ANALISIS KUALITAS UDARA AMBIEN DI KAWASAN INDUSTRI BANDAR LAMPUNG
RINA FEBRINA
PROGRAM KEAHLIAN ANALISIS KIMIA PROGRAM DIPLOMA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
PERNYATAAN MENGENAI LAPORAN TUGAS AKHIR DAN SUMBER INFORMASI
Dengan ini saya menyatakan laporan tugas akhir yang berjudul ANALISIS KUALITAS UDARA AMBIEN DI KAWASAN INDUSTRI BANDAR LAMPUNG di Seameo Biotrop adalah karya saya dengan arahan komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apapun kepada perguruan tinggi manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutif dari karya yang diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir laporan ini.
Bogor, Juni 2013
Rina Febrina J3L110076
ABSTRACT RINA FEBRINA. Analysis of Ambient Air Quality in Industrial Bandar Lampung. Supervised by ADI SANTOSO and SANTI AMBARWATI. Environmental changes are mainly due to air pollution. The concentration of air pollution in some major cities and industrial regions of Indonesia caused respiratory disorders, irritation of the eyes and ears, as well as the incidence of a particular disease. The parameters used to determine air quality is NH 3, TSP, H2S, CO, NO2, and SO 2 by the method in accordance with the National standard of Indonesia about air pollution. Analysis of Ambient air quality using spectrophotometry method. Gas capture with the impinger and TSP with HVAS gravimetry method. Results of measurements of SO 2, CO, NO 2, H2S, NH3, and 3 3 TSP on a sample of 603 respectively: 21.8214 g/Nm , 1025.9013 g/Nm , 7.5170 3 3 3 3 g/Nm , 8.2426 g/Nm 33.1188 g/Nm , and 109.8834 g/Nm . Whereas the sample 3 3 number 604 respectively: 29.8739 g/Nm , 421.4871 g/Nm3; 20.3808 g/Nm ; 3 3 3 5.6983 g/Nm ; 52.1089 g/Nm ; and 90.8566 g/Nm . Ambient air quality in the area of Bandar Lampung in accordance with industry standard quality of Minister of Manpower No. 13 in 2011. Keywords: air, ambient, HVAS,impinger, Spectrophotometry. Spectrophotometry.
RINGKASAN RINA FEBRINA. Analisis Kualitas Udara Ambien di Kawasan Industri Bandar Lampung. Dibimbing oleh ADI SANTOSO dan SANTI AM BARWATI. Perkembangan industri semakin meningkat dan penanganan terhadap pencemaran udara yang kurang mengakibatkan beragam polusi yang menyebabkan pencemaran udara. Sumber pencemaran udara dapat berasal dari berbagai kegiatan k egiatan industri dan teknologi, serta meningkatnya p enggunaan bahan b ahan bakar fosil (minyak). T ingkat ingkat cemaran udara yang melebihi ambang batas normal biasanya berupa gas CO, O 3, H2S, SOx, NOx, NH3, logam berat, serta debu dalam bentuk aerosol. Hasil pengukuran suhu, kelembaban, kecepatan udara pada sampel 603 o 3 berturut-turut: 33 C, 62%, 0,740 detik/m .Hasil pengukuran suhu, kelembaban, o 3 kecepatan udara pada sampel 604 berturut-turut: 32 C, 61,5%, 0,740 detik/m , dan arah angin dominan tenggara. Parameter yang digunakan untuk mengetahui kualitas udara ialah NH 3, TSP, H2S, CO, NO2, dan SO 2. Parameter tersebut dianalisa dengan metode sesuai Standar Nasional Indonesia tentang Pencemaran Udara. Sampel udara menggunakan metode spektrofotometri. Sedangkan Sampel TSP menggunakan metode gravimetri. Hasil pengukuran SO 2, CO, NO 2, H2S, NH3, dan TSP pada sampel 603 3 3 3 berturut–turut: 21.8214 µ g/Nm , 1025.9013 µg/Nm , 7.5170 µg/Nm , 82426 µg/Nm3, 33.1188 µg/Nm 3, dan 109.8834 µg/Nm 3, sedangkan sampel nomor 604 3 3 3 berturut-turut: 29.8739 µ g/Nm , 421.4871 µg/Nm , 20.3808 µg/Nm , 5.6983 3 3 3 µg/Nm , 52.1089 µg/Nm , dan 90.9566 µg/Nm . Kualitas udara ambien di
kawasan industri Bandar Lampung masih memenuhi baku mutu Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No 13 tahun 2011. Kadar gas pencemar di kawasan industri Bandar lampung meski masih di bawah baku mutu yang telah ditetapkan, harus ada kontrol terhadap polutan gas. Hal ini ditujukan untuk mengurangi polutan dari kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar yang bersumber dari energi fosil. Selain itu perlu adanya kesadaran masyarakat tentang pentingnya menjaga lingkungan. Kata kunci: ambien, HVAS, impinger, spektrofotometri, udara.
ANALISIS KUALITAS UDARA AMBIEN DI KAWASAN INDUSTRI BANDAR LAMPUNG
RINA FEBRINA
Laporan Tugas Akhir sebagai salah satu syarat memperoleh gelar Ahli Madya pada Program Keahlian Analisis Kimia
PROGRAM KEAHLIAN ANALISIS KIMIA PROGRAM DIPLOMA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2013
Judul Tugas Akhir Nama NIM
: Analisis Kualitas Udara Ambien di Kawasan Industri Bandar Lampung : Rina Febrina : J3L110076
Disetujui oleh
Prof Dr Drs Adi Santoso, MSi Pembimbing I
Santi Ambarwati, MSi Pembimbing II
Diketahui oleh
Prof Dr Ir M. Zairin Junior, MSc Direktur
Tanggal Lulus :
Armi Wulanawati, SSi MSi Koordinator Program Keahlian
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan laporan Tugas Akhir dengan judul “Analisis Kualitas Udara Ambien di Kawasan Industri Bandar Lampung”. Pembuatan laporan tugas akhir bertujuan mendapatkan gelar Ahli Madya pada Program Keahlian Analisis Kimia. Laporan tugas akhir disusun berdasarkan hasil Praktik Kerja Lapangan (PKL) di SEAMEO BIOTROP ( South East Asian Ministers of Education Organization Bio Tropical), yang berlokasi di Jalan Raya Tajur Km 06 Bogor, dilaksanakan selama 2 bulan mulai tanggal 4 Februari 2013 sampai 4 April 2013. Penulis mengucapkan terima kasih kepada bapak Prof Dr Drs Adi Santoso, MSi sebagai dosen pembimbing dan Ibu Santi Ambarwati, MSi sebagai pembimbing lapang. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Bapak Budi Cahyadi, SSi, Bapak Mahpudin, dan seluruh karyawan bagian laboratorium analisis udara dan air yang telah membantu selama proses PKL. Selain itu, penulis juga mengucapkan terima kasih kepada orang tua, keluarga besar dan teman-teman, terutama teman-teman Analisis Kimia angkatan 47 yang turut mendukung dan memberikan doa selama pembuatan laporan ini. Semoga laporan ini bermanfaat, khususnya bagi penulis sendiri dan umumya bagi semua pembaca.
