(20-35 tahun) merupakan tahap untuk menjarangkan kehamilan dan kurun reproduksi tua (36-45) tahun merupakan tahap untuk mengakhiri kehamilan. (BkkbN, 2003).
3. Dukungan Suami Dukungan adalah menurut kamus bahasa Indonesia tahun 1995 dalam Fitri (2012) “Merupakan hal yang ikut serta dalam suatu kegiatan”.
Sedangkan menurut Notoatmodjo tahun 2005 dalam Fitri (2012) keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang mempunyai kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu tempat dibawah satu atap dan saling ketergantungan satu sama lainnya Hartanto (2003) dalam Fitri (2012) mengatakan bahwa seorang wanita apabila menggunakan kontrasepsi tidak akan dipakai apabila tidak ada kerja sama dengan suami. Hal tersebut merupakan metode kesadaran akan fertilitas yang sangat membutuhkan kerja sama dan saling percaya antara suami istri. Seorang istri dalam menggunakan kontrasepsi ideal nya apabila : memilih metode kontrasepsi yang terbaik, saling bekerja sama dalam pemilihan/pemakaian kontrasepsi, membiayai biaya untuk kontrasepsi serta sama-sama memperhatikan tanda bahaya dari pemakaian kontrasepsi tersebut. Dukungan suami sangat berpengaruh besar dalam pengambilan keputusan menggunakan atau tidak dan metode apa yang akan dipakai. Selain peran penting dalam mendukung mengambil keputusan, peran suami dalam memberikan informasi juga sangat berpengaruh bagi istri. Peran seperti ikut pada saat konsultasi pada tenaga kesehatan saat istri akan memakai alat kontrasepsi, mengingatkan istri jadwal minum obat atau jadwal untuk kontrol, mengingatkan istri hal yang tidak boleh dilakukan saat memakai alat kontrasepsi dan sebagainya akan berperan bagi istri saat akan atau telah memakai alat kontrasepsi (Musdalifah, 2013). Besarnya peran suami akan sangat membantunya dan suami akan semakin menyadari bahwa masalah kesehatan reproduksi bukan hanya urusan wanita (istri) saja. Peran lain suami adalah memfasilitasi (sebagai orang yang menyediakan fasilitas), memberi semua kebutuhan istri saat akan memeriksakan masalah
kesehatan reproduksinya. Hal ini dapat terlihat saat suami menyediakan waktu untuk mendampingi istri memasang alat kontasepsi atau kontrol, suami bersedia memberikan biaya khusus untuk memasang alat kontrasepsi dalam hal ini lebih banyak suami mendukung untuk menggunakan kontrasepsi hormonal, dan membantu istri menentukan tempat pelayanan atau tenaga kesehatan yang sesuai (Musdalifah, 2013). Friedman (1998) dan Sarwono (2007) dalam Musdalifah (2013) mengatakan bahwa ikatan suami isteri yang kuat sangat membantu ketika keluarga menghadapi masalah, karena suami/isteri sangat membutuhkan dukungan dari pasangannya. Hal itu disebabkan orang yang paling bertanggung jawab terhadap keluarganya adalah pasangan itu sendiri. Dukungan tersebut akan tercipta apabila hubungan interpersonal keduanya baik.
Pedoman internasional yang menganjurkan pemberian ASI eksklusif selama 6 bulan pertama didasarkan pada bukti ilmiah tentang manfaat ASI bagi daya tahan hidup bayi, pertumbuhan, dan perkembangannya. ASI memberi semua energi dan gizi (nutrisi) yang dibutuhkan bayi selama 6 bulan pertama hidupnya. Pemberian ASI eksklusif mengurangi tingkat kematian bayi yang disebabkan berbagai penyakit yang umum menimpa anak-anak seperti diare dan radang paru, serta mempercepat pemulihan bila sakit dan membantu menjarangkan kelahiran.
Pemberian makanan tambahan pada bayi atau anak usia 6 -24bulan untuk memenuhi kebutuhan gizi setelah ASI eksklusif (Depkes RI, 2007). Makanan tambahan adalah memberi makanan lain selain ASI oleh karena ASI merupakan makanan alami pertama untuk bayi dan harus diberikan tanpa makanan tambahan sekurang kurangnya sampai usia 6 bulan (WHO 2003).
4. Jarak Kandang Kandang-kandang sebaiknya dibangun dengan jarak 6 sampai 8 meter yang dihitung dari masing-masing tepi atap kandang. Kandang isolasi dan karantina dari kandang atau bangunan lainnya diberi jarak 25 m atau sekurang-kurangnya 10 m
dengan tinggi tembok pembatas 2 m. Kantor berjarak 25 hingga 30 m dari kandang. Tempat penimbunan kotoran terletak 100 m dari kandang.
