STANDAR PERENCANAAN TEKNIS BANGUNAN EMBUNG
WILAYAH SUNGAI LOMBOK DAN WILAYAH SUNGAI SUMBAWA
EDISI PERTAMA DESEMBER 2015
KATA PENGANTAR Bersamaan dengan pengembangan irigasi secara Nasional, pembangunan embung di Nusa Tenggara Barat telah berjalan lebih dari puluhan tahun. Berdasarkan pengalaman pengembangan tersebut, dengan harapan didapat pendetailan, dan terisinya ruang-ruang kosong dalam Standar Perencanaan Irigasi (KP, BI, dan PT) serta memberikan acuan praktis maka disusunlah Standar Lokal Perencanaan ini. Standar perencanaan teknis lokal ini disusun oleh Tim Ahli Fakultas Teknik Universitas Mataram sebagai penyunting/ perumus dan Tim Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I sebagai pemberi input data terkait. Standar Lokal Perencanaan Teknis ini merupakan acuan awal perencanaan bangunan embung (instream overflow dam) dengan penerapannya masih memerlukan
penyesuaian
berdasarkan
kajian
observasi
dan
kalibrasi
lapangan yang lebih detail. Sedangkan kriteria dan metode perencanaannya merupakan standar minimal untuk digunakan oleh perencana. Dalam upaya penyempurnaan Standar Teknis Lokal Perencanaan Bangunan Embung ini saran dan masukan dari semua pihak sangat dibutuhkan.
Mataram,
Desember 2015 Tim Penyusun
i
KATA SAMBUTAN Cakupan
pengelolaan
Sumber
Daya
Air
(SDA)
meliputi
kegiatan
perencanaan, pelaksanaan konstruksi, operasi dan pemeliharan dalam rangka upaya konservasi, penatagunaan, pengendalian daya rusak air, pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, serta pemanfaatan sistem informasi. Secara umum perencanaan pengelolaan sumber daya air disusun sesuai dengan prosedur dan persyaratan melalui tahapan yang ditetapkan dalam standar perencanaan yang berlaku secara nasional. Secara khusus, dalam perencanaan teknis SDA yang bertujuan untuk pembangunan infrastruktur yang terdiri dari bendungan, embung, bendung, saluran Irigasi Teknis, Jaringan irigasi rawa-tambak, bangunan pemanfaatan air tanah, reservoir air baku, bangunan pengendali banjir dan pengamanan pantai serta bangunan lainnya, memerlukan standar perencanaan yang sangat tergantung terhadap kondisi atau karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) -Wilayah Sungai (WS )masing-masing. Salah satu bagian dalam Standar Perencanaan Irigasi Nasional (KP, BI, dan PT) yang memerlukan perhatian adalah dalam menganalisis dan mengevaluasi data Hidrologi yang saat ini di Nusa Tenggara Barat masih sangat bergantung pada metode-metode empiris. Dalam Standar tersebut, koefisien (parameter perencanaan) yang menyatakan hubungan empiris antara curah hujan-limpasan air hujan belum spesifik atau memiliki range yang perlu disesuaikan dengan karakteristik DAS di WS Lombok dan WS Sumbawa. Bersamaan dengan pengembangan irigasi secara nasional, pembangunan embung di Nusa Tenggara Barat telah berjalan lebih dari puluhan tahun. Berdasarkan pengalaman tersebut, dengan harapan didapat pendetailan, dan terisinya ruang-ruang kosong dalam Standar Perencanaan Irigasi (KP, BI, dan PT). Maka Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I menyusun buku ii
Standar Perencanaan Lokal yang memberikan acuan praktis pelaksanan perencanaan di Lingkungan BWS NT I ataupun di NTB secara umum. Standar
Lokal
perencanaan penerapannya
Perencanaan
bangunan masih
Teknis
embung
ini
(instream
memerlukan
merupakan overflow
penyesuaian
acuan dam)
berdasarkan
awal
dengan kajian
observasi dan kalibrasi lapangan yang lebih detail. Dengan demikian siapapun yang akan menggunakan Standar Teknis Lokal ini, tidak akan lepas dari tanggung jawabnya sebagai perencana dalam merencanakan bangunan ke-airan. Kami berharap buku Standar Perencanaan Lokal ini dapat dijadikan sebagai acuan minimal pelaksanaan perencanaan dalam pengelolaan sumber daya air sehingga dapat mendukung peningkatan kemanfaatan sumber daya air yang berkelanjutan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mataram, Desember 2015 Kepala Satuan Kerja Balai Wilayah Sungai Nusa Tenggara I
Ir. Asdin Julaidy,MM.,MT. NIP. 19630727 199904 1 001
iii
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR ...........................................................................
i
KATA SAMBUTAN .............................................................................
ii
DAFTAR ISI ......................................................................................
iii
DAFTAR GAMBAR ............................................................................
v
DAFTAR TABEL ................................................................................
ix
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ...............................................................
I-1
1.2. Proses Penyusunan Standar Lokal .................................
I-2
1.3. Batasan-batasan ............................................................
I-2
1.4. Substansi Muatan ..........................................................
I-3
1.5. Peta Prasarana SDA Eksisting WS Lombok dan WS Sumbawa .................................................................
I-5
1.6. Bagan Alir Perencanaan Embung ...................................
I-7
BAB II PENGUKURAN TOPOGRAFI DAN PENYELIDIKAN GEOLOGI 2.1. Survey Topografi ............................................................
II-1
2.2. Investigasi Geologi Dan Pengujian Laboratorium ...........
II-5
2.3. Macam Pengujian Di Laboratorium Dan Aplikasinya ......
II-12
BAB III SKEMA SUNGAI DAN KARAKTERISTIK DAS 3.1. Skema Sungai ................................................................
III-1
3.2. Karakteristik DAS ..........................................................
III-3
3.3. Daerah Pengaruh Stasiun Hujan ....................................
III-4
BAB IV HIDROLOGI 4.1. Debit Banjir Rancangan ................................................
IV-1
4.1.1. Alur Perencanaan ................................................
IV-1
4.1.2. Peta Acuan Isoyet hujan rancangan dan Peta gambaran
Koefisien Pengaliran .............................................
IV-2
4.2. Debit Andalan ................................................................ IV-15 4.2.1. Alur Perencanaan ................................................ IV-15 4.2.2. Peta Acuan Awal Isohyet Keandalan Curah Hujan IV-16
iii
4.2.3. Peta Gambaran awal estimasi parameter masukan
Metode MOCk ....................................................... IV-51 4.2.4. Peta Gambaran estimasi parameter masukan Metode
NRECA ................................................................ IV-59 4.3. Debit Kebutuhan............................................................ IV-63 4.3.1. Alur Perencanaan ................................................. IV-63 BAB V PERENCANAAN BANGUNAN 5.1. Pemilihan Lokasi Site Embung ......................................
V-1
5.2. Desain Bangunan Utama ...............................................
V-2
5.3. Analisis Stabilitas ..........................................................
V-6
DAFTAR PUSTAKA DAFTAR ISTILAH LAMPIRAN
iv
v
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1.1 Peta WS Lombok ...........................................................
I-5
Gambar 1.2 Peta WS Sumbawa ........................................................
I-6
Gambar 1.3 Bagan alir perencanaan desain embung ........................
I-7
Gambar 3.1 Skema Sungai dan Syarat Penggambaran......................
III-2
Gambar 3.2 Peta Faktor Bentuk DAS di WS Lombok ........................
III-4
Gambar 3.3 Peta Faktor Bentuk DAS di WS Sumbawa .....................
III-5
Gambar 3.4 Peta Faktor Kerapatan DAS di WS Lombok ....................
III-6
Gambar 3.5 Peta Koefisien Kerapatan DAS di WS Sumbawa .............
III-7
Gambar 3.6 Peta Polygon Theissen Daerah Aliran Sungai WS Lombok III-8 Gambar 3.7 Peta Polygon Thiessen Daerah Aliran Sungai Di WS Sumbawa ...........................................................
III-9
Gambar 4.1 Bagan Alir Perhitungan Banjir Rancangan.....................
IV-2
Gambar 4.2 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 5 Tahun WS Lombok .....
IV-3
Gambar 4.3 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 5 Tahun WS Sumbawa ..
IV-4
Gambar 4.4 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 10 Tahun WS Lombok ...
IV-5
Gambar 4.5 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 10 Tahun WS Sumbawa
IV-6
Gambar 4.6 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 20 Tahun WS Lombok ...
IV-7
Gambar 4.7 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 20 Tahun WS Sumbawa
IV-8
Gambar 4.8 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 50 Tahun WS Lombok ...
IV-9
Gambar 4.9 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 50 Tahun WS Sumbawa
IV-10
Gambar 4.10 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 100 Tahun WS Lombok
IV-11
Gambar 4.11 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 100 Tahun WS Sumbawa ..............................................................
IV-12
Gambar 4.12 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 1000 Tahun WS Lombok IV-13 Gambar 4.13 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 1000 Tahun WS Sumbawa ..............................................................
IV-14
v
Gambar 4.14 Bagan Alir Perhitungan Debit Andalan ........................
IV-15
Gambar 4.15 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Januari I WS Lombok .................................................................
IV-16
Gambar 4.16 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Januari II WS Lombok .................................................................
IV-17
Gambar 4.17 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Februari I WS Lombok .................................................................
IV-18
Gambar 4.18 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Februari II WS Lombok .................................................................
IV-19
Gambar 4.19 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Maret I WS Lombok .................................................................
IV-20
Gambar 4.20 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Maret II WS Lombok .................................................................
IV-21
Gambar 4.21 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan April I WS Lombok .................................................................
IV-22
Gambar 4.22 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan April II WS Lombok .................................................................
IV-23
Gambar 4.23 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Mei I WS Lombok .................................................................
IV-24
Gambar 4.24 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Mei II WS Lombok .................................................................
IV-25
Gambar 4.25 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan September II WS Lombok .................................................................
IV-26
Gambar 4.26 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Oktober I WS Lombok .................................................................
IV-27
Gambar 4.27 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Oktober II WS Lombok .................................................................
IV-28
Gambar 4.28 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan November I WS Lombok .................................................................
IV-29
Gambar 4.29 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan November II WS Lombok .................................................................
IV-30
vi
Gambar 4.30 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Desember I WS Lombok .................................................................
IV-31
Gambar 4.31 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Desember II WS Lombok .................................................................
IV-32
Gambar 4.32 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Januari I WS Sumbawa ..............................................................
IV-33
Gambar 4.33 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Januari II WS Sumbawa ..............................................................
IV-34
Gambar 4.34 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Februari I WS Sumbawa ..............................................................
IV-35
Gambar 4.35 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Februari II WS Sumbawa ..............................................................
IV-36
Gambar 4.36 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Maret I WS Sumbawa ..............................................................
IV-37
Gambar 4.37 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Maret II WS Sumbawa ..............................................................
IV-38
Gambar 4.38 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan April I WS Sumbawa ..............................................................
IV-39
Gambar 4.39 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan April II WS Sumbawa ..............................................................
IV-40
Gambar 4.40 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Mei I WS Sumbawa ..............................................................
IV-41
Gambar 4.41 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Mei II WS Sumbawa ..............................................................
IV-42
Gambar 4.42 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Juni II WS Sumbawa ..............................................................
IV-43
Gambar 4.43 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Oktober II WS Sumbawa ..............................................................
