DJOHAN SJAHROEZAH, MERAJUT JEJARING PERJUANGAN Irwansyah Nuzar, Rezza Aji Pratama, Adie Marzuki
DJOHAN SJAHROEZAH, MERAJUT JEJARING PERJUANGAN
Irwansyah Nuzar, Rezza Aji Pratama, Adie Marzuki Edisi Pertama buku ini diterbitkan dalam rangka Peringatan Hari Lahir Djohan Sjahroezah ke -‐ 100 © Pusat Inovasi & Kemandirian Indonesia Raya, Jakarta Cetakan Pertama 2012 Hak cipta dilindungi oleh undang-‐undang All rights reserved Pengantar : Agustanzil (Ibong) Sjahroezah, Rushdy Hoesein Editor Konten : Rushdy Husein, Imam Yudotomo Desain sampul PIKIR Institute Penerbit : PIKIR INSTITUTE Pusat Inovasi & Kemandirian Indonesia Raya Jl. Batu 1 No. A6 Pejaten Timur Pasar Minggu – Jakarta Selatan www.pikir.org ii
Daftar Isi Dari Penerbit
vi
vii X
1 5 11
14 15 17 22
Membangun Gerakan Bawah Tanah Mengorganisir Kaum Buruh Jejaring Revolusioner Marxis yang Bukan Komunis BAB III
27 33 35 39
Metamorfosis Wadah Perjuangan Kursus ala Marx House Membangun Partai Rakyat Sosialis Bergabung Untuk Bercerai Peletak Dasar Ideologi PSI
42 44 47 49 52
Kata Pengantar Oleh Agustanzil Sjahroezah Oleh Rushdy Hoesein Pendahuluan Lahirnya Nasionalisme Organisasi Klandestin Terbentuknya Ideologi BAB I Angin Perubahan dari Timur Politik Etis Sarekat Islam dan ISDV Transformasi SI Merah BAB II
iii
BAB IV Proklamasi dan Inisiatif Kaum Muda Upaya Propaganda Jepang Hari-‐hari Genting Proklamasi Peran Djohan di Surabaya BAB V
57 61 64 66
Jatuh Bangun Republik Dari Linggarjati Hingga Renville Pemberontakan Madiun BAB VI
72 77 81
Poros Revolusi Yogyakarta Pathuk, Kelompok Revolusioner Godfather Pathuk BAB VII
85 87 94
Konsistensi Kerakyatan Sosialisme Kerakyatan dan Komunisme Partai Kader dan Partai Massa Kader Tak Pernah Padam BAB VIII
96 99 102 106
Merintis Demokrasi Pemilu Bersih 1955 PSI dalam Pemilu 1955 Fase Demokrasi Terpimpin BAB IX
108 109 112 117
PRRI/PERMESTA, Dalih Pembubaran PSI
121
iv
Sumatera Memanas Rapat Rahasia Sungai Dareh PSI dan PRRI PSI Dibubarkan
123 125 127 130
Mentor Hingga Ujung Usia Dinamika Internal PSI Kematian Djohan Sjahroezah Daftar Pustaka Profil Penulis Tulisan-‐Tulisan Djohan Sjahroezah Sosialisme Kerakyatan dan Komunisme Sosialis— Komunis – Sosialis Demokrat Negara dan Partai Politik Foto Dokumentasi
136 139 143
BAB X
v
Dari Penerbit Pusat Inovasi dan Kemandirian Indonesia Raya (PIKIR) dalam kapasitasnya sebagai lembaga kemasyarakatan yang independen, mencanangkan program-‐program yang substansinya adalah membangun masyarakat yang Kolektif, Mandiri dan Humanis. Pembangunan ini difokuskan pada komunitas-‐komunitas dari berbagai bidang dan berbagai daerah, yang meliputi program pengayaan wawasan, peningkatan kualitas paham kerakyatan, acuan kemandirian dalam bersikap, serta ekonomi dengan sustainabilitas tinggi, dan oleh karenanya humanis. Namun yang utama dalam implementasi program-‐program tersebut adalah kesiapan mental serta pola pikir yang berlandaskan nafas kebangsaan serta menjunjung nilai-‐nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Untuk itu, instrumen yang dipersiapkan untuk keperluan pembangunan suprastruktur program mencakup: pendidikan kebangsaan, pemahaman ideologi dan pemahaman yang mendalam akan akar kearifan berdasar pengetahuan kesejarahan sebagai bangsa. Dalam konteks pemikiran tersebut, Divisi Inovasi PIKIR yang disebut PIKIR Institute, menginisiasi penerbitan sebuah buku yang dimaksudkan untuk membangun kesadaran sejarah dan kebangsaan, yang diperlukan dalam mengimplementasikan konsep-‐konsep kerakyatan yang oleh Penerbit dianggap sebagai suatu keniscayaan. Jakarta, November 2012 Tedy Tricahyono, Ketua Umum PIKIR
vi
Kata Pengantar Oleh : Agustanzil Sjahroezah Dengan memanjatkan puji syukur kehadirat Allah SWT, saya mengantarkan penerbitan buku perdana tentang Djohan Sjahroezah: "Merajut Jejaring Perjuangan". Penerbitan buku ini dalam rangka memperingati 100 Tahun Djohan Sjahroezah (26 November 1912—2 Agustus 1968), bukan untuk mengkultuskan dirinya, tapi merupakan upaya untuk menarik pelajaran dari perjuangannya bagi bangsa ini untuk berjuang dengan ikhlas, totalitas dan rela berkorban demi harkat dan martabat Bangsa. Djohan Sjahroezah sudah memasuki gerakan politik sejak duduk dibangku AMS pada 1930, dengan mengikuti kursus-‐ kursus politik yang diadakan Golongan Merdeka—orang-‐ orang yang tidak menyetujui pembubaran PNI—kemudian masuk menjadi anggota PNI -‐ Pendidikan (Pendidikan Nasional Indonesia). Sebagai mahasiswa RHS (Rechts Hoge School) , beliau masuk sebagai anggota PPPI (Perhimpunan Pelajar-‐Pelajar Indonesia) dan aktif menulis dalam majalah resmi PPPI Indonesia Raya. Karena tulisannya dalam Indonesia Raya beliau terkena ‘pers delict’ yang kemudian dikenai hukuman penjara satu hingga satu setengah tahun di Penjara Sukamiskin Bandung. Dengan dipenjarakannya, justru menjadi blessing in disguise, sehingga beliau tidak termasuk yang 'dibuang' ke Digul. Saat dipenjara, Bung Djohan sempat diuji oleh Professor Scheffer dari RHS dan lulus. Beliau tidak sempat menyelesaikan studinya di RHS karena tidak mau
vii
menandatangani perjanjian untuk tidak aktif berpolitik sebagai syarat untuk melanjutkan studinya di RHS. Setelah lebih dari setengah abad Indonesia merdeka, feodalisme masih merajalela di negeri ini, bahkan kini kapitalisme dan neo-‐liberalisme sedang menguasai perikehidupan kita. Maka sangatlah tepat usaha penerbitan buku tentang Bung Djohan ini. Dalam perjuangannya beliau selalu membangun solidaritas kemanusian di antara sesama pejuang. Beliau dikenal sebagai mata rantai dari setiap gerakan dalam revolusi Indonesia. Perjuangan yang dilakukannya dengan membangun kesadaran rakyat untuk melepaskan diri dari keterjajahannya dilakukan dengan hidup bersama kelompok-‐kelompok pejuang itu. Sudah saatnya—kalau tidak boleh dikatakan terlambat—bagi kita untuk menarik pelajaran berharga dari corak pergerakan perjuangan untuk kemerdekaan Indonesia yang dilakukan oleh para pejuang kemerdekaan di masa itu, yang menjalani perannya dengan penuh keikhlasan dan rela berkorban. Pada buku ini ditunjukkan totalitas perjuangannya Bung Djohan, yang dengan tekun dan rapi merajut jaringan perjuangan ke arah Indonesia merdeka. Bung Djohan adalah sosok pemimpin yang demokratis, humanis dan tekun dalam membina kader perjuangan, untuk menggalang persamaan cita-‐cita dan dukungan masyarakat untuk membangun suatu gerakan revolusioner mencapai kemerdekaan Indonesia. Dalam kehidupannya, ia tetap rendah hati sehingga sulit bagi kita untuk mendapatkan cerita tentang perannya dalam perjuangan kemerdekaan, kecuali melalui kawan-‐kawan viii
seperjuangannya. Pada 1980-‐an Bapak Darsyaf Rahman telah memulai menulis biografi Djohan Sjahroezah, dengan melakukan wawancara dengan berbagai tokoh seperti Adam Malik, Sri Sultan Hamengkubuwono IX, Cak Ruslan Abdulgani, Mr. Wilopo, Mr. Sjafruddin Prawiranegara, Soebadio Sastrosatomo, dan lain lain. Tapi sebelum buku tersebut selesai Bapak Darsyaf Rahman sudah dipanggil sang Khalik. Hingga kini naskah tersebut tidak diketahui keberadaannya, sedang semua narasumber tersebut sudah berpulang ke rahmatullah. Oleh karenanya penerbitan buku ini sangat dihargai. Dengan melakukan berbagai kajian dengan menggunakan buku-‐buku sejarah dan buku-‐buku yang ada, memuat tentang Djohan Sjahroezah sebagai referensi selain melakukan wawancara dengan orang-‐orang, yang masih sempat bertemu dan berhubungan dengan Bung Djohan buku dapat diterbitkan. Penghargaan yang tinggi patut diberikan kepada ketiga penulis: Irwansyah Nuzar, Rezza Aji Pratama dan Adie Marzuki yang mengambil inisiatif untuk menulis dan menerbitkan buku pertama tentang Djohan Sjahroezah. Semoga buku yang diterbitkan dalam rangka peringatan 100 tahun Djohan Sjahroezah ini akan menginspirasi munculnya sosok pemimpin dan pejuang yang berani, ikhlas dan rela berkorban demi kemajuan bangsanya. Amin. Jakarta, 26 November 2012
ix
Kata Pengantar Oleh : Dr. dr. Rushdy Hoesein, M.Hum Buku Djohan Sjahroezah, dengan judul “Merajut Jejaring Perjuangan” ini merupakan buku yang cukup lengkap menuturkan tentang riwayat hidup Bung Djohan Sjahroezah. Siapakah Bung Djohan Sjahroezah? Mungkin banyak yang belum mengenalnya. Beliau adalah salah seorang dari Pejuang Nasional Indonesia yang amat aktif dalam perintisan kemerdekaan Indonesia dan perjuangan Revolusi Kemerdekaan. Selain itu beliau juga tidak pernah absen dalam pembangunan Bangsa setelah 1950-‐an. Sejak muda beliau aktif dalam organisasi kepemudaan yang terkait bidang sosial politik. Selain sebagai anggota PPPI (Perhimpunan Pelajar Pelajar Indonesia) kemudian melanjutkan diri sebagai aktifis Pendidikan Nasional Indonesia (dikenal juga sebagai PNI baru), Bung Djohan adalah anggota Partai Sosialis bahkan menjadi Sekretaris Jenderal PSI (Partai Sosialis Indonesia) sampai PSI bubar. Dalam perjuangan Revolusi Kemerdekaan Indonesia 1945-‐ 1949 Bung Djohan adalah anggota Lasjkar Minyak yang aktif dalam pengorganisasian para pejuang Jawa Timur dan juga dalam gejolak medan pertempuran. Sampai saat ini banyak masih yang bersaksi kalau beliau merupakan salah satu konseptor dan mobilisator dari pertempuran antara pasukan Indonesia dan Inggris selama Oktober—November 1945 di Surabaya yang akhirnya salah satu harinya dikenang sebagai Hari Pahlawan 10 November 1945. Dalam teori ilmu sejarah, maka masalah kesejarahan lebih dilihat sebagai struktur bukan semata-‐mata hanya pada peristiwa. Banyak sudah kita mengenal epos revolusi yang
x
menggambarkan sebuah peristiwa, maka dengan pemahaman struktur sejarah, satu peristiwa revolusi dengan lainnya lebih mudah dimengerti dan dikaitkan. Bung Djohan adalah orang penting dari perubahan yang terjadi saat itu yang disebut dengan istilah ‘agent of change’. Nampaknya Bung kita ini sangat mengeri tentang Marxisme dibanding dari teman-‐teman dari Partai Sosialis lainnya. Keilmuan ini dimanfaatkannya dan diaplikasikannya dalam perjuangan melawan penjajahan di Indonesia. Pengamalan ilmu politik disampaikannya pada banyak orang yang kemudian tumbuh dan berkembang serta aktif di perjuangan politik lain. Salah satunya, antara lain, munculnya kader-‐kader baru yang mengaku adalah anak didik Bung Djohan seperti adanya. Ini diakui dan disampaikan oleh berbagai penulis sejarah seperti William H. Fredeerick 1 , Harry A. Poeze 2 maupun Rudolf Mrazek 3 . Demikian pula penulis Indonesia seperti Rosihan Anwar dan Djoeir Moehamad, secara jujur memaparkan dengan sangat objektif peran dan kegiatan Bung Djohan dalam pergerakan dan pembangunan Bangsa. Sungguh buku ini yang ditulis oleh Irwansyah Nuzar, Rezza Aji Pratama, Adie Marzuki dan diterbitkan oleh Pusat Inovasi & Kemandirian Indonesia Raya (PIKIR) serta diluncurkan pada peringatan 100 tahun kelahiran Djohan Sjahroezah pada 26 November 1912, pantas dibaca, dipahami dan dimanfaatkan oleh generasi muda sekarang maupun di masa depan. Jakarta, 26 November 2012
1 H.Frederick, William. Pandangan dan Gejolak. hal 207.
2 A. Poeze, Harry. Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia, hal 352.
3 Mrázek, Rudolf. Sjahrir: Politik dan Pengasingan di Indonesia, hal 429.
xi
PENDAHULUAN Lahirnya Nasionalisme Sampai dengan saat ini, arus besar perspektif sejarah mengenai terbentuknya nasionalisme di Indonesia, umumnya didasari atau mengacu kepada pemahaman sejarah pertumbuhan nasionalisme negara-‐bangsa di Barat. Keunikan proses historis yang berlangsung di Indonesia belum mendapat porsi fokus yang cukup, dan nasionalisme yang terlihat pada era seputar Proklamasi Kemerdekaan pada 1945 dianggap sebagai suatu kewajaran proses dalam sejarah. Faktanya, proklamator kemerdekaan kita, Bung Karno dan Bung Hatta merasakan keraguan besar ketika diminta mendeklarasikan terbentuknya Republik Indonesia. Mereka meragukan dukungan tujuh puluh juta lebih rakyat Nusantara pada saat itu, terhadap ide kemerdekaan sebagai Republik Indonesia, dan meragukan legitimasi proklamasi yang akan dilakukan. Pemerintahan Belanda yang merubah struktur dasar organisasi sosial orang Jawa dan beberapa daerah di luar Jawa, membuat organisasi ekonomi dalam masyarakat Nusantara yang memiliki sosiodiversifikasi beragam ini lebih komunalistis. Komunitas-‐komunitas di masyarakat berkembang dengan kesadaran ekonomi dan kedaulatan yang begitu rendah. Perpecahan kerajaan-‐kerajaan besar di Jawa maupun di daerah lain yang diinisiasi pemerintah Belanda, semakin mempertegas dinding-‐dinding etnisitas dan tribalisme di dalam masyarakat Indonesia. Pemilahan-‐ pemilahan masyarakat ke dalam komunitas-‐komunitas kecil yang dilakukan pemerintahan Belanda, membuat rakyat Nusantara tumbuh sebagai kelompok-‐kelompok kecil yang miskin wawasan, miskin ilmu dan terperangkap dalam pola pikir pasif serta apatis. Konsep negara-‐bangsa dengan teritori
1
mencakup seluruh kepulauan Nusantara, hanya dipahami secara samar oleh mayoritas penduduk saat itu. Kondisi bangsa pada saat itu, dimana dari total 73,3 juta populasi rakyat hanya tujuh persen yang mampu baca tulis, ide bernegarapun masih sulit diterima oleh rakyat umum. Mayoritas masyarakat belum benar-‐benar paham akan makna negara dari Sabang sampai Merauke yang berdaulat dan merdeka. Bukan hanya kendala wawasan, bahkan golongan terpelajar pun seperti menjauhi ide kemerdekaan dan pembentukan negara bangsa yang baru. Terlihat pada kasus organisasi Insulinde yang didirikan oleh Ernest Douwes Dekker, Dr. Cipto Mangoenkoesoemo dan Ki Hadjar Dewantara. Insulinde adalah perkembangan dari Indische Partij yang visinya adalah menyadarkan masyarakat dengan menghidupkan kembali harga diri, rasa mampu, dan rasa kebangsaan atau nasionalisme. Walaupun belum menembus seluruh lapisan masyarakat yang ada, ide tersebut mengalami proses bola salju sejalan dengan waktu. Pada 1919, Insulinde yang memiliki 40 ribu orang anggota, mencoba menunjukkan identitas kebangsaan dengan merubah bentuk organisasi menjadi Nationaal-‐Indische Partij atau NIP, tetapi aksi tersebut malah membuat organisasi ditinggal sebagian besar anggotanya. NIP berpendapat bahwa orang Hindia itu tidak hanya bumiputera saja, tetapi Indo-‐ Belanda, Indo-‐Cina, Indo-‐Arab dan orang-‐orang yang dilahirkan di Hindia atau yang menganggap Hindia sebagai tanah airnya. NIP merupakan partai pelopor yang berpikir dalam kerangka nasionalisme yang berbeda dari organisasi sejenis yang sejaman. Walaupun membawa kerangka berpikir yang ditabukan pada masanya, dan walaupun merupakan jawaban bagi rasa ketidakpuasan bangsa yang tertindas, ide
2
tersebut tidak mudah dicerna oleh setiap kelompok masyarakat sebagai suatu keniscayaan. Penyerahan Belanda yang tanpa syarat kepada Jepang di Kalijati, kabupaten Subang pada 8 Maret 1942, dari Jenderal Terpoonten di pihak Belanda kepada Jenderal Imamura dari pihak Jepang, meresmikan babak baru kolonialisme di Nusantara. Pemerintahan Jepang di Nusantara walaupun singkat, tetapi mampu membuat kondisi mental masyarakat bahkan lebih buruk lagi. Janji-‐janji Asia Timur Raya sempat membuai pola pikir pasif di masyarakat dan bahkan di segelintir elit yang sebelumnya menyuarakan perubahan dan perlawanan. Bahkan pemerintahan Jepang yang eksploitatif dan tidak berperikemanusiaan membuat kebanyakan rakyat menjadi sibuk bertahan hidup, dan hampir tidak mampu untuk memikirkan selain hidupnya sendiri serta keluarganya. Jepang yang semakin lama semakin berat mengimbangi serangan Sekutu, memang menjanjikan kemerdekaan kepada bangsa Indonesia, yang walaupun hal tersebut lebih terdorong oleh motif penggalangan dukungan, agar rakyat bersedia membantunya melawan Sekutu, namun hal tersebut sempat meredam gerak perlawanan di masyarakat yang sedikit itu. Periode ini hampir dapat dikatakan menghilangkan lapisan kelas menengah pribumi, yang sebelumnya cukup baik memimpin pergerakan sosial di masyarakat. Pemerintah Jepang membangun struktur masyarakat yang terdiri atas golongan timur asing, seperti China, India dan Arab. Golongan yang dipersamakan, terdiri dari orang Belanda dan keturunannya, orang Eropa lainnya, orang yang bukan bangsa Eropa tetapi telah masuk menjadi golongan Eropa. Dan terakhir adalah golongan Bumiputera, yaitu orang pribumi yang paling keras menerima dampak kolonialisme dalam
3
wujud terburuknya. Dalam konteks ini, argumen Bung Karno ketika menunda proklamasi dengan alasan kemerdekaan pasti diberikan oleh Jepang, dapat dianggap sebagai suatu sikap yang timbul akibat keraguan pada kesiapan serta antisipasi rakyat dalam menyikapi kemerdekaan. Karena pernyataan Bung Karno kepada Sjahrir di awal pendudukan Jepang, bahwa “Jepang adalah fasis murni yang harus dilawan dengan metode yang paling halus,” menunjukkan bahwa Bung Karno tidak berniat menerima janji kemerdekaan dari Jepang. Oleh karena hal-‐hal tersebut, Bung Karno sangat terkejut ketika proklamasi dapat disambut baik oleh mayoritas masyarakat, dan lebih terkejut lagi ketika organisasi-‐ organisasi di dalam masyarakat ternyata mampu menindaklanjuti proklamasi dengan aksi-‐aksi yang sistemik dan nasionalis secara menggebu. Kesiapan dalam mengantisipasi proklamasi kemerdekaan itu memang terlihat kematangannya. Dalam tempo yang singkat pemerintahan tersusun, dan masyarakat segera larut dalam euforia kemerdekaan, serta dengan mudah beradaptasi dengan negara-‐bangsa yang baru terbentuk. Mayoritas rakyat secara serentak menyikapi kemerdekaan dengan positif dan bersedia melakukan segala yang perlu, demi mempertahankannya. Perlu dicermati bahwa peralihan dari masyarakat yang pasif menjadi progresif ini bukan terjadi sekonyong-‐konyong. Adalah gerakan organisasi-‐organisasi bawah tanah yang tumbuh menjelang dan selama pemerintah Jepang, yang mengkondisikan sikap tersebut. Gerakan bawah tanah yang selama pendudukan Jepang secara aktif mengelaborasi perubahan sikap dan pemikiran dalam masyarakat, berhasil mengkondisikan kesiapan mental masyarakat yang telah terjajah selama beberapa generasi.
4
Organisasi Klandestin Gerakan organisasi bawah tanah mulai marak menggantikan perlawanan terbuka pada awal abad ke-‐20. Seiring dengan munculnya kaum intelektual pasca diterapkannya Politik Etis, gerakan bawah tanah bawah muncul secara sporadis dan konsisten. Walaupun gerakan bawah tanah tersebut lebih banyak berwujud kerangka berpikir yang revolusioner ketimbang gerilya bersenjata, namun militansi yang terbentuk atas dasar idealisme tersebut mampu menginspirasi kelahiran banyak pejuang-‐pejuang intelektual dari kalangan masyarakat menengah di Nusantara. Selama pemerintahan Jepang, ada empat gerakan bawah tanah yang berpengaruh besar terhadap berkembangnya rasa ketidakpuasan terhadap pemerintahan, juga penyebaran ide-‐ ide mengenai nasionalisme dan kedaulatan di dalam masyarakat. Ironinya, salah satu gerakan yang dipimpin oleh Amir Sjarifuddin dengan memanfaatkan jaringan Partai Komunis Indonesia bawah tanahnya, diinisiasi oleh pemerintah Belanda melalui Dr. Charles van der Plas. Organisasi ini meredup ketika Amir Sjarifuddin dan beberapa pimpinan lainnya tertangkap. Gerakan bawah tanah lainnya adalah Persatoean Mahasiswa, yang dengan aksi menentang serta mengkritik pemerintah Jepang secara terbuka mampu membakar semangat anti Jepang. Kekuatan gerakan bawah tanah berikutnya walaupun tidak terlalu luas jejaringnya, namun pengaruhnya cukup kuat karena beranggotakan orang-‐orang yang militan seperti Sukarni, Pandu Kartawiguna, Chaerul Saleh, Maroeto Nitimihardjo, dan didukung intelektual veteran pada saat itu, Tan Malaka. Kelompok-‐kelompok ini semuanya terkait secara khusus kepada gerakan bawah tanah yang lebih besar pimpinan
5
Sutan Sjahrir. Organisasi ini mampu mengembangkan cabang-‐ cabangnya secara luas di kota-‐kota besar di Jawa, Bali, dan Sumatera. Gerakan bawah tanah ini mengorganisir jejaring pemuda terpelajar, golongan buruh, sampai kaum tani yang berorientasi progresif revolusioner. Terdapat juga gerakan-‐ gerakan yang terlihat sporadis dari sekelompok pemuda terpelajar seperti yang dipimpin oleh Mohammad Natsir dan Sjafruddin Prawiranegara, yang turut menyebarkan ide-‐ide kedaulatan dan mengumpulkan informasi intelejen untuk dipergunakan oleh organisasi yang lebih besar. Para revolusioner ini umumnya berangkat dari kesadaran akan dominasi asing atas bangsanya, yang mendorong tumbuhnya keinginan yang semakin menguat akan kemerdekaan. Gerakan-‐gerakan bawah tanah ini walaupun secara jumlah sangat kecil prosentasenya dibanding total jumlah masyarakat Nusantara, namun mereka mampu menggalang dukungan dan menggugah kesadaran dalam masyarakat. Kegiatan bawah tanah ini mampu merasuk kedalam pemikiran masyarakat secara luas, menanamkan ide kedaulatan, membangkitkan dan menebar rasa ketidakpuasan terhadap pemerintahan kolonial, serta mendidik rakyat dalam mempersiapkan diri menghadapi kemerdekaan sebagai sebuah negara-‐bangsa. Inisiator gerakan ini umumnya kelas menengah yang sempat mendapatkan pendidikan formal di sekolah-‐sekolah Belanda. Gerakan mereka tidak menjurus perlawanan bersenjata, tetapi lebih bertujuan menggalang solidaritas dan memperteguh cita-‐cita perjuangan. Walaupun gerakan-‐gerakan tersebut terlihat berdiri sendiri-‐ sendiri, namun hasil besar yang mereka peroleh adalah akibat adanya sinergi yang didasari oleh keterikatan emosi dan visi yang kuat, antara satu kelompok dengan yang lain. Sinergi
6
yang diatur secara sistematis dan terkordinasi. Organisasi-‐ organisasi tersebut menginfiltrasi ke dalam PETA–organisasi Pembela Tanah Air–yang terdiri dari tentara Indonesia yang dipimpin oleh orang Indonesia dan mendapat pendidikan militer dari orang Jepang, dan organisasi-‐organisasi pemuda binaan Jepang dengan tujuan untuk memegang kendali di setiap unit-‐unit kunci melalui anggota-‐anggota yang dapat dipercaya, dan menggiring anggota-‐anggota lainnya justru ke arah anti Jepang. Mereka melakukan indoktrinasi ke dalam setiap unsur yang mungkin dimasuki. Tokoh-‐tokoh militan dari organisasi bawah tanah tersebut masuk ke dalam organisasi-‐organisasi semi militer seperti barisan pembantu polisi Keibodan, barisan pemuda Seinendan, organisasi perhimpunan wanita Fujinkai, organisasi siswa sekolah dasar dan menengah Seinentai dan Gakutotai, sampai ke Syuisintai, barisan pelopor yang dibimbing langsung oleh tokoh-‐tokoh nasionalis Indonesia seperti Bung Karno, Otto Iskandardinata, R.P. Suroso, dan lainnya. Hambatan besar bagi gerakan ini justru datang dari pribumi yang terbuai dengan kenaikan pangkat dan kenaikan status sosial ekonomi yang diberikan Jepang bagi mereka yang mengisi kekosongan administratif dan teknis level menengah. Infiltrasi juga masuk ke dalam organisasi-‐organisasi politik seperti gerakan propaganda Jepang dalam Perang Asia Timur Raya pimpinan Mr. Samsudin dan Shimizu, organisasi PUTERA (Pusat Tenaga Rakyat) dengan tokoh pemimpinnya “empat serangkai” yang terdiri atas Bung Karno, Bung Hatta, KH. Mas Mansyur dan Ki Hajar Dewantara. Mereka berhasil membelokkan orientasi organisasi tersebut secara signifikan dan justru memanfaatkan infrastruktur organisasi tersebut untuk membangun kekuatan daya tawar sebagai entitas
7
negara, ketika pasukan Sekutu yang diprediksi akan mampu mengalahkan Jepang datang ke tanah air. Mayoritas pimpinan organisasi pada saat itu tidak menghendaki kemerdekaan sebagai hadiah dari Jepang, selain dari aspek harga diri, juga meragukan legitimasi kemerdekaan tersebut. Karena Jepang semakin nampak sebagai pihak yang akan kalah perang. Pada saat itu, umumnya pimpinan gerakan bawah tanah sepakat mengenai prediksi Sjahrir tentang kekalahan Jepang dan datangnya invasi tentara Sekutu. Mereka sepakat untuk mengambil momentum datangnya tentara Sekutu pada saat vacuum of power dalam mengambil alih pemerintahan dari tangan Jepang dan memproklamasikan suatu negara baru. Dengan maksud tersebut, kelompok Sjahrir secara rutin dan kontinyu memonitor setiap peristiwa terkait peperangan Jepang melawan Sekutu melalui siaran radio luar negeri. Walaupun pada saat itu mendengarkan radio dilarang keras oleh pemerintah Jepang, Sjahrir secara konsisten menganalisa berita-‐berita dari radio Sekutu untuk mendapatkan peluang bergerak. Setiap informasi penting yang didapat biasanya diserahkan kepada Bung Hatta untuk disebarkan ke setiap lini gerakan. Pada masa ini, sifat gerakan adalah kombinasi dari kerangka pemikiran elit pimpinan dalam organisasi-‐organisasi bawah tanah dan laskar-‐laskar rakyat bersenjata yang bersifat lokal. Mereka tersebar di setiap tempat strategis dan memiliki ketua serta karakternya sendiri yang berbeda satu sama lainnya. Namun setiap jajaran dalam organisasi-‐organisasi atau kelompok-‐kelompok harus bersiap untuk merespon informasi dengan suatu aksi yang tepat. Untuk itu, sangat penting dilakukan koordinasi antar organisasi dan kelompok dengan baik dan cepat.
8
Konsolidasi antar organisasi tersebut diatur oleh seorang tokoh kunci bernama Djohan Sjahroezah. Dengan segala keterbatasan fasilitas komunikasi, Djohan Sjahroezah yang kerap dipanggil Bung John atau Bung Djohan oleh rekan-‐ rekan dekatnya, mengambil peran sebagai perantara utama dalam hubungan antarorganisasi bawah tanah tersebut. Kegiatan ini menjadi krusial karena kolaborasi dan komunikasi antar organisasi tersebut harus menghadapi Jepang sebagai penguasa dan sekaligus intelejen Sekutu yang masuk melalui pribumi yang termasuk binaan Belanda. Namun peran tersebut dapat dimainkan Bung Djohan dengan baik, karena sejak usia belasan di awal tahun 1930-‐an Djohan telah aktif bergerak secara klandestin dan menjalin jejaring dengan setiap kelompok dalam pergerakan. Aktivitas seperti penyebaran paham dan cita-‐cita kemerdekaan, baik dengan cara menyusun sel di berbagai tempat, maupun penyebaran siaran serta bacaan yang berguna bagi perjuangan menuju kemerdekaan, telah dilakukannya sejak mendirikan Pendidikan Nasional Indonesia atau yang dikenal sebagai PNI Baru, yang diketuai Soekemi. Pada saat itu, Bung Djohan yang baru berusia 19 tahun adalah sekretaris PNI Baru cabang Jakarta yang diketuai Sjahrir. PNI Baru yang kemudian berpindah pimpinan dari Soekemi ke Sjahrir adalah suatu organisasi yang mendasari aksi serta kegiatannya pada suatu pemahaman yang menganalisis kapitalisme, imperialisme dan munculnya fasisme yang saling melengkapi, serta berusaha untuk menempatkan rakyat Nusantara dalam suatu gambaran global sebagai penduduk dunia. Ketika Bung Hatta kembali dari Belanda dan mengambil alih kepemimpinan PNI Baru, Djohan bersama Maroeto Nitimihardjo dan Bung Hatta melakukan pengkaderan secara
9
rutin dan mendidik pemuda-‐pemuda mengenai politik dan kebangsaan. Kegiatan ini banyak mempertemukan Djohan dengan pemuda-‐pemuda progresif revolusioner yang menjadi kadernya. Mereka kemudian mendirikan atau bergabung dalam kelompok atau organisasi yang tersebar di penjuru Jawa dan Bali. Karena aktivitas inilah maka Djohan memiliki kader hampir di setiap kelompok, yang membuatnya menjadi simpul dari organisasi-‐organisasi bawah tanah. Pemahamannya yang mendalam akan Marxisme dan kedekatannya dengan tokoh-‐tokoh Islam dari Masyumi, membuat Djohan adalah satu dari segelintir orang yang dapat diterima oleh semua golongan. Sifat gerakan bawah tanah yang bekerja secara rahasia dan tertutup ini memiliki musuh utama berupa pengkhianatan dari dalam diri gerakan itu sendiri, serta organisasi-‐organisasi atau badan-‐badan kontra gerakan bawah tanah yang dibentuk oleh penguasa dimana gerakan bawah tanah tersebut beroperasi. Oleh sebab itu, gerakan bawah tanah ini sangat tertutup, dan akibatnya, narasi sejarahnya sulit ditemukan dalam literatur sejarah resmi, terutama yang ditulis dalam bentuk historiografi untuk kepentingan akademis. Keanggotaan gerakan bawah tanah ini bersifat sukarela dengan dasar militansinya adalah idealisme. Dalam hal ini, idealisme tersebut dapat berupa kecintaannya yang besar terhadap negaranya atau nasionalisme, maupun terhadap paham atau ideologinya, serta terhadap kebenaran tujuan gerakan atau organisasinya. Maka dari itu, kegiatan dari setiap anggota gerakan bawah tanah ini jarang bisa diungkap oleh siapapun, termasuk oleh rekan seperjuangan. Tertutupnya aktivitas bawah tanah tersebut dapat terilustrasikan dari kisah keluarga Bung Djohan yang mengeluhkan bahwa cerita yang dibawa ke
10
rumah hanyalah peristiwa-‐peristiwa kecil berkaitan tentang sifat rekan-‐rekannya. Bahkan yang sangat mengganggu bagi keluarga dekatnya adalah, Bung Djohan selalu memakai kalung dengan liontin berisi racun sianida, yang akan mencegah dirinya membuka informasi gerakannya jika dirinya sampai tertangkap musuh. Terbentuknya Ideologi Idealisme bagi Djohan adalah suatu pemikiran akan nilai kebenaran yang dipegang teguh. Seperti umumnya kelas menengah yang beruntung mendapatkan pendidikan sampai universitas, Djohan sempat mengenyam pendidikan tinggi di Recht Hoge School (RHS) Batavia, walaupun kemudian keluar tanpa sempat menyelesaikan pendidikannya karena ditangkap akibat kasus penulisan artikel di majalah Indonesia Raya yang mengkritisi pemerintah Belanda. Djohan juga mengikuti kursus-‐kursus mandiri yang diselenggarakan oleh Golongan Merdeka di berbagai kota. Ia memanfaatkan momentum perubahan akibat Politik Etis yang dilangsungkan pemerintah Belanda. Aspek pendidikan dalam Politik Etis membuka sebuah pintu tanpa bisa dibendung: informasi. Dalam era tersebut, terjadi peristiwa-‐peristiwa di dunia yang memicu zeitgeist atau semangat zaman yang baru, termasuk di Hindia Belanda. Kejayaan Turki yang goncang merangsang pembaruan dalam pemikiran Islam, reformasi Kwang-‐zu di China yang dampaknya terbawa oleh organisasi Tiong Hwa Hwe Koan memicu tumbuhnya semangat anti penjajahan, perang Boer di Afrika Selatan yang menginspirasi pemikiran bahwa penjajahan itu dapat dan harus dilawan, serta kemenangan Jepang atas Rusia yang memperlihatkan anggapan bahwa
11
bangsa Eropa tak terkalahkan itu salah. Dalam semangat jaman seperti itulah Djohan dibesarkan. Pada masa tersebut, dunia pers yang menyuarakan masalah politik semakin marak, seperti Retnodhoemilah yang diambil alih Wahidin Soedirohoesodo dari F.L. Winter di Surakarta, Medan Prijaji yang dipimpin R.M. Tirto Adhi Soerjo, harian Oetoesan Hindia dari Tjokroaminoto, Koran Api, Halilintar dan Nyala dari Semaoen, koran Guntur Bergerak dan Hindia Bergerak dari Suwardi Suryaningrat alias Ki Hajar Dewantara, Benih Merdeka dan Sinar Merdeka dari Parada Harahap, dan seterusnya. Sedikit pergeseran konstelasi politik Internasional dan terbukanya akses informasi tersebut memicu lahirnya pemikir-‐pemikir patriotik yang menginginkan perubahan dan kemakmuran. Pada era tersebut, gema revolusi Rusia, berkembangnya pemikiran seperti Leninisme, Trotskysme dan sosialis Eropa Barat seperti Eduard Bernstein serta Neo Marxist seperti Georg Lukács, Karl Korsch dan Antonio Gramsci, berkembang di kalangan intelektual progresif sebagai suatu keniscayaan. Pemikiran-‐pemikiran progresif dan revolusioner ini mengendap dalam benak Djohan muda, dan mengkristal sebagai suatu paham ideologis. Pemahaman akan perjuangan melawan kapitalisme, imperialisme dan fasisme melalui kegiatan intelektual dan pergerakan tersebut, menjadi dasar pemikiran ketika anggota-‐anggota PNI Baru yang masih hidup pada 1948, bersama-‐sama dengan orang yang sependirian keluar dari Partai Sosialis untuk mendirikan Partai Sosialis Indonesia. Bersama dengan Soegondo, Djohan merangkai ideologi partai tersebut dan mengembangkan suatu isme yang disebut dengan Sosialisme Kerakyatan. Pemikiran yang didasari pemahaman Marxisme murni yang disesuaikan dengan karakter serta kondisi demografis dan geografis
12
Indonesia, yang secara konsisten dan militan diterapkan dalam gerak perjuangan. Dalam Partai Sosialis Indonesia, Djohan terus membangun usaha ideologis dalam rangka membangun integritas bangsa, pendidikandan penempatan posisi Indonesia di dalam konstelasi politik global. Walaupun ide-‐ide Sjahrir memiliki arti yang penting bagi perkembangan ideologi dan program partai, namun Partai Sosialis Indonesia senantiasa mengandalkan pemikir bebas yang banyak mempengaruhi pemikiran sosial di dalam maupun diluar partai, seperti Djohan. Menurut Djohan, sosialisme yang dikembangkan oleh Partai Sosialis Indonesia telah secara seksama disesuaikan dengan kondisi-‐kondisi yang ada serta tumbuh di Indonesia. Interaksinya dengan para kader dari berbagai daerah, dan pada akhirnya, tersebar di berbagai wadah organisasi, membuat posisi sentral Djohan di kalangan aktivis tidak dapat dipungkiri. Buku ini membahas peran-‐peran dan faktor-‐faktor dalam tahun-‐tahun seputar kelahiran Republik Indonesia yang terlewatkan arus besar historiografi. Tim Penulis berusaha melukiskan konteks semangat jaman yang unik, dinamika isme-‐isme, dan pemikiran-‐pemikiran yang sejatinya mendominasi warna percaturan politik di Indonesia. Buku ini berusaha menutup lubang-‐lubang dalam catatan sejarah yang selama ini mengarahkan asumsi dan membentuk stigma atas suatu pemikiran, peristiwa, tokoh atau aktivitas, dengan pemanfaatan jejaring tua untuk risetnya.
