B AB I P E N DAH U LUAN
Bahan peledak merupakan sarana yang efektif sebagai alat pembongkar batuan dalam industri pertambangan. Oleh karena itu itu kehadirannya dimanfaatkan sebagai barang yang berguna, tetapi disamping itu juga merupakan barang yang berbahaya. Untuk itu dalam pelaksanaan pekerjaan peledakan harus hati-hati sesuai dengan peraturan dan teknikl-teknik yang diterpkan, sehingga pemanfaatannya lebih efesien dan aman. Penggunaan bahan peledak dalam operasi (teknik peledakan) penting untuk diketahui, sehingga ketepatan dalam pekerjaan peledakan dapat tercapai. Hal ini perlu karena banyaknya masalah yang terlibat dalam penaganannya. Sebelum pelaksanaan keputusan pekerjaan peledakan, perlu dipertimbangkan terlebih dahulu adanya faktor-faktor pemilihan bahan peledak dan faktor-faktor yang mempengaruhi hasil ledakan.
B A B II POLA PEMBORAN DAN POLA PELEDAKKAN
2.1. Pola Pemboran (Drill Paterns) Hampir semua pola pemboran dapat diklasifikasikan menjadi : -
Square.
-
Stanggred atau Zig-Zag.
Dalam square patern jarak burden dan spasing sama (Gambar 2.1a), Rektangular pattern jarak spasing dalam satu baris lebih besar dari pada jarak burden (Gambar 2.1b). Square atau rektangular pattern dapat dibuat dengan membor sistem stranggered seperti terlihat pada gambar 2.1 dan 2.2.
(a) Square drill pattern
(b) Rectangular drill pattern GAMBAR 2.1
SQUARE DAN RECTANGULAR DRILL PATTERN
GAMBAR 2.2 STANGGERD DRILL PATTERN 2.2. Pola Peledakan
Square Pattern
Perlu diperhatikan dalam pemilihan kombinasi dari pemboran dan pola peledakan dengan delay detonator (delay pattern) untuk mendapatkan fragmentasi atau arah lemparan yang diinginkan. Pada umumnya square pattern digunakan dengan kombinasi V delay pattern (Gambar 2.3).
GAMBAR 2.3. V DELAY PATTERN Nomor tiap lubang bor emnunjukan nomor urut ledakannya.
Peledakan dengan detonator delay seorang blaster dapat membagi ledakan menjadi beberapa bagian yang lebih kecil tiap ledakannya. Dengan detonator delay dapat memberikan penundaan diantar lubang tembak yang mendekat. Beberapa keuntungan diperoleh : -
Mengurangi getaran
-
Mengurangi overbreak dan flyrock
-
Mengurangi fragmentasi
Fragmentasi yang bagus dapat diperoleh bila saat peledakan dari masing-masing kolom isian (Charge) ada cukup waktu untuksetelah ada free face tambahan (sebelum isian bahan peledak yang lain sempat meledak).
Rectangular Pattern
Rectangular pattern biasanya dibuat dengan sistem straggered pattern untuk mendapatkan distribusi bahan peledak dengan baik. Dengan pola ini baris demi baris daripada delay pattern lebih cocok dengan seperti apa yang digambarkan seperti pada gambar 2.4a. Cara ini juga sering dipakai untuk memotong overburden dimana lemparan optimum diperlukan. Bila getaran menjadi batasan, pemboran diperbanyak dan tiap barisnya juga dipasang delay detonator yang lebih banyak seperti terlihat pada gambar 2.4b. a).
b).
GAMBAR 2.4. STRAGGERED PATTERN DENGAN PELEDAKAN KE ARAH POJOK (COMMER) Gambar 2.5 adalah sebuah ilustrasi arah lemparan bersamaan dengan presplit dengan V type Pattern.
GAMBAR 2.5 ARAH LEMPARAN DENGAN SISTEM NARROWER V TYPE DELAY PATTERN
2.3. Beberapa Lobang Tembak dengan Pola Peledakan yang Terarah Gambar dibawah ini merupakan pola peledakan dengan arah lemparan yang terarah. Nomor 1, 2 dan seterusnya adalah nomor delay detonator dengan penundaan, sedangkan panah adalah arah pelemparan “broken rock”.
LEMPARAN BATUAN MENYEBAR KE DEPAN
LEMPARAN BATUAN SEDIKIT KE TENGAH
2.4. Bentuk Pola Pemboran Pada Tambang Dalam Untuk membuat lubang maju didalam tambang bawah tanah atau Tunnel perlu diciptakan suatu bidang bebas (free face) untuk kebutuhan peledakan. Untuk menambah free face dibutuhkan “Cut”. “Cut” adalah suatu lubang bukaan yang diciptakan pada suatu face yang belum ada free face-nya, bentuknya berupa lubang bor sedalam kemajuan yang diperoleh. Tipe-tipe “Cut” ada tiga macam : 1. Burn Cut, dipakai untuk suatu lubang bukaan yang kecil. 2. Wegde/Angled Cut, dipaki untuk lubang bukaan yang relatif besar. 3. kombinasi dari ketiga tipe tersebut. Pola keseluruhan dalam pembuatan lubang maju (opening) tertentu, terdiri atas “cut hole”, “relief/breast hole”, “angle hole” dan “tri hole”, disebut “round”.
