DAYA DUKUNG PONDASI DALAM BERDASARKAN TES LAPANGAN
Dalam setiap bangunan, diperlukan pondasi sebagai dasar bangunan yang kuat dan kokoh. Hal ini disebabkan pondasi sebagai dasar bangunan harus mampu memikul seluruh beban bangunan dan beban lainnya yang turut diperhitungkan, serta meneruskannya kedalam tanah sampai kelapisan atau kedalaan tertentu. Bangunan teknik sipil secara umum meliputi dua bagian utama yaitu struktur bawah (sub structure) dan struktur atas (upper structure). Struktur atas didukung oleh struktur bawah sebagai poondasi yang berinteraksi dengan tanah dan akan memberikan keamanan bagi struktur atas. Struktur bawah sebagai pondasi juga secara umum dapat dibagi menjadi dua bagian yaitu pondai dangkal dan pondasi dalam. Pemilihan jenis pondasi ini tergantung kepada jenis struktur atas, apakah termasuk konstruksi beban ringan atau beban berat dan juga jenis tanahnya. Untuk konstruksi beban ringan dan kondisi lapisan permukaan yang cukup baik, biasanya jenis pondasi dangkal sudah cukup memadai. Tetapi untuk konstruksi beban berat (high-rise building ) bisanya jenis pondasi dalam adalah menjadi pilihan, dan secara umum permasalahan perencanaan pondasi dalam lebih rumit dari pndasi dangkal. Penyelidikan tanah diperlukan untuk menentukan stratifikasi (pelapisan) tanah dan karakteristik teknis tanah, sehingga perancangan dan konstruksi pondasi dapat dilaksanakan dengan ekonomis. Biasanya informasi dari hasil penyelidikan tanah tidak hanya digunakan untuk perancangan pondasi saja, melainkan untuk evaluasi dan rekomendasi pekerjaan yang lain, seperti kestabilan galian dan cara dewatering . Dengan demikian pihak kontraktor juga dapat menyiapkan peralatan yang sesuai dengan kondisi tanah dan dapat memperkirakan biaya secara lebih terinci. Informasi mengenai pondasi dari bangunan sekitar lokasi proyek, jalan, bangunan eksisting disekitarnya, fasilitas tertanam (underground facilities), facilities), dan lain-lain perlu diperoleh sebelum proses perancangan. Karakteristik tanah pada suatu lokasi umumnya amat variabel dan dapat berbeda drastis dalam jarak beberapa meter. Oleh sebab itu penyelidikan tanah
1
harus dapat mencakup informasi kondisi tanah sedekat mungkin dengan kenyataan untuk mengurangi resiko akibat variasi tersebut, dan jumlahnya cukup untuk dapat merancang pondasi yang mendekati kenyataan. Perencanaan pengujian tanah menjadi bagian dari explorasi tanah dan perancangan pondasi. Umumnya penyelidikan tanah dapat dikategorikan atas " confirmatory" atau "exploratory". Dimana kondisi tanah telah diketahui oleh pelaksana, maka kategori confirmatory lebih menonjol dan sebaliknya pada daerah yang sama sekali baru maka bersifat exploratory. Dalam hal yang kedua maka untuk penghematan sering dilakukan penyelidikan pendahuluan dan kemudian baru dilakukan penyelidikan terinci. Informasi lain yang penting dalam perancangan pondasi adalah elevasi dari muka air tanah. Umumnya data ini diperoleh bersamaan dengan pelaksanaan penyelidikan tanah. Tahapan penyelidikan tanah dan studi pondasi dalam dapat mengikuti prosedur sebagai berikut : 1.
Evaluasi dan studi kondisi lapangan Keadaan di lapangan. Pengamatan mengenal topografi, vegetasi, bangunan
yang telah ada, jalan akses, dan lain-lain. Peninjauan seperti ini perlu dilakukan oleh seorang ahli geoteknik. Informasi lain yang dapat dikumpulkan adalah kondisi geologi, kegempaan regional, peraturan setempat, dan besarnya beban dari struktur. Informasi ini akan membantu ahli geoteknik dalam memutuskan tahap penyelidikan selanjutnya. 2.
Penyelidikan Tanah Awal Pada tahap ini dilakukan pemboran dan uji lapangan dalam jumlah yang
terbatas. Gunanya adalah untuk merencanakan penyelidikan tanah selanjutnya. Tetapi pada proyek dengan skala kecil, tahap ini ditiadakan. Penyelidikan tanah awal juga sering digunakan untuk studi kelayakan. 3.
