ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP
Oleh Sigit Suseno, S.H., M.H.
BADAN PEMBINAAN HUKUM NASIONAL KEMENTERIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA RI JAKARTA, 2012 i ROMAWI edited.indd 1
12/12/2012 9:27:29 AM
ii ROMAWI edited.indd 2
12/12/2012 9:27:29 AM
ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN DALAM HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP
iii ROMAWI edited.indd 3
12/12/2012 9:27:29 AM
Perpustakaan Nasional: Katalog Dalam Terbitan (KDT) Sigit Suseno Suatu analisis sistem pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP/oleh Sigit Suseno; editor Tana Mantiri; Badan Pembinaan Hukum Nasional. -- Jakarta [tsb.], 2012 x, 95 hlm.; 21 cm ISBN 978-602-8815-45-1 Penulis Sigit Suseno, S.H., M.H. Editor Tana Mantiri, S.H., M.H.
Terbit Tahun 2012
Diterbitkan Oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia RI Jalan Mayjen Sutoyo No. 10 – Cililitan Telepon (021) 8091908, 8002192 Faksimile (021) 80871742 Jakarta Timur 13640 iv ROMAWI edited.indd 4
12/12/2012 9:27:29 AM
KATA PENGANTAR Pembentukan ketentuan pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP dan tidak terkait pada sistem pemidanaan yang dimuat dalam Buku 1 KUHP menimbulkan masalah serius dalam impelmentasinya, sebab tujuan pemidanaan yang ingin dicapai dengan penggunaan hukum pidana atas tindak pidana tertentu tidak mungkin terwujud, dan karenanya ketentuan tersebut menjadi impoten sejak diundangkan. Dalam upaya untuk mengetahui Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP, secara mendalam, maka Badan Pembinaan Hukum Nasional tahun anggaran 2010 mengadakan kegiatan penulisan karya ilmiah tentang Suatu Analisis Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Indonesia, di dalam dan di luar KUHP. Penerbitan Karya Ilmiah ini dimaksudkan untuk menambah bahan referensi hukum di bidang Hukum Pidana, Sistem Pemidanaan Indonesia di dalam dan di luar KUHP. Dan kajian ilmiah ini disebarluaskan kepada instansi pemerintah yang ada di pusat dan daerah,dengan demikian masyarakat dapat mengetahui dan memanfaatkan serta mengembangkan lebih lanjut untuk berbagai kepentingan, khususnya kalangan hukum.
v ROMAWI edited.indd 5
12/12/2012 9:27:29 AM
Akhirnya, kepada Saudara Sigit Suseno, S.H., M.H., yang telah memberikan pemikiran dalam karya ini, dan kepada semua pihak yang berperan aktif sehingga buku ini dapat diterbitkan, kami ucapkan terima kasih.
vi ROMAWI edited.indd 6
12/12/2012 9:27:30 AM
KATA PENGANTAR
Segala puji dan syukur penulis panjatkan ke hadhirat Illahi
Robbi atas segala rahmat-Nya sehingga penulisan kerangka ilmiah perencanaan pembangunan hukum nasional tentang Analisis Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia di Dalam dan di Luar KUHP dapat diselesaikan. Maraknya penggunaan sanksi pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP sekalipun dalam perundang-undangan administrasi dan bermacam-macam perumusan sanksi pidana dalam perundangundangan tersebut menggugat kembali peranan hukum pidana (sanksi pidana) sebagai ultima ratio principle atau fungsi subsidair dari sanksi pidana dan tujuan yang ingin dicapai dari pemidanaan dalam masyarakat Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Di samping itu bagaimana perumusan sanksi pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP harus dilakukan agar sesuai dengan sistem induknya sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP. Kajian ilmiah ini dimaksudkan untuk menganalisis kedudukan ketentuan mengenai pemidanaan dalam Buku I KUHP dalam sistem pemidanaan hukum pidana Indonesia baik terhadap Buku II dan Buku III KUHP maupun perundang-undangan pidana di luar KUHP dan vii ROMAWI edited.indd 7
12/12/2012 9:27:30 AM
perumusan sanksi pidana atau ketentuan pidana dalam perundangundangan di luar KUHP dalam rangka pembentukan sistem pemidanaan yang ideal dalam hukum pidana Indonesia.
Jakarta,
Desember 2010
Ketua Pelaksana,
Sigit Suseno,S.H., M.H.
viii ROMAWI edited.indd 8
12/12/2012 9:27:30 AM
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ........................................................................v DAFTAR ISI ..................................................................................... ix BAB I
PENDAHULUAN .....................................................1 A. Latar Belakang ......................................................1 B. Identifikasi Masalah ..............................................5 C. Tujuan ................................................................... 6 D. Kegunaan .............................................................. 7 E. Kerangka Pemikiran ..............................................7 F. Metode Penelitian ..................................................12
BAB II
HUKUM PIDANA, PIDANA, DAN SISTEM PEMIDANAAN ........................................................17 A. Hukum Pidana .......................................................17 B. Pidana dan Tujuan Pemidanaan ............................ 31 C. Sistem Pemidanaan ...............................................45
BAB III
ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP ........................................................................ 47 A. Sistem Pemidanaan Dalam Hukum Pidana Indonesia di Dalam dan Di Luar KUHP ................................47 B. Perumusan Sanksi Pidana di Dalam dan di Luar KUHP ....................................................................70 C. Sistem Pemidanaan yang Ideal dalam Hukum Pidana Indonesia ...............................................................81 ix
ROMAWI edited.indd 9
12/12/2012 9:27:30 AM
BAB IV
KESIMPULAN DAN REKOMENDASI .................. 93 A. Kesimpulan ........................................................... 93 B. Rekomendasi ......................................................... 94
DAFTAR PUSTAKA ......................................................................... 97
x ROMAWI edited.indd 10
12/12/2012 9:27:30 AM
xi ROMAWI edited.indd 11
12/12/2012 9:27:30 AM
xii ROMAWI edited.indd 12
12/12/2012 9:27:30 AM
xiii ROMAWI edited.indd 13
12/12/2012 9:27:30 AM
xiv ROMAWI edited.indd 14
12/12/2012 9:27:30 AM
xv ROMAWI edited.indd 15
12/12/2012 9:27:30 AM
BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Sistem pemidanaan yang dianut dalam suatu hukum pidana nasional yang mencakup pedoman pemidanaan, jenis sanksi, jenis pidana, berat ringannya pidana, teknis perumusan sanksi pidana sampai pada terminologi yang digunakan dalam perumusan sanksi pidana tersebut sesungguhnya merupakan instrumen untuk melindungi kepentingan-kepentingan hukum seperti nyawa, tubuh, kehormatan kesusilaan, harta kekayaan, negara, lingkungan hidup, dll. dari tindak pidana yang akan merampasnya. Sistem pemidanaan tersebut seharusnya berlandaskan pada filsafat pemidanaan yang sesuai dengan falsafah masyarakat dan bangsanya. Bagi masyarakat dan bangsa Indonesia yang berdasarkan falsafah Pancasila sudah seharusnya sistem pemidanaannya juga berlandaskan nilai-nilai Pancasila. Dalam hukum pidana Indonesia menarik untuk dicermati sistem pemidanaan yang saat ini berlaku. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang sekarang berlaku adalah Wetboek van Strafrecht (WvS) Staatsblaad 1915 Nomor 732 yang dinyatakan berlaku berdasarkan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Peraturan Hukum Pidana jo. Undang-Undang Nomor 73 Tahun 1958 yang menyatakan berlakunya Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 untuk seluruh wilayah Republik Indonesia 1
buku 3 ok edited.indd 1
12/12/2012 9:26:57 AM
dan Mengubah KUHP. Tentunya pembentukan KUHP tersebut termasuk di dalamnya sistem pemidanaan tidak didasarkan pada tujuan pemidanaan yang berdasarkan Pancasila tetapi berdasarkan pada tujuan pemidanaan yang berdasarkan faham liberal. Dalam perkembangannya ketentuan mengenai pidana juga diatur dalam perundang-undangan nasional baik yang mengubah ketentuan pidana dalam KUHP seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1960, Undang-Undang Nomor 16 Prp. Nomor 16 Tahun 1960 dan Undang-Undang Nomor 18 Prp. Tahun 1960 maupun ketentuan pidana baru dalam berbagai perundang-undangan yang mengatur tindak pidana di luar KUHP seperti tindak pidana korupsi, tindak pidana pencucian uang, tindak pidana narkotika, dll. Pembentukan ketentuan pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP tidak dilandasi paham liberal tetapi paham Pancasila. Perbedaan juga tampak pada tujuan pemidanaan antara ketentuan pidana dalam KUHP dan ketentuan pidana di luar KUHP. Walaupun pembentuk KUHP tidak pernah mengatakan mengenai teori pemidanaan yang dianut namun ketentuan pidana dalam KUHP yang berasal dari WvS 1886 sudah dipengaruhi tujuan pemidanaan dari teori relatif atau pencegahan umum.
Menurut Simons pembentuk KUHP
memandang tujuan penjatuhan pidana adalah untuk kepentingan masyarakat dan untuk melindungi tertib hukum. Demikian pula pandangan Menteri Kehakiman Modderman yang pada tahun 1864 dalam pidato inaugurasinya menyatakan keinginannya agar pidana jangan hanya ditujukan untuk memperbaiki pelaku tindak pidana tetapi juga untuk membuat pelaku tidak mampu untuk 2 buku 3 ok edited.indd 2
12/12/2012 9:26:57 AM
melakukan tindak pidana lagi dan mencegah niat orang lain untuk melakukan tindak pidana. Perkembangan lain yang menarik untuk dicermati adalah pembentukan ketentuan pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP yang tidak memperhatikan sistem pemidanaan dalam sistem induknya sebagaimana diatur dalam Buku I KUHP. Walaupun berdasarkan ketentuan dalam Pasal 103 KUHP dimungkinkan adanya pengaturan tersendiri mengenai ketentuan pidana, yang berbeda dengan ketentuan pidana dalam KUHP namun sistem pemidanaan yang berlaku dalam hukum pidana Indonesia penting diperhatikan agar sanksi pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP dapat operasional. Misalnya pengaturan korporasi atau badan hukum sebagai subjek tindak pidana tanpa ada ketentuan pidana untuk korporasi, kualifikasi kejahatan dan pelanggaran yang mempunyai konsekuensi pada sanksi pidananya, dan jenis sanksi berupa tindakan dan jenis pidana baru seperti membayar ganti kerugian. Dalam praktik pembentukan undang-undang ada kecenderungan untuk selalu menggunakan sanksi pidana termasuk untuk pelanggaran norma hukum administrasi. Ada kesan sanksi pidana tidak ditempatkan sebagai ultimum remedium (ultima ratio principle) dan untuk tujuan pemidanaan yang integratif, tetapi sebagai primum remedium untuk tujuan pembalasan atau penjeraan. Misalnya Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, UndangUndang Pajak, Undang-Undang Perkebunan, Undang-Undang Perikanan, Undang-Undang Kesehatan, Undang-Undang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik, dll. 3 buku 3 ok edited.indd 3
12/12/2012 9:26:57 AM
Pengaturan terkait dengan ketentuan pidana dalam perundangundangan di Luar KUHP yang menyimpang atau berbeda dengan KUHP dan bermacam ragam bentuknya adalah mengenai perumusan tindak pidana dan sanksi pidana serta nomenklatur dalam perumusan sanksi pidananya. Dalam penelitian BPHN tentang hukum pidana dan sistem pemidanaan model perumusan sanksi pidana terdapat beberapa model antara lain: (1) satu jenis pidana diancamkan sebagai ancaman pidana tunggal (kecuali terhadap pidana mati, selalu harus dialternatifkan dengan pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara selama waktu tertentu); (2) satu jenis pidana diancamkan sebagai alternatif dari jenis pidana yang lain; (3) satu jenis pidana diancamkan secara kumulatif dengan jenis pidana yang lain; dan (4) pidana diancamkan dengan kombinasi kumulatif-alternatif. Masalah perbedaan perumusan sanksi pidana dan nomenklatur dalam perumusan sanksi pidana antara lain adanya perumusan dan penggunaan istilah yang berbeda dalam perundang-undangan di luar KUHP, seperti “dipidana dengan pidana penjara”, “diancam dengan pidana penjara”, “dikenakan sanksi pidana penjara”, “dapat dipidana dengan pidana penjara” dan “diancam dengan sanksi pidana penjara”, penggunaan istilah “pidana” dan “hukuman”, “pidana denda” dan “denda”, “paling singkat” dan “serendah-rendahnya”, “paling lama” dan “selamalamanya ”, dan “paling banyak” dan “sebanyak-banyaknya”.
Pembentukan ketentuan pidana dalam perundang-
undangan di luar KUHP yang tidak berada dan tidak terikat pada sistem pemidanaan induknya dalam Buku I KUHP menimbulkan 4 buku 3 ok edited.indd 4
12/12/2012 9:26:57 AM
masalah serius dalam implementasinya karena tujuan pemidanaan yang ingin dicapai dengan penggunaan hukum pidana atas tindak pidana tertentu tidak mungkin terwujud. Misalnya implementasi ketentuan pidana terhadap korporasi sebagai subjek tindak pidana tidak pernah terwujud. Ketentuan tersebut menjadi ketentuan yang impoten sejak diundangkan. Di samping itu banyaknya penyimpangan dalam undang-undang di luar KUHP yang tidak jelas kriterianya akan berpengaruh terhadap penegakan hukum pidana karena akan menimbulkan kesulitan bagi aparat penegak hukum. Dalam Draft RUU KUHP perubahan fundamental dalam sistem pemidanaan telah dilakukan para perumus RKUHP. Perubahan dalam sistem pemidanaan tersebut tidak hanya pendekatan, landasan filosofis dan tujuan pemidanaan, tetapi juga jenis sanksi, jenis sanksi pidana dan yang sangat penting adalah pengaturan pedoman pemidanaan bagi hakim dalam penjatuhan pidana. Namun demikian pertanyaan hipotetis dapat muncul dalam hal RUU KUHP tersebut berlaku dan kaitannya dengan ketentuan pidana dalam perundang-undangan yang saat ini berlaku dilihat dari pendekatan sistem pemidanaan. B.
Identifikasi Masalah Penulisan hukum mengenai sistem pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP mengkaji sistem pemidanaan dalam BUKU I KUHP sebagai Aturan Umum (General Rules) dan Buku II dan Buku III KUHP serta undang5
buku 3 ok edited.indd 5
12/12/2012 9:26:57 AM
undang di luar KUHP sebagai Aturan Khusus (Special Rules) dan hubungan antara Aturan Khusus dengan Aturan Umum sebagai sistem induknya serta bagaimana pembentukan sistem pemidanaan dalam RUU KUHP sebagai ius constituendum dalam hukum pidana Indonesia. Berdasarkan latar belakang di atas, masalah yang akan dikaji dalam penulisan hukum ini adalah: 1. Bagaimana sistem pemidanaan dalam hukum pidana positif Indonesia di dalam dan di luar KUHP? 2. Bagaimana praktik perumusan sanksi pidana dalam hukum pidana positif Indonesia di dalam dan di luar KUHP? 3. Bagaimana sistem pemidanaan yang ideal dalam hukum pidana Indonesia yang akan datang? C. Tujuan Penulisan hukum tentang sistem pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP bertujuan untuk: 1. Memahami dan menganalisis sistem pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia yang sekarang berlaku dalam dan di luar KUHP. 2. Memahami dan menganalisis praktik penetapan sanksi pidana dalam hukum pidana positif Indonesia di dalam dan di luar KUHP yang mencakup penetapan jenis pidana (strafsoort), berat ringannya pidana (strafmaat) dan perumusan sanksi pidana. 3. Menganalisis sistem pemidanaan yang ideal dalam hukum 6 buku 3 ok edited.indd 6
12/12/2012 9:26:57 AM
pidana Indonesia yang akan datang yang sesuai dengan masyarakat dan bangsa Indonesia yang berdasarkan Pancasila. D.
Kegunaan Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik manfaat teoritis maupun manfaat praktis. 1. Manfaat teoritis Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan kontribusi untuk pengembangan ilmu hukum pidana dalam hal ini hukum pidana materiil, khususnya sistem pemidanaan di dalam dan di luar KUHP. 2. Manfaat praktis Penulisan hukum ini diharapkan dapat memberikan kontribusi praktis bagi perumus dan pengambil kebijakan, pembentuk undang-undang, aparat penegak hukum, dan masyarakat mengenai sistem pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia sehingga dalam pembentukan sanksi pidana dalam peraturan perundang-undangan selalu memperhatikan sistem pemidanaan yang berlaku agar regulasi tindak pidana yang dirumuskan dapat operasional.
E.
Kerangka Pemikiran Dalam perspektif politik hukum pidana (penal policy) atau dengan kata lain penegakan hukum dengan menggunakan sarana hukum pidana, penetapan sanksi pidana merupakan salah satu masalah pokok di samping masalah penentuan perbuatan 7
buku 3 ok edited.indd 7
12/12/2012 9:26:57 AM
yang seharusnya dijadikan tindak pidana. Pandangan lain menyatakan bahwa pidana merupakan salah satu masalah pokok dalam hukum pidana, di samping tindak pidana dan kesalahan (pertanggungjawaban pidana). Dengan rumusan lain Herbert L. Packer menyatakan bahwa ada 3 masalah pokok dalam hukum pidana, yaitu: 1. What conduct should be designated as criminal? 2. What determinations must be made before a person can be found to have committed a criminal offense? 3. What should be done with persons who are found to have committed criminal offences? Berdasarkan pandangan Packer tersebut maka pidana atau pemidanaan terkait dengan masalah yang pertama yaitu tindak pidana dan masalah kedua, yaitu kesalahan. Dalam perumusan suatu tindak pidana pada dasarnya dirumuskan mengenai subjek tindak pidananya, yang di dalamnya ada unsur subjektif dan unsur objektif, dan sanksi pidananya. Oleh karena itu sistem pemidanaan dalam hukum pidana mempunyai korelasi dengan ajaran hukum pidana yang dianut, yang saat ini umumnya menganut ajaran daad-dader strafrecht, yaitu hukum pidana yang tidak hanya berorientasi pada perbuatan saja tetapi juga pada pelaku. Bahkan saat ini korban menjadi bagian dari oirentasi hukum pidana. Oleh karena itu pengertian pidana tidak dapat dilepaskan dari tindak pidana dan pelaku yang melakukan tindak pidana tersebut. Menurut Sudarto pidana diartikan sebagai penderitaan yang sengaja dibebankan kepada orang yang melakukan perbuatan yang 8 buku 3 ok edited.indd 8
12/12/2012 9:26:57 AM
memenuhi syarat-syarat tertentu. Igor Primoratz membedakan pidana dalam arti umum dan khusus. Pengertian pidana dalam arti hukum adalah pidana dalam arti yang khusus, yang diartikan sebagai “an evil deliberately inflicted qua evil on an offender by a human agency which is authorized by the legal order whose laws offender has violated. Pidana dalam arti umum digunakan dalam berbagai konteks. Lebih lanjut Igor Primoratz menjelaskan 4 komponen dari definisi pidana tersebut, yaitu: 1. Punishment is sometimes defined as a pain or suffering inflicted on an offender (definisi yang sempit); 2. An offender is a person who committed an offense; 3. The definition of punishment as an evil delibaretly inflicted qua evil on an offender by human agency; 4. When someone delibaretly inflicts an evil qua evil on another person, who is an offender, that still may not be punishment. Selanjutnya H.L.A. Hart menentukan 5 elemen atau unsur pokok pidana, yaitu: 1. It must involve pain or other consequences normally considered unpleasent; 2. It must be for an offense against legal rules; 3. It must be of an actual or supposed offender for his offense; 4. It must be intentianlly administered by human beings other than the offender; 5. It must be imposed and administered by an authority constituted by a legal system against which the offender is committed. Walaupun pidana memiliki keterbatasan-keterbatasan bahkan 9 buku 3 ok edited.indd 9
12/12/2012 9:26:57 AM
dapat merampas kemerdekaan termasuk nyawa manusia, namun menurut Roeslan Saleh reaksi terhadap pelanggaran norma yang terjadi dengan sarana pidana dan atau tindakan tetap diperlukan karena upaya-upaya lain untuk perbaikan terhadap terpidana tidak mempunyai arti sama sekali. Oleh karena itu Herbert L. Packer mengingatkan berkaitan dengan penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kejahatan antara lain: The criminal sanction is indispensable; we could not,now or in the foreseeable future, get along without it. The criminal sanction is the best available device we have for dealing with gross and immediate harm and treats of harm … . The criminal sanction is at once prime guarantor and prime threatener of human freedom. Used provindently and humanly it is guarantor; used indiscriminately and coercively, it is threatener.