ROUND 1.a. Bentuk pola pemboran “burn Cut” (paralel Out), dengan O lubang sama :
BURN CUT / PARALEL CUT
1.b Bentuk bola pemboran “Burn Cut”
Dengan 0 lubang dari salah satu atau lebih mempunyai diameter lebih besar
2. Bentuk pola pemboran “Wedge/angled cut”/V Cut
2.5. Sistem Kemajuan dari Lubang Bukaan Sistem kemajuan dari pada lubang bukaan (tunel) pada facenya ada dua cara. Yaitu : -
Full Face Drive dan
-
Top heading and bench
Jumlah lubang bor yang diperlukan dalam satu face, tergantung pada luas muka kerja. Misal untuk luas lubang buka face area =40 m2 di perlkan jumlah lubang bor 75 ( untuk batuan keras) dan face area = 50 m2 di perlukan jumlah lubang bor 80 buah ( batuan keras ) dan 75 buah ( untuk batuan sedimen).
Sistem pembuatan Lubang Maju :
FULL FACE
TOP HEADING AND BENCH
BAB III TEKNIK PELEDAKAN
A. DESAIN PELEDAKAN Istilah pemboran dan peledakan dimaksudkan sebagai methode penggalian dan pembongkaran batuan secara tertentu. Sebelum operasi pemboran dimulai penentuan letak lubang bor harus dievaluasi dengan hati-hati untuk mendapatkan hasil yang optimum dari bahan peledak yang dipilih.Lebih dari pada itu, penyediaan lubang tembak yang tepat untuk pembongkaran dengan biaya rendah, Karakteristik massa batuan dan kemampuan pembuatan lubang tembak harus diidentifikasi. Kondisi-kondisitertentu pada suatu lokasi akan mempengaruhi secara detail daripada desain peledakan. Faktor-faktor yang perlu dipertimbangkan dalam mendesain peledakan antara lain : -
Diameter lubang bor
-
Ketinggian jenjang (bench hight)
-
Burden dan spasing
-
Struktur batuan
-
Fragmentasi
-
Kestabilan jenjang (bench stability requirement)
-
Environmental restriction dan tentu juga
-
Type bahan peledak yang akan digunakan, termasuk eneginya.
Walaupun variabel-variabel desain peledakan telah tercover dengan baik, namun peranan lain yang juga memainkan adalah faktor keseimbangan sensitif antara ilmu dan unsur seni
peledakan masih diperlukan. Informasi, baik secara kwalitatifmaupun kwantitatif perlu dianalisa secara matang dalam proses desain peledakan (surface blast desain). 3.1. Desain guidelines Hubungan antara berbagai dimensiyang digunakan dalam perencanaan peledakan dapat diintruksikan secara geometris pada Gambar 3.1. Disamping sifat-sifat batuan, garis-garis pedoman (guidelines) secara rule of thumb, faktor-faktor dibawah ini telah diterapkan pada desain peledakan. Faktor-faktor tersebut adalah : -
Diameter lubang bor
-
Ketinggian jenjang dan kedalaman lubang bor
-
Burden, spasing, subdrilling dan stemming
-
Arah pemboran
GAMBAR 3.1 GEOMETRIS PELEDAKAN SISTEM JENJANG
3.1.1. Diameter lubang bor Pemilihan diameter lubang bor tergantung pada tingkat produksi yang diinginkan. Dengan lubang bor yang lebih besar, lenih nesar pula tingkat produksi yang dihasilkan. Pemilihan ukuran lubang bor secara tepat adalah penting untuk memperoleh hasil fragmentasi secara maksimal dengan biaya rendah. Faktor-faktor yang membatasi pemilihan diameter lubang bor antara lain : 1. Ukuran fragmentasi yang diinginkan 2. Perlu pengisian dengan bahan peledak yang rendah (sedikit) karena bahay getaran (ground vibration) yang akan ditimbulkan. Pada umumnya ada 3 kriteria dalam menentukan lubang bor yang akan digunakan, yaitu kesediaan alat bor, kedalaman yang akan dipotong/diledakan dan jarak terdekat terhadap bangunan. Disamping itu, diameter lubang saling berkait dengan ketinggian jenjang (Gambar 3.3) dan burden. Untuk kontrol desain dengan hasil fragmentasi yang bagus, menurut pengalaman, diameter lubang bor harus berkisar antar 0,5 – 1% dari tinggi jenjang, atau
D = 5 – 10 K
Dimana
d = diameter lubang bor (mm) K = tinggi jenjang (m)
Dengan diameter lubang yang kecil, konsekwensinya burden juga kecil,akan memeberikan hasil fragmentasi yang bagsu dengan getaran (ground vibration) rendah. Hal ini perlu diperhatikan, lebih-lebih kalau lokasi peledakan dekat dengan perumahan
penduduk. Tapi pada daerah yang bebas/jauh dari perumahan bisa dipakai lubang bor yang lebih besar untuk mengurangi jumlah pemboran. Pemakaian lubang bor kecil pada kondisi batuan yang sangat berjoint akan menghasilkan fragmentasi yang baik dari pada lubang bor yang besar. Pada permukaan tiap-tiap joint terdapat reflaksi gelombang ledak yang dihasilkan oleh proses peledakan, karena bisa berfungsi sebagai free face (Gambar 3.2)
Gambar 3.2. EFEK JOINT PADA FRAGMENTASI BILA MENGGUNAKAN DIAMETER LUBANG BOR BESAR (a). Dan diameter kecil (b).Daerah yang diarsir menunjukan fragmentasi kurang (insufficient fragmentation)
3.1.2. Ketinggian jenjang dan kedalaman lubang bor Secara spesifik tinggi jenjang maksimum ditentukan oleh peralatan lubang bor dan alat muat yang tersedia. Ketinggian jenjang disesuaikan dengan kemampuan alat bor dan diameter lubang. Lebih tepatnya, jenjang yang rendah dipakai diameter lubang kecil, sedangkan diameter bor besar untuk jenjang yang tinggi (Gambar 3.3) memberikan ilustrasi tentang beberapa faktor dalam penentuan jenjang sehubungan dengan diameter lubang bor.
