Antihistamine Histamine merupakan amino dengan berat molekul rendah yang berasal dari L-histidine yang dihasilkan di seluruh tubuh. Dengan empat jenis reseptor yang diketahui, histamine mempengaruhi pertumbuhan dan proliferasi sel, memodulasi
inflamasi,
dan
bertindak
sebagai
neurotransmitter.
Reseptor
histamine H1 dan H2 banyak diekspresikan. Reseptor H1 ditemukan di neuron, otot polos, epitel dan endotel dan beberapa jenis sel lainnya. Reseptor H2 terletak di sel parietal mukosa lambung, otot polos, epitel dan endotel, jantung, dan jenis jenis lainnya juga. Reseptor H3 dan H4 diekspresikan dengan terbatas. Reseptor H3 ditemukan terutama di neuron histaminergik, sedangkan reseptor H4 sangat diekspresikan di sumsum tulang dan di sel hematopoietic perifer. ANTIHISTAMINE H1 Mekanisme kerja
Histamine H1 adalah agonis terbalik yang mengikat secara ireversibel dan menstabilisasi bentuk inaktif reseptor H1, sehingga mendukung keadaan tidak aktif (Tabel 230-1). Struktur kekuatan antihistamine H1 digambarkan pada Gambar 230-1. Dengan cara reseptor H1, antihistamine menurunkan produksi sitokin proinflamasi, ekspresi molekul adhesi sel, dan kemotaksis eosinofil dan sel-sel lainnya (Gambar 230-2). Antihistamine H1 juga dapat menurunkan pelepasan mediator dari sel mast dan basofil melalui penghambatan saluran ion kalsium. Selain bekerja sebagai antihistamin, antihistamine H1 generasi pertama dapat juga bekerja di reseptor muskarinik, α-adrenergic, α-adrenergic, dan serotonin dan saluran
1
ion jantung. Beberapa efek samping yang lebih serius yang terkait dengan antihistamine H1 generasi pertama, seperti retensi urine, hipotensi, aritmia jantung, dimediasi melalui reseptor lainnya. Antihistamine generasi pertama dibagi menjadi enam kelompok berdasarkan struktur kimia:: ethylenediamine, ethanolamine, alkylamine, phenothiazine, piperazine, dan piperidine (lihat Gambar 230-1). Adanya beberapa cincin aromatic atau heterosiklik dan alkyl substituent meningkatkan lipoilisitas senyawa ini, yang memungkinkan penetrasi sawar darah otak.
ANTIHISTAMINE
Antihistamin merupakan terapi lini pertama untuk urtikaria idiopatik dan fisik yang kronik Antihistamine H1 dapat berguna dalam mengobati kondisi lain dengan gatal akibat histamine Bukti yang terbatas mendukung penggunaan antihistamine H1 dalam pengobatan dermatitis atopik Populasi pasien khusus tertentu, termasuk anak-anak, lanjut usia, dan pasien dengan perburukan ginjal atau hati mungkin memerlukan penyesuaian dosis bila menggunakan antihistamine H1 Penggunaan antihistamine H1 merupakan kontraindikasi pada pasien yang mengalami glaucoma sudut sempit atau yang mengonsumsi monoamine oxidase inhibitor Antihistamine H2 dapat berguna bersama dengan terapi antihistamine H1 pada kasus urtikaria/angioedema idiopatik kronik dan pruritus yang refrakter 2
Banyak antihistamine H1 generasi kedua atau sedasi rendah secara kimia berasal dari generasi pertama. Misanya, cetirizine merupakan metabolite dari hydroxyzine. Antihistamine H1 generasi kedua mengikat secara tidak kompetititf reseptor H1. Antihistamin ini tidak mudah digantikan dengan histamine, memisahkan dengan lambat, dan memiliki durasi kerja yang lebih lama dibandingkan dengan antihistamine H1 generasi pertama. Karena selektivitas obat generasi kedua untuk reseptor H1 dan mengurangi lipofilisitas, obat ini jauh lebih tidak menyebabkan sedasi dan memiliki profil keamanan yang berbeda dibanding obat generasi pertama. TABEL 230-1 Farmakologi Dasar Antihistamines
Antihistamine H1 dan H2 adalah agonis yang mengikat dan menstabilisasi secara reversible bentuk inaktif dari reseptor histamine, sehingga mendukung keadaan inaktif Antihistamine H1 generasi pertama ralatif lipofilik, yang meningkatkan penetrasi sawar darah otak dan menyebabkan sedasi Antihistamine H1 generasi kedua, non sedasi mengikat secara selektif reseptor H1 perifer dan memeiliki sedikit efek SSP Antihistamine H1 dapat berinteraksi dengan obat lain yang dimetabolisme oleh sistem sitokrom P450 hepatik Uji klinis terkontrol placebo, double blind tidak menunjukkan bukti terjadinya toleransi atau takipilaksis pada penekanan reaktivitas skin test dengan antihistamine H1 Penekanan reaktivitas skin test dapat terlihat sampai 7 hari setelah menghentikan penggunaan rutin antihistamine H1 sedasi