Penyelidikan Tanah Terperinci Pada tahap ini, informasi mengenai keadaan tanah yang dibutuhkan untuk
perancangan dan konstruksi pondasi dalam dikumpulkan. Informasi ini harus mencukupi perencana dan kontraktor untuk menentukan jenis, kedalaman, daya dukung pondasi dan untuk mengantisipasi penurunan yang akan terjadi dan masalah yang mungkin timbul selama konstruksi dan lain-lain. Untuk itu pada
2
tahap ini diperlukan sejumlah pemboran yang dilengkapi dengan SPT, pengambilan sampel, sondir, pengamatan muka air tanah dan penyelidikan lapangan yang lain. Faktor yang menentukan disini adalah skala proyek, kepentingan penyelidikan tanah untuk perancangan dan konstruksi bangunan, ketersediaan dana, ketersediaan waktu dan ketersediaan informasi dari sumber sumber yang lain. Pada beberapa proyek besar, beberapa kontraktor melakukan penyelidikan tanah tambahan untuk memastikan bahwa konstruksi dapat dilaksanakan sesuai spesifikasi yang tertulis dalam dokumen perencanaan. Analisis pondasi sebaiknya diikuti dengan pengujian pondasi di lapangan. Jumlah dan kedalaman pemboran amat bergantung kepada kondisi dilapangan. Pada kategori ‘confirmatory’ , maka kedalaman pengujian pada umumnya, dapat ditetapkan secara lebih pasti, tetapi pada kategori ‘exploratory’ maka kedalaman pemboran ditentukan berdasarkan prinsip-prinsip umum dalam penyelidikan tanah. Perencanaan penyelidikan tanah meliputi penentuan jumlah banyaknya titik bor, kedalaman pemboran, jumlah sampel yang hendak diambil dan diuji dilaboratorium, jumlah test pit, pengamatan muka air tanah dan lain – lain. Biasanya, jika kondisi tanah setempat diketahui dari laporan geologi atau pengujian terdahulu, jumlah pekerjaan penyelidikan tanah dapat mengalami perubahan selama pelaksanaan dilapangan. Uji lapangan menjadi populer karena dapat memberikan informasi profil tanah secara kontinu dan dewasa ini telah dikembangkan untuk perancangan pondasi tiang secara langsung dengan korelasi empirik. 1.
Uji Sondir (Cone Penetrati on
) Test
Uji sondir saat ini merupakan salah satu uji lapangan yang telah diterima oleh para praktisi dan pakar geoteknik. Uji sondir ini telah menunjukkan manfaat untuk pendugaan profil atau pelapisan (stratifikasi) tanah, karena jenis perilaku tanah telah dapat diidentifikasi dari kombinasi hasil pembacaan tahanan ujung dan gesekan selimutnya. Sondir standar memiliki luas penampang ujung konus sebesar 10 cm2 dan sudut puncak 60°. Luas sel imut 150 cm2. Kecepatan penetrasi 2 cm/det. Standar alat yang pada saat ini secara luas diterima tercantum dalam ASTM D3411 – 75T. Pada sondir mekanis, penetrasi ujung konus dilakukan mendahului selimutnya, gaya pada konus diukur, kemudian baru penetrasi ujung
3
dan selimut dilakukan bersama – sama sehingga tercatat perlawanan total. Selisih antara pengukuran perlawanan kedua dan pertama adalah gaya yang bekerja pada selimut sondir, sehingga gesekan selimut, fs, dapat ditentukan. Penggunaan Uji sondir yang makin luas terutama disebabkan oleh beberapa faktor: Cukup ekonomis dan dapat dilakukan berulang kali dengan hasil yang konsisten. 1.
Korelasi empirik yang telah berkembang semakin andal. Perkembangan
yang
semakin
meningkat
khususnya
dengan
ada
penambahan sensor pada sondir listrik seperti batu pori dan stress cell untuk mengukur respon tekanan lateral tanah. 2.
Kebutuhan untuk pengujian di lapangan ( insitu test ) dimana sampel tanah
tidak dapat diambil (tanah lembek dan pasir). 3.
Dapat digunakan untuk menentukan daya dukung tanah dengan baik.
