MAKALAH UTILITAS MEDIA PEMANAS BRINE
DISUSUN OLEH KELOMPOK 2 1. Reka Arumi Anwar
121150006
2. Marchellino Hermanto
121150022
3. Nur Faizah
121150023
4. Anjani Widyaningrum
121150036
5. Garry Guritno Hartoko Putra
121150038
6. Gusvika Putri Setyowati
121150039
7. Apriyani Wulansari
121150045
8. Karsah Mintarsih
121150046
9. Sawitri Kusuma Sari
121150055
JURUSAN TEKNIK KIMIA FAKULTAS TEKNIK INDUSTRI UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA 2017
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan negara kepulauan dengan luas wilayah 5.193.252 km2 dan dua pertiga wilayahnya merupakan lautan, yaitu sekitar 3.288.683 km2 sehinggabanyak terdapat wilayah pesisir pantai dan pulau-pulau kecil. Sebanyak 1.673 pulau di Indonesia merupakan pulau berpenduduk dan 34 pulau diantaranya adalah pulau besar. Penduduk Indonesia yangbertambah sekitar 1.8-2.0% pertahun menjadikan pulau-pulau tersebut dapat menjadi alternatif sebagai areal pemukiman, lahan pertanian organik, perkebunan, peternakan, perikanan, maupun industri di masa mendatang. Beberapa pulau kecil bahkan menjadi pusat pemerintahan, pusat pariwisata, dan lokasi berdirinya beberapa industri, seperti pulau Batam, Bintan, Tarakan, Nunukan, Bengkalis, dan Ternate. Kecenderungan konsumsi air diperkirakan terus meningkat hingga 15-35% perkapita pertahun, sedangkan ketersediaan air bersih cenderung menurun akibat pertambahan populasi, urbanisasi, industrialisasi, peningkatan pendapatan dan standar hidup, kebutuhan energi,perubahan iklim, kerusakan alam, keterbatasan akses sumber daya air, dan pencemaran. Teknologi desalinasi air laut, air tanah asin, air drainase, atau air payau telah menjadi salah satu solusi pemenuhan kebutuhan akan air bersih bagi masyarakat pesisir. Namun, terjadi perdebatan mengenai penerapan teknologi ini karena polusi dari brine water atau air garam terkonsentrasi.
1. Definisi Brine
Brine merupakan larutan garam (biasanya NaCl) dengan kadar garam yang tinggi. Brine biasa digunakan untuk mengawetkan sayuran, ikan, dan daging. Di dalam industri, brine digunakan untuk menghantarkan panas dari satu tempat ke tempat lain. Karena mengandung kadar garam yang tinggi, brine memungkinkan menyebabkan korosi, sehingga brine yang telah terpakai harus diolah kembali di waste water treatment .
Tabel 1. Salinitas air berdasarkan persentase garam terlarut Air tawar Air payau
Air asin Air garam
< 0.05 %
3-5%
0.05 - 3 %
>5%
2. Penggunaan Brine sebagai Media Pendingin
Brine adalah cairan biasa yang digunakan sebagai refrigeran sekunder dalam instalasi pendinginan besar untuk pengangkutan energi panas dari satu tempat ke tempat lain. Brine yang paling umum didasarkan pada kalsium klorida dan natrium klorida. Hal ini digunakan karena penambahan garam ke dalam air dapat menurunkan suhu pembekuan larutan dan efisiensi pengangkutan panas dapat sangat ditingkatkan dengan biaya material yang relatif rendah. Titik beku terendah yang dapat diperoleh untuk air garam NaCl adalah -21,1 ° C (-6,0 ° F) pada konsentrasi 23,3% NaCl berat. Sodium chloride brine spray digunakan pada beberapa kapal penangkap ikan untuk membekukan ikan. Suhu air garam umumnya -5 ° F (-21 ° C). Suhu beku -31 ° F (35 ° C) atau lebih rendah. Mengingat suhu air laut yang lebih tinggi, efisiensi sistem pembekuan ledakan udara bisa lebih tinggi. Ikan bernilai tinggi biasanya dibekukan pada suhu yang jauh lebih rendah, di bawah batas suhu praktis untuk air garam. Karena sifat korosif Brine berbasis garam, glikol seperti polietilen glikol telah menjadi lebih umum untuk tujuan ini. Pemilihan Brine tergantung pada faktor berikut : 1. Safety Berdasarkan tingkat toksisitas dan flammabilitas. 2. Freezing point
