BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Arthritis Reumatoid (AR) adalah suatu penyakit sistematik yang bersifat progresif, yang cenderung menjadi kronis dan menyerang sendi serta jaringan lunak. Artritis rheumatoid adalah suatu penyakit autoimun dimana, secara simetris persendian (biasanya sendi tangan dan kaki) mengalami peradangan sehingga menyebabkan terjadinya pembengkakan, nyeri, dan sering kali menyebabkan kerusakan pada bagian dalam sendi. Karakteristik artritis rheumatoid adalah radang cairan sendi (sinovitis inflamatoir) yang persisten, biasanya menyerang sendi-sendi perifer dengan penyebaran yang simetris (Junaidi, 2013) Penderita artritis reumatoid di seluruh dunia telah mencapai angka 355 juta jiwa, artinya 1 dari 6 orang di dunia ini menderita artritis reumatoid. Organisasi kesehatan dunia (WHO) melaporkan bahwa 20%, penduduk dunia terserang penyakit artritis reumatoid. Dimana 5-10% adalah mereka yang berusia 5-20 tahun dan 20% mereka yang berusia 55 tahun. (Junaidi,2013) Prevalensi penyakit sendi atau Rematik di Indonesia berdasar diagnosis sebesar 11,9% dan berdasar diagnosis atau gejala sebesar 24,7%. Prevalensi berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan tertinggi berada di Bali yaitu berjumlah 19,3% dan terendah di Daerah Istimewa Yogyakarta yaitu sebesar 5,6%. Sedangkan prevalensi penyakit sendi di provinsi Sumatera Selatan berdasarkan diagnosis tenaga kesehatan sebesar 8,4% dan berdasarkan diagnosis atau gejala sebesar 15,6% (Riskesdas, 2013). Hasil dari Laporan Kesehatan Dinas Kesehatan Kota Palembang tahun 2013, didapatkan angka kejadian gangguan jaringan lunak lainnya (reumatik) menempati posisi keempat dari 10 penyakit terbesar di kota Palembang dengan jumlah penderita 45.153 jiwa sedangakan pada tahun 2014, didapatkan angka kejadian gangguan jaringan lunak lainnya (reumatik) mengalami peningkatan angka kejadian dengan jumlah penderita yaitu sebanyak 49.292
1
Poltekkes Kemenkes Palembang
2
jiwa kemudian pada bulan Januari sampai bulan April 2015, didapatkan angka kejadian gangguan jaringan lunak lainnya (reumatik) menempati posisi keempat dari 10 penyakit terbesar di kota Palembang dengan jumlah penderita 18.260 jiwa. Puskesmas Basuki Rahmat Palembang merupakan wilayah yang padat penduduk dimana kasus Artritis Reumatoid sering terjadi pada wilayah tersebut dengan total kunjungan pasien mencapai 1.000 sampai 2.000 jiwa pada setiap bulannya. Data dari Puskesmas Basuki Rahmat menunjukkan bahwa pada tahun 2013 penyakit akut pada system otot dan jaringan pengikat, tulang sendi serta reumatik termasuk dalam urutan ke-2 dari 10 penyakit terbesar dengan jumlah penderita sebanyak 3.499 jiwa. Sedangkan pada tahun 2014 terjadi peningkatan jumlah penderita penyakit akut pada system otot dan jaringan pengikat, tulang sendi serta rematik yaitu sebanyak 3.562 jiwa (Profil Puskesmas Basuki Rahmat Palembang, 2014). Dampak dari penyakit rematik adalah terganggunya aktivitas karena nyeri, tulang menjadi keropos, terjadi perubahan bentuk tulang. Dari 100 jenis rematik, diketahui Artritis Reumatoid yang dapat menyebabkan kecacatan yang paling parah pada penderitanya. Asupan makanan yang kurang sehat, kurangnya berolahraga, stress dan lain sebagainya diketahui sebagai faktor pencetus terjadinya rematik. Salah satu solusi untuk penyakit ini adalah dengan menjaga perilaku hidup sehat baik dari aktivitas, seperti rajin berolahraga, dan memenuhi kebutuhan nutrisi dengan sempurna dengan cara memenuhi asupan makanan yang bergizi, hal itu dianjurkan untuk mengurangi kekakuan pada sendi, dan untuk meminimalisirkan bagi yang sudah menderita penyakit rematik tidak berulang atau mengalami kekambuhan (Purwoastuti, 2009). Pada keluarga yang memiliki anggota keluarga dengan artritis reumatoid tentu saja akan berdampak pada ekonomi keluarga tersebut karena kronisitas serta resiko kecacatan yang dialami penderita menyebabkan banyaknya pengeluaran yang akan digunakan untuk meminimalisir tingkat keparahan penyakit. Selain itu, karena artritis reumatoid dapat menimbulkan kelemahan yang disebabkan oleh serangan nyeri yang terus menerus, maka hal ini
Poltekkes Kemenkes Palembang
3
mengakibatkan penderita tidak mampu untuk melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri. Hal tersebut tentu saja menyebabkan penderita akan sangat bergantung pada keluarga untuk dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti mandi, berjalan, buang air kecil dan lain sebagainya (Lukman, 2009) Mengingat bahwa banyaknya penderita artritis reumatoid serta besarnya dampak yang ditimbulkan dari penyakit ini, maka upaya promotif dan preventif sangat besar peranannya dalam penanganan masalah artritis reumatoid yaitu melalui upaya binaan terhadap keluarga. Oleh karena itu, dalam menanggulangi dampak tersebut, peran perawat sebagai pemberi asuhan keperawatan, konselor, pendidik, atau peneliti agar keluarga dapat mengenal tanda bahaya dini gangguan kesehatan pada anggota keluarganya sangat diperlukan sehingga apabila keluarga tersebut mempunyai masalah kesehatan, mereka tidak datang ke pelayanan kesehatan dalam keadaan kronis. Perawat keluarga juga memiliki peran yang sangat strategis dalam pemberdayaan kesehatan dalam sebuah keluarga sehingga keluarga mampu menjalankan 5 tugas kesehatan keluarga yaitu mengenal masalah kesehatan keluarga, mengambil keputusan tindakan yang tepat bagi keluarga, merawat anggota keluarga yang sakit, memodifikasi lingkungan untuk menjamin kesehatan keluarga serta memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada dengan baik sehingga upaya pencegahan maupun pengobatan dapat berjalan dengan baik (Harmoko, 2012) Berdasarkan data dan permasalahan diatas, penulis merasa perlu untuk menyusun laporan tugas akhir tentang “Asuhan Keperawatan Pada Keluarga Tn. B dengan Artritis Reumatoid di Wilayah Kerja Puskesmas Basuki Rahmat Palembang Tahun 2015”.
1.2 Rumusan Masalah Adapun rumusan masalah penelitian ini, difokuskan kepada Keperawatan Keluarga yaitu memberikan Asuhan Keperawatan Keluarga dengan Artritis Reumatoid. Data diperoleh dengan cara wawancara, observasi, pemeriksaan fisik, dan penelusuran data sekunder. Penelitian ini akan dilakukan di Wilayah
Poltekkes Kemenkes Palembang
4
Kerja Puskesmas Basuki Rahmat Palembang dan dilaksanakan pada bulan Juni 2015.
1.3 Tujuan 1.3.1 Tujuan Umum Mampu melakukan proses Asuhan Keperawatan Pada Keluarga Tn. B dengan Artritis Reumatoid di Wilayah Kerja Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tahun 2015. 1.3.2 Tujuan Khusus a. Mampu melakukan Pengkajian Keperawatan Pada Keluarga Tn.B dengan Artritis Reumatoid di Wilayah Kerja Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tahun 2015. b. Mampu merumuskan Diagnosa Keperawatan Pada Keluarga Tn.B dengan Artritis Reumatoid di Wilayah Kerja Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tahun 2015. c. Mampu menyusun Rencana Keperawatan Pada Keluarga Tn.B dengan Artritis Reumatoid di Wilayah Kerja Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tahun 2015. d. Mampu melakukan Tindakan Keperawatan Pada Keluarga Tn.B dengan Artritis Reumatoid di Wilayah Kerja Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tahun 2015. e. Mampu melakukan evaluasi hasil Asuhan Keperawatan Pada Keluarga Tn.B dengan Artritis Reumatoid di Wilayah Kerja Puskesmas Basuki Rahmat Palembang tahun 2015.
1.4 Manfaat Penulisan 1. Untuk Penulis Penulisan ini merupakan wadah penerapan ilmu pengetahuan yang telah didapat, memberikan pengalaman dalam bidang penelitian, dan menambah pengetahuan penulis, terutama mengenai asuhan keperawatan pada keluarga dengan klien artritis reumatoid pada kasus yang nyata.
Poltekkes Kemenkes Palembang
5
2. Untuk Perawat Komunitas Penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan, sumber pemikiran, dan pedoman bagi profesi keperawatan dalam upaya meningkatkan kualitas pelayanan kesehatan dan pelayanan keperawatan, terutama dalam bidang keperawatan komunitas dan keluarga. 3. Untuk Puskesmas Menjalin kerjasama dengan pihak puskesmas dalam upaya memberi asuhan keperawatan keluarga yang berkualitas pada klien rawat jalan dan memberi informasi pelaksanaan asuhan keperawatan keluarga pada klien artritis reumatoid serta untuk pelaksanaan asuhan keperawatan lebih lanjut melalui sarana home visite. 4. Untuk Institusi Pendidikan Penulisan ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan dan pustaka bagi pembaca, mahasiswa, dan penulis lainnya serta merupakan bahan evaluasi tentang rangkaian kegiatan proses pembelajaran. Serta diharapkan dapat digunakan oleh mahasiswa dan pendidik untuk mengembangkan metode pembelajaran yang tepat dalam meningkatkan kemampuan mahasiswa dalam memahami dan menerapkan asuhan keperawatan.
