Batasan Debt to Equity Ratio (DER) Dalam Menghitung Pajak
Oleh:
Ruston Tambunan, Ak., CA., S.H., M.Si., M.Int.Tax
Managing Partner CITASCO – Registered Tax Consultants
Kegiatan sebuah perusahaan umumnya didanai oleh 2 (dua) sumber utama, yaitu
dari pemegang saham (equity financing) dan dari utang (debt financing).
Dana dari pemegang saham (equity) adalah dalam bentuk setoran modal dan
akumulasi laba yang tidak dibagikan sebagai dividen tetapi ditahan
(retained earning). Selanjutnya utang dapat meliputi utang dagang ke pihak
pemasok barang dan penyedia jasa (supplier /vendor), utang ke bank jangka
pendek maupun jangka panjang serta utang kepada pihak-pihak yang berelasi
(affiliated companies) seperti pemegang saham atau perusahaan induk. Dalam
manajemen keuangan, antara jumlah utang dan modal diperbandingkan untuk
melihat sejauh mana sebuah perusahaan mampu melunasi hutang jangka
panjangnya (solvency). Perbandingan atau rasio tersebut disebut sebagai
Debt to Equty Ratio (DER). Jika DER kurang dari 1, misalnya 1:2, itu
berarti bahwa kegiatan perusahaan lebih banyak didanai oleh modal dari pada
utang. Di sisi lain, perusahaan tersebut dipandang akan mampu melunasi
utang jangka panjangnya. Sebaliknya jika DER lebih dari 1, misalnya 3:1,
maka utang lebih dominan atau 3 (tiga) kali lipat besarnya dalam mendanai
operasi perusahaan dibandingkan modal. Secara umum perusahaan yang
mempunyai DER tinggi lebih memiliki risiko dikaitkan dengan kewajiban
kepada pihak ketiga dan dalam praktiknya DER itu sendiri bervariasi untuk
berbagai perusahaan, tergantung dari jenis kegiatan, karakteristik usaha,
serta kemampuan dan kemauan perusahaan tersebut dalam menanggung risiko.
Bagi perusahaan seperti bank atau perusahaan pembiayaan yang aktivitasnya
mengumpulkan dana nasabah dan menyalurkannya dalam bentuk kredit, DER-nya
wajar lebih tinggi dibandingkan dengan misalnya perusahaan jasa yang
relatif tidak membutuhkan banyak modal kerja dalam kegiatan operasinya.
DER dan Pajak Penghasilan
Meski aspek komersial menjadi pertimbangan utama dalam perimbangan antara
utang dan modal dalam sebuah perusahaan, pemilihan penggunaan utang lebih
banyak dibandingkan modal dalam praktiknya dapat dijadikan strategi untuk
menghemat pajak. Hal ini dimungkinkan karena terdapat perbedaan perlakuan
atas dividen sebagai imbalan modal dibandingkan dengan bunga sebagai
imbalan atas utang dalam kaitannya dengan penghitungan penghasilan kena
pajak. Dividen bukanlah merupakan biaya sehingga tidak dapat menjadi
pengurang penghasilan kena pajak, beda halnya dengan biaya pinjaman atau
bunga. Perbedaan perlakuan ini mendorong perusahaan-perusahaan induk
multinasional mengambil kebijakan untuk lebih banyak menyuntik modal kerja
kepada anak perusahaannya di negara lain dalam bentuk pinjaman (debt) dari
pada penyertaan dalam bentuk modal (equity) karena dengan biaya bunga,
beban Pajak Penghasilan pada anak perusahaan akan lebih kecil. Dalam hal
ini DER pada anak perusahaan akan diupayakan setinggi mungkin. Dalam
terminologi perpajakan, upaya ini disebut dengan thin capitalization yang
merupakan salah satu cara penghindaran pajak khususnya oleh perusahaan-
perusahaan multinasional.
