i
KAJIAN DEBIT PUNCAK AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PADA HULU DAS JENEBERANG
A Study on the Peak Discharge as an Impact of Land Use Change in the Upper Jeneberang Watershed
KATI SYAMSUDIN KADANG TOLA
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
ii
KAJIAN DEBIT PUNCAK AKIBAT PERUBAHAN PENGGUNAAN LAHAN PADA HULU DAS JENEBERANG
Tesis Sebagai Salah Satu Syarat untuk Mencapai Gelar Magister
Program Studi Sistem-sistem Pertanian
Disusun dan diajukan oleh
KATI SYAMSUDIN KADANG TOLA
kepada
PROGRAM PASCASARJANA UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
iii
iv
PERNYATAAN KEASLIAN TESIS
Yang bertanda tangan di bawah ini
Nama
: Kati Syamsudin Kadang Tola
Nomor mahasiswa : P0100210004 Program studi
: Sistem-Sistem Pertanian
Menyatakan dengan sebenarnya bahwa tesis yang saya tulis ini benarbenar
merupakan
hasil
karya
saya
sendiri,
bukan
merupakan
pengambilalihan tulisan atau pemikiran orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau keseluruhan tesis ini hasil karya orang lain, saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut. Makassar, 30 Januari 2014 Yang menyatakan
Kati Syamsudin Kadang Tola
v
PRAKATA
Bismillahirrahmanirrahim Segala puji dan syukur penulis haturkan kepada Allah SWT dengan selesainya tesis ini. Penulisan tesis ini didasari dengan adanya kepedulian akan sebuah tanggungjawab terhadap pengetahuan dan alam. Daerah Aliran Sungai
(DAS)
merupakan
sebuah
ekosistem
yang
kompleks.
Berkembangnya ilmu pengetahuan, fenomena alam yang terjadi pada wilayah DAS dapat direpresentasikan dalam sebuah model hidrologi yang mempunyai kemampuan memprakirakan kondisi alam berdasarkan kondisi alam saat ini. Proses penulisan tesis ini tidak terlepas dari berbagai kendala, namun demikian proses yang terjadi harus disyukuri, hingga tesis ini akhirnya terselesaikan juga. Pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih yang tulus kepada Prof.Dr.Ir. Kaimuddin, MS sebagai ketua komisi penasehat dan Prof.Dr.Ir. Sumbangan Baja, M.Phil sebagai anggota atas bimbingan dan arahannya yang membuat penulis mampu untuk terus menyelesaikan penulisan tesis ini. Terima kasih juga penulis sampaikan kepada Prof.Dr.Ir. Muslimin Mustafa, M.Sc., Dr. Ir. D. Agnes Rampisela, M.Sc dan Dr.Ir. Muh. Nathan, M.Agr.,Sc sebagai penguji pada seminar proposal, hasil dan ujian akhir magister. Pada kesempatan ini juga penulis menyampaikan terima kasih kepada Rektor Unipa, Dekan Fapertek Unipa, Ketua Jurusan Ilmu Tanah dan keluarga besar ilmu tanah
vi
Fapertek Unipa untuk kepercayaan, izin, dan kesempatan yang diberikan kepada penulis untuk melanjutkan studi. Terima kasih kepada rekan-rekan keluarga besar SSP Pascasarjana Unhas angkatan 2010 untuk setiap kebersamaan dan dukungannya serta kepada pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan satu persatu namun telah banyak membantu dalam penyelesaian tesis ini. Terima kasih dan rasa hormat penuh cinta yang dalam kepada kedua orang tua penulis yaitu bapak H. Syamsuddin Kadang Tola (alm), ibunda Hj Syaribanong, dan kedua mertua penulis yaitu Bapak Mannuke dan Ibunda I Nisa serta seluruh keluarga besar untuk doa dan dukungannya selalu. Terimakasih yang teristimewa penulis sampaikan kepada suami tercinta Susianto Mannuke, ST dan anak-anak tercinta Raihana Khairunnisa, Aisyah Putri Ramadhani dan Muhammad Ilham Akbar untuk begitu banyak doa, kesabaran, kesetiaan dan dukungan yang tanpa henti kepada penulis selama studi dan semoga selalu menjadi sumber inspirasi dan kekuatan untuk berbuat lebih baik dan manusiawi atas ilmu dan pengetahuan yang dimiliki penulis.
Makassar, 30 Januari 2014 Kati Syamsudin Kadang Tola
vii
ABSTRAK
KATI SYAMSUDIN KADANG TOLA. Kajian Debit Puncak Akibat Perubahan Penggunaan Lahan pada Hulu DAS Jeneberang (dibimbing oleh Kaimuddin dan Sumbangan Baja). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat kevalidan HECHMS, menganalisis perubahan penggunaan lahan, dan memprakirakan debit puncak berdasarkan skenario perubahan penggunaan lahan dan curah hujan rancangan pada hulu DAS Jeneberang. Penelitian ini dilakukan pada hulu DAS Jeneberang. Data yang digunakan adalah kondisi lahan, tekstur tanah, peta penggunaan lahan tahun 2004-2010, data curah hujan harian tahun 1991-2010, dan data debit air tahun 2004 dan 2010. Analisis data meliputi analisis hidrologi, perubahan penggunaan lahan, dan prakiraan debit puncak menggunakan GIS dan HEC-HMS. Hasil penelitian menunjukkan bahwa (1) HEC-HMS cukup valid digunakan untuk memprakirakan debit puncak, diperoleh nilai koefisien Nash-Sutcliffe untuk debit puncak tahun 2004 sebesar 0,538 dan tahun 2010 sebesar 0,721; (2) Perubahan penggunaan lahan tahun 2004-2010 didominasi oleh ladang bercampur semak yang meningkat sebesar 14,52%, terjadi penurunan luasan hutan sebesar 13,22%, dan hasil skenario penggunaan lahan diperoleh penambahan luas hutan sebesar 28,8% dari luas total hulu DAS Jeneberang; (3) Prakiraan debit puncak menggunakan input hujan 20 tahun diperoleh Q5th = 454,6 m3/det, Q10th = 542,7 m3/det, Q25th = 657,9 m3/det, Q50th = 747,1 m3/det, dan Q100th 3 = 839,2 m /det, dengan menggunakan nilai skenario perubahan penggunaan lahan diperoleh rata-rata debit puncak sebesar 119,65 m3/det. Kata
kunci:
Debit puncak, Jeneberang
perubahan
penggunaan
lahan,
DAS
viii
ABSTRACT
KATI SYAMSUDIN KADANG TOLA. A Study on the Peak Discharge as an Impact of Land Use Change in the Upper Jeneberang Watershed. (Supervised by Kaimuddin and Sumbangan Baja). This research aimed (1) to investigate the validity of HEC-HMS; (2) to analyze the changes of the land use; (3) estimate the peak discharge based on the land use changes and the designed rainfalls in the Upper Jeneberang Watershed. The data used included the land conditions and soil texture, the maps of the land uses during the period of 2004 through 2010. The data analysis included the analysis of the hydrology, the analysis of the land use changes, the estimation of the peak discharge using GIS and HECHMS. The research results revealed that (1) HEC-HMS was valid enough and could be used to estimate the peak discharge, i.e. the NashSutcliffe coefficient value of the peak discharge in 2004 and 2010 were 0.538 and 0.721, respectively; (2) that the changes of the land use during the period of 2004 - 2010 were dominated by unirrigated agricultural fields combined with bushes which were increasing by 14.52 %, while the area of the forests was decreasing by 13.22%, and the result of the land use change scenario in the forest areas were reduced by 28.8% in the Upper Jeneberang Watershed; (3) the estimation of the peak discharge during the period of 20 years was Q5y = 454.6 m3/sec, Q10y 542.7 m3/sec, Q25y 657.9 m3/sec, Q50y 747.1 m3/sec, and Q100y 839.2 m3/sec, and by using the scenario value of the land use changes, the average peak discharge was 119.65 m3/sec. Keyword: Peak discharge, land use change, Jeneberang watershed
ix
DAFTAR ISI
halaman PRAKATA
v
ABSTRAK
vii
ABSTRACT
viii
DAFTAR ISI
ix
DAFTAR TABEL
xiii
DAFTAR GAMBAR
xv
DAFTAR LAMPIRAN
xvi
I.
II.
PENDAHULUAN
1
A.
Latar Belakang
1
B.
Rumusan Masalah
5
C.
Tujuan Penelitian
7
D.
Kegunaan Penelitian
8
E.
Ruang Lingkup Penelitian
8
TINJAUAN PUSTAKA
9
A.
Daerah Aliran Sungai (DAS)
9
1. Definisi DAS
9
2. Sistem hidrologi dalam ekosistem DAS
10
3. Faktor-faktor yang berperan dalam sistem hidrologi pada ekosistem DAS
12
a. Iklim
12
b. Luas dan bentuk DAS
12
x
14
d. Kemiringan DAS
14
e. Perubahan penggunaan lahan
15
B.
Penggunaan Lahan
16
C.
Limpasan Langsung
18
D.
Nilai Bilangan Kurva
20
1.
Kelompok hidrologi tanah
23
2.
Klasifikasi kompleks penutup tanah
24
3.
Kandungan air tanah sebelumnya
25
E.
III.
c. Jaringan sungai
Model HEC-HMS
26
1. Penerapan model
30
a. Model basin HEC-HMS
31
b. Model meteorologi HEC-HMS
32
c. Kontrol spesifikasi pada HEC-HMS
32
d. Input data
33
e. Simulasi
33
2. Kalibrasi dan validasi model
33
3. Penilaian hasil kalibrasi dan validasi model
34
F.
Kerangka Konseptual
35
G.
Definisi Operasional
38
METODOLOGI PENELITIAN
41
A.
Lokasi dan Waktu
41
B.
Data Dasar
41
xi
IV.
C.
Pengumpulan Data
43
D.
Analisis Data
44
1. Analisis hidrologi
44
a. Prakiraan data curah hujan
44
b. Analisis curah hujan harian maksimum
45
2. Penggunaan lahan
47
3. Identifikasi karakteristik DAS
47
4. Aplikasi HEC-HMS
48
a. Penyusunan model basin
48
b. Penyusunan model meteorologi
51
c. Kontrol spesifikasi
52
5. Kalibrasi dan validasi model
52
6. Simulasi model HEC-HMS
54
HASIL DAN PEMBAHASAN
56
A.
Kondisi Hulu DAS Jeneberang
56
1. Letak dan luas
56
2. Topografi
57
3. Tanah
60
4. Perubahan penggunaan lahan
65
5. Keadaan penduduk
71
Analisis Hidrologi
72
1. Curah hujan harian maksimum
73
2. Curah hujan rancangan
76
B.
xii
C.
D.
V.
Parameter Masukan HEC-HMS
78
1. Bilangan kurva (BK) aliran permukaan
78
2. Time lag
83
3. Kalibrasi dan validasi model HEC-HMS
85
Simulasi Model HEC-HMS
86
1. Debit puncak rancangan
86
2. Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak aliran permukaan
88
3. Skenario perubahan penggunaan lahan berdasarkan kriteria kawasan hutan lindung
89
PENUTUP
96
A.
Kesimpulan
96
B.
Saran
97
DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN-LAMPIRAN
xiii
DAFTAR TABEL nomor
halaman
1.
Klasifikasi kelompok hidrologi tanah
24
2.
Batasan jumlah curah hujan pada setiap kondisi KAT sebelumnya
25
3.
Metode simulasi dalam HEC-HMS
28
4.
Sifat-sifat khas distribusi
46
5.
Bobot stasiun hujan di hulu DAS Jeneberang
52
6.
Luas kecamatan di lokasi penelitian
56
7.
Kemiringan lereng di hulu DAS Jeneberang
59
8.
Jenis tanah di hulu DAS Jeneberang
60
9.
Kelas tekstur tanah di hulu DAS Jeneberang
64
10. Penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang tahun 2004-2010
65
11. Jumlah penduduk di hulu DAS Jeneberang tahun 2004-2011
71
12. Luas pengaruh stasiun hujan pada hulu DAS Jeneberang
72
13. Curah hujan harian maksimum di hulu DAS Jeneberang dengan metode Thiessen
75
14. Curah hujan rancangan pada berbagai periode ulang (Tr) tahun
77
15. Kelompok hidrologi tanah di hulu DAS Jeneberang
80
16. Nilai BK pada berbagai jenis penggunaan lahan
81
17. Nilai BK dan abstraksi awal rata-rata di hulu DAS Jeneberang
83
18. Panjang sungai dan panjang aliran tiap sub DAS
84
xiv
19. Time lag tiap sub DAS
84
20. Curah hujan dan dan debit rancangan pada berbagai periode ulang (Tr) tahun
86
21. Skenario perubahan penggunaan lahan hulu DAS Jeneberang
91
22. Nilai bilangan kurva penutupan lahan tahun 2010 dan skenario perubahan penutupan lahan
92
xv
DAFTAR GAMBAR
nomor
halaman
1.
Pengaruh bentuk DAS terhadap aliran puncak
13
2.
Skema penggambaran proses hidrologi menurut HEC-HMS (Ward, 1975 dalam USACE, 2001)
29
3.
Skema penerapan model HEC-HMS
31
4.
Kerangka pikir penelitian
38
5.
Peta lokasi penelitian hulu DAS Jeneberang
42
6.
Basin model hulu DAS Jeneberang
49
7.
Bagan alir metodologi penelitian
55
8.
Peta lereng di hulu DAS Jeneberang
58
9.
Peta sebaran tanah di hulu DAS Jeneberang
61
10. Peta kelas tekstur tanah di hulu DAS Jeneberang
63
11. Peta penggunaan/penutupan lahan tahun 2004
66
12. Peta penggunaan/penutupan lahan tahun 2010
67
13. Persentase perubahan penggunaan lahan tahun 2004-2010 di hulu DAS Jeneberang
68
14. Peta curah hujan wilayah metode poligon Thiessen
74
15. Peta sebaran kelompok hidrologi tanah
79
16. Peta bilangan kurva
82
17. Debit puncak aliran permukaan tahun 2004-2010 di hulu DAS Jeneberang
88
18. Debit puncak aliran permukaan penggunaan lahan tahun 2010 dan penggunaan lahan skenario
93
xvi
DAFTAR LAMPIRAN nomor
halaman
1.
Langkah kerja HEC-HMS
103
2.
Hasil analisis tekstur tanah di lokasi penelitian
111
3.
Curah hujan harian maksimum rata-rata di hulu DAS Jeneberang
112
Perhitungan hujan rancangan pada berbagai periode ulang (Tr ) tahun distribusi Log Pearson Type III
114
Data curah hujan harian tahun 2004 di hulu DAS Jeneberang
116
6.
Debit air tahun 2004 di stasiun Jonggoa
120
7.
Data curah hujan tahun 2010 di hulu DAS Jeneberang
121
8.
Debit air tahun 2010 di stasiun Jonggoa
125
4.
5.
1
BAB I
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Kebutuhan lahan oleh manusia semakin meningkat sejalan dengan peningkatan jumlah penduduk. Perubahan penggunaan lahan dari hutan beralih menjadi lahan pertanian, pemukiman dan berbagai peruntukkan lainnya telah menimbulkan banyak dampak terhadap sumberdaya lahan dan air. Hal ini terjadi juga pada wilayah daerah aliran sungai (DAS). Perubahan penggunaan lahan pada wilayah DAS akan berdampak positif maupun negatif terhadap wilayah DAS tersebut. Penggunaan lahan dari yang berpenutup vegetasi (vegetated land) menjadi berpenutup non vegetasi (non vegetated land) pada DAS cenderung meningkat menurut ruang dan waktu sebagai konsekuensi dari aktivitas pembangunan. Pengaruh negatif yaitu berakibat buruknya kondisi DAS seperti meningkatnya debit puncak, fluktuasi debit antar musim, koefisien aliran permukaan yang mengakibatkan banjir atau kekeringan. Mawardi (2010), menyatakan debit sungai-sungai utama di Indonesia
memiliki
variasi
aliran
yang
tinggi.
Rasio
debit
maksimum/minimum bervariasi dari kurang 20 kali sampai lebih dari 100 kali. Sungai-sungai ini memiliki sifat banjir yang moderate dibandingkan dengan sungai-sungai di dunia, yaitu dengan debit antara 10-80
2
m3/s/100km2 kecuali Tuntang dan Jeneberang yang melampaui 100 m3/s/100km2 atau termasuk tinggi. Perubahan penggunaan lahan pada wilayah DAS dapat ditemukan pada sejumlah daerah aliran sungai di Indonesia. Beberapa penelitian terkait dengan perubahan penggunaan lahan antara lain dilakukan oleh Hartanto (2009) debit puncak dan koefisien aliran permukaan di DAS Separi, Lipu (2010) konversi hutan terhadap aliran permukaan dan debit sungai di sungai Bulili, Sulawesi Tenggara, Emilda (2010) volume aliran permukaan dan debit puncak di DAS Cisadane Hulu, Kusdaryanto (2011) pengaruh situ terhadap respon hidrologi di DAS Pesanggrahan, dan Nurrizqi dan Suyono (2012) debit puncak banjir di sub DAS Brantas Hulu. Perubahan penggunaan lahan juga terjadi pada salah satu DAS yang ada di Sulawesi Selatan yaitu DAS Jeneberang. Persentase perubahan penggunaan lahan di DAS Jeneberang periode tahun 19952010 meliputi hutan dari 36% berkurang menjadi 26%, sawah dari 15% berkurang menjadi 8%, pemukiman dari 0,3% meningkat menjadi 3%, ladang bercampur semak dari 29% meningkat menjadi 33%, semak belukar dari 17% meningkat menjadi 22%, sisanya merupakan rawa dan tubuh air dari 3% meningkat menjadi 8% (Supratman dkk., 2004; Karim dkk., 2011). Berdasarkan
kondisi
DAS
Jeneberang
tersebut,
seiring
berkembangnya pembangunan suatu daerah tidak dapat dipungkiri lagi alih guna lahan akan terus berlangsung. Alih guna lahan pada wilayah
3
DAS ini akan mempengaruhi fungsi hidrologi DAS, mengakibatkan degradasi lahan dan badan-badan air, serta munculnya kejadian banjir pada musim hujan dan kekeringan di musim kemarau. Meningkatnya debit puncak yang terjadi pada suatu wilayah DAS, disebabkan karena berkurangnya luas daerah resapan air akibat perubahan tata guna lahan yang tidak terencana dan terpola dengan baik serta tidak berwawasan lingkungan. Akibat dari perubahan tata guna lahan itu mengakibatkan bertambahnya volume debit puncak yang terjadi pada suatu DAS. Debit sungai Jeneberang mempunyai fluktuasi debit aliran sungai yang sangat berbeda nyata sepanjang tahun antara musim penghujan dan musim kemarau. Ibbitt et.al., (2002) melaporkan debit sungai Jeneberang yang tercatat di stasiun Pattalikang periode tahun 1974-1999 mempunyai debit maksimum mencapai 701 m3/dt, rataan debit maksimum 352,2 m3/dt dan rataan debit minimum 0,3 m3/dt. Sedangkan debit sungai Jeneberang yang tercatat di stasiun Parangloe periode tahun 1987-1999 mempunyai debit maksimum mencapai 130,8 m3/dt, rataan debit maksimum 89,7 m3/dt dan rataan debit minimum 0,04 m3/dt. Kondisi ini merupakan indikator adanya perubahan kondisi hidrologi DAS Jeneberang. Aktivitas yang dilakukan di daerah hulu akan berdampak secara langsung maupun tidak langsung terhadap daerah hilir. Perubahan penutupan lahan di suatu daerah aliran sungai dapat menimbulkan berbagai macam dampak seperti erosi dan sedimentasi yang meningkat serta fluktuasi debit sungai. Berbagai metode dilakukan untuk mengetahui
4
dampak yang ditimbulkan dari aktivitas yang dilakukan pada DAS. Penggunaan model hidrologi merupakan sajian sederhana (simple representation) dari sebuah sistem hidrologi yang kompleks. Pengukuran fungsi hidrologi DAS di lapangan memerlukan pemahaman tentang banyak proses yang terlibat sehingga membutuhkan tenaga, waktu dan biaya yang banyak.
Ketersediaan model hidrologi
sangat diperlukan untuk membantu dalam mempelajari proses perubahan debit sungai terutama mengkaji debit puncak akibat dari perubahan penggunaan lahan pada tingkat DAS. HEC-HMS (Hydrologic Engineering Center-Hidrologic
Modelling
System)
merupakan
model
simulasi
sederhana yang berbasis pada proses hidrologi. Selain itu, penggunaan model HEC-HMS karena dalam HEC-HMS terdapat fasilitas kalibrasi, kemampuan simulasi model dengan data terdistribusi, model aliran kontinyu, dan kemampuan GIS. Penelitian yang dilakukan oleh Yusnita dkk., (2007) dengan menggunakan GIS diperoleh alih fungsi lahan memberikan pengaruh terhadap perubahan debit puncak melalui kemampuan tanah menyerap air hujan berdasarkan penutupan lahannya. Mengurangi luasan pada lahan kebun, rawa dan sawah serta menambah luasan hutan, pekarangan,
semak dan
tegalan
akan
berdampak
kepada
tidak
signifikannya perubahan debit puncak yaitu dari 202,540 m3/dt pada tahun 2000 menjadi 208,660 m3/dt pada tahun 2004.
5
Knebl, et.al. (2005) melakukan penelitian pemodelan banjir pada DAS San Antonio, Texas, Amerika serikat dengan mengintegrasikan NEXRAD, GIS dan HEC-HMS/RAS. Berdasarkan hasil simulasi debit yang dilakukan pada 12 sub DAS dihasilkan poligon dataran banjir yang sebanding dengan hasil citra satelit. Penelitian ini walaupun dirancang untuk DAS San Antonio, namun pada skala regional model ini dapat digunakan sebagai prototipe untuk aplikasi model di DAS lain. Menurut Demers (1997), GIS (Geographic Information System) adalah suatu sistem berbasis komputer yang dapat memproses data digital spasial dengan cara memasukkan, menyimpan, memvisualisasikan, memanipulasi
dan
menganalisis
data
yang
bereferensi
koordinat
geografis. Penelitian ini berupaya mengintegrasikan GIS dan HEC-HMS dengan harapan dapat menjawab permasalahan hidrologi DAS yaitu mengkaji debit puncak akibat dari perubahan penggunaan lahan di sekitar wilayah hulu DAS Jeneberang. B.
