ANALISIS PERHITUNGAN TINGKAT KESTABILAN LERENG MENGGUNAKAN METODE ROCK MASS RATING DAN SLOPE MASS RATING PADA AREA WEST WANAGON SLOPE STABILITY DI PT. FREEPORT INDONESIA
SKRIPSI
Disusun untuk memenuhi salah satu persyaratan dalam menyelesaikan pendidikan di program studi S1 Teknik Pertambangan dan memperoleh gelar Sarjana Teknik dari Universitas Cenderawasih
Oleh : VIRGINIA SNERUNI SMUREM RUMBIAK NIM : 011 0640 391
PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS CENDERAWASI JAYAPURA 2016
HALAMAN JUDUL ANALISIS PERHITUNGAN TINGKAT KESTABILAN LERENG MENGGUNAKAN METODE ROCK MASS RATING DAN SLOPE MASS RATING PADA AREA WEST WANAGON SLOPE STABILITY DI PT. FREEPORT INDONESIA
SKRIPSI
Oleh : VIRGINIA SNERUNI SMUREM RUMBIAK NIM : 011 0640 391
PROGRAM STUDI TEKNIK PERTAMBANGAN FAKULTAS TEKNIK UNIVERSITAS CENDERAWASI JAYAPURA 2016
ii
HALAMAN PERSETUJUAN ANALISIS PERHITUNGAN TINGKAT KESTABILAN LERENG MENGGUNAKAN METODE ROCK MASS RATING DAN SLOPE MASS RATING PADA AREA WEST WANAGON SLOPE STABILITY DI PT. FREEPORT INDONESIA Disusun Oleh : VIRGINIA SNERUNI SMUREM RUMBIAK NIM : 011 0640 391 Telah dinyatakan lengkap dan memenuhi syarat untuk diajukan dalam Ujian sidang Skripsi Semester Genap Tahun Ajaran 2015/2016 Pada Program Studi S1 Teknik Pertambangan Disetujui oleh : Pembimbing I Tanggal : Juli 2016
PATRICK M. FANDY, ST.MT NIP. 19790208 200801 1 007
Pembimbing II Tanggal : Juli 2016
PRIHANANTO SETIADJI, ST.MT NIP. 19710812 200003 1 001
iii
HALAMAN PENGESAHAN ANALISIS PERHITUNGAN TINGKAT KESTABILAN LERENG MENGGUNAKAN METODE ROCK MASS RATING DAN SLOPE MASS RATING PADA AREA WEST WANAGON SLOPE STABILITY DI PT. FREEPORT INDONESIA Disusun Oleh : VIRGINIA SNERUNI SMUREM RUMBIAK NIM. 0110640391 Telah diujikan dalam ujian sidang Skripsi pada tanggal 4 Juli 2016 dan dinyatakan lulus dari Program Studi S1 Teknik Pertambangan Fakultas Teknik, Universitas Cenderawasih Dewan Penguji : Pembimbing I Patrick M. Fandy, ST.MT NIP. 19790208 200801 007
(.…………….........)
Pembimbing II Prihananto Setiadji, ST.MT NIP. 19710812 2000031001
(.……........………)
Penguji 1
Penguji 2 Penguji 3
Bodian Panggabean, ST. M.Eng NIP. 197501312005011003
(.............................)
Djuardrensi Patabang, ST. M.Eng NIP. 196906022003121001
(…………........….)
Frans Tambing, ST. MT NIP. 19651019 2003121001
(…………........….)
Jayapura, 4 Juli 2016 Disahkan Oleh : Mengetahui : Dekan Fakultas Teknik Universitas Cenderawasih
Ketua Jurusan Teknik pertambangan
APOLO SAFANPO, ST. MT
FRANS TAMBING, ST. MT
NIP : 19750424 200112 1 002
NIP : 19651019 2003 121 001
iv
PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI Yang bertanda tangan di bawah ini : Nama
: Virginia Sneruni Smurem Rumbiak
NIM
: 011 0640 391
Program Studi
: Teknik Pertambangan
Fakultas
: Teknik, Universitas Cenderawasih
Menyatakan dengan sebenar-benarnya bahwa skripsi yang saya tulis ini merupakan hasil karya tulis ilmiah atau pemikiran saya sendiri, bukan hasil karya intelektual orang lain. Apabila di kemudian hari terbukti atau dapat dibuktikan bahwa sebagian atau seluruh skripsi ini adalah hasil karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi atas perbuatan tersebut. Jayapura, 4 Juli 2016
Virginia Sneruni S. Rumbiak
v
ANALISIS PERHITUNGAN TINGKAT KESTABILAN LERENG MENGGUNAKAN METODE ROCK MASS RATING DAN SLOPE MASS RATING PADA AREA WEST WANAGON SLOPE STABILITY DI PT. FREEPORT INDONESIA Oleh : VIRGINIA SNERUNI SMUREM RUMBIAK NIM. 011 0640 391
ABSTRAK Lereng adalah permukaan bumi yang membentuk sudut kemiringan tertentu dengan bidang horizontal. Lereng terbentuk secara alami dan buatan. Dalam dunia pertambangan sering menggunakan lereng buatan terutama di tambang terbuka (open pit ), seperti di area West Wanagon Slope Stability di Grasberg. Kegiatan utama di wanagon adalah melakukan penggalian dan pengangkutan material, untuk membuat tanggul dan menetralkan air asam tambang, akibatnya aktivitas tersebut dapat mengganggu kestabilan lereng tambang, sehingga perlu dilakukan perhitungan teknis untuk mendapatkan jenjang yang stabil dan tidak mudah longsor. Menentukan kemantapan lereng ( stabil atau tidak stabil) pada area West Wanagon Slope Stability PT. Freeport Indonesia, adalah dengan menganalisis menggunakan metode Stereografi ( program Dips V5.1), Rock Mass Rating (Bieniawski, 1989) dan Slope Mass Rating (Romana, 1985). Hasil penelitian menunjukan bahwa pada lereng dengan level 4165, level 4150, dan level 4090 mempunyai potensi longsoran baji, sedangkan level 4135 mempunyai potensi longsoran bidang. Bobot massa batuan (RMR) pada level 4165 dan level 4150 adalah kelas II (Baik), pada level 4135 dan level 4090 adalah kelas III ( batuan sedang). Bobot massa jenjang (SMR) pada level 4165 dan level 4150 memiliki bobot massa jenjang kelas II ( Stabil ) dengan nilai SMR 80, pada level 4135 memiliki bobot massa Jenjang kelas II ( Stabil ), dengan nilai SMR 76 dan pada level 4090 memiliki bobot massa jenjang kelas II ( Stabil ), dengan nilai SMR 72. Kata Kunci : Kestabilan Lereng, Stereografis, Klasifikasi Massa batuan, RMR,SMR
vi
PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI
Skripsi yang tidak dipublikasikan terdaftar dan tersedia di Perpustakaan Fakultas Teknik dan Universitas Cenderawasih, dan terbuka untuk umum dengan ketentuan
bahwa
hak
cipta ada pada pangarang.
Referensi kepustakaan
diperkenankan dicatat, tetapi pengutipan atau peringkasan hanya dapat dilakukan seizin pengarang dan harus disertai dengan kebiasaan ilmiah untuk menyebutkan sumbernya. Usaha memperbanyak atau menerbitkan sebagian atau seluruh skripsi haruslah seizin tertulis dari Dekan Fakultas Teknik Universitas Cenderawasih. Perpustakaan yang meminjamkan skripsi ini untuk keperluan anggotanya harus mengisi nama, dan tanda tangan peminjam serta tanggal pinjam.
vii
LEMBAR PERUNTUKAN Motto : Apa pun yang terjadi ingat, berdoa, dan percaya pada Yesus dalam segala hal dapat terjadi. Hati manusia memikir-mikirkan jalanya, tetapi TUHANlah yang menentukan arah langkahnya. (Amsal 16 : 9) Damai sejahtera Allah yang melampaui segala akal, akan memelihara hati dan pikiranmu dalam Kristus Yesus. (Filipi 4 : 7) Mencoba bukan untuk menjadikan manusia sukses, tapi mencoba menjadikan manusia yang lebih bernilai “ Albert Einstein”
Kupersembahkan skripsi ini kepada : Kedua Orang tua tercinta Alian Rumb iak dan Ag ustina Kapitarauw yang selalu memberikan doa, motivasi dan kasih sayang yang tulus. Keempat saudaraku Kharl-hainz, Dietrich, Nia dan Echa Keluarga besar Rumb iak – Kapitarauw
viii
KATA PENGANTAR Segala Puji dan syukur dipanjatkan kehadirat Tuhan yang Maha Kuasa yang telah memberikan karunia-Nya kepada penulis sehingga laporan skripsi yang berjudul “ Analisis Perhitungan Tingkat Kestabilan Lereng Menggunakan Metode Rock Mass Rating (RMR) dan Slope Mass Rating (SMR) Pada Area West Wanagon Slope Stability
di PT. Freeport Indonesia” dari bulan 28
Oktober 2015 – 02 Febuari 2016, dapat terselesaikan dengan Baik. pada kesempatan yang indah ini penulis ingin Mengucapkan terima kasih kepada pihak – pihak yang telah banyak membantu dalam proses penulisan ini : 1.
Bapak Dr. Onesimus Sahuleka, S.H. M.Hum sebagai Rektor Universitas Cenderawsih,
2.
Bapak Apollo Safanpo, ST.MT, selaku Dekan Fakultas Teknik Universitas Cenderawasih.
3.
Bapak Frans Tambing, ST.MT, selaku Ketua Jurusan Teknik Pertambangan.
4.
Bapak Bevie Marcho Nahumury, ST.MT, selaku Ketua Program Studi (S-1) Teknik Pertambangan.
5.
Bapak Patrick M. Fandy, ST. MT, selaku Dosen Pembimbing I dan Bapak Prihananto Setiadji, ST. MT, selaku dosen Pembimbing II atas kesediannya membantu,
mengarahkan,
membimbing,
memberikan
motivasi
kepada
penulis dalam penyelesaian skripsi ini. 6.
Bapak dan Ibu dosen Jurusan Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Cenderawasihyang selalu dengan setia dan tabah membimbing serta membagikan ilmu pendidikan kepada penulis selama di bangku kuliah di Jurusan pertambangan.
7.
PT. Freeport Indonesia, yang telah memberikan kesempatan kepada penulis untuk mengambil data di perusahaan, sekali lagi terimakasih.
ix
8.
Bapak Daniel Rumbiak dan Mama sekeluarga, ade Ella, Alex ,Julens, Amelia, dan kakak Oris, serta Tanta Salomina Rumbiak yang memberikan motovasi dan dukungan kepada penulis selama di Tembagapura.
