Burj Al-Arab Ujian Tengah Semester Komunikasi dan Negosiasi dalam Profesi Arsitektur AR 4252 Penulis: Halim Adi Kusuma (22411161)
Pendahuluan Burj Al-Arab (Menara Arab) adalah proyek hotel termewah di Dubai yang diprakarsai oleh Shaikh Mohammed Bin Rashid, putra mahkota Dubai. Burj Al-Arab adalah penanda transformasi Dubai dari negara penghasil minyak menjadi pusat pariwisata mewah untuk orang – orang – orang orang terkaya di dunia. Keinginan Shaikh Mohammed Bin Rashid adalah mendirikan suatu hotel yang sangat mewah, yang sekaligus menjadi ikon baru untuk Dubai sebagai daerah pariwisata mewah. Untuk itu, arsitek diharapkan untuk bisa membuat suatu desain yang menunjukkan kemewahan tersebut. Tom Wright mengusulkan suatu konsep hotel yang menyimbolkan layar suatu kapal pesiar yang berlayar di atas laut. Konsep tersebut disetujui oleh Shaikh Mohammed dan proses pembangunan dimulai pada tahun 1994. Sebagai suatu megaproyek yang sangat krusial bagi program suatu negara, bisa dikatakan bahwa pembangunan Burj Al-Arab memiliki budget atau atau alokasi dana yang hampir tidak terbatas. Apalagi melihat kenyataan bahwa pihak klien menginginkan sesuatu yang sangat mewah. Desain yang diajukan sangatlah radikal dan sangat sulit untuk diwujudkan pada masa itu. Tentunya hal ini menimbulkan masalah dalam hubungan arsitek dan kontraktor pelaksana proyek. Di mana sang arsitek mengemban tugas membuat suatu bangunan yang spektakuler dari klien, sedangkan pihak kontraktor harus bisa memastikan bahwa bangunan tersebut bisa diwujudkan dengan optimal. Permasalahan – Tahap Awal Desain Pada tahap awal desain, Tom Wright mengusulkan konsep bangunan yang muncul seperti layar di atas laut. Sehingga memerlukan sebuah pulau buatan yang berjarak 270 meter dari tepi pantai. Ide ini tidak disetujui oleh anggota tim perencanaan lainnya. Anggota tim perencanaan lainnya mengusulkan pembangunan gedung di tepi pantai dengan pertimbangan belum pernah ada bangunan tinggi yang dibangun di atas sebuah pulau buatan, terlebih lagi bangunan dengan sistem struktur yang kompleks. Pertimbangan tersebut mencakup resiko pembangunan yang tinggi dan biaya pembangunan yang akan membengkak. Pada akhirnya, klien memutuskan bahwa bangunan akan dibangun di atas pulau buatan yang dibuat lepas pantai. Klien menyatakan bahwa ada suatu kebanggaan psikologis psikologis bagi penduduk negaranya untuk melihat layar yang terbentang di tengah laut. Klien menganggap resiko yang harus diambil akan setimpal dengan hasilnya.
1
Pada fase ini, terjadi perbedaan pandangan antara klien dan perencana (arsitek). Klien mengharapkan suatu bangunan ikonik yang spektakular dan menyangkut imej suatu negara, sedangkan tim perencana tidak berniat untuk mengambil resiko kegagalan apabila bangunan tersebut tidak bisa diwujudkan. Dari sisi perencana, anggota tim perencana tidak melihat proyek ini sebagai suatu peluang untuk mengembangkan diri, tetapi hanya sebagai sebuah proyek biasa. Di sisi lain, Tom Wright memiliki suatu tanggung jawab mewujudkan keinginan klien untuk mendapatkan suatu bangunan yang luar biasa. Permasalahan – Proses Persiapan Proyek Setelah proses perencanaan, pulau buatan mulai dibuat pada tahun 1994. Terjadi suatu perdebatan tentang ketinggian pulau buatan dari permukaan laut. Pihak perencana berpendapat bahwa pulau harus dibuat sependek mungkin untuk mencapai konsep yang diinginkan. Namun pihak kontraktor pembuatan pulau menyatakan bahwa ketinggian pulau yang diusulkan tidak aman apabila terjadi gelombang pasang yang besar. Pada akhirnya, pihak kontraktor harus mengalah dengan menerapkan teknologi pemecah ombak pada tepi pulau untuk melindungi bangunan dari gelombang pasang. Pihak kontraktor ditekan untuk mengambil resiko demi mewujudkan konsep dari perencana. Setelah masalah tentang