Rumusan Masalah
Wilayah hulu DAS merupakan kawasan penyangga ekosistem bagi wilayah tengah maupun wilayah hilir DAS. Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada hulu DAS akan memberikan dampak terhadap hidrologi DAS, termasuk perubahan pada debit puncak (maksimum).
6
Kondisi debit aliran pada DAS Jeneberang yang sangat tinggi pada
musim
hujan,
dan
sangat
rendah
pada
musim
kemarau
menunjukkan ratio antara debit maksimum dengan debit minimum mempunyai nilai yang tinggi. Arsyad (2010), menyatakan semakin besar ratio debit maksimum terhadap debit minimum maka semakin buruk keadaan vegetasi dan penggunaan lahan pada DAS tersebut. Keadaan iklim terutama faktor curah hujan turut berkontribusi dalam peningkatan debit puncak pada DAS. Time series data curah hujan yang panjang dapat digunakan dalam merancang debit puncak pada suatu DAS. Hal ini akan berguna dalam merancang tindakan pengelolaan pada DAS. Dengan demikian, perubahan kondisi hidrologi pada DAS dapat ditinjau dari aspek penggunaan lahan, kondisi fisik DAS serta input berupa curah hujan yang terjadi pada wilayah DAS tersebut. Ekosistem DAS merupakan sistem yang kompleks sehingga memerlukan kajian yang komprehensif, hal ini membutuhkan banyak waktu, biaya dan tenaga. Penggunaan model hidrologi HEC-HMS yang terintegrasi dengan GIS, akan sangat membantu dalam mempelajari proses perubahan yang terjadi pada hulu DAS Jeneberang. Namun demikian dalam penggunaannya perlu diketahui tingkat kevalidan model ini dalam mensimulasi proses yang terjadi pada hulu DAS Jeneberang. Berdasarkan hal tersebut, maka permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
7
1. Apakah model HEC-HMS cukup valid digunakan untuk simulasi perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak di hulu DAS Jeneberang? 2. Bagaimana perkembangan perubahan penggunaan lahan pada hulu DAS Jeneberang dan skenario penggunaan lahan? 3. Bagaimana hasil dari prakiraan debit puncak di hulu DAS Jeneberang menggunakan HEC-HMS berdasarkan skenario perubahan penggunaan lahan dan curah hujan rancangan pada hulu DAS Jeneberang?
C.
Tujuan Penelitian
Penelitian ini mempunyai tujuan antara lain: 1. Mengetahui apakah model HEC-HMS cukup valid digunakan untuk simulasi perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak di hulu DAS Jeneberang. 2. Menganalisis perubahan penggunaan lahan pada hulu DAS Jeneberang dan membuat skenario penggunaan lahan. 3.
Memprakirakan debit puncak di hulu DAS Jeneberang menggunakan HEC-HMS berdasarkan skenario perubahan penggunaan lahan dan curah hujan rancangan pada hulu DAS Jeneberang.
8
D.
Kegunaan Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi informasi bagi instansi terkait dalam pengelolaan wilayah hulu DAS Jeneberang dan sebagai masukan dalam merencanakan penggunaan lahan yang lebih baik.
E.
Ruang Lingkup Penelitian
Ruang lingkup wilayah dari penelitian ini adalah hulu DAS Jeneberang yang terbagi dalam 3 sub DAS yaitu sub DAS Malino, sub DAS Jeneberang dan sub DAS Bengo. Wilayah penelitian secara administratif berdasarkan luasan terbesar masuk dalam kecamatan Tinggi Moncong, Parigi, Manuju, Bungaya Parangloe, Tombolo Pao dan Bontolempangan. Ruang lingkup penelitian terkait dengan kondisi iklim dalam hal ini adalah faktor curah hujan harian maksimum selama 20 tahun periode tahun 1991-2010 dan penggunaan lahan periode tahun 2004-2010. Karakteristik DAS meliputi topografi dan kelerengan, tanah dan tekstur tanah diperlukan sebagai referensi dalam mendukung pembahasan perubahan penggunaan lahan pada DAS. Analisis terhadap kondisi iklim, perubahan penggunaan lahan dan skenario perubahan penggunaan lahan digunakan untuk memprakirakan debit puncak yang terjadi pada hulu DAS Jeneberang. Keseluruhan analisis data dalam penelitian ini menggunakan bantuan GIS dan model hidrologi HEC-HMS.
9
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA A.
1.
Daerah Aliran Sungai (DAS)
Definisi DAS Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah suatu wilayah daratan yang
secara
topografi
dibatasi
oleh
punggung-punggung
gunung
yang
menampung dan menyimpan air hujan yang kemudian melalui sungai utama dialirkan ke laut. Wilayah daratan dinamakan daerah tangkapan air (DTA atau catchment area) merupakan suatu ekosistem dengan unsur utama terdiri dari sumberdaya alam yaitu tanah, air dan vegetasi, serta sumberdaya manusia yang merupakan pemanfaat sumberdaya alam (Asdak, 2010). DAS merupakan satu sistem hidrologi yang merupakan suatu kawasan dimana aliran sungai-sungai yang ada saling berhubungan dalam sebuah sistem sungai. Aliran-aliran air yang berasal dari kawasan ini akan mengalir keluar melalui satu aliran tunggal. Secara operasional, DAS didefinisikan sebagai wilayah yang terletak diatas suatu titik pada suatu sungai yang dibatasi oleh batas topografi. Air yang jatuh diatasnya dialirkan ke dalam sungai yang sama melalui titik yang sama pada sungai tersebut (Arsyad, 2010).
10
Definisi Daerah Aliran Sungai (DAS) berdasarkan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 2004 tentang Sumber Daya Air adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari air hujan ke laut secara alami, yang batas di darat merupakan pemisah topografis dan batas dilaut sampai dengan daerah perairan yang masih terpengaruh aktivitas daratan. Secara ekologis, sebagai suatu sistem yang kompleks DAS mempunyai peranan penting dalam pengaturan tata air mulai dari terjadinya presipitasi sebagai input, proses-proses yang berlangsung dalam sistem DAS hingga terbentuknya debit sungai (stream flow) sebagai outputnya. Keberlanjutan fungsi DAS ini secara keseluruhan sangat ditentukan oleh karakteristik alam DAS yaitu tanah, iklim, vegetasi dan lain-lain (natural factor), maupun kegiatan manusia (anthropogenic factor). (Baja, 2012). 2.
Sistem hidrologi dalam ekosistem DAS Asdak (2010) menyatakan ekosistem adalah suatu sistem ekologi
terdiri atas berbagai unsur yang saling berinteraksi sehingga membentuk suatu komponen.
Komponen‐ komponen utama ekosistem DAS terdiri
dari manusia, hewan, vegetasi, tanah, iklim, dan air. Masing‐ masing komponen tersebut memiliki sifat yang khas dan keberadaannya tidak berdiri‐ sendiri,
namun
berhubungan
dengan
membentuk kesatuan sistem ekologis (ekosistem).
komponen
lainnya
11
Komponen biotik maupun abiotik dalam ekosistem DAS sangat berpengaruh terhadap perubahan siklus hidrologi. Perubahan yang terjadi pada ekosistem DAS maka komponen-komponen dalam siklus hidrologi juga akan berubah. Perubahan ekosistem DAS umumnya diakibatkan oleh aktivitas manusia seperti terjadinya penggunaan lahan yang ada dalam suatu DAS. Pertambahan jumlah penduduk menuntut bertambahnya kebutuhan manusia terhadap lahan berakibat pada terjadinya perubahan penggunaan lahan (Murtiono, 2008). Manusia memegang peranan yang penting dan dominan dalam mempengaruhi kualitas suatu DAS. Gangguan terhadap salah satu komponen ekosistem akan dirasakan oleh komponen lainnya dengan sifat dampak yang berantai. Keseimbangan ekosistem akan terjamin apabila kondisi hubungan timbal balik antar komponen berjalan dengan baik dan optimal. Kualitas interaksi antar komponen ekosistem terlihat dari kualitas output ekosistem tersebut. Di dalam DAS kualitas ekosistem secara fisik terlihat dari besarnya erosi, aliran permukaan, sedimentasi, fluktuasi debit, dan produktivitas lahan Dengan demikian DAS sebagai sebuah ekosistem haruslah dipandang secara holistik. Karakteristik DAS terkait erat dengan sistem hidrologi yang terjadi pada DAS. Bentuk dan ukuran DAS, kemiringan permukaan tanah dan sungai/saluran air, dan kerapatan sungai adalah karakteristik DAS yang relatif berhubungan. Masing-masing karakteristik DAS tersebut, secara bersama-sama akan mempengaruhi respon DAS terhadap terjadinya
12
suatu hujan tertentu. Sementara, sistem tanam dan keadaan tanah adalah komponen DAS yang bersifat dinamik dan apabila vegetasi diubah dalam batas tertentu dapat mempengaruhi respon aliran air dalam DAS terhadap curah hujan tertentu (Asdak, 2010). 3.
Faktor-faktor yang berperan dalam sistem hidrologi pada ekosistem DAS Menurut Asdak (2010) dan Indarto (2012), faktor-faktor yang
mempunyai peranan dalam sistem hidrologi DAS adalah sebagai berikut: f.
Iklim
Faktor iklim penyebab besarnya debit sungai adalah hujan, intensitas hujan, luas daerah hujan dan lama waktu hujan. Intensitas hujan berubah dengan lama waktu hujannya. Semakin lama waktu hujannya, semakin berkurang deras rata-rata hujannya. Hubungan antara deras rata-rata hujan dan lama waktu berlangsungnya hujan untuk berbagai tempat tidak sama dan harus ditentukan sendiri berdasarkan pengamatan dalam jangka waktu tertentu. Dengan kata lain, data curah hujan dapat digunakan untuk mengetahui nilai debit sungai, disamping menggunakan data pengaliran sungai. g. Luas dan bentuk DAS DAS merupakan tempat pengumpulan presipitasi ke suatu sistem sungai. Luas daerah aliran dapat diperkirakan dengan mengukur daerah tersebut pada peta topografi. Daerah aliran sungai dapat dibedakan berdasarkan bentuk atau pola dimana bentuk ini akan menentukan pola
13
hidrologi dan luas yang ada. Bentuk DAS berpengaruh terhadap besar dan waktu terjadinya aliran puncak pada outlet DAS. DAS dengan luasan yang sama namun bentuknya berbeda, salah satu memanjang dan sempit, DAS yang lain relatif melebar dan agak memendek maka titik air dari berbagai lokasi dibagian hulu akan sampai ke outlet pada saat yang relatif sama dan menghasilkan debit puncak yang lebih tinggi. Sebaliknya pada bentuk DAS yang memanjang, maka titik-titik air dari berbagai lokasi di wilayah hulu DAS sangat kecil kemungkinannya untuk sampai di outlet pada saat yang sama. Bentuk DAS dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Pengaruh bentuk DAS terhadap aliran puncak Penelitian yang dilakukan oleh Sutapa (2006) menggunakan model hidrograf satuan sintetik (HSS) pada Sungai Taopa, Salugan dan Sungai Batui di Sulawesi Tengah diperoleh faktor bentuk DAS yaitu bentuk paralel mempunyai hubungan atau pengaruh linier dengan koefisien korelasi debit puncak sebesar 0,9993 dan waktu puncak sebesar 0,8658.
14
h. Jaringan sungai Jaringan sungai dapat mempengaruhi besarnya debit aliran sungai yang dialirkan oleh anak-anak sungainya. Parameter ini dapat diukur secara kuantitatif dari awal percabangan yaitu perbandingan antara jumlah alur sungai orde tertentu dengan orde sungai satu tingkat di atasnya. Nilai ini menunjukkan bahwa semakin tinggi nisbah percabangan berarti sungai tersebut memiliki banyak anak-anak sungai dan fluktuasi debit yang terjadi semakin besar. Orde sungai adalah posisi percabangan alur sungai di dalam urutannya terhadap induk sungai pada suatu DAS. Semakin banyak jumlah orde sungai, semakin luas dan panjang alur sungainya. Orde sungai dapat ditetapkan dengan metode Horton, Strahler, Shreve, dan Scheidegger. i.
Kemiringan DAS
Kemiringan DAS mempengaruhi jumlah dan waktu aliran untuk mencapai outlet. Kenaikan slope akan menyebabkan faktor lain berperan. Pertama, kontak antara air hujan dan permukaan tanah tidak lagi tegak lurus. Permukaan tanah yang miring, gaya gravitasi tidak lagi menarik air langsung ke dalam tanah, sehingga lebih banyak air hujan yang berpotensi menjadi aliran permukaan. Kedua, gerakan air di atas permukaan tanah. Permukaan tanah yang miring, air bergerak lebih cepat dan sedikit waktu untuk kontak dengan permukaan tanah, hal ini mengurangi potensi infiltrasi.
15
Umumnya, semakin miring permukaan tanah diatasnya maka semakin miring pula saluran drainase alami di dalam DAS. Hal ini akan semakin mempercepat aliran ke bawah dan semakin tinggi debit teramati di outlet. j.
Perubahan penggunaan lahan
Perubahan
penggunaan
lahan
berpengaruh
terhadap
ketersediaan dan kebutuhan air. Ilustrasi pada kawasan hutan yang berubah menjadi pemukiman maka kebutuhan air meningkat karena dipakai untuk penduduk tersebut. Perubahan lahan ini berakibat pada kurangnya ketersediaan air maka terjadi peningkatan debit aliran permukaan. Akibatnya di bagian hilir mendapatkan debit yang berlebih dan dampaknya terjadi banjir. Perubahan penggunaan lahan mengakibatkan daerah-daerah resapan air menjadi berkurang, mengakibatkan bencana kekeringan meningkat di musim kemarau, dan banjir meningkat di musim hujan. Debit puncak naik dari 5 - 35 kali karena air yang meresap ke dalam tanah sedikit, hal ini mengakibatkan aliran air di permukaan (runoff) menjadi besar, sehingga berakibat debit menjadi besar dan terjadi erosi yang berakibat sedimentasi.
16
B.
Penggunaan Lahan
Menurut Baja (2012), penggunaan lahan (land use, disingkat PL) dibagi ke dalam 2 grup yaitu grup utama (major kind of land use) berupa pertanian irigasi, tanaman tahunan, lahan penggembalaan, hutan rekreasi, hutan produksi, budidaya lahan pesisir, dan lain-lain, dan grup yang lebih khusus sawah tadah hujan, perkebunan kelapa sawit, plot pembibitan, plot percobaan erosi, blok perumahan, tambang udang, dan lain-lain. Istilah penggunaan lahan dan penutupan lahan sering dijumpai di lapangan. Pada dasarnya kedua istilah ini adalah berbeda. Penggunaan lahan (land use) berkaitan dengan jenis pengelolaan lahan sebagai akibat dari aktivitas manusia yang secara langsung berhubungan dengan lahan, dimana terjadi penggunaan dan pemanfaatan lahan dan sumberdaya yang ada serta menyebabkan dampak pada lahan. Sementara, penutupan lahan (land cover) berhubungan dengan vegetasi (alam atau ditanam) atau konstruksi oleh manusia (bangunan dan lain-lain) yang menutupi permukaan tanah. Sebagai contoh hutan, padang rumput, tanaman pertanian, dan rumah. Pada penelitian skala semidetail atau skalanya lebih kecil, istilah penggunaan lahan dan penutupan lahan dipadukan misalnya dengan penyebutan “peta penggunaan lahan/penutupan lahan” atau land use/land cover”. (Baja, 2012). Arsyad (2010) mengelompokkan penggunaan lahan ke dalam dua golongan
besar
berdasarkan
penggunaan
lahan
tersebut
yaitu
penggunaan lahan pertanian dan penggunaan lahan bukan pertanian.
17
Penggunaan lahan pertanian dibedakan secara garis besar ke dalam macam penggunaan lahan berdasarkan penyediaan air dan lahan yang diusahakan.
Berdasarkan hal itu dikenal macam penggunaan lahan
seperti sawah, tegalan, kebun, kebun campuran, ladang, perkebunan dan hutan. Penggunaan lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan kota atau desa (pemukiman), industri, rekreasi dan sebagainya. Menurut Asdak (2010), penggunaan lahan merupakan salah satu faktor yang dapat direkayasa oleh manusia, selain faktor kemiringan dan panjang lereng. Dengan demikian, diperlukan pengelolaan yang terencana dalam menyusun perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada suatu DAS.
Dari
aspek
hidrologi,
perubahan
penggunaan
lahan
akan
berpengaruh langsung terhadap karakteristik penutupan lahan sehingga akan mempengaruhi sistem tata air DAS. Fenomena ini ditunjukkan melalui peningkatan debit sungai, meningkatnya erosi dan sedimentasi. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Suroso dan Hery (2006) pada DAS Banjaran diperoleh perubahan penggunaan lahan selama kurun waktu tahun 1995-2001 yang paling berpengaruh terhadap debit puncak adalah lahan sawah dan pemukiman kemudian tegalan. Penelitian yang sama di lokasi yang berbeda dilakukan oleh Darma, dkk (2007) terjadi penurunan debit akibat perubahan tata guna lahan di DAS Tampus, Bali yang merupakan salah satu Sub DAS Ayung. Hal ini disebabkan oleh faktor berubahnya tata guna lahan dari empat item: sawah irigasi, semak
18
belukar, pemukiman dan tegalan/ladang/tanah kosong menjadi lima item: sawah irigasi, semak belukar, pemukiman, tegalan/ladang/tanah kosong dan perkebunan sehingga menyebabkan meningkatnya waktu konsentrasi yang menyebabkan menurunnya intensitas hujan. C.
Limpasan Langsung
Limpasan langsung (direct runoff) dari suatu DAS merupakan bagian hujan yang tidak mengalami evapotranspirasi maupun kehilangan air lainnya yang mengalir di dalam alur sungai. Direct runoff terdiri dari limpasan permukaan (surface runoff) dan aliran antara (interflow, subsurface flow). Secara umum penyebab terjadinya limpasan dapat diklasifikasikan dalam 2 kategori, yaitu limpasan yang disebabkan oleh sebab-sebab alami dan limpasan yang diakibatkan oleh tindakan manusia (Asdak, 2010). Faktor-faktor penyebab alami antara lain: (a) Curah hujan yang tinggi akan mengakibatkan limpasan yang tinggi; (b) Fisiografi atau topografi, bila kondisi fisiografi atau topografi bergelombang dengan kelerengan yang cukup tinggi maka akan mengakibatkan limpasan langsung yang tinggi. Faktor penyebab karena tindakan manusia adalah perubahan kondisi DAS seperti penebangan hutan, usaha pertanian yang kurang tepat, perluasan kota dan perubahan penggunaan lahan lainnya yang dapat
meningkatkan
limpasan.
Perubahan
penggunaan
lahan
19
memberikan kontribusi yang besar terhadap perubahan debit puncak pada suatu DAS. Penebangan hutan pada area yang luas dapat berakibat pada perubahan debit puncak dan perubahan bentuk hidrograf secara drastis dalam waktu yang relatif singkat. Perubahan besar terjadi pada distribusi hujan menjadi limpasan langsung (direct runoff) dan infiltrasi. Perubahan drastis dari yang semula tertutup vegetasi menjadi permukaan yang berlapis keras akan memperbesar limpasan permukaan (surface runoff) dan sebaliknya memperkecil aliran dasar (Harto, 2000). Limpasan permukaan merupakan bagian dari curah hujan yang mengalir diatas permukaan tanah menuju sungai, danau dan lautan. Nilai limpasan permukaan yang penting untuk evaluasi DAS adalah kondisi volume limpasan permukaan yang terjadi selama dan setelah adanya suatu kegiatan. Beberapa faktor yang mempengaruhi kondisi tersebut adalah yang berkaitan dengan (1) Curah hujan meliputi lama waktu hujan, intensitas dan penyebarannya; dan (2) Karakteristik daerah aliran sungai meliputi bentuk dan ukuran DAS, topografi, tanah, geologi dan penggunaan lahan. Perhitungan limpasan langsung yang berasal dari curah hujan efektif dianalisis dalam direct runoff model. Dalam penelitian ini, analisis limpasan langsung dilakukan menggunakan metode hidrograf satuan sintetik SCS.
20
D.
Nilai Bilangan Kurva
Bilangan kurva merupakan pengaruh bersama penggunaan lahan, tanah dan kondisi hidrologi dan kandungan air tanah sebelumnya. Faktorfaktor ini dapat dinilai dari survey tanah, penelitian setempat dan peta penggunaan lahan. Untuk menetapkan bilangan kurva, SCS (Soil Conservation Service, US) telah mengembangkan indeks yang disebut Runoff Curve Number (CN) atau bilangan kurva aliran permukaan. Penggunaan metode SCS dalam menentukan keadaan kandungan air tanah sebelumnya seringkali dipergunakan keadaan rata-rata daerah aliran permukaan, tempat dan waktu tertentu (Arsyad, 2010). Metode
SCS
didasarkan
pada
keseimbangan
air
yang
digambarkan pada persamaan berikut: (1) (2) Dimana
adalah presipitasi (mm),
adalah abstraksi awal (mm),
adalah perbedaan antara curah hujan dan aliran permukaan/infiltrasi (mm), simpanan
adalah volume aliran permukaan (mm) dan yang
tersedia
untuk
menahan
air
adalah volume (mm),
dengan
mensubsitusikan persamaan (1) ke dalam persamaan (2) didapatkan persamaan berikut: (3)
21
Persamaan (3) valid untuk
≥
, jika tidak
= 0. Parameter S pada
persamaan (3) didefinisikan sebagai: (4) Dimana
dalam
mm
dan
adalah
Bilangan
Kurva
yang
menggambarkan tentang hujan lebih yang nilainya bervariasi berdasarkan tiga kondisi air tanah sebelumnya. SCS telah membuat rasio sebesar 0,2, dengan demikian hubungan antara
dan
/
atau λ
menjadi: (5)
Nilai BK berkaitan erat dengan penggunaan lahan dan perlakuan tanah. Pada kondisi hidrologi tanah yang sama, penggunaan lahan hutan atau semak belukar memiliki nilai BK yang lebih kecil dibandingkan dengan penggunaan lahan pemukiman. Pada penggunaan lahan dan jenis tanah yang sama, perlakuan tanah seperti tindakan konservasi dapat memberikan nilai BK yang lebih kecil dibandingkan dengan tanpa adanya perlakuan tanah. Lahan yang memiliki nilai BK yang besar menunjukkan bahwa aliran permukaan yang dihasilkan dari lahan tersebut tinggi. Sebaliknya, nilai BK yang rendah menunjukkan bahwa aliran permukaan yang dihasilkan dari lahan tersebut rendah. Oleh karena itu, perubahan penggunaan lahan dan perbaikan terhadap perlakuan tanah dapat merubah nilai BK, yang pada akhirnya dapat mempengaruhi volume aliran permukaan.