Bogor, Juni 2013
Rina Febrina
DAFTAR ISI
DAFTAR GAMBAR DAFTAR TABEL DAFTAR LAMPIRAN 1 PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang 1.2 Tujuan 1.3 Waktu dan Tempat 1.4 Rumusan Masalah 1.5 Hipotesis 2 KEADAAN UMUM SEAMEO BIOTROP 2.1 Sejarah Instansi 2.2 Visi dan Misi 2.3 Organisasi 2.4 Services Laboratory SEAMEO BIOTROP 2.5 Jaminan Mutu 2.6 Laboratorium 2.7 Sumber Daya Manusia 3 TINJAUAN PUSTAKA 3.1 Udara Ambien 3.2 Pencemaran Udara 3.3 Hidrogen Sulfida (H2S) 3.4 Sulfur Dioksida (SO 2) 3.5 Amoniak (NH3) 3.6 Nitrogen dioksida (NO 2) 3.7 Karbon Monoksida (CO) 3.8 Total Partikel Tersuspensi (TSP) 3.9 High Volume Air Sampler (HVAS) 3.10 Impinger 3.11 Spektrofotometri 4 METODE 4.1 Lokasi dan Waktu Sampling 4.2 Alat dan Bahan 4.3 Metoda Percobaan 4.3.1 Pengambilan Sampel Gas 4.3.2 Analisis NH3 (SNI 19-7119.1-2005) 4.3.3 Analisis NO2 (SNI 19-7119.2-2005) 4.3.4 Analisis H2S (SNI 19-7117.7-2005) 4.3.5 Analisis SO2 (SNI 19-7119.7-2005) 4.3.6 Analisis CO (SNI 19-4845-1998) 4.3.7 Analisis TSP (SNI 19-7119.3-2005) 5 HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Faktor Meteorologi 5.2 Hasil Analisis Udara Ambien 5.2.1 Total Partikel Tersuspensi (TSP)
ix ix x 1 1 1 2 2 2 2 2 3 3 3 4 4 5 5 5 5 5 6 6 6 7 7 8 8 9 10 10 10 11 11 11 12 12 13 14 14 15 15 16 17
5.2.2 Sulfur Dioksida (SO 2) 5.2.3 Nitrogen Dioksida (NO 2) 5.2.4 Amoniak (NH3) 5.2.5 Hidrogen Sulfida (H 2S) 5.2.6 Karbon Monoksida (CO) 5.3 Pencegahan Pencemaran Udara 6 SIMPULAN DAN SARAN 6.1 Simpulan 6.2 Saran DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN RIWAYAT HIDUP
18 20 21 22 23 24 26 26 26 26 28 40
DAFTAR GAMBAR
1 HVSA Staplex TFIA-2 seri 17652 2 Alat impinger 3 Bagan spektrofotometer sinar tampak 4 Spektrofotometer UV-Vis 5 Hasil analisis udara ambien 6 Reaksi pembentukan kompleks pararosanilin metilsulfonat 7 Reaksi metode Griess-Saltzman 8 Reaksi pembentukan indofenol 9 Reaksi biru metilen 10 Bagan reaktor buangan gas
8 9 10 10 17 19 20 21 22 25
DAFTAR TABEL
1 Larutan absorber parameter udara ambien 11 2 Hasil pengukuran parameter meteorologi 15 3 Baku mutu udara ambien menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2011 17 4 Pengaruh paparan gas hidrogen sulfida (H 2S) pada manusia 23
DAFTAR LAMPIRAN
1 Struktur organisasi laboratorium servis SEAMEO-BIOTROP 2 Rangkain peralatan impinger 3 Pembuatan larutan penentuan kadar SO 2 4 Pembuatan larutan penentuan kadar H 2S 5 Pembuatan larutan penentuan kadar NH 3 6 Pembuatan larutan penentuan kadar NO 2 7 Pembuatan larutan penentuan kadar CO 8 Perhitungan penentuan kadar SO 2 9 Perhitungan penentuan kadar NO 2 10 Perhitungan penentuan kadar NH 3 11 Perhitungan penentuan kadar H 2S 12 Penentuan Kadar CO 13 Perhitungan penentuan kadar TSP
28 28 28 29 29 30 30 30 33 34 35 38 39
1
1 PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Perubahan lingkungan udara pada umumnya disebabkan oleh p encemaran, yaitu masuknya zat pencemar yang berbentuk gas, partikel kecil atau aerosol ke dalam udara (Soedomo 2001). Pencemaran udara menurut Peraturan Pemerintah No. 22 Tahun 1986 adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat energi, atau komponen lain ke udara d an berubahnya tatanan udara oleh kegiatan manusia atau proses alam, sehingga kualitas udara turun sampai sampai ke tingkat tertentu yang menyebabkan udara menjadi tidak dapat berfungsi lagi sesuai dengan peruntukannya. Pencemaran ke dalam udara yang disebabkan oleh proses alam, misalnya asap kebakaran hutan, akibat gunung berapi, debu meteorit, dan pancaran garam dari laut. Pencemaran udara yang disebabkan oleh kegiatan manusia, misalnya akibat aktivitas transportasi, industri, pembuangan, serta kegiatan rumah tangga (Achmad 2004). Kecenderungan pencemaran lingkungan akhir-akhir ini mengarah kepada dua hal yaitu, pembuangan senyawa-senyawa kimia tertentu yang semakin meningkat, terutama pembakaran minyak bumi secara nyata saat ini telah merubah sistem alami pada skala global, dan meningkatnya penggunaan Bahan Berbahaya Beracun (B3) oleh berbagai kegiatan industri dengan pembuangan limbah yang langsung ke lingkungan. Pemanasan global, hujan asam, menipisnya lapisan ozon merupakan beberapa dampak negatif yang ditimbulkan oleh pencemaran lingkungan (Fardiaz 1992). Pembangunan fisik di pusat kota dan industri disertai dengan melonjaknya produksi kendaraan bermotor, mengakibatkan peningkatan kepadatan lalu lintas dan hasil produksi samping yang merupakan salah satu sumber pencemaran udara. Konsentrasi pencemaran udara di beberapa kota besar dan daerah industri menyebabkan adanya gangguan pernapasan, iritasi pada mata dan telinga, serta timbulnya penyakit tertentu. Selain itu juga menimbulkan gangguan jarak pandang yang sering menimbulkan kecelakaan lalu lintas terutama lalu lintas di udara dan di laut. Parameter gas SO 2, NO, H2S, CO, NH3, dan TSP merupakan parameter umum yang digunakan untuk mengetahui kualitas udara di suatu tempat. Hal tersebut mendasari pemilihan bidang kajian untuk melihat kualitas udara di daerah industri yang banyak menyumbangkan polusi udara. (Soedomo 2001).
