Beberapa faktor yang mempengaruhi clean and good governance, diantaranya:
INTEGRITAS PELAKU PEMERINTAHAN. Di sini peran pelaku pemerintahan sangat berpengaruh. Jika integritas dari para pelaku pemerintahan cukup ti nggi, maka walaupun ada kesempatan untuk melakukan penyimpangan (seperti korupsi), maka tetap tidak akan terpengaruh KONDISI POLITIK DALAM NEGERI. Masalah politik seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Hal ini dapat ter jadi karena beberapa sebab, diantaranya adalah acuan konsep politik yang tidak/kurang demokratis yang berimplikasi pada b erbagai persoalan di lapangan. KONDISI EKONOMI MASYARAKAT. Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. KONDISI SOSIAL MASYARAKAT. Masyarakat yang berdaya, khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan merupakan perwujudan riil good governance. Masyarakat semacam ini akan solid dan berpartisipasi aktif dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Selain itu masyarakat semacam ini juga akan menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Sebaliknya, pada masyarakat yang masih belum berdaya di hadapan negara, dan masih banyak timbul masalah sosial di dalamnya seperti konflik dan anarkisme kelompok, akan sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan
SISTEM HUKUM. Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan good governance. Kekurangan atau kelemahan sistem hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Dapat dipastikan, good governanance tidak akan berjalan mulus di atas sistim hukum yang lemah. Oleh karena k arena itu penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance. UPAYA-UPAYA MENUJU CLEAN AND GOOD GOVERNANCE
a. Memilih aparatur atau pelaku pemerintahan yang jelas terbukti memiliki integritas tinggi terhadap tanggungjawab yang diberikan. b. Pemberantasan KKN. KKN merupakan penyebab utama dari tidak berfungsinya hukum di Indonesia. Untuk memberantas KKN diperlukan setidaknya dua cara; pertama dengan cara mencegah (preventif) dan kedua, upaya penanggulangan (represif). Upaya pencegahan dilakukan dengan cara memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open government) dengan memberikan jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan dan hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai. Sedangkan upaya penanggulangan (setelah korupsi muncul) dapat diatasi dengan mempercepat pembentukan Badan Independen Anti Korupsi yang berfungsi melakukan penyidikan dan penuntutan kasuskasus korupsi, (salah satunya edalah pembentukan KPK) memperkenalkan hakim-hakim khusus yang diangkat khusus untuk kasus korupsi (hakim ad hock) dan memperlakukan asas pembuktian terbalik secara penuh. c. Transparansi APBN dan APBD d. Memaksimalkan fungsi dan kinerja Lembaga Lemba ga Sosial Masyarakat (LSM) yang memonitoring penegakan kebijakan pemerintah
e. Sosialisasi Mahkamah Konstitusi (MK) agar lebih maksimal, sehingga masyarakat dapat mengadukan/ mengkritisi masalah-masalah yang berkaitan dengan konstitusi. f. Kemandirian lembaga peradilan g. Penguatan fungsi dan peran lembaga perwakilan h. Memperbaiki masalah sosial yang sedang dihadapi. i. Masalah sosial yang cukup krusial dihadapi bangsa Indonesia akhir-akhir ini adalah konflik yang disertai kekejaman sosial. Oleh karena itu masyarakat bersama pemerintah harus melakukan tindakan pencegahan terhadap daerah lain yang menyimpan potensi konflik. Bentuk pencegahan terhadap kekerasan komunal dapat dilakukan me lalui; memberikan santunan terhadap mereka yang terkena korban konflik, mencegah berbagai pertikaian _vertikal maupun horizontal_ yang tidak sehat dan potensial mengorbankan kepentingan bangsa dan mencegah pula segala bentuk anarkhi sosial yang terjadi di masyarakat. j. Mengembalikan atau menaikkan kepercayaan terhadap perekonomian Indonesia. Hal-hal yang diperlukan adalah kepastian hukum, jaminan keamanan bagi seluruh masyarakat, penegakkan hukum bagi kasus-kasus korupsi, konsistensi dan kejelasan kebijakan pemerintah, integritas dan profesionalisme birokrat, disiplin pemerintah dalam menjalankan program, stabilitas sosial dan politik, dan adanya kepemimpinan nasional yang kuat. k. Melakukan segala upaya untuk mengembalikan fungsi sektor perbankan sebagai intermediasi l. Reformasi Konstitusi . Konstitusi merupakan sumber hukum bagi seluruh tata pen yelenggaran negara. Untuk menata kembali sistim hukum yang benar perlu diawali dari penataan konstitusi yang oleh banyak kalangan masih banyak mengandung celah kelemahan. HAL-HAL YANG DI ANGGAP PENTING MENGENAI CLEAN AND GOOD GOVERNANCE DALAM PANDANGAN MAHASISWA Clean and good governance merupakan satu hal yang sangat di dambakan oleh seluruh bangsa di dunia, tidak terkecuali Indonesia. Namun hal ini, tampaknya masih sangat jauh dari harapan. Walaupun sudah mulai adanya upaya menuju ke arah tersebut. Menurut kelompok kami hal mendasar yang perlu dibenahi dimulai dari sistem pendidikan tidak hanya menekankan pada aspek akedemis tetapi pendidikan manusia seutuhnya. Manusia yang berkesempatan memimpin bangsa ini benar-benar sadar akan tanggung jawab dan posisinya sebagai pemegang amanah dari rakyat. Sejak dini benar-benar ditanamkan nlai-nilai integritas yang akan menjadi landasan hidupnya ke depan. Untuk memutus rantai makanan penyalahgunaan wewenang dan kekuasaan, di dalam sistem yang telah terlanjur mendarah daging yang mungkin dapat dilakukan adalah dengan penegakan hukum secara tegas. Jangan han ya tebang pilih… Setelah itu kita coba perbaiki sistem yang
memungkinkan adanya celah-celah pelanggaran. Diharapkan sistem baru dapat menjadi landasan terbentuknya CGG ke depan. Mungkin kita juga memikirkan bagaimana memposisikan negara kita dalam menghadapi adanya intervensi asing yang dapat mempengaruhi jalannya pemerintahan (misalnya pihak asing yang mendukung pemerintahan yang korup). Hal ini cukup sulit untuk kita cari solusinya, tapi yang pasti bagaimana caranya meningkatkan nilai tawar atau power Indonesia di dunia internasional. Di mata sebagian besar masyarakat Indonesia, CGG masih sekedar teori yang jauh dari kenyataan, tetapi di beberapa daerah sudah mulai menerapkan CGG (di antaranya Tangerang dan Kalimantan Tengah). Dari beberapa daerah yang telah menerapkan CGG, dapat kita ambil pelajaran, faktor-faktor apa saja yang dapat mendukung kesuksesan terwujudnya CGG. Dan dapat menjadi contoh untuk daerah-daerah lainnya
A.