22
Lokasi penelitian sebagian besar berada pada kemiringan lebih dari 5%. Menurut Huang et.al., (2006) dalam Ebrahimian et.al., (2012) kemiringan yang lebih dari 5% perlu memasukkan faktor lereng dalam perhitungan BK. Peta BK disesuaikan dengan kemiringan diperoleh dengan mengalikan nilai BK dengan konstanta yang diperoleh pada persamaan: (6) Dimana K adalah konstanta untuk BK dan α adalah kemiringan lahan (m/m). Berdasarkan persamaan (6) diasumsikan bahwa BK diperoleh dari tabel standar BK-SCS pada kemiringan lebih dari 5%. Metode SCS memerlukan penentuan nilai waktu puncak (time to peak atau time of rise, Tp) dan debit puncak, Qp. Persamaan nilai waktu puncak adalah sebagai berikut (US-SCS 1973 dalam Arsyad 2010): (7) Dimana,
= waktu puncak (jam), merupakan selang waktu antara mulai
terjadinya hujan sampai debit puncak,
= durasi hujan (jam), ditentukan
dengan persamaan D = 0,133 tc, dengan tc adalah waktu konsentrasi,
=
time lag (jam). Persamaan debit puncak adalah sebagai berikut: (8)
Dimana,
merupakan konstanta konversi, bernilai 2,08 dalam SI, atau
484 dalam footpound system, dan
merupakan luas DAS. Persamaan
23
empiris yang digunakan SCS untuk menentukan parameter time lag menggunakan persamaan sebagai berikut: (9)
Dimana
adalah time lag (waktu dari puncak hujan sampai puncak aliran
permukaan),
adalah panjang sungai utama (feet),
maksimum (inchi) = 1000/BK – 10, sungai (%), dan
adalah retensi
adalah kemiringan daerah aliran
adalah bilangan kurva.
1. Kelompok hidrologi tanah Sistem klasifikasi kelompok hidrologi tanah (Hydrologic Soil Group) dipisahkan ke dalam empat kelompok yang ditandai dengan huruf A, B, C, dan D. Kelompok hidrologi tanah tersebut dapat ditentukan dengan menggunakan salah satu ketiga cara ini yaitu sifat tanah, peta tanah, dan laju infiltrasi minimum tanah (Arsyad, 2010). Klasifikasi kelompok tanah dapat dilihat pada Tabel 1.
24
Tabel 1. Klasifikasi kelompok hidrologi tanah
Kelompok hidrologi tanah A
Keterangan Potensi air larian paling tinggi, pasir dalam, solum
Laju infiltrasi min (mm/jam) 8-12
dalam, debu yang beragregat B
Potensi air larian kecil, tanah berpasir lebih
4-8
dangkal dari A. Tekstur halus sampai sedang. C
Potensi
air
larian
sedang,
lempung
berliat,
1-4
lempung berpasir, solum dangkal, tanah berkadar bahan organik rendah, dan tanah-tanah berkadar liat tinggi. Tekstur sedang sampai halus. D
Potensi air larian tinggi, kebanyakan tanah liat,
0-1
tanah-tanah yang mengembang secara nyata jika basah, liat berat, plastis, dan tanah-tanah salin tertentu
Sumber: Arsyad (2010) dan Asdak (2010)
2. Klasifikasi kompleks penutup tanah Klasifikasi kompleks penutup tanah SCS terdiri atas tiga faktor yaitu penggunaan tanah, perlakuan atau tindakan yang diberikan, dan keadaan hidrologi. Terdapat sekitar 14 macam penggunaan tanah yang digunakan untuk menduga CN. Penggunaan tanah pertanian seringkali dibagi ke dalam perlakuan atau tindakan yang diberikan, seperti penanaman menurut kontur atau pembuatan teras. Pembagian ini menunjukkan potensi pengaruhnya terhadap aliran permukaan. Kondisi hidrologi mencerminkan tingkat pengelolaan tanah yang digunakan, yang dibedakan ke dalam buruk, sedang dan baik (Arsyad, 2010).
25
3. Kandungan air tanah sebelumnya Bilangan kurva dipengaruhi pula oleh kandungan air tanah (KAT) sebelumnya pada daerah yang bersangkutan. Kandungan air tanah sebelumnya mempengaruhi volume dan laju aliran permukaan. Mengingat pentingnya pengaruh faktor ini, maka SCS membedakan tiga kondisi kandungan air sebelumnya (Arsyad, 2010): a. Kondisi I, yaitu tanah dalam keadaan kering tetapi tidak sampai pada titik layu b. Kondisi II yaitu keadaan rata-rata c. Kondisi III, yaitu kondisi hujan lebat atau hujan ringan dan temperatur rendah telah terjadi dalam lima hari terakhir, tanah jenuh air. SCS memberikan batas jumlah curah hujan untuk setiap kondisi kandungan air tanah sebelumnya. Pada penelitian ini perhitungan proses hujan-limpasan dianggap berlangsung pada musim tumbuh. Batasan jumlah curah hujan pada setiap KAT dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2. Batasan jumlah curah hujan pada setiap kondisi KAT sebelumnya
Kondisi
Total curah hujan lima hari sebelumnya (mm) Musim dorman
Musim tumbuh
I
<13
<35
II
13-28
35-53
III
>28
>53
26
E. Model HEC-HMS
Model hidrologi merupakan model yang menggambarkan secara abstrak keadaan hidrologi yang mempunyai kesamaan dengan keadaan hidrologi sebenarnya di lapangan, menggambarkan performan suatu komponen
sistem
Perkembangan
hidrologi
model-model
(Pawitan,
2006
hidrologi
dan
yang
Indarto, seiring
2012). dengan
perkembangan ilmu penginderaan jauh dan SIG (Sistem Informasi Geografi),
telah
mencapai
integrasi
teknologi
yang
makin
mengembangkan kebutuhan model untuk berbagai penggunaan yang lebih luas. Penggunaan model hidrologi DAS yang sering digunakan untuk analisis tata ruang berdasarkan tata guna lahan dalam DAS, untuk peramalan, prediksi dari perubahan atau perlakuan (banjir, kekeringan, erosi, sedimentasi, dll), kini telah berkembang menganalisis hasil air DAS untuk penilaian (valuation) jasa variabel lingkungan DAS. Model-model pun telah berkembang lebih praktis dan mudah diterapkan serta mutakhir. Salah satu model hidrologi yang digunakan dalam penelitian ini adalah HEC-HMS (Hydrologic Modelling System). Model hidrologi dengan program HEC-HMS dirancang untuk mensimulasikan proses hujanlimpasan
dari
sistem
aliran.
Program
ini
dirancang
agar
dapat
diaplikasikan dalam luasan tertentu untuk merepresentasikan proses hidrologi DAS. Hitungan yang dihasilkan dapat dipakai secara langsung atau sebagai penghubung dengan perangkat lunak lain untuk studi ketersediaan air, drainase perkotaan, debit aliran, rancangan bangunan
27
air, prakiraan kerusakan akibat banjir dan sistem operasi. Program HECHMS terintegrasi dengan sistem database, sehingga data dapat dimasukan secara manual melalui DSS (Data Storage System). DSS digunakan sebagai interface antara berbagai model yang terintegrasi dan juga antara komponen yang ada dalam program HEC-HMS untuk memudahkan sistem operasi (USACE, 2010). Model HEC-HMS adalah model parameter lump dengan distribusi spasial melalui pembagian sebuah DAS ke dalam sub DAS. Model ini menyediakan sejumlah pilihan pemodelan, dengan komponen utama penentuan hidrograf aliran permukaan dari Sub DAS dan pelacakan hidrograf (routing) melalui saluran ke outlet yang dipelajari. Karakteristik hidrograf pada setiap sub DAS adalah respon aliran permukaan yang khas
karena
perbedaan
sifat-sifat
DAS
meliputi
faktor
geologi,
geomorfologi dan antropogenik (Knebl et.al., 2005). Pada prinsipnya komponen utama hitungan dalam model HECHMS adalah tiruan proses pengalihragaman hujan menjadi aliran (rainfallrunoff translation) dan penelusuran (routing) aliran. Di dalam HEC-HMS terdapat beberapa model yang terpisah. Model yang dipilih mempunyai input yang berbeda-beda. Model hidrologi dan model simulasi yang terdapat dalam paket program perangkat lunak model hidrologi HEC-HMS disajikan pada Tabel 3.
28
Tabel 3. Metode simulasi dalam HEC-HMS
No
Model
1
Precipitation
2
Volume Runoff
3
Direct Runoff
4
Base Flow
5
Channel Flow
Metode User hyetograph User gage weighting Inverse-distance gage weights Gridded precipitation Frequency storm Standard project storm Initial and constant-rate SCS curve number (SCS-CN) Gridded SCS curve number Green and Ampt Deficit and constant rate Soil moisture accounting Gridded SMA User-specified unit hydrograph (UH) Clark’s UH Snyder’s UH SCS UH Modclark Kinematic wave Constant monthly Exponential recession Linear reservoir Kinematic wave Lag Modified Puls Muskingum Muskingum-Cunge Standard Section Muskingum-Cunge 8- point section
Sumber: (USACE, 2010)
Ilustrasi simulasi proses transformasi hujan-aliran untuk kondisi waktu yang panjang long-term simulation dapat dilihat pada Gambar 2.
29
Gambar 2. Skema penggambaran proses hidrologi menurut HEC-HMS (Ward, 1975 dalam USACE, 2001)
Presipitasi yang terjadi pada daerah aliran sungai meliputi vegetasi, permukaan tanah, dan permukaan air (sungai dan danau). Pada sistem hidrologi yang alami, kebanyakan air yang turun sebagai presipitasi kembali ke atmosfer melalui evaporasi dari vegetasi, permukaan tanah dan permukaan air, dan melalui transpirasi dari permukaan tanaman. Selama kejadian hujan lebat (strom) proses transpirasi dan evaporasi terbatas. Sebagian hujan yang jatuh ke atas tanaman melalui daun, batang dan cabang menuju permukaan tanah dan bergabung dengan hujan yang jatuh langsung ke tanah. Selanjutnya air akan menggenang. Infiltrasi mungkin terjadi dan akan tergantung pada jenis tanah, penutupan tanah oleh tanaman, kondisi air tanah sebelumnya dan karakteristik DAS.
30
Air infiltrasi tersimpan sementara pada bagian atas dan lapisan tanah yang biasanya jenuh. Air infiltrasi dalam tanah bergerak naik karena adanya gaya kapiler menuju permukaan dan bergerak horizontal menjadi interflow yang muncul di permukaan kembali atau menuju ke aliran sungai terdekat. Air tersebut dapat terperkolasi ke bawah untuk mengisi aquifer air tanah (groundwater). Air tanah di dalam aquifer bergerak lambat, dan sebagian muncul ke sungai menjadi baseflow. Air yang tidak tergenang atau terinfiltrasi mengalir sebagai aliran permukaan (overland flow) menuju ruas sungai terdekat. Jadi jaringan sungai (sungai dan anak-anak sungai), merupakan tempat bertemunya aliran permukaan, hujan yang jatuh langsung di atas permukaan air sungai, interflow dan baseflow. Oleh karena itu, debit yang ada di sungai adalah keluaran total dari DAS (Indarto, 2012).
4.
Penerapan model Penggunaan program HEC-HMS dalam menjalankannya perlu
menetapkan model yang akan digunakan. Pemilihan model ini terkait dengan input yang akan disiapkan. Penelitian ini menggunakan input berupa data hujan, debit terukur, kondisi awal dan parameter dari model yang dipilih. Tahapan dalam menjalankan program HEC HMS dapat dilihat pada Gambar 3.
.
31
Start Control Spesification Basin model
Input Data
Meteorologi model 1. Data hujan 2. Data debit
Simulasi HEC-HMS
Hasil (tabel dan grafik) Exit Program
Gambar 3. Skema penerapan model HEC-HMS
USACE (2010) memberikan penjelasan skema penerapan model HEC-HMS sebagai berikut: a.
Model Basin HEC-HMS
Kondisi fisik suatu DAS digambarkan dalam basin model. Sistem yang terdiri dari elemen-elemen hidrologi dihubungkan dalam suatu jaringan untuk mensimulasi proses limpasan. Pemodelan hidrograf satuan memiliki kelemahan pada luas area yang besar, maka perlu dilakukan pemisahan area basin menjadi beberapa sub basin berdasarkan percabangan sungai, dan perlu diperhatikan batas-batas luas daerah yang berpengaruh pada DAS tersebut. Pada basin model dibutuhkan peta
32
background yang dapat diimport dari GIS (Geografic Information System). Elemen-elemen hidrologi yang digunakan untuk mensimulasikan limpasan dalam penelitian ini adalah sub basin dan junction. Sub basin atau sub DAS merupakan elemen yang hanya memiliki satu outflow yang diperoleh berdasarkan data meteorologi (curah hujan dan evaporasi) dengan memperhitungkan loss, curah hujan efektif, serta aliran dasar, dalam penelitian ini aliran dasar tidak diperhitungkan. Junction dapat memiliki lebih dari satu inflow dan lebih dari satu outflow, biasanya digunakan untuk merepresentasikan sebuah pertemuan sungai atau aliran. b. Model meteorologi HEC-HMS Model meteorologi berfungsi merekam dan mengolah data curah hujan efektif dapat berupa 5 menitan atau jam-jaman. Curah hujan kawasan
diperoleh
dari
hujan
rerata
metode
Thiessen
dengan
memperhatikan pengaruh stasiun curah hujan pada kawasan tersebut. Bila 1 kawasan mendapat pengaruh dua dari tiga stasiun hujan yang digunakan, maka hujan rerata kawasan tersebut dihitung dari hujan rancangan dua stasiun hujan tersebut. c. Kontrol spesifikasi pada HEC-HMS Control
specifications
adalah
salah
satu
komponen
yang
digunakan untuk run digunakan bersama dengan basin model dan meteorologic model. Tanggal dan waktu permulaan dan akhir dari run di
33
set dalam control specification ini. Untuk melihat hasil dari perhitungan dapat dilihat baik berupa tabel maupun grafik. d. Input data Proses penginputan data curah hujan dan debit dilakukan pada component time series data manager. Data yang diinput disesuaikan dengan tanggal dan waktu permulaan dan akhir dari run pada control specification. e. Simulasi Simulasi dilakukan untuk menjalankan pemodelan yang telah dibuat berdasarkan data hujan pada model meteorologi pada suatu jangka waktu tertentu berdasarkan spesifikasi kontrol. Oleh karena itu, ketiga komponen
diatas
harus
lengkap
pengisiannya
sebelum
simulasi
dijalankan. 5. Kalibrasi dan validasi model Kalibrasi adalah suatu prosedur untuk menentukan nilai-nilai dari sifat fisik DAS yang mempresentasikan beberapa proses hidrologi untuk memodelkan hujan-aliran, dimana nilai-nilai tersebut telah dapat mewakili keadaan fisik DAS yang sebenarnya di lapangan. Validasi adalah proses evaluasi
terhadap
model
untuk
mendapatkan
gambaran
tentang
ketidakpastian yang dimiliki oleh suatu model dalam memprediksi proses hidrologi. Pada umumnya, validasi dilakukan dengan menggunakan data diluar periode data yang digunakan untuk kalibrasi (Indarto, 2012).
34
Selama
proses
kalibrasi
dan
validasi
diharapkan
dapat
menentukan nilai parameter-parameter dari karakteristik DAS seperti nilai CN (Curve Number), kekedapan (impervious) dan resapan awal (Initial abstraction), sehingga akhirnya mendapatkan hasil yang paling mendekati dengan kondisi di lapangan. Parameter yang digunakan sebagai acuan dalam proses kalibrasi adalah nilai debit air pada outlet dari DAS. Nilai debit air pada outlet di cek dengan nilai debit air yang dihasilkan oleh perhitungan HEC-HMS. Sebaran dari kedua nilai inilah yang perlu diperhatikan. Semakin kecil sebarannya, maka semakin baik kualitas pemodelan yang dilakukan. 6. Penilaian hasil kalibrasi dan validasi model Penilaian tingkat kevalidan suatu model dalam merepresentasikan fenomena alam yang teramati selama proses kalibrasi dan validasi menggunakan penilaian dengan hasil analisa statistika. Hasil kalibrasi di uji berdasarkan uji Nash-Sutcliffe dengan menggunakan nilai koefisien efisiensi. Koefisen Nash-Sutcliffe menunjukkan tingkat kevalidan dari korelasi hubungan antara data yang terukur dan terhitung. Persamaan yang digunakan adalah sebagai berikut (Nash and Sutcliffe, 1970): (10)
Dimana
adalah aliran permukaan observasi,
permukaan model, dan t.
adalah aliran
adalah aliran permukaan observasi pada waktu
35
Nilai koefisien efisiensi Nash-Sutcttife menunjukkan tingkat validasi model, dimana nilai E≤0,5 adalah tingkat validasi rendah, 0,5
Penelitian ini mengkaji debit puncak yang terjadi akibat dari perubahan penggunaan lahan yang terjadi pada hulu DAS Jeneberang. Penggunaan
lahan
suatu
DAS
yang
diarahkan
untuk
mencapai
peningkatan kesejahteraan masyarakat perlu untuk tetap menjaga fungsi utama wilayah hulu DAS sebagai kawasan penyangga ekosistem bagi wilayah tengah maupun wilayah hilir DAS. Secara biogeofisik, daerah hulu DAS dicirikan oleh hal-hal sebagai berikut: merupakan daerah konservasi, mempunyai kerapatan drainase lebih tinggi, merupakan daerah dengan kemiringan lereng besar (lebih besar dari 15%), bukan merupakan daerah banjir, pengaturan permukaan air ditentukan oleh pola drainase, dan jenis vegetasi umumnya berupa tegakan hutan. Ekosistem DAS hulu merupakan bagian yang penting karena mempunyai fungsi perlindungan terhadap seluruh bagian DAS. Perlindungan ini antara lain dari segi fungsi tata air. Daerah hilir dicirikan sebagai berikut: merupakan daerah pemanfaatan, kerapatan drainase
36
lebih kecil, merupakan daerah dengan kemiringan lereng kecil sampai dengan sangat kecil (kurang dari 8%), pada beberapa tempat merupakan daerah banjir, pengaturan pemakaian air ditentukan oleh bangunan irigasi, dan jenis vegetasi didominasi tanaman pertanian kecuali daerah estuaria yang didominasi hutan bakau atau gambut. Daerah aliran sungai bagian tengah merupakan daerah transisi dari kedua karakteristik biogeofisik DAS tersebut. Oleh karena itu, pengelolaan hulu DAS seringkali menjadi fokus perhatian mengingat dalam suatu DAS, bagian hulu dan hilir mempunyai keterkaitan biofisik melalui daur hidrologi. Jumlah penduduk yang terus meningkat berbanding terbalik dengan ketersediaan lahan. Oleh karena itu, terjadilah keterbatasan lahan dalam memenuhi kebutuhan hidup manusia. Pertumbuhan penduduk yang terus meningkat menuntut peningkatan penyediaan kebutuhan pangan dan kebutuhan lainnya sehingga menyebabkan terjadinya kompetisi antara berbagai kemungkinan penggunaan lahan (Sitorus, 2004). Penggunaan
lahan
memberikan
berbagai
dampak
seperti
terjadinya pengrusakan dan perambahan hutan pada daerah aliran sungai. Pendangkalan sungai akibat erosi, sedimentasi, kekeringan pada saat musim kemarau dan terparah adalah terjadinya kejadian banjir pada saat musim hujan merupakan beberapa kejadian yang sering terjadi pada daerah aliran sungai yang telah mengalami gangguan akibat ulah manusia.
37
Penelitian ini adalah melakukan simulasi debit puncak aliran permukaan akibat perubahan penggunaan lahan pada wilayah daerah aliran sungai. Penggunaan model HEC-HMS dalam menganalisa hidrologi akan dapat digunakan menghitung debit puncak dari sebuah DAS. HECHMS
merupakan
singkatan
dari
Hydrologic
Engineering
Center‟s
Hydrologic Engineering System, merupakan sebuah software yang dikembangkan oleh Hydrologic Enginnering Center milik US Army Crops of Engineers. Model ini dapat digunakan untuk menghitung limpasan permukaan pada suatu daerah aliran sungai, baik itu dalam kondisi eksisting
maupun
dalam
kondisi
terkontrol
atau
terencana.
Pengintegrasian model HEC-HMS dan GIS diharapkan dapat diketahui sejauhmana perubahan debit puncak akibat dari perubahan penggunaan lahan.
Selain
itu,
diharapkan
dapat
menjadi
masukan
dalam
merencanakan tata guna lahan yang berprinsip pada pengelolaan lahan dengan memadukan kepentingan produktivitas, ekonomis dan konservasi sesuai dengan fungsi dan karakteristik lahan. Kerangka konseptual dan tujuan dari penelitian ini dijelaskan pada Gambar 4.
38
Perubahan penggunaan lahan pada DAS untuk peruntukan pertanian/perkebunan/pemukiman / lainnya
Peningkatan kebutuhan lahan sejalan dengan pertambahan penduduk
Gangguan fungsi hidrologis pada DAS, munculnya kejadian banjir, dll akibat perubahan penggunaan lahan
Model HEC-HMS Menganalisis debit puncak pada hulu DAS Jeneberang
Penggunaan GIS Menganalisis perubahan penggunaan lahan
Gambar 4. Kerangka pikir penelitian
G.
Definisi Operasional
Definisi operasional adalah suatu definisi yang diberikan kepada suatu variabel dengan cara memberikan arti, atau mempersepsikan kegiatan ataupun memberikan suatu operasional yang diperlukan untuk mengukur variable tersebut. 1.