1.5 Metode Penulisan 1.5.1
Teknik Pengumpulan Data 1. Wawancara/Anamnesa Wawancara adalah salah satu teknik komunikasi yang bertujuan untuk mendapatkan informasi yang diperlukan dalam mengidentifikasi dan merencanakan tindakan keperawatan dengan metode tanya jawab langsung dengan klien maupun anggota keluarga atau orang yang berhubungan dekat dengan klien. 2. Observasi dan Pengukuran Pengumpulan data dilakukan dengan cara pengamatan dan pengukuran langsung baik pada klien dan anggota keluarga guna memperoleh data subjektif dan objektif.
Poltekkes Kemenkes Palembang
6
3. Pemeriksaan Fisik (head to toe) Pemeriksaan fisik adalah teknik mengumpulkan data dari tubuh pasien untuk menemukan tanda klinis penyakit dari ujung rambut sampai ujung kaki pada setiap sistem tubuh dengan menggunakan teknik inspeksi, palpasi, perkusi, dan auskultasi. 4. Penelusuran Data sekunder (Rekam Medik) Penelusuran rekam medis dilakukan dengan menggunakan berkas yang berisi catatan dan dokumen yang berkaitan dengan status kesehatan klien.
1.5.2
Sistematika Penulisan Penyusunan proposal ini terdiri dari lima bab yaitu : BAB 1 Pendahuluan Meliputi latar belakang, ruang lingkup penulisan, tujuan, manfaat
penelitian,
metode
penulisan,
teknik
pengumpulan data, dan sistematika penulisan. BAB II Tinjauan Pustaka Meliputi konsep dasar prilaku, konsep dasar keluarga, konsep dasar artritis reumatoid dan konsep dasar asuhan keperawatan keluarga dengan penderita artritis reumatoid. BAB III Tinjauan Kasus Meliputi pengkajian, pengumpulan data, analisis data, perumusan
diagnosis
keperawatan,
perencanaan,
implementasi, dan evaluasi pada keluarga dengan artritis reumatoid. BAB IV Pembahasan Meliputi profil tempat pengambilan kasus, pembahasan kesenjangan antara asuhan keperawatan secara teori dengan yang diberikan langsung ke klien berdasarkan tahapan proses keperawatan mulai dari pengkajian sampai dengan evaluasi.
Poltekkes Kemenkes Palembang
7
BAB V Kesimpulan dan Saran Bab ini merupakan bab penutup yang terdiri dari 2 bagian, yaitu: 1. Kesimpulan 2. Saran
Poltekkes Kemenkes Palembang
8
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Konsep Penyakit 2.1.1. Pengertian Artritis Reumatoid (AR) adalah suatu penyakit sistematik yang bersifat progresif, yang cenderung menjadi kronis dan menyerang sendi serta jaringan lunak. Karakteristik artritis rheumatoid adalah radang cairan sendi (sinovitis inflamatoir) yang persisten, biasanya menyerang sendi-sendi perifer dengan penyebaran yang simetris (Junaidi, 2013). Menurut Noer S (1997) dalam Lukman (2009), artritis reumatoid merupakan suatu penyakit inflamasi sistemik kronik yang walaupun manifestasi utamanya adalah poliatritis yang progresif, akan tetapi penyakit ini juga melibatkan seluruh organ tubuh. Artritis rheumatoid adalah penyakit inflamasi kronik dan sistemik yang menyebabkan destruksi sendi dan deformitas serta menyebabkan disability. Penyakit ini sering terjadi dalam 3-4 dekade ini pada lansia. Penyebab artritis rheumatoid tidak diketahui, tetapi mungkin akibat penyakit
autoimun
dimulai
dari
interfalank
proksimal,
metakarpofalankeal, pergelangan tangan dan pada tahap lanjut dapat mengenai lutut dan paha (Fatimah, 2010).
2.1.2
Etiologi Penyebab utama dari kelainan ini tidak diketahui. Ada beberapa teori yang dikemukakan mengenai penyebab arthtritis reumatoid, yaitu : 1. Infeksi streptokokus hemolitikus dan streptokokus non hemolitikus 2. Endokrin 3. Autoimun 4. Metabolic 5. Faktor genetik serta faktor pemicu Pada saat ini, arthtritis reumatoid diduga disebabkan oleh faktor autoimun dan infeksi. Autoimun ini bereaksi terhadap kolagen tipe II ;
Poltekkes Kemenkes Palembang
9
faktor injeksi mungkin disebabkan oleh virus dan organisme mikroplasma atau group difteriod yang menghasilkan antigen kolagen tipe II dari tulang rawan sendi penderita. Kelainan yang dapat terjadi pada suatu arthtritis reumatoid yaitu : 1. Kelainan pada daerah artikuler a. Stadium I (stadium sinovitis) b. Stadium II (stadium destruksi) c. Stadium III (stadium deformitas) 2. Kelainan pada jaringan ekstra-artikuler Pada jaringan ekstra-artikuler akan terjadi perubahan patologis, yaitu: a. Pada otot terjadi miopati b. Nodul subkutan c. Pembuluh darah perifer terjadi proliferasi tunika intima pada pembuluh darah perifer dan lesi pada pembuluh darah arteriol dan venosa d. Terjadi nekrosis fokal pada saraf e. Terjadi pembesaran limfe yang berasal dari aliran limfe sendi (Nurarif dan Kusuma, 2013). Sedangkan menurut Price (1995) dan Noer S, (1996), faktor-faktor yang berperan dalam timbulnya penyakit Artritis Reumatoid adalah jenis kelamin, keturunan, lingkungan dan infeksi (Lukman, 2009).
2.1.3 Patofisiologi Pemahaman mengenai anatonomi normal dan fisiologi persendian diartrodial atau sinovial merupakan kunci untuk memahami patofisiologi penyakit reumatik. Fungsi persendian sinovial memilki kisaran gerak tertentu kendati masing-masing orang tidak mempunyai kisaran gerak yang sama pada sendi-sendi yang dapat digerakkan. Pada sendi sinovial yang normal, kartilago artikuler membungkus ujung tulang pada sendi dan menghasilkan permukaan yang licin serta ulet untuk gerakkan. Membran sinovial melapisi dinding dalam kapsula fibrosa dan mensekresi cairan ke dalam ruangan antar tulang. Fungsi dari
Poltekkes Kemenkes Palembang
10
cairan sinovial ini yaitu sebagai peredam kejut (shock absorber) dan pelumas yang memungkinkan sendi untuk bergerak secara bebas dalam arah yang tepat. Sendi merupakan salah satu bagian tubuh yang paling sering terkena inflamasi. Meskipun memilki keankearagaman mulai dari kelainan yang terbatas pada satu sendi hingga kelainan multisistem yang sistemik, semua penyakit rematik meliputi inflamasi dan degenerasi dalam derajat tertentu yang bisa terjadi sekaligus. Inflamasi ini akan terlihat pada persendian sebagai sinovitis. Pada penyakit rematik inflamatori, inflamasi adalah proses primer dan degenerasi yang terjadi merupakan proses sekunder yang timbul akibat pembentukan pannus (proliferasi jaringan sinovial). Inflamasi tersebut merupakan akibat dari respon imun tersebut. Sebaliknya, pada penyakit rematik degeneratif dapat terjadi proses inflamasi yang sekunder sinovitis ini biasanya lebih ringan serta menggambarkan suatu proses reaktif, dan lebih besar kemungkinannya untuk terlihat pada penyakit lanjut. Pelepasan proteoglikan tulang rawan yang bebas dari kartilago artikuler yang mengalami degenerasi dapat berhubungan dengan sinovitis
kendati faktor-faktor imunologi dapat
pula terlibat (Smeltzer dan Bare, 2002). Pada artritis reumatoid, reaksi autoimun terutama terjadi pada jaringan sinovial. Proses fagositosis menghasilkan enzim-enzim dalam sendi. Enzim-enzim tersebut akan memecah kolagen sehingga terjadi edema, proliferasi membran sinovial, dan akhirnya membentuk panus. Panus akan menghancurkan tulang rawan dan menimbulkan erosi tulang, akibatnya menghilangkan permukaan sendi yang akan mengganggu gerak sendi. Otot akan turut terkena karena serabut otot akan mengalami perubahan generatif dengan menghilangnya elastisitas otot dan kekuatan kontraksi otot (Lukman, 2009).
