PRINSIP DAN CARA MEMPRODUKSI COAL BED METHANE
Cindy Dwilarasati (03111002008) Teknik Pertambangan, Fakultas Teknik, Universitas Sriwijaya, Jl Palembang-Prabumulih Km.32 (OI) , Inderalaya , 30662 E-mail:
[email protected]
ABSTRAK Coal Bed Methane sekarang merupakan salah satu alternatif energi yang dapat dimanfaatkan, meskipun di Indonesia pemanfaatannya belum optimal. Sebenarnya coal bed methane adalah kandungan gas metan pada batubara yang selama ini dikenal sangat berbahaya bagi pekerja terutama untuk pekerja underground. Selain itu, gas metan ini juga sangat berbahaya jika release ke udara. Mengingat potensi coal bed methane di Indonesia yang cukup besar yaitu sekitar 453.3 TCF tersebar di 11 cekungan (Advanced Resources International.inc) maka dapat dimanfaatkan secara optimal sebagai energi alternatif ditengah krisis sumber energi saat ini. Selain itu, melalui pemanfaatan coal bed methane ini, akan mengurangi resiko bahaya yang ditimbulkan oleh gas metan batubara. Pada proses pemanfaatan coal bed methane ini ada prinsip-prinsip yang harus yang diketahui. Kandungan metan tersimpan pada mikropores dan cleat yang terdapat pada batubara. Gas metan dapat ada karena adanya tekanan akibat kandungan air yang mengakibatkan gas metan tersebut tidak dapat bermigrasi ke tempat lain dan pada batubara itu sendiri. Prinsipprinsip inilah yang harus diketahui agar kita dapat menentukan metode produksinya. Metode produksi CBM yang berkembang sejauh ini yaitu melalui drilling yaitu melakukan pemboran menuju coal seam dan kemudian melakukan hydraulic fracturing. Pada produksi CBM ini, tahap awal akan lebih banyak menghasilkan air yang disebut dengan air teproduksi. Air terproduksi ini lama kelamaan akan menurun kuantitasnya seiring produksi CBM yang meningkat hingga mencapai nilai optimal sampai akhirnya akan menurun kembali. Kata kunci : Coal Bed Methane, CBM, prinsip produksi, hydraulic fracturing
ABSTRACT Coal Bed Methane is now one of the alternative energy can be used , although not optimal utilization in Indonesia . Actually, coal bed methane is methane gas content of the coal that has been known to be very dangerous for workers , especially for underground workers . In addition , methane is also very dangerous if released into the air . Given the potential for coal bed methane in Indonesia is quite large at around 453.3 trillion cubic feet in 11 basins ( Advanced Resources International.Inc ) , it can be optimally used as an alternative energy source amid the current energy crisis . In addition , through the use of coal bed methane , will reduce the risk of hazards posed by coal methane gas . In the process of coal bed methane utilization of the existing principles that should be known . The content of methane stored in mikropores and contained in the coal cleats . Methane gas can exist because of the pressure from the water content of the resulting methane gas can not migrate to another place and the coal itself. These principles must be known so that we can determine the method of production . CBM production methods evolved so far that drilling is to drill through to the coal seam and then perform hydraulic fracturing . In the CBM production , the initial phase will produce more water called the water teproduksi . The produced water will decrease over time as the quantity of CBM production increased until it reaches the optimal value will decrease until eventually return . Kata kunci : Coal Bed Methane, CBM, production principal, hydraulic fracturing
I.
PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Batubara memiliki kemampuan menyimpan gas dalam jumlah yang banyak, karena permukaannya mempunyai kemampuan mengadsorpsi gas. Meskipun batubara berupa benda padat dan terlihat seperti batu yang keras, tapi di dalamnya banyak sekali terdapat pori-pori yang berukuran lebih kecil dari skala mikron, sehingga batubara ibarat sebuah spon. Kondisi inilah yang menyebabkan permukaan batubara menjadi sedemikian luas sehingga mampu menyerap gas dalam jumlah yang besar. Jika tekanan gas semakin tinggi, maka kemampuan batubara untuk mengadsorpsi gas juga semakin besar. Gas yang terperangkap pada batubara sebagian besar terdiri dari gas metana, sehingga secara umum gas ini disebut dengan Coal Bed Methane atau disingkat CBM. Dalam klasifikasi energi, CBM termasuk unconventional energy Coal Bed Methane (CBM) adalah gas bumi dengan komponen dominan metana yang terbentuk secara alamiah dalam proses pembentukan batubara (coalification) dalam kondisi terperangkap dan terserap dalam batubara. CBM sama seperti gas alam konvensional yang kita kenal saat ini, namun perbedaannya adalah CBM berasosiasi dengan batubara sebagai source rock dan reservoir rock-nya. Sedangkan gas alam yang kita kenal saat ini, walaupun sebagian ada yang bersumber dari batubara, diproduksikan dari reservoir pasir, gamping maupun rekahan batuan beku. CBM telah dikenal lama oleh para pekerja tambang batubara terutama pada penambangan bawah tanah (underground) sebagai gas tambang. Gas tambang ini sering kali mencelakai pekerja tambang. Gas tambang / CBM ini dianggap sebagai penyebab ledakan dan longsor di dalam tambang batubara. Untuk itu, untuk meminimalisir akibat yang ditimbulkannya, gas methane ini mulai dimanfaatkan sebagai sumber energi. Saat ini gas tambang ini dapat dimanfaatkan dan diambil sebagai energi gas. Sehingga gas tambang ini tidak mencelakai para pekerja tambang. Selain itu gas tambang metana yang keluar merusak atmosfer dapat dicegah.
1.2
Maksud dan Tujuan Paper ini dibuat dengan maksud untuk memenuhi tugas pada mata kuliah Coal Bed Methane pada Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya. Tujuan dari penulisan ini adalah untuk mengetahui bagaimana prinsip dan cara melakukan produksi coal bed methane sebagai salah satu alternatif energi di Indonesia.
1.3
Batasan Masalah Pembatasan masalah pada paper ini hanya pada prinsip-prinsip dan metode produksi coal bed methane secara umum yang tengah berkembang terutama di Indonesia, bukan membahas metode tertentu yang spesifik.
II.
METODE PENELITIAN Metode penelitian yang dilakukan oleh penulis yaitu dengan menggunakan metode studi pustaka, yaitu dengan mengacu kepada literatur- literatur yang dapat diambil informasinya yang berkaitan dengan paper ini, serta informasi melalui internet.
III.
HASIL DAN PEMBAHASAN Indonesia merupakan salah satu Negara yang berpotensi untuk pengembangan CBM. Perkiraan cadangan CBM Indonesia sekitar 453.3 TCF tersebar di 11 cekungan (Advanced Resources International.inc). Saat ini ada beberapa perusahaan yang sedang melakukan studi secara komprehensif untuk menghitung dan menganalisa potensi CBM di Sumatera Utara, Sumatera Tengah, Ombilin, Barito, Tarakan Utara, Kutai, dan Berau.
3.1
Pembentukan Gas Metana Batubara Gas metana batubara terbentuk dengan beberapa tahapan. Selama tahap awal pembentukan batubara, metana biogenic terbentuk dari by-product respirasi bakteri. Bakteri aerobic terlebih dahulu memetabolis oksigen yang tersisa pada sisa-sisa tanaman dan sedimen sekitar. Namun, dalam lingkungan air tawar, produksi gas metana mulai terbentuk setelah oksigen habis (Rice dan Claypool, 1981). Spesies bakteri anaerobic kemudian mengurangi karbondioksida dan menghasilkan gas metana melalui pernapasan anerobic (Rice dan Claypool, 1981). Ketika batubara mencapai temperature sekitar 1220˚ F, dan setelah beberapa lama, gas metana biogenic terbentuk. Pada waktu yang hampir bersamaan,