Walaupun hukum pidana mempunyai fungsi yang sangat
penting, yaitu untuk mengatur hidup kemasyarakatan atau menyelenggarakan tata dalam masyarakat (fungsi umum) dan melindungi kepentingan hukum dari perbuatan-perbuatan jahat dengan sanksi pidana (fungsi khusus), namun untuk menghindari efek negatif dari sanksi pidana maka penggunaannya harus dilakukan secara hemat-cermat, hati-hati, selektif, limitatif, dan manusiawi. Penggunaan hukum pidana dalam penanggulangan tindak pidana pada saat ini
seharusnya sudah meninggalkan teori
absolut atau teori relatif dan mendasarkan pada teori integratif yang memandang tujuan penting dari hukum pidana di samping 10 buku 3 ok edited.indd 10
12/12/2012 9:26:57 AM
pembalasan adalah prevensi umum. M.P. Rossi salah seorang penganut teori integratif memandang penjatuhan pidana terutama adalah menerapkan pembalasan dan menjalankan keadilan. Namun karena kita hidup dalam masyarakat yang tidak sempurna maka juga tidak mungkin menuntut keadilan absolut (justice absolute) dan karenanya cukup apabila pemidanaan dilandaskan pada tertib sosial etikal yang tidak sempurna tersebut (justice sociale). Penerapan hukum pidana yang manusiawi dibatasi oleh syaratsyarat yang dituntut masyarakat. Dampak penting yang relevan dengan penggunaan hukum pidana adalah pembelajaran dan rasa takut yang dimunculkan melalui penjatuhan pidana terhadap semua orang, termasuk ke dalamnya perbaikan dari pelaku dan pemuasan tuntutan batin atau nurani masyarakat dan pemberian rasa aman pada masyarakat. Pidana tidak boleh melampaui apa yang selayaknya diterima pelaku karena kesalahan yang telah diperbuat.
Menurut Muladi teori tujuan pemidanaan yang integratif
dengan didasarkan pada alasan-alasan yang bersifat sosiologis, ideologis, dan yuridis merupakan teori yang tepat dalam penggunaan hukum pidana. Berdasarkan asumsi bahwa tindak pidana merupakan gangguan terhadap keseimbangan, keselarasan, dan keserasian dalam kehidupan masyarakat yang mengakibatkan kerusakan individual atau masyarakat maka tujuan pemidanaan adalah untuk memperbaiki kerusakan individual dan sosial yang diakibatkan oleh tindak pidana tersebut. Dengan demikian tujuan
11 buku 3 ok edited.indd 11
12/12/2012 9:26:57 AM
pemidanaan adalah: (1) pencegahan (umum dan khusus); (2) perlindungan masyarakat; (3) memelihara solidaritas sosial; dan (4) pengimbalan/pengimbangan. Implementasi tujuan pemidanaan yang dianut suatu negara terwujud dalam sistem pemidanaan yang dirumuskan dalam hukum pidana nasionalnya. Dalam hukum pidana Indonesia yang sistem hukum pidana materiilnya terdiri dari Aturan Umum (General Rules) yang dirumuskan dalam Buku I KUHP dan Aturan Khusus (Special Rules) yang dirumuskan dalam Buku II dan Buku III KUHP serta undang-undang di Luar KUHP, sistem pemidanaannya juga terdiri dari Aturan Umum dan Aturan Khusus. Ketentuanketentuan pidana dalam Aturan Khusus baik dalam Buku II dan Buku III KUHP maupun undang-undang di luar KUHP terikat dan berada dalam sistem pemidanaan induknya sebagaimana diatur dalam Buku I. Dalam hal pembentuk undang-undang di luar KUHP mengatur ketentuan pidana yang menyimpang dari Aturan Umumnya maka pembentuk undang-undang juga harus mengatur pedoman pemidanaannya yang bersifat khusus. F.
Metode Penelitian Penulisan hukum mengenai sistem pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP merupakan salah satu jenis penelitian hukum normatif, yang mencakup penelitian asas hukum, penelitian hukum in abstracto penelitian sinkronisasi hukum dalam hal ini sinkronisasi hukum horizontal dan penelitian sistem hukum.
12 buku 3 ok edited.indd 12
12/12/2012 9:26:57 AM
Penelitian asas hukum mengkaji landasan filosofis atau asas hukum pidana dalam sistem pemidanaan baik yang dirumuskan di dalam dan di luar KUHP yang sekarang berlaku serta RUU KUHP. Penelitian hukum in abstracto mengkaji kaidah-kaidah hukum yang menetapkan sanksi pidana baik Aturan Umum maupun Aturan Khusus yang mencakup pedoman pemidanaan, jenis pidana (strafsoort), berat ringannya pidana (strafmaat), cara pidana dilaksanakan (strafmodus), dan teknik perumusan pidana. Penelitian
sinkronisasi
hukum
horizontal
mengkaji
keserasian atau keselarasan pengaturan ketentuan sanksi pidana dalam hukum pidana Indonesia dalam KUHP dan peraturan perundang-undangan di luar KUHP. Penelitian sistem hukum mengkaji berbagai pengaturan mengenai pemidanaan dalam perspektif sistem pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia. Berkaitan dengan
objek penelitian sistem pemidanaan
dalam hukum pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP adalah norma atau kaidah yang dirumuskan dalam peraturan perundangundangan, maka pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif. Norma atau kaidah yang dirumuskan dalam peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan sistem pemidanaan akan dikaji dalam perspektif sistem pemidanaan. Sifat penelitian sistem pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia di dalam dan di luar KUHP, berdasarkan tahap-tahap penelitian termasuk penelitian deskriptif analitis, yaitu penelitian 13 buku 3 ok edited.indd 13
12/12/2012 9:26:57 AM
yang akan mengkaji dan menjelaskan asas-asas dan kaidah hukum pidana mengenai pemidanaan yang berlaku dalam hukum pidana Indonesia serta keserasian atau keselarasan pengaturannya antara Aturan Umum dan Aturan Khusus dalam perspektif sistem pemidanaan. Sesuai dengan jenis dan sifat penelitian sistem pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia, jenis data yang digunakan untuk dianalisis
adalah
data sekunder, yaitu peraturan perundang-
undangan yang mengatur kaidah-kaidah mengenai pemidanaan yang dikenal sebagai bahan hukum primer. Bahan hukum primer tersebut antara lain KUHP, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Tindak Pidana Pencucian Uang, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi, Undang-Undang Suap, Undang-Undang di bidang Hak Kekayaan Intelektual, UndangUndang Informasi dan Transaksi Elektronik, Undang-Undang Pornografi, dan Perundang-undangan lainnya yang mengatur Ketentuan Pidana. Di samping itu juga digunakan bahan hukum sekunder, yaitu berbagai literatur berupa buku, karya ilmiah, jurnal, dokumen/risalah
RUU yang berkaitan dengan sistem
pemidanaan, serta bahan hukum tersier, seperti kamus hukum, dan ensiklopedi. Metode pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen atau kepustakaan, yaitu dengan mengumpulkan, mengidentifikasi dan mengklasifikasi bahan-bahan hukum yang berkaitan dengan sistem pemidanaan dalam hukum pidana 14 buku 3 ok edited.indd 14
12/12/2012 9:26:57 AM
Indonesia. Analisis data menggunakan analisis kualitatif dengan berdasarkan pada teori-teori dan asas-asas dan kaidah-kaidah hukum pidana yang berlaku.
15 buku 3 ok edited.indd 15
12/12/2012 9:26:57 AM
16 buku 3 ok edited.indd 16
12/12/2012 9:26:57 AM
BAB II HUKUM PIDANA , PIDANA, DAN SISTEM PEMIDANAAN A.
Hukum Pidana Hukum pidana adalah bagian dari hukum publik yang memiliki karakteristik yang berbeda dengan bidang hukum lainnya, yaitu adanya sanksi berupa pidana yaitu penderitaan yang dijatuhkan negara kepada pelaku tindak pidana. Hukum pidana dipandang sebagai hukum publik karena mengatur hubungan antara individu dan masyarakat/negara, pidana dijatuhkan untuk mempertahankan kepentingan umum dan pelaksanaan pidana dilakukan oleh negara. Hukum pidana dapat dibedakan dalam arti hukum pidana objektif (ius poenale) dan hukum pidana subjektif (ius puniendi). Ius poenale diartikan bagian dari keseluruhan hukum yang berlaku di suatu negara yang mengadakan dasar-dasar dan aturan untuk: 1. Menentukan perbuatan-perbuatan mana yang tidak boleh dilakukan, yang dilarang atau yang diperintahkan dengan disertai sanksi pidana bagi mereka yang melanggar ketentuan tersebut. Rumusan pengertian ini mengenai perbuatan pidana (criminal act). 2. Menentukan kapan dan dalam hal apa kepada mereka yang telah melanggar larangan itu dapat dijatuhi pidana sebagaimana telah diancamkan. Rumusan pengertian ini adalah mengenai pertanggungjawaban pidana (criminal liability). 3. Menentukan dengan cara bagaimana pengenaan pidana tersebut dapat dilaksanakan apabila ada orang yang disangka 17
buku 3 ok edited.indd 17
12/12/2012 9:26:58 AM
telah melanggar larangan tersebut. Rumusan pengertian ini adalah mengenai hukum acara pidana (criminal procedure). Angka 1 dan 2 merupakan bagian dari hukum pidana materiil yang menurut Simons diartikan sebagai aturan-aturan yang menetapkan dan merumuskan perbuatan-perbuatan yang dapat dipidana, aturan-aturan yang memuat syarat-syarat untuk dapat menjatuhkan pidana dan ketentuan mengenai pidana. Berdasarkan pengertian tersebut maka kajian mengenai sistem pemidanaan dalam hukum pidana di dalam dan di luar KUHP merupakan bagian dari hukum pidana materil, khususnya mengenai pidana. Ius puniendi dapat diartikan secara luas dan sempit. Ius puniendi dalam arti luas adalah hak dari negara atau alat-alat perlengkapan negara untuk mengenakan atau mengancam pidana terhadap perbuatan tertentu dan ius puniendi dalam arti sempit adalah hak untuk menuntut perkara-perkara pidana, menjatuhkan dan melaksanakan pidana terhadap orang yang melakukan perbuatan yang dilarang. Dengan demikian ius puniendi adalah mengenai hak dari negara untuk mengenakan pidana dengan berdasar pada ius poenale. Sehubungan
dengan
analisis
baik
terhadap
sistem
pemidanaan di dalam dan di luar KUHP, maka terlebih dahulu akan diuraikan mengenai pengertian hukum pidana umum dan hukum pidana khusus dan kaitannya dengan ketentuan Pasal 103 KUHP. Sudarto mengingatkan bahwa pengertian hukum pidana umum (ius commune) dan hukum pidana khusus (ius singulare/ius
18 buku 3 ok edited.indd 18
12/12/2012 9:26:58 AM
speciale) tidak dapat dicampuradukkan dengan pengertian bagian umum dari hukum pidana (general rules/algemene leerstukken) yang memuat ketentuan-ketentuan atau ajaran-ajaran umum dan bagian khusus dari hukum pidana (special rules) yang memuat perumusan tindak pidana. Hukum pidana umum adalah peraturan-peraturan pidana dalam
KUHP
beserta
semua
perundang-undangan
yang
menambah atau mengubah KUHP tersebut. Hukum pidana khusus adalah semua perundang-undangan di luar KUHP yang di dalamnya terdapat ketentuan-ketentuan yang menyimpang dari hukum pidana umum yang menyangkut sekelompok orang atau perbuatan-perbuatan tertentu. Menurut Andi Hamzah
hukum
pidana khusus dapat berupa perundang-undangan pidana dan bukan perundang-undangan pidana tetapi mengatur sanksi pidana. Yang termasuk dalam
kelompok bukan perundang-undangan
pidana tetapi mengatur sanksi pidana adalah perundang-undangan hukum administratif yang memuat sanksi pidana. Sudarto di samping membuat pembedaan hukum pidana umum dan hukum pidana khusus juga menggunakan istilah undang-undang pidana khusus yang di dalamnya termasuk: “undang-undang yang tidak dikodifikasikan”, “peraturan hukum administratif yang memuat sanksi pidana”, dan “undang-undang yang memuat hukum pidana khusus”. Sudarto menambahkan kualifikasi undang-undang yang tidak dikodifikasikan untuk memasukkan perundang-undangan yang tidak termasuk kualifikasi baik perundang-undangan pidana
19 buku 3 ok edited.indd 19
12/12/2012 9:26:58 AM
maupun perundangan-undangan pidana administratif ke dalam kelompok ini. Penyimpangan-penyimpangan pengaturan ketentuan pidana dalam undang-undang di luar KUHP dimungkinkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 103 KUHP yang menyatakan: Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundangundangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain. Pembentuk undang-undang menyadari bahwa kodifikasi suatu
undang-undang
tidak
selamanya
dapat
mengikuti
perkembangan sosial dan ekonomi masyarakatnya dan oleh karena itu diatur norma yang memungkinkan dibentuknya undang-undang lain sesuai dengan perkembangan sosial dan ekonomi masyarakat tersebut. Namun demikian perlu dirumuskan suatu kriteria yang jelas mengenai penyimpangan-penyimpangan aturan umum atau aturan-aturan tersendiri di luar KUHP khususnya
ketentuan
pidana sehingga tetap berada dalam sistem dan operasional.
Sebelum menguraikan lebih lanjut mengenai pidana dan
sistem pemidanaan, terlebih dahulu akan diuraikan mengenai sifat dan hakikat hukum pidana serta aliran-aliran hukum pidana yang berkembang yang sedikit banyak mempengaruhi sistem pemidanaan dalam hukum pidana. Penggunaan
hukum
pidana
untuk
menanggulangi
kejahatan bukan merupakan satu-satunya sarana tetapi dapat juga digunakan sarana-sarana lain baik non-penal maupun non-hukum. 20 buku 3 ok edited.indd 20
12/12/2012 9:26:58 AM
Tidak ada keharusan untuk menggunakan hukum pidana untuk menanggulangi kejahatan. Hukum pidana merupakan hukum yang mempunyai fungsi subsidair (ultima ratio principle) dan hendaknya baru digunakan apabila upaya-upaya lain diperkirakan kurang memberi hasil yang memuaskan atau kurang sesuai. Menurut Merkel tempat hukum pidana adalah selalu subsidair terhadap upaya hukum lainnya. Pandangan yang sama dikemukakan oleh Modderman yang menyatakan: negara secara khusus wajib bereaksi dan menindak pelanggaran hukum atau ketidakadilan yang terjadi yang tidak lagi dapat ditanggulangi secara memadai oleh saranasarana hukum lain. Pidana tetap harus dipandang sebagai ultimum remedium. Sedangkan menurut Remmelink hukum pidana hanya dapat didayagunakan apabila sarana yang dimiliki hukum pidana tidak lebih buruk dibandingkan dengan penyimpangan perilaku yang hendak ditanggulanginya. Dalam penggunaan hukum pidana juga harus memperhatikan keterbatasan-keterbatasan yang dimiliki hukum pidana. Hukum pidana tidak dapat diharapkan dapat mengisi seluruh kekosongan hukum yang ada, karena terdapat pelanggaran hukum yang tidak dapat ditanggulangi secara memadai oleh hukum pidana. Sejalan dengan pandangan tersebut menurut Mulder
hukum
pidana merupakan lingkaran terluar dari hukum. Hukum pidana tidak menawarkan perlindungan menyeluruh atas kepentingankepentingan hukum maupun pengaturan hubungan-hubungan hukum, melainkan hanya berkenaan dengan upaya melawan sebagian kecil bentuk-bentuk pelanggaran hukum. Hukum pidana 21 buku 3 ok edited.indd 21
12/12/2012 9:26:58 AM
menjaga dan mempertahankan norma-norma materiil secara fragmentaris. Oleh karenanya penggunaan hukum pidana dalam menanggulangi kajahatan harus dilihat dalam kerangka politik kriminal.