Poltekkes Kemenkes Palembang
11
Bagan 2.1 Pathway Artritis Reumatoid Reaksi faktor R dengan antibody, faktor metabolik, infeksi dengan kecenderungan virus
Kekakuan sendi
Synovial menebal
Hambatan mobilitas fisik
Pannus
Nodul
Deformitas sendi
Nyeri
Reaksi peradangan
Kurangnya informasi
Defisiensi pengetahuan Ansietas
Infiltrasi dalam os. subcondria
Hambatan nutrisi pada kartilago artikularis
Gangguan body image Kartilago nekrosis
Kerusakan kartilago dan tulang
Erosi kartilago Hambatan mobilitas fisik
Adhesi pada permukaan sendi
Tendon dan ligament melemah
Ankilosis fibrosa
Kekuatan sendi Keterbatasan gerakan sendi
Ankilosis tulang
Mudah luksasi dan subluksasi
Hilangnya kekuatan otot
Deficit perawatan diri Resiko cedera Sumber : Nurarif dan Kusuma, 2013 Poltekkes Kemenkes Palembang
12
2.1.4 Manifestasi Klinis Gejala utama rematik biasa terjadi pada otot dan tulang, termasuk di dalamnya sendi dan otot sendi. Gangguan nyeri yang terus berlangsung menyebabkan aktivitas sehari-hari terhambat (Purwoastuti, 2009). Menurut Lukman (2009), ada beberapa manifestasi klinis yang lazim ditemukan pada klien artritis reumatoid. Manifestasi ini tidak harus timbul sekaligus pada saat yang bersamaan. Oleh karena itu, penyakit ini memiliki manifestasi klinis yang sangat bervariasi. 1. Gejala-gejala konstitusional, misalnya lelah, anoreksia, berat badan menurun, dan demam. Terkadang dapat terjadi kelelahan yang hebat. 2. Poliarhtritis simetris, terutama pada sendi perifer, termasuk sendisendi di tangan, namun biasanya tidak melibatkan sendi-sendi interfalangs distal. Hampir semua sendi diartrodial dapat terserang. 3. Kekakuan di pagi hari selama lebih dari satu jam, dapat bersifat generalisata tetapi terutama menyerang sendi-sendi. Kekakuan ini berbeda dengan kekakuan sendi pada osteoarthritis, yang biasanya hanya berlangsung selama beberapa menit dan selalu kurang dari satu jam. 4. Arhtritis erosif, merupakan ciri khas artritis reumatoid pada gambaran radiologik. Peradangan sendi yang kronik mengakibatkan erosi di tepi tulang dan dapat dilihat pada radiogram.
2.1.5 Komplikasi Kelainan sistem pencernaan yang sering dijumpai adalah gastritis dan ulkus peptik yang merupakan komplikasi utama penggunaan obat anti inflamasi non steroid (OAINS) atau obat pengubah perjalanan penyakit DMARD (disease modifying antirheumatoid drugs) yang menjadi faktor penyebab morbiditas dan mortalitas utama pada artritis rheumatoid. Komplikasi saraf yang terjadi tidak memberikan gambaran yang jelas, sehingga sukar dibedakan antara akibat lesi artikular dan lesi neuropatik.
Umumnya
berhubungan
dengan
mielopati
akibat
Poltekkes Kemenkes Palembang
13
ketidakstabilan vertebra servikal dan neuropati iskemik akibat vaskulitis (Mansjoer, 1999).
2.1.6 Pemeriksaan Diagnostik Pemeriksaan penunjang ini tidak banyak berperan dalam diagnosis artirits reumatoid,
pemeriksaan laboratorium mungkin dapat sedikit
membantu untuk melihat prognosis pasien, seperti : 1. Pemeriksaan Laju Endap Darah (LED) akan meningkat 2. Tes faktor reuma biasanya positif pada lebih dari 75% pasien artritis reumatoid terutama bila masih aktif. Sisanya dapat dijumpai pada pasien lepra, TB paru, sirosis hepatis, penyakit kolagen dan sarkoidosis 3. Leukosit normal atau meningkat sedikit 4. Trombosit meningkat 5. Kadar albumin serum turun dan globulin 6. Jumlah sel darah merah dan komplemen C4 menurun 7. Protein C-reaktif dan antibodi antinukleus (ANA) biasanya positif 8. Laju sedimentasi eritrosit meningkat menunjukkan inflamasi 9. Tes aglutinasi lateks menunjukkan kadar igG atau igM (faktor mayor dari rheumatoid) tinggi. Makin tinggi iter, makin berat penyakitnya 10. Pemeriksaan sinar-X dilakukan untuk membantu penegakkan diagnosa dan memantau perjalanan penyakit. Foto rontgen menunjukkan erosi tulang yang khas dan penyempitan rongga sendi yang
terjadi
kemudian
dalam
perjalanan
penyakit
tersebut
(Mansjoer, 1999 dan Rosyidi 2013).
2.1.7 Penatalaksanaan Penatalaksanaan yang dapat dilakukan pada pasien dengan Arthtritis Reumatoid yaitu : 1. Langkah pertama dari program penatalaksanaan artritis reumatoid adalah memberikan pendidikan kesehatan yang cukup tentang penyakit
kepada
klien,
keluarganya,
dan
siapa
saja
yang
Poltekkes Kemenkes Palembang
14
berhubungan dengan klien. Pendidikan kesehatan yang diberikan meliputi pengertian tentang patofisiologi penyakit, penyebab, dan prognosis penyakit, semua komponen program penatalaksanaan termasuk regimen obat yang kompleks, sumber-sumber bantuan untuk mengatasi penyakit, dan metode-metode yang efektif tentang penatalaksanaan yang diberikan oleh tim kesehatan 2. Sejak dini, klien diberikan OAINS (Obat Anti Inflamasi Non Steroid) untuk mengatasi nyeri sendi akibat inflamasi yang sering dijumpai. OAINS yang dapat diberikan yaitu : a. Aspirin, dengan ketentuan pasien umur <65 tahun dosisinya 3-4 x 1g/hr, kemudian dinaikkan 0.3-0,6 g per minggu sampai terjadi perbaikan atau gejala toksik. Dosis terapi 20-30 mg/dl b. Ibuprofen, naproksen, diklofenak, dan sebagainya 3. DMARD (disease modifying antirheumatoid drugs) digunakan untuk melindungi rawan sendi dan tulang dari proses destruksi akibat arthtritis reumatoid ini. Jenis-jenis yang digunakan yaitu : klorokuin (yang paling banyak digunakan, karena harganya yang terjangkau), sulfasalazin, garam emas (gold standard bagi DMARD), obat imunosupresif atau imunoregulator, dan kortikosteroid. 4. Rehabilitasi, tujuannya yaitu unttuk meningkatkan kualitas hidup klien. Beberapa cara yang bisa dilakukan yaitu : a. Pemakaian alat bidai untuk mengistirahatkan sendi yang sakit, kursi roda, sepatu dan alat b. Terapi mekanik c. Pemanasan : baik hidroterapi maupun elektroterapi d. Terapi mekanik 5. Pembedahan, pembedahan ini dilakukan jika berbagai cara telah dilakukan dan tidak berhasil serta ada alasan yang cukup kuat, sehingga dapat dilakukan pembedahan (Mansjoer, 1999 dan Lukman, 2009). Perawatan dan pengobatan tradisional atau obat luar juga bisa kita berikan pada klien dengan Arthritis Reumatoid,yaitu sebagai berikut :
Poltekkes Kemenkes Palembang
15
1. Hindari faktor resiko seperti aktivitas yang berlebihan pada sendi, faktor cuaca dan pola makan yang tidak sehat 2. Olahraga yang teratur dan istirahat yang cukup, seperti melakukan senam rematik. 3. Kompres panas dapat mengatasi kekakuan dan kompres dingin dapat membantu meredakan nyeri. 4. Pertahankan berat badan agar tetap normal 5. Bila nyeri, lakukan relaksasi untuk mengurangi sakit 6. Mengurangi dan menghindari makanan yang mengandung purin, seperti bir dan minuman beralkohol, daging, jeroan, kembang kol, jamur, bayam, asparagus, kacang-kacangan, sayuran seperti daun singkong (tidak semua jenis sayuran mempunyai efek kambuh yang sama pada setiap orang) 7. Memakan buah beri untuk menurunkan kadar asam urat, memakan makanan seperti tahu untuk pengganti daging 8. Banyak minum air untuk membantu mengencerkan asam urat yang terdapat dalam darah sehingga tidak tertimbun sendi 9. Lakukan latihan gerak sendi/ senam rematik (Maryam, dkk., 2010)
2.2 Konsep Perilaku 2.2.1
Pengertian Perilaku Perilaku manusia adalah semua tindakan atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang sangat luas, baik yang dapat diamati langsung, maupun yang tidak dapat diamati. Dari segi biologis, perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme (makhluk hidup yang bersangkutan). Sedangkan dari segi kepentingan kerangka analisis, perilaku adalah apa yang dikerjakan oleh organisme tersebut baik dapat diamati secara langsung maupun tidak langsung (Notoatmodjo, 2007). Menurut Skinner (1938) dalam Notoatmodjo (2012), perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus atau rangsangan dari luar. Oleh karena perilaku ini terjadi melalui proses
Poltekkes Kemenkes Palembang
16
adanya stimulus terhadap organisme, dan kemudian organisme tersebut merespons, maka teori ini disebut teori “S-O-R” atau Stimulus Organisme Respons. Respon tersebut dibagi menjadi dua, yaitu : 1. Respondent respons atau reflexive,
yakni
respons
yang
ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan (stimulus) tertentu. Stimulus semacam ini disebut eliciting stimulation karena menimbulkan respons-respons yang relative tetap. Respondent respons ini juga mencakup perilaku emosional. 2. Operant respons atau instrumental respons, yakni respons yang timbul dan berkembang kemudian diikuti oleh stimulus atau perangsang
tertentu.
