BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Realita sekarang bahwa Indonesia mengalami peningkatan jumlah kemiskinan. Hal itu dapat dilihat pada data BPS tahun 2005 dan 2008 yakni 19,1 Juta RTS (Rumah Tangga Miskin) jumlah ini terbagi dalam kategori hampir miskin 6.969.602 orang, miskin 8.236.989 orang, dan sangat miskin 3.894.314 orang. (majalah.2009. (majalah.2009. segalanya untuk rakyat. Jakarta :Sambung Hati 9949 halaman: 44) Pengurangan kemiskinan telah lama menjadi pusat perhatian dalam diskusi-diskusi kebijakan pada tingkat pemerintahan nasional maupun pada lembaga dan institusi internasional. Kakwani et.al (2004) menyatakan bahwa tujuan terpenting dari pembangunan adalah pengurangan kemiskinan, yang mana hal ini dapat dicapai melalui pertumbuhan ekonomi yang tinggi dan atau dengan distribusi pendapatan yang lebih merata. Jadi, terdapat hubungan segitiga antara pertumbuhan ekonomi, ketidakmerataan pendapatan dan kemiskinan,
dimana
hubungan
antara
pertumbuhan
ekonomi
dan
ketidakmerataan pendapatan merupakan hubungan dua arah (Bourguignon, 2004). Analisa hubungan segitiga antara ketiga hal tersebut diatas telah menjadi bahan perdebatan yang panja ng dan sangat menarik diantara para para peneliti dan ekonom, melalui penelitian-penelitian yang telah dilakukan untuk kepentingan
1
teoritis keilmuwan. Sedang diantara para pembuat kebijakan, terutama dinegara-negara berkembang, fokus diskusi adalah pada pemilihan strategi pembangunan, yaitu antara mendahulukan pertumbuhan ekonomi atau melaksanakan dengan segera program strategi distribusi pendapatan yang lebih merata, dengan tetap fokus pada pengurangan kemiskinan.
Penyebab kemiskinan diakibatkan beberapa hal baik dari segi ekonomi maupun
nonekonomi
dalam
pandangan
Chambers
(1983)
perangkap
kemiskinan yang menyebabkan masyarakat miskin sulit keluar dari garis kemiskinan. Perangkap tersebut adalah kemiskinan ( poverty), kelemahan fisik ( Physical Physical Weakness), Weakness ), kerentanan (Vurnabillity), keterisolasian (isolation), dan ketidakberdayaan
overless). ( P P ov erless).
Kemiskinan
tersebut
mengakibatkan
ketidakberdayaan untuk mampu bertahan hidup dan berusaha keluar dari garis kemiskinan. Di Indonesia sendiri, sudah lama dilaksanakan program yang bertujuan untuk
mengurangi
ketidakmerataan
pendapatan,
pengangguran
dan
kemiskinan. Diantaranya adalah, pemerintah melaksanakan program tiga klaster : Klaster Pertama, yaitu Program Bantuan Langsung Tunai (BLT), Beras untuk Keluarga Miskin (Raskin), Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas), Bantuan Operasional Sekolah (BOS), dan Program Keluarga Harapan (PKH); Klaster Kedua, yaitu Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat-Mandiri (PNPM-Mandiri); Klaster Ketiga, yaitu Program Kredit oversial Usaha Rakyat (KUR). Dari ketiga klaster program yang paling k ontr ov
yaitu Bantuan Langsung Tunai (BLT) karena telah menimbulkan pro dan kontra .
2
Semua program-program yang diuraikan diatas pada akhirnya bertujuan untuk alokasi distribusi pendapatan yang lebih merata dan pengurangan kemiskinan, baik secara langsung dengan obyeknya adalah penduduk miskin, maupun tidak langsung melalui program pembangunan infrastruktur fisik dan sosial. Pertanyaannya adalah bagaimana peranan pertumbuhan ekonomi terhadap
keberhasilan
program-program
sosial
diatas.
Secara
teoritis
pertumbuhan ekonomi adalah engine dari program-program pengurangan ketidakmerataan pendapatan dan kemiskinan, karenanya melalui pertumbuhan ekonomi biaya program-program tersebut diperoleh. Pada tanggal 1 Oktober 2005, pemerintah menaikkan harga BBM rata-rata di atas 120%. Kebijakan ini ditempuh antara lain untuk menyelamatkan anggaran negara. Untuk mengurangi beban yang harus dipikul oleh masyarakat miskin akibat kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), pemerintah pada 2005 melaksanakan Subsidi Langsung Tunai (SLT) kepada rumah tangga miskin. Rumah tangga miskin yang berhak menerima bantuan diidentifikasi oleh BPS dengan menggunakan metode uji pendekatan kemampuan
( pr ox y-means
testing) . Setiap
rumah
tangga
menerima
Rp100.000,00 per bulan yang diberikan tiga bulan sekali selama satu tahun. Pada pencairan tahap pertama yang direalisasikan sejak 1 Oktober 2005, pemerintah menyediakan dana sebesar Rp4,6 triliun bagi sekitar 15,5 juta rumah tangga. Penyaluran dana dilaksanakan oleh PT Pos Indonesia melalui kantor cabangnya. (lembaga penelitian SMERU No. 17: Jan-Mar/2006) Untuk mengurangi dampak kenaikan bahan bakar minyak (BBM) terhadap masyarakat miskin dan rentan, melalui Inpres No. 12 Tahun 2005
3
tentang Pelaksanaan Bantuan Langsung Tunai kepada Rumah Tangga Miskin, pemerintah
meluncurkan
Program
Subsidi
Langsung
Tunai
(SLT).