Air larian (debit) puncak Merupakan laju aliran air (dalam bentuk volume air) yang melewati suatu penampang melintang sungai per satuan waktu, dinyatakan dalam satuan meter kubik per detik. Dalam penelitian ini data debit aliran digunakan bersama
39
dengan data curah hujan untuk memprakirakan debit puncak pada DAS dan disimulasikan menggunakan model HEC HMS. 2.
Aliran permukaan Aliran permukaan adalah air yang mengalir di atas permukaan tanah atau bumi. Biasa dikenal dengan istilah runoff yang berarti bagian air hujan yang mengalir ke sungai atau saluran, danau atau laut berupa aliran di atas permukaan tanah bukan aliran di bawah permukaan tanah.
3.
Penggunaan lahan Penggunaan lahan merupakan setiap bentuk intervensi (campur tangan) manusia baik permanen maupun berupa sebuah siklus dalam rangka memenuhi kebutuhan hidupnya baik material maupun spritual dari alam. Konsekuensi dari intervensi
pada
lahan
maka
akan
terjadi
perubahan
penggunaan lahan. 4.
DAS (Daerah Aliran Sungai) Daerah aliran sungai adalah suatu daerah yang bentuk dan sifat alamnya sedemikian rupa sehingga merupakan satu kesatuan dengan anak-anak sungainya yang melalui daerah tersebut dalam fungsinya untuk menampung air yang berasal dari curah hujan dan sumber air lainnya dan kemudian
40
mengalirkannya
melalui
sungai
utama
atau
outlet
(Departemen Kehutanan, 2001). 5.
Metode SCS (Soil Conservation Service (SCS). Metode SCS merupakan fungsi dari bilangan kurva atau curve number (CN) yang ditentukan berdasarkan kelompok hidrologi tanah, penggunaan lahan, dan kondisi pengelolaan lahan.
Pada
penelitian
ini
debit
puncak
merupakan
permasalahan yang komplek sehingga diperlukan metode yang mempunyai keragaman variasi komponen biofisik. 6.
Model HEC-HMS Model HEC-HMS merupakan model hidrologi numerik yang dikembangkan oleh Hydrologic Engineering Centre (HEC) dari US Army Corps Of Engineers. Program HEC-HMS merupakan
program
komputer
untuk
menghitung
transformasi hujan dan proses routing pada suatu sistem DAS. Software HEC-HMS terdapat fasilitas kalibrasi maupun simulasi model distribusi, model menerus dan kemampuan membaca data GIS.
41
BAB III
METODE PENELITIAN A. Lokasi dan Waktu
Lokasi
penelitian
dilaksanakan
di
hulu
DAS
Jeneberang.
Berdasarkan Peta Rupa Bumi skala 1:50.000, wilayah penelitian terletak antara 5o11‟03” – 5o20‟27” LS dan 119o44‟45” – 119o56‟35” BT. Lokasi penelitian hulu DAS Jeneberang memiliki luasan 23.912,5 ha dan terletak pada ketinggian 250-2.775 meter di atas permukaan laut. Hulu DAS Jeneberang terletak di wilayah Kabupaten Gowa. Waktu penelitian ini dilaksanakan selama 12 bulan. Lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 5. B. Data Dasar
Data dasar yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari beberapa sumber data sebagai berikut: a.
Peta dasar berupa peta rupa bumi berupa data digital dari Bakosurtanal dengan skala 1 : 50.000.
b.
Peta tematik berupa peta tanah, peta wilayah administrasi kabupaten Gowa, peta penggunaan/penutupan lahan tahun 2004-2010.
42
Gambar 5. Peta lokasi penelitian hulu DAS Jeneberang
43
c.
Data curah hujan harian maksimum selama 20 tahun pengamatan dari tahun 1991-2010 dibutuhkan untuk analisis hujan rancangan. Data curah hujan ini diperoleh dari 4 stasiun curah hujan yaitu stasiun hujan di Malino-1, Malino-2, Paladingan dan Tanralili. Data curah hujan ini diperoleh dari stasiun Meteorologi dan Klimatologi Maros dan Kementerian Pekerjaan
Umum
Dirjen
Sumberdaya
Air
Balai
Besar
Wilayah
Pompengan-Jeneberang, Sulawesi Selatan. d.
Data curah hujan harian tahun 2004 dan tahun 2010 dibutuhkan untuk kalibrasi dan validasi model HEC-HMS.
e.
Data debit (aliran) harian tahun 2004 dan tahun 2010 outlet di Jonggoa (catchment area 239,82 km2) digunakan untuk kalibrasi dan validasi model. Data debit diperoleh dari Kementerian Pekerjaan Umum Dirjen Sumberdaya Air Balai
Besar Wilayah Pompengan-Jeneberang, Sulawesi Selatan.
C.
Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan sejumlah data primer dan data sekunder. Data-data tersebut digunakan sebagai parameter dalam melakukan analisis terhadap kondisi hulu DAS Jeneberang menggunakan model HEC-HMS dan GIS. Data primer diperoleh melalui pengamatan di lapangan meliputi pengamatan kondisi lahan dan pengambilan sampel tanah untuk penentuan tekstur tanah dan selanjutnya dianalisis di
44
laboratorium. Penentuan lokasi pengambilan sampel tanah dilakukan dengan melakukan overlay peta lereng dan peta jenis tanah. Data sekunder diperoleh dari studi literatur dan instansi terkait meliputi data tanah, penggunaan lahan, administrasi lokasi penelitian, jaringan sungai, curah hujan dan debit air.
D.
1.
Analisis Data
Analisis hidrologi a. Prakiraan data curah hujan Analisis hidrologi memerlukan serangkaian data curah hujan di
hulu DAS Jeneberang. Ketidaktersediaan data curah hujan pada salah satu
stasiun
curah
hujan
untuk
memprakirakan
data
digunakan
pendekatan „normal ratio method‟ (Linsley, et al, 1958 dalam Harto, 1993 dan Asdak, 2010). Metode prakiraan yang digunakan dapat dilihat pada persamaan berikut: Px = 1/n [Nx.PA/NA+ Nx.PB/NB + ……+Nx.Pn/Nn]
(11)
Dimana Px adalah hujan normal pada stasiun X yang diperkirakan, Nx adalah hujan normal tahunan di stasiun X, NA adalah hujan normal tahunan di stasiun A, PA adalah hujan di stasiun A yang diketahui, dan n adalah jumlah stasiun referensi.
45
b. Analisis curah hujan harian maksimum Data curah hujan harian maksimum selama 20 tahun yang tersebar di lokasi penelitian dianalisis menggunakan metode poligon Theissen dan analisis frekuensi. Metode poligon Theissen digunakan untuk menentukan bobot setiap stasiun curah hujan yang digunakan dalam menentukan besarnya curah hujan maksimum harian rata-rata daerah di lokasi penelitian. Analisis frekuensi digunakan untuk menghitung curah hujan rancangan pada berbagai periode ulang (Tr) menggunakan data curah hujan harian maksimum. Periode ulang diartikan sebagai waktu dimana hujan atau debit dengan satuan besaran tertentu rata-rata akan dilampaui sekali dalam jangka waktu tersebut. Dalam hal ini tidak berarti bahwa selama jangka waktu ulang itu (misalnya T tahun) hanya sekali kejadian hujan yang melampaui, tetapi merupakan perkiraan bahwa hujan atau debit tersebut akan dilampaui K kali dalam jangka panjang L tahun, dimana K/L kira-kira sama dengan 1/T (Harto, 1993). Tujuan analisis frekuensi adalah memprediksi suatu besaran hujan atau kejadian hujan sesungguhnya berdasarkan suatu seri data yang ada. Analisis frekuensi didasarkan pada sifat statistik data kejadian hujan yang telah lalu untuk memperoleh probabilitas besaran hujan dimasa yang akan datang. Parameter statistik yang berkaitan dengan analisis frekuensi meliputi: (1) nilai rata-rata (mean); (2) simpangan baku
46
(stdev); (3) koefisien variasi (Cv); (4) koefisien skewness (Cs); dan (5) koefisiesn kurtosis (Ck). Penggunaan analisis frekuensi dapat ditentukan jenis distribusi hujan yang sesuai untuk meramalkan curah hujan rancangan pada berbagai periode ulang tertentu. Jenis distribusi hujan meliputi analisa distribusi Gumbel, Log Pearson Type III, Normal dan Log Normal (Harto, 1993). Sifat-sifat khas distribusi dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Sifat-sifat khas distribusi
Distribusi
Nilai koef. skewness (Cs)
Nilai koef. kurtosis (Ck)
Normal
0
3
Log Normal
3 Cv
>0
Gumbel
1,398
5,4002
Sumber: Harto (1993)
Tabel 4 merupakan sifat-sifat khas dari setiap distribusi hujan. Namun demikian bila hasil analisis distribusi tidak diketemukan sifat-sifat distribusi pada Tabel 4, maka distribusinya akan mengikuti distribusi Log Pearson Type III (Jayadi, 2000). Kecocokan fungsi peluang dengan sebaran data diuji menggunakan Chi-Square. Pada penelitian ini jika hujan harian maksimum dianggap mengikuti distribusi nilai Log Pearson type III, maka persamaan yang digunakan untuk memprakirakan curah hujan rancangan (Linsley, et.al., 1975) adalah sebagai berikut: (12)
47
Dimana (mm),
adalah curah hujan rancangan dalam periode ulang n tahun adalah standar deviasi,
adalah faktor frekuensi (hubungan
koefisien kemencengan untuk distribusi Log Pearson Type III dan kala ulang (tahun), dan
adalah curah hujan rata-rata hasil pengamatan (mm).
Curah hujan rancangan dalam penelitian ini dibuat untuk periode ulang 5, 10, 25 dan 50 dan 100 tahun. Data curah hujan rancangan diperlukan sebagai salah satu input pada penggunaan model HEC-HMS untuk memprakirakan debit puncak di hulu DAS Jeneberang. 2.
Penggunaan lahan Analisis
terhadap
kondisi
penggunaan
lahan
hulu
DAS
Jeneberang dilakukan pada periode tahun 2004-2010. Analisis dilakukan dengan melakukan overlay penggunaan lahan 2004-2010. Tujuan analisis ini adalah mengetahui perubahan masing-masing penggunaan lahan periode tahun 2004 s/d tahun 2010.
3.
Identifikasi karakteristik DAS Identifikasi karakteristik hulu DAS Jeneberang bertujuan untuk
mengetahui kondisi fisik hulu DAS Jeneberang. Kegiatan ini berupa identifikasi peta hulu DAS Jeneberang dan pembagian sub DAS. Penentuan batas DAS dengan menghubungkan titik-titik tertinggi atau puncak dari bukit dimana diperkirakan bahwa air hujan yang jatuh di tempat itu akan mengalir pada DAS yang di maksud. Pembagian sub DAS didasarkan pada pembagian jaringan sungai yang terdapat pada DAS.
48
Pada penelitian ini hulu DAS Jeneberang terbagi ke dalam 3 sub DAS, yaitu sub DAS Malino, sub DAS Jeneberang dan sub DAS Bengo. 4.
Aplikasi HEC-HMS Analisis debit limpasan pada penelitian ini menggunakan program
HEC-HMS versi 3.5 (Hydrologic Engineering Centre-Hydrologic Modelling System). Program ini terdiri dari tiga komponen model yaitu model basin, model meteorologi dan kontrol spesifikasi (USACE, 2010). Langkahlangkah aplikasi HEC-HMS disajikan pada Lampiran 1. Masukan data model hidrologi HEC-HMS pada penelitian ini dipisahkan dalam komponen yang secara rinci sebagai berikut: a. Penyusunan model basin Basin model merepresentasikan kondisi hulu DAS Jeneberang dengan bantuan peta background yang diimport dari GIS (Geografic Information System). Lokasi penelitian menggunakan dua elemen hidrologi yaitu sub basin dan junction. Penelitian dimodelkan dengan 3 sub DAS yaitu sub DAS Malino, sub DAS Jeneberang dan sub DAS Bengo yang dianalisis berdasarkan peta Rupa Bumi serta 1 junction dimana masing-masing elemen mewakili bagian dari total respon suatu DAS terhadap presipitasi. Hulu DAS Jeneberang dalam model HEC-HMS dapat dilihat pada Gambar 6.
49
Gambar 6. Basin model hulu DAS Jeneberang
Penyusunan basin model dalam penelitian ini di susun untuk mendapatkan nilai debit puncak. Pada penelitian ini, perhitungan dilakukan menggunakan metode SCS curve number. Nilai BK berkisar mulai dari 0 hingga 100. Nilai BK pada permukaan yang sulit tembus air (impervious) juga termasuk permukaan air mempunyai BK = 100, sedangkan untuk permukaan alami (natural surface) mempunyai nilai BK < 100, hal ini tergantung dari jenis dan kerapatan (density) penggunaan lahan (Baja, 2012). Dalam penelitian ini, nilai-nilai BK dinilai berdasarkan overlay antara peta penggunaan lahan dan peta kelompok hidrologi tanah.
50
Berdasarkan pertimbangan lokasi hulu DAS Jeneberang sebagian besar berada pada kemiringan lebih dari 5%, maka perlu memasukkan faktor lereng dalam perhitungan BK (Huang et.al., (2006) dalam Ebrahimian et.al., 2012). Faktor lereng diperhitungkan dengan cara melakukan overlay antara peta kelas lereng dan peta BK-SCS. Penerapan kondisi kandungan air tanah sebelumnya berada pada kondisi II yaitu situasi dimana hubungan tanah dan air dalam kondisi rata-rata dan perlakuan atau pengelolaan lahan pada kondisi yang jelek (buruk). Penentuan
pengelolaan
lahan
berada
pada
kondisi
yang
buruk
berdasarkan pengamatan di lapangan dan laporan Dirjen RPLS Kementerian Kehutanan (2009) dalam Karim dkk (2011) terdapat sebanyak 20% lahan kritis dan sangat kritis di DAS Jeneberang dan areal yang potensial sangat kritis berada pada hulu DAS Jeneberang. Lahan kritis di hulu DAS Jeneberang adalah sebesar 57,1% (Arsyad, 2010). DAS yang terdiri dari beberapa tipe tanah dan penggunaan lahan, nilai BK yang diperoleh adalah BKcomposite yang dihitung dengan persamaan berikut: (13)
Dimana
adalah nilai BK komposit,
adalah indek
untuk sub DAS yang mempunyai penggunaan lahan yang sama dan adalah luas daerah sub DAS. Selain itu, perhitungan time lag juga
51
digunakan sebagai input dalam model HEC-HMS. Time lag menggunakan persamaan (9). b. Penyusunan model meteorologi Model meteorologi berfungsi merekam dan mengolah data curah hujan. Masukan data curah hujan yang diinput pada model meteorologi didasarkan pada data curah hujan harian. Data yang digunakan untuk aplikasi model, kalibrasi dan validasi model adalah data kejadian hujan dan data debit aliran tahun 2004 dan tahun 2010. Metode yang digunakan dalam model meteorologi adalah metode gage weight. Penggunaan metode gage weight karena stasiun hujan dimodelkan sebagai pengaruh poligon Thiessen. Bobot kedalaman hujan (depth weight) dan waktu (time weight) dibutuhkan untuk semua stasiun hujan. Data curah hujan dari Malino-1, Malino-2 dan Tanralili digunakan pada sub DAS Jeneberang dan Malino, sedangkan data curah hujan dari stasiun Paladingan dan Tanralili digunakan pada sub DAS Bengo. Bobot stasiun hujan berdasarkan metode Thiessen di setiap sub DAS dapat dilihat pada Tabel 5.
52
Tabel 5. Bobot stasiun hujan di hulu DAS Jeneberang
Sub DAS
Stasiun hujan
Bobot
Bengo
Paladingan
0,253
Tanralili
0,747
Malino-1
0,347
Malino-2
0,112
Tanralili
0,541
Malino-1
0,062
Malino-2
0,743
Tanralili
0,195
Jeneberang
Malino
Sumber: data diolah
c. Kontrol spesifikasi Control specifications digunakan untuk run bersama dengan basin model dan meteorologic model. Tanggal dan waktu permulaan dan akhir dari run di set dalam control specification. Hasil perhitungan dapat dilihat dalam bentuk tabel maupun grafik. 5. Kalibrasi dan validasi model Tujuan dilakukan kalibrasi dan validasi adalah menentukan apakah model dapat digunakan dalam menentukan debit prediksi. Langkah-langkah kalibrasi dan validasi adalah sebagai berikut: 1. Proses
kalibrasi
dan
validasi
dengan
model
HEC-HMS
menggunakan data debit harian terukur tahun 2004 dan 2010 dan hujan harian terukur pada stasiun hujan tahun 2004 dan 2010.
53
Penggunaan data lapangan dengan periode waktu yang sama diharapkan akan menghasilkan besaran parameter yang mendekati di lapangan. 2. Nilai BK komposit dari masing-masing jenis penggunaan lahan pada penggunaan lahan eksisting digunakan sebagai masukan model pada saat kalibrasi dan validasi model yaitu penggunaan lahan tahun 2004 dan PL tahun 2010. 3. Try and error dilakukan terhadap data masukan model yang merupakan data kisaran, dalam hal ini adalah nilai bilangan kurva. 4. Membandingkan hidrograf hasil model dengan hasil observasi tahun 2004 dan 2010. 5. Model dianggap valid bila hidrograf hasil model dan hasil pengamatan mempunyai kemiripan. Penilaian tingkat kevalidan model menggunakan koefisien efisiensi Nash-Sutcliffe (persamaan 10). Nilai koefisien efisiensi Nash-Sutcttife menunjukkan tingkat validasi model, dimana nilai E≤0,5 adalah tingkat validasi rendah, 0,5
54
6. Simulasi model HEC-HMS Simulasi model dilakukan terhadap data curah hujan rancangan dan penggunaan lahan tahun 2010 sebagai berikut: 1.
Debit puncak rancangan pada periode ulang 5, 10, 25, 50, 100 tahunan.
2.
Skenario perubahan penggunaan lahan dengan menjadikan kawasan yang mempunyai kemiringan diatas 45% sebagai kawasan hutan lindung.
55
Persiapan Penelitian
Pengumpulan data primer dan sekunder
Studi Pustaka
Analisis Data
Survei Lapangan
Analisis Kondisi hulu DAS Jeneberang
Analisis Hidrologi hulu DAS Jeneberang
Perubahan penggunaan lahan
Analisis Debit Puncak
Simulasi debit puncak 5,10,25, 50, 100 tahun Skenario perubahan penggunaan lahan
Gambar 7. Bagan alir metodologi penelitian
56
BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN A.
Kondisi Hulu DAS Jeneberang
1. Letak dan luas Hulu DAS Jeneberang masuk dalam wilayah administratif kabupaten Gowa. Secara geografis daerah penelitian terletak antara 5o11‟03” – 5o20‟27” LS dan 119o44‟45” – 119o56‟35” BT dengan luasan 2
23.912,5 Ha (239,12 km ). Kecamatan yang masuk dalam lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 6. Tabel 6. Luas kecamatan di lokasi penelitian
Kecamatan Tinggi Moncong
Luas (km2)
Persentase (%)
142,87
59,75
82,79
34,62
Manuju
5,03
2,10
Bungaya
4,65
1,94
Parangloe
2,70
1,13
Tombolo Pao
0,86
0,36
Bontolempangan
0,23
0,10
Parigi
239,12 Sumber: Peta administrasi kabupaten Gowa (diolah)
57
Tabel 6, terlihat secara administratif kecamatan yang masuk dalam lokasi penelitian berturut-turut berdasarkan luasan terbesar adalah kecamatan Tinggi Moncong, Parigi, Manuju, Bungaya, Parangloe, Tombolo Pao dan Bontolempangan.
Hulu DAS Jeneberang sebagian
besar masuk dalam wilayah kecamatan Tinggi Moncong yaitu sebesar 59,75%. Berdasarkan data statistik kabupaten Gowa tahun 2011 luas kecamatan Tinggi Moncong adalah 142,87 km 2, artinya 100% wilayah kecamatan Tinggi Moncong berada di hulu DAS Jeneberang. Berdasarkan Tabel 6, sebagian dari wilayah hulu DAS Jeneberang juga masuk dalam wilayah kecamatan Parigi sebesar 34,62%, dan selanjutnya luasan kurang dari 5% berada dalam wilayah kecamatan Manuju, Bungaya, Parangloe, Tombolo Pao dan Bontolempangan. 2. Topografi Kemiringan
lereng
merupakan
sifat
topografi
yang
paling
berpengaruh terhadap aliran permukaan dan memperbesar jumlah aliran permukaan. Lokasi penelitian hulu DAS Jeneberang berada pada ketinggian 250-2.775 m dpl. Peta kemiringan lereng dapat dilihat pada Gambar 8. Kemiringan lereng di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 7.
58
Gambar 8. Peta lereng di hulu DAS Jeneberang
59
Tabel 7. Kemiringan lereng di hulu DAS Jeneberang
Kelas lereng 3-8%
Bentuk lereng
Persentase (%)
827,3
3,5
Landai
2.208,0
9,2
15-25%
Agak curam
3.878,6
16,2
25-45%
Curam
13.022,7
54,5
3.975,9
16,6
8-15%
>45%
Agak datar
Luas (Ha)
Sangat curam
Jumlah
23.912,5
Sumber: Peta kemiringan lereng di hulu DAS Jeneberang (diolah)
Tabel 7, terlihat keadaan topografi pada daerah ini bervariasi mulai dari agak datar hingga sangat curam. Kelas kemiringan lereng 3-8% agak datar sebesar 3,5%, kelas kemiringan lereng 8-15% landai sebesar 9,2%, kelas kemiringan lereng 15-25% agak curam sebesar 16,2%, kelas kemiringan lereng 25-45% curam sebesar 54,5% dan kelas kemiringan lereng >45% sangat curam sebesar 16,6%. Kemiringan lereng ini sangat berpengaruh terhadap aliran permukaan. Semakin curam lereng akan memperbesar kecepatan aliran permukaan dan memperbesar jumlah aliran permukaan. Hulu DAS Jeneberang di dominasi bentuk lereng curam hingga sangat curam. Luas wilayah dengan bentuk lereng curam sebagian besar dijumpai di sub DAS Jeneberang (24,4%) dan sub DAS Malino (25,5%), dan hanya 4,6% di sub DAS Bengo. Luas wilayah dengan bentuk lereng sangat curam dijumpai di
60
sub DAS Jeneberang (11,15%), sub DAS Malino (5,16%) dan sub DAS Bengo (0,32%). 3.