9. Helmykson Dako yang selalu memberikan motivasi, doa, dan kesetian cintanya dalam suka dan duka kepada penulis, terimaksih untuk kasih untuk daftar tabel khususnya. 10. Kakak Utreck Rumbiak terimaksih untuk komputernya dan Kax Ivan Waromi terimaksih untuk ruangan hidrologi dan leluconnya. 11. Team mapping Grasberg WWSS K’ Flora dan Jory terimaksih telah menemani dalam pengambilan
data
untuk
abang ridwa terimakasih
mobilnya. 12. Abang Teno, K’ Deni Tebay, K’ Yunita, K’Marthen, K’ lazarus, K’Vero terimaksih untuk air aquanya, Mas dewa, K’ dewina, Pak Dudy, om Sekel dan Om Heski, K Melky, serta Semua Kru- Kru Geotech- Hydro atas kerja samanya selama 3 bulan di surface mine Grasberg. 13. Teman seperjuangan di PTFI Mesak, Grace, Aras, Ronny, Joker, Jordy, Fanny, Ulin, Charles, dan Cello yang saling mendukung dalam penyelesaian skripsi ini. 14. Kedua temanku Jean dan Wihelmina yang selalu setia bersama - sama menemani, membantu dalam suka dan duka semasa kuliah. 15. Semua teman seperjuangan “miners 11” , kakak dan adik –adik mining Uncen yang telah banyak membatu dan berbagi pengalaman
serta mendukung
dalam penelitian ini sehingga Skripsi ini selasai sekali lagi terimaksih. Penulis sangat menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih terdapat kekurangan sehingga kritik
dan saran yang membangun dapat membantu
menyempurnakan penulisan ini. Akhir kata penulis sangat berharap semoga tulisan ini dapat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan yang memerlukannya. Jayapura, 4 Juli 2016 Virginia S.S Rumbiak x
DAFTAR ISI Hal. HALAMAN JUDUL................................................................................................ ii HALAMAN PERSETUJUAN ................................................................................ iii HALAMAN PENGESAHAN ................................................................................. iv PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ..................................................................v ABSTRAK .............................................................................................................. vi PEDOMAN PENGGUNAAN SKRIPSI ............................................................... vii LEMBARPERUNTUKAN ................................................................................... viii KATA PENGATAR ............................................................................................... ix DAFTAR ISI ........................................................................................................... xi DAFTAR GAMBAR ............................................................................................ xiv DAFTAR TABEL ................................................................................................. xvi DAFTAR LAMPIRAN ........................................................................................ xvii BAB I
PENDAHULUAN ................................................................................... 1 1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1 1.2 Tujuan dan Manfaat Penelitian ........................................................ 2 1.3 Rumusan Masalah............................................................................ 2 1.4 Pembatasan Masalah........................................................................ 2 1.5 Kondisi Lingkungan ........................................................................ 3 1.6 Kondisi Geologi ............................................................................... 5 1.6.1Stratigrafi ................................................................................. 5 1.6.2Struktur Geologi ...................................................................... 6 1.6.3Iklim dan Curah Hujan ............................................................ 6 1.7 Kegiatan Penambangan Wwss......................................................... 7
BAB II DASAR TEORI..................................................................................... 10 2.1 Metode Tambang Terbuka (Surface Mining) ................................ 10 2.2 Lereng ............................................................................................ 11 2.3 Kestabilan Lereng .......................................................................... 12
xi
2.4 Longsoran ...................................................................................... 17 2.4.1 Longsoran Bidang (Plane Failure) ...................................... 19 2.4.2 Longsoran Baji (Wedge failure) ........................................... 20 2.4.3 Longsoran Guling (Toppling Failure) .................................. 20 2.4.4 Longsoran Busur ( Circuler Failure) ................................... 21 2.5 Struktur Geologi ............................................................................ 22 2.6 Klasifikasi Massa Batuan .............................................................. 25 2.6.1 Pembobotan Massa Batuan Rock Mass Rating (RMR) ........ 26 2.6.2 Slope Mass Rating (SMR) .................................................... 29 2.7 Program Dips ................................................................................. 31 2.8 Program Roclab ............................................................................. 32 BAB III METODOLOGI .................................................................................... 36 3.1 Alat dan Bahan .............................................................................. 36 3.2 Metode Penelitian .......................................................................... 36 3.3 Diagram Alir Penelitian ................................................................. 39 BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN ............................................................. 40 4.1 Data Diskontinuitas ....................................................................... 40 4.1.1 Metode Pengambilan Data Diskontinuitas ........................... 40 4.1.2 Lokasi Pengambilan Data ..................................................... 40 4.1.3 Hasil Pengukuran Data diskontinuitas.................................. 41 4.1.4 Interpretasi Set Diskontinuitas Utama .................................. 41 4.2 Analisis Sterografis........................................................................ 45 4.2.1 Level 4165 Meter ................................................................. 45 4.2.2 Level 4150 Meter ................................................................. 47 4.2.3 Level 4135 Meter ................................................................. 48 4.2.4 Level 4090 Meter ................................................................. 50 4.3 Pembobotan Massa Batuan Rock Mass Rating (RMR)................. 51 4.3.1 Level 4165 Meter ................................................................. 52 4.3.2 Level 4150 Meter ................................................................. 56 4.3.3 Level 4135 Meter ................................................................. 56 4.3.4 Level 4090 Meter ................................................................. 57 xii
4.4 Pembobotan Massa Jenjang Slope Mass Rating (Smr).................. 58 4.4.1 Level 4165 Meter ................................................................. 59 4.4.2 Level 4150 Meter ................................................................. 62 4.4.3 Level 4135 Meter ................................................................. 63 4.4.4 Level 4090 Meter ................................................................. 65 BAB V PENUTUP............................................................................................. 67 5.1 Kesimpulan .................................................................................... 67 5.2 Saran .............................................................................................. 68 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN - LAMPIRAN
xiii
DAFTAR GAMBAR Hal. Gambar 1.1 Kondisi Geografis PT. Freeport Indonesia ......................................... 3 Gambar 1.2 Peta Wilayah Kerja PT Freeport Indonesia ........................................ 5 Gambar 1.3 Grafik Curah Hujan di West Wanagon Slope Stability...................... 7 Gambar 1.4 Area penambangan West Wanagon Slope Stability........................... 9 Gambar 2.1 Open Pit............................................................................................. 10 Gambar 2.2 Lereng Alam di Area PTFI ................................................................ 11 Gambar 2.3 Lereng Buatan .................................................................................... 12 Gambar 2.4 Mekanisme Longsorang ..................................................................... 18 Gambar 2.5 Longsoran Bidang .............................................................................. 19 Gambar 2.6 Longsoran Baji................................................................................... 20 Gambar 2.7 Longsoran Guling ............................................................................... 21 Gambar 2.8 Longsoran Busur ................................................................................ 21 Gambar 2.9 Roclabv 1.0 ....................................................................................... 30 Gambar 2.10 Nilai Sigci......................................................................................... 33 Gambar 2.11 Nilai GSI......................................................................................... 33 Gambar 2.12 Nilai Mi........................................................................................... 34 Gambar 2.13 Nilai Metode Peledakan ................................................................... 34 Gambar 4.1 Lokasi Pengambilan data................................................................... 41 Gambar 4.2 Proyeksi Sterografis pada level 4165 ............................................... 43 Gambar 4.3 Proyeksi Sterografis level pada 4150 ............................................... 43 Gambar 4.4 Proyeksi Sterografis pada level 4135 ................................................ 44 Gambar 4.5 Proyeksi Sterografis pada level 4090 ................................................ 44 Gambar 4.6 Analisis Sterografis pada level 4165 ................................................. 46 xiv
Gambar 4.7 Penampang lereng pada level 4165 ................................................... 46 Gambar 4.8 Analisis Sterografis pada Level 4150................................................ 47 Gambar 4.9 Penampang Lereng pada level 4150................................................. 48 Gambar 4.10 Analisis Sterografis pada Level 4135.............................................. 49 Gambar 4.11 Penampang lereng pada level 4135 ................................................. 49 Gambar 4.12 Analisis Sterografis pada Level 4090.............................................. 50 Gambar 4.13 Penampang lereng pada level 4090 ................................................. 51
xv
DAFTAR TABEL Hal. Tabel 2.1 Tipe Material Longsoran ........................................................................ 18 Tabel 2.2 Pembobotan Klasifikasi Rock Mass Rating .......................................... 28 Tabel 2.3 Kelas Massa Batuan RMR..................................................................... 28 Tabel 2.4 Pembobotan Massa Batuan SMR (Romana 1980) ................................ 30 Tabel 2.5 Joint Adjusment Rating for Method of Excavation Slope ..................... 30 Tabel 4.1 Interpretasi dan Pengelompokan data diskontinuitas ............................. 42 Tabel 4.2 Data Hasil Roclab V 1.0 ....................................................................... 45 Tabel 4.3 Tipe dan Arah Longsaran Sterografi ...................................................... 51 Tabel 4.4 Cara Pembobotan Klasifikasi Massa Batuan ......................................... 55 Tabel 4.5 Pembobotan Kelas Massa Batuan......................................................... 55 Tabel 4.6 Pembobotan Nilai F1 Berdasarkan SMR (Romana 1985) ................... 58 Tabel 4.7 Metode F4 Berdasarkan SMR (Roma 1985)........................................ 60 Tabel 4.8 Hasil Pembobotan level 4165............................................................... 61 Tabel 4.9 Klasifikasi Massa Jenjang Berdasarkan SMR (Romana, 1985)........... 61 Tabel 4.10 Hasil Pembobotan level 4150............................................................. 63 Tabel 4.11 Hasil Pembobotan level 4135............................................................. 64 Tabel 4.12 Hasil Pembobotan level 4135 ............................................................. 65 Tabel 4.13 Hasil Rekapitulasi RMR dan SMR ..................................................... 66
xvi
DAFTAR LAMPIRAN Hal. A. Data Pengukuran Lereng........................................................................A-(1-4) B. Perhitungan Rock Mass Rating (RMR) .................................................B – 1 C. Perhitungan Slope Mass Rating (SMR).................................................C - 1 D. Tabel Estimasi Kekuatan Massa Batuan (UCS) ....................................D - 1 E. Tabel Nilai Tingkat Pelapukan Batuan (ISMR) ....................................E - 1 F. Tingkatan Geologichal Strenght Index (GSI)........................................F - 1 G. Sketsa Lereng 1- 4 .................................................................................G-(1-2) H. Tabel Perhitungan RQD .......................................................................H – 1 I.
Sertifikat Penelitian
J.
Riwayat Hidup Penulis
xvii
BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang PT. Freeport Indonesia (PTFI) merupakan perusahaan tambang tembaga
yang terbesar di Indonesia yang berada di Tembagapura, kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Dalam operasinya, perusahaan ini menerapkan dua system penambangan yaitu tambang bawah tanah dan tambang terbuka. Tambang terbuka yang saat ini masih aktif adalah Grasberg, yang menggunakan metode penambang open pit mine. Sedangkan tambang bawah tanah yang saat ini masih aktif adalah Deep Mine Level Zone (DMLZ) yang menggunakan metode ambrukan (Block caving). Aktivitas penambangan pada tambang terbuka akan selalu berhubungan dengan peledakan (blasting), penggalian, pengakutan dan penimbunan sehingga dapat menganggu kestabilan lereng sehingga batuan akan runtuh. Selain aktivitas penambangan ketidak stabilan lereng dapat di sebabkan oleh kondisi stuktur geologi, arah diskontinuitas pada batuan seperti kekar (joint), rekahan (fracture), bidang perlapisan (bidang plane), sesar (fault) dan jenis –jenis retakan lain pada batuan,sifat –sifat fisik mekanik batuan pembentuk lereng, tekanan air tanah, dan geometri lereng. massa
Dengan demikian dapat di katakan bahwa perilaku fundamental
batuan sangat di pengaruhi oleh diskontiunitas
–
diskontinuitasnya
(Endaryanto 2007). West Wanagon Slope Stability (WWSS) atau area timbunan bagian barat dari open pit mine merupakan salah satu area yang yang masih aktif penggaliannya dan membentuk lereng, baik itu lereng kerja (work slope) maupun batasan lereng akhir
mempunyai kondisi struktur geologi
(kekar) yang cukup
banyak pada lereng tersebut sehingga kemungkinan besar akan terjadi longsoran. Agar keselamatan kerja tiap individu tidak terganggu dan tidak terjadi longsoran yang dapat menimbulkan kecelakaan atau kerugian baik terhadap manusia dan
1
2
perusahaan dan mempunyai tingkat keamanan yang tinggi maka, perhitungan analisis lereng di WWSS dapat di lakukan menggunakan Klasifikasi geomekanik. Klasifikasi geomekanik massa batuan Rock Mass Rating (RMR) system dan Slope Mass Rating (SMR) merupakan salah satu metode perhitungan lereng yang dapat di gunakan
untuk mengetahui tingkat kestabilan lereng yang ada di
West Wanagon Slope Stability (WWSS). 1.2
Tujuan dan Manfaat Penelitian
1.2.1
Tujuan Adapun tujuan dilakukanya penelitian ini adalah untuk
menentukan
tingkat kestabilan lereng ( stabil atau tidak stabil ) pada area penambangan dengan menganalisis kondisi massa batuan pada area penelitian yang masih aktif produksi. 1.2.2
Manfaat Manfaat dari penelitian ini adalah:
Manfaat berupa informasi dan data kepada perusahaan yang menunjukan bahwa tingkat kestabilan lereng secara perhitungan dapat dinyatakan dengan benar.
kepada mahasiswa dapat mengetahui klasifikasi sifat batuan dan tingkat kestabilan lereng yang berada WWSS di PT. Freeport Indonesia.
1.3
Rumusan Masalah Adanya penelelitian mengenai kestabilan lereng pada area penambangan
PT. Freeport Indonesia, maka permasalahan yang timbul adalah bagaimana keadaan lereng pada Area West Wanagon Slope Stability yang berpotensi longsor, berdasarkan analisis perhitungan klasifikasi massa batuan RMR dan SMR. 1.4
Pembatasan Masalah Penilitian ini dilakukan pada lereng yang berpotensi longsor yang masih
dapat terlihat diskontinuitasnya kemudian di bagi dalam beberapa cell setiap lereng agar setiap kondisi bidang kekar dapat di analisis dengan baik. Kemudian untuk perhitungan kestabilan lereng dilakukan berdasarkan klasifikasi RMR dan
3
SMR, dan dilakukan pada daerah West Wanagon Slope Stability (WWSS ) PT. Freeport Indonesia. 1.5
Kondisi Lingkungan Secara geografis, lokasi penambangan grasberg berada pada posisi 04o 03’
25” sampai 04o 08’ 37’ ls dan 137o 13’11”
sampai 137o 13’11”bt
pada jajaran
pegunungan sudirman dengan ketinggian 4285 meter dpl. Secara administratif lokasi penambangan grasberg berada di kecamatan Mimika, Kabupaten Mimika, Provinsi Papua. Kegiatan operasi PT. Freeport Indonesia dengan luas kontrak karya seluas 10.000 ha membentang dari lokasi penambang grasberg hingga kepelabuhan Ampere berjarak kurang lebih 125 km.
KONDISI GEOGRAFIS
Gambar 1.1 Kondisi Geografis PT. Freeport Indonesia
Secara garis besar wilayah operasi PT. Freeport Indonesia
dibagi
menjadi
dua
wilayah utama, yaitu : 1.
Daerah Highland Daerah Highland merupakan dataran tinggi dengan ketinggian antara 1900 – 4285 meter di atas permukaan laut dengan suhu rata – rata antara 8o – 22o celcius. Pada daerah ini terdapat kota tembagapura dan lokasi tambang terbuka Grasberg serta tambang bawah tanah Big gosan, Amole, Kucing liar, dan juga daerah Mill site.
4
2.
Daerah Lowland Daerah lowland adalah daerah yang mencakup lokasi pelabuhan amamaparew (portsite), perumahan karyawan dan kantor administrasi di Kuala Kencana serta beberapa lokasi pendudukung lainnya. Untuk mencapai tambang terbuka grasberg, secara umum jika dimulai dari kota Jayapura dengan menumpang pesawat udara milik perusahaan (AIRFST) selama 45 menitdari bandara Moses Kilangin didaerah lowland Timika perjalanan dilanjutkan dengan transportasi darat menggunakan bus atau LV (light vehicle) ke Kota Tembagapura di daerah Highland selama kurang lebih 2 jam. Perjalanan melewati jalan yang menanjak hingga tiba di Tembagapura. Dari kota Tembagapura, ada tiga jalur yang bisa di gunakan untuk mencapai tambang terbuka grasberg, yaitu jalur yang pertama menggunakan jalur bawah tanah (underground) dengan waktu kurang lebih 1 jam hingga tiba di tambang terbuka grasberg. Melalui jalur ini kita harus di perlengkapi dengan alat pengaman tambahan seperti lampu, masker, dan alat keselamatan darurat. Jalur yang kedua yaitu melalui HEAT (Heat Equipment Access Trail), Jalur ini melalui sisi gunung yang berliku – liku. Dibutuhkan waktu 1 jam untuk mencapai tambang grasberg . Jalur yang terakhir adalah jalur konvensional karyawan sehari – hari yangmulai dari terminal Tembagapura dengan menumpng bus karyawan menuju ke daerah mil site di mil 74 selama sekitar 45 menit, kemudian dilanjutkan dengan menumpang trem menuju ke daerah GBT (Gunung Biji Timur) selama sekita 10 menit. Dari GBT dilanjutkan dengan menumpang bus yang mengakut
karyawan atau mobil operation ke
daerah kerja masing – masing di lokasi tambang terbuka grasberg, dan untuk menempuh area kerja di West Wanagon Slope Stability dapat di tempuh selama kurang lebih 15 menit.