Walaupun hukum pidana memiliki keterbatasan-keterbatasan
namun menurut Roeslan Saleh masih ada dasar susila untuk menggunakan pidana dan hukum pidana, yaitu: 1. Perlu tidaknya hukum pidana tidak terletak pada tujuan yang hendak dicapai tetapi terletak pada persoalan seberapa jauh untuk mencapai tujuan itu boleh menggunakan paksaan. Persoalannya bukan terletak pada hasil yang akan dicapai tetapi pada pertimbangan antara nilai dari hasil itu dan nilai dari batas-batas kebebasan pribadi masing-masing. 2. Ada usaha perbaikan atau perawatan yang tidak mempunyai arti sama sekali bagi terpidana dan di samping itu masih tetap harus ada suatu reaksi atas pelanggaran norma yang telah dilakukannya dan tidak dapat dibiarkan. 3. Pengaruh pidana dan hukum pidana bukan semata-mata ditujukan pada penjahat tetapi juga untuk mempengaruhi anggota masyarakat lainnya mentaati norma hukum yang berlaku dalam masyarakat. Sedangkan menurut van Bemmelen jika hukum pidana didekati dari sudut ketentuan perintah dan larangan serta penegakan hukum atas peraturan itu khususnya dari sudut hukum acara pidana dan bukan dari sudut pidananya, maka kita tidak lagi begitu cenderung untuk menghapuskan hukum pidana. Jika hukum pidana didekati 22 buku 3 ok edited.indd 22
12/12/2012 9:26:58 AM
dari sudut peraturan perintah dan larangan, kita dengan mudah akan mengerti bahwa ada perbuatan-perbuatan tertentu yang melawan hukum yang tidak mungkin diterima oleh masyarakat. Jadi hukum pidana harus tetap ada. Ketika pelanggaran-pelanggaran terhadap ketentuan dan larangan terjadi tidak mungkin negara menyerahkan perlindungan terhadap pelanggaran peraturan itu kepada individu masing-masing. Salah satu alasan terpenting mengapa
hukum
pidana tidak dapat dihapuskan sama sekali ialah hukum pidana menentukan dengan teliti dalam hal-hal mana negara berhak untuk bertindak terhadap anggota masyarakat melalui jalan hukum acara pidana.
Uraian di atas menunjukkan bahwa hukum pidana merupakan
sarana yang mempunyai dua sisi mata uang, yaitu sisi positif dan sisi negatif dan dalam keadaan tertentu hukum pidana tidak dapat ditinggalkan. Sanksi pidana mempunyai fungsi yang tidak dimiliki oleh sarana lainnya. Menurut Packer sanksi pidana adalah sarana yang sangat diperlukan dan merupakan sarana yang terbaik yang ada untuk menghadapi bahaya atau ancaman dari bahaya besar dan segera. Namun demikian dalam penggunaannya harus secara hemat-cermat dan manusiawi. Penggunaan sanksi pidana secara sembarangan atau menyamaratakan dan
secara paksa
akan menyebabkan sarana pidana menjadi pengancam yang utama dan bukan menjadi penjamin yang utama. Secara negatif Jeremy Bentham menyatakan bahwa pidana jangan digunakan apabila tidak berdasar (groundless), tidak berguna (nedless), tidak menguntungkan (unprofitable), dan tidak mujarab (inefficacious) 23 buku 3 ok edited.indd 23
12/12/2012 9:26:58 AM
untuk menanggulangi tindak pidana. Oleh karena hukum pidana merupakan bagian dari hukum yang mempunyai sifat yang kejam dan bahkan dikatakan sebagai hukum yang “mengiris dagingnya sendiri”, maka dalam penggunaannya (politik hukum pidana) harus dalam kerangka sistem hukum pidana dan tujuan pemidanaan. Dalam ilmu hukum pidana terdapat beberapa aliran hukum pidana, yang tidak berorientasi pada dasar pembenaran dari pidana tetapi pada sistem hukum pidana yang praktis dan bermanfaat. Berdasarkan waktu kelahirannya aliran hukum pidana terdiri dari: 1. Aliran Klasik Aliran klasik lahir berawal dari pandangan Beccaria tentang hukum pidana dalam bukunya Dei delitti e delle pene tahun 1764 sebagai reaksi atas peradilan pidana Perancis yang arbitrair dan menimbulkan ketidakadilan, ketidaksamaan, dan ketidakpastian hukum. Beccaria berusaha memperjuangkan suatu hukum pidana yang lebih adil, lebih objektif dan lebih memperhatikan perikemanusiaan dan kemerdekaan individu. Perhatian utama dari aliran klasik adalah pada perbuatan (daad) dan tidak pada orang yang melakukan tindak pidana (dader). Aliran klasik dilandasi pandangan indeterministik mengenai kehendak bebas (free will) manusia, bahwa manusia mempunyai kehendak bebas dan hal ini merupakan sebab dari segala keputusan kehendak manusia untuk melakukan suatu perbuatan termasuk tindak pidana. Menurut Rene Descartes “the will is perfectly free, so free in its nature that it cannot 24 buku 3 ok edited.indd 24
12/12/2012 9:26:58 AM
be constrained”. Kehendak bebas tersebut berkaitan dengan kebebasan individu. Freedom in the sense associated with free will is traditionally defined in terms of the ability of agent, for anything they do, always to have done otherwise. Pembahasan kebebasan atau kemerdekaan individu dengan hukum pidana berkaitan dengan kesalahan atau pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan dalam aliran-aliran hukum pidana. Berkaitan dengan hal tersebut menurut Roderick M. Chisholm “the metaphysical problem of human freedom might be summarized in the following way: human beings are responsible agents; but this fact appears to conflict with determinstic view of human action (the view that every event that is involved in an act is caused by some other event); and it also appears to conflict with an indeterministic view of human action (the view that the act, or some event that is essential to the act, is not caused at all). Pandangan deterministik dan indeterministik tersebut mempunyai konsekuensi pada penentuan pertanggungjawaban seseorang atas perbuatan yang dilakukan.
Kemerdekaan individu menurut aliran klasik berpangkal
pada pikiran-pikiran abstrak, yaitu
kemerdekaan individu
yang abstrak. Oleh karena itu dalam implementasinya aliran klasik lebih mengabstrakkan atau mengobjektifkan hukum pidana dari tabiat dan sifat pribadi pelaku tindak pidana. Perumusan undang-undang dan perbuatan yang melawan hukum merupakan titik sentral dari hukum pidana. Hanya perbuatan-perbuatan yang dirumuskan sebagai tindak pidana 25 buku 3 ok edited.indd 25
12/12/2012 9:26:58 AM
dalam undang-undang saja yang dapat dipertanggungjawabkan kepada pelaku yang telah melakukan tindak pidana tersebut. Apabila seseorang melakukan suatu perbuatan yang menurut undang-undang merupakan tindak pidana, maka pidana yang diancamkan harus dijatuhkan tanpa menghiraukan tabiat dan sifat pribadi pelakunya seperti keadaan-keadaan khusus ketika tindak pidana dilakukan atau keadaan jiwanya. Hakim tidak diberi kebebasan dalam menjatuhkan pidana dan oleh sebab itu hakim pidana dibatasi oleh sistem pemidanaan yang tetap (rigid) atau dikenal dengan sistem “the definite sentence”. Aliran klasik berlandaskan pada 3 hal pokok, yaitu: a. Asas legalitas (Nullum delictum, nulla poena, sine praevia lege poenali). Dalam asas legalitas menurut Paul Johann Aselm von Feuerbach terkandung makna: setiap penggunaan pidana harus berdasarkan undang-undang (nulla poena sine lege), penggunaan pidana hanya dilakukan terhadap perbuatan yang diancam pidana oleh undang-undang (nulla poena sine crimine), dan tindak pidana yang diancam pidana oleh undang-undang menimbulkan konsekuensi pidana tersebut dijatuhkan (nullum crimen sine poena legali). b. Asas kesalahan
Beradasarkan asas kesalahan seseorang hanya dapat dipidana untuk tindak pidana yang dilakukannya dengan sengaja atau culpa.
c. Asas pembalasan atau pengimbalan yang sekuler, yaitu 26 buku 3 ok edited.indd 26
12/12/2012 9:26:58 AM
bahwa pidana secara konkret tidak dikenakan dengan maksud untuk mencapai sesuatu hasil yang bermanfaat, melainkan setimpal dengan berat ringannya kejahatan yang telah dilakukan. Menurut Sue Titus Reid konsepsi “punishment should fit the crime” merupakan hal esensil dari aliran klasik. 2. Aliran positif atau aliran modern
Aliran positif atau aliran modern lahir dan berkembang
pada abad 19, berhubungan dengan lahir dan berkembangnya kriminologi yang menyelidiki mengenai penjahat, asal usul kejahatan, cara-cara mencegah dan mengurangi kejahatan. Menurut aliran modern perbuatan seseorang tidak dapat dilihat secara abstrak dari sudut yuridis semata-mata tetapi harus dilihat dari sudut pelakunya, yang dalam kenyataan perbuatan tersebut dipengaruhi oleh watak dan sifat pribadi serta faktor-faktor lingkungan. Aliran modern dilandasi pandangan determinisme, yang memandang manusia tidak mempunyai kehendak bebas (unfree will), tetapi dipengaruhi oleh watak dan lingkungannya sehingga pelaku tidak dapat dipersalahkan. Apabila tidak ada kesalahan maka tidak ada pencelaan dan oleh karenanya tidak ada pemidanaan. Aliran modern menolak adanya pembalasan berdasarkan kesalahan subjektif.
Pertanggungjawaban
seseorang
berdasarkan
kesalahan harus diganti dengan sifat bahayanya pelaku dan bentuk pertanggungjawabannya lebih bersifat tindakan untuk melindungi masyarakat. Reaksi atas tindak pidana yang 27 buku 3 ok edited.indd 27
12/12/2012 9:26:58 AM
dilakukan tersebut bukan berupa pidana yaitu penderitaan atau nestapa tetapi berupa
tindakan untuk ketertiban
masyarakat. Hukum pidana menurut aliran modern lebih menitikberatkan pada perlindungan masyarakat dari kejahatan (prevensi umum). Tujuan aliran modern adalah untuk mengindividualisasikan hukum pidana, yaitu menyesuaikan hukum pidana dengan watak dan sifat pribadi pelaku tindak pidana untuk resosialisasi pelaku tindak pidana. Hukum pidana menurut aliran modern lebih bersifat subjektif, yaitu hukum pidana yang lebih menitikberatkan pada pelakunya daripada perbuatannya.
Setelah Perang Dunia II aliran modern berkembang
menjadi Aliran Perlindungan Sosial (social defence) yang dipelopori oleh Filippo Gramatica. perkembangannya,
Aliran
Perlindungan
Berdasarkan Sosial
dapat
dibedakan dalam 2 pandangan, yaitu: a. Konsepsi radikal (ekstrim) dipelopori oleh Filippo Gramatica. Menurut Gramatica hukum perlindungan masyarakat (law of social defence) harus menggantikan hukum pidana yang ada. Tujuan utama perlindungan sosial adalah
untuk mengintegrasikan individu ke
dalam tertib sosial dan bukan pemidanaan terhadap perbuatannya.
Hukum
perlindungan masyarakat
menghapuskan pertanggungjawaban pidana berdasar kesalahan dan digantikan dengan pandangan tentang perbuatan anti sosial. 28 buku 3 ok edited.indd 28
12/12/2012 9:26:58 AM
b. Konsepsi moderat (reformis) dipelopori oleh Marc Ancel.
Marc Ancel menamakan gerakannya “defence sociale nouvelle” (aliran perlindungan sosial baru). Aliran ini bertujuan mengintegrasikan ide-ide atau konsepsikonsepsi perlindungan sosial ke dalam konsepsi hukum pidana. Menurut aliran ini peranan yang besar dari hukum pidana dalam suatu sistem hukum merupakan kebutuhan yang tidak dapat dielakkan. Sistem hukum pidana, tindak pidana, dan penilaian hakim terhadap pelaku tindak pidana merupakan lembaga-lembaga yang harus tetap dipertahankan, namun menolak penggunaan fiksi-fiksi yuridis dan teknik-teknik yuridis yang terlepas dari kenyataan sosial dalam sistem hukum pidana tersebut. Marc Ancel menolak pandangan aliran klasik dan neoklasik yang memperlakukan pelaku tindak pidana sebagai suatu konsepsi hukum yang murni dan sanksi pidana sebagai suatu konsekuensi yang diperlukan hukum terhadap pelanggaran ketertiban serta menolak tujuan pidana atau sanksi lain sebagai “the abstract restoration of that legal order”.
3. Aliran Neoklasik (neoclassical school)
Aliran neoklasik berasal dari aliran klasik dan mulai
berkembang pada abad 19. Berdasarkan masa perkembangannya aliran neoklasik telah mendapat pengaruh dari aliran modern. Landasan aliran neoklasik sama dengan aliran klasik, yaitu 29 buku 3 ok edited.indd 29
12/12/2012 9:26:58 AM
pandangan bahwa manusia mempunyai kehendak bebas (free will). Namun mengakui bahwa kehendak bebas tersebut dapat dipengaruhi oleh patologi, ketidakmampuan, penyakit jiwa dan keadaan-keadaan lain. Menurut aliran neoklasik pidana yang dihasilkan oleh aliran klasik terlalu berat dan merusak semangat kemanusiaan yang berkembang saat itu. Oleh karena itu diterima adanya keadaan-keadaan yang meringankan dan pertanggungjawaban pidana sebagian untuk kasus-kasus tertentu karena penyakit jiwa, usia, dan keadaankeadaan lain yang dapat mempengaruhi pengetahuan dan kehendak seseorang pada saat terjadinya kejahatan. Hal lain adalah pengakuan kesaksian ahli dalam peradilan pidana untuk menentukan derajat pertanggungjawaban pelaku tindak pidana. Berkaitan dengan aliran-aliran hukum pidana, menurut Muladi berdasarkan pemahaman atas pandangan tokohtokoh aliran-aliran hukum pidana tersebut seringkali terdapat modifikasi pemikiran yang kadang-kadang memberi kesan bahwa batas-batas diantara aliran-aliran tersebut bersifat relatif atau tidak bersifat mutlak. Muladi memberi contoh pandangan Jeremy Bentham tokoh aliran klasik yang menganut prinsip-prinsip rasional yang dapat diukur dalam menilai suatu perbuatan atau pandangan Beccaria tokoh aliran klasik yang menentang pidana mati atau aliran perlindungan sosial yang menghidupkan kembali pandangan kehendak bebas dan pertanggungjawaban yang justru menjadi salah 30 buku 3 ok edited.indd 30
12/12/2012 9:26:58 AM
satu ciri aliran klasik, walaupun tidak menjadi tujuan atau konsepsi abstrak. B.
Pidana dan Tujuan Pemidanaan
Pidana berasal dari kata straf dalam bahasa Belanda dan
seringkali diterjemahkan secara berbeda misalnya diterjemahkan “hukuman” yang menurut para ahli hukum pidana dipandang kurang tepat. Istilah “hukuman” merupakan istilah umum dan konvensional, dapat mengandung arti yang luas dan berubah-ubah sesuai dengan konteksnya. Istilah “pidana” lebih sesuai dengan hukum pidana. Berikut beberapa pengertian mengenai pidana dari para ahli filsafat dan hukum pidana yang secara langsung atau tidak langsung dipengaruhi oleh teori-teori pemidanaan yang dianutnya.
Dalam Blak’s Law Dictionary pidana (punishment) diartikan
sebagai any fine, penalty or confinement inflicted upon a person by the authority od the law and judgment and sentence of the court for some crime or offense committed by him or for his omission of a duty enjoined by law. Pidana di sini dapat berupa pidana mati, penjara, kurungan atau denda yang dijatuhkan oleh orang yang mempunyai wewenang terhadap pelaku yang melakukan tindak pidana.
Menurut Roeslan Saleh pidana adalah reaksi atas delik dan
ini berujud nestapa yang dengan sengaja ditimpakan negara pada pembuat delik tersebut. Nestapa atau penderitaan tersebut bukan suatu tujuan akhir yang dicita-citakan masyarakat tetapi hanya suatu tujuan terdekat. Di samping pidana, untuk mencapai tujuantujuannya hukum pidana juga menggunakan tindakan-tindakan 31 buku 3 ok edited.indd 31
12/12/2012 9:26:58 AM
(maatregelen). Tindakan adalah sanksi yang tidak mengandung sifat pembalasan.
Pandangan lain dikemukakan oleh Alf Ross yang membedakan
pidana dengan tindakan dengan berdasar pada unsur pencelaan dan bukan unsur penderitaan. Menurut Alf Ross punishment is that social response which occurs where there violation of legal rule; is imposed and carried out by authorised persons on behalf of the legal order to which the violated rule belongs; involves suffering or at least other consequences normally considered unpleasant; expresses disapproval of the violator. Konsep pidana dari Alf Ross bertolak pada dua tujuan, yaitu: pertama, pidana ditujukan pada pengenaan penderitaan terhadap orang yang bersangkutan dan kedua, pidana merupakan suatu pernyataan pencelaan terhadap perbuatan pelaku. Dalam ilmu hukum pidana sesuai dengan perkembangan pemikiran mengenai tujuan pemidanaan yang berusaha mencari dasar pembenaran dari pidana, dapat diklasifikasi
teori-teori
tujuan pemidanaan sebagai berikut: 1. Teori retributif (retributive theory) atau teori absolut
Dasar pembenaran dari pidana menurut teori retributif
adalah terletak pada adanya tindak pidana atau tindak pidana sendiri yang memuat unsur-unsur yang membenarkan pidana dijatuhkan. Penganut aliran retributif berpendapat bahwa “punishment is simply what one deserves for having broken the law. Punishment is inherently justified in the act of lawbreaking”. Pidana dijatuhkan karena orang telah melakukan 32 buku 3 ok edited.indd 32
12/12/2012 9:26:58 AM
tindak pidana (quia peccatum est) dan tidak untuk tujuan lain. Menurut van Bemmelem absolut disini diartikan sebagai “dilepaskan” dari setiap tujuan apapun. Pidana tidak perlu mempunyai tujuan praktis atau tujuan lain selain hanya pidana saja. Kant dan Hegel meyakini mutlak keniscayaan pidana, sekalipun pemidanaan tersebut sebenarnya tidak berguna atau bahkan menimbulkan keadaan pelaku tindak pidana menjadi lebih buruk. Pembalasan tetap dipertahankan sebagai landasan pidana. Pidana menurut Kant adalah tuntutan etis atau tuntutan kesusilaan, perintah hati nurani. Pidana merupakan kategori imperatif atau tuntutan mutlak karena pelaku telah bersalah melakukan tindak pidana. Pidana bukan merupakan alat untuk mencapai tujuan melainkan mencerminkan keadilan. Hegel memandang pidana dari logika dialektis sebagai konsekuensi logikal dan keniscayaan etis. Pidana adalah suatu penyangkalan dari penyangkalan hukum yang terletak dalam tindak pidana itu sendiri. Tindak pidana dalam hal ini dipandang sebagai pengingkaran terhadap ketertiban hukum negara yang merupakan perwujudan cita-susila. Menurut Remmelink ajaran absolut dari Kant dan Hegel tindak pidana adalah peristiwa yang berdiri sendiri, ada kesalahan yang harus dipertanggungjawabkan dan dengan pidana persoalan dituntaskan. Kesalahan hanya dapat ditebus dengan menjalani pidana. Dalam ajaran absolut sulit untuk membuat argumentasi teoritis berkaitan dengan strafsoort (jenis pidana) dan strafmaat (berat ringannya pidana) serta untuk menempatkan pranata33 buku 3 ok edited.indd 33
12/12/2012 9:26:58 AM
pranata hukum seperti pidana bersyarat, asas oportunitas, pernyataan bersalah tanpa penjatuhan pidana, daluwarsa, reclassering, dan pidana anak. 2. Teori teleologis atau teori tujuan atau teori relatif (utilitarian theory)
Dasar pembenaran pidana menurut teori tujuan adalah
terletak pada tujuannya. Tujuan-tujuan pidana tersebut harus mempunyai kemanfaatan, misalnya untuk mempertahankan tata tertib hukum masyarakat atau mencegah (prevention) dilakukannya suatu tindak pidana. Oleh karena itu teori ini disebut teori tujuan (utilitarian theory). Menurut Remmelink dalam teori relatif hubungan antara ketidakadilan dengan pidana bukan hubungan yang ditegaskan secara a-priori sebagaimana teori absolut, tetapi dikaitkan dengan tujuan yang hendak dicapai. Oleh karena itu teori ini disebut juga teori relational berkaitan dengan pengertian related to.