5. PHBS
Manfaat PHBS
Manfaat PHBS bagi rumah tangga:
Setiap rumah tangga meningkatkan kesehatannya dan tidak mudah sakit.
Anak tumbuh sehat dan cerdas.
Produktivitas kerja anggota keluarga meningkat dengan meningkatnya kesehatan anggota rumah tangga maka biaya yang dialokasikan untuk kesehatan dapat dialihkan untuk biaya investasi seperti biaya pendidikan, pemenuhan
gizi
keluarga
dan
modal
usaha
untuk
peningkatan
pendapatan keluarga.
Manfaat PHBS bagi masyarakat:
Masyarakat mampu mengupayakan lingkungan yang sehat.
Masyarakat mampu mencegah dan menanggulangi masalah-masalah kesehatan.
Masyarakat memanfaatkan pelayanan kesehatan yang ada.
Masyarakat mampu mengembangkan Upaya Kesehatan Bersumber Masyarakat (UKBM) seperti posyandu, jaminan pemeliharaan kesehatan, tabungan bersalin (tabulin), arisan jamban, kelompok pemakai air, ambulans desa dan lain-lain.
Indikator dan Definisi Operasional PHBS Pembinaan PHBS di rumah tangga dilakukan untuk mewujudkan Rumah Tangga Sehat. Rumah Tangga Sehat adalah rumah tangga yang memenuhi 7 indikator PHBS dan 3 indikator Gaya Hidup Sehat sebagai berikut:
7 Indikator PHBS di Rumah Tangga: 1) Pertolongan persalinan oleh tenaga kesehatan Adalah pertolongan persalinan dalam rumah tangga yang dilakukan oleh tenaga kesehatan (bidan, dokter, dan tenaga para medis lainnya). 2) Bayi diberi ASI eksklusif
Adalah bayi usia 0-6 bulan hanya diberi ASI saja sejak lahir sampai usia 6 bulan. 3) Penimbangan bayi dan balita Penimbangan balita dimaksudkan untuk memantau pertumbuhan balita setiap bulan dan mengetahui apakah balita berada pada kondisi gizi kurang atau gizi buruk. 4) Mencuci tangan dengan air dan sabun a. Air yang tidak bersih banyak mengandung kuman dan bakteri penyebab penyakit. Bila digunakan, kuman berpindah ke tangan. Pada saat makan, kuman dengan cepat masuk ke dalam tubuh yang bisa menimbulkan penyakit. b. Sabun dapat mengikat lemak, kotoran dan membunuh kuman. Tanpa sabun, kotoran dan kuman masih tertinggal di tangan. 5) Menggunakan air bersih. Air yang kita pergunakan sehari-hari untuk minum, memasak, mandi, berkumur, membersihkan lantai, mencuci alat-alat dapur, mencuci pakaian, dan sebagainya haruslah bersih, agar kita tidak terkena penyakit atau terhindar dari penyakit. 6) Menggunakan jamban sehat Setiap rumah tangga harus memiliki dan menggunakan jamban leher angsa dan tangki septic atau lubang penampungan kotoran sebagai penampung akhir. 7) Rumah bebas jentik Adalah rumah tangga yang setelah dilakukan pemeriksaan jentik berkala tidak terdapat jentik nyamuk.
3 Indikator Gaya Hidup Sehat 1) Makan buah dan sayur setiap hari 2) Melakukan aktivitas fisik setiap hari 3) Tidak merokok dalam rumah
6. Alat Perlindungan Diri (APD)
Menurut Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi RI (2010):
Pasal 1: Alat Pelindung Diri selanjutnya disingkat APD adalah suatu alat yang mempunyai
kemampuan
untuk
melindungi
seseorang
yang
fungsinya
mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja.
Pasal 3: (1) APD sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 meliputi:
a. pelindung kepala; b. pelindung mata dan muka; c. pelindung telinga; d. pelindung pernapasan beserta perlengkapannya; e. pelindung tangan; dan/atau f. pelindung kaki. (2) Selain APD sebagaimana dimaksud pada ayat (1), termasuk APD:
a. pakaian pelindung; b. alat pelindung jatuh perorangan; dan/atau c. pelampung.