Brine harus mempunyai freezing point cukup dibawah dari temperatur operasi sistem paling rendah. 3. Cost Spesific gravity dan specific heat dari brine akan mempengaruhi biaya tenaga pemompaan. 4. Application Penggunaan pokok dari brine penting untuk mengetahui apakah peralatan proses dipasang indoor atau outdoor, dan apakah sistem berdesain terbuka atau tertutup. 5. Thermal performance Sifat transfer panas dari brine yang bersirkulasi melalui unit evaporator pendinginan memainkan bagian penting dalam menentukan luas permukaan yang dibutuhkan dan hasil temperatur penguapan. 6. Corrosiveness
3. Brine Cooling
Brine
cooling
merupakan
alat
pendinginan
yang
digunakan
untuk
mendinginkan produk dengan refrigerant sekunder sebagai media penyerap kalor, supaya terbentuk produk yang diinginkan. Proses pendinginan pada system brine cooling menggunakan system pendinginan tidak langsung, dengan menggunakan refrigerant perantara atau bias dinamakan refrigerant sekunder. Refrigerant sekunder yaitu suatu fluida yang mengangkut kalor dari bahan yang sedang didinginkan ke evaporator. Brine membawa energy kalor bertemperatur rendah dari media pendinginan (cetakan) ke evaporator. Refrigerant sekunder mengalami perubahan temperature bila menyerap kalor, dari produk, kemudian membuang kalor tersebut di evaporator. Tetapi brine tidak mengalami perubahan fasa. Secara umum refrigeran sekunder berupa air biasa, air garam, propylene glycol, glikol ethilen, glikol profilen, kalsium khlorida, dan lainlainnya.
Refrigerant
sekunder
yang
didinginkan
di
evaporator,
kemudian
disirkulasikan untuk membawa energy kalor bertemperatur rendah dan menyerap kalor dari sekitarnya terutama cetakan termasuk produk. Karena brine disini tidak mengalami perubahan fasa, yaitu tetap cair (liquid) saat pertukaran kalor di evaporator antara brine dengan R-404a maupun saat menyerap kalor dari cetakan, dan produk maka untuk sirkulasinya digunakan pompa.
Secara umum system brine cooling ini mempunyai dua siklus system pendinginan. System pertama menggunakan system pendinginan kompresi uap sederhan dengan refrigerant primer. Yang kedua adalah system pendinginan yang menggunakan refrigerant sekunder ( propylene glycol) yang menyerap kalor terutama dari produk. Setelah melewati cetakan temperaturnya naik tetapi tidak mengalami perubahan fasa. Saat melalui evaporator, brine akan membuang kalor ke refrigerant primer pada evaporator. Brine yang disirkulasikan ini kembali lagi melewati cetakan sampai suatu waktu mencapai temperature yang diinginkan.
4. Pengolahan Limbah Air Garam
Limbah air garam dapat menimbulkan bahaya lingkungan yang signifikan, baik karena efek pembentukan korosif dan sedimen dari garam dan toksisitas bahan kimia lain yang diencerkan di dalamnya. Cara termudah untuk membuang air asin yang tidak tercemar dari tanaman desalinasi dan menara pendingin adalah mengembalikannya ke laut. Untuk membatasi dampak lingkungan, dapat diencerkan dengan aliran air lain, seperti keluar dari pengolahan air limbah atau pembangkit listrik. Karena air garam lebih berat daripada air laut dan akan terakumulasi di dasar laut, ia memerlukan metode untuk memastikan difusi yang tepat, seperti memasang diffuser di bawah air di saluran pembuangan. Metode lainnya adalah termasuk pengeringan di kolam penguapan, menyuntikkan ke sumur dalam, dan menyimpan dan menggunakan kembali air asin untuk keperluan irigasi, de-icing atau pengendalian debu. Teknologi untuk pengolahan air garam tercemar meliputi: 1. Proses filtrasi membran, seperti reverse osmosis 2. Proses pertukaran ion seperti elektrodialisis atau pertukaran kation asam lemah 3. Proses penguapan, seperti konsentrat dan kristalisasi air garam yang menggunakan kompensasi dan uap mekanis 5. Alat – Alat a. Brine Heater
Brine heater berfungsi sebagai pemanas air laut agar mencapai suhu air laut tertinggi ( top brine temperature) dengan menggunakan uap panas. Uap panas yang digunakan untuk memanaskan air laut pada brine heater berasal dari boiler .