IV-44
Gambar 4.44 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Nopember I WS Sumbawa ..............................................................
IV-45
Gambar 4.45 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Nopember II WS Sumbawa ..............................................................
IV-46 vii
Gambar 4.46 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Desember I WS Sumbawa ..............................................................
IV-47
Gambar 4.47 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Desember II WS Sumbawa ..............................................................
IV-48
Gambar 4.48 Peta Sebaran Koefisien Nilai Infiltrasi (i) WS Lombok ...
IV-49
Gambar 4.49 Peta Sebaran Koefisien Nilai Infiltrasi (i) WS Sumbawa
IV-50
Gambar 4.50 Peta Sebaran Faktor Resesi Aliran Tanah (K) WS Lombok .................................................................
IV-51
Gambar 4.51 Peta Sebaran Faktor Resesi Aliran Tanah (K) WS Sumbawa ..............................................................
IV-52
Gambar 4.52 Peta Sebaran Kapasitas Kelembaban Tanah (SMC) WS Lombok .................................................................
IV-53
Gambar 4.53 Peta Sebaran Kapasitas Kelembaban Tanah (SMC) WS Sumbawa ..............................................................
IV-54
Gambar 4.54 Peta Sebaran Penyimpanan Air Tanah (GWS) WS Lombok .................................................................
IV-55
Gambar 4.55 Peta Sebaran Penyimpanan Air Tanah (GWS) WS Sumbawa ..............................................................
IV-56
Gambar 4.56 Peta Sebaran Parameter PSUB WS Lombok .................................................................
IV-57
Gambar 4.57 Peta Sebaran Parameter PSUB WS Sumbawa ..............................................................
IV-58
Gambar 4.58 Peta Sebaran Parameter GWF WS Lombok .................................................................
IV-59
Gambar 4.59 Peta Sebaran Parameter GWF WS Sumbawa ..............................................................
IV-60
Gambar 4.60 Peta Sebaran Perkolasi WS Lombok .................................................................
IV-63
Gambar 4.61 Peta Sebaran Perkolasi WS Sumbawa ..............................................................
IV-64
viii
Gambar 5.1 Peta Faktor Erodibilitas Tanah Daerah Aliran Sungai di WS Lombok ................................................................
V-3
Gambar 5.2 Peta Faktor Erodibilitas Tanah di WS Sumbawa .............................................................
V-4
Gambar 5.3 Gambar Peta Faktor Slope Gradient WS Lombok ...........
V-5
Gambar 5.4 Gambar Peta Faktor Slope Gradient WS Lombok ...........
V-6
Gambar 5.5 Kelulusan Air Untuk Tanah ...........................................
V-9
Gambar 5.6 Kurve-kurve Taylor untuk stabilitas tanggul ..................
V-13
Gambar 5.7 Garis depresi pada embung/bendungan homogen .........
V-14
Gambar 5.8 Contoh jaringan trayektori aliran filtrasi dalam tubuh embung/bendungan .....................................................
V-15
ix
DAFTAR TABEL
Tabel 2.1 Skala Survey Detail dan Interval Kontur ............................
II-3
Tabel 2.2 Batas Ketelitian Pengukuran Sudut ...................................
II-4
Tabel 2.3 Batas Ketelitian Pengukuran Sipat Datar...........................
II-4
Tabel 2.4 Skala dan Peruntukan Peta Topografi ................................
II-5
Tabel 2.5 Korelasi antara (N) SPT dengan kepekatan relative dan kepadatan relative tanah serta daya dukung tanah yang diperkenankan ...................................................................
II-9
Tabel 2.6 Macam Pengujian Di Laboratorium dan Aplikasinya .......... II-12 Tabel 4.1 Kategori Kota ..................................................................... IV-61 Tabel 4.2 Kebutuhan Air Domestik ................................................... IV-61 Tabel 5.1 Klasifikasi Kelulusan Air ...................................................
V-1
Tabel 5.2 Harga-harga minimum angka rembesan Lane (Cl) ............. V-16 Tabel 5.3 Berat Satuan Material ....................................................... V-19 Tabel 5.4 Koefisien Zona gempa pada Zona A,B,C,D,E,F ................... V-20 Tabel 5.5 Periode ulang dan percepatan dasar gempa ....................... V-20 Tabel 5.6 Faktor Koreksi pengaruh jenis tanah setempat .................. V-21 Tabel 5.7 Kuat geser tanah lunak ..................................................... V-22 Tabel 5.8 Harga-harga perkiraan daya dukung izin ........................... V-23
x
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Untuk mengatasi kekeringan, maka salah satu strategi yang paling murah, cepat dan efektif serta hasilnya langsung terlihat adalah dengan memanen aliran permukaan dan air hujan di musim penghujan melalui pembangunan embung. Embung merupakan sistem atau istilah lokal yang ada pada umumnya sudah dikenal oleh masyarakat Nusa Tenggara Barat di dalam mengelola sumber daya air. Konstruksi embung berupa waduk penampungan yang terbuat dari timbunan tanah ataupun dari pasangan batu yang dipakai sebagai sumber air untuk memberi/suplesi terhadap kebutuhan air irigasi pada areal di bawahnya, dimana pada umumnya sudah dipersiapkan pola tanam tadah hujan (gora) sehingga dapat
diperoleh
kontinuitas
pemberian
air
untuk
pertumbuhan
tanaman dalam menghindari gagal panen. Proses pengembangan irigasi dilakukan secara berurutan berdasarkan akronim SIDLACOM ( Survey, Investigation, Design, Land Aquisition, Construktion, Operation, and Maintenance ). Setelah pelaksanaan pengembangan irigasi selama hampir dua dekade terakhir, Direktorat Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum telah merevisi dan menerbitkan Standar Perencanaan Irigasi yang disusun dalam 3 kelompok : 1. Kriteria Perencanaan (KP-01 s.d KP-09) 2. Gambar bangunan Irigasi (BI-01 s.d BI-03) 3. Persyaratan Teknis (PT-01 s.d PT-04) Meskipun standar Perencanaan tersebut dengan batasan-batasan dan syarat berlakunya seperti tertuang dalam tiap bagian buku, telah dibuat sedemikian sehingga siap pakai untuk perencana yang belum memiliki banyak pengalaman, tetapi dalam penerapannya masih memerlukan kajian teknis dari pemakainya terutama terkait dengan pemilihan metode dan penentuan parameter perencanaan yang sangat tergantung I-1
karakteristik Daerah Aliran Sungai (DAS) tinjauan. Salah satu bagian dalam standar tersebut yang memerlukan perhatian adalah dalam menganalisis dan mengevaluasi data Hidrologi yang saat ini di Nusa Tenggara Barat masih sangat bergantung pada metode-metode empiris. Dalam Standar tersebut, koefisien (parameter perencanaan) yang menyatakan hubungan empiris antara curah hujan-limpasan air hujan belum spesifik atau memiliki range yang perlu disesuaikan dengan karakteristik DAS di WS Lombok dan WS Sumbawa. Bersamaan
dengan
pengembangan
irigasi
secara
nasional,
pembangunan embung di Nusa Tenggara Barat telah berjalan lebih dari puluhan tahun. Berdasarkan pengalaman pengembangan tersebut, dengan harapan didapat pendetailan, dan terisinya ruang-ruang kosong dalam Standar Perencanaan Irigasi (KP, BI, dan PT) serta memberikan acuan praktis maka disusunlah Standar Lokal Perencanaan ini. 1.2 Proses Penyusunan Standar Lokal Standar perencanaan teknis lokal ini disusun oleh Tim Ahli Fakultas Teknik Universitas Mataram sebagai penyunting/perumus dan Tim Balai Wilayah Sungai NT I sebagai pemrakarsa dan pemberi (input) data terkait. 1.3 Batasan-batasan Embung adalah sebutan lain untuk bendungan kecil. Bendungan kecil adalah
bendungan
yang
tidak
memenuhi
syarat-syarat
sebagai
bendungan besar. Bendungan besar adalah : a. Bendungan yang tingginya lebih dari 15 m, diukur dari bagian terbawah pondasi sampai ke puncak bendungan. b. Bendungan yang tingginya antara 10-15 m dapat pula disebut bendungan besar apabila memenuhi salah satu atau lebih kriteria sebagai berikut : -
Panjang puncak bendungan tidak kurang dari 500 m
-
Kapasitas waduk yang terbentuk tidak kurang dari 500.000 m3 I-2
-
Debit banjir maksimal yang diperhitungkan tidak kurang dari 2000 m3/detik
-
Bendungan menghadapi kesulitan-kesulitan khusus pada pondasinya
-
Bendungan didesain tidak seperti biasanya
Tipe embung (storage dam ) yang dibangun dapat dikelompokkan menjadi 4 keadaan yaitu : -
Embung berdasarkan tujuan pembangunannya (embung tujuan tunggal dan embung serbaguna)
-
Embung yang dibangun pada alur sungai (instream overflow dam) terdiri dari Embung dengan Daerah Irigasi mandiri (independent) dan Embung Regulator (dependent dam)
-
Embung yang dibangun di luar alur sungai (offstream/onfarm) terdiri dari embung untuk dilewati air dengan spillway (overflow dams) dan embung untuk menahan air (non overflow dams)
-
Embung
berdasarkan
material
pembentuknya
(
Urugan,
Pasangan batu/beton, dll). Standar Lokal Perencanaan Teknis
ini merupakan acuan awal
perencanaan bangunan embung (instream overflow dam) dengan penerapannya masih memerlukan penyesuaian berdasarkan kajian observasi dan kalibrasi lapangan yang lebih detail. Dengan demikian siapapun yang akan menggunakan Standar Teknis Lokal ini, tidak akan lepas dari tanggung jawabnya sebagai perencana dalam merencanakan bangunan ke-airan. 1.4 Substansi Muatan
Isi dari standar ini merupakan pendetailan/penyesuaian lapangan dari Standar Perencanaan Irigasi (KP 01- KP 09) antara lain berisi : 1. Informasi kondisi prasarana SDA WS dan karakteristik DAS. 2. Pendetailan/penetapan metode dan flow chart analisis. I-3
3. Pendetailan rentang nilai parameter model empiris analisis hidrologi (dalam bentuk peta zona). 4. Dan
ketentuan-ketentuan
penting
lainnya
terkait
perencanaan embung.
I-4
1.5.
Peta Prasarana SDA Eksisting WS Lombok dan WS Sumbawa
Gambar 1.1Peta WS Lombok I-5
Peta DAS dan Prasarana SDA Eksisting WS Sumbawa
Gambar 1.2Peta WS Sumbawa
I-6
1.6.