13
BAB I ANGIN PERUBAHAN DARI TIMUR Sebuah peristiwa besar terjadi di Eropa, revolusi yang dipimpin oleh golongan Bolshevik telah menghapus kepemilikan borjuis atas alat-‐alat produksi, mengambil alih pabrik-‐pabrik, tanah, jawatan kereta api dan bank-‐bank menjadi milik seluruh rakyat dalam bentuk kepemilikan publik. Revolusi ini telah berhasil menancapkan kediktatoran proletariat dan menyerahkan pemerintahan kepada kelas pekerja untuk menjadi kelas penguasa. Dunia melihat bagaimana Partai Bolshevik telah mengantarkan sejarah umat manusia ke dalam suatu era baru yang revolusioner—yakni era proletar. Dunia mengamati dialektika sejarah bahwa Partai Bolshevik muncul dari kelompok-‐kelompok kecil berhaluan Marxis yang berkembang di Rusia pada 1880-‐an. Kaum Bolshevik mendapatkan pengikut dari kalangan pekerja. Mereka membangun hubungan yang intens dengan gerakan kelas pekerja dan menanamkan kesadaran sosialis pada gerakan tersebut. Mereka mengkampanyekan serta menyebarluaskan ajaran-‐ajaran Marxisme pada kalangan pekerja yang saat itu hidup dalam kemiskinan. Ketika pemerintah Rusia mengumumkan kebijakan memberhentikan sekitar 30 ribu pekerja di Petrograd pada 22 februari 1917, kalangan pekerja menyambutnya dengan pemogokan besar-‐besaran yang dipimpin oleh Aleksander FyodorovichKerensky—yang juga dikenal sebagai pemimpin kalangan Manshevik—menghasilkan mundurnya Tsar Nikolai II dari tahta Kerajaan Rusia pada 15 Maret 1917. Kemunduran Nikolai menyebabkan kekosongan kekuasaan, sehingga dibentuklah pemerintahan sementara oleh Duma sebagai
14
lembaga legislatif di era Tsar. Eksistensi pemerintahan sementara ini tidak diakui oleh kalangan kiri dewan pekerja dan prajurit Petrogad yang masih menginginkan bergulirnya revolusi. Kalangan kiri Rusia akhirnya kembali mengadakan aksi demonstrasi pada tanggal 3—4 Juni 1917, sehingga pemerintahan sementara rontok dan dibentuk pemerintahan koalisi kedua, dibawah pimpinan Kerensky. Tidak puas dengan perkembangan yang ada, atas prakarsa Lenin, dimulailah apa yang disebut Revolusi Oktober, yang sejatinya terjadi di bulan November menurut penanggalan Gregorian. Setelah mendapatkan kemenangan yang gemilang, kaum Bolshevik meresmikan berdirinya Republik Soviet Rusia pada 25 Januari 1918, yang kemudian berubah nama menjadi Russian Socialist Federative Soviet Republic pada 10 Juli 1918. Bolshevik menyusun beberapa kebijakan politik maupun ekonomi untuk memperbaiki keadaan negara akibat dari revolusi dan perang. Pemerintahan baru Bolshevik, mengumumkan program-‐ program yang akan mereka lakukan seperti menasionalisasikan seluruh bank swasta dengan bank milik pemerintah, nasionalisasi industri-‐industri besar, nasionalisasi tanah, serta pembentukan dewan pekerja yang mengontrol produksi dan pembagian pekerjaan yang akan menjalankan industri yang telah dinasionalisasi. Politik Etis Sukses besar ini tentu saja memberikan angin segar bagi kalangan pergerakan anti kapitalisme dan imperialisme di seluruh dunia. Ini juga yang dirasakan oleh anak bangsa di Nusantara yang sempat mengenyam pendidikan sebagai
15
dampak Politik Etis. Van Deventer yang menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda menerapkan Etische Politiek pada 1899 dengan motto “de Eereschuld” atau hutang kehormatan, dan dengan slogan “Educatie, Irigatie, Emigratie”. Prinsip yang diterapkan dalam politik etis adalah perlunya pendidikan dan pengetahuan Barat diterapkan sebanyak mungkin bagi pribumi. Bahasa Belanda diupayakan menjadi bahasa pengantar pendidikan dan pendidikan rendah bagi pribumi yang disesuaikan dengan kebutuhan mereka. Kemudian Pemerintah Kolonial membuat sekolah-‐sekolah yang bisa dimasuki oleh anak-‐anak pribumi seperti tingkat pendidikan dasar yang meliputi jenis sekolah dengan pengantar Bahasa Belanda, dan sekolah dengan pengantar bahasa daerah. Di tingkat selanjutnya ada sekolah peralihan, pendidikan lanjutan yang meliputi pendidikan umum, dan pendidikan kejuruan. Bagi mereka yang memiliki prestasi dan intelegensia tinggi diijinkan untuk mengenyam pendidikan tingkat tinggi di Belanda, atau di perguruan tinggi seperti Sekolah Tinggi Hukum, Sekolah Tinggi Kedokteran, serta Sekolah Ilmu Pemerintahan yang kesemuanya berada di Jakarta, dan Sekolah Tinggi Teknik khusus bidang ilmu bangunan air di Bandung. Kaum terpelajar pribumi lulusan sekolah tinggi saat itu jumlahnya tidak banyak, dan mereka pada umumnya terdiri dari anak-‐anak priyayi dan golongan menengah ke atas. Kebijakan yang dianggap sebagai balas budi atas “kemurahan hati” penduduk pribumi terhadap pemerintah ini, membuka peluang bagi anak-‐anak pribumi—dari kalangan priyayi atau kelas atas—untuk mengenyam pendidikan ala Belanda. Namun dibalik niat balas budi itu, sesungguhnya pemerintah Kolonial tengah mempersiapkan tenaga kerja profesional siap pakai yang lebih murah ketimbang mereka mendatangkan
16
dari Eropa. Tapi harus diakui kebijakan politik etis di kemudian hari justru memunculkan kesadaran baru di kalangan pribumi, yang mengakibatkan lahirnya kalangan terpelajar yang sadar bahwa mereka dijajah, dan pentingnya berhimpun untuk melawan penjajahan tersebut. Kelak, orang-‐orang yang paling keras melawan penjajahan Belanda justru berasal dari kalangan yang merasakan langsung dampak dari politik etis ini. Para pelajar Algemene Middelbare School (AMS) A ataupun AMS B, mahasiswa dari School tot Opleiding van Inlandsche Artsen (STOVIA), Opleiding School Voor Inlandsche Ambtenaren (OSVIA), Technische Hogeschool (THS), dan Rechts Hogeschool (RHS) inilah yang kemudian menjadi tokoh-‐tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia. Segelintir orang-‐orang tersebut yang memiliki kesadaran akan arti sebuah kemerdekaan yang harus diperjuangkan. Sarekat Islam dan ISDV Ketika kabar tentang Revolusi Kerensky sampai ke Hindia Belanda, pada Maret 1917 Sneevliet menulis artikel berjudul Zegepraal (kemenangan), yang menyanjung Revolusi Kerensky di Rusia: “Telah berabad-‐abad disini hidup berjuta-‐juta rakyat yang menderita dengan penuh kesabaran dan keprihatinan, dan sesudah Diponegoro tiada seorang pemuka yang menggerakkan massa ini untuk menguasai nasibnya sendiri. Wahai rakyat di Jawa, revolusi Rusia juga merupakan pelajaran bagimu. Juga rakyat Rusia berabad-‐abad mengalami penindasan tanpa perlawanan, miskin dan buta huruf seperti kau. Bangsa Rusia pun memenangkan kejayaan hanya dengan perjuangan terus-‐menerus melawan pemerintahan paksa yang menyesatkan. Apakah penabur 17
dari benih propaganda untuk politik radikal dan gerakan ekonomi rakyat di Indonesia memperlipat kegiatannya? Dan tetap bekerja dengan tidak henti-‐hentinya, meskipun banyak benih jatuh di atas batu karang dan hanya nampak sedikit yang tumbuh? Dan tetap bekerja melawan segala usaha penindasan dari gerakan kemerdekaan ini? Maka tidak bisa lain bahwa rakyat di Jawa, di seluruh Indonesia akan menemukan apa yang ditemukan oleh rakyat Rusia: kemenangan yang gilang-‐gemilang.”
Snevlieet menaruh perhatian yang sangat besar terhadap kemenangan Bolshevik, karena hal ini yang juga ia idam-‐ idamkan sejak masih di tanah airnya Belanda. Sebelum aktif membina golongan kiri di Indonesia, Sneevliet adalah mantan pimpinan Serikat Buruh Kereta dan Trem Nasional Belanda. Ia memulai perjalanan politiknya ketika dia bekerja sebagai buruh di sebuah pabrik di Belanda pada 1901. Snevlieet berada di Indonesia setelah mundur dari jabatannya akibat dari pergesekan dengan federasi buruh yang dikuasai oleh Pemerintah Belanda. Kedatangan Snevlieet di Hindia Belanda pada 1913, bertepatan dengan munculnya semangat berserikat di tengah masyarakat intelektual Nusantara. Sempat aktif menjadi sekretaris dari Handelsvereeniging (Asosiasi Buruh) di Semarang, Snevlieet akhirnya mendirikan ISDV (Indische Sociaal Democratische Vereniging) pada 1914. Kendati menggunakan nama “Indhische”, perkumpulan ini awalnya berisi orang-‐orang Belanda dan indo yang progresif. Keberadaan ISDV dengan pandangannya yang kiri, semakin tersiar berkat Koran Het Vrije Woord yang mereka terbitkan secara rutin. Pengaruh ISDV semakin luas terutama di kalangan buruh kereta api dan trem yang bernaung dibawah organisasi Vereniging van Spoor Tramweg Personal (VSTP).
18
Sementara di kalangan pemuda pribumi, ISDV menarik minat Semaoen, Alimin, dan Darsono. Darsono menulis di surat kabar Het Vrije Woord milik ISDV mengajak seluruh elemen rakyat melakukan pemberontakan dan mengibarkan bendera merah. Semangat tersebut bahkan mempengaruhi partai-‐partai yang dianggap moderat dan mau bekerja sama dengan pemerintahan kolonial seperti Boedi Oetomo, Insulinde, dan Sarekat Islam (SI) juga terbawa untuk ikut mendesak agar pemerintah Belanda menggantikan Volksraad menjadi parlemen pilihan rakyat. Baru setelah Gubernur Jenderal Van Limburg Stirum menjanjikan akan melakukan perubahan yang luas, tekanan dari kalangan pergerakan baik koperatif, maupun non koperatif, agak mereda. Snevlieet dan ISDV menilai tak mungkin mewujudkan cita-‐cita mereka sendirian, untuk itu kemudian ISDV mendekati organisasi-‐organisasi yang dianggap potensial untuk menancapkan pengaruh mereka. Secara regular Snevlieet sering bertemu dan berdiskusi dengan kalangan pergerakan di Indonesia, termasuk dengan H.O.S. Tjokroaminoto. Dari kunjungan-‐kunjungannya ke rumah H.O.S. Tjoroaminoto yang juga menjadi tempat indekos beberapa pelajar yang kelak jadi tokoh pergerakan di generasi selanjutnya—seperti Sukarno, Semaoen, Darsono, hingga SM Kartosoewirjo—membawa Snevlieet dekat dengan beberapa diantara pelajar tersebut, dan merekrutnya ke dalam ISDV. Keberhasilan mereka merekrut Semaoen, Darsono dan Alimin, ketiganya adalah pimpinan-‐pimpinan SI Semarang yang berhasil direkrut oleh Snevlieet. Mereka punya kesamaan pandangan, prinsip-‐ prinsip ideologi radikal dengan ISDV—yang kebetulan VTSP tempat dimana Semaoen bergabung telah menjadi bagian dari ISDV. Pada akhirnya perpecahan di tubuh SI tak
19
terelakkan, perpecahan antar sayap moderat dan sayap radikal. Efek dari perpecahan inilah kemudian dikenal sebagai SI Putih yang dipimpin H.O.S. Tjokroaminoto, H. Agus Salim dan Abdul Muis, serta SI Merah yang dikepalai oleh Semaoen dan teman temannya. Sementara Snevlieet sendiri kemudian terusir dari Indonesia sebagai bagian dari resiko aktivitas politiknya yang dianggap merongrong pemerintahan kolonial. Pada proses pengadilannya, Snevlieet membacakan pidato pembelaannya yang menjelaskan pokok-‐pokok pemikirannya tentang sosialisme secara ilmiah yang kemudian banyak menginspirasi pemimpin-‐pemimpin Indonesia kelak. Seperti pidato Bung Karno yang berjudul Indonesia Menggugat termasuk yang terpengaruh jalan pemikiran Snevlieet. Semaoen, Darsono dan Alimin membawa pengaruh ISDV ke dalam tubuh SI yang juga memiliki visi perlawanan terhadap pemerintahan kolonial. Lewat Semaoen, SI cabang Semarang yang memiliki anggota 20 ribu orang mulai diwarnai oleh ideologi Marxis. Bahkan bisa dikatakan dampak dari garis perlawanan terhadap kapitalisme yang begitu kuat membuat SI Semarang mulai bersebrangan dengan CSI (Central Sarekat Islam). Mereka mengkritik dan menentang keterlibatan SI dalam Volksraad. Tidak hanya di Semarang, pengaruh Snevlieet via Semaoen bahkan juga mempengaruhi daerah lainnya, seperti cabang rahasia dari SI Semarang di Jawa Barat yang disebut sebagai Afedeeling B yang didirikan oleh Sasrokardono pada 1917. Yang juga perlu dicatat adalah sepak terjang “Haji Merah” di Surakarta yang bernama asli Misbach. Haji Misbach sendiri pernah menerbitkan surat kabar Medan Moeslimin pada 1915 dan surat kabar Islam Bergerak di 1917 yang kemudian menjadi media propaganda yang menentang pemerintah
20
kolonial. Dalam tulisan-‐tulisannya Misbach sangat terbuka dan tidak peduli dengan siapapun. Melalui artikel di Medan Moeslimin atau Islam Bergerak, Misbach menyerang siapa saja yang berdamai dengan pemerintah kolonial, antipolitik dan antipemogokan, bahkan terhadap golongan Islam sendiri. Misbach pernah membuat kartun di Islam Bergerak edisi 20 April 1919, yang tidak disangsikan lagi penuh dengan kritikan terhadap pemerintah dan kalangan ningrat seperti Residen Surakarta serta Paku Buwono X, yang dianggap lebih membela Belanda ketimbang para kawula. Pemerintah Kolonial yang merasa khawatir akhirnya menangkap Misbach pada 7 Mei 1919. Karikaturnya yang memuat tulisan “Jangan takut, Jangan Khawatir”, dianggap dapat memprovokasi timbulnya kesadaran dan keberanian petani untuk mogok. Dalam pandangannya, Komunisme ala Marxis sejalan dengan Islam yang juga antipenindasan. Bagi Misbach sosok Marx adalah pejuang yang membela rakyat miskin dari bahaya kapitalisme yang bahkan telah merusak sendi-‐sendi agama, sehingga kapitalisme harus dilawan dengan historis materialisme ala Marx. Sebagai orang yang belajar agama dan aktif di pergerakan, Misbach melihat lembaga-‐lembaga Islam yang ada tidak memperjuangkan kepentingan umat yang rata-‐rata adalah golongan miskin. Sehingga ketika CSI mengalami perpecahan, Misbach berada di barisan SI merah. Semangat jaman yang penuh perlawanan tersebut juga terlihat di kalangan pelajar Nusantara di Eropa. Seusai perang dunia pertama 1918, pelajar dan mahasiswa Nusantara di Belanda yang berhimpun di organisasi Indische Vereeniging semakin banyak. Mereka datang dengan bayangan kemenangan Bolshevik atas kekuasan Tsar, sehingga perasaan nasionalisme, antikolonialisme, serta antiimperialisme di kalangan mereka semakin menonjol.
21
Kemudian pada 1922, Indische Vereeniging lebih diperkuat lagi dengan masuknya mahasiswa yang baru tiba dari Nusantara, seperti Subarjo Djojoadisurjo, Iwa Kusumasumantri, Muhammad Hatta, Ali Sastroamidjojo, dan Sunaryo. Mereka juga yang kemudian membuat Indische Veriniging menjadi lebih progresif dan memiliki tujuan politik ke arah Indonesia Merdeka, dan merubah nama menjadi Indonensische Veriniging, yang kemudian kembali berubah menjadi Perhimpunan Indonesia. Dengan demikian, Perhimpunan Indonesia semakin tegas bergerak di bidang politik. Asas perhimpunan Indonesia adalah “mengusahakan suatu pemerintahan untuk Indonesia, yang bertanggung jawab hanya kepada rakyat Indonesia, dan hal ini hanya dapat dicapai oleh bangsa Indonesia, tidak dengan pertolongan apapun”. Ide-‐ide perjuangan Perhimpunan Indonesia tidak hanya berhenti sampai di Belanda, melainkan juga disebarluaskan di Nusantara melalui mereka yang kembali setelah menyelesaikan studinya. Transformasi SI Merah Melalui aktivitas Semaoen dan SI merah yang kemudian menjadi Sjarekat Ra’jat ajaran-‐ajaran Marxisme meluas di Indonesia, terutama di kalangan buruh. Aktivitas yang terinspirasi pandangan Snevlieet ini, sejalan dengan pemikiran dari Leon Trotsky. Seperti yang dituangkan dalam karyanya Program Transisional, bahwa revolusi sosialis hanya bisa berjalan jika melibatkan kaum buruh yang perjuangannya dilakukan setiap saat, untuk memperbaiki nasib di bawah tekanan kapitalisme. Pengalaman buruh berhimpun dan berorganisasi dalam perjuangan inilah yang dianggap penting
22
bagi perlawanan terhadap kapitalisme. Para pelopor perjuangan tidak bisa hanya menjadi penceramah yang berjarak dengan massa buruh, melainkan harus ikut terlibat di dalamnya dan berjuang bersama. Dalam konteks inilah pada 1920, Semaoen dan Darsono mempelopori berdirinya PKI (Partai Komunis Indonesia) di Semarang sebagai lanjutan dari SI Merah. PKI juga meniru langkah Revolusi Bolshevik dengan melakukan mogok massal pada 1926. Mogok massal tersebut memicu perlawanan terhadap pemerintahan kolonial yang dimulai pada 12 November 1926 di Jakarta dan Banten, kemudian disusul di Priangan, Surakarta, Banyumas, Pekalongan, Kedu dan Kediri. Selanjutnya pada 1 Januari 1927 perlawanan berlanjut di Sumatera Barat. Perlawanan ini diikuti oleh massa rakyat Nusantara secara luas. Perlawanan ini seketika ditanggapi Pemerintah Hindia Belanda dengan tindakan tegas untuk menumpas. Akibatnya, mayoritas pimpinan PKI yang ada di Nusantara ditangkap dan dimasukkan ke kamp konsentrasi di Digul, Papua bersama dengan 823 anggota PKI, sementara sekitar 13 ribu anggota PKI lainnya diasingkan. Dan dengan demikian satu babakan baru dari sejarah Indonesia juga dimulai. Kegagalan PKI membuat pergerakan nasional di Nusantara semakin dibatasi, dan semua kegiatan yang menuju pada perlawanan terhadap kekuasaan kolonial diberangus tanpa ampun. Baru kemudian pada 4 Juli 1927 diadakan rapat mengenai pendirian PNI (Perserikatan Nasional Indonesia) yang dihadiri oleh Bung Karno, Tjipto Mangunkusumo, Soedjadi, Iskaq Tjokrohadisurjo, Budiarto dan Sunario, karena dianggap perlunya sebuah wadah baru bagi pergerakan nasional Indonesia. Disepakati, PNI bekerja untuk kemerdekaan Indonesia yang dapat dicapai dengan asas
23
percaya pada diri sendiri artinya memperbaiki keadaan politik, ekonomi dan sosial. Hal ini dicapai dengan kekuatan dan kebiasaan sendiri, antara lain dengan mendirikan sekolah, poliklinik, bank nasional, koperasi dan lain-‐lain. Kongres PNI pertama yang diadakan di Surabaya bertujuan untuk mengesahkan anggaran dasar, asas dan rencana kerja, serta menetapkan Bung Karno sebagai ketua dan Sartono sebagai bendahara. Melihat perkembangannya yang sangat cepat, pemerintah kolonial mulai merasa khawatir dengan PNI. Propaganda dari PNI secara tidak langsung telah menjadi ancaman serius bagi pemerintah sehingga harus diambil tindakan tegas. Di saat yang sama, beredar desas-‐desus yang kemungkinan dihembuskan oleh agen pemerintah sendiri bahwa PNI akan melakukan perlawanan. Maka pemerintah Belanda melakukan penangkapan atas Bung Karno, R. Gatot Mangkoepraja, Maskoen Soemadiredja dan Soepriadinata, ketika sedang menghadiri konferensi pembentukkan Indonesia Muda di Yogyakarta pada 29 Desember 1929. Berdasarkan keputusan Landraad Belanda di Bandung yang diambil pada tanggal 18 Agustus 1930, empat orang pemimpin PNI tersebut dimasukkan ke dalam penjara Sukamiskin di Bandung. Keputusan ini kemudian diperkuat oleh Raad van Justitie di Batavia yang mengukuhkan keputusan Landraad Bandung tersebut. Menyikapi keputusan Raad Van Justitie, PNI kemudian dibubarkan oleh anggotanya dan didirikanlah Partai Indonesia atau Partindo. Sayangnya keputusan ini tidak mendapat persetujuan dari semua tokoh PNI, bahkan mengalami pertentangan yang berujung perpecahan. Soedjadi Moerad, Bondan, Soekarto dan Teguh, dengan tegas menolak pendirian Partindo dan menginisiasi munculnya “Golongan Merdeka”.
24
Bung Hatta yang telah keluar dari Perhimpunan Indonesia menyayangkan pembubaran PNI yang ia anggap sebagai tindakan yang melemahkan pergerakan rakyat. Akhirnya Bung Hatta meminta agar Sjahrir pulang ke tanah air untuk membantu Golongan Merdeka. Bung Hatta meminta Sjahrir pulang terlebih dahulu, karena masa pendidikan Sjahrir masih panjang, sedangkan Bung Hatta sudah diakhir masa pendidikannya. Hingga pada tanggal 25—27 Desember 1931 sebuah konferensi diadakan di Yogyakarta untuk merampungkan penyatuan golongan-‐golongan Merdeka. Kelompok tersebut kemudian diberi nama Pendidikan Nasional Indonesia, atau yang dikenal sebagai PNI Baru, dengan Soekemi sebagai ketuanya dan Sjahrir sebagai pemimpin cabang Jakarta. Pada masa inilah banyak kader-‐kader muda perjuangan yang kemudian bergabung dengan PNI baru atau Partindo. Seperti Djohan Sjahroezah. Ketika dunia pergerakan Nusantara mengalami perpecahan dengan dibubarkannya PNI, Djohan masih terdaftar sebagai pelajar di AMS A di Batavia. Djohan muda kerap mengikuti kursus-‐kursus yang diadakan oleh Golongan Merdeka. Selain itu Djohan muda juga dekat dan belajar kepada H. Agus Salim yang kelak menjadi mertuanya. Ketika Sjahrir diangkat sebagai pengurus PNI Baru cabang Jakarta, Djohan diangkat sebagai sekretaris cabangnya. Kedekatannya dengan kegiatan politik, membuat Djohan berencana menempuh studi hukum di RHS Batavia. Djohan tumbuh dalam semangat jaman yang khusus. Seperti diceritakan sebelumnya, angin dari Eropa Timur berhembus kencang sampai ke seluruh penjuru dunia dan Nusantara. Setiap dari kaum intelektual yang berpikir progresif, mengidamkan pemikiran-‐pemikiran Marxis dan turunannya, yang membangkitkan semangat perlawanan dan membuka
25
kemungkinan-‐kemungkinan yang sebelumnya hanya dapat diangankan. Setiap pemikiran “kiri” yang muncul di media atau literatur lainnya, disantap oleh Djohan seperti layaknya pikiran yang kelaparan akan ide-‐ide revolusioner. Dari mulai Marx dan Engels, sampai pemikir Eropa Barat seperti Eduard Bernstein dan Antonio Gramsci, atau yang kontroversial seperti Trotsky, semua dicerna oleh Djohan dan menjadi acuan berpikirnya dalam berjuang. Jiwa revolusionernya seperti mendapat penyaluran yang seluasnya dalam gagasan-‐ gagasan sosialisme yang mewarnai jaman tersebut dengan pekatnya.
26
BAB II Membangun Gerakan Bawah Tanah Djohan Sjahroezah lahir di Muara Enim, Sumatera Selatan pada 1912. Meskipun lahir di Sumatera Selatan, Djohan sebenarnya memiliki darah Minangkabau. Dalam percaturan perjuangan bangsa, banyak tokoh penting yang kemudian terlahir dari “klik Minangkabau”. Dari golongan tua, nama H. Agus Salim muncul menjadi motor pergerakan pada era 1920-‐ an. Dalam perjalanan hidupnya, H. Agus Salim sempat menjadi Menteri Luar Negeri pada masa kabinet Amir Sjarifuddin. Minangkabau juga melahirkan tokoh radikal seperti Tan Malaka. Sosoknya tidak hanya dikenal karena kiprahnya dalam membangun golongan kiri Indonesia—tentu yang menarik adalah kisah pelariannya selama 20 tahun ke berbagai negara—tapi juga tulisan-‐tulisannya yang banyak menginspirasi golongan muda baik dari kalangan komunis maupun nasionalis. Pada generasi yang lebih muda, Bung Hatta yang merupakan tokoh proklamasi sekaligus tandem ideal Bung Karno juga muncul dari “klik Minangkabau” ini. Selain dua tokoh di atas, sosok Sutan Sjahrir tentu tak bisa dipinggirkan. Pengaruhnya merentang jauh sejak menjadi pengurus Perhimpunan Indonesia—organisasi mahasiswa Indonesia di Belanda yang didirikan pada 1908—bersama Bung Hatta, membangun jaringan bawah tanah pada masa pendudukan Jepang, hingga mengambil posisi sebagai Perdana Menteri pertama pasca Proklamasi. Dalam iklim Minangkabau yang erat dengan perjuangan pergerakan inilah Djohan dilahirkan. Meski hanya lebih muda tiga tahun dari Sjahrir, Djohan merupakan keponakan Sjahrir. Ibu Djohan yang bernama Radena adalah kakak tiri Sjahrir dari lain ibu. Ayah Djohan sendiri merupakan seorang pegawai di perusahaan minyak
27
Nederlandsche Koloniale Petroleum Maatschappij (NKPM) yang saat itu cukup besar di Palembang. Dengan kondisi ekonomi yang cukup mapan, Djohan dapat menikmati dunia pendidikan yang pada masa itu merupakan hal yang langka. Djohan mengawali pendidikannya di Europe Lager School di Medan yang merupakan sekolah dasar khusus untuk anak-‐ anak Eropa dan petinggi pribumi. Setelah itu, Djohan meneruskan pendidikannya di Bandung untuk mengenyam Sekolah Menengah Pertama di Meer UitgebreidLager Onderwijs (MULO). Lulus dari MULO, Djohan meneruskan sekolahnya di AMS A di Batavia. Saat bersekolah di AMS, Djohan menyewa sebuah rumah di Kampung Kober, Tanah Abang bersama Kwee Thiam Hong—seorang peranakan Tionghoa nasionalis yang menghadiri Kongres Pemuda II bersama Ong Kay Siang, John Liauw Tjoan Hok dan Tjio Jin Kwie—dan seorang pemuda Indo bernama Jan Panhuyzen yang bekerja di kantor telepon pusat di Koningsplein Noord, Weltevreden yang sekarang Lapangan Gambir. Sejak muda, Djohan sudah menaruh perhatian lebih terhadap perjuangan kemerdekaan. Persentuhan pertama Djohan dengan dunia politik bisa dibilang dimulai pada 1927. Seperti yang diceritakan oleh Kwee Thiam Hong dalam harian Sinar Harapan edisi 13 Desember 1981, saat itu Perserikatan Nasional Indonesia (PNI) pimpinan Bung Karno sedang gencar-‐gencarnya melakukan propaganda-‐propaganda politik di setiap tempat. Di Batavia, rapat diadakan di Gedung Orion Glodok. Pembicara yang hadir saat itu adalah pemimpin-‐ pemimpin tua seperti H.O.S. Tjokroaminoto, H. Agus Salim serta A.M. Sangadji. Pidato-‐pidato yang membangkitkan semangat perjuangan itu dihadiri sekitar 1200 orang. Pada saat itu diperlukan siasat untuk Djohan dapat ikut belajar. Meskipun hanya pemuda dengan usia minimal 17 tahun yang
28
dapat mengikuti rapat, Djohan yang saat itu baru berusia 15 tahun menyamar dengan memakai celana panjang longgar sehingga sukses mengikuti rapat tersebut. Sejak mengikuti kegiatan tersebut, minat Djohan untuk mengikuti perkembangan perjuangan semakin besar. Djohan sangat rajin menghadiri berbagai ceramah, diskusi, kelompok studi, debat dan tentu saja rajin membaca buku. Dengan demikian, semangat perlawanan Djohan semakin terasah. Pada pertengahan 1928, Djohan bersama Kwee Thiam Hong sempat mendirikan Jong Asia. Peristiwa ini terjadi sebelum Djohan pindah ke Palembang untuk meneruskan kelas tiga MULO. Saat itu Djohan meminta Kwee Tiam Hong, Muhidin dan Achmad Mochtar untuk memimpin Jong Asia cabang Jakarta. Sementara ia sendiri akan mendirikan cabang Palembang. Jong Asia memang tidak berumur panjang. Namun organisasi ini sempat mengadakan Kongres Pemuda Asia di Hotel Merdeka, Yogyakarta pada 6 Oktober 1946. Pada masa-‐masa itu, tidak banyak tokoh-‐tokoh muda yang memilih jalur nonkoperasi terhadap Belanda. Djohan adalah salah satunya. Pasca dijatuhkannya vonis terhadap empat pimpinan PNI, perpecahan muncul diantara kader-‐kadernya. Sartono dan kawan-‐kawan memilih untuk mendirikan Partai Indonesia (Partindo). Sementara golongan Soerjadi Moerad memilih untuk mendirikan kelompok diskusi Golongan Merdeka. Selepas lulus dari AMS, Djohan Sjahroezah juga sempat melanjutkan pendidikannya di RHS untuk mengambil gelar meester yang merupakan gelar sarjana hukum saat itu. RHS merupakan sekolah hukum bergengsi yang dibuka pada 1912. RHS telah berhasil menelurkan tokoh-‐tokoh penting seperti Wilopo, Mohamad Roem, Sjafroeddin Prawiranegara, Anak Agung Gede Agung dan lain-‐lain. Sayangnya, keterlibatannya
29
dalam pergerakan menentang Belanda saat itu memaksa Djohan mengorbankan kuliahnya. Pada saat Djohan berusia 20-‐an itulah, ia mulai terjun pada aktivitas pergerakan nasional. Selain aktif dalam kegiatan diskusi-‐diskusi bersama Golongan Merdeka, Djohan juga terlibat pada saat Golongan Merdeka berubah menjadi PNI Baru. Djohan muda banyak belajar dari PNI Baru ini. Sebagai partai kader yang mengedepankan pendidikan politis bagi para kadernya, Djohan ditempa agar menjadi pemuda progresif revolusioner. Meski turut aktif dalam dunia politik, Djohan tidak melupakan pendidikannya. Pada masa itulah ia menjalani aktivitasnya di PNI Baru sekaligus studi hukum di RHS Batavia. Bibit-‐bibit sosialisme yang dibawa Hatta dan Sjahrir dari negeri Belanda sangat kental terasa di PNI Baru. Organisasi ini bersifat kritis terhadap pemerintah kolonial sehingga pergerakannya sangat dipantau. Djohan Sjahroezah saat itu merupakan salah satu kader PNI Baru yang cukup militan. Bersama Bung Hatta dan Maroeto, Djohan secara rutin mengadakan kursus-‐kursus politik bagi pemuda-‐pemuda yang berusia dibawahnya. Peserta-‐peserta kursus tersebut kemudian tersebar di segenap penjuru baik dalam organisasi-‐ organisasi perlawanan, maupun dalam organisasi-‐organisasi yang koperatif dengan kolonial. Dalam kursus-‐kursus tersebut, Djohan membagikan apa yang telah dibacanya mengenai ideologi atau ilmu-‐ilmu kenegaraan. Materi-‐materi yang disiapkan dengan cara cetak stensil, disusunnya berdasarkan apa yang pernah dibacanya, maupun didapatnya dari kursus-‐kursus yang pernah diikutinya. Militansinya menemui ujian pada saat impian Djohan Sjahroezah untuk meraih gelar meester harus pupus saat ia dipenjara pada 1933. Sebagai kader PNI Baru, Djohan sering menulis di Daulat Ra’jat yang merupakan media kampanye
30
PNI Baru. Sikap kritis dipadu dengan sisi intelektual yang menonjol membuat tulisan-‐tulisan Djohan sering membuat gerah pemerintah kolonial. Selain aktif di PNI Baru, Djohan juga merupakan anggota dari Perhimpunan Pelajar-‐Pelajar Indonesia (PPPI) yang saat itu dipimpin oleh Wilopo. Oleh karena itu, Djohan juga cukup aktif menulis di Indonesia Raja yang memang menjadi corong organisasi PPPI. Salah satu artikelnya yang cukup pedas adalah saat ia mengecam keras setiap bentuk kerjasama dengan pemerintah kolonial. Atas dasar artikelnya tersebut, Djohan pun ditangkap oleh serdadu Belanda dari batalion 10. Saat itu, Djohan dan beberapa kawannya baru saja pulang dari rumah Bung Hatta di Jalan Oranje Boulevard yang saat ini menjadi Jalan Diponegoro. Hakim yang menyidang Djohan, pada awalnya adalah Mr. Dr. Koesoema Atmadja yang kemudian digantikan oleh Mr. Kiveron. Hakim Belanda inilah yang kemudian menjatuhkan vonis satu setengah tahun penjara kepada Djohan Sjahroezah. Sebelum akhirnya dipindahkan ke penjara Sukamiskin Bandung, Djohan sempat ditahan di penjara Struyswijkstraat yang sekarang disebut penjara Salemba. Penahanan ini sempat membuat berang sang ayah. Meskipun dikenal sebagai pengamat politik dalam dan luar negeri, sang ayah menganggap dipenjarakannya Djohan Sjahroezah sebagai aib bagi keluarga. Reaksi yang berbeda justru tampak pada sang ibu, Radena, yang terlihat semakin radikal dengan dipenjarakannya Djohan. Atas campur tangan dari H. Agus Salim, Djohan akhirnya bisa dikeluarkan dari penjara. H. Agus Salim saat itu meminta bantuan dari Abdulkadir Widjojoatmodjo yang merupakan orang kedua setelah Letnan Gubernur Jenderal H.J. van Mook.
31
Satu cerita unik saat Djohan berada dalam penjara, adalah kedatangan Professor Scheffer, seorang guru besar dari RHS ke penjara untuk menguji Djohan Sjahroezah. Meskipun sebagai tahanan, Djohan berhasil melewati ujian ini dengan sempurna. Sebenarnya Djohan masih diberikan kesempatan untuk meneruskan studi hukumnya di RHS. Saat dibebaskan pada awal 1935, oleh pihak kolonial Djohan disodorkan surat perjanjian untuk tidak lagi terlibat dalam semua kegiatan pergerakan. Tanpa memperdulikan nasib pendidikannya, Djohan justru menolak menandatangani perjanjian tersebut sehingga ia tidak diperkenankan untuk melanjutkan studinya di RHS. Satu setengah tahun di penjara Sukamiskin rupanya tidak membuat Djohan Sjahroezah kapok berjuang. Setelah gagal menyelesaikan studi hukum di RHS, Djohan memilih bergelut pada ranah jurnalistik. Ranah yang pernah membuatnya diciduk pemerintah kolonial. Saat itu, Djohan bekerja pada Kantor Berita dan Biro Iklan Arta. Kantor berita ini dimiliki oleh seorang Belanda bernama Samuel de Heer yang mempersiapkan tulisan-‐tulisan feature untuk kemudian dikirim ke Belanda. Kurang lebih setahun Djohan berkecimpung membantu Samuel de Heer di Kantor Berita ini. Saat bekerja di kantor berita Arta, Djohan memainkan perannya sebagai penghubung para pejuang di seluruh Nusantara. Sebagai pegawai di kantor berita milik orang Belanda, surat-‐surat atas nama Djohan Sjahroezah tidak disensor oleh pemerintah kolonial. Oleh karena itu, banyak tokoh-‐tokoh gerakan bawah tanah yang memanfaatkan nama Djohan Sjahroezah untuk saling berkorespondensi satu sama lain. Dengan memakai nama Djohan inilah surat-‐surat mereka tidak disensor. Termasuk surat-‐surat dari kelompok-‐
32
kelompok pergerakan yang ditujukan kepada Bung Karno di pembuangannya di Bengkulu. Menurut catatan Rudolf Mrazek, pada pertengahan 1936 Djohan juga sempat menjadi editor jurnal baru Ilmoe dan Masjarakat yang memuat tulisan dari Hatta, Sjahrir dan H. Agus Salim. Jurnal ini pada dasarnya merupakan kelanjutan dari jurnal Masjarakat yang dibangun oleh T.A. Moerad. Uniknya tiga tahun kemudian jurnal Ilmoe dan Masjarakat diambil alih penerbit Negara, yang menurut Adam Malik, merupakan penerbitan milik Partai Republik Indonesia (PARI) pimpinan Tan Malaka. Berbekal pengalaman di Arta inilah Djohan melakukan sebuah terobosan dalam dunia jurnalistik di Nusantara. Bersama Adam Malik, Maroeto Nitimihardjo dan Pandu Kartawiguna, Djohan mendirikan Kantor Berita ANTARA pada 13 Desember 1937 yang berkantor di Kebon Jahe Tanah Abang. Secara konsisten, ANTARA saat itu menjadi corong pemberi informasi bagi rakyat Hindia Belanda. Dengan demikian, boleh dibilang Djohan Sjahroezah juga merupakan salah satu peletak dasar pers Indonesia. Mengorganisir Kaum Buruh Perubahan hidup Djohan Sjahroezah terjadi saat ia menikahi Violet Hanifah, anak ketiga dari H. Agus Salim pada 1937. Sebagai kepala keluarga, Djohan dituntut untuk memenuhi kebutuhan sehari-‐hari bagi rumah tangganya. Aktivitasnya di bidang jurnalistik ditinggalkan untuk kemudian bekerja pada perusahaan minyak Shell di Tarakan Kalimantan Timur. Di perusahaan minyak inilah Djohan mulai terlibat dalam aktivitas bawah tanah. Bersama buruh-‐buruh lainnya, ia mencoba mendirikan serikat buruh. Konsekuensinya, Djohan
33
pun dipecat dari pekerjaannya tak lama setelah ia mulai bekerja. Peristiwa ini membuat Djohan lebih berhati-‐hati dalam berjuang. Pengalamannya dipenjara akibat tulisannya pada 1933 serta pemecatannya saat berusaha menghimpun kekuatan buruh membuat nama Djohan Sjahroezah cukup buruk di mata pemerintah kolonial. Hal inilah yang kemudian memaksa Djohan bergerak di bawah tanah. Untuk membiayai kehidupanya, Djohan mengandalkan sokongan dana dari adiknya, yang bekerja di Nieuw Guinea Petroleum Maatschapij milik Belanda. Sementara itu, perubahan politik secara nasional terjadi di Nusantara. Pasukan Jepang dari Asia Timur yang masuk gelanggang Perang Dunia II turut mengincar Hindia Belanda. Hanya dalam waktu singkat, kolonialisme Belanda yang sudah ratusan tahun berkuasa di Nusantara tumbang oleh fasisme Jepang. Perubahan ini tak ayal cukup berpengaruh bagi pola gerakan kaum bawah tanah. Kantor berita ANTARA yang dirintis oleh Djohan Sjahroezah dan Adam Malik pun akhirnya dikuasai Jepang pada 1943. Begitu pula dengan perusahaan minyak Shell yang juga dikuasai Jepang. Perubahan ini juga dimanfaatkan oleh Djohan Sjahroezah. Saat itu, salah seorang anggota PNI Baru yang bernama Soedjono bekerja sebagai kepala bagian personalia pada cabang Shell di Surabaya yang bernama Bataafse Petroleum Maatschappij (BPM). Atas campur tangan dari Hatta, Djohan pun memasuki dunia kerja di Surabaya dengan misi utama mendirikan kerangka organisasi bagi anggota-‐anggota PNI Baru yang berdomisili sampai di Cirebon, Priangan dan Yogyakarta. Di Surabaya ini, Djohan bergerak dengan sangat hati-‐hati. Ia menyadari antisipasi Jepang terhadap kegiatan yang dianggap sabotase dan aktivitas gerilya buruh bisa
34
berdampak buruk bagi pergerakan politik saat itu. Bermodal eksperimennya di Tarakan, Djohan mulai dekat dengan kalangan buruh minyak di Cepu dan Wonokromo, Jawa Timur. Salah satu keberhasilan Djohan dalam menginfiltrasi kaum buruh minyak adalah saat ia berhasil mendistribusikan minyak-‐minyak ke kalangan pribumi. Sebelumnya, minyak-‐ minyak ini selalu digunakan hanya untuk kepentingan Jepang. Tak hanya membangun jaringan di kalangan buruh, Djohan juga dikenal dekat dengan Darmawan Mangunkusumo dan Ruslan Abdul Gani dari Komite Angkatan Muda di Surabaya serta PKI bawah tanah yang digerakkan oleh Amir Sjarifuddin. Djohan juga mengadakan kontak dengan Sukarni dari kelompok Menteng 31 di Jakarta. Di Surabaya, Djohan Sjahroezah dan orang-‐orang di sekitarnya dikenal dengan sebutan Kelompok Djohan Sjahroezah. Jejaring Revolusioner Fenomena kemunculan kelompok studi Asrama Angkatan Baru memang cukup menarik untuk dibahas. Di Batavia era itu, asrama-‐asrama tidak hanya menjadi tempat menginap para mahasiswa dari luar Jakarta, tapi sekaligus sebagai pusat-‐pusat studi. Benedict Anderson mengindentifikasi tiga asrama yang pada masa itu cukup progresif menggelar kelompok-‐kelompok diskusi. Pertama, asrama mahasiswa kedokteran di Prapatan 10. Kedua, Asrama Indonesia Merdeka di Jalan Bungur Besar yang didirikan oleh Laksamana Maeda. Ketiga, Asrama Angkatan Baru di Menteng 31. Asrama-‐asrama ini menjadi ajang bagi para intelektual muda untuk saling belajar dan memupuk nasionalisme. Tokoh-‐tokoh muda seperti Soekarni, Wikana
35
maupun Chaerul Saleh lahir dari kelompok intelektual ini. Dengan demikian, langkah Djohan Sjahroezah yang terus menjalin hubungan dengan Asrama Angkatan Baru turut berpengaruh terhadap proses perkembangan intelektual pemuda progresif revolusioner. Hubungan antara Djohan Sjahroezah dan para pemuda revolusioner Jakarta ini digambarkan oleh Des Alwi dalam bukunya “Pertempuran Surabaya November 1945” dengan singkat namun jelas. Menurut Des Alwi, Soekarni sering mengunjungi Asrama Maspati di Surabaya yang merupakan tempat berkumpulnya kelompok Djohan Sjahroezah. Kedekatan Soekarni dengan Sjahrir dan Hatta turut membuat hubungannya dengan Djohan cukup intens. Selain Soekarni, terdapat juga beberapa pemuda dari berbagai daerah seperti M.L. Tobing dari Bandung, Dimjati dari Solo, Dayino dari Yogyakarta dan lain-‐lainnya. Dalam membangun jaringannya, Djohan tidak mengutamakan taktis semata, seperti umumnya pergerakan pada saat itu. Ia mengutamakan aspek politis jangka panjang untuk masa depan. Dengan demikian, bisa dikatakan Djohan membangun pondasi bagi organisasi-‐organisasi gerakan bawah tanah. Karena aktivitasnya, Djohan Sjahroezah dikenal luas di kalangan gerakan Nusantara kala itu. Kedekatannya dengan berbagai kelompok membuat Djohan mendapat posisi khusus, baik di kalangan komunis maupun kalangan nasionalis. Peranan penting yang dimainkannya ini tak lepas dari pengetahuan yang luas tentang teori revolusi. Djohan Sjahroezah dikenal sebagai salah satu dari sedikit orang pada saat itu, yang menguasai konsep Marxis. Djohan sering berfungsi sebagai doktriner, ideolog sekaligus ahli strategi dan siasat revolusi, yang membuatnya menjadi mitra yang saling melengkapi bagi Sjahrir. Dalam pergerakannya,
36
Djohan Sjahroezah memilih jalur nonkoperasi, yang menimbulkan konsekuensi bagi Djohan dan kawan-‐kawan untuk bergerak di bawah tanah. Aktivitas-‐aktivitas yang dibangun oleh kelompok Djohan Sjahroezah ini berdampak secara tidak langsung terhadap munculnya semangat perlawanan di kalangan pemuda saat itu. Saat tokoh-‐tokoh pergerakan nonkoperasi diasingkan ke Pulau Buru, organisasi-‐ organisasi pergerakan banyak yang kemudian seperti ayam kehilangan induk. Dalam tekanan yang sangat ketat dari pihak Jepang, kelompok Djohan Sjahroezah menjadi sokongan penting bagi aktivitas pergerakan di dalam organisasi-‐ organisasi pada masa-‐masa genting tersebut. Terdapat tiga kelompok pergerakan bawah tanah yang secara aktif menentang fasisme Jepang. Mereka adalah kelompok Sjahrir, kelompok mahasiswa dan kelompok Amir Sjarifuddin. Meskipun menjadi bagian dari kelompok Sjahrir, kelompok yang dibangun Djohan Sjahroezah sebenarnya memiliki karakter tersendiri. Peranan yang dimainkan kelompok Djohan Sjahroezah, diilustrasikan dengan singkat namun jelas oleh J.D. Legge dalam bukunya Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan -‐ Peranan Kelompok Sjahrir: “Djohan Sjahroezah merupakan tokoh yang kurang sekali mendapat perhatian dari para penelaah nasionalisme Indonesia. Di dalam kelompok PNI (Merdeka) dan kelak di masa penduduk an Jepang dan revolusi, ia merupakan tokoh yang sama pentingnya dengan Sjahrir. Sebenarnya, orang dapat berbicara tentang kelompok Djohan Sjahroezah yang khas dan tersendiri, yang sedikit banyak dibentuk secara mandiri olehnya, walaupun bersilangan dengan kelompok yang mengitari Sjahrir di Batavia dan bertumpang tindih dari segi keanggotaannya. Anggota kelompok Sjahroezah mungkin Iebih beragam dibandingkan dengan anggota-‐ anggota kelompok Sjahrir, dan dalam beberapa hal kelompok
37
ini dapat dipandang sebagai sebuah organisasi bawah tanah yang lebih efektif.”
