ANALISIS MANAJEMEN RISIKO PADA PENERAPAN USULAN OPSI PENDEKATAN KEBIJAKAN LEGISLASI KONVERGENSI DI INDONESIA Mega Shatila – 1706992412 Program Studi Magister Manajemen Telekomunikasi Fakultas Teknik Universitas Indonesia – Jakarta, Indonesia Tel: +6281273813807, Email:
[email protected] Dosen: DR Ir Iwan Krisnadi MBA ABSTRAK Era konvergensi dalam bidang teknologi informasi dan komunikasi (TIK) menuntut adanya perubahan tatanan industri dan perubahan kebijakan/regulasi. Kebutuhan akan adanya kebijakan/regulasi konvergensi sebagai payung hukum dalam penyediaan layanan konvergensi yang berpotensi mendorong pertumbuhan ekonomi digital di Indonesia. Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melakukan serangkaian pembahasan dalam merumuskan framework legislasi konvergensi sebagaimana tertuang dalam Buku Putih Konvergensi mengusulkan dua pendekatan legislasi konvergensi dengan melakukan unifikasi atau harmonisasi. Pada jurnal penelitian ini, penulis melakukan analisis manajemen risiko atas kedua opsi pendekatan legislasi konvergensi yang diusulkan dengan fokus kepada proses identifikasi risiko berdasarkan metode analisis SWOT. Berdasarkan hasil identifikasi risiko dari kedua opsi pendekatan legislasi konvergensi tersebut diperoleh adanya risiko regulasi yang berdampak kepada stakeholder terkait. Berdasarkan perbandingan daftar risiko yang dihasilkan, maka diperoleh opdi pendekatan legislasi konvergensi yang memungkingkan untuk dapat diterapkan di Indonesia yaitu dengan dengan dilakukannya harmonisasi antara UU Telekomunikasi, UU Penyiaran dan UU ITE. Kata kunci: Konvergensi, Manajemen Risiko, Unifikasi, Harmonisasi, UU Telekomunikasi, UU Penyiaran dan UU ITE. Abstract The era of convergence in the field of information and communication technology (ICT) requires a change of industrial order and changes in policy/ regulation. The necessity for a policy/ regulation of convergence as a legal umbrella in the provision of convergence services that have the potential to drive the growth of digital economy in Indonesia. The Government through the Ministry of Communication and Informatics has conducted a series of discussions in formulating the framework of convergence legislation as stated in the White Paper of Convergence proposing two approaches to convergence legislation by unification or harmonization. In this research journal, the authors conducted a risk management analysis of both proposed convergence legislation proposed options focusing on the risk identification process based on the SWOT analysis method. Based on the result of risk identification from both options of convergence legislation approach, it is found that there are regulatory risks that impact to relevant stakeholders. Based on the comparison of the list of risks generated, then obtained options of convergence legislation approach that may be applied in Indonesia that is by doing harmonization between Telecommunication Act, Broadcasting Act and Information and Electronic Transaction Act. Keywords: Convergence, Risk Management, Unification, Harmonization, Telecommunication Act, Broadcasting Act, Information and Electronic Transaction Act.
I. PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara luas dengan jumlah penduduk yang besar merupakan suatu bentuk potensi bagi pertumbuhan perekonomian Indonesia. Salah satu hal penting penunjang pertumbuhan perekonomian yang efektif dan merata adalah meratanya penyebaran informasi dan komunikasi menjadikan peran TIK (Teknologi Informasi dan Komunikasi) sebagai penyalur informasi dan komunikasi. Kebutuhan akan informasi dan komunikasi menjadi kebutuhan primer masyarakat, terlebih bagi masyarakat yang mengandalkan informasi dan komunikasi sebagai pendongkrak produktivitasnya. Untuk itu kebutuhan akan informasi dan komunikasi harus dijamin oleh pemerintah bagi setiap warganya, karena konektivitas nasional diyakini dapat meningkatkan produktivitas masyarakat yang akan berdampak kepada pertumbuhan ekonomi nasional dan peningkatan daya saing bangsa. Saat ini Indonesia bersiap memasuki era industri digital yang kecenderuangannya akan bertumpu pada berbagai layanan konvergensi yang akan membentuk industri konvergensi. Industri konvergensi digital telah nyata menjadi faktor pendorong reformasi ekonomi