Ketentuan Terbaru Batasan DER
Setelah pernah menetapkan ketentuan DER 3:1 melalui Keputusan Menteri
Keuangan Nomor 1002/KMK.04/1984 tanggal 8 Oktober 1984 namun kemudian
ditunda pemberlakuannya sesuai Keputusan Menteri Keuangan Nomor
254/KMK.01/1985, akhirnya berdasarkan kewenangan yang diperoleh dalam Pasal
18 ayat (1) UU No.7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan sebagaimana telah
beberapa kali diubah terakhir dengan Undang-undang Nomor 36 Tahun 2008 (UU
PPh), Menteri Keuangan menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor
169/PMK.010/2015 tentang Penentuan Besarnya Perbandingan Antara Utang Dan
Modal Perusahaan Untuk Keperluan Penghitungan Pajak Penghasilan sekaligus
mencabut kedua KMK yang terbit sebelumnya Beberapa hal pokok yang diatur
dalam Peraturan Menteri Keuangan tersebut adalah sebagai berikut:
1. Ketentuan besarnya perbandingan antara utang dan modal (DER) berlaku
bagi Wajib Pajak Badan yang didirikan dan bertempat kedudukan di
Indonesia yang modalnya terbagi atas saham-saham
2. Utang dan modal dihitung dari saldo rata-rata pada satu tahun pajak
atau bagian tahun pajak yang bersangkutan
3. Besarnya perbandingan utang dan modal paling tinggi empat banding satu
(4:1)
4. Terdapat pengecualian DER tersebut terhadap beberapa kelompok Wajib
Pajak, antara lain, bank, lembaga pembiayaan, asuransi dan reasuransi,
pertambangan dan yang atas seluruh penghasilannya dikenai Pajak
Penghasilan yang bersifat final dan wajib pajak yang menjalankan usaha
di bidang infrastruktur
5. Dalam hal DER melebihi 4:1 maka biaya pinjaman yang dapat
diperhitungkan adalah sebesar biaya pinjaman sesuai dengan rasio 4:1
6. Biaya pinjaman meliputi bunga pinjaman, diskonto dan premium serta
biaya tambahan terkait pinjaman, beban keuangan dalam sewa pembiayaan,
imbalan karena jaminan pengembalian utang dan selisih kurs dari
pinjaman mata uang asing
7. Dalam hal wajib pajak mempunyai salso ekuitas nol atau kurang dari
nol, maka seluruh biaya pinjaman tidak dapat diperhitungkan dalam
penghitungan penghasilan kena pajak.
8. Ketentuan baru ini berlaku sejak tahun pajak 2016
9. Ketentuan pelaksanaan lebih lanjut akan diatur dengan Peraturan
Direktur Jenderal Pajak
Dapat dimengerti bahwa ketentuan DER tesebut dibutuhkan sebagai salah satu
anti penghindaran pajak yang selama ini marak dilakukan oleh perusahaan –
perusahaan multinasional di Indonesia melalui thin capitalization selain
dengan cara transfer pricing.
Dualisme Fixed Ratio dan Arm's Length Approach
Pada dasarnya terdapat 2 (dua) cara mengatur pembatasan DER dalam
ketentuan perpajakan (Roy Rohatgi, 2002). Pertama, Fixed Ratio Approach di
mana besaran maksimum DER yang diperkenankan diatur secara . Kedua adalah
Arm's Length Ratio, di mana tidak diatur besaran DER tetapi otoritas pajak
mengacu pada rata-rata DER pada perusahaan dalam bidang sejenis. Faktanya,
kedua pendekatan tersebut terdapat dalam UU PPh. Pasal 18 ayat (1) UU PPh
mengatur bahwa Menteri Keuangan berwenang mengeluarkan keputusan mengenai
besarnya perbandingan antara utang dan modal perusahaan untuk keperluan
penghutungan pajak. Selanjutnya Pasal 18 ayat (3) mengatur bahwa Direktur
Jenderal Pajak berwenang untuk menentukan kembali besarnya penghasilan dan
pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya
Penghasilan Kena Pajak bagi Wajib Pajak yang mempunyai hubungan istimewa
dengan Wajib Pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang
tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa. Kemudian, penjelasan pasal ini
menegaskan bahwa bunga yang dibayarkan sehubungan dengan utang yang
dianggap sebagai penyertaan modal tidak diperbolehkan untuk dikurangkan
sebagai biaya, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima bunga tersebut
dianggap sebagai dividen.
Acuan Direktorat Jenderal Pajak dalam hal ini pemeriksa pada saat melakukan
pemeriksaan terhadap Wajib Pajak selama ini adalah pasal 18 ayat (3) UU
PPh yaitu menggunakan range rata-rata DER perusahaan sejenis dari hasil
melakukan pembandingan sebagai patokan. Tidak jarang seorang pemeriksa
melakukan koreksi biaya bunga yang dibayarkan kepada pihak-pihak yang
mempunyai hubungan istimewa seperti ke perusahaan induk (parent company)
dan memperlakukannya sebagai dividen terselubung (disguised dividends).
Koreksi tersebut tidak serta merta dapat diterima oleh Wajib Pajak dan
menjadi sengketa di tingkat keberatan dan banding. Timbulnya sengketa bisa
jadi karena terdapat ketidaksepahaman akan perusahaan-perusahaan yang
dijadikan sebagai pembanding oleh pemeriksa. Hal ini mungkin karena proses
melakukan kesebandingan untuk DER tidak diatur secara tegas dalam ketentuan
perpajakan yang berlaku saat ini.