Beberapa antihistamine tipe1 sedasi rendah mempengaruhi pertukaran sel di kulit dan jaringan lain, mungkin dengan memodulasi pelepasan mediator inflamasi dan ekpresi molekul adhesi. Dalam tantangan ruang kulit, pemberian cetirizien mengurangi influs eosinofil setelah pemberian allergen. Hal ini
3
tampaknya mempengaruhi spesifik terhadap respon alergik kulit, karena penelitian yang sama yang melibatkan tantangan nasal tidak menunjukkan penurunan akumulasi esosinofil di sekresi nasal. In vitro, cetirizine menghambat eosinofil, monosit, dan kemotaksis limfosit T in vitro terhadap N-formly-methionyl-leucyl phenylalanine dan platelet activating factor. Antihistamine H1 juga dapat memodulasi ekpresi molekul adhesi sel seperti molekul 1 adhesi intersel yang diinduksi
antigen
pada
keratinosit,
sel
Langerhans,
dan
endotel,
dan
mempengaruhi pelepasan mediator inflamasi dari leukosit. Desloratadine dan emesdatine ditemukan menghambat kemotaksis eosinoil yang diinduksi platelet activating factor, adhesi eosinofil yang diinduksi tumor necrosis factor α, dan menghasilkan peroxide yang diinduksi spontan dan diinduksi phorbol myristate. Farmakokinetik ANTIHISTAMINE H1 SEDASI, GENERASI PERTAMA
Setelah pemberian oral, efek sedasi antihistamine H1 dapat terlihat dalam 30 menit sampai 1 jam dan umumnya tetap ada selama 4 sampai 6 jam, meskipun efek beberapa obat dapat berlangsung selama 24 jam dan lebih lama. Misalnya, setelah pemberian oral dosis tunggal, waktu paruh serum brompheniramine, chlorpheniramine dan hydroxyzine melebihi 20 jam pada orang dewasa. Antihistamine H1 dimetabolisasi oleh hepatic cytochrome P450 (CYP) enzyme 3A4, membentuk glucoronide sebelum diekskresikan di urine. Potensi dan konsentrasi relatif di kulit dari antihistamine H1 dapat dibandingkan dengan penghambatan respon papul dan eritem kulit terhadap histamine yang diinjeksikan secara kutan. Pada penelitian double blind, terkontrol
4
placebo, tidak ada bukti toleransi atau takifilaksis ditunjukkan pada penekanan reaktivitas tes kulit dapat terlihat sampai 7 hari setelah menghentikan antihistamine H1 sedasi yang biasa digunakan secara rutin. Antihistamine jenis H1 sedasi oral biasanya diberikan dalam dosis terbagi dengan interval 4 sampai 8 jam (lihat Regimen Dosis), meskipun dosis sekali sehari mungkin cukup untuk obat dengan waktu paruh serum yang lebih lama. Formulasi topical untuk penggunaan dermatologi tersedia, meskipun preparat ini cenderung kurang efektif dan dikaitkan dengan terjadinya reaksi kontak lambat. ANTIHISTAMINE H1 GENERASI KEDUA, SEDASI RENDAH
Sebagian besar antihistamine H1 generasi kedua atau sedasi rendah diberikan sekali atau dua kali sehari dan mencapai konsentrasi plasma puncak dalam dua waktu paruh, meskipun interval ini dapat bervariasi pada berbagai obat dan individu. Obat ini umumnya mencapai konsentrasi yang lebih tinggi di kulit daripada generasi pertama, dan dosis tunggal dapat menekan reaksi papul dan eritem dari 1 sampai 24 jam. Penggunaan teratur memperpanjang efek ini, misalnya, 6 hari penggunaan cetirizin setiap hari menghasilkan 7 hari penekanan respon papul dan eritem.
5
Antihistamine H1
?
Menghambat pelepasan mediator
Melalui reseptor H1
yang dibentuk sebelumnya
↓histamine
roinflamasi
↓ prostaglandin D2 ↓ platelet activating factor
↓ekspresi molekul adhesi sel
↓pelepasan produk
↓pelepasan superoxide radical
↓thromboxane
↓ produk ranula
↓ peleasan sitokin
↓ICAM 1 ↓VCAM 1
↓tryptase ↓kinin ↓sitokin
↓metabolit asam arakhidonat
↓ protein kation eosinofil ↓neutrophil elastase
↓TNFα ↓GMCSF ↓IL-1-β ↓IL-6 ↓IL-8
↓kemotaksis eosinofil dan infiltrate
↓inflamasi
Terfenadine, astemizole, loratadine, acrivastine, mizolastine, ebastine, dan oxatomide dimetabolisme di hati melalui enzim hepatic CYP 3A4. Cetirizine, fexofenadine, levocabastine, dan desloratadine mengalami metabolism hepatic minimal, yang mengurangi kemungkinan interaksi obat-obat ini. Pada orang dewasa sehat, cetirizine mencapai konsentrasi puncak sekitar 1 jam setelah pemberian, dengan eliminasi waktu paruh sekitar 8 jam. Dosis yang lebih rendah digunakan pada pasien dengan perburukan ginjal atau fungsi hati.