Pidana
dalam
perspektif
pertahanan
tata
tertib
masyarakat adalah suatu noodzakelijk, sesuatu yang terpaksa diperlukan. Menurut penganut teori tujuan punishment is only because doing so has socially desirable consequences. Teori tujuan menekankan pada dua konsekuensi pemidanaan yang dikehendaki, yaitu pertama, efek pencegahan (deterrent effect). Pidana biasanya mempunyai nilai karena mencegah pelaku tindak pidana mengulangi tindak pidananya dan mencegah yang lainnya untuk melakukan tindak pidana serupa. Kedua, pidana untuk memperbaiki pelaku tindak pidana. Pidana dapat 34 buku 3 ok edited.indd 34
12/12/2012 9:26:58 AM
mengubah seseorang sehingga dia tidak mudah mempunyai keingingan untuk menghalangi ketertiban sosial dengan perbuatan-perbuatan yang melanggar keinginan-keinginan dan kebutuhan-kebutuhan orang lain yang sah.
Teori tujuan dapat dibedakan dalam teori prevensi
umum dan teori prevensi khusus. Prevensi umum bertujuan untuk mencegah agar orang pada umumnya melakukan tindak pidana. Negara berwenang untuk menjatuhkan pidana dan mencegah rakyat pada umumnya untuk melakukan tindak pidana. Efek pencegahan dalam prevensi umum terletak pada pertama, penjatuhan pidana yang bersifat menakutkan. Pandangan ini menitik beratkan pada eksekusi pemidanaan yang dipertunjukkan kepada umum sehingga menakutkan anggota masyarakat untuk melakukan tindak pidana. Oleh karena itu perlu dibuat pidana yang berat dan eksekusi pidana yang berat tersebut dilakukan di muka umum. Kedua, unsur utama yang dapat menahan niat jahat manusia untuk melakukan tindak pidana terletak pada sanksi pidana. Menurut von Feuerbach sanksi pidana menimbulkan suatu tekanan secara kejiwaan atau daya paksa psikis (psychologische zwang) yang dapat mencegah manusia melakukan tindak pidana. Menurut Johannes Andenaes prevensi umum mempunyai tiga bentuk pengaruh, yaitu: a. Pengaruh pencegahan; b. Pengaruh untuk memperkuat larangan-larangan moral;
35 buku 3 ok edited.indd 35
12/12/2012 9:26:59 AM
c. Pengaruh untuk mendorong kebiasaan perbuatan patuh pada hukum. Salah seorang penganut teori prevensi umum, van Veen menyatakan bahwa prevensi umum mempunyai tiga fungsi, yaitu: (1) menjaga dan menegakkan wibawa penguasa, yaitu berperan dalam perumusan tindak pidana yang langsung bersinggungan dengan wibawa pemerintah; (2) menjaga (pemberlakuan)
atau
menegakkan
norma
hukum;
(3)
pembentukan norma, menggarisbawahi pandangan bahwa perbuatan-perbuatan tertentu dianggap a-susila sehingga tidak diperbolehkan. Prevensi khusus bertujuan untuk mencegah agar pelaku tindak pidana tidak mengulangi melakukan tindak pidana. Teori prevensi khusus mengoreksi kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam prevensi umum. Menurut van Hamel adalah tidak adil menjatuhkan pidana terhadap pelaku tindak pidana lebih berat dari tindak pidana yang dilakukannya. Sanksi pidana terhadap umum tidak dapat diancamkan lebih berat daripada sanksi pidana terhadap seorang individu, karena dalam kenyataan dimungkinkan seorang pelaku tindak pidana mendapat pidana yang beratnya melebihi beratnya tindak pidana yang dia dilakukan. Oleh karena itu pembentuk undang-undang dalam menentukan sanksi pidana hanya boleh membayangkan sanksi pidana terhadap individu. Menurut van Hamel pidana yang bersifat prevensi khusus adalah: a. Pidana harus memuat suatu unsur yang menakutkan agar 36 buku 3 ok edited.indd 36
12/12/2012 9:26:59 AM
dapat mencegah secara khusus
pelaku tindak pidana
mempunyai kesempatan melakukan niat jahat. b. Pidana harus memuat suatu unsur yang memperbaiki bagi terpidana, yang nanti memerlukan reclassering. c. Pidana harus memuat suatu unsur membinasakan bagi pelaku tindak pidana yang sama sekali tidak dapat diperbaiki lagi. d. Tujuan satu-satunya pidana adalah mempertahankan tata tertib hukum. Berbagai pandangan para pakar yang tergolong penganut teori tujuan atau teori relatif bervariasi dengan titikberat yang berbeda-beda. Teori-teori dari tokoh aliran ini yang lahir kemudian berupaya untuk menyempurnakan kelemahankelemahan yang dipandang ada pada teori-teori dari tokohtokoh sebelumnya. 3. Teori menggabungkan atau teori integratif (integrative theory)
Teori ini menggabungkan dasar pembenaran pidana pada
pembalasan (teori absolut) dan tujuan pidana yang bermanfaat (teori tujuan). Menurut Utrecht teori-teori menggabungkan dapat dibedakan dalam tiga golongan: a. Teori
menggabungkan
yang
menitikberatkan
pada
pembalasan tetapi pembalasan tersebut tidak boleh melebihi batas yang diperlukan dan sudah cukup untuk dapat mempertahankan tata tertib masyarakat. b. Teori-teori menggabungkan yang menitikberatkan pada mempertahankan tata tertib masyarakat, tetapi beratnya 37 buku 3 ok edited.indd 37
12/12/2012 9:26:59 AM
pidana harus sesuai dengan beratnya tindak pidana yang dilakukan. c. Teori
menggabungkan
yang
menitikberatkan
pada
pembalasan dan mempertahankan tata tertib masyarakat. Menurut Hugo Grotius salah satu penganut teori menggabungkan: kodrat mengajarkan bahwa siapa berbuat jahat, ia akan terkena derita. Penderitaan adalah sesuatu yang wajar ditanggung pelaku tindak pidana, namun berat ringannya pidana yang layak dijatuhkan pada pelaku didasarkan pada kemanfaatan sosial. Demikian pula menurut Pellegrino Rossi, penjatuhan pidana terutama adalah menerapkan pembalasan dan menjalankan keadilan. Namun karena kita hidup dalam masyarakat yang tidak sempurna maka tidak mungkin untuk menuntut keadilan yang absolut dan harus cukup dengan pemidanaan yang dilandaskan pada tertib sosial etikal yang tidak sempurna (keadilan sosial).
Packer dalam bab tentang “Toward an Integrated Theory
of Criminal Punishment” kiranya dapat dimasukkan sebagai penganut teori integratif yang menolak baik teori retributif maupun teori tujuan. Tujuan utama pemidanaan adalah pengenaan penderitaan yang setimpal terhadap pelaku tindak pidana dan pencegahan.
Pakar hukum pidana Indonesia yang dapat dimasukkan
dalam penganut teori integratif tentang tujuan pemidanaan adalah Muladi.
Dalam disertasinya Muladi menyatakan
menganut teori integratif dengan mengadakan kombinasi 38 buku 3 ok edited.indd 38
12/12/2012 9:26:59 AM
tujuan pemidanaan yang cocok dengan pendekatan sosiologis, ideologis dan yuridis filosofis. Tujuan pemidanaan adalah: (1) pencegahan (umum dan khusus); (2) perlindungan masyarakat; (3) memelihara solidaritas sosial masyarakat; dan (4) pengimbalan/pembalasan.
Dalam Seminar Pembaharuan Hukum Pidana Nasional
1980 dinyatakan bahwa sesuai dengan politik hukum pidana, tujuan pemidanaan harus diarahkan kepada perlindungan masyarakat dari kejahatan serta keseimbangan dan keselarasan hidup dalam masyarakat dengan memperhatikan kepentingankepentingan
masyarakat/negara,
korban
dan
pelaku.
Berdasarkan tujuan pemidanaan dalam seminar tersebut, menurut Barda Nawawi Arief pemidanaan harus mengandung unsur-unsur: a. kemanusiaan, dalam arti menjunjung tinggi harkat dan martabat seseorang; b. edukatif, dalam arti harus mampu menimbulkan kesadaran jiwa yang positif dan konstruktif pada diri pelanggar hukum; dan c. keadilan, dalam arti dirasakan adil baik oleh pelaku maupun korban atau masyarakat. Dalam
konsep
KUHP
tujuan
pemidanaan
secara
komprehensif mencakup perlindungan berbagai kepentingan hukum, yaitu untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat, resosialisasi terpidana dengan mengadakan 39 buku 3 ok edited.indd 39
12/12/2012 9:26:59 AM
pembinaan sehingga menjadikannya orang yang baik dan berguna, menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat, serta membebaskan rasa bersalah pada terpidana. Pandangan mengenai tujuan pemidanaan yang memberikan perlindungan terhadap berbagai kepentingan hukum dikemukakan oleh Bassiouni yang menyatakan bahwa Tujuan pemidanaan menurut Bassiouni pada umumnya terwujud dalam perlindungan terhadap kepentingan-kepentingan sosial yang mengandung nilai-nilai tertentu, yaitu: a. Pemeliharaan tertib masyarakat; b. Perlindungan warga masyarakat dari kejahatan, kerugian atau bahaya-bahaya yang bersifat melawan hukum; c. Memasyarakatkan kembali para pelaku tindak pidana (resosialisasi); d. Memelihara dan mempertahankan integritas pandanganpandangan dasar tertentu mengenai keadilan sosial, martabat kemanusiaan, dan keadilan individu. Pandangan mengenai tujuan pemidanaan dari Remmelink lebih menitikberatkan pada perlindungan masyarakat dan norma yang diaturnya. Menurut Remmelink tujuan sanksi pidana adalah untuk melindungi masyarakat terhadap ancaman bahaya in concreto atau yang mungkin muncul di masa depan sebagai dampak pelanggaran norma tersebut atau yang bersumber dari pelaku. Sanksi pidana dimaksudkan untuk memberikan perlindungan terhadap norma. Selama norma 40 buku 3 ok edited.indd 40
12/12/2012 9:26:59 AM
hukum belum dilanggar, sanksi pidana hanya memiliki fungsi preventif dan ketika terjadi pelanggaran daya kerjanya berubah sekaligus juga menjadi represif.
Sehubungan dengan berbagai pandangan mengenai
tujuan pemidanan dalam ilmu hukum pidana di atas bagi negara Indonesia tujuan pemidanaan tersebut tentunya tidak dapat begitu saja mengadopsi teori-teori tujuan pemidanaan tersebut tetapi sudah seharusnya disesuaikan dengan nilai-nilai sosial budaya bangsa Indonesia. Kiranya dapat disetujui pandangan Muladi mengenai tujuan pemidanaan yang integratif dengan didasarkan pada alasan sosiologis (hakikat manusia dalam konteks masyarakat Indonesia), ideologis (filsafat Pancasila), dan yuridis filosofis masyarakat, bangsa, dan negara Indonesia. Mengingat hukum pidana atau pidana menurut Packer dapat menjadi pengancam yang utama (prime threatener) bila digunakan secara paksa, menyamaratakan, dan tidak manusiawi maka pemikiran-pemikiran berikut
harus dipertimbangkan
ketika hukum pidana atau pidana akan didayagunakan. a. Nigel Walker Dalam
menggunakan
sarana
penal
Nigel
walker
mengemukakan prinsip-prinsip pembatas (the limiting principles) yang harus diperhatikan: hukum pidana jangan digunakan semata-mata untuk tujuan pembalasan; hukum pidana jangan digunakan untuk memidana perbuatan yang tidak merugikan/membahayakan; 41 buku 3 ok edited.indd 41
12/12/2012 9:26:59 AM
hukum pidana jangan digunakan untuk mencapai suatu tujuan yang dapat dicapai secara lebih efektif dengan sarana-sarana yang lebih ringan; hukum pidana jangan digunakan apabila kerugian/bahaya yang timbul dari pidana lebih besar daripada kerugian/ bahaya dari perbuatan/tindak pidana itu sendiri; hukum pidana jangan mengandung sifat yang lebih berbahaya daripada perbuatan yang akan dicegah; hukum pidana jangan memuat larangan-larangan yang tidak mendapat dukungan kuat dari publik. b. Modderman Dalam penggunaan hukum pidana menurut Modderman terdapat beberapa asas yang harus diperhatikan, yaitu: 1) Yang dapat dipidana adalah orang yang melanggar hukum; 2) Perbuatan itu melanggar hukum; 3) Ancaman pidana harus tetap merupakan suatu ultimum remedium; 4) Harus mempertimbangkan untung dan rugi penggunaan sanksi pidana; 5) Sanksi pidana tidak boleh lebih jahat dari kejahatannya. c. Herbert L. Packer Penggunaan pidana sebagai salah satu alternatif untuk menanggulangi tindak pidana harus memperhatikan lima karakteristik pidana berikut:
42 buku 3 ok edited.indd 42
12/12/2012 9:26:59 AM
a. it must be involve pain or other consequences normally considered unpleasant; b. it must be for an offense against legal rules. c. It must be imposed on an actual or supposed offender for his offense. d. It must be intentionally administered by human beings other than offender. e. It must be imposed and administered by an authority constituted by a legal system against which he offense is committed. Berbagai teori dan pandangan para pakar hukum pidana tersebut di atas menunjukkan bahwa hukum pidana mempunyai kontribusi yang relatif penting dalam penanggulangan tindak pidana. Berdasarkan landasan asas legalitas, politik hukum pidana (kebijakan legislatif/formulatif) dalam hal ini proses pembentukan hukum pidana merupakan hal esensil dan mutlak dilakukan. Asas legalitas mensyaratkan bahwa perbuatan yang dikualifikasi sebagai tindak pidana dan diancam dengan pidana harus diatur dalam undang-undang. Dengan demikian pembentukan undang-undang dalam politik hukum pidana mempunyai peranan yang penting dan strategis. Menurut Romli Atmasasmita peranan pembentuk undang-undang sangat menentukan dalam politik kriminal (criminal policy), yaitu menentukan arah kebijakan hukum pidana dan hukum pelaksanaan pidana yang hendak ditempuh dan sekaligus menjadi tujuan dari penegakan hukum. Demikian pula 43 buku 3 ok edited.indd 43
12/12/2012 9:26:59 AM
pandangan Sudarto yang menyatakan bahwa pembentukan undang-undang merupakan proses sosial dan proses politik yang sangat penting artinya dan mempunyai pengaruh luas karena undang-undang tersebut akan memberi bentuk dan mengatur atau mengendalikan masyarakat. Undang-undang mempunyai dua fungsi, yaitu: fungsi untuk mengekspresikan nilai-nilai dan fungsi instrumental.
Pandangan tersebut ini tidak dapat dilepaskan dari sistem
hukum Indonesia yang menempatkan perundang-undangan (hukum tertulis) sebagai sumber hukum utamanya. Oleh karena itu dalam pembentukan undang-undang yang dilakukan melalui proses politik harus memperhatikan persyaratan berikut: 1. Dapat menyerap aspirasi suprastruktural; 2. Dapat mengartikulasi aspirasi infrastruktural; 3. Mengikutsertakan pandangan-pandangan kepakaran; 4. Memperhatikan
kecenderungan-kecenderungan
internasional yang diakui masyarakat beradab; 5. Menjaga sinkronisasi vertikal dan horisontal; 6. Dapat menjaga keselarasan, keserasian, dan keseimbangan antara
pemikiran
penertiban
(ordeningsdenken)
dan
pemikiran pengaturan (regelingsdenken). Persyaratan yang harus diperhatikan oleh pembentuk undang-undang tersebut adalah ideal untuk membentuk undangundang yang baik, termasuk mengenai norma pemidanaannya yaitu undang-undang yang memenuhi landasan filosofis, 44 buku 3 ok edited.indd 44
12/12/2012 9:26:59 AM
sosiologis, politis, dan adaptif. Dalam proses pembentukan suatu undang-undang sudah seharusnya melibatkan tidak saja unsur birokrat (eksekutif) dan legislatif (DPR) tetapi juga melibatkan stakeholder atau unsur-unsur dari masyarakat yang mempunyai kapabilitas untuk memenuhi persyaratan tersebut. C.
Sistem Pemidanaan
Pemidanaan berasal dari kata dasar “pidana” yang mendapat
awalan “pe” dan akhiran “an” yang dalam bahasa Indonesia awalan dan akhiran “pe-an” tersebut merupakan pembentuk kata benda, dengan demikian dapat diartikan pemidanaan sebagai penjatuhan pidana atau pemberian pidana. menurut Sudarto sinonim dari pemidanaan adalah penghukuman dalam perkara pidana. Pengertian sistem pemidanaan menurut
Hulsman dapat
mempunyai arti yang relatif luas, yaitu aturan perundang-undangan yang berhubungan dengan sanksi pidana dan pemidanaan. Selanjutnya menurut Barda NawawiArief bila pemidanaan diartikan secara luas sebagai suatu proses penjatuhan atau pemberian pidana maka sistem pemidanaan mencakup keseluruhan perundangundangan yang mengatur bagaimana hukum pidana itu ditegakkan atau dioperasionalkan secara konkret sehingga seseorang dijatuhi pidana. Hal ini berarti semua perundang-undangan hukum pidana substantif, hukum pidana formil, dan hukum pelaksanaan pidana merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan. Lebih lanjut menurut Barda sistem pemidanaan dalam arti luas berkaitan dengan sistem hukum nasional.
Dalam penulisan ini sistem pemidanaan tidak diartikan dalam 45
buku 3 ok edited.indd 45
12/12/2012 9:26:59 AM
arti luas tetapi dibatasi dalam hukum pidana substantif yang terdapat dalam KUHP dan undang-undang di luar KUHP sebagai subsistem pemidanaan. Menurut Barda sistem pemidanaan substantif adalah sistem pemidanaan dalam perundangan-undangan pidana atau keseluruhan aturan hukum pidana positif/perundang-undangan pidana. Ketentuan-ketentuan tentang pemidanaan dalam Aturan Umum (Buku I KUHP) maupun ketentuan penyimpangannya dalam undang-undang di luar KUHP dan Aturan Khusus mengenai tindak pidana (Buku II dan Buku III KUHP serta undang-undang di luar KUHP) merupakan satu kesatuan sistem pemidanaan. Penulisan sistem pemidanaan ini akan menyoroti mengenai sistem sanksi, jenis sanksi pidana (strafsoort), berat ringannya pidana (strafmaat), dan cara pidana dilaksanakan (strafmodus) serta sistem perumusan sanksi pidana.