Gambar 3.3 HUBUNGAN DIAMETER LUBANG BOR DENGAN KETINGGIAN JENJANG Secara praktis hubungan diantara lubang bor dengan ketinggian jenjang dapat diformulasikan sbb : K = 0.1 – 0.2 d Dimana
K = Tinggi Jenjang (m) d = diameter Lubang Bor (mm)
3.1.3. Burden, Spasing, Subdrilling dan Stemming Burden Burden dapat didefinisikan sebagai jarak dari lubang bor terhadap bidang bebas (free face) yang terdekat pada saat terjadi peledakan. Peledakan dengan jumlah baris (row) yang banyak, true burden tergantung penggunaan bentuk pola peledakan yang digunakan. Bila peledakan digunakan delay detonator dari tiap-tiap baris delay yang berdekatan akan menghasilkan free face yng baru. Burden merupakan variabel yang sangat penting dan krisis dalam mendesain peledakan. Dengan jenis bahan peledak yang dipakai dan batuan yang dihadapi, terdapat jarak maksimum burden agar peledakan sukses (Gambar 3.4) memberikan ilustrasi efek variasi jarak dengan jumlah bahan peledak formasi yang sama.
Gambar 3.4. SCHEMATIC EFEC JARAK BURDEN
Jarak burden juga sangat erat hubungannya dengan besar kecilnya diameter lubang bor yang digunakan. Secara garis besar jarak burden optimum biasanya terletak diantara 25 – 40 diameter lubang, atau B = 25 – 40 d Dimana
B = Burden (mm) d = Diamater Lubang Bor (mm)
Bila karakteristik batuan dan bahan peledak diketahui, jarak burden dapat dihitung menurut formula Konya sebagai berikut :
B = 3.15 De Dimana
3
SGe SGr
B
= Burden (ft)
De
= Diameter Bahan Peledak (in)
SGe
= Spesific Gravity Bahan Peledak
SGr
= Spesific Gravity Batuan
Spacing Spasing adalah jarak diantara lubang tembak dalam suatu row. Spacing merupakan fungsi dari pada burden dan dihitung setelah burden ditetapkan terlebih dahulu. Secara teoritis, optimum spacing (S) berkisar antar 1,1 – 1,4 burden (B) atau : S = 1,1 – 1,8 B Jika spacing lebih kecil dari pada burden cenderung mengakibatkan steaming ejection yang lebih dini. Akibatnya gas hasil ledakan dihamburkan ke atmosfer dibarengi dengan noise dan air blast. Sebaliknya jika spacing terlalu besar diantara lubang tembak fragmentasi yang dihasilkan tidak sempurna. Biasanya rata-rata S = 1,25 B.
Subdrilling Subdrilling adalah tambahan kedalaman dari pada lubang bor dibawah rencana lantai jenjang. Subdrilling perlu untuk menghindari problem tonjolan pada lantai, karena dibagian ini merupakan tempat yang paling sukar diledakan. Dengan demikian, gelombang ledak yang ditimbulkan pada lantai dasar jenjang akan bekerja secara maksimum. Bila subdrilling berlebih adalah mubadzir (sia-sia) dan menghasilkan excessive ground vibration, karena pengurangan faktor yang lebih. Bila subdrilling tidak cukup dapat mengakibatkan problem tonjolan pada lantai. Secara praktis subdrilling (J) dibuat antara 20 – 40% burden (B), atau J = (0,2 – 0,4) X B Stemming Stemming adalah tempat materail penuntup di dalam lubang bor diatas. Kolom isian, bahan peledak. Stemming berfungsi untuk mengurung gas ledakkan. Ukuran stemming (S) yang diperlukan tergantung jarak burden (B) dan biasanya dibuat : S = (0,7 – 1) X B 3.1.4. Arah Pemboran Ada dua cara dalam membuat lubang bor, yaitu membor dengan lubang mirirng atau lubang tegak (Gambar 3.5)
GAMBAR 3.5. PEMBORAN TEGAK (a) DAN MIRING (b) Dengan lubang bor miring biasanya untuk mengurangi problem back break. Lebih dari itu lubang bor miring mempunyai lebih banyak keuntungan dari pada yang tegak, yaitu : -
bisa mengurngi biaya pemboran dan konsumsi bahan peledak, karena dengan burden yang lebih besar.