Tanah
Jenis tanah yang terdapat di lokasi penelitian merupakan jenis tanah berordo Inceptisol dan terdiri dari great group Dystrandept, Dystropept, dan Tropaquept. Jenis tanah Dystrandept mempunyai luasan 5.273,7 Ha atau sebesar 22,1%, Dystropept mempunyai luasan terbesar yaitu 17.536,4 Ha atau sebesar 73,3%, dan jenis tanah Tropaquept mempunyai luasan 1.102,4 Ha atau sebesar 4,6% merupakan jenis tanah dengan luasan paling kecil. Peta sebaran jenis tanah di hulu DAS Jeneberang dapat dilihat pada Gambar 9 dan Tabel 8. Tabel 8. Jenis tanah di hulu DAS Jeneberang
Jenis tanah
Luas (Ha)
Dystrandept
5.273,7
22,1
Dystropept
17.536,4
73,3
Tropaquept
1.102,4
4,6
23.912,5
100,0
Jumlah
Persen (%)
Sumber: Peta sebaran jenis tanah di hulu DAS Jeneberang (diolah)
Tabel 8, terlihat jenis tanah dystropept mempunyai daerah pesebaran paling luas. Jenis tanah ini kebanyakan dijumpai pada daerah bercurah hujan tinggi dan dijumpai pada permukaan erosi yang aktif di lereng-lereng curam dan tanahnya dangkal (Lopulisa, 2004).
61
Gambar 9. Peta sebaran tanah di hulu DAS Jeneberang
62
Gambar 9, terlihat jenis tanah Inceptisol (dystrandept, dystropept dan tropaquept) tersebar di tiga sub DAS di lokasi penelitian. Jenis tanah dystrandept tersebar di sub DAS Jeneberang Jenis tanah dystropept tersebar ≥ 40% di sub DAS Jeneberang dan sub DAS Malino. Jenis tanah tropaquept tersebar lebih dari 50% di sub DAS Jeneberang. Inceptisol merupakan tanah yang selain dapat memiliki epipedon okrik dan albik seperti tanah Entisol, namun juga dapat memiliki beberapa sifat penciri lain seperti horison kambik tetapi belum memenuhi bagi ordo tanah lain (Hardjowigeno, 1993). Tanah ini merupakan tanah muda, tetapi lebih berkembang daripada Entisol, dan karena merupakan tanah belum berkembang lanjut kebanyakan tanah ini cukup subur (Hardjowigeno (2010). Namun demikian, penggunaan lahan dalam jangka waktu yang panjang dapat menurunkan tingkat kesuburan tanah, bila tidak didukung dengan pengelolaan lahan yang baik. Menurut USDA Soil Taxonomy (1975/1998) dalam Hardjowigeno (2010), tanah ini setara dengan tanah alluvial, kambisol, brown forest soil, latosol, podsolik coklat, dan gleysol. Berdasarkan peta tanah, diperoleh informasi tentang kelas tekstur tanah di hulu DAS Jeneberang. Kelas tekstur tanah dan hasil analisis tekstur tanah dapat dilihat pada Gambar 10 dan Tabel 9 dan secara lengkap disajikan pada Lampiran 2.
63
Gambar 10. Peta kelas tekstur tanah di hulu DAS Jeneberang
64
Tabel 9. Kelas tekstur tanah di hulu DAS Jeneberang
Kelas tekstur tanah Agak halus Lempung liat berdebu Halus
Luas (Ha) 7.887,4
33,0
7.887,4 15.145,8
Liat
Persen (%)
63,3
11.682,0
Liat berdebu Sedang
3.463,8 879,3
Lempung
394,2
Lempung berdebu
485,1
Jumlah
23.912,5
3,7
100,0
Sumber: Peta sebaran tekstur tanah di hulu DAS Jeneberang (diolah)
Tekstur tanah merupakan perbandingan relatif dalam persen (%) antara fraksi-fraksi pasir, debu dan liat. Tekstur tanah erat hubungannya dengan plastisitas, permeabilitas, kesuburan dan produktivitas tanah (Hakim, 1986). Tabel 9, terlihat sebagian besar kelas tekstur tanah di hulu DAS Jeneberang mempunyai kelas tekstur tanah halus yaitu sebesar 63,3%, terdiri dari tekstur tanah liat dan liat berdebu. Sedangkan kelas tekstur tanah sedang merupakan tekstur tanah dengan sebaran terkecil yaitu 3,7%. Tekstur tanah liat mempunyai sebaran luas terbesar yaitu 49% dan tersebar di sub DAS Bengo (11%), sub DAS Malino (45%) dan sub DAS Jeneberang (43,9%).
65
4. Perubahan penggunaan lahan Perubahan penggunaan lahan lahan merupakan suatu bentuk peralihan dari penggunaan lahan sebelumnya ke penggunaan lain berikutnya. Perubahan penggunaan lahan terkait erat dengan manusia yang kebutuhannya selalu berubah pada kondisi waktu yang berbeda. Peta penggunaan lahan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 11 dan Gambar 12. Hasil analisis perubahan penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang tahun 2004-2010 dapat dilihat pada Tabel 10 dan Gambar 13. Tabel 10. Penggunaan lahan di Hulu DAS Jeneberang tahun 2004-2010
2004 (Ha)
Persen (%)
2010 (Ha)
Persen (%)
Perubahan (%)
4.421,5
18,5
3.836,9
16,0
-13,22
11.667,2
48,8
13.361,6
55,9
14,52
106,4
0,4
106,4
0,4
0,00
173,8
0,7
173,8
0,7
0,00
Sawah (S)
4.568,7
19,1
4.489,3
18,8
-1,74
Semak belukar (SB)
2.422,1
10,1
1.892,4
7,9
-21,87
500,8
2,1
-
-
-100,00
52,1
0,2
52,1
0,2
0,00
23.912,5
100,0
23.912,5
100,0
Penggunaan lahan Hutan (HT) Ladang campur semak (L) Padang rumput alang-alang (PR) Perkebunan (PKB)
Tanah terbuka (TT) Tubuh air (TA) Jumlah
Sumber: Peta penggunaan lahan 2004-2010 (diolah)
66
Gambar 11. Peta penggunaan /penutupan lahan tahun 2004
67
Gambar 12. Peta penggunaan /penutupan lahan tahun 2010
68
Tabel 10 menunjukkan penggunaan lahan di lokasi penelitian tahun 2004-2010 didominasi oleh penggunaan lahan berupa ladang campur semak. Tahun 2004 penggunaan lahan berupa ladang campur semak
mempunyai luasan terbesar yaitu 11.667,2 ha atau sebesar 48,8%, dan tahun 2010 mengalami peningkatan sebesar 13.361,6 ha atau sebesar 55,9%. Penggunaan lahan terkecil di lokasi penelitian tahun 2004-2010 berupa padang rumput alang-alang mempunyai luasan terkecil yaitu 106,4 ha atau sebesar 0,4%.
60.0
Luas (%)
50.0 40.0 30.0 20.0 10.0 0.0 2004
HT 18.5
L 48.8
PR 0.4
PKB 0.7
S 19.1
SB 10.1
TT 2.1
TA 0.2
2010
16.0
55.9
0.4
0.7
18.8
7.9
0.0
0.2
Gambar 13. Persentase perubahan penggunaan lahan tahun 2004-2010 di hulu DAS Jeneberang
69
Penggunaan lahan tahun 2004-2010 di lokasi penelitian terjadi peningkatan dan penurunan luasan penggunaan lahan antara lain penggunaan lahan berupa ladang campur semak dari 48,8% meningkat menjadi 55,9%. Penurunan luasan penggunaan lahan terjadi pada penggunaan lahan berupa hutan dari 18,5% berkurang menjadi 16,0%, penggunaan lahan berupa sawah dari 19,1% berkurang menjadi 18,8%, penggunaan lahan berupa semak belukar dari 10,1% berkurang menjadi 7,9%. Penggunaan lahan berupa padang rumput alang-alang, perkebunan mempunyai luasan yang tetap, sedangkan penggunaan lahan berupa lahan terbuka seluas 2,1% pada tahun 2004 telah beralih fungsi pada tahun 2010 menjadi ladang campur semak dan semak belukar. Secara keseluruhan di hulu DAS Jeneberang terjadi perubahan penggunaan lahan periode tahun 2004-2010. Terlihat penggunaan lahan yang mengalami peningkatan adalah ladang campur semak yaitu sebesar 14,52%. Penggunaan lahan yang mengalami penurunan luasan lahan antara lain penggunaan lahan berupa hutan sebesar 13,22% yang beralih fungsi menjadi ladang campur semak yaitu sebesar 15%, sebesar ≤ 5% beralih menjadi penggunaan lahan semak belukar, padang rumput alangalang dan lahan sawah dan sekitar 80% masih berupa hutan. Penggunaan
lahan
yang
juga
terjadi
penurunan
luasan
adalah
penggunaan lahan berupa sawah sebesar 1,74% dan penggunaan lahan berupa semak belukar sebesar 21,87%, kedua penggunaan lahan ini beralih fungsi menjadi penggunaan lahan hutan dan ladang campur
70
semak. Penggunaan lahan berupa tanah terbuka sebesar 100% beralih menjadi penggunaan lahan berupa ladang campur semak dan semak belukar. Penggunaan lahan berupa padang rumput alang-alang dan lahan perkebunan luasannya tetap. Meningkatnya penggunaan lahan berupa kebun campuran dan ladang di daerah ini karena tanahnya cukup subur. Kondisi ini sangat cocok untuk usahatani masyarakat di hulu DAS Jeneberang. Hal ini dapat dilihat dari luasan penggunaan lahan berupa kebun campuran maupun perladangan di lokasi penelitian yang luasannya lebih dari 50%. Namun demikian, karena merupakan tanah muda dengan kandungan bahan organik rendah, tanah Inceptisol cepat mengalami penurunan kesuburan tanah, ditambah lagi dengan masih rendahnya penerapan konservasi dalam usahatani mendorong masyarakat untuk membuka areal hutan baru sebagai ladang-ladang baru. Penelitian yang dilakukan oleh Nuraeni dkk, (2012) di hulu DAS Jeneberang diperoleh partisipasi petani hortukultura sayuran dalam penerapan konservasi di lahan usahataninya berada pada kategori rendah yaitu sebesar 27,47%. Hal ini disebabkan karena pemahaman dan ketrampilan petani terhadap konservasi dan manfaat usahatani dalam jangka panjang yang masih rendah. Perubahan
penggunaan
lahan
yang terjadi di hulu
DAS
Jeneberang dapat mempengaruhi hidrologi daerah aliran sungai, terutama dengan berkurangnya luasan hutan. Fungsi hutan sebagai pengatur tata
71
air dan menjaga kontinuitas aliran dapat terganggu. Akibatnya terjadi erosi dan pendangkalan di badan-badan sungai. Selain itu, fungsi hutan sebagai penampung air saat musim musim hujan dan mengalirkannya saat musim kemarau juga menjadi berkurang. 5. Keadaan penduduk Jumlah penduduk di hulu DAS Jeneberang tahun 2004-2011 dapat dilihat pada Tabel 11. Tabel 11. Jumlah penduduk di hulu DAS Jeneberang tahun 2004-2011
Tahun
Jumlah penduduk (Jiwa) Laki-laki
Perempuan
Jumlah
2004
14.644
14.501
29.145
2005
14.904
14.759
29.663
2006
15.512
15.369
30.880
2008
15.161
15.806
30.966
2009
15.513
15.875
31.387
2010
15.607
16.199
31.806
2011
15.764
16.362
32.127
Sumber: BPS Kabupaten Gowa, 2004-2011 (diolah)
Tabel 11, terlihat jumlah penduduk di hulu DAS Jeneberang meningkat setiap tahunnya. Tahun 2011 jumlah penduduk di hulu DAS Jeneberang sebanyak 32.127 jiwa, penduduk laki-laki 15.764 jiwa dan penduduk perempuan 16.362 jiwa. Berdasarkan data BPS Kabupaten Gowa diperoleh laju pertumbuhan penduduk di hulu DAS Jeneberang selama periode tahun 2004-2011 adalah sebesar 1,40% per tahun dengan
72
kepadatan penduduk 134,4 jiwa/km2. Meningkatnya jumlah penduduk akan berdampak kepada perubahan penggunaan lahan di wilayah ini. B. Analisis Hidrologi
Data curah hujan yang digunakan dalam menganalisis besarnya curah hujan rancangan di lokasi penelitian hulu DAS Jeneberang adalah data curah hujan harian maksimum selama 20 tahun yaitu periode tahun 1991-2010. Penentuan luas pengaruh stasiun hujan pada hulu DAS Jeneberang dianalisis menggunakan metode Thiessen. Peta sebaran stasiun hujan dan luas poligon thiessen dapat dilihat pada Gambar 14. Hasil analisis pengaruh stasiun hujan dapat dilihat pada Tabel 12. Tabel 12. Luas pengaruh stasiun hujan pada hulu DAS Jeneberang
Luas (Ha)
Persentase dari luas
Koef Thiessen
10.358,1
43,3
0,433
560,9
2,4
0,023
Malino-1
5.031,97
21,0
0,210
Malino-2
7.961,5
33,3
0,333
Jumlah
23.912,5
100,0
Stasiun Tanralili Paladingan
Sumber: Peta sebaran stasiun hujan (diolah)
73
Berdasarkan perhitungan luas poligon Theissen untuk keempat stasiun curah hujan diperoleh stasiun hujan Tanralili mempunyai sebaran curah hujan yaitu sebesar 43,3%, stasiun hujan Paladingan sebesar 2,4%, stasiun hujan Malino-1 sebesar 21,0% dan stasiun hujan Malino-2 sebesar 33,3%. 1. Curah hujan harian maksimum Penentuan curah hujan harian maksimum didasarkan pada curah hujan terbesar dalam satu hari tiap-tiap stasiun hujan selama satu bulan untuk tiap-tiap tahun. Analisis curah hujan harian maksimum dilakukan dengan menggunakan metode Thiessen. Metode ini memperhitungkan luas daerah yang diwakili oleh stasiun yang bersangkutan untuk digunakan sebagai koefisien dalam menghitung hujan maksimum harian rata-rata daerah, atau biasa disebut koefisien Thiessen.
Hasil analisis
curah hujan harian maksimum dapat dilihat pada Lampiran 3 dan Tabel 13.
74
Gambar 14. Peta curah hujan wilayah metode poligon Thiessen
75
Tabel 13. Curah hujan harian maksimum di hulu DAS Jeneberang dengan metode Thiessen
Tahun 1991
0,433 Tanralili (mm) 170
Koef.Thiessen 0,023 0,210 Paladingan Malino-1 (mm) (mm) 244 125
0,333 Malino-2 (mm) 160
Curah hujan Maks (mm) 158,94
1992
105
135
80
99
98,45
1993
143
247
209
246
193,62
1994
88
83
98
71
84,33
1995
131
255
177
177
158,90
1996
136
86
123
108
122,77
1997
135
107
187
160
153,61
1998
101
99
101
91
97,62
1999
132
92
185
212
168,85
2000
227
197
118
194
192,37
2001
122
270
120
126
126,38
2002
129
148
125
108
121,61
2003
107
121
163
156
135,43
2004
121
139
729
113
246,70
2005
89
209
82
80
87,35
2006
110
82
220
202
163,12
2007
160
150
135
143
148,84
2008
53
149
75
95
73,87
2009
88
128
93
76
86,00
2010
57
90
96
93
Jumlah
77,97 2.696,72
Rataan
134,84
Sumber: BMG Maros dan PU SDA Pompengan-Jeneberang (data diolah)
76
Tabel 13, terlihat bahwa besarnya rata-rata curah hujan harian maksimum menurut metode poligon Theissen adalah sebesar 134,84 mm/tahun. Curah hujan tertinggi diperoleh pada tahun 2004 yaitu sebesar 246,70 mm dan curah hujan terendah pada tahun 2008 yaitu sebesar 73,87 mm. Hasil analisis curah hujan harian maksimum selama 20 tahun digunakan untuk menghitung curah hujan rancangan di hulu DAS Jeneberang. 2. Curah hujan rancangan Curah hujan rancangan adalah curah hujan terbesar yang mungkin terjadi di suatu daerah dengan peluang tertentu. Peramalan data curah hujan pada berbagai periode ulang tertentu menggunakan analisis statistik yaitu analisis frekuensi. Nilai masing-masing parameter statistik diperoleh rata-rata curah hujan sebesar 134,84 mm, standar deviasi sebesar 45,99, koefisien variasi (Cv) sebesar 0,34, koefisien skewness (Cs) sebesar 0,62 dan koefisien kurtosis (Ck) sebesar 0,14. Berdasarkan hasil uji analisis statistik maka jenis distribusi hujan yang sesuai dengan curah hujan harian maksimum di hulu DAS Jeneberang adalah distribusi Log Pearson type III. Kecocokan fungsi peluang dengan sebaran data diuji menggunakan Chi-square. Hasil perhitungan Chi-square = 8,208. Hasil ini lebih kecil bila dibandingkan dengan harga Chi-square tabel dimana dengan dk=4 dan kesalahan yang ditetapkan 5% diperoleh Chi-square tabel = 9,488. Hasil
77
ini menunjukkan bahwa pola distribusi yang digunakan sudah tepat yaitu distribusi Log Pearson type III. Analisis distribusi Log Pearson type III dilakukan dengan mengubah data curah hujan harian maksimum (Tabel 13) ke dalam bentuk logaritmik sehingga diperoleh nilai masing-masing parameter statistik sebagai berikut: rata-rata curah hujan sebesar 2,11 mm, standar deviasi sebesar 0,15, koefisien variasi (Cv) sebesar 0,07, koefisien skewness (Cs) sebesar -0,01 dan koefisien kurtosis (Ck) sebesar -0,94. Hasil analisis curah hujan harian maksimum menggunakan distribusi Log Pearson type III untuk periode ulang 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun disajikan pada Lampiran 4 dan Tabel 14. Tabel 14. Curah hujan rancangan pada berbagai periode ulang (Tr) tahun
Periode ulang Tr (Tahun)
Curah hujan rancangan (mm)
5
170,26
10
197,95
25
232,45
50
257,87
100
283,05
Sumber: data diolah
Besarnya periode ulang menunjukkan interval tahun rata-rata berlangsungnya kejadian hujan ekstrim dalam kurun waktu (tahun) yang sangat panjang, dan diartikan juga sebagai waktu dimana hujan dengan satuan besaran tertentu rata-rata akan dilampaui sekali dalam jangka
78
waktu tersebut dan kemungkinan terjadinya hujan rancangan tersebut adalah 1/Tr (Asdak, 2010 dan Harto, 1993). Tabel 14, terlihat curah hujan rancangan periode ulang (Tr) 5, 10, 25, 50 dan 100 adalah berturut-turut sebesar 170,26 mm, 197,95 mm, 232,45 mm, 257,87 mm dan 283,05 mm. Menurut teori probabilitas, bahwa dalam kurun waktu 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun akan terjadi satu kali curah hujan yang lebih besar atau berturut-turut sama dengan 170,26 mm, 197,95 mm, 232,45 mm, 257,87 mm dan 283,05 mm dan peluang ini berturut-turut kemungkinan 20%, 10%, 4%, 2% dan 1% akan terjadi dalam setiap tahun. C. Parameter Masukan HEC HMS
1.
Bilangan kurva (BK) aliran permukaan Bilangan kurva merupakan pengaruh bersama penggunaan lahan,
kondisi hidrologi dan kandungan air tanah sebelumnya.
Nilai bilangan
kurva pada penelitian ini diperoleh berdasarkan data Hyrological Soil Group (HSG), penggunaan dan pengolahan lahan. Kelompok hidrologi tanah di lokasi penelitian diperoleh dari hasil analisis tanah yaitu tekstur tanah dan jenis tanah. Hasil pengelompokkan HSG di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 15 dan sebaran HSG dapat dilihat pada Gambar 15.
79
Gambar 15. Peta sebaran kelompok hidrologi tanah
80
Tabel 15. Kelompok hidrologi tanah di hulu DAS Jeneberang
Kelompok hidrologi tanah
Luas (Ha)
Persen (%)
C
8.766,7
36,7
D
15.145,8
63,3
Jumlah
23.912,5
100,0
Sumber: Peta kelompok hidrologi tanah (data diolah)
Kelompok hidrologi tanah pada Tabel 15 diuraikan sebagai berikut: a.
Tanah dystrandepts, dystropepts dan tropaquepts yang mempunyai tekstur sedang (lempung dan lempung berdebu) hingga agak halus (lempung liat berdebu) dimasukkan kedalam kelompok hidrologi tanah C.
b.
Tanah dystrandepts, dystropepts dan tropaquepts yang mempunyai tekstur halus (liat berdebu dan liat) dimasukkan kedalam kelompok hidrologi tanah D.
Kondisi kandungan air tanah (KAT) sebelumnya ditentukan berdasarkan jumlah curah hujan pada lima hari sebelumnya dan dianggap berlangsung pada musim tumbuh. Berdasarkan data curah hujan lima hari sebelumnya diperoleh besaran curah hujan yaitu 47 mm. Hal ini menunjukkan saat dilakukan kalibrasi model, kondisi kandungan air tanah sebelumnya berada pada kondisi II yaitu kondisi rata-rata. Nilai-nilai bilangan kurva (BK) di lokasi penelitian cukup bervariasi karena beragamnya penggunaan lahan dan jenis tanah. Besarnya nilai
81
bilangan kurva masing-masing penggunaan lahan berada pada kondisi kandungan air tanah sebelumnya II yaitu kondisi rata-rata dan perlakuan budidaya dan lahan disetarakan berada pada kondisi terendah (buruk). Besarnya nilai BK aliran permukaan di lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 16. Tabel 16. Nilai BK pada berbagai jenis penggunaan lahan
Penggunaan lahan
Kelompok hidrologi tanah*) C
D
Hutan
77
83
Ladang campur semak
88
91
Padang rumput alang-alang
86
89
Perkebunan
82
86
Sawah
82
85
Semak belukar
77
83
Tanah terbuka
91
94
Tubuh air
100
100
*) Sumber: SCS, 1975 dalam Schiariti (2008) dan Baja (2012)
Tabel 16, merupakan BK-SCS dimana faktor kelerangan belum diperhitungkan. Memasukkan faktor lereng pada sebagian besar lahan dengan kemiringan lebih dari 5% maka diperoleh BK aliran permukaan menjadi lebih besar yaitu rata-rata meningkat menjadi 1,04%. Sub DAS Bengo meningkat 1,04%, sub DAS Jeneberang meningkat 1,05% dan sub DAS Malino meningkat 1,03%. Hasil perhitungan BK aliran permukaan rata-rata tahun 2004-2010 dengan memasukkan faktor lereng di lokasi penelitian disajikan pada Gambar 16 dan Tabel 17.