Meski memegang peranan yang cukup menonjol terutama pada era kekuasaan Jepang, nama Djohan Sjahroezah kurang familiar dalam sejarah kebangsaan Indonesia. Gerakannya yang bersifat klandestin membuat aktivitas Djohan tidak cukup banyak disinggung dalam narasi sejarah. Namun, tak dapat dipungkiri saat tokoh-‐tokoh nasionalis semisal Bung Karno dan Bung Hatta dianggap sebagai kolaborator Jepang, aktivis bawah tanah seperti Djohan lah yang menjadi aktor utama pergerakan nasional era Jepang berkuasa. Kedekatannya dengan berbagai kalangan membuat Djohan berperan sebagai simpul organisasi-‐organisasi dari berbagai daerah. Penting untuk dicatat, pada masa itu janji-‐janji Jepang yang mengaku Saudara Tua cukup untuk membuat rakyat Indonesia terbuai. Orang-‐orang seperti Djohan lah yang mempertahankan kesadaran rakyat untuk terus memperjuangkan kemerdekaan. Peran Djohan sebagai pengatur gerakan-‐gerakan bawah tanah yang terpecah-‐pecah ini disebut oleh George McTurnan Kahin dari Cornell University dalam bukunya Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia: “Di samping itu, perlu disebutkan juga pribadi yang mengagumkan, Djohan Sjahroezah, seorang Minangkabau yang berlatar belakang pendidikan cukup dan berusia sekitar 30 tahun. Sambil bekerja sebagai sekretaris Hatta, pada tahun 1942-‐1943 ia mengatur hubungan dengan keempat organisasi bawah tanah lainya dan menjadi perantara utama dalam hubungan mereka. Djohan punya hubungan yang istimewa dengan gerakan bawah tanah Sjahrir, dan menurut Adam Malik, pernah bersama-‐sama Sukarni memegang kelompok tersebut.”
38
Untuk memantapkan jaringannya guna mendukung gerakan pemuda di luar Jakarta, Djohan banyak mendelegasikan dan berkolaborasi dengan tokoh-‐tokoh muda. Di Makasar misalnya, ia menugaskan Andi Zainal Abidin untuk membangun gerakan pemuda di sana. Sementara di Semarang, ia percayakan pada M.L. Tobing untuk memonitor jawatan Telekomunikasi. Juga di daerah-‐daerah lain seperti di Garut, Cirebon, Malang, Dampit, Denpasar, dan daerah lainnya. Djohan juga dekat dengan sosok Tan Malaka, seperti terlihat ketika pada hari-‐hari awal November 1945, Tan Malaka berada di Surabaya atas ajakan dari Djohan Sjahroezah. Walaupun kemudian Djohan menugaskan kepada Des Alwi untuk memindahkan Tan Malaka ke tempat yang lebih aman saat Surabaya berkobar. Marxis yang Bukan Komunis Djohan dekat dengan kalangan komunis, sosialis dan nasionalis sekaligus. Meskipun di kemudian hari ia identik dengan kalangan sosialis, Djohan merupakan pribadi unik karena secara pemikiran ia menguasai teori-‐teori Marxis, sehingga banyak bersinggungan dengan gerakan buruh dan kaum komunis. Dalam konteks acuan berpikir dan analisa, Djohan Sjahroezah adalah seorang Marxis. Namun ia tidak terjebak pada komunisme yang selama ini dianggap sebagai anak tunggal dari Marxisme itu sendiri, walau menurut pandangannya, Marxis memang pisau analisis yang tajam untuk membedah borok kapitalisme. Dalam tulisannya yang berjudul Sosialisme Kerakyatan dan Komunisme, Djohan membedakan antara sosialisme dan komunisme meski terlahir dari rahim yang sama, ajaran Karl Marx dan Engels. Ia percaya sepenuhnya pada ajaran Marx
39
dan Engels bahwa sosialisme bertujuan untuk mencapai tatanan masyarakat baru dimana tidak terdapat lagi penindasan dan penghisapan satu sama lain. Sehingga manusia bisa hidup dengan sejahtera demi kemajuan masyarakat. Hanya saja, Djohan tergolong orang yang menganggap jalan untuk menuju cita-‐cita sosialisme bisa ditempuh dengan berbagai cara. Dan ia memilih jalan sosialisme kerakyatan yang diyakininya sebagai solusi atas penghisapan dan penindasan masyarakat Indonesia. Di akhir tulisannya, Djohan Sjahroezah menyatakan : Kalau kita kembali pada cita-‐cita Marx Engels dimana manusia, persamaan dan hubungan antara manusia, penghapus penindasan dan segala kekuasaan golongan menjadi inti dari pada ajarannya, maka segala sesuatunya itu tidak bertemu di dalam pemerintahan diktaktor kaum proletar yang hampir 2 angkatan (generasi ) manusia menguasai segala hidup dan kehidupan manusia Soviet Rusia itu. Menurut ajaran Marx Engels sendiri, tidak cuma satu jalan yang menuju sosialisme dan pasti tidak cuma kaum bolsjevik itu, yang juga sudah di akui oleh pemimpin-‐ pemimpin Moskow baru-‐baru ini.
Dalam membangun ideologi sosialisme kerakyatan, pemikiran Djohan banyak dipengaruhi oleh pemikiran revisionisme Eduard Bernstein, tokoh penting yang merevisi ajaran-‐ajaran Karl Marx pada saat Internasional II. Pada perkembangan selanjutnya, kaum Marxis terpecah menjadi golongan Komunis dibawah komando Partai Komunis Rusia, serta golongan Sosial-‐Demokrat Eduard Berstein yang banyak berkembang di Eropa Barat. Kemenangan kaum Sosial Demokrat pada pemilu di Eropa semakin meneguhkan keyakinan bahwa sosialisme bisa ditempuh dengan jalan demokratis dan parlementer. Meskipun hampir di semua
40
tempat di dunia, kaum sosial-‐demokrat selalu bertentangan dengan kaum komunis, Djohan justru tidak demikian. Dengan pemahaman Marxisme-‐nya, Djohan dapat memahami arah pergerakan kaum komunis. Meskipun secara pribadi ia mengecam pola internasionalisme ala Moskow, Djohan tetap berkolaborasi baik secara perjuangan maupun secara personal dengan kelompok komunis. Selain terpengaruh pada pemikiran Bernstein, Djohan juga terinspirasi dari sosok Leon Trotsky, yang merupakan lawan politik dari Stalin. Trotsky mengkritik habis birokrasi Uni Soviet ala Stalin yang dianggap sangat bobrok. Trotsky dengan teori “Revolusi Permanen” berpendapat bahwa revolusi sosial harus dijalankan untuk menghancurkan kapitalisme. Ia juga menyatakan untuk mencapai tahap sosialisme, Uni Soviet juga harus memastikan bahwa revolusi sosial tidak terisolasi di Uni Soviet semata, tapi juga harus menyebar ke berbagai negara. Atas pemikirannya inilah Trotsky justru dianggap mengkhianati Marxisme untuk kemudian diasingkan oleh Stalin. Menurut cerita keluarga, Djohan bahkan sempat menamai anak pertamanya dengan nama Trotsky sebelum kemudian diganti.
41
BAB III Metamorfosis Wadah Perjuangan Sama seperti tokoh perintis kemerdekaan yang lain, Djohan Sjahroezah juga bergerak di segala lini perjuangan. Sebagai seorang milisi, Djohan juga ikut mengangkat senjata di lorong-‐lorong sempit di Surabaya bersama kelompoknya. Menurut sejarawan Rushdy Husein, Djohan bukanlah tipikal orang yang berpangku tangan. “Djohan juga ikut berperang di Surabaya, kelompoknya memiliki peranan yang penting dalam peristiwa perobekan bendera Belanda.” Seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya, Kelompok Djohan Sjahroezah di Surabaya berintikan barisan buruh minyak yang tergabung dalam Serikat Buruh Minyak yang telah diorganisir oleh Djohan, yang berkoordinasi dengan Bung Hatta. Di mulai dari buruh di pabrik minyak Bataafse Petroleum Matschappij yang merupakan cabang dari Shell di Surabaya, hingga mereka yang bertugas di sumur minyak di Krakah, Lidah, Wonokromo, Nglobo dan Wonosari, serta di kilang minyak Cepu. Untuk melancarkan tugasnya membangun kesadaran para buruh, Djohan menggunakan kedekatannya dengan para personalia pabrik minyak untuk menempatkan sejumlah pemuda rekrutannya, yang dianggap sudah memiliki kesadaran revolusi sebagai pengawas di sumur-‐sumur minyak—tentu saja sekaligus menjadi sel utama gerakannya. Kelak, Serikat Buruh Minyak yang didirikannya merupakan organisasi serikat buruh minyak pertama dalam sejarah Republik Indonesia dan menjadi inti dari Sentral Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). William Frederick dalam bukunya “Pandangan dan gejolak : Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia” menulis :
42
Di bekas Perusahaan Minyak Batavia dan sejumlah perusahaan lain yang berkaitan dengan minyak di Surabaya, tokoh pergerakan yang terkenal, Djohan Sjahroeza mulai berkeliling secara diam-‐diam untuk membicarakan tujuan politik aktivis pra perang, dan secara berhati-‐hati membagi rasa tidak puas terhadap Pemerintahan jepang. Sjahroezah yang punya hubungan dekat dengan Sutan Sjahrir, salah seorang pendiri apa yang disebut ‘PNI Baru” pada tahun 1931, dan yang pada masa awal pendudukan menjadi sekretaris Mohammad Hatta, berusaha mencari orang-‐orang dengan usia pertengahan dua puluhan ke atas dengan latar belakang pendidikan setingkat MULO ke atas, serta mengenal kegiatan politik apapun bentuknya. Tidak ada organisasi formal yang dibentuk, terutama mungkin karena hal ini cenderung menarik perhatian Jepang yang tak diinginkan. Dan kelompok ini tetap hidup berdasarkan pada apa yang bisa dilukiskan sebagai persahabatan emosional dan intelektual secara longgar.
Memang kader-‐kader utamanya saat itu adalah buruh minyak, tapi Djohan selalu memberikan kesadaran bahwa tujuan mereka tidak berhenti hanya pada persoalan buruh dan kesejahteraan mereka saja. Perjuangan mereka lebih diarahkan pada perlawanan terhadap penjajahan untuk mencapai sebuah kemerdekaan sejati bagi Indonesia. Tangan dingin Djohan dalam melakukan pembinaan nantinya akan menghasilkan banyak kader yang militan. Lewat kursus-‐ kursus politik yang diadakannya, para buruh minyak menjadi sadar bahwa lepas dari cengkraman kolonialisme dan kapitalisme untuk mencapai kehidupan yang lebih baik adalah tujuan utama dari perjuangan itu sendiri.
43
Kursus ala Marx House Seperti yang diungkapkan oleh Des Alwi “Sejumlah tokoh perjuangan selalu datang berkunjung, semisal Soekarni, Soemarsono, dan Soejono. Mereka memberikan ceramah politik. Seperti yang aku lihat, banyak dokter dan petugas kesehatan yang ikut dalam organisasi bawah tanah pimpinan Bang Djohan, terutama yang kebetulan bekerja di rumah sakit untuk merawat karyawan perminyakan Wonokromo.“ Djohan memang tidak membatasi dirinya hanya pada golongan buruh, di rumah Sidik dilorong dekat Jalan Embongmalang, Djohan kerap mengumpulkan kader-‐kadernya untuk berdiskusi. Djohan juga dikenal dekat dengan Darmawan Mangunkusumo dan Ruslan Abdul Gani dari Komite Angkatan Muda di Surabaya serta PKI bawah tanah yang digerakkan oleh Amir Sjarifuddin. Dalam memberikan kesadaran bagi para kadernya, Djohan kerap mengumpulkan mereka dalam kelompok diskusi terbatas yang membahas ekonomi-‐politik, sejarah evolusi masyarakat—sosiologi yang berdasar materialisme-‐historis— dan filsafat yang berakar pada dialektika materialisme, sejarah gerakan buruh sedunia, sejarah gerakan Komunis Internasional, nasionalisme dan anti-‐imperialisme di negara-‐ negara jajahan, dan masalah manajemen organisasi. Materi-‐ materi diskusi seperti ini dianggap penting untuk mendidik para kader perjuangan agar tidak menjadi orang pergerakan yang membabi buta tapi minim pemahaman ideologis. Memang dalam periode-‐periode ini Marxisme dianggap sebuah pandangan yang wajib dimiliki oleh siapa saja yang aktif dalam ruang pergerakan. Maka tak aneh jika kemudian banyak bertumbuhan kelompok-‐kelompok diskusi yang membahas dan membedah Marxisme sebagai sebuah jalan menuju masyarakat tanpa penindasan dan penjajahan. Dan
44
lazimnya kelompok-‐kelompok diskusi ini disebut sebagai “Marx house” atau tempat belajar pandangan dan pemikiran Marx bagi para pejuang pergerakan. Bukan hanya golongan kiri, Marxisme juga menjadi bahasan wajib bagi semua kalangan yang berpikiran progresif, bahkan beberapa orang berlatar belakang organisasi keagamaan juga mengikuti diskusi-‐diskusi bertemakan Marxisme. Tidak hanya itu, sepertinya Jepang pun melihat betapa signifikannya peranan kelompok-‐kelompok diskusi atau Marx House ini. Bagaimanapun juga, bagi Jepang tentu lebih baik membiarkan atau bahkan mendorong tumbuhnya Marx House yang membahas Marxis sebagai sebuah tesis melawan kapitalisme—yang diidentikkan dengan Eropa. Karena dengan demikian pemikiran Marxis pada masyarakat bisa dimanfaatkan dalam kerangka Perang Asia Raya melawan sekutu. Lagipula, dengan membiarkan dan bahkan memfasilitasi Marx House, Jepang lebih mudah mengontrol atau sekedar mengawasi kelompok-‐kelompok yang dianggap potensial menjadi penentang pemerintahan Dai Nippon. Hingga masa awal kemerdekaan, dari sekian banyak Marx House yang muncul di Republik Indonesia, yang paling besar dan menonjol adalah Marx House yang diadakan di Padokan, Yogyakarta. Kursus Marxisme yang diadakan di bekas gedung administrator Pabrik Gula Madukismo, Padokan, sebelah selatan Yogyakarta ini menjadi rujukan bagi semua golongan kiri di seluruh wilayah Republik. Marx House ini diselenggarakan oleh aliansi organ gerakan, partai politik, organisasi pemuda, wanita, buruh dan tani yang berhaluan sosialisme. Peserta kursus di Marx House ini dibagi dalam angkatan-‐angkatan yang akan belajar dalam asrama tertutup selama dua bulan. Untuk menjadi peserta, para perwakilan organisasi buruh, pemuda, partai politik, tani, dan wanita ini
45
tidak dipungut biaya sama sekali. Justru selama masa pendidikan mereka diberikan makan dan tempat tinggal yang memadai untuk mendukung proses belajar yang berlangsung selama tujuh hari dalam seminggu dan empat jam di pagi hari dan empat jam di sore hari, dengan waktu-‐waktu tertentu untuk studi bersama dan diskusi bahan pelajaran. Banyak nama-‐nama tokoh yang disebutkan terlibat dalam Marx House Padokan ini, karena penyelenggaraannya yang bersifat kolektif lintas organisasi. Semua golongan kiri, baik dari PKI Ilegal, Kelompok Amir Sjarifuddin dan yang pasti Kelompok Sjahrir, dimana Djohan Sjahroezah termasuk di dalamnya. Sebagai pengajar dan pembimbing, dalam berbagai catatan muncul nama Alimin, Sardjono, Sjahrir, Amir Sjarifuddin, Setiadjit, Maruto Darusman, L.M. Sitorus, Tan Ling Djie, dan Djohan Sjahroezah yang memang kerap mendidik kader perjuangan pergerakan bawah tanah dengan pemikiran-‐pemikiran sosialis sejak era PNI Baru di masa kolonial Belanda. Dari Marx House Padokan inilah banyak muncul kader golongan kiri yang nantinya terfragmentasi dalam berbagai kelompok sesuai dengan kedekatannya masing-‐masing. Ketika kelak Djohan memilih untuk bersama Sjahrir membentuk Partai Sosialis Indonesia (PSI) berpisah dengan kalangan komunis, banyak kadernya—baik era bawah tanah maupun Marx House—yang justru bergabung dengan kelompok Amir Sjarifuddin dan kemudian menjadi PKI. Dengan demikian gesekan yang terjadi antara barisan PSI dengan golongan Amir dan PKI sebenarnya tidak begitu banyak mempengaruhi hubungan Djohan dengan kader-‐ kadernya. Banyak dari kalangan Komunis muda yang masih tetap rajin berkunjung ke kediaman Djohan untuk sekedar berbincang-‐bincang.
46
Membangun Partai Rakyat Sosialis Ketika Bung Hatta mengeluarkan Maklumat Wakil Presiden no. X pasca revolusi kemerdekaan berdasarkan usulan dari Badan Pekerja KNIP, yang berbunyi supaya rakyat diberikan hak seluas-‐luasnya untuk mendirikan partai-‐partai politik, dengan ketentuan partai-‐partai politik tersebut memperkuat perjuangan Republik Indonesia dalam mempertahankan kemerdekaan dan memperjuangkan keselamatan rakyat, kalangan pergerakan segera menyambutnya dengan mendirikan partai-‐partai politik sesuai dengan kelompok dan ideologinya masing-‐masing. Kelompok Sjahrir pun tak luput dari niatan mendirikan partai, pada 19 November 1945 di Cirebon, Djohan bersama Sjahrir mendirikan Partai Rakyat Sosialis atau Paras. Sebagai modal awal, mereka memanfaatkan kader-‐kader dan program PNI Baru yang pernah ia dirikan bersama Bung Hatta untuk menjalankan roda Partai rakyat Sosialis. Di Cirebon sendiri PARAS didukung oleh kader-‐kader PNI Baru seperti Sudarsono, Soegra, dan Sukanda yang masih aktif dengan organisasi-‐organisasi baru bentukan mereka yang memiliki pengaruh yang cukup kuat untuk tingkatan lokal. J.D. Legge juga menyebutkan nama Koperasi Rakyat Indonesia yang didirikan oleh Soegra dan digunakan sebagai alat untuk kegiatan politik. Sementara di Tegal, Soebagio Mangoenrahardjo ikut serta dalam pembentukan sebuah kelompok pemuda yang diberi nama "Sembilan Bersaudara", yang terdiri dari putra para pejabat rendahan. Di Brebes, Soenarto, seorang kawan kerja Soegra dan bersama-‐sama dia merupakan pendiri Koperasi Rakyat Indonesia, mendirikan cabang-‐cabang koperasi itu yang menjadi sebuah jaringan kelompok-‐kelompok informal yang mempersiapkan diri untuk perjuangan di masa
47
mendatang. Dengan demikian mudah bagi Djohan dan Sjahrir untuk membentuk partai tanpa harus melakukan konsolidasi yang memakan waktu lama. Bisa dikatakan Paras adalah hasil dari usaha mempertahankan eksistensi PNI Baru yang bergerak secara ilegal selama akhir dasawarsa 1930 dan masa pendudukan Jepang. Tentu saja selain Djohan Sjahroezah, pimpinan partai ini diisi oleh kader-‐kader PNI Baru seperti, Sukemi, Soegra, Wangsa Widjaja, dan Soegondo Djojopuspito, tetapi partai ini juga menerima masukan "tenaga baru" yaitu para pemuda yang telah dihimpun Sjahrir di sekitar dirinya pada masa pendudukan Jepang seperti Soebadio, Sitorus, dan yang agak lebih tua, Dr. Sudarsono. Disebutkan bahwa tujuan Partai Rakyat Sosialis adalah “Menentang mentalitas kapitalistik, ninggrat dan feodal, melenyapkan otokrasi dan birokratisme; berjuang ke arah masyarakat sama rasa sama rata; memperkaya semangat rakyat Indonesia dengan pandangan demokratik, dan mendesak pemerintah untuk bekerjasama dengan semua organisasi di dalam dan luar negeri untuk menggulingkan kapitalisme. Sebenarnya dalam pembentukkan Paras, Bung Hatta sedikit banyak juga memiliki keterlibatannya sendiri. Bahkan ia menganjurkan jika nama partai tersebut adalah Partai Daulat Rakyat (PDR), tapi dalam pengambilan keputusan nama yang diusulkan oleh Bung Hatta tidak terpilih. Diperjalanannya Bung Hatta memilih untuk tidak ikut memimpin partai dengan alasan, “Saya sendiri sebagai wakil presiden tidak boleh masuk partai, rakyat mengharapkan presiden dan wakil presiden mestilah berdiri di atas segala partai.” Sementara di tempat yang berbeda Amir Sjarifuddin juga mendirikan partai berhaluan sosialis yang diberi nama Parsi
48
atau Partai Sosialis Indonesia. Jika Paras mengandalkan kader PNI Baru, Parsi memiliki Gerindo, yang dibentuk pada 1937 sebagai modal. Selain itu ada juga kader Partindo lama, dan sebagian orang yang mempunyai hubungan dengan PKI Ilegal. Parsi juga memperlihatkan keragaman. Tetapi untuk sementara waktu, persamaan dasar ideologi antara Paras dan Parsi adalah lebih nyata daripada perbedaan di dalam masing-‐masing partai maupun di antara kedua pimpinannya. Kedua partai ini sama-‐sama menganut prinsip-‐prinsip Marxisme, sehingga tidaklah mengherankan bila Kelak kedua partai ini mengeluarkan satu pernyataan bersama yang mendesak setiap orang supaya mendukung pemerintahan Sjahrir-‐Amir, atas nama perjuangannya yang anti kapitalis dan anti imperialis. Keduanya memutuskan untuk bergabung menjadi sebuah partai sosialis baru yang disepakati bernama Partai Sosialis yang mendukung Sjahrir dalam KNIP. Pernyataan ini keluar bersamaan dengan pengumuman diangkatnya Sjahrir sebagai Perdana Menteri pertama Republik Indonesia dan Amir Sjarifuddin terpilih sebagai Menteri Keamanan dan Penerangan. Djohan sendiri sebagai anggota BP KNIP terus melakukan kerja sama dengan kelompok-‐kelompok sayap kiri seraya membantu PM Sjahrir dan Wakil Presiden Bung Hatta. Bergabung Untuk Bercerai Sejalan dengan posisi keduanya di kabinet, Pada 16—17 Desember 1945, Paras dan Parsi melakukan suatu “Kongres Fusi” yang dilangsungkan di Cirebon, dimana masing-‐masing partai mengirimkan 57 utusannya. Hasilnya adalah penggabungan kedua partai tersebut dengan nama baru yaitu Partai Sosialis. Struktur baru partai juga telah dibentuk
49
diumumkan dengan suatu pengabungan yang cukup rumit dan dengan tawar-‐menawar yang alot. Secara umum dalam struktur partai kelompok Amir menguasai Dewan Pimpinan, Sekretariat dan Badan Komunikasi, sedangkan kelompok Sjahrir menguasai Badan Penerangan yang dipegang oleh Djohan Sjahroezah dan Wangsawidjaja, Badan Politik di bawah Subadio Sastroastomo, dan Badan Pendidikan yang dikontrol Soegra dan Djawoto. Dalam kerja-‐kerja pemerintahan, peran Djohan di Partai Sosialis memang tidak terlalu banyak. Djohan lebih fokus untuk mengurus persoalan bagaimana membesarkan partai serta manajemen kader-‐kader, dimana partai banyak mengandalkan jejaring dan pengalaman Djohan dalam merajut jaringan pergerakan. Ketika fungsionaris partai lainnya berkonsentrasi pada program-‐program pemerintahan kabinet Sjahrir, Djohan menjalankan fungsi-‐fungsi internal kepartaian. Ia tetap berkonsentrasi pada pengembangan jaringan dan pendidikan kader-‐kader sosialis sehingga hubungan antara pengurus Partai Sosialis dengan rakyat dan golongan pergerakan tetap terjaga. Sebenarnya Djohan telah memainkan peran-‐peran seperti ini semenjak mendirikan Paras, Djohanlah yang menghubungi semua kader PNI Baru untuk kemudian bergabung bersama dalam wadah partai Rakyat Sosialis. Selain sebagai anggota BP KNIP, posisi Djohan sebagai Sekjen Partai Sosialis membuatnya banyak beraktivitas di Sekretariat Partai Sosialis di daerah Kotabaru, Yogyakarta. Di tempat inilah Djohan kerap kedatangan tamu dari berbagai daerah yang ingin mengetahui seputar program Partai Sosialis atau yang hanya sekedar berkunjung. Bulan madu sosialisme kedua partai ini akhirnya selesai, seiring kritik keras dari Partai Sosialis terhadap langkah Sjahrir menandatangani Persetujuan Linggarjati pada 25 Maret 1947.
50
Langkah Sjahrir ini dinilai oleh partainya sendiri yaitu Partai Sosialis, terutama oleh mereka yang berlatar belakang komunis seperti Setiadjit, Abdul Madjid dan Tan Ling Djie telah memberikan banyak konsensi oleh pihak Belanda sehingga partai menarik dukungannya. Tentangan yang dikeluarkan oleh sejawat dalam partainya tersebut membuat Sjahrir mengembalikan mandatnya kepada Presiden Sukarno 27 Juni 1947. Sikap orang-‐orang komunis di dalam Partai Sosialis yang tidak terduga tersebut digambarkan oleh Kahin dalam Nationalism and Revolution in Indonesia sebagai berikut : “Bahwa 19 jam setelah Sjahrir mengundurkan diri, para pimpinan sayap kiri yang menentang konsensi Sjahrir lantas meralat sikap mereka dengan menyetujui konsensi-‐konsensi itu seraya meminta Sjahrir kembali menjadi Perdana Menteri. Tetapi Bung Sjahrir menolak tawaran tersebut karena tidak menerima gaya politik ‘machiavelistis’ tak terduga dari rekan-‐rekannya sendiri.”
Mengenai orang-‐orang komunis di Partai Sosialis, Sjahrir pernah menulis, “Orang-‐orang komunis di dalam Partai Sosialis perlahan-‐lahan menempatkan diri mereka sebagai sel-‐sel komunis. Hal ini menimbulkan friksi-‐friksi, perbedaan-‐ perbedaan pendapat di dalam Partai Sosialis dan ketegangan-‐ ketegangan berkembang karenanya”. Dan seperti yang telah disinggung di awal, orang-‐orang komunis ini masuk Partai Sosialis melalui jalur Amir Sjarifuddin dengan Parsi. Namun harus diakui, Linggarjati bukanlah satu-‐satunya penyebab pisahnya kedua unsur dalam Partai Sosialis. Bagaimanapun juga, Sjahrir dan Paras dianggap tidak sejalan dengan Amir Sjarifuddin yang memiliki kecenderungan komunis.
51
Kejatuhan Sjahrir kemudian digantikan oleh Amir Sjarifuddin sebagai Perdana Menteri. Tapi sekali lagi Partai Sosialis harus menelan pil pahit perpecahan, karena setelah Amir Sjarifuddin menandatangani perjanjian Renville pada 17 Januari 1948, yang menyebabkan secara “de facto” wilayah yang diakui hanya tinggal Jawa Tengah dan Jawa Timur, Partai Sosialis pun terpecah dua yaitu golongan pro-‐Renville dan golongan anti-‐Renville. Dan sama seperti Sjahrir, pada 23 Januari 1948, Amir yang dalam kondisi dikecam berbagai pihak terpaksa menyerahkan mandatnya ketika diminta oleh Bung Karno. Semakin meruncingnya perbedaan pandangan kedua faksi dalam Partai Sosialis akhirnya membawa partai ini pada perpecahan nyata. Ketika Bung Hatta mengumumkan kabinet pengganti Amir Sjarifuddin, seluruh kelompok Sjahrir menyatakan dukungan penuh—sebagai kawan seiring seperjuangan, tentu saja Sjahrir mengambil sikap ini. Sementara Kelompok Amir yang tak berhasil mendapatkan posisi strategis dalam kabinet memilih sikap menjadi oposisi bagi kabinet Hatta. Sejarah mencatat, pada 12 Februari 1948 Sjahrir dan kelompoknya menyatakan diri keluar dari Partai Sosialis dan mendeklarasikan berdirinya Partai Sosialis Indonesia (PSI). Di pihak yang ditinggalkan, Amir dan kelompoknya menggabungkan Partai Sosialis dengan FDR (Front demokratik Rakyat) pada 26 Februari 1948 bersama-‐sama dengan Partai Buruh Indonesia (PBI), Pesindo dan SOBSI. Kemudian pada tanggal 30 Agustus 1948, seluruh basis FDR akhirnya menyatukan diri ke dalam Partai Komunis Indonesia (PKI) pimpinan Musso.
52
Peletak Dasar Ideologi PSI Djohan yang bisa diterima oleh semua golongan, yang dekat dengan seluruh kelompok perjuangan—termasuk kelompok Amir dan PKI Ilegal—tetap memilih untuk bersama Sjahrir. Ia pula yang diminta untuk memberikan penjelasan mengapa kelompok Sjahrir harus memisahkan diri dengan Partai Sosialis dalam kongres di Madiun pada Februari 1948. Selain karena kedekatannya dengan berbagai kelompok, Djohan juga dianggap sangat memahami sosialisme, dan tentu juga tentang Marxisme. Dalam pidatonya Djohan menjelaskan sikap kelompok Sjahrir terhadap perundingan dengan Belanda dan konsistensi kalangan mereka—yang kemudian mengidentifikasi diri sebagai kaum Sosialisme Kerakyatan— terhadap cita-‐cita sosialisme dan perlawanan terhadap kapitalisme namun menolak segala bentuk kediktatoran dan absolutisme yang sedang dijalankan oleh kalangan komunis. PSI didirikan dengan dukungan dua generasi dengan latar belakang yang berbeda. Satu pihak adalah golongan Sjahrir dan rekan-‐rekannya yang telah berjuang bersama sejak 1930-‐ an, dan golongan muda yang rata-‐rata direkrut oleh Djohan Sjahroezah pada masa pendudukan Jepang dan sesudahnya. Namun antara kedua generasi tidak nampak adanya perpecahan, hal ini bisa jadi disebabkan oleh faktor Djohan yang menjadi penghubung dua generasi tersebut yang memang memiliki pengaruh kuat bagi semuanya. Keberadaan PSI yang dianggap sebagai episode baru dari PNI Baru dan Paras mewarisi tradisi intelektual ala Sjahrir dan Bung Hatta. PSI kembali mengalami pematangan setelah kongres pleno pertama pada Februari 1952 di Bandung. Kongres ini menawarkan sebuah Peraturan Dasar yang baru dengan komposisi antara kewenangan pimpinan dan kedemokratisan partai menjadi lebih berimbang. Soal unit-‐unit yang berada di
53
daerah, kongres dan rapat-‐rapat, serta politbiro. Serta disepakati juga ketentuan bahwa dewan partai dipilih oleh kongres. Kongres juga menetapkan istilah Marxisme ada dalam Penjelasan dan di dalam Anggaran Dasar. Dan secara resmi juga ditegaskan bahwa partai menganut "paham sosialisme yang disandarkan pada ajaran ilmu pengetahuan Marx dan Engels." Banyak pihak yang meyakini bahwa dimasukkannya pandangan Marx dan Engels dalam Peraturan Dasar PSI adalah berkat usaha yang dilakukan oleh Djohan Sjahroezah, karena selama ini Djohanlah yang dianggap paling memahami konsepsi dari Marx dan Engels baik kelebihan maupun kekurangannya. Dengan demikian, Sosialisme Kerakyatan yang dijadikan sebagai asas partai tidak bisa tidak, harus diakui sebagai bagian dari rumpun sosialisme ala Marx dan Engels—walau dikemudian hari Sosialisme PSI diberi julukan Soska atau Sosialis Kanan. Dalam Peraturan Dasar PSI tertulis bahwa Dasar-‐Dasar dan pandangan Politik PSI adalah: “Partai Sosialis Indonesia memahamkan sosialisme yang diajarkannya dengan pengertian seperti diterangkan di atas. Ia akan berikhtiar mengusahakan kemajuan serta perubahan masyarakat. Ia hendak merubah tingkat dan hidup rendah serta pertanian di Indonesia ini, menjadi masyarakat yang dapat mencarikan kehidupan rakyatnya yang berpuluh juta jumlah jiwanya dengan menggunakan kekayaan ilmu serta tehnik yang tersedia untuk kemanusiaan. Untuk segala itu ia menggunakan pula cara-‐cara mengupas serta menyusun pengertian yang digunakan oleh sosialisme modern terhadap dunia kapitalis. Ia menggunakan pengupasan seperti dilakukan oleh Marx-‐Engels terhadap perkembangan serta susunan masyarakat kapitalis.”
54
Sementara pada pasal 1, Asas dan Tujuan, tertulis “Partai Sosialis Indonesia berdasarkan faham sosialisme yang disandarkan pada ajaran ilmu pengetahuan Marx-‐Engels menuju masyarakat sosialis berdasarkan kerakyatan.” Sejak awal, Djohan telah memandang bahwa Marxisme sebagai landasan bagi PSI adalah hal yang sangat penting, sementara Sjahrir cenderung lebih berhati-‐hati dan pragmatis menghindari pendirian teoritis yang dogmatis. Sjahrir yang sejak awal kurang suka jika kata-‐kata ini masuk dalam Anggaran dasar, menerima keputusan ini walau menganggap bahwa yang dimaksud bukanlah kaum Marxis ortodoks, melainkan hanya wujud pengakuan atas peran historis Marx dan Engels dalam perjuangan untuk sosialisme serta pentingnya gagasan-‐gagasan Marx sebagai alat analisis sosial. Djohan meletakkan Marxisme sebagai teori dasar yang menjadi antitesis dari kapitalisme. Kuatnya kesadaran mengenai soal-‐soal seperti itu terlihat selama proses pemantapan organisasi PSI dan penetapan tujuan-‐tujuannya. Akhirnya pada Februari 1950 sidang pertama dewan pimpinan partai PSI diselenggarakan di Yogyakarta yang membahas keorganisasian pendirian cabang-‐cabang, persyaratan untuk menjadi anggota dan perumusan kebijakan-‐kebijakan dasar. Dalam sidang ini beberapa nama angkatan 1930-‐an seperti Hamdani, Soegra, Sukemi, dan Wiyono duduk dalam Dewan Partai. Sementara Djohan Sjahroezah bersama Sjahrir, Subadio Sastrosatomo, L. M. Sitorus, Sugondo Djojopuspito dan T. A. Murad selain menjadi Anggota Dewan Partai, juga menjabat sebagai Politbiro Partai Sosialis Indonesia. Dalam kongres pertama pada 1952, PSI hanya memiliki 3.049 anggota tetap dan 14.480 calon anggota. Sementara ketika kongres kedua pada Juni 1955, anggota PSI bertambah
55
menjadi 50 ribu orang. Pada pemilihan 1955, PSI hanya meraih lima kursi. John D. Legge, dalam bukunya Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan, mengatakan kegiatan politik massa bukan satu-‐satunya tolok ukur keberhasilan partai. Pemikiran PSI bertahan hingga sekarang. ”Fakta bahwa partai ini mewakili aliran moral dan politik di Indonesia,” kata Legge. Hingga saat ini mereka yang menganut dan mereka yang “merasa” mengikuti pandangan politik dan ideologi Sosialisme Kerakyatan ala PSI yang terserak dalam berbagai kelompok masih menjalankan eksistensinya.
56
BAB IV Proklamasi dan Inisiatif Kaum Muda Pada Juni 1942, konstelasi politik dunia mulai berubah. Jepang yang awalnya begitu gagah perkasa saat turun gelanggang Perang Dunia II pada 1937 mulai terdesak oleh pasukan sekutu. Kekalahan telak dalam pertempuran laut di Pulau Midway menjadi awal kejatuhan Jepang. Dalam pertempuran selama empat hari itu, Kaigun harus kehilangan empat kapal induk, satu kapal penjelajah berat, 291 pesawat serta 4800 personel. Setelah itu, Jepang juga harus kehilangan Pulau Guada lcanal dan Pulau Saipan yang sangat strategis. Kekalahan ini begitu luar biasa hingga Jepang berusaha menutup rapat-‐rapat kekalahan ini. Termasuk juga di daerah-‐daerah jajahan Jepang. Di Nusantara sendiri, kabar kekalahan Jepang tidak lepas dari perhatian kelompok Sjahrir. Pada masa itu, Sjahrir dan kelompoknya termasuk juga Djohan Sjahroezah mengoperasikan radio gelap. Dari situlah kabar mengenai kejatuhan Jepang mulai berhembus. Di Surabaya, Des Alwi, anak angkat Sjahrir yang merupakan kader dari Djohan Sjahroezah, adalah orang yang ditugaskan untuk mempelajari segala sesuatu mengenai pengoperasian radio. Des Alwi yang ikut Djohan sejak pertengahan Januari 1943 belajar di sekolah teknik radio di Genteng Kali. Melalui radio yang dioperasikan diam-‐diam oleh Des Alwi dan Rambe, berita-‐berita sekutu dari luar negeri bisa didapatkan oleh lingkaran Djohan Sjahroezah. Hal ini merupakan langkah yang sangat beresiko. Jepang saat itu memang menyegel semua pesawat radio. Hukuman berat menanti bagi siapa saja mempergunakan radio untuk mendengarkan berita-‐berita dari luar negeri.