5
Gambar 1.2 Peta Wilayah Kerja PT Freeport Indonesia
1.6
Kondisi Geologi
1.6.1
Stratigrafi Pada daerah C.O.W – A
Indonesia,
satuan-satuan
(Contract Of Work - A) dari PT. Freeport
stratigrafi
yang
tersingkap
adalah
kelompok
Kembelangan yang berumur Jura hingga Kapur dan kelompok Batugamping New Guinea yang berumur Tersier serta Aluvium Kuarter. Kelompok Kembelangan terdiri dari Formasi Pinya yang terdiri dari mudstone dan Formasi Ekmai yang terdiri dari batupasir. Kelompok ini diendapkan pada daerah passive margin dan menindih Formasi Tipuma yang berumur Trias (Dow et al, 1988:Parris. 1994:Sapiie, 1998). Kelompok Batugamping New Guinea diendapkan selaras diatas kelompok Kembelangan (Visser dan Hermes, 1962). Kelompok ini terdiri dari empat formasi (Quarles van Ufford. 1996). Formasi Waripi (Paleosen-Eosen) yang terdiri dari dolostone, batupasir kwarsa dan sedikit limestone. Formasi faumai (Eosen) terdiri dari limestone yang kaya dengan foraminifera, marly limestone,
6
dolostone dan batupasir kwarsa. Formasi Sirga (oligosen awal) terdiri dari batupasir kwarsa halus sampai kasar kaya foraminifera, batu lanau. Formasi Kais (Oligosen-Miosen tengah) terdiri dari batugamping kaya foraminifera, marl, batu lanua dan juga batubara. 1.6.2
Struktur Geologi Deformasi pada daerah grasberg terjadi dalam dua tahap (Sapiie, 1988).
Tahap pertama terjadi pada 12 juta – 4 juta tahun yang lalu, deformasi yang terjadi adalah lipatan-lipatan yang berskala besar dengan simetri terbuka dan geometri chveron, termasuk beberapa sesar naik minor. Berdasarkan rekontruksi penampang geologi yang memotong pulau New Guinea, terjadi shorthening sepanjang sekitar 10 Km dan lebar 4 -5 Km (Quarles van Ufford, 1996). Salah satu lipatan besar adalah Yellow Valley Syncline. Tahap kedua terjadi mulai pada 4 juta tahun yang lalu yang menghasilkan strike slip fault. Terdapat lima zona strike-slip utama yang berarah NW dengan offset lebih dari 10 m. Zona tersebut ditandai oleh adanya breksi kataklastik. Pada orientasi slickenside menunjukkan gerakan mendatar mengiri (left lateral) yang sangat dominan (Sapiie,1998). Analisis struktur yang dihasilkan menunjukkan bahwa deformasi 4 (empat) strike slip,
juta tahun yang lalu tersebut merupakan persesaran
dimana proses tersebut menghasilkan pullapart system dimana
Grasberg Igneous Complex (GIC) berada. Intrusi tersebut memotong Yellow Valley Syncline (Sapiie,1980). Perubahan tahap pertama ke tahap kedua menunjukkan akhir orogenesis yang juga berhubungan dengan proses kolisi acrkontinen. 1.6.3
Iklim dan Curah Hujan Suhu rata –rata tahunan pada lokasi tambang terbuka Grasberg berkisar 5 O
– 15o Celcius. Hampir setiap hari turun hujan dan selalu diikuti kabut tebal curah hujan yang tinggi dapat mengakibatkan jalan menjadi belumpur dan rusak. Berikut di bawah ini grafik curah hujan pada area West Wanagon Slope Stability pada 30 November 2015 - 25 Januari 2016.
7
Gambar 1.3 Grafik Curah Hujan di West Wanagon Slope Stability
1.7
Kegiatan Penambangan WWSS West Wanagon Slope Stability atau biasa di sebut WWSS
merupakan
tempat penimbunan di bagian sisi barat open pit. Daerah Wanagon di bagi menjadi tiga kelompok utama, yaitu atas , tengah, dan bawah. Daerah timbunan memiliki persyaratan geoteknik dan geokimia. Daerah Wanagon atas dapat menerima semua tipe material dan menjadi satu satunya daerah yang bisa menerima material heavy suilphida. Daerah wanagon tengah dan bawah menerima material dengan syarat perbandingan material kasar terhadap halus sebesar, 2 (dua ) dan juga perbandingan material yang bersifat menetralkan asam neutral capacyity),
terhadap
(ANC, acid
yang menghasilkan asam (NAG- ned acid
generation) sebesar 15. Distribusi kuantitas batuan penutup pada triwulan pertama tahun 2014 di tunjukan pada gambar beikut. Area Penimbunan batuan penutup wanagon merupakan area dengan kegiatan penimbunan yang paling aktif. Hal ini di karenakan cycle time yang relative kecil dari area pit serta memiliki kapasitas penimbunan yang besar pula. Dengan dengan kondisi topografi yang curam dan sempit sehingga tidak aman serta tidak ekonomis jika dijadikan akses truk, pengiriman batuan penutup ke area wanagon di lakuakn menggunakan system OHS ( overburden handing system )
8
yang terdiri dari area crusher sebag tempat penimbunan batuan penutup oleh truk, sistem
conveyor
dan
system alat
curah
(stacker).
System conveyor
menghubungkan antara crusher sampai ke stacker di wanagon. Stacker memiliki panjang
130 meter dan akan mencurahkan batuan penutup ke lembah secara
gravitis. Area Wanagon memiliki jenjang dengan elevasi penimbunan aitu 4150 m, 3845 m, dan 3685 m, yang saling berkaitan. Untuk mencegah terbentuknya air asam tambang dan menjaga kestabilan lereng di area penimbunan Wanagon sampai dengan massa tutup tambang nantinya, maka kegiatan penimbunan di wanagon di sesuaikan dengan standar peraturan operasionl yang mengaju pada kajian geoteknik dan geokimia . Untuk menjaga kestabilan lereng dalam jangka panjang, keseluruhan dinding area penimbunan wanagon akan di landaikan dengan perbandingan antara jarak horizontal dan vertikalnya adalah 2:1 dari jenjang elevasi 4150 sampai jenjang elevasi 3685 m di mana nantinya jenjang elevasi terakhirnya akan berada di elevasi 3200 m. kegiatan pembentukan lereng ini dilakukan sejak tahun 2011 dan dipekirakan akan selesai athun 2020. Kekurangan yang material yang disebabkan oleh erosi akan di tangani dengan penggalian barat wanagon yang di namakan West Wanagon Slope Stability. Material yang dibutuhkan untuk proyek ini harus berukuran besar non crushed) agar tidak mudah tererupsi, tidak bersifat asam dan harus di timbun dengan laju sekitar 80.000 ton per hari. Material tersebut tidak dapat terpenuhi oleh tambang Grasberg sehubungan dengan mulai terbatasnya material waste dari Grasberg. Sehingga material tersebut harus diperoleh dari tempat lain. Di samping sebagai sumber material yang dekat dengan lokasi penimbunannya aktivitas di west wanagon slope stabiliy memiliku beberapa keuntungan lainnya yaitu : -
Mengalihkan
limpasan
air
yang
jatuh
ke
daerah
timbunan
mengurangi erosi yang dapat terjadi di daerah tersebut. -
Sebagai alternatif aksese ke toe 3200.
-
Sumber material untuk tanggul yang akan menahan erosi di toe 3200
-
Penimbunan Material tidsk mengganggu kegiatan pembukaan lereng
sehingga
9
Penggalian dimulai di kuartal II tahun 2014 dan akan membuka area baru seluas 20 Ha pada tahun tersebut, menggunakan dua alat muat besar (PH-4100) dan 10 truk (Cat – 793) akann di pergunakan dalam proyek ini mencapai tingkat produksi 80 kTph. Area yang di buka akan bertambah setiap tahunnya dan akan mencapai sekitar 108 Ha saat selesai. Sesuai rencana kerja tahunan teknis dan lingkungan (RKTTL) program rencana area timbunan Wanagon yang akan di kerjakan sampai tahun 2020.
Gambar 1.4 Area penambangan West Wanagon Slope Stability
BAB II DASAR TEORI 2.1
Metode Tambang Terbuka (Surface Mining) Metode tambang terbuka adalah kegiatan penambangan yang aktivitasnya
berhubungan langsung dengan udara luar. Kegiatan tambang terbuka yang digunakan di PT. Freeport Indonesia adalah Open pit mine. Open pit mining dicirikan dengan bentuk tambang berupa corong (kerucut terbalik) di permukaan bumi. Pada open pit mining, tanah penutup dikupas dan diangkut ke suatu daerah pembuangan yang tidak ada endapan ekonomis di bawahnya. Kedua aktivitas, yaitu pengupasan dan penggalian, dilakukan pada suatu permukaan kerja (front) yang berbentuk satu atau beberapa jenjang. Pembuatan pemuka kerja lebih dari satu, baik pada elevasi yang sama maupun beda elevasi, dimaksudkan untuk memastikan terjaminnya kemenerusan produksi (tidak ada delay kerja).
Gambar 2.1 Open Pit mine
10
11
2.2
Lereng Lereng adalah permukaan bumi yang membentuk sudut kemiringan
tertentu dengan bidang horizontal. Lereng dapat terbentuk secara alami maupun buatan manusia. Lereng yang terbentuk secara alami misalnya: lereng bukit dan tebing sungai, sedangkan lereng buatan manusia antara lain: galian dan timbunan, tanggul dan dinding tambang terbuka (Arief, 2007 dalam Rumansara, 2014) 2.2.1
Lereng Alam Lereng alam (natural slope) adalah lereng yang terbentuk karena
fenomena alam yang terjadi akibat dari proses geologi.
Dalam konteks
perencanaan teknik jalan, lereng alam sering dijumpai pada kawasan
dengan
topografi berbukit dan pegunungan, dimana posisi badan jalan berada pada elevasi tanah asli (existing ground) berada pada di sisi sebuah bukit, atau elevasi badan jalan berada pada lereng bukit yang sebagian digali/dipotong untuk posisi badan jalan. lereng alam adalah apabila tidak ada perlakuan dan atau penanganan terhadap lereng tersebut, baik berupa perubahan kemiringan atau penambahan dengan suatu konstruksi tertentu, sehingga kestabilan dan kemantapan dari lereng alam tersebut benar-benar mengandalkan kestabilan internal yang terbentuk akibat sifat, karakterisitk, dan struktur tanah serta bentuk alaminya.
Gambar 2.2 Lereng Alam di area PTFI
12
2.2.2
Lereng Buatan Lereng buatan (man made slope) adalah lereng yang terjadi akibat
terbentuknya daerah galian dan atau daerah timbunan pada proses perencanaan geometrik jalan. Lereng buatan dapat berbentuk lereng buatan dengan penanganan kons truksi, baik struktur maupun non struktur, atau lereng buatan tanpa penanganan konstruksi yaitu lereng yang hanya mengandalkan kemiringan dan tinggi kritis berdasarkan karakteristik tanah pembentuk lereng tersebut.
Gambar 2.3 Lereng Buatan
2.3
Kestabilan Lereng Masalah kestabilan lereng di dalam suatu pekerjaan yang melibatkan
kegiatan maupun penimbunan merupakan masalah penting, karena ini merupakan masalah keselamatan manusia, peralatan, dan bangunan yang ada di sekitar lereng tersebut. Dalam pekerjan penambangan di dalam penambangan terbuka, lereng yang tidak aman akan mengganggu kelancaran produksi. Di alam tanah maupun batuan umumnya berada dalam setimbangan (equilibrium), artinya keadaan distribusi tegangan pada tanah atau batuan tersebut dalam keadaan mantap. Apabila tanah ataupun batuan tesebut di kenakan sutu kegiatan seperti, penggalian, penurunan, penimbunan, pengangkutan, erosi atau aktivitas lain yang membuat terganggunya kesetimbangan, tanah ataupun batuan tersebut akan
13
berusaha mencapai kesetimbangan baru dengan cara pengurangan beban terutama dalam bentuk longsoran. Untuk menganalisis longsoran perlu terlebih dahulu mengetahui sistem tegangan yang bekerja pada batuan atau tanah serta sifat fisik mekanika dari tanah dan batuan tersebut. Tegangan batuan di dalam massa alamiahnya adalah tegangan horizontal, tegangan vertikal dan tekanan pori air. Sedangakan sifat mekanik yang mempengaruhui kestabilan atau lereng adalah kohesi, sudut geser dalam, dan bobot isi. Secara prinsipnya, pada suatu lereng berlkua dua macam gaya, yaitu : gaya yang membuat massa batuan bergerak ( gaya penggarak) dan gaya yang menahan massa batuan tersebut (gaya penahan). Suatu lereng akan longsor jika gaya penggeraknya lebih besar dari penahanya. Secara matematis kestabilan lereng dapat di nyatakan dalam bentuk faktor keamanan (Fk) di mana : Fk = Fk > 1, lereng di anggap stabil Fk < 1, lereng dianggap tidak stabil Fk = 1, lereng dalam keadaan setimbang. tetapi akan segera longsor jika mendapat sedikit gangguan. 2.3.1
Faktor – faktor yang Mempengaruhi Kestabilan Lereng Dalam Seegmilier (1972) secara klasik menerangkan terjadinya suatu
longsoran lereng tambang yang di mulai dengan longsoran yang kecil yang kemudian
menjadi
besar
sehingga
menimbulkan
masalah
pada
operasi
penambangan. Ada dua penyebab terjadinya longsoran menurut terzaghi (1950) di bagi menjadi dua kelompok yaitu : a.
Penyebab Eksternal Menyebabkan naiknya gaya geser yang bekerja sepanjang antara lain yaitu:
Perubahan geometri lereng
Beban dinamik karena dump truck (traffic loading)
bidang runtuh,
14
Gaya vibrasi yang ditimbulkan oleh gempa bumi atau ledakan.
Penurunan muka air tanah secara mendadak.
b.
Penyebab Internal Faktor – faktor internal antara lain menyebabkan turunnya kekuatan geser material, antara lain yaitu:
Pelapukan
Keruntuhan progressive
Hilangnya sementasi material,
Berubahnya struktur material. Menurut Varnes (1978) terdapat sejumlah penyebab internal maupun
eksternal yang dapat menyebabkan naiknya gaya geser sepanjang bidang runtuh maupun menyebabkan turunnya kekuatan geser material, bahkan kedua hal tersebut juga dapat dipengaruhi secara serentak. Terdapatnya sejumlah tipe longsoran menunjukkan beragamnya kondisi yang dapat menyebabkan lereng menjadi tidak stabil dan proses-proses yang memicu terjadinya longsoran, yang secara garis besar dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu kondisi material (tanah/batuan), proses geomorfhologi, perubahan sifat fisik dari lingkungan dan proses yang ditimbulkan oleh aktivitas manusia.Stabilitas lereng pada lereng batuan selalu dipengaruhi oleh beberapa faktor (Rai,1995) sebagai berikut : Faktor –faktor yang perlu diperhatikan dalam menganalisis kestabilan suatu lereng adalah sebagai berikut : 1.
