BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Dalam geofisika terdapat beberapa metode yang digunakan dalam eksplorasi di lapangan. Salah satunya adalah Metode Geomagnetik, yang mana metode ini memanfaatkan variasi nilai medan magnet bumi. Dalam eksplorasi di lapangan, metode geomagnetik ini bertujuan untuk mengorelasikan persebaran nilai kemagnetan batuan dan mineral bawah permukaan dengan variasi pada medan magnet bumi untuk mendapatkan variasi medan magnet sesuai dengan kondisi geologi yang mendukung daerah penelitian. Metode geomagnetik ini tergolong dalam metode geofisika pasif, artinya metode ini dalam pengukurannya di lapangan tidak membutuhkan sumber buatan manusia untuk mendapatkan hasil yang diinginkan karena sumber dari metode ini yaitu kemagnetan batuan dan mineral di bumi beserta variasi medan magnet bumi sudah terdapat secara alami di lapangan pengukuran. Dalam proses akuisisi data di lapangan, metode geomagnetik dapat menggunakan beberapa metode akuisisi data. Salah satu dari metode akuisisi data tersebut adalah dengan Aeromagnetic. Metode akuisisi data menggunakan Aeromagnetic ini dilakukan dengan memanfaatkan pengukuran dari udara. Pengukuran dari udara ini cukup efektif untuk dapat mengurangi pengaruh nilai anomali magnetik di permukaan bumi. Pengukuran menggunakan metode Aeromagnetic ini relatif lebih cepat sehingga dapat membantu mengurangi pengaruh nilai variasi harian medan magnet bumi. Namun dalam melakukan akuisisi data menggunakan metode Aeromagnetic ini, topografi permukaan seperti lembah dan tinggian dapat menjadi anomali pada pengukuran menggunakan metode Aeromagnetic. Dalam melakukan proses akuisisi data metode geomagnetik menggunakan cara akuisisi data dengan Aeromagnetic dapat mencakup wilayah yang cukup luas dengan waktu pengukuran relatif lebih cepat. Hal ini dikarenakan pengukuran dengan Aeromagnetic memiliki sampling rate yang cukup cepat, mampu mencapai 0,001 detik. Data magnetik yang berupa kontras nilai intensitas
1
magnetik dengan wilayah cakupan yang cukup luas menggunakan Aeromagnetic dapat memungkinkan untuk memvisualisasikan bentukan struktur yang ada misalkan sesar yang memanjang pada bawah permukaan. Penentuan struktur bawah permukaan ini dapat diaplikasikan dalam penentuan basement cebakan minyak dan gas bumi seperti pada data yang diolah dalam pengolahan data kali ini. Untuk mengetahui kondisi geologi bawah permukaan pada daerah penelitian, dilakukan penyayatan pada peta yang telah dibuat yang mana selanjutnya dibuat dalam pemodelan 2,5 D guna mengetahui bentuk pemodelan geologi dari target yang diinginkan. Domain data dari hasil pengolahan akuisisi data berupa domain spasial diubah terlebih dahulu menggunakan Fast Fourier Transform (FFT) agar dapat diubah menjadi domain frekuensi sehingga dapat dipisahkan antara nilai respon regional dan residual. Hasil pengolahan FFT ini akan menghasilkan data berupa kedalaman terhitung yang nantinya dijadikan acuan dalam pembuatan pemodelan 2,5 D.
1.2 Maksud dan Tujuan Dalam kegiatan praktikum metode geomagnetik acara Fast Fourier Transform (FFT) & Pemodelan 2,5 D
ini memiliki maksud agar dapat
mengetahui serta memahami berbagai koreksi dan tahap-tahap yang dilakukan selama proses pengolahan data untuk mendapatkan Peta TMI, Peta RTP, Peta RTE, dan Peta Upward Continuation sampai pengolahan FFT untuk acuan dalam pemodelan 2,5 D. Kegiatan praktikum acara Fast Fourier Transform (FFT) & Pemodelan 2,5 D ini bertujuan agar mampu meghasilkan Peta TMI, Peta RTP, Peta RTE, dan Peta Upward Continuation sampai pada pengolahan menggunakan FFT untuk acuan dalam pemodelan 2,5 D untuk selanjutnya dibahas sesuai data geologi regional daerah penelitian yaitu South Dongara, Perth, Western Australia berdasarkan referensi berupa paper yang telah dibahas sebelumnya.
2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Geologi Regional Perth merupakan kota yang terletak di pesisir pantai dan merupakan kota terbesar di negara Australia. Perth terletak di bagian barat daya negara Australia. Australia terletak di garis lintang 10o 41'LS sampai garis lintang 43o 39'LS dan garis bujur 113o 09'BT sampai garis bujur 153o 39'BT.
Gambar 2.1 Struktur Geologi Dari Perth
Perth basin yang memiliki panjang sekitar 1.000 km dengan lebar rata-rata sebesar 65 km, yang di dalamnya terdapat oleh susunan batuan sedimen. Tebal total dari suksesi Phanerozoic dapat mencapai sekitar 15.000 meter. Batas paling timur dari Perth Basin sendiri secara jelas tergambarkan dengan kehadiran dari Darling Fault yang mana secara umum menandakan kontak antara Perth Basin dengan Blok Archaean Yilgarn. Bagian paling utara dari Basin dibatasi dengan
3
punggungan batuan basement yang relatif dangkal yaitu Kompleks Northampton yang memanjang dari utara. Batas lautan pada bagian barat dan selatannya dari Perth Basin tidak dapat diketahui secara pasti. Pada bagian pojok barat daya dari basin terhubung dengan sabuk sempit dari Proterozoic granulite dan gneiss pada Blok Leewuin. Perth Basin merupakan fault atau sesar yang terisi oleh endapan, struktur yang dominan didalamnya yaitu Darling Fault. Sesar tersebut tersusun dari sedimen dan diperkirakan terletak 1 sampai 3 km dari barat sesar yang terekspos ke permukaan yaitu Darling Scarp. Sesar Darling memiliki panjang hampir 1.000 km dan pelamparan terjauhnya dapat mencapai 15.000 m. Perth Basin secara rata tersesarkan, hampir semua sesarnya memiliki arah dari utara ke barat laut yang memisahkan ke timur dan barat. Perth merupakan bagian dari pesisir pantai Swan dimana Perth Basin berada. Perth Basin berkembang dari batuan sedimen yang diselimuti sedimen yang terbentuk sejak era Kenozoikum dan terbentuk karena lingkungan alluvial dan aeolian. Daerah ini dibatasi oleh patahan Urella dan Darling pada sebelah timur dan sistem patahan Beagle pada sebelah barat yang membatasi Perth Basin dengan batuan beku dari Yilgarn Craton. Batuan granit dan gneiss dari Yilgarn Craton merupakan batuan tertua pada lingkungan ini. Batuan tersebut terbentuk pada era Arkean. Terdapat juga intrusi dolerite dike yang terbentuk pada eon Proterozoikum. Perth Basin secara lateral terdiri dari sedimen yang terbentuk pada periode Perm sampai Cretaceous. Terdapat lembah pada Perth Basin yang diendapkan oleh sedimen yang berasal dari kontinen. Stratigrafi dengan umur Pre Mesozoic yang mana di dalamnya terdapat batuan sedimen siliklastik yang berumur Proterozoic, batupasir dari jaman Silurian Tumblagooda, dan suksesi dari masa Permian yang secara baik terbentuk yang mana terdiri dari sembilan Formasi pada sekitar 2.600 m. Pada masa Mesozoic, suksesi berumur Triassic bervariasi antara samudera dan benua dan memiliki ketebalan yang sama dengan sekuen dari Permian. Sedimentasi berumur Jurassic pada benua persebarannya meluas dalam basin dan diperkirakan memiliki ketebalan setidaknya 4.200 m. Suksesi zaman Cretacous pada Perth Basin dengan estimasi ketebalannya sebesar 12.000 m tersusun dari satuan batuan
4
benua bagian bawah, campuran dengan benua, paralic dan satuan batuan samudera dan juga satuan batuan samudera dari bagian bawah yang mana dipisahkan oleh hubungan stratigrafi yang tidak selaras. Ketidakselarasan yang tergambarkan dengan baik terjadi pada benua sampai sekuen paralic dari Cretaceous akhir. Sedimen laut tersier memiliki ketebalan hingga 600 meter terjadi pada bagian bawah area Perth dan hingga melebihinya. Ketebalan dari endapan kuater atau tersier pada regional tersebut secara umum meningkat hingga ke barat dan utara. Terlihat bahwa Perth Basin didominasi oleh batupasir, namun pada periode Prekambrium didapati batuan kristalin. Kehadiran dominasi batupasir dijumpai sejak periode Tersier pada fasies fluvial. Selain itu dijumpai juga sisipan-sisipan batugamping dan batulempung pada formasi Cadda. Terlihat juga adanya ketidakselarasan pada beberapa formasi di Perth Basin.