sekitar dua pertiga kelembabannya dikeluarkan dan batubara telah mencapai tingkatan subbituminous (Rightmire, 1984). Setelah batubara telah melebihi temperature 1220˚ F berdasarkan gradient geothermal, proses termogenik mulai membentuk tambahan gas berupa karbondioksida, nitrogen, metana, dan air. Pada tahap ini, sejumlah hidrokarbon atau zat volatile meningkat dan mencapai coal rank bituminous (Rightmire, 1984). Kemudian setelah temperature lebih dari 2100˚ F, produksi gas karbondioksida juga meningkat dengan sedikit penambahan gas metana. Produksi termogenik tidak melebihi produksi karbondioksida pada tingkatan batubara volatile tinggi hingga mencapai temperature 250˚ F. Pembentukan maksimum gas metana pada batubara bituminous terjadi pada temperature 300˚ F (Rightmire, 1984). 3.2
Karakter Batubara Untuk Produksi CBM Tidak semua batubara dapat diproduksi kandungan gas metannya. Ada jenis batubara tertentu yang memberikan produksi gas methan yang optimal. Adapun karakter batubara yang baik untuk produksi coal bed methane adalah sebagai berikut : 1. Kandungan gas metan tinggi yaitu sekitar 15 m3 – 30 m3 per ton 2. Permeabilitas batubara yang baik yaitu sekitar 30 mD -30 mD. 3. Coal seam dangkal yaitu lapisan batubara < kedalaman 1000 m. Tekanan pada kedalaman yang berlebih terkadang sangat tinggi dan telah mengalami penguapan. Hal ini disebabkan tekanan tinggi menyebabkan adanya struktur cleat yang menyebabkan penurunan permeabilitas. 4. Ranking batubara. Kebanyakan proyek
CBM memproduksi gas dari batubara
bituminus, tetapi hal ini dapat mungkin terjadi di Antrasit. Semakin bertambah kuantitasnya dari gambut hingga medium volatile bituminous rank, lalu berkurang hingga antrasit. Jadi, dari low rank coal pun sudah punya CBM (umumnya kualitas batubara di Indonesia kita adalah low rank). Tentu saja kuantitas gas akan semakin banyak jika lapisan batubaranya semakin tebal. 3.3
Prinsip Produksi CBM Pemanfaatan Coal Bed Methane untuk sumber energi akan melalui tahapan produksi gas CBM. Terdapat tiga tahapan proses dalam produksi gas metana dari reservoir CBM. Pertama adalah desorpsi metana dari micropore coal. Terjadinya desorpsi dimungkinkan dengan penurunan tekanan reservoir melalui proses dewatering. Kedua, ketika tekanan
reservoir turun hingga mencapai tekanan desorpsi, metana akan berdifusi dalam matriks hingga methane mencapai rekahan. Kemudian, setelah mencapai rekahan, methane akan mengalir mengikuti hukum Darcy hingga mencapai lubang sumur. Proses produksi gas metana ditunjukkan di Gambar 1.
Gambar 1. Mekanisme Produksi Metana
Seiring dengan menurunnya tekanan reservoir, produksi gas akan meningkat hingga mencapai puncaknya hingga mencapai kestabilan. Setelah itu, produksi gas akan menurun. Produksi gas diawal produksi disertai dengan produksi air yang besar hingga akhirnya produksi air menurun drastis ketika produksi gas mencapai maksimum. Skema produksi reservoir CBM dapat dilihat di Gambar 2.
Gambar 2. Skema Produksi Reservoir CBM
Pada umumnya produksi reservoir CBM dilakukan dengan menggunakan constraint laju produksi air. Selain dipengaruhi oleh laju produksi air tersebut, waktu yang dibutuhkan untuk mencapai produksi gas maksimum dipengaruhi oleh berbagai variabel antara lain luas area, ketebalan, permeabilitas fracture, porositas matriks dan fracture, volume Langmuir, serta tekanan reservoir. Berbagai variable tersebut nantinya akan disensitivity untuk melihat pengaruhnya terhadap tercapainya t peak. Cekungan yang mengandung CBM memiliki sifat yang sangat berbeda dengan cekungan pasir (sand reservoir), dengan karakteristik sebagai berikut :
Metana tersimpan dalam matriks (pori-pori batubara) melalui proses adsorpsi. Metana terkandung dalam bentuk mendekati cairan, “membasahi” sisi dalam pori-pori batubara.
Porositas matriks umumnya mengacu pada ukuran cleat (retakan sepanjang batubara), dan bukan porositas batubara tersebut. Porositas ini umumnya sangat rendah jika dibandingkan cekungan tradisional (kurang dari 3%).
