Mata Kuliah Biostratigrafi 2017
Biozonasi pada Biostratigrafi berdasarkan Fo I. Biozonasi Foraminifera Besar Klasifikasi Huruf Tersier ( L ette tter C lasi lasififi cat cati on Te T er tiary of I ndo ndonesi nesia a)
Perkembangan Foraminifera bentos besar mulai aktif dipelajari di Indonesia sejak tahun 1927. Sejarah perkembangan forminifera besar, antara lain :
Tahun 1927
: Van der Vlerk dan Umbgrove, membuat klasifikasi huruf pertama
kalinya di Indonesia
Tahun 1931
: Vlerk dan Leupold, Klasifikasi huruf (revisi)
Tahun 1949
: Dikutip dari Bemmelen
Klasifikasi huruf berdasarkan publikasi data hingga tahun 1947 menurut Rutten dengan beberapa tambahan sesuai dengan Vlerk 1948
Tahun 1950
: Vlerk mengajukan klasifikasi huruf revisi lain
Tahun 1955
: Vlerk mengajukan klasifikasi huruf revisi lain
Tahun 1970
: Adams menelaah kembali klasifikasi huruf
Tahun 1975
: Haak dan Postuma mengemukaan klasifikasi huruf
Tabel 1. Perkembangan klasifikasi huruf
LUKMAN FAHRY (111.130.011) KELAS A
1
Tabel 2. Perkembangan dan penamaan klasifikasi huruf dari 1927-1970
Sesuai dengan dinamika perubahan dan penyempurnaan Letter penyempurnaan Letter Clasification Tertiary of Indonesia (Klasifikasi Huruf Tersier Indonesia) yang selalu mengalami penyempurnaan, para paleontologist menyebut sebagai Klasifikasi Huruf Tersier Terbuka Indonesia (Opened Letter Clasification Tertiary of Indonesia), Indonesia), artinya klasifikasi tersebut masih terbuka untuk disempurnakan, dalam usaha untuk mewadahi penemuan fosil yang baru. a.
Klasifikasi van der Vlerk & Umbgrove (1927) :
Van der Vlerk & Umbrove mengklasifikasikan dengan Letter Classification dengan diindikasikan huruf T atau menandakan biozonasi pada Zaman Tersier dengan ketentuan “a” tertua hingga “h” termuda dan parameter dan parameter berupa foraminifera besar
yang
dominan
disusun
oleh
Famili Alveolinidae,
Nummulitidae,
Discocyclinidae & Orbitoididae, Orbitoididae, klasifikasi ini umum digunakan di daerah Asia Tenggara
Mata Kuliah Biostratigrafi 2017
Tabel 3. Klasifikasi Huruf van der Vlerk & Umbgrove 1927
Pada Zaman Tersier dibagi menjadi enam biozonasi yaitu; 1) Eosen (TaTb), 2) Oligosen (Tc-Td), 3) Miosen (Te1-5 – Tf 1-3 & beberapa bagian yaitu Tg), 4) Pliosen (Tg – Th), 5) Pleistosen (Th) dan 6) Resen
LUKMAN FAHRY (111.130.011) KELAS A
3
b.
Klasifikasi van der Vlerk & Umbgrove 1927 (Modifikasi van Bemmelen
1949)
Tabel 4. Klasifikasi Huruf Tersier Van Der Vlerk & Umbgrove 1927 (modifikasi Bemmelen 1949)
Van Der Vlerk dan Umbgrove 1927 telah memakai 15 spesies/genus Foraminifera besar. Tersier dibagi mulai dari
Ta
: Eosen Bawah
Tb
: Eosen Atas
Tc-d
: Oligosen
Te-f
: Miocene
Tg
: Pliosen Bawah
Th
: Pliosen Atas
Mata Kuliah Biostratigrafi 2017
c.