Gambar 2.2 Surface geology Perth Basin
5
Berikut adalah formasi dari Perth Basin:
Gambar 2.3 Daftar Formasi Pada Perth Basin
2.2. Petroleum System Perth Basin Petroleum system merupakan sebuah sistem yang dapat menjelaskan interaksi dan akumulasi dari bagian-bagian pada pembentukan hidrokarbon. Unsur-unsur dari sistem tersebut adalah source rock, cap/seal rock, reservoir rock, trap, dan migration. Seperti namanya, source rock merupakan batuan yang dapat menghasilkan hidrokarbon dan menjadi sumber dalam petroleum system. Selanjutnya adalah cap/seal rock yang merupakan batuan yang menjadi “tutup” dari reservoir. Lalu reservoir rock, reservoir rock merupakan batuan yang permeabel dan porus sehingga dapat menyimpan hidrokarbon. Sedangkan trap adalah cebakan hidrokarbon tersebut dan migration adalah jalur kemana hidrokarbon bergerak.
6
Pada Perth Basin, terdapat batuan sedimen berupa batupasir dan batulempung yang mendominasi formasi-formasi pada stratigrafi basin. Batupasir adalah batuan yang lebih porus dan permeabel dibandingkan batulempung, sehingga dapat disinyalir formasi Cattamara hingga Woodada merupakan reservoir. Salah satu konsep mengenai petroleum system adalah bahwa source rock selalu berada di bawah reservoir rock karena buoyancy atau daya apung dari hidrokarbon yang pasti akan bergerak ke atas. Maka itu, source rock yang memiliki unsur-unsur hidrokarbon dapat diindikasikan berada di bawah formasi Woodada yaitu formasi Kockatea. Batulempung yang berada di formasi Kockatea mengalami proses transportasi yang lebih jauh dibandingkan batupasir dan berada lebih jauh dari sumber batuan asalnya. Hal ini menyebabkan batulempung dapat membawa unsur-unsur organik bersamanya sehingga dapat menjadi source rock. Cap rock merupakan “tutup” dari reservoir, sehingga sifat batuan harus impermeabel dan nonporus. Batuan dengan sifat ini ditemukan pada formasi Cadda yang memiliki batugamping di dalamnya. Maka itu dapat diindikasikan bahwa batgamping pada formasi Cadda merupakan cap rock pada sistem ini. Sedangkan trap pada sistem ini dapat ditinjau dari struktur dari basin yang dimaksud.
7
BAB III DASAR TEORI
3.1 Metode Magnet Bumi Dalam metode geomagnetik ini, bumi diyakini sebagai batang magnet raksasa dimana medan magnet utama bumi dihasilkan. Kerak bumi menghasilkan medan magnet jauh lebih kecil daripada medan utama magnet yang dihasilkan bumi secara keseluruhan. Teramatinya medan magnet pada bagian bumi tertentu, biasanya disebut anomali magnetik yang dipengaruhi suseptibilitas batuan tersebut dan remanen magnetiknya. Berdasarkan pada anomali magnetik batuan ini, pendugaan sebaran batuan yang dipetakan baik secara lateral maupun vertikal. Eksplorasi menggunakan metode magnetik, pada dasarnya terdiri atas tiga tahap : akuisisi data lapangan, processing, interpretasi. Setiap tahap terdiri dari beberapa perlakuan atau kegiatan. Pada tahap akuisisi, dilakukan penentuan titik pengamatan dan pengukuran dengan satu atau dua alat. Untuk koreksi data pengukuran dilakukan pada tahap processing. Koreksi pada metode magnetik terdiri atas koreksi harian (diurnal), koreksi topografi (terrain) dan koreksi lainnya. Sedangkan untuk interpretasi dari hasil pengolahan data dengan menggunakan software diperoleh peta anomali magnetik. Metode ini didasarkan pada perbedaan tingkat magnetisasi suatu batuan yang diinduksi oleh medan magnet bumi. Hal ini terjadi sebagai akibat adanya perbedaan sifat kemagnetan suatu material. Kemampuan untuk termagnetisasi tergantung
dari
suseptibilitas
magnetik
masing-masing
batuan.
Harga
suseptibilitas ini sangat penting di dalam pencarian benda anomali karena sifat yang khas untuk setiap jenis mineral atau mineral logam. Harganya akan semakin besar bila jumlah kandungan mineral magnetik pada batuan semakin banyak. Metode magnetik memiliki kesamaan latar belakang fisika denga metode gravitasi, kedua metode sama-sama berdasarkan kepada teori potensial, sehingga keduanya sering disebut sebagai metode potensial. Namun demikian, ditinjau ari segi besaran fisika yang terlibat, keduanya mempunyai perbedaan yang mendasar. Dalam magnetik harus mempertimbangkan variasi arah dan besaran vektor magnetisasi, sedangkan dalam gravitasi hanya ditinjau variasi besar vektor
8
percepatan gravitasi. Data pengamatan magnetik lebih menunjukkan sifat residual kompleks. Dengan demikian, metode magnetik memiliki variasi terhadap waktu lebih besar. Pengukuran intensitas medan magnetik bisa dilakukan melalui darat, laut dan udara. Metode magnetik sering digunakan dalam eksplorasi pendahuluan minyak bumi, panas bumi, dan batuan mineral serta bisa diterapkan pada pencarian prospek benda-benda arkeologi.
3.2 Medan Magnet Bumi Medan magnet utama bumi berubah terhadap waktu. Untuk menyeragamkan nilai-nilai medan utama magnet bumi, dibuat standar nilai yang disebut International Geomagnetics Reference Field (IGRF) yang diperbaharui setiap 5 tahun sekali. Nilai-nilai IGRF tersebut diperoleh dari hasil pengukuran rata-rata pada daerah luasan sekitar 1 juta km2 yang dilakukan dalam waktu satu tahun. Medan Magnet bumi terdiri dari tiga bagian, yaitu : 1. Medan Magnet Utama Pengaruh medan utama magnet bumi
99% yang disebabkan karena
bumi itu sendiri merupakan magnet yang sangat besar dan variasinya terhadap waktu sangat lambat dan kecil. Medan magnet utama bumi berubah terhadap waktu. Untuk menyeragamkan nilai-nilai medan utama magnet bumi, dibuat standar nilai yang disebut International Geomagnetics Reference Field (IGRF) yang diperbaharui setiap 5 tahun sekali. Nilai-nilai IGRF tersebut diperoleh dari hasil pengukuran rata-rata pada daerah luasan sekitar 1 juta km2 yang dilakukan dalam waktu satu tahun. Untuk periode 2005 – 2010, dimana penelitian yag dilakukan termasuk dalam jangkauan periode ini, diperlihatkan pada gambar III.2 intensitas medan magnet bumi berkisar antara 25000 – 65000 nT, untuk wilayah Indonesia yag terletak di utara khatulistiwa mempunyai intensitas sekitar 40000 nT dan di selatan katulistiwa berkisar 45000 nT. 2. Medan Magnet Luar Pengaruh medan luar berasal dari pengaruh luar bumi (aktifitas matahari,badai magnetik) yang merupakan hasil ionisasi di atmosfer yang ditimbulkan oleh sinar ultraviolet dari matahari. Karena sumber medan luar ini berhubungan dengan arus listrik yang mengalir dalam lapisan terionisasi di
9