1.2
Tujuan
Menentukan kadar SO 2, NO2, H2S, CO, NH3, dan TSP di kawasan industri Bandar Lampung, mengidentifikasi kualitas udara di kawasan industri Bandar Lampung. Tujuan umum dari pelaksanaan praktik kerja lapangan adalah mendekatkan Perguruan Tinggi dengan masyarakat dan dunia kerja agar kurikulum sejalan dengan tuntutan pembangunan di berbagai bidang, membandingkan teori dengan keadaan lapangan, menambah wawasan serta
2 pengalaman kerja, meningkatkan pengetahuan, sikap, kemampuan profesi mahasiswa melalui penerapan ilmu, latihan kerja, dan pengalaman teknik yang diterapkan sesuai dengan program keahlian analisis kimia.
1.3
Waktu dan Tempat
Kegiatan praktik lapang ini dilaksanakan selama dua bulan pada tanggal 04 Februari 2013 sampai dengan tanggal 04 April 2013. Tempat pelaksanaan kegiatan di Seameo Biotrop yang berlokasi di Jalan Ra ya Tajur Km 06 Bogor.
1.4
1. 2.
Rumusan Masalah
Berapa kadar NO 2, NH3, H2S, CO, TSP, dan SO 2 di kawasan industri Bandar Lampung? Apakah hasil analisis memenuhi baku mutu Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2011?
1.5
Hipotesis
Analisis kualitas udara ambien diharapkan di bawah baku mutu Baku Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2011.
2 KEADAAN UMUM SEAMEO BIOTROP
2.1
Sejarah Instansi
The Southeast Asian Ministers of Education Organization for Tropical Biology (SEAMEO BIOTROP) merupakan salah satu pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi Tropikal di bawah SEAMEO ( Southeast Asian Ministers of Education Organization ) yang didirikan secara resmi pada tanggal 06 Februari 1968. SEAMEO BIOTROP berlokasi di lingkungan Kebun Raya Bogor. Pendirian ini berdasarkan pada kesepakatan Menteri-menteri Pendidikan Asia Tenggara yang dituangkan dalam SEAMEO Charter pada tahun 1965. Negara– negara anggota SEAMEO ialah Indonesia, Thailand, Selandia Baru, Canada, Belanda, Jerman, dan Perancis. Tahun 1997, SEAMEO BIOTROP dikelompokkan menjadi salah satu Pusat Penelitian dan Pengembangan Biologi Tropikal di Lingkungan Institusi Pertanian Bogor melalui Surat Keputusan (SK) Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 0186/9/1997. Keputusan tersebut diperkuat dengan SK Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 099/O/1997
3 tentang Penunjukan Institut Pertanian Bogor sebagai Institusi Induk bagi SEAMEO BIOTROP.
2.2
Visi dan Misi
Salah satu tujuan SEAMEO adalah meningkatkan pendidikan dan pengembangan sumber daya manusia, khususnya di Asia Tenggara yang berpenduduk sekitar 500 juta jiwa dan hampir setengahnya berada di Indonesia. SEAMEO BIOTROP memiliki visi menjadi pusat yang bermutu dalam penelitian, pelatihan, dan penyediaan informasi di bidang biologis tropis. SEAMEO BIOTROP mempunyai misi guna mewujudkan visi tersebut, yaitu mendukung pembangunan berkelanjutan dan mendukung konservasi keanekaragaman hayati.
2.3
Organisasi
Struktur organisasi Services Laboratory SEAMEO BIOTROP yang ditetapkan pada prinsipnya merupakan fungsi struktural Laboratorium Penelitian SEAMEO BIOTROP yang dimodifikasi dengan penambahan struktural lain sesuai SNI: 17025–2005. Pembentukan organisasi serta fungsi Services Laboratory SEAMEO BIOTROP ialah untuk memperkuat pengelolaan laboratorium yang bebas tekanan komersial, keuangan, dan tekanan lain yang mengganggu objektifitas hasil pengujian. SEAMEO BIOTROP dipimpin oleh direktur yang bertanggung jawab atas terlaksananya kebijakan mutu. Manajer puncak menerapkan kualifikasi dan fungsi personal manajerial dan teknis, serta memiliki kewenangan dan sumberdaya yang cukup untuk mencapai sasaran dan kebijakanmutu. Manajer puncak dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh manajer mutu, dan manajer teknis.
2.4
Services Laboratory SEAMEO BIOTROP
Services Laboratory SEAMEO BIOTROP merupakan salah satu bagian dari organisasi SEAMEO BIOTROP dan berlokasi di Jalan Raya Tajur KM 06 Bogor. Services Laboratory SEAMEO BIOTROP pada tahun 2000 ditetapkan menjadi salah satu bagian dari SEAMEO BIOTROP yang mempunyai tugas sebagai pelayanan jasa laboratorium pengujian berdasarkan keputusan Sidang Dewan Pembina (Governing Board ) SEAMEO BIOTROP pada tanggal 3-5 Oktober 2000. Keberadaan Laboratorium ini diperkuat dengan SK Direktur SEAMEO BIOTROP No. 212.1/Dir-SK/SL/V/2003 tentang Penetapan Struktur Organisasi dan Susunan Personalia Services Laboratory SEAMEO BIOTROP Bogor. Services Laboratory SEAMEO BIOTROP telah memperoleh sertifikat Akreditasi sebagai laboratorium pengujian sesuai SNI: 17025-2005 dari Komite Akreditasi Nasional. Struktur organisasi servis laboratory SEAMEO BIOTROP dapat dilihat pada Lampiran 1.
4 2.5
Jaminan Mutu
Services Laboratory SEAMEO BIOTROP berusaha mengimplementasikan, memelihara, dan meningkatkan Sistem Manajemen yang ditetapkan dalam SNI: 17025–2005. Seluruh kegiatan tenaga pelaksana dilakukan dalam kondisi independen, bebas dari pengaruh tekanan komersial, keuangan, dan tekanan lain yang dapat mempengaruhi mutu kerja. Pimpinan puncak menerapkan kualifikasi dan fungsi personel manajerial dan teknis untuk mencapai Sasaran dan Kebijakan Mutu. Pimpinan puncak memiliki kewenangan dan sumberdaya yang cukup untuk menjalankan tugas. Tugas tersebut antara lain ialah implementasi, pemeliharaan, dan peningkatan sistem manajemen. Selain itu harus mampu mengidentifikasi kejadian penyimpangan dari sistem manajemen dan memulai tindakan pencegahan penyimpangan tersebut.