46 buku 3 ok edited.indd 46
12/12/2012 9:26:59 AM
BAB III ANALISIS SISTEM PEMIDANAAN HUKUM PIDANA INDONESIA DI DALAM DAN DI LUAR KUHP
A. Sistem Pemidanaan dalam Hukum Pidana Indonesia di Dalam dan di Luar KUHP Buku I KUHP tentang Ketentuan Umum mengatur mengenai asas, pengertian, dan ajaran hukum pidana termasuk mengenai pemidanaan. Ketentuan-ketentuan dalam Buku I KUHP tersebut khususnya Bab I sampai dengan Bab VIII berlaku terhadap perbuatan-perbuatan yang diancam dengan pidana
baik yang
terdapat dalam KUHP, yaitu Buku II tentang Kejahatan dan Buku III tentang Pelanggaran maupun di luar KUHP, yaitu perundang-undangan
yang
mengatur
perbuatan-perbuatan
tertentu dengan ancaman pidana. Perundang-undangan pidana tersebut dapat dikualifikasikan sebagai hukum pidana khusus atau hukum administrasi yang memuat sanksi pidana (hukum pidana administratif). Hal ini didasarkan pada ketentuan Pasal 103 KUHP yang menyatakan bahwa “Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII buku ini juga berlaku bagi perbuatan-perbuatan yang oleh ketentuan perundang-undangan lainnya diancam dengan pidana, kecuali jika oleh undang-undang ditentukan lain”. Ketentuan Pasal 103 tersebut mengandung makna, yaitu: 47 buku 3 ok edited.indd 47
12/12/2012 9:26:59 AM
1. Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII Buku I tentang Ketentuan Umum berlaku bagi tindak pidana yang diatur di dalam KUHP dalam hal ini Buku II tentang Kejahatan dan Buku III tentang Pelanggaran. 2. Ketentuan-ketentuan dalam Bab I sampai Bab VIII Buku I tentang Ketentuan Umum berlaku bagi tindak pidana yang diatur di luar KUHP atau undang-undang di luar KUHP memuat sanksi pidana. 3. Undang-undang di luar KUHP dapat mengatur ketentuanketentuan yang menyimpang dari Aturan Umum dalam Bab I sampai Bab VIII Buku I. Dengan demikian maka ketentuan-ketentuan mengenai pemidanaan dalam Buku I KUHP juga berlaku bagi tindak pidana di dalam dan diluar KUHP sepanjang undang-undang di luar KUHP tidak mengatur lain menyimpang dari Aturan Umumnya. Berdasarkan argumentasi tersebut dapat dipahami bahwa menurut Barda Nawawi Arief sistem pemidanaan substansial dalam Aturan Umum (Buku I KUHP) dipandang sebagai sistem induk dari sistem pemidanaan dalam hukum pidana positif Indonesia atau perundang-undangan pidana Indonesia. Sebagai suatu sistem ketentuan-ketentuan dalam Buku I KUHP sebagai
subsistem
pemidanaan merupakan satu kesatuan dan oleh karenanya juga ketentuan-ketentuan yang mengatur pemidanaan baik dalam Buku II dan Buku III KUHP maupun dalam perundang-undangan di luar KUHP harus menginduk pada sistem pemidanaan dalam Buku I KUHP. Apabila ketentuan pemidanaan dalam perundang48 buku 3 ok edited.indd 48
12/12/2012 9:26:59 AM
undangan di luar KUHP tidak sesuai (compatible) dengan sistem induknya maka ketentuan pemidanaan tersebut tidak dapat diimplementasikan.
Buku I KUHP Bab I sampai Bab VIII mengatur ketentuan-
ketentuan sebagai berikut: 1. Bab I - Batas-batas berlakunya Aturan Pidana dalam Perundangundangan. 2. Bab II – Pidana. 3. Bab III - Hal-hal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana. 4. Bab IV – Percobaan. 5. Bab V - Penyertaan Dalam Tindak Pidana. 6. Bab VI - Perbarengan Tindak Pidana. 7. Bab VII - Mengajukan dan Menarik Kembali Pengaduan dalam Hal Kejahatan-kejahatan yang Hanya Dituntut atas Pengaduan. 8. Bab VIII - Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana.
Dari kedelapan Bab tersebut, yang berkaitan dengan sistem
pemidanaan adalah Bab II tentang Pidana, Bab III tentang Halhal yang Menghapuskan, Mengurangi atau Memberatkan Pidana, dan Bab VIII tentang Hapusnya Kewenangan Menuntut Pidana dan Menjalankan Pidana. Ketentuan mengenai pemidanaan di samping yang ada dalam KUHP juga dalam perundang-undangan di luar KUHP. Analisis akan dilakukan terhadap KUHP dan perundang-undangan di luar KUHP dalam konteks satu kesatuan sistem pemidanaan. 49 buku 3 ok edited.indd 49
12/12/2012 9:26:59 AM
1. Strafsoort (Jenis-jenis Pidana) Jenis-jenis pidana menurut KUHP terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan sebagaimana diatur dalam Pasal 10: a. Pidana pokok, yaitu: 1) pidana mati; 2) pidana penjara; a) seumur hidup; atau b) selama waktu tertentu: paling pendek 1 hari, paling lama 15 tahun. Tidak boleh lebih dari 20 tahun dan alternatif dengan pidana mati atau seumur hidup. 3) pidana kurungan; Paling sedikit 1 hari dan paling lama 1 tahun. Pemberatan kurungan dapat menjadi 1 tahun 4 bulan. 4) pidana denda; 5) pidana tutupan. Pidana tutupan didasarkan pada UndangUndang Nomor 20 Tahun 1946 tentang Hukuman Tutupan. b. Pidana tambahan, yaitu: 1) pencabutan hak-hak tertentu; 2) perampasan barang-barang tertentu; 3) pengumuman putusan hakim.
Di samping jenis sanksi berupa pidana, dalam KUHP
juga diatur jenis sanksi berupa tindakan sebagaimana diatur dalam Pasal 44 ayat (2), Pasal 45 dan Pasal 46. Jenis sanksi berupa tindakan tersebut adalah: a. Hakim dapat memerintahkan supaya orang yang tidak dapat 50 buku 3 ok edited.indd 50
12/12/2012 9:26:59 AM
dipertangungjawabkan karena jiwanya cacat dalam tumbuhnya atau terganggu karena penyakit dimasukkan ke rumah sakit jiwa, paling lama satu tahun sebagai waktu percobaan. (Pasal 44 ayat 2) b. Hakim dapat memerintahkan supaya anak yang bersalah, yang belum cukup umur (minderjarig) atau sebelum umur 16 tahun untuk: 1) dikembalikan
kepada
orang
tuanya,
walinya
atau
pemeliharanya, tanpa pidana apa pun; atau 2) memerintahkan supaya yang bersalah diserahkan kepada pemerintah tanpa pidana apa pun (Pasal 45). Jika diserahkan pada pemerintah dan anak tersebut dimasukkan dalam rumah pendidikan negara maka penyelenggaraannya didasarkan pada Dwangopvoedingregeling (Lembaga Pendidikan Paksa) Staatsblaad 1916 Nomor 741. Pendidikan negara tersebut agar anak tersebut menerima pendidikan dari pemerintah atau di kemudian hari dengan cara lain, atau diserahkan kepada seorang tertentu yang bertempat tinggal di Indonesia atau kepada sesuatu badan hukum, yayasan atau lembaga amal yang berkedudukan di Indonesia untuk menyelenggarakan pendidikannya, atau di kemudian hari, atas tanggungan pemerintah, dengan cara lain; dalam kedua hal di atas, paling lama sampai orang yang bersalah itu mencapai umur delapan belas tahun. Berdasarkan uraian di atas, maka dapat dikatakan bahwa pada dasarnya KUHP telah menganut sistem sanksi dua jalur (double track system) yaitu pidana dan tindakan walaupun tidak 51 buku 3 ok edited.indd 51
12/12/2012 9:26:59 AM
dinyatakan secara tegas dalam rumusan pasalnya. Jenis-jenis pidana yang dipergunakan dalam perundangundangan di luar KUHP pada dasarnya sama dengan yang diatur dalam Pasal 10 KUHP, yaitu: 1) pidana mati 2) pidana penjara 3) pidana kurungan 4) pidana denda Pidana tutupan tidak pernah digunakan dalam undang-undang di luar KUHP. Pada umumnya jenis pidana yang sering digunakan adalah pidana penjara dan pidana denda, hampir setiap undang-undang di luar KUHP yang memuat ancaman pidana menggunakan pidana penjara dan pidana denda. Dari 55 undang-undang di luar KUHP yang diteliti hanya 3 undang-undang yang tidak menggunakan pidana penjara, yaitu Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan (menggunakan pidana kurungan dan denda), UndangUndang Praktik Monopoli dan Persaingan Usaha Tidak Sehat (hanya menggunakan pidana denda), dan Undang-Undang Jaminan Sosial Tenaga Kerja (menggunakan pidana kurungan dan denda), sedangkan pidana denda digunakan hampir di semua undang-undang kecuali Undang-Undang
Pengadilan
HAM.
Undang-undang di luar KUHP yang menggunakan pidana mati hanya 4 undang-undang, yaitu Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Narkotika, Undang-Undang Terorisme, dan Undang-Undang Pengadilan HAM. 52 buku 3 ok edited.indd 52
12/12/2012 9:26:59 AM
Pidana tambahan dalam beberapa undang-undang di luar KUHP diatur secara tersendiri. Dari 55 undang-undang yang diteliti, 24 undang-undang mengatur pidana tambahan. Berikut beberapa jenis pidana tambahan yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP: a. Undang-Undang Tindak Pidana Ekonomi 1) pencabutan hak dalam Pasal 35 KUHP untuk selama waktu tertentu. 2) penutupan seluruhnya atau sebagian perusahaan terpidana paling lama 1 tahun. 3) perampasan barang-barang tidak tetap yang berwujud dan yang tak berwujud,
yang
termasuk
perusahaan
terpidana. 4) pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan kepada si terhukum oleh Pemerintah. 5) pengumuman putusan hakim. b. Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi 1) Pidana tambahan dalam KUHP a) pencabutan hak-hak tertentu; b) perampasan barang-barang tertentu; c) pengumuman putusan hakim. 2) Pidana tambahan lain berupa: (Pasal 18) a) perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud; 53 buku 3 ok edited.indd 53
12/12/2012 9:26:59 AM
b) pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyakbanyaknya dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi; c) penutupan usaha atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun; d) pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana. c. Undang-Undang Tindak Pidana Perdagangan Orang 1) Pemberhentian secara tidak hormat dari jabatannya (Pasal 8 ayat (2)); 2) pencabutan izin usaha; 3) perampasan kekayaan hasil tindak pidana; 4) pencabutan status badan hukum; 5) pemecatan pengurus; dan/atau 6) pelarangan kepada pengurus tersebut untuk mendirikan korporasi dalam bidang usaha yang sama. d. Undang-Undang Pornografi 1) pembekuan izin usaha; 2) pencabutan izin usaha; 3) perampasan kekayaan hasil tindak pidana; dan 4) pencabutan status badan hukum. e. Undang-Undang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang 1) pengumuman putusan hakim; 54 buku 3 ok edited.indd 54
12/12/2012 9:27:00 AM
2) pembekuan sebagian atau seluruh kegiatan usaha Korporasi; 3) pencabutan izin usaha; 4) pembubaran dan/atau pelarangan Korporasi; 5) perampasan aset Korporasi untuk negara. f. Undang-Undang Psikotropika Pencabutan izin usaha g. Undang-Undang Perlindungan Konsumen 1) perampasan barang tertentu; 2) pengumuman keputusan hakim; 3) pembayaran ganti rugi; 4) perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen; 5) kewajiban penarikan barang dari peredaran; atau 6) pencabutan izin usaha. h. Undang-Undang Telekomunikasi Alat dan perangkat telekomunikasi yang digunakan dalam tindak pidana dirampas untuk negara dan/atau dimusnahkan. i. Undang-Undang Paten Barang hasil pelanggaran paten disita untuk dimusnahkan. j. UU Minyak dan Gas Bumi 1) Pencabutan hak atau 2) Perampasan barang yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana k. Undang-Undang Hak Cipta Ciptaan atau barang hasil tindak pidana hak cipta atau hak terkait serta alat yang digunakan dirampas oleh negara untuk 55 buku 3 ok edited.indd 55
12/12/2012 9:27:00 AM
dimusnahkan. l. Undang-Undang Perkebunan Semua benda hasil
tindak pidana dapat dirampas dan/atau
dimusnahkan oleh negara. m. Undang-Undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga 1) pembatasan gerak pelaku baik yang bertujuan untuk menjauhkan pelaku dari korban dalam jarak dan waktu tertentu, maupun pembatasan hak-hak tertentu dari pelaku; 2) penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga tertentu. n. Undang-Undang Praktik Kedokteran Pencabutan izin. o. Undang-Undang Kewarganegaraan RI Dicabut izin usahanya. p. Undang-Undang Penanggulangan Bencana 1) Pencabutan izin usaha; atau 2) Pencabutan status badan hukum. q. Undang-Undang Penataan Ruang 1) Pencabutan izin usaha dan/atau 2) Pencabutan status badan hukum 3) Pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya r. Undang-Undang Pelayaran Pemberhentian secara tidak dengan hormat dari jabatannya. s. UU Pertambangan, Mineral dan Batubara 1) Pencabutan izin usaha; dan/atau 56 buku 3 ok edited.indd 56
12/12/2012 9:27:00 AM
2) Pencabutan status badan hukum 3) Perampasan barang yang digunakan dalam melakukan tindak pidana 4) Perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau 5) Kewajiban membayar biaya yang timbul akibat tindak pidana. t. Undang-Undang Peternakan Kesehatan Hewan Pencabutan izin usaha, status badan hukum atau status kepegawaian dari pejabat yang berwenang. u. Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan 1) pencabutan Surat Izin Mengemudi atau 2) ganti kerugian yang diakibatkan oleh tindak pidana lalu lintas. 3) pembekuan sementara atau 4) pencabutan izin penyelenggaraan angkutan bagi kendaraan yang digunakan. v. Undang-Undang Narkotika 1) pencabutan izin usaha; dan/atau 2) pencabutan status badan hukum. 3) Narkotika dan Prekursor Narkotika serta hasil-hasil yang diperoleh dari tindak pidana Narkotika dan/atau tindak pidana Prekursor Narkotika dirampas untuk negara. w. Undang-Undang Perikanan Benda dan/atau alat yang dipergunakan dalam dan/atau yang dihasilkan dari tindak pidana perikanan dapat dirampas untuk 57 buku 3 ok edited.indd 57
12/12/2012 9:27:00 AM
negara. Perumusan pidana tambahan dalam undang-undang di luar KUHP disesuaikan dengan karateristik tindak pidananya sehingga beberapa undang-undang mengatur pidana tambahan yang berbeda dengan undang-undang yang lain. Beberapa undang-undang di luar KUHP juga mengatur sanksi berupa tindakan (treatment/maatregel) secara bervariasi sesuai dengan karakteristik tindak pidananya, antara lain: 1) Undang-Undang tindak Pidana Ekonomi a) penempatan perusahaan si-terhukum, di mana dilakukan suatu tindak-pidana ekonomi di bawah pengampuan untuk waktu tertentu ( tiga tahun, kejahatan dan 2 tahun untuk pelanggaran). b) kewajiban membayar uang-jaminan selama waktu tertentu. c) kewajiban mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak, meniadakan apa yang dilakukan tanpa hak, dan melakukan jasa-jasa untuk memperbaiki akibat-akibat satu sama lain, semua atas biaya terpidana sekadar hakim tidak menentukan lain. 2) Undang-Undang Pemberantasan Terorisme Dibekukan atau dicabut izinnya dan dinyatakan sebagai korporasi yang terlarang 3) Undang-Undang Pengelolaan Lingkungan Hidup a) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; dan/atau b) penutupan seluruhnya atau sebagaian perusahaan; dan/atau 58 buku 3 ok edited.indd 58
12/12/2012 9:27:00 AM
c) perbaikan akibat tindak pidana; dan/atau d) mewajibkan mengerjakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau e) meniadakan apa yang dilalaikan tanpa hak; dan/atau f) menempatkan perusahaan di bawah pengampuan paling lama 3 (tiga) tahun. 4) Undang-Undang Narkotika Kewajiban untuk rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial. Dalam Undang-Undang Pemberantasan Terorisme di atas “pembekuan atau pencabutan izin usaha korporasi” menjadi sanksi berupa tindakan sedangkan dalam undang-undang lain menjadi pidana tambahan. Berdasarkan jenis-jenis sanksi yang diatur dalam undangundang di luar KUHP sebagaimana diuraikan di atas maka pada umumnya sistem sanksi yang dianut adalah sistem satu jalur, yaitu hanya menggunakan sanksi pidana saja baik pidana pokok saja maupun dengan pidana tambahan (51 undang-undang dari 55 undang-undang di luar KUHP yang diteliti). Hanya 4 undangundang di luar KUHP yang menggunakan sistem dua jalur (double track system), yaitu sanksi pidana dan tindakan. Penggunaan jenis sanksi pidana pokok pada dasarnya sesuai dengan sistem induknya yang diatur dalam Buku I KUHP, sedangkan pidana tambahan dan tindakan banyak yang menyimpang dari ketentuan umumnya. Penyimpangan ini dimungkinkan berdasarkan ketentuan Pasal 103 KUHP, namun untuk penggunaan pidana tambahan harus tetap memperhatikan 59 buku 3 ok edited.indd 59
12/12/2012 9:27:00 AM
tujuan pemidanaan karena tidak dapat dilepaskan dari pidana pokoknya. Demikian pula penggunaan
“tindakan” harus
memperhatikan hakikatnya yang tidak bersifat penghukuman tetapi lebih pada memulihkan keadaan. 2. Strafmaat (Berat ringannya Pidana) Strafmaat atau penetapan berat ringannya pidana dalam KUHP menganut sistem maksimum (indefinite), dengan minimum umum yang sangat rendah, yaitu 1 hari untuk pidana penjara dan pidana kurungan. Pidana pengganti denda adalah pidana kurungan paling sedikit 1 hari dan paling lama 6 bulan. Jika ada pemberatan pidana kurungan pengganti denda dapat menjadi 8 bulan. Dalam KUHP tidak diatur mengenai sanksi pidana minimum khusus. Dalam undang-undang di luar KUHP terdapat 3 sistem yang digunakan, yaitu: a. Sistem maksimum (indefinite) dan tidak ada sanksi minimum khusus. Sanksi pidana hanya merumuskan pidana maksimumnya saja sehingga penerapannya akan berpedoman pada sistem KUHP. b. Sistem minimum khusus. Sanksi pidana merumuskan sanksi minimum yang dapat dijatuhkan dan tetap merumuskan sanksi maksimumnya. c. Sistem maksimum (indefinite) dan minimum khusus. Sanksi pidana dalam undang-undang dirumuskan dengan menggunakan sistem maksimum sebagaimana dianut 60 buku 3 ok edited.indd 60
12/12/2012 9:27:00 AM
KUHP dan menggunakan sistem minimum khusus.