atmosfer, maka perubahan medan ini terhadap waktu jauh lebih cepat. Beberapa sumber medan luar antara lain : 1. Perubahan konduktivitas listrik lapisan atmosfer dengan siklus 11 tahun. 2. Variasi harian dengan periode 24 jam yang berhubungan dengan pasang surut matahari dan mempuyai jangkau 30 nT. 3. Variasi harian dengan periode 25 jam yang berhubungan dengan pasang surut bulan dan mempunyai jangkau 2 nT. 4. Badai Magnetik yang bersifat acak dan mempuyai jangkau sampai dengan 1000 nT. 3. Medan Magnet Lokal/ Pengaruh Anomali Medan magnet anomali sering juga disebut medan magnet lokal (crustal field). Medan magnet ini dihasilkan oleh batuan yang mengandung mineral bermagnet seperti magnetite, titanomagnetite dan lain-lain yang berada di kerak bumi. Dalam survei dengan metode magnetik yang menjadi target dari pengukuran adalah variasi medan magnetik yang terukur di permukaan (anomali magnetik). Secara garis besar anomali medan magnetik disebabkan oleh medan magnetik remanen dan medan magnetik induksi. Medan magnet remanen mempunyai peranan yang besar terhadap magnetisasi batuan yaitu pada besar dan arah medan magnetiknya serta berkaitan dengan peristiwa kemagnetan sebelumnya sehingga sangat rumit untuk diamati. Anomali yang diperoleh dari survei merupakan hasil gabungan medan magnetik remanen dan induksi, bila arah medan magnet remanen sama dengan arah medan magnet induksi maka anomalinya bertambah besar. Demikian pula sebaliknya. Dalam survei magnetik, efek medan remanen akan diabaikan apabila anomali medan magnetik kurang dari 25 % medan magnet utama bumi (Telford, 1976), sehingga dalam pengukuran medan magnet berlaku : HT H M H L H A (2.1) dengan : H T : medan magnet total bumi H M : medan magnet utama bumi H L : medan magnet luar H A : medan magnet anomali
10
3.3 Variasi Medan Magnet Bumi Intensitas medan magnetik yang terukur di atas permukaan bumi senantiasa mengalami perubahan terhadap waktu. Perubahan medan magnetik ini dapat terjadi dalam waktu yang relatif singkat ataupun lama. Berdasarkan faktorfaktor penyebabnya perubahan medan magnetik bumi dapat terjadi antara lain: 1. Variasi sekuler Variasi sekuler adalah variasi medan bumi yang berasal dari variasi medan magnetik utama bumi, sebagai akibat dari perubahan posisi kutub magnetik bumi. Pengaruh variasi sekuler telah diantisipasi dengan cara memperbarui dan menetapkan nilai intensitas medan magnetik utama bumi yang dikenal dengan IGRF setiap lima tahun sekali. 2. Variasi harian Variasi harian adalah variasi medan magnetik bumi yang sebagian besar bersumber dari medan magnet luar. Medan magnet luar berasal dari perputaran arus listrik di dalam lapisan ionosfer yang bersumber dari partikel-partikel terionisasi oleh radiasi matahari sehingga menghasilkan fluktasi arus yang dapat menjadi sumber medan magnet. Jangkauan variasi ini hingga mencapai 30 gamma dengan perioda 24 jam. Selain itu juga terdapat variasi yang amplitudonya berkisar 2 gamma dengan perioda 25 jam. Variasi ini diasosiasikan dengan interaksi ionosfer bulan yang dikenal dengan variasi harian bulan (Telford, 1976). 3. Badai Magnetik Badai magnetik adalah gangguan yang bersifat sementara dalam medan magnetik bumi dengan magnetik sekitar 1000 gamma. Faktor penyebabnya diasosiasikan dengan aurora. Meskipun periodanya acak tetapi kejadian ini sering muncul dalam interval sekitar 27 hari, yaitu suatu periode yang berhubungan dengan aktivitas sunspot (Telford, 1976). Badai magnetik secara langsung dapat mengacaukan hasil pengamatan. Variasi medan magnetik yang terukur di permukaan merupakan target dari survei magnetik (anomali magnetik). Besarnya anomali magnetik berkisar ratusaan sampai dengan ribuan nano-tesla, tetapi ada juga yang yang lebih besar dari 100.000 nT yang berupa endapan magnetik. Secara garis besar anomali ini disebabkan oleh medan magnetik remanen dan medan magnet induksi. Medan
11
magnet remanen mempunyai peranan yang besar pada magnetisasi batuan yaitu pada besar dan arah medan magnetnya serta sangat rumit diamati karena berkaitan dengan peristiwa kemagnetan yang dialami sebelumnya. Sisa kemagnetan ini disebut dengan Normal Residual Magnetismyang merupakan akibat dari magnetisasi medan utama. Anomali yang diperoleh dari survei merupakan hasil gabungan dari keduanya, bila arah medan magnet remanen sama dengan arah medan magnet induksi maka anomalinya bertambah besar, demikian pula sebaliknya. Dalam survei geomagnet, efek medan remanen akan diabaikan apabila anomali medan magnet kurang dari 25 % medan magnet utama bumi. (Telfrod, 1979). 3.4 Komponen Medan Magnet Bumi Medan magnet bumi terkarakterisasi oleh parameter fisis atau disebut juga elemen medan magnet bumi (Gambar II.1), yang dapat diukur yaitu meliputi arah dan intensitas kemagnetannya. Parameter fisis tersebut meliputi : 1. Deklinasi (D), yaitu sudut antara utara magnetik dengan komponen horizontal yang dihitung dari utara menuju timur 2. Inklinasi(I), yaitu sudut antara medan magnetik total dengan bidang horizontal yang dihitung dari bidang horizontal menuju bidang vertikal ke bawah. 3. Intensitas Horizontal (H), yaitu besar dari medan magnetik total pada bidang horizontal. 4. Medan magnetik total (F), yaitu besar dari vektor medan magnetik total. Di beberapa literatur deklinasi disebut juga variasi harian kompas dan inklinasi disebut dip. Bidang vertikal yang berimpit dengan arah dari medan magnet disebut meridian magnet.
Gambar 3.1 Tiga Elemen Medan Magnet Bumi
12
Medan magnetik utama bumi H dapat dinyatakan dengan menggunakan sistem koordinat geografis dengan harga X berada di utara, Y berada di timus, dan Z ke bawah. Berdasarkan kesepakatan internasional di bawah pengawasan Internasional Association Geomagnetism and Aeronomy (IAGA). Deskripsi matematis ini dikenal sebagai medan magetik utama bumi dar IGRF (International Geomagnetics Reference Field ) harga medan magnetik utama bumi dari IGRF di perbaharui tiap 5 tahun sekali. Intensitas komponen horisontal medan magnetik bumi dapat dinyatakan dengan: 𝐻 = √𝑋 2 + 𝑌 2
(2.2)
Sedang intensitas medan magnetik utama bumi dinyatakan dengan: 𝐹 = √𝑋 2 + 𝑌 2 + 𝑍 2
(2.3)
Selain itu medan magnet bumi juga mempunyai parameter fisis, lainnya yaitu sudut inklinasi dan deklinasi. Sudut inklinasi dinyatakan dengan: 𝑍
𝐼 = tan−1 √𝑋 2
(2.4)
+𝑌 2
Sudut inklinasi positif dibawah bidang horosintal dan negatif diatas bidang horontal. Sedangkan sudut deklinasi positif ke arah timur geografis dan negatif ke arah barat geografis. Sudut deklinasi dinyatakan dengan: 𝑌
𝐷 = tan−1 √𝑋 2
+𝑌 2
(2.5)
3.5. Sifat-Sifat Kemagnetan Bumi Kutub utara bumi yang selama ini merupakan kutub utara dari magnet bumi begitupundengan kutub selatan. Kutub selatan merupakan kutub selatan magnet bumi. Namundemikian, kutub magnet bumi tidak berimpit dengan kutub bumi secara geografis. Di antara keduanya terdapat sudut yang menyebabkag garis-garis gaya magnet bumi tidak tepat berada di kutub utara dan selatan bumi secara geografis,tetapi sedikit mnyimpang. Garis gaya magnet bumi ini tidakselalu sejajar dengan permukaan bumi.Ketidaksejajaran inimembentuk sudut yang disebut sudut inklinasi. Dengankata lain, sudut inklinasi dapat diartikan sebagai sudut yangdibentuk oleh medan magnet bumi dengan garis horizontal.Besarnya sudut inklinasi di setiap permukaan bumi
13
memiliki besar yang berbeda-beda. Dan sudut inklinasi tersebut berada di daerah kutub utara dan kutub selatan bumi. Di dalam batuan juga memiliki sifat kemagnetan, diantaranya :
Diamagnetik Material-material dimana atom-atom pembentukannya memiliki elektron
yang telah jenuh yang mana tiap elektronnya berpasangan dan mempuyai spin yang berlawanan dalam setiap pasangannya. Sehingga ketika diberikan medan magnet luar maka elektron-elektron tersebut akan berpresesi menghasilkan medan magnet baru menentang medan magnet luar. Nilai dari suseptibilitasnya negatif, sehingga intensitas induksinya aka berlawanan arah dengan gaya magnetnya atau medan polarisasi. Contohnya: batuan kuarsa, marmer, graphite, rock salt dan gypsum.
