BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang
Saat ini berbagai bentuk sediaan sediaan obat dapat dijumpai dipasaran. Diantaranya adalah sediaan injeksi yang termasuk sediaan steril. Produk steril adalah
sediaan
teraseptis
dalam
bentuk
terbagi
yang
bebas
dari
mikroorganisme hidup. Sediaan parenteral ini merupakan sediaan unik diantara bentuk sediaan obat terbagi, karena sediaan ini disuntikkan melalui kulit atau membran mukosa ke bagian dalam tubuh. Dan kemudian langsung menuju reseptor. Sediaan tersebut harus bebas dari kontaminasi mikroba dan dari komponen toksik serta harus mempunyai tingkat kemurnian tinggi dan luar biasa. Dalam injeksi intravena memberikan beberapa keuntungan antara lain efek terapi lebih cepat didapat., dapat memastikan obat sampai pada tempat yang diinginkan, cocok unyuk keadaan darurat, untuk obat – obat – obat obat yang rusak oleh cairan lambung Sediaan injeksi merupakan sediaan yang sangat penting bagi dunia kesehatan. Karena pada keadaan sakit yang dianggap kronis, pemberian obat minum sudah tidak maksimal lagi , sehingga perlu dan sangat penting untuk di berikan sediaan injeksi, karena akan sangat membantu untuk mempercepat mengurangi rasa sakit pada pasien, sebab sediaan injeksi bekerja secara cepat, dimana obat langsung masuk ke dalam pembuluh darah dan akan bekerja secara optimal pada bagian yang sakit. Sediaan injeksi merupakan salah satu contoh sediaan steril , jadi keamanan dan kebersihan sediaan juga telah di uji. 1.2
Tujuan
1. Mahasiswa memahami pengertian sediaan steril, 2. Mahasiswa mengetahui penegertian sediaan injeksi atau parenteral, 3. Mahasiswa mengetahui rute pemberian sediaan parenteral.
1
4. Mahasiswa dapat mengetahui keuntungan sediaan parenteral 5. Mahasiswa dapat mengetahui kerugian sediaan parenteral 1.3
Manfaat
1. Mampu menerapkan cara membuat sediaan injeksi yang baik dan benar untuk meminimalisir kesalahan pada sediaan injeksi. 2. Mampu mengetahui kelarutan obat yang tepat dalam pembuatan injeksi.
2
BAB II ISI 2.1
Sejarah
Sediaan parenteral merupakan sediaan steril. Sediaan ini diberikan melalui beberapa rute pemberian yaitu intravena, intraspinal, intramuskuler, subkutis
dan
intradermal.
Apabila
injeksi
diberikan
melalui
rute
intramuscular, seluruh obat akan berada di tempat itu. Dari tempat suntikan itu obat akan masuk ke pembuluh darah di sekitarnya secara difusi pasif, baru masuk ke dalam sirkulasi. Cara ini sesuai utnuk bahan obat , baik yang bersifat lipofilik maupun yang hidrofilik. Kedua bahan obat itu dapat diterima dalam jaringan otot baik secara fisis maupun secara kimia. Ahkan bentuk sediaan larutan, suspensi, atau emulsi juga dapat diterima lewat intramskuler, begitu juga pembawanya bukan hanya air melainkan yang non air juga dapat. Hanya saja apabila berupa larutan air harus diperhatikan pH larutan tersebut. Istilah parenteral berasal dari kata Yunani para dan enteron yang berari disamping atau lain dari usus. Sediaan ini diberikan dengan cara menyuntikkan obat di bawah atau melalui satu atau lebih lapisan kulit atau membrane mukosa. Karena rute ini disekitar daerah pertahanan yang sangat tinggi dari tubuh, yaitu kulit dan selaput/membrane mukosa, maka kemurniaan yang sangat tinggi dari sediaan harus diperhatikan. Yang dimaksud dengan kemurnian yang tinggi itu antara lain harus steril. Obat suntik hingga volume 100 ml disebut sediaan parenteral volume kecil sedangkan apabila lebih dari itu disebut sediaan parenteral volume besar, yang biasa diberikan secara intravena. Produk parenteral, selain diusahakan harus steril juga tidak boleh mengandung partikel yang memberikan reaksi pada pemberian juga diusahakan tidak mengandung bahan pirogenik. Bebas dari mikroba (steril)
3