PENDAHULUAN
Good governance (tata pemerintahan yang baik) sudah lama menjadi mimpi buruk banyak orang di Indonesia. Kendati pemahaman mereka tentang good governance berbeda-beda, namun setidaknya sebagian besar dari mereka membayangkan bahwa dengan good governance mereka akan dapat memiliki kualitas pemerintahan yang lebih baik. Banyak di antara mereka membayangkan bahwa dengan memiliki praktik good governance yang lebih baik, maka kualitas pelayanan publik menjadi semakin baik, angka korupsi menjadi semakin rendah, dan pemerintah menjadi semakin peduli dengan kepentingan warga (Dwiyanto, 2005). Dewasa ini permasalahan yang dialami oleh bangsa Indonesia semakin komplek dan semakin sarat. Oknum-oknum organisasi pemerintah yang seyogyanya menjadi panutan rakyat banyak yang tersandung masalah hukum. Eksistensi pemerintahan yang baik atau yang sering disebut good governance yang selama ini dielukan-elukan faktanya saat ini masih menjadi mimpi dan hanyalah sebatas jargon belaka. Indonesia harus segera terbangun dari tidur panjangnya. Revolusi disetiap bidang harus dilakukan karena setiap produk yang dihasilkan hanya mewadahi kepentingan partai politik, fraksi dan sekelompok orang. Padahal seharusnya penyelenggaraan negara yang baik harus menjadi perhatian serius. Transparansi memang bisa menjadi salah satu solusi tetapi apakah cukup hanya itu untuk mencapai good governance. Sebagai negara yang menganut bentuk kekuasaan demokrasi. Maka kedaulatan berada di tangan rakyat dan dilaksanakan menurut Undang-Undang Dasar seperti disebutkan dalam UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945 Pasal 1 ayat (2). Negara seharusnya memfasilitasi keterlibatan warga dalam proses kebijakan publik. Menjadi salah satu bentuk pengawasan rakyat pada negara dalam rangka mewujudkan good governance. Memang akan melemahkan posisi pemerintah. Namun, hal itu lebih baik daripada perlakukan otoriter dan represif pemerintah. B.
Good Governance
Terdapat tiga terminologi yang masih rancu dengan istilah dan konsep good governance, yaitu: good governance (tata pemerintahan yang baik), good government (pemerintahan yang baik), dan clean governance (pemerintahan yang bersih). Untuk lebih dipahami makna sebenarnya dan tujuan yang ingin dicapai atas good governance, maka adapun beberapa pengertian dari good governance, antara lain : 1. Menurut Bank Dunia (World Bank) Good governance merupakan cara kekuasaan yang digunakan dalam mengelola berbagai sumber daya sosial dan ekonomi untuk pengembangan masyarakat (Mardoto, 2009). 2. Menurut UNDP (United National Development Planning) Good governance merupakan praktek penerapan kewenangan pengelolaan berbagai urusan. Penyelenggaraan negara secara politik, ekonomi dan administratif di semua tingkatan. Dalam konsep di atas, ada tiga pilar good governance yang penting, yaitu: a. Kesejahteraan rakyat (economic governance). b. Proses pengambilan keputusan (political governance). c. Tata laksana pelaksanaan kebijakan (administrative governance) (Prasetijo, 2009). 3. Kunci utama memahami good governance, menurut Masyarakat Transparansi Indonesia (MTI), adalah pemahaman atas prinsip-prinsip yang mendasarinya. Bertolak dari prinsip-prinsip ini didapat tolok ukur kinerja suatu pemerintah. Prinsip-prinsip tersebut meliputi (Hardjasoemantri, 2003):
a. Partisipasi masyarakat: semua warga masyarakat mempunyai suara dalam pengambilan keputusan, baik secara langsung maupun melalui lembagalembaga perwakilan yang sah yang mewakili kepentingan mereka. Partisipasi menyeluruh tersebut dibangun berdasarkan kebebasan berkumpul dan mengungkapkan pendapat, serta kepastian untuk berpartisipasi secara konstruktif. b. Tegaknya supremasi hukum: kerangka hukum harus adil dan diberlakukan tanpa pandang bulu, termasuk didalamnya hukum-hukum yang menyangkut hak asasi manusia. c. Transparasi: transparansi dibangun atas dasar informasi yang bebas. Seluruh proses pemerintah, lembaga-lembaga, dan informasi perlu d. dapat diakses oleh pihak-pihak yang berkepentingan, dan informasi yang tersedia harus memadai agar dapat dimengerti dan dipantau. e. Peduli dan stakeholder: lembaga-lembaga dan seluruh proses pemerintah harus berusaha melayani semua pihak yang berkepentingan. f. Berorientas pada consensus: tata pemerintahan yang baik menjembatani kepentingankepentingan yang berbeda demi terbangunnya suatu consensus menyeluruh dalam hal apa yang terbaik bagi kelompok-kelompok masyarakat, dan bila mungkin, konsensus dalam hal kebijakankebijakan dan prosedur-prosedur g. Kesetaraan: semua warga masyarakat mempunyai kesempatan memperbaiki atau mempertahankan kesejahteraan mereka. h. Efektifitas dan efisiensi: proses-proses pemerintahan