Gambar 3.2 Kurva M VS H dan posisi momen magnet dari bahan diamagnetik.
Paramagnetik Material yang memiliki nilai suseptibilitas yang positif dan sangat kecil.
Paramagnetik muncul dalam bahan yang atom-atomnya memiliki momen magnetik yang permanen dan berinteraksi satu sama lain dengan sangat lemah. Apabila tidak terdapat medan magnet luar momen magnetik ini akan berorientasi. Secara acak, jika diberikan medan magnet luar maka momen magnetik ini akan cenderung menyearahkan arah momen magnetiknya dengan medan magnet luar, tetapi dilawan oleh kecenderungan momen untuk berorientasi oleh akibat gerak termalnya. Perbandingan momen yang menyearahkannya dengan medan ini bergantung pada kekuatan medan magnet luar dan temperaturnya. Nilai suseptibilitas positif dan berbanding terbalik dengan temperatur absolut. Jumlah elektron ganjil, momen magnet atomya searah dengan medan polarisasi. Contohnya: olivine, pyroxene, amphibole dan biotit.
14
Gambar 3.3 Kurva M VS H dan posisi momen magnet dari bahan paramagnetik.
Ferromagnetik Material yang memiliki banyak elektron bebas pada tiap kulit elektronnya,
hal ini menyebabkan batuan ini sangat mudah berinduksi oleh medan luar, bahan ini memiliki nilai suseptibilitas positif dan besar. Pada bahan ini sejumlah kecil medan magnetik luar dapat menyebabkan derajat penyearahan yang tinggi pada momen dipole magnetik atomnya. Penyearahan ini dapat bertahan sekalipun medan magnet luar yang diberikan telah hilang. Hal ini dapat terjadi karena momen dipole magnetik atom dari bahan-bahan menyearahkan gaya-gaya yang kuat pada atom tetangganya sehingga dalam daerah ruang yang sempit momen ini disearahkan satu sama lain sekalipun medan luarnya tidak ada lagi. Daerah ruang tempat momen dipole magetik disearahkan ini disebut daerah magnetik. Pada temperatur diatas suhu kritis yang disebut titik curie. Gerak termal acak sudah cukup besar untuk merusak keteraturan penyearahan ini pada bahan ferromagnetik berubah menjadi paramagnetik. Contohnya: besi.
Gambar 3.4 Kurva M VS H dan posisi momen magnet dari bahan feromagnetik
Ferrimagnetik Medium ini juga hampir sama dengan medium ferromagnetik tetapi
sebagian ada yg berbeda arah momen magnetiknya. Tanpa adanya pengaruh kuat medan luar, arah momen magnetik paralel dan saling berlawanan, tetapi berbeda dengan antiferromagnetik, momen paralelnya lebih besar dibandingkan momen anti paralelnya. Medium ferro-, anti ferro, dan ferrimagnetik dipengaruhi oleh
15
suhu, dimana jika medium ini dipanaskan sampai pada suhu terntentu maka medium ini akan berubah menjadi medium paramagnetik. Batasan tersebut dinamakan suhu curie . Contohnya: ferrite.
Gambar 3.5 Kurva M VS H dan posisi momen magnet dari bahan Ferrimagnetik.
Antiferromagnetik Suatu bahan batuan akan mempunyai sifat-sifat yang ditunjukkan oleh
antiferromanetik pada saat benda ferromagnetik naik sesuai dengankenaikan temperature yang kemudian hilang setelah temperature mencapaititik curie (4000C – 700 0C). Harga momen magnetic kecil hingga sampai nol karna momen magnetik saling tolak menolak. Nilai suseptibiltasnya kecil yang sama seperti bahan paramagnetik umumnya contohnya: hematite dan chromium.
Gambar 3.6 Kurva M VS H dan posisi momen magnet dari bahan Antiferomagnetik.
3.6 Akuisisi Data Metode Geomagnetik (Base Rover & Looping) Dalam akusisi data Geomagnetik dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu secara satu alat(looping), baserover, dan gradien vertikal. Perbedaan dalam beberapa cara tersebut hanya ditekankan dalam pengunaan instrumen dalam pengukuran. 1. Satu Alat (Looping) Pengukuran yang dimulai dari base dan diakhiri di base lagi. Pengukuran satu alat ini hanya menggunakan satu alat PPM seri G-856 yang menjadi base dan rover.Dimana sekaligus pengukuran looping ini mencatat nilai variasi harian dan
16
intensitas medan magnet total. Ilustrasi pengukuran satu alat ditunjukkan pada Gambar 3.7.
Gambar 3.7. Ilustrasi Pengukuran Satu Alat (Looping) 2. Base – Rover Pengukuran yang menggunakan minimal dua buah alat PPM seri G-856 atau lebih, dimana satu buah untuk pengambilan data base yang penempatan alat PPM tersebut dipasang pada tempat yang bebas dari noise guna mencatat nilai variasi harian dan tetap sedangkan satunya untuk pengambilan data di lapangan guna mencatat intensitas medan total dari tiap lintasan.
Gambar 3.8. Ilustrasi Pengukuran Base Rover 3. Gradien Vertikal Untuk pengukuran Gradien vertikal secara pengukurannya sama dapat dilakukan secara Satu Alat atau Base Rover, hanya saja perbedaannya pada pemakaian sensor. Jumlah sensor yang digunakan 2 buah sensor.Biasanya untuk pemetaan medan magnet total dan variasi gradien vertikal medan magnet. Untuk Pengukuran Geomagnetik itu sendiri yang secara valid, umum, standar dalam pengukurannya yaitu menggunakan BaseRover. Sedangkan untuk satu alat dan gradien vertikal jarang digunakan dalam pengukuran secara umum.
17
Gradien vertikal juga hanya digunakan pengukuran untuk mengetahui batas litologi suatu lapangan saja.
3.7. Aeromagnetic Sebuah survei aeromagnetik adalah jenis umum dari survei geofisika dilakukan dengan menggunakan magnetometer kapal atau ditarik di belakang pesawat.
Prinsipnya
sama
dengan
survei
magnetik
dilakukan
dengan
magnetometer genggam, tetapi memungkinkan daerah jauh lebih besar dari permukaan bumi akan tertutup dengan cepat untuk pengintaian regional. Pesawat biasanya terbang dalam pola grid seperti dengan tinggi dan spasi baris menentukan resolusi data (dan biaya survei per satuan luas).
Gambar 3.9. Aeromagnetik Menggunakan pesawat, langkah-langkah magnetometer dan mencatat total intensitas medan magnet di sensor, yang merupakan kombinasi dari medan magnet yang diinginkan dihasilkan di Bumi serta variasi kecil karena efek temporal angin matahari terus-menerus bervariasi dan medan magnet dari pesawat survei. Dengan mengurangi surya, regional, dan efek pesawat, peta aeromagnetik dihasilkan menunjukkan distribusi spasial dan kelimpahan relatif mineral magnetik (paling sering magnetit mineral oksida besi) di tingkat atas dari kerak bumi. Karena jenis batuan yang berbeda berbeda dalam konten mereka mineral magnetik, peta magnetik memungkinkan visualisasi struktur geologi dari lapisan 18
atas di bawah permukaan, khususnya geometri spasial tubuh batuan dan adanya kesalahan dan lipatan. Hal ini sangat berguna di mana batuan dasar dikaburkan oleh pasir permukaan, tanah atau air. Data aeromagnetik pernah disajikan sebagai plot kontur, tapi sekarang lebih sering dinyatakan sebagai tematik (berwarna) dan berbayang gambar yang dihasilkan komputer pseudo-topografi. Bukit-bukit jelas, pegunungan dan lembah yang disebut anomali sebagai aeromagnetik. Sebuah geofisika dapat menggunakan model matematika untuk menyimpulkan bentuk, kedalaman dan sifat dari badan batu bertanggung jawab atas anomali. Pesawat biasanya digunakan untuk survei pengintaian tingkat tinggi di medan lembut, dan helikopter digunakan di medan pegunungan atau di mana lebih rinci diperlukan. UAV juga dapat digunakan dalam pekerjaan survei aeromagnetik. Survei aeromagnetik banyak digunakan untuk membantu dalam produksi peta geologi dan juga sering digunakan selama eksplorasi mineral dan eksplorasi minyak bumi. Beberapa deposit mineral yang berhubungan dengan peningkatan atau penurunan kelimpahan mineral magnetik, dan kadang-kadang dicari komoditas mungkin sendiri menjadi magnet (misalnya deposito bijih besi), tetapi sering penjelasan struktur bawah permukaan dari lapisan atas adalah yang paling berharga kontribusi data aeromagnetik.