Bagan Alir Perencanaan Embung
Bagan Alir Secara Umum Dalam Perencanaan Desain Embung adalah sebagai berikut:
Mulai
Kegiatan Persiapan Administrasi dan Personil
Penyusunan Laporan RMK
Pengumpulan Data Sekunder & studi Terdahulu
Survey Pendahuluan
Analisa Data Sekunder
Draft laporan Pendahuluan
Final Laporan Pendahuluan
Diskusi Pendahuluan
Pekerjaan Survey Lapangan
Laporan Desk BM dan CP Buku Data Ukur
Pengukuran Topografi
Penyelidikan Geologi dan Mekanika Tanah
Survey Hidrologi
Survei Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Analisa Perhitungan dan Penggambaran Hasil Pengukuran
Analisa Laboratorium Mekanika Tanah
Analisa Hidrologi
Analisa Sosial Ekonomi dan Lingkungan
Laporan Geologi Teknik
Laporan Akhur Pengukuran
Laporan Hidrologi
Analisa Kebutuhan Air dan Keseimbangan Air
Laporan Lingkungan
Laporan Sosial Ekonomi
Sistem Planing /Tata Letak Embung/Bendungan
Draft Laporan Antara
Laporan Antara
Diskusi Pertengahan
Laporan Bulanan
A
Gambar 1.3 Bagan alur perencanaan desain embung
I-7
I-8
BAB II PENGUKURAN TOPOGRAFI DAN INVESTIGASI GEOLOGI
2.1 SURVEY TOPOGRAFI 2.1.1
Kriteria Pekerjaan Survey Topografi Pekerjaan survey topografi untuk perencanaan waduk berskala menengah dengan tinggi sampai dengan 50 m meliputi: a).
Peta Daerah Tangkapan Air (DTA) Peta
Daerah
berdasarkan
Tangkapan
Air
(river
basin),
dibuat
peta topografi dari BAKOSURTANAL dengan
skala 1 : 25,000, sehingga didapatkan sistim aliran sungai. b)
Peta Daerah Genangan dan Sekitarnya Peta topografi daerah genangan dan sekitarnya digunakan untuk
menghitung
bendungan
dan
kapasitas
fasilitas,
tampungan,
relokasi
jalan,
tata jalan
letak untuk
konstruksi, pembebasan tanah dan kompensasi, pemetaan geologi dan tempat pengambilan bahan bangunan. Data
pengukuran
dan
batasan-batasab
yang
harus
ditampilkan dalam merencanakan Embung dan Bendungan yaitu data survey topografi adalah: - Alur sungai sepanjang minimal 100 m kehilir rencana As Embung, dan ke hulu sampai luasan minimal Batas elevasi 20 % lebih tinggi dari elevasi puncak rencana bangunan. - Cakupan luasan mencapai 50 m dari sandaran tubuh bendungan dan 100 m atau lebih kearah hulu dan hilir kaki bendungan II - 1
- Untuk daerah konservasi waduk (sabuk hijau), batas luarnya diukur 50 m dari tepi genangan muka air tertinggi (HWL) atau pada elevasi yang setara dengan puncak bendungan tergantung pada jarak terpanjang dari keduanya. - Luasan
tambahan
dimana
galian
memanjang
akan
diperlukan. c)
Tapak Bendungan (dam site) dan sekitarnya 1. Peta Topografi dan Tapak Bendungan - Cakupan tapak bendungan (dam site) termasuk bangunan pelimpah, fasilitas pengambilan, bangunan pengelak,
drainasi,
gedung
kontrol
dan
jalan
konstruksi. - Luasan/Dimensi: Batasan panjang sekitar 4 kali tinggi bendungan di bagian hulu dan hilir dihitung dari sumbu dam. Batasan lebar sekitar 3 kali panjang puncak atau ditambah 2 kali tinggi bendungan. 2. Penampang Memanjang (Longitudinal Section) - Cakupan : tegak lurus sepanjang puncak / as bendungan dengan interval 10 - 20 m, kecuali di alur sungai
ditambah
pula
dengan
arah
sejajar
aliran/lembah sungai. Penampang ini diperlukan pada tahap perencanaan untuk penggalian pondasi bendungan dan pada tahap konstruksi sebagai station (STA) - Dimensi : panjang masing-masing penampang 4 kali dari tinggi kearah hulu dan hilir. II - 2
3. Penampang melintang (Cross Section) - Cakupan : sumbu utama (center line) dari tubuh bendungan, baik dalam bentuk lurus atau lengkung. Penampang
ini
diperlukan
untuk
merencanakan
galian dan timbunan dam, menghitung volumenya dan perbaikan pondasi. - Dimensi : Interval dari masing-masing penampang melintang berkisar 10 m hingga 20 m, dimana makin berbelok lembah sungai perlu diperapat. Lebar penampang melintang mencakup penampang sepanjang puncak ditambah 2 kali tinggi bendungan, baik di sandaran kiri maupun kanan. Panjang alur yang diukur meliputi 4 kali tinggi bendungan kearah hulu dan hilir dari sumbu / as bendungan atau sepanjang 200 m. 2.1.2
Skala Peta 1. Skala Survey Detail dan Interval kontur yang harus tersedia Tabel 2.1 Skala Survey Detail dan Interval Kontur Interval Kontur Skala 1:5,000 1:2,000 1:1,000 1:500
Kontur tengah (m) 5 2 1 1
Kontu Tambahan r tengah Indek kontur s interval (m) (m) 25 2.5 10 1.0 5 0.5 5 0.5
Kontur Tambaha n (m) 1.25 0.50 0.25 0.25
II - 3
2.1.3
Batas Ketelitian 1.
Pengukuran sudut / traverse Tabel 2.2 Batas Ketelitian Pengukuran Sudut
2.
Panjang Ratarata
Kesalahan Penutup
700 m – 2 km 400 m - 700 m 200 m - 400 m 100 m - 200 m
8" n 10" n 15" n 20" n
Imbangan Kesalahan Penutup 1/20,000 1/10,000 1/5,000 1/3,000
Pengukuran sipat datar
Batas/limitasi kesalahan sipat datar Tabel 2.3 Batas Ketelitian Pengukuran Sipat Datar Kelas Beda dua bacaan, muka dan belakang Kesalahan Penutup
Tingkat Kedua
Tingka t Ketiga
Catatan
2,5mm S
5mmS
10mm S
S : jarak satu arah dalam km
2,0mm S
5mmS
10mm S
Tingkat Pertama
II - 4
2.2
INVESTIGASI GEOLOGI DAN PENGUJIAN LABORATORIUM
2.2.1
Pemetaan Geologi
A. Umum Pemetaan geologi dituangkan ke dalam peta dengan skala minimum 1 : 2000 untuk daerah as Bendungan. Atau sesuai dengan skala peta sebagai berikut : Tabel 2.4 Skala dan Peruntukan Peta Topografi
( NSPM KIMPRASWIL, 2002) Pemetaan geologi permukaan untuk rencana bangunan pengairan terutama ditujukan untuk keperluan geologi teknik mencakup pembahasan mengenai: a. Keadaan geomorfologi b. Penyebaran satuan-satuan batuan (litologi), yang termasuk batu maupun tanah harus dengan jelas dibedakan, misalnya batuan dasar, tanah penutup, tingkat pelapukan dan lain-lain, sifat fisik, tekstur, c. Sementasi dan jenis batuannya.
II - 5
d. Kekerasan batuan harus dideskripsikan berdasarkan derajat kekerasan batuan secara kualiatif untuk kepentingan teknik sipil. e. Untuk tanah kohesif digunakan lambang OH (overburden hardness), sedangkan untuk kekerasan batuan digunakan lambang RH (rock hardness). f. Klasifikasi kekerasan menurut Gikuchi dan Saito g. Untuk derajat pelapukan batuan dipergunakan klasifikasi Gikuchi dan Saito h. Klasifikasi tanah sebaiknya dipakai berdarkan Unified Soil Classification. i. Struktur geologi: jurus, kemiringan perlapisan, kekar, patahan. j. Stratigrafi: urutan-urutan dari satuan batuan secara vertikal berdasarkan
pembentukkannya,
sesuai
dengan
sejarah
geologinya. k. Gejala-gejala lainnya: longsoran kegempaan air tanah dan lainlain. B. Pemetaan Geologi Permukaan Daerah Genangan 1. Melakukan pengamatan geologi lapangan pada daerah genangan dan sekitarnya pada skala 1:1000, seperti singkapan batuan, stratigafi dan struktur geologinya. 2. Pengamatan dilakukan di lintasan yang relatif tegak lurus dengan jurus (strike) batuan, sehingga diketahui variasi batuan dan penyebarannya di daerah genangan. 3. Pengamatan juga dilakukan pada proses geologi muda yang ada di lapangan seperti potensi gerakan tanah atau tanah longsor. C. Pemetaan Geologi di Daerah Borrow Area dan Quarry 1. Mencari material yang nantinya akan dipakai untuk konstruksi bangunan,
maka
perlu
dipersiapkan
areal
untuk
material
timbunan di daerah borrow area dan material lainnya di daerah II - 6
Quary
dengan
memetakan
daerah
tersebut
dan
menginformasikan luas area dan volume materialnya. 2. Metode pemetaan geologi di lapangan dengan cara plane table, passing compas, measuringand section. 2.2.2
Pemboran Inti Pemboran yang disyaratkan untuk penyelidikan geologi teknik adalah pemboran dengan cara pemboran inti bermesin (Rotary core drilling). Tujuan pemboran ini adalah untuk mendapatkan data dari kondisi batuan/tanah di bawah bendung atau bangunan lainnya, serta untuk mengetahui daya dukung dan nilai rembesan air di bawah bangunannya. Contoh-contoh hasil pemboran inti (core samples) harus dimasukkan dalam core box serta disusun sesuai dengan urutan kemajuan pemboran. sesuai dengan kedalamannya. Besarnya ukuran peti contoh : panjang = 1,00 m lebar
= 0,50 m
Tiap peti contoh untuk menyimpan 5 meter kemajuan pemboran, terdiri dari 5 jalur. Tiap jalur panjangnya 1 meter. Di bagian dinding kiri dan kanan peti contoh dituliskan kedalaman pemboran yang berurutan dari atas ke bawah. Disetiap pengambilan dengan core barrel, hasil pemboran diletakkan di dalam peti penyimpanan dengan memberikan tanda di bagian sekat peti contoh. Pada tutup dan bagian depan peti penyimpan contoh, data-data berikut harus dicantumkan denga jelas: a.
Nama proyek
b.
Nama lokasi
c.
Nomor titik bor
d.
Inisial dan kedalaman terakhir dimana inti contoh diambil II - 7
Semua peti dan intinya harus disimpan di tempat yang aman (terhindar dari panas, hujan dan lain lain) untuk selanjutnya akan dipergunakan untuk keperluan desainer dan tahap konstruksi. Diskripsi contoh-contoh batuan hasil pemboran harus dimasukkan ke dalam kolom tertentu (log bor) dan membuat nama proyek, lokasi proyek, nomor lubang bor, tanggal, elevasi, koordinat titik bor, muka air tanah,tanggap pemboran, kedalaman pemboran setiap harinya, formasi batuan/tanah, nama batuan/tanah, pelapukan batuan, kekerasan batuan, core shape, core recovery, deskripsi, satuan batuan, RQD, kofisien permeabilitas/lugeon, SPT, air pembilas, type core barrel dan pipa pelindung. 2.2.3
Standart Penetration Test (SPT) Standard Penetration Test (SPT) dilaksanakan untuk mengetahui resistansi dari pada tanah terhadap penetrasi, dan dilaksanakan dengan
interval
2
meter
kedalaman
meter
atau
di
tiap-tiap
pengantian bahan pada lapisan tanah atau menurut instruksi dari Direksi, yang mana dilaksakan pada tanah yang “unconsolidated” atau pada lapukan dari batuan berupa tanah residual. Korelasi antara (N) SPT terkoreksi (Nt =15 + ½ (N – 15) dengan nilai N > 15) dan nilai bearing capacity (unconfined Compresive Strength) diformulakan sebagai berikut, bearing capacity (q) ¼ N dan 1/10 N. Untuk nilai q ~ ¼ N digunakan untuk tanah lunak atau lumpuran, q ~ 1/10 N untuk tanah sangat padat. Disamping itu disesuaikan dengan kondisi geologi dimana pengamatan dilaksanakan.