menjadi lebih baik di beberapa negara. Seperti halnya di Amerika Serikat dimana 21% dari total GDP (Gross Domestic Product) dikontribusi dari industri digital di Silicon Valley. Pada tahun 2012 sumbangan produk kreatif digital oleh industri konvergensi digital di Indonesia mencapai 40% dari total pendapatan industri kreatif nasional, atau sekitar Rp. 288 Milyar dari total 573,9 Milyar. Dengan tingginya angkatan kerja di Indonesia, industri konvergensi berbasis digital seharusnya dapat menjadi solusi bagi Indonesia untuk meningkatkan perekonomian negara melalui pengurangan tingkat pengangguran. Selain itu, pengembangan industri konvergensi berbasis digital juga diyakini akan meningkatkan daya saing bangsa Indonesia, apabila industri konvergensi berbasis digital tersebut dapat memberikan pengaruh positif terhadap
peningkatan ideologi, politik, sosial, budaya, pertahanan dan keamanan di Indonesia, maka diperlukan intervensi dari pemerintah, terutama dalam pembentukan legal framework yang tepat dalam mengembangkan industri konvergen berbasis digital di Indonesia. [1] Pemerintah melalui Kementerian Komunikasi dan Informatika telah melakukan serangkaian kegiatan dalam merumuskan regulasi dan kebijakan dalam rangka menuju industri konvergensi digital di Indonesia yang melibatkan berbagai kalangan dari industri TIK, yakni pelaku industri telekomunikasi, penyiaran, internet, pemangku kebijakan pemerintah pusat maupun daerah, pengamat TIK, dan akademisi. Berdasarkan opsi pendekatan legislasi yang tertuang dalam Buku Putih Konvergensi sebagai hasil dari Forum Konvergensi yang telah dilakukan, diperoleh dua pendekatan legislasi konvergensi yaitu dengan melakukan unifikasi atau harmonisasi Undang-Undang Telekomunikasi, Penyiaran dan Informasi dan Transaksi Elektronik. Untuk melihat kemungkinan opsi yang dapat ditempuh disertai dengan dampak yang terjadi dari penerapan kedua model pendekatan legislasi tersebut, penulis pada jurnal penelitian ini memberikan gambaran risiko berdasarkan Project Risk Management, yang merupakan suatu proses dan pendekatan untuk mengidentifikasi dan menentukan risiko tersebut. Dalam penyusunan jurnal ini, penulis menggunakan manajemen risiko yang berfokus kepada pendekatan proses untuk mengidentifikasi dan menilai risiko sebagai bagian dari perencanaan atas suatu model pendekatan legislasi konvergensi yang diusulkan oleh pemerintah. Jurnal penelitian ini memiliki beberapa tujuan agar mengetahui risiko yang akan terjadi, evaluasi terhadap risiko dan usulan opsi yang dapat ditempuh berdasarkan hasil evaluasi risiko.
II. KERANGKA TEORI 2.1 Definisi Konvergensi Istilah “konvergensi” dipahami sebagai proses dari suatu kondisi yang menghubungkan dengan erat faktor perubahan teknologi dan faktor peningkatan lingkup ekonomi secara langsung, ditemui dua atau lebih produk atau layanan yang sebelumnya diselenggarakan oleh beberapa entitas perusahaan yang terpisah kemudian diselenggarakan oleh satu entitas perusahaan yang sama.[2] Berdasarkan Buku Putih Konvergensi, diperoleh definisi konvergensi yaitu suatu kondisi dimana telah terjadi penyatuan teknologi, layanan bahkan kerangka pengaturan regulasi, dimana penyatuan tersebut terjadi pada bidang telekomunikasi, penyiaran, internet, perbankan, hiburan, dan bidang lainnya yang memberikan layanan multimedia kepada pengguna akhir. Ekosistem konvergensi akan terjadi pada seluruh industri TIK yakni sebagai berikut [1]: a. Konvergensi Teknologi Perkembangan teknologi seperti LTEBroadcast maupun DVB-Terestrial contohnya sudah dapat memberikan akses telekomunikasi, internet dan penyiaran kepada penggunanya. Konvergensi ini teknologi ini menjadi awal dari konvergensi yang akan terjadi pada layer-layer diatasnya, karena perkembangan teknologi yang menjadi trigger dari perkembangan layanan, infrastruktur, regulasi, bahkan pengguna akhir yang akan sangat terdampak. b. Konvergensi Infrastruktur Penyatuan berbagai macam infrastruktur telekomunikasi, penyiaran dan internet menjadi suatu kesatuan infrastruktur yang konvergen. Satu infrastruktur konvergen akan dapat dipergunakan oleh berbagai keperluan industri telekomunikasi, penyiaran dan internet. Infrastruktur backbone serat optik, infrastruktur jaringan kabel akses perumahan, infrastruktur akses nirkabel, infrastruktur internasional akan menjadi