Pasal 4: Dinyatakan bahwa APD wajib digunakan di tempat kerja di mana salah satunya -
dilakukan pengangkutan barang, binatang atau manusia, baik di daratan, melalui terowongan, di permukaan air, dalam air maupun di udara;
-
dilakukan pekerjaan pada ketinggian di atas permukaan tanah atau perairan;
-
terdapat atau menyebar suhu, kelembaban, debu, kotoran, api, asap, gas, hembusan angin, cuaca, sinar atau radiasi, suara atau getaran;
-
dilakukan pembuangan atau pemusnahan sampah atau limbah.
7. Ante Natal Care (ANC) Pemeriksaan kehamilan (ANC) merupakan pemeriksaan ibu hamil baik fisik dan mental serta menyelamatkan ibu dan anak dalam kehamilan, persalinan dan masa nifas sehingga mampu menghadapi persalinan, kala nifas, persiapan pemberiaan ASI dan kembalinya kesehatan reproduksi secara wajar (Wiknjosastro, 2005.; Manuaba, 2008).
Kunjungan antenatal care adalah kunjungan ibu hamil ke bidan atau dokter sedini
mungkin
semenjak
ia
merasa
dirinya
hamil
untuk
mendapatkan
pelayanan/asuhan antenatal. Pada setiap kunjungan antenatal (ANC), petugas mengumpulkan dan menganalisis data mengenai kondisi ibu melalui anamnesis dan pemeriksaan fisik untuk mendapatkan diagnosis kehamilan intrauterine serta ada tidaknya masalah atau komplikasi (Saifudin, 2005). WHO dalam Marmi (2011) menganjurkan dalam masa kehamilan ibu harus memeriksakan kehamilan ke tenaga kesehatan paling sedikit 4 kali : a.
Trismester I : satu kali kunjungan (sebelum usia kehamilan 14 minggu)
b.
Trismester II : satu kali kunjungan (usia kehamilan antara 14-28 minggu)
c.
Trismester III : dua kali kunjungan (usia kehamilan antara 28-36 minggu dan sesudah usia kehamilan 36 minggu)
Konsep Pemeriksaan Antenatal Menurut Depkes RI (2002a), pemeriksaan antenatal dilakukan dengan standar pelayanan antenatal dimulai dengan : a. Anamnese : meliputi identitas ibu hamil, riwayat kontrasepsi/KB, kehamilan sebelumnya dan kehamilan sekarang. b. Pemeriksaan umum : meliputi pemeriksaan fisik, pemeriksaan khusus kebidanan. c. Pemeriksaan laboratorium dilakukan hanya atas indikasi/diagnosa d. Pemberian obat-obatan, imunisasi Tetanus Toxoid (TT) dan tablet besi (fe) e. Penyuluhan tentang gizi, kebersihan, olah raga, pekerjaan dan perilaku sehari-hari, perawatan payu dara dan air susu ibu, tanda-tanda risiko, pentingnya pemeriksaan kehamilan dan imunisasi selanjutnya, persalinan oleh tenaga terlatih, KB setelah melahirkan serta pentingnya kunjungan pemeriksaan kehamilan ulang.
Kunjungan Ibu Hamil Menurut Depkes RI (2002a), kunjungan ibu hamil adalah kontak antara ibu hamil dengan petugas kesehatan yang memberikan pelayanan antenatal standar untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan. Istilah kunjungan disini dapat diartikan ibu hamil yang datang ke fasilitas pelayanan kesehatan atau
sebaliknya petugas kesehatan yang mengunjungi ibu hamil di rumahnya atau posyandu. Kunjungan ibu hamil dilakukan secara berkala yang dibagi menjadi beberapa tahap, seperti : a. Kunjungan ibu hamil yang pertama Kunjungan pertama adalah kontak ibu hamil yang pertama kali dengan petugas
kesehatan
untuk
mendapatkan
pemeriksaan
kehamilan
dan
pelayanan kesehatan trimester I, dimana usia kehamilan 1 sampai 12 minggu. b. Kunjungan ibu hamil yang keempat Kunjungan keempat adalah kontak ibu hamil yang keempat atau lebih dengan petugas kesehatan untuk mendapatkan pemeriksaan kehamilan dan pelayanan kesehatan pada trimester III, usia kehamilan > 24 minggu. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa kunjungan antenatal sebaiknya dilakukan paling sedikit empat kali selama masa kehamilan dengan distribusi kontak sebagai berikut: a. Minimal 1 kali pada trimester I , usia kehamilan 1-12 minggu b. Minimal 1 kali pada trimester II, usia kehamilan 13-24 minggu c. Minimal 2 kali pada trimester III, usia kehamilan > 24 minggu.