dan lembaga-lembaga membuahkan hasil sesuai kebutuhan warga masyarakat dan dengan menggunakan sumber-sumber daya yang ada seoptimal mungkin. i. Akuntabilitas: para pengambil keputusan di pemerintah, sektor swasta, dan organisasi masyarakat bertanggungjawab, baik kepada masyarakat maupun kepada lembaga-lembaga yang berkepentingan. j. Visi strategis: para pemimpin dan masyarakat memiliki perspektif yang luas dan jauh ke depan atas tata pemerintahan yang baik dan pembangunan manusia, serta kepekaan akan apa saja yang dibutuhkan untuk mewujudkan perkembangan tersebut. Selain itu mereka juga harus memiliki pemahaman atas kompleksitas kesejarahan, budaya, dan sosial yang menjadi dasar bagi perspektif tersebut. Dalam proses memaknai peran kunci stakeholders (pemangku kepentingan), mencakup 3 domain good governance, yaitu: 1. Pemerintah yang berperan menciptakan iklim politik dan hukum yang kondusif. 2. Sektor swasta yang berperan menciptakan lapangan pekerjaan dan pendapatan. 3. Masyarakat yang berperan mendorong interaksi sosial, konomi, politik dan mengajak seluruh anggota masyarakat berpartisipasi (Efendi, 2005). Makna dari governance dan good governance pada dasarnya tidak diatur dalam sebuah undangundang (UU). Tetapi dapat dimaknai bahwa governance adalah tata pemerintahan, penyelenggaraan negara, atau management (pengelolaan) yang artinya kekuasaan tidak lagi semata-mata dimiliki atau menjadi urusan pemerintah. Governance itu sendiri memiliki unsur kata kerja yaitu governing yang berarti fungsi pemerintah bersama instansi lain (LSM, swasta dan warga negara) yang dilaksanakan secara seimbang dan partisipatif. Sedangkan good governance adalah tata pemerintahan yang baik atau menjalankan fungsi pemerintahan yang baik, bersih dan berwibawa (struktur, fungsi, manusia, aturan, dan lain-lain). Clean government adalah pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Good corporate adalah tata pengelolaan
perusahaan yang baik dan bersih. Governance without goverment berarti bahwa pemerintah tidak selalu di warnai dengan lembaga, tapi termasuk dalam makna proses pemerintah (Prasetijo, 2009). Istilah good governance lahir sejak berakhirnya Orde Baru dan digantikan dengan gerakan reformasi. Sejak itu pula sering diangkat menjadi wacana atau tema pokok dalam setiap kegiatan pemerintahan. Namun meski sudah sering terdengar ditelinga legislatif, pengaturan mengenai good governance belum diatur secara khusus dalam bentuk sebuah produk, UU misalnya. Hanya terdapat sebuah regulasi yaitu UU No. 28 tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme yang mengatur penyelenggaraan negara dengan Asas Umum Pemerintahan Negara yang Baik (AUPB). Good governance sebagai upaya untuk mencapai pemerintahan yang baik maka harus memiliki beberapa bidang yang dilakukan agar tujuan utamanya dapat dicapai, yang meliputi (Efendi, 2005): 1. Politik Politik merupakan bidang yang sangat riskan dengan lahirnya msalah karena seringkali menjadi penghambat bagi terwujudnya good governance. Konsep politik yang kurang bahkan tidak demokratis yang berdampak pada berbagai persoalan di lapangan. Krisis politik yang saat ini terjadi di Indonesia dewasa ini tidak lepas d ari penataan sistem politik yang kurang demokratis. Maka perlu dilakukan pembaharuan politik yang menyangkut berbagai masalah penting seperti: a. UUD NRI 1945 yang merupakan sumber hukum dan acuan pokok penyelenggaraan pemerintahan maka dalam penyelenggaraannya harus dilakukan untuk menduku ng terwujudnya good governance. Konsep good governance itu dilakukan dalam pemilihan presiden langsung, memperjelas susunan dan kedudukan MPR dan DPR, kemandirian lembaga peradilan, kemandirian kejaksaan agung dan penambahan pasal-pasal tentang hak asasi manusia. b. Perubahan UU Politik dan UU Keormasan yang lebih menjamin partisipasi dan mencerminkan keterwakilan rakyat. c. Reformasi agraria dan perburuhan. d. Mempercepat penghapusan peran sosial politik TNI. e. Penegakan supremasi hokum. 2. Ekonomi Ekonomi Indonesia memang sempat terlepas dari krisis global yang bah kan bisa menimpa Amerika Serikat. Namun keadaan Indonesia saat ini masih terbilang krisis karena masih banyaknya pihak yang belum sejahtera dengan ekono mi ekonomi rakyat. Hal ini dikarenakan krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak te ratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. Permasalahan krisis ekonomi di Indonesia masih berlanjut sehingga perlu dilahirkan kebijakan untuk segera . 3. Sosial Masyarakat yang sejahtera dengan terwujudnya setiap kepentingan masyarakat yang tercover dalam kepentingan umum adalah perwujudan nyata good governance. Masyarakat selain menuntut perealisasikan haknya tetapi juga harus memikirkan kewajibannya dengan berpartisipasi aktif dalam menentukan berbagai kebijakan pemerintahan. Hal ini sebagai langkah nyata menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Namun keadaan Indonesia saat ini masih belum mampu memberikan kedudukan