dapat dilakukan dengan cara sterilisasi dengan pemanasan pada wadah akhir, namun harus diingat bahwa ada bahan yang tidak tahan terhadap pemanasan. Untuk itu dapat dilakukan teknik aseptic. Larutan yang mengandung bakteri gram positif-negatif dapat saja memberikan reaksi demam atau pirogenik walaupun larutan injeksi tersebut steril. Reaksi demam atau pirogen ini disebabkan oleh adanya fragmen dinding sel bakteri yang disebut ―endotoksin‖. Adanya endotoksin yang ditandai dengan reaksi demam itu merupakan pertanda bahwa selama proses produksi terjadi kontaminasi mikroba pada produk. Oleh sebab itu dalam proses produksi sediaan parenteral diisyaratkan hal-hal sebagai berikut: 1. Personil yang bekerja pada bagian produk steril harus memiliki moral dan etik professional yang tinggi. 2. Setiap personil mendapat latihan tentang sediaan steril secara lengkap. 3. Memiliki teknik spesialisasi untuk memproduksi sediaan steril. 4. Bahan yang digunakan harus bermutu tinggi. 5. Kestabilan dan kemanjuran produk harus terjamin. 6. Program pengontrolan (quality control) harus baik untuk memastikan mutu produk dan harus memenuhi keabsahan prosedur produksi. 2.3
Pengertian
Injeksi atau parenteral (FI) adalah sediaan streil berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lender injeksi. Injeksi dibuat dengan melarutkan, mengemulsikan atau mensuspensikan sejumlah obat ke dalam sejumlah pelarut dan disisipkan dalam wadah takaran tunggal atau ganda.
4
2.4
Rute Pemberian
Rute pemberian sedian parenteral atau injeksi dimuat dalam beberapa pustaka, antara lain Farmakope Indonesia, Formularium Nasional kedua pustaka tersebut di dalam antara kurung dan lain sebagainya. Pengetahuan tentang rute pemebrian ini bukan dimaksudkan agar dapat menyuntikkan dengan benar, tetapi untuk farmasis lebih ditekankan pada persyaratan produk ditinjau secara farmasis Persyaratan farmasetik yang dimaksud antara lain pemilihan wadah dengan ukuran yang tepat, penentuan pH, pemilihan bahan pengawet dan penetapan tonisitas. Untuk jelasnya dapat diikuti uraian masing-masing rute pemberian injeksi. 1. Pemberian Subkutis (Subkutan) Lapisan ini letaknya persis dibawah kulit, yaitu lapisan lemak (lipoid) yang dapat digunakan untuk pemberian obat antara lain vaksin, insulin, skopolamin, dan epinefrin atau obat lainnya. Injeksi subkutis biasanya diberikan dengan volume samapi 2 ml (PTM membatasi tak boleh lebih dari 1 ml) jarum suntik yang digunakan yang panjangnya samapi ½ sampai 1 inci (1 inchi = 2,35 cm) Cara formulasinya harus hati-hati untuk meyakinkan bahwa sediaan (produk) mendekati kondisi faal dalam hal pH dan isotonis. FN (1978) mensyaratkan larutannya isotoni dan dapat ditambahkan bahan vasokontriktor seperti Epinefrin untuk molekulisasi obat (efek obat) Cara pemberian subkutis lebih lambat apabila dibandingkan cara intramuskuler atau intravena. Namun apabila cara intravena volume besar tidak dimungkinkan cara ini seringkali digunakan untuk pemberian elektrolit atau larutan infuse i.v sejenisnya. Cara ini disebut hipodermoklisis, dalam hal ini vena sulit ditemukan. Karena pasti terjadi iritasi maka pemberiannya harus
5
hati-hati. Cara ini dapat dimanfaatkan untuk pemberian dalam jumlah 250 ml sampai 1 liter. 2. Pemberian intramuskuler Intramuskuler artinya diantara jaringan otot. Cara ini keceparan absorbsinya terhitung nomor 2 sesudah intravena. Jarum suntik ditusukkan langsung pada serabut otot yang letaknya dibawah lapisan subkutis. Penyuntikan dapat di pinggul, lengan bagian atas. Volume injeksi 1 samapi 3 ml dengan batas sampai 10 ml (PTM — volume injeksi tetap dijaga kecil, biasanya tidak lebih dari 2 ml, jarum suntik digunakan 1 samai 1 ½ inci. Problem klinik yang biasa terjadi adalah kerusakan otot atau syaraf, terutama apabila ada kesalahan dalam teknik pemberian (ini penting bagi praktisi yang berhak menyuntik). Yang perlu diperhatikan bagi Farmasis anatara lain bentuk sediaan yang dapat diberikan intramuskuler, yaitu bentuk larutan emulsi tipe m/a atau a/m, suspensi dalam minyak atau suspensi baru dari puder steril. Pemberian intramuskuler memberikan efek ―depot‖ (lepas lambat), puncak konsentrasi dalam darah dicapai setelah 1-2 jam. Faktor yang mempengaruhi pelepasan obat dari jaringan otot (im) anatar lain : rheologi produk, konsentrasi dan ukuran partikel obat dalam pembawa, bahan pembawa, volume injeksi, tonisitas produk dan bentuk fisik dari produk. Persyaratan pH sebaiknya diperhatikan, karena masalah iritasi, tetapi dapat dibuat pH antara 3-5 kalau bentuk suspensi ukuran partikel kurang dari 50 mikron. 