57
Untuk memantau perkembangan berita-‐berita dari luar negeri, Djohan kemudian memerintahkan Des Alwi untuk bekerja di kantor Djakarta Hosyo Kioko (Kantor Siaran Radio Jepang). Peran yang dimainkan kader Djohan ini tidak main-‐ main. Sebagai operator siaran luar negeri, Des Alwi bertugas menguping siaran radio BBC dan Radio Australia yang biasa diputarkan selepas pukul satu dini hari. Dari informasi seputar perang pasifik inilah kemudian berita tentang kekalahan Jepang disebarkan kepada pejuang bawah tanah. Dengan menaruh kader-‐kadernya di sektor strategis seperti radio dan telegraf, peranan Djohan Sjahroezah menjadi sangat signifikan menjelang detik-‐detik proklamasi. Selain harus menghadapi pasukan sekutu, Jepang juga cukup direpotkan dengan pemberontakan-‐pemberontakan yang terjadi. Pada 25 februari 1944 meletus pemberontakan di Singaparna. Pada Mei dan Agustus di tahun yang sama giliran Indramayu yang mengangkat senjata. Tak hanya itu, pada Februari 1945 kesatuan Pembela Tanah Air (PETA) di Blitar juga turut memberontak terhadap Jepang. Guna meredakan pemberontakan inilah Jepang menjanjikan kemerdekaan kepada Nusantara. Perdana Menteri Jepang Jenderal Koiso Kuniaki di hadapan parlemen Jepang kemudian menjanjikan kemerdekaan Nusantara pada 7 September 1944. Janji manis hadiah kemerdekaan ini sebenarnya merupakan reaksi atas kekalahan-‐kekalahan yang dialami Jepang pada Perang Pasifik. Selain itu, Jepang juga membutuhkan dukungan dari daerah jajahannya untuk menghadapi serangan pasukan sekutu. Untuk itu Jepang kemudian membentuk organisasi militer dan semi militer seperti PETA dan Pusat Tenaga Rakyat (Putera). Tujuannya tentu saja untuk mendapatkan pasokan personel untuk mempertahankan dominasi Jepang di Asia Pasifik. Sementara itu, kalangan pejuang saat itu terbelah
58
dalam menyikapi penjajahan Jepang. Kalangan nasionalis seperti Bung Karno dan Hatta memilih merapat kepada Jepang dan meyakini kemerdekaan Nusantara tinggal menunggu waktu. Di kalangan rakyat bawah, penjajahan Jepang justru semakin menjadi. Sensor atas organisasi politik dan mahasiswa dilakukan dengan ketat. Pengerahan romusha justru semakin masif. Sementara jumlah padi yang disetorkan kepada pemerintah Jepang juga terus meningkat. Kondisi ini tentu saja memicu ketidakpuasan atas pemerintah Jepang. Dengan demikian janji-‐janji Jepang untuk memerdekakan Nusantara justru ditanggapi dengan perlawanan yang semakin keras. Kaum anti-‐Jepang semakin gencar berdiskusi dan membicarakan cita-‐cita kemerdekaan. Dalam lingkup yang lebih luas, anak-‐anak muda ini sebenarnya merupakan bagian dari golongan muda yang dipimpin oleh kelompok Sjahrir. Golongan ini memiliki jaringan yang sangat luas. Kader-‐kadernya berasal dari berbagai daerah, terutama yang dulu aktif di PNI Baru, dan tentunya juga dikenal dekat dengan golongan dari Gerakan Indonesia Raya (Gerindo) seperti Amir Sjarifuddin, Sukarni, Adam Malik, Maruto dan Pandu Kartawiguna. Gerakan bawah tanah di masa pendudukan Jepang ini memang kurang terekspos dalam sejarah kebangsaan. Namun peranan yang dimainkan kelompok anti-‐Jepang ini sesungguhnya sangat signifikan. Pada prinsipnya, gerakan bawah tanah ini dimaksudkan untuk mempersiapkan diri menyambut kemerdekaan. Secara intensif kelompok ini memantau jalannya peperangan di Pasifik dan meyakini Jepang akan segera kalah. Isi diskusi mereka memang banyak berkutat pada perkembangan keadaan politik baik di dalam maupun luar negeri. Aktivitas ini tidak hanya terjadi di Jakarta
59
semata. Di Bandung, Semarang, Cirebon, Yogyakarta serta di Surabaya juga melakukan aktivitas serupa. Djohan Sjahroezah adalah sosok pemimpin gerakan ini di Surabaya. Selain membicarakan perkembangan politik dalam dan luar negeri, kelompok bawah tanah ini juga membicarakan tentang kemiliteran. Militer sangat penting untuk menyokong kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, banyak dari anak-‐ anak muda ini yang kemudian menjadi anggota PETA untuk menerima latihan militer. Berita-‐berita perkembangan perang dari luar negeri sendiri tak lepas dari peranan Sutan Sjahrir. Saat itu, Sjahrir lah yang menyuplai berita-‐berita perang dari radio gelap yang dimilikinya. Sepetti diketahui, hal ini merupakan langkah yang sangat beresiko, karena Jepang saat itu memang menyegel semua pesawat radio, dan hukuman berat menanti bagi siapa saja mempergunakan radio untuk mendengarkan berita-‐ berita dari luar negeri. Selain membicarakan perkembangan politik dalam dan luar negeri, kelompok bawah tanah ini juga membicarakan tentang kemiliteran. Militer sangat penting untuk menyokong kemerdekaan Indonesia. Oleh karena itu, banyak dari anak-‐anak muda ini yang kemudian menjadi anggota PETA untuk menerima latihan militer. Hari-‐hari setelah pernyataan Perdana Menteri Koiso tentang memerdekakan Indonesia justru malah membuat kondisi semakin memburuk. Jepang semakin masif menindas rakyat. Sementara tidak ada langkah-‐langkah yang terlihat dari pihak Jepang untuk merealisasikan janjinya tersebut. Kelaparan dan kesengsaraan sudah sampai pada tingkat yang mengkhawatirkan. Keadaan seperti ini rupanya juga menjadi perhatian dari petinggi Jepang di Nusantara. Pada Oktober 1944, Laksamana Maeda yang merupakan Kepala Kaigun Bukanfu dan terkenal karena simpatinya terhadap perjuangan
60
kemerdekaan Indonesia, mendirikan Asrama Indonesia Merdeka di Jalan Defensie Lyn Van den Bosch yang sekarang menjadi Jalan Bungur Raya. Asrama ini merupakan tempat berkumpulnya anak-‐anak muda yang dulunya aktif di Asrama Menteng 31 dan Prapatan 10. Di tempat ini mereka membicarakan detil-‐detil kemerdekaan tanpa tahu kapan kemerdekaan itu akan datang. Dibawah pimpinan Wikana yang pernah aktif di Gerindo, mereka membicarakan pendidikan politik dan ekonomi. Selain membicarakan soal perkembangan perang dan latihan militer bagi kalangan pemuda, gerakan bawah tanah ini juga mendiskusikan bentuk Indonesia merdeka. Walaupun secara jumlah sangat sedikit bila dibandingkan dengan total populasi Nusantara, pengaruh pemuda intelektual ini sangat signifikan dalam membentuk opini di masyarakat. Golongan pemuda menginginkan bentuk negara kesatuan. Sementara Hatta lebih cenderung pada bentuk negara serikat. Perbedaan ini dapat diselesaikan saat para pemuda mendatangi rumah Hatta pada tengah malam. Rombongan yang dipimpin oleh Moh. Kamal ini diterima oleh Hatta dengan tangan terbuka. Tak hanya itu, Hatta juga kemudian terkesan dengan kesungguhan kaum muda, yang walaupun minoritas, menginginkan Indonesia merdeka sebagai negara kesatuan. Upaya Propaganda Jepang Dalam kondisi terdesak oleh pasukan sekutu, Jepang berusaha mengambil hati rakyat jajahannya untuk mendukung perang Asia Pasifik. Semakin terdesak, janji Koiso untuk memerdekakan Indonesia mulai terlihat arahnya meski
61
belum juga memuaskan rakyat. Pada 1 Maret 1945, Jepang membentuk Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia (BPUPKI). Badan yang diketuai oleh Radjiman Widiodiningrat ini beranggotakan 63 orang yang terdiri atas orang-‐orang Jepang dan tokoh-‐tokoh Indonesia. Tugas utama badan ini berkutat pada pengumpulan bahan-‐bahan penting dari aspek ekonomi, politik maupun sosial yang akan mendukung kemerdekaan Indonesia. Pada masanya, BPUPKI hanya pernah bersidang dua kali untuk membahas dasar negara. Meski demikian, taktik Jepang untuk mengambil hati rakyat ini tidak juga membuat kaum muda mengendurkan semangatnya untuk menuntut kemerdekaan Indonesia sesegera mungkin. Salah satu usaha Jepang meraih dukungan rakyat dalam perang di Asia Pasifik ini terjadi pada 12 Mei 1945. Saat itu, pihak Jepang berinisiatif mengadakan rapat pemuda di gedung bioskop Decca Park di Jalan Medan Merdeka Utara sekarang. Rapat ini sebenarnya merupakan usaha propaganda Jepang untuk menggalang dukungan. Seperti yang diceritakan oleh Abu Bakar Loebis, saat itu sudah disiapkan kamera dan segala peralatannya untuk membuat film yang menunjukkan antusiasme pemuda Indonesia pada usaha perang Jepang di Asia Pasifik. Chaerul Saleh yang melihat rapat ini sebagai kesempatan untuk menunjukkan sikap pemuda, akhirnya menunjuk Nasrun Iskandar dari Asrama Prapatan 10 untuk berpidato. Dalam pidatonya, Nasrun dengan tegas menyatakan bahwa pemuda menginginkan kemerdekaan Indonesia sekarang juga, bukan di kemudian hari. Atas pidatonya itu, rapat yang direncanakan Jepang sebagai propaganda justru berbalik menjadi ajang untuk menunjukkan sikap para pemuda.
62
Kegagalan rapat pemuda di bioskop Decca Park rupanya tak membuat Jepang menyerah. Pasca jatuhnya Tarakan dan Filipina ke tangan sekutu, pihak Jepang kembali berusaha melakukan propaganda. Mereka menyiapkan konferensi pemuda seluruh Jawa di villa Isola Bandung. Jamal Ali, seorang pemuda nasionalis dari Bandung dipercaya oleh Jepang untuk memimpin konferensi. Di bawah pengawasan Shimizu dari sendenbu, angkatan muda Bandung justru berhasil mengundang aktivis pemuda dari seluruh Jawa. Pada saat itu, Soekarni juga sempat mengunjungi Djohan Sjahroezah ke Surabaya untuk mengundangnya ke pertemuan di Bandung ini. Dengan demikian, villa Isola justru menjadi tempat konsolidasi para aktivis seperti Soepeno, Chaerul Saleh, Soekarni, Wikana dan lain-‐lain. Selama tiga tahun masa pendudukan Jepang, kaum muda tak pernah berhenti mempertahankan semangat merdeka. Lewat diskusi-‐diskusi di kantung-‐kantung pemuda, cita-‐cita untuk merdeka tak pernah padam. Salah satu usaha unjuk kekuatan kaum muda terjadi pada 7 Juni 1945 di Kebun Binatang (sekarang TIM). Atas inisiatif dari Ika Daigaku, Yaku gaku dan Kenkoku Gakuin, mereka mengadakan rapat pemuda pelajar dari seluruh Jakarta. Rapat yang dipimpin oleh Syarif Thayyeb ini begitu membludak. Mereka menuntut kemerdekaan Indonesia saat itu juga serta latihan militer bagi para pelajar. Para peserta rapat kemudian mengadakan pawai untuk menemui Hatta dan Soekarno. Kepada kedua tokoh tersebut kaum muda menyatakan tekad dan komitmennya untuk mengawal kemerdekaan Indonesia. Hatta dan Bung Karno terlihat agak terkejut dengan semangat kaum muda ini. Melalui Soekarno pula permintaan kaum muda untuk mendapatkan latihan militer terkabul. Pada bulan yang sama, para mahasiswa dari Ika Daigaku mendapatkan latihan militer
63
penuh di Daidan 1 Jakarta, Jagamonyet yang dipimpin oleh Mr. Kasman Singodimedjo. Sementara mentor latihannya adalah Latief Hendradiningrat dan Mufreni Mukmin. Hari-‐Hari Genting Proklamasi Keyakinan kaum muda atas kekalahan Jepang semakin terlihat. Dari berita yang didapatkan dari radio sekutu, Jepang sudah berada di ambang penyerahan. Hancurnya Hiroshima oleh bom atom sekutu pada 6 Agustus 1945 memaksa Jepang membentuk Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI). PPKI yang dibentuk di seluruh wilayah Nusantara ini akan menggantikan peran dari BPUPKI yang tidak berjalan optimal. Sebagai bagian dari rencana kemerdekaan hadiah Jepang, Bung Karno, Hatta dan Dr. Radjiman pergi ke Saigon untuk menemui Jenderal Terauchi pada 9 Agustus. Sementara ketiga tokoh ini meninggalkan Jakarta, para pemuda terus memantau perkembangan perang Asia Pasifik. Kaum muda ini mengadakan rapat serta membentuk regu-‐regu semimiliter untuk menghadapi kemungkinan terburuk. Puncaknya, pada 15 Agustus dini hari kabar penyerahan Jepang diumumkan oleh sekutu. Sontak hal ini membuat kaum muda bergerak cepat untuk merespon kabar ini. Mereka segera mendatangi Sjahrir untuk memintanya memprokamirkan kemerdekaan Indonesia. Sebelum sekutu mengambil sikap atas status quo bekas jajahan Jepang ini, kaum muda berpendapat lebih baik mengambil kesempatan merdeka atas usaha sendiri. Sjahrir yang pada awalnya diminta oleh kaum muda untuk menjadi proklamator menolak. Ia menyatakan bahwa Bung Karno dan Hatta adalah orang yang paling tepat untuk tugas berat ini. Harus diakui, meski dianggap sebagai kolaborator Jepang popularitas kedua tokoh ini tidak perlu diragukan lagi.
64
Tentu dibutuhkan sosok dengan tingkat popularitas tinggi untuk mendapatkan legitimasi seluruh rakyat Indonesia. Namun usaha kaum muda untuk mendesak Soekarno agar segera melakukan proklamasi ini membentur jalan buntu. Soekarno yang belum yakin atas kejatuhan Jepang memilih untuk menemui petinggi Jepang dan menanyakan kabar kejatuhan Jepang. Merasa tidak mendapat kepastian atas kabar tersebut, Bung Karno memilih mundur dan menunggu kepastian dari Jepang. Selain itu, Bung Karno juga meragukan kesiapan organisasi-‐organisasi pemuda untuk mengambil alih jalannya pemerintahan. Seperti diketahui, kalangan kelas menengah yang selama ini mendapatkan fasilitas dan status dari pemerintah Jepang juga banyak yang meniupkan keragu-‐ raguan untuk merdeka karena enggan melepas zona kenyamanannya. Mendengar kabar ketidaksediaan Bung Karno, kaum muda kemudian mengutus Wikana, Darwis dan Soebadio untuk membujuk Bung Karno. Sekitar pukul 22.00 para utusan ini kembali dan mengabarkan bahwa Bung Karno tetap tidak setuju proklamasi hari itu. Sebaliknya sempat terjadi adu mulut antara Bung Karno dan kaum muda. Peristiwa inilah yang memicu kisah penculikan Bung Karno dan Hatta ke Rengasdengklok. Pada pagi hari 16 Agustus 1945, para pemuda yang diwakili oleh Sukarni membawa Bung Karno, Hatta, Ibu Fatmawati dan Guntur ke asrama PETA di Rengasdengklok. Situasi saat itu menunjukkan semangat kemerdekaan sudah sangat terasa. Camat Rengasdengklok yang juga anggota Baperpi (Badan Perwakilan Pelajar-‐Pelajar Indonesia) mendahului dengan memproklamasikan kemerdekaan Indonesia pada 16 Agustus, menurunkan bendera Hinomaru dan menggantinya dengan bendera Merah Putih. Sementara
65
di Cirebon, proklamasi juga sudah dibacakan oleh Dr. Soedarsono yang merupakan jaringan dari DJohan Sjahroezah. Di kemudian hari, Dr. Soedarsono ini kemudian menjadi anggota dari Paras pimpinan Sjahrir dan Djohan. Sementara Bung Karno dan Hatta dipindahkan ke Rengasdengklok, kondisi di Jakarta mulai memanas. Di setiap sudut terlihat para pemuda berjaga-‐jaga dengan menggunakan bambu runcing ataupun golok. Usaha kaum muda untuk mempersiapkan proklamasi rupanya direspon dengan berapi-‐api oleh masyarakat. Mr. Subardjo yang diutus oleh Laksamana Maeda untuk menjemput Bung Karno dan Hatta berhasil membawa pulang kedua tokoh tersebut. Setibanya di Jakarta pada pukul 21.00, mereka langsung melanjutkan rapat di rumah Laksamana Maeda. Golongan muda yang hadir saat itu adalah Chaerul Saleh dan Sukarni. Pada awalnya, proklamasi akan dilakukan di lapangan Ikatan Atletik Indonesia (IKADA), Gambir. Namun, karena khawatir akan terjadi bentrokan dengan pasukan Jepang, akhirnya diputuskan proklamasi akan di lakukan di rumah Bung Karno di Pegangsaan Timur 56. Dengan penjagaan ketat dari para mahasiswa, polisi istimewa dan barisan pelopor, proklamasi atas kemerdekaan Indonesia akhirnya berkumandang pada 17 Agustus 1945. Siangnya, berita proklamasi ini diteruskan oleh Des Alwi dengan bantuan dari Adam Malik melalui pemancar Kantor Berita Domei ke seluruh penjuru dunia. Peran Djohan di Surabaya Seperti yang diceritakan dalam bab II tulisan ini, Djohan Sjahroezah pada akhirnya menetap di Surabaya sejak 1943 untuk bekerja dan membangun kader di kalangan buruh minyak. Djohan sangat meyakini bahwa kekalahan Jepang
66
tinggal menunggu waktu. Oleh karena itu, Djohan berusaha mempersiapkan saat-‐saat kemerdekan dengan membangun jaringan, mendidik kader serta menempa anak-‐anak muda dengan mental baja. Surabaya yang sampai saat ini menjadi simbol pahlawan Indonesia sesungguhnya tidak lepas dari peran Djohan Sjahroezah. Pada Maret 1945, Chaerul Saleh dan Soekarni mengunjungi Surabaya. Kedua pemimpin pemuda dari Jakarta ini menemui Angkatan Muda pimpinan Ruslan Abdulgani di Surabaya untuk membicarakan perkembangan terakhir. Pada pertemuan tersebut, ketiga kelompok pemuda di Surabaya hadir untuk mendengarkan Chaerul Saleh dan Soekarni yang memaparkan proyeksi kekalahan Jepang, serta mengundang para pemuda ini untuk menghadiri konfersensi pemuda se-‐ Jawa di villa Isola Bandung. Menurut William H. Frederick, tokoh-‐tokoh yang hadir dalam pertemuan tersebut termasuk juga Djohan Sjahroezah, Soemarsono, Ruslan Widjajasastra, Kusnadi, Margono, Susiswo, Bambang Kaslan, Asmanu dan Krissubanu. Para pemuda di Surabaya ini kemudian menunjuk Ruslan Abdulgani sebagai pemimpin kelompok bawah tanah yang bertugas menyebarkan propaganda ke seluruh pelosok Surabaya. Keterlibatan kelompok Djohan Sjahroezah di Surabaya dalam mengantarkan Indonesia pada gerbang proklamasi juga disebut oleh Soemarsono dalam bukunya tentang Surabaya. Mantan Gubernur Jenderal Madiun 1948 ini menyatakan sekitar 30 orang pemuda anggota kelompok Djohan Sjahroezah juga turut berperan aktif dalam mengkondisikan situasi revolusi kemerdekaan Indonesia dengan menyusup ke setiap sendi-‐sendi masyarakat di Jakarta. Namun pasca proklamasi, Surabaya menjadi kawasan yang paling bergolak. Rapat umum pertama pasca proklamasi terjadi pada tanggal
67
17 September 1945 di lapangan sepakbola Pasar Turi. Saat itu, Djohan berhasil mengumpulkan kader-‐kadernya dari serikat buruh minyak dan kaum muda sebagai bagian dari unjuk kekuatan bangsa Indonesia. Salah satu insiden yang cukup menyita perhatian adalah apa yang terjadi di Hotel Oranye yang sebelumnya bernama Hotel Yamato. Pada 31 Agustus 1945 Bung Karno mengeluarkan maklumat untuk mengibarkan bendera merah putih di seluruh Indonesia. Pada 19 September 1945, pihak Belanda yang menyusup melalui Palang Merah Internasional dan di tempatkan oleh Jepang di Hotel Yamato, mengibarkan bendera Merah-‐Putih-‐Biru di atas hotel yang difungsikan sebagai Bantuan Rehabilitasi untuk Tawanan Perang dan Interniran. Pengibaran bendera Belanda ini memicu kemarahan kaum muda. Pada mulanya, sekitar 15 orang yang tergabung dalam Angkatan Muda Minyak Indonesia mendatangi hotel Oranye. Massa yang awalnya hanya belasan itu semakin bertambah hingga mencapai ratusan. Insiden tidak dapat dihindari saat pihak Belanda tidak berkenan menurunkan bendera tersebut. Massa berinisiatif merobek bendera biru dan meninggalkan warna merah putih di atas hotel. Insiden bendera ini juga berujung pada tewasnya W.V.Ch. Ploegman yang merupakan pimpinan dari rombongan Belanda yang menyusup melalui Palang Merah Internasional tersebut. Tidak berhenti sampai disitu, aksi unjuk kekuatan kaum muda di Surabaya juga terjadi pada saat rapat raksasa di Lapangan Tambak Sari pada 21 September 1945. Hanya dua hari setelah kaum muda Jakarta mengadakan rapat raksasa di lapangan Ikada, para pemimpin kaum muda di Surabaya juga turut ambil bagian menunjukkan kekuatannya. Saat itu tak kurang dari 150 ribu orang berkumpul demi mendengarkan pidato
68
dari kaum muda. Dalam hal ini, seperti banyak diungkap oleh para pelaku gerakan saat itu, setiap peristiwa pasca proklamasi di Surabaya baik insiden bendera maupun rapat raksasa Tambak Sari tidak luput dari keterlibatan Djohan sebagai organisator pemuda. Karena bagi golongan kaum muda di Surabaya, Djohan yang memang kerap keluar masuk kampung secara diam-‐diam untuk menyebarkan bibit sosialisme, dianggap sebagai mentor. Rapat di Tambaksari tidak hanya menjadi ajang unjuk kekuatan, tapi juga kelahiran baru dari organisasi yang menggabungkan unsur pemuda di Surabaya. Di bawah pimpinan Soemarsono, yang menurut pengakuannya sendiri adalah kader dari Djohan, secara resmi berdirilah Pemuda Republik Indonesia (PRI), yang kemudian mewadahi organisasi-‐organisasi pemuda di Surabaya seperti AMI yang dibentuk oleh Jepang pada 1944. Tepat pada 23 September 1945, secara resmi AMI membubarkan diri untuk kemudian melebur ke dalam PRI. Banyak dari anggota-‐anggota PRI ini yang merupakan kader dari Djohan Sjahroezah. Kader-‐ kadernya memang sangat militan. Hal ini terbukti hanya beberapa minggu pasca terbentuknya PRI, mereka dengan gagah berani mempertahankan setiap jengkal tanah Surabaya dari tangan Inggris. Serangkaian pertempuran demi pertempuran di Surabaya ini menjadi ujian berat bagi kader-‐ kader muda didikan Djohan Sjahroezah. Djohan dan kelompoknya juga bertanggungjawab atas pelucutan senjata Jepang yang digunakan dalam pertempuran. Pada 27 Oktober 1945 menjadi awal dari serangkaian pertempuran antara rakyat Surabaya dan tentara Inggris yang sudah berpengalaman dalam Perang Dunia II. Faktanya, pasukan Inggris kewalahan sebelum akhirnya Jenderal D.C. Hawthorn meminta bantuan Bung Karno untuk menghentikan
69
pertempuran. Meski sudah diambang kemenangan, para pejuang di Surabaya tetap menuruti perintah Bung Karno untuk mengadakan gencatan senjata. Hal ini penting untuk menunjukkan kepada dunia bahwa Indonesia memiliki pemimpin yang mendapat legitimasi dari masyarakat. Episode Surabaya memang akhirnya tidak berhenti sampai disitu. Peristiwa tewasnya Brigadir Jenderal Mallaby, yang merupakan pemimpin tentara Inggris untuk wilayah Jawa Timur pada 30 Oktober 1945, digunakan sebagai alasan oleh tentara Inggris untuk kembali menggempur Surabaya. Hasilnya pada 10 November 1945, pertempuran dahsyat pun terjadi. Djohan bersama dengan kader-‐kadernya kembali harus mengangkat senjata untuk mempertahankan Surabaya. Selain merupakan pemimpin politik, saat itu Djohan juga pemimpin militer di Surabaya, yang mengatur penempatan posisi dan strategi penempatan setiap kader secara tepat sesuai dengan potensi serta kapasitasnya. Pada awal November, Djohan sempat mengajak Tan Malaka untuk berkunjung ke Surabaya. Antara mereka terjadi kesepakatan bahwa Tan Malaka akan membantu Djohan untuk mendidik kader-‐kadernya, dan oleh karenanya, Djohan meminta Tan Malaka untuk tidak dulu muncul dalam arena politik sebelum menyelesaikan pendidikan kader di Surabaya. Dengan demikian Tan Malaka sempat menyaksikan langsung betapa heroiknya pemuda dan segala lapisan masyarakat Surabaya dalam peperangan, sebelum akhirnya dievakuasi ke tempat yang lebih aman. Pada saat Surabaya memanas, seorang kader muda Djohan Sjahroezah di Yogyakarta yang bernama Dimjati yang saat itu baru berumur 17 tahun, memimpin 10 ribu pasukan melakukan long march dari Yogyakarta pasca kongres pemuda 10 November 1945, menuju Surabaya. Aksi itu
70
dilakukan Dimjati atas perintah Djohan guna menyokong perjuangan di Surabaya. Keterlibatan Djohan di Surabaya bukan hanya dalam pertempuran fisik semata. Lebih dari itu, Djohan lah yang menyiapkan otot-‐otot revolusi dan mensinergikannya dengan kondisi sosial politik saat itu. Djohan tidak terburu-‐buru untuk meraih hasil dalam proses pengkaderan ini. Djohan mematangkan kader-‐kadernya agar siap menyongsong kemerdekaan. Pada pertempuran Surabaya yang begitu mengesankan di mata dunia, Djohan telah memetik hasil kerja kerasnya. Jika sebelumnya Djohan tidak menempa kader-‐kadernya di Surabaya, belum tentu saat ini kita akan mengenal Surabaya sebagai kota pahlawan.
71
BAB V Jatuh Bangun Republik Walaupun dipandang belum sesuai dengan keinginan kalangan revolusioner di Indonesia, namun proklamasi kemerdekaan yang dibacakan oleh Bung Karno dan Bung Hatta ternyata mendapat sambutan yang luar biasa dari rakyat. Kelompok Sjahrir sendiri, kembali ke aktivitas sebelum proklamasi yaitu mengkonsolidasikan barisan mereka untuk mempersiapkan diri terhadap setiap kemungkinan yang terjadi. Djohan Sjahroezah memilih untuk beraktivitas di Jakarta untuk terlibat dalam pembentukkan serikat pekerja yang nantinya menjadi serikat buruh yang sangat populer dengan nama SOBSI. Sementara kawan-‐kawannya yang lain juga kembali pada kerja-‐kerja sejenis sebelum kemerdekaan. Rudolf Mrazek dalam bukunya Sjahrir, Politik dan pengasingan di Indonesia menulis “Teman abadi dan rekan Sjahrir yang lain, Soedarsono, Soegra, Hamdani dan Soegondo, berkeliling melalui daerah Jakarta-‐Cirebon-‐ Bandung untuk mempertahankan organisasi. Seorang pemuda terkemuka di antara pengikut Sjahrir yang direkrut selama perang, Subadio Sastrosatomo, meninggalkan Jakarta menuju Jawa Tengah dan Jawa Timur pada awal September demikian diingatnya untuk memeriksa eksistensi dan bentuk kelompok Sjahrir di sana.” Di kalangan pemuda dan mahasiswa, digelar sebuah pertemuan di asrama Prapatan 10 yang dihadiri oleh Bung Karno, Bung Hatta, dan juga Sjahrir. Para pemuda merasa kecewa dengan sikap diam dan menunggu dari kedua pimpinan Republik Indonesia. Suasana menjadi memanas antara kalangan pemuda dengan para pemimpin sehingga mereka dikurung oleh para pemuda. Setelah pertemuan itu,
72
Sjahrir ditawari untuk menjadi ketua KNIP yang kemudian ditolak olehnya. KNIP yang awalnya hanya sebagai lembaga pembantu presiden yang berisi orang-‐orang dari berbagai golongan, menuntut status yang lebih tinggi. Lewat petisi yang ditandatangani oleh 40 anggotanya, KNIP menuntut pada Bung Karno agar lembaga tersebut harus diposisikan sebagai lembaga legislatif dan para menteri kabinet harus terus bertanggung jawab pada dewan legislatif bukan lagi pada presiden. Petisi ini kemudian ditanggapi oleh Bung Hatta sebagai wakil presiden dengan mengeluarkan Maklumat X pada 16 Oktober 1945. Pindahnya kekuasaan Presiden Soekarno ke tangan Sjahrir ini membuat sejumlah kalangan beranggapan Maklumat Nomor X tak ubahnya usaha kudeta yang halus. Tidak berdarah dan tidak bersuara. “The silent coup," begitu tulis B.M. Diah dalam bukunya, “Butir-‐butir Padi”. Diah adalah tokoh pemuda yang ketika itu berseberangan dengan Sjahrir. Dengan adanya Maklumat X pada 3 November 1945 yang mendorong agar rakyat segera belajar berdemokrasi dan membentuk partai menjadi pintu masuk bagi kerja sama Sjahrir dan Amir untuk menjadi lebih erat. Seperti yang telah disinggung sebelumnya, Amir mendirikan Partai Sosialis Indonesia (Parsi) sementara Sjahrir bersama Djohan Sjahroezah mendirikan Partai Rakyat Sosialis yang kemudian bergabung menjadi Partai Sosialis, dengan Sjahrir sebagai ketua umum. Selain menganggap ada kesamaan pandang, sepertinya Sjahrir juga merasakan bahwa Amir sangat membantunya dalam upaya merebut pemerintahan dari golongan tua. Sebelumnya Sjahrir sempat menulis sebuah brosur berjudul Perdjoeangan Kita yang berisi tentang pandangannya
73
terhadap kondisi Indonesia saat itu. Dalam tulisannya tersebut, Sjahrir menuntut agar dilakukan mobilisasi semua kekuatan revolusioner yang sadar politik, menjadi struktur partai yang berdisiplin. Sjahrir juga menulis tentang peran buruh pada revolusi yang akan datang. Tak pelak karya ini dianggap sebagai pandangan yang mewakili kelompok Sjahrir yang akhirnya berkuasa di pemerintahan. Benedict Anderson menulis bahwa “Perdjoeangan kita adalah satu-‐satunya usaha yang dilakukan selama tahun-‐tahun pascaperang untuk menganalisis secara sistematis kekuatan domestik dan internasional yang mempengaruhi Indonesia dan memberikan perspektif yang masuk akal bagi gerakan kemerdekaan di masa depan.” Sementara Djohan Sjahroezah sendiri menurut Hazil Tanzil adiknya berkomentar: “Ketika Perdjoeangan Kita dilihat oleh wartawan asing, mereka bertanya apakah sebelumnya ia membaca brosur Mao yang berjudul On New Democracy. Ia menganalisis revolusi Indonesia dengan cara yang sama dan ia mencapai kesimpulan yang sama tentang masalah revolusi nasional dalam bekas negeri yang dijajah, seperti yang dilakukan Presiden Partai Komunis di Yen An ketika ia menulis tentang revolusi Cina dari tahun 1911 dan tentang gerakan tersebut menurut perkembangannya kemudian.”
Kabinet Sjahrir bukannya tak memiliki hambatan, pada 1 Januari 1946, Atas prakarsa Tan Malaka, di Demak Idjo Yogyakarta, diadakan rapat persiapan untuk membentuk federasi yang kemudian diberi nama "Persatuan Perjuangan". Federasi ini kemudian menggelar kongres pertamanya yang diadakan 3—5 Januari 1946 di Purwokerto dan dihadiri oleh 138 organisasi rakyat. Dalam kongres ini Tan Malaka berpidato yang intinya menekankan pentingnya persatuan
74
dan kemerdekaan 100 persen. Bagian terpenting dari pidatonya itu ialah apa yang dikenal sebagai "Minimum Program" yang terdiri dari tujuh pasal, yang terdiri dari Berunding atas pengakuan kemerdekaan 100 persen; Pemerintah Rakyat yang sesuai dengan dengan kemauan rakyat; Tentara rakyat yang sesuai dengan kemauan rakyat ; Melucuti tentara Jepang; Mengurusi tawanan bangsa Jepang; Menyita dan menyelenggarakan pertanian milik musuh; Menyita dan menyelenggarakan perindustrian musuh termasuk pabrik, bengkel, tambang dan lain-‐lain’. Program minimum inilah yang kemudian dipaksakan untuk dijalankan oleh pemerintahan Kabinet Sjahrir. Oleh Sjahrir tuntutan ini ditolak karena dianggap provokatif yang bisa memancing agresi militer Belanda. Dan sejak diserahi tampuk pemerintahan sebagai perdana menteri pada 14 November 1945 Sjahrir mengambil garis diplomasi. Menurut dia, untuk mempertahankan kemerdekaan, yang harus dilakukan Indonesia adalah menggelar perjanjian dengan Belanda agar mengakui berdirinya Indonesia. Selain itu, bagi Sjahrir berjuang di meja perundingan punya keuntungan politis memperoleh pengakuan kekuasaan de facto. Sjahrir sangat percaya diri menghadapi oposisi, terlebih dengan dukungan Presiden Soekarno dan Wakil Presiden Hatta berdiri di belakangnya. Sjahrir juga percaya diri karena mendapatkan dukungan penuh dari Partai Sosialis, Partai Buruh, PKI, dan Pesindo. Di luar KNIP Sjahrir tentu saja mendapat dukungan tanpa reserve dari SOBSI yang lahir dari Serikat Buruh Minyak yang dibentuk oleh Djohan Sjahroezah. Dalam pandangan Sjahrir, guna melawan Belanda dan Sekutu, tidak lagi harus dengan bertumpu pada perjuangan bersenjata, tapi harus melalui perjuangan diplomasi. Dengan bertempur di meja perundingan, Sjahrir hendak menujukkan
75
kepada dunia internasional bahwa Indonesia adalah sebuah negara. Sejarawan Rushdy Husein menilai langkah Sjahrir ini sebagai sesuatu yang tepat, karena dengan demikian eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara telah diakui. “Dengan kesediaan Belanda berunding dengan Indonesia, maka secara tak langsung hal itu berarti mengakui eksistensi Indonesia sebagai sebuah negara.” Sjahrir memang sukses membuat Pemerintah Indonesia diakui dunia internasional. Dengan politik beras ke India, misalnya, Sjahrir berhasil menunjukkan kepada dunia bahwa Pemerintah Indonesia ada dan berjalan dengan baik, sekaligus sebagai sebuah cara untuk membuka blokade Belanda terhadap Jawa dan Madura. Begitu pula dengan perjanjian Linggarjati, yang bagi Sjahrir dan kawan-‐kawannya, merupakan proses likuidasi terhadap Hindia Belanda dan kemungkinan hubungan internasional lebih lanjut untuk menembus politik blokade dan isolasi Belanda terhadap Republik Indonesia. Salah satu klausul penting yang dimasukkan Sjahrir dalam perjanjian Linggarjati yang ditandatangani pada 15 November 1946 adalah pasal arbitrase, yang memungkinkan Indonesia mendatangkan intervensi dari Perserikatan Bangsa Bangsa (PBB), ketika agresi Belanda yang diprediksi akan tiba benar-‐benar terjadi. Pada Maret 1946, Persatuan Perjuangan (PP) hendak mengadakan rapat akbar di Madiun. Dengan membawa surat dari Amir, sejumlah utusan berangkat ke kota itu untuk menangkap Tan Malaka yang kemudian dikenakan status tahanan rumah. Tapi penangkapan Tan Malaka tak menyurutkan langkah PP dalam pertentangannya terhadap pemerintah. Mereka selalu memantau perundingan Indonesia-‐Belanda yang diadakan di Linggarjati dan merasa tidak puas dengan langkah Sjahrir yang menerima
76
perundingan tersebut. Ketidakpuasan ini kemudian berujung pada penculikan Sjahrir yang saat itu tengah kembali dari perjalananya meninjau rencana bantuan beras bagi India dan bermalam di Surakarta. Menurut Rushdy Husein bisa jadi penculikan ini adalah dampak dari ceramah Bung Hatta pada 26 Juni di Yogyakarta saat merayakan Isra Mi’raj. Dalam pidato itu, Bung Hatta sempat mengatakan perundingan sudah hampir final dengan kesepakatan Indonesia secara de facto diakui sebagai negara. Namun Belanda hanya mengakui secara de facto Sumatera, Jawa, dan Madura sebagai wilayah Republik Indonesia. Status kenegaraan Indonesia juga berubah menjadi Republik Indonesia Serikat dengan Republik Indonesia dan negara-‐ negara boneka buatan Belanda sebagai negara bagiannya. Inilah langkah yang menurut PP sebagai perbuatan Sjahrir yang keterlaluan karena telah menjual negara. Namun atas dasar desakan Bung Karno sebagai presiden, akhirnya Sjahrir dilepaskan. Ketika Sjahrir diculik, Pemerintah yang berkuasa adalah kabinet presidensil karena Bung Karno menerbitkan maklumat pemerintah No. 1 Tahun 1946 yang isinya mengambil alih kekuasaan Pemerintah. Ketika maklumat ini dicabut melalui maklumat Pemerintah No.2 Tahun 1946, dibentuklah kabinet Sjahrir ke III (2 Oktober 1946 – 27 Juni 1947) Dari Linggarjati Hingga Renville Krisis yang berlanjut hingga ke Kabinet Sjahrir III ini semakin menjadi-‐jadi. Partai besar seperti PNI, Masyumi bahkan sayap kiri sendiri yang merupakan partai Sjahrir bersama Pesindo menentangnya dengan keras. Orang yang menjadi kawan seperjuangan sejak lama, yaitu Amir Sjarifuddin ikut menolak
77
tindakan Sjahrir tersebut. Sjahrir tidak dapat berbuat lain. Sesuai dengan asas dan etika demokrasi yang berlaku, pada 27 Juni 1947, Perdana menteri Sjahrir meletakkan jabatan dan mengembalikan mandatnya kepada Presiden. Dengan begitu, posisinya sebagai Perdana Menteri digantikan oleh Amir Sjarifuddin dan anehnya, perundingan dengan Belanda yang selama ini dikritik justru dilakukan sendiri oleh Amir. Atas usulan Komisi Tiga Negara (KTN), atau Committee of Good Offices for Indonesia, yang terdiri dari Amerika Serikat, Australia, dan Belgia, pada tanggal 8 Desember 1947—17 Januari 1948 dilaksanakan perundingan antara Indonesia dan Belanda di atas kapal Renville yang sedang berlabuh di Jakarta. Delegasi Indonesia terdiri atas perdana menteri Amir Syarifuddin, Ali Sastroamijoyo, Dr. Tjoa Sik Len, Moh. Roem, Haji Agus Salim, Narsun dan Ir. Juanda. Delegasi Belanda terdiri dari Abdulkadir Widjojoatmojo, Jhr. Van Vredeburgh, Dr. Soumukil, Pangeran Kartanagara dan Zulkarnain. Ternyata wakil-‐wakil Belanda hampir semua berasal dari bangsa Indonesia sendiri yang pro Belanda yang nantinya menjadi penyokong Bijeenkomst voor Federaal Overleg (BFO) sebagai wakil Belanda untuk RIS. Kesepakatan ini disaksikan juga oleh United Nations Commission for Indonesia (UNCI) sebagai perwakilan PBB. Konferensi Renville ini menghasilkan keputusan: Belanda tetap berdaulat atas seluruh wilayah Indonesia sampai kedaulatan Indonesia diserahkan kepada Republik Indonesia Serikat yang segera terbentuk; Republik Indonesia Serikat mempunyai kedudukan yang sejajar dengan negara Belanda dalam uni Indonesia-‐Belanda; Republik Indonesia akan menjadi negara bagian dari RIS; Sebelum RIS terbentuk, Belanda dapat menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada
78
pemerintahan federal sementara; Pasukan Republik Indonesia yang berada di derah kantong harus ditarik ke daerah Republik Indonesia. Daerah kantong adalah daerah yang berada di belakang Garis Van Mook, yakni garis imajiner yang menghubungkan dua daerah terdepan yang diduduki Belanda. Apa yang disepakati pada Perjanjian Renville ini ternyata justru lebih merugikan posisi Republik Indonesia jika dibandingkan dengan Linggarjati. Amir Sjarifuddin mendapatkan kritikan keras dari berbagai arah—dengan militer yang paling keras bersuara karena harus meninggalkan kantong gerilya—yang membuat mayoritas menteri pada kabinetnya mengundurkan diri sebagai bentuk protes. Apa yang sebelumnya dirasakan oleh Sjahrir kini berbalik dialami oleh Amir, dihujat karena menandatangani perjanjian dengan Belanda. Akhirnya Amir mundur dari posisinya sebagai perdana menteri dan berharap Bung Karno sebagai presiden akan kembali memberikan kesempatan bagi golongan kiri untuk membentuk kabinet. Tapi sungguh jauh panggang dari api, Bung Karno ternyata malah menunjuk wakilnya Bung Hatta untuk membentuk kabinet baru yang diharapkan bisa menjadi kabinet persatuan. Bung Hatta berusaha membentuk kabinet koalisi dengan merangkul semua partai. Golongan kiri menuntut empat kursi, termasuk jabatan Menteri Pertahanan. Hatta tak mengabulkannya karena mendapat tentangan dari Masyumi. Namun sebagai siasat, Bung Hatta menawarkan satu pos menteri tidak strategis bagi golongan kiri yang langsung ditolak oleh mereka. Akhirnya pada 31 Januari 1948, kabinet Hatta diumumkan. Dengan Bung Hatta sendiri sebagai Perdana Menteri merangkap Menteri Pertahanan. Kabinet ini didukung oleh Masyumi, PNI, Partai
79
Katolik, dan Parkindo. Satu-‐satunya anggota sayap kiri yang duduk di kabinet adalah Supeno atas nama perseorangan yang bukan mewakili golongan kiri. Dia menjabat Menteri Pembangunan dan Pemuda. Tentu saja ini menyakitkan bagi golongan kiri yang berada di Partai Sosialis yang didominasi oleh kelompok Amir. Mereka mulai mengorganisir diri dan menetapkan akan menjadi oposisi bagi Kabinet Bung Hatta. Namun barisan Sjahrir yang masih berada di Partai Sosialis menyatakan mendukung penuh pembentukan pemerintah oleh Bung Hatta. Perbedaan pandangan ini semakin meruncing sehingga mengakibatkan perpecahan ditubuh Partai Sosialis. Sejak awal bersatunya Partai Rakyat Sosialis bentukan Sjahrir dan Djohan Sjahroezah dengan Partai Sosialis Indonesia atau Parsi yang dibentuk oleh Amir memang rentan perpecahan karena perbedaan penafsiran akan sosialisme. Rosihan Anwar dalam bukunya Perjalanan Terakhir Pahlawan Nasional Sutan Sjahrir, yang ditulis pada 1966, menyebutkan bahwa Amir ingin Partai Sosialis menempuh garis Marxis-‐ Leninis-‐Stalinis dan meminta Indonesia memihak Moskow (Soviet). Tapi Sjahrir berpendirian, Partai Sosialis harus menempuh sosialis kerakyatan yang demokratis dan politik luar negeri yang bebas aktif. Sjahrir dan segenap formatur Paras kemudian menyatakan diri keluar dari Partai Sosialis dan membentuk Partai Sosialis Indonesia, yang pernyataan sikapnya dibacakan oleh Djohan Sjahroezah dalam kongres di Madiun pada bulan Februari 1948. Sementara Amir dengan para pendukungnya belakangan malah bergabung dalam Front Demokrasi Rakyat (FDR). FDR merupakan gabungan partai dan organisasi sayap kiri: Partai Sosialis (PS), PKI, Pesindo, Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI) yang berhasil dikooptasi golongan komunis, dan BTI.
80
Pemberontakan Madiun Sebuah pidato yang berapi-‐api membangunkan Madiun yang masih setengah terlelap. Suara Ketua Badan Kongres Pemuda Republik Indonesia, Soemarsono terdengar jelas menyatakan lewat Stasiun Pemancar Radio Gelora Pemuda dan Radio Republik Indonesia bahwa Madiun telah bangkit dan revolusi sudah dikobarkan, kaum buruh telah melucuti polisi dan tentara Republik, pemerintahan buruh dan tani yang baru sudah dibentuk. Pidato yang digambarkan oleh media massa nasional ini menjadi semacam pengumuman pada dunia bahwa di Madiun telah terjadi pengambil alihan kekuasaan dari Pemerintah Pusat oleh apa yang disebut Front Nasional Daerah Madiun. Namun Soemarsono dalam bukunya Revolusi Agustus menolak jika dikatakan Peristiwa madiun adalah sebuah pemberontakan. “Tidak ada kita membentuk pemerintah, lalu apalagi merebut kekuasaan. Sama sekali tidak! Kita menangkis saja. Pelucutan itu dilakukan terbatas pada yang menculik. Karena yang menculik bersenjata, mesti dilucuti senjatanya supaya yang diculik bisa dibebaskan.” Soemarsono juga mengakui bahwa perintah pelucutan senjata adalah perintah Musso dan Amir Sjarifuddin yang mendapat laporan tentang aksi penculikan yang terjadi di Madiun. Namun setelah aksi tersebut tak ada satupun pejabat Madiun yang berani melaporkannya ke Yogyakarta. Antara petinggi militer PKI yang berkedudukan di Madiun dengan pejabat daerah saling melempar siapa yang harus melaporkannya ke Pemerintah Pusat. Yang militer merasa tidak berkewajiban karena bukan orang pemerintahan, sementara para pejabat sipil semua berhalangan, baik karena sakit maupun tidak ada di tempat.