82
Gambar 16. Peta bilangan kurva
83
Tabel 17. Nilai BK dan abstraksi awal rata-rata di hulu DAS Jeneberang
Sub DAS
BK
Abstraksi awal
BK
2004
Abstraksi awal 2010
Bengo
87,6
7,191
87,7
7,125
Jeneberang
85,8
8,407
86,6
7,876
Malino
88,3
6,731
88,4
6,665
Sumber: data diolah
BK aliran permukaan untuk tiap-tiap sub DAS di hulu DAS Jeneberang selama tahun 2004-2010 terjadi peningkatan BK aliran permukaan pada sub DAS Bengo, sub DAS Jeneberang dan sub DAS Malino, walaupun tidak begitu besar. Sub DAS Malino mempunyai nilai BK tertinggi yaitu 88,4. Hal ini menunjukkan bahwa sub DAS Malino menghasilkan aliran permukaan tertinggi. 2.
Time lag
DAS di lokasi penelitian terdiri atas 3 sub DAS, yaitu sub DAS Malino, sub DAS Jeneberang dan sub DAS Bengo. Morfometri DAS pada penelitian ini digunakan untuk perhitungan waktu tenggang. Time lag adalah waktu tenggang antara terjadinya hujan lebih sampai terjadinya aliran puncak. Morfometri DAS dan time lag dari masing-masing sub DAS di lokasi penelitian disajikan pada Tabel 18 dan Tabel 19.
84
Tabel 18. Panjang sungai dan panjang aliran tiap sub DAS
Nama sub DAS Bengo Jeneberang Malino
Luas (km2)
Panjang sungai utama (km)
Panjang aliran (km)
Panjang aliran (ft)
22,1
4,30
5,15
16.893,7
129,4
25,21
5,13
16.837,2
87,6
21,49
4,08
13.374,7
Sumber: data diolah
Tabel 19. Time lag tiap sub DAS
Nama sub DAS Bengo
Kemiringan (Y) (%)
Retensi maksimum (S) (Inchi) 2004 2010
Time Lag (jam) 2004 2010
2
1,4
1,4
1,51
1,50
Jeneberang
31
1,7
1,6
0,45
0,44
Malino
25
1,3
1,3
0,38
0,38
Sumber: data diolah
Nilai time lag di lokasi penelitian diperoleh nilai tertinggi pada sub DAS Bengo yaitu 1,50 – 1,51 jam, yang berarti sub DAS Bengo memiliki waktu puncak aliran permukaan paling lama dibanding sub DAS Malino dan Jeneberang. Time lag terendah terdapat pada sub DAS Malino yaitu 0,38 jam. Waktu tenggang yang berbeda-beda menyebabkan aliran permukaan di outlet Jonggoa tidak terkonsentrasi pada waktu yang sama. Hal ini menyebabkan debit puncak menjadi lebih rendah bila dibandingkan dengan DAS yang time lag-nya lebih cepat dan seragam.
85
3.
Kalibrasi dan validasi model HEC-HMS Pemodelan HEC-HMS memerlukan input berupa data hujan
sebagai masukan komponen time series data-precipitation gages dan debit pengukuran digunakan sebagai masukan komponen time series data-discharge gages. Hasil kalibrasi debit pengukuran dan debit model dengan menggunakan HEC-HMS dilakukan menggunakan data hujan dari 4 pos hujan dan debit air di Jonggoa tahun 2004 dan 2010 untuk periode harian (Lampiran 5 s/d 8). Kalibrasi model dilakukan untuk masukan data tahun 2004 dan di validasi menggunakan masukan data tahun 2010, masing-masing menggunakan input data curah hujan dan debit air berpasangan untuk bulan Januari s/d Oktober. Hasil pemodelan yang tidak mendekati kondisi lapangan dilakukan kalibrasi model. Hasil kalibrasi model debit puncak tahun 2004 diperoleh nilai koefisien Nash-Sutcliffe tahun 2004 sebesar 0,538 untuk penggunaan lahan tahun 2004 dengan input curah hujan dan debit tahun 2004. Hasil validasi model debit puncak tahun 2010 diperoleh nilai koefisien NashSutcliffe tahun 2010 sebesar 0,721 untuk penggunaan lahan tahun 2010 dengan input curah hujan dan debit tahun 2010. Sebuah model yang valid akan menghasilkan nilai koefisien Nash mendekati 1. Berdasarkan hasil kalibrasi dan validasi antara prediksi debit model dan debit pengukuran yang digunakan maka dapat disimpulkan bahwa model HEC-HMS cukup valid dan dapat digunakan untuk proses simulasi
86
memprediksi
debit
puncak
aliran
permukaan
akibat
perubahan
penggunaan lahan di hulu DAS Jeneberang.
D.
1.
Simulasi Model HEC-HMS
Debit puncak rancangan Simulasi model dilakukan terhadap data curah hujan rancangan
pada periode ulang (Tr) tahun untuk memperoleh debit puncak rancangan. Debit puncak rancangan diperoleh dengan memasukkan data curah hujan rancangan berdasarkan data hujan harian selama 20 tahun yang peroleh dari hasil perhitungan. Hasil simulasi model hidrologi HEC-HMS diperoleh debit puncak rancangan seperti pada Tabel 20.
Tabel 20. Curah hujan dan debit rancangan pada berbagai periode ulang (Tr) tahun
Periode ulang (Tr) tahun
Debit puncak (m3/det)
Curah hujan rancangan (mm) 2004
2010
5
170,26
453,3
454,6
10
197,95
541,5
542,7
25
232,45
656,9
657,9
50
257,87
746,2
747,1
100
283,05
838,4
839,2
Sumber: data diolah
87
Berdasarkan Tabel 20 terlihat adanya peningkatan nilai debit puncak rancangan pada berbagai periode ulang. Debit puncak pada berbagai periode ulang pada penggunaan lahan tahun 2004 meningkat sebesar 0,1-0,3% pada penggunaan lahan tahun 2010. Kondisi ini sesuai dengan kecenderungan bilangan kurva dimana terjadi kenaikan nilai bilangan kurva pada penggunaan lahan tahun 2004-2010 namun kenaikan nilai bilangan kurva tersebut tidak begitu signifikan, hal ini menghasilkan nilai debit puncak rancangan pada berbagai periode ulang yang tidak begitu berbeda antara penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010. Hasil
simulasi
model
hidrologi
HEC-HMS
diperoleh
debit
rancangan di hulu DAS Jeneberang tahun 2010 untuk berbagai periode ulang 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun adalah sebesar Q 5th = 454,6 m3/det, Q10th 542,7 m3/det, Q25th 657,9 m3/det, Q50th 747,1 m3/det, dan Q100th 839,2 m3/det. Menurut teori probabilitas, bahwa dalam kurun waktu 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun akan terjadi satu kali debit yang lebih besar atau sama dengan Q5th = 454,6 m3/det, Q10th 542,7 m3/det, Q25th 657,9 m3/det, Q50th 747,1 m3/det, dan Q100th 839,2 m3/det dan peluang ini kemungkinan 20%, 10%, 4%, 2% dan 1% yang akan terjadi dalam setiap tahun. Debit puncak untuk kala ulang 100 th sebesar 839,2 m 3/dt adalah identik dengan setiap tahun akan terdapat 1% kemungkinan terjadi debit puncak yang sama atau lebih besar dari 839,2 m3/dt.
88
2.
Pengaruh perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak aliran permukaan Perubahan penggunaan lahan terhadap debit puncak aliran
permukaan
menggunakan
model
HEC-HMS
dilakukan
dengan
menggunakan nilai-nilai masukan berdasarkan penggunaan lahan tahun 2004 dan tahun 2010 untuk kejadian hujan yang sama yaitu kejadian hujan selama tahun 2004 dan tahun 2010.
Debit puncak hasil model
HEC-HMS di hulu DAS Jeneberang dapat dilihat pada Gambar 16.
250
Debit puncak (m3/dt)
200
150
100
50
0 jan 2004 193.
feb 225.
mar 152.
april 122.
mei 152.
juni 55.5
juli 7.4
agst 0
sept 0
okt 2
2010 212.
121.
73.5
160.
81.9
163
106.
162.
73.7
64.9
Gambar 16. Debit puncak aliran permukaan tahun 2004-2010 di hulu DAS Jeneberang Prediksi debit puncak menggunakan model HEC-HMS untuk penggunaan lahan tahun 2004 diperoleh rataan debit puncak aliran permukaan sebesar 91,15 m3/det, sedangkan rataan debit puncak aliran
89
permukaan tahun 2010 sebesar 121,97 m 3/det lebih tinggi dibandingkan debit tahun 2004, dimana terjadi kenaikan sebesar 33,8%. Kenaikan debit puncak pada tahun 2010 akibat dari adanya perubahan penggunaan lahan yang terjadi di hulu DAS Jeneberang yang dipicu dengan pertumbuhan penduduk yang terus bertambah, diprediksi di masa depan keadaan ini akan memberikan sumbangan kepada peningkatan debit aliran permukaan di daerah ini. Namun demikian, bila dilihat dari kenaikan nilai bilangan kurva antara tahun 2004-2010 yang sangat kecil, maka faktor perubahan penggunaan lahan bukan satu-satunya faktor yang menyebabkan kenaikan debit puncak. Faktor curah hujan dan kemiringan lereng juga berperan dalam peningkatan debit puncak. Semakin besar curah hujan semakin besar debit puncak yang akan terjadi. Semakin curam
lereng
memperbesar
kecepatan
aliran
permukaan
dan
memperbesar jumlah aliran permukaan (Asdak, 2010).
3.
Skenario perubahan penggunaan lahan berdasarkan kriteria kawasan hutan lindung Penggunaan lahan tahun 2010 menjadi dasar dalam menyusun
skenario perubahan penggunaan lahan (PL). Skenario perubahan penggunaan lahan sebagai kawasan hutan lindung mengacu kepada kriteria kawasan hutan lindung yang terdapat dalam Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2004 tentang perencanaan kehutanan. Salah satu kriteria yang digunakan yaitu kawasan hutan yang
90
mempunyai lereng lapangan 40% atau lebih termasuk dalam kawasan hutan lindung. Bedasarkan hasil analisis kemiringan lahan di hulu DAS Jeneberang diperoleh kawasan hutan lindung pada kemiringan diatas 45% adalah seluas 3.975,91 ha atau 16,6% dari luas hulu DAS Jeneberang. Penggunaan lahan yang terjadi pada wilayah dengan kemiringan tersebut tersisa 23,2% yang masih berupa hutan, sedangkan sisanya telah beralih fungsi menjadi ladang campur semak sebesar 52,5%, padang rumput-alang-alang sebesar 1,0%, sawah sebesar 4,0% dan semak belukar sebesar 19,0% dari luas wilayah dengan kemiringan diatas 45%. Upaya yang dilakukan adalah dengan menanam tanaman tahunan atau reboisasi pada kawasan lindung tersebut. Perubahan penggunaan lahan melalui upaya reboisasi pada kawasan dengan kemiringan diatas 45% dapat dilihat pada Tabel 21. Berdasarkan penggunaan lahan tahun 2010 terlihat luas kawasan hutan pada tahun 2010 yaitu sebesar 16,0%. Luas kawasan hutan yang hanya 16,0% di hulu DAS Jeneberang ini sangat jauh dari syarat minimal luas kawasan hutan dalam suatu DAS. Berdasarkan Undang-Undang No 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang dalam Pasal 17 ayat 5, dijelaskan bahwa wilayah ditetapkan sebagai kawasan hutan paling sedikit 30% dari luas daerah aliran sungai, artinya minimal terdapat 7.173,7 ha penggunaan lahan berupa kawasan hutan di hulu DAS Jeneberang.
91
Tabel 21. Skenario perubahan penggunaan lahan hulu DAS Jeneberang
Penggunaan lahan
Luas penggunaan lahan 2010
Persentase (%)
Luas penggunaan lahan skenario
Persentase (%)
3.836,9
16,0
6.888,7
28,8
13.361,6
55,9
11.265,1
47,1
106,4
0,4
66,2
0,3
173,8
0,7
173,8
0,7
Sawah
4.489,3
18,8
4.331,4
18,1
Semak Belukar
1.892,4
7,9
1.135,1
4,7
52,1
0,2
52,2
0,2
23.912,5
100,0
23.912,5
100,0
Hutan Ladang campur semak Padang Rumput Alang-Alang Perkebunan
Tubuh Air Jumlah
Tabel 21 terlihat skenario perubahan penggunaan lahan dengan mengembalikan fungsi kawasan yang berlereng di atas 45% sebagai kawasan hutan lindung maka terjadi penambahan luasan hutan sebesar 6.888,7 Ha atau sebesar 28,8% dari total luas hulu DAS Jeneberang. Berdasarkan keadaan tersebut diperoleh nilai bilangan kurva skenario dan debit puncak skenario perubahan penggunaan lahan. Nilai bilangan kurva penggunaan lahan 2010 dan skenario penggunaan lahan disajikan pada Tabel 22.
92
Tabel 22. Nilai bilangan kurva penggunaan lahan tahun 2010 dan skenario perubahan penggunaan lahan
Sub DAS
BK PL-2010
BK Skenario
Bengo
87,7
86,5
Jeneberang
86,6
82,7
Malino
88,4
85,5
Sumber: data diolah Tabel 22 terlihat nilai bilangan kurva hasil skenario perubahan penggunaan lahan pada setiap sub DAS di lokasi penelitian menjadi lebih kecil dibandingkan nilai bilangan kurva pada penggunaan lahan 2010. Berdasarkan nilai bilangan kurva tersebut, dilakukan simulasi model menggunakan HEC-HMS. Hasil simulasi diperoleh nilai debit puncak dengan
menggunakan
masukan
nilai
hasil
skenario
perubahan 3
penggunaan lahan diperoleh rata-rata debit puncak sebesar 119,65 m /dt. Nilai debit puncak skenario lebih rendah bila dibandingkan dengan ratarata debit puncak pada penggunaan lahan 2010 yaitu sebesar 121,97 3
m /dt. Vegetasi hutan mampu menjaga kontinuitas aliran melalui pengaturan tata air, menampungnya pada saat musim hujan dan mengalirkannya pada saat musim kemarau. Menurut Asdak (2010) vegetasi dapat memperlambat jalannya air larian dan memperbesar jumlah air yang tertahan di atas permukaan tanah, dengan demikian dapat menurunkan laju air larian dan mengurangi debit puncak aliran permukaan.
93
Berdasarkan nilai bilangan kurva hasil skenario perubahan penggunaan lahan tahun 2010 dengan menggunakan curah hujan rancangan pada periode ulang 10 tahun yaitu 197,95 mm diperoleh nilai debit puncak rancangan adalah sebesar 533,9 m 3/dt. Nilai debit puncak ini lebih rendah bila dibandingkan dengan nilai debit puncak rancangan periode ulang 10 tahun pada penggunaan lahan tahun 2010 yaitu sebesar 542,7 m3/dt dimana terjadi penurunan nilai debit puncak sebesar 1,6% dan nilai debit puncak rancangan ini cenderung menurun pada berbagai periode ulang.
250
Debit Puncak (m3/dt)
200
150
100
50
0 Jan 212.
Feb 121.
Mrt 73.5
Apr 160.
Mei 81.9
Juni 163
Juli 106.
Agst 162.
Sept 73.7
Okt 64.9
PL-skenario 209.
120.
72.2
157.
80.6
158.
105.
158.
71.7
63.8
PL-2010
Gambar 17. Debit puncak aliran permukaan penggunaan lahan tahun 2010 dan penggunaan lahan skenario
94
Lokasi penelitian yang mempunyai kondisi lereng curam sampai sangat curam sebesar 71% diduga menjadi penyebab kenaikan debit puncak aliran permukaan DAS. Selain itu, faktor curah hujan yang tinggi memberikan
kontribusi
terhadap
peningkatan
debit
puncak aliran
permukaan. Penutupan lahan yang sebagian besar merupakan ladang campur semak dengan kerapatan vegetasi yang rendah menjadi penyebab kenaikan debit puncak. Hulu DAS Jeneberang mempunyai tekstur tanah halus tertinggi yaitu sebesar 63,3% terdiri dari tekstur tanah liat dan liat berdebu. Tanah dengan kandungan liat yang tinggi dapat tersuspensi oleh tumbukan butirbutir hujan yang jatuh menimpanya. Hal ini mengakibatkan pori-pori lapisan permukaan akan menjadi tersumbat. Hal ini akan mengakibatkan terjadinya aliran permukaan dan erosi yang tinggi (Arsyad, 2010). Upaya memperbaiki tutupan lahan dapat dilakukan dengan memperbesar presentase luasan lahan hutan sebagai kawasan hutan lindung serta melakukan konservasi lahan dapat meningkatkan daerah resapan air pada daerah dengan kemiringan di atas 45%. Hutan lindung dengan fungsi perlindungan sebagai penyangga terhadap aliran air dari daerah hulu ke daerah hilir dapat terus terjaga. Fungsi ini dapat mengurangi debit puncak pada setiap kejadian hujan. Alternatif lain dapat dilakukan untuk mengatasi dampak dari perubahan penggunaan lahan pada daerah hulu DAS yang telah menjadi lahan usahatani adalah dengan menerapkan sistem agroforestry.
95
Menurut Noordwijk et al., (2004) tutupan lahan dalam segala bentuk dapat mempengaruhi aliran air. Tajuk pohon yang rapat baik itu pada vegetasi hutan alami maupun pertanaman pada sistem agroforestry mampu mengintersepsi dan menyimpan air hujan pada permukaan daun dan batang sebelum jatuh ke tanah dan akan mengalami evaporasi. Selain itu, serasah-serasah pada lapisan permukaan tanah membantu mengurangi pukulan air hujan secara langsung pada tanah yang dapat menghancurkan agregat tanah. Penerapan sistem agroforestry pada hulu DAS tidak hanya bermanfaat secara ekologi kepada perbaikan kondisi lahan, namun juga perlunya memperhatikan tanaman-tanaman yang bernilai ekonomis yang dapat meningkatkan pendapatan penduduk di sekitar hulu DAS.
96
BAB V
PENUTUP A. Kesimpulan
Penelitian kajian debit puncak akibat pengaruh perubahan penggunaan diperoleh hasil sebagai berikut: 1.
Penggunaan model HEC-HMS cukup valid digunakan untuk memprakirakan debit puncak di hulu DAS Jeneberang. Hasil kalibrasi dan validasi model diperoleh nilai koefisien NashSutcliffe untuk nilai debit puncak tahun 2004 sebesar 0,538 dan tahun 2010 sebesar 0,721.
2.
Perubahan penggunaan lahan periode tahun 2004-2010 didominasi oleh penutupan lahan berupa ladang campur semak yang meningkat sebesar 14,52%. Kondisi ini diduga adanya pembukaan lahan-lahan bukaan baru akibat dari pertumbuhan penduduk yang terus meningkat.
3.
Perubahan penggunaan lahan periode tahun 2004-2010 terjadi penurunan luasan hutan yang berkurang sekitar 13,22%. Hal ini terjadi karena penutupan lahan berupa hutan telah beralih fungsi menjadi ladang campur semak, semak belukar, padang rumput alang-alang dan lahan sawah.
97
4.
Simulasi model hidrologi HEC-HMS diperoleh debit rancangan di hulu DAS Jeneberang menggunakan input hujan 20 tahun untuk berbagai periode ulang 5, 10, 25, 50 dan 100 tahun adalah sebesar Q5th = 454,6 m3/det, Q10th 542,7 m3/det, Q25th 657,9 m3/det, Q50th 747,1 m3/det, dan Q100th 839,2 m3/det.
5.
Skenario perubahan penggunaan lahan dilakukan pada kawasan dengan kemiringan diatas 45% sebagai kawasan hutan lindung diperoleh penambahan luasan hutan seluas 6.888,7 ha atau sebesar 28,8% dari total luas hulu DAS Jeneberang. menggunakan
Hasil
simulasi
masukan
nilai
nilai
debit
hasil
puncak
skenario
dengan
perubahan
penggunaan lahan diperoleh rata-rata debit puncak sebesar 119,65 m3/dt. Nilai debit puncak skenario lebih rendah bila dibandingkan dengan rata-rata debit puncak pada penggunaan lahan 2010 yaitu sebesar 121,97 m3/dt.
B. Saran
Pengelolaan DAS melalui pendekatan pemodelan hidrologi perlu dilakukan karena DAS merupakan suatu ekosistem yang kompleks. Upaya memprediksi fenomena yang terjadi di alam diperlukan suatu input data yang lebih terperinci dan detail. Sehingga hasil pemodelan nantinya dapat menjadi dasar bagi pengelolaan daerah aliran sungai yang lebih baik.
98
DAFTAR PUSTAKA Arsyad, S. 2010. Konservasi Tanah dan Air. Bogor. Penerbit IPB Press. Arsyad, U. 2010. Analisis Erosi pada Berbagai Tipe Penggunaan Lahan dan Kemiringan Lereng di Daerah Aliran Sungai Jeneberang Hulu. Disertasi. Tidak diterbitkan. Program Pascasarjana Universitas Hasanuddin, Makassar. Asdak, C. 2010. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gowa. 2012. Gowa dalam Angka, Gowa in Figures 2012. BPS Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan. …………………………………………….. 2011. Gowa dalam Angka, Gowa in Figures 2011. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan. …………………………………………….. 2010. Gowa dalam Angka, Gowa in Figures 2010. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan. …………………………………………….. 2009. Gowa dalam Angka, Gowa in Figures 2009. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan. ……………………………………………. 2008. Gowa dalam Angka, Gowa in Figures 2008. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan. ……………………………………………. 2007. Gowa dalam Angka, Gowa in Figures 2007. Badan Pusat Statistik Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan. …………………………………………….2005. Kabupaten Gowa dalam Angka 2004/2005. Kerjasama BPS dan BAPPEDA Kabupaten Gowa Provinsi Sulawesi Selatan. Baja, S. 2012. Perencanaan Tata Guna Lahan dalam Pengembangan Wilayah. Pendekatan Spasial & Aplikasinya. Penerbit Andi Yogyakarta.