masyarakat yang berdaya di hadapan negara. Karena diberbagai bidang yang didasari kepentingan sosial masih banyak timbul masalah sosial. Sesuai dengan UUD NRI Pasal 28 bahwa “Kemerdekaan berserikat dan berkumpul, mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya ditetapkan dengan undang-undang”. Masyarakat diberikan kesempatan untuk membentuk golongan dengan tujuan tertentu selama tidak bertentangan dengan tujuan negara. Namun konflik antar golongan yang masih sering terjadi sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan. Maka good governance harus ditegakkan dengan keadaan masyarakat dengan konflik antar golongan tersebut. 4. Hukum Dalam menjalankan pemerintahan pejabat negara memakai hukum sebagai istrumen mewujudkan tujuan negara. Hukum adalah bagian penting dalam penegakan good governance. Setiap kelemahan sistem hukum akan memberikan influence terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan, karena good governanance tidak akan dapat berjalan dengan baik dengan hukum yang lemah. Penguatan sistem hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance. Hukum saat ini lebih dianggap sebagai komiditi daripada lembaga penegak keadilan dan kalangan kapitalis lainnya. Kenyataan ini yang membuat ketidakpercayaan dan ketidaktaatan pada hukum oleh masyarakat. C.
Mewujudkan Good Governance di Indonesia
Mewujudkan konsep good governance dapat dilakukan dengan mencapai keadaan yang baik dan sinergi antara pemerintah, sektor swasta dan masyarakat sipil dalam peng elolaan sumber-sumber alam, sosial, lingkungan dan ekonomi. Prasyarat minimal untuk mencapai good governance adalah adanya transparansi, akuntabilitas, partisipasi, pemberdayaan h ukum, efektifitas dan efisiensi, dan keadilan. Kebijakan publik yang dikeluarkan oleh pemerintah harus transparan, efektif dan efisien, serta mampu menjawab ketentuan dasar keadilan. Sebagai bentuk penyelenggaraan negara yang baik maka harus keterlibatan masyarakat di setiap jenjang proses pengambilan keputusan (Hunja, 2009). Konsep good governance dapat diartikan menjadi acuan untuk proses dan struktur hubungan politik dan sosial ekonomi yang baik. Human interest adalah faktor terkuat yang saat ini mempengaruhi baik buruknya dan tercapai atau tidaknya sebuah negara serta pemerintahan yang baik. Sudah menjadi bagian hidup yang tidak bisa dipisahkan bahwa setiap manusia memiliki kepentingan. Baik kepentingan individu, kelompok, dan/atau kepentingan masyarakat nasional bahkan internasional. Dalam rangka mewujudkan setiap kepentingan tersebut selalu terjadi benturan. Begitu juga dalam merealisasikan apa yang namanya “good governance” benturan kepentingan selalu lawan utama. Kepentingan melahirkan jarak dan sekat antar individu dan kelompok yang membuat sulit tercapainya kata “sepakat”. Good governance pada dasarnya adalah suatu konsep yang mengacu kepada proses pencapaian keputusan dan pelaksanaannya yang dapat dipertanggungjawabkan secara bersama. Sebagai suatu konsensus yang dicapai oleh pemerintah, warga negara, dan sektor swasta bagi penyelenggaraan pemerintahaan dalam suatu negara. Negara berperan memberikan pelayanan demi kesejahteraan rakyat dengan sistem peradilan yang baik dan sistem pemerintahan yang dapat dipertanggungjawaban kepada publik. Meruju pada 3 (tiga) pilar pembangunan berkelanjutan. Dalam pembangunan ekonomi, lingkungan, dan pembangun an manusia. Good
governance menyentuh 3 (tiga) pihak yaitu pihak pemerintah (penyelenggara negara), pihak korporat atau dunia usaha (penggerak ekonomi), dan masyarakat sipil (menemukan kesesuaiannya). Ketiga pihak tersebut saling berperan dan m empengaruhi dalam penyelenggaraan negara yang baik. Sinkronisasi dan harmonisasi antar pihak tersebut menjadi jawaban besar. Namun dengan keadaan Indonesia saat ini masih sulit untuk bisa terjadi (Efendi, 2005). Dengan berbagai statement negatif yang dilontarkan terhadap pemerintah atas keadaan Indonesia saat ini. Banyak hal mendasar yang harus diperbaiki, yang berpengaruh terhadap clean and good governance, diantaranya (Efendi, 2005): 1. Integritas Pelaku Pemerintahan Peran pemerintah yang sangat berpengaruh, maka integritas dari para pelaku pemerintahan cukup tinggi tidak akan terpengaruh walaupun ada kesempatan untuk melakukan penyimpangan misalnya korupsi. 