8. Jarak Kelahiran Kehamilan merupakan saat yang paling tepat untuk saling berbagi dan merencanakan apa yang akan dilakukan sebagai calon orangtua. Upaya perencanaan
dalam
kehamilannya
keluarga
merupakan
yakni
hal
yang
menentukan
jumlah
umum
dilakukan,
anak
dan
jarak
terutama
oleh
keluargakeluarga muda baik diperkotaan maupun di pedesaan. Kesadaran akan pentingnya
perencanaan
keluarga
ini
biasanya
dikaitkan
dengan
konsep
perencanaan keluarga, pasangan muda dianggap lebih siap baik secara mental, spiritual maupun finansial dalam menata masa depan anak-anak mereka. Tentu saja pandangan ini masih bisa di pertanyakan mengingat penataan masa depan keluarga sangat berkaitan dengan banyak faktor (Sugiri, 2007).
Di masyarakat masih berlaku kebiasaan dimana sebagian besar suami-istri hanya berbincang tentang ukuran keluargaketika ingin menambah jumlah anak, tetapi tidak detail hingga menyentuh masalah kesiapan istri untuk menerima kehamilan baru (Rahima, 2003). Secara medis, rahim sebenarnya sudah siap untuk hamil kembali tiga bulan setelah melahirkan. Namun berdasarkan catatan statistik penelitian bahwa jarak kelahiran yang aman antara anak satu dengan lainnya adalah 27 sampai 32 bulan. Pada jarak ini si ibu akan memiliki bayiyang sehat serta selamat saat melewati proses kehamilan (Agudelo, 2007). Penelitian The Demographic and Health Survey, menyebutkan bahwa anakanak yang dilahirkan 2-5 tahun setelah kelahiran anak sebelumnya, memiliki kemungkinan hidup sehat 2,5 kali lebih tinggidaripada yang berjarak kelahiran kurang dari 2 tahun, maka jarak kehamilan yang aman adalah 2-5 tahun (Yolan, 2007).
9. Pengelolaan Sampah Pengelolaan Sampah Pemukiman
Pertambahan jumlah penduduk pada suatu wilayah secara otomatis akan memperkecil daya dukung sarana prasarana di suatu wilayah. Dengan analogi yang sama pertambahan penduduk juga akan terkait langsung terhadap jumlah timbulan di wilayah permukiman atau perkotaan. Kuantitas dan pemerataan penempatan sarana persampahan sangat berpengaruh terhadap efektifitas pengelolaan sampah. Pola pengelolaan sampah di banyak daerah di Indonesia masih terbagi atas 2 (dua) kelompok pengeloalaan yaitu antara pengelolaan yang dilaksanakan oleh masyarakat dari timbulan, pewadahan, pengangkutan dan pembuangan akhir atau pemusnahan atau sampai ke tempat pembuangan sampah sementara (TPS) dan pengelolaan yang dilaksanakan oleh pemerintah yang melayani pengangkutan sampah dari TPS ke tempat pembuangan sampah akhir (TPA). Pengelolaan secara terpadu terhadap persampahan oleh pemerintah atau oleh pihak swata yang ditunjuk oleh pemerintah secara umum belum banyak dilaksanakan, kecuali dibeberapa kota besar di Indonesia. Keterbatasan anggaran
dalam pemenuhan sarana persampahan adalah alasan pokok pemerintah dan minat swasta yang masih rendah dalam menangani bisnis bidang persampahan. Perubahan Paradigma Pengelolaan Sampah
Dari tinjauan seperti disebutkan sebelumnya bahwa pola pengelolaan sampah yang dilaksanakan saat ini belum tercapai pola pengelolaan terpadu dari masyarakat sebagai penghasil sampah dan pemerintah sebagai penyedia dan pengelola sarana persampahan. Dari sisi masyarakat masih terbentuk presepsi bahwa sampah adalah bahan yang sudah tidak terpakai dan telah menjadi kewajiban pihak pemerintah untuk mengelolanya dan membersihkannya. Pola pendekatan baru dalam pengelolaan sampah saat ini telah di konsepkan dalam Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 21/PRT/M/2006 tentang Kebijakan dan Startegi Nasional Pengembangan Sistem Pengelolaan Persampahan (KSNPSPP). Kebijakan Nasionala tersebut merupakan reaksi atas pengelolaan sampah di waktu sebelumnya yang dilaksanakan secara konvensional dan terkesan adanya sekat pemisah antara masyarakat sebagai produsen sampah dan peran pemerintah sebagai pengelola persampahan. Dalam Kebijakan dan Strategi Nasional Pengembangan Sistem Pengolahan Persampahan yang terkait dengan tema perilaku pengelolaan sampah disebutkan antara lain, kebijakan pengurangan sampah semaksiamal mungkin dimulai dari sumbernya dengan pola meningkatkan pemahaman kepada masyarakat tentang upaya 3R (reduce, reuse, recycle) dan mengembangkan sistem insentif dan disinsentif . Dalam hal partisipasi masyarakat kebijakan yang dituangkan adalah meningkatkan pemahaman sejak dini, menyebarluaskan pemahaman tentang sampah