2.6
Laboratorium
SEAMEO BIOTROP memiliki laboratorium yang menyediakan jasa analisis. Laboratorium–laboratoriun tersebut antara lain Laboratorium Analisa Air dan Udara, Laboratorium Analisis Pangan dan Pakan, Laboratorium Analisa Tanah dan Tanaman, Laboratorium Terpadu, dan Laboratorium Kultur Jaringan. Laboratorium Analisa Air dan Udara menyediakan layanan untuk menganalisis kualitas air dan udara serta memberikan layanan konsultasi untuk penilaian dan pengukuran keadaan lingkungan di lapangan. Laboratorium Analisis Pangan dan Pakan memberikan layanan analisis produk–produk pangan seperti vitamin dan mineral serta memberikan program pelatihan metode validasi dan sertifikasi bekerjasama dengan instansi atau lembaga terkait. Laboratorium Analisa Tanah dan Tanaman memberikan layanan analisis unsur-unsur hara tanah dan tanaman serta analisis fisika tanah. Laboratorium terpadu dilengkapi dengan fasilitas yang menunjang penelitian dibidang bioteknologi, biologi, kimia, dan disiplin ilmu yang terkait lainnya. Fasilitas yang terdapat di laboratorium terpadu antara lain DNA sequencer, Polymerase Chain Reaction (PCR), ELISA Reader , Spektrofotometer UV-Vis, Spektrofotometer Serapan Atom (SSA), Ultrasonic Cleaner, High Performance Liquid Chromatography (HPLC), Gas Chromatography (GC), dan regulator. Laboratorium Kultur Jaringan SEAMEO BIOTROP merupakan laboratorium untuk produksi bibit–bibit tanaman bernilai ekonomis tinggi dengan menggunakan teknik kultur jaringan dengan kapasitas produksi 50.000–100.000 bibit per bulan.
2.7
Sumber Daya Manusia
Berdasarkan data sampai tahun 2009, jumlah karyawan SEAMEO BIOTROP adalah 118 orang. Perincian karyawan berdasarkan bagian pekerjaan yaitu 11 orang peneliti, 26 asisten laboratorium, 9 orang kepegawaian, 5 orang
5 supir, 11 orang bagian administrasi, 6 orang bagian keuangan, 12 orang bagian unit sumber daya informasi, 11 orang bagian fasilitas, cleaning services 20 orang dan terdapat karyawan honorer yang dibayar melalui proyek.
3 TINJAUAN PUSTAKA
3.1
Udara Ambien
Udara dapat dikelompokkan menjadi dua jenis, yaitu udara ambient dan udara emisi. Udara ambien adalah udara bebas di permukaan bumi pada lapisan troposfir yang dibutuhkan dan mempengaruhi kesehatan manusia, makhluk hidup dan unsur lingkungan hidup lainnya (SNI 19-7119.7-2005). Udara emisi adalah udara yang mengandung zat, energi, dan komponen lain yang dihasilkan dari suatu kegiatan yang masuk dan atau dimasukkan ke dalam udara ambien yang mempunyai dan atau tidak mempunyai potensi sebagai unsur p encemar (Soedomo 2001).
3.2
Pencemaran Udara
Pencemaran udara dalam arti luas adalah masuknya atau dimasuk-kannya mahluk hidup, zat, energi dan atau komponen lain ke dalam lingkungan dan atau berubahnya tatanan lingkungan oleh kegiatan manusia atau proses alam, se hingga kualitas udara lingkungan turun sampai tingkat tertentu yang menyebabkan lingkungan kurang atau tidak dapat berfungsi sesuai peru ntukkannya. Pencemaran udara dapat dibedakan menjadi dua, yaitu pencemaran udara bebas dan pencemaran udara di dalam ruangan ( indoor air pollution ) (Pohan 2002). Bahan atau zat yang dapat mencemari udara dapat berbentuk gas dan partikel. Berdasarkan ciri fisik, bahan pencemar dapat berupa partikel (debu, aeroso l, timah hitam), gas (CO, NOx, SOx, H 2S) dan energi (suhu udara dan kebisingan) sedangkan menurut kejadian atau terbentuknya ada pencemar primer (yang diemisikan langsung oleh sumber) dan pencemar sekunder (yang terbentuk karena reaksi di udara antara berbagai zat) (So edomo 2001).
3.3
Hidrogen Sulfida (H 2S)
Hidrogen sulfida (H2S) merupakan gas yang dapat menghasilkan bau tidak sedap. Gas tersebut bersifat toksik bagi manusia dan ternak, dapat meningkatkan kerentanan terhadap penyakit, dan dapat mengganggu efisiensi aktivitas para pekerja yang berada di sekitar kawasan daerah Bandar Lampung. Hidrogen sulfida diproduksi oleh pembusukan mikrobiologi dari senyawa su lfat dan reduksi mikroba dari sulfat, uap panas bumi, serbuk kayu, aktivitas antropogenik seperti
6 pembakaran batu bakar dan residu minyak bumi. Gas hidrogen sulfida yang masuk ke atmosfer secara cepat diubah menjadi senyawa SO 2 melalui reaksi berikut: 2H2S + 3O2
2SO2 + 2H2O (Achmad 2004)
3.4
Sulfur Dioksida (SO2)
Pencemaran udara oleh sulfur oksida terutama disebabkan oleh dua komponen gas yang tidak berwarna, yaitu sulfur dioksida (SO 2) dan sulfur trioksida (SO3), dan keduanya disebut sebagai SOx. Sulfur dioksida mempunyai karakteristik bau yang tajam dan tidak terbakar di udara, sedangkan sulfur trioksida merupakan komponen yang tidak reaktif. P embakaran bahan-bahan yang mengandung sulfur akan menghasilkan kedua bentuk sulfur dioksida, tetapi jumlah relatif masing-masing tidak dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang tersedia. Meskipun udara tersedia dalam jumlah cukup. Sulfur dioksida selalu terbentuk dalam jumlah terbesar. Jumlah SO 3 yang terbentuk dipengaruhi oleh kondisi reaksi, terutama suhu yang bervariasi dari 1 sampai 10 % dari total SO 2 (Rusmayadi 2010).