II - 8
Tabel 2.5 Korelasi antara (N) SPT dengan kepekatan relative dan kepadatan relative tanah serta daya dukung tanah yang diperkenankan SAND
CLAY Daya dukung Ijin (t/m2) Perlu pemadata n Perlu pemadata n
N Value
Kepadata n Relative
Daya dukung Ijin (t/m2)
<2
Sangat lunak
<2
2–4
Lunak
2 ~ 4.5
N Value
Kepadata n Relative
0–4
Sangat lepas
4 – 10
Lepas
10 – 30
Sedang
7 ~ 25
4–8
Sedang
4.5 ~ 9
30 – 50
Padat
24 ~ 45
8 – 15
Kuat
9 ~ 18
> 50
Sangat Padat
> 45
15 – 30
Sangat kuat
18 ~ 36
> 30
Keras
> 36
Sumber : IR. Soedibyo (Teknik Bendungan)
2.2.4
Pengujian Permeabilitas Pengujian permeabilitas dilaksanakan pada lubang bor dimana pada batuan akan dilaksanakan dengan memakai tekanan (water pressure test) dipakai metode uji packer (packer test). Kedalaman pengujian di setiap interval 5 m (1 stage). Sedangkan pada tanah atau material lepas akan dilaksanakan dengan percolation test berupa falling head test atau open-end constand head test. Pemeriksaan
ini dimaksudkan untuk menentukan besarnya daya
rembesan tanah/permeabilitas.
II - 9
Tes rembesan dilaboratorium dapat dilakukan pada contoh tanah asli yang diambil dari lapangan dengan cara : Constant Head Test dan Faling Head Test Constant Head Test biasanya dipakai untuk
menentukan harga k
dari tanah berbutir kasar, sedangkan Falling Head Test dipakai untuk tanah berbutir halus. Tes permeabilitas harus dilakukan di setiap lubang bor, mencakup seluruh kedalaman lubang. 2.2.5
Sumur Uji (Test Pit) Pekerjaan sumuran uji atau test pit adalah untuk mengetahui jenis dan tebal lapisan di bawah permukaan tanah dengan lebih jelas, baik untuk pondasi bangunan maupun untuk bahan timbunan pada daerah sumber galian bahan (borrow area). Dengan demikian akan dapat diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai jenis lapisan dan tebalnya, juga volume bahan galian yang tersedia dapat dihitung. Potongan melintang sebuah sumuran uji harus cukup besar untuk memungkinkan dilakukannya pekerjaan penggalian, yakni sekitar 1,5 x 1,5 m dengan kedalaman 3 sampai 5 meter. Pelaksana pekerjaan harus dapat menginterpretasikan lokasi borrow area dengan baik misalnya jenis bahan timbunan untuk inti bendungan.
II - 10
2.2.6 Paritan Uji (Trench)
Paritan uji adalah galian yang dibuat dengan bentuk seperti parit dengan tujuan untuk mengetahui lebih jelas gejala – gejala geologi di permukaan, misalnya batas atau bidang kontak lapisan – lapisan batuan, rekahan (fracture), patahan, tingkat pelapukan dan tebal lapisan penutup (over burden). Paritan uji umumnya dibuat pada lereng, tumpuan (abutment), dapat memotong garis tinggi atau sejajar garis tinggi. Dimensi Paritan : panjangnya disesuaikan dengan keadaan lereng dan tujuan penyelidikan, dapat berkisar dari sepuluh sampai dua puluh meter panjang sedangkan lebarnya secukupnya supaya orang atau alat mudah bekerja, minimal (1,50 – 2,00) meter jika
pekerjaan
kedalaman uji
dilaksanakan
dengan
tenaga
manusia.
Untuk
jika lapukan/tanah penutup tidak tebal, sampai ke
lapisan keras. Jika tebal, kedalaman sampai 3 meter. 2.2.7 Pemboran Tangan
Untuk pemboran ini digunakan peralatan bor tanah yang ringan, dan dapat dioperasikan dengan tangan untuk mengambil contoh tanah dari lubang bor. Alat itu dipakai cocok untuk menyelidiki lempung lunak sampai teguh dan hanya dapat dipakai sampai kedalaman 10 m. Diameter lubang bor berkisar antara 12 sampai 15 cm, sehingga contoh tanah mudah diambil. Perlu dingat bahwa bor tangan tidak dipakai untuk penelitian perlapisan kerikil, berangkal maupun bongkah.
II - 11
2.3 MACAM PENGUJIAN DI LABORATORIUM DAN APLIKASINYA TABEL 2. 6 Macam Pengujian Di Laboratorium dan Aplikasinya
Ket : 0 = diperlukan uji, - = tidak perlu
Sumber : SNI 03-1962-1990, NSPM KIMPRASWIL, 2002
II - 12
BAB III SKEMA SUNGAI DAN KARAKTERISTIK DAS 3.1 Skema Sungai Dalam perencanaan Embung tidak terlepas dari sumber air yaitu sungai. Perencana harus menampilkan lokasi tinjauan dengan skema sungai yang menggambarkan keterkaitan hidrolis antar bangunan utama/ bangunan pengambil air dengan infrastruktur sepanjang sungai di dalam DAS. Skema sungai memuat semua bangunan utama yang ada di sungai dan anak-anak sungai sampai ordo 3, seperti: bendungan,
embung,
bendung,
jembatan,
talang,
siphon,
dan
perkuatan tebing sungai. Di WS Lombok dan WS Sumbawa, banyak terdapat keterkaitan antara bangunan utama baik dalam satu DAS maupun
interkoneksi
antar
DAS
basah-kering
yang
memiliki
konsekuensi analisis tertentu. yang berbeda terkait pemanfaatan sumber air yang ada dan detailnya di bahas pada bagian simulasi pemanfatan air. Contoh gambar skema sungai dan syarat penggambaran pada Gambar 3.1
III - 1
SUNGAI JANGKOK
SUNGAI SESAOT
SUNGAI SEGENTER MA JERANGAH CS (R ) AW LR JR MALANG
MA PENGKOAK CS (R )
MA SESAOT 1 CS (L)
IR JURANG MALANG
B/S SESAOT MA BENTOYANG ( R)
BS SSAOT FDER MA SESAOT 2 CS (R )
AW LR AIKNYET MA AIKNYET (R ) ARR SESAOT BS JANGKOK
MA PENGKULUR CS (R )
BE SESAOT
SUNGAI SEKOT MA SESULE CS (R ) B MONT NG MA SEMBUANG CS (R )
MA PERAPI - GUA CS (R )
B NYURBAYA
2. Legenda No 1 2 3 4 5 6
MA SARASUTA (R ) PDAM SARASUTA B MENCONGAH
1. Garis No 1 2 3 4 5 6 7
7 8 9 10 11 12 13 14
B MENJELI
15 16 17 18 B/S R PANCOR SUP MIDANG
19 20 21 B MATARAM
BE SAYANG
SELAT LOMBOK
22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Jenis Garis Sungai Utama Sungai Orde 1 Sungai Orde 2 Sungai Orde 3 Sungai Orde 4 Suplesi HLD
Nama Bangunan Bendungan Bendung Pemerintah Bendung Provinsi Bendung Kabupaten Bendung Irigasi Desa Bangunan Pengambilan Air (BPA) PLTMH/PLTA Bangunan Pelimpah Pengambilan Bebas CekDam /Groundsill Sungai Utama Anak Sungai Saluran HLD Sal.Suplesi mengalir terus menerus Sal.Suplesi mengalir terputus putus Arah Mata Air Mata Air Embung (In Stream) Pemerintah Embung (In Stream) Provinsi Embung (In Stream) Kabupaten Embung Lapangan (Off Stream) Tambang Pasir Power House PLTMH/PLTA AWLR ARR PCH / MRG POS IKLIM Rumah Jaga Operator Sipon Talang Jembatan Return Flow Reservoar PDAM Genangan banjir
Warna Hitam Hitam Hitam Hitam Hitam Merah Merah
Tebal 4.5 3.25 2.5 1.75 1.25 2.25 3.25
Singkatan BD B B B B Irdes
Simbol
BPA BP PB CD S S MA E E E E TP PH CRS SP TL JB RF PDAM GB
Gambar 3.1 Skema Sungai dan Syarat Penggambaran
III - 2
Garis
3.2 Karakteristik DAS Air yang mengalir pada alur sungai selain ditentukan oleh besarnya hujan juga di pengaruhi oleh jaringan alur alam DAS, bentuk DAS, Morfologi DAS, jenis tanah, jenis tumbuhan dan lain-lain. Salah satu faktor yang mempengaruhi limpasan yang masuk ke sungai adalah berupa “Faktor Bentuk DAS” dan “Koefisien Kerapatan DAS” yang sebagaimana tergambarkan dalam peta pada Gambar 3.2 sampai dengan Gambar 3.5 Koefisien tersebut dapat digunakan sebagai acuan awal dalam menentukan lokasi AWLR untuk keperluan kalibrasi hidrograf hujan aliran pada DAS yang tidak tersedia pencatatan debit.
III - 3
Gambar 3.2 Peta Faktor Bentuk DAS di WS Lombok III - 4
Gambar 3.3 Peta Faktor Bentuk DAS di WS Sumbawa III - 5
Gambar 3.4 Peta Faktor Kerapatan DAS di WS Lombok III - 6
Gambar 3.5 Peta Koefisien Kerapatan DAS di WS Sumbawa III - 7
3.3 Daerah Pengaruh Stasiun Hujan
Gambar 3.6 Peta Polygon Theissen Daerah Aliran Sungai WS Lombok III - 8
Gambar 3.7 Peta Polygon Thiessen Daerah Aliran Sungai Di WS Sumbawa III - 9
BAB IV HIDROLOGI 4.1 DEBIT BANJIR RANCANGAN 4.1.1 Alur Perencanaan a.
Debit banjir rancangan dihitung berdasarkan catatan debit, jika pada titik lokasi studi/rencana terdapat catatan debit puncak cukup panjang > 20 tahun yang dianalisis frekuensi secara statistik. Software statistik seperti EasyFit dan Minitab yang mengidentifikasi lebih dari 50 jenis distribusi data dengan sangat mudah, cepat dan tepat dapat.
b.
Jika pada titik lokasi studi/rencana hanya terdapat catatan debit puncak < 20 tahun atau tidak ada tersedia, maka debit banjir rancangan dapat dihitung menggunakan pendekatan hujan aliran (diutamakan metode Nakayasu), berdasarkan hujan wilayah yang diutamakan dari hasil analisis metode Isoyet dengan data hujan yang digunakan adalah data hujan harian maksimum annual series (acak). Debit yang dihasilkan harus terkalibrasi dengan data debit AWLR. Jika pada titik lokasi studi/rencana dan DAS-DAS yang berdekatan tidak terdapat catatan debit, maka debit banjir rancangan yang dihasilkan dibandingkan dengan hasil perhitungan tinggi profil banjir di lapangan sesuai dari jejak banjir yang pernah terjadi.