infrastruktur yang dapat dipergunakan bersama-sama, dan layanan apapun akan berjalan diatas infrastruktur tersebut. c. Konvergensi Platform Layanan Penyatuan berbagai jenis layanan dalam satu platform layanan, layanan yang dulu berdiri secara independen, contohnya telepon suara, SMS, telegraf, siaran televisi yang dikirimkan secara independen kepada pengguna, sudah mulai disediakan dengan satu platform tunggal. Contoh konkrit dari konvergensi platform layanan adalah keberadaan media sosial (facebook, twitter, youtube, dll), layanan perpesanan instan (whatsapp, line, dll) yang dapat memberikan berbagai layanan kepada penggunanya baik layanan berbasis pesan, suara, video dan lain sebagainya. d. Konvergensi Regulasi Konvergensi regulasi merupakan langkah negara-negara dalam mensikapi adanya konvergensi infrastruktur dan layanan, dimana pemerintah di negara-negara tersebut mulai mencari solusi untuk dapat mengatur industri yang telah konvergen dengan regulasi yang dapat mengatur perkembangan konvergensi. Selain regulasi, ada beberapa negara yang juga menkonvergensikan regulatornya untuk mendapatkan pengawasan aturan yang konvergen. e. Konvergensi Pengguna Konvergensi infrastruktur dan layanan akan menciptakan konvergensi pengguna, dimana pada kondisi eksisting pengguna tersegmentasi secara ekslusif di suatu layanan atau infrastruktur, maka dengan konvergensi infrastruktur dan layanan, pengguna juga akan konvergen. Konvergensi pengguna terlihat sebagai contohnya dengan berlangganan layanan internet broadband di rumah, maka pengguna sudah dapat menikmati siaran televisi, internet dan menggunakan semua layanan konten dan aplikasi yang ada.
2.2 Kebutuhan Legislasi Regulasi 2.2.1 Terobosan Legislasi Telekomunikasi Pengaturan OTT diperlukan agar pemerintah dapat menjamin perlindungan pengguna layanan, serta menguatkan daya tawar penyelenggara jaringan yang selama ini hanya dijadikan sebagai "dump pipe" untuk menyalurkan layanan OTT. Revisi RUU Telekomunikasi perlu mengatur ada nya peran dari pemerintah secara langsung dalam mengembangkan layanan dan infrastruktur yang tidak dikembangkan oleh penyelenggara swasta atau tidak feasible secara bisnis. Revisi UU Telekomunikasi mengatur pola kerjasama penggunaan secara bersama, keterbukaan akses, pembangunan bersama jaringan maupun infrastruktur telekomunikasi untuk menciptakan efisiensi dengan jaringan dan infrastruktur yang konvergen dan terkonsolidasi sehingga kedepan nya menciptakan desain struktur Komposisi Industri yang menciptakan persaingan yang sehat Revisi RUU Telekomunikasi kedepan perlu ada nya aturan mengenai konsep one network, dimana penyelenggara Penyiaran dimungkinkan untuk menggunakan jaringan milik penyelenggara telekomunikasi untuk menyediakan layanan siaran. Revisi UU Telekomunikasi harus mampu menangkap terjadinya pertumbuhan bisnis yang berbasis teknologi, dan juga ketentuan teknis dan non-teknis terkait implementasi teknologi. UU Telekomunikasi yang masih TDM Based, harus direvisi dan mengakomodir perkembangan teknologi yang sudah IP Based Penyesuaian pada lisensi telekomunikasi yang memiliki nuansa konvergensi. Revisi UU Telekomunikasi perlu mengatur lebih detail mengenai jaminan keamanan pada penyelenggaraan layanan telekomunikasi, dan juga layanan konvergensi, bagaimana pemanfaatan infrastruktur telekomunikasi guna
mendukung IoT, serta kebijakan yang diperlukan dalam pengembangan IoT di Indonesia. Revisi UU Telekomunikasi perlu mengakomodasi aturan mengenai keamanan dan privasi di cloud computing, misalnya dengan mewajibkan semua penyedia layanan cloud computing untuk membangun data center di wilayah teritori Indonesia. Revisi UU Telekomunikasi ( Eksiting) perlu mengakomodasi mengenai pembinaan industri penyelenggara jasa multimedia agar senantiasa mampu menghadapi berbagai tantangan dan persoalan yang terjadi baik di tingkat dalam negeri maupun Internasional, maka pemerintah perlu memberikan pedoman kepada penyelenggara jasa multimedia mengenai pengelolaan konten multimedia. sehingga, melindungi kepentingan umum dari segala jenis gangguan sebagai akibat penyalahgunaan Informasi Elektronik, Dokumen Elektronik dan Transaksi Elektronik yang mengganggu ketertiban umum Revisi UU Telekomunikasi memberikan konsep