Penerapan Pasal 18 ayat (3) UU PPh dalam menentukan DER yang wajar selama
ini oleh pemeriksa adalah karena Menteri Keuangan belum mengatur besaran
DER tersebut. Setelah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor
169/PMK.010/2015 yang menetapkan DER 4:1 berdasarkan kewenangan dalam Pasal
18 ayat (1), maka timbul dualisme dalam penentuan DER. Belum jelas benar
apakah Direktorat Jenderal Pajak hanya berpatokan pada 4:1 (fixed ratio
approach) sesuai Pasal 18 (1) UU PPh atau dapat juga menerapkan DER dengan
arm's length approach berdasarkan Pasal 18 (3). Jika Dirjen Pajak hendak
menggunakan kedua approach tersebut, maka ketika range rata-rata industri
tertentu yang sejenis berada pada DER 2: 1, bisa jadi berdasarkan Pasal 18
ayat (3) UU PPh pemeriksa dapat melakukan koreksi biaya pinjaman terhadap
perusahaan yang diperiksa apabila DER nya di atas 2:1 meskipun tidak lebih
dari ketentuan DER 4:1. Sebaliknya jika DER suatu perusahaan misalnya 5:1
dan rasio tersebut sama dengan range rata-rata DER industri di bidangnya,
timbul pertanyaan apakah pemeriksa akan melakukan koreksi karena melebihi
DER 4:1. Peraturan Menteri Keuangan tersebut tidak menjelaskan hal dualisme
ini sehingga terdapat ketidakpastian dalam praktiknya nanti jika dikaitkan
dengan UU PPh.
Hanya Tidak Mengakui Biaya Pinjaman atau Dianggap Dividen Terselubung
Sebagaimana telah dikemukakan sebelumnya, bahwa dalam penjelasan Pasal 18
ayat (3) UU PPh dinyatakan bahwa bunga yang dibayarkan sehubungan dengan
utang yang dianggap sebagai penyertaan modal tidak diperbolehkan untuk
dikurangkan sebagai biaya, sedangkan bagi pemegang saham yang menerima
bunga tersebut dianggap sebagai dividen. Namun Peraturan Menteri Keuangan
Nomor 169/PMK.010/2015 hanya mengatur tidak memperkenankan biaya pinjaman
sebagai akibat kelebihan DER di atas 4:1. Tidak terdapat pasal yang
memperlakukannya sebagai dividen meski lelebihan biaya pinjaman tersebut
dibayarkan kepada pemegang saham. Dalam hal ini Peraturan Menteri Keuangan
tidak sinkron dengan pasal 18 ayat (3) UU PPh. Re-karakterisasi biaya bunga
menjadi dividen kepada pemegang saham akan membawa konsekuensi tersendiri
dalam penerapan tarif pemotongan PPh Pasal 26 khususnya apabila terdapat
perbedaan tarif pemotongan antara dividen dan bunga dalam Perjanjian
Penghindaran Pajak Berganda (P3B) atau yang umum dikenal dengan tax treaty
antara Indonesia dengan negara di mana peusahaan penerima bunga terdaftar
sebagai penduduk (residence country).
Perlunya Pengecualian Ketentuan DER Untuk Usaha Mikro Kecil Dan Menengah
(UMKM)
Menteri Keuangan mempunyai pertimbangan sendiri untuk memberikan
pengecualian ketentuan DER bagi beberapa industri seperti perbankan dan
lembaga pembiayaan. Di negara tertentu seperti China, tidak terdapat
pengecualian dalam penerapan DER. Hanya saja DER untuk perusahaan
pembiayaan/perbankan lebih tinggi batas maksimumnya dibandingkan dengan
perusahaan non-pembiayaan/perbankan. Terkait dengan pengecualian, ada
baiknya Menteri Keuangan mempertimbangkan untuk mengecualikan Usaha Mikro
Kecil dan Menengah (UMKM) dari ketentuan DER sebab banyak perusahaan kecil
dalam bentuk Perseroan Terbatas (PT) yang dalam kegiatan usahanya
mengandalkan pinjaman modal baik dari perbankan maupun perusahaan
pembiayaan (leasing company). Sejatinya ketentuan DER dimaksudkan sebagai
anti penghindaran pajak karena adanya perbedaan perlakuan atas dividen dan
bunga dalam penghitungan Pajak Penghasilan yang umumnya dilakukan oleh
perusahaan-perusahaan multinasional. Dengan demikian akan menjadi kontra
produktif jika ketentuan DER juga diberlakukan terhadap perusahaan-
perusahaan yang nyata-nyata membutuhkan dukungan pinjaman karena
keterbatasan kemampuan modal, bukan untuk kepentingan penghindaran pajak.
Apabila ketentuan DER ini diterapkan terhadap UMKM sehingga sebagian bunga
tidak dapat dibebankan sebagi biaya pengurang dalam penghitungan
penghasilan kena pajak, maka hal ini tentu akan sangat memberatkan.
==========================