IV - 1
Gambar 4.1 Bagan Alir Perhitungan Banjir Rancangan
4.1.2 Peta Acuan Isoyet hujan rancangan dan Peta gambaran Koefisien Pengaliran Untuk acuan awal analisis, di bawah ini ditampilkan gambaran isoyet hujan kala ulang 5, 10, 20, 50, 100, 1000 tahunan dan gambaran koefisien pengaliran WS Lombok dan WS Sumbawa.
IV - 2
Gambar 4.2 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 5 Tahun WS Lombok
Lombok
IV - 3
Gambar 4.3 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 5 Tahun WS Sumbawa
Lombok
IV - 4
Gambar 4.4 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 10 Tahun WS Lombok IV - 5
Lombok
Gambar 4.5 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 10 Tahun WS Sumbawa IV - 6
Lombok
Gambar 4.6 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 20 Tahun WS Lombok IV - 7
Lombok
Gambar 4.7 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 20 Tahun WS Sumbawa IV - 8
Lombok
Gambar 4.8 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 50 Tahun WS Lombok IV - 9
Lombok
Gambar 4.9 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 50 Tahun WS Sumbawa IV - 10
Lombok
Gambar 4.10 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 100 Tahun WS Lombok IV - 11
Gambar 4.11 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 100 Tahun WS Sumbawa IV - 12
Lombok
Gambar 4.12 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 1000 Tahun WS Lombok IV - 13
Lombok
Gambar 4.13 Peta Isohyet Hujan Kala Ulang 1000 Tahun WS Sumbawa IV - 14
Lombok
4.2 DEBIT ANDALAN (QA) 4.2.1 Alur Perencanaan a.
Debit Andalan dengan probabilitas 50, 80, 90, 95% ditentukan berdasarkan catatan debit ≥ 20 tahun dan diolah dengan software statistik.
b.
Jika pada titik lokasi studi/rencana hanya terdapat catatan debit andalan yang baik < 20 tahun, maka debit andalan dihitung menggunakan pendekatan model hujan-aliran berdasarkan hujan wilayah yang diutamakan dari metode Isoyet. Metode perhitungan ketersedian air diutamakan dengan Metode Mock dan Metode Nreca. Debit yang dihasilkan harus di kalibrasi dengan data debit AWLR, jika pada titik lokasi studi/rencana dan DAS-DAS yang serupa
tidak
terdapat
catatan
debit,
maka
debit
andalan
dikalibrasi dengan membandingkan dengan membandingkan hasil hitungan terhadap debit yang diobservasi menggunakan current meter.
Gambar 4.14 Bagan Alir Perhitungan Debit Andalan
IV - 15
4.2.2 Peta Acuan Awal Isohyet Keandalan Curah Hujan 4.2.2.1
Peta R80 WS Lombok
Gambar 4.15 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Januari I WS Lombok IV - 16
Gambar 4.16 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Januari II WS Lombok IV - 17
Gambar 4.17 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Februari I WS Lombok IV - 18
Gambar 4.18 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Februari II WS Lombok IV - 19
Gambar 4.19 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Maret I WS Lombok IV - 20
Gambar 4.20 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Maret II WS Lombok IV - 21
Gambar 4.21 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan April I WS Lombok IV - 22
Gambar 4.22 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan April II WS Lombok IV - 23
Gambar 4.23 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Mei I WS Lombok IV - 24
Gambar 4.24 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Mei II WS Lombok IV - 25
Gambar 4.25 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan September II WS Lombok IV - 26
Gambar 4.26 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Oktober I WS Lombok IV - 27
Gambar 4.27 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Oktober II WS Lombok IV - 28
Gambar 4.28 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan November I WS Lombok IV - 29
Gambar 4.29 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan November II WS Lombok IV - 30
Gambar 4.30 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Desember I WS Lombok IV - 31
Gambar 4.31 Peta Isohyet Probabilitas 80% Bulan Desember II WS Lombok IV - 32
4.2.2.1.1
WS Sumbawa
Gambar 4.32 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Januari I WS Sumbawa IV - 33
Lombok
Gambar 4.33 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Januari II WS Sumbawa IV - 34
Lombok
Gambar 4.34 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Februari I WS Sumbawa IV - 35
Lombok
Gambar 4.35 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Februari II WS Sumbawa IV - 36
Lombok
Gambar 4.36 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Maret I WS Sumbawa IV - 37
Lombok
Gambar 4.37 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Maret II WS Sumbawa IV - 38
Lombok
Gambar 4.38 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan April I WS Sumbawa
Lombok
IV - 39
Gambar 4.39 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan April II WS Sumbawa
Lombok
IV - 40
Gambar 4.40 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Mei I WS Sumbawa IV - 41
Lombok
Gambar 4.41 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Mei II WS Sumbawa
Lombok
IV - 42
Gambar 4.42 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Juni II WS Sumbawa
Lombok
IV - 43
Gambar 4.43 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Oktober II WS Sumbawa
Lombok
IV - 44
Gambar 4.44 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan November I WS Sumbawa
Lombok
IV - 45
Gambar 4.45 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan November II WS Sumbawa IV - 46
Lombok
Gambar 4.46 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Desember I WS Sumbawa IV - 47
Lombok
Gambar 4.47 Peta Isohyet Rerata Probabilitas 80% Bulan Desember II WS Sumbawa IV - 48
Lombok
4.2.3 Peta Gambaran awal estimasi parameter masukan Metode MOCk 4.2.3.1
Peta Koefisien Infiltrasi WS Lombok
Gambar 4.48 Peta Sebaran Koefisien Nilai Infiltrasi (i) WS Lombok IV - 49
4.2.3.1.1
Peta Koefisien Infiltrasi WS Sumbawa
Gambar 4.49 Peta Sebaran Koefisien Nilai Infiltrasi (i) WS Sumbawa
IV - 50
4.2.3.2
Peta Faktor resesi (K) WS Lombok
Gambar 4.50 Peta Sebaran Faktor Resesi Aliran Tanah (K) WS Lombok IV - 51
4.2.3.2.1
Peta Sebaran Resesi (k) WS Sumbawa
Gambar 4.51 Peta Sebaran Faktor Resesi Aliran Tanah (K) WS Sumbawa IV - 52
4.2.3.3
Peta Parameter SMC WS Lombok
Gambar 4.52 Peta Sebaran Kapasitas Kelembaban Tanah (SMC) WS Lombok
IV - 53
4.2.3.3.1
Peta Parameter SMC WS Sumbawa
Gambar 4.53 Peta Sebaran Kapasitas Kelembaban Tanah (SMC) WS Sumbawa IV - 54
4.2.3.4
Peta parameter GWS
4.2.3.4.1
Peta Parameter WS Lombok
Gambar 4.54 Peta Sebaran Penyimpanan Air Tanah (GWS) WS Lombok IV - 55
4.2.3.4.2
Peta Parameter GWS WS Sumbawa
Gambar 4.55 Peta Sebaran Penyimpanan Air Tanah (GWS) WS Sumbawa
IV - 56
4.2.4 Peta Gambaran estimasi parameter masukan Metode NRECA 4.2.4.1
Koefisien PSUB
4.2.4.1.1
WS Lombok
Gambar 4.56 Peta Sebaran Parameter PSUB WS Lombok IV - 57
4.2.4.1.2
WS Sumbawa
Gambar 4.57 Peta Sebaran Parameter PSUB WS Sumbawa IV - 58
4.2.4.2
Peta Sebaran Koefisien GWF
4.2.4.2.1
WS Lombok
Gambar 4.58 Peta Sebaran Parameter GWF WS Lombok
IV - 59
4.2.4.2.2
WS Sumbawa
Gambar 4.59 Peta Sebaran Parameter GWF WS Sumbawa IV - 60
4.3 DEBIT KEBUTUHAN (QD) 4.3.1 Kebutuhan air Domestik dan Non Domestik Tabel. 4.1 Kategori Kota Katagori
Status Kota
Jumlah Penduduk
I. II. III. IV. V. VI.
Metropolitan Besar Sedang Kecil IKK Desa
>1.000.000 Jiwa 500.000-1.000.000 Jiwa 1.000.000-500.000 Jiwa 20.000-100.000 Jiwa 3.000-20.000 Jiwa <3.000 Jiwa
Tabel 4.2 Kebutuhan Air Domestik Katagori Kota Berdasarkan Jumlah Penduduk (Jiwa) No.
500.0001.000.00 0
1.000.00 0500.000
Besar
190
>1.000.000
Uraian
20.000100.000
<20.000
Sedang
Kecil
Desa
170
150
130
30
30
30
20-30
30
30
20-30
20-30
20-30
20-30
20-30
20-30 1,1 1,5 5 100
20-30 1,1 1,5 5 100
1,1 1,5 6 100 10
20-30 1,1 1,5 6 100-200
20 1,1 1,5 10 200
10
10
24
10
10
24
24
20
24
24
20
20
80:20
20
20
80:20 80:20
70
30
*) 90
**) 90
***) 70
Metro 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11
Konsumsi unit sumbangan rumah (SR) l/o/h Konsumsi Unit Hidran Umum (HU) l/o/h Konsumsi Unit Non Domestik (%) Kehilangan Faktor Maksimum day Faktor Peak-Hour Jumlah Jiwa per SR Jumlah jiwa per HU Sisa tekan di jaringan distribusi (mka) Jam oprasi Volume Reservoir (%) (Max day deamend)
12
SIR: Hu
50:50 s/d 70:30
13
Cakupan pelayanan (*)
**)90
50:50 s/d 80:20 **) 90
*) Tergantung survey social ekonomi **) 60% perpipaan, 30 % non perpipaan ***) 25% perpipaan, 45 % no perpipaan Kebutuhan Non Domestik Kota-Kota Kategori I, II, III, IV, V Sekolah Rurnah Sakit Puskesmas Mesjid
: : : :
10 I/murid/hari 200 1/tempat tidur/hari 2 m3/hari sampai 2 m3/hari IV - 61
Kantor Pasar Hotel Rumah Makan Komplek Militer Kawasan Industri Kawasan Pariwisata
: : : : : : :
10 I/pegawai/hari 12 m3/hektar/hari 150 1 /ternpat tidur/hari 100 1 /tempat duduk/hari 601/orang/hari 0,2 - 0,8 1/dt/ha 0,1 - 0,3 1/dt/ha
Kebutuhan Non Domestik Kota Kategori V Sekolah : 5 1/murid/hari Rumah Sakit : 200 l/tempat tidur/hari Puskesmas : 1.200 1/hari Hotel/Losmen : 90 1/tempat tidur/hari Komersil/Industri : 10 1/pekerja/hari 4.3.1 Kebutuhan air Irigasi Perhitungan air untuk kebutuhan irigasi tiap hektar didasarkan atas faktor-faktor yang bisa mempengaruhi kebutuhan air tanaman di sawah, mengikuti (KP-01). Besaran Evapotranspirasi untuk WS Lombok berkisar 2,5 – 5,5 mm/hari dan WS Sumbawa berkisar antara 3 – 6,5 mm/hari. Dibawah di berikan acuan awal parameter perkolasi.