Penyebaran batuan Macam batuan atau tanah yang terdapat di daerah penyelidikan harus diketahui, demikian juga penyebaran serta hubungan antar batuan. Ini perlu dilakukan karena sifat- sifat fisis dan mekanis suatu batuan berbeda dengan batuan lain sehingga kekuatan menahan bebannya juga berbeda.
15
2.
Relief permukaan bumi Faktor ini mempengaruhi laju erosi dan pengendapan serta menentukan arah aliran air permukaan dan air tanah.Hal ini disebabkan karena untuk daerah yang curam, kecepatan aliran air permukaan tinggi dan mengakibatkan pengikisan lebih intensif dibandingkan pada daerah yang landai, karena erosi yang intensif banyak dijumpai singkapan batuan menyebabkan pelapukan yang lebih cepat.Batuan yang lapuk mempunyai kekuatan yang rendah sehingga kemantapan lereng menjadi berkurang.
3.
Geometri lereng Geometri
lereng
lereng.Kemiringan
mencakup dan
tinggi
tinggi
suatu
lereng lereng
dan
sudut
sangat
kemiringan mempengaruhi
kemantapannya.Semakin besar kemiringan dan tinggi suatu lereng maka kemantapannya semakin kecil.Muka air tanah yang dangkal menjadikan lereng sebagian besar basah dan batuannya memiliki kandungan air yang tinggi, sehingga menyebabkan kekuatan batuan menjadi rendah dan lereng lebih mudah longsor. 4.
Orientasi bidang lemah (discountiniutas) terhadap orientasi lereng Struktur batuan yang sangat mempengaruhi kemantapan lereng adalah bidang- bidang sesar, perlapisan dan rekahan.Oleh karena itu perlu diperhatikan dalam analisa adalah struktur regional dan lokal.Struktur batuan tersebut merupakan bidang-bidang lemah dan sekaligus sebagai tempat merembesnya air sehingga batuan menjadi lebih mudah longsor. Dalam mendesain lereng haruslah mempertimbangkan arah atau orientasi bidang lemah tersebut. Dapat dilihat pada gambar dibawah, arah lereng yang sejajar dengan bidang lemah akan sangat mungkin untuk mengalami kelongsoran dibanding dengan arah lereng yang berlawanan atau tegak lurus
terhadap arah bidang lemah. Hal ini
disebabkan karena orientasi bidang lemah yang berlawanan dengan orientasi lereng akan menahan gaya normal yang bekerja pada lereng. Dalam istilah struktur geologi terdapat dua macam discountinuity , yaitu :
16
Mayor discountinuity, seperti sesar (patahan) Minor discountinuity, seperti kekar dan bidang perlapisan. Adanya bidang-bidang lemah ini yang mempunyai arah atau oreintasi, panjang, spasi dan kekuatan dari material pengisinya akan menentukan model dari potensial longsoran yang terjadi. 5.
Iklim Iklim mempengaruhi temperatur dan jumlah hujan, sehingga berpengaruh pula pada proses pelapukan. Daerah tropis yang panas, lembab dengan curah hujan tinggi akan menyebabkan proses pelapukan batuan jauh lebih cepat daripada daerah sub-tropis. Karena itu ketebalan tanah didaerah tropis lebih tebal dan kekuatannya lebih rendah dari batuan segarnya.
6.
Tingkat pelapukan Tingkat pelapukan mempengaruhi sifat- sifat asli dari batuan, misalnya angka kohesi, besarnya sudut geser dalam, bobot
isi, dll. Semakin tinggi tingkat
pelapukan maka kekuatan batuan akan menurun. 7.
Hasil kerja manusia Selain faktor alamiah, manusia juga memberikan andil yang tidak kecil. Misalnya suatu lereng yang awalnya mantap karena manusia menebangi pohon pelindung, pengolahan tanah yang tidak baik, saluran air yang tidak baik, penggalian / tambang, dan lainnya menyebabkan lereng tersebut menjadi tidak mantap, sehingga erosi dan longsoran mudah terjadi.
8.
Sifat fisik dan mekanik batuan Sifat fisik batuan yang mempengaruhi
kemantapan lereng adalah : bobot isi
(density), porositas dan kandungan air. Kuat tekan, kuat tarik, kuat geser, kohesi dan sudut geser dalam merupakan sifat mekanik batuan yang juga mempengaruhi lereng. Porositas Batuan yang mempunyai porositas besar akan menyerap air. Dengan demikian bobot isinya menjadi lebih besar sehingga akan memperkecil kemantapan lereng.
17
Kuat tekan, kuat tarik dan kuat geser Kekuaatan batuan biasanya dinyatakan dengan kuat tekan(confined & unfined compressive strength), kuat tarik (tensile strength) dan kuat geser (shear strength). Batuan yang mempunyai kekuatan besar akan lebih mantap. 2.4
Longsoran Longsoran adalah pergerakan masa tanah atau batuan sepanjang bidang
tergelincir atau suatu permukaan bidang geser . masa batuan adalah kondisi material dan bidang –bidang
diskontinuitas yang di miliki batuan (bieniawki,
1989). penyebab longsoran diantaranya (highway Research board, 1978 dalam bandono dan sadisun, 1997) yaitu : 1. Berkurang kekuatan geser material pembentuk lereng akibat : a. Erosi, baik yang disebabkan oleh aliran sungai, hujan maupun suhu. b. Pergerakan alami dari lereng akibat pergeseran bidang longsor maupun akibat penerunan (setlement). c. Aktifitas manusia, antara lain :
Penggalian dasar lereng
Pengrusakan stuktur penahan tanah
Penggundulan tanaman pada lereng
2. Bertambahnya tegangan geser pada lereng akibat : d. kondisi alam e. aktifitas manusia f.
gempa atau sumber getaran lainnya
g. pemindahan material di sekeliling dasar material longsoran. h. timbulnya tekanan tanah lateralvernes (1978) membagi faktor – faktor penyebab
longsor
menyebabkan
menjadi
kenaikan
dua
tegangan
bagian
yaitu,
danfaktor
–fator
faktor yang
–faktor
yang
menyebabkan
penurunan kekuatan geser tanah. Jenis longsoran menurut Veners D. J. (1978) dapat di kelompokan menjadienam kelompok, yaitu jatuhan, robohan, longsoran, pancaran lateral, aliran dan kombinasi.
18
Tabel 2.1 Tipe Material Longsoran
Dalam kasus kestabilan lereng yang tersusun oleh batuan, prinsip dasar perlu di perhatikan adalh kerapatan (frekuensi), orientasi dan kekuatan bidang diskontinu pada massa batuan (Priece 1979). Kekuatan material dapat menghasilkan lereng yang lebih besar menjadi stabil, tetapi jika lereng tersebut memiliki bidang – bidang diskontinu, maka bidang tersebut penting untuk di pehatikan.
Gambar 2.4 Mekanisme Longsorang Bidang–bidang diskontinu yang memotong massa batuan akan menghasilkan blok. Blok umumnya masih tersambung dengan massa batuannya. Blok yang terpisah akan membentuk kekar yang terbuka (opened joint fracture). Jika air
19
hujan atau air permukaan mengisi bukaan ini, maka akan menambah tekanan di kedua sisinya. Tekanan air sangat tergantung pada situasi bukaan kekar, meskipun ukuran kecil tetapi dalam daerah yang luas maka tekanan sangat berpengaruh terhadap kestabilan lereng. Ada beberapa Jenis Longsoran yang umum dijumpai pada massa batuan tambang terbuka ( Hoek and Bray, 1981) yaitu : 2.4.1
Longsoran Bidang (Plane Failure) Longsoran bidang merupakan suatu longsoran batuan yang terjadi
disepanjang bidang luncur yang dianggap rata. Bidang luncur tersebut dapat berupa rekahan, sesar maupun bidang perlapisan batuan. Longsoran jenis ini akan terjadi jika kondisi dibawah ini terpenuhi (Karyono, 2004) :
Jurus (strike) bidang luncur mendekati paralel terhadap jurus
bidang
permukaan lereng.
Kemiringan bidang luncur (ψp) harus lebih kecil dari pada kemiringan bidang permukaan lereng (ψf).
Kemiringan bidang luncur (ψp) lebih besar dari pada sudut geser dalam (ɸ).
Terdapat bidang bebas yang merupakan batas lateral dari massa batuan atau tanah yang longsor.
Gambar 2.5 Longsoran Bidang
20
2.4.2
Longsoran Baji (Wedge failure) Longsoran baji (Wedge failure) terjadi bila terdapat dua bidang lemah atau
lebih yang berpotongan sedemikian rupa sehingga membentuk baji terhadap lereng. Longsoran baji ini dapat dibedakan menjadi dua tipe longsoran yaitu longsoran tunggal (single sliding) dan longsoran ganda (double sliding). Untuk longsoran tunggal, luncuran terjadi pada salah satu bidang, sedangkan untuk longsoran ganda luncuran terjadi pada perpotongan kedua bidang. Longsoran baji tersebut akan terjadi bila memenuhi syarat sebagai berikut:
Kemiringan lereng (ψf) lebih besar daripada kemiringan
garis potong (ψp)
kedua bidang lemah.
Sudut garis potong (ψp )kedua bidang lemah lebih besar dari pada sudut geser dalamnya (ɸ) .
Gambar 2.6 Longsoran Baji 2.4.3
Longsoran Guling (Toppling Failure) Longsoran guling pada umumnya terjadi pada lereng yang terjal pada
batuan yang keras dimana struktur bidang lemahnya berbentuk kolom. Longsoran jenis ini terjadi apabila bidang-bidang lemah yang ada berlawanan dengan kemiringan lereng. Longsoran ini pada blok fleksibel, terjadi jika: β > 900 + f – α dimana, β = kemiringan bidang lemah, f = sudut geser dalam dan
21
α = kemiringan lereng -
Perbedaaan maksimal jurus (strike) dan
kekar (joint)
dengan sudut lereng (slope) adalah 300.
Gambar 2.7 Longsoran Guling
2.4.4
Longsoran Busur ( Circuler Failure) Longsoran busur umumnya terjadi pada material yang bersifat lepas (loose
material) seperti material tanah.Sesuai dengan namanya, bidang longsorannya berbentuk busur. Batuan hancur yang terdapat pada suatu daerah penimbunan dengan dimensi besar akan cenderung longsor dalam bentuk busur lingkaran (Hoek and Bray, 1981). Pada longsoran busur yang terjadi pada daerah timbunan, biasanya faktor struktur geologi tidak terlalu berpengaruh pada kestabilan lereng timbunan.Pada
umumnya,
kestabilan
lereng
timbunan
bergantung
pada
karakteristik material, dimensi lereng serta kondisi air tanah yang ada dan faktor luar yangmempengaruhi kestabilan lereng pada lereng timbunan.
Gambar 2.8 Longsoran Busur
22
2.5
Struktur Geologi
2.5.1
Massa Batuan Palmstorm (2001) menjelaskan konsep massa batuan yang idealnya
merupakan susunan dari sistem blok-blok dan fragmen-fragmen batuan yang dipisahkan oleh bidang-bidang diskontinu yang masing-masing saling bergantung sebagai sebuah kesatuan unit. Adanya bidang diskontinu ini membedakan kekuatan massa batuan dengan kekuatan batuan utuh atau intact rock. Massa batuan akan memiliki kekuatan yang lebih kecil dibandingkan dengan batuan utuh. Variasi yang besar dalam hal komposisi dan struktur dari batuan serta sifat dan keberadaan bidang diskontinu yang memotong atuan akan membawa komposisi dan struktur yang kompleks terhadap suatu massa batuan. Melakukan test in-situ pada suatu massa batuan akan menghasilkan variasi yang luar biasa dari sifat mekanik yang terdapat dalam satu massa batuan dari satu tempat ke tempat lainnya. Kurang tersedianya data geologi untuk pengkarakterisasian dari suatu lokasi batuan akan memberikan halangan utama terhadap proses desain, kontruksi dan operasi penggalian batuan. Pengembangan dari metode dan teknik pengkarakterisasian suatu lokasi batuan, serta intepretasi data adalah penelitian utama yang dibutuhkan, bukan hanya untuk penggalian batuan dalam ukuran besar tapi untuk seluruh bentuk dari rekayasa batuan (Brown, 1986). Oleh karena itu, sifat atau karateristik massa batuan tidak dapat diperkirakan tetapi harus dilakukan pengukuran dari hasil observasi, deskripsi dan melakukan test langsung maupun tidak langsung yang didukung oleh test laboratorium
dengan
menggunakan
specimen
kecil
dari
batuan,
dimana
karakteristik dari parameter massa batuan akan didapatkan. 2.5.2
Bidang Diskontinuitas Secara umum bidang diskontinu merupakan bidang yang membagi-bagi
massa batuan menjadi bagian-bagian yang terpisah. Menurut Priest (1993), bidang diskontinuadalah setiap bidang lemah yang terjadi pada bagian yang memiliki kuat tarik paling lemah dalam batuan. Menurut Gabrielsen (1990), keterjadian bidang diskontinu tidak terlepas dari masalah perubahaan stress (tegangan),
23
temperatur, strain (regangan), mineralisasi dan rekristalisasi yang terjadi dalam waktu yang panjang. Dari beberapa pengertian diatas,
dapat disimpulkan bahwa bidang
diskontinu terbentuk karena tegangan tarik yang terjadi pada batuan. Hal ini yang membedakan antara diskontinuitas alami, yang terbentuk oleh peristiwa geologi atau geomorfologi, dengan diskontinuitas artifisial yang terbentuk akibat aktivitas manusia misalnya pengeboran, peledakan dan proses pembongkaran material batuan. Secara tiga dimensi, struktur diskontinuitas pada batuan disebut sebagai struktur batuan sedangkan batuan yang tidak pecah disebut sebagai material batuan yang bersama struktur batuan, membentuk massa batuan. Beberapa macam bidang diskontinu yang digolongkan berdasarkan ukuran dan komposisi bidang diskontinu adalah sebagai berikut: 1. Fault atau patahan Fault
atau
patahan
adalah
bidang
diskontinu
yang
secara
jelas
memperlihatkan tanda-tanda bidang tersebut mengalami pergerakan. Tanda-tanda tersebutdiantaranya adalah adanya zona hancuran maupun slickensided atau jejak yangterdapat disepanjang bidang fault. Fault dikenal sebagai weakness zone karena akan memberikan pengaruh pada kestabilan massa batuan dalam wilayah yang luas. 2. Joint atau kekar Beberapa pengertian joint atau kekar berdasarkan ISRM (1980), joint atau kekar adalah bidang diskontinu yang terbentuk secara alami tanpa ada tanda-tanda pergeseran yang terlihat.Menurut Price (1966), joint adalah retakan pada batuan yang tidak menunjukkan tanda-tanda pergerakan, atau meskipun mengalami pergerakan tetapi sangat kecil sehingga bisa diabaikan.Joint berdasarkan lokasi keterjadiannya dapat dikelompokkan menjadi :
Foliation joint adalah bidang diskontinu yang terbentuk sepanjang bidang foliasi pada batuan metamorf.