6
Fexafenadine umumnya mencapai konsentrasi puncak pada 2 sampai 3 jam, dengan eliminasi waktu paruh 14 jam. Penyesuaian dosis direkomendasikan untuk pasien dengan penurunan creatinine clearance, yang meliputi, usia tua; namun, pasien dengan penyakit hepar/hati tidak memerlukan penyesuaian dosis karena fexofenadine mengalami hampir tidak mengalami metabolism hati. Waktu paruh loratitadine berkisar antara 8 sampai 24 jam, tergantung pada fungsi hati. Ebastine yang dimetabolis untuk membentuk metabolite asam karboksilat, carebastine, memiliki waktu paruh 15 jam. Dosis harus disesuaikan pada pasien dengan perburukan fungsi ginjal. Farmakogenetik juga dapat mempengaruhi metabolism dan clearance obat. Pada serangkaian penelitian farmakokinetik, sekitar 7 persen dari semua subyek dan 20 persen dari orang Amerika Afrika adalah metabolizer desloratadine yang lambat. Perbedaan yang sebanding dapat ada untuk antihistamine H1 lainnya. Indikasi
Antihistamine H1 digunakan untuk mengobati berbagai etiologi, urtikaria, dan angioedema (Tabel 230-2). Dalam keadaan tertentu, antihistamine H1 tampak efektif dalam mengobati urtikaria fisik dan dermatografisme, selain urtikaria idiopatik kronik. Antihistamine H1 tidak efektif dalam mengobati sindrom angioedema herediter dan yang didapat dan vaskulitis urtikaria. Ada beberapa penelitian blinded, terkontrol mengenai obat tipe H1 generasi pertama. Kecenderungan umum untuk kebanyakan urtikaria kronik membaik seiring waktu dan kesulitan dalam membuat penilaian kuantitatif mengenai penelitian klinis komplikasi lebih lanjut. Penelitian komparatif kelompok antihistamine H1 menunjukkan mereka memiliki efikasi yang sama. Jika obat dari salah satu
7
kelompok terapi antihistamine H1 terbukti tidak efektif, kemudian uji klinis dengan agen dari kelompok lain mungkin dimulai. Pada beberapa penelitian pararel, terkontrol placebo, double blind, anthihistamine tipe H1 sedasi rendah, terfenadine,
astemizole,
cetirizine,
loratadine,
fexifenadine,
desloratadine,
acrivastine, mizolastine, azelastine, abastine, dan oxatomide lebih baik dari pada placebo
dalam
mengobati
urtikaria
dan
angioedema.
Uji
klinis
yang
membandingkan berbagai antihistamine generasi kedua tidak menunjukkan adanya obat yang lebih baik secara konsisten. TABEL 230-2 Indikasi pengobatan dengan antihistamine H1
Urtikaria akut
Urtikaria idiopatik kronik
Urtikaria fisik dan dermatografisme
Dermatitit atopic (tanpa bukti)
mastositosis sistemik
gatal yang dikaitkan dengan kondisi lain
Antihistamine H1, sedasi, dan sedasi rendah digunakan untuk mengobati pruritus/gatal pada pasien dengan dermatitis atopic, meskipun efikasi tidak terbukti dengan uji klinis yang kuat. Pada penelitian pengobatan awal atopik anak 18 bulan, cetirizine diberikan manfaat parsial steroid untuk anak dengan dermatitis atopic yang berat, tetapi tidak ada manfaat yang konsisten terlihat pada anak-anak dengan penyakit yang lebih berat. Meta analisis dari 16 penelitian yang dilakukan dari 1966 sampai 1999 tidak mengindikasikan peran utama antihist amin
8
generasi pertama atau kedua dalam pengobatan dermatitis atopic, meskipun tidak ada penelitian terkontrol placebo, acak, double blind dilakukan dalam analisis ini. Antihistamine umumnya digunakan untuk mengobati mastositosis kulit dan sistemik, meskipun uji pengobatan komparatif yang besar tidak tersedia. Hanya penelitian terkontrol placebo, double blind awal menunjukkan efikasi antihistamin H1 dan H2 dalam pengobatan mastositosis sistemik. Pada uji coba kecil terakhir, azelastine sebanding dengan chlorpheniramine dalam menekan pruritus pada pasien dengan mastositosis. Pruritus dikaitkan dengan kondisi lain, seperti dermatitis kontak alergi dan bentuk dermatitis eczematous lainnya, liken planus, mastositosis sistemik, gigitan nyamuk, infestasi dan pruritus sekunder terhadap kelainan medis yang mendasari atau pruritus idiopatik, juga dapat berkurang dengan antihistamin H1, meskipun uji klinis terkontrol tidak ada. Pada kondisi ini, efek sedasi dari obat generasi pertama mungkin menguntungkan, memungkinkan untuk tidur. Antihistamin H1 juga digunakan sebagai pengobatan awal sebelum prosedur tertentu untuk pasien dengan riwayat reaksi media radiokontras dan reaksi transfusi.