IV - 62
Gambar 4.60 Peta Sebaran Perkolasi WS Lombok IV - 63
Gambar 4.61 Peta Sebaran Perkolasi WS Sumbawa IV - 64
BAB V PERENCANAAN BANGUNAN
5.1
PEMILIHAN LOKASI SITE EMBUNG Dalam menentukan lokasi embung pada masing-masing pekerjaan, diperhatikan hal-hal sebagai berikut : 1. Tujuan pembangunan embung/bendungan 2. Keadaan topografi, tempat embung/bendunganharus tersedia untuk menampung air, lebih disukai yang keadaan geologi tekniknya yang tidak lulus air sehingga kehilangan air sedikit Tabel 5.1 Klasifikasi Kelulusan Air
3. Keadaan hidrologi klimatologi dan rencana bahan timbunan yang tersedia di lokasi 4. Hasil galian tanah sedapat mungkin bisa dimanfaatkan untuk bahan urugan (bila embung dari urugan tanah), pondasi embung dan tanah rendah 5. Lokasi dekat dengan desa yang memerlukan air sehingga jaringan distribusi tidak begitu panjang dan tidak banyak kehilangan energi 6. Lokasi dekat jalan atau mudah pencapaiannya
V-1
5.2
DESAIN BANGUNAN UTAMA
5.2.1 Tinggi Rencana Muka Air Embung Muka air rendah (low water level) Persamaan matematis penentuan volume tampungan mati ( umur efektif embung 25 tahun) adalah : Vd
=
Er. Vr . Ca . Lt . Te . Dr / 1000
dimana : Vd = volume tampungan mati (juta m3) Er
= laju erosi tahunan (mm/tahun)
Ca = luas daerah aliran sungai (km2) Lt
= usia guna Embung (tahun)
Te
= trap efficiency
Dr
= perbandingan unit dry densities sedimen di DTA dan di embung.
Laju erosi tahunan dapat diprediksi dengan metode USLE.
V-2
Gambar 5.1 Peta Faktor Erodibilitas Tanah Daerah Aliran Sungai di WS Lombok V-3
Gambar 5.2 Peta Erodibilitas Tanah di WS Sumbawa V-4
Gambar 5.3 Gambar Peta Faktor Slope Gradient WS Lombok
V-5
Gambar 5.4 Gambar Peta Faktor Slope Gradient WS Lombok V-6
Muka air normal (normal water level) Titik ini merupakan posisi puncak (mercu) pelimpah. Secara teknis, tinggi muka air normal ditetapkan setelah tampungan efektif Embung/bendungan
ditetapkan,
dan
dengan
memasukkan
parameter volume tampungan efektif ditambah volume tampungan mati ke dalam lengkung kapasitas Embung/bendungan, maka akan didapatkan elevasi muka air normal. Muka air banjir (high water level) Muka air banjir merupakan kedudukan muka air maksimum di Embung/bendungan yang nilainya akan sangat dipengaruhi oleh dimensi bangunan pelimpah, dan debit banjir yang terjadi. Secara teknis analisis akan dilakukan dengan data masukan debit banjir rancangan sesuai patokan perancangan yang telah ditetapkan. Patokan perancangan dalam studi ini ditetapkan dengan kala ulang 100 tahun dikontrol terhadap banjir kala ulang 1000 tahun, dan hasil yang diperoleh harus mampu mengantisipasi debit banjir maksimum (peak maximum flood). Penentuan besarnya tampungan banjir ini harus dilakukan secara bersama-sama dengan penetapan tipe dan dimensi pelimpah. 5.2.2 Konstruksi Embung/Bendungan Berdasarkan kuantitas konstruksi yang telah dilaksanakan, dan telah berfungsi konstruksi embung/bendungan di Indonesia mempunyai kecenderungan untuk menggunakan konstruksi urugan. Klasifikasi Embung.bendungan urugan diklasifikasikan dalam tipe homogen, zonal
dan
sekat.
Selain
itu
Embung/bendungan
urugan V-7
diklasifikasikan dari materialnya yaitu urugan tanah dan urugan batu. Berdasarkan klasifikasinya, maka konstruksi embung/bendungan mempunyai inti (core). Material inti timbunan embung/bendungan harus dipertimbangkan dengan ketersediaan dan pemakaian material di daerah sekitar lokasi yang mempunyai kualitas tertentu. Dalam perencanaan tebal lapisan kedap air harus mempertimbangkan halhal sebagai berikut :
Koefisien permeabilitas dari material.
Resistivity terhadap piping misalnya gradasi dan plastisitas material asal dengan gradasi dari material yang dicampurkan.
Ketahanan terhadap gempa.
5.2.3 Pemilihan Tipe Embung/Bendungan Pemilihan tipe embung/Bendungan sesuai kriteria Japanese National Committee
on
Large
Dams
(1976)
didasarkan
pada
tinggi
embung/bendungan, kualitas dan kuantitas material yang ada, kondisi topografi dan geologi tapak Embung/bendungan, meteorologi dan waktu pelaksanaan. 1. Tinggi tubuh embung/bendungan Tinggi maksimum untuk embung tidak lebih dari 15 meter. 2. Kualitas dankuantitas material yang ada Tipe
Embung/bendungan
juga
dipengaruhi
oleh
ketersediaan
material yang ada di sekitar lokasi tapak embung/bendungan yang diperoleh dari hasil pekerjaan galian. Misalnya material tanah tersedia
berlimpah
tetapi
material
lolos
air
sedikit,
maka
menggunakan tipe homogen.
V-8
Gambar 5.5 Kelulusan Air Untuk Tanah
3. Topografi Secara umum embung/bendungan urugan cocok untuk jenis topografi tapak Embung/bendungan dengan sandaran yang tidak curam (relatif landai). Jika abutment relatif curam, tetapi tetap menggunakan tipe urugan, tipe sekat perlu perhatian khusus dan cenderung embung/
tidak
menguntungkan,
bendungan
akan
karena
mengakibatkan
penurunan kerusakan
tubuh pada
sekatnya. 4. Geologi Faktor pondasi embung/bendungan perlu mendapat perhatian yang serius,
karena
akan
berkaitan
dengan
stabilitas
tubuh
embung/bendungan dan biaya perbaikan pondasi. Jika pondasi berupa
batuan
keras,
embung/bendungan
bukan
maka
tipe
merupakan
embung, kendala,
dan tetapi
tinggi jika V-9
pondasinya
tanah,
maka
tinggi
embung/bendungan
bukan
merupakan prioritas. 5. Meteorologi dan Geofisika Saat musim hujan jumlah hari kerja terbatas dengan kondisi cuaca, maka lebih cocok menggunakan tipe embung/bendungan yang sedikit menggunakan material tanah. 5.2.4 Dimensi Embung Tinggi Embung Tinggi
embung/bendungan
permukaan
pondasi,
dan
adalah elevasi
perbedaan
mercu
antara
embung/
elevasi
bendungan.
Permukaan pondasi adalah dasar dinding kedap air atau dasar dari zone kedap air. Apabila pada embung/ bendungan tidak terdapat dinding kedap air atau zone kedap air, maka yang dianggap permukaan pondasi adalah garis perpotongan antara bidang vertikal yang
melalui
tepi
hulu
mercu
embung/bendungan
dengan
permukaan pondasi alas embung/bendungan. Panjang Embung/Bendungan Panjang embung/bendungan adalah seluruh panjang mercu embung yang bersangkutan, termasuk bagian yang digali pada tebing-tebing sungai di kedua ujung mercu tersebut. Apabila bangunan pelimpah atau bangunan penyadap terdapat pada ujung-ujung mercu, maka lebar bangunan-bangunan tersebut diperhitungkan pula dalam menentukan panjang embung/bendungan. Jagaan (Freeboard) Tinggi jagaan adalah perbedaan antara elevasi permukaan air maksimum rencana air embung/bendungan dengan elevasi mercu embung/bendungan.
Dalam
menentukan
tinggi
jagaan
perlu
diperhatikan berbagai faktor yang mungkin akan mempengaruhi eksistensi dari calon embung/bendungan antara lain : V-10
Kondisi dan situasi tempat kedudukan calon embung/bendungan.
Pertimbangan-pertimbangan
tentang
karakteristik
dari
banjir
abnormal
Kemungkinan timbulnya ombak-ombak besar dalam waduk yang disebabkan oleh angin dengan kecepatan tinggi ataupun gempa bumi.
Kemungkinan terjadinya kenaikan permukaan air waduk di luar dugaan, karena timbulnya kerusakan-kerusakan atau kemacetankemacetan pada bangunan pelimpah.
Tinggi jagaan (Hf) dapat dihitung dengan rumus sebagai berikut (Suyono, Takeda, 1989):
h H f h hw atau e ha hi 2 H f hw
he ha hi 2
dimana : h
= tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air waduk yang terjadi akibat timbulnya banjir abnormal (m)
hw
= tinggi ombak akibat tiupan angin (m)
he
= tinggi ombak akibat gempa (m)
ha
= tinggi kemungkinan kenaikan permukaan air waduk, apabila
terjadi
kemacetan-kemacetan
pada
bangunan
pelimpah (m) hi
= tinggi tambahan yang didasarkan pada tingkat urgensi dari waduk (m)
Lebar Mercu Embung/Bendungan Lebar mercu embung/bendungan yang memadai diperlukan agar puncaknya dapat bertahan terhadap hempasan ombak di atas permukaan lereng yang berdekatan dengan mercu tersebut, dan V-11
dapat bertahan terhadap aliran filtrasi yang melalui bagian puncak tubuh embung/bendungan yang bersangkutan. Selain itu pada penentuan lebar mercu perlu pula diperhatikan kegunaannya sebagai jalan inspeksi dalam keperluan operasi dan pemeliharaan, namun tidak menutup kemungkinan dalam penentuannya didasarkan pada kegunaannya sebagai jalur lalu lintas umum. Guna mendapat lebar minimum mercu embung/bendungan (b), dapat ditentukan dengan persamaan menurut Suyono Sosrodarsono (1989) yang menggunakan parameter tinggi embung/ bendungan (H). b
= 3.6 . H1/3 - 3.0
dimana : b
= lebar mercu (m)
H = Tinggi Embung (m)
5.3
ANALISIS STABILITAS
5.3.1 Analisis Stabilitas Lereng Untuk pedoman pendahuluan pcrencanaan kemiringan tanggul dapat dipakai Bilangan Stabilitas Taylor. Untuk kemiringan-kemiringan yang lebih penting dibutuhkan analisis yang lebih lengkap, yaitu dengan metode Irisan Bishop (Bishop method of slices) dan metode lainnya.
N
C
F H
di mana; c
= faktor kohesi, kN/m2
F
= faktor keamanan (= 1,2)
= berat volume, Kn/m3
H
= tinggi lereng, m.
V-12
Gambar 5.6 Kurve-kurve Taylor untuk stabilitas tanggul (dan Capper, 1976)
Pembebanan
untuk
analisis
stabilitas
lereng
embung
harus
mempertimbangkan kondisi-kondisi berikut: a. Selesai pembangunan baik untuk lereng hilir maupun udik. b. Keadaan langgeng (steady seepage) lereng hilir maupun udik. c. Keadaan lsurut cepat (rapid draw down) lereng udik.
5.3.2 Stabilitas Terhadap Aliran Filtrasi Baik
tubuh
embung/bendungan
maupun
pondasinya
harus
mampu
menanggulangi gaya- gaya yang ditimbulkan oleh adana air filtrasi yang mengalir melalui celah-celah antara butiran-butiran tanah pembentuk tubuh
embung/bendungan
dan
pondsi
tersebut.