Bedding
joint
adalah
bidang
diskontinu
bidangperlapisan pada batuan sedimen.
yang
terbentuk
sepanjang
24
Tectonic
joint
(kekar
tektonik)
adalah
bidang
diskontinu
yang
terbentukkarena tegangan tarik yang terjadi pada proses pengangkatan atau teganganlateral, atau efek dari tekanan tektonik regional (ISRM, 1975). Kekartektonik
pada
umumnya
mempunyai permukaan
datar
(planar),
kasar(rough) dengan satu atau dua joint set. 3. Fracture Fracture adalah bidang diskontinu pada batuan yang terbentuk karena adanya proses pelipatan dan patahan yang intensif (Glossary of Geology, 1980). Fracture adalah istilah umum yang dipakai dalam geologi untuk semua bidang diskontinu. Namun istilah ini jarang dipakai untuk kepentingan yangberhubungan dengan rock engineering dan engineering geology. 4. Crack Crack adalah bidang diskontinu yang berukuran kecil atau tidak menerus (ISRM 1975). Namun dibeberapa rock mechanic engineer menggunakan istilah fracture dan crack untuk menjelaskan pecahan atau crack yang terjadi pada saat pengujian batuan, peledakan dan untuk menjelaskan mekanisme pecahnya batuan. 5. Rupture Rupture adalah pecahan atau bidang diskontinu yang terjadi karena proses ekskavasi atau pekerjaan manusia yang lain. 6. Fissure Fissure adalah bidang diskontinu yang berukuran kecil, terutama yang tidak terisi atau terbungkus oleh material isian. 7. Bedding (Bidang pelapisan) Merupakan
istilah
untuk
bidang
perlapisan
pada
batuan
sedimen.
Beddingterdapat pada permukaan batuan yang mengalami perubahan ukuran danorientasi butir dari batuan tersebut serta perubahan mineralogi yang terjadi selama proses pembentukan batuan sedimen. 8. Seam Seam adalah zona lempung dengan ketebalan beberapa sentimeter (sebagian kecil). Ketika muncul sebagai zona lemah pada material sedimen, seam bisa menjadi lebih tebal. Di sisi lain, seam bisa direpresentasikan sebagai sesar kecil
25
atau zona alterasi sepanjang bidang lemah. Bidang perlapisan batu bara pada lapisan-lapisan berbeda yang mudah terpisahkan (Dictionary of Geological Terms, 1962). 9. Shear Shear adalah bidang pergeseran yang berisi material hancuran akibat tergerus oleh pergerakan kedua sisi massa batuan dengan ukuran celah yang lebih lebar dari kekar. Ketebalan material hancuran yang berupa batu atau tanah inibervariasi dari ukuran beberapa millimeter sampai meter.
2.6
Klasifikasi Massa Batuan Klasifikasi massa batuan digunakan sebagai alat dalam menganalisis
kemantapan lereng yang menghubungkan antara pengalaman di bidang massa batuandengan dibutuhkan.
kebutuhan Namun,
pemantapan
di
berbagai
kondisi lapangan
penggunaan klasifikasi massa batuan tidak
yang
digunakan
sebagai pengganti perancangan rinci.Pada dasarnya pembuatan klasifikasi massa batuan (Bieniawski,1989) bertujuan:
Mengidentifikasi
parameter-parameter
penting
yang
mempengaruhi
perilakumassa batuan.
Membagi formasi massa batuan kedalam grup yang mempunyai perilaku sama menjadi kelas massa batuan. Memberikan dasar-dasar untuk pengertian karakteristik dari setiap kelas massa batuan.
Menghubungkan pengalaman dari kondisi massa batuan di satu lokasi dengan lokasi lainnya.
Mengambil
(engineering)
Memberikan
dasar
umum
untuk
kemudahan
komunikasi diantara para insinyur dan geologiwan. Agar dapat dipergunakan dengan baik dan cepat maka klasifikasi massa batuan harus mempunyai beberapa sifat seperti berikut (Bieniawski, 1989) :
Sederhana, mudah diingat dan dimengerti.
Sifat-sifat massa batuan yang penting harus disertakan
26
Parameter dapat diukur dengan mudah dan murah Pembobotan dilakukan secara relatif .
Menyediakan data-data kuantitatif.
Dengan menggunakan klasifikasi massa batuan akan diperoleh paling tidak tiga keuntungan
bagi
perancangan
Kemantapan.
Meningkatkan
kualitas
hasil
penyelidikan lapangan dengan data- data masukkanminimum sebagai parameter klasifikasi. Berikut perubahan Kalsifikasi massa Batuan Rock Mass Ratting (Bieniawski, 1972 – 1989) : 2.6.1
Pembobotan Massa Batuan Rock Mass Rating (RMR) Dalam klasisfikasi pembobotan massa batuan RMR system menggunakan
lima parameter umum yang ditentukan di lapangan maupun uji laboratorium. Lima parameter tersebut adalah : 1. Intack Rock Strengt Nilai intack rock strength merupakan nilai rata-rata Unconfined Uniaxial Compressive Strength dari batuan yang terletak antara fracture dan tidak termasuk zona alterasi pada daerah tambanga yang direncanakan.Pengukuran dengan menggunakan
UCS, Filed index strength atau PLSI, kecuali untuk batuan yang
lemah (kurang dari 25 MPa) menggunakan uji UCS. 2. Rock Quality Designation (RQD) Dalam menghitung nilai RQD, metode tidak langsung digunakan apabila core logs tidak tersedia. Beberapa metode perhitungan RQD metode tidak langsung menurut Priet and Hudson dan metode langsung menurut Dree : Metode Langsung Menurut Dree
27
Menurut Priest and Hudson (1976)
Dimana, λ= jumlah total kekar per meter. 3.
Jarak Diskontinuitas Bidang lemah dalam istilah geologi bisa berupa sesar (fault), kekar (joint) dan
Lipatan (Bedding) yang harus menerus. Kemenerusan joint mempunyai panjang lebih besar dari bukaan atau lebih panjang dari 3 m. Bisa juga dikatakan menerus jika kurang dari 3m tetapi dipisah oleh joint lain.RMR menentukan rating berdasarkan jarak antar joint yang paling dominant (Goodman, 1989). Batas terbesar dari jarak antar joint yang dipakai dalam RMR yaitu > 2 m dengan rating 20, sedangkan batas terendah < 60 mm dengan rating 5.Pengukuran di lapangan harus representative terhadap daerah yang akan diteliti. Keterdapatan di alam biasanya terdiri dari beberapa set joint, sehingga agak sulit dalam menentukan jarak antar joint. Jika hal ini terjadi maka diambil kondisi yang paling dominant atau beberapa model joint tersebut tetap diukur jaraknya dan dirata-ratakan. Jarak antar spasi kekar adalah jarak tegak lurus antar dua kekar berurutan sepanjang garis pengukuran yang di buat sembarang sementara Sen dan Eissa (1991) mendefenisikan spasi kekar sebagai suatu panjang utuh pada suatu selang pengamatan. Menurut ISMR jarak (spasi) kekar adalah jarak tegak lurus antara bidang kekar yang berdekatan dalam satu kekar. Pada perhitungan nilai RMR parameter antara jarak (spasi) kekar.
28
Tabel 2.2 Pembobotan Klasifikasi Rock Mass Rating No
1
2
3
Paramater Point - load Strength Kekuatan Index Massa Uniaxcial Batuan Compressive Strength Bobot
> 10 Mpa
4 - 10 Mpa
2 - 4 Mpa
1 - 2 Mpa
> 250 Mpa
100 -250 Mpa
50 - 100 Mpa
25 - 50 Mpa
5 - 25 Mpa
1-5 Mpa
12
7
4
2
1
75 - 90 %
50 - 75 %
25 - 50 %
< 25 %
Bobot
15 90 - 100 % 20
17
13
8
3
Jarak Diskontinuitas
>2m
0.6 - 2 m
200 - 600 mm
60 - 200 mm
< 60 mm
Bobot
20
15
10
8
5
<1m
1-3m
3 - 10 m
10 - 20 m
> 20 m
RQD
Kondisi Diskontinuitas kemenerusan kekar Bobot Bukaan Kekar Bobot 4
6
4
2
1
0
Tidak ada
< 0.1 mm
0.1 - 1.0 mm
1 - 5 mm
> 5mm
6
5
4
1
0
Sangat Kasar
Kasar
Sedikit Kasar
Halus
Slickensided
6
5
3
0
Material Pengisi
Tidak ada
Keras < 5 mm
Keras > 5 mm
Lunak > 5 mm
Bobot
4
2
Sedikit Lapuk
Lapuk
Sangat Lapuk
Hancur
Bobot
6 Tidak Lapuk 6
1 Lunak < 5mm 2
5
3
1
0
Kondisi Air Tanah
Kering
Lembab
Basah
Menetes
Mengalir
Bobot
15
10
7
4
0
Kekasaran Kekar Bobot
Pelapukan
5
Pembobotan
Tabel 2.3 Kelas Massa Batuan RMR Bobot
100 - 81
80 - 61
60 - 41
40 -21
< 21
Kelas
I
II
III
IV
V
batuan
Batuan
sedang
lemah
Batuan Deskripsi
sangat baik
Baik
Batuan sangat lemah
0
29
2.6.2
Slope Mass Rating (SMR) Bieniawski (1989) pada saat membuat pembobotan RMR tidak bermaksud
untuk mengevaluasi kemantapan lereng, dikarenakan tingginya bobot pengatur orientasi kekar, yaitu bervariasi dari 60 hingga 100. Untuk dapat menggunakan RMR, penentuan bobot pengatur orientasi kekar memerlukan pengertian sifat-sifat kekar yang ada pada massa batuan dimana lereng dibentuk. Sehingga dalam menggunakan klasifikasi massa batuan untuk evaluasi kemantapan lereng harus diperhatikan berbagai model longsoran yang diatur oleh karakteristik kekar. Untuk menyertakan bobot pengatur orientasi kekar, Romana (1980) telah memodifikasi RMR menjadi Slope Mass Rating (SMR). Berdasarkan pengamatan Romana pada 28 lereng dengan berbagai derajat potensi kelongsoran, ditemukan bahwa 6 lereng longsor. SMR pada dasarnya tidak memperhatikan kelongsoran tanah dan longsoran baji secara langsung, dan didefinisikan sebagai : SMR = RMR – (F1 x F2 x F3) + F4 Pembobotan massa jenjang yang dikembangkan oleh Romana (1985) ditentukan dengan rumus : SMR = RMR – (F1 x F2 x F3) + F4, Dimana :
F1 = Menggambarkan kepararelan antara strike lereng dengan strike kekar. (F1 = [1-sin(αj – αs)]2 ).
F2 = Menerangkan hubungan sudut dip kekar sesuai dengan model longsoran. (F2 = Tan2 βj).
F3 = Selisih dari besar kemiringan kekar dikurangi dengan besar kemiringan jenjang.
F4 = Faktor penyelarasan yang berkaitan dengan metode ekskavasi. Parameter yang digunakan adalah :
1. Klasifikasi massa batuan atau besarnya bobot massa batuan (RMR) . 2. Kedudukan dari bidang lemah yaitu jurus dan kemiringan kekar.
30
3. Kedudukan dari jenjang gali yaitu strike dan kemiringan dari jenjang gali. 4. Melalui parameter ini dapat dilakukan pembobotan berdasarkan kualitasnya yang dapat dilihat pada (tabel 2.4). klasifikasi ini semua bobot dikalikan untuk memperoleh bobot massa jenjang.
Tabel 2.4 Pembobotan Massa Batuan SMR (Romana 1980) Diskontinuitas
Sangat baik
Baik
Biasa
Tidak baik
Sangat tidak baik
Lg= (αj - αs )180
Derajat
> 30˚
30 - 20˚
20 - 10˚
10 -5˚
< 5˚
Lb = Lg
Bobot
0,15
0,40
0,70
0,85
1,00
Lb = βj
Derajat
< 20 ˚
20 - 30 ˚
30 - 35 ˚
35 - 45 ˚
45 ˚
Lb
Bobot
0,15
0,40
0,70
0,85
1,00
Lg
Bobot
1
1
1
1
1
Lb= βj – βs
Derajat
10 ˚
10 - 0 ˚
0˚
0 - 10 ˚
< -10 ˚
Lg= βj – βs
Derajat
<110 ˚
110 - 120 ˚
> 120 ˚
-
-
Bobot
0
-6
-25
-50
-60
Tipe
Formula Lb= (αj - αs )
F1
F2
F3
Lb = Lg Keterangan :
Lb = l ongs ora n bi da ng
αs = Strike lereng
Lg = l ongs ora n gul i ng
βs = Di p l ereng
αj = Stri ke di s kontinui tas
βj = Dip diskontinuitas
Tabel 2.5 Pembobotan Metode Peledakan Metode
Lereng alamiah
Peledakan Prespiliting
Peledakan Smooth
Peledakan Mekanis
Peledakan Buruk
F4
15
10
8
0
-8
31
2.7
Program Dips Manfaat dari program Dips adalah untuk meneliti dan menvisualisasi data
struktur geologi baik yang berupa sesar, kekar, perlapisan, dan struktur-struktur lainnya dengan mengikuti teknik yang juga digunakan di dalam stereonet.Datadata yang diperlukan dalam menggunakan program dips adalah sebagai berikut : 1. Dip adalah sudut kemiringan terbesar yang dibentuk oleh bidang miring yang bersangkutan dengan bidang horizontal dan diukur tegak lurus terhadap strike. 2. Apperant Dip adalah sudut kemiringan suatu bidang yang bersangkutan dengan bidang horizontal dari pengukuran dengan arah tegak lurus strike. 3. Strike adalah suatu arah yang ditunjukkan dari suatu gejala geologi yang besarnya diukur searah dengan jarum jam 4. Dip Direction adalah besarnya arah strike ditambah 90. Langkah Kerja Pengoperasian Program Dips 1. Pilih Setup > Job Control > tulis project title > GOF dipilih TREND/PLUNGE> Ok. 2. Isikan data TREND dan PLUNGE 3. Pilih toolbar contour plot. 4. Pillih toolbar add set window > bawa kursor ke pojok bawah kontur yang dominan > klik kiri tahan > drag sehingga terlingkupi kontur yang dominan tersebut > untuk mengakhiri klik kiri lagi >akan keluar kotak dialog add set window > isikan kolom label dengan mayor > ok. 5. Pilih toolbar add plane > klik kiri di contour plot >akan keluar kotak dialog add plane > isikan kolom label dengan nama lereng sesuaikan trend /plunge. Trend/Plunge = (Strike + 90 O) / (90O - DIP) > OK 6. Pilih toolbar grid. 7. Pilih toolbar Cone >klik pada pusat contour plot >akan keluar kotak dialog add cone > sesuaikan anglenya > Ok. 8. Pilih toolbar add line > klik kiri pada perpotongan antara busur
32
arah umum mayor dan minor >akan keluar kotak dialog add line > di situ akan diketahui besarnya nilai strike> ok. 9. Pilih toolbar measure angle > klik kiri pada pusat contour plot > klik kiri lagi pada perpotongan busur arah umun mayor dan minor >akan keluar kotak dialog measure angle > akan diketahui data Strike/DipR> Done. 10. Pilih
toolbar
info
viewer
>akan keluar Dip
Document
Information. 2.8
Program Roclab Manfaat dari program Roclab adalah untuk mendapatkan nilai mohr-
coloumb cohesion (c) dan phi/sudut geser dalam(Ф) dan rockmass parameter, seperti tensile strength (sigt), uniaxial compressive strength (sigc), global strength (sigcm), dan modulus of deformation (Em), berdasarkan klasifikasi Hoek-Brown (uniaxial compressive strength of intact rock / sigci, intact rock parameter / mi, geological strength index / GSI , dan disturbance factor / berikut :