3.5
Amoniak (NH3)
Amoniak adalah salah satu indikator pencemar udara pada bentuk kebauan. Gas amoniak adalah gas yang tidak berwarna, memiliki bau yang menyengat. Biasanya, amoniak berasal dari aktifitas mikroba, industri amoniak, perngolahan limbah dan pengolahan batu bara. Amoniak di atmosfer bereaksi dengan nitrat dan sulfat sehingga terbentuk garam amoniak yang sangat korosif. Amoniak yang menguap akan mencemari udara dan mengganggu pernapasan. Titik leburnya ialah -75 °C dan titik didihnya ialah -33.7 °C. Larutan amoniak sebanyak 10 % dalam air mempunyai pH 12. Sumber amoniak adalah reduksi gas nitrogen yang berasal dari proses difusi udara atmosfer, limbah industri dan domesti. Amoniak disintesis dengan reaksi reversibel antara hidrogen dengan nitrogen (Pohan 2002).
3.6
Nitrogen dioksida (NO 2)
Nitrogen oksida (NOx) adalah kelompok gas yang terdapat di atmosfer yang terdiri dari gas nitrogen oksida (NO) dan nitrogen dioksida (NO 2). Pembentukan NO dan NO 2 mencakup reaksi antara nitrogen dan oksigen di udara sehingga membentuk NO. Reaksi selanjutnya antara NO dengan lebih banyak oksigen membentuk NO 2. Persamaan reaksinya sebagai berikut: N2 + O 2 2NO + O2
2NO 2NO2
(Achmad 2004)
7
Nitrogen dioksida (NO 2) merupakan bahan polutan udara terpenting, yaitu sebagai salah satu komponen utama yang memberikan kontribusi terhadap kualitas udara maupun kualitas air hujan (hujan asam) yang terjadi, disamping sulfur dioksida (SO 2). Sumber pencemaran gas NOx dapat berasal dari sumber alami seperti dari aktivitas bakteri. Disamping itu, aktivitas manusia juga merupakan penyebab terjadinya pencemaran udara oleh gasi NOx. Sumbangan terbesar dari kegiatan manusia terhadap polusi NOx bersumber dari hasil kegiatan–kegiatan yang menggunakan proses pembakaran pada temperatur yang cukup tinggi. Pembentukan NO pada suhu kamar dihasilkan dari reaksi antara gas oksigen dan gas nitrogen akan berlangsung sangat lambat. Sedangkan pada suhu o tinggi, diatas 1200 C gas oksigen dan gas nitrogen akan bereaksi sangat cepat untuk menghasilkan nitrogen oksida (Prasetyanto 2011).
3.7
Karbon Monoksida (CO)
Karbon monoksida adalah salah satu gas yang tidak berwarna, tidak berbau dan juga tidak berasa. Keberadaan CO dapat mempengaruhi kerja jantung, sistem syaraf pusat, janin, dan semua organ tubuh yang peka terhadap kerusakan oksigen (Pradana dan Heriyanto 2011). Reaksi pembentukan gas CO yang berasal dari pembakaran bahan bakar fosil ialah 2C + O 2 2CO, berdasarkan suhu yang tinggi CO2 + C 2CO, dan berdasarkan penguraian CO 2 ialah CO2 CO + O. Karbon monoksida yang terdapat di alam terbentuk dari salah satu proses pembakaran tidak lengkap terhadap karbon atau komponen yang mengandung karbon, reaksi antara karbon dioksida dan komponen yang mengandung karbon pada suhu tinggi (Achmad 2004).
3.8
Total Partikel Tersuspensi (TSP )
Debu adalah partikel-partikel zat padat, yang disebabkan oleh mekanis seperti pengolahan, penghancuran, pelembutan, pengepakan alami yang cepat, peledakan, dan lain-lain dari bahan organik maupun anorganik. Sifat-sifat debu diantaranya adalah mengendap karena pengaruh gaya gravitasi bumi, se lalu basah karena dilapisi oleh lapisan air yang sangat tipis, mudah menggumpal, mempunyai listrik statis yang mampu menarik partikel lain yang berlawanan serta dapat memancarkan sinar. Jumlah debu berubah-ubah bergantung pada lokasi. Konsentrasi debu pada umumnya berkurang dengan bertambahnya ketinggian. Debu dapat menyerap, memantulkan, dan menghamburkan radiasi yang datang. Debu atmosferik dapat tersapu turun ke permukaan bumi oleh curah hujan tetapi kemudian atmosfer dapat terisi partikel debu kembali (Prasetyanto 2011)
8 3.9 High Volume Air Sampler (HVAS) High volume air sampler (Gambar 1) adalah alat yang digunakan untuk menangkap sejumlah besar volume udara di atmosfer dengan bantuan pompa vakum, yang dilengkapi dengan filter dan alat ukur dan kontrol (SNI 19-7119.92005). Udara yang mengandung partikel debu berukuran antara 0.3–10 mikron dihisap melalui kertas filter dengan menggunakan motor putaran kecepatan tinggi. Debu akan menempel pada kertas saring yang nantinya akan diukur dengan konsentrasinya. Flowrate dan waktu lamanya pengambilan sampel dicatat sehingga diperoleh konsentrasi debu tersebut (SNI 19-7119.3-2005).
Gambar 1 HVSA Staplex TFIA-2 seri 17652 Secara umum, bagian–bagian peralatan HVAS terdiri dari beberapa bagian, terutama filter. Filter merupakan bagian partikel debu yang terdapat di udara terperangkap, sehingga dapat ditentukan jumlah partikel debunya dengan metode gravimetri. High volume air sampler yang digunakan adalah tipe portable Staplex TFIA- 2 seri 17652.
3.10
Impinger
Rangkaian impinger dibagi menjadi empat bagian penting, yaitu tabung impinger atau midget impinger (Gambar 2). Tabung impinger merupakan botol tempat pengambilan contoh uji yang dilengkapi dengan ujung silinder gelas yang berada di dalam labu dengan maksimum diameter dalam 1 mm, pompa penghisap, berfungsi untuk menarik contoh udara ke dalam impinger, flow meter digunakan untuk mengukur kecepatan udara saat pengambilan sampel, tabung penyerap uap air, digunakan sebagai pengaman pompa pada saat pengambilan sampel udara. (SNI 19-7119.1-2005). Menurut Hadi (2005), terdapat uap air yang turut masuk ke dalam pompa karena dapat menyebabkan pompa menjadi lembab dan jika hal itu berlangsung akan menyebabkan kerusakan pada pompa.