kepada
masyarakat
tentang
pengelolaan
sampah,
meningkatkan
pembinaan pengeloaan sampah khususnya kepada kaum perempuan. Konsep Pengelolaan Sampah 3R
Pengolahan sampah adalah suatu upaya untuk mengurangi volume sampah atau merubah bentuk sampah menjadi sesuatu yang bermanfaat dengan berbagai macam cara. Teknik pengolahan sampah yang pada awalnya menggunakan pendekatan kumpul-angkut-buang, kini telah mulai mengarah pada pengolahan sampah berupa reduce-reuse-recycle (3R). Reduce berarti mengurangi volume dan
berat sampah, reuse berarti memanfaatkan kembali dan recycleberarti daur ulang sampah. Teknik pengolahan sampah dengan pola 3R, secara umum adalah sebagai berikut: 1) Reduce (pengurangan volume) Ada beberapa cara untuk melakukan pengurangan volume sampah, antara lain: a. Incenerator (pembakaran) Merupakan proses pengolahan sampah dengan proses oksidasi, sehingga menjadi kurang kadar bahayanya, stabil secara kimiawi serta memperkecil volume maupu berat sampah yang akan dibuang ke lokasi TPA. b. Balling (pemadatan) Merupakan sistem pengolahan sampah yang dilakukan dengan pemadatan terhadap sampah dengan alat pemadat yang bertujuan untuk mengurangi volume dan efisiensi transportasi sampah. c. Composting (pengomposan) Merupakan
salah
satu
sistem
pengolahan
sampah
dengan
mendekomposisikan sampah organik menjadi material kompos, sperti humus dengan memanfaatkan aktivitas bakteri. d. Pulverization (penghalusan) Merupakan suatu cara yang bertujuan untuk mengurangi volume, memudahkan pekerjaan penimpunan, menekan vektor penyakit serta memudahkan terjadinya pembusukan dan stabilisasi. 2) Reuse Reuse adalah pemanfaatan kembali atau mengguanakan kembali bahanbahan dari hasil pembuangan sampah menjadi bahan yang dapat di pergunakan kembali. Misalnya sampah konstruksi bangunan. 3) Recycle Recycle adalah kegiatan pemisahan benda-benda anorganik (misalnya: botol-botol bekas, kaleng, kardus dan lainnya) dari tumpukan sampah untuk diproses kembali menjadi bahan baku atau barang yang lebih berguna.
RINGKASAN
Pada kasus Kesehatan Ibu dan Anak (KIA) yang telah diberikan, terdapat beberapa masalah kesehatan atau masalah keperawatan yang ditemukan dan bisa diangkat sebagai diagnose keperawatan. Masalah kesehatan tersebut muncul dikarenakan terdapat penyimpangan antara teori dan kenyataan. Namun pada kasus ini, pasangan usia subur (PUS) dusun Precet Desa Sumbersekar tidak merasakan ada sebuah masalah kesehatan dari perilaku dan budaya mereka. Masalah kesehatan tersebut berupa budaya mengenai nikah usia muda bagi wanita disertai tidak adanya penundaan kehamilan. Kurangnya kesadaran warga untuk memanfaatkan pelayanan kesehatan, pemberian makanan tambahan yang tidak tepat, pengelolaan sampah yang tidak tepat, jarak kandang yang membahayakan kesehatan, kurangnya pengetahuan mengenai PHBS, dan penggunaan alat perlindungan diri yang masih minim. Berdasarkan masalah kesehatan tersebut, ditemukan 5 diagnosa keperawatan yang bisa diangkat. Diagnosa keperawatan tersebut berupa deficit pengetahuan, ketidakefetifan pemeliharaan kesehatan, risiko ketidakmampuan menjadi orang tua, risiko kontaminasi, kesiapan meningkatkan proses kehamilan-persalinan. Dengan didasari oleh 5 diagnosa keperawatan tersebut, perawat di komunitas dapat merencanakan intervensi yang akan dilakukan. Namun sebelumnya perawat harus mendiskusikan kepada warga di dusun tersebut, apakah masalah tersebut perlu untuk dilakukan intervensi dan menentukan diagnose yang dijadikan prioritas utama.