Perangsang
ini
disebut
reinforcing
stimulation atau reinforce, karena memperkuat respons. 2.2.2 Macam – Macam Perilaku Menurut Notoatmodjo (2012), perilaku dibedakan menjadi dua, yaitu : 1. Perilaku tertutup (covert behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung atau tertutup (covert). Respons atau reaksi terhadap stimulus ini masih terbatas pada perhatian, persepsi pengetahuan/kesadaran, dan sikap yang terjadi pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati secara jelas oleh orang lain. 2. Perilaku terbuka (overt behavior) Respons seseorang terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata atau terbuka. Respons terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam bentuk tindakan atau praktik, yang dengan mudah dapat diamati atau dilihat oleh orang lain.
2.2.3 Perilaku Kesehatan Sejalan dengan batasan perilaku menurut Skinner, maka perilaku kesehatan adalah respons seseorang terhadap stimulus atau
Poltekkes Kemenkes Palembang
17
objek yang berkaitan dengan sehat-sakit, penyakit, dan faktor-faktor yang mempengaruhi sehat-sakit seperti lingkungan, makanan, minuman, dan pelayanan kesehatan (Notoatmodjo, 2012). Dengan kata lain, perilaku kesehatan adalah semua aktivitas atau kegiatan seseorang baik yang dapat diamati maupun yang tidak dapat diamati yang terkait dengan pemeliharaan dan peningkatan taraf atau derajat kesehatan. Pemeliharaan kesehatan ini mencakup pencegahan atau perlindungan diri terhadap berbagai macam penyakit dan masalah kesehatan lain, meningkatkan derajat kesehatan, dan mencari penyembuhan apabila sakit atau terkena masalah kesehatan. Klasifikasi tentang perilaku kesehatan menurut Becker (1979) dalam Notoatmodjo (2012) yaitu : 1. Perilaku sehat Perilaku sehat adalah perilaku-perilaku yang berkaitan dengan upaya mempertahankan dan meningkatkan kesehatan atau pola/gaya hidup sehat (healthy life style) 2. Perilaku sakit (illness behavior) Perilaku sakit mencakup respons seseorang terhadap sakit dan penyakit, persepsinya terhadap sakit, pengetahuan tentang penyakit yang dialaminya. 3. Perilaku peran orang sakit Dari segi sosiologi, orang yang sedang sakit mempunyai peran yang mencakup hak-haknya, dan kewajiban sebagai orang sakit. Hak dan kewajiban ini harus diketahui oleh orang sakit sendiri maupun orang lain (terutama keluarganya), yang selanjutnya disebut perilaku peran orang sakit (the sick role). Perilaku ini meliputi : a. Tindakan untuk memperoleh kesembuhan, b. Mengenal/mengetahui
fasilitas
atau
sarana
pelayanan
penyembuhan penyakit yang layak, c. Mengetahui hak dan kewajiban orang sakit
Poltekkes Kemenkes Palembang
18
2.2.4
Perubahan (Adopsi) Perilaku dan Indikatornya Adopsi atau perubahan perilaku adalah suatu proses yang kompleks dan memerlukan waktu yang tidak singkat, ada 3 tahap sebelum seseorang menerima atau mengadopsi perilaku baru,yaitu sebagai berikut : 1. Pengetahuan, indikator-indikator yang dapat digunakan untuk mengetahui
tingkat
pengetahuan
ataus
kesadaran
terhadap
kesehatan, dapat dikelompokkan menjadi : a. Pengetahuan tentang sakit dan penyakit : penyebab penyakit, gejala atau tanda-tanda penyakit, cara pengobatan dan kemana harus berobat, bagaimana cara penularannya, bagaimana cara pencegahannya seperti imunisasi dan lain sebagainya b. Pengetahuan tentang cara pemeliharaan kesehatan dan cara hidup sehat, yaitu : jenis-jenis makanan yang bergizi, manfaat makanan yang bergizi, pentingya olahraga bagi kesehatan, pentingnya istirahat, rekereasi, dan sebagainya c. Pengetahuan tentang kesehatan lingkungan, seperti : manfaat air bersih, cara pembuangan limbah yang sehat, akibat dari polusi (air, udara, dan tanah) bagi kesehatan dan sebagainya. 2. Sikap, indikator dari sikap beriringan dengan pengetahuan kesehatan, yakni : a. Sikap terhadap sakit dan penyakit, bagaimana seseorang berpendapat terhadap penyakit tersebut. b. Sikap cara pemeliharaan dan cara hidup sehat, bagaimana pendapat dan sikap seseorang terhadap pemeliharaan kesehatan dan cara hidup yang sehat c. Sikap terhadap kesehatan lingkungan, bagaimana pendapat seseorang
terhadap
lingkungan
dan
pengaruhnya
bagi
kesehatan. 3. Praktik atau tindakan (practice), indikator dari praktik ini yaitu:
Poltekkes Kemenkes Palembang
19
a. Tindakan (praktik) sehubungan dengan penyakit, mencakup bagaimana tindakan kita dalam mencegah dan menyembuhkan penyakit b. Tindakan (praktik) pemeliharaan dan peningkatan kesehatan, mencakup bagaimana cara memelihara dan meningkatkan kesehatan dengan mengkonsumsi makanan dengan gizi seimbang, berolahraga secara teratur, tidak merokok,
dan
sebagainya c. Tindakan (praktik) kesehatan lingkungan, mencakup bagaimana cara menjaga kesehatan lingkungan dengan membuang limbah rumah tangga yang ada pada tempatnya (Notoatmodjo, 2007).
2.2.5
Aspek Sosio-Psikologi Perilaku Kesehatan Menurut Notoadmojo (2007), emosi merupakan salah satu penyebab adanya perilaku. Aspek psikologis yang mempengaruhi emosi berhubungan erat dengan keadaan jasmani, sedangkan keadaan jasmani merupakan keturunan, dalam perkembangan mencapai kedewasaannya, semua aspek yang memiliki hubungan dengan keturunan dan emosi akan berkembang sesuai dengan hukum perkembangan. Jadi, perilaku yang berhubungan dengan emosi adalah perilaku bawaan. Dalam pendidikan kesehatan, mempelajari perilaku kesehatan sangatlah
penting,
karena
pendidikan
kesehatan
masyarakat
merupakan bagian dari kesehatan masyarakat. Yang berfungsi sebagai media atau sarana untuk menyediakan kondisi sosio-psikologis yang baik sehingga individu atau masyarakat dapat berperilaku sesuai dengan norma-norma hidup sehat.
Poltekkes Kemenkes Palembang
20
2.3 Konsep Keluarga 2.3.1
Definisi Keluarga Menurut WHO (1969) dalam Harmoko (2012), keluarga adalah anggota rumah tangga yang saling berhubungan melalui pertalian darah, adopsi atau perkawinan. Keluarga adalah unit terkecil dari masyrakat yang terdiri atas kepala keluarga dan beberapa orang yang berkumpul dan tinggal di suatu
tempat
dibawah
suatu
atap
dalam
keadaan
saling
ketergantungan (Depkes RI, 1988 dalam Padila, 2012). Johnson’s (1992) mendefinisikan keluarga adalah suatu ikatan atau persekutuan hidup atas dasar perkawinan antara orang dewasa yang berlainan jenis yang hidup bersama atau seorang perempuan yang sudah sendirian dengan atau tanpa anak, baik anaknya sendiri atau adopsi dan tinggal dalam sebuah rumah tangga (Padila, 2012). Jadi, dari beberapa definisi diatas maka keluarga adalah unit terkecil dari masyarakat yang terdiri dari kepala keluarga dan beberapa orang yang saling berhubungan melalui pertalian darah, adopsi atau perkawinan dan tinggal dibawah satu atap dalam keadaan saling ketergantungan serta mempunyai peran atau kewajiban yang harus dilaksanakan.
2.3.2
Strukur Keluarga Ciri – ciri struktur keluarga menurut Widyanto (2014) : 1. Terorganisasi Keluarga merupakan cerminan organisasi dimana setiap anggota keluarga memiliki peran dan fungsinya masing-masing untuk mencapai tujuan keluarga. Dalam menjalankan peran dan funsinya, anggota keluarga saling berhubungan dan saling bergantung. 2. Keterbatasan Setiap anggota keluarga memiliki kebebasan, namun juga memiliki keterbatasan dalam menjalankan peran dan fungsinya.
Poltekkes Kemenkes Palembang
21
3. Perbedaan dan Kekhususan Setiap anggota keluarga memiliki peran dan fungsinya masingmasing. Peran dan fungsi tersebut cenerung berbeda dan khas, yang menunjukkan adanya ciri perbedaan dan kekhususan. Macam – macam struktur keluarga : 1. Patrilineal, adalah keluarga sedarah yang terdiri atas sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur ayah. 2. Matrilineal, adalah keluarga sedarah yang terdiri atas sanak saudara sedarah dalam beberapa generasi, dimana hubungan itu disusun melalui jalur garis ibu. 3. Matrilokal, adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah istri. 4. Patrilokal, adalah sepasang suami istri yang tinggal bersama keluarga sedarah suami. 5. Keluarga kawinan, adalah hubungan suami istri sebagai dasar bagi pembinaan keluarga dan beberapa sanak (Padila, 2012).