Untuk
mengetahui
kemampuan daya tahan tubuh embung/bendungan serta pondasinya terhadap gaya-gaya tersebut diatas, maka perlu dikaji hal-hal sebagai berikut :
V-13
-
Formasi
garis
depresi
(seepage
line
formation)
dalam
tubuh
embung/bendungan dengan elevasi tertentu permukaan air dalam waduk yang direncanakan. -
Kapasitas air filtrasi yang mengalir melalui tubuh dan pondasi embung/bendungan.
-
Kemungkinan terjadinya gejala sufosi (piping) yang disebabkan oleh gaya- gaya dinamis dalam aliran air filtrasi.
Hal-hal seperti tersebut diatas dapat diketahui dengan mendapatkan formasi garis depresi (seepage line formation) dalam tubuh bendungan dan membuat suatu jaringan trayektori aliran filtrasi (seepage flow-net) dalam tubuh serta pondasi embung/bendungan. a. Formasi Garis Depresi
Formasi
Garis
Depresi
pada
zone
kedap
air
suatu
embung/bendungan dapat diperoleh dengan metode Casagrande. Apabila angka permeabilitas vertikalnya (kv) berbeda dengan angka
permeabilitas
deformasi
garis
horisontalnya
depresi
horisontalnya sebesar
kv
kh
dengan
(kh),
maka
akan
mengurangi
terjadi
koordinat
kali.
Gambar 5.7 Garis depresi pada embung/bendungan homogen
b. Pembuatan jaringan trayektori aliran filtrasi (seepege flow-net)
Berbagai metode telah dikembangkan untuk membuat jaringan trayektori aliran filtrasi pada embung/bendungan urugan dna metode yang paling sesuai dan sederhana adalah metode grafis V-14
oleh Forchheimer (Forchheimer’s diagramatical solution). Cara ini dapat mencapai hasil yang baik jika dikerjakan oleh tenaga ahli yang cukup berpengalaman. Contoh jaringan trayektori aliran filtrasi (flow-net) dapat dilihat pada gambar dibawah ini.
Gambar 5.8 Contoh jaringan trayektori aliran filtrasi dalam tubuh embung/bendungan 5.3.3
Perhitungan Rembesan Untuk menghitung tekanan air tanah dihitung dengan menganalisa jalur rembesan dengan menggunakan metode Lane yang juga disebut angka rembesan lane (weighted creep ratio method). Angka rembesan menurut lane adalah (KP-02, 1986):
1 Lv Lh 3 CL H dengan : Lv = panjang rembesan arah vertikal (m), Lh = panjang rembesan arah horizontal (m), ΔH = perbedaan tinggi air hulu dan hilir (m), CL = angka rembesan menurut Lane. P = H – ΔH dengan : P
= tinggi tekanan air pada titik X (m),
H
= jarak jalur rembesan pada titik X ( m), V-15
ΔH = beda tinggi energi (m). Tabel 5.2 Harga-harga minimum angka rembesan Lane (Cl) No
Uraian
Minimum Angka Rembesan Lane
1
Pasir sangat halus atau lanau
8.50
2
Pasir halus
7.00
3
Pasir sedang
6.00
4
Pasir kasar
5.00
5
Kerikil halus
4.00
6
Kerikil Sedang
3.50
7
Kerikil kasar termasuk berakal
3.00
8
Bongkah dengan sedikit berakal dan kerikil
2.50
9
Lempung lunak
3.00
10
Lempung sedang
2.00
11
Lempung keras
1.80
12
Lempung sangat keras
1.60
Sumber : Kriteria Perencanaan 02, 1986 5.3.4
Perhitungan Tebal Lantai Kolam Olak Akibat adanya rembesan di bawah tubuh embung/bendungan, maka setiap titik pada konstruksi akan menerima tekanan baik ke atas maupun ke samping yang disebut dengan daya angkat (uplift pressure). Pada lantai hulu, karena di atasnya selalu ada air minimal setinggi mercu yang akan mengimbangi tekanan ke atas, disamping tekanan pada daerah ini masih relatif kecil, maka secara praktis tekanan pada daerah ini tidak berbahaya dan dapat diabaikan. Dengan demikian lantai hulu ini tidak perlu terlalu tebal. Yang penting lantai ini haruslah kedap air dan tidak mudah pecah, sehingga fungsinya untuk memperpanjang jalur rembesan tetap terpenuhi.
V-16
Pada lantai hilir (kolam olakan) kondisinya lebih berbahaya terutama karena tekanan rembesan pada daerah ini relatif lebih besar dan di atas lantainya sering kosong (tidak ada air) atau lapisan airnya relatif tipis.
Dengan
demikian
maka
tebal
lantai
kolam
ini
harus
diperhitungkan agar jangan sampai terdorong ke atas, yang harus diimbangi oleh berat lantai itu sendiri. Besarnya tekanan uplift tersebut ditentukan dengan persamaan (KP-02, 1986) : Px H x
Ix . ΔH L
dimana : Px = daya angkat pada titik X, (t/m) Hx = tinggi energi di hulu bendung sampai titik X (m) Ix
= panjang jalur rembesan sampai dengan titik X (m)
L
= panjang jalur rembesan total (m)
H = beda tinggi energi total (m) Untuk mengetahui apakah tebal lantai kolam olakan aman atau tidak, maka ditinjau pada titik yang paling kritis yakni dengan tebal kolam olak paling tipis. Pada saat air normal, di atas lantai dianggap tidak ada air. Maka tekanan ke atas adalah Px, sedangkan tekanan ke bawah adalah berat lantai pada titik yang bersangkutan. Tiap bagian bangunan diandaikan berdiri sendiri dan tidak mungkin ada distribusi gaya-gaya melalui momen lentur. Oleh sebab itu, tebal lantai kolam olak dihitung dengan rumus sebagai berikut (KP-02, 1986): dx S
Px Wx γ
dimana: dx = tebal lantai pada titik X, m Px = gaya angkat pada titik X, kg/m2 Wx = kedalaman air pada titik X, m γ
= berat jenis bahan, kg/m3 V-17
S
= faktor keamanan
5.3.5 Stabilitas Terhadap Guling Keadaan Normal:
SF
Mt 1.50 Mg
Keadaan Gempa:
SF
Mt 1.30 Mg
dengan: SF
= faktor keamanan
∑Mt
= jumlah momen tahan (tm)
∑Mg
= jumlah momen guling (tm)
Gaya-gaya yang bekerja pada bangunan antara lain (): 1. Tekanan air a. Tekanan hidrostatik b. Tekanan hidrodinamik 2. Tekanan tanah a. Tekanan tanah aktif b. Tekanan tanah pasif c. Tekanan sedimen/Lumpur 3. Beban mati Beban mati adalah berat sendiri dari struktur termasuk material pengisinya. Menurut Standar nasional Indonesia, berat satuan dari berbagai material diuraikan sebagai berikut:
V-18
Tabel 5.3 Berat Satuan Material No
Jenis Material
Berat Satuan (t/m3)
1
Baja
7.85
2
Batu galian, batu kali (tidak dipadatkan)
1.50
3
Batu koral
7.25
4
Besi tuang
0.70
5
Beton
2.20
6
Beton bertulang
2.40
7
Kayu kelas I
1.00
8
Kayu kelas II
0.80
9
Kerikil
1.65
10
Mortal/adukan
2.15
11
Pasangan Bata
1.70
12
Pasangan batu
2.20
13
Pasir (kering udara sampai lengas)
1.60
14
Pasir (basah)
1.80
15
Air
1.00
16
Tanah lempung dan lanau (kering udara sampai lengas)
1.70
17
Tanah lempung dan lanau (basah)
2.00
4. Gaya tekan ke atas (Uplift) Akibat bangunan embung/bendungan terendam di air, maka akan mendapatkan gaya angkat ke atas yang akan mengurangi berat efektif bangunan itu sendiri (lihat sub bab 5.3.4) 5. Beban gempa Persamaan yang digunakan sebagai berikut (KP-06, 1986):
kw kh . W dengan: kw
= Gaya gempa (t)
kh (E) = Koefisien gempa W
= Berat bangunan (t)
V-19
Koefisien gempa dapat dihitung dengan menggunakan rumus berikut ad = n (aC * Z)m, ad
E
ad g
di mana:
= percepatan gempa rencana, cm/dt2
n, m = koefisien untuk jenis tanah (lihat Tabel 5.6) aC
= percepatan kejut dasar, cm/dt (untuk harga per periode ulang lihat Tabel 5.6 ).
E g z
= koefisien gempa = percepatan gravitasi, cm/dt2 ( 980) =f aktor yang bergantung kepada letak geografis (Koefisien Zona lihat Tabel 5.6 ) Tabel 5.4 Koefisien Zona gempa pada Zona A,B,C,D,E,F ZONA KOEFISIEN ZONA Z A
0,10 – 0,30
B
0,30 – 0,60
C
0,60- 0,90
D
0,90 – 1,20
E
1,20 -1,40
F
1,40 – 1,60
Sumber : RPT 4, Analis Stabilitas Bendungan Tipe Urugan Akibat Gempa
Tabel 5.5 Periode ulang dan percepatan dasar gempa, ac Periode ulang *) tahun
ac *) (gal = cm /dt2)
10 20 50 100 200 500 1000 5000
90 120 190 220 250 280 330
Sumber : RPT 4, Analis Stabilitas Bendungan Tipe Urugan Akibat Gempa
V-20
Tabel 5.6 Faktor Koreksi pengaruh jenis tanah setempat Kelo mpok 1
2
3 4
Jenis tanah Batuan : a) Perlapisan terbentuk sebelum periode kuarter disebut batuan; b) Lapisan diiluvial di atas lapisan batuan dengan tebal kurang 10 m Diiluvium : a) Lapisan diiluvial di atas lapisan batuan dengan tebal lebih dari 10 m; b) Lapisan alluvial diatas lapisan batuan tebal kurang dari 10 m Alluvium: Alluvium Lunak :
Periode Predominan TS (detik)
Koreksi V
TS ≤ 0,25
0,80
0,25
1,00
0,25
Catatan : (1) Yang termasuk dalam lapisan diiluvial adalah lapisan pasir
1,10 1,20
padat; kerikil bongkahan; lempung
keras; (2) Yang termasuk lapiasan alluvial adalah lapisan endapa baru seperi endapan sungai; longsoran;
V-21
Gambar 5.5 Peta Zonasi Gempa Indonesia V-22
5.3.6 Stabilitas terhadap gaya geser Persamaan yang dipakai adalah (KP-02, 1986):
SF
f
. ΣV c . A ΣH
dengan : SF
= faktor keamanan,
f
= koefisien geser,
ΣV
= jumlah gaya vertikal (ton),
ΣH
= jumlah gaya horizontal (ton),
c
= kohesi (t/m)
A
= Luas bidang dasar pondasi (m2)
Table 5.7 Kuat geser tanah lunak Kosistensi tanah
Kuat geser KN/m2
lunak
12,5 – 2,5
Sangat lunak
< 12,5
5.3.7 Stabilitas terhadap daya dukung tanah Persamaan yang dipakai adalah : Eksentrisitas :
e
max
M L V 2 V 1 6e L
L
dengan: σmax = daya dukung maksimum (t/m2), ΣM
= Σ Mh – ΣMv (tm),
ΣV
= jumlah gaya-gaya vertikal (ton),
σ
= daya dukung yang diijinkan (t/m2),
e
= eksentrisitas akibat beban yang bekerja (m).