3. Pemberian intravena Penyuntikan langsung ke dalam pembuluh darah vena untuk mendapatkan efek segera. Dari segi kefarmasian injeksi IV ini boleh dikata merupakan pilihan untuk injeksi yang bila diberikan secara intrakutan atau intramuskuler mengiritasi karena pH dan tonisitas terlalu jauh dari kondisi fisiologis. Kelemahan cara ini adalah karena kerjanya cepat, maka pemberian antidotum mungkin terlambat. Volume pemberian dapat dimulai Dari 1 ml 6
hingga 100 ml, bahkan untuk infus dapat lebih besar dari 100 ml. Kecepatan penyuntikan samapi 5 ml diberikan 1 ml/10 detik, sedangkan untuk di atas 5 ml kecepatannya 1 ml/20 detik. Intravena hanya terbatas untuk pemberian larutan air, kalau merupakan bentuk emulsi harus memenuhi ukuran partikel tertentu. Kalau dapay diusahakan pH dan tonisitas sesuai dengan keadaan fisiologis. 4. Pemberian intrathekal-intraspinal Penyuntikan langsung ke dalam cairan serebrospinal pada beberapa temapt. Cara ini berbeda dengan cara spinal anastesi. Kedua pemberian ini mensyaratkan sediaan dengan kemurniaannya yang sangat tinggi, karena dearah ini ada barier (sawar) darah sehingga daerahnya tertutup. Sediaan intraspinal anastesi biasanya dibuat hiperbarik yaitu cairannya mempunyai tekanan barik lebih tinggi dari tekanan barometer. Cairan sediaan akan bergerak turun karena gravitasi, oleh sebab itu harus pada posisi pasien tegak. 5. Intraperitoneal Penyuntikan langsung ke dalam rongga perut, dimana obat secara cepat diabsorbsi. Sediaan intraperitoneal dapat juga diberikan secara intraspinal, im,sc, dan intradermal 6. Intradermal Capa penyuntikan melalui lapisan kulit superficial, tetapi volume pemberian lebih kecil dan sc, absorbsinya sangat lambat sehingga onset yang dapat dicapai sangat lambat. 7. Intratekal Digunakan khusus untuk bahan obat yang akan berefek pada cairan serebrospinal. Digunakan untuk infeksi ssp seperti meningitis, juga untuk anestesi spinal. Intratekal umumnya diinjeksikan secara langsung pada lumbar spinal atau ventrikel sehingga sediaan dapat berpenetrasi masuk ke dalam daerah yang berkenaan langsung pada SSP. 7
2.5
Keuntungan dan kerugian Keuntungan
Respon fisiologis obat dicapai, jika diperlukan sehingga merupakan pertimbangan khusus untuk pasien jantung, asma, shcok, pingsan.
Terapi parenteral menemukan obat-obatan yang bukan hanya efektif melalui mulut atau dirusak oleh saluran cerna seperti insulin, hormon dan antibiotik.
Obat-obatan yang tidak kooperatif menimbulkan mual, muntah atau pasien tidak sadar harus diberikan IV
Bila diinginkan terapi parenteral memberikan kesempatan kepada dokter utnuk mengontrol obat tersebut sehingga pasien harus kembali utnuk pengobatan selanjutnya.
Dapat memberikan efek local seperti pada pembedahan gigi dan anestesi
Dalam kasus dimana diinginkan efek obat diperpanjang, bentuk steroid yang berefek lambat secara intraartikular dan golongan penisilin yang berefek lama jika diberiakn secara i.m
Juga merupakan cara pemberian yang sangat baik untuk cairan-cairan dan untuk keseimbangan elektrolit.
Bila bahan makanan tidak dapat diberikan melalu mulut maka total nutrisi dapat diberikan secara parenteral Kerugian
Sediaan parenteral mempunyai dosis yang harus ditentukan lebih teliti waktu dan cara pemberian harus diberikan oleh tenaga yang sudah terlatih.