9
(a)
Gambar 2 Alat impinger (a) Midget Impinger Teknik pengambilan sampel parameter gas dikategorikan menjadi dua jenis, yaitu teknik tangkapan, dan pemekatan. Teknik pemekatan dilakukan dengan menangkap sejumlah volume udara yang ditarik kedalam container khusus, seperti flexible bags, steel canister, dan glass boms . Teknik pemekatan dilakukan dengan memekatkan sejumlah volume contoh yang ditarik ke dalam media tertentu, seperti cairan, reagen kimia atau filter. Teknik pemekatan dilakukan dengan dua cara, yaitu absorpsi cairan (impinger) dan adsorpsi desorpsi. Absorpsi atau penyerapan dalam kimia adalah suatu fenomena fisik atau kimiawi suatu atom, molekul, atau ion yang memasuki suatu fase lain yang bisa berupa gas, cairan, ataupun padatan. Udara dalam jumlah tertentu ditarik melalui impinger dengan laju alir tertentu yang stabil. Larutan absorber yang spesifik bereaksi dengan komponen gas yang tertangkap dan membentuk substansi spesifik dan stabil (Hadi 2005).
3.11
Spektrofotometri
Spektrofotometri UV-Vis adalah metode analisis spektroskopik yang menggunakan sumber radiasi elektromagnetik UV dekat (200-400 nm) dan sinar tampak (400-750 nm) dengan menggunakan instrumen spektrofotometer. Radiasi UV jauh (100–190 nm) tidak dipakai, sebab pada daerah tersebut, udara juga mengalami absorbsi radiasi. Radiasi di daerah UV-Vis diserap melalui eksitasi elektron-elektron yang terlibat dalam ikatan antara atom-atom pembentuk molekul, sehingga awan elektron menahan atom bersama-sama mendistribusikan kembali atom-atom itu sendiri dan orbital yang ditempati oleh elektron-elektron pengikat tidak lagi bertumpang tindih. S inar melewati suatu senyawa, energi dari sinar digunakan untuk mendorong perpindahan elektron dari orbital ikatan atau orbital non-ikatan ke salah satu orbital anti-ikatan yang kosong (Supratman 2010). Cara kerja alat spektrofotometer sinar tampak (Gambar 3) yaitu sinar dari sumber cahaya diteruskan menuju monokromator. Cahaya dari monokromator diarahkan terpisah melalui sampel dengan sebuah cermin berotasi. Detektor menerima cahaya dari sampel secara bergantian secara berulang-ulang, Sinyal listrik dari detektor diproses, diubah ke digital dan dilihat hasilnya (Supratman 2010).
10
Sumber cahaya
Monokromator
Sampel
Detektor
Spektrum
Gambar 3 Bagan spektrofotometer sinar tampak (Supratman 2010) Spektrofotometer yang digunakan dalam percobaan yaitu Thermo Scientific Genesys 10 UV Scaning dengan 6 posisi Cell–holder , yaitu 1 cell untuk blanko dan 5 cell untuk sampel yang dapat diatur dari tombol yang tersedia (Gambar 4).
(b) (a)
Gambar 4 Spektrofotometer UV-Vis (a) Thermo Scientific Genesys 10 UV Scanning dan (b) Cell Holder
4 METODE
4.1
Lokasi dan Waktu Sampling
Sampling udara ambien dilakukan di salah satu industri di Bandar Lampung pada tanggal 08 Februari 2013. Pengambilan contoh uji dilakukan selama 60 menit. Pengambilan contoh uji dilakukan pada dua titik, yaitu titik halaman depan dengan nomor contoh 604 dan area parkir basement dengan nomor contoh 603.
4.2
Alat dan Bahan
Alat–alat yang digunakan ialah alat–alat gelas terkalibrasi, spektrofotometer genesys 10 uv, spektrofotometer fortable, neraca analitik, bulp, High Volume Air Sampler (HVAS), kertas saring, rangkaian alat impinger, pompa hisap (pompa
11 vakum), termometer terkalibrasi, stopwatch, anemometer, hygrometer, kompas, botol vial, kuvet, oven, dan hotplate. Bahan–bahan yang digunakan ialah HgCl 2, KCl, EDTA, Na 2SO3, I2, KI, kanji, HgI2, HCl p.a, hablur Na 2S2O3.5H2O, asam sulfamat, asam asetat glasial, N(1 naftil)-etilendiamin dihidroklorida, pararosanilin, formalde-hida 36 %, H 3PO4 85 %, NaNO2, I2O5, CdSO4.8H4O, NaOH, N,N-dimetil-p-fenilendiami dehidroklorida, H2SO4 p.a (97 %), (NH 4)2HPO4, ferri klorida, Na 2S.9H2O, NaOCl 6 %, fenol, Na 3PO4.12H2O, FeCl3, dan akuades.
4.3
Metoda Percobaan
4.3.1
Pengambilan Sampel Gas Peralatan impinger disusun sedemikian rupa (Lampiran 2) kemudian ditempatkan pada titik pengambilan sampel. Sebanyak 10 mL larutan absorber masing-masing parameter gas (Tabel 1) dimasukkan ke dalam impinger kemudian diatur agar terhindar dari hujan dan sinar matahari langsung. Pompa penghisap udara dinyalakan dan diatur dengan kecepatan aliran 2.5 L/menit. Setelah 60 menit pompa dimatikan dan dicatat kembali kecepatan alirannya. Suhu dan tekanan udara sekeliling sebelum dan sesudah proses pengambilan sampel juga dicatat.
Tabel 1 Larutan absorber parameter udara ambien Parameter Gas Larutan absorber Sulfur dioksida (SO 2) Tetrakloromerkurat (TCM) Nitrogen dioksida (NO 2) Griess-Saltzman Karbon monoksida (CO) KI 4% Hidrogen sulfida (H2S) CdSO4 Amoniak (NH3) H2SO4 *Pembuatan absorber dan pereaksi terdapat pada Lampiran 3-7
4.3.2
Analisis NH3 (SNI 19-7119.1-2005) Pembuatan deret kurva kalibrasi NH 3. Larutan induk NH3 1000 µg/ml dibuat dengan ditimbang 3.18 gram NH 4Cl dalam 1000 ml akuades. Larutan induk dipipet satu ml kedalam labu takar 100 ml. Larutan ditepatkan volumenya sampai 100 ml dengan akuades (stok 10 µg/ ml). Larutan stok 10 µg/ml dipipet 10 ml kedalam labu takar 100 ml dan ditepatkan volumenya dengan akuades (stok 1 µg/ ml). Larutan stok 1 µg/ml dipipet ke dalam labu takar 25 ml masing–masing 0.00, 0.20, 0.40, 0.60, 1.00, dan 1.50 ml. Masing–masing larutan ditambahkan absorber sampai dengan 10 ml, 2 ml larutan penyangga, 2 ml larutan kerja fenol, dan 1 ml larutan kerja hipoklorit. Larutan dihomogenkan, dan didiamkan selama 30 menit. Masing–masing larutan d iukur serapannya pada panjang gelombang 640 nm. Pengujian Sampel. Sampel dipipet 10 ml ke dalam labu takar 25 ml. Larutan sampel ditambahkan 2 ml larutan penyangga, 2 ml larutan kerja fenol, dan 1 ml
12 larutan kerja hipoklorit. Sampel dihomogenkan dan didiamkan selama 30 menit. Pembuatan blanko dilakukan dengan memipet 10 ml absorber NH 3 ke dalam labu takar 25 ml. Larutan Absorber ditambahkan 2 ml larutan natrium posfat, 2 ml larutan kerja fenol, dan 1 ml larutan kerja hipoklorit. Sampel dihomogenkan dan didiamkan selama 30 menit. Larutan sampel dan blangko diukur pada panjang gelombang 640 nm.