Klasifikasi van der Vlerk & Leupold 1931 (modifikasi van Bemmelen 1949)
Klasifikasi Huruf Tersier Leupold dan Van Der Vlerk, 1931 (modifikasi Bemmelen, 1949)
LUKMAN FAHRY (111.130.011) KELAS A
5
Keterangan nama fosil :
Mata Kuliah Biostratigrafi 2017
Tabel 5. Klasifikasi Van Der Vlerk dan Leupold, 1931
Leupold dan Van DerVlerk, 1931 memepertimbangkan 48 spesies/genus Foraminifera besar dimana :
Ta
Tb
Tc
Td
Te 1-4
Tf 1-3
Tg
Th 1-2
: Ta 1 & Ta 2
LUKMAN FAHRY (111.130.011) KELAS A
7
c. Klasifikasi Koolhoven (1933,1936)
Klasifikasi Koolhoven (1933, 1936) menyusun biostratigrafi daerah Bayah, Jawa Barat berdasarkan asosiasi Foraminifera besar dan Mollusca, dan diperoleh hasil sebagai berikut:
Tabel 6. klasifikasi Koolhoven (1933,1936) pada daerah Bayah, Jawa Barat
d. Klasifikasi Rutten 1948 (modifikasi van Bemmelen 1949)
Mata Kuliah Biostratigrafi 2017
Keterangan nama fosil :
LUKMAN FAHRY (111.130.011) KELAS A
9
Tabel 7. Klasifikasi Rutten, 1948 & Kandungan Fossilnya
Rutten, 1948 mempertimbangkan 38 spesies/genus Foraminifera besar dengan pembagian fossil :
Ta / b : Eosen
Tc / d : Oligosen
Mata Kuliah Biostratigrafi 2017
Te1-5 : Miosen
Tf1-3 : Miosen
Tg/h
e.
: Pliosen
Klasifikasi Adams 1970 (modifikasi Billman & Scrutton, 1976)
Tabel 8. Klasifikasi Biozonasi Adams 1970
LUKMAN FAHRY (111.130.011) KELAS A
11
Zonasi berdasarkan adam menggunakan kronostratigrafi berdasarkan Berggren, 1973 yang artinya berdasarkan Zonasi Adam didapat pembagian detail akan pembagian biozonasi yang didominasi oleh fosil foraminifera besar, pembagian Biozonasi Adams dibagi menjadi 12 biozonasi yaitu; Zaman Tersier dibagi menjadi 8, yaitu :
Ta dibagi menjadi 3 :
Ta1 terdapat pada Paleosen dan dapat dibagi menjadi 2 bagian, yaitu : 1. Ta1 (a)
: terdiri dari foram bentonik langka, didasarkan pada kemunculan
bentuk conical Dictyokathina dan Lockhartia 2. Ta1 (b)
: mencirikan Paleosen tengah hingga akhir, didasarkan atas
kehadiran Fallotella
Ta2 terdapat pada Eosen awal, didasarkan pada kemunculan bentuk cosmopolitan Amphistegina dan Tethyan Orbitolites
Ta3 terdapat pada Eosen Tengah, sesuai dengan kemunculan bentuk conical cosmopolitan secara luas, Halkyardia, dan Tethyan Chapmanina serta Somalina
Tb dicirikan Pellatispira, Discocyclina, dan Nummulites. Ascilina dan Fasciolites tidak
ada
Tc – Td, berdasarkan Tc, muncul pada Oligosen awal, didasarkan pada munculnya
Cycloclypeus
Td sesuai dengan munculnya Miolepidocyclina dan Miogypsina
Te awal (Te1 – Te4), muncul pada oligosen akhir, didasarkan pada munculnya
Miogypsinella dan L. (Nephrolepidina)
Tf dibagi menjadi Lower dan Upper berumur Miosen Tengah-Atas
Mata Kuliah Biostratigrafi 2017
Tg berumur Miosen Atas- Pliosen Bawah
Th berumur Pliosen
Namun berbeda pada klasifikasi sebelumnya yakni pembagian Kala Paleogen – Eosen dibagi menjadi lebih detail karena ditemukan fosil indeks pada Eosen yaitu Nummulites sp.