ketinggian pulau, pihak kontraktor harus mengambil resiko dalam pembuatan dinding penahan air tanah. T erdapat suatu fenomena di mana ada resiko bagian dasar pulau menjadi lunak karena air laut, sehingga akan meruntuhkan segala struktur yang berdiri di atasnya. Dalam kasus yang menyangkut keselamatan, pada umumnya kontraktor tidak akan mengambil resiko yang dapat merusak reputasinya. Namun perlu diingat bahwa ketika uang bukan lagi menjadi masalah, pihak klien menginginkan proyek tersebut bisa berjalan sesuai rencana, apapun caranya. Dalam kasus Burj Al-Arab, resiko yang diambil akan menginspirasi pembangunan Dubai ke depannya. Salah satunya adalah cara pembangunan pulau buatan yang diterapkan juga pada pembangunan Palm Island dan World Island . Permasalahan – Proses Pembangunan Salah satu kendala yang muncul adalah pada proses perancangan rangka luar pengaku bangunan. Pihak perencana menginginkan rangka luar yang menjadi keunikan dari bangunan Burj Al-Arab. Pihak kontraktor mengatakan bahwa komponen rangka luar tersebut akan sangat sulit untuk didatangkan dan dipasang pada bangunan. Pihak ahli sains bangunan melakukan riset dan menemukan bahwa keberadaan rangka luar tersebut akan menimbulkan pusaran angin kecil yang dapat membahayakan kekuatan bangunan dalam kondisi cuaca yang ekstrim. Keterpihakan klien terhadap pihak perencana mengharuskan pihak lainnya (kontraktor, ahli bangunan) mencari solusi yang inovatif. Untuk memindahkan komponen rangka luar ke lokasi pembangunan, kepolisian Dubai harus menutup jalan dan membongkar seluruh lampu lalu lintas sepanjang jalan dari pabrik hingga lokasi pembangunan untuk bisa dilewati oleh kendaraan pengangkut komponen struktur tersebut. Untuk memasang komponen rangka luar pada bangunan, pihak kontraktor harus 2
mendatangkan peralatan pengangkatan kilang minyak dari Singapura. Untuk mengatasi pusaran angin yang terjadi akibat rangka luar, pihak ahli bangunan harus menyisipkan 11 buah peredam getaran (tune mass damper ) pada rangka luar bangunan dengan catatan tidak boleh menyolok dan mengganggu estetika. Pembahasan Jika ditinjau dari awal masalah, terdapat suatu masalah ketika klien telah menyukai konsep dari seorang arsitek / perencana. Sang klien akan secara tidak langsung memberi otoritas mutlak bagi pihak arsitek dalam segala hal. Hal ini akan mengganggu hubungan antara pihak perencana dan pelaksana. Dalam suatu kondisi ideal, kedua pihak harus memiliki kedudukan yang setara di bawah klien. Namun dengan situasi budget proyek yang seolah tidak terbatas, klien mengembangkan suatu pola pikir yang mempercayai bahwa segala ide dapat diwujudkan. Pola pikir tersebut sejalan dengan pola pikir arsitek yang ingin mewujudkan ide – ide inovatif yang pada kondisi budget terbatas, tidak akan bisa terwujudkan. Sayangnya, pola pikir kedua pihak tersebut tidak sejalan dengan pola pikir pihak pelaksana yang umumnya didasarkan pada efisiensi. Pada proyek Burj Al-Arab, banyak masalah – masalah yang terjadi di antara pihak – pihak yang terlibat. Masalah yang terjadi ada kalanya memerlukan penanganan yang radikal dan tidak bisa diterima pada masanya. Tetapi ketika masalah – masalah tersebut dapat teratasi dengan baik, maka sebenarnya masalah – masalah tersebut telah membuka lembaran inovasi baru yang akan berguna di kemudian hari. Daftar Referensi Priatman, Jimmy (2014). Komunikasi dan Negosiasi dalam Profesi Arsitektur AR 4252. Surabaya: Universitas Kristen Petra. Bates, James (Producer). (Darlow Smithson Productions 2007). Dubai’s Dream Palace. National Geographic Channel. http://www.youtube.com/watch?v=RGzSNZudEHw http://www.atkinsdesign.com/html/projects_hotels_burj_al.htm http://richardson.eng.ua.edu/Former_Courses/CE_331_fa11/Project/Past_Projects/Sims%20-%20Burj%20Al Arab%20Final%20Presentation.pdf
3