2. Kondisi Politik dalam Negeri Jangan menjadi dianggap lumrah setiap hambatan dan masalah yang dihadirkan oleh politik. Bagi terwujudnya good governance konsep politik yang tidak/kurang demokratis yang berimplikasi pada berbagai persoalan di lapangan. Maka tentu harus segera dilakukan perbaikan. 3. Kondisi Ekonomi Masyarakat Krisis ekonomi bisa melahirkan berbagai masalah sosial yang bila tidak teratasi akan mengganggu kinerja pemerintahan secara menyeluruh. 4. Kondisi Sosial Masyarakat Masyarakat yang solid dan berpartisipasi aktif akan sangat menentuk an berbagai kebijakan pemerintahan. Khususnya dalam proses penyelenggaraan pemerintahan yang merupakan perwujudan riil good governance. Masyarakat juga menjalankan fungsi pengawasan yang efektif dalam pelaksanaan penyelenggaraan pemerintahan. Namun jika masyarakat yang belum berdaya di hadapan negara, dan masih banyak timbul masalah sosial di dalamnya seperti konflik dan anarkisme kelompok, akan sangat kecil kemungkinan good governance bisa ditegakkan. 5. Sistem Hukum Menjadi bagian yang tidak terpisahkan disetiap penyelenggaraan negara. Hukum merupakan faktor penting dalam penegakan good governance. Kelemahan sistem hukum akan berpengaruh besar terhadap kinerja pemerintahan secara keseluruhan. Good governanance tidak akan berjalan dengan baik di atas sistem hukum yang lemah. Oleh karena itu penguatan sistim hukum atau reformasi hukum merupakan kebutuhan mutlak bagi terwujudnya good governance. Mencari orang yang jujur dan memilik integritas tinggi sama halnya dengan mencari jarum dalam tumpukan jerami. Memilih aparatur atau pelaku pemerintahan yang unggul akan berpengaruh baik dengan penyelenggaraan negara. Ko rupsi yang masih tetap eksis sampai saat ini adalah salahsatu faktor yang mempersulit dicapainya good governance. Pemberantasan Korupsi Kolusi dan Nepotisme (KKN) menjadi agenda wajib yang tidak pernah lelah untuk dilakukan. Inilah satu hal yang tidak boleh dilewatkan untuk mencapai pemerintahan yang baik. Mencegah (preventif) dan menanggulangi (represif) adalah dua upaya yang dilakukan. Pencegahan dilakukan dengan memberi jaminan hukum bagi perwujudan pemerintahan terbuka (open government). Jaminan kepada hak publik seperti hak mengamati perilaku pejabat, hak memperoleh akses informasi, hak berpartisipasi dalam pengambilan keputusan d an hak mengajukan keberatan bila ketiga hak di atas tidak dipenuhi secara memadai. Jaminan yang
diberikan jika memang benar-benar bisa disosialisasikan dengan baik kepada masyarakat (Hardjasoemantri, 2003). D.
SIMPULAN DAN SARAN
1. Simpulan Indonesia adalah salah satu negara di dunia yang sedang berjuang dan mendambakan clean and good governance. Untuk mencapai good governance dalam tata pemerintahan di Indonesia, maka prinsip-prinsip good governance hendaknya ditegakkan dalam berbagai institusi penting pemerintahan, prinsp-prinsip tersebut meliputi: Partisipasi masyarakat, tegaknya supremasi hukum, transparasi, peduli dan stakeholder, berorientas pada consensus, kesetaraan, efektifitas dan efisiensi, akuntabilitas, dan visi strategis. Sehingga apa yang didambakan Indonesia menjadi negara yang Clean and good governance dapat terwujud dan hilangnya faktor-faktor Kepentingan politik, KKN, peradilan yang tidak adil, bekerja di luar kewenangan, dan kurangnya integritas dan transparansi adalah beberapa masalah yang membuat pemerintahan yang baik masih belum bisa tercapai. Masyarakat dan pemerintah yang masih bertolak berlakang untuk mengatasi masalah tersebut seharusnya menjalin harmonisasi dan kerjasama mengatasi masalah-masalah yang ada. Good governance sebagai upaya untuk mencapai pemerintahan yang baik tercermin dalam berbagai bidang yang memiliki peran yang peting dalam gerak roda pemerintahan di Indonesia yang meliputi: bidang politik, ekonomi, sosial, dan hukum. 2.
Saran
Berbagai permasalahan nasional menjadi alasan belum maksimalnya good governance. Dengan melaksanakan prinsip-prinsip good governance maka tiga pilarnya yaitu pemerintah, korporasi, dan masyarakat sipil saling menjaga, support dan berpatisipasi aktif dalam penyelnggaraan pemerintahan yang sedang dilakukan. Terutama antara pemerintah dan masyarakat menjadi bagian penting tercapainya good governance. Tanpa good governance sulit bagi masing-masing pihak untuk dapat saling berkontribusi dan saling mengawasi. Good governance tidak akan bisa tercapai apabila integritas pemerintah dalam menjalankan pemerintah tidak dapat dijamin. Hukum hanya akan menjadi bumerang yang bisa balik menyerang negara dan pemerintah menjadi lebih buruk apabila tidak dipakai sebagaimana mestinya. Konsistensi pemerintah dan masyarakat harus terjamin sebagai wujud peran masing-masing dalam pemerintah. Setiap pihak harus bergerak dan menjalankan tugasnya sesuai dengan kewenangan masing-masing.