81
Baru kemudian Supardi, wakil wali kota yang baru saja diangkat menyatakan kesanggupannya melaporkan apa yang terjadi lewat telegram. Supardi memberitahukan pemerintah bahwa Brigade 29 Madiun telah melakukan pelucutan senjata atas Batalion Siliwangi dan Mobrig. Selain itu Supardi juga menyampaikan bahwa untuk sementara pimpinan pemerintahan daerah di bawah kendalinya, karena kepala daerah sedang tidak ada di tempat. Yogyakarta menjawab telegram yang dikirimkan oleh Supardi dengan menggunakan corong Radio Republik Indonesia. Dengan gayanya yang bersemangat dan berapi-‐api, Bung Karno mengabarkan pada rakyat Indonesia bahwa telah terjadi upaya kup oleh PKI di Madiun. Dia memberikan dua pilihan kepada rakyat: ikut Musso dengan PKI atau ikut Sukarno-‐Hatta. Tak lama berselang pidato Bung Karno dibalas oleh Musso dengan pidato di Radio Gelora Pemuda yang menyatakan Sukarno-‐Hatta hendak menjual Indonesia kepada imperialis Amerika. "Oleh karena itu, rakyat Madiun dan juga daerah-‐ daerah lain akan melepaskan diri dari budak-‐budak imperialis itu," katanya. Musso mencurigai adanya kesepakatan pada 21 Juli 1948, dalam pertemuan rahasia antara pihak Indonesia yang diwakili oleh Bung Hatta, Natsir, Mohammad Roem, Soekiman, dan Soekanto dengan pihak Amerika yang diwakili oleh Merle Cochran dan Gerald Hopkins di Sarangan Jawa Timur. Menurut Musso, pemerintah Indonesia menghendaki tersingkirnya golongan komunis dari republik yang ikut didirikan oleh golongan tersebut. Lewat gelombang radio yang sama Musso mengumumkan terbentuknya Front Nasional Daerah Madiun. Para pejabat pemerintah, dari bupati sampai lurah yang pro pemerintah, digantikan kader PKI. Pimpinan PKI yang baru kembali dari Moskow ini melantik Soemarsono sebagai gubernur militer
82
dan Kolonel Djoko Soedjono menjadi komandan pasukan PKI. Alasannya, pemerintahan baru ini dibentuk untuk melawan kekuatan militer. Beberapa kalangan menduga bahwa Peristiwa madiun ini terkait dengan dilikuidasinya pemerintahan Amir Sjarifuddin karena menandatangani perjanjian Renville. Amir sendiri saat menjabat sebagai Menteri Pertahanan kerap melakukan kebijakan yang pilih kasih terhadap pasukan tentara dan kelasykaran yang ada. Bahkan menurut Maroeto Nitimihardjo “Amir bahkan semakin lama semakin kuat. Dia dapat mengkordinir kekuatan militernya karena terus menerus dipersenjatainya secara langsung. Senjata yang diperoleh hanya dibagikan pada kelompoknya saja, sementara kelompok lain harus bersusah payah mencari senjatanya sendiri,” seperti yang ditulis oleh anaknya Hadidjojo pada buku Ayahku Maroeto Nitimihardjo. Bung Hatta mengecam tindakan Musso. Dalam pidatonya di depan Badan Pekerja Komite Nasional Indonesia Pusat pada 20 September 1949, dia mengatakan gerakan PKI itu sebagai upaya merobohkan pemerintahan Republik Indonesia dengan kudeta. Kendati akhirnya PKI meminta perdamaian dengan Pemerintah Pusat di Yogyakarta dan menyatakan bahwa tidak pernah ada pemberontakan oleh PKI di Madiun. Sayangnya langkah ini terlambat, Bung Karno telah meminta Panglima Besar Jenderal Sudirman merebut kembali Madiun dan menumpas pergerakan PKI yang ada di sana. Namun PKI tak pernah mau mengakui jika mereka melakukan perebutan kekuasaan. Alih-‐alih mengaku, PKI justru menuding Bung Hatta memprovokasi dengan tujuan timbulnya reaksi keras PKI akibat kesepakatan dengan Amerika Serikat yang menghasilkan apa yang kemudian disebut-‐sebut sebagai Red Drive Proposal yang berisi skenario
83
penyingkiran kaum merah. Tapi yang pasti, entah diperhitungkan atau tidak, langkah tarik mundur pendukung Sjahrir yang dimotori oleh Djohan Sjahroezah dari Partai Sosialis menghindarkan kelompok Sjahrir dari kancah Peristiwa Madiun, yang mempertaruhkan kepentingan rakyat, bangsa dan negara.
84
BAB VI Poros Revolusi Yogyakarta Pada masa pendudukan Jepang, kaum muda menjadi katalisator atas golongan tua yang dianggap terlalu lembek. Bermula dari kelompok kecil golongan terpelajar, mereka mengorganisir diri, menyemai ideologi, mengatur strategi serta mencari mentor untuk mempersiapkan kemerdekaan Indonesia. Kantung-‐kantung intelektual kaum muda ini tidak hanya terdapat di Batavia saja. Dalam kelompok yang besar, mereka saling terhubung dengan para pemuda lain dari berbagai daerah. Djohan Sjahroezah memegang peranan penting dalam menghubungkan kaum muda ini. Di Surabaya, Djohan yang dikenal akibat aktivitasnya di serikat buruh di Cepu dan Wonokromo, cukup mempunyai nama. Pada masa pendudukan Jepang, Djohan yang saat itu berusia 30 tahun-‐an bergerilya mencari orang-‐orang dengan usia 20 tahun-‐an dari kalangan terpelajar. Mereka memang tidak membentuk organisasi secara formal. Mereka menyadari pukulan Jepang akan sangat telak jika mereka tidak bergerak secara hati-‐hati. Sebaliknya, kelompok Djohan Sjahroezah ini bergerak klandestin untuk mendidik kader serta membangun jaringan dengan kaum muda dari kelompok lain. Di Semarang, Djohan memiliki seorang kader yang bernama M.L. Tobing yang berasal dari Bandung. Tobing di Semarang bertugas untuk memonitor dan memanfaatkan jawatan Telekomunikasi Jepang. Lewat tangan Tobing inilah Djohan merawat kelompok-‐kelompok diskusi di kawasan Jawa Tengah dan Yogyakarta. Dalam proses kebangsaan Indonesia, Yogyakarta memainkan peranan yang sangat krusial. Sebelum kemerdekaan Indonesia, Yogyakarta sebenarnya merupakan negara
85
merdeka. Pada masa kolonial Belanda, Yogyakarta terutama keraton menjadi daerah yang aman. Kedekatan Sri Sultan Hamengkubuwono IX dengan Ratu Belanda membuat Yogyakarta menjadi kawasan netral. Kisah kedekatan mereka mulai terjalin saat Sultan IX menempuh pendidikan di Leiden, Belanda. Konon, hubungan antara Sultan IX dan Ratu Juliana inilah yang membuat Belanda enggan mengutak-‐atik keraton. Kondisi ini menumbuhkan iklim yang memungkinkan tumbuhnya gerakan-‐gerakan perjuangan. Proklamasi Indonesia pada 17 Agustus 1945 langsung disambut oleh Keraton Yogyakarta. Pernyataan Sultan IX pada 5 September 1945 bahwa Yogyakarta memilih untuk menggabungkan diri ke dalam pemerintahan Republik Indonesia, disambut dengan antusias oleh masyarakat. Pernyataan ini kemudian juga diikuti oleh Sri Paku Alam VII. Integrasi kedaulatan Yogyakarta di bawah pemerintahan Republik Indonesia tidak hanya sebatas ucapan semata. Sri Sultan IX sebagai seorang negarawan memiliki jasa yang tidak sedikit terhadap perkembangan Indonesia. Tak heran jika di kemudian Yogyakarta dipilih sebagai ibukota republik pada periode 4 Januari 1946—27 Desember 1949. Kontribusi Sultan IX yang paling nyata adalah saat Sultan menjadi sutradara serangan umum 1 Maret 1949. Tak hanya itu, Sultan IX juga kemudian menjadi wakil presiden Indonesia. Sebagai ibukota republik, Yogyakarta menjadi mercusuar bagi para pemuda di seluruh Indonesia untuk turut membangun negeri yang baru merdeka. Dengan demikan, Yogyakarta menjadi sangat terbuka bagi setiap kalangan, terutama kaum republiken. Sultan bahkan menyediakan tempat khusus di Sagan sebagai tempat bagi kaum republiken. Atas dasar itulah Djohan Sjahroezah kemudian juga memindahkan gerak
86
juangnya ke wilayah Yogyakarta pada Januari 1946, dan tinggal di kawasan Sagan. Pathuk, Kelompok Revolusioner Salah satu kelompok pemuda yang cukup progresif di luar lingkaran Batavia adalah apa yang terbangun di Yogyakarta. Kelompok kecil yang muncul dari lingkaran asrama pemondokan di kawasan Pathuk Yogyakarta ini pada perkembangan selanjutnya memainkan peran yang cukup signifikan. Kelompok Pathuk digerakkan oleh tiga orang tokoh meskipun dalam perjalanannya orang bisa keluar masuk dengan bebas. Ketiga orang itu adalah M.L. Tobing, Dayino dan Roesli si pelukis. Selain itu ada nama-‐nama seperti Koesoemo Soendjojo, Dimjati, Muhamad Tauchid, Umar Joy dan Soemartojo. Djohan Sjahroezah yang mengkader dan menjadi mentor bagi para pemuda tersebut. Hubungan antara kelompok Pathuk dengan Djohan sudah dimulai sejak Djohan masih berada di Surabaya. Pada masa-‐ masa sebelum proklamasi, murid-‐murid SMA Taman Siswa Yogyakarta yang merupakan embrio dari kelompok Pathuk, sering berkunjung ke Surabaya untuk bertukar pikiran dengan kelompok Djohan di Maspati. Nama-‐nama seperti Dimjati, Dayino, Moenir dan Moersiam sering muncul dan menjadi kader dari Djohan. Mereka biasanya berkumpul di rumah Sidik di Kebangsren Gang III. Sidik sendiri merupakan bagian dari kelompok Djohan yang sangat loyal terhadap Sjahrir. Sidik lah yang menyuplai perbekalan bagi para pejuang Surabaya serta pelarian PETA pasca pemberontakan di Blitar. Sidik tewas di Hotel Yamato setelah berhasil mencekik mati W.V.Ch Ploegman, pada insiden bendera September 1945.
87
Orang-‐orang yang berkecimpung dalam lingkaran kelompok Pathuk adalah orang-‐orang yang istimewa. Koesoemo Soendjojo—pemilik rumah pemondokan yang digunakan oleh kelompok Pathuk, dikenal dekat dengan Soeharto. Pada masa tuanya, Soendjojo menjadi penasehat spiritual Soeharto. Orang yang dekat dengan Soeharto bukan hanya Soendjojo. Roesli si pelukis juga salah satu orang yang dihormati oleh Soeharto. Pada masa orde baru, Roesli mendapatkan akses khusus ke Cendana sehingga bisa menemui Soeharto dengan mudah melalui pintu belakang. Museum Roesli di Yogyakarta yang dibangun oleh Soeharto menjadi bukti tak terbantahkan soal kedekatannya dengan Soeharto. Meskipun dekat secara personal, Roesli tidak mendukung pemerintahan orde baru. Sikap politiknya terbukti saat ia memilih untuk tidur di emperan toko meskipun diberikan fasilitas museum oleh Soeharto. Sementara itu, Muhamad Tauchid dikenal sebagai tokoh pendiri Barisan Tani Indonesia (BTI). Menurut Dayino, kelompok Pathuk mulai aktif beraktivitas pada tahun 1943 di Jalan Purwanggan Yogyakarta. “Jaringan ini dimaksudkan untuk mendidik kesadaran nasional dan memberi pengertian bahwa kita harus merebut kemerdekaan. Karena itu, dibutuhkan anak-‐anak muda untuk melakukannya. Ya, dalam rangka itulah Kelompok Pathuk terbentuk. Kegiatannya adalah diskusi-‐diskusi untuk melakukan penyadaran-‐penyadaran serta membentuk jaringan di semua sektor. Makanya, Kelompok Pathuk punya jaringan sampai ke Telkom, PLN, para sopir dan montir yang bekerja pada Jepang. Bahkan punya jaringan khusus dengan pasukan Peta (Pembela Tanah Air)”, ujar Dayino. Dengan komposisi orang-‐orang berkualitas seperti diatas, tak heran jika kelompok Pathuk ini menjadi tempat orang mencari informasi dan berkumpul dalam rangka perjuangan.
88
Sebenarnya kelompok Pathuk bisa dirunut menjadi dua fase. Pertama adalah fase gerilya. Fase ini berlangsung sejak masa pendudukan Jepang hingga masa-‐masa revolusi fisik sampai KMB pada 1949. Pada fase ini, kelompok Pathuk memainkan peran yang sangat signifikan. Tidak hanya karena ikut terjun langsung dalam perang fisik, kelompok Pathuk juga mengambil peran dalam mendukung militer mempertahankan republik. Salah satu kontribusi utama kelompok ini dari segi persenjataan. Banyak dari anggota kelompok Pathuk yang merupakan pelajar di Institut Teknik di Yogyakarta. Para pelajar teknik ini dikenal dengan kemampuannya merakit dan mereparasi senjata. Dengan demikian, kelompok Pathuk-‐lah yang menyuplai senjata-‐ senjata kepada tentara. Institut teknik ini sendiri dibentuk oleh Belanda dalam rangka menyuplai kebutuhan teknisi kereta api. Tidak hanya menyuplai senjata, Sultan IX yang saat itu sangat dekat dengan Djohan Sjahroezah—hingga bisa dibilang sahabat karib, memberikan akses khusus ke Istana. Hal ini menjadi sangat penting sebab keraton saat itu menjadi satu-‐satunya zona aman tempat berlindungnya para gerilyawan. Sebagai bagian dari aksi untuk menyambut kemerdekaan, kelompok Pathuk berencana untuk melucuti senjata Jepang. Meskipun sudah kalah perang, tentara masih melakukan aktivitasnya. Pada 5 Oktober 1945, kelompok Pathuk mengadakan rapat untuk merencanakan aksi pelucutan senjata. Jika perundingan untuk melucuti senjata tidak bisa berlangsung secara damai, mereka akan merampas senjata-‐ senjata tersebut dengan paksa. Perundingan memang akhirnya gagal, yang membuat kelompok Pathuk bersama para pemuda Yogyakarta melakukan penyerbuan ke markas Jepang di Kotabaru pada 7 Oktober 1945.
89
Untuk mendukung rencana tersebut, kelompok Pathuk melakukan sabotase dengan memutus aliran listrik dan telepon Kotabaru. Mereka juga mengawasi perjalanan kereta api dan bila perlu menghentikannya di luar kota, untuk mencegah datangnya bantuan Jepang. Penyerbuan ini menghasilkan kemenangan gilang gemilang. Ratusan senjata dapat diambil alih oleh kelompok pemuda yang selanjutnya digunakan untuk menyokong revolusi. Tentang peranan penting kelompok Pathuk ini, Abu Bakar Loebis dalam memoarnya mencatat, Selama tinggal di Pathuk, dapat saya saksikan dengan mata kepala sendiri, betapa luasnya hubungan yang telah dijalin oleh Soendjojo dan kawan-‐kawannya di daerah Yogya khususnya dan Jawa Tengah umumnya. Boleh dikatakan hampir semua tokoh perjuangan di Yogya mempunyai hubungan dengan Pathuk, dan boleh dikatakan tidak ada tokoh pemuda dari luar Yogya yang datang kesana untuk tugas perjuangan kemerdekaan yang tidak singgah di Pathuk, untuk diskusi mengenai masalah perjuangan yang dihadapi langsung sehari-‐hari, atau mengenai strategi perjuangan jangka panjang, atau meminta petunjuk untuk menyelesaikan persoalan-‐persoalan yang dihadapi dan juga untuk meminta perbekalan .
Di bawah asuhan Djohan Sjahroezah, kelompok Pathuk banyak membangun jaringan dengan kaum muda dari berbagai daerah dan jawatan. Di Yogya misalnya, kelompok ini menginfiltrasi jawatan telekomunikasi dan telegraf dibawah pimpinan Sayogyo. Begitu pula di Semarang, Tobing menjalin hubungan erat dengan Haji Abdulkadir, yang merupakan kepala kantor telepon dan telekomunikasi. Dengan turut menguasai jalur-‐jalur penting telekomunikasi,
90
kelompok Pathuk bisa mengatur informasi dari Sjahrir ke Djohan Sjahroezah atau sebaliknya. Satu lagi kontribusi penting kelompok Pathuk adalah peranan yang dimainkan Oemiyah—istri Dayino yang dinikahinya pada 1950—sebagai ahli telegraf dan steno. Sebuah kemampuan yang sangat langka saat itu. Oemiyah, yang merupakan keturunan Arab pedagang, mendapatkan fasilitas pendidikan yang cukup. Ia juga fasih berbahasa Belanda. Pada saat pendudukan Jepang, Oemiyah memilih bekerja di kantor Pos Telepon dan Telegram (PTT), sekaligus menjadi pemimpin serikat buruh perempuan di Yogyakarta. Keahliannya dalam stenografi dan telegraf membuat Oemiyah mendapatkan tugas berat untuk menyadap berita-‐berita penting yang di kirim Jepang ataupun Belanda. Kisah perjuangan Oemiyah terekam pada satu peristiwa pascaproklamasi. Pada 1946, dua orang wanita muda, Ngasiah dan Oemiyah naik ke atap Gedung Negara di Yogyakarta untuk menurunkan Hinomaru Jepang dan menggantinya dengan bendera merah putih. Sementara itu, di seberang jalan sudah bersiap pasukan Jepang lengkap dengan senjata mereka. Menurut cerita Ita Fatia Nadia yang merupakan anak dari Dayino dan Oemiyah, ibunya juga pernah hampir tertangkap Belanda ketika menjalankan tugas menyadap berita-‐berita penting. Saat itu, Yogyakarta yang menjadi Ibukota Indonesia diduduki oleh pasukan Belanda. Oemiyah dan seorang kader lainnya dalam perjalanan pulang dari Imogiri untuk menyampaikan pesan-‐pesan rahasia. Meskipun akhirnya berhasil lolos, kawan Oemiyah justru gugur di tembak Belanda di Jalan Wirogunan yang sekarang menjadi jalan Taman Siswa. Pada fase gerilya, banyak petinggi militer yang lahir dari Pathuk ataupun sering berhubungan dengan Pathuk. Mereka
91
diantaranya Cokropranolo dan Soeharto. Yang disebut terakhir sebenarnya tidak memiliki hubungan intensif dengan kelompok Pathuk. Seringnya Soeharto berkunjung ke Pathuk bukan karena hubungan ideologis. Menurut berbagai sumber, selain karena ingin mengetahui informasi-‐informasi terbaru dari para gerilyawan Pathuk, motif Soeharto sebenarnya juga karena persoalan asmara. Saat itu, Soeharto diketahui menaruh hati kepada kakak Oemiyah yang bernama Ainul. Dengan demikian dapat dipahami jika di kemudian hari Soeharto dikenal sangat dekat dengan kelompok Pathuk. Pasca kemerdekaan Indonesia, Pathuk menjadi kelompok pertama yang mengibarkan bendera Merah Putih di Yogyakarta serta menyanyikan lagu Indonesia Raya. Kegiatan seperti ini di Yogya saat itu masih sangat berbahaya. Meskipun sudah kalah perang, Kempetai masih tetap berpatroli. Pengibaran bendera Merah Putih sekaligus berkumandangnya lagu Indonesia Raya bisa memicu perselisihan dengan polisi Jepang. Meskipun begitu, upaya ini tetap dilakukan karena Soeharto sebagai komandan batalyon saat itu, sudah berjanji untuk melindungi upacara itu dari gangguan polisi Jepang. Pada masa-‐masa revolusi fisik pasca perjanjian Linggarjati, Pathuk juga mengambil peran penting. Saat itu Tobing yang memang sering bergerilya di sekitar Jawa Tengah dan Yogya, ditugaskan menjadi navigator pasukan Siliwangi yang hendak memasuki Yogyakarta lewat utara. Dengan pengalamannya keliling daerah, Tobing sangat mahir dalam mencari jalan yang aman untuk memasuki Yogyakarta. Dengan demikian, dapat dipahami kemudian kelompok Pathuk ini menjadi simpul pergerakan kaum muda di Yogya dan Jawa Tengah. Fase kedua adalah fase ideologis. Pada fase ini, kegiatan gerilya dan militer mulai berkurang. Yang banyak dihelat
92
adalah diskusi-‐diskusi seputar ideologi dan perkembangan terkini. Fase inilah yang memunculkan tokoh-‐tokoh seperti Aidit dan Sjam Kamaruzaman. Sjam yang tercatat sebagai anggota pertama dalam pendidikan kader PSI, dikemudian hari menjadi tokoh kontroversial dalam gerakan 30 September 1965, serta menjadi anggota Biro Chusus PKI yang tidak kalah kontroversialnya. Mulai awal 1950-‐an, kelompok Pathuk mulai bertransformasi menjadi bagian dari PSI. Jika sebelumnya kelompok Pathuk lebih bersifat cair sehingga orang bisa keluar masuk dengan mudah, Pathuk mulai tercatat sebagai kantung PSI yang cukup progresif. Rumah yang dulunya dijadikan markas kelompok Pathuk mulai digunakan sebagai markas PSI. Di Pathuk ini, peran Djohan Sjahroezah adalah sebagai pengatur strategi dan pemberi muatan ideologis bagi aktivitas kelompok tersebut. Walaupun Djohan hampir tidak pernah berada di Pathuk, namun Djohan berada di belakang setipa program kelompok tersebut. Dayino yang kemudian menjadi pemimpin kelompok ini merupakan kader sekaligus kawan karib dari Djohan Sjahroezah. Di kemudian hari, anggota kelompok Pathuk memang berdiaspora dan bergabung di PSI ataupun PKI. Kelompok Pathuk juga menjadi simpul terkuat dari jaringan bawah tanah Djohan. Mereka banyak mengkaji buku-‐buku Marx, Adam Smith, Machievieli, Gandhi, Lenin dan sebagainya— yang membuat mereka juga sering disebut dengan nama Marx House. Dalam pergerakannya, kelompok Pathuk ini sangat militan dalam berjuang. Para anggotanya sadar bahwa mereka memiliki resiko yang tidak kecil. Oleh karena itu, mereka selalu membawa racun sianida kemana pun mereka pergi. Racun ini akan diminum jika suatu saat mereka ditangkap oleh pihak berwenang.
93
Godfather Pathuk Seperti halnya saat di Surabaya, Djohan Sjahroezah juga menjadi poros para pejuang ketika menetap di Yogyakarta. Rumahnya di Jalan Sagan sering dikunjungi oleh orang-‐orang baik dari Yogya, maupun dari luar daerah. Sebagai bagian dari kaum republiken, Djohan banyak membina kader-‐kader muda. Kegiatan ini membuatnya dekat dengan Sultan IX. Kisah kedekatan Sultan IX dengan keluarga Djohan Sjahroezah ini tercermin dari fakta bahwa keluarga Djohan menjadi satu-‐ satunya orang di luar lingkungan keraton yang memiliki sertifikat hak milih tanah di Sagan. Sagan yang merupakan kawasan istana sesungguhnya hanya diperuntukkan bagi kalangan istana. Saat itu, pascakematian Djohan, Yoyet diajak oleh Dayino untuk menemui Sultan. Dalam pertemuan yang lebih bersifat kekeluargaan tersebut Yoyet berujar dengan nada bercanda: “Ketika kalian pergi bergerilya meninggalkan Yogya, akulah yang menjaga Yogya. Sementara aku sendiri tidak punya tanah di Yogya”
Mendengar hal itu, secara spontan Sultan langsung mengambil kertas kecil dan memberikan catatan bahwa rumah di jalan Sagan boleh dimiliki oleh keluarga Djohan Sjahroezah. Saat itulah untuk pertama kalinya dalam sejarah keraton Yogyakarta, Sultan Hamengkubuwono IX mengadakan transaksi jual beli tanah di Sagan dengan orang di luar lingkungan keraton. Di Yogyakarta, tokoh-‐tokoh Pathuk seperti Dayino, Roesli, Dimjati maupun Tobing-‐lah secara rutin berkunjung ke rumah Djohan di Sagan. Strategi dan taktis yang dibahas di Sagan itulah yang kemudian diimplementasi oleh Kelompok Pathuk. Diantara kader-‐kader pemuda Pathuk, nama Dayino di
94
kemudian hari menjadi sangat legendaris. Ia dianggap sebagai godfather kelompok ini. Dayino pada akhirnya memang menjadi politbiro PSI. Setelah menikah dengan Oemiyah, mereka justru semakin aktif berjuang. Di bawah arahan Djohan Sjahroezah, pasangan ini bahu-‐membahu mendidik rakyat dengan menjadi mentor bagi anak-‐anak muda yang berminat pada sosialisme. Aktivitas Dayino ini direkam oleh Ita Fathia yang menulis : Ketika libur sekolah, aku ikut bapak ke Brebes, sebuah kota di Pantai Utara Jawa Tengah. Di Brebes setiap hari bapak “rapat” (istilahku) dengan banyak orang. Aku tidak tahu dari mana saja mereka itu berasal. Tapi aku masih ingat, bapak akan bicara tentang Marx, tentang kaum tani, nelayan dan tentang persatuan rakyat. Dua hari di Brebes, kami berpindah ke Garut, Jawa Barat.
Pada awal 1950-‐an, kelompok Pathuk sebagai sebuah entitas memang sudah bubar. Sifatnya yang cair berhenti begitu saja ketika orang-‐orang tidak lagi keluar masuk dalam kelompok ini. Namun, secara personal orang-‐orang yang aktif dalam kelompok Pathuk masih terus berjuang. Dayino, Dimjati, Tobing, Roesli, Tauhid dan tokoh-‐tokoh lainnya yang pernah mengeyam “pendidikan” di Pathuk tidak kehilangan militansinya untuk melawan segala penindasan. Dengan peranannya yang sangat penting pada era Jepang hingga pasca kemerdekaan, Pathuk sebagai sebuah entitas layak mendapat sorotan. Kelompok Pathuk menjadi katalisatator perjuangan serta penyemai ideologi dalam menghasilkan kader-‐kader berkualitas. Pathuk menjadi bagian yang setara dengan pusat-‐pusat studi yang berperan aktif dalam mencari bentuk kebangsaan Indonesia.
95
BAB VII Konsistensi Kerakyatan Berbicara tentang konsepsi Sosialisme Kerakyatan yang menjadi ideologi dari PSI, tentu tak lepas dari dialektika sejarah dari mereka yang terlibat dalam Pendidikan Nasional Indonesia yang kemudian juga menjadi pendiri Paras, dan mendirikan PSI setelah pecah kongsi dengan golongan Amir Sjarifuddin. Bulan madu kedua Partai Sosialis ini berjalan cukup panjang selama masa kepemimpinan Sjahrir di kabinet hingga jatuhnya kabinet Sjahrir yang ke III sebagai efek dari penandatanganan Perjanjian Linggarjati. Ketika Sjahrir mengambil pilihan untuk berunding dengan Belanda sebagai strategi melawan penjajahan dengan cara dialogis, ternyata kritik terbesar dan terpedas justru muncul dari rekan-‐rekan separtainya di Partai Sosialis. Kritik ini berasal dari anggota Partai Sosialis yang memiliki latar belakang komunis seperti Setiadjit, Abdul Madjid dan Tan Ling Djie yang menganggap Sjahrir telah memberikan banyak konsensi oleh pihak Belanda sehingga partai menarik dukungannya. Ketiga rekan separtai ini sesungguhnya berhaluan komunis dan mengambil manfaat dari nama sosialis karena dalam perjalannya, golongan komunis sering mengalami penindasan. Abu Hanifah menulis dalam artikelnya Revolusi Memakan Anak Sendiri: Tragedi Amir Sjarifuddin yang dimuat di Majalah Prisma Juli 1977. “Setiadjit, Abdul Madjid dan Tan Ling Djie dari Sosialis mengakui, bahwa mereka memang telah lama menjadi komunis. Setiadjit dan Abdul Madjid sejak tahun 1936 ketika mereka masih memimpin PI di negeri Belanda, sedangkan Tan Ling Djie adalah mahasiswa Institute Lenin dan anggota PKI Ilegal Musso. Jadi kartu-‐kartupun mulai terbuka.”
96
Setiadjit dan Abdul Madjid sendiri telah tercatat sebagai anggota rahasia dari Partai Komunis Belanda. Mereka kemudian memunculkan citra bahwa sejatinya mereka adalah Nasionalis Moderat. Kepulangan kedua orang ini ke tanah air mendapat bantuan dari Belanda dengan harapan membawa pengaruh yang moderat di kalangan tokoh politik Indonesia. Menurut Abu Hanifah, Amir sendiri mengakui bahwa dirinya adalah seorang Stalinis, bahkan pada 9 September 1948, Amir mengumumkan kritik diri yang berisi pengakuan salah atas langkahnya yang bekerja sama dengan kalangan kolonial. “Sebagai komunis saya akui kesalahan saya, dan saya berjanji tidak akan membikin kesalahan lagi. Saya menerima 25 ribu gulden dari Belanda sebelum pendudukan Jepang, buat menjalankan gerakan-‐gerakan bawah tanah. Tetapi saya terima uang itu karena Comintern (Communist-‐ internationale) mengusulkan supaya kita bekerjasama dengan kekuatan kolonial dalam satu front melawan Fasisme.” Amir juga menyatakan bahwa setelah perang dunia kedua berakhir, tidak ada alasan lagi buat bekerja sama dengan kaum kolonialis. Kaum komunis sekarang tidak memerlukan lagi kerjasama dengan kaum kapitalis. Jelas ini sebuah pandangan yang berbeda dengan apa yang diyakini oleh Sjahrir dan lingkarannya yang kemudian menjadi PSI. Amir secara dogmatis memahami bahwa untuk mencapai kemenangan maka revolusi Indonesia harus melewati fase perang kelas. Sementara Sjahrir berpendapat, bahwa perang kelas tidak dapat diterapkan di Indonesia, sebab Indonesia belum memiliki kelas borjuis. Borjuis di Indonesia sebelumnya hanyalah orang-‐orang Belanda dan China. Sjahrir juga tidak bersedia berpihak kepada salah satu negara besar, Amerika atau Soviet.
97
Perbedaan antara Sjahrir dan Amir semakin meruncing ketika Partai Sosialis harus bersikap atas pembentukan pemerintahan oleh Bung Hatta. Amir dan kelompoknya, yaitu PKI, Partai Buruh dan Pesindo, menentang kabinet Hatta, sedangkan kelompok Sjahrir mendukung penuh kabinet yang dibentuk oleh commerade in arm-‐nya. Hingga puncaknya pada 13 Februari 1948 terjadi perpecahan. Sjahrir dan barisannya membentuk Partai Sosialis Indonesia. Sementara Amir Sjarifuddin, Tan Ling Djie dan Abdul Madjid membuka topengnya selama ini dengan membentuk Front Demokrasi Rakyat atau FDR yang berhaluan komunis. Dalam pidato penjelasan sikap berpisahnya barisan Paras dengan Partai Sosialis pada kongres Madiun pada Februari 1948, Djohan Sjahroezah yang sebenarnya juga bukan orang baru bagi kalangan komunis, menjelaskan tentang konsistensi terhadap cita-‐cita sosialisme dan perlawanan terhadap kapitalisme, namun menolak segala bentuk kediktatoran dan absolutisme yang sedang dijalankan oleh kalangan komunis. Dan inilah yang membuat Sjahrir dan barisannya yang lebih berpegang pada sosialisme kerakyatan tak mungkin lagi bisa sejalan dengan kelompok Amir Sjarifuddin, Tan Ling Djie dan Abdul Madjid yang sejatinya adalah Stalinis. Sebagai seorang komunis, ketiga tokoh ini mendapat kritikan yang sangat pedas dari Musso yang baru saja kembali dari Moskow lewat pidatonya yang disebut Pidato Jalan Baru Untuk Republik Indonesia. Mereka dituding telah memperkecil PKI sehingga harus hadir dalam bentuk illegal dan dalam wujud yang berbeda. Ditambah lagi dengan keputusan mereka menggabungkan partai yang mereka dirikan dengan Partai Rakyat Sosialis untuk membentuk Partai Sosialis. Musso menganggap langkah Amir menyatukan Parsi dengan Paras memberi kesempatan bagi Sjahrir dan kawan-‐kawannya
98
untuk “memperkuda Partai Sosialis”. Dan menurut Musso ini disebabkan karena kurangnya kesadaran serta kewaspadaan PKI illegal dalam mengendalikan Partai Sosialis, terlebih lagi dengan jabatan di BP KNIP yang semakin melenakan kader PKI ilegal. “Kemudian tidak sedikit jumlah kader-‐kader illegal kita yang diperlukan baik di dalam Pemerintahan maupun di dalam Badan Pekerja KNIP. Sehingga dengan sendirinya tidak mungkin lagi bagi kawan-‐kawan ini mencurahkan segenap tenaganya kepada pekerjaan dalam ketiga Partai tersebut diatas (PKI legal, PBI, Partai Sosialis). Hal ini lebih melemahkan organisasi.” Sosialisme Kerakyatan dan Komunisme Perbedaan pandangan antara kelompok Sjahrir dan Kelompok Amir selain seperti yang telah disampaikan oleh Djohan Sjahroezah dalam pidato perpisahan dengan Partai Sosialis. Bahwa kelompok Sjahrir tetap konsisten pada cita-‐cita sosialisme dan perlawanan terhadap kapitalisme. Namun dalam pelaksanaannya mereka menolak segala bentuk kediktatoran dan absolutisme yang justru dicita-‐citakan oleh kalangan komunis daalam bentuk Diktator Proletariat. Sjahrir melihat adanya kemungkinan munculnya sifat totaliter dalam nasionalisme dan revolusi, dalam pandangannya, peranan non pemerintah atau swasta tetaplah penting. Sjahrir menghendaki sebuah sistem perekonomian campuran yang tidak menafikkan peranan pemerintah maupun swasta. Sjahrir tidak khawatir jika peranan swasta akan memunculkan kelas kapitalis dalam masyarakat, karena justru dengan begitu pada saatnya nanti akan muncul tenaga-‐tenaga professional dengan keahlian administratif yang sangat diperlukan oleh negara dalam menjalankan sektor
99
perekonomian publik. Karena tanpa tenaga yang profesional—yang sulit diharapkan muncul dari dalam sistem—akan menghambat negara dalam menjalankan program-‐program perubahan sosial. Pandangan-‐pandangan PSI yang menunjukkan perbedaan secara ideologis dengan kelompok Amir—komunis—juga bisa dilihat dalam tulisan yang dibuat oleh Djohan Sjahroezah yang kerap muncul dengan nama samaran “Suparman” dalam mingguan politik Sikap. Salah satu tulisannya yang paling gamblang menggambarkan perbedaan tersebut adalah yang berjudul Sosialisme Kerakyatan dan Komunisme. Djohan menulis bahwa dalam pandangan kaum sosialis kerakyatan, untuk mencapai masyarakat sosialis tidaklah harus mengikuti apa yang diputuskan oleh Moskow sebagaimana pandangan kalangan PKI. Justru karena menempatkan ajaran Marx dan Engels sebagai acuan berpikir, maka kaum Sosialis Kerakyatan di Indonesia menjalankan politik luar negeri yang yang bersifat damai dan demokratis. Tanpa perlu mengacu pada keputusan Moskow, Djohan percaya kondisi masyarakat serta negara saat itu memungkinkan diterima dan berkembangnya konsep sosialisme kerakyatan sebagai pedoman untuk menyusun perikehidupan dan masyarakat baru yang adil, makmur dan sejahtera. Sementara jika melihat pada apa yang dicita-‐ citakan oleh Marx dan Engels akan persamaan antar manusia, hilangnya penindasan dan kekuasaan golongan manapun sepertinya tidak mungkin ditemukan pada pemerintahan diktator proletariat komunis Soviet Rusia yang menguasai segala sendi kehidupan masyarakatnya. Oleh sebab itu kaum sosialis kerakyatan menurut Djohan berbeda, dan tak sejalan dengan PKI yang tunduk kepada pimpinan Moskow. PSI sebagai pengejawantahan kaum 100
Sosialis Kerakyatan tetap konsisten dengan apa yang sudah menjadi garis politiknya bahwa Sosialisme Kerakyatan adalah jalan untuk menuju cita-‐cita manusia bebas luput dari penghisapan dan penindasan dan hidup di dalam masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur bagi rakyat Indonesia. Ini sesuai dengan ajaran Marx dan Engels yang menyatakan bahwa banyak jalan menuju masyarakat sosialis. Selain itu pandangan ini sejalan dengan Eduard Bernstein yang tampil dan mengusulkan agar kaum sosialis Jerman melepaskan diri dari Moskow dan mendirikan partai politik sendiri. Bernstein menolak sifat internasional gerakan buruh, karena menurut Bernstein dan pengikutnya, buruh tetap mempunyai tanah air, dan tentu saja berbeda dengan pemikiran Moskow yang berpegang pada Internasionalisme. Ajaran Marx direvisi secara besar-‐besaran oleh Bernstein sehingga gerakan ini dinamakan revisionisme di kalangan Marxis. Pemisahan kaum sosialis Jerman dari Marxisme ortodoks ditandai oleh terbitnya buku Bernstein berjudul Voraussetzungen des Sozialismus und die Aufgaben der Sozialdemokratie (Syarat-‐syarat Sosialisme dan Tugas-‐tugas Sosial-‐Demokrasi) pada 1899. Selain tulisan-‐tulisannya di Sikap, artikel-‐artikel yang ditulis oleh Djohan Sjahroezah di media massa PSI, Suara Sosialis juga banyak mengungkapkan pandangan sosialisme kerakyatan yang dianutnya. Dalam tulisannya yang berjudul Sosialis-‐Komunis Sosialis-‐Demokrat yang dimuat pada majalah Suara Sosialis yang terbit pada 15 februari 1951. Djohan menulis “Sambil mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negara, maka harus diletakkan dasar bagi perekonomian rakjat. Perobahan dan perbaikan hidup dan peri kehidupan rakjat harus disertai oleh rakjat itu sendiri. Kekuasaan politik alias negara harus mendjamin 101
kemungkinan dan kesempatan bagi perkembangan usaha dan organisasi rakjat.” Lebih lanjut Djohan yang menggunakan nama penulis Sjahroezah menegaskan, “Tegasnja, politik luar negeri harus berputar disekitar usaha menjelamatkan dan mempertahankan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negara. Usaha di dalam negeri, jaitu menjusun dan mengatur kekuatan dan kesanggupan rakjat sambil merobah dan memperbaiki hidup dan peri kehidupanja. Inilah jang mendjadi pedoman bagi kaum sosialis dalam sikap dan langkahnja dalam tingkat edaran kemadjuan dewasa ini.” Partai Kader dan Partai Massa Sebagai kelanjutan dari Paras yang artinya juga melanjutkan tradisi intelektualitas PNI Baru, PSI juga berpegang teguh pada pentingnya kualitas kader. Ketika membangun PNI Baru, Bung Hatta menyatakan tugas utama partai adalah mendidik rakyat. Bung Hatta dalam tulisannya di Daulat Rakjat, 20 September 1932, mengatakan, “Dengan agitasi mudah membangkitkan kegembiraan orang banyak, tetapi tidak membentuk fikiran orang.” Belum lagi, kegembiraan massa itu bisa hilang dalam sekejap. Bung Hatta merasa agitasi itu hanya pembuka jalan, sedangkan “didikan/kaderisasi” merupakan pembimbing rakyat untuk menyelami lebih banyak seluk beluk berorganisasi. Dengan kaderisasi, partai akan menjadi kuat. Selain Djohan Sjahroezah, sepertinya hanya sedikit kader PSI yang dekat dengan massa khususnya buruh dan pemuda. Seperti Dayino yang dekat dengan massa pemuda, kemudian Siauw Giok Tjhan yang jelas-‐jelas dekat dengan kalangan peranakan tionghoa dan dikenal dengan gaya hidupnya yang amat sederhana.