Bila obat diberikan secara parenteral maka sulit dikembalikan efek fisiologisnya
8
Sediaan parenteral merupakan sediaan mahal karena preparasi dan pembuatan secara khusus seperti menggnakan kemasan yang khusus dengan dosis yang sudah diatur sesuai kebutuhan
Terapi parenteral akan menimbulkan komplikasi dari beberapa penyakit seperti infeksi jamur, bakteri sehingga interaksinya tidak bisa dikendalikan
Kemajuan
dalam
manufaktur
atau
pabrikasi
atau
kemasan
menimbulkan beberapa masalah dalam sterilitas, partikulasi, pirogenitas, sterilisasi dll. 2.6
Formulasi
Sediaan parenteral volume kecil biasanya diperlakukan sebagai larutan volume kecil dalam vial atau ampul, dengan bentuk sediaan dan sistem pengemasan yang bermacam-macam. 2.6.1
Cairan
SVP
biasanya
merupakan
larutan
air.
Beberapa
produk
diperdagangkan berupa larutan minyak, atau menggunakan pelarut campur yang terdiri atas campuran air dan kosolven tercampur air (umumnya pelarut organik). 2.6.1.1 Larutan air
Aqua pro injectionem merupakan pelarut pilihan untuk pelarut sediaan parenteral volume kecil, dibuat secara destilasi atau teknologi reverse-osmosis (RO) (USP), sedangkan menurut FE hanya dibuat secara destilasi. Pirogen adalah hasil sampingan metabolisme pertumbuhan mikroba yang tidak dapat dirusak dengan cara sterilisasi konvensional. Larutan air dibuat dengan cara penyaringan produk ke dalam kemasan dan sterilisasi terminal produk jadi. Untuk obat yang secara fisika atau kimia tidak tahan temperatur tinggi dan sterilisasi terminal, obat dilarutkan dalam air untuk injeksi steril (farmakope), kemudian disaring secara aseptik dan diisikan ke dalam kemasan akhir. 2.6.1.2 Pelarut Nonair
9
Beberapa sediaan parenteral volume kecil menggunakan pelarut minyak. Minyak yang digunakan selalu minyak nabati (sesamie, olif ataubiji kapas) karena keamanan, kemurnian relatif, dan biokompatibilitasnya. Persyaratan minyak untuk injeksi (USP) harus memenuhi : 1. Uji parafin padat (ukuran kejernihan minyak 2. Bilangan penyabunan antara 185-200 3. Bilangan iodium antara 79-128 4. Pengujian zat tidak tersabunkan 5. Asam lemak bebas Pembuatan injeksi pearut minyak : 1. Dilakukan sterilisasi secara terpisah antara minyak dan sediaan 2. Pelarut minyak disterilkan melalui oven, panas dan kering 3. Bahan obat disterilkan secara panas kering atau gas, seperti etilen oksida 4. Obat steril dan pelarut steril dicampurkan secara aseptik Sterilisasi terminal tidak dapat dilakukan untuk injeksi dengan pelarut atau pembawa minyak karena ketidakadaan kelembaban daam produk yang diperlukan
untuk
menghasilkan
uap
air
di
bawah
tekanan,
untuk
menghancurka mikroba organisme. 2.6.1.3 Kosolven
Sejumlah sediaan parenteral volume kecil menggunakan sistem kosolven. Kosolven digunakan untuk meningkatkan kearutan obat dalam air dan meminimalkan atau mencegah penguraian obat oeh air. Prinsip kerja kosolven adalah menurunkan konstanta dielektrik air sehingga meningkatkan kelarutan zat yang sukar arut daam air. Produk yang mengandung kosoven dapat disterilkan mengguanakan autoklaf atau secara aseptik melalui penyaringan, bergantung pada stabilitas obat. Masalah utama penggunaan kosolven daan injeksi adalah potensi terjadinya lisis sel darah merah apabila diberikan secara i.v. oleh karena itu, penambahan kosolven ke dalam formulasi injeksi harus diteliti betul 10
keamanan dan efek toksikologinya, disamping kemungkinan terjadinya kristalisasi.