2.3.3 Tipe Keluarga Keluarga yang memerlukan pelayanan kesehatan berasal dari berbagai macam pola kehidupan. Sesuai dengan perkembangan sosial, maka
tipe
keluarga
berkembang
mengikutinya.
Agar
dapat
mengupayakan peran serta keluarga dalam meningkatkan derajat kesehatan, maka perawat perlu memahami dan mengetahui berbagai tipe keluarga. Menurut Mubarak (2012) tipe-tipe keluarga antara lain: 1. Traditional Nuclear Keluarga inti yang terdiri atas ayah, ibu, dan anak yang tinggal dalam satu rumah ditetapkan oleh sanksi-sanksi legal dalam suatu ikatan perkawinan, satu/keduanya dapat berkerja di luar rumah.
Poltekkes Kemenkes Palembang
22
2. Extended family Adalah keluarga inti ditambah dengan sanak saudara, misalnya nenek, kakek, keponakan, saudara sepupu, paman, bibi, dan sebagainya. 3. Reconstitude nuclear Pembentukan baru dari keluarga inti melalui perkawinan kembali suami/istri, tinggal dalam pembentukan satu rumah dengan anakanaknya, baik itu bawaan dari perkawinan lama maupun hasil dari perkawinan baru. Satu atau keduanya dapat bekerja di luar rumah. 4. Middle age/Aging couple Suami sebagai pencari uang, istri dirumah/kedua-duanya bekerja di luar rumah, dan anak-anak sudah meninggalkan rumah karena sekolah/perkawinan/meniti karir. 5. Dyadic nuclear Suami istri yang sudah berumur dan tidak mempunyai anak, keduanya/salah satu bekerja di luar rumah. 6. Single parent Satu orang tua sebagai akibat perceraian/kematian pasangannya dan anak-anaknya dapat tinggal di rumah/di luar rumah. 7. Dual carrier Suami istri atau keduanya berkarir dan tanpa anak. 8. Commuter married Suami/istri atau keduanya orang karir dan tinggal terpisah pada jarak tertentu, keduanya saling mencari pada waktu-waktu tertentu. 9. Single adult Wanita atau pria dewasa yang tinggal sendiri dengan tidak adanya keinginan untuk menikah. 10. Three generation Tiga generasi atau lebih tinggal dalam satu rumah. 11. Institutional Anak-anak atau orang dewasa tinggal dalam satu panti.
Poltekkes Kemenkes Palembang
23
12. Comunal Satu rumah terdiri atas dua/lebih pasangan yang monogami dengan anak-anaknya dan bersama-sama dalam penyediaan fasilitas. 13. Group marriage Suatu rumah terdiri atas orang tua dan keturunannya di dalam satu keluarga dan tiap individu adalah menikah dengan yang lain dan semua adalah orang tua dari anak-anak. 14. Unmarried parent and child Ibu dan anak dimana perkawinan tidak dikehendaki, anaknya diadopsi. 15. Cohibing couple Dua orang/satu pasangan yang tinggal bersama tanpa pernikahan.
Menurut Padila (2012), selain tipe keluarga diatas, terdapat juga tipe keluarga tradisional dan tipe keluarga nontradisional, yaitu: 1. Keluarga tradisional a. Keluarga inti, suatu rumah tangga yang terdiri dari suami, istri, dan anak (kandung/amgkat). Biasanya keluarga yang melakukan perkawinan pertama atau keluarga dengan orang tua campuran atau keluarga tiri. b. Pasangan suami istri, yang terdiri dari suami dan istri saja tanpa anak, atau tidak ada anak yang tinggal bersama mereka. Biasanya keluarga dengan karir tunggal atau dengan karir keduanya. c. Keluarga
dengan
orang
tua
tunggal,
biasanya
sebagai
konsekuensi dari perceraian dan kematian. d. Bujangan dewasa sendirian. e. Keluarga besar, terdiri dari keluarga inti dan orang-orang yang berhubungan. f. Pasangan lanjut usia, keluarga inti dimana suami istri sudah tua dan anak-anaknya sudah terpisah.
Poltekkes Kemenkes Palembang
24
2. Tipe keluarga non tradisional a. Keluarga dengan orang tua yang memiliki anak tanpa menikah, bisanya ibu dan anak. b. Pasangan yang memiliki anak tapi tidak menikah, didasarkan pada hukum tertentu. c. Pasangan kumpul kebo, kumpul bersama tanpa menikah. d. Pasangan homoseksual, orang-orang berjenis kelamin yang sama hidup bersama sebagai pasangan yang menikah. e. Keluarga komuni, keluarga yang terdiri dari lebih dari satu pasangan
monogami
dengan
anak-anak
secara
bersama
menggunakan fasilitas, sumber daya yang sama.
2.3.4
Peran Keluarga Peran adalah seperangkat tingkah laku yang diharapkan orang lain terhadap seseorang sesuai kedudukannya dalam satu sistem (Mubarak dkk 2012). Peran didasarkan pada preskipsi dan harapan peran yang menerangkan apa yang individu-individu harus lakukan dalam suatu situasi tertentu agar dapat memenuhi harapan mereka sendiri atau harapan
orang lain menyangkut peran tersebut
(Harmoko, 2012). 1. Peran formal keluarga Setiap posisi formal dalam keluarga adalah peran-peran yang bersifat terkait, yaitu sejumlah perilaku yang kurang lebih bersifat homogen. Keluarga membagi peran secara merata kepada anggotanya. Dalam peran formal keluarga ada peran yang membutuhkan keterampilan dan kemampuan tertentu dan ada juga peran yang tidak terlalu kompleks, sehingga dapat didelegasikan kepada anggota keluarga lain yang kurang terampil. Contoh peran formal yang terdapat dalam keluarga adalah pencari nafkah, ibu rumah tangga, sopir, pengasuh anak, tukang masak, dan lain-lain. Jika seorang anggota keluarga meninggalkan rumah, dan karenanya ia tidak memenuhi suatu peran maka anggota keluarga
Poltekkes Kemenkes Palembang
25
lain akan mengambil alih kekosongan ini dengan memerankan perannya agar terap berfungsi (Mubarak, 2012). 2. Peran informal keluarga Peran-peran informal bersifat implisit, biasanya tidak tampak, dimainkan
hanya
untuk
memenuhi
kebutuhan-kebutuhan
emosional individu dan/atau untuk menjaga keseimbangan dalam keluarga. Peran informal keluarga lebih didasarkan pada atributatribut personalitas atau kepribadian anggota keluarga individu. Beberapa contoh peran informal keluarga adalah
pendorong,
pengharmoni, inisiator, pendamai, koordinator, pionir keluarga, dan lain-lain (Harmoko, 2012).
2.3.5
Fungsi Keluarga Dalam suatu keluarga ada beberapa fungsi keluarga yang dapat dijalankan. Fungsi keluarga tersebut menurut Mubarak (2012) adalah sebagai berikut: 1. Fungsi biologis, yaitu fungsi untuk meneruskan keturunan, memelihara dan membesarkan anak, serta memenuhi kebutuhan gizi keluarga. 2. Fungsi psikologis, yaitu memberikan kasih sayang dan rasa aman bagi
keluarga,
memberikan
perhatian
diantara
keluarga,
memberikan kedewasaan kepribadian anggota keluarga, serta memberikan identitas pada keluarga. 3. Fungsi sosialisasi, membina sosialisasi pada anak, membentuk norma-norma tingkah laku sesuai dengan tingkat perkembangan masing-masing dan meneruskan nilai-nilai budaya. 4. Fungsi ekonomi, mencari sumber-sumber penghasilan untuk memenuhi kebutuhan keluarga saat ini dan menabung untuk memenuhi kebutuhan keluarga di masa yang akan datang. 5. Fungsi pendidikan, yaitu menyekolahkan anak untuk memberikan pengetahuan, keterampilan, membentuk perilaku anak sesuai
Poltekkes Kemenkes Palembang
26
dengan bakat dan minat yang dimilikinya, dan mendidik anak sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Menurut Friedman dalam Padila (2012) ada lima fungsi dasar keluarga diantaranya adalah: 1. Fungsi afektif (the affective function) Fungsi afektif berkaitan dengan fungsi internal keluarga yang merupakan basis kekuatan dari keluarga. Fungsi afektif berguna untuk pemenuhan kebutuhan psikososial. Keberhasilan fungsi afektif tampak melalui keluarga yang bahagia. Dalam fungsi ini anggota keluarga mengembangkan gambaran diri yang positif, perasaan memiliki dan dimiliki, perasaan yang berarti, dan merupakan sumber kasih sayang. Fungsi afektif merupakan sumber energi yang menentukan kebahagiaan keluarga. 2. Fungsi sosialisasi (the socialization function) Sosialisasi merujuk pada proses perkembangan dan perubahan yang dialami oleh seorang individu sebagai hasil dari interaksi dan belajar berperan dalam lingkungan sosial. Keluarga merupakan tempat individu melakukan sosialisasi. Dalam fungsi ini anggota keluarga belajar disiplin, norma, budaya serta perilaku melalui hubungan dan interaksi dalam keluarga, sehingga individu mampu berperan dalam masyarakat. 3. Fungsi reproduksi (the reproductive function) Dalam
fungsi
ini
keluarga
berfungsi
untuk
meneruskan
kelangsungan keturunan dan meningkatkan sumber daya manusia. 4. Fungsi ekonomi (the economic function) Fungsi ini menjelaskan untuk memenuhi kebutuhan keluarga seperti makanan, pakaian, dan perumahan, maka keluarga memerlukan sumber keuangan. 5. Fungsi perawatan keluarga/pemeliharaan kesehatan (the health care function)
Poltekkes Kemenkes Palembang
27
Fungsi lain keluarga adalah fungsi perawatan kesehatan. Selain keluarga menyediakan makanan, pakaian dan rumah, keluarga juga berfungsi melakukan asuhan kesehatan kepada anggotanya baik untuk mencegah terjadinya gangguan maupun merawat anggota yang sakit. Keluarga juga menentukan kapan anggota keluarga yang mengalami gangguan kesehatan memerlukan bantuan atau pertolongan tenaga profesional. Kemampuan ini sangat mempengaruhi status kesehatan individu dan keluarga.