9
Regimen dosis
Regimen dosis untuk antihistamin H1 ditunjukkan pada Tabel 230-3. Tabel 230-3 Regimen dosis antihistamine H1 obat formulasi
Dosis
Kondisi yang memerlukan penyesuaian dosis
Dewasa: 4 mg 3x, 4x, 8-12 mg 2x sehari Usia 6-11 tahun: 2 mg setiap 4-6 jam
Perburukan hati
Antihistamine H1 generasi pertama Chlorpheniramine
2, 4, 8, 12 mg tablet 2 mg/5mL sirup
Cyprohydramine
4 mg tablet 2 mg/5 mL sirup
diphenhydramine
hydroxyzine
tripelennamine Antihistamine H1 generasi kedua acrivastine Azelastine
Dewaa; 4 mg 3x, 4x sehari Usia 7-14 tahun: 4 mg 2x, 3x sehari Usia 2-6 tahun, 2 mg 2x, 3x sehari 25, 50 mg tablet Dewasa: 25-50 mg 12,5/5 ML sirup setiap 4-6 jam 50 mg/15 mL sirup Usia 6-12 tahun: 6,25 mg/5 mL sirup 12,5-25 mg setiap 12,5 mg/mL sirup 4-6 jam Usia < 6 tahun: 6,26-12,5 mg 4-6 jam 10, 25, 50, 100 mg Usia > 6 tahun: 25tablet 50 mg 6-8 jam 10 mg/ 5 ml sirup Usia< 6 tahun: 2550 mg 25, 50, 100 mg Dewasa: 25-50 mg tablet 4-6 jam
Perburukan hati
8 mg tablet
Perburukan ginjal
2 mg tablet 0,1% nasal spray
Dewasa: 8 mg 3x sehari Dewasa: 2-4 mg 2x sehari Usia 6-12: 1-2 mg 2x sehari 2 spray/nostil 2xsehari
Perburukan hati
Perburukan hati
Perburukan hati
Perburukan ginjal dan hati
10
Cetirizine
5, 10 mg tablet 5 mg/mL sirup
Desloratadine
2,5, 5 mg tablet 5 mg/mL sirup
Ebatine
10 mg tablet
Fexofenadine
30, 60, 120, 180 mg tablet
Levocetirizine
5 mg tablet
Loratadine
10 mg tablet 5 mg/mL suspense
mizolastine
10 mg tablet
Usia ≥ 6 tahun 5-10 mg 1xsehari Usia 2-6 mg; 5 mg 1xsehari Usia ≥12 tahun: 5 mg 1xsehari Usia 6-12 tahun: 2,5 mg Usia 1-6 tahun: 1,25 Usia 6-12 bulan: 1 mg Usia ≥ 6 tahun: 1020 mg 1xsehari Usia 6-12 tahun: 5 mg Usia 2-5 tahun: 2,5 mg Usia ≥ 12 tahun: 60 mh sehari atau 2xsehari: 120-180 mg sehari Usia 6-12 tahun: 30 mg sehari, 2xsehari Usia ≥6 tahun: 5 mg sehari Usia ≥6 tahun: 10 mg sehari Usia 2-9 tahun: 5 mg sehari Dewasa: 10 mg sehari
Perburukan ginjal dan hati
Perburukan ginjal dan hati
Perburukan ginjal
Perburukan ginjal
Perburukan ginjal dan hati Perburukan ginjal dan hati
Perburukan hati
Inisiasi/permulaan terapi
Antihistamin H1 dipertimbangkan sebagai terapi lini pertama dalam pengobatan urtikaria idiopatik dan fisik yang kronik dan dapat berguna dalam mengobati kondisi lain di mana gatal disebabkan karena histamin merupakan ciri utama. Dosis efektif terendah disukai untuk meminimalkan efek samping terkait dosis seperti sedasi. Setelah beberapa hari terapi, dosis dapat ditingkatkan dan dititrasi. Terkadang, peningkatan bertahap dosis memungkinkan terjadinya toleransi
11
terhadap sedasi, yang memungkinkan dosis yang lebih tinggi digunakan untuk mengobati kondisi tertentu, seperti urtikaria kronik yang refrakter. Penyerapan obat dengan makanan dapat meringankan ketidaknyamanan perut, meskipun pasien harus dinasihati untuk menghindari mengonsumsi fexofenadine dengan antacid, yang dapat mengganggu penyerapan obat. Orang dengan kondisi komorbid, seperti penyakit ginjal atau hati, mungkin memerlukan dosis yang lebih rendah karena perburukan metabolisme obat ini. Populasi pasien special tertentu, termasuk anak-anak, orang tua, dan wanita hamil atau wanita menyusui, dapat juga memerlukan penyesuaian dosis (lihat populasi pasien spesial). Beberapa situasi mungkin meminta untuk penilaian terapi antihistamine H1 yang cermat. Pemantauan terapi
Titik akhir terapi dievaluasi dengan pengamatan tanda dan gejala klinis (misalnya, keparahan pruritus, jumlah ukuran, dan frekuensi papul). Karena untuk toksisitas obat, tidak ada pemantauan tertentu selain pemantauan biasanya untuk efek samping diperlukan pada sebagian besar kasus. Individu tertentu, seperti pasien dengan metabolisme yang terganggu atau kondisi komorbid lainnya dan pasien yang mendapatkan pengobatan lain, mungkin memerlukan pemantauan ketat dan konseling
mengenai
penggunaan
antihistamin
H1.
Karena
laporan
hepatotoksisitas, beberapa sumber merekomendasikan evaluasi tranaminase hati secara berkala bila cyproheptadine digunakan.