3.8 Fast Fourier Transform Transformasi Fourier adalah suatu model transformasi yang memindahkan domain spasial atau domain waktu menjadi domain frekuensi. Transformasi Fourier merupakan suatu proses yang banyak digunakan untuk memindahkan domain dari suatu fungsi atau obyek ke dalam domain frekuensi. Di dalam pengolahan citra digital, transformasi fourier digunakan untuk mengubah domain spasial pada citra menjadi domain frekuensi. Analisa-analisa dalam domain frekuensi banyak digunakan seperti filtering. Dengan menggunakan transformasi fourier, sinyal atau citra dapat dilihat sebagai suatu obyek dalam domain frekuensi. A. Transformasi Fourier 2D Transformasi Fourier kontinu 2D dari suatu fungsi spasial f(x,y) didefinisikan dengan :
19
∞
∞
𝐹(𝜔1 , 𝜔2 ) = ∫−∞ ∫−∞ 𝑓 (𝑥, 𝑦). 𝑒 −𝑗(𝜔1𝑥 +𝜔2) 𝑑𝑥𝑑𝑦
(3.5)
Dimana F(𝜔1 𝑥 , 𝜔2 𝑦 ) adalah fungsi dalam domain frekuensi f(x,y) adalah fungsi spasial atau citra, 𝜔1 𝑥 dan 𝜔2 𝑥 adalah frekuensi radial 0 – 2. Transformasi fourier yang digunakan dalam pengolahan citra digital adalah transformasi fourier 2D. Diketahui fungsi spasial f(x,y) berikut :
Gambar 3.10. Fungsi Spasial f(x,y) FFT 2D Transformasi Fourier dari f(x,y) diatas adalah : 1
1
𝐹(𝜔1 , 𝜔2 ) = ∫ ∫ 𝑓 (1). 𝑒 −𝑗(𝜔1𝑥 +𝜔2 ) 𝑑𝑥𝑑𝑦 −1 −1 1
1
−1
−1
𝑒 −𝑗𝜔1 𝑥 −𝑗𝜔 𝑦 𝑒 −𝑗𝜔1 𝑥 −𝑗𝜔 𝑦 2 ] 𝑑𝑥 = ∫ − 2 𝑑𝑥 = ∫ [− 𝑒 𝑒 𝑗𝜔2 𝑗𝜔2 = =
sin(𝜔2 ) 𝜔2
[−
𝑒 −𝑗𝜔1 𝑥 𝑗𝜔2
𝑠𝑖𝑛(𝜔2 )𝑠𝑖𝑛(𝜔1 ) 𝜔2 𝜔1
]=
𝑠𝑖𝑛(𝜔2 ) 𝜔2
−
𝑠𝑖𝑛(𝜔1 ) 𝜔1
(3.6)
FFT (Fast Fourier Transform) adalah teknik perhitungan cepat dari DFT (Discrete Fourier Transform).Untuk pembahasan FFT ini, akan dijelaskan FFT untuk 1D dan FFT 2D. FFT 2D adalah pengembangan dari DFT 2D. A. FFT 2D FFT 2D adalah DFT 2D dengan teknik perhitungan yang cepat dengan memanfaatkan sifat periodikal dari transformasi fourier. Seperti halnya FFT 1D,
20
maka dengan menggunakan sifat fungsi sinus dan cosinus, alogaritma dari FFT 2D ini adalah : 1.
Hitung FFT 2D untuk n1 = 1 s/d N1/2 dan n2 = 1 s/d N2/2 menggunakan rumus DFT.
2.
Untuk selanjutnya digunakan teknik konjugate 2D.
Pengolahan FFT 2D dapat menggunakan 2 software yaitu Geosoft Oasis Montaj dan Matlab. 1.
Fast Fourier Transform (FFT) Menggunakan Geosoft Oasis Montaj Proses analisa spektrum gelombang menggunakan proses FFT dengan software Geosoft Oasis Montaj dalam pengolahannya menggunakan filte Butterworth Filter.
2.
Fast Fourier Transform (FFT) Menggunakan Matlab Proses FFT menggunakan Matlab dalam pengolahannya berfungsi sebagai informasi menentukan kedalaman pada peta yang dihasilkan.
3.9 Pemodelan 2,5 D Pada
dasarnya,
pemodelan
2,5
dimensi
adalah
pemodelan
yang
menggambarkan dalam bentuk 2D yang diplotkan ke dalam ruang 3D. Pada pemodelan 2,5 D magnetik ini digunakan parameter 2 D yang berupa koordinat dari suatu nilai anomali magnetik dengan sumbu X dan Y, dimana nilai sumbu Z yang sebagai nilai kedalamannya masih berupa estimasi dari hasil perhitungan matematis Fourier Transformation. Sehingga dengan data sayatan pada peta magnetik, dapat menghasilkan penampang geologi 2D dan dikontrol juga oleh nilai intensitas anomali magnetik serta nilai estimasi kedalaman anomalinya yang digambarkan pada ruang 3D. Pemodelan dilakukan dengan metode trial dan error sehingga dalam pengerjaanya
harus
diiterasi
sampai
didapatkan
ralat
(error)
terkecil.
Perhitunganralat model ini menurut menggunakan rumus: RM = Σ 100%
(3.7)
Dimana : RM = Ralat rata-rata model terhadap data lapangan
21
XLi = Data lapangan (terukur) XMi = Data lapangan(terhitung) N = Jumlah data
22
BAB IV METODE PENELITIAN 4.1 Diagram Alir Pengolahan Data
Gambar 3.1 Diagram Alir Pengolahan Data
23
4.2 Pembahasan Diagram Alir Pengolahan Data Diagram alir di atas menggambarkan langkah-langkah pembuatan Peta TMI hingga Peta Upward Continuation dari data akuisisi lapangan menggunakan metode Aeromagnetic yang telah diperoleh berupa data sekunder. Langkahlangkah pengolahan data yang dilakukan sesuai dengan diagram alir di atas adalah sebagai berikut: 1. Data sekunder yang telah diperoleh berisikan data-data akuisisi di lapangan menggunakan metode Aeromagnetic pada daerah penelitian yaitu South Dongara. 2. Data sekunder kemudian dibuka dalam Software Surfer untuk dipisahkan data posisi berupa x dan y serta data intensitas magnetik total pada daerah penelitian. Data yang telah dipisahkan kemudian disimpan dalam format .xyz menggunakan
Notepad.
Dalam
penyimpanan
menggunakan
Notepad
dimaksudkan agar lebih meringankan proses pengolahan yang dilakukan. 3. Data dalam format .xyz kemudian dibuka dalam Software Geosoft Oasis Montaj untuk selanjutnya dibuat Peta TMI. 4. Peta TMI yang telah dibuat kemudian masuk dalam proses filtering untuk memperoleh Peta Reduce to Pole dan Peta Reduce to Equator. 5. Peta RTP dan RTE yang telah dibuat kemudian dianalisa yang mana yang lebih baik untuk masuk ke proses pengolahan selanjutnya hingga nantinya untuk dianalisa akhir dan ditarik kesimpulan. 6. Dalam data sekunder akuisisi Aeromagnetic North Dongara yang telah diolah dan telah dilakukan analisa, didapatkan proses filtering selanjutnya menggunakan peta RTP yang dinilai lebih dapat mewakili daerah penelitian. Dengan demikian, untuk proses selanjutnya menggunakan Peta RTP. 7. Peta RTP yang diperoleh kemudian dilakukan proses filtering upward continuation untuk mengetahui arah kemenerusan dari target penelitian yang dalam kasus ini berupa struktur untuk mengetahui cekungan pada daerah penelitian. 8. Untuk mengetahui gambaran kondisi bawah permukaan pada daerah penelitian dilakukan proses penyayatan pada peta RTP atau peta Upward
24
Continuation yang telah dibuat sebelumnya. Pada dasarnya peta yang akan disayat tergantung target pemodelan yang akan dicapai. 9. Peta TMI, Peta RTP, Peta RTE, dan Peta Upward Continuation serta pemodelan 2,5D yang telah dibuat kemudian masuk dalam tahap analisa berdasarkan data paper yang telah didapatkan sebelumnya untuk kemudian ditarik kesimpulan.