Sebagaimana juga program-program bantuan sebelumnya, pelaksanaan SLT di lapangan pun tidak luput dari berbagai kendala. Bersamaan dengan itu, muncul berbagai pendapat di masyarakat mengenai keefektifan program ini dan dampak yang ditimbulkannya. Pemberian kompensasi bantuan langsung tunai (BLT) ibarat ´obat flu´, tetapi digunakan untuk mengobati kanker. Tampaknya pemerintah belum banyak ´belajar´ dari desain dan implementasi BLT pascakenaikan harga BBM Oktober 2005. Persoalan harga BBM selalu menjadi drama ekonomi dan sosial bagi Indonesia. Kegamangan sikap pemerintah, merebaknya demonstrasi menolak harga BBM, pembahasan alot di DPR, kelangkaan pasokan BBM di berbagai daerah, penyelundupan akibat diskrepansi harga, dan berbagai ekses akibat kenaikan harga dan program BLT, telah menjadi headline permasalahan yang terjadi di negara Indonesia. Realitanya antrean panjang di kantor pos dan kecemburuan antartetangga penerima dan bukan penerima BLT, juga ancaman warga kepada petugas. Kebijakan BLT pascakenaikan harga BBM Oktober 2005 terbukti sangat tidak efektif. Hal ini bisa dilihat dari meningkatnya jumlah penduduk miskin selama setahun setelah diterapkannya kebijakan BLT. (Prof. Mudrajad Kuncoro, Phd. Blt dan Gakin. Seputar Indonesia. Saturday,17May2008). Pada 2005, persentase penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan sebesar 16%. Namun, pada 2006, persentase tersebut meningkat menjadi
4
17,8%. Ini menunjukkan bahwa program BLT tidak mampu mengurangi kemiskinan. Program ini bukan obat mujarab yang bisa menyembuhkan orang miskin dari kemiskinan, tetapi hanya sekadar memperpanjang nafas mereka. Banyak pula yang menuding program BLT sekadar ´permen politik´ untuk meredam kemarahan atau kegusaran rakyat akibat kenaikan harga BBM. Program BLT merupakan kebijakan yang ditargetkan kepada penduduk yang paling miskin. Namun, penerapannya rawan gejolak sosial. Selain itu, nominal sebesar Rp100.000,00 tidak sebanding dengan kenaikan harga-harga barang lainnya yang ikut naik akibat kenaikan harga BBM. Bahkan, barang-barang tersebut sudah naik sebelum kenaikan BBM diumumkan. Ada juga kesan bahwa BLT merefleksikan kentalnya sentralisasi dalam desain program. Program tersebut tidak mempertimbangkan perbedaan harga atau perbedaan tingkat pendapatan antar daerah. Sebab, daya beli masyarakat di Jakarta tentu berbeda daya beli masyarakat miskin di Papua, NTB, NTT, dan daerah lainnya. Di lapangan, proses penyaluran BLT merepotkan para petugas lapangan, seperti kepala desa, RT, RW, dan staf BPS. Sering kali aparat pemerintah daerah (pemda) dari camat, kepala desa/lurah, hingga ketua RW menjadi bulan-bulanan masyarakat yang kecewa dan marah karena tidak mendapatkan BLT. BLT juga mendidik orang miskin menjadi malas bekerja karena mereka hanya menadahkan tangan mengharapkan ´uang kontan´ dari pemerintah. Program ini cenderung membentuk pola perilaku konsumtif dalam masyarakat, bukan produktif. Banyak kasus keluarga miskin (gakin) yang
5
mengijonkan e xpected income dari BLT selama tiga bulan, bahkan cenderung digunakan untuk bayar hutang. Berdasarkan Survei Evaluasi Sosial Ekonomi Nasional (Susenas) Maret 2006, atas pelaksanaan BLT 2005-2006, tingkat kebocoran paling parah terjadi di tingkat aparat dusun/RT/RW, masing-masing 42,6% (2005) dan 61% (2006). Selanjutnya aparat desa masing-masing 17,8% dan 29%,aparat kecamatan masing-masing 1,2 %,dan 0%,dan aparat Badan Pusat Statistik (BPS) masing-masing 0,8% dan 3%. Terdapat sejumlah alasan yang memicu kebocoran dana BLT. Berurutan berdasarkan tahapan pembagian dana BLT, yakni alasan uang keamanan 5% (2005) dan 6% (2006). Kemudian honorarium petugas desa 2% dan 4%, biaya transportasi masing-masing 27% dan 27%, tanggungan biaya administrasi 15% dan 1%,dan dibagi secara merata ke seluruh penduduk masing-masing 57% dan 77%. (Departemen Sosial Repulik Indonesia: 14 Mei 2008) Berdasarkan uraian tentang permasalahan diatas maka peneliti mengambil judul´ Analisis Bantuan Langsung Tunai untuk Meringankan Beban Rakyat Miskin di Desa Sukorejo Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan ³. B. Rumusan Masalah:
Berdasarkan latar belakang diatas, maka rumusan masalah yang digunakan oleh peneliti adalah sebagai berikut: 1. Apakah BLT sudah mengenai sasaran yang tepat di Desa Sukorejo Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan? 2. Apakah BLT sudah bisa meringankan beban rakyat di Desa Sukorejo Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan?
