umat Hindu dapat melaksanakan brata Siwaratri, mona brata, jagra dan upawasa d. Sasih Kesanga Tilem kesanga pensucian para Dewata dilakukan Bhuta Yajna yaitu Tawur Agung Kesanga sebagai tutup tahun Saka e. Sasih Kedasa Penanggal 1 atau bulan terang pertama Sasih Kedasa sebagai Hari Nyepi atau Tahun Baru Saka, turunnya Sang Hyang Dharma. Purnama Sasih Kedasa beryogalah Sang Hyang Sunya Amerta pada Sad Kahyangan Wisesa . 1. Sasih Sadha : Purnama Sadha memuja Bhatara Kawitan di Sanggah Kemulan TABEL DAFTAR HARI RAYA BERDASAR PAWUKONN0 Wuku Sapta wara Panca Wara Hari Raya 1. Sinta Radite Soma Anggara Buda
Pahing Pon Wage Kliwon Banyu Pinaruh Soma ribek Sabuh Mas Pagerwesi
2. Landep Saniscara Kliwon Tumpek Landep 3 Ukir Radite Buda Umanis Wage Persembahan Bhatara Guru Buda Cemeng Ukir
4. Kulantir Anggara Kliwon Anggara Kasih Kulantir 5 Tolu
6. Gumbreg
7. Wariga
8. Warigadian Budha Wage Budha Ceemeng Warigadian 9. Julungwangi Anggara Kliwon Anggara Kasih Julungwangi 10. Sungsang Wraspati Wage Sugihan Jawa/Parerebuan 11. Sukra Kliwon Sugihan Bali 12. Dungulan Anggara Wage Penampahan Galungan
Budha Kliwon Galungan 13. Kuningan Radite Soma
Sukra Saniscara Wage Kliwon Wage Kliwon Ulihan Pemacekan Agung Penampahan Kuningan Kuningan
14. Medangsia Anggara Kliwon Anggara Kasih Medangsia 15. Pujut
16. Pahang Budha Kliwon Pegatwakan 17. Krulut Saniscara Kliwon Tumpek Krulut 18. Merakih Budha Wage Budha Cemeng Merakih
19. Tambir Anggara Kliwon Anggara Kasih Tambir 20. Medangkungan
21. Matal Budha Kliwon Budha Kliwon Matal 22. Uye Saniscara Kliwon Tumpek Kandang 23. Menail Budha Wage Budha Cemeng Menail 24 Prangbakat Anggara Kliwon Anggara Kasih Prangbakat 25 Bala
26. Ugu Budha Kliwon Budha Kliwon Ugu 27. Wayang Saniscara
Kliwon Tumpek Wayang 28. 29. 30. Klawu Dukut Watugunung Budha Sukra Anggara Saniscara Wage Umanis Kliwon Umanis Budha Cemeng Klawu Wedalan Bhatara Sri Anggara Kasih Dukut Saraswati
C. Proses Perayaan Hari Raya /Hari Suci Oleh Umat Hindu di Indonesia
1. 1. Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka Hari Raya Nyepi atau Tahun Baru Saka sekarang dijadikan Hari Besar Nasional keagamaan seperti halnya Tahun Baru Masehi, tahun Baru Imlek, Tahun Baru Muharam. Hari Raya Nyepi dilaksanakan setahun sekali pada setiap Tilem IX (kesanga) atau bulan mati sekitar bulan Maret, ini merupakan pergantian tahun Icaka(Icaka Warsa).
Perkataan “Nyepi” artinya sunyi atau diam, yang maksudnya berdiam diri, menenangkan dirimembersihkan diri lahir batin untuk menyambut tahun baru berikutnya. Proses pelaksanaan Hari Raya Nyepi sebagai berikut : 1. a. Melasti Waktu
:
Melasti dilaksanakan tiga atau empat hari sebelum hari Nyepi.