Walaupun sistem maksimum dipandang memiliki
kelemahan karena berpeluang menimbulkan adanya disparitas pidana dan pidana penjara akan dijatuhkan sangat rendah, namun alternatif menggunakan sistem minimum khusus juga belum tentu merupakan solusi yang baik dan tetap. Apabila sistem minimum khusus dimaksudkan untuk mengurangi disparitas pidana dalam rangka keadilan pihak korban dan/atau masyarakat namun dalam saat yang sama penggunaan sistem minimum khusus dapat juga mengancam keadilan tersangka dan/atau masyarakat. Hal ini berdasarkan pertimbangan bahwa kualitas tindak pidana dapat berbeda-beda, dari mulai gradasi yang paling rendah dengan sifat ketercelaan yang rendah pula sampai gradasi yang paling tinggi dengan sifat ketercelaan yang sangat tercela dan untuk itu tidak mungkin ditentukan sanksi minimum pada tingkatan tertentu yang juga diberlakukan pada tindak pidana dengan sifat ketercelaan yang relatif rendah. Di samping itu berdasarkan kenyataan dalam praktik pengadilan disparitas pidana dalam penerapan undangundang yang menggunakan sistem minimum khusus juga tetap tidak dapat dihindarkan karena pada akhirnya tergantung dari hakim yang memutuskan.
Penggunaan sistem minimum khusus dalam undang-
undang di luar KUHP juga patut dikritisi karena tampaknya tidak didasarkan pemahaman yang baik mengenai fungsi dan urgensi sanksi minimum khusus. Sanksi minimum khusus 61 buku 3 ok edited.indd 61
12/12/2012 9:27:00 AM
digunakan untuk pidana yang relatif ringan, yaitu pidana penjara minimum dalam hitungan
hari atau bulan
dan
selisih dengan pidana maksimum juga hanya beberapa bulan (tidak sampai satu tahun), di samping juga digunakan untuk pidana kurungan. Penggunaan sanksi minimum khusus untuk pidana yang relatif ringan tidak akan mempunyai fungsi apaapa. Dalam Undang-Undang Pemerintahan Daerah Pasal 115 misalnya terdapat rumusan “pidana penjara paling singkat 15 (lima belas) hari dan paling, lama 3 (tiga) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp100.000,00 (seratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp1.000.000,00 (satu juta rupiah)”. Tidak ada pola atau pedoman pemidanaan dalam penggunaan sistem minimum khusus dalam berbagai undang-undang di luar KUHP. Hal ini menyebabkan berbagai ketentuan tersebut tidak efektif seperti halnya putusan Pengadilan HAM kasus Timor Timur yang menjatuhkan pidana di bawah minimum khusus yang sudah ditentukan undang-undang karena dipandang apabila dijatuhkan pidana minimum khusus dipandang tidak proporsional dan tidak adil.
Penetapan pidana penjara dalam berbagai undang-
undang di luar KUHP menunjukkan disparitas yang relatif drastis perbedaannya. Dalam undang-undang tertentu seperti Undang-Undang Pemerintahan Daerah pidana penjara yang ditetapkan hanya hitungan hari atau bulan sedangkan dalam undang-undang lain seperti Undang-Undang ITE, Undang-
62 buku 3 ok edited.indd 62
12/12/2012 9:27:00 AM
Undang
Narkotika,
Undang-Undang
Psikotropika,
dll.
ditetapkan lebih dari 5 tahun bahkan sampai 20 tahun atau seumur hidup. Padahal untuk beberapa perbuatan tampaknya tidak terlalu membahayakan atau merugikan masyarakat dan termasuk pelanggaran administratif yang relatif ringan. Tidak ada pola atau pedoman pemidanaan yang digunakan dalam penetapan sanksi pidana dalam undang-undang di luar KUHP.
Demikian pula penetapan sanksi pidana denda dalam
undang-undang di luar KUHP menunjukkan tidak adanya pola dan pedoman pemidanaan yang jelas. Dalam undangundang tertentu pidana denda yang ditetapkan hanya ratusan ribu namun dalam undang-undang lainnya sampai miliar rupiah bahkan triliun rupiah. Selanjutnya penetapan apakah pidana penjara dan pidana denda ditetapkan secara kumulatif, alternatif, atau kumulatif alternatif juga tidak jelas dasar penetapannya. Penetapan-penetapan tersebut seperti terlepas dari tujuan pemidanaan yang sesuai dengan negara Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945. Bahkan kecenderungannya adalah dalam setiap undang-undang yang dibentuk selalu ada ketentuan pidananya walaupun undangundang tersebut termasuk dalam bidang hukum perdata atau hukum administrasi. Tampak fungsi pidana yang subsidair, ultimum remedium tidak menjadi pertimbangan dalam kebijakan hukum pidananya. Ketentuan-ketentuan dalam KUHP baik Buku I maupun Buku II dan Buku III tidak dijadikan pedoman atau acuan dalam kebijakan hukum pidana undang63 buku 3 ok edited.indd 63
12/12/2012 9:27:00 AM
undang di luar KUHP sebagai bagian dari upaya harmonisasi. Walaupun KUHP sudah ketinggalan zaman namun sistem pemidanaan dalam Buku I KUHP merupakan sistem induk yang berlaku untuk semua ketentuan yang mengatur tindak pidana. Dalam Undang-Undang Pengadilan HAM sanksi pidana penjara dirumuskan menyimpang dari ketentuan dalam KUHP, yaitu adanya sanksi pidana penjara paling lama 25 tahun. Dalam KUHP ditentukan pidana penjara tertentu tidak boleh lebih dari 20 tahun. Walaupun penyimpangan tersebut dimungkinkan, namun penentuan pidana penjara paling lama 25 tahun harus mempunyai dasar yang jelas, karena penggunaan sanksi pidana penjara 20 tahun dirumuskan alternatif dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup. karakteristik pelanggaran HAM berat yang dipandang sebagai extra ordinary crime sesungguhnya masih dapat menggunakan sanksi maksimum yang dianut dalam KUHP. Penyimpangan lain
penentuan strafmaat dalam undang-
undang di luar KUHP adalah: a. Penetapan pidana pengganti denda, yang menurut KUHP adalah 1 tahun kurungan dan dengan pemberatan sampai 1 tahun 4 bulan. Dalam Undang-Undang Perlindungan saksi dan korban pidana pengganti denda adalah pidana penjara dan menggunakan sistem minimum khusus, yaitu pidana penjara paling singkat 1 tahun dan paling lama 3
64 buku 3 ok edited.indd 64
12/12/2012 9:27:00 AM
tahun. Dalam Undang-Undang Larangan Praktik Monopoli dan Persaingan usaha Tidak Sehat pidana pengganti denda ditetapkan bervariasi yaitu pidana kurungan antara 3 bulan s.d. 6 bulan. Sedangkan dalam Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi diatur: 1) Pidana tambahan berupa membayar uang pengganti tidak dilaksanakan paling lama dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut. (Pasal 18 ayat (2) 2) Dalam hal terpidana tidak mempunyai harta benda yang mencukupi untuk membayar uang pengganti dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya dan karenanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan. (Pasal 18 ayat (3) b. pemberatan pidana ditetapkan berbeda-beda, antara lain: 1) dipidana dengan pidana pokok ditambah 1/3. 2) sanksi pidana ditambah ¼ bila menimbulkan luka berat. 3) transanksi pidana ditambah 1/3 bila menimbulkan kematian. 4) ancaman pidana denda diperberat 1/3. 5) pidana pokok dan ditambah 2/3 dari pidana pokok. 6) pidana dendanya ditambah 1/3 dari pidana yang dijatuhkan. 65 buku 3 ok edited.indd 65
12/12/2012 9:27:00 AM
c. penetapan pidana untuk korporasi (badan hukum dan bukan badan hukum) ditetapkan berbeda-beda, antara lain: 1) pidana denda terhadap korporasi maksimum pidana pokok dikalikan 3 (tiga). 2) Pidana pokok yang dijatuhkan terhadap Korporasi adalah pidana denda paling banyak Rp100.000.000.000,00 (seratus miliar rupiah). 3) Pidana
pokok
yang
dapat
dijatuhkan
terhadap
korporasi hanya pidana denda, paling banyak Rp. 1.000.000.000.000,- (satu triliun rupiah). 4) Pidana pokok yang dapat dijatuhkan terhadap korporasi hanya pidana denda, dengan ketentuan maksimum pidana ditambah 1/3 (satu pertiga). 5) Pidana untuk korporasi dikenakan pidana denda sebesar Rp. 5.000.000.000,-. 6) Pidana untuk korporasi dikenakan pidana denda 2 kali pidana denda yang berlaku. 7) Pidana untuk badan usaha atau bentuk usaha tetap adalah pidana denda dengan ketentuan paling tinggi pidana denda ditambah sepertiganya. 8) Pidana untuk badan usaha adalah pidana denda ditambah 1/3 denda yang dijatuhkan. 9) Pidana untuk korporasi berupa pidana denda dengan pemberatan 3 kali dari pidana pokok. 10) Pidana terhadap badan hukum berupa pidana denda dengan pemberatan ditambah 1/3 kali dari ketentuan 66 buku 3 ok edited.indd 66
12/12/2012 9:27:00 AM
maksimum pidana denda yang dijatuhkan.
KUHP tidak mengatur mengenai korporasi (badan
hukum dan bukan badan hukum) sebagai subjek tindak pidana, sehingga dalam KUHP tidak ada pengaturan mengenai pemidanaan terhadap korporasi. Seiring dengan perkembangan masyarakat dan ilmu pengetahuan saat ini, berkat sumbangan dari kriminologi sudah diakui dan diterima masyarakat bahwa korporasi adalah subjek hukum termasuk juga subjek tindak pidana dan oleh karenanya dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Dalam berbagai undang-undang di luar KUHP sudah mulai diatur mengenai korporasi sebagai subjek tindak pidana dan dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Dalam berbagai undang-undang sudah dirumuskan dalam Ketentuan Umum atau juga Penjelasan Pasal mengenai arti kata “orang” yang diartikan sebagai orang perorangan atau korporasi baik badan hukum maupun bukan badan hukum. Dalam undangundang lain dirumuskan secara berbeda atau spesifik badan hukum atau badan usaha, namun pada prinsipnya adalah pengakuan bahwa korporasi adalah subjek hukum.
Ditinjau dari sistem pemidanaan perumusan pengertian
orang adalah termasuk juga korporasi tidak serta merta korporasi dapat dipertanggungjawabkan secara pidana. Hal ini disebabkan Buku I KUHP tidak mengatur mengenai pemidanaan untuk korporasi sehingga tidak otomatis berlaku sebagaimana asas-asas hukum pidana atau ajaran-ajaran hukum pidana yang sudah diatur dalam Buku I KUHP. Untuk itu perlu 67 buku 3 ok edited.indd 67
12/12/2012 9:27:00 AM
adanya aturan umum dalam undang-undang tersebut yang menyimpangi Buku I KUHP yaitu pedoman pemidanaan untuk korporasi. Beberapa undang-undang yang sudah mengatur pedoman pemidanaan untuk korporasi adalah Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, Undang-Undang Pornografi, Undang-Undang Psikotropika, Undang-Undang Minyak dan Gas Bumi, Undang-Undang Praktik Kedokteran, Undang-Undang Penanggulangan Bencana, Undang-Undang Penataan Ruang, Undang-Undang Pelayaran, Undang-Undang Penerbangan, Undang-Undang Pertambangan, Mineral dan Batubara, Undang-Undang Peternakan dan Kesehatan Hewan, Undang-Undang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, UndangUndang Pecegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.
Pengaturan pedoman pemidanaan untuk korporasi
dalam undang-undang di luar KUHP merupakan keharusan agar ketentuan pidana dapat diimplementasikan kepada korporasi. Undang-undang lainnya belum mengatur pedoman pemidanaan untuk korporasi dan oleh karenanya ketentuan pidana dalam undang-undang tersebut tidak implementatif. Diperlukan keberanian aparat penegak hukum terutama hakim untuk menafsirkan dan mengimplementasikan ketentuan pidana terhadap korporasi yang tidak mengatur pedoman pemidanaannya.
68 buku 3 ok edited.indd 68
12/12/2012 9:27:00 AM
Kenyataan tersebut di
atas
menujukkan adanya
permasalahan dalam kebijakan legislatif di bidang hukum pidana. Penyusunan naskah akademis sebagai dasar penyusunan suatu Rancangan Undang-Undang yang melibatkan berbagai stake holder sangat diperlukan agar RUU yang dibentuk memiliki landasan ilmiah ditinjau dari berbagai aspek. Naskah Akademis seyogianya bukan hanya sekedar pelengkap untuk mengajukan suatu RUU ke DPR tetapi harus disusun secara sungguh-sungguh dan komprehensif 3. Strafmodus (Cara Pidana Dilaksanakan) KUHP berserta perundang-undangan pelaksanaan lainnya sudah mengatur cara-cara pelaksanaan pidana antara lain: a. Pidana
bersyarat
atau
voorwaardelijke
veroordeling
sebagaimana diatur dalam Pasal 14a s.d. Pasal 14f KUHP. b. Pelepasan bersyarat sebagaimana diatur dalam Pasal 15 s.d. Pasal 17 KUHP. c. Pemasyarakatan
sebagaimana
diatur
dalam
UU
Pemasyarakatan. Berkaitan dengan hal ini Barda Nawawi Arief mengkritisi masih adanya kelemahan dari lembaga pidana bersyarat dan pelepasan bersyarat. Pidana seumur hidup tidak bisa mendapat pelepasan bersyarat. Sedangkan pelaksanaan pidana lebih bersifat kelembagaan dan kurang berorientasi pada tindakan yang bersifat individual dan sosial. Di samping itu alternatif pidana lainnya agar tidak menggunakan penjara sangat sedikit. Perkembangan
individualisasi
pidana
sesungguhnya 69
buku 3 ok edited.indd 69
12/12/2012 9:27:00 AM
sudah memberikan berbagai aternatif dalam menetapkan cara pidana untuk dilaksanakan. Namun demikian dalam undang-undang di luar KUHP hal ini tidak nampak sehingga ketentuan mengenai cara pelaksanaan pidana didasarkan pada KUHP sebagai sistem induknya. Beberapa strafmodus yang diatur dalam undang-undang di luar KUHP antara lain: 1) Undang-Undang Pemberantasan Terorisme Penjatuhan pidana minimum khusus, pidana mati, atau pidana penjara seumur hidup tidak berlaku untuk pelaku yang berusia 18 tahun. (Pasal 19 dan 24) 2) Undang-Undang Perikanan Barang dan/alat yang dirampas selanjutnya akan dilelang untuk negara. Berdasarkan uraian tersebut baik kelemahan-kelemahan dalam KUHP maupun kelangkaan pengaturan mengenai strafmodus dalam undang-undang di luar KUHP maka perlu adanya pembaharuan dalam Buku I KUHP yang mengenai cara-cara pelaksanaan pidana yang lebih manusiawi. B. Perumusan Sanksi Pidana di Dalam dan di Luar KUHP Perumusan
sanksi pidana dalam hukum pidana positif
Indonesia merupakan aspek lain dalam sistem pemidanaan yang penting. Tidak ada pola atau pedoman yang dapat digunakan pembentuk Undang-undang dalam merumuskan sanksi pidana.
70 buku 3 ok edited.indd 70
12/12/2012 9:27:00 AM
Perumusan
sanksi
pidana
dapat
mempengaruhi
terhadap
implementasinya oleh aparat penegak hukum dan dapat melanggar hak asasi manusia.