Gas seringkali terperangkap (namun tidak selalu) dalam batubara, tersegel di dalam batubara dengan kejenuhan air 100%. Cekungan ini harus dikeluarkan airnya sebelum gas metana dapat terdesorpsi dari batubara. Untuk memproduksi CBM, lubang sumur yang diperkuat dengan pipa baja digali
melalui lapisan batubara/coal seam (200-1500 meter di bawah permukaan). Dengan berkurangnya tekanan di dalam lapisan batubara, akibat adanya lubang di permukaan atau masuknya sejumlah kecil air pada coalbed, baik gas maupun air mengalir ke permukaan melalui pipa. Gas yang keluar dari sumur ini kemudian dikirim ke stasiun kompresor menuju jalur pipa gas alam. Air yang ikut keluar bersama gas ini dapat diinjeksikan kembali ke formasi yang terisolasi, dimasukkan ke aliran air dalam pipa, atau digunakan untuk irigasi. Air yang keluar umumnya mengandung natrium bikarbonat dan klorida. Laju produksi sumur CBM sangat rendah, umumnya berkisar antara 300 ribu cubic feet per hari (sekitar 0,1 m3/detik), dan umumnya memerlukan biaya tinggi. Profil produksi sumur CBM umumnya memiliki karakteristik laju alir gas “negative decline”, karena produksi CBM terjadi setelah air dipompakan dan gas mulai terdesorpsi dan mengalir. Sumur CBM yang kering terlihat tidak berbeda dengan sumur pada umumnya, kecuali laju alir gas yang lebih rendah dan senantiasa menurun.
Proses desorpsi metana mengikuti kurva isoterm Langmuir (kandungan gas vs. Tekanan reservoir). Kurva isoterm ini dapat dideskripsikan secara analitik dengan volume gas maksimum (pada tekanan tak terhingga), dan tekanan saat separuh dari gas yang ada keluar dari batubara. Parameter tersebut (disebut volume Langmuir dan tekanan Langmuir) merupakan sifat batubara, dan sangat bervariasi. Batubara di Alabama jika dibandingkan batubara di Colorado dapat memiliki parameter Langmuir yang sangat berbeda, walaupun memiliki sifat-sifat lainnya yang serupa.
Gambar 3. Kurva Langmuir
Karena produksi gas dilakukan pada cekungan batubara, maka perubahan tekanan diduga dapat menyebabkan perubahan terhadap porositas dan permeabilitas batubara. Hal ini dikenal juga sebagai matrix shrinkage/swelling (pengerutan/pemekaran matriks). Saat gas terdesorpsi, tekanan gas di dalam pori berkurang, menyebabkan batubara mengkerut dan mencegah aliran gas keluar batubara. Dengan mengkerutnya pori, maka seluruh matriks akan mengkerut, yang akan memperbesar ruang untuk gas keluar melalui cleat, dan meningkatkan laju alir gas. Pada prinsipnya, sejumlah banyak cbm tersimpan dalam coal matrix secara adsorption, yang arti mudahnya adalah 'gas menempel di dalam pori-pori coal matrix' (ada juga sih cbm sebagai free gas atau gas yang tidak menempel pada coal matrix). Cara terkandungnya cbm ini berbeda dengan cara tersimpannya conventional gas. conventional gas tersimpan secara compressed (sebenarnya sama saja dengan free gas). Jadi, lapisan
batubara pada target eksplorasi cbm selain berperan sebagai reservoir, juga berperan sebagai source rock (tidak ada migrasi seperti pada conventional gas). CBM dapat keluar (desorption) dari coal matrix melalui cleat (bidang rekahan dengan merendahkan pressure (air) pada target lapisan. Hubungan antara kuantitas cbm yang tersimpan dalam coal matrix terhadap pressure dinamakan Kurva Langmuir Isotherm (proses tersebut berada pada suhu yang konstan terhadap perubahan pressure). Tekanan tersebut direndahkan dengan cara memompa air (dewatering). Jadi, sejumlah banyak air juga akan diproduksikan dan ini menyebabkan kalau mengeksploitasi CBM akan berhadapan dengan environmental challenge, karena banyaknya air yang diproduksi. 3.4