V-23
Tabel 5. 8 Harga-harga perkiraan daya dukung izin Daya dukung
Jenis
kN/m2
Kgf/cm2
1. batu sangat keras
10.000
2. batu kapur /batu pasir keras
4.000
3. kerikil
200-600
2–6
4. Pasir berkerapatan sedang
100- 300
1–3
5. lempung kenyal
150- 300
1,5 – 3
6. lempung teguh
75 - 150
0,75 – 1,5
7. lempung lunak dan lanau
< 75
berkerapatan
sedang
100 40
atau pasir dan kerikil
< 0,75
( Sumber : British Standard Code Of Practice CP 2004)
V-24
LAMPIRAN
LAMPIRAN DAFTAR JUMLAH PRASARANA SDA WS LOMBOK PADA DAS UTILITAS KODE
DAS
LUAS 2 Km
HW
AWLR
1
DAS Bentek
31,54
5
2
DAS Buruan
21,50
5
6
DAS Sokong
42,77
3
1
7
DAS Segara
133,17
2
1
8
DAS Tiupupus
47,30
1
11
DAS Luk
44,20
3
12
DAS Penggolong
5,33
4
14
DAS Sidutan
48,12
5
16
DAS Lebahpebali
10,01
1
19
DAS Amoramor
60,12
2
24
DAS Rembat
3,38
1
26
DAS Lebak
3,94
1
27
DAS Menangen
8,45
1
37
DAS Koangan
31,09
1
41
DAS Reak
37,63
12
1
49
DAS Putih
55,71
1
1
53
DAS Beburung
88,90
3
56
DAS Belik
7,84
2
57
DAS Mentareng
9,24
1
64
DAS Nangka
32,87
1
70
DAS Rajak
17,05
1
71
DAS Sambelia
57,31
1
85
DAS Desa
73,11
15
87
DAS Kukusan
91,55
34
88
DAS Tojang
40,07
8
89
DAS Geres Serodang
61,88
8
90
DAS Blimbing
141,65
52
91
DAS Aikampat
102,06
54
92
DAS Menangapaok
12,28
2
93
DAS Moyot
23,97
9
1
94
DAS Palung
128,83
45
1
96
DAS Rere Penembem
53,88
11
97
DAS Pemokong
19,51
14
99
DAS Aruina
5,31
2
102
DAS Temodo
23,92
4
104
DAS Peak
46,72
3
105
DAS Pare Gati
45,69
18
106
DAS Supak
14,31
10
110
DAS Bangket Lamin
10,96
1
111
DAS Balak
25,21
1
115
DAS Mawun
14,97
1
130
DAS Bengkang
10,45
1
150
DAS Siung
14,80
1
1
ARR
CR
1
1 1 2
1
1
1 1
1
1
LAMPIRAN : LEMBAR KOREKSI/PENYEMPURNAAN Nama : Institusi/Lembaga/Instansi/Perusahaan : No
Bagian/Bab/ Sub.Bab/ Rincian
Uraian Koreksi/Penyempurnaan
Dapat disampaikan langsung atau melaui email :
[email protected]
LAMPIRAN : LEMBAR KOREKSI/PENYEMPURNAAN Nama : Institusi/Lembaga/Instansi/Perusahaan :
DAFTAR PUSTAKA Anonim, Standar Perencanaan Irigasi,
Direktorat Irigasi dan Rawa, Dirjen
SDA, Kementerian PU, Jakarta, 2013. CHOW,V.T: Handbook of Applied Hydrology, McGraw-Hill, London, 1964. CHOW,V.T: Open Channel Hydraulics, McGraw-Hill, New York, 1959. Crippen International LTD. North Vancouver, B.C. Canada: Lombok Island Water Resources Development Phase 1, 1975. DGWRD, Bina Program : PSA series, 1985. DGWRD, Roving seminar on conceptual models for operational hydrological forecasting,1982. DGWRD-DOL : Design Criteria on Irrigation Design, 1980. DPMA and Institute of Hydrology Wallingford : Flood design manual for Java and Sumatra, 1983. ESCAP/ECAPE : Planning water resources development, Water Resources Series No.37, 1968. FAO : Crop water requirements, Irrigation and Drainage paper 24, Rome, 1975. FENCO CONSULTANT LTD : Sumbawa Water Resources Development Planning Study, 1981. IMAN SUBARKAH, Ir : Hidrologi Untuk Perencanaan Bangunan Air, 1980. JANSSEN, P. P.(Ed): Principles of river enggineering, Pitman, London, 1979. JOESRON LOEBIS, Ir. M.Eng : Banjir Rencana Untuk Bangunan Air, 2008. MANNEN,Th.D.van : Irrigatie in Nederlandsch-Indie, 1931. MOCK, F. J. Dr : Land capability appraisal, Indonesia Water availability appraisal, 1973. NEDECO, Jratunseluna basin Development Project : Design Criteria, 1974. NEDECO-DHV Consulting Engineers : Trial Run Training manuals, 1985. SANTOSH KUMAR GARG : Irrigation Engineering and Hydraulic Structures, 1983.
SEDERHANA Irrigation Projects : Design Guidelines for Sederhana Irrigation Projects, 1984. SOENARNO : Tahapan Perencanaan Teknis Irigasi, 1976. SUYONO SOSRODARSONO, Ir. & KENSAKU TAKEDA : Hidrologi untuk Pengairan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1976. SUYONO SOSRODARSONO, Ir. & KENSAKU TAKEDA : Bendungan Tipe Urugan, PT. Pradnya Paramita, Jakarta, 1977. USBR, US Departement of Interior: Canals and related structures, Washington D.C, 1967.
DAFTAR ISTILAH B Banjir rencana banjir maksimum dengan periode ulang tertentu (misal: 5,10,50,100 tahun), yang diperhitungkan untuk perencanaan suatu konstruksi. C Curah hujan efektif bagian dari curah hujan yang efektif untuk suatu proses hidrologi yang bisa dimanfaatkan, misal: pemakaian air oleh tanaman, pengisian waduk dsb. D Daerah aliran sungai (DAS) daerah yang dibatasi bentuk topografi, di mana seluruh curah hujan di sebelah dalamnya mengalir ke satu sungai. Debit andalan debit dari suatu sumber air (mis: sungai) yang diharapkan dapat disadap dengan resiko kegagalan tertentu, misal I kali dalam 5 tahun. Debit puncak debit yang terbesar pada suatu periode tertentu. Debit rencana debit untuk perencanaan bangunan atau saluran,Debit rencana debit untuk perencanaan suatu bangunan air. E Evaporasi adalah penguapan. Evapotranspirasi adalah kehilangan air total akibat penguapan dari muka tanah dan transpirasi tanaman. Embung merupakan sistem atau istilah lokal yang ada pada umumnya sudah dikenal oleh masyarakat Nusa Tenggara Barat di dalam mengelola sumber daya air. Konstruksi embung berupa waduk penampungan yang terbuat dari timbunan tanah ataupun dari pasangan batu yang dipakai sebagai sumber air untuk memberi / suplesi terhadap kebutuhan air irigasi pada areal di bawahnya, dimana pada umumnya sudah dipersiapkan pola tanam tadah hujan (Gora) sehingga dapat diperoleh kontinuitas pemberian air untuk pertumbuhan tanaman dalam menghindari gagal panen.
Embung dengan tujuan tunggal (single purpose dams) adalah embung yang dibangun untuk memenuhi satu tujuan saja, misalnya untuk pembangkit tenaga listrik atau irigasi (pengairan) atau pengendalian banjir atau perikanan darat atau tujuan lainnya tetapi hanya untuk satu tujuan saja. Embung serba guna (multipurpose dams) adalah embung yang dibangun untuk memenuhi beberapa tujuan misalnya : pembangkit tenaga listrik (PLTA) dan irigasi (pengairan), dan lain-lain. Embung penampung air (storage dams) adalah embung yang digunakan untuk menyimpan air pada masa surplus dan dipergunakan pada masa kekurangan. Termasuk dalam embung penampung air adalah untuk tujuan rekreasi, perikanan, pengendalian banjir dan lain-lain. Embung pembelok (diversion dams) adalah embung yang digunakan untuk meninggikan muka air, biasanya untuk keperluan mengalirkan air kedalam sistem aliran menuju ke tempat yang memerlukan. Embung penahan (detention dams) adalah embung yang digunakan untuk memperlambat dan mengusahakan seminimal mungkin efek aliran banjir yang mendadak. Air ditampung secara berkala/sementara, dialirkan melalui pelepasan (outlet). Air ditahan selama mungkin dan dibiarkan meresap didaerah sekitarnya. F Faktor resesi (K) adalah perbandingan antara aliran air tanah pada bulan ken dengan aliran air tanah pada awal bulan tersebut. Faktor resesi aliran tanah dipengaruhi oleh sifat geologi DPS. Faktor tahanan rembesan faktor pengali panjang jalur rembesan sehubungan kondisi bentuk pondasi dan jenis tanah. G G.F.R. Gross Field Water Requirement, adalah kebutuhan air total (broto) di sawah dengan mempertimbangkan faktor-faktor pengolahan laban, rembesan, penggunaan konsumtif dan penggantian lapisan air. Garis kontur garis yang menghubungkan titik-titik yang sama tingginya, disebut juga garis tinggi. GFR kebutuhan total air di sawah. GWF Ground Water Flow, adalah aliran air tanah GWS Ground Water Storage, adalah tampungan air tanah
H Hujan efektif hujan yang betul-betul dapat dimanfaatkan oleh tanaman. Hujan titik curah hujan pada daerah yang terbatas sekitar stasiun hujan. I Infiltrasi adalah aliran air ke dalam tanah melalui permukaan tanah. J Jaringan irigasi adalah seluruh bangunan dan saluran irigasi Jaringan irigasi teknis jaringan yang sudah memisahkan antara sistem irigasi.pembuang dan jaringan tersier K Kantong lumpur bangunan untuk mengendapkan dan menampung lumpur yang pada waktu tertentu dibilas. M Mercu bagian atas dari pelimpah atau tanggul Morfologi sungai bentuk dan keadaan alur sungai sehubungan dengan alirannya. N N.F.R. Net-Field Water Requirement satuan kebutuhan bersih (netto) air di sawah, dalam ha1 ini telah diperhitungkan faktor curah hujan efektif. Neraca air keseimbangan air, membandingkan air yang ada, air hilang dan air yang dimanfaatkan. P Periode ulang suatu periode di mana diharapkan terjadi hujan atau debit maksimum. Perkolasi adalah gerakan air dalam tanah dengan arah vertikal ke bawah. Peta geologi adalah peta yang menggambarkan keadaan geologi, dinyatakan dengan simbol-simbol dan warna tertentu, disertai keterangan seperlunya. Prasarana (infrastruktur) fasilitas untuk pelayanan masyarakat seperti : jaringan jalan, irigasi, bangunan umum. S Saluran irigasi adalah saluran pembawa air untuk menambah air ke saluran lain/daerah lain.
Sipon pelimpah sipon peluap SMC (Soil Moisture Capacity) adalah kapasitas kandungan air pada lapisan tanah permukaan.