Fosil foraminifera besar yang digunakan pada Zaman Tersier : 1. Alveolinidae a. Alveolina sp. (Paleosen-Eosen) b. Flosculinella sp. (Oligosen – Miosen) c. Alveolinella sp. (Pliosen – Resen) 2. Nummulitidae a. Nummulites sp. (Ta – Td) b. Spiroclypeus sp. (Te1 – Td) c. Heterostegina sp. (Tb – Resen) d. Operculina sp. (Ta – Resen) e. Pellatispira sp. (Tb) 3. Discocyclinidae a. Discocyclina sp. (Ta – Tb) b. Asterocyclina sp. (Tb) 4. Orbitoididae a. Lepidocyclina sp. (Td – Tf) b. Miogypsina sp. (Td – Tf) c. Miogypsinoides sp. (Te1 – Te5) LUKMAN FAHRY (111.130.011) KELAS A
13
f.Perbandingan antar Biozonasi Lab Geokomputasi ITB (1994)
Mata Kuliah Biostratigrafi 2017
Tabel 9. Perbandingan Klasifikasi Biozonasi Foraminifera Besar (Lab. Geokomputasi ITB, 1994)
II. Biozonasi Foraminifera Kecil LUKMAN FAHRY (111.130.011) KELAS A
15
1. Biozonasi Foraminifera Kecil Planktonik
Pada biozonasi foraminifera planktonic terdapat suatu ketepatan dengan dilihat dari nilai Z yaitu merupakan nilai yangmana perbandingan antar tenggang waktu Zaman Tersier pada tiap kala (dalam satuan juta tahun atau mya) dibagi dengan jumlah biozona pada tiap kala yang menyusun. Dengan menggunakan sistem biozonasi den gan foraminifera planktonic ini didapat bahwa setiap biohorizon dengan penanda berupa species marker atau biomarker dari suatu spesies digunakan untuk membatasi tiap biozonasi dengan mempertimbangkan FAD (First Appereance Datum) & LAD ( Last Appereance Datum) sehingga dapat dibagi menjadi lima biozonasi menurut Wade et al 2011 dengan menggunakan satuan biostratigrafi yaitu; 1. Taxon Range Zone (TRZ) 2. Concurrent Range Zone (CRZ) 3. Base Zone (BZ) 4. Top Zone (TZ) 5. Partial Range Zone (PRZ)
Gambar 1. Pembagian Biostratigrafi (Wade et al 2011)
Mata Kuliah Biostratigrafi 2017
a.
Biozonasi Blow (1969)
Tabel 9. Perbandingan Klasifikasi Biozonasi Blow (1969)
LUKMAN FAHRY (111.130.011) KELAS A
17
b.
Biozonasi Postuma (1971)
Tabel 9. Perbandingan Klasifikasi Biozonasi Postuma (1971)
Mata Kuliah Biostratigrafi 2017
2. Biozonasi Foraminifera Kecil Bentonik
Pada
umumnya
foraminifera
bentonik
diggunakan
sebagai
penentu
lingkungan
pengendapan, pada beberapa lokasi dapat digunakan sebagai penentu umur, dengan suatu kondisi khusus apabila suatu foraminifera planktonik tidak d apat ditemukan di daerah telitian. Umumnya ditemukan di daerah endapan estuarine atau pantai di zona litoral dengan kandungan melimpah, beberapa diantaranya dapat digunakan untuk cekungan-cekungan di Indonesia yaitu Cekungan Barito, Cekungan Jawa Timur Utara dan Cekungan Kendeng a.