4.3.3
Analisis NO2 (SNI 19-7119.2-2005) Pembuatan Deret Kurva Kalibrasi NO 2. Larutan induk NO 2 ditimbang sebanyak 0.246 gram NaNO 2 dalam 100 ml akuades dalam labu takar. Larutan stok dipipet 10 ml ke dalam 1000 ml akuades. Larutan dipipet 10 ml kedalam 100 ml akuades (stok 2 µg NO 2/ml). Larutan dipipet masing–masing 0.00, 0.10, 0.20, 0.40, 0.60, 0.80, dan 1.00 ml ke dalam labu takar 25 ml. Larutan ditepatkan volumenya dengan larutan absorben. Larutan didiamkan selama 30 menit. Larutan diukur serapannya pada panjang gelombang 550 nm dengan spektrofotometer. Sampel yang berisi absorber diukur langsung serapannya dengan spektrofotometer fortable dengan panjang gelombang 550 nm. Larutan blanko yang digunakan ialah absorber NO2.
4.3.4
Analisis H2S (SNI 19-7117.7-2005) Standardisasi Hidrogen Sulfida (H 2S) dengan Na2S2O3. Serbuk Na2S.9 H2O ditimbang sebanyak 0.12 gram dalam kaca arloji. Serbuk Na 2S.9 H2O dilarutkan dengan akuades dalam gelas piala. Larutan ditepatkan volumenya dengan akuades dalam labu takar 100 ml. Larutan baku d ipipet sebanyak 10 ml ke dalam Erlenmeyer. Larutan ditambahkan 5 ml I 2 0.01N, dan 5 ml HCl 0.1 N. Larutan dititrasi dengan natrium tiosulfat 0.01N sampai warna kuning pucat. Titrasi dihentikan lalu ditambah 2-3 indikator kanji. Titrasi dilanjutkan kembali sampai warna biru hilang. Blanko menggunakan akuades 10 ml dan diperlakukan sama seperti larutan baku. Volume titran larutan baku (a) dan blanko (b) dicatat kemudian dihitung konsentrasi H 2S. 3
H2S (µg/Nm ) = (b-a)ml x N Na 2S2O3 x 17 x 1000 10 Keterangan: a = volume titran larutan baku b = volume titran blanko N = Konsentrasi Na2S2O3 17 = BE Na2S (1/2 BM) 10 = volume larutan baku yang dititrasi Standardisasi Na2S2O3 dengan KIO 3. KIO3 sebanyak 0.0900 gram dilarutkan dalam 250 ml akuades. Larutan dipipet sebanyak 25 ml. Larutan ditambahkan 1 gram KI, dan 10 ml HCl (1:10). Larutan ditutup dan dibiarkan selama lima menit. Akuades dipipet 25 ml sebagai blanko. Larutan ditambahkan 1
13 gram KI, dan 10 ml HCl (1:10). Larutan ditutup dan dibiarkan selama lima menit. Larutan dititrasi dengan Na 2S2O3 0.01 N sampai warna kuning pucat. Larutan ditambahkan 2-3 tetes indikator kanji. Titrasi kembali sampai warna biru hilang. Titrasi dilakukan sebanyak tiga kali. Konsentrasi Na 2S2O3 dihitung dengan rumus: Ntiosulfat = b x 1000 x V 1 35.67 x 250 x V 2 Keterangan: b = bobot KIO3 (gram) 1000 = konversi ml ke liter 35.67 = bobot molekul KIO 3 (BM KIO3/6 ) 250 = volume akuades yang melarutkan KIO 3 V1 = volume larutan yang dipipet V2 = volume titran Pembuatan deret kurva kalibrasi. Larutan induk H 2S dibuat dengan ditimbang 0.1200 gram Na 2S dalam 100 ml akuades. Larutan dipipet 10 ml dalam 1000 ml akuades. Larutan dipipet masing–masing 0.00, 0.05, 0.10, 0.20, 0.50, 1.00 ml ke dalam labu takar 50 ml. Masing–masing labu ditambahkan sampai dengan 10 ml dengan larutan absorber. Larutan ditambahkan 0.2 ml larutan test amino, satu tetes FeCl 3. Larutan dihomogenkan dan didiamkan selama 10 menit. Larutan ditambahkan 1 tetes larutan amonium fosfat. Larutan ditepatkan volumenya dengan akuades. Larutan diukur serapannya pada panjang gelombang 670 nm. Pengujian sampel H2S. Sampel H2S dimasukkan sebanyak 10 ml ke dalam labu takar 50 ml. Sampel ditambahkan 0.2 ml larutan test amino, satu tetes FeCl 3. Larutan dihomogenkan dan didiamkan selama 10 menit. Larutan ditambahkan 1 tetes larutan amonium fosfat. Larutan ditepatkan volumenya dengan akuades. Absorber H2S sebanyak 10 ml dipipet ke dalam labu takar 50 ml. Larutan ditambahkan 0.2 ml test amino, satu tetes FeCl 3. Larutan dihomogenkan dan didiamkan selama 10 menit. Larutan ditambahkan 1 tetes larutan amonium fosfat. Larutan ditepatkan volumenya dengan akuades. Larutan diukur serapannya pada panjang gelombang 670 nm.