2.3.6
Tugas Keluarga Menurut Harmoko (2012) di dalam sebuah keluarga ada beberapa tugas dasar yang didalamnya terdapat 8 tugas pokok, yaitu: 1. Memelihara kesehatan fisik keluarga dan para anggotanya. 2. Berupaya untuk memelihara sumber-sumber daya yang ada dalam keluarga. 3. Mengatur
tugas
masing-masing
anggota
sesuai
dengan
kedudukannya. 4. Melakukan sosialisasi antar anggota keluarga agar timbul keakraban dan kehangatan para anggota keluarga. 5. Melakukan pengaturan jumlah anggota keluarga yang diinginkan. 6. Memelihara ketertiban anggota keluarga. 7. Penempatan anggota-anggota keluarga dalam masyarakat yang lebih luas. 8. Membangkitkan dorongan dan semangat para anggota keluarga. Selain keluarga harus mampu melaksanakan fungsi dengan baik, keluarga juga harus mampu melaksanakan tugas kesehatan keluarga. Tugas kesehatan keluarga Menurut Friedman adalah sebagai berikut: 1. Mengenal masalah kesehatan keluarga Keluarga perlu mengenal keadaan kesehatan dan perubahanperubahan yang dialami oleh anggota keluarganya. Perubahan sekecil apapun yang dialami anggota keluarga, secara tidak
Poltekkes Kemenkes Palembang
28
langsung akan menjadi perhatian keluarga atau orang tua. Apabila menyadari adanya perubahan, keluarga perlu mencatat kapan terjadinya, perubahan apa yang terjadi, dan seberapa besar perubahannya. 2. Membuat keputusan tindakan kesehatan yang tepat Tugas ini merupakan upaya utama keluarga untuk mencari pertolongan yang tepat sesuai dengan keadaan keluarga. Tindakan kesehatan yang dilakukan keluarga diharapkan tepat agar masalah kesehatan yang sedang terjadi dapat dikurangi atau diatasi. Jika keluarga mempunyai keterbatasan dalam mengambil keputusan, maka keluarga dapat meminta bantuan kepada orang lain di lingkungan tempat tinggalnya. 3. Memberi perawatan pada anggota keluarga yang sakit Anggota
keluarga
yang
mengalami
gangguan
kesehatan
perlumemperoleh tindakan lanjutan atau perawatan agar masalah yang lebih parah tidak terjadi. Perawatan dapat dilakukan di institusi pelayanan kesehatan atau di rumah apabila keluarga telah memiliki kemampuan tindakan untuk pertolongan pertama. 4. Mempertahankan suasanan rumah yang sehat Rumah merupakan tempat berteduh, berlindung, dan bersosialisasi bagi anggota keluarga. Oleh karena itu kondisi rumah haruslah dapat menjadikan lambang ketenangan, keindahan dan dapat menunjang derajat kesehatan bagi keluarga. 5. Menggunakan fasilitas kesehatan yang ada di masyarakat Apabila mengalami gangguan atau masalah yang berkaitan dengan kesehatan keluarga atau anggota, keluarga harus dapat memanfaatkan fasilitas kesehatan yang ada di sekitarnya. Keluarga dapat berkonsultasi atau meminta bantuan tenaga keperawatan untuk memecahkan masalah yang dialami anggota keluarganya, sehingga keluarga dapat bebas dari segala macam penyakit.
Poltekkes Kemenkes Palembang
29
2.3.7
Peran Perawat Keluarga Perawat kesehatan keluarga adalah pelayanan kesehatan yang ditujukan kepada keluarga sebagai unit pelayanan untuk mewujudkan keluarga yang sehat. Fungsi perawat, membantu keluarga untuk menyelesaikan masalah kesehatan dengan cara meningkatkan kesanggupan keluarga melakukan fungsi dan tugas perawatan kesehatan keluarga. Menurut Widyanto (2014), peran dan fungsi perawat dalam keluarga yaitu : a. Pendidik Kesehatan, mengajarkan secara formal maupun informal lepada keluarga tentang kesehatan dan penyakit. b. Pemberi Pelayanan, pemberi asuhan keperawatan kepada angota keluarga yang sakit dan melakukan pengawasan terhadap pelayanan/pembinaan
yang
diberikan
guna
meningkatkan
kemampuan merawat bagi keluarga. c. Advokat Keluarga, mendukung keluarga berkaitan dengan isu-isu keamanan dan akses untuk mendapatkan pelayanan kesehatan. d. Penemu
Kasus
(epidiomologist),
mendeteksi
kemungkinan
penyakit yang akan muncul dan menjalankan peran utama dalam pengamatan dan pengawasan penyakit. e. Peneliti,
mengidentifikasi
masalah
praktik
dan
mencari
penyelesaian melalui investigasi ilmiah secara mandiri maupun kolaborasi. f. Manager dan Koordinator, mengelola dan bekerja sama dengan anggota keluarga, pelayanan kesehatan dan sosial, serta sektor lain untuk mendapatkan akses pelayanan kesehatan. g. Fasilitator, menjalankan peran terapeutik untuk membantu mengatasi masalah dan mengidentifikasi sumber masalah. h. Konselor, sebagai konsultan bagi keluarga untuk mengidentifikasi dan memfasilitasi keterjangkauan keluarga/masyarakat terhadap sumber yang diperlukan.
Poltekkes Kemenkes Palembang
30
i. Mengubah
atau
Memodifikasi
Lingkungan,
memodifikasi
lingkungan agar dapat meningkatkan mobilitas dan menerapkan asuhan secara mandiri.
2.4 Konsep Asuhan Keperawatan Keluarga 2.4.1
Pengkajian Menurut Mubarak (2012), pengkajian adalah tahapan seorang perawat mengumpulkan informasi secara terus-menerus terhadap anggota keluarga yang dibinanya. Secara garis besar data dasar yang dipergunakan mengkaji status keluarga adalah: 1. Struktur dan karakteristik keluarga 2. Sosial, ekonomi, dan budaya 3. Faktor lingkungan 4. Riwayat kesehatan dan medis dari setiap anggota keluarga 5. Psikososial keluarga Pengkajian
data
pada
asuhan
keperawatan
keluarga
berdasarkan format pengkajian keluarga meliputi : 1. Data Umum a. Nama kepala keluarga, usia, pendidikan, pekerjaan, dan alamat kepala keluarga, komposisi anggota keluarga yang terdiri atas nama atau inisial, jenis kelamin, tanggal lahir, atau umur, hubungan dengan kepala keluarga, status imunisasi
dari masing-masing
anggota keluarga, dan
genogram (genogram keluarga dalam tiga generasi). Bagan 2.2 Contoh genogram
Poltekkes Kemenkes Palembang
31
Keterangan : Tipe Keluarga: Keluarga Inti : Laki-laki
: Perempuan
: Meninggal, Laki-laki
: Tinggal serumah
: Meninggal, Perempuan
: Klien
: Hubungan suami istri
b. Tipe keluarga, menjelaskan jenis tipe keluarga beserta kendala atau masalah yang terjadi dengan jenis tipe keluarga tersebut. c. Suku bangsa atau latar belakang budaya (etnik), mengkaji asal suku bangsa keluarga tersebut, serta mengidentifikasi budaya suku bangsa terkait dengan kesehatan. d. Agama, mengkaji agama yang dianut oleh keluarga serta kepercayaan yang dapat mempengaruhi kesehatan. e. Status sosial ekonomi keluarga, ditentukan oleh pendapatan, baik dari kepala keluarga maupun anggota keluarga lainnya. Selain itu, status sosial ekonomi keluarga ditentukan pula oleh kebutuhan-kebutuhan yang dikeluarkan oleh keluarga serta barang-barang yang dimiliki oleh keluarga. f. Aktivitas rekreasi keluarga dan waktu luang, rekreasi keluarga tidak hanya dilihat kapan keluarga pergi bersamasama untuk mengunjungi tempat rekreasi, namun dengan menonton TV dan mendengarkan radio juga merupakan aktivitas rekreasi, selain itu perlu dikaji pula penggunaan waktu luang atau senggang keluarga. (Mubarak, 2012)
2. Riwayat dan Tahap Perkembangan Keluarga a. Tahap Perkembangan Keluarga Saat Ini Data ini ditentukan oleh anak tertua dalam keluarga. b. Tahap Perkembangan Keluarga yang Belum Terpenuhi
Poltekkes Kemenkes Palembang
32
Data
ini
menjelaskan
mengenai
tugas
dalam
tahap
perkembangan keluarga saat ini yang belum terpenuhi dan alasan mengapa hal tersebut belum terpenuhi. c. Riwayat Keluarga Inti Data ini menjelaskan mengenai penyakit keturunan, riwayat kesehatan masing-masing anggota keluarga, status imunisasi, sumber kesehatan yang biasa digunakan serta pengalaman menggunakan pelayanan kesehatan. d. Riwayat Keluarga Sebelumnya Data ini menjelaska riwayat kesehatan dari pihak suami dan istri.