Gambar 1. Skema Uji Sondir Sumber : Joseph E. Bowles
4
Pengujian awal dengan sondir dapat merupakan arahan untuk pemilihan jenis uji tanah berikutnya dan dapat membantu menentukan posisi (kedalaman) untuk uji lapangan yang lain (misalnya pressuremeter dan uji geser baling (vane shear test ) maupun lokasi pengambilan contoh tanah untuk uji laboratorium. Untuk uji lapangan, sebaiknya uji sondir dilaksanakan lebih dahulu. Penggunaan hasil uji sondir untuk klasifikasi tanah juga berdasarkan data secara empiris, demikian pula untuk kepentingan interpretasi parameter tanah yang lain seperti kuat geser dan kompresibilitas tanah. Oleh sebab itu pembaca diminta memperhatikan keterbatasan pemakaian korelasi yang ada. Dalam praktek dianjurkan agar uji sondir didampingi dengan uji lain baik uji lapangan maupun uji laboratorium.
Gambar 2. Data – Data Uji Sondir Sumber : Mochamad Sholeh
5
Uji ini memberikan perlawanan ujung qc dan gesekan selimut fs. Nilai perlawanan ujung dengan gesekan selimut ini dapat memberikan indikasi jenis tanah dana beberapa parameter tanah seperti konsistensi tanah lempung, kuat geser, kepadatan relatif dan sifat kemampatan tanah meskipun hanya didasarkan pada korelasi empiris. Parameter-parameter tersebut amat bermanfaat untuk perancangan pondasi dalam. Sejak penggunaan data sondir untuk menentukan daya dukung tiang dikembangkan mula-mula di Belanda dan Belgia, di Indonesia juga telah menjadi semacam kesepakatan untuk melakukan aplikasi uji sondir ini khususnya untuk keperluan design pondasi tiang. Horvitz et al. (1981) telah melakukan studi dalam skala penuh pada beberapa pondasi tiang kayu dan tiang bor yang diuji hingga mencapai keruntuhan (failure) dan menyatakan bahwa terdapat korelasi yang amat baik antara hasil perhitungan analitis dengan beban keruntuhan (ultimate) dan pondasi tiang. Perhitungan analitis yang dimaksud adalah metoda yang diusulkan oleh Svhmertmann dan Notingham (1975). Perhitungan daya dukung aksial pondasi tiang berdasarkan data uji sondir sering disebut ekstrapolasi dengan atau tanpa koreksi. Hal ini adalah karena komponenkomponen yang terukur dari sondir (tahanan ujung dan gesekan selimut) merupakan representasi dari komponen daya dukung tiang. Perbedaan utama antara alat sondir dan pondasi tiang terletak pada ukurannya, bentuk ujung, sifat permukaan dan mekanisme keruntuhannya. Dalam tulisan ini dikemukakan beberapa metoda yaitu metoda langsung (direct cone method), mehode Schmertmann dan Nottingham (1975), metoda Lambda Cone (metode Tumai & Fakhroo, 1981), metode Cone M dan metoda Tomlinson. Metoda Langsung Metoda ini diantaranya dikemukakan oleh Meyerhof (1956) yang menyatakan bahwatahanan ujung tiang mendekati tahanan ujung konus sondir dengan rentang 2/3 qc hingga 1,5 qc dan Meyerhof menganjurkan untuk keperluan praktis agar digunakan, sebagai berikut :
q p
qc
6
Selanjutnya tahanan selimut pada tiang dapat diambil langsung dari gesekan total (jumlah hambatan lekat =JHL) dikalikan dengan keliling tiang, sehingga formula untuk metoda langsung dapat dituliskan : Q ult
q p A p
JHL kll
Rumusan ini diambil di Indonesia dengan mengambil angka keamanan 3 (tiga) untuk tahanan ujung dan angka keamanan 5 (lima) untuk gesekannya. Sehingga daya dukung ijin pondasi dapat dinyatakan dalam : Q ult
q p A p 3
JHL kll 5
Dalam tulisan ini hanya dibahas daya dukung ultimate tiang sehingga angka keamanan tidak disertakan. Schmertmann dan Nottingham (1975) menganjurkan perhitungan daya dukung ujung pondasi ting menurut cara Begemann, yaitu diambil dari nilai rata-rata perlawanan ujung sondir 8 D diatas ujung tiang dan 0,7D sampai dengan 4,9D dibawah ujung tiang. Rumusan tersebut dihitung sebagai berikut : q p
q c1 q c2 2
A p
Dimana qp adalah daya dukung ujung tiang, qc1 adalah nilai qc rata-rata 0,7D-4D dibawah ujung tiang, qc2 adala nilai qc rata-rata 8 D diatas ujung tiang dan Ap adalah proyeksi penampang tiang. Bila zona tanah lembek dibawah tiang masih terjadi pada kedalaman 4D – 10D, maka perlu dilakukan reduksi terhadap nilai rata-rata tersebut. Pada umumnya nilai perlawanan ujung diambil tidak lebih dari 150 Kg/Cm2 untuk tanah pasir dan tidak melebih 100 Kg/Cm2 untuk tanah kelanauan. Untuk mendapatkan daya dukung selimut tiang maka digunakan formula :
Dimana K sc adalah faktor koreksi fs dengan harga Kc untuk tanah lempung dan Ks untuk tanah pasir, z adalah kedalaman dimana fs diambil, D adalah diameter tiang,As adalah luas bidang kontak tiap interval kedalaman fs, L adalah total tiang terbenam. Untuk tanah kohesif, gesekan selimut dihitung dengan menggunakan formula : D adalah diameter tiang.