struktur industri yang baru yang bersifat konvergensi yang terdiri atas: - Content provider, Revisi UU Telekomunikasi mengadopsi pengaturan untuk layanan konvergensi selain layanan dasar telekomunikasi - Platform provider, Revisi RUU Telekomunikasi mengatur adanya penyelenggara baru yang bersifat platform layanan (aggregator, Hub) untuk mengakomodasi layanan berbasis konvergensi dari telekomunikasi, penyiaran, maupun teknologi informasi - Bandwidth provider, Pengaturan Bandwith adalah bandwidth yang dapat dipergunakan secara luas untuk kebutuhan penyelenggaraan telekomunikasi, penyiaran dan internet. - Infrastruktur provider, Revisi UU Telekomunikasi perlu mendorong pemanfaatan infrastruktur yang lebih
efektif dan efisien, bahkan perlu diperluas kembali agar memungkinkan infrastruktur telekomunikasi dapat digunakan oleh penyedia layanan siaran untuk membroadcast layanan siaran kepada pengguna. Revisi UU Telekomunikasi memiliki semangat efisiensi penyelenggaraan telekomunikasi dan terutama resource (penomoran, orbit satelit dan spektrum frekuensi) sehingga diperlukan konsep fleksibilitas untuk resource apabila ketersediaannya dinilai sangat terbatas Revisi UU Telekomunikasi seharusnya bersifat jangka panjang yang dapat mengakomodir evolusi pada industri telekomunikasi. sehingga segala kemungkinan yang terjadi dalam industri telekomunikasi ke depan yang diakibatkan oleh evolusi teknologi maupun layanan telekomunikasi tetap dapat diakomodir oleh UU Telekomunikasi Revisi UU Telekomunikasi perlu melibatkan peran pemerintah (multi instansi), pemerintah daerah, peran swasta dan BUMN/BUMD, serta peran masyarakat sebagai stakeholder dalam telekomunikasi Revisi UU Telekomunikasi mengatur perizinan yang bersifat registrasi (untuk penyelenggara konten) dimana pemerintah ingin membuka kompetisi secara penuh, dan pada industri yang secara alami tidak memiliki hambatan masuk (easy to enter, easy to exit) Revisi RUU Telekomunikasi ini mengatur pola kerjasama penggunaan secara bersama, keterbukaan akses, pembangunan bersama jaringan maupun infrastruktur telekomunikasi untuk menciptakan efisiensi dengan jaringan dan infrastruktur yang konvergen dan terkonsolidasi. dengan begitu, berbagai layanan yang disediakan oleh penyelenggara, baik penyelenggara telekomunikasi maupun jasa siaran dapat ditransmisikan melalui satu jaringan yang sama.
Revisi UU Telekomunikasi kedepan akan mengatur pola kerjasama penggunaan secara bersama, keterbukaan akses, pembangunan bersama jaringan maupun infrastruktur telekomunikasi untuk menciptakan efisiensi dengan jaringan dan infrastruktur yang konvergen dan terkonsolidasi. 2.2.2 Terobosan Legislasi Penyiaran
Perlu penegasan bahwa UU penyiaran hanya mengatur FTA, sedangkan untuk penyelenggaraan yang memiliki model bisnis langsung ke pengguna (TV berbayar) masuk ke pengaturan telekomunikasi, karena secara jaringan telah menggunakan infrastruktur telekomunikasi Dalam FTA digital juga dimungkinkan adanya layanan interaktif karena teknologi penyiaran yang terbaru akan mampu mengakomodir akses penyiaran di perangkat smartphone dan menyediakan akses internet juga, sehingga perlu diatur regulasi penyediaannya dan integrasinya dengan industri konvergen Perlunya harmonisasi dengan RUU Telekomunikasi, terkait dengan pengaturan konten, karena konten penyiaran murni, dan konten penyiaran konvergensi adalah sama, namun dari model penyediaan konten dan penyediaan ke pengguna akan berbeda sekali, dan memungkinkan terjadinya substitusi antara konten penyiaran dengan konten konvergensi siaran. Perlunya pengaturan mengenai konten penyiaran yang berupa OTT penyiaran, contohnya adalah clip on you, Netflix, dsb. Pengaturan ini harus disinkronkan dengan RUU penyiaran karena pada dasarnya OTT akan menyediakan konten yang sangat konvergensi. Perizinan di penyiaran hanya izin individu, dimana setiap entitas penyiaran memiliki resource spektrum frekuensi, sedangkan kebutuhan ke depan adalah spektrum frekuensi dipergunakan untuk layanan
konvergensi, atau hanya untuk layanan penyiaran FTA saja. RUU Penyiaran harus memiliki penegasan aturan mengenai penguasaan resource pada penyelenggaraan penyiaran. apakah FTA akan diberikan akses resource spektrum frekuensi atau seluruhnya diselenggarakan oleh penyelenggara konvergensi.