Uap panas ini bersuhu sekitar 154ºC dan perlu diturunkan lagi menggunakan desuperheater . Suhu uap panas tidak boleh lebih dari 120ºC agar tidak terjadi pengkerakan pada sisi tube brine heater . Sedangkan suhu air laut yang keluar dari brine heater perlu dijaga konstan sekitar 113ºC agar proses evaporasi pada ruang evaporator berjalan maksimal . Proses perpindahan panas pada brine heater perlu dikendalikan agar diperoleh suhu fluida yang sesuai dengan kriteria yang diinginkan. Jika sistem dan kendali dapat dijaga tetap dan sesuai dengan keadaan yang diinginkan maka akan menjadi keuntungan dalam penggunaan uap panas dari boiler sebagai sumber kalor. Sistem brine heater akan bekerja dengan optimal dengan adanya system pengendalian yang tepat. Pengendalian suhu air laut yang keluar dari brine heater karena adanya ganguan perubahan suhu air laut yang masuk ke dalam brine heater dan pengendalian suhu keluaran desuperheater karena adanya gangguan perubahan laju massa uap panas yang masuk desuperheater . Sistem pengendalian yang tepat dibangun dengan menetapkan nilai-nilai parameter kendali yang memungkinkan sistem efisien dan efektif. Oleh karena itu diperlukan suatu perancangan system kendali yang terpadu untuk instalasi brine heater tersebut. b. Tangki Brine Water
Contoh Kasus
Multiple Effect Evaporation:
Pada proses ini biasanya digunakan saturated brine (leburan garam jenuh) alami, yang terkandung didalam tanah atau danau. Saturated brine dapat juga diperoleh dari hasil samping produksi natrium carbonate dengan proses Solvey. Pertama-tama saturated brine (leburan garam) dari air dalam tanah dengan kadar H2S yang terlarut dalam garam NaCl maksimum 0.015%. Perlakuan pendahuluan dari bahan baku brine adalah dengan aerasi untuk menghilangkan kandungan hidrogen sulfide. Penambahan sedikit chlorine dimaksudkan untuk mempercepat penghilangan H2S dalam brine. Brine setelah proses aerasi, kemudian diumpankan dalam tangki pengendap untuk mengendapkan lumpur atau solid yang tidak diinginkan seperti kalsium, magnesium dan ion besi. Pengendapan dibantu dengan penambahan campuran caustic soda, soda ash dan brine sehingga didapat larutan garam. Setelah proses pengendapan, kemudian larutan garam dipekatkan pada evaporator multi efek. Larutan garam pekat kemudian dicuci dengan brine untuk memurnikan garam. Larutan garam kemudian difiltrasi pada filter untuk proses pemisahan garam dan larutan brine. Garam yang terpisah kemudian ditambahkan kalium yodat untuk penambahan kandungan yodium pada garam sehingga dihasilkan sodium chloride. Sodium chloride kemudian dikeringkan pada dryer dan kemudian disaring
untuk mendapatkan ukuran yang seragam. Sodium chloride kemudian siap dikemas dan dipasarkan. Yields yang dihasilkan pada proses ini adalah 99,8%. Proses dengan multiple effect evaporation merupakan proses yang paling klasik untuk produksi garam. Jumlah evaporator yang diterapkan bervariasi antara 2, 6, mungkin 7. Sedangkan langkah-langkah prosesnya adalah sebagai berikut : a.
Umpan yang berupa larutan NaCl 26% dipanaskan terlebih dahulu di preheater.
b.
Larutan NaCl yang sudah dipanaskan dimasukkan ke dalam evaporator 5 tahap. Evaporator divakumkam sehingga dari satu evaporator ke evaporator berikutnya titik didihnya semakin menurun. Di evaporator larutan garam dipanaskan dengan steam.
c.
Uap yang dihasilkan pada proses sebelumnya digunakan lagi untik proses penguapan di evaporator berikutnya.
d. Dari evaporator dihasilkan slurry garam yang selanjutnya dialirkan ke alat sentrifugasi. e.
Di alat sentrifugasi kristal garam terpisahkan dari air namun masih basah.
f.
Garam yang basah tersebut dikeringkan lalu dipak dan siap dikeringkan.
DAFTAR PUSTAKA
http://letshare17.blogspot.co.id/2010/10/media-pemanas-dan-pendingin-bagian-ii.html https://en.wikipedia.org/wiki/Brine https://id.wikipedia.org/wiki/Air_garam https://www.researchgate.net/publication/287595898_Potensi_Pemanfaatan_dan_Pengolahan_Bri ne_Water_dari_Proses_Desalinasi_Air_Laut [accessed Dec 06 2017].
http://digilib.polban.ac.id/files/disk1/95/jbptppolban-gdl-tantanesha-4718-3-bab2--0.pdf