6
C.
Tujuan Penelitian:
Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dijabarkan, maka tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui apakah BLT sudah mengenai sasara n yang tepat di Desa Sukorejo Keca matan Turi Kabupaten La mongan. 2. Untuk mengetahui apakah BLT sudah bisa meringankan beban rakyat di Desa Sukorejo Keca matan Turi Kabupaten La mongan. D. Manfaat penelitian:
Dari tujuan penelitian yang telah ditetapkan, penulis berharap penelitian ini bisa diambil manfaatnya sebagai berikut: 1. Manfaat Teoritis Diharapkan hasil dari penelitian ini berguna bagi pengembangan ilmu pengetahuan, terutama di bidang sosial dan ekonomi. 2. Bagi Subyek Penelitian Dengan adanya penelitian ini akan membuka cakrawala pengetahuan tentang hasil analisis bantuan langsung tunai dalam meringankan beban rakyat miskin di Desa Sukorejo Kecamatan Turi Ka bupaten Lamongan. 3. Bagi Pemerintah Pemerintah diharapkan mengevaluasi program nasional bantuan langsung tunai yang k ontr oversial ini agar tepat sasaran, efektiv, dan dapat meringankan kemiskinan di indonesia khususnya di Desa Sukorejo Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan pasca kenaikan harga BBM yang berimbas naiknya seluruh kebutuhan bahan pokok dalam negeri.
7
BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Pengertian Kemiskinan
Kemiskinan diartikan sebagai suatu keadaan dimana seseorang tidak sanggup memelihara dirinya sendiri sesuai dengan taraf kehidupan kelompok dan juga tidak mampu memanfaatkan tenaga mental maupun fisik-nya dalam kelompok tersebut. Menurut sejarah, keadaan kaya dan miskin secara berdampingan tidak merupakan masalah sosial sampai saatnya perdagangan berkembang sangat pesat dan timbulnya nilai-nilai sosial yang baru. Dengan berkembangnya perdagangan ke seluruh dunia, dan ditetapkannya taraf kehidupan tertentu sebagai suatu kebiasaan masyarakat, kemiskinan muncul sebagai masalah sosial. Pada waktu itu individu sadar akan kedudukan ekonominya, sehingga mereka mampu untuk mengatakan apakah dirinya kaya atau miskin. Dianggap sebagai masalah sosial, apabila perbedaan kedudukan ekonomis para warga masyarakat ditentukan secara tegas. Pada masyarakat yang bersahaja susunan dan organisasinya, mungkin kemiskinan bukan merupakan masalah sosial, karena mereka menganggap bahwa semuanya telah ditakdirkan, sehingga tidak ada usaha-usaha untuk mengatasinya. Mereka tidak akan terlalu memperhatikan keadaan tersebut, kecuali apabila mereka betul-betul menderita karenanya, faktor-faktor yang menyebabkan mereka membenci kemiskinan adalah kesadaran bahwa mereka telah gagal untuk memperoleh lebih daripada apa yang telah dimilikinya dan perasaan akan adanya ketidakadilan.
8
Pada masayarakat modern yang rumit, kemiskinan menjadi suatu problema sosial karena sikap yang membenci kemiskinan tadi. Seseorang bukan merasa miskin karena kurang makan, pakaian atau perumahan. Tetpai karena harta miliknya tidak cukup untuk memenuhi taraf kehidupan yang ada. Hal ini terlihat di kota-kota besar Indonesia, seperti Jakarta; seorang dianggap miskin karena tidak memiliki radio, televisi, atau mobil. Seingga lamakelamaan benda-benda sekunder tersebut dijadikan ukuran bagi keadaan sosial-ekonomi seseorang, yaitu apakah dia miskin atau kaya. Dengan demikian persoalannya mungkin menjadi lain yaitu tidak adanya pembagian kekayaan yang merata. Persoalan menjadi lain bagi mereka yang turut dalam arus urbanisasi tetapi gagal mencari pekerjaan. Bagi mereka pokok persoalan kemiskinan disebabkan tidak mampu memenuhi kebutuhan-kebutuhan primer sehingga timbul tuna karya , tuna susila, dan lain sebagainya. Secara sosiologis, sebabsebab timbulnya problema tersebut adalah karena salah satu lembaga kemsyarakatan tidak berfungsi dengan baik, yaitu lembaga kemasyarakatn dibidang ekonomi. Kepincangan tersebut akan menjalar ke bidang-bidang lainnya, misalnya, pada kehidupan keluarga yang tertimpa kemiskinan tersebut. B. Gambaran Umum Bantuan Langsung Tunai (BLT)
Bantuan langsung tunai adalah program pemerintah pusat memberikan kompensasi dari kenaikan harga BBM tahun 2005 untuk meringankan beban kehidupan rakyat miskin di Indonesia. Hal ini dilakukan, karena kebutuhan pokok sehari-hari melonjak naik hingga daya beli masyarakat turun dan
9
terjadi pengangguran dimana-mana. Sehingga rakyat miskin yang menjadi sasaran ketidakadilan kenaikan harga BBM tersebut. Beban hidup rakyat miskin menjadi bertambah karena pada dasarnya tidak bisa memenuhi kebutuhan primernya diwaktu BBM belum naik, apalagi setelah BBM naik, pasti beban hidupnya akan bertambah sulit.