-
akan diperoleh jenjang (bench) yang stabil
-
mengurangi resiko timbulnya tonjolan dan brack break
-
hasil tumpukan (much pile shape) yang lebih bagus.
Dengan pemboran miring gelombang ledak (scock wave) yang dipantulkan dari lantai dasar jenjang akan lebih besar (Gambar 3.6)
GAMBAR 3.6. ILUSTRASI KEUNTUNGAN LUBANG BOR MIRING Dengan pemboran tegak, pada bagian atas jenjang kurang bagus karena ada back break, fragmentasi kurang dan pada bagian lantai dasar daya ledak tidak bisa sepenuhnya
tersalurkan. Tapi dengan bor miring, yang biasany dengan kemiringan 3 : 1 (18º) bisa menghindari problem tersebut diatas. Sebaliknya, terdapat beberapa kerugian atau kesulitan dalam membuat lubang bor miring, antara lain : -
Sulit melakukan pemboran secara akurat (human erros), khususnya bila membor yang lebih dalam
-
Diperlukan supervision yang ketat.
Disamping itu “drillhole straghtness” adalah merupakan faktor yang penting. Jika arah pemboran tidak lurus (aligment erros) akan memberikan pengaruh terhadap biayapemboran dan peledakan yang condong lebih besar. Disamping itu berakibat jarak spacing atau burden akan berubah dari desain yang telah ditetapkan, karena saling berhimpit/mengecil atau membesar (Gambar 3.7).
GAMBAR 3.7. DRILLHOLE STRAGHTNESS(Kelurusan Lubang Bor) 3.2. Distribusi Bahan Peledak 3.2.1. Kolom isisan bahan peledak (explosive column) Agar sedapat mungkin seluruh energi bahan peledak, dalam suatu ledakan, termanfaatkan untuk sejumlah massa batuan yang akan diledakan, maka distribusi bahan peledak didalam lubang bor adalah satu-satunya faktor yang penting demi suksesnya hasil peledakan. Bila Bulk explosive, misalnya ANFO atau bulk
emulsion, dimasukan ke dalam lubang bor seluruh cross-section lubang bor dapat terisi penuh, keadaan demikian disebut fully “coumpled”. Tapi bila bahan peledak cartridge digunakan biasanya berdiameter lebih kecil dari pada lubang bor, untuk kemudahan saat pengisian, keadaan demikian karena ada rongga/udara disebut “decoupled” terhadap dinding lubang bor (Gambar 3.8)
GAMBAR 3.8. ILLUSTRASI FULLY COUPLED DAN DECOUPLED Tingkat decoupling dapat mempengaruhi daya kerja yang diperoleh didalam kolom isian bahan peledak. Karena adanya decoupling borehole presure akan berkurang, sehingga hasil kerja tidak tersalurkan seluruhnya kepada sejumlah massa batuan yang harus diledakan. 3.2.2. Menghitung berat bahan peledak dalam kolom isian Berat bahan peledak yang terdapat di dalam kolom isian pada tiap lubang bor merupakan fungsi dari pada density, diameter dan kolom isian bahan peledak. Berat bahan peledak tersebut (loading factor) dapat dihitung dengan cara sbb : Loading factor = Loading Density X Panjang Kolom Isian Ew
= 7,85 x De2 x ρ x Ecl
de
= 7,85 x De2 x ρ
dimana Ew
= Berat bahan peledak dalam kolom isian (kg) (Loading factor)
De
= Diameter bahan peledak (dm)
ρ
= Density bahan peledak (kg/dm3)
Ecl
= Panjang kolom isian (m)
de
= Loading density (kg/m)
3.2.3. Powder Factor (PF) Powder Factor “ adalah hubungan matematis antara bahan peledak terhadap jumlah batuan yang diledakan. Istilah powder factor disebut juga “speccific charge weight”. Ada 4 cara dalam menyatakan powder factor : 1.
Berat bahan peledak per volume batuan yang diledakkan (kg/m3 )
2.
Berat bahan peledak per berat batuan yang diledakkan (kg/ton)
3.
Volume batuan per berat bahan peledak (m3/kg)
4.
Berat batuan per berat bahan peledak (ton/kg)
Secara umum, powder factor dapat dihubungkan dengan unit hasil produksi pada operasi peledakkan. Dengan powder factor dapat diketahui komsumsi bahan peledak yang dipakai untuk menghasilkan sejumlah batuan. Dari pengalaman, harga powder factor pada operasi penambangan, dengan batuan yang relatif solid, berkisar antara 0,30-0,60 kg/m3. -
Untuk menghitung dengan basis volume (cubik yard) tiap lubang bor dihitung seperti persamaan berikut V= (B x S xH) /27 Dimana
V = Volume (cubic yard) B = Burden (ft)
S = Spacing (ft) H = Tinggi jenjang (ft) Untuk menghitung dengan basis berat (ton) tiap lubang bor dipakai persaman seperti berikut : W = (B x S x H) /27 x (27) / 2000 Dimana
W = berat batuan (ton) ρ = Density batuan (lb/ft3)
3.2.4. Decking (deck loading) Decking adalah suatu cara membagi kolom isian bahan peledak menjadi 2 (dua) atau lebih. Dengan cara ini, diantara kolom isian bahan peledak diisi dengan material pengisi, steamming (misalnya drill cutting, crushed stone atau pasir). Cara ini biasanya diterapkan pada daerah batuan yang berlapis – keras – lemah (soft seam) atau terdapat rongga-rongga. Alasan lain dengan decking adalah untuk mengurangi getaran (ground vibration) atau mengurangi berat bahan peledak tiap delay. Jarak decking minimal 6 x diameter lubang.