99
Demers, M.N. 1997. Fundamentals of Geographic Information Systems. John Willey & Sons, Inc. New York. Departemen Kehutanan. 2001. Surat Keputusan Menteri Kehutanan No.52/Kpts-II/2001 tentang Pedoman Penyelenggaraan Pengelolaan DAS. Dharma, G.B.S., Mawiti, I.Y., dan Gede, I.P. 2007. Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan terhadap Debit Banjir. Berkala Ilimiah Teknik Keairan. Vol. 13, No.3. Ebrahimian, M., Ahmad, A.B., Nuruddin, Mohd, A.B., Mohd, S., Alias, M.S., and Liew, J.N. 2012. Runoff Estimation in Steep Slope Watershed with Standard and Slope-Adjusted Curve Number Methods. Original Research. Pol. J. Environ. Stud. Vol 21. No 5. 1191-1201 Emilda, A. 2010. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Respon Hidrologi DAS Cisadane Hulu. Tesis Tidak Diterbitkan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. García, A., Sainz, J.A., Revilla, J.A., Álvarez, C., Juanes, J.A., Puente, A. 2008. Surface Water Resources Assessment in Scarcely Gauged Basins in the North of Spain. Journal Hydrology No 3-4, 356: 312326. Hakim, N., Nyakpa, M.Y., Lubis, A. M., Nugroho, S. G., Diha, M. A., Hong, G. B., Bailey, H. H. 1986. Dasar-dasar Ilmu Tanah. Penerbit Universitas Lampung, Lampung. Hardjowigeno, S. 2010. Ilmu Tanah. Penerbit Akademika Pressindo, Jakarta. ……………………...1993. Klasifikasi Tanah dan Pedogenesis. Edisi ke-1 Cetakan ke-1. Penerbit Akademika Pressindo, Jakarta. Hartanto, N. 2009. Kajian Respon Hidrologi Akibat Perubahan Penggunaan Lahan pada DAS Separi Menggunakan Model HECHMS. Tesis Tidak Diterbitkan. Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Harto, S. 1993. Analisis Hidrologi. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama.
100
Ibbitt, R., Takara, K., Mohd. Desa, M.N., and Pawitan, H. 2002. Catalogue of Rivers for South East Asia and the Pacific Volume IV. The UNESCO-IHP Regional Steering Committee for Southeast Asia and the Pacific. (Online). http://flood.dpri.kyotou.ac.jp/ihp_rsc/riverCatalogue/Vol_04/02_Indonesia-10.pdf, diakses 12 Juli 2013. Indarto, 2012. Hidrologi. Dasar Teori dan Contoh Aplikasi Model Hidrologi. Penerbit Bumi Aksara. Jakarta. Irwanto, 2012. Dampak Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Koefisien Aliran Permukaan pada Wilayah Hulu DAS Jeneberang Kabupaten Gowa. Skripsi. Tidak diterbitkan. Jurusan Ilmu Tanah Fakultas Pertanian Universitas Hasanuddin, Makassar Jayadi, R. 2000. Hidrologi 1 Pengenalan Hidrologi Teknik SIpil. UGMPress. Yogyakarta. Karim, A.M., Nuraeni, T., Firna, S.T., Kartina, M.A., Wakid, H., dan Eka, H.M. 2011. SLHE Status Lingkungan Hidup Ekoregion Sulawesi. Pusat Pengelolaan Ekoregion Sulawesi, Maluku dan Papua. Kementerian Lingkungan Hidup. Knebl, M.R., Yang, Z.L., Hutchison, K., Maidment, D.R. 2005. Regional Scale Flood Modeling Using NEXRAD Rainfall, GIS, and HECHMS/RAS: a Case Study for the San Antonio River Basin Summer 2002 Storm Event. Journal of Environmental Management 75:325–336. Kusdaryanto, S. 2011. Kajian Pengaruh Situ terhadap Respons Hidrologi pada DAS Pesanggrahan Menggunakan Model HEC-HMS. Tesis Tidak Diterbitkan. Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Linsley, R.K., Kohler, M.A., Franzini, J.B. and Paulhus, H. 1975. Hydrology for Engineers. McGraw-Hill, New York. Lipu,S. 2010. Analisis Pengaruh Konversi Hutan terhadap Larian Permukaan dan Debit Sungai Bulili, Kabupaten Sigi. Media Litbang Sulteng III No. (1): 44-50, Mei 2010. ISSN : 1979 -5971. Lopulisa, C. 2004. Tanah-tanah Utama Dunia. Ciri, Genesa dan Klasifikasinya. Lembaga Penerbitan Universitas Hasanuddin, Makasaar.
101
Mawardi, I. 2010. Kerusakan Daerah Aliran Sungai dan Penurunan Daya Dukung Sumberdaya Air di Pulau Jawa serta Upaya Penanganannya. Jurnal Hidrosfir Indonesia. Vol. 5, No.2, hal 1-11. Jakarta. Murtiono, U.H. 2008. Kajian Model Estimasi Volume Limpasan Permukaan, Debit Puncak Aliran, dan Erosi Tanah dengan Model Soil Conservation Service (SCS), Rasional dan Modified Universal Soil Loss Equation (MUSLE) (Studi Kasus di DAS Keduang, Wonogiri). Forum Geografi, Vol 22, No 2, Hal 169-185. Nash, J. E. and Sutcliffe, J. V. 1970. River flow forecasting through conceptual models part I -A discussion of principles, Journal of Hydrology, 10 (3), 282-290. (Online) http://en.wikipedia.org/wiki/Nash%E2%80%93Sutcliffe_model_effi ciency_coefficient. Noordwijk, M.V., F. Agus, D. Suprayogo, K. Hairiah, G. Pasya, B. Verbist dan Farida. 2004. Peranan Agroforestri Dalam Mempertahankan Fungsi Hidrologi Daerah Aliran Sungai (DAS). Jurnal AGRIVITA VOL. 26 No.1. Nuraeni, Sugiyanto, Zaenal, K. dan Syafrial. 2012. Persepsi dan Partisipasi Petani dalam Penerapan Usahatani Konservasi (Studi Kasus Petani Sayuran di Hulu DAS Jeneberang). Jurnal Bumi Lestari, Volume 12 No 1, hal: 116-122. Nurrizqi, E.H. dan Suyono. 2012. Pengaruh Perubahan Penggunaan Lahan terhadap Perubahan Debit Puncak Banjir di Sub DAS Brantas Hulu. Jurnal Bumi Indonesia Vol 3 No 1. (Online) http://lib.geo.ugm.ac.id. Diakses tgl 28 Agustus 2013. Pawitan, H. 2006. Perubahan Penggunaan Lahan dan Pengaruhnya terhadap Hidrologi DAS. Bogor: Laboratorium Hidrometeorologi FMIPA, IPB Saida, 2011. Pengembangan Tanaman Hortikultura Berbasis Agroekologi pada Lahan Berlerang di Hulu Das Jeneberang, Sulawesi Selatan. Tesis Tidak Diterbitkan.Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor Schiariti, P. 2008. Basic Hidrology Runoff Curve Numbers. Mercer County Soil Conservation Distric. (Online). http://njscdea.ncdea.org/CurveNumbers.pdf. diakses tanggal 12 Juni 2012.
102
Sitorus S. 2004. Evaluasi Sumberdaya Lahan. Edisi ke-3. Tarsito. Bandung Suroso dan Hery, A.S. 2006. Pengaruh Perubahan Tata Guna Lahan terhadap Debit Banjir Daerah Aliran Sungai Banjaran Jurnal Teknik Sipil, Vol. 3 , No. 2. Universitas Jenderal Soedirman, Jawa Tengah. Supratman dan C.Yudilastiantoro. 2004. Analisis Sistem Kelembagaan Pengelolaan DAS Jeneberang. (Online) www.puslitsosekhut.web.id. Diakses 12 Juli 2013 Sutapa, I.W. 2006. Studi Pengaruh dan Hubungan Variable Bentuk DAS terhadap Parameter Hidrograf Satuan Sintetik (studi kasus: sungai Salugan, Taopa dan Batui di Sulawesi Tengah). Jurnal SMARTek, Vol 4, No 4, hal: 224-232 US Army Corps of Engineers (USACE), 2010. Hydrologic Engineering Center. HEC-HMS Hydrologic Modeling System: Applications Guide. ---------------------------------------------------------- 2002. Hydrologic Engineering Center. HEC-HMS Hydrologic Modeling System: Quick Start Guide, Version 3.5. --------------------------------------------------------2001. HEC-HMS River Analysis System: User Manual Hydrologic Engineering Center. Davis, CA, USA. Yustina, A., Bambang, S. dan Evi, K. 2007. Penentuan Pengaruh Alih Fungsi Lahan terhadap Debit Banjir Menggunakan Sistem Informasi Geografi (SIG), (Online), Jurnal Purifikasi. Vol.8, No.2. http://isjd.pdii.lipi.go.id. Diakses 12 Maret 2012.
103
Lampiran 1. Langkah kerja HEC-HMS
Program HEC-HMS 3.5 dalam mengoperasikannya diperlukan langkah-langkah sebagai berikut: 1.
2.
Buka program pada komputer seperti gambar dibawah ini
Buat file baru seperti pada gambar berikut:
Isi Name project: hulu DAS Jeneberang, berikan deskripsi (jika perlu), cari lokasi dimana folder project baru akan disimpan. Atur default unit system dengan satuan Metric, akhiri dengan klik Create. Maka akan muncul folder hulu DAS jeneberang di layar eksplorer dari HEC HMS di pojok kiri atas layar.
104
3.
Membuat basin model Klik folder hulu DAS Jeneberang tersebut lalu klik menu component
Basin Model Manager, akan muncul kotak dialog Basin Model Manager seperti pada gambar dibawah ini.
Isi nama Basin Model, lalu tekan tombol Create
Berikutnya adalah membuat background map dengan cara melakukan import gambar. Klik menu View lalu pilih backgound map. Maka akan muncul kotak dialog ‟Background map‟. Klik Add dan cari gambar background yang akan dipilih. File yang dapat terbaca biasanya dalam bentuk *.dxf atau *.shp.
105
Selanjutnya susun konfigurasi DAS berdasarkan elemen-elemen hidrologi dengan menggunakan ikon-ikon yang terdapat pada toolbar.
106
Untuk setiap elemen hidrologi, tentukan metode dan masukan nilai parameter input yang diperlukan. Pengaturan pada menu Parameters pada toolbar, atau window di sebelah kiri halaman utama pada tab Components. Dibawah ini contoh pengisian nilai parameter sub DAS Jeneberang. Langkah ini digunakan juga pada sub DAS Malino dan sub DAS Bengo.
4.
Membuat meteorologic model
Klik Components Meterologic Model Manager, maka akan tampil kotak dialog ‟Meteorologic Model Manager‟.
Metode yang digunakan
adalah metode gage weight. Gage weight di isi nilai koefisien Thiessen dari masing-masing stasiun curah hujan. Time weight terdiri dari angka 01, diisi pada stasiun Tanralili karena merupakan stasiun hujan yang digunakan oleh semua sub DAS. Total depth (mm) di isi data total data curah hujan setiap bulan pada tiap stasiun hujan di lokasi penelitian. Buat seperti pada gambar berikut.
107
Dibawah ini contoh pengisian data meteorologi pada sub DAS Bengo. Langkah ini digunakan juga pada sub DAS Malino dan Jeneberang.
5.
Membuat control spesifikasi
Klik Components control specifications manager, maka akan tampil kotak dialog control specifications manager‟. Buat seperti pada gambar berikut.
108
6.
Membuat serial data
Klik Components Time-Series Data Manager, maka akan tampil kotak dialog ‟ Time-Series Data Manager‟. Pilih Precipitation gages untuk data curah hujan, discharge gages untuk data debit. Data curah hujan merupakan data dari ke-4 stasiun curah hujan di lokasi penelitian, sedangkan data debit berasal dari stasiun Jonggoa. Start date dan end date disesuaikan dengan control spesifikasi. Buat seperti gambar berikut. Contoh precipitation gages
Contoh discharge gages
109
Data curah hujan dan data debit dimasukkan dengan cara mengklik table, seperti pada gambar berikut.
7.
Running program
Simulation Run dilakukan dengan cara mengklik pada menu Compute >Select Run > [pilih Run]. Buat seperti gambar berikut.
110
111
Lampiran 2. Hasil analisis tekstur tanah di lokasi penelitian
No
Kode sampel
Tekstur
1
K01
Lempung liat berdebu
2
K02
Lempung
3
K03
Liat
4
K04
Lempung liat berdebu
5
K05
Liat berdebu
6
K06
Liat
7
K07
Liat
8
K08
Lempung liat berdebu
9
K09
Liat
10
K10
Liat
11
K11
Liat
12
K12
Lempung liat berdebu
13
K13
Lempung liat berdebu
14
K14
Lempung liat berdebu
15
K15
Lempung liat berdebu
16
K16
Lempung liat berdebu
17
K17
Liat
18
I01
Lempung liat berdebu
19
I07
Lempung liat berdebu
20
SP3
Liat berdebu
21
SP7
Lempung berdebu
22
SP16
Lempung liat berdebu
23
SP19
Liat berdebu
Keterangan: *) Sampel tanah I01 dan I07 (Irwanto, 2012) **) Sampel tanah SP3, SP7, SP16 dan SP19 (Saida, 2011)
112 Lampiran 3. Curah hujan maksimum harian rata-rata daerah di hulu DAS Jeneberang
Tanralili (mm)
Tahun R
C
CHMD
Paladingan (mm) R
C
CHMD
Malino-1(mm) R
C
CHMD
Malino-2 (mm) R
C
CHMD
Curah hujan max (mm)
1991
170 0,433
73,64
244 0,023
5,72 125 0,210
26,30
160 0,333
53,27
158,94
1992
105 0,433
45,48
135 0,023
3,17
80 0,210
16,83
99 0,333
32,96
98,45
1993
143 0,433
61,77
247 0,023
5,79 209 0,210
43,88
246 0,333
81,90
193,34
1994
88 0,433
38,12
83 0,023
1,95
98 0,210
20,62
71 0,333
23,64
84,33
1995
131 0,433
56,74
255 0,023
5,98 177 0,210
37,25
177 0,333
58,93
158,90
1996
136 0,433
58,91
86 0,023
2,02 123 0,210
25,88
108 0,333
35,96
122,77
1997
135 0,433
58,48
107 0,023
2,51 187 0,210
39,35
160 0,333
53,27
153,61
1998
101 0,433
43,75
99 0,023
2,32 101 0,210
21,25
91 0,333
30,30
97,62
1999
132 0,433
57,18
92 0,023
2,16 185 0,210
38,93
212 0,333
70,58
168,85
2000
227 0,433
98,33
197 0,023
4,62 118 0,210
24,83
194 0,333
64,59
192,37
2001
122 0,433
52,85
270 0,023
6,33 120 0,210
25,25
126 0,333
41,95
126,38
2002
129 0,433
55,88
148 0,023
3,47 125 0,210
26,30
108 0,333
35,96
121,61
2003
107 0,433
46,35
121 0,023
2,84 163 0,210
34,30
156 0,333
51,94
135,43
2004
121 0,433
52,41
139 0,023
3,26 729 0,210 153,41
113 0,333
37,62
246,70
2005
89 0,433
38,55
209 0,023
4,90
2006
110 0,433
47,65
82 0,023
82 0,210
17,26
80 0,333
26,64
87,35
1,92 220 0,210
46,30
202 0,333
67,25
163,12
113 Lanjutan Lampiran 3.
Tanralili (mm)
Tahun R
C
CHMD
Paladingan (mm) R
C
CHMD
Malino-1(mm) R
C
Malino-2 (mm)
CHMD
R
C
CHMD
Curah hujan max (mm)
2007
160 0,433
69,31
150 0,023
3,52 135 0,210
28,41
143 0,333
47,61
148,84
2008
53 0,433
22,96
149 0,023
3,50
75 0,210
15,78
95 0,333
31,53
73,77
2009
88 0,433
38,12
128 0,023
3,00
93 0,210
19,57
76 0,333
25,30
86,00
2010
57 0,433
24,69
90 0,023
2,11
96 0,210
20,20
93 0,333
30,96
77,97
Jumlah
2.696,72
rataan
134,84
Keterangan: R= Curah hujan harian maksimum; C= Nilai koefisien Thiessen CHMD= Curah hujan harian maksimum daerah (wilayah)
114
Lampiran 4. Perhitungan hujan rancangan pada berbagai periode ulang Tr (tahun) distribusi Log Pearson Type III
Tahun
Rmax (Xi)
Log Xi
1991
158,94
2,201
1992
98,45
1,993
1993
193,34
2,287
1994
84,33
1,926
1995
158,90
2,201
1996
122,77
2,089
1997
153,61
2,186
1998
97,62
1,990
1999
168,85
2,228
2000
192,37
2,284
2001
126,38
2,102
2002
121,61
2,085
2003
135,43
2,132
2004
246,70
2,392
2005
87,35
1,941
2006
163,12
2,213
2007
148,84
2,173
2008
73,77
1,868
2009
86,00
1,934
2010
77,97
1,892
2.696,72
42,12
Jumlah Rata-rata
134,84
2,11
45,99
0,15
Koef. variasi
0,34
0,07
Koef. swekness (Cs)
0,62
-0,0149
Koef. kurtosis (Ck)
0,14
-0,94
Standar deviasi
115
Lanjutan Lampiran 4.
Log Pearson Type III
Tr (thn)
Rata2 Log Xi
Stdev Log Xi
Swekness (Cs)
K
Log Rr
Rr (mm)
5
2,11
0,15
-0,015
0,842
2,231
170,26
10
2,11
0,15
-0,015
1,282
2,297
197,95
25
2,11
0,15
-0,015
1,751
2,366
232,45
50
2,11
0,15
-0,015
2,054
2,411
257,87
100
2,11
0,15
-0,015
2,326
2,452
283,05
116
Lampiran 5. Data curah hujan harian tahun 2004 di hulu DAS Jeneberang
A. Stasiun Malino-1 curah hujan tahun 2004 (mm)
Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Juml
JAN 74.0 729.0 2.0 25.0 75.0 1.0 5.0 0.0 18.0 0.0 0.0 7.0 1.0 23.0 0.0 0.0 17.0 25.0 28.0 22.0 0.0 8.0 53.0 6.0 5.0 12.0 18.0 3.0 10.0 11.0 5.0 1183
FEB 0.0 22.0 135.0 35.0 58.0 35.0 124.0 82.0 119.0 137.0 48.0 80.0 36.0 11.0 34.0 50.0 0.0 15.0 0.0 3.0 11.0 28.0 48.0 21.0 77.0 10.0 6.0 3.0
1228
MAR 26.0 0.0 2.0 38.0 2.0 20.0 0.0 48.0 79.0 21.0 61.0 50.0 73.0 33.0 26.0 13.0 43.0 61.0 17.0 5.0 35.0 5.0 45.0 79.0 0.0 0.0 25.0 4.0 2.0 2.0 0.0 815
APR 0.0 3.0 0.0 4.0 48.0 2.0 33.0 0.0 3.0 0.0 33.0 0.0 0.0 0.0 0.0 41.0 106.0 21.0 10.0 37.0 1.0 51.0 1.0 7.0 0.0 0.0 23.0 2.0 14.0 17.0 457.0
MEI 0.0 18.0 21.0 0.0 0.0 0.0 8.0 67.0 28.0 0.0 2.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 7.0 3.0 8.0 0.0 0.0 0.0 55.0 36.0 8.0 261
JUN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 59.0 27.0 12.0 9.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 107
JUL 0.0 0.0 0.0 0.0 2.0 0.0 0.0 9.0 0.0 2.0 0.0 0.0 3.0 0.0 3.0 1.0 2.0 0.0 0.0 0.0 1.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 23.0
AGS 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
SEP 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
OKT 0.0 2.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 3.0 0.0 5.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 10.0
NOV 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 7.0 1.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 1.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 25.0 37.0 9.0 18.0 43.0 23.0 12.0 60.0 50.0 286
DES 2.0 0.0 8.0 0.0 6.0 27.0 1.0 33.0 37.0 2.0 9.0 18.0 28.0 17.0 0.0 1.0 4.0 11.0 7.0 0.0 35.0 5.0 7.0 0.0 42.0 5.0 29.0 26.0 54.0 15.0 16.0 445
117
Lanjutan Lampiran 5.
B. Stasiun Malino-2 curah hujan tahun 2004 (mm)
Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Juml
JAN 30.0 27.0 3.0 0.0 4.0 36.0 1.0 1.0 1.0 7.0 0.0 2.0 1.0 10.0 0.0 0.0 6.0 18.0 5.0 11.0 0.0 6.0 21.0 2.0 2.0 3.0 7.0 2.0 5.0 7.0 3.0 221
FEB 0.0 11.0 51.0 18.0 26.0 13.0 43.0 33.0 41.0 55.0 21.0 27.0 20.0 3.0 14.0 22.0 1.0 5.0 0.0 2.0 3.0 15.0 24.0 1.0 32.0 1.0 0.0 0.0
482
MAR 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 1.0 1.0 0.0 2.0
APR 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 113.0 10.0 6.0 36.0 1.0 54.0 1.0 11.0 0.0 0.0 27.0 1.0 11.0 11.0 282.0
MEI 0.0 22.0 1.0 1.0 0.0 0.0 13.0 32.0 21.0 0.0 1.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 1.0 0.0 0.0 0.0 7.0 0.0 9.0 0.0 0.0 0.0 46.0 27.0 7.0 188.0
JUN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 43.0 22.0 10.0 11.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 86.0
JUL 0.0 0.0 0.0 0.0 1.0 0.0 0.0 6.0 1.0 1.0 0.0 0.0 3.0 0.0 2.0 0.0 2.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 16.0
AGS 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
SEP 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
OKT 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 5.0 0.0 5.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 12.0
NOV 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 19.0 45.0 10.0 21.0 23.0 31.0 12.0 63.0 42.0 0.0 266.0
DES 11.0 0.0 7.0 0.0 9.0 32.0 1.0 43.0 34.0 3.0 7.0 16.0 37.0 19.0 0.0 0.0 8.0 7.0 6.0 0.0 24.0 6.0 6.0 0.0 43.0 3.0 24.0 22.0 40.0 15.0 14.0 437.0
118
Lanjutan Lampiran 5.