2.6.2
Suspensi
Pada suspensi parenteral, bahan aktf obat disuspensikan dalam pembawa cair, baik dalam bentuk siap guna maupun sebagai suspensi untuk direkonstitusi. Tabel suspensi sediaan parenteral volume kecil Produk
Manufaktur
Bahan pensuspensi
Aristocort
Lederle
Propilen glikol 4000
Bicillin C-R
Wyeth
Decadron L-A
Merck
Lesitin, CMC (karboksimetilselulosa) CMC (karboksimetilselulosa) PEG 3350
Depo-Medrol
Upjohn
Duracillin
Lilly
Garam pokain
Hydeltra - TBA
Merck
Garam tebulat
NPH – Insulin
Lilly, Novo
Protamin
(polietilenglikol)
Obat diformulasi dalam bentuk suspensi karena kelarutan dalam air terbatas atau karena diperlukan untuk memperpanjang pelepasan sistem penghantaran obat. Produk suspensi dibuat dengan mencampur pembawa steril dan serbuk steril secara aseptis atau dengan cara lain dimana larutan obat tidak larut dalam larutan, dan obat mengendap keluar dari larutan. 2.7
Masalah Besar dari Suspensi Sediaan parenterla Volume Kecil
11
1. Resuspendabilitas obat dalam pembawa yang memungkinkan pengisian produk secara homogen ke dalam kemasan dan dosis yang homogen. 2. ‖Caking ‖ atau sedimentasi obat menghasilkan produk yang secara fisik tidak stabil, dan 3. Siringeabilitas (kemampuan untuk mengeluarkan dosis yang homogen dari
vial
ke
dalam
alat
suntik)
dan
injektabilitas
(kemampuan
mengeluarkan produk melalui jarum pada jaringan pasien). 2.8
Komponen Formulasi
Larutan SVP mengandung air, bahan aktif, dan 3-5 bahan tidak aktif (eksipien). Padatan svp mengandung bahan aktif dan 1-2 bahan tidak aktif. Diperlukan kehati-hatian dalam memilih bahan tidak aktif (eksipien), selain pertimbangan keamanan. Contoh : hanya terdapat 8 pengawet mikroba yang dapat diterima untuk svp. 2.8.1
Pelarut
Yang paling luas digunakan adalah air untuk injeksi (farmakope). Air untuk injeksi steril digunakan untuk rekonstitusi
padatan svp sebelum
digunakan. Air bakteriostatik untuk injeksi digunakan sebagai pembawa untuk rekonstitusi produk takaran ganda. Bakteriostatik yang biasa digunakan adalah benzil alkohol. Minyak sesami dan minyak biji kapas digunakan sebagai pembawa zat tidak larut dalam air, seperti kortikosteroid dan beberapa vitamin. 2.8.2
Pensolubilitasi
Pensolubilitasi untuk obat yang kelarutannya dalam air terbatas, meliputi bahan-bahan berikut (dengan mekanisme peningkatan kelarutan air yang berbeda) : a. Kosolven Gliserin PEG 300 dan 400 Propilenglikol 12
Etonol b. zat aktif permukaan Polisorbat
80;
0,1%-0,5%
Pluronik
68;
0,05%-0,25%
c. Zat pengomplek Beta-siklodekstrin Polivinil pirolidon (PVP) 2.8.3
Pengawet antimikroba
Pengawet antimikroba dalam SVP (Tabel 9.2). Tabel 9.2 Pengawet yang digunakan dalam SVP. Bahan
Fenol
konsentrasi (%) 0,065-0,500
Produk Humulin N, Zantak, Tensilon, Tagamet, Fenergan, Imferon. Humulin N, Humulin R, Humatrope,
m. Kresol
0,160-0,300
Metilparaben
0,050-0,180
Dekadron, Elavil, Prostigmin
Propilparaben
0,011-0,035
Garamycin, Prolixin, Bicillin
Klorobutanol
0,500-0,550
Epitrate, Bentyl, Dopram
Benzil alkohol
0,750-2,000
Benzalkonium Klorida Timerosal
2.8.4
Rentang
Demerol
Valium, Protropin, Geopen, Compazine, Pronestyl, Cleocin
0,010-0,025
Sebagian besar produk ophtalmik
0,0075-0,01
Neosporin, Rhogam, Wydase
Dapar
Sistem dapar yang biasa digunakan dalam SVP (lihat Tabel 9.3). Tabel 9.3 Sistem dapar yang digunakan dalam SVP.