Gambar 2.9 Roclab v 1.0
D) adalah sebagai
33
1. Sigci (σ) adalah nilai yang di dapat dari nilai strength grade atau tingkat kekuatan batuan di lapangan.
Gambar 2.10 Nilai Sigci
2. GSI diperoleh dari hasil klasifikasi stuktur kekar dilapangan.
Gambar 2.11 nilai GSI
34
3. Mi value merupakan intact rock parameter. Nilainya bergantung pada bentuk butir / granularity dan interlocking dari struktur kristal. Semakin besar nilainya maka semakin kuat interlocking dan semakin besar gaya gesek / frictionalnya. Sebagai contoh pada cell00-01 west wanagon slope stability level 4165 mdpl, rock typenya berupa mikritic limestone, memiliki Mi8 ± 3.
Gambar 2.12 Nilai Mi
4. D yaitu disturbance factor . Bergantung pada tingkat gangguan dari aktivitas blasting ataupun aktivitas eskavasi.
Gambar 2.13 Nilai Metode Peledakan
35
Langkah –langkah kerja pengoperasian program roclab 1. Aktifkan program Roclab v 1.0 2. Pillih
di bagian Hoek-Brown clasification (sigc)> bawah kursor ke pojok
kanan > klik pick from uniaxial strengh table> akan keluar tabel intact UCS > pilih strengh sesuai nilai strengh grade > ok. 3. Pillih
di bagian Hoek-Brown clasification (GSI)> bawah kursor ke pojok
kanan > klik pick from GSI table> akan keluar tabel GSI value> pilih stuktur dan kondisi dinding lereng sesuai data lapangan> ok. 4. Pillih
di bagian Hoek-Brown clasification (Mi)> bawah kursor ke pojok
kanan > klik pic from list Mi value> akan keluar tabel density > bawah kursor ke bagian filter list > klik di kolim rock tipe untuk mempermudah mencari jenis batuan > pilih sedimentary > pilih tipy batuan sesuai area penelitian (Micritic Limestone) > ok. 5. Pillih di bagian Hoek-Brown clasification (D)> bawa kursor ke pojok kanan > klik pic from D table> akan keluar tabel Disturbance factor > klik di kolom slope> arahkan krusor ke bagian kiri tabel pilih ganguan aktivitas > ok.
BAB III METODOLOGI
3.1
Alat dan Bahan Alat dan bahan yang digunakan dalam proses penelitian antara lain
Kompas Geologi, GPS, meteran, Palu geologi, camera, pilox, papan clip board, laptop,
tabel klasifikasi massa batuan,
tabel data lapangan, ATK, tabel
Geologichal Strengh Index (GSI), beserta
Program Microsoft execel, microsoft
word, Program Dips v 5.1 dan program Roclab v 1.0. 3.2
Metode Penelitian Metode yang di lakukan pada penelitian ini adalah studi pustaka dan di
lanjutkan dengan pengukuran dan pengambilan data di lapangan kemudian dilanjutkan dengan pengolahan data dan analisis untuk mendapatkan penyelesaian masalah. adapun urutan penelitian sebagai berikut : 1. Tahapan Persiapan Tahapan persiapan yaitu kegiatan awali yang dilakukan sebelum pengumulan data, tahapan persiapan berupa : a. Studi literatur Studi literatur adalah mengumpulkan informasi – informasi yang di lakukan peneliti – penelitian sebelumnya yang berhubungan dengan dengan penelitian untuk menunjang penelitian ini antara lain :
Informasi perusahaan
Brosur-brosur perusahaan
Literatur di perpustakaan
Laporan penelitian dengan topik yang sama.
36
37
2. Orientasi lokasi Orientasi lokasi bertujuan untuk mengamati dan menetukan lokasi, dimana kegiatan penelitian yang dilakukan secara langsung di lapangan atau di area penambangan. 3. Pengumpulan Data Tahap pengumpulan data dibagi menjadi dua, yaitu : a. Data Primer Pengumpulan data primer adalah Proses pengamatan dan pengukuran secara langsung di lapangan berupa, stuktur geologi, geometri lereng dan morfologi lereng. b. Data Sekunder Data
sekunder
adalah
data
yang
diambil dari literatur,
laporan uji
laboratorium batuan dan data penunjang dalam pembuatan skripsi. c. Pengolahan data d. Penentuan bidang diskontinuitas penentuan bidang diskontinu di lakukan dengan pengukuran cell mapping yaitu data stuktur,
jenis fiiling material, kemudian dilakukan analisis sterografi
terlebih dahulu yaitu analisis orientasi kekar,menggunakan program DIPS v 5.1 untuk menetukan longsoran yang akan terjadi untuk mendapatkan orientasi yang sebenarnya dari kekar. e. Penentuan Nilai GSI dan RMR penentuan
nilai
GSI
dan
RMR
dilakukan
dengan
pengukuran
data
diskontinuitas berdasarkan tabel Geological strength index for joinet rocks untuk GSI dan untuk RMR menggunakan tabel klasifikasi massa batuan. data, kemudian diolah dengan program Roclab v1.0,
hasil kedua
untuk mendapatkan sudut
geser dalam dan kohesi sebagai penentuan longsoran yang akan terjadi di lapangan.
38
f.
Pembahasan Dalam pembahasan dilanjutkan dengan analisis menggunakan Rock Mass
Rating (RMR) untuk mendapatkan keadaan massa batuan pada lereng penelitian dan dilanjutkan dengan analisis menggunakan Slope Mass Rating (SMR) untuk menilai kondisi lereng dalam keadaan stabil atau tidak stabil berdasarkan kelas massa batuan. g. Kesimpulan Akhir dari dilakukanya perhitungan dan analisis dari hasil pengolahan data terhadap permasalahan yang diteliti.
39
3.3
Diagram Alir Penelitian Studi Literatur
Orientasi lokasi Pengambilan data
Data Primer
Stuktur kekar Strike/dip Jarak kekar Panjang kekar Pemisahan kekar Kekasaran material pengisi pelapukan kondisi air tanah
Analisis streonet
Data sekunder
geometri lereng
Profil Perusahaan Data geografis WWSS Data geologi Grasberg
Tinggi lereng Kemiringan lereng Lebar lereng/cell Arahkemiringan lereng.
Nilai GSI
Perhiungan nilai RM R
Kohesi dan sudut geser dalam
Analisis longsoran
Klsaisfikasi Rock M ass Rating
Klasifikasi Slope M ass Rating
Stabil / tidak stabil
Kesimpulan
40
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1
Data Diskontinuitas
4.1.1
Metode Pengambilan Data Diskontinuitas Pengamatan
metode
window
dan
pencatatan
mapping,
data diskontinuitas menggunakan
dengan
titik
awal
jarak
pengukuran
diskontinuitas pada satu cell awal, dalam pengambilan data diskontinuitas terdapat dua pengambilan data yaitu data Rock Mass dan Cell Mapping, data diskontinuitas tersebut diamati dan dicatat hanya yang berada di dalam cell mapping dengan pengamatan dan pengambilan datanya adalah sebagai berikut : 1. Cell Mapping sheet -
Tipe stuktur kekar
-
Jarak diskontinuitas
-
Kedudukan diskontinuitas (Arah dan Kemiringan)
-
Pemisahan atau bukaan diskontinuitas
-
Material pengisi
-
Kondisi air tanah
2. Rock Mass Mapping Sheet -
Geological strength index (GSI)
-
Spasi kekar
-
Kuat tekan batuan (UCS)
-
Rock Quality Designation (RQD)
-
Panjang kekar
-
Bukaan kekar
-
Kekasaran kekar
-
Pelapukan Batuan Pada kekar
41
4.1.2
Lokasi Pengambilan Data Daerah penelitian terdapat empat lereng dilokasi penambangan dan
penimbunan West Wanogen Slope Stability yang masih aktif, yakni tiap–tiap lereng atau level dibagi menjadi beberapa window mapping. Window mapping dilakukan dengan tujuan agar mendapat akurasi data yang baik untuk analisis selanjutnya. Litologi daerah penelitian pada umumnya berupa batuan sedimen batuan limestone sampai Karstic Limestone, dengan morfologi pegunungan.
Gambar 4.1 Lokasi Pengambilan data 4.1.3
Hasil Pengukuran Data diskontinuitas Data diskontinuitas hasil pengukuran window mapping pada level 4165
meter sebanyak 35 data, level 4150 meter sebanyak 66 data, level 4135 sebanyak 76 data dan pada level 4090 sebanyak 32 data. Sedangkan data hasil pengukuran kondisi massa batuan pada level 4165 meter sampai level 4090 meter berjumlah empat data, yaitu satu data tiap level yang terdiri dari pengukuran Geological strength index (GSI) dan pengukuran Rock Mass Rating (RMR). 4.1.4
Interpretasi Set Diskontinuitas Utama Dalam pengamatan
data diskontinuitas, suatu hal yang penting adalah
melakukan pemilahan data antara diskontinuitas alami dengan data diskontinuitas akibat aktivitas manusia (induced fractures), (Endartyanto,2007). Induced
42
fractures pada daerah penilitian pada umumnya diakibatkan oleh aktivitas penambangan berupa peledakan. Namun dalam penelitian ini, pemilihan data diskontinuitas yang didasarkan atas genetisnya tidak dilakukan. Hal tersebut berdasarkan asumsi bahwa seluruh jenis diskontinuitas yang terdapat dilereng penilitian
ikut
berpengaruh
(Endartyanto,2007).
Dalam
terhadap
tipe
keruntuhan
menginterpretasikan
dan
yang
terjadi
mengelompokan
set
diskontinutas utama, digunakan metode stereografi dengan bantuan program Dips V.5.1
untuk
mengolah
data
penelitian,
sehingga
hasil
interpretasi
dan
pengelompokan data tiap lereng untuk level 4165, 4150, 4135, dan level 4090 meter diatas permukaan laut dapat dilihat pada tabel dibawah ini adalah sebagai berikut : Tabel 4.1
Interpretasi dan pengelompokan data diskontinuitas Kedudukan Level
4165 4150 4135 4090
Diskontinuitas
Nomor gambar
Trend N.....°E
Plunge (....°)
Set 1
125
61
Set 2
31
63
set 1
54
56
Set 2
112
47
Gambar 4.3
Set 1
92
62
Gambar 4.4
set 1
92
30
set2
30
50
Gambar 4.2
Gambar 4.5
43
Gambar 4.2 Proyeksi Sterografis pada level 4165
Gambar 4.3 Proyeksi Sterografis level pada 4150
44
Gambar 4.4 Proyeksi Sterografis pada level 4135
Gambar 4.5 Proyeksi Sterografis pada level 4090
45
4.2
Analisis Sterografis Analisis Sterografis dibutuhkan untuk mengetahui tipe –tipe longsoran
yang dapat terjadi pada lereng dan juga sebagai data input untuk menentukan nilai Slope Mass Rating (SMR) pada tahap selanjutnya. Dalam melakukan analisis sterografis di butuhkan data sudut geser dalam yang di dapat dengan menggunakan program Roclab v 1.0 yang dilakukan pada tiap level adalah sebagai berikut : Tabel 4.2 Data Hasil Roclab V 1.0 Level
σc
GSI
mi
D
4165 4150 4135 4090
250 150 100 100
45 45 45 40
8 8 8 8
1 1 1 1
Bobot isi batuan (g/cm3 ) 0,023 0,023 0,023 0,023
ɸ 50,21 47,22 45,13 42,38
4.2.1 Level 4165 Meter Hasil analisis sterografis yang dilakukan pada level 4165 meter dpl, sterografi yang digambarkan adalah terdapat beberap set secara acak dan dua set diskontinuitas. Pada perpotongan antara set satu dan set dua mempunyai sudut bidang lemah (ψp) 19˚, dengan kemiringan lereng (ψf) 68˚, dan sudut geser dalamnya (ɸ) 50˚. Level ini mempunyai nilai sudut geser lebih besar dari pada bidang lemah, Sehingga di kategorikan mempunyai potensi longsoran baji karena dimana ψf (68˚) > ψp (19°) < ɸ(50˚).
46
Gambar 4.6 Analisis Sterografis pada level 4165
Gambar 4.7 Penampang lereng pada level 4165
47
4.2.2
Level 4150 Meter Hasil Sterografi yang digambarkan pada lereng 4150 adalah terdapat dua
set diskontinuitas, pada perpotongan antara set satu dan set dua mempunyai sudut bidang lemah (ψp) 34˚, dengan kemiringan lereng (ψf) 70˚, dan sudut geser dalamnya (ɸ) 47˚. Longsoran baji terjadi jika ada dua bidang lemah saling berpotongan dan (ψf) > (ψp) > (ɸ), namun level ini memiliki nilai sudut geser dalam yang sangat besar dari sudut bidang lemah sehingga sehinggadi kategorikan mempunyai pontensi longsoran baji ψf (70˚) > ψp (34°) < ɸ (47˚).