Berdasarkan kondisi yang ada pemerintah dengan cepat mengambil kebijakan BLT karena untuk meredam gejolak masyarakat yang terkena dampak dari kenaikan harga BBM. Sehingga dalam pelaksanaannya masih banyak pro dan kontra serta kekurangannya dan kendala.
Uji coba pelaksanaan program dana tunai ini, sudah diprakarsai di beberapa negara, di antaranya yang berhasil adalah di Mexico yang dikenal dengan Program Pr o gresa. Baik langkah-langkah teknis pelaksanaan program maupun desainnya yang peka terhadap disparitas gender dalam akses terhadap sumber daya dapat dijadikan pembelajaran penting dalam pelaksanaan program serupa di Indonesia. Program pemberian dana tunai, khususnya program dana tunai bersyarat untuk mengganti subsidi berbentuk barang, telah dilaksanakan di beberapa negara sebagai salah satu alternatif upaya penanggulangan kemiskinan. Program dana tunai bersyarat mewajibkan penerima bantuan dana tunai untuk melakukan hal-hal yang dipersyaratkan, misalnya menyekolahkan anak, menggunakan fasilitas layanan kesehatan untuk kesehatan ibu dan anak, dan sebagainya. Program semacam ini berhasil dijalankan antara lain di Mexico di
10
bawah nama Program Pr o gresa, yang kemudian berganti nama menjadi O portunidades. C.
Sejarah Program BLT atau Program Progresa
Program Pr o gresa dimaksudkan untuk mengatasi kemiskinan saat ini maupun kemiskinan yang mungkin terjadi di masa depan melalui dua transmisi. Pertama, dana tunai yang diterima dapat digunakan untuk memenuhi kebutuhan mendesak seperti kelaparan, wabah penyakit, dan kebutuhan dasar mendesak lainnya. Kedua, dana tunai diharapkan berperan sebagai sarana untuk memutus matarantai kemiskinan turun-temurun dengan cara meningkatkan investasi untuk anak-anak dari keluarga kurang mampu dalam bidang pendidikan, kesehatan, dan gizi. Dengan demikian, diharapkan di masa depan mereka akan mampu meningkatkan kualitas hidup dan keluar dari kemiskinan. Atas dasar inila h maka Pr o gresa disebut sebagai sebuah program kesejahteraan yang berbasis insentif (incentivebased welfare pr o gram). Dana tunai dipakai sebagai skema insentif agar keluarga miskin berinvestasi di bidang pendidikan, kesehatan, dan gizi. Peserta program hanya boleh mendapatkan dana tunai bila beberapa persyaratan dipenuhi, seperti tingkat kehadiran anak di sekolah, kehadiran ibu di fasilitas layana n kesehatan, dan sebagainya. Penerima dana tunai adalah para ibu. Selain para ibu, pada saat yang bersamaan pemerintah juga menyediakan bantuan untuk penyedia jasa kesehatan dan pendidikan. Pr o gresa dianggap sebagai salah satu program yang berhasil. Beberapa indikator keberhasilan program tersebut antara lain: menjangkau
11
sebagian besar penduduk miskin di perdesaan dengan penduduk miskin yang tidak tercakup (underc overage) hanya 7% saja, menurunkan tingkat kesenjangan kemiskinan ( poverty ga p ) 30% dan tingkat keparahan kemiskinan (severity o f
poverty)
45%, meningkatkan kehadiran anak
sekolah, dan menurunkan angka putus sekolah. Di bidang kesehatan, Pr o gresa meningkatkan jumlah kunjungan ke fasilitas kesehatan, anak usia 0-5 tahun menjadi lebih sehat (insiden anak sakit 12% lebih rendah dari sebelum adanya program). Pr o gresa juga meningkatkan kualitas nutrisi anak karena kualitas makanan yang dikonsumsi keluarga peserta mengalami peningkatan yang nyata (mengkonsumsi lebih banyak buah buahan, sayur-mayur, daging, dan produk daging). (lembaga penelitian SMERU No. 17: Jan-Mar/2006) Selain itu, desain program ini juga dinilai sangat peka terhadap disparitas gender dalam akses terhadap sumber daya. Satu aspek penting dalam Pr o gresa adalah fokusnya terhadap perbaikan hidup perempuan miskin untuk mengurangi kemiskinan secara menyeluruh melalui peningkatan pendidikan, kesehatan, dan gizi sebagai tiga komponen utama program ini. Program ini mencoba mengurangi disparitas gender dalam pendidikan dengan memberikan beasiswa yang lebih besar kepada anak perempuan dan berupaya mengubah persepsi bahwa sekolah lebih penting bagi anak laki-laki yang nantinya akan menjadi pencari nafkah utama keluarga. Di bidang kesehatan, fokus kepada layanan kesehatan bagi ibu hamil dan balita serta pelatihan mengenai kesehatan dan gizi, terutama bagi perempuan, diharapkan akan mengubah pola kebiasaan konsumsi
12
makanan keluarga ke makanan yang lebih bergizi. Perempuan, selain sebagai penerima dana tunai, juga merupakan aktor utama. Dengan menerima dana ini, perempuan akan mengelola dana tersebut agar kepentingan keluarganya (misalnya perbaikan gizi dan kesehatan) menjadi prioritas. Sekilas memang nampaknya program ini berorientasi pada perempuan,
dan
terkesan
justru
menguatkan
peran-peran
gender
tradisional dengan menonjolkan peran utama perempuan sebagai ibu semata. Namun sebenarnya, kebijakan program ini dibangun dari sebuah asumsi bahwa penguatan posisi perempuan, termasuk posisi tawarnya di dalam keluarga, adalah salah satu prakondisi bagi perubahan-perubahan sosial-ekonomi yang akan lebih menguntungkan masyarakat secara umum. Jika kesejahteraan perempuan meningkat, maka masyarakat akan memperoleh manfaat dari keadaan itu karena akan memperbaiki kualitas kesejahteraan masyarakat pada umumnya. Bedanya lagi dengan program program dana tunai pada umumnya, Pr o gresa mempunyai investasi jangka panjang, yakni generasi mendatang yang berpendidikan dan lebih baik kualitas kesehatan dan gizinya. Namun, banyak pertanyaan yang muncul ketika program Pr o gresa hendak diluncurkan. Pertanyaan-pertanyaan tersebut, antara lain: mengapa subsidi yang diberikan berupa subsidi langsung dana tunai kepada rumah tangga, bukannya subsidi dalam bentuk barang/ makanan, atau bantuan kepada penyedia jasa kesehatan dan pendidikan, misalnya? Mengapa penerima bantuan hanya mereka yang sangat miskin (e xtreme
poor)?