25
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Peta TMI
Gambar 5.1 Peta TMI
Peta di atas merupakan peta Total Magnetic Intensity yang dihasilkan dari serangkaian pengolahan nilai intensitas medan magnet bumi pada daerah penelitian yang terletak di daerah South Dongara, Perth, Western Australia. Peta di atas dibuat dengan skala 1 banding 90.000. Peta TMI di atas dibuat menggunakan Software Geosoft Oasis Montaj dengan data berupa data sekunder dari akuisisi menggunakan metode Aeromagnetic pada daerah penelitian. Peta TMI di atas dalam menggambarkan persebaran nilai intensitas magnetik total daerah penelitian masih terpengaruh oleh efek dua kutub (dipole) dimana terlihat
26
dengan masih adanya pengaruh penarikan dua kutub pada peta TMI daerah penelitian di atas. Tampak pada peta di atas tidak terdapat daerah kosong yang menandakan kurangnya data pengukuran pada daerah penelitian sehingga daerah tersebut dapat terinterpolasi oleh data yang ada pada saat dilakukan proses pengolahan data tersebut tanpa perlu adanya ekstrapolasi terhadap peta di atas. Pada peta TMI di atas, persebaran warna yang merepresentasikan nilai intensitas magnetik total terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu nilai intensitas magnetik rendah dengan rentang nilai di bawah -151,7 nT yang pada peta di atas direpresentasikan dengan warna biru hingga hijau. Pada rentang nilai -151,7 nT hingga -123 nT mewakili nilai intensitas magnetik total daerah penelitian yang sedang dengan warna yang terlihat pada rentang hijau hingga orange. Kemudian warna orange hingga merah muda mewakili nilai intensitas magnetik total yang tinggi dengan rentang nilai lebih besar dari -123 nT. Dari skala warna tersebut tampak bahwa nilai-nilai intensitas magnetik total yang diperoleh dari hasil akuisisi data menunjukkan nilai yang negatif. Nilai negatif ini dapat dipengaruhi oleh berbagai endapan permukaan seperti yang telah dijelaskan dalam tinjauan pustaka bahwa Perth Basin sendiri didominasi oleh batuan sedimen yang telah diendapkan dalam lingkungan alluvial dan aeolian pada era Kenozoikum. Endapan sedimen yang mendominasi pada daerah penelitian ini dapat memungkinkan untuk dihasilkannya nilai intensitas magnetik total bernilai negatif. Peta di atas terlihat persebaran warna yang mewakili nilai intensitas magnetik total pada daerah penelitian. Nilai intensitas magnetik total tinggi pada daerah penelitian cenderung berada pada bagian barat peta memanjang dari utara ke selatan dan sebagian kecil bagian timur peta mendominasi hampir keseluruhan peta TMI di atas. Kemudian persebaran warna semakin rendah ke bagian tengah peta dengan nilai intensitas magnetik total rendah yang direpresentasikan dengan warna biru hingga hijau membentuk klosur memanjang dari utara ke selatan pada bagian tengah peta. Nilai intensitas magnetik total pada bagian barat dan timur peta yang relatif sama dengan nilai yang cukup tinggi dan bagian tengah peta menunjukkan nilai yang negatif dapat menunjukkan bahwa daerah penelitian tersebut khususnya daerah bagian tengah peta yang memiliki nilai lebih rendah
27
dibandingkan nilai pada bagian barat dan timur peta. Daerah ini merupakan daerah hasil pengendapan atau daerah yang komposisi penyusun batuannya berbeda dari daerah bagian barat dan timur peta. Namun peta TMI di atas masih terpengaruh oleh efek dua kutub (dipole) serta pengaruh anomali lokal dan regional sehingga masih perlu dilakukann proses filtering mulai dari reduce to magnetic pole, reduce to magnetic equator, hingga upward continuation untuk menghilangkan efek-efek tersebut dan dihasilkan data yang lebih valid serta untuk mengetahui gambaran kondisi bawah permukaan bumi diperlukan pemodelan bawah permukaan bumi seperti pemodelan 2,5 D.
28
5.2 Peta RTP
Gambar 5.2 Peta RTP
Gambar di atas merupakan hasil filtering menggunakan reduce to magnetic pole pada Software Geosoft Oasis Montaj terhadap peta TMI yang telah dibuat sebelumnya. Proses filtering
menggunakan reduce to magnetic pole
bertujuan untuk menghilangkan efek dua kutub atau dipole
yang masih
mempengaruhi peta TMI yang telah dibuat. Pada proses filtering reduce to magnetic pole, nilai-nilai pengukuran intensitas magnetik total dibawa ke kutub atau seakan-akan berada di kutub. Pada saat melakukan proses filtering reduce to pole ini dilakukan dengan mengubah seolah-olah nilai deklinasi sebesar 0⁰ dan inklinasi sebesar 90⁰ karena pengukuran yang seolah-olah berada di kutub. Peta RTP di atas terlihat dengan skala warna yang secara kasar dapat dibagi menjadi 3 tingkatan nilai intensitas magnetik total. Nilai intensitas
29
magnetik total rendah terlihat dengan rentang warna biru tua hingga hijau pada nilai lebih rendah dari -153,8 nT. Nilai intensitas magnetik total sedang tampak dengan warna hijau muda hingga orange pada rentang nilai -153,8 nT sampai 112 nT. Nilai tinggi ditunjukkan pada rentang warna orange tua sampai merah muda dengan nilai di atas 112 nT. Persebaran pola warna yang merepresentasikan nilai intensitas magnetik total pada daerah penelitian relatif sama dengan persebaran nilai intensitas magnetik total pada peta TMI yang telah dibuat. Perbedaannya terletak pada klosur daerah dengan nilai intensitas magnetik yang rendah yang mana pada peta RTP di atas dominan berada pada bagian selatan peta, sementara pada peta TMI sebagian dominan berada pada bagian utara peta dan sebagian lain berada di selatan peta TMI di atas. Hal ini dimungkinkan akibat masih adanya pengaruh efek dua kutub (dipole) pada peta TMI di atas. Proses filtering reduce to magnetic pole cocok untuk digunakan terhadap pengukuran di daerah dekat kutub dengan nilai inklinasi magnetik dari rentang 40⁰ hingga 90⁰. Kelemahan dari proses filtering menggunakan reduce to pole tidak cocok apabila digunakan untuk nilai intensitas magnetik total yang terukur di selain rentang nilai inklinasi magnetik di atas. Sehingga efeknya akan seperti peta di atas dimana menunjukkan efek seakan-akan ditarik ke arah kutub untuk menghilangkan efek dipole. Namun dalam kasus pengolahan data hasil akuisisi menggunakan Aeromagnetic ini, dihasilkan peta RTP yang tidak terlalu mengubah peta TMI dimana seakan-akan sudah berada dalam zona yang tepat untuk dilakukannya proses filtering reduce to magnetic pole. Walaupun berdasarkan data yang diperoleh dari Goole Earth, didapatkan koordinat daerah penelitian berada pada sekitar 29⁰ LS hingga 30⁰ LS atau lebih tepatnya pada 29,022179° LS hingga 29,255928° LS, namun daerah South Dongara ini memiliki nilai inklinasi magnetik yang cukup besar yaitu -64,7⁰. Hal tersebut dimungkinkan akibat daerah tersebut yang juga mendekati wilayah yang baik untuk filtering reduce to pole. Oleh karena itu, perlu adanya pembahasan lebih lanjut dan pembandingan dengan peta RTE yang dihasilkan pada pengolahan data.