13
2.8.5
pH
Sistem dapar
Konsentrasi (%)
3,5-5,7
Asam asetat-asetat
1-2
2,5-6,0
Asam sitrat-sitrat
1-5
6,0-8,2
Asam fosfat- fosfat
0,8-2
8,2-10,2
Asam glutamat-glutamat
1-2
Antioksidan
Antioksidan yang biasa digunakan dalam SVP dapat dilihat pada Tabel 9.4. Tabel 9.4 Antioksidan yang biasa digunakan dalam SVP. Antioksidan
Rantang konsentrasi (%)
Larut air Garam asam belerang Na-bisulfit
0,05-1,0
Na-sulfit
0,01-0,2
Na-metabisulfit
0,025-0,1
Na-tiosulfat
0,1-0,5
Na-formalemo sulfoksilat
0,05-0,15
Isomer asam askorbat L dan D asam askorbat
0,02-1,0
Turunan tiol Asetilsistein
0,1-0,5
Sistein
0,1-0,5
Tiogliserol
0,1-0,5
As tioglikolat
As tiolaktat
Tiourea Ditio tretol
0,001-0,05
Glutation Larut minyak
14
2.8.6
Propilgalat
0,05-0,1
BHA
0,005-0,02
BHT
0,005-0,02
Askorbil palmitat
0,01-0,02
Asam norhidroguaiaretik
0,01-0,05
Α tokoferol 9
0,05-0,075
Penstabil protein
Protein dan peptida terapeutik penting dalam formulasi SVP, sangat reaktif dengan air, komponen formulasi lain, komponen kemasan, dan udara dalam kemasan. Selain itu, protein dan peptida sangat peka terhadap perubahan kondisi lingkungan, seperti temperatur, pH, cahaya, kelembaban dan perlakuan mekanik selama proses. Reaksi penguraian berlangsung, baik secara fisika maupun kimia. Protein akan membentuk agregat pada temperatur berlebihan (panas dan dingin) atau karena pengocokan dan penanganan. Agregasi protein tidak hanya secara potensial mempengaruhi potensi kimia, tapi juga penampilan fisik dan kualitasnya. Beberapa komponen digunakan untuk meminimalkan penguraian protein dalam svp. Penstabil yang menonjol adalah serum albumin, asam amino, seperti glisin, lisin, dan glutamin; surfaktan terutama polaxamer 188 (pluronik 68) dan polisorbat 80, alkohol polihidrat, seperti sorbitol, gliserol, dan polietilen glikol; karbohidrat, seperti sukrosa, laktosa, dan maltosa; antioksidan, agen penghelat, pvp, pva, dekstran, dan gelatin. 2.8.7
Pengatur tonisitas
Bermacam bahan digunakan untuk mengtur tonisitas SVP. Bahan yang biasa digunakan adalah elektrolit, seperti NaCL dan garam natrium lain, serta nonelektrolit, seperti gliserin dan laktosa. Biasanya formulator SVP pertama
15
memperhatikan konsentrasi obat dan komponen formulasi lain yang diperlukan untuk kelarutan, stabilitas atau tujuan spesifik lainnya. Begitu hal ini telah tercapai, dilakukan pengukuran osmolaritas. Jika hipotonik, maka ditambahkan agen pengatur tonisitas, jika formulasi hipertonik dan dalam keadaan hipertonik yang tidak dapat diterima untuk tujuan pemberian, maka formulasiperlu diencerkan atau bahan penambah dikurangi. 2.8.8
komponen lain
a. Pembentuk massa (bulking agents) digunakan dalam sediaan proses kering beku untuk meningkatkan kandungan padat setelah melewati proses liofilisasi. Krio dan lioprotektan digunakan dalam sediaan kering beku, terutama untuk protein yang peka terhadap proses pembekuan dan pengeringan. Bahan ini menstabilisasi dan mencegah penguraian protein selama proses kering-beku dan penyimpanan. b. Zat pensuspensi menjaga supaya zat tersuspensi dalam pelarut sesudah pengocokan
dan
diresuspensi. Zat pengemulsi
menurunkan
tegangan
antarmuka sehingga memungkinkan pencampuran minyak dan pelarut air dalam formulasi. c. Agen semisolida Bahan semisolida membantu dispersibilitas dari obat dalam salap mata dan berfungsi pula sebagai basis salap. Contoh dari bahan tersebut: 1. Pembentuk masa untuk sediaan kering-beku Manitol, laktosa Sukrosa Dekstran 2. Zat pensuspensi CMCNa Gelatin Sorbitol 16
3. Krio dan lioprotektan Sukrosa PVP Metilselulose Gelatin 4. Basis salap okulenta Vaselin 2.9
Karakteristik dasar SVP
1. Sterilitas 2. Bebas pirogen 3. Bebas dari partikel partikulat 4. Stabilitas Stabilitas fisika dan kimia 5. Isotonisitas SVP harus isotonis dengan darah, air mata, dan cairan biologi dalam otot, jaringan, dan cairan spinal, dimana produk disuntikan. Kemasan berbentuk: 1. Gelas 2. Karet 3. Plastik 2.10
Panduan dalam Memformulasi Sediaan Injeksi
Hal berikut perlu diperhatikan dalam mempersiapkan pembuatan sediaan parentral. 1.