Mengapa perlu mendata lagi penduduk
yang baru dan bukannya menggunakan daftar penerima program yang
13
sudah ada? Mengapa bantuan diberikan langsung ke individu dan bukan ke masyarakat/komunitas? Mengapa program dirancang secara terpusat (sentralistik) dan tidak memberikan fleksibilitas lokal dalam penentuan sasaran serta pelaksanaannya? Mengapa penerima harus perempuan sehingga dianggap berpotensi menciptakan konflik dalam rumah tangga? Untuk menanggapi beberapa kontroversi di atas, Pemerintah Mexico mengambil
langkah-langkah
berikut:
melakukan
uji
coba,
mengembangkan program secara bertahap, melakukan evaluasi program secara ketat oleh lembaga independen, pemantauan, evaluasi pelaksanaan program, serta analisis biaya-manfaat. (lembaga penelitian SMERU No. 17: Jan-Mar/2006) Salah satu faktor kunci keberhasilan Pr o gresa di Mexico adalah desain awal yang dirancang secara seksama dan didahului dengan uji coba yang dipantau dan dievaluasi oleh lembaga independen. Uji coba dilakukan di 506 komunitas, melibatkan hampir 25.000 rumah tangga dengan cara membandingkan keluarga yang menerima program dengan yang tidak. (lembaga penelitian SMERU No. 17: Jan-Mar/2006) Kegiatan didahului dengan menyiapkan baseline data untuk kedua kelompok tersebut. Setahun kemudian, program dana tunai bersyarat dievaluasi. Dalam kegiatan evaluasi tersebut, isu yang diteliti antara lain adalah aspek ketepatan sasaran penerima program, dampak program terhadap pendidikan, kesehatan, dan gizi. Selain itu, juga diteliti operasionalisasi program di lapangan dan persepsi dari lintas pelaku terhadap berbagai aspek pelaksanaan program, efektivitas biaya dan
14
analisis biaya-manfaat, peranan perempuan dalam program, hubungan antarwarga, dan dampak program terhadap pemanfaatan pekerja anak serta pembagian dana tunai di dalam keluarga (intrahousehold transfers). Di Indonesia program ini langsung diterapkan sebagai kebijakan cepat oleh pemerintah karena da mpak kenaikan harga BBM pada tanggal 1 Oktober 2005 terhadap rakyat miskin di Indonesia. Pada pencairan tahap pertama
yang
direalisasikan
sejak
1
Oktober
2005,
pemerintah
menyediakan dana sebesar Rp4,6 triliun bagi sekitar 15,5 juta rumah tangga. Penyaluran dana dilaksanakan oleh PT Pos Indonesia melalui kantor cabangnya. (lembaga penelitian SMERU No. 17: Jan-Mar/2006) D. Sosialisasi Program
Kebijakan
yang
terlalu
cepat
telah
menimbulkan
banyak
permasalahan. Salah satunya permasalahan yang muncul menyangkut penargetan dan penyaluran dana terkait dengan lemahnya sosialisasi program. Lemahnya sosialisasi terjadi di semua tahapan pelaksanaan, mulai dari proses pendataan hingga mekanisme pengaduan. Sosialisasi kepada masyarakat bisa dikatakan tidak dilakukan. Meskipun sosialisasi untuk jajaran pemda dilakukan, namun agak terlambat dan informasinya hanya tentang rencana pendataan. Hal ini diperparah dengan tidak tersedianya petunjuk pelaksanaan program yang menyeluruh di tingkat pemda. Bahkan beberapa surat yang terkait dengan pelaksanaan SLT(subsidi langsung tunai)/BLT dari pemerintah pusat yang sebenarnya dapat dijadikan dasar hukum pemda setempat, seperti Inpres, SK Menko Kesra dan SK Mendagri, terlambat datang atau bahkan tidak diterima. Di
15