Produksi Coal Bed Methane (CBM) Produksi CBM merupakan produksi yang mempertimbangkan beberapa faktor mulai dari pengembangan permeabilitas rekahan dari cekungan ke cekungan, migrasi gas, maturasi batubara, distribusi batubara, geologi struktur, pilihan penyempurnaan CBM, dan produksi pengaturan air. Hal tersebut dimulai dengan pengembangan cleat (rekahan). Batubara mengandung porositas tapi sangat sedikit akan permeabilitas. Sehingga dibutuhkan permeabilitas sekunder seperti rekahan untuk memproduksi gas dari batubara tersebut. Rekahan tersebut mengizinkan air, gas alam, dan fluida lainnya untuk migrasi dari porositas matriks ke sumur produksi. Cleat adalah istilah untuk jaringan rekahan alami yang terbentuk pada coal seam sebagai bagian dari pematangan batubara. Bentuk cleat sebagai hasil dari dehidrasi batubara, tekanan lokal dan regional, dan overburden. Cleat menjadi pengontrol permeabilitas batubara, kemudian di dalam eksploitasi berperan untuk memposisikan sumur dan jaraknya satu sama lain. Pada coal seam, gas terabsorpsi pada laminasi mikroskopis dan mikropori pada maseral batubara. Gas alam akan migrasi melewati rekahan dan kekar-kekar yang berhubungan. Kemudian terdapat faktor lain yang berpengaruh terhadap produksi CBM yaitu pengembangan hidrokarbon dan fluida lainnya. Selama pematangan batubara mulai dari gambut sampai antrasit, mereka mentransformasi fluida pada sumur. Low rank peat dan lignit memiliki porositas tinggi, kandungan air tinggi, suhu biogenik rendah, dan sedikit fluida lainnya. Sedangkan batubara tipe bituminous, airnya telah hilang, porositas menurun, formasi biogenik metana menurun karena suhu naik di atas suhu rata-rata bagi bakteri. Pada waktu yang sama, panas merusak senyawa organik kompleks untuk mengeluarkan metana
dan gas dengan fraksi yang lebih berat (etana dan yang lebih tinggi). Inorganik gas dapat dihasilkan dari termal batubara yang hancur. Selama proses pematangan sampai antrasit, metana yang rendah dihasilkan dan sedikit akan porositas dan sisa air pada matriks. Teknologi CBM telah mengalami banyak perkembangan dalam 2 dekade terakhir, akan tetapi apapun yang telah didapatkan dan dipelajari pada masa eksplorasi, karakteristik dan management reservoir dalam konteks sumber cadangan tetap harus menjadi pertimbangan utama. Lapangan CBM memiliki karakter yang berbeda-beda dan begitu pula pengelolaannya. Teknik pemboran konvensional untuk gas alam umumnya bisa diaplikasikan untuk hampir semua CBM. Sebelum pada tahap komersial, CBM dapat diproduksikan dimana pengetesan sumur dapat dilakukan pada 4 atau 5 sumur pertama.
Gambar 4. Pemboran horizontal
Pemboran CBM umumnya hampir sama dengan pemboran untuk minyak dan gas. Bahkan dalam beberapa daerah , peralatan pemboran yang dipakai hampir sama dengan pemboran untuk sumur air. Selain itu, dibeberapa tempat pemboran berarah (directional drilling) dan pemboran horizontal diterapkan untuk mengoktimalkan produksi dan juga tergantung daerah atau lapangan CBM-nya. Pemboran horizontal sekarang ini sedang dirintis untuk pemboran CBM. Pemboran horizontal ini dilakukan dengan cara mengebor beberapa ratus kaki secara vertikal kemudian dibelokkan secara horizontal sampai kurang lebih 4000 ft.
Hydraulic fracturing atau lebih dikenal sebagai Fracturing adalah suatu teknik untuk meningkatkan luas area permukaan dari batubara. Sistem fluida dan additive yang bisa digunakan pada sumur-sumur konvensional tidak cocok digunakan untuk sumur-sumur CBM. Hal ini dikarenakan lapisan batubara mempunyai katakteritik yang unik dan oleh karenanya dibutuhkan material yang spesial. Secara umum banyak cara untuk mengembangkan CBM. Teknologi produksi termasuk pengeboran konvensional, pemboran sebelum penambangan dan pemboran horizontal seperti yang dijelaskan sebelumnya. Beberapa keberhasilan dalam mengembangkan CBM telah dicapai ketika suatu pemboran dikoordinasikan dengan pertambangan batubara. Di mana sumur-sumur dibor sampai lapisan batubara (coal bed) atau sedikit di atasnya dimana mungkin gas akan terproduksi pada saat pemboran berlangsung. Batubara kemudian ditambang dan kemungkianan lapisan atasnya akan runtuh yang membuat lubang besar dinamakan “gob” yang mungkin akan berhubungan dengan lapisan batubara di atas lapisan utamanya. Gas yang terakumulasi di gob kemudian dipompa melalui sumur-sumur yang ada.