Penggunaa nama generik Bila lebih dari satu BA dalam formulasi, komponen ditulis dalam urutan bjad. Bila terdapat bermacam BA, seperti formulasi B-kompleks, maka komponen secara keseluruhan ditulis dibawah kategori generik, misal vitamin B-komplek. Individual vitamin diurut sesuai dengan nama pertama. Sebagai contoh, vitamin
C ditulis sebagai asam askorbat, vitamin E sebagai alfa 17
tokoferol, dan vitamin D sebagai retinol. Formulasi Veteriner didentifikasi dan didaftarkan terpisah dari formulasi untuk manusia. Sebagai contoh: vitamin B kompleks Veteriner berbeda dengan vitamin B kompleks jika tanpa indikasi untuk tujuan manusia 2.
Penimbangan material Penimbangan material berbentuk presentasi tabular, skala, dan kualitas material yang digunakan. Skala (penimbangan) biasanya dipresentasikan sebagai kualitas per millimeter (perlu diperhatikan mengenai perbedaan skala: produk liofilisasi spesifikasinya dapat per vial dan dalam kasus kemasan premik farmasi spesifikasinya per 50 ml, misalnya). Penimbangan bahan secara multipel sering ditemukan pada produk yang sama; yang dapat tampil sama atau hanya berbeda dalam kadar saja. Hanya adakalanya dibutuhkan eksipien atau metode pembuatan yang sama atau berbeda sehingga sering ada perbedaan formulasi, tetapi semuanya sangat berguna.
3.
Arahan Manufaktur Arahan manufactur meliputi metodologi manufakturing produk secara bertahap (step by step) pada skala komersial. Untuk menghindari kelebihan (kesalahan) atau untuk menghemat ruang untuk setiap tipe produk harus ada instruksi secara rinci mengenai ampul, vial, infus, volume besar, obat tetes (drops), sedian nasal, atau obat tetes mata,. Ada tahap yang sama dan ada pula yang berbeda pada masaing-masing bentuk sediaan. Walaupun pembuatan sediaan berlangsung beberapa tahap, prosedur sterilisasi setiap bentuk sediaan, sperti penggunaan filter membran berukuran 0,22 µm, prosedur pemindahan ke dalam tangki antaraa, sterilisasi penyaring, pengujian penyaring menurut cara gelembung (bubble), autoklaving, atau sterilisasi panas adalah sama untuk kebanyakan sediaan. Jika diperlukan tindakan pengamanan zat beracun, zat yang sangat peka (misalterhadap udara dan cahaya), atau zat yang memerulkan penanganan khusus, maka pada 18
paragraf pertama harus ada peringatan tertulis sebelum melakukan tahap manufaktur. Manufaktur harus memahami betul ketentuan tentang cGMP. Menurut ketentuan cGMP, harus ada rekaman rinci dari semua tahapan proses ini. Dalam dokumen proses harus ada tanda tangan perihal kesesuaian semua pengamatan, termasuk nama operator, waktu mulai proses dan waktu akhir proses, seta pengamatan yang dilakukan. Sebaliknya rekaman ini juga diparaf oleh supervisior yang bertanggung jawab. Cara pembuatan obat yang baik adalah melakukan kualifikasi kualitas air pada tahap awal operasi manufaktur. Contoh kualifikasi proses misalnya dengan mengukur pH dan konduktifitas bukanlah merupakan indikator sterilitas. Dalam beberapa hal, direkomendasikan untuk mengalirkan gas Nitrogen dalam waktu cukup lama, dan lamanya tergantung pada kapisitas tangki preparatif, pada umumnya minimal 20 menit. Disarankan tangki berpenutup sehingga tertutup dan dapat mempertahankan kadar Nitrogen dalam larutan. Perhatikan pula temperatur tangki preparasi. Jika dinyatakan pada suhu kamar, maka definisi suhu kamar harus diliihat dan diacu dari Farmakope. Dalam kebanyakan hal, medium formulasi adalah air untuk injeksi (derajat farmakope). Pengalaman menunjukkan bahwa air sering merupakan sumber kontaminasi logam berat yang berasala dari kikisan pipa (dari baja tahan karat yang mengandung metal angat reaktif). Perlu diperhatikan bahwa air destilasi sangat korosif. Walaupun biasanya tidak memacu pertumbuhan bakteri, air mampu membawa bakteri. Formulasi dapat secara spesifik memerlukan air destilasi yang mendidih segar (freshly boilled distilled water), atau dengan spesifikasi yang sama bertujuan untuk menjamin bahwa tidak ada residu atau endotoksin yang terbentuk selama penyimpanan. Tahap filtrasi merupakan tahap kritis, dan harus berhati-hati sekali, tidak hanya dalam pemilihan filter yang tepat (berdasarkan sifat dielektrik dari