C. Stasiun Paladingan curah hujan tahun 2004 (mm)
Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Juml
JAN 53.0 15.0 39.0 0.0 0.0 9.0 59.0 2.0 7.0 4.0 1.0 0.0 6.0 41.0 7.0 0.0 0.0 5.0 0.0 5.0 100.0 0.0 0.0 1.0 12.0 1.0 18.0 4.0 0.0 8.0 51.0
FEB 3.0 2.0 20.0 109.0 78.0 18.0 39.0 112.0 55.0 12.0 11.0 23.0 59.0 35.0 4.0 17.0 55.0 0.0 1.0 0.0 1.0 0.0 1.0 4.0 5.0 12.0 5.0 3.0
MAR 0.0 0.0 0.0 24.0 139.0 18.0 24.0 0.0 11.0 68.0 13.0 16.0 10.0 102.0 40.0 41.0 20.0 64.0 49.0 0.0 0.0 0.0 0.0 1.0 1.0 0.0 0.0 0.0 0.0 10.0 4.0
APR 0.0 3.0 57.0 2.0 15.0 34.0 6.0 8.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.0 0.0 8.0 0.0 0.0 2.0 0.0 2.0 0.0 9.0 0.0 0.0 0.0 6.0 3.0
MEI 14.0 0.0 3.0 0.0 1.0 0.0 0 0.0 17.0 26.0 0.0 3.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 15.0 0.0 0.0 2.0 0.0 0.0 5.0 26.0
JUN 56.0 2.0 0.0 0.0 0.0 0.0 6.0 1.0 25.0 8.0
448
684.0
655.0
157.0
112.0
98.0
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
JUL 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 1.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 1.0
AGS 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
SEP 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
OKT 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
0.0
19.0
0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 15.0 1.0 0.0 0.0 3.0 0.0
NOV 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 29.0 0.0 0.0 2.0 1.0 0.0 0.0 7.0 10.0 0.0 0.0 37.0 19.0 12.0 0.0 17.0 37.0 0.0 0.0 15.0 9.0 3.0 198
DES 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
119
Lanjutan Lampiran 5.
D. Stasiun Tanralili curah hujan tahun 2004 (mm)
Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Juml
JAN 36.0 55.0 11.0 0.0 0.0 53.0 2.0 0.0 0.0 23.0 0.0 0.0 0.0 34.0 0.0 0.0 25.0 21.0 30.0 24.0 4.0 11.0 56.0 4.0 0.0 8.0 14.0 7.0 12.0 6.0 0.0 436
FEB 2.0 25.0 111.0 42.0 44.0 29.0 117.0 90.0 104.0 121.0 52.0 78.0 63.0 12.0 28.0 45.0 0.0 0.0 22.0 0.0 8.0 14.0 51.0 29.0 65.0 12.0 7.0 0.0 0.0
1171
MAR 22.0 0.0 0.0 50.0 3.0 24.0 1.0 50.0 81.0 13.0 58.0 47.0 49.0 38.0 30.0 16.0 29.0 74.0 20.0 6.0 29.0 9.0 54.0 83.0 6.0 0.0 0.0 32.0 0.0 3.0 3.0 830
APR 0.0 0.0 0.0 7.0 36.0 0.0 34.0 0.0 0.0 0.0 40.0 0.0 0.0 0.0 0.0 40.0 20.0 0.0 20.0 42.0 0.0 46.0 0.0 10.0 0.0 0.0 30.0 0.0 11.0 18.0 354
MEI 0.0 20.0 0.0 0.0 0.0 0.0 9.0 52.0 31.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 8.0 5.0 0.0 11.0 0.0 0.0 0.0 60.0 29.0 10.0 235
JUN 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 25.0 15.0 10.0 12.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 62.0
JUL 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.0 5.0 0.0 7.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 14
AGS 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
SEP 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 1.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 1.0 0.0 0.0 0.0 2.0
OKT 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 5.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 5.0
NOV 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 2.0 5.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 7.0 8.0 1.0 12.0 10.0 20.0 14.0 7.0 69.0 21.0 48.0 224
DES 50.0 0.0 0.0 12.0 0.0 3.0 11.0 5.0 18.0 2.0 16.0 7.0 3.0 37.0 2.0 0.0 20.0 9.0 10.0 0.0 13.0 31.0 3.0 20.0 0.0 42.0 3.0 35.0 20.0 41.0 15.0 428
120
Lampiran 6. Debit Air tahun 2004 di stasiun Jonggoa 3
(m /detik) Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
JAN 91.5 110.5 89.5 tad tad 71.3 79.2 66.0 60.5 59.9 57.2 54.1 51.5 57.8 52.0 49.1 52.6 62.7 57.8 60.5 57.8 54.6 68.3 59.9 62.1 55.6 62.7 57.8 54.1 54.6 53.6
FEB 50.0 50.5 78.5 92.1 79.8 74.2 86.8 141.9 137.8 155.6 139.4 118.7 122.6 104.6 109.7 112.7 99.7 95.5 91.5 88.1 86.8 88.1 86.2 83.6 94.2 105.4 97.6 93.5 88.1
MAR 90.1 86.8 83.6 96.9 99.7 93.5 92.8 96.9 128.1 262.1 236.7 200.4 tad tad tad 197.4 197.4 194.5 183.9 180.1 180.1 180.1 189.6 244.3 237.7 243.2 232.4 215.6 209.5 200.4 196.5
APR 195.5 193.5 192.6 186.8 181.1 181.1 181.1 181.1 181.1 181.1 181.1 181.1 181.1 181.1 181.1 183.9 206.4 222.9 255.4 280.6 284.2 284.2 284.2 284.2 284.2 284.2 284.2 284.2 284.2 284.2
MEI 284.2 284.2 284.2 284.2 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0
*) keterangan; tad = tidak ada data
JUN 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 267.8 186.8 193.5 202.4 219.7 219.7 219.7 219.7 219.7 219.7 219.7 219.7 219.7 219.7 219.7 219.7 219.7 219.7 219.7 219.7 219.7 219.7 220.8
JUL 220.8 221.8 222.9 222.9 222.9 222.9 222.9 222.9 222.9 223.9 223.9 223.9 223.9 223.9 226.0 231.3 238.8 244.3 247.6 248.7 248.7 248.7 248.7 248.7 248.7 248.7 248.7 248.7 248.7 248.7 248.7
AGS 248.7 248.7 248.7 248.7 255.4 261.0 261.0 261.0 262.1 263.3 263.3 263.3 263.3 264.4 265.6 265.6 266.7 266.7 266.7 266.7 266.7 266.7 266.7 269.0 273.6 274.8 274.8 275.9 280.6 280.6 280.6
SEP 280.6 281.8 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0
OKT 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 283.0 96.9 40.6 40.6 40.6 40.6 40.6 40.6 40.6 40.6 43.8 44.7 42.0 41.5 46.6 45.7 43.3 44.3 42.9 41.1 40.2 40.6 42.9 42.4 41.5 41.1
NOV 40.6 41.1 41.1 41.5 42.0 42.0 43.3 44.7 45.7 45.7 45.7 45.7 43.8 43.3 42.4 42.0 41.5 40.6 40.6 40.2 39.7 45.7 52.6 51.0 51.5 53.6 70.1 78.5 63.2 70.7
DES 77.9 68.9 67.2 66.6 63.2 59.9 59.4 58.8 57.8 60.5 60.5 61.5 63.8 64.3 64.3 64.3 64.3 64.3 64.3 63.2 70.7 79.2 81.7 84.9 91.5 95.5 95.5 95.5 106.8 tad 136.9
121
Lampiran 7. Data curah hujan harian tahun 2010 di hulu DAS Jeneberang
A. Stasiun Malino-1 curah hujan tahun 2010 (mm)
Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Juml
JAN 5.0 40.0 1.0 4.0 59.0 44.0 38.0 66.0 94.0 10.0 55.0 15.0 96.0 92.0 41.0 61.0 83.0 43.0 38.0 48.0 58.0 2.0 5.0 21.0 10.0 29.0 9.0 35.0 27.0 19.0 38.0 1,186
FEB 22.0 14.0 17.0 0.0 11.0 11.0 7.0 59.0 14.0 11.0 10.0 7.0 18.0 16.0 9.0 11.0 30.0 19.0 41.0 13.0 8.0 8.0 5.0 0.0 11.0 11.0 0.0 8.0
391
MAR 1.0 0.0 18.0 5.0 0.0 1.0 0.0 9.0 16.0 59.0 20.0 27.0 0.0 0.0 3.0 5.0 0.0 15.0 85.0 6.0 6.0 38.0 12.0 6.0 14.0 0.0 45.0 2.0 6.0 18.0 42.0 459
APR 0.0 0.0 8.0 1.0 8.0 0.0 11.0 3.0 5.0 51.0 1.0 12.0 4.0 15.0 2.0 5.0 25.0 14.0 24.0 6.0 0.0 0.0 14.0 9.0 62.0 3.0 0.0 23.0 4.0 0.0 310
MEI 14.0 1.0 10.0 13.0 23.0 14.0 43.0 77.0 33.0 26.0 45.0 12.0 16.0 26.0 65.0 2.0 1.0 3.0 4.0 0.0 26.0 30.0 17.0 5.0 1.0 8.0 3.0 0.0 5.0 0.0 10.0 533.0
JUN 1.0 0.0 0.0 0.0 2.0 2.0 8.0 2.0 11.0 10.0 2.0 1.0 10.0 4.0 7.0 10.0 1.0 0.0 0.0 0.0 0.0 14.0 65.0 24.0 7.0 17.0 0.0 0.0 10.0 0.0 208
JUL 0.0 2.0 53.0 9.0 6.0 36.0 0.0 6.0 4.0 0.0 0.0 2.0 67.0 15.0 2.0 6.0 6.0 8.0 1.0 0.0 0.0 0.0 11.0 56.0 15.0 48.0 3.0 0.0 0.0 0.0 0.0 356
AGS 3.0 20.0 20.0 22.0 8.0 6.0 0.0 0.0 0.0 7.0 5.0 1.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 7.0 2.0 0.0 0.0 8.0 7.0 2.0 10.0 12.0 6.0 4.0 0.0 0.0 0.0 150
SEP 0.0 9.0 8.0 2.0 11.0 4.0 17.0 15.0 17.0 10.0 23.0 0.0 0.0 11.0 1.0 2.0 2.0 0.0 7.0 1.0 4.0 3.0 0.0 1.0 0.0 4.0 9.0 11.0 0.0 0.0 172
OKT 0.0 11.0 1.0 9.0 0.0 0.0 70.0 24.0 0.0 0.0 23.0 4.0 0.0 0.0 22.0 21.0 0.0 2.0 11.0 27.0 9.0 12.0 0.0 0.0 8.0 0.0 40.0 7.0 23.0 46.0 33.0 403
NOV 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0
DES 18.0 23.0 12.0 22.0 15.0 38.0 10.0 18.0 9.0 19.0 27.0 0.0 0.0 0.0 0.0 16.0 30.0 0.0 13.0 14.0 0.0 5.0 0.0 13.0 10.0 55.0 88.0 47.0 51.0 2.0 6.0 561
122
Lanjutan Lampiran 7.
B. Stasiun Malino-2 curah hujan tahun 2010 (mm)
Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Juml
JAN 0.0 19.0 30.0 2.0 4.0 54.0 45 35 54 93 0 0 52 0 45 30 13 27 9 34 10 34 38 0 11 10 17 15 22 27 22 752
FEB 0.0 4.0 24.0 61.0 20.0 15.0 7 10 15 20 25 9 25 23 25 0 0 0 2 4 10 3 0 0 1 18 0 0
321
MAR 0.0 0.0 25.0 10.0 20.0 10.0 6 11 10 16 52 2 0 0 20 5 12 13 17 0 10 2 0 0 5 12 6 0 0 0 0 264
APR 0.0 0.0 2.0 10.0 20.0 25.0 15 10 10 6 25 30 20 30 21 23 25 30 12 19 29 30 5 0 0 6 2 0 0 0 405
MEI 5.0 2.0 0.0 0.0 5.0 10.0 6.0 5.0 2.0 2.0 10 0 0 0 5 1 0 6 3 1 8 9 1 2 3 3 2 2 5 5 0 103
JUN 19.0 30.0 39.0 6.0 40.0 25.0 0.0 0.0 0.0 0.0 27 14 10 0 0 7 5 4 20 15 0 0 0 13 11 20 25 10 50 45 0 435
JUL 15.0 20.0 14.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 20 4 0.0 10.0 3.0 18.0 1.0 4.0 7.0 24.0 9.0 8.0 0 9 0.0 10.0 0.0 5.0 6.0 0.0 0.0 187
AGS 10.0 15.0 8.0 20.0 20.0 15.0 8.0 0.0 0.0 2.0 4 0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 6.0 2.0 2.0 8.0 4.0 6.0 3.0 15.0 15.0 10.0 0.0 0.0 1.0 174
SEP 0.0 0.0 0.0 10.0 6.0 4.0 0.0 10.0 20.0 20.0 20 0 0.0 5.0 0.0 0.0 0.0 6.0 4.0 2.0 3.0 4.0 0.0 0.0 2.0 2.0 0.0 20.0 1.0 0.0 0.0 139
OKT 10.0 2.0 10.0 15.0 7.0 12.0 8.0 0.0 0.0 15.0 40 5 8.0 8.0 0.0 0.0 5.0 7.0 5.0 2.0 2.0 5.0 2.0 3.0 0.0 0.0 0.0 4.0 4.0 5.0 7.0 191
NOV 7.0 10.0 8.0 8.0 12.0 14.0 17.0 16.0 16.0 20.0 17 15 17.0 20.0 20.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 18.0 18.0 20.0 17.0 21.0 22.0 20.0 21.0 20.0 22.0 0.0 416.0
DES 7.0 6.0 7.0 5.0 5.0 5.0 8.0 8.0 0.0 0.0 0 0 0.0 4.0 7.0 8.0 7.0 15.0 20.0 18.0 14.0 0.0 0.0 4.0 2.0 0.0 0.0 0.0 5.0 4.0 5.0 164.0
123
Lanjutan Lampiran 7.
C. Stasiun Paladingan curah hujan tahun 2010 (mm)
Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Juml
JAN 0.0 0.0 0.0 0.0 10.0 20.0 17.0 25.0 15.0 50.0 10.0 50.0 75.0 15.0 10.0 15.0 20.0 50.0 15.0 25.0 45.0 20.0 10.0 20.0 70.0 90.0 0.0 0.0 10.0 25.0 15.0 727
FEB 25.0 15.0 40.0 15.0 0.0 30.0 10.0 15.0 45.0 35.0 10.0 70.0 90.0 15.0 25.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 20.0 40.0 50.0 15.0 30.0 50.0 15.0 0.0 0.0 660
MAR 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 70.0 90.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 15.0 10.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 30.0 0.0 0.0 0.0 90.0 15.0 10.0 0.0 0.0 20.0 350
APR 0.0 0.0 90.0 0.0 15.0 0.0 0.0 0.0 0.0 40.0 0.0 0.0 20.0 10.0 30.0 50.0 10.0 15.0 90.0 40.0 0.0 10.0 70.0 0.0 0.0 0.0 15.0 20.0 45.0 40.0 610
MEI 25.0 15.0 30.0 10.0 70.0 25.0 30.0 15.0 90.0 0.0 15.0 25.0 10.0 15.0 20.0 35.0 15.0 40.0 0.0 0.0 20.0 90.0 70.0 10.0 0.0 15.0 20.0 45.0 10.0 35.0 90.0 890
JUN 70.0 90.0 15.0 10.0 20.0 30.0 50.0 15.0 10.0 25.0 10.0 10.0 15.0 90.0 14.0 19.0 10.0 25.0 10.0 0.0 40.0 0.0 0.0 10.0 80.0 15.0 0.0 0.0 0.0 0.0 683
JUL 10.0 40.0 70.0 90.0 40.0 15.0 50.0 10.0 90.0 50.0 15.0 20.0 10.0 15.0 70.0 40.0 10.0 0.0 90.0 20.0 90.0 50.0 25.0 15.0 0.0 0.0 90.0 10.0 0.0 0.0 0.0 1,035
AGS 0.0 20.0 20.0 90.0 90.0 15.0 10.0 75.0 90.0 10.0 60.0 40.0 15.0 10.0 0.0 0.0 0.0 40.0 20.0 10.0 50.0 10.0 30.0 5.0 10.0 20.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 740
SEP 0.0 0.0 10.0 15.0 90.0 45.0 30.0 40.0 10.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 15.0 0.0 0.0 0.0 0.0 40.0 0.0 0.0 20.0 0.0 0.0 0.0 315
OKT 40.0 0.0 0.0 0.0 0.0 70.0 90.0 10.0 15.0 0.0 25.0 10.0 0.0 0.0 0.0 10.0 40.0 90.0 0.0 0.0 25.0 15.0 40.0 35.0 20.0 10.0 15.0 25.0 30.0 0.0 0.0 615
NOV 10.0 20.0 90.0 30.0 10.0 40.0 0.0 0.0 10.0 15.0 90.0 70.0 40.0 0.0 0.0 0.0 90.0 40.0 30.0 10.0 20.0 15.0 10.0 0.0 0.0 40.0 50.0 90.0 10.0 0.0 830
DES 10.0 0.0 25.0 0.0 80.0 90.0 15.0 0.0 0.0 15.0 90.0 0.0 40.0 50.0 0.0 0.0 80.0 70.0 90.0 10.0 30.0 0.0 10.0 0.0 40.0 15.0 10.0 0.0 0.0 0.0 40.0 810
124
Lanjutan Lampiran 7.
D. Stasiun Tanralili curah hujan tahun 2010*) (mm)
Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 Juml
JAN 1.3 6.1 9.1 2.9 13.7 51.7 14.1 57.4 35.7 27.0 14.0 8.6 11.7 13.4 6.4 19.4 21.6 17.0 24.1 34.9 23.3 17.6 22.3 13.9 9.9 10.8 8.0 8.7 9.9 22.1 30.4 567
FEB 9.8 14.6 28.7 23.5 15.3 24.0 12.2 20.8 21.1 17.8 17.7 13.1 17.9 22.4 32.9 2.4 6.5 1.7 7.9 6.2 7.6 10.8 9.2 4.6 16.4 48.7 7.4 8.9 0.0 0.0 0.0 430
MAR 0.6 0.0 31.4 7.4 4.3 4.8 2.7 16.0 11.7 7.3 19.4 4.4 0.0 0.0 21.9 10.9 3.7 24.5 17.6 1.3 14.0 19.4 5.4 2.4 6.5 4.5 10.1 2.9 5.2 9.1 11.0 280.6
APR 0.0 0.0 18.1 1.8 12.2 1.4 12.6 4.1 14.7 11.6 12.3 14.7 51.2 9.7 10.0 21.6 6.8 9.8 13.4 16.2 5.3 9.4 4.5 3.3 7.9 3.3 3.5 3.2 6.1 3.1 291.8
MEI 6.0 5.0 1.0 1.9 15.0 2.6 7.4 19.3 7.6 3.5 11.8 4.9 3.2 12.9 1.8 5.0 19.6 10.7 9.4 2.9 26.5 23.6 4.8 4.7 0.9 5.7 2.5 4.9 5.7 3.1 6.1 239.9
JUN 4.9 3.4 9.4 0.1 3.9 1.7 4.6 1.7 3.7 8.5 3.2 2.2 0.9 2.7 6.0 43.3 2.9 4.0 9.9 0.5 1.2 1.4 10.4 11.8 19.6 12.4 4.4 0.4 17.4 12.7 209
JUL 5.1 1.1 0.8 0.6 1.7 1.4 0.2 2.2 1.4 0.6 2.4 2.9 10.7 21.5 9.6 1.7 5.3 9.2 0.0 1.0 6.2 0.0 2.6 16.3 0.3 1.9 24.7 6.2 5.3 0.0 0.0 143
AGS 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 9.7 0.9 0.0 0.0 0.3 16.7 1.2 0.0 0.1 0.0 0.0 0.0 0.8 0.0 0.0 0.0 16.7 2.0 7.8 16.0 47.1 3.8 0.0 0.0 0.0 0.0 123
SEP 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 0.0 1.7 0.0 6.0 1.3 1.9 0.0 0.0 0.0 0.0 4.2 0.0 0.0 8.0 0.0 0.0 1.3 0.0 4.7 0.0 15.2 0.3 3.1 15.3 0.0 63
*) Hasil prakiraan data curah hujan menggunakan normal ratio method
OKT 1.2 0.8 10.5 0.0 7.0 0.0 0.0 0.8 0.0 1.5 11.3 0.4 0.9 0.0 0.0 3.7 1.3 3.3 4.5 4.6 3.9 1.2 2.5 8.1 1.0 0.1 6.0 1.4 7.9 11.7 0.5 96.1
NOV 4.7 6.0 5.0 3.0 4.4 12.0 5.6 2.0 12.6 10.6 9.4 3.8 15.3 24.8 4.9 0.0 2.5 0.7 2.8 2.3 7.5 14.2 18.2 6.7 3.8 18.5 11.8 18.3 12.0 6.6 250
DES 16.3 10.2 13.4 10.7 18.4 11.0 7.0 12.1 1.9 8.2 23.5 0.0 4.9 4.4 0.6 1.8 5.3 11.8 9.2 15.6 9.1 1.2 4.3 3.7 11.1 41.6 36.1 16.7 14.8 1.5 9.9 337
125
Lampiran 8. Debit Air tahun 2010 di stasiun Jonggoa 3
(m /detik) Tgl 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
JAN 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 tad
FEB tad tad tad tad 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 445.2 443.7 443.7 443.7
MAR 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7
APR 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7
MEI 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 443.7 54.6 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2
*) keterangan; tad = tidak ada data
JUN 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2
JUL 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2
AGS 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2
SEP 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2
OKT 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 0.2 tad
NOV tad tad tad tad tad tad tad tad tad tad tad tad tad tad tad tad tad tad tad tad 4442 4442 4442 4442 4442 4442 4442 4442 4442 4442
DES 4442.0 4442.0 4442.0 4442.0 60.5 2835.9 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 5070.3 tad