2.2.3 Terobosan Legislasi ITE
Kebutuhan akan Penyelenggaraan Sertifikasi Transaksi Elektronika pada UU ITE perlu disesuaikan untuk diatur pada Legislasi yang mengatur bisnis konvergensi, yakni sebagai security platform provider, sehingga penyelenggaraan STE tidak lagi diatur dalam RUU ITE, namun diatur dalam RUU telekomunikasi Revisi UU ITE harus dapat memberikan kepastian regulasi untuk melindungi berbagai pihak yang terlibat dalam pengiriman informasi dan transaksi elektronika.
2.3 Opsi Bentuk Legislasi Konvergensi 2.3.1 Perundangan Eksisting Konvergensi industri digital TIK bukan hanya berbicara mengenai ruang lingkup telekomunikasi, namun juga ada beberapa ranah industri yang akan saling berkaitan secara erat. Dari definisi, layanan konvergensi dan penyelenggaraan layanan konvergensi dimana konvergensi merupakan platform multi dimensi industri, maka penyusunan RUU konvergensi untuk menggantikan UU Telekomunikasi sangat perlu mempertimbangkan adanya UU lain yang berkaitan, yakni UU Penyiaran, UU ITE, UU Persaingan Usaha, UU Perlindungan Konsumen, dan juga UU yang lain.
Gambar 1. Gambaran industri sektor TIK, dan Undang-Undang yang sudah ada [1] Dari gambaran sederhana di atas, nampak bahwa lingkup pengaturan dari masing-masing aturan perundangan yang telah ada secara prinsip sudah sesuai dengan peruntukannya masing-masing. Namun demikian, dalam kenyataan di lapangan, beberapa pasal ada yang kurang aplicable dan ada pula yang masih tumpang-tindih sehingga memerlukan upaya perbaikan dan harmonisasi. 2.3.2 Opsi Kebijakan Legislasi Berdasarkan Buku Putih Konvergensi yang dikeluarkan oleh Kementerian Komunikasi dan Informatika terdapat dua opsi pendekatan kebijakan legislasi konvergensi yang dapat ditempuh diantaranya: a. Unifikasi Menyatukan ketiga Undang-Undang Telekomunikasi, Undang-Undang Penyiaran dan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik menjadi satu UndangUndang baru tentang Konvergensi. b. Harmonisasi Menggunakan RUU Telekomunikasi yang mengadopsi pengaturan konvergensi dengan melakukan harmonisasi dengan UndangUndang Penyiaran, Undang-Undang ITE
dan Undang-Undang Perlindungan Data Pribadi. III. METODOLOGI DAN PEMBAHASAN 3.1 Identifikasi Risiko Pada penulisan jurnal penelitian ini, penulis melakukan analisis manejemen risiko yang berdasarkan atas Project Management Risk sebagai suatu pendekatan terstruktur/ metodologi dalam mengelola ketidakpastian yang berkaitan dengan ancaman; suatu rangkaian aktivitas manusia termasuk: penilaian risiko, pengembangan strategi untuk mengelolanya dan mitigasi risiko dengan menggunakan pemberdayaan/ pengelolaan sumberdaya. Strategi yang dapat diambil antara lain adalah memindahkan risiko kepada pihak lain, menghindari risiko, mengurangi efek negatif risiko, dan menampung sebagian atau semua konsekuensi risiko tertentu. Manajemen risiko tradisional terfokus pada risiko-risiko yang timbul oleh penyebab fisik atau legal (seperti bencana alam atau kebakaran, kematian, serta tuntutan hukum). Sasaran dari pelaksanaan manajemen risiko adalah untuk mengurangi risiko yang berbedabeda yang berkaitan dengan bidang yang telah dipilih pada tingkat yang dapat diterima oleh masyarakat. Hal ini dapat berupa berbagai jenis ancaman yang disebabkan oleh lingkungan, teknologi, manusia, organisasi dan politik. Di sisi lain pelaksanaan manajemen risiko melibatkan segala cara yang tersedia bagi manusia, khususnya, bagi entitas manajemen risiko (manusia, staff, dan organisasi). Berikut gambaran proses keseluruhan dari Project Risk Management.