Sebelumnya akan dijelaskan perumusan sanksi pidana
dalam KUHP. Jenis pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 10 KUHP dalam perumusan sanksi pidana dirumuskan dalam berbagai bentuk antara lain: 1. Pidana mati dirumuskan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara 20 tahun. Perumusannya adalah “diancam pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”. 2. Pidana seumur hidup dirumuskan secara alternatif dengan pidana penjara. Perumusannya adalah “diancam pidana penjara seumur hidup atau selama waktu tertentu paling lama dua puluh tahun”. 3. Pidana penjara dirumuskan secara tunggal. Perumusannya adalah “diancam dengan pidana penjara paling lama ....”. 4. Pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan pidana kurungan. Perumusannya adalah “diancam dengan pidana penjara paling lama ... atau kurungan paling lama ...”. 5. Pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan pidana kurungan dan pidana denda. Perumusannya adalah “diancam dengan pidana penjara paling lama .... atau kurungan paling lama ... atau denda paling banyak ...”. 6. Pidana penjara dirumuskan secara alternatif dengan pidana
71 buku 3 ok edited.indd 71
12/12/2012 9:27:00 AM
denda. Perumusannya adalah “diancam dengan pidana penjara paling lama ... atau denda paling banyak ...”. 7. Pidana kurungan dirumuskan secara tunggal. Perumusannya adalah ““diancam dengan kurungan paling lama ... ”. 8. Pidana kurungan dirumuskan secara alternatif dengan pidana denda. Perumusannya adalah “diancam dengan kurungan paling lama ... atau denda paling banyak ...”. 9. Pidana denda dirumuskan secara tunggal. Perumusannya adalah “diancam dengan denda paling banyak ...”. Berdasarkan perumusan sanksi pidana dalam KUHP tersebut maka dapat disimpulkan bahwa KUHP pada prinsipnya menganut sistem perumusan tunggal dan alternatif. Perumusan sanksi pidana pada tindak pidana dalam KUHP hanya merumuskan pidana pokoknya. Pidana tambahan dirumuskan secara fakultatif, kecuali perampasan barang. Perumusan tunggal paling banyak digunakan untuk pidana penjara, yaitu sebanyak 70 % dan hampir ada dalam setiap Bab pada Buku II KUHP dan hanya 2 bab yang tidak memuat perumusan pidana penjara tunggal. Untuk pidana kurungan perumusan tunggal hanya ada dalam 2 tindak pidana, sedangkan untuk pidana denda yang dirumuskan secara tunggal hanya dalam 1 tindak pidana. Pidana penjara seumur hidup tidak dirumuskan secara tunggal tetapi selalu dirumuskan secara alternatif dengan pidana mati dan pidana penjara selama waktu tertentu. Demikian pula dengan pidana mati tidak dirumuskan secara tunggal tetapi secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu. 72 buku 3 ok edited.indd 72
12/12/2012 9:27:01 AM
Berbeda dengan perumusan sanksi pidana dalam KUHP, perumusan sanksi pidana dalam undang-undang di luar KUHP lebih banyak menggunakan sistem kumulatif dan kumulatif alternatif. Dari 55 undang-undang yang diteliti berikut penggunaan berbagai sistem perumusan sanksi pidana dalam undang-undang di luar KUHP: a. Perumusan sanksi pidana secara Kumulatif Alternatif digunakan dalam 26 undang-undang. b. Perumusan sanksi pidana secara Kumulatif digunakan dalam 25 undang-undang. c. Perumusan sanksi pidana secara Alternatif digunakan dalam 23 undang-undang. d. Perumusan sanksi pidana secara Tunggal digunakan dalam 15 undang-undang. Di samping 4 bentuk perumusan sanksi pidana ada bentuk perumusan sanksi pidana lain yang tidak dapat dimasukkan dalam kategorisasi tersebut dan dapat disebut perumusan sanksi pidana secara alternatif dan kumulatif, yaitu dalam satu rumusan tindak pidana psikotropika pada penggunaan pidana mati yang dirumuskan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara 20 tahun dan dikumulatifkan dengan pidana denda. Dari kelima perumusan sanksi pidana tersebut, dalam satu undang-undang pada umumnya menggunakan lebih dari 1 bentuk perumusan sanksi pidana secara bervariasi, misalnya perumusan sanksi pidana tunggal dengan perumusan sanksi pidana alternatif, perumusan sanksi pidana tunggal dengan perumusan sanksi pidana kumulatif, perumusan sanksi pidana tunggal dengan perumusan 73 buku 3 ok edited.indd 73
12/12/2012 9:27:01 AM
sanksi pidana kumulatif-alternatif, perumusan sanksi pidana alternatif dengan perumusan sanksi pidana kumulatif, dan bahkan ada yang menggunakan keempat bentuk perumusan sanksi pidana tersebut. Jenis pidana yang digunakan dalam berbagai perumusan sanksi pidana tersebut juga bervariasi, namun paling banyak adalah pidana penjara dan pidana denda yang dirumuskan baik secara tunggal, alternatif, kumulatif, maupun kumulatif-alternatif. Pidana mati sebagaimana perumusan sanksi pidana dalam KUHP dirumuskan secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup atau secara alternatif dengan pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara selama waktu tertentu. Demikian pula pidana penjara seumur hidup dirumuskan secara alternatif dengan pidana mati dan/atau pidana penjara selama waktu tertentu. Berikut beberapa teknik perumusan sanksi pidana tersebut di atas dalam undang-undang di luar KUHP: 1. Perumusan sanksi pidana tunggal a) dipidana dengan pidana penjara paling lama .... dan paling singkat .... b) dipidana dengan pidana penjara paling singkat .... dan paling lama .... c) dipidana dengan pidana penjara paling lama .... d) dipidana dengan pidana kurungan paling lama .... e) dipidana dengan pidana denda .... f) dikenakan sanksi pidana denda paling sedikit ... dan paling banyak .... 2. Perumusan sanksi pidana alternatif a) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya ... atau 74 buku 3 ok edited.indd 74
12/12/2012 9:27:01 AM
denda sebanyak-banyaknya ... b) dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur hidup atau pidana penjara 25 tahun dan paling singkat .... c) dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup d) dipidana dengan pidana mati atau penjara seumur hidup atau pidana penjara paling singkat ... dan paling lama .... e) dipidana dengan pidana kurungan paling lama ... atau denda setinggi-tingginya ... . f) diancam pidana denda serendah-rendahnya ... dan setinggitingginya ... atau pidana kurungan pengganti denda selamalamanya ... . . g) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... atau pidana denda paling banyak .... h) dipidana dengan pidana kurungan paling lama ... atau denda paling tinggi .... i) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan pidana penjara paling lama ... atau denda paling sedikit ... dan denda paling banyak ... j) dipidana ... atau denda paling banyak .... k) dijatuhi dengan pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara 20 (dua puluh) tahun. 3. Perumusan sanksi pidana kumulatif a) dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya ... dan denda sebanyak-banyaknya ... b) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat ... dan paling lama ... dan denda paling sedikit ... dan paling banyak .... c) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan paling 75 buku 3 ok edited.indd 75
12/12/2012 9:27:01 AM
lama ... dan denda paling sedikit ... dan paling banyak .... d) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan denda paling banyak .... e) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan pidana denda paling banyak .... f) diancam dengan pidana penjara paling lama ... dan denda paling banyak ... . g) diancam dengan pidana kurungan paling lama ... dan denda paling banyak ... . h) diancam dengan pidana penjara sekurang-kurangnya ... dan paling lama ... serta denda sekurang-kurangnya ... dan paling banyak .... i) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan denda paling tinggi .... j) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan paling lama ... serta denda paling sedikit ... dan paling banyak ... 4. Perumusan sanksi pidana kumulatif-alternatif a) dihukum dengan hukuman penjara selama-lamanya ... dan hukuman denda setinggi-tingginya ..., atau dengan salah satu dari hukuman-pidana itu b) dihukum dengan hukuman kurungan selama-lamanya ... dan hukuman denda setinggi-tingginya ... , atau dengan salah satu dari hukuman-pidana itu. c) dipidana dengan pidana penjara seumur hidup atau paling singkat ... dan paling lama ... dan/atau denda paling sedikit ... dan paling banyak .... d) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan 76 buku 3 ok edited.indd 76
12/12/2012 9:27:01 AM
paling lama ... dan/atau denda paling sedikit ... dan paling banyak .... e) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan/atau denda paling banyak .... f) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan/atau pidana denda paling banyak .... g) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan paling lama ... dan/atau pidana denda paling sedikit .... dan paling banyak .... h) dipidana dengan pidana penjara paling lama ... dan atau pidana denda paling banyak ... . i) dipidana dengan pidana kurungan paling lama ... dan atau pidana denda paling banyak ... . j) diancam dengan pidana kurungan sekurang-kurangnya ... dan paling lama ... dan/atau denda sekurang-kurangnya ... dan paling banyak .... k) dipidana dengan pidana penjara paling singkat ... dan/atau denda paling sedikit ... atau pidana penjara paling lama ... dan/atau denda paling banyak. l) dikenakan sanksi pidana penjara paling singkat ... dan paling lama ... dan/atau denda paling sedikit ... dan paling banyak ... m) diancam dengan pidana penjara paling singkat ... atau paling lama ... dan/atau denda paling sedikit ... atau paling banyak .... 5. Perumusan sanksi pidana alternatif dan kumulatif Dipidana dengan pidana mati atau pidana penjara seumur
77 buku 3 ok edited.indd 77
12/12/2012 9:27:01 AM
hidup atau pidana penjara 20 tahun dan pidana denda sebesar ... Dari perumusan sanksi pidana tersebut tampak adanya bermacam ragam jenis perumusan sanksi pidana. Walaupun perumusan sanksi pidana dapat dikualifikasikan dalam 5 kategori, namun teknik perumusan dapat bermacam-macam. Hal ini menunjukkan tidak adanya pola atau pedoman bagi pembentuk Undang-Undang dalam merumuskan sanksi pidana. Untuk perumusan sanksi pidana tunggal umumnya langsung merumuskan pidana yang diancamkan tanpa menggunakan kata sambung. Dalam perumusan sanksi pidana alternatif digunakan kata “atau”. Untuk perumusan sanksi pidana kumulatif digunakan kata “dan”, sedangkan dalam perumusan sanksi pidana kumulatif-alternatif digunakan berbagai cara, yaitu dengan menggunakan kata “dan/ atau”, “dan atau”, “dan ... atau“ dan “serta”. Penggunaan kata-kata sambung tersebut sesungguhnya mempunyai makna dan fungsi yang berbeda bagi aparat penegak hukum khususnya hakim. Dalam perumusan sanksi pidana tunggal hakim tidak mempunyai pilihan untuk menjatuhkan alternatif jenis pidana pokok kecuali yang dirumuskan dalam rumusan tindak pidana. Perumusan sanksi pidana alternatif dengan kata “atau” hakim mempunyai kebebasan untuk memilih jenis pidana pokok yang dapat dijatuhkan sesuai dengan kesalahan pelaku tindak pidana, keadilan, dan tujuan pemidanaan. Dalam praktik fungsi perumusan sanksi pidana alternatif tidak efektif karena seringkali tetap dijatuhkan jenis pidana yang pertama disebutkan dalam rumusan tindak pidana, khususnya pidana penjara dan pidana kurungan yang dirumuskan secara alternatif dengan pidana denda, 78 buku 3 ok edited.indd 78
12/12/2012 9:27:01 AM
namun tidak demikian halnya dengan pidana mati. Perumusan sanksi pidana kumulatif dengan kata “dan” mempunyai sifat lebih imperatif dibanding perumusan sanksi pidana tunggal atau alternatif karena hakim harus menjatuhkan dua jenis pidana pokok yang dirumuskan dalam tindak pidana dan tidak boleh hanya menjatuhkan salah satunya. Jadi pidana pokok penjara yang paling banyak digunakan dalam undang-undang di luar KUHP dan dirumuskan secara kumulatif dengan pidana mempunyai sifat lebih berat dibanding perumusan sanksi pidana tunggal dan alternatif (hanya satu jenis pidana yang dijatuhkan). Perumusan sanksi pidana kumulatif alternatif mempunyai makna dan fungsi agar hakim mempunyai pilihan yang lebih banyak dalam menjatuhkan pidana yang sesuai dengan kesalahan pelaku, keadilan, dan tujuan pemidanaan, yaitu dapat menjatuhkan salah satu jenis pidana yang diancamkan atau menjatuhkan keduaduanya. Namun ternyata perumusan sanksi pidana kumulatif alternatif justru memberi peluang bagi hakim untuk menjatuhkan pidana penjara, yang paling banyak digunakan dalam perumusan sanksi pidana kumulatif alternatif sehingga tetap mengandung sifat imperatif. Perumusan sanksi pidana dalam undang-undang di luar KUHP pada dasarnya sama dengan sistem perumusan sanksi pidana dalam KUHP, hanya dengan beberapa modifikasi teknik perumusan. Jenisjenis pidana yang diancamkan masih berpedoman pada ketentuan dalam Pasal 10 KUHP, khususnya pidana pokok, sedangkan pidana tambahan terdapat pengembangan. Oleh karenanya dapat dipahami bahwa perkembangan berbagai perumusan sanksi pidana tersebut dipandang sebagai kemajuan semu karena permisif 79 buku 3 ok edited.indd 79
12/12/2012 9:27:01 AM
terhadap penggunaan sanksi pidana yang bersifat imperatif. Walaupun pada prinsipnya perumusan sanksi pidana di luar KUHP sama dengan di dalam KUHP, namun perumusannya tampak semakin bermacam-macam bila memperhatikan penggunaan katakata dalam perumusan sanksi pidana. Perumusan kata “dipidana dengan” dalam undang-undang di luar KUHP juga menggunakan kata lain seperti: “diancam dengan pidana”, “dihukum dengan hukuman” atau “dikenakan sanksi pidana”. Perumusan kata-kata setelah kata “pidana penjara” atau “pidana kurungan” digunakan berbeda-beda, antara lain “paling lama”, “sekurang-kurangnya”, dan “selama-lamanya”. Perumusan kata-kata setelah kata “pidana denda” atau “denda” juga dirumuskan berbeda-beda, yaitu: “paling banyak”, “paling tinggi”, “sebesar”, “setinggi-tingginya”, dan sebanyak-banyaknya. Demikian pula kata-kata yang digunakan dalam perumusan sanksi minimum khusus baik untuk pidana penjara, pidana kurungan, maupun pidana denda dirumuskan bermacam-macam. Untuk pidana penjara dan kurungan pembentuk undang-undang menggunakan kata-kata : “paling singkat ... atau paling lama ...”, “paling singkat ... dan paling lama ...” dan “sekurang-kurangnya ... dan paling lama ...”. Untuk pidana denda pembentuk undang-undang menggunakan kata-kata: “sekurangkurangnya .... dan paling banyak ....”, “paling sedikit ...dan paling banyak ....”, dan “serendah-rendahnya ... dan setinggi-tingginya ....”. Berdasarkan analisis di atas, masalah sistem perumusan sanksi pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP tidak hanya menyangkut sistem pemidanaan yang ada dalam Buku I KUHP sebagai sistem induk ketentuan-ketentuan pemidanaan dalam 80 buku 3 ok edited.indd 80
12/12/2012 9:27:01 AM
perundang-undangan namun juga berkaitan dengan bagaimana agar perumusan sanksi pidana tersebut dirumuskan sesuai dengan sistem pemidanaan yang ada dalam Buku I KUHP tersebut. Tidak adanya pola atau pedoman mengenai perumusan sanksi pidana telah menyebabkan perumusan sanksi pidana menjadi sangat beraneka warna dan terkandung adanya disparitas pidana sebelum pidana dijatuhkan. Untuk itu di samping diperlukan adanya pembaharuan dalam sistem pemidanaan hukum pidana Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 juga perlu adanya pedoman perumusan sanksi pidana yang akan digunakan pembentuk undang-undang ketika akan merumuskan sanksi pidana. C. Sistem Pemidanaan yang Ideal dalam Hukum Pidana Indonesia Hukum pidana Indonesia termasuk di dalamnya pembentukan sistem pemidanaan harus dijiwai oleh nilai-nilai Pancasila sebagai dasar falsafah bangsa Indonesia, yaitu nilai-nilai yang didasarkan pada Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan, dan Keadilan. KUHP (Wetboek van Strafrecht) yang merupakan warisan Kolonial Belanda, walaupun disana-sini sudah ditambal sulam dengan beberapa produk hukum Indonesia, namun secara keseluruhan masih dijiwai oleh nilai-nilai liberal-individualis. KUHP yang dibentuk pada tahun 1881 sangat dipengaruhi aliran klasik yang berorientasi pada perbuatan, walaupun harus diakui KUHP yang ada sekarang khususnya berkaitan dengan sistem pemidanaan sudah ada sedikit pengaruh dari aliran modern. Orientasi aliran klasik adalah pada kepastian hukum karena 81 buku 3 ok edited.indd 81
12/12/2012 9:27:01 AM
dipengaruhi aliran legisme yang menganut asas legalitas formal. Hal ini tentunya berbeda dengan nilai-nilai masyarakat Indonesia saat ini. Pemikiran-pemikiran tersebut sesungguhnya telah diakomodasi oleh para pembentuk Rancangan KUHP Nasional. Politik hukum pidana yang dipilih dalam pembentukan RKUHP menggunakan pendekatan menyeluruh atau disebut juga pendekatan global (global approach) dan bukan sekedar “amandemen” untuk menggantikan Wetboek van Strafrecht dengan KUHP Nasional. Karakteristik pendekatan global nampak baik berkaitan dengan asas-asas hukum pidana (BUKU I RKUHP) maupun dalam pengaturan tiga masalah pokok dalam hukum pidana (perbuatan yang bersifat melawan hukum (criminal act), pertanggungjawaban pidana/kesalahan (criminal responsibility), dan sanksi pidana berupa pidana (punishment, straf) dan tindakan (treatment, maatregel). Politik hukum pidana dalam pembaharuan KUHP Nasional diarahkan pada empat misi, yaitu pertama, misi dekolonisasi KUHP dalam bentuk rekodifikasi; kedua, misi demokratisasi hukum pidana; ketiga, misi konsolidasi hukum pidana; dan keempat, misi adaptasi dan harmonisasi terhadap berbagai perkembangan hukum yang terjadi. Tujuan pemidanaan menurut RKUHP adalah untuk mencegah dilakukannya tindak pidana dengan menegakkan norma hukum demi pengayoman masyarakat; memasyarakatkan terpidana dengan mengadakan pembinaan sehingga menjadi orang yang baik dan berguna; menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak pidana, memulihkan keseimbangan, dan mendatangkan rasa damai dalam masyarakat; membebaskan rasa bersalah pada terpidana; dan tidak 82 buku 3 ok edited.indd 82
12/12/2012 9:27:01 AM