30
5.3 Peta RTE
Gambar 5.3 Peta RTE
Pada peta RTE di atas tampak persebaran nilai intensitas magnetik total pada daerah penelitian yang telah dilakukan proses filtering reduce to equator. Proses filtering menggunakan reduce to magnetic equator pada software geosoft oasis montaj terhadap peta TMI yang telah dibuat sebelumnya. Proses filtering menggunakan reduce to magnetic equator bertujuan untuk menghilangkan efek dua kutub atau dipole yang masih mempengaruhi peta TMI yang telah dibuat. Pada proses filtering reduce to magnetic equator, nilai-nilai pengukuran intensitas magnetik total seolah-olah dibawa ke ekuator. Pada saat melakukan proses filtering reduce to magnetic pole ini dilakukan dengan mengubah seolah-olah nilai deklinasi sebesar 90⁰ dan inklinasi sebesar 0⁰ karena pengukuran yang seolaholah berada di ekuator. Apabila peta reduce to equator di atas diperhatikan baik-
31
baik dengan membandingkan dengan peta TMI, maka akan terlihat efek seperti nilai yang terukur ditarik ke arah barat dan timur dengan nilai intensitas magnetik total yang dihasilkan sedikit menampilkan perbedaan dengan peta TMI yang telah dibuat. Peta RTE di atas terlihat dengan skala warna yang secara kasar dapat dibagi menjadi 3 tingkatan nilai intensitas magnetik total. Nilai intensitas magnetik total rendah terlihat dengan rentang warna biru tua hingga hijau pada nilai di bawah -129,2 nT. Nilai intensitas magnetik total sedang tampak dengan warna hijau muda hingga orange pada rentang nilai -129,2 nT sampai -57,8 nT. Nilai tinggi ditunjukkan pada rentang warna orange tua sampai merah muda dengan nilai lebih tinggi dari -57,8 nT. Persebaran pola warna yang merepresentasikan nilai intensitas magnetik total pada daerah penelitian berbeda dengan pola warna yang dihasilkan pada peta TMI dan RTP yang telah dibuat. Apabila pada peta TMI nilai intensitas magnetik tinggi ditunjukkan pada daerah barat dan timur peta, sedangkan pada peta RTE nilai intensitas magnetik total yang direpresntasikan dengan warna merah terletak pada bagian barat peta saja memanjang dari utara ke selatan, begitu pula untuk nilai intensitas magnetik rendah yang ditunjukkan dengan warna biru dimana terletak hanya di bagian timur saja memanjang dari utara ke selatan. Sementara pada tengah memanjang dari utara ke selatan di dominasi oleh warna hijau yang dapat mewakili nilai intensitas magnetik sedang. Proses filtering reduce to equator cocok untuk digunakan terhadap pengukuran di daerah dekat ekuator dengan rentang sudut inklinasi magnetik sebesar 0⁰ hingga 30⁰. Kelemahan dari proses filtering menggunakan reduce to equator tidak cocok apabila digunakan untuk nilai intensitas magnetik total yang terukur di selain rentang sudut inklinasi magnetik pada daerah penelitian tersebut. Sehingga efeknya akan seperti peta di atas dimana menunjukkan efek seakan-akan ditarik ke arah ekuator atau barat ke timur untuk menghilangkan efek dipole. Namun dalam kasus pengolahan data hasil akuisisi menggunakan Aeromagnetic ini, dihasilkan peta RTE yang berbeda peta TMI dimana seakan-akan daerah penelitian tersebut berada dalam zona yang kurang tepat untuk dilakukannya proses filtering reduce to magnetic equator. Dilihat dari nilai sudut inklinasi
32
magnetiknya yaitu sebesar -64,7⁰ dapat diketahui bahwa proses filtering reduce to magnetic equator ini tidak sesuai untuk digunakan sebagai filtering pada daerah penelitian tersebut. Hal tersebut diakibatkan daerah tersebut yang mendekati wilayah yang baik untuk filtering reduce to pole. Oleh karena itu, perlu adanya pembahasan lebih lanjut dan pembandingan dengan peta RTE yang dihasilkan pada pengolahan data. Apabila melihat dari nilai sudut inklinasinya, filtering yang baik adalah filtering reduce to magnetic pole karena nilai sudut inklinasinya berada dalam rentang 40⁰ sampai 90⁰.
33
5.4 Peta Upward Continuation
Gambar 5.4 Peta Upward Continuation
Pada gambar yang disajikan di atas, terlihat beberapa peta yang terdiri dari peta RTP dan peta upward continuation sebanyak lima peta dengan kelipatan 197 (in ground units) terhadap peta RTP. Dilakukannya proses filtering upward continuation regional terhadap peta RTE bertujuan agar dapat menghilangkan atau mengurangi efek anomali lokal terhadap peta RTP dengan cara menguatkan efek anomali regional terhadap peta RTP pada daerah penelitian. Selain itu melalui filtering upward continuation ini bermaksud agar dapat terlihat arah kemenerusan dari anomali pada daerah penelitian. Proses filtering upward continuation dilakukan sebanyak lima kali bertujuan agar dapat terlihat perubahan tiap perubahan nilai filtering dan nilai kelipatan 197 dimaksudkan mengetahui perubahan tiap kenaikan nilai kelipatan secara spesifik. Proses filtering yang dilakukan terhadap peta RTP sebanyak lima kali menunjukkan pola warna nilai intensitas magnetik. Pada saat melakukan proses filtering
ketika perubahan pola-pola warna hasil representasi nilai anomali
regional pada daerah tersebut mulai semakin stabil yang mana menandakan untuk mulai berhenti melakukan proses filtering upward continuation. Pada peta
34
tersebut dapat terlihat arah kemenerusan dari nilai anomali pada daerah penelitian. sehingga dapat ditentukan kemana arah prospeksi target. Dalam proses filtering yang dilakukan, dipilih peta RTP sebagai peta dasar filtering upward continuation. Hal ini dikarenakan peta RTP menunjukkan persebaran pola warna yang merepresentasikan nilai intensitas yang dinilai lebih dapat mewakili daerah penelitian. Target pada penelitian di daerah Perth Basin adalah untuk menemukan struktur pada basement yang menjadi pembentuk Basin pada daerah penelitian. Seperti yang dibahas dalam tinjauan pustaka, diketahui bahwa Perth Basin terbentuk dari sesar atau fault yang terisi oleh endapan sedimen pada era Kenozoikum dan terbentuk pada lingkungan pengendapan alluvial dan aeolian. Akibat adanya endapan ini menimbulkan daerah basin memiliki nilai intensitas magnetik yang lebih rendah dari daerah di bagian barat dan timur peta. Dari mempertimbangkan hal tersebut, dipakailah peta RTP yang dinilai lebih sesuai dengan sejarah geologi yang ada pada daerah penelitian tersebut dan dapat menunjukkan perubahan nilai intensitas magnetik yang memanjang dimana dapat mengindikasikan sebagai respon magnetik terhadap keberadaan sesar pada daerah penelitian tersebut. Proses
filtering
upward
continuation
dapat
digunakan
untuk
mengidentifikasi adanya struktur yang memberikan efek secara regional. Perth Basin terbentuk oleh adanya sesar yang mengakibatkan adanya extension joint atau kekar tarik pada daerah penelitian. Apabila dilihat lebih luas, Australia diapit oleh lempeng Antartika di sebelah selatan dan lempeng Eurasia di sebelah utara. Lempeng Antartika yang memiliki arah pergerakan ke utara dan Lempang Eurasia yang memiliki arah pergerakan cenderung ke selatan. Dengan demikian, tampak bahwa lempeng Australia dikenai gaya kompresi dari bagian utara dan selatan. Adanya gaya kompresi dari dua arah tersebut menyebabkan adanya dua gaya utama yang saling berkebalikan arahnya pada lempeng Australia. Pada daerah penelitian Perth Basin, sesar geser tersebut menghasilkan extension joint akibat adanya dua gaya utama yang saling bertabrakan sehingga akan menghasilkan kekar bukaan dan daerah yang turun membentuk cekungan dengan sesar-sesar turun baik mayor maupun minor. Pada peta upward continuation di atas dapat terlihat batas kontras warna yang memanjang dimana dapat dimungkinkan sebagai
35
keberadaan sesar geser yang terjadi pada daerah tersebut. Sesar geser tersebut merupakan bidang batas sesar turun yang membatasi luasan extension joint yang terjadi pada lempang Australia menyebabkan terbentuknya cekungan yang memiliki sesar-sesar minor pada daerah tersebut. Bagian cekungan dari extension joint tersebut kemudian mengalami pengendapan sedimen dengan lingkungan pengendapan alluvian dan aeolian. Pada akuisisi data magnetik, untuk mengidentifikasikan adanya basin pada daerah penelitian, dapat memanfaatkan struktur yang ada pada daerah penelitian. Pada daerah penelitian di atas di daerah South Dongara, Perth dimana diindikasikan
terdapat
cekungan
minyak
dan
gas
bumi,
untuk
dapat
mengindetifikasi keberadaan cekungan pada daerah tersebut dapat memanfaatkan struktur yang terbentuk pada basement di daerah tersebut dimana basement pada daerah tersebut berupa Granit dan Gneiss yang telah tersesarkan akibat adanya gaya kompresi dari lempeng Antartika dan Eurasia. Akibat tersesarkan, pada basement timbul sesar-sesar minor sehingga dapat menghilangkan nilai kemagnetan batuan. Dalam survey magnetik, basement dengan sesar-sesar minor ditambah adanya endapan sedimen pada cekungan akibat extension joint, menghasilkan pembacaan nilai intensitas magnetik yang rendah. Sesar-sesar minor yang ada juga dapat menjadi jalur migasi minyak dan gas dalam petroleum system. Hal ini dapat menjawab mengapa pada bagian tengah yang diindikasikan sebagai lokasi cekungan, memiliki nilai intensitas yang rendah.