Gambar 2. Risk Management
Berdasarkan gambar diatas dapat diketahui bahwa dalam Project Risk Management merupakan bagian dari Planning Groups pada suatu proses Manajemen Project yang terdiri atas 6 proses yang dimulai dari dilakukannya Plan Risk Management, Identify Risk, Perform Qualitative Risk Analysis, Perform Quantitative Risk Analysis, Plan Risk Response dan Monitoring and Controlling Risk. Dalam penulisan jurnal penelitian ini, penulis fokus kepada pengidentifikasian risiko pada kedua opsi pendekatan legislasi konvergensi yang diusulkan. Penulis akan menggunakan ITTO sebagai tools untuk mendapatkan hasil dari identifikasi risiko (Identify Risk) berupa Risk Register terhadap kedua opsi pendekatan legislasi konvergensi yang selanjutnya dapat diberikan penilaian opsi yang paling memungkinkan untuk dapat diterapkan di Indonesia.
Gambar 3. Identifikasi Risiko dengan ITTO
terkait. - Dengan dilakukannya unifikasi, akan mudah untuk menyusun peraturan turunannya dengan tidak melakukan banyak perubahan namun cukup dengan mencabut peraturan turunan yang telah ada.
pengawasan dan pengendaliannya dilakukan oleh badan organisasi yang tunggal.
3.2 Analisis SWOT Untuk memperoleh daftar risiko, maka dilakukan analisis SWOT pada kedua opsi pendekatan legislasi konvergensi yang diusulkan untuk kemudian menjadi referensi dalam mengidentifikasi sumber risiko yang kemudian dimasukkan ke dalam daftar risiko. Berikut merupakan analisis SWOT dari kedua opsi pendekatan legislasi konverhensi yang diusulkan: Tabel 1. Analisis SWOT: Opsi Unifikasi ANALISIS SWOT OPSI PENDEKATAN LEGISLASI KONVERGENSI: UNIFIKASI STRENGTH WEAKNESS - Merupakan bentuk ideal - Secara struktur pasar dari konsep pengaturan dan struktur industri konvergensi yang telekomunikasi di tertuang dalam satu Indonesia masih Undang-Undang sebagai berjalan sendiri-sendiri. integrasi dari UU - Ekosistem industri Telekomunikasi, UU masih memiliki stream Penyiaran dan UU ITE. horizontal dan vertical masing-masing dan - Merupakan konsep pengaturan konvergensi model bisnis yang yang dapat memberikan berbeda-beda. kepastian hukum yang - Level kompetisi yang kuat dalam penyediaan masih berbeda pada layanan konvergensi. masing-masing industri. OPPORTUNITY THREAT - Apabila melihat kepada - Tantangan yang besar konvergensi yang terjadi untuk menyatukan dan telah nyata terlihat ekosistem industri yang pada bidang TIK berbeda-beda menjadi (telekomunikasi, suatu ekosistem yang Penyiaran dan internet) konvergen. adalah konvergensi di - Tantangan terhadap bidang infrastruktur dan adanya konvergensi layanan, sehingga nomenklatur regulator memungkinkan untuk yang kedepannya dalam dilakukannya pengaturan pelaksanaan regulasi yang menggabungkan dan kebijakan ketiga sektor industri konvergensi termasuk
Tabel 2. Analisis SWOT: Opsi Harmonisasi ANALISIS SWOT OPSI PENDEKATAN LEGISLASI KONVERGENSI: HARMONISASI STRENGTH WEAKNESS - Dengan dilakukannya - Belum memberikan harmonisasi konvergensi, payung hukum yang maka pemerintah tidak secara umum untuk hanya mengkonsep 1 RUU kepastian penyediaan mengenai konvergensi, layanan konvergensi namun juga perlu yang disediakan oleh melakukan penyesuaian satu infrastruktur yang kepada UU lain yang terintegrasi atas saling berkaitan (UU layanan penyiaran dan ITE) supaya telekomunikasi, tidak terjadi tumpang penyiaran dan tindih pengaturan yang informasi dan transaksi akan membawa kepada elektronik. inkonsistensi legislasi di - Diperlukan banyak Indonesia. perubahan pengaturan peraturan turunan atas - Dengan dilakukannya harmonisasi, pembuat adanya perubahan pada kebijakan dapat masing-masing sektor memperoleh umpan balik UU yang diharmonisasi dari industri, konsumen berbasis layanan dan pemangku konvergensi. kepentingan lainnya untuk setiap perubahan/amandemen yang dilakukan melalui proses harmonisasi serta memberikan masukan eksternal sebelum melakukan reformasi hukum. - Memberikan manfaat untuk kesiapan industri dan konsumen dalam mengantisipasi adanya perubahan regulasi.