GAMBAR 3.9. TYPICAL DECK LOADING 3.2.5. Prinsip Priming
Primers
Primer adalah bahan peledak yang menerima penggalak dari detonator atau detonating cord. Hasil dari ledakkan tersebut kemudian disalurkan ke bahan peledak yang mempunyai sesitivitas sama atau yang kurang sensitive. Primer berbeda dengan booster dimana primer adalah bahan peledak yang dipasangi/berisi dengan detonator atau detonating cord sedang booster tidak. Bahan peledak ANFO adalah kurang sensitif terhadap detonator saja (No. 6). Agar bisa meledak diperlukan primer. Performan ANFO dapat dipengaruhi oleh diameter lubang, besar butir, density, tingkat kepadatan dan moisture. Dengan diameter lubang yang lebih besar VOD ANFO akan lebih besar pula.
Diameter dan Panjang Primer
Gambar 2.10 menunjukkan efek diameter primer terhadap kolom ANFO yang berdiameter 3 in. Bila diameter primer sama dengan diameter kolom ANFO, VOD ANFO sangat tinggi pada awal ledakkan, kemudian baru dicapai Vod stabil (jauh dari primer). Sedangkan bila diameter primer lebih kecil dari pada diameter ANFO, VOD ANFO pada awal ledakkan lebih rendah.
Primer harus cukup panjang untuk diperoleh rated VOD. Panjang primer harus paling tidak sama dengan atau lebih besar dari pada diameternya. Lebih baik panjangnya kurang lebih 2 x diameter untuk mendapatkan kepastian stable flat pressure yang terbentuk pada primer.
GAMBAR 3.10. EFEK DIAMETER PRIMER DENGAN VOD AWAL DAN DIAMETER KOLOM ANFO = 3”
Posisi Primer
Bila primer tidak cukup ANFO akan meledak dengan Vod yang rendah, atau bahkan bisa gagal tidak meledak. Bila hal ini terjadi hasil ledakkan tidak akan memberikan energi secara penuh dan akan menghasilkan gas-gas beracun, fumes dan smoke. Walaupun dengan penggunaan primer yang tepat akan berhasil, tetapi performnya masih dipengaruhi oleh primer. Secara umum, lokasi primer berpengaruh terhadap : -
Besar-kecilnya stress wave dalam massa batuan.
-
Lemparan (perpindahan) hasil ledakan
Gambar 3.11. memberikan illustrasi dengan posisi top priming dan bottom priming. Jadi secara singkatnya, prinsip priming memberikan performan ANFO secara maksimim dan primer harus : -
Mempunyai daya ledak lebih besar (> 80 kbar)
-
Mendekati diameter sama dengan diameter kolom ANFO
-
Cukup panjang untuk memperoleh rated VOD.
GAMBAR 3.11. EFEK TOP DAN BOTTOM PRIMING 3.3. Perimbangan Geologis Geologis/kondisi batuan merupakan faktor yang penting dalam mendesain peledakkan. Hai ini berpengaruh besar terhadap pemakaian bahan peledak dan fragmentasinya. Gambar 3.12. terlihat type efek geologis pada hasil bongkaran.
Case 1 :
Bongkaran secara menyeluruh akan memperoleh karena tidak ada pengaruh hambatan.
Case 2 :
Terdapat satu set fractiure dan sedikit menyudut terhadap arah ledakkan. Hasil bongkaran dipengaruhi oleh adanya fracture tersebut karena energi gelombang ledak akan dipantulkan oleh adanya bidang-bidang bebas yang terbentuk diantara fracture. Hasil bongkaran akan berkurang karenanya.
Case 3 :
Kedudukan fracture tegak lurus dengan arah ledakkan dan hal ini mendapat kesulitan dengan jarak spacing yang lebar. Bidang fracturee mempantulkan energi gelombang ledak dan mempersulit hasil bongkaran. Sehingga jarak burden harus diperpendek (case 4).
Case 4 : Jika horison section menyusuri melalui lubang bor, peledakkan ke arah kiri dip akan sulit. Kesulitan lain juga akan timbulnya backbreak dan tonjokan pada lantai jenjang.