satu pihak, minimnya sosialisasi pada tahap pendataan dapat mengurangi munculnya moral hazard dalam penentuan target. Di pihak lain, kurangnya sosialisasi secara menyeluruh justru mendorong munculnya salah persepsi dan kecemburuan sosial. Secara kelembagaan, di daerah tidak a da yang merasa bertanggung jawab untuk melakukan sosialisasi, sedangkan Kementerian Komunikasi dan Informasi (Menkominfo) sebagai penanggung jawab sosialisasi nasional hanya melakukan sosialisasi melalui media cetak dan media elektronik yang jangkauannya terbatas dan hanya dapat diakses oleh kalangan tertentu. Upaya penyebaran brosur tentang kriteria rumah tangga miskin pun, selain datangnya terlambat (21 Nopember 2005), jumlahnya terbatas, juga kurang informatif bagi masyarakat umum. Selain
itu,
kelembagaan
yang
menangani
pengaduan
dan
pemantauan program juga tidak berjalan di semua wilayah meskipun terdapat Surat Mendagri No. 541/2475/SJ dan Surat Menko Kesra No. B.244/Menko/Kesra/IX/2005. Posko SLT juga ditemukan di Demak dan Ternate, tetapi itupun hanya di tingkat kabupaten/ kota.2 Keberadaan posko dan mekanisme pengaduan yang tersedia tidak diinformasikan secara luas kepada masyarakat sehingga terjadi variasi jalur pengaduan. Adanya kesalahan sasaran (mistargeting) yang diperparah dengan sosialisasi yang tidak memadai, khususnya tentang kriteria target dan tujuan program, telah memicu munculnya ketidakpuasan masyarakat. Ketidakpuasan masyarakat diungkapkan dalam berbagai bentuk, mulai dari keluhan, protes atau demonstrasi, melakukan ancaman, hingga
16
pengrusakan. Pengaduan yang berbentuk aksi protes dan ancaman biasanya
ditangani
oleh
kepala
desa/lurah
dibantu
oleh
aparat
keamanan/kepolisian. Di beberapa daerah aparat pemda kabupaten/kota dan kecamatan serta BPS juga turun tangan. Aksi protes dan ancaman dapat diredam dengan: 1) dibukanya pendaftaran susulan bagi masyarakat yang merasa berhak; 2) adanya kesediaan penerima SLT untuk membagi sebagian dana kepada rumah tangga miskin lainnya; 3) ada pejabat yang menjanjikan bahwa pendaftar susulan akan menerima SLT/BLT pada tahap berikutnya. 6.
Permasalahan BLT
Pengalaman situasi di lapangan menunjukkan bahwa pelaksanaan penyaluran dana kompensasi subsidi BBM selalu menghadapi berbagai permasalahan. Oleh karena itu, diperlukan evaluasi dini terhadap pelaksanaan program SLT (subsidi langsung tunai) guna mencari jalan keluar dari berbagai permasalahan dan kelemahan teknis di lapangan. Dalam penargetan ditemui adanya kesalahan sasaran (mistargeting) meskipun dalam tingkat yang relatif r endah. Hal ini terindikasi dari adanya rumah tangga tidak miskin yang menjadi penerima SLT (leakage) dan adanya
rumah
tangga
miskin
yang
belum
menjadi
penerima
(underc overage). Beberapa faktor yang diperkirakan melatarbelakangi kesalahan sasaran adalah: 1) tidak meratanya kapasitas pencacah yang tidak ditunjang oleh pelatihan dan bimbingan yang memadai; 2) cukup tingginya subyektivitas pencacah dan juga ketua-ketua SLS (Satuan Lingkungan Setempat)1 yang bertugas mendaftar rumah tangga miskin;
17
3) prosedur penyaringan rumah tangga miskin tidak dilakukan secara seksama; 4) pencacah tidak selalu mendatangi rumah tangga yang dicacah; 5) terdapat indikasi adanya penjatahan jumlah rumah tangga target sampai di tingkat rukun tetangga; 6) indikator kemiskinan yang digunakan kurang sensitif dalam menangkap kondisi sosial-ekonomi rumah tangga secara utuh; 7) terdapat pilihan jawaban yang tidak lengkap dalam kuestioner; 8) konsep keluarga atau rumah tangga sebagai unit penerima SLT tidak ditetapkan secara tegas. C.