Soeka dkk. (1980) di Cekungan Jawa Timur Utara & Kendeng
Tabel 10. Biozonasi Cekungan Jawa Timur Utara & Kendeng (Soeka et al. 1980)
LUKMAN FAHRY (111.130.011) KELAS A
19
3. Biozonasi Nannoplankton a. Martini (1971)
Pada zonasi ini didapat dengan mempertimbangan nanofosil
NP1
:
NP21 : Zona Ericsonia subdisticha
NP2
:
NP22 : Zona Helicoponthosphaera
NP3
:
NP4
:
NP5
:
NP6
:
NP24 : Zona Sphenolithus distentus
NP7
:
NP25 :
NP8
:
NP9
:
reticulata
Zona
NP10 :
Discoaster
Zona
Sphenolithus
NN1
: Zona Triquetrorhabdulus
crinatus
Zona
Marthasterites
NP11 : Zona Discoaster binodorus
NP12 :
Zona
NN2
: Zona Discoaster druggii
NN3
: Zona Sphenolithus belemnas
NN4
: Zona Helicoponthosphaera
ampliaperta
Marthasterites
tribrachiarus
NP13 : Zona Discoaster idoensis
NP14 :
Zona
Discoaster
sublodoensis NP15 :
Sphenolithus
ciperoensis
contortus
Zona
predistentus
multiradiatus
NP23 :
Zona
Chiphragmalithus
alatus
NN5
:
Zona
Sphenolithus
heteromorphus
NN6
: Zona Discoaster exilis
NN7
: Zona Discoaster kugleri
NN8
: Zona Catinaster coalitus
NN9
: Zona Discoaster hamatus
NP16 : Zona Discoaster tani
NN10 : Zona Discoaster calcaris
NP17 : Zona Discoaster binodorus
NN11 :
NP18 :
Zona
NP19 : Zona Istmolithus recurvus
NP20 :
Zona
pseudoradians
Sphenolithus
Discoaster
quinqueramus
Chiaxmolithuis
oamaruensis
Zona
NN12 :
Zona
Ceratolithus
tricorniculatus
NN13 : Zona Ceratolithus rugosus
Mata Kuliah Biostratigrafi 2017
NN14 :
Zona
Discoaster
asymmetricus
NN15 :
Zona
Reticulofenestra
pseudoumbilica
NN16 : Zona Discoaster sarculus
NN17 :
Zona
Discoaster
pentaradiuatus
NN18 : Zona Discoaster brouweri
NN19 :
Zona
Pseudoemiliana
lucunosa
NN20 :
Zona
Gephyrocapsa
oceanica
NN21 : Zona Emiliana huxleyi
LUKMAN FAHRY (111.130.011) KELAS A
21
Tabel 11. Perbandingan Klasifikasi Nannoplankton NN1 (CN1a) – NN12 (CN10b), Lorens et al (2004)
b. Biozonasi Okada & Bukry (1980)
Penanggalan relatif zona coccolith disusun berdasarkan melimpahnya spesies dan dipisahkan oleh batas ciri khusus, yaitu pemunculan awal, musnahnya, dan puncak terjadinya satu/beberapa spesies. Konsep spesies & kisaran relatif stratigrafi dari spesies berdasar fasies dan tempat dimana sedimen di endapkan termasuk faktor pelarutan, diagenesa, dan mengetahuipemecahan paleoekologi, definisi dan ciri yang jelas, sehingga taxonomi yang digunakan & kisaran spesies menjadi lebih akurat. Berdasarkan regional, pemunculan zonapuncak, punah dan kondisipaleogeografis, slesies tertentu dapat dipakai untuk menyusun zonasi menjadi lebih detail, dibanding dari penyebaran spesiesnya. Penetapan hubungan chronostrat antara sekuen di beberapa daerah sangat sulit karena kumpulan coccolith pada lintang sedang - tinggi mengandung spesies tertentu dan umumnya sedikit di bandingkan dengan daerah lintang rendah.
c. Perbandingan Antara Zonasi Okda & Bukry dan Zonasi Martini
Tabel 12. Perbandingan Klasifikasi Nannoplankton NN11 (CN9b) – NN21 (CN15), Lorens et al (2004)
DAFTAR PUSTAKA Backman, Jan dkk. 2012. Biozonation & Biochronology of Miocene through Pliocene
calcareous nannofossils from low & middle latitudes, Stuttgart; Gebruder Borntrager Boudagher, M.K. & Fadel. 2008. E volution And Geologi cal Signifi cance Of L arger B enthic
F oraminifera. London, UK: Department of Earth Sciences University College London Pringgoprawiro, Harsono & Rubiyanto Kapid. 2000. F oraminifera : Pengenalan mikr ofosil &
Aplikasi Bi ostratigrafi , Bandung; Penerbit ITB Sukandarrumidi. 2008. Paleontologi Aplikasi Penuntun Praktis untuk Geologist Muda . Yogyakarta : Gajah Mada University Press Sukendarmono.Dr. Ir, Bambang Prastistho, M.Sc. Dr. Ir., 1994. Biostratigrafi F oraminifera
Plankton Dan Nannoplananton Daerah Gundih dan Sekitarnya Kecamatan Geyer, Kabupaten Grobogan Jawa Tengah. Yogyakarta