GAMBAR 3.12. ILLUSTRASI PENGARUH STRUKTUR DAN HASIL BONGKARAN Sehubungan dengan factor geologi, pertimbangan lain adalah pengaruh ketinggian jenjang, diameter lubang bor, proses penghancuran dan fragmentasinya. Elementelement penting dari factor geologis adalah adanya bedding planes, joint, dip dan rongga-rongga. Pada formasi yang mempunyai dip seperti tergambar dalam gambar 3.13, pemboran lubang tembak, mungkin dibuat dengan beberapa baris, dibuat sedemikian rupa untuk menghasilkan muka jenjang yang menyilang dengan arah dip. Dengan cara ini kemudian terjadi back break lebih besar. Disamping itu batuan yang tidak tersangga akan berjatuhan secara gravitasi. Gambar 3.14 peledakkan dilakukan berlawanan dengan dip, akan mengurangi terjadinya back break, tetapi akan lebih mungkin timbul tonjokkan pada lantai jenjang dan dasar lantai tidak merata.
GAMBAR 3.13.
GAMBAR 3.14. Stooting against the dip gives less chance of backbreak but increases the posibility of a high toe the rough quarry floor or higher than normal muckpile
BAB IV SISTEM RANGKAIAN (CIRCUIT)
Terdapat 4 type/cara melakukan penyambungan detonator listrik, yaitu dirangkai secara hubungan : -
Seri
-
Paralel
-
Paralel – seri atau
-
Seri – paralel.
Pemilihan sistem rangkaian akan tergantung dari pada jumlah detonator listrik yang akan diledakan. Secara umum, sambungan seri digunakan untuk jumlah lubang tembak yang sedikit, < 50 detonator. Sedangkan paralel – seri atau seri – paralel digunakan bila sejumlah besar detonator listrik yang akan diledakkan. Paralel biasanya hanya digunakan untuk peledakan secara khusus, banyak diterapkan pada tambang dalam. 4.1. Hubungan Seri Hubungan
seri dalam suatu rangkaian peledakan dapat diilustrasikan seperti pada
gambar 4.1.
GAMBAR 4.1. SINGLE SERIES ELECTRIC BLASTING CIRCUIT
Dasar perhitungan untuk mengetahui berapa voltase yang akan terdapat didalam rangkaian tersebut adalah sebagai berikut :
Prinsip dasar perhitungan Rtotal
= R1 + R2+ R3 +… + Rn =nR
i total
= i 1 = i 2 = in
Volt
= i (nr)
Dalam peledakkan seri, hubungan yang sudah lengkap harus diuji kontinuitasnya dengan teliti. Arus peledakkan harus paling rendah 1,5 A (pada suatu detonator), supaya tiap-tiap detonator dapat berfungsi sebagai mestinya. Contoh
:
kita punya 50 detonator listrik yang akan diledakkan dan dihubungkan secara seri, dengan masing-masing detonator tahanannya 1,6 ohm. Digunakan 100 yard kabel utama dan 100 yard kabel pembantu. Maka tahanan 50 detonator adalah : 50 x 1,6 ohm =
80 ohm
Tahanan kabel utama : 100 yard
=
5 ohm
Tahanan kabel pembantu : 100 yard
=
8 ohm
=
93 ohm
Total tahanan Jadi diperoleh voltase : V = 1,5 A x 93 ohm = 140 volt Catatan :
Pada hubungan seri tidaklah umum memakai sumber yang besar, biasanya mengunakan arus yang rendah tetapi dengan voltase yang tinggi.
4.2. Hubungan Paralel
GAMBAR 4.2. HUBUNGAN PARALEL Prinsip dasar :
1/R total
= 1/R1 + 1/R 2 + … + 1/Rn = n/Rn
i total
= i 1 + i 2 + …+ in
Volt
= i (nR)
Hubungan yang sudah lengkap tidak dapat ditest kontikuitasnya, tapi tiap-tiap sambungan dapat ditest dengan ohm meter sebelum dimasukan. Untuk peledakkan paralel arus paling rendah 0,5 A, yaitu paling kecil digunakan untuk satu detonator, Contoh :
Meledakkan dengan 50 detonator dihubungkan secara parallel, maka : Tahanan untuk 50 detonator = 1,6/50
= 0,03 ohm
Tahanan kabel utama
= 5
ohm
Tahanan kabel pembantu
= 8
ohm
Tahanan total
= 13,03 ohm Dibulatkan
= 13
ohm
Arus yang dibutuhkan
= 0,5 x 50 detonator = 25 A
Voltasenya
= 13 x 25
= 325 volt
4.3. Hubungan Serie - Paralel Dalam hubungan serie – parallel masing-masing sambungan serie digabungkan lagi dengan hubungan paralel dengan sambungan seri yang lain, seperti terlihat pada gambar dibawah ini. Tipe hubungan ini sering digunakan bila jumlah total detonator listrik yang akan diledakan melebihi 50. Tiap-tiap seri sebaiknya terbatas hanya 40 detonator atau maksimum resisten 100 ohm.