Gambar 4.8 Analisis Sterografis pada Level 4150
48
Gambar 4.9 Penampang Lereng pada level 4150
4.2.3
Level 4135 Meter Hasil Sterografi yang digambarkan pada lereng ke tiga atau level 4135
mdpl, terdapat beberap set acak dan satu set diskontinuitas. Memiliki satu set diskontinuitas dan mempunyai sudut bidang lemah (ψp) 27˚, dengan memiliki kemiringan lereng (ψf) 69˚, dan besar sudut geser dalamnya (ɸ) 45˚. Dari hasil di atas dapat di ketahui bahwa pada level 4135 termasuk dalam Tipe longsoran bidang yaitu syarat pertama bidang gelincir mempunyai strike hampir sejajar dengan strike lereng, Syarat ke dua ψf (69˚) > ψp (27˚) dan syarat ke tiga ψp > ɸ. Namun pada syarat yang ketiga dari hasil sterografi ψp (27˚) < ɸ (45˚),
sehingga
longsoran bidang.
lereng tersebut dapat di kategorikan mempunyai pontensi
49
Gambar 4.10 Analisis Sterografis pada Level 4135
Gambar 4.11 Penampang lereng pada level 4135
50
4.2.4
Level 4090 Meter Hasil
Sterografi
yang
digambarkan
level 4090
terdapat
dua
set
diskontinuitas. Perpotongan antara set satu dan set dua mempunyai sudut bidang lemah (ψp) 33˚, dengan kemiringan lereng (ψf) 70˚, dan sudut geser dalamnya (ɸ) 42˚. Longsoran baji terjadi jika ada dua bidang lemah saling berpotongan dan (ψf) > (ψp) > (ɸ ), namun lereng 4090 memiliki nilai sudut geser dalam lebih besar dari pada sudut bidang lemah, nilainya adalah ψf (70˚) > ψp (33˚), < ɸ (42˚). Sehingga di kategorikan mempunyai pontensi longsoran baji.
Gambar 4.12 Analisis Sterografis pada Level 4090
51
Gambar 4.13 Penampang lereng pada level 4090
Tabel 4.3 Tipe dan Arah Longsaran Sterografi
4.3
Level
Tipe Longsoran
4165 4150 4135 4090
Longsoran Baji Longsoran Baji Longsoran Bidang Longsoran Baji
Set Diskontinuitas Set 1 dan Set 2 Set 1 dan Set 2 Set 1 Set 1 dan Set 2
Arah Longsoran N 165 ⁰E/19° N 157 ⁰E/34° N 181 ⁰E/27° N 116 ⁰E/33°
Pembobotan Massa Batuan Rock Mass Rating (RMR) Pembobotan massa batuan untuk tiap lereng
dalam cell, dilakukan
perhitungan dan analisis Rock Mass Rating dengan menggunakan lima parameter yang dikembangkan oleh Bieniawski (1989) sebagai berikut :
52
1. Kekuatan Batuan Utuh 2. Rock Quality Designation (RQD) 3. Jarak Antar Diskontinuitas 4. Kondisi Bidang Diskontinuitas 5. Keadaan Air 4.3.1 1.
Level 4165 Meter
Kekuatan Batuan Utuh Kekuatan batuan utuh di ketahui dengan menggunakan pengujian langsung
dilapangan yaitu pengujian Compressive Stregth (UCS) dengan melihat kondisi massa batuan dilapangan menggunakan tabel Field Estimates of Uniaxial Compressive strength of intact rock berdasarkan Hoek-Brown (1981), yaitu menggunakan palu geologi dan di
dan selanjutnya pembobotan dengan
menggunakan tabel Klasifikasi massa batuan berdasarkan Bieniawski (1989). Tabel pembobotan Kekuatan Massa Batuan. Berdasarkan tabel dibawah (lihat tabel 4.4) maka nilai kekuatan massa batuan untuk level 4165 adalah > 250 Mpa. (bobot = 15)
2. Rock Quality Designation (RQD) Pengamatan RQD sangat penting karena menyangkut Fracture dalam jarak yang dekat, perhitungan RQD dilakukan perhitungan langsung di lapangan dan berdasarkan panjang lereng (secara horizontal) dengan melihat spasi kekar lereng dilapangan sekitar 100 meter lebih dan tinggi lereng 15 meter
sebagi berikut :
RQD = 100e -0,1.ƛ.(0,1.ƛ+1) = 100e (-0,1×1.906)× (0,1×1.906)+1 = 50 % Dari hasil perhitungan diatas, kemudian Pembobotan RQD di cari menggunakan tabel klasifikasi massa batuan menurut Bieniawski (1989). Berdasarkan tabel hasil pembobotan dibawah (Lihat tabel 4.4) RQD pada level 4165 adalah 50 -75 %. (Bobot = 13).
maka nilai
53
3. Jarak Antar Diskontinuitas Jarak kekar merupakan jarak antar dua bidang diskontinuitas yang saling berdekatan dalam satu cell sejajar dengan arah normal atau tegak lurus bidang diskontiniutas (Priest
dan Hudson, 1976 dalam Rumansara, 2007). Sehingga
Pengukuran jarak antar diskontinuitas di lakukan pada set yang sama.Bieniawski (1989) tidak menjelaskan bagaimana cara menghitung spasi diskontinuitasapabila terdapat
lebih
dari
satu
set
diskontinuitas
pada
suatu
massa
batuan.
Namun,mengacu kepada Edelbro (2003 op cit. Palmstrom, 2005) yang intinya menyatakanbahwa apabila terdapat lebih dari satu set diskontinuitas dalam massa batuan, maka jarak diskontinuitas yang digunakan adalah jarak diskontinuitas yang memiliki nilairata-rata terkecil (Endartyanto,2007). Dalam pengambilan data dilapangan Jarak Antar dis kontinuitas sangat bervariasi, sehingga nila rata-rata terkecil adalah 200 – 600 mm. Berdasarkan Tabel dibawah (lihat tabel 4.4), maka diketahui bahwa bobot jarak antar diskontinuitas pada level 4165 adalah 10. 4. Kondisi Bidang Diskontinuitas Keadaan bidang diskontinuitas didapatkan dari deskripsi secara langsung dilapangan berupa tingakat kemenerusan bidang diskontiniutas, lebar bukaan, kekasaran bidang diskontiniutas, maerial pengisi bidang diskontinuitas, dan tingkat pelapukan. Berdasarkan pengamatan di lapangan kondisi diskontinuitas berupa panjang diskontinuitas, lebar bukaan , halus – kasar, material pengisi, dan tingkat pelapukan diskontinuitas pada lampiran dan kondisi diskontinuitas untuk masing – masing lereng. Berdasarkan Tabel diatas di ketahui bobot kondisi diskontinuitas pada level 4165 adalah 13. 5.
Air Tanah Kondisi air tanah pada4165 meter dpl, dari hasil pengamtan secara langsung
dilapangan bahwa pada level ini telah didapati kondisi tanah pada lereng yaitu lembab – basah. Dari hasil pengamatan di lokasi maka pembobotan kondisi air tanah pada lereng dapat di cari di tabel klasifikasi massa batuan menurut
54
Bieniawski, 1989 dan berdasarkan tabel tersebut di ketahui bobot kondisi diskontinuitas pada level 4165 adalah 10. Setiap hasil pembobotan dan analisis dari lima parameter ini adalah sebagai berikut : 1.
2.
3.
4.
5.
Kekuatan Massa batuan
: > 250 Mpa
Bobot
: 15
Rock Quality Designation
: 50 %
Bobot
: 13
Jarak Antar Diskontinuitas
: 200 – 600 mm
Bobot
: 10
Keadaan Bidang Diskontinuitas
:13
Bobot
: 13
Kondisi Air Tanah
: Lembab
Bobot
:10
Total Bobot
: 61
Kelas Massa Batuan
: II (Baik)
Dari hasil ini kemudian masing – masing bobot di jumlahkan untuk mendapatotal nilai bobot yang akan digunakan untuk mengklasifikasikan massa batuan tersebut, jadi total bobot batuan tersebut adalah 61. Berdasarkan hasil selanjutnya nilai total dari (Rock Mass Rating) RMR di masukan pada tabel klasifikasi massa batuan berdasarkan Bieniawski (1989).
55
Tabel 4.4 Cara Pembobotan Klasifikasi Massa Batuan Kekuatan M assa Batuan
Uniaxcial Compressive Strength Bobot RQD Bobot
> 250 M pa
100 -250 50 - 100 M pa M pa
15
12
7
25 - 50 M pa
5 - 25 M pa
4
2
1 - 5 M pa
< 1 M pa
1
0
90 - 100 %
75 - 90 %
20
17
Jarak Diskontinuitas
0.6 - 2 m
200 - 600 mm
60 - 200 mm
< 60 mm
Bobot
15
10
8
5
Kondisi Diskontinuitas kemenerusan kekar
<1m
50 - 75 %
25 - 50 %
< 25 %
13
8
3
3 - 10 m
1-3m
10 - 20 m
> 20 m
Bobot
6
4
2
1
0
Bukaan Kekar
Tidak adak
< 0.1 mm
0.1 - 1.0 mm
1 - 5 mm
> 5mm
Bobot
6
5
4
1
0
Kekasaran Kekar
Sangat Kasar
Kasar
Sedikit Kasar
Halus
Slickensided
Bobot
6
5
3
1
0
M aterial Pengisi
Tidak adak
Keras < 5 mm
Keras > 5 mm
Lunak < 5mm
Lunak > 5 mm
Bobot
6
4
2
2
0
Pelapukan
Tidak Lapuk
Sedikit Lapuk
Lapuk
Sangat Lapuk
Hancur
Bobot
6
5
3
1
0
Kondisi Air Tanah
Kering
Lembab
Basah
Menetes
Mengalir
Bobot
15
10
7
4
0
Tabel 4.5 Pembobotan Kelas Massa Batuan Bobot
100 - 81
80 - 61
60 - 41
40 -21
< 21
Kelas
I
II
III
IV
V
Deskripsi
Batuan sangat baik
Baik
Batuan sedang
Batuan lemah
Batuan sangat lemah
Setelah
melihat
tabel
dan
melakukan
pembobot
dari perhitungan
klasifikasi massa batuan maka dapat disimpulkan bahwa pada area pengukuran di level 4165 meter mempunyai kelas massa batuan adalah II (Baik). Selanjutnya perhitungan dan pembobotan yang sama dilakukan pada level lainnya.
56
4.3.2 1.
Level 4150 Meter
Kekuatan Massa batuan
: 100 -250 Mpa
Bobot
: 12
2. Rock Quality Designation Bobot 3. Jarak Antar Diskontinuitas Bobot
: 70 % : 13 : 0.6 – 2 m : 10
4. Keadaan Bidang Diskontinuitas : Kemenerusan, bukaan, kekasaran, materal pengisi, dan pelapukan kekar. Bobot 5. Kondisi Air Tanah Bobot
:11 : Lembab : 10
Total Bobot
: 61
Kelas Massa Batuan
: II
Deskripsi
: Baik
4.3.3
Level 4135 Meter
1. Kekuatan Massa batuan Bobot 2. Rock Quality Designation Bobot 3. Jarak Antar Diskontinuitas Bobot
: 100 - 250 Mpa : 12 : 54 % : 13 : 200 – 600 mm : 10
4. Keadaan Bidang Diskontinuitas : Kemenerusan, bukaan, kekasaan, materal pengisi, dan pelapukan kekar. Bobot 5. Kondisi Air Tanah Bobot
: 12 : Lembab : 10
57
Total bobot
: 57
Klasifikasi batuan
: III
Deskripsi
: Batuan sedang
4.3.4 1.
2.
Level 4090 Meter
Kekuatan Massa batuan
: 100 - 250 Mpa
Bobot
: 12
Rock Quality Designation
: 52 %
Bobot
: 13
3. Jarak Antar Diskontinuitas Bobot 4.
: 60 - 200 mm :8
Keadaan Bidang Diskontinuitas: Kemenerusan, bukaan, kekasaan, materal pengisi, dan pelapukan kekar.
5.
Bobot
: 10
Kondisi Air Tanah
: Lembab
Bobot
: 10
Total Bobot
: 53
Klasifikasi batuan
: III
Deskripsi
: Batuan sedang.
58
4.4
Pembobotan Massa Jenjang Slope Mass Rating (SMR) Dalam pembobotan massa jenjang ini nilai SMR ditentukan dari
perpotongan
dua
bidang
diskontinuitas
hasil
Proyeksi
Streografi
sebelumnya.Untuk setiap kriteria faktor koreksi F1, F2, dan F3, Romana membagi nilai besaran faktor koreksi yang dipakai ke dalam dua jenis kasus yaitu kasus untuk jenis longsoran bidang dan kasus untuk jenis longsoran guling (Sitohang, 2008). Jika dilihat pada Tabel 2.4 yang menjelaskan tentang perhitungan SMR dan nilai pembobotannya, tidak disebutkan secara lengkap mengenai bagaimana cara menghitung nilai SMR untuk tipe longsoran membaji (Sulistianto, 2001 dalam Endartyanto,
2007).
Sehingga untuk
mendapatkan nilai SMR dari
longsoran baji menggunakan arah dan kemiringan dari perpotongan dua bidang diskontinuitas. Tabel 4.6 Pembobotan Nilai F1, F2, F3 Berdasarkan SMR (Romana, 1985) Tipe
F1
F2
F3
Formula
Diskontinuitas
Sangat baik
Baik
Biasa
Tidak baik
Sangat tidak baik
Lb= (αj - αs ) Lg= (αj - αs )- 180
Derajat
> 30˚
30 - 20˚
20 10˚
10 -5˚
< 5˚
Lb = Lg
Bobot
0,15
0,40
0,85
1,00
Derajat
< 20 ˚
Bobot Bobot Derajat
0,15 1 10 ˚
35 - 45 ˚ 0,85 1 0 - 10 ˚
45 ˚ 1,00 1 < -10 ˚
Derajat
<110 ˚
Bobot
0
-50
-60
Lb = βj Lb Lg Lb= βj – βs Lg= βj – βs Lb = Lg
20 - 30 ˚ 0,40 1 10 - 0 ˚ 110 - 120 ˚ -6
0,70 30 35 ˚ 0,70 1 0˚ > 120 ˚ -25
59
4.4.1
Level 4165 Meter
1.