7
Sedangkan daya dukung berdasarkan Schmertmann (1987) pada tanah non kohesif adalah sebagai berikut : Menerus
: qu = 28 – 0,0052 (300-q c)1,5
Bujur Sangkar
: qu = 48 – 0,0090 (300-q c)1,5
Lalu daya dukung batas pada tanah kohesif adalah sebagai berikut : Menerus
: qu = 2 + 0,28 q c
Bujur Sangkar
: qu = 5 + 0,34 q c
Qu dan qc dalam tsf atau kg/cm2
2.
Standard Penetration Test (SPT)
Standard Penetration Test (SPT) telah memperoleh popularitas dimana – mana sejak tahun 1927 dan telah diterima sebagai uji tanah yang rutin di lapangan. SPT dapat dilakukan dengan cara yang relatif mudah sehingga tidak membutuhkan ketrampilan khusus dari pemakainya. Metoda pengujian tanah dengan SPT termasuk cara yang cukup ekonomis untuk memperoleh informasi mengenai kondisi di bawah permukaan tanah dan diperkirakan 85% dari desain pondasi untuk gedung bertingkat menggunakan cara ini. Karena banyaknya data SPT korelasi empiris telah banyak memperoleh kemajuan. Alat uji ini terdiri dari beberapa komponen yang sederhana, mudah ditransportasikan, dipasang, dan mudah pemeliharaannya. Pandangan para ahli masih sama yaitu bahwa alat ini akan terus dipakai untuk penyelidikan tanah rutin karena relatif masih ekonomis dan dapat diandalkan. Uji penetrasi standar (SPT) adalah penyelidikan tanah dengan uji dinamis yang berasal dari Amerika Serikat. SPT adalah metoda pengujian di lapangan dengan memasukkan (memancangkan) sebuah Split Spoon Sampler (tabung pengambilan contoh tanah yang dapat dbuka dalam arah memanjang) dengan diameter 50 mm dan panjang 500 mm. Split spoon sampler dimasukkan (dipancangkan) ke dalam tanah pada bagian dasar dari sebuah lobang bor. Metoda SPT adalah metoda pemancangan batang (yang memiliki ujung pemancangan) ke dalam tanah dengan menggunakan pukulan palu dan mengukur jumlah pukulan perkedalaman penetrasi. Alat ini sudah populer penggunaanya di dunia karena sederhana, praktis, cepat dan dapat mengetahui jenis tanah secara langsung. Alat
8
ini perlu distandarisasi karena hasil yang didapat berupa nilai N (jumlah pukulan/30 Cm) sangat bergantung pada tipe alat yang digunakan. Alat uji berupa sebuah tabung yang dapat dibelah ( split tube, split spoon) yang mempunyai driving shoe agar tidak mudah rusak pada saat penetrasi. Pada bagian atas dilengkapi dengan coupling supaya dapat disambung dengan batang bor (drill rod ) ke permukaan tanah. Sebuah sisipan pengambil contoh ( sampel insert ) dapat dipasang pada bagian bawah bila tanah yang harus diambil contohnya berupa pasir lepas atau lumpur. Gambar 1.1. menunjukkan split spoon sampel dan sampel insert.
Gambar 3. Prosedur dalam Pengujian SPT Sumber : Mochamad Sholeh Prosedur Uji mengikuti urutan sebagai berikut : 1.
Mempersiapkan lubang bor hingga kedalaman uji.
2.
Memasukkan alat split barrel sampel secara tegak.
3.
Menumbuk dengan hammer dan mencatat jumlah tumbukan setiap 15 cm. Hammer dijatuhkan bebas pada ketinggian 760 mm.
9
4.