Makna
:
Melasti atau Melis atau Mekiyis mempunyai makna pensucian
Tujuan
:
Mensucikan diri, mensucikan kembali symbol-simbol suci
keagamaan sebelum menyambut hari Nyepi. Tempat
:
Melasti untuk melaksanakn dilaut, danau atau mata air yang
Laut, danau atau mata air dianggap tempat Tirtha Amerta, Tempat Bethara Baruna sebagai manifestasi Hyang Widhi dalam aspek sebagai pelebur dosa malapetaka dan bencana. Pelaksanaan: semua Arca, Pratima, Nyasa atau Pralingga yang merupakan wujud atau Stana Hyang Widhi dan segala manifestasi-Nya diusung kelaut atau danau atau mata air untuk dihadapkan pada Hyang Baruna untuk disucikan Disamping itu juga memohon tirtha amertha untuk pensucian alam semesta seisinya, serta memohon dilinpah sari-sari kemakmuran supaya dilimpahkan .kepada umat manusia. b. Pecaruan (Bhuta Yajna)
Waktu
: pagi hari, sehari sebelum hari Nyepi
Makna
: menjaga keharmonisan hubungan manusia dengan bhuta kala
Tujuan
: Agar bhuta kala tidak menggaggu ketentraman manusia.
Tempat
: diperempatan jalan atau didepan rumah.
Pelaksanaan: memberi makanan kepada bhutakala ditanah depan rumah kemudian dibawa keperempatan atau pertigaan jalan
c. Pengrupukan
Waktu
:
Malam hari setelah pecaruan
Makna
: mengusir bhutakala ( kekuatan) yang membawa
Tujuan
:
malapetaka
Agar tidak ada gangguan dari bhuta kala dalam me-brata
Nyepi dan supaya tentra sejahtera ditahun yang akan datang Tempat
:
mengelilingi rumah atau kampong
Pelaksanaan: dengan membawa dupa, obor, mesui, tirtha pelukatan, sapu, tabu-tabuhan yang digunakan untuk mengusir dan bhuta kala membersihkan lokasi dan diantarkan sampai perempatan jalan. d. Nyepi
Waktu
: Tgl. 1 Icaka pada saat matahari terbit selama 24 jam.
Tempat
: Dirumah atau mencari tempat sepi
Makna
: Menyepikan diri, memadamkan api hawa nafsu.
Tujuan
: Agar dapat mengendalikan diri, untuk mendapatkan
ketenangan, kedamaian dan kebahagian. Pelaksanaan : Melaksanakan catur brata • • • •
Amati Agni (mati geni) : berpuasa dan tidak menyalakan api Amati Karya : tidak bekerja dapat dialihkan dengan baca kitab suci Amati Lelanguan : langu artinya indah, tidak menikmati keindahan Amati Lelungan : tidak bepergian.
e. Ngembak api
Sehari setelah Hari Nyepi disebuk Ngembak api, artinya menyalakan api kembali, ini juga disebut labuh brata, atau lebar puasa. Pada waktu ngembak api dapat dilaksanakan acara saling berkunjung ke sanak keluarga yang dengan atau tetangga untuk saling memaafkan. Selain itu dapat dilaksanakan Dharma Santi baik itu daerah atau secara nasional. 2. Hari Siwa Ratri
Siwa Ratri adalah malam renungan suci atau malam peleburan dosa untuk memperoleh pengampunan dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Hari Raya ini
dirayakan setahun sekali yaitu tiap “Punamaning Kapitu” (sekitar bulan Januari) yaitu sehari sebelum bulan mati (tilem). Pada hari Siwa Ratri ini umat Hindu hendaknya melaksanakn “Yoga Samadhi” semalam suntuk dengan tidak tidur, berpuasa semalam dan mempelajari Pustaka sici. Umat Hindu meyakini bahwa dengan mempelajari ajaran-ajaran suci dan taat melaksanakan akan mendapat pengampunan segala dosanya dari Tuhan Yang Maha Esa. Cerita mengenai hari Siwa Ratri terdapat dalam Pustaka “Lubdaka” karangan Empu Tanakung. 3. Hari Saraswati
Saraswati adalah hari raya untuk memuja Sang Hyang Widhi dalam kekuatannya menciptakan ilmu pengetahuan dan ilmu kesucian. Hari ini dirayakan tiap 210 hari sekali jatuh pada hari Sabtu Umanis Watugunung. Kekuatan Ida Sang Hyang Widhi sebagai pencipta ilmu pengetahuan ini dilambangkan dengan seorang “Dewi Saraswati” yang cantik , penuh keindahan, kelembutan, menarik, dan mulia inilah sifat ilmu pengetahuan dan sang “Dewi” membawa : 1. 2. 3. 4. 5. 6.