102
Sjahrir sendiri lebih suka dengan kader yang kendati hanya segelitir, namun berkualitas ketimbang massa yang diikat oleh fanatisme. Sebagai partai kader, PSI memandang sangat penting pendidikan bagi kader yang dilakukan secara intensif dan tertutup. Pola seperti ini membuat PSI memiliki kader-‐ kader partai yang berkualitas, memiliki kapasitas, loyalitas dan kompetensi yang tinggi terhadap partainya. Selain itu dalam pola kader akan terbangun sebuah hubungan rapat-‐erat antara pemimpin dengan kader-‐kadernya karena berhubungan langsung dalam proses kaderisasi. Ini bisa kita lihat pada pengalaman Sjahrir dan Djohan Sjaroezah saat mendirikan Partai Rakyat Sosialis yang memanfaatkan kader PNI Baru yang masih berjuang secara perorangan atau dalam kelompok kecil. Sjahrir sendiri ketika masih era PNI Baru, kerap melakukan perjalanan ke daerah-‐daerah untuk bertemu dan memberikan pengarahan ideologis bagi para kader di sana atau sekedar berdiskusi tentang perkembangan terakhir. Pola partai kader memang menguntungkan bagi PSI, dengan begitu pimpinan partai sangat mengenali setiap kadernya hingga hal-‐hal yang terkecil. Sehingga dengan mudah memutuskan pembagian kerja siapa memegang apa. Filter kader dapat mencegah penyimpangan-‐penyimpangan—yang bisa saja terjadi—yang kelak merugikan partai. Inilah yang membuat PSI bisa mengetahui dan segera melakukan pencegahan, walaupun terlambat, ketika Soemitro Djojohadikusumo hijrah ke Sumatera dan bergabung dengan Pemberontakan PRRI/Permesta. Sebagai partai kader, PSI sangat ketat dalam proses perekrutan kader. Untuk menjadi kader PSI, calon anggota harus menjalani pendidikan kader selama kurang lebih enam bulan. Tak hanya itu, calon anggota juga harus 103
direkomendasikan oleh dua orang anggota sebelum diangkat menjadi anggota partai. Dengan proses perekrutan yang tidak mudah tersebut, bisa dipahami jika PSI kemudian berkembang menjadi partai kader, bukan partai massa. Tak heran jika kader-‐kader PSI tumbuh menjadi kader-‐kader potensial yang banyak berperan dalam menginfiltrasi intelektualisme Indonesia. Sayangnya, Indonesia waktu itu bahkan hingga saat ini masih dijangkiti politik massa, dimana hampir semua partai politik mengandalkan kekuatan massa dalam agenda-‐agenda politiknya. Ketika mayoritas anggota menghendaki PSI untuk berpartisipasi dalam Pemilihan Umum Legislatif yang pertama di republik ini pada 1955, hampir terjadi perpecahan di dalam tubuh PSI. Akhirnya PSI pun turut serta kedalam Pemilu, walaupun kemudian, pada masa kampanye PSI tampak tak terbiasa dengan pola-‐pola rapat umum yang lazim dilakukan oleh partai-‐partai lain. Tentu saja sebagai partai kader yang terbiasa tertutup dalam setiap aktivitasnya, PSI tak nyaman dengan kegiatan terbuka seperti itu. Alhasil, PSI sebagai kekuatan yang banyak berpengaruh terhadap dialektika politik Indonesia pada dekade awal, yang beberapa kali memimpin pemerintahan, ternyata tidak mendapat suara yang cukup pada pemilihan umum 1955. Menurut Mrazek "Partai Sosialis Indonesia menderita kekalahan yang menghancurkan, yakni kekalahan dalam politik massa.” Para pemenang Pemilu 1955, PNI, Masjumi, NU dan PKI—yang kerap dikritik PSI—justru mengandalkan kekuatan basis massa yang mereka miliki di daerah-‐daerah. Setiap rapat umum yang diadakan saat kampanye selalu terlihat membludak, meriah, dan gilang gemilang. Faktor patronase dan kekuatan massa tampak dominan pada partai-‐ partai pemenang pemilu. 104
PNI yang mengandalkan para pejabat tingkat lokal seperti lurah dan mandor untuk bisa mengerahkan massa selain tentunya faktor popularitas Bung Karno juga cukup dominan. Sementara Masjumi kendati sebagai partai Islam moderat juga mengandalkan peran guru-‐guru agama dan kiai yang secara tradisional tentu memiliki ikatan yang kuat dengan jama’ahnya. Begitu pula dengan Nahdlatul Ulama yang yang didukung jaringan pondok pesantren tradisional yang terserak di hampir seluruh bagian Pulau Jawa dan sebagian Kalimantan. PKI sendiri sebagaimana diketahui memiliki jaringan organisasi massa underbouw dengan jumlah anggota yang tidak sedikit. Sjahrir sendiri dengan nada kecewa menilai hal ini bukan hal yang baik dalam perkembangan demokrasi di Indonesia. Sjahrir menuliskan ini dalam artikel berjudul Pemilihan Umum untuk Konstituante di harian Sikap, 5 Desember 1955, ia menulis: "Rakyat memberikan suara bukan berdasarkan motif agung. Melainkan karena mengikuti pemimpin yang mereka hormati dalam kehidupan sehari-‐hari. Bukan pahlawan, bukan pemuda revolusi, melainkan kiai, guru mengaji, lurah, dan mandor." Menyikapi kekalahan ini Sjahrir sebagai Pemimpin Umum PSI pada 6 Januari 1956 mengeluarkan apa yang disebut “Pedoman Organisasi No.1” yang berisi arahan agar PSI sedapat mungkin harus lebih dekat dengan rakyat dan membuka diri pada rakyat. Tampak betul kekalahan pada Pemilu 1955 membawa kegetiran bagi PSI. Kegagalan dalam pemilu ini diarahkan sebagai tanggung jawab Djohan Sjahroezah yang menjadi sekretaris jenderal partai sejak Kongres II di akhir Maret dan awal April 1956. Padahal, menurut beberapa catatan, PSI memang bisa dianggap setengah hati dalam mengikuti Pemilu 1955, karena tidak ada 105
persiapan dan pembicaraan sejak awal soal kesertaan dalam pemilu. Namun karena desakan dari anggota dan beberapa fungsionaris partai yang menghendaki PSI untuk ikut pemilu, akhirnya PSI menyatakan ikut pemilu dan melakukan persiapan-‐persiapan yang jelas jauh tertinggal dengan persiapan partai-‐partai yang lain. Tampaknya banyak yang melupakan peran Djohan Sjahroezah selama ini yang justru lebih dekat dengan kader-‐kader muda yang menjadi darah segar bagi partai. Bahkan ketika PSI dibubarkan, terlebih selepas meninggalnya Sjahrir, Djohan menjadi muara tempat bertanya dan berdiskusi bagi kader-‐ kader partai yang masih terus bekerja untuk sosialisme kerakyatan. Jika di kemudian hari atau pada era setelah dibubarkan, media massa yang banyak dipengaruhi oleh PKI menyebutkan bahwa kader-‐kader PSI adalah orang-‐orang sosialis kanan yang gemar pesta dan “dansa-‐dansi”, seharusnya patah dengan gaya hidup yang dijalani oleh Djohan dan kawan-‐ kawannya seperti Dayino dan M.L. Tobing yang hingga akhir hayatnya masih menjalani hidup secara sederhana. Kader Tak Pernah Padam Tapi kemenangan pemilu sesungguhnya tidak melulu menjadi tolok ukur bagi kesuksesan sebuah partai politik. Kendati telah dibubarkan lewat Keputusan Presiden No. 201 Tahun 1960 yang diumumkan oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1960, kader-‐kader PSI masih terlibat aktif dalam perpolitikan di tanah air. Malah ada sedikit harapan bahwa dengan jatuhnya kekuasaan Bung Karno maka ada kemungkinan bagi PSI untuk bangkit kembali karena sejatinya partai ini memang belum pernah bubar. Banyak kader dan 106
orang-‐orang yang dekat dengan PSI termasuk kalangan militer yang kemudian menyokong orde baru. Dalam kelompok mahasiswa yang tergabung dalam Kesatuan Aksi Mahasiswa Indonesia (KAMI), banyak kader Gerakan Mahasiswa Sosialis (Gemsos) yang kemudian menjadi tokoh-‐ tokoh pergerakan mahasiswa yang berhasil menumbangkan kekuasaan Bung Karno dan membuka jalan bagi Suharto untuk memerintah. Sementara di kalangan militer banyak juga pendukung Suharto yang dikenal dekat dengan PSI seperti Panglima Kodam Siliwangi Letjen H.R. Dharsono dan Pangdam Tanjung Pura, Brigjen A.J. Witono. Dalam buku Pengemban Misi Politik, Soebadio menyatakan PSI merupakan suatu state of mind, keadaan pemikiran yang tidak dapat dideteksi. Jaringannya berlandaskan kesamaan ide, spiritual, bukan semata organisasi. Sarbini Sumawinata pernah menyebutkan yang paling kuat dan tidak berubah di dalam PSI adalah semangat sosialisme, semangat membela rakyat, serta memperjuangkan keadilan dan pemerataan. Meski partai itu bubar, semangatnya tak pernah padam. Benar apa yang ditulis Legge bahwa kegiatan politik massa bukan satu-‐satunya tolok ukur keberhasilan partai. Pemikiran PSI bertahan hingga sekarang. "Fakta bahwa partai ini mewakili aliran moral dan politik diIndonesia," kata Legge. Kenyataanya, pemikiran PSI terus bergulir lewat orang-‐orang yang berada di habitat PSI atau melalui pandangan berbagai organisasi yang baik sadar maupun tidak telah mengadopsi pandangan-‐pandangan sosialisme kerakyatan oleh PSI. Orang-‐orang yang disebut sebagai habitat PSI ini adalah golongan yang tumbuh pasca pemblokiran PSI oleh Bung Karno. Mereka besar dalam pendidikan kader-‐kader PSI, namun tidak memiliki keanggotaan karena sebagai partai terlarang, praktis PSI tidak dapat merekrut anggota baru. 107
BAB VIII Merintis Demokrasi Pasca proklamasi 1945, gejolak politik tak henti-‐hentinya terjadi. Masa-‐masa awal republik ini berdiri masih disibukkan dengan kedatangan Belanda yang membonceng pasukan sekutu untuk kembali menguasai Indonesia. Terhitung sejak 1945—1949 sampai KMB diselenggarakan, Indonesia yang masih bayi harus jatuh bangun mempertahankan prinsip kemerdekaan yang sudah dikumandangkan. Setidaknya dua agresi militer Belanda yang harus dihadapi pasukan republik. Pertempuran demi pertempuran terjadi di berbagai wilayah. Surabaya membara. Bandung menjadi lautan api. Sementara Ambarawa dan daerah lainnya tak luput dari pertempuran mempertahankan Indonesia. Tidak hanya harus menghadapi tentara Belanda, gangguan demi gangguan bagi pemerintahan yang sah juga terus terjadi. Proklamasi negara pasundan, DI/TII Kartosoewirjo sampai proklamasi Negara Soviet di Madiun pada 1948. Kondisi keamanan yang belum stabil tak ayal juga berpengaruh bagi iklim politik di Indonesia. Kabinet demi kabinet berguguran hanya dalam waktu singkat. Dua perjanjian yaitu Linggarjati dan Renville menjadi momok yang menakutkan baik bagi kabinet Sjahrir maupun Amir Sjarifuddin. Kabinet kiri di Indonesia mulai tersisihkan saat Hatta menjadi Perdana Menteri menggantikan kabinet Amir. Amir Sjarifudin sendiri kemudian berakhir tragis. Karena dianggap terlibat dalam peristiwa Madiun 1948, ia pun diburu oleh pasukan republik untuk kemudian dieksekusi. Periode 1950—1959 merupakan periode demokrasi parlementer atau demokrasi liberal. Anggota DPR saat itu berjumlah 232 orang yang terdiri dari Masyumi (49 kursi), PNI 108
(36 kursi), PSI (17 kursi), PKI (13 kursi), Partai Katholik (9 kursi), Partai Kristen (5 kursi), dan Murba (4 kursi), sedangkan sisa kursi dibagikan kepada partai-‐partai atau perseorangan. Dari PSI salah satunya adalah Djohan Sjahroezah yang menjabat menjadi anggota DPR periode Agustus 1950-‐Maret 1956. Struktur seperti ini rupanya tidak kuat untuk menopang pemerintahan republik. Parlemen sangat mudah mengeluarkan mosi tidak percaya sehingga koalisi dalam pemerintahan goyah yang menyebabkan kabinet jatuh. Pada masa itu, koalisi antar partai yang diharapkan dapat menjembatani antar kepentingan justru semakin panas bertikai. Sementara Bung Karno sebagai presiden tidak memiliki kekuasaan penuh selain menunjuk formatur untuk membentuk kabinet. Jatuh bangun republik ini menjadi hambatan untuk membangun iklim politik yang bebas dan demokratis. Meskipun sudah sejak 1945 Hatta sudah mengeluarkan Maklumat X yang mempersilahkan masyarakat mendirikan partai secara bebas, partai-‐partai ini baru bisa bertarung secara adil dalam Pemilihan Umum 10 tahun kemudian. Pemilu Bersih 1955 Pada 1955 menjadi tahun penting bagi perjalanan republik Indonesia. Setelah 10 tahun menghadapi gejolak politik yang tak pernah berhenti, Indonesia menghadapi babak baru pada tahun ini, Pemilu. Sejarah mencatat, pemilu 1955 merupakan pemilu paling bersih yang pernah diselenggarakan. Dipersiapkan di bawah pemerintahan kabinet Ali Sastroamidjojo, pemilu ini justru diselenggarakan pada masa kabinet Burhanudin Harahap. 109
Pada dasarnya, keinginan untuk menyelenggarakan pemilu sudah muncul sejak kelahiran Indonesia. Maklumat X atau Maklumat Wakil Presiden Mohammad Hatta 3 November 1945 yang berisi anjuran tentang pembentukan partai-‐partai politik, juga menyebutkan bahwa pemilu untuk memilih anggota DPR dan MPR akan diselenggarakan Januari 1946. Sayangnya saat itu pemerintah belum siap menyelenggarakan pemilu. Ketidaksiapan ini bisa dilihat dari belum selesainya penyusunan Undang-‐Undang (UU) Pemilu serta berbagai regulasi pendukungnya. Selain itu, kondisi keamanan yang belum stabil akibat konflik internal serta serbuan tentara sekutu memaksa pemerintah saat itu menunda pemilu. Regulasi-‐regulasi terkait pelaksanaan Pemilu baru dibuat pada 1948. UU Pemilu pertama yang dikeluarkan adalah UU No. 27 Tahun 1948 tentang Pemilu yang kemudian diubah dengan UU. No. 12 Tahun 1949 tentang Pemilu. Dalam UU No. 12/1949 diamanatkan bahwa pemilihan umum yang akan dilakukan adalah bertingkat atau tidak langsung. Sifat pemilihan tidak langsung ini didasarkan pada alasan bahwa mayoritas warga negara Indonesia pada waktu itu masih buta huruf, sehingga kalau pemilihannya langsung dikhawatirkan akan banyak terjadi distorsi. Saat Mohammad Natsir menjabat sebagai Perdana Menteri pada 1950-‐an, pemilu dijadikan program kabinetnya. Sejak itulah pembahasan UU Pemilu mulai digencarkan kembali. Pada awalnya untuk kepentingan ini dibentuk tim kecil yang bernama Panitia Sahardjo sebelum kemudian dilanjutkan ke parlemen. Saat kabinet Natsir jatuh pada 21 Maret 1951, pembahasan UU Pemilu belum juga mencapai final. Sakiman Wirjosandjojo yang merupakan pengganti Natsir kemudian berusaha melanjutkan pembahasan UU Pemilu. Hal ini didasarkan pada UUD Sementara (UUDS) 1950 pasal 110
57 yang menyatakan bahwa anggota DPR dipilih oleh rakyat melalui pemilihan umum. Sayangnya pemerintahan kabinet Sakiman juga belum berhasil menyelesaikan UU Pemilu ini. Baru pada masa kabinet Wilopo dari PNI, UU No. 7 Tahun 1953 berhasil dikeluarkan. UU inilah yang kemudian menjadi payung hukum penyelenggaraan Pemilu 1955. Dengan demikian UU No. 27 Tahun 1948 yang diubah dengan UU No. 12 Tahun 1949 yang menyatakan bahwa pemilihan anggota DPR dilakukan secara tidak langsung tidak berlaku lagi. Pelaksanaan pemilu 1955 sendiri dilakukan secara langsung, bersih dan jujur. Meskipun beberapa daerah masih bergejolak akibat konflik dengan pasukan DI/TII, secara umum pemilu pertama itu berjalan lancar tanpa kendala yang berarti. Pemilu ini sendiri dilaksanakan dengan PP No. 9 Tahun 1954. Berbeda dengan apa yang diamanatkan oleh Maklumat X, pemilu 1955 dilakukan dalam dua tahap. Tahap pertama dilakukan pada 29 September 1955 untuk memilih anggota DPR. Tahap kedua dilakukan pada 15 Desember 1955 untuk memilih anggota-‐anggota Dewan Konstituante. Pemilu anggota DPR diikuti oleh 118 peserta yang terdiri dari 36 partai politik, 34 organisasi kemasyarakatan, dan 48 perorangan. Sedangkan untuk Pemilu anggota Konstituante diikuti 91 peserta yang terdiri dari 39 partai politik, 23 organisasi kemasyarakatan, dan 29 perorangan. Masyarakat sendiri sangat antusias dalam menghadapi pemilu. Tidak kurang dari 30 partai berkompetisi secara sehat untuk memperebutkan 257 kursi anggota DPR serta 514 kursi Konstituante. Antusiasme masyarakat Jakarta dalam menyambut pemilu 1955 sendiri tergambar dalam laporan harian Pemandangan saat itu: 111
Rakyat di kampung-‐kampung banyak yang berbondong-‐ bondong menyaksikan mobil kampanye dari Kementerian Penerangan. Pada masa kampanye para pemimpin partai politik lebih sering turun ke kampong-‐kampung untuk bicara langsung dengan simpatisannya. Seperti Ketua Umum Muhamad Natsir, Sukarni (Murba) dan Sutan Sjahrir (PSI) pernah datang ke Kampung Kwitang Jakarta Pusat. Mereka berbincang dan bersalaman dengan orang kampung. Bahkan bersalaman dengan tukang becak.
Peserta pemilu mencapai lebih dari 30-‐an partai politik serta lebih dari seratus daftar kumpulan dan calon perorangan. Pemilu diikuti oleh lebih dari 37,8 juta warga, dari total 85,4 juta populasi pada saat itu. Menurut George McTurnan Kahin, pemilu 1955 begitu penting sebab dengan itu kekuatan partai-‐partai politik terukur lebih cermat, dan parlemen yang dihasilkan lebih bermutu sebagai lembaga perwakilan. Hasilnya, lima besar pemenang dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional Indonesia (PNI) mendapatkan 57 kursi DPR dan 119 kursi Konstituante (22,3 persen), Masyumi 57 kursi DPR dan 112 kursi Konstituante (20,9 persen), Nahdlatul Ulama 45 kursi DPR dan 91 kursi Konstituante (18,4 persen), Partai Komunis Indonesia (PKI) 39 kursi DPR dan 80 kursi Konstituante (16,4 persen), dan Partai Syarikat Islam Indonesia (2,89 persen). PSI dalam Pemilu 1955 Diantara 30 partai yang terlibat pemilu 1955, PSI menjadi salah satu kandidat yang diunggulkan. Tokoh-‐tokoh yang menghuni PSI saat itu adalah tokoh-‐tokoh intelektual yang sudah dikenal publik. Tak heran jika pada awalnya PSI 112
digadang-‐gadang akan menjadi salah satu partai dari lima besar pemenang pemilu. Sayangnya apa yang terjadi di lapangan justru sebaliknya. Dalam pemilihan legislatif, PSI yang saat itu dipimpin oleh Sjahrir hanya meraih 5 kursi atau hanya sekitar dua persen dari total 257 kursi yang diperebutkan. Dari 37 juta suara, PSI hanya mampu meraup sekitar 750 ribu suara untuk mendukung mereka di DPR. Padahal sebelumnya PSI berhasil menempatkan 17 kadernya di DPR. Hal serupa juga terjadi pada pemilihan konstituante. Dari total 514 kursi yang diperebutkan, PSI hanya mampu menempatkan sepuluh wakilnya. Hal ini tentu agak mengherankan. PKI yang namanya cacat dalam berbagai peristiwa, terutama setelah peristiwa Madiun 1948 justru menjelma menjadi partai yang cukup besar dan disegani. Kegagalan PSI dalam merebut hati rakyat pada pemilu 1955 juga tercermin dari apa yang diceritakan oleh Alwi Shihab. Meskipun didukung oleh 3 koran yang memiliki tiras terbesar di Indonesia dalam kurun waktu 1950—1960 yaitu: Pedoman, Keng Po dan Indonesia Raja, gaung PSI tidak begitu kentara termasuk pada masa-‐masa kampanye. Saat itu, Alwi Shihab muda turut menghadiri kampanye PSI di lapangan Gambir. Alwi yang merupakan pembaca koran Pedoman milik Rosihan Anwar itu menggambarkan apa yang terjadi dalam kampanye publik tersebut sebagai berikut: Jumlah massa yang mengikuti kampanye PSI ternyata tidak begitu banyak. Sekalipun hanya bagian kecil lapangan Gambir yang digunakan, masih tampak ruang-‐ruang kosong. Padahal, hadir Sutan Sjahrir, ketua umum PSI, Sumitro Djojohadikusumo, Subadio Sastrosatomo, dan 113
sejumlah tokoh PSI lainnya. Jauh lebih sepi dibanding kampanye Masyumi, PNI, NU dan PKI.
Pada dasarnya PSI memang merupakan partai kader. Meski ditopang oleh kalangan intelektual semacam Soemitro Djojohadikusumo, Djohan Sjahroezah, Soebadio Sastrosatomo maupun L.M. Sitorus, PSI rupanya agak berjarak dengan massa. Di kalangan intelektual, nama PSI memang cukup populer. Namun fakta bahwa hanya dua persen suara yang mampu diraup PSI membuktikan basis massa PSI tidak begitu solid. Padahal dalam kurun waktu 1945—1957, PSI sudah menempatkan kader-‐kadernya untuk memimpin di 34 kementerian. Tentu sebuah prestasi yang membanggakan jika dibandingkan dengan partai lainya. PSI memang tak pernah diproyeksikan menjadi partai massa. Saat Majelis Syuro Muslimin Indonesia (Masyumi) memiliki enam juta orang anggota, pun begitu dengan Partai Komunis Indonesia (PKI), PSI hanya memiliki 3.049 anggota tetap dan 14.480 orang calon anggota pada tahun 1952. Tahun 1955, jumlah anggota bertambah namun tak banyak, hanya 50 ribu orang. Atas kekalahan ini, koran berbahasa Belanda di Jakarta De Nieuwgier menulis dalam tajuk rencananya: “PSI memiliki banyak perwira, tapi sedikit sekali pasukan infanteri,”.
Sebagaimana partai lainya, PSI sebenarnya memiliki corong organisasi berupa surat kabar. Yang paling menonjol adalah surat kabar milik Rosihan Anwar yang bernama Pedoman. Kedekatannya dengan kalangan sosialis dari kelompok Sjahrir membuat Rosihan turut terjun langsung pada pemilu 1955. Pedoman yang pertama kali terbit pada November 1948 tersebut bahkan menyediakan halaman khusus tajuk rencana “Pilihan Kita: PSI”. Saat itu, Pedoman merupakan 114
salah satu surat kabar dengan tiras terbesar di Indonesia. Pada 1961, surat kabar ini memiliki tiras hingga 53 ribu eksemplar. Jumlah yang luar biasa pada masa itu. Pada saat kejatuhan PSI terkait peritiwa PRRI, Pedoman juga turut dibredel pada 7 Januari 1961. Banyak kalangan yang berpendapat bahwasanya kekalahan PSI disebabkan karena gagasan-‐gagasan yang dilontarkan Sjahrir terlalu elitis, sementara kesadaran politik masyarakat belum terbangun dengan baik. Namun harus diakui Sjahrir bersama Djohan Sjahroezah dan Soegondo Djojopuspito telah merumuskan “Sosialisme Kerakyatan” yang menjadi landasan gerak juang PSI. Ideologi sosialisme kerakyatan telah diterima sebagai pandangan politik partai dalam kongres pertama di Bandung pada 12—17 Februari 1952: Sosialisme yang kita maksudkan adalah sosialisme yang berdasarkan atas kerakyatan, yaitu sosialisme yang menjunjung tinggi asas derajat kemanusiaan, dengan mengakui dan menjunjung persamaan derajat tiap manusia orang seorang.
Sebagai ideolog dan doktriner, peran Djohan sangat krusial. Ia berperan sebagai penyeimbang Sjahrir yang dianggap terlalu elitis. Berbeda dengan Sjahrir yang dianggap sulit bergaul dengan rakyat kebanyakan, Djohan justru dekat dengan semua kalangan. Hal ini disebabkan karena sejak muda Djohan sudah bergelut dengan kaum buruh dan masyarakat miskin lainnya. Sebenarnya, pada era pemilu 1955 Djohan banyak memiliki kader-‐kader muda potensial. Serikat Buruh Minyak (SBM) di Jawa Timur yang dirintisnya merupakan cikal bakal dari Serikat Organisasi Buruh Seluruh Indonesia (SOBSI). Sayangnya, banyak dari kader-‐kader Djohan yang kemudian 115
berganti haluan menjadi komunis dan bergabung dengan PKI ataupun Murba. Menurut J.D. Legge, kegagalan PSI untuk meraup suara yang signifikan merupakan bagian integral dari watak partai ini. Dalam bukunya Legge menulis : Berbeda dengan partai-‐partai besar pada dasawarsa 1950 – PNI, Masyumi, Nahdhatul Ulama dan PKI – PSI itdak mempunyai basis budaya, agama ataupun kelas untuk mendukungnya. Ia tidak mempunyai simbol-‐simbol yang dapat menghimpun kaum abangan guna melawan kaum santri, menghimpun orang Jawa guna melawan orang Sumatera, serta menghimpun petani guna melawan birokrat. Tidak banyak orang yang akan tertarik kepada program-‐programnya yang canggih.
Menurut pengakuan Djoeir Mohamad yang merupakan anggota politbiro PSI, pada dasarnya PSI memang tidak berniat untuk berpartisipasi dalam pemilu 1955. Hal ini tercermin dari hasil kongres pertama PSI pada 1952 di Bandung yang sama sekali tidak membahas strategi menghadapi pemilu. Djohan Sjahroezah juga termasuk golongan yang tidak menghendaki keikutsertaan dalam pemilu. PSI yang saat itu merupakan partai kader memang tidak terlalu antusias menempatkan kadernya pada anggota DPR dan Dewan Konstituante. PSI memilih untuk menempatkan kader-‐kadernya pada posisi-‐posisi strategis di pemerintahan. Banyak dari politbiro PSI yang menjadi tulang punggung pemerintahan. Soemitro Djojohadikusumo yang dikenal sebagai begawan ekonomi misalnya pernah menjabat sebagai Menteri Perdagangan dan Perindustrian pada masa kabinet Natsir. Anggota politbiro PSI ini juga sempat menjadi Menteri Keuangan pada era kabinet Wilopo, hingga kabinet 116
Burhanudin Harahap. Selain itu ada nama Sutan Rasyid yang sangat berperan dalam Pemerintahan Darurat Republik Indonesia (PDRI) pimpinan Sjafrudin Prawiranegara dengan menjadi Menteri Pertahanan. Saat pemilu 1955, ia juga menjadi anggota Konstituante dari PSI. Soegondo Djojopuspito yang pernah menjabat sebagi wakil ketua PSI juga sempat menjabat sebagai Menteri Pembangunan Masyarakat pada masa kabinet Halim. Dengan demikian, PSI pada dasarnya memang bertujuan untuk mendidik kader-‐ kader yang akan menempati posisi strategis di pemerintahan. Artinya, politik PSI adalah politik pedagogis yang menitikberatkan pada pendidikan kader. Hal ini diperkuat dengan fakta bahwa kader-‐kader PSI yang kemudian aktif di dunia pendidikan seperti Soemitro, Sutan Takdir Alisjahbana, Siaw Giok Tjhan— pendiri Unreka yang kemudian menjadi Universitas Trisakti, Prof. Sarbini, Profesor Miriam Budiardjo dan lain sebagainya. Fase Demokrasi Terpimpin Gilang gemilang pelaksanaan pemilu 1955 yang jujur, adil dan demokratis ternyata bukan tanpa masalah. Kesuksesan menyelenggarakan pesta demokrasi pertama adalah sebuah prestasi yang cukup membanggakan. Namun, hasil dari pemilihan umum inilah yang ternyata cukup menyita perhatian. Pada pemilu 1955, masa persiapan dan kampanye dilakukan dalam kurun waktu 2,5 tahun. Waktu yang cukup lama untuk menyemai ideologi dan fanatisme partai. Akibatnya, hasil pemilu 1955 tidak mampu menciptakan stabilitas politik seperti yang diharapkan. Konflik demi konflik terus saja naik ke permukaan. Mulai dari konflik ideologis, konflik antar partai, hingga konflik kepentingan antara pusat dan daerah. 117
Tak hanya konflik demi konflik yang terus terjadi, 514 anggota dewan Konstituante yang bertugas menyusun UUD juga tidak mampu melaksanakan tugasnya dengan baik. Dalam masa-‐ masa sidangnya, Dewan Konstituante tidak juga mencapai kuorum untuk menggantikan UUDS 1950 yang dianggap tidak sesuai dengan iklim politik di Indonesia. Pada masa itu, Bung Karno dikenal dekat dengan golongan militer di bawah pimpinan Jenderal Nasution. Pada 14 Maret 1957, Nasution berhasil mendesak Bung Karno untuk memberlakukan SOB (Staat Van Oorlog en Beleg), yaitu pernyataan bahwa negara dalam keadaan darurat dengan memberlakukan jam malam, pembatasan kegiatan-‐kegiatan masyarakat serta bahkan membatasi sidang Dewan Konstituante. Puncaknya, iklim demokrasi yang sudah terbangun melalui pemilu 1955 harus kandas saat Bung Karno mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959. Tidak hanya membubarkan konstituante yang dianggap gagal menjalankan tugasnya, dekrit ini sekaligus mengembalikan landasan bernegara kepada UUD 1945 sekaligus membentuk MPRS (Majelis Permusyarawatan Rakyat Sementara) dan DPAS (Dewan Pertimbangan Agung Sementara). Tidak berhenti sampai situ, pada 4 Juni 1960 presiden Soekarno juga kemudian membubarkan DPR hasil pemilu 1955 setelah sebelumnya dewan legislatif itu menolak RAPBN yang diajukan pemerintah. Pada periode ini, Bung Karno menunjukkan otoriterisme lewat apa yang disebutnya sebagai Demokrasi Terpimpin. Hal ini diperkuat dengan pidato politik yang mencakup kembali dipergunakannya UUD 1945, sosialisme Indonesia, demokrasi terpimpin, ekonomi terpimpin dan kepribadian Indonesia atau yang sering disebut sebagai Manipol Usdek. Pada masa-‐ masa awal demokrasi terpimpin, Bung Karno memang 118
berhasil meredam konflik-‐konflik yang sering terjadi di antara partai. Namun, seperti istilah keluar dari mulut macan masuk ke dalam mulut buaya, gaya otoriter Bung Karno justru meniupkan bara konflik yang baru. Militer, presiden dan lembaga-‐lembaga negara yang memiliki kekuasaan absolut justru menimbulkan kecemburuan terutama di daerah-‐daerah. Tak hanya memicu timbulnya konflik baru, demokrasi terpimpin juga menimbulkan masalah-‐masalah baru di sektor ekonomi seperti tingginya inflasi, kekurangan infrastruktur, rendahnya investasi, defisit anggaran hingga melonjaknya hutang negara. Pelaksanaan demokrasi terpimpin pada hakekatnya memberikan kekuasaan sepenuhnya kepada presiden yang disebut sebagai Pemimpin Besar Revolusi. Menurut UUD 1945, presiden memang tidak bertanggungjawab kepada DPR sementara presiden dan DPR berada di bawah MPR. Dalam pelaksanaanya presidenlah yang kemudian mengatur MPRS. Jika menurut UUD 1945 pengangkatan MPRS harus melalui pemilu, presiden justru membentu MPRS berdasarkan Penetapan Presiden No. 2 Tahun 1959. Dengan demikian unsur-‐unsur demokrasi yang ingin di bangun sejak awal justru melenceng menjadi sentralisme pada sosok Bung Karno. Pada masa-‐masa ini, Djohan Sjahroezah yang menjabat sebagai Sekretaris Jenderal PSI lebih banyak bekerja untuk mendidik kader. Sebagai salah satu anggota DPR hasil pemilu 1955, Djohan menetap di Jakarta dan meninggalkan istri anak-‐anaknya untuk tetap bersekolah di Yogyakarta. Meskipun menjabat sebagai anggota DPR, Djohan hidup secara sederhana. Djohan tinggal di paviliun milik mertuanya H. Agus Salim, dan memilih naik becak untuk menunaikan tugasnya di parlemen. Kesahajaan Djohan tetap menjadi bagian dari kehidupannya yang terus ia pertahankan, dan 119
jauh dari citra yang beredar di masyarakat akan kader PSI yang glamor dan gemerlap. 120
BAB IX PRRI/PERMESTA, Dalih Pembubaran PSI Kondisi Indonesia pasca pemilu 1955 masih diwarnai dengan kekisruhan poltik yang bahkan juga mengakibatkan retaknya kepemimpinan Bung Karno dan Bung Hatta. Seperti yang diketahui sejak awal, Bung Hatta tak menyukai kepemimpinan sentralistik yang dilakukan Presiden Sukarno. Hatta juga menilai Sukarno feodal dan otoriter. Sebaliknya, Bung Karno sejak awal tak menyukai sistem multipartai yang menurut pandangannya menimbulkan banyak pertentangan politik di dalamnya. Seperti diketahui, Bung Hatta lah yang menandatangani Dekrit Wakil Presiden No. X Tahun 1945 yang menganjurkan pembentukan partai politik. Keretakan ini berujung dengan mundurnya Bung Hatta dari jabatannya sebagai wakil presiden pada 1 Desember 1956. Hatta memilih untuk mundur dari posisinya sebagai wakil presiden dengan pertimbangan sudah tak ada lagi kecocokan pandangan antara mereka berdua. Banyak pihak yang menyayangkan kemunduran Bung Hatta dari posisinya tersebut. Karena dengan demikian tak ada kekuatan yang mengimbangi dan menjadi kontrol bagi Bung Karno termasuk Djohan Sjahroezah. Ia menilai dengan mundurnya Bung Hatta dari posisi wakil presiden justru memberi kesempatan yang lebih luas bagi PKI untuk mempengaruhi Bung Karno. Selama ini PKI masih memperhitungkan keberadaan Bung Hatta yang “lurus” dan sulit dipengaruhi. Bung Karno sendiri walaupun banyak mengambil keputusan sendiri tapi dalam banyak hal tentu saja masih berdiskusi dengan Bung Hatta. Benar saja, akhir 1956, Bung Karno telah sering mengungkapkan ketidakpuasannya terhadap sistem parlementer yang ada dan berencana memperbaharui sistem 121
pemerintahan menjadi sistem pemerintahan demokrasi terpimpin, demokrasi yang dianggap oleh Soekarno sebagai demokrasi yang lebih didasarkan atas mufakat daripada demokrasi secara barat yang memecah belah berdasar keputusan suara mayoritas. Demokrasi terpimpin dijalankan dengan Dasar ”Kabinet Gotong Royong” yang merangkul semua partai politik yang ada, termasuk PKI . Bung Karno juga ingin menyampaikan ”konsepsi”-‐nya mengenai fraksi politik di Indonesia. Konsepsi presidensil merupakan cerminan kekecewaan Bung Karno terhadap sistem parlementer. Namun konsepsi ini justru mendapat pertentangan dari banyak pihak—mayoritas adalah musuh tradisional PKI. Sementara kondisi ekonomi Indonesia tengah menghadapi tuntutan dari daerah-‐daerah yang merasa memiliki potensi sumber daya alam yang kaya akan tetapi tidak mendapatkan pembagian yang adil dari pusat. Sejak awal daerah tetap menjadi produsen ekspor, namun hasilnya lebih dimanfaatkan oleh pusat. Kondisi ini membuat perasaan tidak puas di daerah-‐daerah dikarenakan perbedaan pendapat antara daerah dengan pusat. Daerah menganggap bahwa kebijakan pemerintah tidak sesuai dengan daerah. Sedangkan pemerintah pusat menganggap bahwa daerah kurang mampu dalam melaksanakan tugasnya. Daerah luar Jawa merasa tidak puas dengan keadaan yang ada, karena mereka menganggap bahwa dana alokasi untuk daerah dirasakan sangat kurang dan tidak mencukupi untuk melaksanakan pembangunan. Hal ini mengundang kritik dan tuntutan agar segera diadakan perubahan konsep perekonomian dan politik yang kemudian berujung pada aksi PRRI di Sumatera dan Permesta di Sulawesi. 122
Kondisi perekonomian yang memburuk mau tidak mau berdampak juga pada kesejahteraan para prajurit tentara, karena alokasi anggaran yang tidak jelas bagi kesejahteraan prajurit dan operasi-‐operasi militer. Untuk mencukupi kebutuhannya, banyak pimpinan pasukan militer yang melakukan perdagangan langsung—tanpa melewati prosedur standar—dengan pola barter dengan berbagai pihak termasuk luar negeri. Tindakan ekspor “barter” dilakukan tanpa sepengetahuan Jakarta ini berlangsung di Sulawesi Utara dan Sumatera Utara, serta panglima pasukan dari wilayah lainnya. Selain terlibat langsung dengan kegiatan perdagangan illegal, para pimpinan militer juga terlibat dalam memberikan perlindungan kepada pengusaha-‐pengusaha yang melakukan ekspor–ekspor yang dianggap merugikan negara. Setelah kegiatan ini diketahui oleh Jakarta, segera diambil tindakan terhadap para perwira yang terlibat. Seperti Kolonel Simbolon yang diberhentikan sementara oleh KASAD Jendral A.H. Nasution. Sumatera Memanas Kesulitan-‐kesulitan hidup yang dialami oleh para prajurit ini membuat sejumlah Perwira Aktif dan Perwira Pensiunan bekas Divisi IX Banteng di Sumatera Tengah dulu pada 21 September 1956 menggagas dibentuknya Dewan Banteng guna mencari jalan keluar bagi persoalan yang tengah dihadapi. Pertemuan ini kemudian ditindak lanjuti dengan sebuah reuni besar-‐besaran yang diadakan di Padang yang dihadiri oleh perwira-‐perwira aktif dan pensiunan Divisi Banteng pada tanggal 20–24 November 1956 yang membahas kondisi politik dan sosial-‐ekonomi di Indonesia. 123
Pertemuan yang dihadiri oleh 600 orang peserta ini merekomendasikan beberapa tuntutan yang akan dilaksanakan oleh sebuah badan yang dinamakan sebagai “Dewan Banteng”. Pembentukan Dewan banteng ini kemudian diikuti dengan pembentukan lembaga sejenis di beberapa daerah, antara lain Dewan Gajah yang dipimpin oleh Kol. Simbolon di sumatera Utara; Dewan Garuda di Sumatera selatan dipimpin oleh Dahlan Djambek; dan Dewan Manguni di Sulawesi yang dipimpin oleh Kol. Ventje Sumual. Dewan-‐dewan tersebut menuntut adanya perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, terutama dalam melaksanakan eksploitasi hasil bumi. Tuntutan telah disampaikan pada pemerintahan Djuanda di Jakarta, sayangnya pemerintah pusat sama sekali tidak merespon apa yang menjadi tuntutan dari Dewan Banteng. Menanggapi minimnya respon pemerintah pusat atas usulan alokasi dana yang mereka tuntut, Dewan Banteng memutuskan untuk berhenti mengirimkan penghasilan Sumatera Tengah ke Pusat. Penghasilan daerah ini ditahan dan kemudian digunakan untuk pembangunan daerah Sumatera Tengah sendiri. Sementara kegiatan ekspor dalam bentuk barter terus dilakukan oleh Dewan Banteng dengan mengacuhkan segala prosedur standar yang ditetapkan oleh pemerintah pusat. Komoditas yang diekspor adalah hasil bumi yang banyak dihasilkan oleh daerah Sumatera Tengah seperti teh, karet, dan hasil bumi lainnya. Hasil perdagangan ini digunakan untuk membeli alat-‐alat berat untuk pembangunan jalan serta sebagian digunakan untuk membeli senjata. Selain melakukan pembangunan fisik seperti jalan dan jembatan, Dewan Banteng juga menyalurkan dana keuntungan 124
perdagangan ke setiap kabupaten atau kota di Sumatera Tengah sebagai dana pembangunan. Apa yang terjadi di Sumatera Tengah mendapat respon dari kalangan PKI dalam bentuk pelemparan dan penyerbuan kepada beberapa pejabat militer atau tokoh sipil yang telibat dalam Dewan Banteng. Di rumah tinggal Kol. Dahlan Jambak di granat oleh orang tak dikenal pada Agustus 1957 sehingga Dahlan dan keluarga memutuskan untuk pindah ke Padang. Di kota itu Dahlan bersama dengan Yazid Abidin malah semakin giat mengkampanyekan gerakan Anti Komunis. Rapat Rahasia Sungai Dareh Gerakan antikomunis semakin menguat dan nekat, hingga pada 30 Nopember 1957 mobil Bung Karno dilempar granat oleh sekelompok orang yang diduga sebagai anggota Gerakan Anti komunis. Bung Karno dan anak-‐anaknya yang sedang menghadiri pesta ulang tahun sekolah Perguruan Cikini lolos dari upaya pembunuhan, justru korban jatuh dari anak-‐anak sekolah yang juga ramai malam itu. Peristiwa Cikini ini akhirnya menutup kesempatan perundingan antara pemerintahan Djuanda dengan Dewan Banteng—padahal sebelumnya sudah ada pembicaraan untuk diadakan perundingan—sebagaimana yang diusulkan oleh Ahmad Husein untuk menyelesaikan konflik. Oleh media massa berhaluan komunis, Peristiwa Cikini ini selalu diberitakan secara bombastis dengan analisa yang mengaitkan nama tokoh-‐tokoh Masyumi. Provokasi kalangan komunis terus berlanjut dengan terror dan desas-‐desus bahwa tokoh-‐tokoh Masyumi akan ditangkap karena terlibat pemberontakan dan korupsi. Salah satu korban teror adalah Moh Roem yang kemudian segera 125