. 2 Prinsip Good Governance Dan Clean Governance
Salah satu produk dari organisasi publik adalah memberikan pelayanan publik kepada pengguna. Pelayanan publik dalam negara demokrasi dengan meminjam pendapat Lenvine (1990 : 188) harus memenuhi tiga indikator:
1). Responsiveness atau responsivitas adalah: daya tanggap penyedia layanan terhadap harapan, keinginan, aspirasi maupun tuntutan pengguna layanan, 2). Responsibility atau responsibilitas adalah; suatu ukuran yang menunjukkan seberapa jauh proses pemberian layanan publik itu dilakukan sesuai dengan prinsip-prinsip atau ketentuanketentuan administrasi dan organisasi yang benar dan telah ditetapkan, 3). Accountability atau akuntabilitas adalah: suatu ukuran yang menunjukkan seberapa besar proses penyelenggaraan pelayanan sesuai dengan kepentingan stakeholders dan norma-norma yang berkembang dalam masyarakat. Sementara itu sesuai dengan Keputusan Menteri Pemberdayaan Pegawai (Kepmenpan) 81/1995, disebutkan bahwa kinerja organisasi publik dalam memberikan pelayanan harus mengandung beberapa indikator seperti: 1).Kesederhanaan, yaitu prosedur atau tata cara pelayanan umum harus didesain sedemikian rupa. Sehingga penyelenggaraan pelayanan umum menjadi mudah, lancar, cepat, tidak berbelit-belit, mudah dipahami dan mudah dilaksanakan. 2). Kejelasan dan kepastian tentang tata cara, rincian biaya layanan dan cara pembayarannya, jadwal waktu penyelesaian layanan, dan unit kerja atau pejabat yang berwenang dan bertanggung jawab dalam memberikan pelayanan umum. 3). Keamanan, yaitu usaha untuk memberikan rasa aman dan bebas pada pelanggan dari adanya bahaya, resiko dan keragu-raguan. Proses serta hasil pelayanan umum dapat memberikan keamanan dan kenyamanan serta dapat memberikan kepastian hukum. 4). Keterbukaan,yaitu bahwa pelanggan dapat mengetahui seluruh informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan jelas. termasuk informasi tata cara, persyaratan, waktu penyelesaian, biaya dan lain-lain. 5). Efisiensi,yaitu persyaratan pelayanan umum hanya dibatasi pada hal-hal yang berkaitan langsung dengan pencapaian sasaran pelayanan dengan tetap memperhatikan keterpaduan antara persyaratan dan produki layanan publik yang diberikan. Disamping itu, juga
perlu dicegah adanya pengulangan di dalam pemenuhan kelengkapan persyaratan, yaitu mempersyaratkan kelengkapan syarat dari satuan kerja atau instansi pemerintah lain yang terkait. 6). Ekonomis,yaitu agar pengenaan biaya pelayanan ditetapkan secara wajar dengan memperhatikan nilai barang/jasa dan kemampuan pelanggan untuk membayar. 7). Keadilan yang merata, yaitu cakupan atau jangkauan pelayanan umum harus diusahakan seluas mungkin dengan distribusi yang merata dan diperlakukan secara adil. 8). Ketepatan waktu, yaitu agar pelaksanaan pelayanan umum dapat diselesaikan dalam kurun waktu yang telah ditentukan. Pelaksananan Prinsip Good Governance Dam Clean Governance Dalam Sistem Pemerintahan Nagara Ketika kita berbicara pelaksanaan tentu banyak muncul persoalan adalah karena antara praktek dengan teori kadangkala tidak sejalan, dalam tataran teorinya bagus tapi ketika dalam pelaksanaan teknis tidak efektif dan efesien.Unsur pertama dalam good governance adalah birokrasi yang efisien. Kita sudah sama-sama mafhum bahwa citra birokrasi di masyarakat terlihat kurang baik. Secara sinis sering dikatakan bahwa motto birokrasi adalah “ Kalau bisa dibuat sulit untuk apa dimudahkan”. Birokrasi dikesankan sebagai sebuah rantai yang amat panjang atau pos dari sebuah perjalanan yang panjang. Yang disetiap pos mereka yang berurusan dengan birokrasi harus mau berpayah-payah atau memberi sejumlah pelicin untuk masuik ke pos berikutnya. Istilahnya biasanya uang administrasi.Kita tak bisa menyalahkan masyarakat karena kondisi inilah yang secara empiris dirasakan oleh mereka. Ada uang administrasi untuk membuat KTP, Akte Kelahiran, dan sebagainya. Padahal khittah dari birokrasi adalah adanya pembagian tugas yang jelas untuk memudahkan pelayanan masyarakat. Bukan untuk mempersulit apalagi menghambat masyarakat yang punya urusan.Dalam era otonomi daerah, peran pengambil kebijakan untuk mengontrol berjalannya birokrasi dengan baik amat dimungkinkan. Ini berkait dengan wewenang yang dimiliki daerah seperti memiliki kewenangan mengadakan rekrutmen birokrat (PNS). Era otonomi daearah rembesanya dapat kit rasakan dalam pelaksananan sistem pemerintahan nagari disamping membuka banyak kesempatan untuk kondisi lebih baik juga adalah kesempatan bagi munculnya raja-raja kecil yang amat berkuasa. Raja kecil itu bisa berupa pemerintah daerah, DPRD, partai politik, pengusaha atau bisa jadi pemimpin informal. Yang jelas kekahawatiran munculnya pemimpin informal ini adalah ketika hukum tak mampu menyentuh mereka bahkan berada di tapak kaki mereka. Sumbangan dari compang-campingnya kondisi hukum ini amat besar terhadap