GAMBAR 4.3. HUBUNGAN SERIE – PARALEL Contoh perhitungan Apabila 50 detonator diatur dalam 10 deret (paralel) dan setiap deret terdiri dari 5 detonator (diseri), berapa voltase dalam rangkaian tersebut ? Perhitungan : Dalam 10 deret paralel arus yang diperlukan adalah = 1,5 A x 10 = 15 A Total tahanan = 1,6 x 5 + 8 + 5 = 13,8 ohm 10 Jadi voltase
= 15 A x 13,8 ohm = 207 Volt
4.4. Hubungan Parallel - Seri
GAMBAR 4.4. HUBUNGAN PARALLEL – SERIE Contoh perhitungan Apabila dibuat 10 group seri,dimana setiap 5 detonator dihubungkan dalam hubungan parallel (contoh gambar diatas), dicari berapa voltase yang terdapat dalam hubungan tersebut ? Perhitungan
: Tahanan tiap group parallel adalah = (1,6)/5 = 0,32 ohm
Sedangkan tahanan dari pada 10 group parallel yang disambung dengan serie adalah = 10 x 0,32 ohm = 3,2 ohm. Jumlah tahanan = 3,2 + 8 + 5 = 16,2 ohm Arus yang dibutuhkan adalah = 0,5 x 5 = 2,5 A Jadi voltase dalam rangkaian = 16,2 ohm x 2,5 A = 40 volt.
BAB V MISFIRE
5.1. Handing Misfire Sekali waktu seorang juru ledak akan menghadapi kejadian “misfire”, sehingga sangatlah penting bagi juru ledak untuk mengetahui bagaiman menghadapinya. Semua misfire harus ditangani secara hati-hati dan oleh orang yang sudah berpengalaman dan orang yang teliti. Tidak seorangpun diperbolehkan mendekati daerah misfire, sampai misfire tersebut diledakkan atau untuk periode yang telah dianggap aman telah berlalu. Periode waktu yang aman tersebut paling sedikit 30 menit untuk peledakkan dengan sumbu api atau paling sedikit 5 menit bila digunakan detonator listrik. Yang dimaksud dengan misfire adalah bila bahan peledakkan yang dipasang dan diisi ke dalam lubang bor tidak mau meledak. Hal-hal yang menyebabkan terjadinya “misfire” adalah dapat berasal dari bahan peledaknya sendiri, detonator, sumbu atau kawat penghantar. Oleh sebab itu, perawatan terhadap bahan-bahan tersebut harus baik, disamping ketelitian regu ledak dalam menjalankan tugasnya. 5.1.1. Misfire Yang Menggunakan Sumbu Api Prinsip penyebab dari misfire diaman sumbu api digunakan adalah terkelupasnya sumbu api (dikarenakan cerobohnya cara penangan), sumbu api yang lembab (akibat dari kondisi gudang atau tempat penyimpanan yang basah), juga karena penggunaan pisau yang tumpul untuk memotong sumbu api, sehingga berakibat tersumbatnya api yang akan membakarnya dan menghambat terbakarnya detonator, untuk pencegahannya adalah :
-
Penyimpanan bahan peledak dan sumbu api seperti peraturan yang ada.
-
menggunakan bahan peledak yang cocok untuk maksud peledakkan.
-
Potonglah sumbu api yang terkena cukup lama, sepanjang 0,5 “.
-
Jangan menggunakan sumbu yang disambung. Sumbu dapat disambung dengan memotong miring kemudian diikat yang rapat, tetapi sedapat mungkin ini dihindari.
Cara mengisi misfire tersebut adalah : -
Pada peledakan dengan sumbu api, juru ledak harus menunggu 30 menit atau lebih, baru setelah itu mendekati lubang bor dimana misfire terjadi.
-
Bila stemming terlalu padat dan kerusaknya ada didalam lubang bor, maka cara mengatasinya adalah sebagai berikut : a. Mambongkar stemming tersebut, misalnya dengan jalan memancingnya keluar dengan alat yang tebuat dari tembaga atau bahan lainnya,yang tidak dapat mengeluarkan api. Bila dengan cara tersebut masih sukar, maka perlu disemprot air atau udara dari compresor. Bahan peledak dapat rusak karenanya, apabila bahan peledak tidak tahan terhadap air. Kemudian luabng tembak diledakkan dengan memasukkan primer yang baru. Penggunaan primer untuk misfire : -
Stemming dapat dipindahkan dengan cara menyemprot dengan compresor atau dengan air.
-
Semprotan udara atau air harus melalui pipa karet yang kuat atau pipa plastik (jangan pipa besi).
-
Pembongkaran stemming harus diusahakan setelah konsultasi dengan peraturan-peraturan yang berlaku, sebab di beberapa negara caratersebut tidak diperbolehkan.
-
Usaha apapun tidak diperbolehkan untuk menggali stemming dengan mempergunakan alat-alat. Ini adalah pekerjaan yang berbahaya, dimana suatu resiko daripada meledaknya bahan peledak akibat dari gesekkjan atau goncangan.
-
“Nitroglicerin” dan “Slurry Explosive” adalah tahan terhadap air, tetapi TNT/Amonium nitrat, ANFO dan Black Powder akan rusak sebagian atau seluruhnya oleh aliran air.
-
Apabilka digunakan semprotan air, dilanjutkan pada lubang tembak tersebut diisi dengan bahan peledak yang tahan terhadap air, apabila tersedia. Bila tidak tersedia, maka lubang tembak ditest dengan stick atau tongkat sehingga terbukti telah kering.
-
Kemudian masukkan primer dan ledakkan.
b. Membuat lubang yang baru diletakkan dimuka daripada lubang bor dimana misfire terjadi, dengan jarak paling dekat 30 cm. Kemudian diisi dengan bahan peledak dan selanjutnya eldakkan. c. Bila stemming terlalu kuat tetapi tidak panjang, misalnya hanya sama panjang dengan bahan peledak, dengan memasukkan primer lagi kemudian diledakkan, maka misfire akan ikut meledak pula.