OPPORTUNITY - Langkah harmonisasi dapat dilaksanakan oleh pemerintah apabila langkah unifikasi sangat sulit untuk dilaksanakan karena tantangantantangan yang akan dihadapi oleh pemerintah dan industri. - Dorongan untuk membuka pasar (open market) dari masing-masing industri untuk dapat terbuka pada industri lainnya akan merubah tatanan penyelenggaraan telekomunikasi dan penyiaran dari monopoli menjadi kompetisi.
THREAT - Adanya bentrok antar kepentingan di antara sektor terkait dalam skenario harmonisasi yang diusulkan.
Berdasarkan dari hasil analisis SWOT dari kedua opsi pendekatan kebijakan regulasi konvergensi, maka dilakukan pengidentifikasian risiko yang tergabung dalam Risk Register yang akan dilakukan penilaian terhadap kemungkinan terjadinya risiko beserta tingkat dampak yang akan diberikan atas risiko tersebut. Tabel 3. Identifikasi Risiko Jenis Risiko Risiko Regulasi
Risiko Diperlukannya banyak perubahan atas peraturan turunan UU terkait terhadap diberlakukannya revisi atas UU yang diharmonisasi. Membutuhkan waktu yang lama untuk menyusun regulasi dikarenakan secara struktur pasar dan struktur industri telekomunikasi di Indonesia masih berjalan sendiri-sendiri dengan model bisnis yang berbeda-beda. Membutuhkan waktu pembahasan yang lama seiring dengan adanya kepentingan dari masing-masing sektor industri yang terkait Belum adanya kepastian hukum yang tegas mengatur penyediaan bisnis layanan konvergensi secara menyeluruh sehingga memungkinkan terjadinya kasus hukum. Terjadinya ketidakefektifan penyusunan revisi UU disebabkan oleh UU Telekomunikasi eksisting yang masih berbasis circuit switch pada dasarnya
Risiko Industri
Risiko Pengguna
Risiko Teknologi
membutuhkan banyak perubahan. Terjadi ketidakefektifan penyusunan regulasi dalam hal pencapaian tujuan negera dalam memberikan hak atas akses informasi dan komunikasi hingga daerah 3T disebabkan belum meratanya infrastruktur telekomunikasi di seluruh Indonesia. Belum adanya kesiapan industri dalam menuju konvergensi disebabkan oleh faktor fundamental perusahaan dan level kompetisi yang masih berbeda pada masing-masing industri. Belum adanya payung hukum yang melindungi kepentingan pengguna diakibatkan belum terselesaikannya pengaturan yang berbasis penyediaan layanan konvergensi. Belum siapnya teknologi yang sedang berkembang untuk dapat diimplementasikan akibat belum adanya kepastian akan regulasi yang mendukung.
Setelah mengidentikasi jenis risiko yang muncu atas hasil analisis SWOT, selanjutnya dilakukan penilaian atas risiko terhadap kemungkinan terjadinya risiko beserta tingkat dampak yang akan diberikan atas risiko tersebut. Level dan Deskripsi terhadap Kemungkinan Terjadinya Risiko
Level dan Deskripsi Dampak Risiko
Dimensi
Matriks Dampak dan Kemungkinan Terjadinya Risiko
Berdasarkan table risiko yang ada, dilakukan pemetaan risiko dari sisi opsi unifikasi dan harmonisasi, sehingga menghasilkan peta risiko yang menjadi pembanding dari kedua opsi pendekatan kebijakan legislasi tersebut.
sebagai bentuk kepastian hukum yang tegas dalam menyiapkan ekosistem konvergensi yang berbasis digital, hal ini menjadi salah satu langkah yang ditempuh dalam beberapa negara maju sebagai bentuk pertimbangan yang begitu kuat akan terjadinya transformasi ekonomi menjadi ekonomi digital. Sementara itu untuk opsi harmonisasi menjadi suatu langkah yang dikategorikan sebagai langkah yang cepat untuk memberikan respons terhadap adanya transformasi digital diberbagai sektor. Opsi harmonisasi memungkinkan cukup dilakukan revisi terhadap peraturan yang ada dengan cukup melakukan harmonisasi antar sektor terkait.