19
sediaan), tetapi juga dalam melakukan validasi penggunaan suatu filter, terutama jika filter tidak diganti pada setiap siklus operasi. Pengujian gelembung (bubble point) sebelum dan sesudah pengisian perlu dilakukan selama penggunaan filter. Daya retentif dan filter juga merupakan hal yang penting, dan sebagian ditentukan oleh sifat produk (seperti viskositas, polaritas, dan sebagainya). Akan tetapi prefiltrasi dengan filter berukuran 0,45µm sangat direkomendasikan, diikuti penyaringan dengan filter berukuran 0,22 µm(untuk sterilisasi). Apakah suatu produk akan disterilisasi secara terminal atau tidak. Sasaran utama selam proses adalah untuk mengurangi kadar endotoksin dalam produk. Formulator mempunyai beberapa opsi pilihan dalam menggunakan filter untuk produksi sediaan steril. Panduan untuk produk yang diisikan secara aseptik memerlukan persyaratan validasi filter, dan kebutuhan untuk mengembangkan validasi dari sistem tidak boleh diabaikan. Rangkain filter disterilkan sebelum digunakan dalam otoklaf, dan tidak boleh terdapat (ada) pelanggaran dalam penggunaan rangkain unit filter. Kompatibilitas antara produk dan pipa yang digunakan untuk transfer yang sering merupakan hal yanh penting. Dalam beberapa hal digunakan tabung spesifik seperti “Tygon”. Pengemas secara keseluruhan, sperti vial, ampul, penutup karet, dan penyegel aluminium, merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan dari produk. Integrasi kesatuan ini diperlukan untuk menjamin tidak adanya kontaminasi dari sumber eksternal dan tidak ada pelepasan bahan kimia dari bahan pengemas ke dalam produk. Untuk produk steril, pada pengujian selama proses produk, mendapat perlakukan yang sangat berlebihan (keras), dengan alasan pertama tidaklah mungkin menyelamatkan suatu bets begitu sudah dikemas. Kedua, produk mengalami pengujian visual 100% (yang sekarang dilakukan secara automatik) dan karena itu disyratkan untuk melakukan validasi dari prosedur
20
pengujian, walaupun hal tidak dinyatakan dalam farmakope dan buku teks lain.
21
BAB III PENUTUP 3.1
Kesimpulan
Berdasarkan isi makalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa : 1.
Produk steril adalah sediaan teraseptis dalam bentuk terbagi yang bebas dari mikroorganisme hidup.
2.
Injeksi atau parenteral (FI) adalah sediaan streil berupa larutan, emulsi atau suspensi atau serbuk yang harus dilarutkan atau disuspensikan terlebih dahulu sebelum digunakan, yang disuntikkan dengan cara merobek jaringan ke dalam kulit atau melalui kulit atau selaput lender injeksi.
3.
Sediaan parenteral ini diberikan melalui beberapa rute pemberian yaitu intravena,
intraspinal,
intramuskuler,
subkutis,
intraperitonial
dan
intradermal. 4.
Keuntungan sediaan parenteral yaitu : Respon
fisiologis
obat
dicapai,
jika
diperlukan
sehingga
merupakan pertimbangan khusus untuk pasien jantung, asma, shcok, pingsan. Terapi parenteral menemukan obat-obatan yang bukan hanya
efektif
melalui mulut atau dirusak oleh saluran cerna seperti
insulin, hormon dan
Obat-obatan yang tidak kooperatif menimbulkan mual, muntah
atau 5.
antibiotik.
pasien tidak sadar harus diberikan IV
Kerugian sediaan parenteral yaitu :
Sediaan parenteral mempunyai dosis yang harus ditentukan lebih teliti waktu dan cara pemberian harus diberikan oleh tenaga yang sudah terlatih.
22
Bila obat diberikan secara parenteral maka sulit dikembalikan efek fisiologisnya.
3.2
Saran
Saran kami, sebaiknya pengetahuan tentang sediaan parenteral / injeksi lebih banyak diberikan kepada para mahasiswa farmasi, agar para mahasiswa dapat lebih memahami obat – obat yang diberikan melalui injeksi.
23