5.1.2. Misfire yang menggunakan detonator listrik : Prinsip penyebab misfire apabila digunakan detonator listrik adalah sebagai berikut : a. kebocoran arus. Meskipun “Blasting Machine” yang digunakan mempunyai arus yang cukup, tetapi pada kondisi yang lembab dan basah bisa menakibatkan bocornya arus ke tanah atau terjadi hubungan arus yang melintang. Hal ini bisa mengakibatkan kurang cukupnya arus yang melalui detonator-detonator, sehingga berakibat timbul misfire. Kesalahan tersebut dapat ditiadakan dengan cara membongkar sambungan-sambungan dan diisolasi, serta tetap menjaga supaya sambungan-sambungan dalam keadaan kering dan baik, selanjutnya harus dijauhkan dari benda-benda metal. b. Kabel Kabel utama mungkin dapat rusak akibat suatu peledakkan, sehingga untuk penggunaan berikutnya harus diperiksa dengan teliti. Untuk mengetahui adanya kabel yang putus atu telanjang, untuk mencegah timbulnya misfire dari adanya hubungan pendek atau bocoran arus tanah, akibat dari kerusakkan kabel. Pencegahannya : Pergunakanlah kawat yang baik; Kawat yang banyak sambungannya, mungkin akan menambah turunnya tegangan dan kebocoran arus. Cara mengatasi misfire tersebut : Bila peledakkan dengan listrik, maka kabel utama dilepaskan dulu dari blasting machine. Sesudah 5 (lima) menit baru aman mendekati lubang bordimana terjadi. Pertama-tama kawat penghantar diperiksa kalau terdapat putus atau lepas, kontak dengan tanah, air atau
konduktor lain. Kalau hal ini terjadi, maka dibetulkan dan kabel utama dipasang lagi pada blasting machine, kemudian diledakkan. c. Kesalahan dalam penyambungan Kemungkinan tipe “muti shut exploder generator” yang dioperasikan secara mekanis. Apabila mekanis tersebut tidak bekerja karena tidak cukup kecepatannya, maka arus yang ditimbulkannya tidak cukup untuk dapat menyalakan detonator-detonator dalam hubungan seri. Misfire dapat terjadi akibat hubungan pendek, karena juru ledak kurang perhatian terhadap adanya hubungan pendek dari kabel.
Apabila jaringan kabel tidak ditest, sambungan yang longgar atau kotor mengakibatkan timbulnya tahanan yang tinggi, akan berakibat terjadinya misfire.
Kesalahan-kesalahan tersebut dapat ditiadakan dengan cara pengecekan yang hati-hati dan sistematis dari semua sambungan-sambungan.
Apabila misfire terjadi, kabel utama harus dicabut dari exploder dan “kunci exploder” harus selalu dicabut dan selalu dibawah sendiri oleh juru ledak. Setelah 5 (lima) menit menunggu, juru ledak mulai menguji kabel dan hubungan-hubungannya dan suatu kesalahan yang didapat maka kabel tersebut harus disingkirkan, jaringan kabel harus selalu ditest dengan menggunakan “safety ohmmeter”. Ini adalah sangat penting bahwa semua pengetesan harus dilakukan dari tempat yang aman, dan semua orang berada ditempat perlindungan, untuk mencegah kecelakaan yang mungkin terjadi akibat timbulnya ledakkan dari pekerjaan testing tersebut.
Apabila jaringan tersebut ternyata baik, maka kesalahan terletak didalam lubang bor. Selanjutnya
harus dimasukkan lagi booster dan sambungan kabel dihubungkan
dengan booster tersebut dan diledakkan. NOTES : PENYEBAB TERJADINYA KECELAKAAN DALAM PENANGANAN BAHAN PELEDAK : 1. Terlalu lama dalam menyundut/menyulut sumbu api. 2. Membor lagi kedalam lubang yang berisi bahan peledak. 3. Meledaknya bahan peledak pada electric blasting, sebelum diledakkan. 4. Terlalu cepat mendatangi tempat peledakakan setelah meledak. 5. Perlindungan yang tidak memadai untuk tampat berlindung. 6. Tindakan dan kondisi tidak aman pada saat transport, handling dan penimbunan. 7. Cara mengatasi “misfire” yang tidak benar. 8. Menggunakan sumbu api yang terlalu pendek. 9. Cara-cara taping yang salah. 10. Pada saat membawa bahan peledak sambil merokok. Juga membawa bahan peledak dan detonator menjadi satu.
5.2. Secodary Balsting Setelah melakukan peledakkan pada batuan induk (prmary blasting) kadang-kadang hasil bongkara (fragmentasinya) tidak mulus seperti apa yang diharapkan, tetapi terdapat bongkaran yang lebih besar (boulder). Untuk mengecilkan ukuran perlu dilakukan secodary blasting. Ada tiga cara yang dilakukan, yaitu ; a). “Mud capping” atau “Plaster Shooting”. b). “Blok holling” atau Popping”. c). “Snake holling”.
“Blok Holling”
“Mud Capping”
“Snake Holling”