3. Pengkajian Lingkungan a. Karakteristik Rumah Data ini menjelaskan mengenai luas rumah, tipe, jumlah ruangan, jumlah jendela, pemanfaatan ruangan, penempatan perabot rumah tangga, jenis WC, serta jarak WC ke sumber air. Data karakteristik rumah disertai juga dalam bentuk denah. b. Karakteristik Tetangga dan Komunitas Setempat Data ini menjelaskan mengenai lingkungan fisik setempat, kebiasaan dan budaya yang mempengaruhi kesehatan. c. Mobilitas Geografis Keluarga Data ini menjelaskan mengenai kebiasaan keluarga berpindah tempat. d. Perkumpulan Keluarga dan Interaksi dengan Masyarakat Data
ini
menjelaskan
mengenai
kebiasaan
keluarga
berkumpul, sejauh mana keterlibatan keluarga dalam pertemuan dengan masyarakat. (Widyanto, 2014)
Poltekkes Kemenkes Palembang
33
4. Struktur Keluarga a. Sitem Pendukung Keluarga Data ini menjelaskan mengenai jumlah anggota keluarga yang sehat, fasilitas keluarga, dukungan keluarga dan masyarakat sekitar terkait dengan kesehatan dan lain sebagainya. b. Pola Komunikasi Keluarga Data ini menjelaskan mengenai cara komunikasi dengan keluarga serta frekuensinya. c. Struktur Peran Data ini menjelaskan mengenai peran anggota keluarga dan masyarakat yang terbagi menjadi peran formal dan informal. d. Nilai/Norma Keluarga Data ini menjelaskan mengenai nilai atau norma yang dianut keluarga terkait dengan kesehatan.
5. Fungsi Keluarga a. Fungsi Afektif Hal yang perlu dikaji yaitu gambaran diri anggota keluarga, perasaan memiliki dan dimiliki dalam keluarga, dukungan keluarga terhadap anggota keluarga dan bagaimana keluarga mengembangkan sikap saling menghargai b. Fungsi Sosialisasi Dikaji bagaimana interaksi atau hubungan dalam keluarga, sejauh mana anggota keluarga belajar disiplin, norma, budaya, serta perilaku. c. Fungsi Perawatan Kesehatan 1) Untuk mengetahui kemampuan keluarga mengenal masalah kesehatan, sejauh mana keluarga mengetahui fakta-fakta dari masalah kesehatan
yang meliputi
pengertian, faktor penyebab, tanda dan gejala serta yang mempengaruhi keluarga terhadap masalah.
Poltekkes Kemenkes Palembang
34
2) Untuk
mengetahui
kemampuan
keluarga
dalam
mengambil keputusan mengenai tindakan kesehatan yang tepat. Kemampuan keluarga yang tepat akan mendukung proses perawatan. 3) Untuk mengetahui sejauh mana keluarga merawat anggota keluarga yang sakit. Yang perlu dikaji sejauh mana keluarga mengetahui keadaaan penyakit anggota keluarganya dan cara merawat anggota keluarga yang sakit. 4) Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan keluarga memelihara lingkungan rumah yang sehat. Yang perlu dikaji bagaimana keluarga mengetahui manfaat atau keuntungan
pemeliharaan
lingkungan.
Kemampuan
keluarga untuk memodifikasi lingkungan akan dapat mencegah resiko cedera. 5) Untuk mengetahui sejauh mana kemampuan keluarga menggunakan fasilitas kesehatan yang mana akan mendukung terhadap kesehatan dan proses perawatan.
6. Fungsi reproduksi Mengkaji berapa jumlah anak, merencanakan jumlah anggota keluarga, serta metode apa yang digunakan keluarga dalam mengendalikan jumlah anggota keluarga.
7. Fungsi ekonomi Mengkaji sejauh mana keluarga memenuhi kebutuhan sandang, pangan, dan papan. Bagaimana keluarga memanfaatkan sumber yang ada di masyarakat guna meningkatkan status kesehatan.
Poltekkes Kemenkes Palembang
35
8. Stres dan koping keluarga a. Stresor jangka pendek, yaitu stresor yang dialami keluarga yang memerlukan penyelesaian dalam waktu 6 bulan b. Stresor jangka panjang, yaitu stresor yang saat ini dialami yang memerlukan penyelesaian lebih dari 6 bulan c. Kemampuan keluarga berespon terhadap situasi atau stressor d. Strategi koping yang digunakan, strategi koping apa yang digunakan keluarga bila menghadapi permasalahan e. Strategi fungsional, menjelaskan adaptasi disfungsional yang digunakan keluarga bila menghadapi permasalahan.
9. Pemeriksaan fisik Pemeriksaan fisik dilakukan pada semua anggota keluarga. metode yang digunakan pada pemeriksaan ini tidak berbeda dengan pemeriksaan fisik di klinik. Pada pemeriksaan fisik kita juga bisa menanyakan mengenai status kesehatan dari klien. Pada klien dengan Artritis Reumatoid, kita dapat mengkaji mengenai nyeri yang dialami klien, yaitu : a. Status kesehatan umum selama setahun yang lalu b. Status kesehatan umum selama 5 tahun yang lalu c. Keluhan utama : Jika nyeri, tanyakan mengenai PQRST, 1) Provokative/pemicu nyeri 2) Quality/kualitas nyeri 3) Region/daerah nyeri 4) Severity Scale/skala nyeri (0-10) 5) Timing/waktu terjadi nyeri (pagi, siang, malam hari)
10. Harapan keluarga Pada akhir pengkajian, perawat menanyakan harapan keluarga terhadap petugas kesehehatan yang ada. ( Padila, 2012)
Poltekkes Kemenkes Palembang
36
2.4.2
Perumusan Diagnosis Keperawatan Keluarga Diagnosis keperawatan adalah keputusan klinis mengenai individu, keluarga, atau masyarakat yang diperoleh melalui suatu proses pengumpulan data dan analisis data secara cermat, memberikan dasar untuk menetapkan tindakan-tindakan dimana perawat bertanggung jawab untuk melaksanakannya. Diagnosis keperawatan keluarga dianalisis dari hasil pengkajian terhadap masalah dalam tahap perkembangan keluarga, lingkungan keluarga, struktur keluarga, fungsi-fungsi keluarga, koping keluarga, baik yang bersifat aktual, resiko, maupun sejahtera dimana perawat memiliki kewenangan dan tanggung jawab untuk melakukan tindakan keperawatan
bersama-sama
dengan
keluarga,
berdasarkan
kemampuan, dan sumber daya keluarga (Mubarak, 2012). Mubarak (2012) merumuskan diagnosis keperawatan keluarga berdasarkan data yang didapatkan pada pengkajian. Komponen diagnosis keperawatan meliputi problem atau masalah, etiology atau penyebab, dan sign atau tanda yang selanjutnya dikenal dengan PES. 1. Problem atau masalah (P) Masalah
yang
mungkin
muncul
pada
penderita
artritis
rheumatoid. 2.Etiology atau penyebab (E) Penyebab dari diagnosa keperawatan pada asuhan keperawatan keluarga berfokus pada 5 tugas kesehatan keluarga yang meliputi: a. Mengenal masalah kesehatan. b. Mengambil keputusan yang tepat. c. Merawat anggota keluarga yang sakit. d. Memodifikasi lingkungan. e. Memanfaatkan fasilitas pelayanan kesehatan. 3. Sign atau tanda (S) Tanda atau gejala yang didapatkan dari hasil pengkajian.
Poltekkes Kemenkes Palembang
37
Menentukan prioritas masalah Menurut Mubarak (2012), tipologi dari diagnosis keperawatan yaitu: 1. Diagnosis aktual (terjadi defisit atau gangguan kesehatan) Dari hasil pengkajian didapatkan data mengenai tanda dan gejala dari gangguan kesehatan, dimana masalah kesehatan yang dialami oleh keluarga memerlukan bantuan untuk segera ditangani dengan cepat. 2. Diagnosis resiko tinggi (ancaman kesehatan) Sudah ada data yang menunjang namun belum terjadi gangguan, tetapi tanda tersebut dapat menjadi masalah aktual apabila tidak segera mendapatkan bantuan pemecahan dari tim kesehatan atau keperawatan. 3. Diagnosis potensial (keadaan sejahtera atau wellness) Suatu keadaan jika keluarga dalam keadaan sejahtera, kesehatan keluarga dapat ditingkatkan.