hijrah ke Padang. Langkah ini juga diikuti oleh para tokoh Masyumi lainnya yang tak lagi merasa nyaman tinggal di Jakarta. Akhirnya orang-‐orang yang anti komunis yang berasal dari Masyumi, militer dan Soemitro Djojohadikusumo berkumpul di Padang dan mengadakan rapat rahasia di Sungai Dareh, yang membicarakan rencana pemberian ultimatum kepada pemerintah pusat yang harus dipenuhi dalam waktu 5 x 24 jam. Ultimatum itu berisi tuntutan akan otonomi yang lebih luas, perbaikan di segala bidang, dan dibuat Komandan Utama Militer di wilayah Sumatera Utara. Tentu saja ultimatum ini ditolak oleh Djuanda dan seluruh perwira yang terlibat di dalamnya justru dipecat oleh Pemerintah Pusat. Dewan Banteng menolak keputusan Kabinet Djuanda dengan membentuk Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI) yang dibacakan oleh Kolonel Ahmad Husein pada 15 Februari 1958, dengan ibukota di Bukittinggi. Sedangkan Sjafruddin Prawiranegara diangkat sebagai Perdana Menteri. Ultimatum inilah yang membuat Bung Karno segera memerintahkan penggelaran Operasi 17 Agustus yang dipimpin oleh Jenderal Abdul Haris Nasution untuk memberantas PRRI. Di Sulawesi, proklamasi PRRI mendapat dukungan dari para pimpinan Permesta. Komandan Deputi Wilayah Militer Sulawesi Utara dan Tengah, Kolonel Somba mengumumkan bahwa sejak 17 Februari 1958, Permesta mendukung PRRI dan menyatakan memisahkan diri dari pusat. Para pemimpin Permesta mencari dukungan dari pihak manapun untuk mencapai tujuannya mengingat keyakinan akan adanya tindakan tegas dari pemerintah pusat. Berkaitan dengan pengeboman Manado oleh pasukan RI, maka perwakilan Permesta mencari bantuan ke Filipina, Taiwan, Korea Selatan, dan tentu saja CIA. 126
Sebenarnya sekitar 16 Januari 1958 Bung Hatta dan Sjahrir merasa perlu untuk meredam suasana dengan mengirimkan seorang utusan ke daerah-‐daerah bergolak. Utusan itu adalah Djoeir Moehamad, salah seorang anggota Dewan Pimpinan Partai Sosialis Indonesia (PSI). Bung Hatta dan Sjahrir mengingatkan bahwa pergolakan yang dilakukan saat kondisi dunia dalam keadaan terpecah dalam blok barat dan blok timur seperti ini akan sangat rentan dimanfaatkan oleh Amerika karena mereka melihat kecenderungan Soekarno yang akrab dengan Uni Soviet. Dan apa yang dikhawatirkan oleh kedua tokoh ini belakangan terbukti, PRRI ternyata sudah dimanfaatkan oleh Amerika. Djoeir Moehamad juga menyampaikan pesan kepada Letkol Barlian dan Ahmad Husein. Ia mengingatkan bahwa suatu pemberontakan untuk membentuk Pemerintahan yang lain akan menimbulkan korban yang tidak sedikit, setidak-‐ tidaknya akan mengakibatkan perkembangan daerah yang bersangkutan tertinggal selama satu generasi. Letkol Barlian mengikuti saran Djoeir, sementara Ahmad Husein berada dalam kondisi yang sulit ditengah himpitan kawan-‐kawan militernya yang lain. Selain Djoeir, Djohan Sjahroezah juga pernah menemui para pemimpin PRRI di Sungai Dareh agar mengurungkan niatnya menggelorakan pemberontakan namun nasihat Djohan tampaknya dianggap angin lalu oleh para pemimpin PRRI tersebut. PSI dan PRRI Walau tidak terlibat, PSI harus merasakan getah dari gerakan PRRI di Sumatera dan Permesta di Manado. Sebenarnya tidak ada bukti bahwa PSI sebagai partai terlibat dalam aksi-‐aksi PRRI dan Permesta. Tapi tak dapat diingkari bahwa salah satu 127
kader PSI terlibat aktif bahkan menjadi menteri dalam Kabinet PRRI. Dalam daftar nama Kabinet PRRI yang diumumkan pada 15 Februari 1958 itu terdapat nama Dr. Sumitro Djojohadikusumo sebagai Menteri Perhubungan / Pelayaran. Keterlibatan Soemitro di PRRI sebenarnya bukan sesuatu yang telah direncanakan dalam waktu yang lama. Sebelum terlibat dengan PRRI, pada akhir Maret 1957, Soemitro dipanggil Corps Polisi Militer (CPM) Bandung—menurut seorang sumber karena terkait kasus penggelapan uang. Namun pada pemeriksaan tersebut tidak ditemukan bukti yang kuat dan tidak ada alasan untuk menahan Soemitro dan ia dibolehkan pulang. Namun CPM kembali memanggil Soemitro untuk kedua kalinya pada tanggal 6—7 Mei 1957. Dan panggilan selanjutnya pada 8 Mei 1957. Djohan Sjahroezah yang diberi tahu bahwa Soemitro diduga terlibat tindak korupsi yang dilakukannya untuk kepentingan partai hanya berkata “Kalau dia korupsi, begitu pula saya” seperti yang diceritakan kembali oleh Subadio saat diwawancara Rudolf Mrazek. Rentetan pemanggilan ini membuat Soemitro merasa dalam kondisi tertekan, terlebih lagi media massa komunis terus menurunkan berita tentang kemungkinan Soemitro ditangkap. Merasa tidak ada pilihan, Soemitro akhirnya menyingkir ke Sumatera untuk bergabung dengan Letkol Barlian dan Mayor Nawawi di Palembang. Ia sempat menyamar sebagai Letnan Dua Rasyidin. Pada 13 Mei 1957, ia tiba di Padang, bertemu Panglima Divisi Banteng, Letkol Ahmad Husein. Mendengar kepergian Soemitro, Sjahrir menugaskan Djoeir Moehamad dan Djohan Sjahruzah menjalin kontak dengan dewan-‐dewan militer di Sumatera dan menghubungi Soemitro. Kedua petinggi PSI ini mencari jejak Soemitro 128
hingga ke Padang, sayangnya yang dicari telah berangkat ke Pekanbaru untuk selanjutnya ke Bengkalis dan menyamar jadi kelasi untuk sampai di Singapura. Dalam “Memoar Seorang Sosialis” Djoeir menulis "Ia ternyata menempuh jalan sendiri dan diumumkan menjadi salah seorang menteri PRRI." Soemitro lalu ke Saigon juga dengan menyamar sebagai kelasi kapal sebelum ke Manila dan melakukan kontak dengan Permesta. Soemitro diketahui bertanggung jawab atas pengadaan logistik bersama Kolonel Simbolon dan Husein. Soemitro keluar masuk Thailand dan Taiwan untuk membeli senjata lalu kembali ke Minahasa dengan pesawat yang penuh dengan amunisi. Selain Soemitro, “orang PSI” lainnya yang memihak PRRI adalah Duta Besar RI di Roma, Mr. St. Mohd Rasjid. Kemudian yang juga dianggap dekat dengan PSI dan Sjahrir adalah Des Alwi. Anak angkat Sjahrir ini menyatakan diri bergabung dengan PRRI/Permesta dan menjadi juru bicara PRRI/Permesta di luar negeri termasuk menyelundupkan wartawan-‐wartawan Filipina ke Manado untuk mewawancarai dan melihat langsung kondisi Permesta. “Aku menghubungi Kolonel Vence Sumual yang sedang memimpin aksi pembangkang dari Manado, Sulawesi Utara. Dua minggu kemudian aku mengajak Benigno Aquino wartawan koran Manila Times dan tiga orang wartawan asing ke Manado agar mereka bisa melakukan wawancara Iangsung dengan pimpinan Permesta. Dalam pelayaran pulang melalui Zamboanga, kapal kami disergap pesawat mustang. Aku beruntung tembakannya meleset sehingga kami semua selamat kembali di Manila…. …Aku menganut prinsip the rights to rebel Aku tidak mau menyerah kepada semua praktek ketidakadilan dan pengingkaran demokrasi. Bersama keluargaku, sejak 1962 aku 129
menetap di Kuala Lumpur, Malaysia. Anna istriku, meniadi penyiar radio Malaysia, pemancar resmi milik Pemerintah Malaysia. Sedangkan diriku, sebagaimana profesi lama mengelola pemancar geiap, waktu itu dengan tujuan untuk menggoyang rezim Soekarno” Tulis Des Alwi pada bukunya Pertempuran Surabaya, November 1945. PSI Dibubarkan Keterlibatan Soemitro di PRRI/Permesta akhirnya dikaitkan dengan Partai Sosialis Indonesia. Kalangan media massa menyebut Soemitro sebagai “milyuner kerakyatan” yang tentu saja merupakan sindiran terhadap konsepsi Sosialisme Kerakyatan ala PSI. Selain itu beberapa media yang dianggap dekat dengan PSI beberapa kali menurunkan tulisan yang bernada menyanjung apa yang terjadi di daerah-‐daerah. Tentu saja ini semakin membuat posisi PSI semakin terjepit dan sulit. Akhirnya pada 21 Juli 1960, Presiden Soekarno secara resmi memanggil Pimpinan Pusat Partai Sosialis Indonesia (PSI) yaitu: Sjahrir, Djohan Sjahroezah, Soebadio Sastroastomo, T.A. Moerad dan Djoeir Moehamad. Kepada mereka ditanyakan apakah PSI terkena pasal 9 ayat (1) berupa Penetapan Presiden RI No. 7 Tahun 1959 tentang Syarat-‐ syarat dan Penyederhanaan Kepartaian atau tidak. Setelah memberikan jawaban lisan, Pimpinan Pusat PSI berjanji akan memberikan jawaban secara tulisan. Jawaban resmi PSI secara tertulis dikirimkan oleh Sjahrir kepada Presiden Soekarno pada 27 Juli 1960, yang pada intinya adalah sebagai berikut :
130
(1) PSI menganjurkan serta menyetujui disertai dengan harapan kembali ke UUD 1945 berarti pernyataan niat untuk meninggalkan segala keburukan kekhilafan yang telah timbul dan merajalela selama hidup dengan UUD 1950 yaitu terutama perpecahan dan korupsi. (2) Sesuai dengan garis politik dan perjuangan partai, maka partai tidak pernah menyatakan persetujuannya terhadap apa yang disebut PRRI yang diproklamasikan pada tanggal 15 Februari 1958. Bahkan Pimpinan Pusat Partai telah mengirim Djoeir Moehamad dan Imam Slamet ke Sumatra untuk mencegah terjadinya pemberontakan. (3) Saudara Dr. Soemitro Djojohadikusumo yang ikut dalam PRRI sebagai menteri keuangannya adalah di luar pengetahuan partai, apalagi dia tidak pernah diberikan kuasa untuk bertindak atas nama partai. Sejak semula pendirian kita tegas dan tidak ragu-‐ ragu; semua anggota partai kita dilarang mengikuti gerakan pemberontakan itu. Setelah jawaban tertulis dari Pimpinan Pusat PSI, sekali lagi Pimpinan Pusat PSI dipanggil oleh Bung Karno yang kemudian menyampaikan bahwa PSI akan dibubarkan karena kondisi Negara yang dalam keadaan “Staat van Orlog en Beleg” (SOB). Kemudian pembubaran resmi Partai Sosialis Indonesia tertuang dalam keputusan Presiden No. 201 Tahun 1960 yang diumumkan oleh Presiden Soekarno pada 17 Agustus 1960 dengan alasan sebagai berikut, “Oleh karena organisasi (partai) itu melakukan pemberontakan, karena pemimpin-‐ pemimpinnya turut dalam pemberontakan apa yang disebut ‘Pemerintahan Revolusioner Republik Indonesia (PRRI)’ atau ‘Republik Persatuan Indonesia (RPI)’ atau telah jelas 131
memberikan bantuan terhadap pemberontakan, sedangkan anggota organisasi (partai) itu tidak resmi menyalahkan perbuatan anggota-‐anggota pimpinan tersebut”. Setelah pengumuman pembubaran PSI keluar, Sekretariat Dewan Pimpinan Pusat PSI melalui Soebadio Sastroastomo mengajukan kepada Peperti (Penguasa Perang Tertinggi) untuk mengadakan Kongres Luar Biasa pada 25—27 September 1960 di Jakarta. Karena tidak diberikan izin oleh Peperti, maka Dewan Pimpinan Pusat PSI menginstruksikan kepada seluruh cabangnya di Indonesia untuk membubarkan diri. Dengan demikian sesungguhnya Partai Sosialis Indonesia belum pernah bubar, karena untuk membubarkan partai haruslah melalui keputusan yang diambil dalam kongres sesuai dengan ketentuan Peraturan Dasar partai, atau yang lazim disebut AD/ART pada masa kini. Tidak berhenti sampai di situ, PSI kembali mengalami ujian dengan ditangkapnya Sjahrir dan Subadio Sastrosatomo serta beberapa kadernya. Penangkapan ini didasarkan pada laporan-‐laporan intelejen hasil olahan Soebandrio, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Pusat Intelijen sekaligus Menteri Luar Negeri. Soebandrio melaporkan adanya pertemuan rahasia pada 18 Agustus 1961 di Bali yang diikuti oleh tokoh-‐ tokoh politik yang kebetulan bersebrangan dengan Soekarno seperti Moh. Hatta, Sjahrir, Moh. Roem, Sultan Hamid II dan Soebadio Sastrosatomo untuk membicarakan sebuah konspirasi persekongkolan subversif. Selain itu ada peristiwa lainnya yang dikaitkan dengan “Pertemuan Bali” dan menjadi bahan pertimbangan bagi Subandrio untuk memperkuat tuduhannya terhadap mereka yang hadir di Bali. Pada 7 Januari 1962, iring-‐iringan mobil presiden yang hendak berpidato di Makasar di lempari granat. Granat yang jatuh sekitar 150 meter di belakang 132
mobil terakhir rombongan presiden itu menewaskan tiga orang dan melukai 28 penonton. Dari rombongan presiden sendiri tidak ada yang terluka. Sekitar seminggu pasca peristiwa tersebut, dua orang Belanda ditangkap. Dari mereka inilah kemudian beredar desas-‐desus tentang keberadaan Verenidge Ondergrondse Corps (VOC), sebuah organisasi bawah tanah yang disinyalir akan melakukan makar terhadap presiden. Organisasi ini merujuk kepada “komplotan Bali” Mendapatkan laporan tersebut, Bung Karno memerintahkan aparat keamanan untuk menangkap Sjahrir pada 16 Januari 1962, yang kemudian diikuti dengan penangkapan Agung Gde Agung, Soebadio Sastosatomo dan Sultan Hamid II. Tokoh-‐tokoh Masyumi seperti Moh. Roem dan Prawoto Mangkusasmito. Kenyataannya, pertemuan yang diadakan di Bali tersebut bukanlah pertemuan politik—bahkan bukan juga sebuah pertemuan—karena berkumpulnya tokoh-‐tokoh tersebut atas dasar undangan dari Anak Agung Gede Agung untuk menghadiri upacara ngabenan ayahnya. Namun ada sebuah anekdot yang menyatakan bahwa ditangkapnya orang-‐orang tersebut karena tersinggungnya perwakilan pemerintah yang sama-‐sama diundang namun tidak ditempatkan pada deretan kursi yang sama dengan Sjahrir, Subadio dan orang-‐orang Masjumi. Perwakilan pemerintah “panas kuping” melihat para undangan VIP itu tertawa dan tampak bersenda gurau tanpa melibatkan mereka. Kekanakan memang, tapi bisa jadi anekdot ini benar. Menurut cerita Djoeir Mohamad, sebenarnya ada cerita tersendiri di balik penangkapan tersebut. Beberapa minggu sebelum penangkapan atas tokoh-‐tokoh PSI terjadi, Soebandrio sempat mendatangi Sjahrir bersama kepala polisi saat itu. Sebelum Soebandrio tiba, Sjahrir memerintahkan 133
Djoeir untuk menguping dibalik kamar. Saat itu, Soebandrio yang memang sudah dekat dengan kalangan sosialis meminta kepada Sjahrir untuk mendukung demokrasi terpimpin ala Soekarno. Oleh Sjahrir, permintaan itu ditolak. Hanya beberapa minggu setelah peristiwa itulah Sjahrir dan Soebadio ditangkap. Mengenai Djohan Sjahroezah sendiri, tak banyak kegiatan yang dilakukannya di era-‐era ini, Djoeir Moehamad dalam bukunya Memoar Seorang Sosialis menuliskan: “Setelah pemberontakan PRRI usai, Masyumi dan PSI dibubarkan, Djohan Sjahroezah berkata bahwa Ia melihat kecenderungan perkembangan totaliterisme dan militerisme di Indonesia, sernentara ‘kerakyatan terjepit dan dikesampingkan jauh.’ Memang, sejak Partai Sosialis Indonesia dibubarkan apalagi setelah Bung Sjahrir meninggal, Djohan Sjahroezah tetap menjadi salah satu titik sentral bagi orang-‐orang yang kehilangan partainya. Ia setia mengikuti dan mempelajari perkembangan situasi, mendiskusikannya dengan tenang, mantap dan sabar. Tapi Ia juga tetap terbuka pada semua lapisan dan golongan politik, tak pilih dari kelompok politik manapun. Djoeir mengatakan bahwa “Bertemu dengan Bung Djohan di saat situasi politik yang pengap, senantiasa membukakan hati, pikiran dan semangat kepada perjuangan untuk kepentingan rakyat banyak.” Dalam kapasitasnya sebagai rakyat biasa, Djohan tak dapat melakukan banyak hal, begitu pula dengan teman-‐temannya yang tersisa. Ia hanya memposisikan diri sebagai penonton yang melihat adegan kaum totaliter menghabiskan tenaganya sendiri. Bagi Djohan arus totaliterisme belum habis, belum terkikis, sedangkan arus demokrasi dalam ujian. “Djohan menyadari kesulitan perjuangan ini, menyadari kesulitan teman dan kawannya, apalagi anak-‐anak didiknya. Namun Ia 134
percaya bahwa tingkah langkah totaliterisme itu sendiri melahirkan syarat-‐syaratnya bagi perjuangan rakyat itu sendiri,” demikian menurut Djoeir dalam pidato 10 November 1968 yang dilakukan dalam rangka untuk memperingati kematian Bung Diohan Sjahroezah 2 Agustus 1968. Hingga akhir hayatnya, Djohan masih berhubungan dengan para kader PSI atau mereka yang meyakini jalan Sosialisme Kerakyatan. Sebagai “orang biasa” Djohan tak bisa berbuat banyak untuk membangkitkan kembali partainya. Hanya saja begitu pentingnya PSI bagi Djohan tergambar dari kebiasaannya melinting tembakau kesukaannya menjadi lebih besar pada saat hari ulang tahun Partai Sosialis Indonesia. Sebuah perayaan yang jauh dari dansa-‐dansi dan glamour yang diberikan oleh abdi Sosialisme Kerakyatan. 135
BAB X Mentor Hingga Ujung Usia Peristiwa PRRI/Permesta menjadi titik balik kejatuhan PSI secara organisasi. Meski para pimpinan partai sudah berusaha keras menyelamatkan PSI dari pembubaran partai, Bung Karno yang saat itu menjadi kekuatan tunggal akhirnya menutup usia PSI secara resmi pada 17 Agustus 1960. Keterlibatan Soemitro Djojohadikusumo yang merupakan anggota politbiro PSI, dianggap cukup mewakili keterlibatan PSI dalam peristiwa PRRI/Permesta. Meskipun partai sendiri sebenarnya sudah berusaha keras untuk menghentikan pemberontakan tersebut, Bung Karno tetap menganggap PSI secara organisasi harus bertanggungjawab terhadap keterlibatan salah satu kadernya tersebut. Jika mengacu pada Peraturan Dasar organisasi, PSI sebenarnya hanya bisa dibubarkan melalui mekanisme kongres. Oleh karena itu, saat permohonan Soebadio Sastrosatomo untuk mengadakan Kongres Luar Biasa (KLB) pada pada 25—27 September 1960 di Jakarta ditolak oleh Bung Karno, PSI sebenarnya belum bubar secara organisasi. Secara de jure, izin PSI memang sudah dicabut secara resmi oleh pemerintah. Tapi secara de facto PSI sesungguhnya tidak resmi bubar. Dengan demikian kegiatan-‐kegiatan pengkaderan pascapembubaran 1960 masih berlangsung. Djohan Sjahroezah tetap konsisten menjalankan pendidikan-‐ pendidikan kader yang memang sejak awal sudah menjadi kegiatannya sehari-‐hari. Pendidikan kader tetap dilakukan seperti biasa. Sejak awal Djohan yang memang pejuang bawah tanah tetap menjadi mentor sekaligus tempat bertukar pikiran bagi semua kalangan. Sebagai pribadi, Djohan tetap dihormati baik oleh 136
kalangan komunis angkatan baru seperti Aidit maupun oleh golongan Masyumi. Kedekatannya dengan kalangan Masyumi bisa dipahami sebab saat itu Djohan yang merupakan menantu dari H. Agus Salim memang tinggal di rumah milik tokoh Islam legendaris tersebut. Salah satu kadernya dari kalangan komunis yang masih sering mengunjungi Djohan adalah Oloan Hutapea—sebelum meletus peristiwa 30 September 1965. Saat itu, Oloan Hutapea sempat berujar kepada Yoyet, panggilan bagi istri Djohan, dengan bercanda: “Kami sudah menemukan cara bagaimana menghukum bung Djohan. Dia harus dihukum karena dia ikut PSI. Bung Djohan akan kami hukum mati dan akan kami gantung tinggi-‐tinggi. Paling tinggi di antara yang lain-‐lainnya. Tetapi jangan khawatir, kami akan tanggung semua biaya pendidikan dan kehidupan anak-‐anaknya!”
Humor ini tidak hanya menggambarkan betapa dekatnya Djohan dengan kader-‐kadernya dari golongan komunis, sekaligus menggambarkan bagaimana runcingnya perbedaan ideologis antara PSI dan PKI saat itu. Selain golongan Islam dan komunis, Djohan juga dihormati oleh Bung Hatta. Seperti yang diceritakan oleh Djoeir Moehamad, pada awal-‐awal orde baru terdengar kabar bahwa Bung Hatta hendak mendirikan sebuah partai yang bernama Partai Demokrasi Sosial Islam. Boleh dibilang, partai ini sudah pasti akan lahir. Anggaran dasarnya bahkan sudah dikonsep oleh Tamimi Oesman di Sumatera Barat. Mendengar hal ini Djohan kemudian mendatangi langsung Bung Hatta di rumahnya. Saat bertemu, Djohan melontarkan kritiknya atas niatan Bung Hatta tersebut. “Katanya Bung mau berdiri di atas semua golongan. Saya rasa itulah yang benar untuk Bung. Citra diri Bung akan lain bila 137
Bung mengecilkan diri dalam suatu kelompok. Lagipula apakah Bung sudah benar-‐benar mempelajari dulu situasi, apa iklimnya mendukung atau tidak,” Dengan kaget Bung Hatta menjawab “Menurut Bung bagaimana?” “Bung sudah dengar pendapat saya. Pada akhirnya itu kan terserah Bung sekarang,” jawab Djohan. Setelah kritik yang dilontarkan Djohan tersebut, Bung Hatta kemudian mengurungkan niatnya untuk mendirikan partai. Meski tidak mengatakan alasannya secara langsung, masukan dari Djohan Sjahroezah tentu cukup menjadi pertimbangan bagi Bung Hatta untuk tidak mendirikan partai. Dengan demikian dapat dipahami bahwa meskipun Djohan Sjahroezah tidak lagi aktif terlibat dalam politik akibat pembubaran PSI, pemikiran dan analisisnya tetap dihormati bahkan oleh tokoh sekelas Bung Hatta. Bagi Djohan, dengan dibubarkannya PSI bukan berarti ia berhenti berjuang. Djohan terus menjadi poros tempat para pejuang mengadu dan bertukar pikiran. Meskipun tetap melakukan pendidikan-‐pendidikan kader, PSI tetap mematuhi keputusan pemerintah saat itu. Sebagai partai yang sudah dibubarkan PSI menyadari dengan tidak melakukan perekrutan kader. Djohan dan kawan-‐kawan hanya melakukan pendidikan politik tanpa berniat menambah anggota. Pada masa-‐masa ini banyak tokoh-‐tokoh yang lahir dalam lingkaran diskusi PSI. Meskipun namanya sudah tidak lagi diakui pemerintah, namun pengaruh PSI tetap merentang jauh hingga beberapa tahun ke depan. Kegiatan-‐kegiatan pendidikan dan pengkaderan ini kemudian melahirkan golongan yang disebut sebagai “habitat PSI”. Mereka adalah tokoh-‐tokoh intelektual yang aktif bergaul 138
dalam lingkaran diskusi PSI, dan menjalin kedekatan dengan tokoh-‐tokoh PSI termasuk Djohan Sjahroezah. Tokoh-‐tokoh inilah yang kemudian dianggap sebagai kader-‐kader PSI meski secara resmi bukan termasuk anggota. Dinamika Internal PSI Pascapenangkapan Sjahrir dan Soebadio, praktis peranan Djohan dalam tubuh PSI semakin besar. Djohan menjadi mentor yang banyak berdiskusi dengan orang-‐orang yang memiliki kecenderungan sosialis. Pendidikan-‐pendidikan politik terus berlangsung meskipun dua tokoh PSI, Sjahrir dan Soebadio mendekam di penjara. Pada 23 November 1962, Sjahrir dipindahkan dari Madiun ke Jakarta seiring dengan kesehatannya yang makin memburuk. Selama delapan bulan Sjahrir dirawat di Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat (RSPAD) dibawah pengawasan T.B. Simatupang. Di rumah sakit inilah Djohan sering menjenguk pamannya dengan mengajak anggota PSI lainnya. Seiring dengan kesehatannya yang terus merosot, Sjahrir kemudian diijinkan berobat ke luar negeri—selain Belanda. Pada 21 Juli 1965 Sjahrir dan keluarga bertolak ke Swiss untuk menjalani pengobatan dengan status tetap sebagai interniran. Hanya setahun di Zurich, Sjahrir akhirnya menghembuskan nafas terakhirnya pada 9 April 1966, setelah sebelumnya koma selama tujuh hari. Enam hari setelahnya, Soekarno mengeluarkan dekrit presiden yang mengangkat Sjahrir sebagai pahlawan nasional. Dengan demikian Sjahrir pun dimakamkan secara kenegaraan dengan penuh penghormatan. Menurut Rosihan Anwar, tidak kurang dari 250 ribu orang menghadiri pemakaman tersebut. 139
Kematian Sjahrir yang selama ini dianggap sebagai ikon PSI, semakin menahbiskan Djohan sebagai tokoh sentral PSI. Sebagai Sekretaris Jenderal PSI, Djohan justru lebih banyak terlibat pada pendidikan kader. Jika para petinggi PSI selama ini dianggap elitis dan kurang merakyat, Djohan adalah antitesis dari semua itu. Sejak masa pendudukan Jepang, Djohan dikenal dekat dengan rakyat. Pun pascakematian Sjahrir, Djohan masih tetap melakukan pendidikan-‐ pendidikan kader bersama Dayino. Sementara itu, perubahan arus politik dengan tumbangnya Bung Karno memiliki kisah tersendiri dalam tubuh PSI. Soeharto yang kemudian mengambil tampuk kepemimpinan banyak bersinggungan dengan tokoh-‐tokoh PSI ataupun tokoh-‐tokoh yang lahir dari “habitat PSI”. Pada masa-‐masa awal Soeharto menjabat, ia sempat menemui Dayino yang memang pernah dekat dengannya saat di kelompok Pathuk. Saat itu Soeharto meminta kepada Dayino untuk menempatkan kader-‐kader PSI di pemerintahan. Padahal saat PSI mengajukan permohonan untuk kembali beraktivitas secara legal di tolak oleh Soeharto. Permintaan ini bukan tanpa alasan. Soeharto saat itu memang dikenal dekat dengan Amerika. Untuk memperoleh bantuan pinjaman, Amerika mensyaratkan kepada Soeharto untuk menempatkan kader-‐kader sosialis di jajaran pemerintahannya. Sebab Amerika saat itu masih menyangsikan bahwa Indonesia belum sepenuhnya terbebas dari unsur-‐unsur komunis. Sebelumnya, Soeharto memang dikenal dekat dengan kalangan Murba yang merupakan komunis dari garis Tan Malaka. Keberadaan kader-‐kader sosialis yang memang dikenal sebagai musuh bebuyutan kaum komunis akan melegitimasi pemerintahan Soeharto di mata Amerika. Oleh karena itu, 140
untuk membersihkan stigma Indonesia dari nuansa komunis, Soeharto berkepentingan untuk menemui Dayino, kader sekaligus kawan karib Djohan Sjahroezah yang saat itu sempat menjabat sebagai anggota politbiro partai. Sebelum memberikan jawaban kepada Soeharto, Dayino sempat berkonsultasi kepada Djohan Sjahroezah. Oleh Djohan, Dayino diminta menyampaikan kepada Soeharto bahwa mereka bersedia membantu Soeharto dengan dua syarat. Pertama, Soeharto diminta mengembalikan demokrasi yang sudah direnggut dari rakyat. Kedua, Soeharto diminta untuk mengembalikan posisi PSI sebagai partai yang resmi diakui pemerintah. Jawaban yang dilontarkan Soeharto justru membuat menimbulkan polemik dalam tubuh eks-‐PSI. Pasalnya, bukan hanya menolak membangun demokrasi, Soeharto juga berencana menyederhanakan partai-‐partai menjadi tiga golongan saja. Partai golongan nasionalis, partai Islam serta partai Golongan Karya (Golkar) yang didirikannya. Kebijakan ini oleh Djohan Sjahroezah dianggap mengkhianati spirit demokrasi. Djohan juga menganggap pemerintahan Soeharto cenderung fasis sehingga tidak boleh didukung, bahkan harus dilawan. Pendapat Djohan Sjahroezah ini kemudian menimbulkan perbedaan pendapat yang cukup tajam di kalangan PSI. Soebadio yang sempat dipenjara oleh Bung Karno pada 1962—1965 justru berpendapat berbeda dengan Djohan dalam menyikapi pemerintahan Soeharto. Jika Djohan menganggap Soeharto sebagai fasis dan harus dilawan, kubu Soebadio justru menganggap Soeharto sebagai kesempatan untuk menempatkan kembali kader-‐kader PSI di pemerintahan. 141
Perbedaan semakin meruncing dengan tajam. Kader-‐kader PSI terpisah kedalam garis Djohan Sjahroezah dan garis Soebadio. Pada akhirnya, sebagai Sekretaris Jenderal Djohan Sjahroezah hanya bisa membiarkan kader-‐kadernya untuk turut berkecimpung dalam pemerintahan Soeharto. Hal ini terpaksa dilakukan untuk menghindari perpecahan yang akan membahayakan PSI itu sendiri. Pada akhirnya, kita mengenal nama-‐nama tokoh PSI yang kemudian ikut membantu pemerintahan Soeharto. Sudjatmoko kemudian diangkat menjadi duta besar Indonesia untuk Amerika. Rahman Tolleng ikut terjun membangun Golkar. Sementara Profesor Sarbini Sumawinata pada akhirnya diangkat menjadi ketua Tim Ahli Politik Soeharto pada 1966. Di kalangan tentara, Komando Daerah Militer (Kodam) Siliwangi Letnan Jenderal H.R. Dharsono juga dikenal dekat dengan kalangan PSI, sehingga digolongkan sebagai militer progresif. Masa-‐masa awal orde baru, orang-‐orang yang secara pemikiran dekat dengan PSI banyak memberikan sumbangan pemikiran yang signifikan. Pemikiran-‐pemikiran sosialis banyak yang kemudian merembes ke kalangan anak-‐anak muda. Lewat barisan KAMI dan Gemsos, orang-‐orang eksponen PSI banyak bereksperimen dengan sosialisme. Dengan tertutupnya kesempatan bagi PSI untuk direhabilitasi, orang-‐orang PSI pada masa orde baru banyak bereksperimen untuk tidak bergerak berdasarkan ideologi, tapi lebih kepada program yang disebut Independen Group. Ajang aktualisasi eksponen PSI ini memang tidak bertahan lama. Kelompok ini di cap sebagai neo-‐PSI sehingga dibubarkan oleh Soeharto. Meski hanya diikuti oleh sebagian kecil kader PSI, analisis Djohan Sjahroezah terhadap pemerintahan Soeharto memang pada akhirnya terbukti. Soeharto cenderung menjadi fasis dan bertindak otoriter. Tak hanya itu, setelah 142
masuknya dana dari Amerika, Soeharto mulai menyingkirkan orang-‐orang sosialis dari lingkaran pemerintahannya. Hal ini terbukti saat meletusnya peristiwa Malari tahun 1974. Tanpa penyelidikan yang jelas, tokoh-‐tokoh PSI banyak yang dipenjarakan dengan dalih turut terlibat dalam huru-‐hara tersebut. Saat itu, pemerintah orde baru melalui Operasi Khusus yang dipimpin oleh Ali Murtopo menuding orang-‐orang dalam habitat PSI menjadi dalang atas kerusuhan tersebut. Nama-‐ nama seperti Subadio Sastrosatomo, Sarbini Sumawinata, Dr. Sjahrir, Hariman Siregar dan Rahman Tolleng ditangkap dan dijebloskan ke dalam penjara tanpa proses pengadilan. Pasca peristiwa Malari inilah kelompok PSI menjadi pihak oposan terhadap pemerintahan orde baru. Kematian Djohan Sjahroezah Dengan merapatnya sebagian besar kader-‐kader PSI ke dalam lingkaran pemerintahan Soeharto, bukan berarti Djohan Sjahroezah kehabisan kader-‐kader militan. Justru kelompok kecil dalam lingkaran Djohan lah yang kemudian banyak berafiliasi dengan masyarakat dan membangun gerakan akar rumput. Nama-‐nama seperti Dayino, Tobing dan Nurullah merupakan kader-‐kader didikan Djohan Sjahroezah yang terus konsisten mendidik kader-‐kader sosialis muda. Dayino sering berkeliling di sekitar Jawa Tengah untuk memberikan pendidikan politik. Sementara Tobing beredar di Jawa Barat. Dan Nurullah lebih banyak bermain di Jawa Timur. Di antara sekian banyak kader-‐kader Djohan Sjahroezah, memang tidak sedikit yang kemudian bersebrangan secara politik dengan menjadi PKI. Roeslan Widjajasastra misalnya, kader Djohan saat membangun gerakan buruh minyak di 143
Surabaya ini kemudian menjadi Ketua Umum Dewan Pimpinan Pusat Pesindo, dan sesudah 1950-‐an menjadi salah seorang Sekretaris Jenderal SOBSI selain juga salah seorang anggota pimpinan tertinggi PKI. Selain itu ada nama Mohammad Munir, Ketua Dewan Nasional SOBSI dan salah seorang anggota pimpinan tertinggi PKI. Belum lagi Sjam Kamaruzaman. Wakil Ketua Biro Khusus CC PKI ini pernah menjadi bagian dari kelompok Pathuk didikan Djohan. Termasuk juga Hartoyo, salah seorang Wakil Ketua BTI (Barisan Tani Indonesia). Serta M.H. Lukman yang merupakan anggota politbiro PKI. Ada juga nama Oloan Hutapea yang di kemudian hari meneruskan perjuangan PKI di Blitar Selatan. Meskipun secara idelogis garis yang dianut Djohan dan kader-‐ kadernya yang kemudian memilih PKI sangat bertentangan dan cenderung saling memusuhi, sampai akhir hayatnya Djohan masih sering dikunjungi petinggi-‐petinggi PKI tersebut. Djohan oleh kader-‐kadernya dianggap bisa di jadikan tempat bertukar pikiran meskipun berbeda dalam menempuh jalan perjuangan. Menurut Imam Yudotomo, Djohan memang agak berbeda dengan tokoh PSI lainnya. Jika tokoh lainnya sangat bersebrangan baik secara pribadi maupun politik dengan kaum komunis, Djohan sepertinya berprinsip “We’re not communist, but we’re not anti-‐ communist”. Dengan demikian, sampai akhir hayatnya Djohan tetap konsisten bergerak pada tataran kader. Djohan sendiri menghembuskan nafas terakhirnya pada 2 Agustus 1968 dalam usia 56 tahun. Djohan yang semasa hidupnya tidak berhenti berjuang, akhirnya harus menyerah terhadap penyakit kanker paru-‐paru. Pada masa sakitnya, Imam Yudotomo yang saat itu hendak pamit untuk mengikuti agenda sosialis di Eropa memiliki pengalaman berkesan. Saat 144
itu, Djohan yang di rawat di Rumah Sakit Persahabatan terlihat cerah, meskipun sesekali terlihat menahan sakit. Ketika hendak pulang, Imam dipanggil oleh Yoyet yang kemudian memberikan uang, “Jangan ditolak, nanti Om Djohan marah,” ujar Yoyet. Cerita ini membuktikan bahwa Djohan memiliki perhatian yang besar terhadap kader-‐kadernya. Pertanyaan-‐pertanyaan ringan seperti “sudah makan belum?” atau “punya ongkos?” yang sering ia lontarkan walaupun sepele namun tertinggal di benak kader-‐kadernya yang memang sulit makan dan sering kehabisan ongkos. Bagi kader-‐kadernya, bentuk perhatian Djohan yang meskipun terlihat dilontarkan secara ringan, memperlihatkan pengertian akan kehidupan kalangan rakyat bawah. Sebagai orang yang telah kenyang makan asam garam perjuangan, Djohan menyadari sepenuhnya kesulitan-‐ kesulitan yang dialami oleh para kadernya. Sampai akhir hayatnya, Djohan tidak pernah bisa berdamai dengan penindasan dan ketidakadilan. Kepada pemerintah orde baru yang dianggapnya fasis, Djohan juga terus mengumandangkan semangat perlawanan. Hanya beberapa jam sebelum meninggal, Djohan sempat berkata “Masih banyak yang harus dirombak dan dikerjakan”. Perkataan ini menunjukkan bahwa Djohan mengamini masih banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan. Oleh karena itu, sebelum berpulang Djohan juga sempat berpesan kepada Dayino dan Tobing untuk menata kembali gerakan rakyat yang tercerai-‐berai pasca peristiwa 1965, serta meneruskan perlawanan terhadap rezim otoriter orde baru. Dalam upacara pemakanan Djohan Sjahroezah, Menteri Luar Negeri Adam Malik berkata:
145
“Walaupun di masyarakat luas nama Djohan Sjahroezah tidak begitu dikenal, tetapi di antara kita semua yang turut berjuang menentang penjajahan, dan yang mengerjakan suatu Indonesia yang merdeka dan berdaulat, dan yang mencita-‐citakan suatu masyarakat yang adil dan makmur, nama Djohan Sjahroezah mempunyai arti yang besar.”
Pada tahun 1968 itulah Indonesia kehilangan salah satu kader sosialis terbaiknya. Orang yang selalu konsisten di jalan rakyat. Seorang ideolog sekaligus pendidik yang bisa diterima semua golongan, dan percaya bahwa pendidikan kader-‐kader militan adalah jalan untuk bisa membebaskan Indonesia dari cengkraman kapitalisme. Dialah Djohan Sjahroezah.
146
Daftar Pustaka Anwar, Rosihan. 2002. In Memoriam: Mengenang Yang Wafat. Kompas: Jakarta ____________. 1995. Soebadio Sastrosatomo: Pengemban Misi Politik. Grafiti: Jakarta Alwi, Des. 2011. Pertempuran Surabaya November 1945. BIP: Jakarta Caldwell, Malcom & Ernest Utrecht. Sejarah Alternatif Indonesia. 2011. Djaman Baroe: Yogyakarta Djarot, Eross dkk. 2006. Siapa Sebenarnya Soeharto: Fakta dan Kesaksian Para Pelaku Sejarah G-‐30-‐S/PKI. Mediakita: Jakarta Frederick, William H. 1988. Pandangan dan Gejolak: Masyarakat Kota dan Lahirnya Revolusi Indonesia/Surabaya 1926-‐1946. Gramedia: Jakarta Gie, Soe Hok. 1997. Orang-‐Orang di Persimpangan Kiri Jalan. Yayasan Bentang Budaya: Jakarta Ingleson, John. 2004. Tangan dan Kaki Terikat : Dinamika Buruh, Sarekat Kerja dan Perkotaan Masa Kolonial. Komunitas Bambu: Jakarta. Kahin, George McTurnan. 1995. Nasionalisme dan Revolusi di Indonesia.. UNS Press: Jakarta Legge, J.D. 1993. Kaum Intelektual dan Perjuangan Kemerdekaan: Peranan Kelompok Sjahrir. PT Pustaka Utama Grafiti: Jakarta Loebis, Aboe Bakar. 1995. Kilas Balik Revolusi: Kenangan, Pelaku dan Saksi. UI Press: Jakarta
Moehamad, Djoeir. 1997. Memoar Seorang Sosialis. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta Mrazek, Rudolf. 1996. Sjahrir : Politik dan Pengasingan di Indonesia. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta Nasution, A.H. 1982. Memenuhi Panggilan Tugas. Penerbit Gunung Agung: Jakarta Nitimiharjo, Hadidjojo. Ayahku Maruto Nitimihardjo. 2009. Kata Penerbit: Jakarta Partai Sosialis Indonesia. 1950. Peraturan Dasar. Departemen Informasi PSI: Yogyakarta Poeze, Harry A. 2008. Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia I. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta ____________. 2008. Tan Malaka, Gerakan Kiri dan Revolusi Indonesia II. Yayasan Obor Indonesia: Jakarta Soebagijo. Lima Windu Antara. 1978. Percetakan Negara: Jakarta Soemarsono. 2008. Revolusi Agustus: Kesaksian Seorang Pelaku Sejarah. Hasta Mitra: Jakarta Tantri, K’tut. 2006. Revolusi di Nusa Damai. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta
Tempo. 2010. Sjam : Lelaki Dengan Lima Alias. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta ______. 2010. Sjahrir : Peran Besar Bung Kecil. Kepustakaan Populer Gramedia: Jakarta Trotsky, Leon. 2009. Revolusi Permanen. Resist Book: Yogyakarta Wardaya,T Baskara Ed. 2011. Berkah Kehidupan: 32 Kisah Inspiratif Tentang Orang Tua. Gramedia Pustaka Utama: Jakarta Yudotomo, Imam. 2000. Quo Vadis Golongan Kiri Indonesia. CSRS: Yogyakarta Surat Kabar Suara Sosialis edisi 15 Februari 1951 Sinar Harapan edisi 13 Desember 1981
Interview Soemarsono, mantan Gubernur Militer Madiun 1948 Hadidjojo Nitimihardjo, putra dari Maruto Nitimihardjo Imam Yudotomo, politisi Senior Sosialis Ilya Arslaan, putra pertama Djohan Sjahroezah Wageono, keluarga Dayino Dayino (Alm), kader dan kawan karib Djohan Sjahroezah Violet Sjahroezah (Almh), Istri Djohan Sjahroezah
Profil Penulis Irwansyah Nuzar Lulus dari Fakultas Komunikasi, Universitas Budi Luhur pada 2005. Selama berstatus mahasiswa Irwansyah aktif di berbagai kegiatan seperti Pers Mahasiswa, Senat Mahasiswa, Kelompok Seni Teater, Kelompok Diskusi, dan Relawan Mahasiswa Jakarta. Sebagai relawan, bungsu dari tujuh bersaudara ini pernah turun sebagai relawan menangani pengungsi korban konflik Sampit di Sampang, Madura. Ketika terjadi bencana Tsunami di Nangroe Aceh Darussalam. Irwan juga kembali turun sebagai tim evakuasi jenazah, distribusi logistik, dan trauma center. Setelah menyelesaikan studi, kemudian ia memilih berprofesi sebagai jurnalis dan sempat berpindah di beberapa media massa. Rezza Aji Pratama Mengeyam pendidikan Jurnalistik di Universitas Islam Negeri Jakarta. Semasa kuliah, Rezza aktif dan sempat menjadi Wakil Sekjend Lingkar Studi-‐Aksi Untuk Demokrasi Indonesia (LS-‐ ADI)—sebuah organisasi pergerakan mahasiswa. Rezza sempat life in bersama para petani di Ogan Ilir Sumatera Selatan selama 6 bulan sebagai bagian dari upaya penyelesaian sengketa agraria. Saat ini berprofesi sebagai jurnalis. Adie Marzuki Wirausahawan di bidang bisnis media massa (Teknopreneur Magazine dan Orbit Digital) dan aktif di organisasi politik sejak muda, belakangan ini selain fokus dalam penelitian serta riset sosial politik, juga aktif menulis dan mengembangkan manajemen pengetahuan.