12
Tabel 230-4 Faktor untuk penilaian resiko-manfaat dari terapi antihistamine H1
Resiko Riwayat aritmia jantung, aritmia ventrikel o tertentu Trimester pertama kehamilan o Hipertropi prostat o Kontraindikasi o Glaucoma sudut sempit o Penggunaan bersama monoamine oxidase inhibitor
Resiko dan pencegahan
Efek samping tercantum dalam Tabel 230-5. Sedasi merupakan masalah yang paling sering dilaporkan, terutama dengan antihistamin H1 generasi pertam a. Efek sedasi lebih menonjol dengan kelompok ethanolamine dan phenothiazine dan kurang jelas dengan kelompok alkylamine. Efek sedasi dapat berkurang setelah beberapa hari meneruskan penggunaan antihistamin tipe H1. J ika toleran terhadap sedasi tidak terjadi, obat dari kelompok lain harus dicoba. Penggunaan antihistamine tipe H1 terkait dengan peningkatan cidera kerja dan kejadian automobile. Efek sistem saraf pusat lainnya meliputi pusing, tinnitus, koordinasi yang terganggu, ketidakmampuan untuk berkonsentrasi, penglihatan kabur dan diplopia. Rangsangan efek SSP yang terjadi terutama dengan kelompok alkylamine, termasuk iritabilitas saraf, insomnia, dan tremor. Keluhan gastrointestinal termasuk anoreksia, nausea, muntah, nyeri epigastrik, diare, dan konstipasi, merupakan efek samping lain yang sering,
13
terutama dengan kelompok ethylenediamine. Pemberiaan obat ini dengan makanan dapat mengurangi manifestasi tersebut. Efek antikolinergik meliputi membrane mukosa kering, retensi urin dan hesistensi, hipotensi postural, pusing, disfungsi ereksi, dan konstipasi. Efek ini sering dikaitkan dengan kelompok ethanolamine, phenothiazine, dan piperazine. Efek
antikolinergik
mempengaruhi
antihistamine
tipe
H1
menghalangi
penggunaannya pada pasien dengan glaucoma sudut tertutup dan memerlukan pemantauan ketat pada pasien dengan hipertropi prostat (lihat Tabel 230-4). Aritmia, perpanjangan interval QT dan torsade de pointes, merupakan toksisitas jantung yang lebih serius. Efek yang tergantung dosis dimediasi melalui penghambatan kanal kalium yang tidak terkait dengan reseptor anthistamin H1. Hipotensi transient dapat terjadi setelah terapi intravena, terutama jika obat diberikan secara cepat. Terjadinya reaksi kulit setelah pemberian antihistamin oral jarang terjadi. Reaksi yang dilaporkan meliputi dermatitis ekzematosa, dermatitis kontak alergi, urtikaria, petekie, fixed drug eruption dan fotosensitivitas. Beberapa ini mungkin sekunder terhadap ketidakpuasan pada obat. Karena selektivitas antihistamin H1 sedasi rendah untuk reseptor H1 perifer, obat ini tidak memiliki efek samping sedative dan antikolinergik yang umum terkait dengan obat generasi pertama. Untuk obat generasi kedua, sedasi lebih sering dilaporkan pada sebagian pasien yang mendapatkan cetirizine dan acrivastine. Meskipun jauh kurang sedative dibandingkan senyawa induk hyroxyzine, cetirizine menyebabkan sedasi sekitar 10 sampai 15 persen pengguna.
14
Efek ini tergantung dosis dan dapat dikurangi dengan penyesuaian dosis. Lima belas persen sampai 35 persen pasien melaporkan somnolen terhadap penggunaan acrivastine.
Berbeda
dengan
fexofenadine,
loratadine
dan
desloratadine
menyebabkan sedasi yang tak berarti. Dua antihistamin H1 generasi kedua awal, terfanadine dan astemizole, dihilangkan dari pasar Amerika Serikat karena resiko perpanjangan interval QT dan torsade de pointes. Obat generasi kedua lainnya memiliki afinitas sekitar 1000 kali lebih rendah untuk kanal ion jantung, dan aritmia ventricular tidak terkait dengan obat generasi kedua akhir. Secara teori masih beresiko, namun, dipertimbangkan sebelum memulai terapi pada pasien dengan kerentanan te rhadap takiaritmia. Tabel 230-5 Efek samping antihistamine H1
Sedasi (terutama obat generasi pertama) Gangguan sistem saraf pusat lainnya Pusing o Tinnitus o Penglihatan kabur o Gelisah atau nervous o Insomnia o Tremor o Masalah pencernaan o Mual dan muntah Diare atau konstipasi o o Anoreksia Efek antikolinergik o Membrane mukosa kering o Retensi urin o Hipotensi postural Aritmia jantung (terutama perpanjangan interval QT, aritmia ventrikel, torsade de pointes) Reaksi hipersensitivitas (jarang)
15
Interaksi obat
Antihistamin H1 dapat berinteraksi dengan obat lain yang dimetabolisme oleh sistem CYP hepatic, seperti antifungi imidazole, cimetidine, dan antibiotic makrolida.
Diphenhydramine,
chlorpheniramine,
clemastine,
promethazine,
hydroxyzine dan tripelennamine menghambat enzim CYP 2D6 hepatik in vitro. In vivo, dipenhydramine tercatat meningkatkan kadar obat lain yang dimetabolisme oleh sistem CYP 2D6, termasuk metaprolol dan venlafaxine. Antihistamine H1 merupakan kontraindikasi untuk pasien yang mendapatkan monoamine oxidase inhibitor. Efek depresif pusat dapat ditekan bila antihistamin tipe H1 dikombinasi dengan alkohol atau depresan SSP lainnya, seperti benzodiazepine. Interaksi ini umumnya tidak terlihat dengan antihistamin H1 generasi kedua. Pada keadaan yang jarang, antihistamin dari kelompok phenothiazine dapat menghambat dan membalik efek vasopresor epinefrin. Jika seseorang yang mendapatkan pehnothiazine memerlukan vasopressor, norepinephrine atau phenylephrine harus digunakan. Populasi pasien khusus ANAK-ANAK. Banyak antihistamin H1 sedasi dan sedasi rendah dapat
digunakan dengan aman pada anak-anak dengan dosis yang tepat. Anak-anak mungkin lebih rentan terhadap efek samping tertentu yang terkait dengan obat generasi pertama, seperti eksitasi dan insomnia. Keracunan akut dapat terjadi tetapi jarang; halusinasi, ataksia, inkoordinasi, athetosis, dan konvulsi merupakan gambaran utama. 16
LANJUT USIA. Kehati-hatian harus digunakan ketika mengobati pasien orang
lanjut usia, dan penurunan creatinine clearance, kondisi komorbid, dan interaksi obat harus diperhitungkan. Individu yang lebih tua mungkin rentan terhadap efek antikolinergik, terutama retensi urin dan hesistensi, konstipasi, dan hipotensi postural. WANITA HAMIL. Ada pedoman yang terbatas untuk penggunaan antihistamin
H1
untuk
mengobati
wanita
hamil.