Nilai tumbukan dicatat 3 kali (N0, N1, N2) dimana harga N = N1 + N2. Split spoon sampler diangkat ke atas dan kemudian dibuka. Sampel yang diperoleh dengan cara ini umumnya sangat terganggu.
5.
Sampel yang diperoleh dimasukkan ke dalam plastik untuk diuji di laboratorium. Pada plastik tersebut harus diberikan catatan nama proyek, kedalaman, dan nilai N. Secara konvensional, uji SPT dilakukan dengan interval kedalaman 1.5 m –
3.0 m dan sampel tanah yang diperoleh dari tabung SPT digunakan untuk klasifikasi. Penting untuk ditegaskan disini bahwa identifikasi dari jenis tanah pada SPT harus dilakukan karena interpretasi dari data SPT hanya dapat dilakukan dengan baik bila dikaitkan dengan kondisi tanah tersebut. Interpretasi hasil SPT bersifat empiris. Untuk tanah pasir, maka nilai N-SPT mencerminkan kepadatannya yang dapat pula diprediksi besar sudut geser dalam (φ) dan berat isi tanah (γ), kapasitas daya dukung pondasi dan penurunan pon dasi. Sedangkan pada tanah lempung, hasil SPT dapat menentukan secara empiris konsistensi tanah, kapasitas daya dukung pondasi dan penurunan pondasi. Hasil SPT pada tanah lempung ini tidak begitu dapat diandalkan karena umumnya tanah lempung mempunyai butiran halus dengan penetrasi yang rendah, sehingga pada tanah lempung ditentukan berdasarkan kekuatan gesernya yang dapat diperoleh dari uji tekan bebas (Unconfined Compression Test ). Daya dukung satu tiang pancang berdasarkan data SPT ( Standard Penetration Test ), Qu = (40*N b*A p) Dimana : Qu
= Daya dukung batas pondasi tiang pancang
N
= Nilai N-SPT rata-rata pada elevasi dasar tiang pancang = (N1 + N2) / 2 ;
Ap
N1
= Nilai SPT pada kedalaman 3D pada ujung tiang ke bawah
N2
= Nilai SPT pada kedalaman 8D pada ujung tiang ke atas
= Luas penampang dasar tiang pancang (m 2) Daya dukung gesek / friction tiang pancang berdasarkan uji lapangan SPT
(Standard Penetration Test ), Qsi = qs*Asi
10
Pada lapisan tanah hingga kedalaman 1-10 m adalah jenis tanah lempung dan lapisan tanah pada kedalaman 10-12 m adalah pasir. qs
= untuk pasir 0,2N
qs
= untuk lempung 0,5N
Asi
= Keliling penampang tiang pancang (tebal = 2π 25 R) Lalu rumusan yang digunakan untuk memperkirakan daya dukung pondasi
tiang dengan menggunakan data SPT adalah sebagai berikut : Q ult (ton) mN a A p
nNA s
Dimana m adalah koefisien perlawanan ujung tiang, n adalah koefisien gesekan, N adalah nilai SPT (pukulan / 30 cm = blows/ft). Untuk nilai N-SPT ini biasanya dianjurkan untuk koreksi menjadi sebagai berikut : -
Untuk N pada ujung tiang N a
0,5(N 1 N 2 ) 40
Dengan N1 adalah nilai N pada ujung tiang, N 2 adalah nilai N dari ujung tiang hingga 4 B diatas ujung tiang, B adalah lebar tiang. -
Untuk jenis tanah pasir yang sangat halus ( fine sand) atau tanah pasir kelanauan (Silty Sanfd) yang terletak dibawah muka air tanah (jenuh air) dimana nilai N cenderung lebih tinggi karena permeabilitas tanah yang kecil maka di koreksi menjadi sebagai berikut : N 15 0,5 (N 15) ; N 15 Dimana N adalah nilai N SPT dilapangan. Terdapat beberapa pakar yang merekomendasikan besarnya koefisien
koefisien m dan n diantaranya diperlihatkan pada Tabel 1 berikut : Tabel 1 Nilai m dan n
11
Contoh kasus : Daya dukung satu tiang pancang berdasarkan data SPT/Standart Penetration Test Qu (40 x Nb x Ap)
Dimana ; Qu
: Daya dukung batas pondasi tiang pancang
N
: Nilai N-SPT rata-rata pada elevasi dasar tiang pancang
N1
: Nilai SPT pada kedalaman 3D pada ujung tiang ke bawah
N2
: Nilai SPT pada kedalaman 8D pada ujung tiang ke atas
Ap
: Luas penampang dasar tiang pancang (m 2)
Data SPT disajikan pada gambar dibawah berikut :
Gambar 4. Tabel Boring Log Sumber : Kajian Rony Siregar 12
Direncanakan tiang pancang lingkaran diameter 40 m 2 akan dipancang hingga kedalaman 2,5 meter. Dari data SPT diperoleh nilai N-SPT rata-rata pada elevasi dasar tiang pancang adalah sebagai berikut : N1
N
Qu
49 45 2
N 1 N 2
2
47
N 2
47 41,5 2
38 45 2
41,5
44,25
(40 x N x Ap)
= 40 x 44,25 x ( 0,25
π 0,4
2
)
= 222,42 kg
3.