dimaksudkan untuk menderitakan dan merendahkan martabat manusia. Berkaitan dengan sistem pemidanaan dalam RKUHP sudah banyak dilakukan pembaharuan dan telah dicapai kemajuankemajuan dalam pengaturan sistem pemidanaannya. Berikut pengaturan sistem pemidanaan dalam Buku I RKUHP: 1. Strafsoort Dalam RKUHP sistem sanksinya menganut doubletrack system, yaitu pidana dan tindakan. Pidana terdiri dari pidana pokok dan pidana tambahan. Jenis-jenis pidana pokok antara lain: a. Pidana mati merupakan pidana pokok yang bersifat khusus dan selalu diancamkan secara alternatif. b. pidana penjara; c. pidana tutupan; d. pidana pengawasan; e. pidana denda; dan f. pidana kerja sosial. Pidana tambahan yang dapat dijatuhkan bersama-sama dengan pidana pokok atau bersama-sama dengan pidana tambahan lain, terdiri dari: a. pencabutan hak tertentu; b. perampasan barang tertentu dan/atau tagihan; c. pengumuman putusan hakim; d. pembayaran ganti kerugian; dan e. pemenuhan kewajiban adat setempat dan/atau kewajiban menurut hukum yang hidup dalam masyarakat. 83 buku 3 ok edited.indd 83
12/12/2012 9:27:01 AM
Jenis pidana baik pidana pokok maupun pidana tambahan dalam RKUHP lebih variatif dan manusiawi. Di samping pidana dalam RKUHP juga diatur mengenai tindakan, yang terdiri dari: a. tindakan yang dapat dijatuhkan kepada mereka yang tidak mampu bertanggung jawab: 1) perawatan di rumah sakit jiwa; 2) penyerahan kepada pemerintah; atau 3) penyerahan kepada seseorang. b. Tindakan yang dapat dikenakan bersama-sama dengan pidana pokok berupa: 1) pencabutan surat izin mengemudi; 2) perampasan keuntungan yang diperoleh dari tindak pidana; 3) perbaikan akibat tindak pidana; 4) latihan kerja; 5) rehabilitasi; dan/atau 6) perawatan di lembaga. Sistem perumusan sanksi pidana dalam RKUHP adalah sistem perumusan sanksi pidana tunggal dan alternatif. 2. Strafmaat Strafmaat dalam RKUHP menganut sistem maksimum dan tidak ada sistem minimum khusus. Namun demikian dimungkinkan adanya sanksi minimum khusus untuk pidana penjara dan pidana denda (Pasal 69 ayat (2) dan Pasal 80 ayat (2)). Minimum umum untuk pidana penjara adalah 1 hari dan untuk pidana denda adalah Rp. 15.000,- (lima belas ribu 84 buku 3 ok edited.indd 84
12/12/2012 9:27:01 AM
rupiah), sedangkan sanksi maksimum pidana penjara adalah 15 tahun dan dapat dijatuhkan 20 tahun jika ada pemberatan. Pidana penjara tidak boleh melebihi 20 tahun dalam keadaan bagaimanapun dan pidana mati dirumuskan secara aternatif dengan pidana penjara seumur hidup dan pidana penjara untuk waktu tertentu. Pidana denda dalam RKUHP menganut sistem kategorisasi, yaitu: a. kategori I Rp 1.500.000,00 (satu juta lima ratus ribu rupiah); b. kategori II Rp 7.500.000,00 (tujuh juta lima ratus ribu rupiah); c. kategori III Rp 30.000.000,00 (tiga puluh juta rupiah); d. kategori IV Rp 75.000.000,00 (tujuh puluh lima juta rupiah); e. kategori V Rp 300.000.000,00 (tiga ratus juta rupiah); dan f. kategori VI Rp 3.000.000.000,00 (tiga miliar rupiah). Dalam RKUHP juga sudah diatur pedoman pemidanaan untuk korporasi, yaitu: a. Pidana denda paling banyak untuk korporasi adalah kategori lebih tinggi berikutnya. b. Pidana denda paling banyak untuk korporasi yang melakukan tindak pidana yang diancam dengan: 1) pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun sampai dengan 15 (lima belas) tahun adalah pidana denda Kategori V; 2) pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun adalah pidana denda Kategori VI. 3) Pidana denda paling sedikit untuk korporasi sebagaimana 85 buku 3 ok edited.indd 85
12/12/2012 9:27:01 AM
dimaksud pada ayat (5) adalah pidana denda Kategori IV. 3. Strafmodus Cara pelaksanaan pidana, baik pidana pokok dan pidana tambahan di samping akan diatur dalam undang-undang, dalam Buku I RKUHP juga diatur mengenai pedoman pemidanaan dan ketentuan-ketentuan berkaitan dengan cara pelaksanaan pidana. Pedoman pemidanaan yang sangat penting bagi hakim dalam penjatuhan pidana berisi antara lain: Dalam pemidanaan wajib dipertimbangkan: a. kesalahan pembuat tindak pidana; b. motif dan tujuan melakukan tindak pidana; c. sikap batin pembuat tindak pidana; d. apakah tindak pidana dilakukan dengan berencana; e. cara melakukan tindak pidana; f. sikap dan tindakan pembuat sesudah melakukan tindak pidana; g. riwayat hidup dan keadaan sosial dan ekonomi pembuat tindak pidana; h. pengaruh pidana terhadap masa depan pembuat tindak pidana; i. pengaruh tindak pidana terhadap korban atau keluarga korban; j. pemaafan dari korban dan/atau keluarganya; dan/atau k. pandangan masyarakat terhadap tindak pidana yang dilakukan. Ringannya perbuatan, keadaan pribadi pembuat, atau keadaan 86 buku 3 ok edited.indd 86
12/12/2012 9:27:01 AM
pada waktu dilakukan perbuatan atau yang terjadi kemudian, dapat dijadikan dasar pertimbangan untuk tidak menjatuhkan pidana atau mengenakan tindakan dengan mempertimbangkan segi keadilan dan kemanusiaan. Dalam Buku I KUHP juga diatur mengenai perubahan dan penyesuaian pidana, pedoman penerapan pidana penjara dengan perumusan tunggal dan alternatif, ketentuan-ketentuan lainnya tentang pidana. Ketentuan-ketentuan yang berkaitan dengan cara pelaksanaan pidana antara lain: 1. Penerapan pidana penjara 1) pidana penjara sejauh mungkin 2) tidak dijatuhkan jika dijumpai keadaan-keadaan sebagai berikut: a) terdakwa berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun atau di atas 70 (tujuh puluh) tahun; b) terdakwa baru pertama kali melakukan tindak pidana; c) kerugian dan penderitaan korban tidak terlalu besar; d) terdakwa telah membayar ganti kerugian kepada korban; e) terdakwa tidak mengetahui bahwa tindak pidana yang dilakukan akan menimbulkan kerugian yang besar; f) tindak pidana terjadi karena hasutan yang sangat kuat dari orang lain; g) korban tindak pidana mendorong terjadinya tindak pidana tersebut; h) tindak pidana tersebut merupakan akibat dari suatu keadaan yang tidak mungkin terulang lagi; i) kepribadian dan perilaku terdakwa meyakinkan 87 buku 3 ok edited.indd 87
12/12/2012 9:27:01 AM
bahwa ia tidak akan melakukan tindak pidana yang lain; j) pidana penjara akan menimbulkan penderitaan yang besar bagi terdakwa atau keluarganya; k) pembinaan yang bersifat non institusional diperkirakan akan cukup berhasil untuk diri terdakwa; l) penjatuhan pidana yang lebih ringan tidak akan mengurangi sifat beratnya tindak pidana yang dilakukan terdakwa; m) tindak pidana terjadi di kalangan keluarga; atau n) terjadi karena kealpaan. 2. Penerapan pidana pengawasan Dalam penjatuhan pidana pengawasan dapat ditetapkan syarat-syarat: a. terpidana tidak akan melakukan tindak pidana; b. terpidana dalam waktu tertentu yang lebih pendek dari masa pidana pengawasan, harus mengganti seluruh atau sebagian kerugian yang timbul oleh tindak pidana yang dilakukan; dan/atau c. terpidana harus melakukan perbuatan atau tidak melakukan perbuatan tertentu, tanpa mengurangi kemerdekaan beragama dan kemerdekaan berpolitik. Pengawasan dilakukan oleh Balai Pemasyarakatan Direktorat Jenderal Pemasyarakatan pada departemen yang bertanggung jawab di bidang hukum dan hak asasi manusia. a) Ketentuan-ketentuan lainnya mengenai pelaksanaan pidana denda, pengganti pidana denda, dan pidana denda untuk 88 buku 3 ok edited.indd 88
12/12/2012 9:27:01 AM
korporasi; b) Pelaksanaan pidana kerja sosial Dalam penjatuhan pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (1), wajib dipertimbangkan hal-hal sebagai berikut: 1) pengakuan terdakwa terhadap tindak pidana yang dilakukan; 2) usia layak kerja terdakwa menurut peraturan perundang - undangan yang berlaku; 3) persetujuan terdakwa sesudah dijelaskan mengenai tujuan dan segala hal yang berhubungan dengan pidana kerja sosial; 4) riwayat sosial terdakwa; 5) perlindungan keselamatan kerja terdakwa; 6) keyakinan agama dan politik terdakwa; dan 7) kemampuan terdakwa membayar pidana denda. Pelaksanaan pidana kerja sosial tidak boleh dikomersialkan. Pidana kerja sosial dijatuhkan paling lama: 1) 240 (dua ratus empat puluh) jam bagi terdakwa yang telah berusia 18 (delapan belas) tahun ke atas; dan 2) 120 (seratus dua puluh) jam bagi terdakwa yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun. 3) Pidana kerja sosial sebagaimana dimaksud pada ayat (3) paling singkat 7 (tujuh) jam. Pelaksanaan pidana kerja sosial dapat diangsur dalam waktu paling lama 12 (duabelas) bulan dengan memperhatikan kegiatan terpidana dalam menjalankan mata pencahariannya 89 buku 3 ok edited.indd 89
12/12/2012 9:27:01 AM
dan/atau kegiatan lain yang bermanfaat. Jika terpidana tidak memenuhi seluruh atau sebagian kewajiban menjalankan pidana kerja sosial tanpa alasan yang sah, maka terpidana diperintahkan: 1) mengulangi seluruh atau sebagian pidana kerja sosial tersebut; 2) menjalani seluruh atau sebagian pidana penjara yang diganti dengan pidana kerja sosial tersebut; atau 3) membayar seluruh atau sebagian pidana denda yang diganti dengan pidana kerja sosial atau menjalani pidana penjara sebagai pengganti pidana denda yang tidak dibayar. c) Pelaksanaan pidana mati Pidana mati merupakan pidana alternatif dan dijatuhkan sebagai upaya terakhir untuk mengayomi masyarakat. Pidana mati dilaksanakan dengan menembak terpidana sampai mati oleh regu tembak. Pelaksanaan pidana mati tidak dilaksanakan di muka umum; terhadap wanita hamil atau orang yang sakit jiwa ditunda sampai wanita tersebut melahirkan atau orang yang sakit jiwa tersebut sembuh; pidana mati baru dapat dilaksanakan setelah permohonan grasi bagi terpidana ditolak Presiden. Pelaksanaan pidana mati dapat ditunda dengan masa percobaan selama 10 (sepuluh) tahun, jika: (1) reaksi masyarakat terhadap terpidana tidak terlalu besar; (2) terpidana menunjukkan rasa menyesal dan ada harapan untuk diperbaiki; (3) kedudukan terpidana dalam penyertaan tindak pidana 90 buku 3 ok edited.indd 90
12/12/2012 9:27:01 AM
tidak terlalu penting; dan (4) ada alasan yang meringankan. Jika terpidana selama masa percobaan menunjukkan sikap dan perbuatan yang terpuji, maka pidana mati dapat diubah menjadi pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 (dua puluh) tahun. Ketentuan-ketentuan dalam Buku I RKUHP sudah lebih baik mengatur mengenai hal-hal yang berkaitan dengan sistem pemidanaan. Namun demikian agar pengaturan sanksi pidana atau ketentuan pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP sesuai dengan sistem induknya maka perlu adanya ketentuan yang mengatur mengenai perumusan sanksi pidana baik sistem perumusan sanksi pidana, penggunaan jenis pidana dan tindakan, maupun teknik atau cara perumusan sanksi pidana. Di samping itu berkaitan dengan maraknya penggunaan sanksi pidana hampir dalam setiap Undang-Undang perlu adanya kriteria yang menjadi pedoman pada saat pembentuk Undang-Undang akan menggunakan sanksi pidana. Tidak adanya perbedaan yang jelas dan tegas dalam perumusan sanksi pidana antara hukum pidana khusus dengan perundangundangan administrasi yang memuat sanksi pidana adalah akibat tidak adanya kriteria apakah suatu tindak pidana merupakan harus diatur dalam hukum pidana umum (KUHP) atau hukum pidana khusus (hukum pidana yang menyimpangi KUHP) atau perundang-undangan administrasi yang memuat sanksi pidana. Gagasan untuk melakukan kodifikasi total dalam RKUHP sangat sulit diwujudkan mengingat perkembangan 91 buku 3 ok edited.indd 91
12/12/2012 9:27:02 AM
masyarakat yang selalu berada di depan hukumnya terlebih lagi hukum pidana, yang dalam pembentukannya selalu dilakukan kemudian. Alternatif yang dapat dilakukan adalah amandemen KUHP untuk masa yang akan datang harus mudah dilakukan agar dapat menyesuaikan dengan perkembangan masyarakat. Di samping itu pembentukan sanksi pidana atau ketentuan pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP dilakukan secara selektif, terbatas, dan tepat baik yang termasuk hukum pidana khusus maupun sanksi pidana administratif. Penetapan kriteria mengenai suatu tindak pidana merupakan hal penting agar pembentukan sanksi pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP lebih baik dan sesuai dengan sistem induknya, walaupun dalam undang-undang tersebut diatur ketentuanketentuan yang menyimpangi aturan umumnya. Di samping itu sanksi pidana dalam berbagai perundang-undangan di luar KUHP mengikuti pola atau pedoman yang sama.
92 buku 3 ok edited.indd 92
12/12/2012 9:27:02 AM
BAB IV KESIMPULAN DAN REKOMENDASI A. Kesimpulan 1. sistem pemidanaan dalam Buku I KUHP khususnya Bab II tentang Pidana, Bab III tentang Hal-hal yang menghapuskan, mengurangkan atau memberatkan pengenaan pidana dan Bab VIII tentang hapusnya kewenangan menuntut pidana dan menjalankan pidana merupakan sistem induk pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia. Ketentuan-ketentuan pemidanaan dalam perundang-undangan di luar KUHP dimungkinkan berdasarkan ketentuan dalam Pasal 103 KUHP. Jenis-jenis pidana yang digunakan dalam KUHP dan perundang-undangan di luar KUHP tidak ada perbedaan, kecuali pidana tutupan tidak pernah digunakan dalam undangundang di luar KUHP. Pidana penjara dan pidana denda adalah sanksi pidana yang paling banyak digunakan, sedangkan pidana mati hanya digunakan dalam Undang-Undang tertentu saja dan terbatas. Di samping pidana tambahan dalam KUHP, dalam undang-undang di luar KUHP banyak menggunakan pidana tambahan yang dikembangkan sesuai dengan karakteristik tindak pidananya. Demikian pula dalam beberapa undangundang di luar KUHP dikembangkan sanksi berupa tindakan walaupun relatif sedikit sesuai dengan tindak pidananya. 2. Berat ringannya pidana dalam KUHP menganut sistem maksimum (indefinite) dan tidak ada sanksi minimum khusus. Sedangkan dalam perundang-undangan di luar KUHP dapat dikategorikan 3 kelompok, yaitu 1) sistem maksimum 93 buku 3 ok edited.indd 93
12/12/2012 9:27:02 AM
umum, sistem minimum khusus, dan sistem campuran, yaitu menggunakan sistem maksimum umum dan sistem minimum khusus. Tidak ada pola atau pedoman pemidanaan dalam penetapan berat ringannya sanksi pidana dalam ketiga sistem strafmaat tersebut, terutama dalam penetapan pidana penjara dan pidana denda. Demikian pula dengan penetapan pidana pengganti denda, pemberatan pidana, dan pidana untuk korporasi tidak didasarkan pada pola atau pedoman pemidanaan. Baik dalam KUHP maupun perundang-undangan di luar KUHP masih minim mengatur mengenai strafmodus, khususnya berkaitan dengan pelaksanaan pidana yang manusiawi dan sesuai tujuan pemidanaan dalam hukum pidana Indonesia. 3. Sistem pemidanaan yang ideal dalam hukum pidana Indonesia adalah sistem pemidanaan yang didasarkan atau sesuai dengan nilai-nilai Pancasila sebagai falsafah dan jiwa bangsa Indonesia. Pembaharuan ketentuan-ketentuan mengenai pemidanaan dalam RKUHP sudah baik dan dilandasi falsafah Pancasila. Sistem pemidanaan dalam Buku I KUHP akan menjadi sistem induk berbagai pengaturan sanksi pidana di luar KUHP. Berkaitan dengan dimungkinkannya pembentukan sanksi pidana atau ketentuan pidana dalam undang-undang di luar KUHP seharusnya didasarkan pada kriteria tertentu yang jelas dan dilakukan secara selektif, terbatas, dan tepat. B. Rekomendasi 1. Pembentukan KUHP Nasional harus dipercepat agar hukum pidana Indonesia memiliki sistem pemidanaan yang sesuai 94 buku 3 ok edited.indd 94
12/12/2012 9:27:02 AM
dengan masyarakat bangsa Indonesia dan pembentukan ketentuan pidana dalam perundang-undangan di luar KUHP mempunyai pedoman serta tidak mendua apakah mengikuti KUHP yang saat ini berlaku atau RKUHP yang belum diundangkan? 2. Perlu ditetapkan kriteria tertentu mengenai pembentukan ketentuan pidana di luar KUHP agar dapat ditempatkan secara tepat apakah suatu tindak pidana termasuk hukum pidana khusus atau perundang-undangan administrasi yang memuat sanksi pidana. 3. Perlu ditetapkan pola atau pedoman perumusan sanksi pidana baik sistem perumusannya, penggunaan jenis pidana, berat ringannya pidana, maupun teknik perumusannya.
95 buku 3 ok edited.indd 95
12/12/2012 9:27:02 AM
96 buku 3 ok edited.indd 96
12/12/2012 9:27:02 AM
DAFTAR PUSTAKA Andi Hamzah, Asas-Asas Hukum Pidana, ed. revisi, Rineka Cipta, Jakarta, 2008. Baid, Robert M & Rosenbaum, Stuart E (ed.), Philosophy of Punishment, Prometheus Books, New York, 1988. Barda Nawawi Arief, Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1996. ____________, Kebijakan Legislatif dalam Penanggulangan Kejahatan dengan Pidana Penjara, Badan Penerbit Undip, Semarang, 1996. Barda Nawawi Arief, Beberapa Aspek Kebijakan Penegakan dan Pengembangan Hukum Pidana, Citra Aditya Bakti, Bandung, 1998. ____________, Tindak Pidana Mayantara, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2006. Barda Nawawi Arief, Perumusan Pidana dalam Undang-Undang sebagai Parameter Keadilan dalam Penjatuhan Pidana, Lokakarya, BPHN, Semarang, 2010. Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, Wset Publishing Co, St Paul Minnesota, 1991. Bemmelen, J.M. van, Hukum Pidana, terj. Hasnan, Binacipta, Bandung, 1987. BPHN, Perencanaan Pembangunan Hukum Nasional Bidang Hukum Pidana dan Sistem Pemidanaan (Politik Hukum dan Pemidanaan), Jakarta, 2008. Lamintang, Hukum Penitensier Indonesia, Armico, Bandung, 1984.
97 buku 3 ok edited.indd 97
12/12/2012 9:27:02 AM
Moeljatno, Azas-Azas Hukum Pidana, Bina Aksara, Jakarta, 1985. Muladi, Lembaga Pidana Bersyarat, Alumni, Bandung, 1985. Muladi dan Barda Nawawi Arief, Teori-teori dan Kebijakan Pidana, Alumni, Bandung, 1998. Muladi, Beberapa Catatan Berkaitan dengan RUU KUHP Baru, Makalah, Sosialisasi RUU KUHP, Departemen Kehakiman dan HAM RI, Jakarta, 2004. Packer, Herbert L., The Limits of the Criminal Sanction, Stanford University Press, California, 1968. Primoratz, Igor, Justifying Legal Punishment, Humanities Press International, Inc., New Jersey, 1989. Remmelink, Jan, Hukum Pidana, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 2003. Roeslan Saleh, Stelsel Pidana Indonesia. Aksara Baru, Jakarta, 1978. Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana Kontemporer, Kencana, Jakarta, 2010. Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Yurimetri,Cet. III, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1988. Sudarto, Hukum Pidana I, Yayasan Sudarto, Semarang, 1990. ____________, Kapita Selekta Hukum Pidana, Alumni, Bandung, 2006. ____________, Hukum Pidana dan Perkembangan Masyarakat, Sinar Baru, Bandung, 1983.
98 buku 3 ok edited.indd 98
12/12/2012 9:27:02 AM
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif Suatu Tinjauan Singkat, Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2001. Utrecht, E, Hukum Pidana I, Pustaka Tinta Mas, Surabaya, 1986. Watson, Gary, Free Will, 2nd ed., Oxford University Press, New York, 2003. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Perundang-undangan di luar KUHP.
99 buku 3 ok edited.indd 99
12/12/2012 9:27:02 AM