Sebagian
besar
antihistamin
H1
diklasifikasikan sebagai U.S Food and Drug Adniminstration (FDA) kategori kehamilan B atau kategori C. berdasarkan laporan awal yang menghubungkan antihistamin H1 dengan malformasi janin, terutama defek celah palatum, antihistamin H1 biasanya dihindari pada trimester pertama kehamilan. Namun, penelitian yang lebih baru, yang menyertakan meta analisis 200.000 trimester pertama terpapar antihistamin generasi pertama, tidak menunjukkan peningkatan resiko malformasi kongenital yang terkait dengan penggunaan antihistamin H1. Pada uji klinis prospektif, pemberian astemizole pada wanita hamil tidak dikaitkan dengan retardasi pertumbuhan intrauterine atau komplikasi perinatal. Tingkat malformasi perinatal sama pada kelompok kontrol dan pada populasi umum. WANITA MENYUSUI. Tidak ada penelitian resmi dilakukan mengenai
keamanan antihistamin H1 selama menyusui. Secara teori, obat generasi pertama dapat
mengurangi
suplai
susu
melalui
efek
antikolinergik.
Clemastine,
diphenhydramine, promethazine, tripolidine, cetirizine, loratadine, fexofenadine, dan desloratadine semuanya diketahui dieksresikan pada kelenjar susu payudara; efeknya pada bayi tidak diketahui.
17
ANTIHISTAMINE H2 Mekanisme kerja
Sama dengan pasangannya yang mengikat H1, antihistamin H2 merupakan agonis yang mengikat reseptor H2 yang terletak di seluruh tubuh, termasuk sel epitel dan sel endotel. Yang lebih terbaru, ada bukti bahwa reseptor H2 diekspresikan di sel mast dan sel dendritik kulit juga. Melalui pengikatan reseptor ini, antihistamin H2 dapat memediasi permeabilitas vascular kulit, pelepasan lokal mediator inflamasi dan pengambilan sel, dan presentasi antigen, tetapi jalur ini masih tidak dipahami dengan baik dan signifikansi klinis tidak diketahui. Farmakokinetik
Antihistamin tipe 2 dengan cepat diserap dari saluran pencernaan dengan kadar puncak terjadi antara 1 dan 2 jam setelah pemberian. Antihistamin H3 mengalami metabolisme hepatic yang luas dengan clearance ginjal. Hanya sebagian kecil cimetidine diabsorpsi dari lambung, sebagian penyerapannya terjadi di usus kecil. Waktu paruh cimetidine di plasma adalah 2 jam. Sekitar 69 persen dieksresikan dalam bentuk yang tidak berubah di urine. Waktu paruh plasma ranitidine adalah 2 sampai 3 jam pada orang dewasa sehat, lebih lama pada individu dengan penyakit hati atau ginjal dan pada lanjut usia. Obat dan metabolitnya diekskresikan terutama di urine. Famotidine memiliki waktu paruh plasma 3 sampai 8 jam. Pasien dengan gagal ginjal, waktu paruh famotidine dapat melebihi 20 jam. Nizatidine memiliki waktu paruh plasma 1 sampai 2 jam, dan durasi kerjanya sampai 10 jam. Nizatidine terutama dieliminasi oleh ginjal dalam 16 jam.
18
Bioavabilitas oral nizatidine tidak dipengaruhi makanan. Obat ini relatif lipofilik dengan penetrasi sawar darah otak yang terbatas. Tabel 230-6 Indikasi dermatologi untuk pengobatan dengan antihistamine H2
Reaksi alergi akut
Urtikaria kronik
Urtikaria pigmentosa dan mastositosis sistemik Gatal yang dikaitkan dengan kondisi lain
Indikasi pada dermatologi
Ada beberapa data dari penelitian yang terkontrol yang mendukung penggunaan penghambat H2 untuk mengobati kondisi dermatologi (Tabel 230-6). Obat ini yang paling sering digunakan selain antihistamin H2 pada kasus urtikaria kronik yang refrakter dan angioedema. Pada penelitian crossover double blind, berkurangnya pruritus dan jumlah, ukuran dan keparahan papul terlihat dengan kombinasi hydroxyzine dan cimetidine daripada dengan hydroxyzine saja. Pengamatan yang sama dibuat untuk chlorpheniramine yang dikombinasikan dengan cimetidine. Kombinasi terapi antihistamin H1 dan H2 juga dapat berguna dalam mengurangi pruritus dan papul yang terkait dengan mastositosis sistemik dan urtikaria pigmentosa. Uji klinis double blind crossover mengenai chlorpheniramine dan cimetidine menunjukkan bahwa kombinasi tersebut efektif dalam mengurangi gatal/pruritus dan papul. Terdapat laporan anekdok mengenai penggunaan cimetidine untuk mengobati gatal terhadap berbagai kondisi medis seperti polisetemia vera dan
19
carcinoid flush. Dosis cimetidine yang tinggi berhasil dalam mengobati verruca vulgaris pada beberapa individu. Regimen dosis
Regimen dosis untuk antihistamin H2 diberikan pada Tabel 230-7.