Setelah data dianalisis, kemungkinan perawat menemukan lebih dari satu masalah. Mengingat keterbatasan kondisi dan sumber daya yang dimiliki oleh keluarga maupun perawat, maka masalah-masalah tersebut tidak dapat ditangani sekaligus. Oleh karena itu, perawat bersama keluarga dapat menyusun dan menentukan prioritas masalah kesehatan keluarga dengan menggunakan skala perhitungan yang dapat dilihat pada tabel 2.1.
Poltekkes Kemenkes Palembang
38
Tabel 2.1 Skoring Masalah Keperawatan
No. 1.
2.
Kriteria
Skor
Sifat Masalah
Bobot 1
a. Tidak/kurang sehat
3
b. Ancaman kesehatan
2
c. Krisis atau keadaan sejahtera
1
Kemungkinan Masalah dapat
2
Diubah
3.
a. Dengan mudah
2
b. Hanya sebagian
1
c. Tidak dapat
0
Potensial
Masalah
untuk
1
Dicegah
4.
a. Tinggi
3
b. Cukup
2
c. Rendah
1
Menonjolnya Masalah
1
a. Masalah berat, harus segera
2
ditangani b. Ada masalah, tetapi tidak
1
perlu segera ditangani c. Masalah tidak dirasakan
0
Sumber : (Baylon dan Maglaya dalam Padila, 2012 dan Widyanto, 2014)
Proses skoring dilakukan untuk setiap diagnosis keperawatan dengan cara berikut ini: 1. Tentukan skor untuk setiap kriteria yang telah dibuat. 2. Selanjutnya skor dibagi dengan angka tertinggi yang dikalikan dengan bobot. Skor
x
bobot
Angka tertinggi
Poltekkes Kemenkes Palembang
39
3. Jumlahkanlah skor untuk semua kriteria, skor tertinggi adalah 5, sama dengan seluruh bobot.
Diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada keluarga dengan artritis reumatoid yaitu: 1. Nyeri akut/kronis berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang sakit 2. Gangguan mobilitas fisik akibat penurunan kekuatan otot pada penderita artritis reumatoid berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang sakit 3. Resiko cedera akibat penurunan fungsi motorik pada penderita artritis reumatoid berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang sakit 4. Kurangnya pengetahuan keluarga tentang penyakit artritis reumatoid berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga mengenal masalah kesehatan 5. Gangguan citra tubuh/ perubahan penampilan peran berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga mengenal masalah kesehatan 6. Defisit perawatan diri berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga dalam merawat anggota keluarga yang sakit 7. Ansietas berhubungan dengan ketidakmampuan keluarga mengenal masalah kesehatan Sumber : (Doengoes, 2000 dalam Lukman, 2009)
2.4.3
Perencanaan Rencana keperawatan keluarga adalah kumpulan rencana tindakan yang dibuat oleh perawat yang nantinya diimplementasikan dalam tindakan yang nyata dengan mengerahkan segala kemampuan yang dimiliki untuk perbaikan kesehatan keluarga yang lebih baik dari sebelumnya. Perencanaan keperawatan keluarga terdiri dari tujuan (umum dan khusus), rencana intervensi, serta rencana evaluasi yang memuat
Poltekkes Kemenkes Palembang
40
criteria dan standar. Perumusan tujuan dilakukan secara spesifik, dapat diukur (measurable), dapat dicapai (achivable), rasional dan menunjukkan waktu (SMART). Rencana intervensi ini ditetapkan untuk mencapai tujuan (Padila, 2012). Berikut ini klasifikasi intervensi keperawatan menurut Feeman (1970) dalam Friedman (1998), yaitu : 1. Intervensi
Suplemental,
perawat
memberikan
perawatan
langsung kepada keluarga karena tidak dapat dilakukan keluarga 2. Intervensi Facilitate, perawat membantu mengatasi hambatan yang dimiliki keluarga dengan berusaha memfasilitasi pelayanan yang diperlukan, seperti pelayanan medis, kesejahteraan sosial, transportasi dan pelayanan kesehatan di rumah 3. Intervensi Developmental, perawat melakukan tindakan dengan tujuan meningkatkan dan memperbaiki kapasitas keluarga dalam perawatan diri dan tanggung jawab pribadi. Perawat juga membantu keluarga memanfaatkan fasilitas kesehatan yang berasal dari sumber diri sendiri , termasuk dukungan sosial internal maupun eksternal ( Padila, 2012).
2.4.4
Implementasi Keperawatan Keluarga Implementasi atau pelaksanaan keperawatan adalah proses dimana perawat mendapatkan kesempatan untuk menerapkan rencana tindakan yag telah disusun dan membangkitkan minat dan kemandirian keluarga dalam mengadakan perbaikan ke arah perilaku hidup sehat. Namun sebelum melakukan implementasi,
perawat
terlebih dahulu membuat kontrak agar keluarga lebih siap baik fisik maupun psikologis dalam menerima asuhan keperawatan yang diberikan. Tindakan keperawatan keluarga mencakup hal-hal di bawah ini yaitu : 1. Merangsang kesadaran atau penerimaan keluarga mengenai masalah kesehatan dan kebutuhan kesehatan dengan cara memberi informasi, mengkaji kebutuhan dan harapan tentang
Poltekkes Kemenkes Palembang
41
kesehatan serta memberi motivasi atau dorongan sikap emosi yang sehat terhadap masalah. 2. Membantu keluarga untuk memutuskan cara perawatan yang tepat, dengan cara memberitahu konsekuensi jika tidak melakukan, mengidentifikasi sumber-sumber yang dimiliki keluarga,
dan
membicarakan
dengan
keluarga
tentang
konsekuensi tiap tindakan. 3. Memberikan kepercayaan diri dalam merawat anggota keluarga yang sakit, dengan cara mendemonstrasikan cara perawatan, memanfaatkan alat dan fasilitas yang ada di rumah, dan mengawasi keluarga dalam melakukan tindakan. 4. Membantu keluarga untuk memodifikasi lingkungan menjadi sehat, dengan cara menggali sumber-sumber yang ada pada keluarga dan memodifikasi lingkungan semaksimal mungkin 5. Memberi motivasi keluarga untuk memanfaatkan fasilitas kesehatan tyang ada, dengan cara mengenalkan fasilitas kesehatan yang ada di lingkungan keluarga, serta membantu keluarga menggunakan fasilitas kesehatan yang ada. (Widyanto, 2014) Namun, tidak semua pelaksanaan tindakan ini berjalan dengan baik, ada faktor-faktor penyulit dari keluarga yang dapat menghambat minat keluarga dalam berkerja sama melakukan tindakan kesehatan ini, yaitu : 1. Kurang jelasnya informasi yang didapat keluarga, sehingga membuat keluarga keliru 2. Kurang lengkapnya informasi yang didapat keluarga sehingga keluarga melihat masalah sebagian 3. Keliru, keluarga tidak dapat mengkaitka informasi yang di dapat dengan kondisi yang dihadapi 4. Keluarga tidak mau menghadapi situasi 5. Anggota keluarga tidak mampu melawan tekanan dari keluarga atau lingkungan sekitar
Poltekkes Kemenkes Palembang
42
6. Keluarga ingin mempertahankan suatu pola tingkah laku 7. Gagalnya keluarga dalam mengaitkan tindakan dengan sasaran atau tujuan upaya keperawatan 8. Keluarga kurang percaya dengan tindakan yang diajukan perawat Selain itu, ada juga kesulitan yang dihadapi petugas dalam tahap pelaksanaan ini, seperti : 1. Perawat kaku dan kurang flekesibel dan cenderung menggunakan 1 pola pendekatan 2. Kurangnya pemberian penghargaan dan perhatian terhadap faktor-faktor sosial budaya dari petugas 3. Perawat
kurang
mampu
dalam
mengambil
tindakan/menggunakan berbagai macam teknik dalam mengatasi masalah yang rumit. (Mubarak, 2012)
2.4.5
Evaluasi Menurut Mubarak (2012), evaluasi proses keperawatan ada dua yaitu evaluasi kuantitatif dan evaluasi kualitatif. 1. Evaluasi Kuantitatif Evaluasi kuantitatif dilaksanakan dalam kuantitas, jumlah pelayanan, atau kegiatan yang telah dikerjakan. 2. Evaluasi Kualitatif Evaluasi kualitatif merupakan evaluasi mutu yang dapat difokuskan pada salah satu dari tiga dimensi yang saling terkait.
Tahapan evaluasi dapat dilakukan pula secara formatif dan sumatif. Evaluasi formatif adalah evaluasi yang dilakukan selama proses asuhan keperawatan sedangkan evaluasi sumatif adalah evaluasi yang dilakukan pada akhir asuhan keperawatan (Mubarak, 2012). Evaluasi dilaksanakan dengan pendekatan SOAP (Subyektif, Obyektif, Analisa, dan Planning)
Poltekkes Kemenkes Palembang
43
S : adalah hal-hal yang dikemukakan oleh keluarga secara subjektif setelah dilakukan intervensi keperawatan. O : adalah hal-hal yang ditemui oleh perawat secara objektif setelah dilakukan intervensi keperawatan. A:
adalah analisa dari hasil yang telah dicapai dengan mengacu pada tujuan yang terkait dengan diagnosis.
P :
adalah perencanaan yang akan datang setelah melihat respon dari keluarga pada tahapan evaluasi.
Poltekkes Kemenkes Palembang