Tulisan-‐Tulisan Djohan Sjahroezah
SOSIALISME KERAKYATAN DAN KOMUNISME Dalam dunia sosialis pada waktu ini kita bertemu dengan kata-‐kata dan pengertian seperti sosial demokrasi, sosialisme kerakyatan (Demokratis – Sosialisme), dan Komunisme, yang masing-‐masing berpokok pangkal kepada ajaran Marx – Engels, baik yang sudah ditinjau kembali oleh Bernstein maupun yang sudah dilanjutkan oleh Lenin dan Stalin. Tiap-‐ tiapnya yang tidak atau kurang mengikuti perkembangan dan kemnajuan daripada gerakan sosialis di dunia mudah hanyut dalam pengertian-‐pengertian itu, dan kurang dapat membedakan satu sama lain. Pergerakan Sosialis Dunia Pergerakan sosialis di Eropa Barat timbul sebagai kelanjutan dan lawannya daripada kapitalisme, yang menimbulkan kemelaratan dan kesengsaraan disatu pihak, dan menimbun-‐ nimbun kekayaan dan kekuasaan dilain pihak, dengan jalan eksploitasi kaum buruh dan akumulasi dan sentralisasi daripada meerwaarde. Menurut ajaran Marx–Engels, maka tujuan daripada sosialisme, yaitu suatu masyarakat dan peradaban baru, dimana tidak terdapat lagi penindasan dan penghisapan satu sama lain, manusia hidup dalam penuh penghargaan dan sejahtera, segala penghasilan dan kemajuan untuk memenuhi keperluan masyarakat. Cara berlakunya perobahan dari masyarakat kapitalis ke masyarakat sosialis, menjadi persoalan diantara kaum sosialis sendiri. Didalam pidatonya waktu mendirikan Internasional I (di London, pada 28 September 1864), Marx memusatkan perhatiannya kepada aksi-‐aksi politik. ”Merebut kekuasaan
politik merupakan kewajiban yang berat bagi golongan kaum buruh”. Di dalam mukaddimah daripada Peraturan sementara dari Internasional I itu dikatakan: ”bahwa pembebasan golongan kaum buruh itu mesti direbut oleh golongan buruh itu sendiri”. ”bahwa perjuangan untuk pembebasan golongan kaum buruh itu bukan perjuangan untuk privileges (keuntungan) golongan dan monopoli, melainkan untuk hak dan kewajiban yang sama dan untuk menghapuskan segala kekuasaan golongan” ”bahwa tunduknya kaum buruh dilapang ekonomi kepada kaum monopoli yang menguasai alat-‐alat perburuhan, yaitu sumber-‐sumber penghidupan, adalah dasar daripada penindasan dalam segala bentuk daripada kemelaratan sosial, kerendahan jiwa dan terikatnya dalam politik” ”bahwa pembebasan dilapang ekonomi daripada golongan buruh merupakan tujuan yang penting yang membawakan segala gerakan politik sebagai alatnya” ”bahwa segala usaha yang ditujukan kepada tujuan yang penting itu sampai sekarang ini kandas karena ketiadaan solidariteit (rasa persatuan) antara berbagai cabang perburuhan di tiap negeri dan ketiadaan rasa persaudaraan antara golongan-‐golongan kaum buruh di berbagai negeri” ”bahwa pembebasan golongan kaum buruh bukan persoalan lokal atau nasional, melainkan soal sosial yang meliputi semua negeri yang berdasarkan masyarakat modern dan penyelesaiannya tergantung daripada kerja sama yang praktis dan teoritis daripada negeri-‐negeri yang jauh maju” ”bahwa pembaharuan daripada pergerakan kaum buruh dinegeri-‐negeri industri di Eropa, semnetara menghidupkan harapan baru, mengingatkan sekali kepada jatuhnya kembali dalam kesalahan-‐kesalahan yang lama dan mendesakkan
persatuan yang segera pada pergerakan-‐pergerakan yang terpisah-‐pisah itu”. Pihak yang satu, yang kemudian terkenal sebagai kaum sosial demokrat, menafsirkan perebutan kekuasaan politik itu dengan jalan melalui pemilihan parlemen. Pihak yang lain yang kemudian menamakan dirinya Komunis melihat perebutan kekuasaan itu di dalam suatu jaman revolusioner dimana sistem kapitalisme mengalami krisis umum yang hebat. Bukan ini saja perbedaan antara kaum sosial-‐demokrat dan kaum komunis, melainkan juga dalam pengertian serta penghargaan fungsi negara. Lenin mengatakan, bahwa negara itu alat kekuasaan daripada golongan yang berkuasa. Engels menggambarkan hubungan kekuasaan dengan negara seperti berikut; Kekuasaan itu adalah pertumbuhan daripada masyarakat, akan tetapi jika ia menguasai masyarakat itu serta lebih lama lebih terpisah daripadanya, maka ia disebut negara. Memang tidak selalu dapat ditunjukan dengan nyata, bahwa sesuatu negara semata–mata menjadi alat kekuasaan sesuatu golongan yang tertentu, kata Engels; “Kadang– kadang mungkin terjadi bahwa kelas–kelas yang bertentangan merupakan perbandingan kekuasaan yang hampir seimbang, sehingga negara memperoleh kedudukan yang boleh dikatakan merdeka serta dapat menjadi perantara antara mereka dengan begitu seolah–olah mendapat kedudukan di luar serta di atas masyarakat”. Kaum sosial–demokrat lebih condong kepada pandangan yang dikemukakan Engels itu. Negara demokrasi di eropa
barat itu adalah negara yang tidak dapat dikatakan sebagai alat kekuasaan daripada golongan yang berkuasa. Kaum komunis menamakanya negara diktatur kaum burdjuis, karena kaum burdjuis dan kapitalis yang berkuasa di Eropa Barat itu. Menurut kaum komunis perubahan daripada masyarakat kapitalis kemasyarakat sosialis itu harus melalui masa diktator kaum proletar, begitu caranya di Soviet Russia. Sosialisme Barat dan Sosialisme Indonesia. Kalau kita perhatikan bangkit dan pertumbuhan sosialisme di Barat dan sosialisme di Asia umumnya dan Indonesia khususnya , maka tak dapat di sangkal , bahwa masing– masing mempunyai asal-‐usulnya sendiri dan pembawaan yang di pengaruhi oleh lingkungan tradisi dan sejarah nya masing–masing. Di dalam penjelasan Asas dan Garis Politik daripada Partai Sosial Indonesia dengan ringkas dan jelas di gambarkan seperti berikut : “Pertumbuhan gerakan serta cita–cita sosialis di Asia sangat rapat hubunganya dengan perkembangan pergerakan serta cita–cita kemerdekaan dan kerakyatan. Begitu pula di Indonesia, pada umumnya jika di tinjau dari sudut perkembangan masyarakat, maka masyarakat di Asia merupakan masyarakat yang pada suatu ketika tertahan atau terhambat kemajuan serta perkembangannya. Sedangkan didunia Barat masyarakat yang berdasarkan ekonomi atau ekonomi memenuhi keperluan sendiri dengan tiada menggunakan uang akhirnya menjadi masyarakat uang serta kapitalistis, tidaklah demikian pada umumnya di Asia”.
Gerakan serta cita–cita sosialis di dunia barat lahir serta berkembang sebagai lanjutan serta lawan kapitalisme, ia adalah pula lawan daripada gerakan pembebasan pribadi serta individualisme, ia adalah pula lawan liberalisme yang menjadi jiwa pendorong kemajuan masyarakat uang atau masyarakat kapitalis itu. Dilihat dari sudut perkembangan ekonomi, maka sosialisme di Barat adalah kelanjutan serta lawan kapitalisme, seperti lebih dahulu kapitalisme adalah lanjutan serta lawan feodalisme, wujud perubahan serta perlawanan itu adalah supaya peralatan masyarakat dapat memenuhi keperluanya untuk menyambung kehidupanya.” Kalau di dunia Barat masyarakat sosialis merupakan lanjutan daripada masyarakat kapitalis, maka di Indonesia menjadi tuntunan untuk menyusun masyarakat yang baru yang lain daripada masyarakat kolonial dan agraris tadinya itu. Sosialisme bukan saja suatu ajaran perjuangan, melainkan juga suatu ajaran tentang penyusunan masyarakat dan peradaban yang lain daripada yang di kenal dalam masyarakat kapitalis. Inti dan pokok-‐soal daripada ajaran sosialisme itu, yaitu hubungan masusia dan hubungan antara manusia. Dari itu sosialisme tidak dapat di lepaskan dari sifat penghargaan dan perlakuan terhadap diri–seorang, dari sifat perikemanusiaan dan persamaan manusia dan keadilan yang termasuk di dalamnya. Sesungguhnya tak dapat di pikirkan sosialisme tanpa demokrasi (kerakyatan), sekalipun begitu dalam logat politik moderen dewasa ini kita menjumpai kata sosialisme– kerakyatan. Sosialisme kerakyatan itu, yaitu untuk membedakan diri daripada lain–lain macam “sosialisme”,
seperti Nasional–Sosialisme Hitler (Nazi), yang sama sekali bukan sosialisme itu dan sosialisme Soviet–Russia, yang masyarakat nya hampir dua angkatan (generasi) lamanya di kuasai oleh diktatur kaum proletar. Kerakyatan dalam kata– kata sosialisme–kerakyatan itu tidak lain melainkan untuk menegaskan sifat sosialisme yang menghargai manusia dan perikemanusiaan itu. Sosialisme Kerakyatan dan Komunisme Di atas tadi telah digambarkan pecahnya sosialisme di Barat menjadi dua aliran yang bertentangan satu sama lain, yaitu aliran sosial demokrat dan aliran komunis. Dengan berhasilnya Revolusi Oktober 1917 dan timbulnya negara Soviet–Rusia, maka kaum Komunis mempunyai Ibu Negara yang mesti di pertahankan hidupnya di tengah-‐tengah Negara-‐negara borjuis – kapitalis. Berhubung dengan itu, maka strategi dan taktik kaum komunis di seluruh dunia-‐ (kecuali Yugoslavia yang menentang dan keluar dari ikatan Kominform pada tahun 1948)–diatur dari Moskow melalui Komintern (Internasional III yang di bubarkan pada 1943) dan Konminform (yang didirikan pada 1947). Di mana dunia dalam pandangan kaum komunis terbagi dalam dua blok-‐kapitalis-‐Imperialis dan blok Soviet, maka bagi kaum komunis kepentingan negara nasionalnya mesti di bawahnya kepada kepentingan politik dan Moskow. Sebaliknya kaum sosial–demokrat dalam strategi politik dunia itu lebih rapat hubungannya dengan kaum borjuis nasionalnya. Lain dengan kaum sosialis Asia umumnya dan Indonesia khususnya yang tidak melihat dunia itu terbagi dalam dua blok politik itu, kaum sosialis di Asia umumnya dan Indonesia.
khususnya tidak melihat perang dunia itu sebagai jalan yang mendekatkan kita kepada sosialisme dunia. Setia kepada ajaran Marx-‐Engels maka kaum sosialis di Asia umumnya Indonesia khususnya menjalankan politik luar negeri yang bersifat politik damai dan demokratis untuk menghindarkan malapetaka bagi umat manusia itu. Perkembangan sejarah dunia membuktikan bahwa ada berbagai jalan untuk sampai pada masyarakat sosialitu. Sampai baru-‐baru ini seolah-‐olah cara Bolsjevik di Soviet-‐ Rusia hanya satu-‐satunya jalan untuk mewujudkan jalan dunia sosialis itu: pernyataan dan pengakuan Khusrchev kepada Tito (Yugoslavia) manghapuskan monopoli jalan ke-‐ Sosialisme dari Soviet Rusia. Perkembangan sejarah dunia itu juga membuktikan, bahwa negara-‐negara yang terbelakang atau terlambat maju nya tidak perlu terlebih dahulu menunggu–nunggu perkembangan seperti di dunia barat untuk melangkah menuju sosialisme. Seperti di katakana tadi sosialisme sendiri merupakan ajaran untuk menyusun peradaban dan pergaulan hidup yang berdasarkan perikemanusiaan, persamaan keadilan. Ketika rakyat Indonesia berhasil dalam perjuangan merebut kemerdekaan nasionalnya, maka timbul soal menyusun perikehidupan bagi rakyat dan bangsa Indonesia. Perikehidupan itu mesti lain dari pada di jaman penajahan Bangsa asing yang menghambat dan melambatkan perkembangan dan kemajuan rakyat Indonesia itu. Soal menyusun perikehidupan baru itu menjadi usaha daripada segenap rakyat dan lapisan bangsa yang mesti hidup di dalam masyarakat baru itu.
Kaum Sosialis Kerakyatan yakin, bahwa sifat dan keadaan rakyat serta susunan Negara dan masyarakatnya memberikan cukup kemungkinan dan kesempatan untuk Sosialisme-‐ Kerakyatan, supaya berkembang dan diterima oleh masyarakat, sebagai pedoman untuk menyusun peri-‐ kehidupan dan masyarakat baru yang adil, makmur dan sejahtera. Bagi kaum Sosialis Kerakyatan negara Indonesia merupakan modal yang terpenting untuk dapat mewujudkan masyarakat sosialis itu, yaitu perikehidupan dan peradaban baru yang disandarkan kepada harga kemanusiaan dan persamaan serta keadilan. Disini perbedaan pandangan antara partai sosialis Indonesia dan PKI yang tunduk mentah-‐mentah kepada pimpinan Moskow. Tindak hendak mempertaruhkan negara Indonesia itu dalam peraturan politik dan persaingan kekuasaan antara kedua blok dunia itu. PKI yang tunduk kepada pimpinan Moscow tidak dapat melepaskan diri dari strategi politik dunia yang di tentukan oleh Moskow di pihak Yugoslavia. Satu waktu, soal ini boleh jadi sangat penting berhubung dengan perkembangan politik dunia, karena politik peace full coexistence yang sekarang di lancarkan itu pada nyatanya hanya merupakan breathing-‐spell untuk lebih siap menghadapi ketentuan yang terakhir. Di jaman atom sekarang ini memang segan-‐segan juga orang mengadu kekuatan secara langsung tapi ini bukan halangan untuk mengukur kekuatan masing-‐masing di daerah-‐daerah yang menjadi perbuatan kekuasaan. Menghindarkan Indonesia kita
ini menjadi gelanggang dari perlombaan kedua blok-‐politik yang bersaingan untuk kekuasaan dunia, merupakan persoalan yang penting bagi kaum Sosialis Kerakyatan. Diktatur kaum proletar seperti yang dijalankan di Soviet– Rusia itu sudah tidak memenuhi fungsinya lagi sebagai masa peralihan kemasyarakatan sosialis. Diktatur kaum proletar di Soviet-‐Rusia dengan segala alat kelengkapannya sudah merosot menjadi alat untuk membasmi orang-‐orang yang tidak disukai golongan yang memimpin (yaitu Partai Komunis) dan untuk memaksa dan menekan rakyat dan masyarakat. Didalam masyarakat semacam itu manusia sudah tidak di hargai sebagai manusia, nama-‐nama yang membuat sejarah seperti Trotsky, Zinoviev, Kamenev, Radek, Rykov, Beria dan Stalin dan Jenderal-‐Jenderal besar (Marshal) Tukhachevsky, Bluekher, Eidemann, Yakir, Uborevichv dan ratusan lagi pemimpin-‐pemimpin dan opsir-‐opsir tinggi lenyap sebagai orang yang hina dan rendah. Kebanyakan dari pemimpin-‐ pemimpin dan opsir-‐opsir dituduh menghianati negerinya dengan berhubuingan dengan negara asing (Jerman–Hitler) tapi kemudian Stalin sendiri mengadakan non-‐agresi pact dengan Jerman–Hitler pada 1939, Stalin yang dipuja-‐puja setinggi langit pada masa hidupnya, setelah meninggal di jatuhkan lagi sebagai pembunuh besar . Ukuran norma-‐ norma sudah tidak ada lagi. Kalau sekarang di junjung sebagai Pahlawan besok mungkin jatuh sebagai penghianat. Kalau kita kembali pada cita-‐cita Marx Engels dimana manusia, persamaan dan hubungan antara manusia, penghapus penindasan dan segala kekuasaan golongan menjadi inti dari pada ajarannya,maka segala sesuatunya itu tidak bertemudi dalam pemerintahan diktaktor kaum proletar
yang hampir dua angkatan (generasi) manusia menguasai segala hidup dan kehidupan manusia Soviet Rusia itu. Menurut ajaran Max-‐Engels sendiri, tidak cuma satu jalan yang menuju kesosialisme dan pasti tidak Cuma kaum bolsjevik itu, yang juga sudah di akui oleh pemimpin-‐ pemimpin Moskow baru-‐baru ini. Bertambah yakin Kaum Sosialis Kerakyatan dengan asas dan garis politiknya, bahwa Sosialisme Kerakjatan merupakan jawaban atas cita-‐cita dan tujuan perjuangan atas Indonesia: manusia bebas luput dari penghisapan dan penindasan dan hidup di dalam masyarakat yang sejahtera, adil dan makmur.
Sosialis – Komunis – Sosialis Demokrat Sering menjadi pertanyaan bagi orang dimana letaknya perbedaan antara kaum sosialis dan komunis (yang dimaksudkan disini yaitu sosialis dan komunis di Indonesia). Dan pertanyaan yang lain lagi ialah perbedaan kaum sosialis di Indonesia dan kaum sosialis demokrat di barat. Memang kita bedakan kaum sosialis di Indonesia dengan kaum sosialis-‐demokrat di Barat. Sebaliknya kita lihat lebih banyak persamaan antara kaum sosialis di Indonesia dengan kaum sosialis di benua Asia. Berhubung dengan itu tidak salah kiranya kalau dibedakan kaum sosialis di Asia umumnya dengan kaum sosialis demokrat di Barat. Kalau kita perhatikan pertumbuhan sosialisme di Barat dan sosialisme di Asia umumnya dan Indonesia khususnya, maka mau tak mau mesti diakui bahwa masing-‐masing mempunyai pembawaannya sendiri-‐sendiri yang berpangkal pada asal usulnya. Pembawaan itu tentu mempengaruhi sifat, jiwa dan semangat dari sosialisme di Asia umumnya dan Indoneisa khususnya dengan kaum sosialis di Barat (kaum sosialis-‐ demokrat) lebih nyata, jelas dan tegas dilapang politik. Seperti diketahui sosialisme di Barat timbul sebagai reaksi terhadap kapitalisme-‐impearialsme yang bersendikan ajaran liberasirme. Dalam edaran sejarah kita lihat Sosialisme di Barat itu pecah menjadi dua aliran yang bertentangan satu sama lain, yaitu aliran sosial-‐demokrat dan aliran komunisme. Komunisme ini melanjutkan perjuangan yang bersifat anti-‐kapitalisme-‐ imperialisme.
Di dalam negara-‐negara borjuis, perjuangan anti-‐kapitalisme yang tidak kenal damai dari kaum komunis itu seolah-‐olah berupa perjuangan anti nasional. Dengan perjuangan anti imperialis dipandang sebagai Ibu Negara dari pada adanya Negara Soviet yang di dalam komunisme, maka ini menguatkan komunis dimasing-‐masing negara borjuis sehingga mereka dipandang kurang lebih sebagai kolonne V dari negara Soviet oleh kaum borjuis nasional. Juga kaum sosial-‐demokrat tidak beda dalam penglihatan seperti itu. Di dalam perkembangan kemajuan sejarah maka kaum sosialsi demokrat di Barat lebih rapat nasibnya dengan kaum borjuis nasional. Ini jelas dalam sikap kenasionalan nya! Ini sungguh bertepatan dengan ajaran yang mengatakan, bahwa kaum sosial-‐demokrasi itu suatu waktu dalam perkembangan nya berubah menjadi sosial-‐fasis! Keadaan ini ternyata benar nya sejak perang dunia I. Dari itu dalam politik nasionalnya kita lihat bahwa tidak bedanya antara kaum sosial-‐demokrat dengan kaum borjuis-‐kapitalis nasional. Sebaliknya kaum sosialis di Asia umumnya dan di Indonesia khusus nya timbul dari perjuangan kemerdekaan nasional. Kaum sosialis itu menjadi bagian dari segenap bangsa yang memperjuangkan kemerdekaan nasionalnya, yaitu usaha membebaskan diri dari tindasan bangsa asing. Ketika berhasil perjuangkan kemerdekaan nasional itu, maka timbul rasa menyusun peri kehidupan baru bagi rakyat dan bangsa yang baru merdeka dan berdaulat itu. Peri kehidupan baru itu mesti lain daripada dizaman penjajahan bangsa asing. Soal menyusun peri kehidupan baru ini menjadi usaha dari pada segenap rakyat dan bangsa. Apa lagi di Indonesia ini dimana kaum borjuis tidak merupakan suatu faktor yang penting didalam perkembangan Negara itu. Hampir-‐hampir negara kita itu tidak mengenal sosial-‐konflik, kecuali
pertikaian yang bersifat nasional, yaitu sebagai bangsa mengahadapi kekuatan bangsa asing yang menduduki dan menguasai jalannya produksi di negeri kita! Kaum sosialis yang hendak merobah dan memperbaiki hidup dan peri kehidupan rakyat pada nyatanya menghadapi keadaan dimana kuncinya dilapang ekonomi masih dikuasai oleh bangsa asing. Dengan kekuasaan politik memang banyak dapat dicapai, tapi kekuasaan politik itu tidak sanggup dengan sekaligus menyediakan tenaga dan aparat untuk menggantikan fungsi ekonomi yang sekarang masih diselenggarakan oleh badan asing itu. Sebaliknya kekuasaan politik (negara) itu dapat dan mesti memberi kesempatan dan mendorong usaha dan kegiatan rakyat sendiri dilapang ekonomi supaya timbul kesanggupannnya bertahan. Tegasnya kekuasaan politik alias negara masih merupakan alat yang terpenting untuk memungkinkan perkembanagan dan kemajuan usaha dan organisasi rakyat. Disini perbedaan antara kaum sosialis dan komunis. Seperti jelas dari uraian di atas tadi, maka kaum komunis terutama anti imperialis. Ini juga berlaku bagi kaum komunis di Indonesia. Tidak dapat lain! karena dalam pandangan perjuangan dunia terbagi dalam dua blok, yaitu blok kapitalis-‐imperialis dan blok soviet. Sebagai konsekuensi dari pada pandangan dan penglihatan perjuangan itu, maka negara nasional menjadi sekunder. Pertama-‐tama antiimperialis, baru lainnya! Dalam perjuangan sehari-‐hari, maka sikap ini menyatakan dirinya dalam usaha merintangi dan menggagalkan kegiatan modal asing di negeri kita ini. Kalau-‐kalau modal asing itu pada suatu ketika merasa jemu,
menghentikan usaha nya dan meninggalkan lapangan Indonesia ini. Demikian harapannya! Sesungguhnya pandangan ini tidak memperhitungkan lain-‐ lain kemungkinan yang boleh terjadi sebagai reaksi daripada modal asing itu! Kalau kita perhatikan pentingnya kedudukan Indonesia dalam perhubungan ekonomi dunia apalagi di masa perang. Maka kiranya tidak begitu saja kaum modal asing itu bakal meninggalkan lapangan Indonesia ini. Didalam suasana internasional dimana kepentingan nasional menjadi pusat perhatian segenap usaha dari tiap-‐tiap negara, maka perwujudan sikap anti-‐imperialis di Indonesia ini terdapat corak mengacaukan jalannya produksi, maka sikap kaum komunis itu tidak saja merugikan negara melainkan mengandung bahaya pula, karena membuka kesempatan bagi kaum kapitalis-‐imperialis memperhitungkan kemungkinan yang pasti menguntungkan mereka sendiri dimana negara sebagai hasil daripada revolusi nasional menjadi taruhan! Lain dengan kaum sosialis, kaum sosialis pertama tama mengusahan perubahan dan perbaikan hidup dan peri kehidupan rakyat. Dalam praktis politik ini berarti soal waktu! Berhubung dengan itu, maka kelanjutan hidup negara nasional masih dipentingkan untuk dapat menyusun kekuatan dan kesanggupan rakyat guna dapat melaksanakan kemakmuran dan kesejahteraan hidup rakyat. Dalam pada itu harus di ikhtiarkan agar supaya bahaya dari luar tidak dapat mempengaruhi atau membelokkan perkembangan di dalam negeri. Pendirian ini dengan sendirinya mengandung sikap anti imperialis. Sikap antiimperialis ini menjadi sikap segenap
rakyat dan bangsa Indonesia sejak Proklamasi kemerdekaan pada 17 Agustus 1945. Kalau kaum komunis hanya bersikap negatif, sebaliknya kaum sosialis hendak merubah dan memperbaiki hidup dan perikehidupan rakyat. Kesimpulan : 1. Sejak perang dunia I, lebih-‐lebih sesudah perang dunia II maka kepentingan negara nasional lebih diutamakan daripada ideologi. Segala ideologi berarti ideologi negara. Rasa kebangsaan (nasionalisme dan cinta pada tamah air (patriotism) menjadi pedoman dalam sikap dan langkah Politik. Dalam sikap politik Negara nasional, kaum social democrat seiring sejalan dengan kaum borjuis kapitalis nasional. 2. Pandangan dan penglihatan, bahwa dunia hanya terbagi dalam dua blok, yaitu blok kapitalis imperialis dan blok soviet, membawa konsekuensi, bahwa sikap dari anti imperialis dari kaum komunis mengutamakan kepentingan Negara Soviet lebih lagi dari pada kepentingan negara nasional. Dalam politik sehari hari sikap semacam ini selalu berada dalam hubungan perjuangan, lepas dari perhitungan kekuatan dan kesanggupan, sama sekali tidak diukur dalam hubungan perjuangan segenapnya. Kesempatan menyusun dan mengatur kekuatan terdesak dan terbengkalai karena sistem revolusi it permanentie ini! 3. Kaum sosialis masih melihat Negara sebagai alat yang terpenting untuk menyusun dan mengatur kesanggupan dan kekuatan rakyat. Sambil mempertahan kan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan Negara, maka harus diletakkan dasar bagi perekonomian rakyat. Perubahan dan perbaikan hidup dan perikehidupan rakyat harus disertai oleh rakyat itu
sendiri. Kekuasan politik alias Negara harus menjamin kemungkinan dan kesempatan bagi perkembangan usaha dan organisasi rakyat. Tegas nya, politik luar negeri harus berputar disekitar usaha menyelamatkan dan mempertahan kan kemerdekaan dan kedaulatan bangsa dan negara. Usaha didalam negeri, yaitu menyusun dan mengatur kekuatan dan kesanggupan rakyat sambil merubah dan memperbaiki hidup dan peri kehidupan nya. Inilah yang menjadi pedoman bagi kaum sosialis dalam sikap dan langkah nya dalam tingkat edaran kemajuan dewasa ini.
Negara dan Partai Politik Sudah selajaknja di dalam negara demokrasi jang mengakui dan menghormati pandangan dan kejakinan lain aliran-‐aliran itu mendapatkan bentuk jang njata dalam kehidupan berpartai. Pengaruh dan kekuatan partai masing-‐masing di dalam suatu negara jang berdasarkan sistem parlementer ini biasanja tergambar dalam hasil pemilihan umum untuk Dewan Perwakilan Rakjat Pusat. Dalam pada itu, sistem pemilihan dan kesadaran politik rata-‐rata daripada rakjat-‐ pemilih besar pengaruhnja atas hasil keputusan daripada pemilihan umum itu. Biasanja kepada partai jang terbesar diserahkan formateurschap untuk membentuk suatu pemerintah jang bersifat parlementer. Si formateur menawarkan lain2 partai untuk turut hadir di dalam pemerintah jang akan dibentuknja itu berdasarkan sesuatu program jang tertentu. Begitulah lazimnja tjara jang berlaku di dalam suatu negara jang berdasarkan demokrasi perlementer. Djuga di negeri kita ini begitu tjaranja. Disini tidak kita persoalkan buruk-‐baiknja atau benar tidaknja tjara berdasarkan demokrasi perlementer itu, melainkan kita hendak menjatakan keadaan dan tjara jang berlaku di negeri kita ini hingga sekarang, lepas dari penghargaan atau perasaan terhadap sistem demokrasi parlementer itu. Ringkasnja: pemerintah negara kita bersendikan partai2. Sudah tentu pemerintah jang sematjam itu lain sifatnja daripada pemerintah suatu negara jang berdasarkan dan bersistem satu partai. Pemerintah negara jang hanja mengenal satu partai di dalam negerinja tentu menjalankan politik dan program jang sama – setidak tidaknja tidak djauh bedanja – dengan politik dan program partai itu.
Sebaliknja, pemerintah jang tersusun daripada beberapa partai di dalam negeri, maka politik dan programnja pada umumnja merupakan program minimum daripada partai2 jang bersama-‐sama membentuk pemerintah itu. Pada umumnja, politik dan program pemerintah daripada negara jang berdasarkan demokrasi parlementer tidak sama dengan politik dan program partai masing2 jang menjadi anggota pemerintah itu. Sebagai partai, program dan politiknja boleh radikal dan revolusioner, tetapi sebagai pemerintah negara harus diperhatikan dan diperhitungkan lain2 faktor dalam menentukan sikap dan siasat politik negara. Kedudukan kita sebagai negara dengan sendirinja sudah membawa akibat2nja, karena antara negara-‐negara itu berlaku hukum pergaulan jang tertentu. Tiap utjapan dan tiap perbuatan jang dilakukan dalam kedudukan partai pada umumnja tidak mengakibatkan apa-‐apa ke luar negeri. Tetapi sebaliknja, tiap utjapan dan tiap perbuatan jang dilakukan dalam kedudukan djabatan negara –apalagi kedudukan jang bertanggung djawab – berpengaruh ke luar negeri dan menimbulkan konsekwensi2nja. Misalnja, sebagai orang partai, kalau menjiarkan tuduhan terhadap suatu negara tidak begitu berat ukuran dan timbangannja kalau dibandingkan dengan tuduhan jang dikeluarkan oleh seorang dalam djabatan jang bertanggung djawab dalam administrasi negara. Dalam perkara jang pertama mungkin tak ada apa-‐ apa akibatnja, tapi dalam perkara jang kedua pasti negara jang merasa tertuduh itu menjatakan keberatannja dan mungkin membawa konsekwensi lain terhadap negara jang menjiarkan tuduhan itu.
Djangan suatu tuduhan, utjapan apa sadja (jang bersifat politik) jang dinjatakan pada umum mendapat warna, sifat dan artilain, kalau diutjapkan oleh orang partai atau orang pemerintah (dalam kedudukan dan djabatan yang bertanggung djawab dalam pemerintahan negara). Dari itu, orang jang penuh tanggung-‐djawab terhadap rakjat dan negara dalam kedudukan dan djabatan bertanggung djawab dalam pemerintahan negara tidak mudah dalam menjatakan perasaan dan pendapatnja, kalau2 utjapannya itu mengakibatkan konsekwensi bagi rakjat dan negaranja. Mungkin seorang pemimpin itu ketika belum mendjabat kedudukan dalam pemerintah negara terkenal sebagai orang partai jang revolusioner. Ini sama sekali tidak ada hubungannja dengan mundur-‐tidaknja si pemimpin dalam kerevolusineran atau semangat perdjoangannja. Ukuran kerevolusioneran dan keteguhan hatinja itu tidak terletak dalam kata2 jang bersemangat, melainkan dalam tudjuan dan perbuatannja untuk mentjapai tjita2 jang revolusioner itu. Pada umumnja pemimpin2 di Indonesia kita ini sangat takut kalau mendjadi impopulair di mata umum – dalam arti kata menurut pengertian demokrasi barat, djadi bukan pendapat rakjat djelata jang sebenarnja jang dalam sistem demokrasi barat tidak mungkin timbul setjara ikhlas dan benar – dan oleh sebab itu sering2 mengorbankan kejakinannja untuk mengikutkan perasaan umum, sekalipum sesat dan salah. Dengan tjara begitu, maka banjak diantara pemimpin2 itu sesungguhnja dipimpin oleh pendapat umum, bukan memimpin rakjat ke djalan jang benar. Partai jang sematjam ini tidak mungkin memimpin revolusi, karena tidak mempunjai ukuran dan pedoman akan djalan jang benar. Selama keadaan masih begitu dan pemimpin2 dipengaruhi
oleh keadaan, tidak oleh kejakinan dan pendirian (partai)nja, maka tak boleh diharapkan suatu stabilisasi dalam keadaan dan garis politik jang tertentu jang menundjukkan djalan menudju kemenangan. Berhubung dengan itu, kedudukan dan gensi pemerintah negara dalam pandangan dunia banjak tergantung daripada sifat dan watak orang perseorang daripada anggota2 pemerintah itu, selain daripada partai dan partai-‐politiknja masing2. Sekian dulu.
Foto Dokumentasi
Jajaran Dewan Partai, Partai Sosialis Indonesia
Menuju Pemilihan Umum 1955
Bersama Djoeir Moehammad dan Soemartojo
Di atas Tank Sherman milik Sekutu di Surabaya
Menjenguk Mochtar Loebis dan Soebadio di Penjara Madiun, 1963
Berziarah ke Makam Sjahrir pada 5 Maret 1967
Puisi tentanPpu Puisi tentang Djohan yang ditulis tangan oleh Dayino Pada 2 Agustus 1991
Djohan Sjahroezah Merajut Jejaring Perjuangan ^ĂŵƉĂŝĚĞŶŐĂŶƐĂĂƚŝŶŝ͕ĂƌƵƐďĞƐĂƌƉĞƌƐƉĞŬƟĨƐĞũĂƌĂŚŵĞŶŐĞŶĂŝƚĞƌďĞŶƚƵŬŶLJĂ ŶĂƐŝŽŶĂůŝƐŵĞĚŝ/ŶĚŽŶĞƐŝĂ͕ƵŵƵŵŶLJĂĚŝĚĂƐĂƌŝĂƚĂƵŵĞŶŐĂĐƵŬĞƉĂĚĂƉĞŵĂŚĂŵĂŶ ƐĞũĂƌĂŚƉĞƌƚƵŵďƵŚĂŶŶĂƐŝŽŶĂůŝƐŵĞŶĞŐĂƌĂͲďĂŶŐƐĂĚŝĂƌĂƚ͘<ĞƵŶŝŬĂŶƉƌŽƐĞƐ ŚŝƐƚŽƌŝƐLJĂŶŐďĞƌůĂŶŐƐƵŶŐĚŝ/ŶĚŽŶĞƐŝĂďĞůƵŵŵĞŶĚĂƉĂƚƉŽƌƐŝĨŽŬƵƐLJĂŶŐĐƵŬƵƉ͕ ĚĂŶŶĂƐŝŽŶĂůŝƐŵĞLJĂŶŐƚĞƌůŝŚĂƚƉĂĚĂĞƌĂƐĞƉƵƚĂƌWƌŽŬůĂŵĂƐŝ<ĞŵĞƌĚĞŬĂĂŶƚĂŚƵŶ ϭϵϰϱĚŝĂŶŐŐĂƉƐĞďĂŐĂŝƐƵĂƚƵŬĞǁĂũĂƌĂŶƉƌŽƐĞƐĚĂůĂŵƐĞũĂƌĂŚ͘ “Di samping itu, perlu disebutkan juga pribadi yang mengagumkan, Djohan Sjahroezah, seorang Minangkabau yang berlatar belakang pendidikan cukup dan berusia sekitar 30 tahun. Sambil bekerja sebagai ƐĞŬƌĞƚĂƌŝƐ,ĂƩĂ͕ƉĂĚĂƚĂŚƵŶϭϵϰϮͲϭϵϰϯŝĂŵĞŶŐĂƚƵƌŚƵďƵŶŐĂŶĚĞŶŐĂŶ keempat organisasi bawah tanah lainya dan menjadi perantara utama ĚĂůĂŵŚƵďƵŶŐĂŶŵĞƌĞŬĂ͘ũŽŚĂŶƉƵŶLJĂŚƵďƵŶŐĂŶLJĂŶŐŝƐƟŵĞǁĂ dengan gerakan bawah tanah Sjahrir, dan menurut Adam Malik, ƉĞƌŶĂŚďĞƌƐĂŵĂͲƐĂŵĂ^ƵŬĂƌŶŝŵĞŵĞŐĂŶŐŬĞůŽŵƉŽŬƚĞƌƐĞďƵƚ͘͟ ĞŵŝŬŝĂŶƚƵůŝƐ'ĞŽƌŐĞDĐdƵƌŶĂŶ<ĂŚŝŶ͕ƐĞŽƌĂŶŐ/ŶĚŽŶĞƐŝĂŶŝƐƚĞƌŬĞŵƵŬĂĂƐĂů ŵĞƌŝŬĂ͘ ĂŐŝƚĞůŝŶŐĂŬŝƚĂ͕ŶĂŵĂũŽŚĂŶ^ũĂŚƌŽĞnjĂŚŵƵŶŐŬŝŶŵĂƐŝŚƚĞƌĚĞŶŐĂƌĂƐŝŶŐ͘ ^ĞďĂŐĂŝƐŽƐŽŬLJĂŶŐďĞƌƉĞƌĂŶĂŬƟĨŵĞŵƉĞƌũƵĂŶŐŬĂŶŬĞŵĞƌĚĞŬĂĂŶďĂŶŐƐĂ͕ ŶĂŵĂŶLJĂŬĂůĂŚƉĂŵŽƌĚŝďĂŶĚŝŶŐŬĂŶƚŽŬŽŚͲƚŽŬŽŚƐĞƉĞƌƟ^ŽĞŬĂƌŶŽ͕,ĂƩĂŵĂƵƉƵŶ ^ũĂŚƌŝƌ͘WĂĚĂŚĂů͕ũŽŚĂŶďĞƌŬŽŶƚƌŝďƵƐŝƉĞŶƵŚĚĂůĂŵƐĞƟĂƉĨĂƐĞƉĞƌũƵĂŶŐĂŶŵƵůĂŝ ĚĂƌŝĞƌĂŬŽůŽŶŝĂůŝƐŵĞĞůĂŶĚĂ͕ĨĂƐŝƐŵĞ:ĞƉĂŶŐ͕ƉĞƌƚĞŵƉƵƌĂŶ^ƵƌĂďĂLJĂŚŝŶŐŐĂ ŵĂƐĂͲŵĂƐĂũĂƚƵŚďĂŶŐƵŶƌĞƉƵďůŝŬ͘ ^ĞŵƉĂƚĚŝƉĞŶũĂƌĂĂŬŝďĂƚƚƵůŝƐĂŶŶLJĂĚŝ/ŶĚŽŶĞƐŝĂZĂLJĂŽůĞŚƉĞŵĞƌŝŶƚĂŚĞůĂŶĚĂ͕ ũŽŚĂŶũƵƐƚƌƵƐĞŵĂŬŝŶĂŬƟĨŵĞŵďŝŶĂŐĞƌĂŬĂŶďĂǁĂŚƚĂŶĂŚĚŝ^ƵƌĂďĂLJĂ͘ũŽŚĂŶ ĂĚĂůĂŚĚŽŬƚƌŝŶĞƌ͕ŝĚĞŽůŽŐ͕ŝŶƚĞůĞŬƚƵĂůƐĞŬĂůŝŐƵƐƉĞŶĚŝĚŝŬŬĂĚĞƌLJĂŶŐŵĞŶŐƵĂƐĂŝ DĂƌdžŝƐŵĞĚĞŶŐĂŶďĞŐŝƚƵŵĞŶĚĂůĂŵ͘ WĂĚĂŵĂƐĂƉĞŶĚƵĚƵŬĂŶ:ĞƉĂŶŐ͕ũŽŚĂŶŵĞŶũĂĚŝƐŝŵƉƵůďĂŐŝŐĞƌĂŬĂŶŬĂƵŵŵƵĚĂ ĚŝďĞƌďĂŐĂŝĚĂĞƌĂŚ͘/ĂŵĞŶŐŽƌŐĂŶŝƐŝƌƐĞƌŝŬĂƚďƵƌƵŚŵŝŶLJĂŬĚĂŶďĞƌŐĞƌŝůLJĂ ŵĞŶĞŵƉĂŬĂĚĞƌͲŬĂĚĞƌŵƵĚĂƐĞďĂŐĂŝƚƵůĂŶŐƉƵŶŐŐƵŶŐLJĂŶŐĂŬĂŶŵĞŶLJĂŵďƵƚ ŬĞŵĞƌĚĞŬĂĂŶƌĞƉƵďůŝŬ͘<ĂĚĞƌͲŬĂĚĞƌĚŝĚŝŬĂŶũŽŚĂŶŝŶŝůĂŚLJĂŶŐĚŝŬĞŵƵĚŝĂŶŚĂƌŝ ŵĞŶƵŶũƵŬŬĂŶŬĞƉĂĚĂĚƵŶŝĂƐĞŵĂŶŐĂƚŵĞŶƚĂůůƵĂƌďŝĂƐĂƉĂĚĂƉĞƌƚĞŵƉƵƌĂŶ ^ƵƌĂďĂLJĂ͘
PIKIR
PUSAT INOVASI & KEMANDIRIAN INDONESIA RAYA
:ů͘ĂƚƵ/EŽ͘ϲ WĞũĂƚĞŶdŝŵƵƌͲWĂƐĂƌDŝŶŐŐƵ :ĂŬĂƌƚĂ^ĞůĂƚĂŶ