Gambar 5. Bidang Rekahan di Bidang Batubara
Gambar 6. Skema produksi gas dan air pada tipe sumur CBM (USGS, 2000)
Gambar 7. Tipe Pengembangan CBM
Faktor lainnya adalah metode penyempurnaan CBM. Sumur CBM dikomplitkan dengan beberapa jalan tergantung pada tipe batubara dan fluidanya. Setiap tipe batubara (sub-bituminous, bituminous, antrasit) menawarkan cara produksinya masing-masing sesuai dengan rekahan alami dan kompetensi dari coal seam. Contohnya saja, sub-bituminous lebih lembut dan memiliki kompetensi coal seam yang rendah dibandingkan dengan bituminous, sehingga secara tipe coal seam-nya produksi dilakukan dengan cara konvensional yaitu sumur vertikal. Sedangkan batubara dengan peringkat tinggi memiliki kompetnsi yang tinggi, sehingga dapat dilakukan dengan open pit. Namun untuk teknik yang banyak digunakan dengan horizontal drain-hole.
Gambar 8. CBM Drilling Example (COAL: Ancient Gift Serving Modern Man; American Coal Foundation, 2002).
IV.
KESIMPULAN Adapun kesimpulan yang dapat diambil dari pembahasan materi di atas adalah sebagai berikut : 1. Potensi Coal Bed Methane di Indonesia cukup besar yaitu sekitar 453.3 TCF tersebar di 11 cekungan, dan dapat dimanfaatkan sebagai energi alternatif untuk memenuhi kebutuhan energi nasional. 2. Pemanfaatan coal bed methane ini tidak hanya menguntungkan dari segi energi alternatif, tapi dapat mengurangi resiko bahaya zat metan bagi pekerja dan lingkungan. 3. Pada prinsipnya, coal bed methane terkandung pada batubara yaitu dalam micropores dan cleats batubara. Gas metan ini tercebak didalam batubara karena adanya tekanan air yang membuat gas metan tidak dapat keluar dan bermigrasi. 4. Produksi coal bed methane dilakukan dengan cara pemboran (drilling) menuju coal seam yang akan diambil gas metannya. Karena lapisan batubara mempunyai porositas dan permeabilitas yang rendah, maka perlu dilakukan hydraulic fracturing pada coal seam untuk mempermudah gas metan keluar. 5. Pada awal produksi, akan lebih banyak didapatkan air yang disebut sebagai air terproduksi. Hal ini dilakukan untuk mengeluarkan air agar tekanannya menjadi rendah sehingga jika air sudah keluar, maka kemudian gas metan dapat diproduksi ke permukaan.
DAFTAR PUSTAKA [1] Yuliana, Neni ; Sukarno ; Pudjo & Yasutra, Mega (2009). Kelakuan Reservoir CBM Sebelum Mencapai Puncak Produksi. JTM, 16(4), 249-260. [2] Coal Bed Methane (2013) ( http://triranipujiastuti.blogspot.com/2013/02/coal-bed-methane.html), diakses 6 Mei 2014 [3] Menggali Potensi Coal Bed Methane (CBM) Sebagai Sumber Energi Masa Depan (2012) (http://oilgas-training.blogspot.com/2012/09/coal-bed-methane-cbm.html), diakses 6 Mei 2014 [4] Apa itu CBM (Coal Bed Methane) ? (2013) (http://suarageologi.blogspot.com/2013/12/apa-itu-cbm-coal-bed-methane.html), diakses 6 Mei 2014 [5] CBM (Coal Bed Methane), Sumber Energi Masa Depan (2011) (http://zulfikariseorengineer.blogspot.com/2011/04/cbm-coal-bed-methane-sumber-energimasa.html), diakses 6 Mei 2014 [6] Ertekin, T (2006). Engineering of Coalbed Methane Reservoir. ITB Presentation, Bandung.