3.3 Hasil Pemetaan Risiko Hasil pemetaan risiko dari dua opsi pendekatan kebijakan legislasi konvergensi adalah sebagai berikut:
Gambar 5. Peta Risiko – Opsi Harmonisasi
Berdasarkan hasil pemetaan risiko pada kedua opsi pendekatan kebijakan legisasi konvergensi diatas dapat diketahui bahwa peta risiko pada opsi harmonisasi cenderung memiliki risiko yang tidak tidak terlalu tinggi dibandingkan opsi unifikasi. Gambar 4. Peta Risiko – Opsi Unifikasi
Opsi pendekatan legislasi dengan metode unifikasi menjadikan adanya penggabungan tiga Undang-Undang terkait yaitu UU Telekomunikasi, UU Penyiaran dan UU ITE menjadi satu UU baru yang mengatur konvergensi. Dalam hal ini penggabungan ketiga sektor industri tersebut dilakukan
IV. PENUTUP Berdasarkan hasil identifikasi risiko yang diperoleh berdasarkan hasil analisis SWOT, dapat diperoleh peta risiko dari masing-masing opsi pendekatan kebijakan legislasi konvergensi, dimana terlihat opsi harmonisasi menjadi opsi yang dapat dipertimbangkan untuk
dapat diterapkan di Indonesia berdasarkan kondisi industri dan kesiapan industri saat ini. Apabila melihat dari perjalanan penyusunan kebijakan dan regulasi konvergensi di Indonesia, pada awalnya pengaturan konvergensi dikonsepkan untuk dilakukan dengan menggabungkan ketiga UU terkait dalam suatu UU yang baru dengan adanya konsep unifikasi, namun dalam perjalanannya dimungkinkan adanya perubahan pola penyelesaian masalah yang diambil dalam rangka untuk mengefektifkan perubahan yang terjadi maka dipilih opsi harmonisasi sebagai alternatif untuk mengadopsi layanan konvergensi pada RUU Telekomunikasi yang baru. Kemudian diusulkan kembali untuk hanya cukup merevisi UU Telekomunikasi eksisting sehingga ketentuan turunannya dapat diatur lebih lanjut melalui Peraturan Pemerintah atau turunan peraturan dibawahnya. Menurut penulis, dalam hal ini pemerintah c.q Kemkominfo tentunya terbuka atas setiap usulan yang diterima dari stakeholder terkait, namun dalam pengambilan keputusan tentunya tetap mempertimbangkan hal-hal yang dianggap penting dan dengan justifikasi yang kuat. Di sisi lain, diperlukan adanya rasa konvergensi organisasi di lingkungan internal kemkominfo terlebih dahulu untuk mau maju bersama. Dengan adanya sektor-sektor tertentu yang membidangi telekomunikasi, penyiaran dan ITE diharapkan adanya sinergi untuk maju bersama dalam menghadapi era konvergensi yang saat ini telah memasuki masanya dan akan terus berkembang kedepannya. Secara teknis pada umumnya konsep pengaturan yang disusun telah ada dan merupakan hasil pembahasan bersama dengan stakeholder terkait, namun dalam perjalanannya ditemui banyak faktor non teknis yang menjadi penghambat disahkannya pengaturan mengenai konvergensi. Apabila dilihat dari kondisi pengaturan konvergensi di negara lain, maka kita dapat belajar dari negara Malaysia yang telah menerapkan Konvergensi sejak 1998 melalui Undang-Undang Komunikasi dan Multimedia yang menyatukan
pengaturan telekomunikasi, media, penyiaran dan internet yang statusnya menggantikan UU Telekomunikasi Tahun 1950 dan UndangUndang Penyiaran Tahun 1988. Hal ini menunjukkan begitu cepatnya Malaysia mengantisipasi tren layanan kedepan. Namun disamping semua itu, tentunya kita harus tetap optimis bahwa Indonesia akan mampu memberikan payung hukum atas terimplementasinya layanan digital berbasi konvergensi dengan berbagai upaya yang dilakukan. Tidak lupa tentunya diperlukan sinergi dan kemauan untuk maju bersama antara pemerintah, masyarakat, pelaku industri, akademisi dan seluruh stakeholder terkait demi terwujudnya tujuan nasional Indonesia di bidang TIK. Terhadap penulisan jurnal penelitian ini, penulis menyarankan kedepannya agar dapat dilakukan pengumpulan data dengan lebih komprehensif dalam pengidentifikasian risiko berdasarkan penilaian yang objektif dengan metode yang lebih baik, sehingga dapat memperoleh keakuratan penilaian yang lebih besar. V. DAFTAR PUSTAKA Direktorat Jenderal PPI, Kementerian Komunikasi dan Informatika. 2015. Buku Putih Forum KonvergensiPertimbangan dalam Membangun Prinsip Pokok dan Materi Kebijakan Legislasi Konvergensi di Indonesia. Direktorat Jenderal PPI, Kementerian Komunikasi dan Informatika. 2016. Naskah Akademis RUU tentang Telekomunikasi. Harry Newton. 2002. Newton’s Telecom Dictionary 18th Edition, New York: CMP Books, hlm. 185.