Gambaran Umum Masyarakat Desa Sukorejo Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan
Bantuan Langsung Tunai (BLT) yang diberikan
kepada rakyat miskin
adalah dengan berbagai persyaratan yang harus dipenuhinya. Salah satunya di Desa Sukorejo Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan yang sebagian mata pencaharian warganya adalah petani. Di desa ini pekerjaan penerima BLT mayoritas buruh tani, buruh pabrik, janda menengah kebawah. Desa Sukorejo Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan memiliki luas wilayah 135 Ha. Jumlah penduduknya adalah 1265 jiwa dengan jumlah penduduk laki 675 orang dan perempuan 590 orang. Di desa ini terbagi menjadi 330 KK (Kepala Keluarga). Batas wilayah desa Sukorejo adalah sebelah timur: Desa Tambak Ploso, sebelah selatan: Desa Karang Langit, sebelah barat: Desa Sukoanyar, dan sebelah utara: Desa Turi. Garis kemiskinan di Desa Sukorejo Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan mencapai 40 % pada tahun 2008. (sumber: kantor Desa Sukorejo)
18
Jumlah penerima BLT di Desa Sukorejo pada tahun 2008 sebanyak 151 KK. Pada tahun 2009 mengalami penurunan yaitu sebanyak 146 KK. BLT di Desa Sukorejo diberikan 3 kali dalam setahun dan menerima pada setiap pertenganhan bulan dengan sistem bergilir tiap daerah. Dalam penerimaan BLT terbagi 2 dusun yaitu Dusun Kepatihan dan Jalak. Penerima mendapat Rp 300.000,00 per 3 bulan sekali. Sebelum tahun 2009 prosesnya pendataan penerima BLT dilakukan oleh perangkat desa. Pada tahun 2009 pendataan tersebut mengalami perubahan yaitu dilakukan oleh ketua RT setempat, pegawai kecamatan (bersamaan dengan disaksikan oleh perangkat desa yang ditunjuk oleh aparatur desa) sehingga pendataan tersebut tidak ada interferensi (manipulasi) dari perangkat desa. Dalam pencairan dana BLT penerima langsung mengambil uangnya dikantor pos dan tidak boleh diwakilkan dengan membawa kartu BLT yang tidak dapat dimanipula. Misal kartu tersebut hilang maka kartu BLT dihanguskan. Namun bila penerima tersebut berhalangan maka penerima dapat mewakilkan kewarganya dengan persyaratan membawa surat kuasa dari kepala desa. Apabila penerima yang bersangkutan meninggal dapat diwakilkan oleh keluarga yang bersangkutan (masih dalam kategori miskin).(Kantor Desa Sukorejo) Salah satu tujuan pemerintah memberikan BLT adalah untuk modal usaha dan dikembangkan. Namun pada kenyataannya uang tersebut digunakan untuk kebutuhan sehari-hari terutama makan. Permasalahn BLT di Desa Sukorejo adalah masyarakat setempat mengharapkan terus mendapatkan dana tersebut meskipun masyarakat yang
19
bersangkutan mulai mengalami peninggakatan kesejahteraan ekonomi. Sehingga sasarannya belum optimal meskipun pemerintah desa mengatakan penerima BLT sudah tepat sasaran di Desa Sukorejo. Di desa ini juga terjadi permasalahan BLT bergilir dalam artian Bulan ini mendapatkan BLT tapi bulan berikutnya tidak mendapatkannya lagi.
BAB III METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode penelitian deskriptif kualitatif. Metode penelitian kualitataif adalah metode penelitian yang berlandaskan pada filsafat postpositivisme, digunakan untuk meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (sebagai lawannya adalah eksperimen) dimana peneliti adalah sebagai instrumen kunci, teknik pengumpulan data dilakukan secara triangulasi (gabungan), analisa data bersifat induktif/kualitatif dan hasil penelitian kualitatif lebih menekankan makna generalisasi. Data sosial sering sulit dipastikan kebenarannya, dengan metode kualitatif melalui teknik pengumpulan data secara triangulasi/gabungan (karena dengan teknik pengumpulan data tertentu belum dapat menemukan apa yang ditiju, maka ganti teknik lain), maka kepastian data akan lebih terja min. Untuk memperkaya data dan lebih memahami fenomena sosial menggunakan teknik wawancara dan observasi. Teknik wawancara dapat
20
dilakukan secara terstruktur dan tidak terstruktur. Wawancara terstruktur digunakan sebagai teknik pengumpulan data bila peneliti atau pengumpul data telah mengetahui dengan pasti tentang informasi apa yang akan diperoleh. Oleh karena itu dalam melakukan wawancara, pengumpul data telah menyiapkan instrumen penelitian berupa pertanyaan-pertanyaan tertulis yang alternatif jawabannya juga telah disiapkan. Dengan wawancara terstruktur ini setiap responden diberi pertanyaan yang sama dan pengumpul data mencatatnya. Dalam melakukan wawancara, selain harus membawa instrumen sebagai pedoman untuk wawancara, maka pengumpul data juga dapat menggunakan alat bantu seperti tape recorder, gambar, brosur, dan material lain yang dapat membantu pelaksaan wawancara menjadi lancar. Wawancara tidak terstuktur adalah wawanvara yang bebas, peneliti tidak menggunakan pedomana wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya berupa garis-garis besar permasalahan yang akan ditanyakan. Wawancara tidak terstruktur atau terbuka sering digunakan dalam penelitian pendahuluan atau penelitian yang lebih mendalam. Dalam penelitian ini, meode penelitian yang digunakan adalah metode penelitian kuantitatif
dengan % dilengkapi dengan uraian
kualitatif. Contoh : 25 KK penerima BLT 25%, meringankan beban rakyat miskin 25 %, tidak meringankan dengan alasan program BLT tidak efektif dan tidak sebanding dengan kebutuhan akhir-akhir ini yang lebih mahal dan meningkat.
21
B.
Variabel-variabel
Penelitian dan Definisi Operasional
1. Varibel Bebas adalah varibel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahan atau timbulnya variabel independen atau terikat. Dalam penelitian ini variabel Independennya adlah Bantuan Langsung Tunai. 2.
Varibel Dependen adalah variabel yang dipengaruhi atau yang menjadi akibat karena adanya variabel bebas. Dalam penelitian ini variabelnya adalah meringankan beban ra kyat miskin.
C.