kecapi (alat musik) simbol seni budaya yang agung genitri, simbol kekekalan c. pustaka suci : simbol sumber ilmu pengetahuan d. duduk diatas bunga teratai symbol kesucian dihadap oleh angsa symbol kebijaksanaan yang membedakan baik dan buruk dan burung merak symbol kewibawaan
Pada hari ini umat Hindu menghormati pustaka (baik pengetahuan maupun pustaka suci) baik berupa membersihkan merapikan maupun membuat sesaji untuk Dewi Saraswati. Sehari sesudah itu pergi kemata air dengan mandi yang disebut banyu pinaruh (symbol weruh atau mendapat pengetahuan) 4. Hari Pagerwesi
Hari Pagerwesai adalah hari pemujaan pada Sang Hyang Widhi dengan prabawa Nya sebagai Sang Hyang Pramesti Guru yang sedang beryoga untuk kesentaosaan alam ciptaan-Nya diiringi oleh para Dewa. Umat Hindu hendaknya waktu ini menyucikan diri dan sembahyang untuk menerima sinar suci dari peyogaan itu demi kebahagiaan dan kesentaosaan hidup. Hari Pagerwesi jatuh pada hari Rabu Kliwon Sinta tiap 6 bulan/lapan (210 hari) sekali.. Umat Hindu pada saat ini dapat melakukan persembahyangan bersama atpun yang sudah mampu dapat melaksanakan yoga samadi. 5. Hari Raya Galungan
Hari Galungan adalah hari pawedalan jagat /diciptakannya alam semesta seisinya oleh Ida Sang Hyang WIdhi. Hari Galungan juga dapat diartikan hari kemenangan dalam
perjuangan antara dharma (kebenaran melawan adharma(ketidakbenaran). Dirayakan pada tiap Rabu Kliwon Dungulan (tiap 210 hari/6 bulan Bali/6 weton), dengan menghaturkan puja bhakti, menghaturkan terima kasih pada Tuhan beserta manifestasi-Nya Pelaksanaan perayaan hari Galungan, melaksanakan persembahyangan dengan menghaturkan sesaji sebagai ungkapan terima kasih pada Ida Sang Hyang Widhi beserta manifestasinya, bertempat di Pura atau dirumah. Sehari sesudah hari Galungan, umat bersama-sama menikmati sisa sesajian kemudian saling mengunjungi untuk beramah-tamah saling mendoakan keselamatan. 6. Hari Kuningan
Hari Kuningan datangnya tiap 210 hari sekali, setiap hari Sabtu Kiwon Kuningan yaitu 10 hari setelah Hari Galungan. Hari ini merayakan kembalinya para Dewa, Betara-Betari setelah menyaksikan dan menerima puja bakti umat yang menghaturkan terima kasih atas limpahan kasih Ida Sang Hyang Widhi berupa diciptakannya alam semesta seisinya. Umat Hindu pada Hari Kuningan dapan merayakan besama di Pura maupun dapat bersembahyang di tempat suci keluarga masing-masing dengan menghaturkan sesaji nasi kuning. DAFTAR PUSTAKA
Bangli, IB. Putu, 2004, Agama Tirtha & Upakara, Surabaya : Paramita. Bimas Hindu dan Budha, Dirjen, 2000, Manggala Upacara, Jakarta epartemen Agama RI Nala, Ngurah, 2005. Acara, Denpasar :. Program Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Program Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia ———————– Etika Hindu : Program Studi Magister Ilmu Agama dan Kebudayaan Program Pascasarjana Universitas Hindu Indonesia. Ida Pandita Mpu Jaya Wijayananda, 2003, Agem-Ageman Kepemangkuan, Surabaya : Paramita. Pendit, Nyoman S., Bhagawadgita, Denpasar : Dharma Bhakti. Puja, Gde, MA SH, 1973 Manawa Dharmasastra (Weda Smerti) Parisada Hindhu Dharma, 2002, Upadesa Tentang Ajaran Agama Hindu Denpasar. Sudirga Ida Bagus, dkk. 2007 Widya Dharma Agama Hindu, Ganesa Exact. Sudharta, Tjok Rai, 1993, Manusia Hindu Dari Kandungan Sampai Perkawinan, Denpasar : Yayasan Dharma Naradha.