Uji Geser Baling (Van e Shear
) Test
Uji geser baling dilakukan dengan cara memasukkan baling pada kedalaman titik uji dan memutar baling tersebut dengan kecepatan 6°/menit hingga runtuh. Torsi(T) diukur dan nilai kuat geser undrained Su dapat ditentukan berdasarkan formula : Dimana : D
= diameter dari baling (cm)
T
= torsi (kg.m)
Gambar 5. Alat-Alat pada Vane Shear Test Sumber : Mochamad Sholeh 13
4.
Uji Pressuremeter
Uji Pressuremeter (Gambar 6. ) dikembangkan oleh Menard, berupa silinder karet yang dimasukkan kedalam lubang bor dan dikembangkan. Respon tanah (perubahan volume atau jari-jari lubang) terhadap pengembangan karet di ukur dan interpretasikan ke dalam besaran kuat geser dan sifat kemampatan tanah. Keuntungan dari uji ini adalah karena modulus tanah dapat diperoleh di lapangan (in – situ), demikian pula besarnya tekanan tanah at rest . Besaran besaran lain seperti kuat geser tanah dan tekanan air pori ju ga dapat diperoleh dari uji ini.
Gambar 6. Uji Pressure meter dan Hasil Uji Tipikal Sumber : Mochamad Sholeh Tabel 2. Klasifikasi Tanah Berdasarkan Test Pressuremeter
14
5.
Uji Dilatometer
Flat Dilatometer Test (DMT) dibuat dan dikembangkan di Itali oleh Silvano Marchetti pada tahun 1975. Pada awalnya diperkenalkan di Amerika Utara dan Eropa pada tahun 1980 dan saat ini telah digunakan di lebih dari 40 negara sebagai alat uji penetrasi in-situ dalam bidang investigasi geoteknik. Peralatan DMT, metode pengujian dan korelasi awal disajikan dan digambarkan oleh Marchetti pada tahun 1980 dalam In-situ Test by Flat Dilatometer, dan selanjutnya DMT telah secara luas digunakan dan dikalibrasi terhadap endapan tanah yang diuji di seluruh dunia. Uji dilatometer (Marchetti 1980, Schmertmann, 1988) merupakan uji sederhana untuk mengukur modulus tanah. Alat ini berupa suatu blade dengan lebar 95 mm dan tebal 15 mm. Ditengahnya terdapat suatu plat lingkaran yang dapat bergerak keluar jika dikembangkan. Prosedur pengujian dilatometer mengikuti langkah-langkah sebagai berikut : 1.
Dilatometer dimasukkan kedalam lubang galian, lakukan pembacaan setelah dikoreksi (p1).
2.
Membran dikembangkan dan tekanan dibaca saat mencapai 1.1. mm (p 2).
3.
Tekanan diturunkan dan saat membran kembali keposisi semula, kembali dibaca (p3).
4.
Dilatometer diturunkan ke titik berikutnya dan langkah 1 s/d 3 diulang kembali. Setiap pengujian hanya membutuhkan waktu 1-2 menit. Keuntungan utama
dari dilatometer adalah bahwa alat ini dapat memperkirakan tekanan at rest di lapangan. Disamping itu kemampatan tanah dapat diperoleh (modulus subgrade). Dari data diatas dapat diperoleh beberapa parameter dilatometer sebagai berikut : 1.
Modulus dilatometer, Ed Ed = 34,7 (p2 – p3)
2.
Indeks Teganga Lateral, K d K d
3.
p1
p
u
' u
Indeks Material, ID ID
p 2 p 1
p 2
u
15
Berdasarkan parameter tersebut, maka jenis tanah, modulus, dan kekuatan gesernya dapat diperkirakan
Gambar 7. Korelasi Antara Jenis Tanah dengan Indeks Material dan Modulus Dilatometer
16