Inisiasi terapi
Untuk mengobati kondisi dermatologi, antihistamin H2 umumnya digunakan bersamaan dengan antihistamin H1, biasanya setelah uji klinis antihistamin H1 yang tidak berhasil. Pada kebanyakan kasus, pengobatan dengan antihistamin H2 mungkin dimulai tanpa skrining laboratorium tertentu. Penghambatan sistem CYP hepatic dan potensial untuk interaksi obat biasanya merupakan permasalah besar, dan daftar pengobatan pasien harus ditinjau dengan cermat sebelum memulai terapi. Ranitidine kurang menghambat sistem CYP daripada cimetidine dan mungkin antihistamine H2 yang lebih disukai pada situasi di mana interaksi obat merupakan permasalahan tertentu. Pasien dengan penurunan creatinine clearance memerlukan penyesuaian dosis. Pada pasien yang mendapatkan obat jantung
20
dofetilide,
cimetidine
merupakan
kontraindikasi
absolut
karena
resiko
perpanjangan interval QT dan aritmia jantung yang mengancam jiwa. Pemantauan terapi
Titik akhir terapi dievaluasi dengan pengamatan tanda dan gejala klinis (misalnya keparahan gatal, ukuran, frekuensi dan intensitas papul). Sejauh toksisitas obat dikhawatirkan, tidak ada pemantauan tertentu di luar pengamatan biasa untuk efek samping diperlukan pada sebagian besar. Untuk pasien dengan riwayat trombositopenia, hitung darah lengkap diharuskan ketika terapi antihistamin H2 dimulai, karena trombositopenia dilaporkan sebagai efek idiosinkratik obat pada beberapa individu. Resiko dan pencegahan
Antihistamin H2 dapat memiliki beberapa efek SSP, termasuk kebingungan, sakit kepala, dan pusing (Tabel 230-8). Efek ini tampaknya sebagian terkait dosis. Efek samping lainnya meliputi ngantuk, malaise, nyeri otot, diare dan konstipasi. Ada laporan yang jarang mengenai granulositopenia. Dengan penekanan sekresi asam lambung, antihistamine dapat memfasilitasi infeksi oral dan meningkatkan resiko pneumonia pada individu immunocompromised, meliputi pasien diabetik, lanjut usia dan pasien dengan imunodefisiensi. Obat ini dapat menutupi gejala karsinoma gaster. Cimetidine dan ranitidine keduanya menghambat aktivitas dehirogenasi alkohol, yang menyebabkan peningkatan kadar alkohol darah. Efek samping cimetidine yang jarang meliputi ginekomatia dengan atau tanpa peningkatan kadar prolaktin pada pria, gala ktorea dengan peningkatan kadar prolaktin pada wanita; dan hilangnya libido, impotensi, dan penurunan jumlah 21
sperma pada pria muda. Peningkatan yang tidak terla lu tinggi pada kadar kreatinin serum dan kadar transaminase hepatic telah dilaporkan dan reversible setelah obat dihentikan. Efek samping dermatologi yang jarang terjadi, termasuk alopesia dan vaskulitis urtikaria, telah dilaporkan. Ranitidine tidak mengikat reseptor androgen dan tidak meningkatkan respon imun yang dimediasi sel. Ranitidine dapat mempengaruhi kontrol otonom fisiologi sistem kardiovaskular dengan mengubah fungsi kontrol parasistemik dan sistemik.
Keseimbangan
simpatovagal
jantung
yang
berubah
ini
dapat
menyebabkan kecenderungan aritmia, terutama bradiaritmia, setelah infuse intravena. Famotidine dan nizatidine dikaitkan dengan beberapa efek samping; obat ini juga menyebabkan sedikit penghambatan sistem CYP dan karenanya terlibat pada interaksi beberapa obat. Interaksi obat
Melalui penghambatan sistem CYP, cimetidien meningkatakan kadar serum beberapa obat, termasuk beberapa obat yang paling sering digunakan dalam perawatan pasien medis. Dari catatan, cimetidine meningkatkan kadar warfarin dan dapat menyebabkan peningkatan yang berbahaya pada protombine time dan resiko perdarahan. Cimetidine juga berinteraksi dengan banyak obat-obatan jantung- beberapa β-blocker, calcium channel blocker, amiodarone, obat antiaritmia, dan lainnya. Seperti yang telah disebutkan (lihat inisiasi terapi), penggunaan cimetidine merupakan kontraindikasi pada pasien yang mendapatkan dofetilide. Obat-obat yang umum lainnya dengan interaksi cimetidine adalah
22
fentoin, beberapa benzodiazepine, metformin, sulfanylurea, dan selective serotonini reuptake inhibitor. Meskipun
ranitidine
berinteraksi
dengan
pengobatan
lain
jarang
dibandingkan cimetidine, interaksi yang signifikan dengan fentanil, metaprolol, midazolam, nifedipine, theophyline, dan warfarin telah diamati. Ranitidine dapat menurunkan absorpsi diazepam dan mengurangi konsentrasi plasma 25 persen. Famotidine dan nizatidine dikaitkan dengan beberapa interaksi obat. Populasi pasien khusus ANAK-ANAK.
Antihistamin
H2
ranitidine
dan
famotidine
memiliki
farmakokinetik yang relatif diteliti pada anak-anak, dan obat ini memiliki profil keamanan yang dapat diterima dengan dosis yang tepat. Cimetidine dan nizatidine tidak direkomendasikan untuk anak-anak. Efek samping yang unik pada anakanak jarang terjadi tetapi resiko necrotizing enterocolitis pada neonatus. LANJUT USIA. Pasien yang lebih tua mungkin memerlukan penyesuaian dosis
untuk menampung penurunan creatinine clearance, dan juga ulasan daftar pengobatan. Pasien lanjut usia juga tampak lebih rentan terhadap gangguaan SSP seperti kebingungan dan pusing. WANITA HAMIL. Antihistamin H2 diklasifikasikan sebagai obat kategori B
kehamilan FDA. Cimetidine, ranitidine, famotidine, dan nizatidine semuanya diekresikan di air susu; efek yang potensial pada bayi yang menyusui tidak diteliti.