Responden Penelitian
1. Populasi Dalam penelitian kualitatif tidak menggunakan istilah populasi oleh Spradly dinamakan ³ social situati on´ atau situasi sosial yang terdiri dari 3 (tiga) elemen yaitu tempat ( place), pelaku (act ors) dan aktivitas (activity) yang berinteraksi secara sinergis. Dalam penelitian ini, peneliti mengambil populasi rakyat miskin yang terbebani dengan adanya kenaikan harga BBM. Pengambilan sample terstruktur dengan menggunakan rumus Morgan. 2. Sampel Dalam penelitian ini peneliti mengambill sample di Desa Sukorejo Kecamatan Turi Kabupaten lamongan. D. Lokasi Penelitian
Obyek penelitian ini adalah rakyat miskin penerima BLT di Desa Sukorejo Kecamartan Turi Kabupaten Lamongan. E. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian ini teknik pengumpulan data dapat dilakukan dengan interview (wawancara) dan observasi (pengamatan). 1. Interview (Wawancara) Wawancara digunakan sebagai teknik pengumpulan data apabila peneliti ingin melakukan studi pendahuluan untuk menemukan permasalahan yang harus diteliti dan a pabila peneliti ingin mengetahui
22
hal-hal dari responden yang lebih mendalam dan jumlah respondennya sedikit/kecil. 2. Observasi (Pengamatan) Observasi sebagai teknik pengumpulan data mepunyai ciri yang spesifik dibandingkan dengan teknik yang lain, yaitu wawancara dan kuesioner. Wawancara dan kuesioner selalu berkomunikasi dengan orang, maka observasi tidak terbatas pada orang tetapi juga obyekobyek alam yang lain. Menurut Prof. Dr. Sugiyono dalam Sutrisno Hadi (1996) mengemukakan bahwa observasi merupakan suatu proses yang kompleks, suatu proses yang tersusun dare berbagai proses bioligis dan psikologis. Teknik pengumpulan data dengan observasi digunakan bila penelitian berkenaan dengan perilaku manusia, proses kerja, gejalagejala alam, dan bila responden yang diamati tidak terlalu besar. F.
Sumber Data
Dalam penelitian ini menggunakan sumber data yang dapat dikategorikan: 1. Data primer Data primer diperoleh dari data penduduk penerima BLT melalui Balai Desa Sukorejo Kecamatan Turi Kabupaten Lamongan. 2.
Data sekunder
23
Data sekunder diperoleh melalui pengumpulan data yang menunjang penelitian ini, termasuk buku-buku literatur, brosing dari internet dan pengamatan daerah penelitian. G. Teknik Analisis Data
Dalam penelitian ini menggunakan analisis deskriptif kuantitatif dengan persentase (%) dan dilengkapi dengan analisis secara kualitatif. Penelitian kualitatif, teknik analisis data lebih banyak dilakukan bersamaan dengan pengumpulan data. Tahapan dalam penelitian kualitatif adalah tahap memasuki lapangan dengan grand ot ur dan minit our question, analisis datanya dengan analisi domain. Tahap kedua adalah menentikan fokus, teknik pengumpulan data dengan minit our questi on, analisis data dilakukan dengan analisis taksonomi, selanjutnya pada tahap selection, pertanyaan yang digunakan adalah pertanyaan struktural, analisis data dengan analisis komponensial. Setelah analisis komponensial dilanjutkan analisis tema.
24
DAFTAR PUSTAKA
Chambers, Robert. 1983. Rural Devel opment : Putting the Last First .London: Longman. Hidayat, Saeful.2007. Pertumbuhan Ekonomi, Ketidak Merataan P endapatan, dan Kemiskinan : Estimasi Parameter Elastisitas Kemiskinan Tingkat Provinsi di Indonesia .1996-2005.diakses 8 April 2009. Juoro, Umar.2008. BLT dan Smart Card Tidak Efektif,Senin, 12 Mei 2008. Jakarta (Suara Karya), diakses 11 April 2009. Kartasasmita, Ginandjar. 2006. Jalan Keluar bagi Kemiskinan. Kompas, 13 September 2006. Kuncoro, Mudrajad.2008. BLT dan Gakin. Saturday, 17 May 2008. diakses 8 April 2009. Moleong, Lexy,J. 1990. Dasar-Dasar Penelitian Kualitatif .Surabaya: Bina Ilmu. ________,1990, Met ode Penelitian Kualitatif . Bandung : Remaja Rosda Karya. Singarimbun,Masri dan Soffian Effendy.1987. Met ode Penelitian Sur vey. Jakarta: LP3ES. Sugiyono. 2008. Met ode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R & D. Bandung: Alfabeta Tim penyusun.2006. Ped oman Pelaksanaan Penelitian Di pa dan Swadana Lembaga Penelitian Universitas Negeri Surabaya . Surabaya: Lembaga Penelitian Unesa. Tjokroamidjojo, Bintoro.2001. Pengantar Administrasi Pembangunan. Jakarta: PT Pustaka LP3ES. WordPress.com. 2008. Penerima BLT wajib penuhi sembilan syarat .(26 juni 2008) www.bps.go.id . krisis global meningkatnya angka kemiskinan di Indonesia. www.setneg.go.id. Ca paian Pr o gram BLT, Raskin, BOS, Jamkesmas dan PKH Tahun 2008 dan Awal Tahun 2009. (Kamis, 19 Maret 2009) www.smeru.or.id. PelaksaNaaN subsidi laNgsuNg TuNai di iNd o Nesia. ISSN 02 6 ± 8634. No. 17: Jan-Mar/2006. www.rastafaraus.net. BLT Plus Pr o dan K ontra. 8 April 2009 www.bi.go.id.2008. Survei Efektivitas BLT di Semarang, diakses 11 April 2009. www.search.pdf. Cegah Penyimpangan,Data BLT Diverifikasi Ulang.Senin, 26 Mei 2008, diakses 11 April 2009
25