keterpurukan bangsa ini. Bagaimana bisa misalnya investasi masuk bila tak ada kepastian hukum, besarnya uang kemanan dan lain-lain. Bagaimana bisa birokrasi bersih bila setiap pelanggaran tak pernah ditindaklanjuti dan malah menjadi habit. Artinya unsur supremasi hukum menjadi prasyarat bagi unsur yang lain dalam good governance. Ketiga, transparansi dan akuntabilitas. Sudah bukan jamannya lagi penyelenggara negara menjadi menara gading. Ia harus menjadi mitra yang tersentuh masyarakat. Di era desentralisasi apalagi. Spirit dari otonomi daerah salah satunya adalah mendekatkan antara pengambil kebijakan terhadap masyarakatnya. Penyelenggara daerah di tingkat lokal dianggap mampu memahami dan mengartikulasikan berbagai permasalahan dan aspirasi yang berkembang di masyarakat. Karena itulah ada pelimpahan wewenang dari pusat ke daerah. Tapi bukan berarti yang terjadi adalah sentralisme pemerintah daerah, karena spirit yang lain dari otonomi daerah adalah terberdayakannya masyarakat. Karena itulah kemudian political will dari penyelenggara pemerintahan daerah menjadi amat penting dalam hal transparansi dan akuntabilitas ini. Penyelenggara pemerintahan daerah harus mau untuk dikontrol oleh masyarakat dan masyarakat harus mau peduli terhadap permasalahan pemerintahan. Dalam birokrasi public, peranan pemimpin sangat strategis. Keberhasilan birokrasi publik dalam menjalankan tugas-tugasnya sangat ditentukan oleh kualitas pemimpinnya. Jika diidentifikasi secara umum terdapat beberapa fenomena kepemimpinan pada birokrasi publik. Pertama, pemimpin birokrasi publik dalam menjalankan roda birokrasi pada umumnya belum digerakkan oleh visi dan misi. Akan tetapi, senantiasa masih digerakkan oleh peraturan yang sangat kaku. Akibatnya, pemimpin tidak dapat mengembangkan potensi organisasi, serta tidak mampu menyesuaikan dengan tuntutan lingkungan eksternal dalam memenuhi kebutuhan masyarakat. Kedua, pemimpin birokrasi lebih mengandalkan kewenangan formal yang dimilikinya. Kekuasaan menjadi kekuatan dalam menggerakkan bawahan untuk memenuhi berbagai kepentingan pemimpin. Ketiga, rendahnya kompetensi pemimpin birokrasi. Hal ini terlihat dari pola promosi dari birokrasi yang kurang mempertimbangkan kompetensi pejabat yang akan ditempatkan pada suatu jabatan struktural. Promosi dilakukan atas dasar kepangkatan, golongan dan ruang serta hasil penilaian kinerja melalui DP-3.Padahal indikatorindikator seperti ini tidak memiliki basis penilaian yang rasional. Dasar kepangkatan dan golongan hanya diukur dengan indikator formal berupa latar belakang pendidikan dan lama bekerja. Tidak jarang pemimpin lebih melihat pada siapa orang yang akan ditempatkan pada suatu jabatan tertentu daripada memperhatikan bagaimana kababilitas mereka. Hal yang tidak
kalah pentingnya adalah faktor kedekatan dari seorang dengan pemimpinnya. Penilaian yang dilakukan lebih banyak bersifat irrasional. Keempat , lemahnya akuntabilitas pemimpin birokrasi. Tidak adanya tranparansi pertanggungjawaban publik atas apa yang telah dilakukan oleh birokrasi. Seharusnya akuntabilitas ini penting dilakukan agar masyarakat dapat memberikan koreksi dan kontrol terhadap kinerja birokrasi. Demikian juga halnya dengan Sumber Daya Manusia yang ada dalam birokrasi. Dalam hal ini penulis lebih memfokuskan terhadap Pegawai Negeri Sipil (PNS) selaku aparatur penyelengara birokrasi. Keberadaan PNS dari tahun ke tahun selalu mengalami peningkatan. Permasalahan yang terjadi adalah besarnya jumlah PNS dan tingkat pertumbuhan yang tinggi dari tahun ke tahun. Rendahnya kualitas dan ketidaksesuaian kompetensi yang dimiliki menjadi penghalang dalam mewujudkan Good Governance. Namun, apa hendak dikata memang demikian realita yang terjadi. Penempatan PNS tidak didasarkan pada kompetensi yang dimiliki, tetapi lebih didasarkan pada pertimbangan kedekatan PNS dengan pemimpinnya, sehingga unsur rasionalitas menjadi terabaikan. Karena itu, kondisi birokrasi saat ini ditinjau dari aspek kelembagaannya masih jauh dari kondisi ideal. Kelemahan ini secara akumulatif telah mengakibatkan krisis kepercayaan terhadap birokrasi oleh masyarakat sebagai pengguna jasa layanan. Kecenderungan utama birokrasi lebih mengutamakan pendekatan struktural daripada pendekatan fungsional dalam penyusunan organisasi. Sehingga benturan dan tarik-menarik kewenangan menjadi sulit dihindarkan. Begitu pula dengan besaran organisasi belum mengarah pada proposional akan tugas dan fungsi birokrasi sebagai lembaga pemberi layanan pada masyarakat. Selanjutnya konsep otonomi daerah muncul dengan tujuan awalnya