36
5.5 FFT (Grafik FFT dan Tabel Kedalaman)
Gambar 5.5 Grafik FFT
Pada gambar 5.5 di atas disajikan beberapa grafik yang turut berperan dalam proses penentuan nilai kedalaman pada daerah penelitian menggunakan metode Fast Fourier Transform (FFT). Grafik analisa spektrum di atas merupakan gambaran perubahan spektrum gelombang terhadap nilai bilangan gelombang dari hasil respon magnetik pada batuan di bawah permukaan pada 37
daerah penelitian. Pada grafik analisa spektrum di atas apabila data hasil penyayatan peta pada Software Oasis Montanj dan data Fast Fourier Transform dari Software MATLAB terlalu banyak maka akan semakin membentuk grafik dengan bentuk huruf U dan apabila terlalu sedikit data yang diperoleh grafik dengan bentuk yang semakin membentuk huruf V. Grafik analisa spektrum yang baik adalah di antara kedua bentuk tersebut, artinya tidak terlalu U dan tidak terlalu V. Hal ini akan terasa perbedaannya saat dilakukan penentuan mana daerah yang merupakan efek dari respon regional, lokal, dan noise. Pada grafik analisa Fourier di atas terlihat pembagian daerah-daerah dengan efek regional, lokal, dan noise. Nilai respon regional ditunjukkan dengan grafik warna biru yang menggambarkan nilai spektrum dari 0,659332 sampai 0,000345 dengan rentang bilangan gelombang dari 0 sampai 0,002166. Nilai respon regional ini memiliki fungsi y = -1038,3x + 0,7735. Kemudian nilai respon lokal diganmbarkan pada grafik dengan fungsi y = -101,06x – 1,6971 dimana menggambarkan nilai spektrum dari 0,000345 sampai 0,003065 dengan nilai gelombang antara 0,002166 hingga 0,019249. Tabel 5.1 Tabel Kedalaman
Regional Residual n 130.5 130.5 m -1038.3 -101.06 2*phi 6.28 6.28 depth (m) -21576.1 -2100.05 Dari hasil analisa daerah dengan respon regional, lokal, dan noise sebelumnya kemudian masuk dalam perhitungan kedalaman sesuai tabel kedalaman di atas. Nilai n merupakan setengah dari jumlah data yang ada, lalu m adalah nilai gradien grafik yang dapat ditentiukan dari persamaan dari grafik analisa Fourier sebelumnya. Karena target dalam eksplorasi ini merupakan basement sehingga data kedalaman yang dipakai adalah nilai kedalaman regional yaitu sebesar 21,5761 km di bawah permukaan bumi.
38
5.6 Pemodelan 2,5D
Gambar 5.7 Pemodelan 2,5D
Gambar 5.8 di atas merupakan pemodelan kondisi geologi bawah permukaan pada sayatan yang telah dibuat pada peta TMI pada daerah penelitian yaitu daerah Gunung Wungkal, Godean, Sleman, Yogyakarta. Pembuatan model 2,5 D ini menggunakan Software Oasis Montaj dengan nilai kedalaman yang telah ditentukan berdasarkan perhitungan menggunakan metode FFT pada Software MATLAB. Penentuan tipe-tipe litologi yang dimodelkan dalam pemodelan di atas didasarkan pada data stratigrafi dan peta geologi yang telah diperoleh melalui paper tinjauan pustaka dan sumber literatur lainnya. Berdasarkan perhitungan menggunakan metode FFT pada Software MATLAB dan Microsoft Excel didapatkan kedalaman dari basement yang terkira kedalamannya adalah sebesar 711,293 meter di bawah permukaan. Dalam pembuatan sayatan dilakukan terhadap peta TMI dikarenakan dari hasil analisa peta TMI, RTP dan RTE dihasilkan bahwa peta yang paling mendekati kondisi sebenarnya. Kmudian mengapa tidak dipakai peta anomali lokal ataupun regional dikarenakan peta anomali regional dan lokal merupakan peta dengan data hasil buatan dari software terkait. Untuk batas kedalaman dari pemodelan 2,5 D di atas didasarkan pada perhitungan kedalaman untuk respon data regional pada grafik analisa Fourier. Hal ini dikarenakan target dalam penelitian ini adalah intrusi diorit sesuai dengan data geologi yang ada pada daerah penelitian yang ada sehingga digunakan data kedalaman regional. Dari pemodelan yang telah dibuat dapat diketahui bahwa batuan penyusun basement adalah batuan kristalin berupa batuan Gneis dan Granit dengan sesar-
39
sesar turun yang terbentuk akibat adanya extension joint akibat adanya dua gaya utama yang saling berlawanan arahnya. Batuan pengisi cekungannya berupa batulempung, batupasir, batupasir dengan sisipan batubara dimana didasarkan pada data stratigrafi daerah penelitian yang diperoleh dari literatur terkait. Batuanbatuan pengisi cekungan hasil dari endapan pada lingkungan aeolian dan alluvial juga memiliki sesar-sesar turun yang membentuk half-graben akibat amblesan dari extension joint sehingga menghasilkan sesar-sesar minor yang dalam petroleum system dapat berperan sebagai jalur migrasi hydrocarbon. Pada pemodelan 2,5D diatas terdapat endapan vulkanik pada lapisan paling atas dari pemodelan di atas.
40
BAB VI PENUTUP
6.1 Kesimpulan Dari data yang telah dilakukan pengolahan sehingga dihasilkan peta TMI, RTP, RTE, dan peta Upward Continuation serta pemodelan 2,5D daerah penelitian berdasarkan data sekunder yang telah diolah dan telah dibahas bersarkan geologi regional daerah penelitian. Oleh karena itu dapat ditarik kesimpulan antara lain:
Dari data geologi regional daerah penelitian diketahui bahwa daerah penelitian terbentuk dari sesar geser yang mengakibatkan terbentuknya extentension joint pada daerah penelitian sehingga membentuk Perth Basin. Hal ini sesuai dengan data magnetik yang diperoleh dimana pada bagian Perth Basin memiliki nilai intensitas magnetik yang rendah, terlihat pada peta upward continuation yang dihasilkan.
Dalam mengidentifikasi adanya cekungan pada suatu daerah, metode magnetik dimanfaatkan dalam mengidentifikasi struktur yang ada pada daerah tersebut. Pada daerah penelitian untuk menduga keberadaan basin, memanfaatkan struktur yang timbul akibat Darling fault.
Nilai negatif yang ditunjukkan pada peta hasil pengolahan di atas disebabkan oleh deformasi yang dapat menghilangkan sifat kemagnetan batuan dan adanya endapan yang terjadi pada daerah penelitian.
Dari hasil pemodelan 2,5 yang telah dilakukan didapatkan gambaran bawah permukaan dari sayatan yang telah dibuat dalam peta RTP. Sayatan ini dapat berguna dalam menganalisa kedalaman dari target yang ingin dicapai seperti keberadaan dari flatspot pada daerah penelitian dimana dalam model 2,5 D basement digambarkan dengan warna merah mewakili batuan kristalin, kemudian batuan di atas nya berupa batulempung dan batupasir digambarkan dengan warna hijau untuk batu lempung dan kuning untuk batupasir. Batuan pengisi cekungan tersebut merupakan hasil pengendapan dalam lingkungan aeolian dan alluvial.
41
6.2 Saran Dalam melakukan pembuatan peta baik TMI, RTP, RTE, dan Upward Continuation diperlukan ketelitian dan kesabaran yang tinggi. Terutama pada saat melakukan pengolaha data dari data hasil akuisisi yang memuat data yang cukup banyak. Selain itu juga perlu memperhatikan berbagai hal seperti kondisi geologi regional daerah penelitian. hal ini sangat berpengaruh terhadap hasil dari penelitian yang akan diperoleh nantinya.
42