F1 Kepararelan Strike Lereng dan Strike Diskontinuitas (F1). Nilai F1 menggambarkan kepararelan antara strike lereng -strike diskontinuitas. Dalam
menghitung
nilai
F1dapat
menggunakan
rumus
yang
dikembangkan oleh Romana (1993) : F1 = [1-sinA]2 , Dimana : A = Menandakan selisih antara strike lereng dan strike diskontinuitas (αj-αs), dengan menggunakan persamaan diatas maka nilai : F1 untuk level 4165 adalah : F1 =[1-sin(165-185)]2 F1 = [1-sin(-21)]2 F1 = 1.84° Selanjutnya dengan menggunakan nilai diatas dilakukan pembobotan F1 dengan menggunakan Tabel Pembobotan Berdasarkan Kualitas (Romana, 1985), lihat tabel 4.6. Berdasarkan tabel diatas diketahui bobot F1 pada adalah 1. 2.
F2 adalah Hubungan sudut dip kekar sesuai dengan model longsoran (F2). Nilai F2 menggambarkan Hubungan sudut dip kekar sesuai dengan model longsoran. Dalam menghitung nilai F2 dapat menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Romana (1993) : F2 = Tan2 βj, Dimana : βj = Kemiringan lereng Dengan menggunakan persamaan diatas maka nilai F2 adalah : F2 = Tan2 19 F2 = 0.11° Selanjutnya dengan menggunakan nilai diatas dilakukan pembobotan F2 dengan menggunakan tabel pembobotan berdasarkan kualitas (Romana, 1985), lihat tabel 4.6.
60
Berdasarkan tabel diatas diketahui bobot F2 pada set diskontinuitas 1dan set diskontinuitas 2 adalah 0.15. 3.
F3 adalah Hubungan sudut dip lereng dengan dip kekar (F3). Nilai F3 menggambarkan
hubungan sudut
dip kekar sesuai dengan
model
longsoran. Dalam menghitung nilai F3 dapat menggunakan rumus yang dikembangkan oleh Romana(1985) : F3= βj – βs Dimana : Βj = Dip Diskontinuitas Βs = Kemiringan lereng dengan menggunakan persamaan
diatas
maka
nilai F3 adalah : F3 = 19 – 68 F3 = - 49° Berdasarkan tabel diatas diketahui bobot F3 pada set diskontinuitas satu dan set diskontinuitas dua adalah -60. 4.
Daerah penelitian kegiatan pembongkaran batuan dilakukan dengan peledakan Prespliting sehingga untuk faktor F4 di kategorikan dalam peledakan presplliting.
Tabel 4.7 Metode F4 Berdasarkan SMR (Roma 1985)
Metode F4
Lereng
Peledakan
Peledakan
Peledakan
Peledakan
alamiah
Prespiliting
Smooth
Mekanis
Buruk
15
10
8
0
-8
Hasil dari analisis dan pembobotan empat Parameter diatas adalah sebagai berikut:
61
Tabel 4.8 Hasil Pembobotan level 4165 Parameter
Nilai
Bobot
F1
1.84
1
F2
0.11
0,15
F3
-49
-60
F4
Peledakan Prespliting
10
Selanjutnya dilakukan perhitungan dan analisis pembobotan massa jenjang yang dikembangkan oleh Romana (1985) dengan rumus : SMR = RMR – (F1 x F2 x F3) + F4 = 61 – (1× 0.15× (-60)) + 10 = 80 sehingga di dapat hasil Pembobotan SMR pada level 4165 meter di atas permukaan laut atau lereng pertama
pada area west wanagon slope stability
adalah 80. Setelah nilai Slope Mass Rating (SMR), kemudian dicari klasifikasi massa jenjang berdasarkan bobot SMR, dengan menggunakan tabel pembobotan massa jenjang berdasarkan Romana (1985). Tabel 4.9 Pembobotan Massa Jenjang berdasarkan (Romana,1985) Klasifikasi
V
IV
III
II
I
Bobot M assa Jenjeng (SM R)
0 - 20
20 -40
40 - 60
60 - 80
> 80
Deskripsi
Sangat Tidak stabil
Tidak Stabil
Sedang
Stabil
Sangat stabil
Kestabilan Jenjang/Lereng
Sangat Tidak stabil bidng atau seperti keruntuhan M aterial Lepas
Tidak Stabil
Sebagian Stabil Dikontrol oleh adanya Kekar atau baji kecil
stabil
Sangat stabil
Kemungkinan Bentuk Longsoran
Bidang atau Baji besar
Berupa Blok
62
Dari hasil perhitungan dan pembobotan yang telah dilakukan, maka dapat ditentukan bobot massa jenjang pada West Wanagon Slope Stability pada pengukuran Level 4165 meter adalah: Bobot masa jenjang (SMR)
: 80
Klasifikasi
: Kelas II
Deskripsi
: Stabil
Kestabilan Jenjang
: Stabil
Kemungkinan Bentuk Longsoran
: Berupa Blok
4.4.2
Level 4150 Meter Analisis perhitungan Slope Mass Rating pada level ini adalah sebagai
berikut :
F1= [1- sin A]2 F1= [1- sin (αj-αs)]2 F1 = [1- sin(157-186)]2 F1 = [1-sin(- 29)]2 F1 = 2.20°
F2 = Tan2 βj F2 = Tan2 34 F2 = 0.45°
F3= βj – βs F3 = 34 - 74 F3 = - 40°
F4 = Metode Penggalian menggunakan Peledakan Piliting. F4 = Bobot 10
63
Tabel 4.10 Hasil Pembobotan level 4150 Parameter
Nilai
Bobot
F1
2.20
1
F2
0.45
0,15
F3
- 40
-60
F4
Peledakan Prespliting
10
SMR = RMR – (F1 x F2 x F3) + F4. = 61 – (1× 0.15× (-60)) + 10 = 80 Hasil SMR yang di dapat adalah 80 dan berdasarkan tabel Klasifikasi Slope
Mass Rating ( lihat tabel 4.16) Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan, maka dapat ditentukan bobot massa jenjang pada west wanagon slope stability pada pengukuran Level 4150 meter adalah: Bobot masa jenjang (SMR)
: 80
Klasifikasi
: Kelas II
Deskripsi
: Stabil
Kestabilan Jenjang
: Stabil
Kemungkinan Bentuk Longsoran
: Berupa Blok
4.4.3
Level 4135 Meter Analisis perhitungan Slope Mass Rating pada level ini adalah sebagai
berikut,
F1= [1- sin A]2 F1= [1- sin (αj-αs)]2 F1 = [1- sin(181-186)]2 F1 = [1-sin(- 2)]2 F1 = 1.07°
64
F2 = Tan2 βj F2 = Tan2 27 F2 = 0.25
F3= βj – βs F3 = 27 – 69 F3 = - 42
F4 = Metode Penggalian menggunakan Peledakan Piliting. F4 = Bobot 10 Tabel 4.11 Hasil Pembobotan level 4135 Parameter
Nilai
Bobot
F1
1.07
1
F2
0.25
0,15
F3
- 42
-60
F4
Peledakan Prespliting
10
SMR = RMR – (F1 x F2 x F3) + F4. = 57 – (1× 0.15×(-60)) + 10 = 76 Hasil SMR yang di dapat adalah 80 dan berdasarkan tabel Klasifikasi Slope
Mass Rating ( lihat tabel 4.16) Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan, maka dapat ditentukan bobot massa jenjang pada west wanagon slope stability pada pengukuran Level 4135 meter adalah: Bobot masa jenjang (SMR)
: 76
Klasifikasi
: Kelas II
Deskripsi
: Stabil
Kestabilan Jenjang
: Stabil
Kemungkinan Bentuk Longsoran
: Berupa Blok
65
4.4.4 Level 4090 Meter Analisis perhitungan slope mass rating pada level ini adalah sebagai berikut :
F1= [1- sin A]2 F1= [1- sin (αj-αs)]2 F1 = [1- sin(116-185)]2 F1 = [1-sin( -69)]2 F1 = 3.73°
F2 = Tan2 βj F2 = Tan2 33 F2 = 0.42°
F3= βj – βs F3 = 33 - 70 F3 = - 37°
F4 = Metode Penggalian menggunakan Peledakan Piliting. F4 = Bobot 10 Tabel 4.12 Hasil Pembobotan level 4135 Parameter
Nilai
Bobot
F1
3.73
1
F2
0.42
0,15
F3
- 37
-60
F4
Peledakan Prespliting
10
66
SMR = RMR – (F1 x F2 x F3) + F4. = 53 – (1× 0.15×(-60)) + 10 = 72. Hasil SMR yang di dapat adalah 72 dan berdasarkan tabel Klasifikasi Slope
Mass Rating ( lihat tabel 4.16). Dari hasil perhitungan yang telah dilakukan, maka dapat ditentukan bobot massa jenjang pada west wanagon slope stability pada pengukuran Level 4090 meter adalah : Bobot masa jenjang (SMR)
: 72
Klasifikasi
: Kelas II
Deskripsi
: Stabil
Kestabilan Jenjang
: Stabil
Kemungkinan Bentuk Longsoran
: Berupa Blok
Dari hasil pembahasan analisis sterogrfis, analisis Rock Mass Rating (RMR), dan Slope Mass Rating (SMR) di atas maka dapat di lihat pada tabel berikut bahwa :
Tabel 4.13 Hasil Rekapitulasi RMR dan SMR
Level
4165 4150 4135 4090
Tipe Longsoran Longsoran Baji Longsoran Baji Longsoran Bidang Longsoran Baji
Bobot Massa Batuan (RMR)
Klasifikasi kelas
Bobot Massa Jenjang (SMR)
Klasifikasi kelas
Deskripsi
Kestabilan Jenjang
Kemungkinan Bentuk Longsoran
61
II (Baik)
80
II
Stabil
Stabil
Berupa blok
61
II (Baik)
80
II
Stabil
Stabil
Berupa blok
76
II
Stabil
Stabil
Berupa blok
72
II
Stabil
Stabil
Berupa blok
57 53
III (Sedang) III (Sedang)
BAB V PENUTUP 5.1
Kesimpulan Dari hasil analisis yang telah dilakukan pada empat lereng di area lokasi
penelitian maka dapat di simpulkan bahwa : 1.
Terdapat dua tipe longsoran yaitu, potensi longsoran baji di mana arah dan kemiringan longsoran yaitu, Level 4165 berada pada N 165 ⁰E/19°, level 4150 berada pada N 157 ⁰E/34° dan level 4090 berada pada N 116 ⁰E/33°, dan pada level 4135 terdapat potensi lonsoran bidang di mana arah longsoran dan kemiringan longsoran berada pada N 181 ⁰E/27°.
2.
Bobot Massa Batuan dari Rock Mass Rating (RMR) pada, Level 4165 dan level 4150 mempunyai nilai RMR
61, memiliki bobot
massa batuan kelas II ( Baik ). Level 4135 mempunyai nilai RMR 57, memiliki bobot massa batuan kelas III ( Batuan sedang ). Level 4090 mempunyai nilai RMR 53, memiliki bobot massa batuan kelas III ( Batuan sedang ). 3.
Bobot Massa Jenjang Slope Mass Rating (SMR) Pada, Level 4165 dan level 4150 mempunyai nilai SMR 80, memiliki bobot massa jenjang stabil ( kelas II ). Level 4135 mempunyai nilai SMR 76, memiliki bobot
massa Jenjang
kelas II ( Stabil ). Level 4090 mempunyai nilai SMR 72, memiliki bobot
massa jenjang
kelas II ( Stabil ). Nilai hasil SMR pada bobot massa jenjang di WWSS yaitu kelas II adalah stabil, namun ada kemungkinan
adanya potensi bentuk longsoran berupa blok pada
lereng.
67
68
5.2
Saran Berdasarkan hasil kesimpulan penilitian diatas maka penulis menyarankan
agar setiap level harus tetap di monitoring, karena walaupun kelas massa batuan stabil tetapi terdapat beberapa longsoran berupa blok batuan dan ada beberapa lokasi yang mempunyai batuan gantung dan mempunyai potensi untuk terjadi longsoran. Dalam penggalian material harus lebih memperhatikan tiap arah longsoran pada setiap level 4160 – 4090 agar tidak terjadi longsoran.
DAFTAR PUSTAKA Bieniawski Z. T., 1989, “Enginering Rock Masss Classifications”, John Wiley & Sons, New York, Chichester, Brisbane, Toronto, Singapore. Endartyanto, A., 2007, “Analisis Kestabilan Lereng Dengan Menggunakan Metode Kinematik dan Klasifikasi Massa Batuan Studi Kasus di Area Penambangan Andesit, Desa Jelekong, Kecamatan Bale Endah, Kabupaten Bandung, Jawa Barat”, Tugas Akhir Program Studi Teknik Geologi Fakultas Ilmu danTeknologi Kebumian Institut Teknologi Bandung. Gautama, R. S dan Pramono, Y. B. Tri, 1991, “Kemantapan Lereng di Pertambangan Indonesia”, ITB, Bandung. Hoek, E and Bray, J, 1981, “ Rock Slope Engineering civil and Mining edition 4TH”, London and New York. Hudson, John , A, 1993, “ Comprehensive Rock Engineering Volume 3”, A Geomechanical Classification for slopes: Slope Mass Rating, Romana, Imperial collage of Science, Technology & Medicine, London, UK. Kurniawan Robby, dkk., 2014., “ Revisi Studi Kelayakan 300 K “ PT. Freeport Indonesia, Timika Papua. PERHAPI, 2009, “Kumpulan Makalah Geoteknik dari Prosiding Temu Profesi Tahunan Perhapi 1992-2004”, Jakarta, Indonesia. Rai, M. A, Kramadibrata, S, dan Watimena, R. K, 2011, “Mekanika Batuan”, ITB, Bandung. Romana, M., Seron, J.B., Montalar, E., “SMR Geomechanics Classification: aplication, Experince and Validation ISMR 2003- Technology roadmap for rock mechanics”, South African Institute of Mining and Metellurgy. Sitohang, E. R., 2008, “Analisis Kemantapan Lereng P3 West Tambang Grasberg PT. Freeport Indonesia Menggunakan Metode Klasifikasi Massa Batuan”, Tugas Akhir Program Studi Teknik Pertambangan Fakultas Teknik Pertambangan dan Perminyakan Institut Teknologi Bandung.
69