23
AGEN TERAPI LAINNYA DENGAN AKTIVITAS ANTIHISTAMIN Antidepresan trisiklik
Antidepresan trisiklik mengikat reseptor H1 dan H2. Antidepresan trisiklik paling sering digunakan dalam dermatologi adalah doxepin. Doxepin oral telah berhasil digunakan dalam pengobatan urtikaria idiopatik kronik yang refrakter, urtikaria disik, dan gatal yang dikaitkan dengan kondisi sistemik. Pada crossover, double blind (n= 50), doxepin terbukti lebih efisien daripada diphenhydramine dalam pengobatan urtikaria idiopatik kronik. Preparat topical juga tersedia. Pada uji klinis terkontrol, double blind, krim doxepin topical
mengurangi gatal pada
pasien dengan dermatitis atopic dan lichen simplex chronicus. Sedasi merupakan efek samping yang paling sering dengan bentuk oral dan topical, yang diserap secara perkutan, meskipun beberapa pasien dapat mengalami toleran dengan penggunaan rutin. Doxepin oral diklasifikasikan oleh FDA sebagai obat kategori C kehamilan; doxepin topical diklasifikasikan sebagai obat kategori B kehamilan. Penggunaan bentuk oral dan topical merupakan kontraindikasi selama menyusui. Keamanan dan efikasi terapi doxepin pada anakanak di bawah 12 tahun tidak diketahui. Obat ini harus digunakan dengan hati-hati pada pasien lanjut usia, yang mungkin lebih rentan terhadap efek antikolinergik, termasuk retensi urin dan penglihatan kabur. Doxepin harus digunakan bersama dengan monoamine axidase inhibitor, dan semua pasien dengan depresi yang mendasari harus dimonitor ketat untuk tanda-tanda pemikiran bunuh diri ketika memulai terapi obat. Doxepin dapat juga menyebabkan peningkatan tiba-tiba pada tekanan intraocular dan harus digunakan pada pasien dengan glaucoma.
24
Ketotifen
Ketotifen, turunan bemzocycloheptathiophene, merupakan antihistamin tipe H1 dengan sifat tambahan sel mast dan basofilstabilisasi. Ketotifen telah berhasil digunakan dalam pengobatan urtikaria idiopatik kronik, urtikaria fisik, pigmentosa urtikaria. Uji klinis double blind yang melibatkan 305 pasien dengan urtikaria idiopatik kronik, ketotifen mengurangi gatal lebih efektif daripada clemastine atau placebo. Penelitian yang lebih baru yang membandingkan ketotifen dengan antihistamin H1 sedasi rendah tidak tersedia. Hasil dari satu uji klinis open label awal menunjukkan bahwa ketotifen tidak hanya mengurangi gatal dan nyeri neurofibromatosis tetapi juga menunjukkan pertumbuhan neurofibromas; namun, hasil ini tidak dikonfimasi dengan penelitian lain. Sedasi dan efek seperti atropine adalah umum. Tidak ada penelitian yang meneliti keamaan ketotifen pada wanita hamil atau menyusui. Ketotifen tersedia di Amerika Serikat hanya sebagai larutan oftalmik. Mirtazapine
Mirtazapine merupakan antidepresan tetrasiklik dengan sifat antihistamin H1. Beberapa rangkaian kasus telah melaporkan keberhasilan penggunaan dalam mengurangi gatal yang diakibatkan karena uremia, kolestasis, dan berbagai kanker, tetapi tidak diteliti sebagai agen dermatologi utama. Pasien yang mendapatkan mirtazapine memerlukan pemantauan hitung darah dan kadar lemak untuk hiperlipidemia dan jarang tetapi efek samping serius agranulositosis dan neutripenia. Mirazapine membawa peringatan kotak hitam FDA kemungkinan peningkatan resiko bunuh diri, terutama selama permulaan terapi, dan penggunaan
25
bersama dengan monoamine oxidase inhibitor merupakan kontraindikasi. Mirtazapine diklasifikasikan sebagai obat kategori C kehamilan FDA dan keamanannya selama menyusui dan pada anak-anak belum diketahui.
26
DAFTAR PUSTAKA
2.
Simons FE: Advances in H- antihistamines. N Engl J Med 351:2203,2004.
3.
Passalacqua
G,
Canonica
GW:
Structure
and
classification
of
H1
antihistamines and overview of their activities, in Histamine and H 1 – Antihistamines in Allergic Disease, 2nd ed, edited by simons FER. New York, Marcel Dekker, 2002, p 65. 8. Somins FER, Simons KJ: Clinical pharmacology of H 1 – antihistamines, Antihistamines in Allergic Disease, 2nd ed, edited by simons FER. New York, Marcel Dekker, 2002, p 141 . 23. Klein PA, Clark RAF: An evidence-based review of the efficacy of antihistamines in relieving pruritus in atopic dermatitis. Arch Dematol 135: 1522, 1999. 29. Casale TB et al: First do no ham: Maging antihistamine impairment in patients with allergic rhinitis. J Allergy Clin Immunol 111:S835, 2003. 39. Gilbert C et al: Fetal safety of drugs used in the treatment of allergic rhinitis: A critical review. Drug Saf 28: 707, 2005. 60. Black Ak, Greaves MW. Antihistamines in urticaria and angioderma, in Antihistamines in Allergic Disease, 2nd ed, edited by simons FER. New York, Marcel Dekker, 2002, p 249
27