adalah untuk memberikan pelayanan yang baik kepada rakyatnya. Dan tidak tidak dapat kita pungkiri daerah di sumatra barat menerapkan otonomi daerah, (disentralisasi) tidak terkecuali di nagari Kumanis menerapkan otonomi daerah. Di dalam perjalanan otonomi daerah di Sumatra Barat banyak terjadi penyimpangan otonomi daerah, banyaknya terjadi koropsi, pemindahan korupsi dari pusat ke daerah (terciptanya raja-raja kecil, birokrasi yang berbelit-belit tidak efektif dan memebutuhkan waktu yang lama dan ini terjadi hampir di kabupaten kota di Sumbar. Nagari mampu menerapkan otonomi daearah dengan baik sehinga Good governance “pemerintahan yang baik dan bersih artinya bebas dari korupsi” Dalam pelaksaaan otonomi daerah pemerintahan kita selalu berupaya untuk mewujudkan kondisi yang kondusif untuk tercapainya Good local governance. Upaya tersebut terlihat dengan di lakukanya penyempurnaan berbagai peraturan perundangan yang ada misalnya, UU No 17 Tahun 2003 tentang keuangan negara, UU
No 1 Tahun 2004 tentang perbendaharaan Negara, UU No 25 Tahun 2004 tentang sistem perencanaan pembangunan nasional, UU No 32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antar pemeintah pusat dan pemerintahan daerah. Dengan di keluarkanya undang-undang di atas pada prinsipnya memberikan peluang pada daerah untuk menyusun perencanaan pembangunan secara otonom dan partisipatif agar pelaksanaan otonomi daerah dapat berjalan dan berkembang serta terciptanya kepemerintahan yang baik ( good local governance). Kepala daerah berkewajiban menyusun suatu sistem perencanaan pembangunan yang mendukung tercapainya tujuan dalam menjalankan otonomi daerah. Hambatan-Hambatan Dalam Pelaksanaan Good Governance Dan Clean Governance Dalam Sistem Pemerintahan Nagari Hambatan dalam pelaksanaan Good Governance adalah masih kita rasakan belum terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik dan bersih, Birokrasi yang masih belum efesien, masih membutuhkan waktu yang lama, masih berbelit belit, masih terjadi yang namamya dunsanakisme, ketika ada hubungan kekerabatan baru pelayanannya berkualitas, tidak terjadi transparancy keuangan di nagara, bahkan akuntabilitas masih belum bagus begitu banyak hambatan atau kendalanya adalah di sebabkan oleh mesin birokrasi yang tidak berjalan sesuai dengan relnya. Kita merasakan masih bayaknya terjadinya koropsi karena sistem tata kelola belum efektif, terbuktinya otonomi kebablasan bahkan hari ini yang terjadi koropsi tidak hanya di pusat tapi telah berimbas ke Nagara, berbeda dengan rezim orde bari yang berani korupsi hanya pusat. Tapi hari ini justru telah terjadi raja raja kecil di daearah dengan terciptanya pemindahan ladang korupsi secara berjemaah dan di kololam oleh DPRD. Prilaku yang sesuai dengan perananya selaku abdi tersebut. Keseluruhan prilaku para anggota birokrasi tercermin pada pelayanan pada seluruh masyarakat. Karena penerapan prinsip Fungsionalisasi, spesialisasi dan pembagian tugas, sudah barang tentu menjadi bagian masyarakat suatu institusi tertentu. Prinsip pelayanan yang harus di berikan kepada rakyat atau masyarakat oleh birokrat adalah pelayanan yang bersifat adil, cepat , ramah, korek tanpa diskriminasi dan tanpa pilih kasih. Karena itu, ungkapan yang mengatakan bahwa para pegawai negeri adalah melayani bukan untuk di layani, hendaknya terwujud dalam praktek dan realisasinya dan akan tidak ada artinya kalau hanya pada tataran konsep tanpa di tuangkan ke prakteknya. Dan kita tidak inginkan hanya ungkapan tersebut hanya menjadi slogan tanpa di ikuti makna. Dengan kata lain, teramat penting untuk mengupayakan agar para anggota birokrasi menghindari prilaku yang tidak sesuai dengan perananya selaku abdi negara mayarakat. Dari inilah, “penting di pahami
patologi birokrasi yang bersumber dari keprilakuan” . Pemahaman tentang prilaku dalam kaitanya pada birokrasi, mutlak perlu di soroti dari sudut andang etos kerja dan kultur organisasi yang berlaku adalah kultur sosial yang luas. Hambatan Pelaksanaan Good Governance selanjutnya adalah permasalahan atau tantangan masa depan Sistem Pemerintahan nagari menurut penulis adalah tidak terciptanya good local governance, tata kelola pemerintahanyang baik dan bersih dan konsekuensinya adalah munculnya raja, raja kecil dari daerah, korupsi yang semakin bersarang di daerah, artinya seolah-olah otonomi daerah memberi peluang pemindahan korupsi dari pusat kepada daerah. Pemekaran dalam daerah yang tidak proporsional, banyak pelimpaan kewenangan yang menyimpang sehinga bupati lebih presiden dari presiden sendiri. Persoalan diatas sebagai solusinya perlu good local governance agar daerah lebih efektif dan efeien dan akuntabilitas di dalam pen yelengaraan sistem disentaralisasi