4.3.5
Analisis SO2 (SNI 19-7119.7-2005) Pembuatan deret kurva kalibrasi. Larutan induk SO 2 dibuat dengan padatan Na2S2O5 ditimbang sebanyak 0.3 gram dalam 500 ml akuades. Larutan dipipet sebanyak 10 ml dalam 1000 ml akuades. Larutan dipipet masing–masing dalam labu takar 25 ml sebanyak 0.00, 0.05, 0.10, 0.50, 1.00, 2.00, dan 3.00 ml. Tepatkan volumenya hingga 10 ml dengan absorber H 2S. Masing–masing larutan ditambahkan 1 ml larutan asam sulfamat 0.6 %, 2 ml larutan formaldehida 0.2 %, dan 2.0 ml larutan pararosanilin. Larutan dihomogenkan dan ditepatkan volumenya sampai tanda tera dengan akuades. Larutan didiamkan 30 sampai 60 menit. Larutan diukur serapannya pada panjang gelombang 550 nm. Pengujian sampel. Sampel dipipet 10 ml ke dalam labu takar 25 ml. Masing–masing larutan ditambahkan 1 ml larutan asam sulfamat 0.6 %, 2 ml
14 larutan formaldehida 0.2 %, dan 5.0 larutan pararosanilin. Larutan dihomogenkan dan ditepatkan volumenya sampai tanda tera dengan akuades. Larutan blanko dibuat dengan absorber dipipet 10 ml ke dalam labu takar 25 ml. Larutan ditambahkan 1 ml larutan asam sulfamat 0.6 %, 2 ml larutan formaldehida 0.2 %, dan 5.0 larutan pararosanilin. Larutan ditepatkan volumenya sampai tanda tera dengan akuades. Larutan didiamkan 30 sampai 60 menit. Larutan diukur serapannya pada panjang gelombang 550 nm. Konsentrasi sampel dapat dihitung dengan rumus: 3
Konsentrasi sampel (µg/Nm ) = µ g gas x 1000 x fp Vol.udara Keterangan: µg gas 1000 Fp µg/Nm3
= Jumlah gas = konversi liter ke m 3 = faktor pengenceran = Satuan ini dibaca sebagai mikrogram per normal meter kubik. Notasi N menunjukkan satuan volume hisap udara kering dikoreksi pada kondisi normal (25 oC, 760 mmHg).
4.3.6
Analisis CO (SNI 19-4845-1998) Penetapan sampel. Sampel yang diperoleh setelah proses pengambilan sampel langsung diukur serapannya dengan spektrofotometer sinar tampak pada panjang gelombang 420 nm. Blanko menggunakan larutan absorber dan ditentukan konsentrasi CO dalam sampel. Pembuatan deret standar. Larutan induk iod (I 2) dibuat dengan ditimbang I2 sebanyak 1.27 gram dan 4 gram KI. Kedua larutan tersebut direaksikan dan ditepatkan volumenya hingga 1000 ml dengan akuades. Larutan induk dipipet sebanyak 25 ml dan diencerkan hingga 100 ml dalam labu ukur dengan menggunakan akuades (larutan stok). Larutan stok standar dipipet sebanyak 0.00, 0.10, 0.20, 0.40, 0.60, dan 0.90 ml ke dalam labu ukur 25 ml. Larutan ditepatkan volumenya dengan menggunakan larutan absorber hingga 10 ml. Larutan ditepatkan volumenya hingga 25 ml dengan akuades. Masing–masing diukur serapannya pada panjang gelombang 420 nm dan dibuat kurva deret standar.
4.3.7
Analisis TSP (SNI 19-7119.3-2005) Pengujian sampel. Filter yang digunakan ditimbang (W 1) terlebih dahulu dan dijaga kelembabannya. Filter ditempatkan pada filter holder pada peralatan HVAS. Alat ditempatkan pada titik pengambilan sampel dan din yalakan. Keadaan sekeliling diperhatikan dan dicatat laju alir (Q 1), suhu, dan tekanannya. Setelah 60 menit, matikan alat dan catat kembali laju alir (Q 2), suhu, dan tekanannya. Filter kemudian disimpan dengan hati–hati. Jumlah partikel yang terakumulasi dianalisa secara gravimetri. Laju alir dipantau saat periode pengujian. Filter setelah proses pengambilan sampel (W2) ditimbang. Volume udara terlebih dahulu ditentukan setelah itu konsentrasi TSP dtentukan berdasarkan rumus berikut:
15 Volume Udara (L) = (F 1 + F2) x t xP x 298 2 x T x 760 Keterangan: F1 = Laju alir udara awal ( L/menit) F2 = Laju alir udara akhir (L/menit) T = Temperatur (T) t = Lamanya waktu pengambilan sampel (menit) P = Tekanan barometer terukur (mmHg) o o 298 = Temperatur pada kondisi normal 25 C ( K) 760 = Tekanan pada kondisi normal 1 atm (mmHg) 2 = Faktor pembagi rerata laju alir Konsentrasi TSP (µg/Nm3) = (W2 – W1) x 106 V Keterangan: W1 = Bobot filter awal (g) W2 = Bobot filter akhir (g) 3 V = Volume udara (m ) 6 10 = faktor konversi gram ke mikrogram
5 HASIL DAN PEMBAHASAN
5.1
Faktor Meteorologi
Kadar gas pencemar di udara selain dipengaruhi oleh jumlah sumber pencemar dan faktor meteorologi. Kecepatan angin, suhu udara, kelembaban udara adalah bagian dari faktor meteorologi yang dapat mempengaruhi kadar gas pencemar di udara (Soedomo 2001). Hasil pengukuran lapangan yang meliputi suhu udara, arah angin, kecepatan udara, dan kelembaban udara dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Hasil pengukuran suhu, arah angin, kecepatan, dan kelembaban udara Parameter Suhu udara Arah angin Kecepatan udara Kelembaban udara
Satuan o
C m/det %
Hasil No Sampel 603 604 33 32 Tenggara 0.740 62 61.5
Alat Termometer Kompas Anemometer Higrometer
Pengukuran arah angin pada area parkir basement tidak dilakukan, karena arah angin dan kecepatan udara pada wilayah indoor sangat kecil sehingga tidak perlu diukur. Pengukuran arah angin pada sampel No. 604 yaitu di t itik halaman 3 depan ialah arah tenggara dengan kecepatan angin 0.740 m /detik. Kecepatan
16 angin menentukan kedalaman seberapa banyak udara pencemar tersebut mulamula tercampur. Kecepatan serta arah angin menentukan laju penyebaran pencemar ketika terbawa dalam arah angin. Faktor ini yang menentukan suatu daerah akan tercemar dan seberapa cepat kadar pencemar menipis akibat pencampuran dengan udara lingkungan setelah bahan tersebut meninggalkan sumbernya. Faktor meteorologis akan menentukan penyebaran pencemar di udara ambien, baik yang berasal dari emisi sumber tidak bergerak maupun dari sumber bergerak. Kondisi meteorologi akan menentukan luasan penyebaran pencemar, pola penyebaran, dan jangkauan penyebaran serta jangka waktu penyebarannya (Prasetyanto 2011). Kelembaban ruangan parkir basement ialah 62 % dan pada titik halaman depan ialah 61.5 %. Kelembaban udara dapat mempengaruhi jumlah gas yang dihasilkan dari sumber emisi pabrik industri di daerah Bandar lampung. Semakin tinggi kelembaban udara di suatu tempat maka semakin baik bagi mikroorganisme untuk tumbuh dan berkembangbiak serta semakin banyak proses perombakan yang terjadi. Menurut Prasetyanto (2011), kelembaban udara mempunyai peranan dalam proses metabolisme mikroorganisme yang secara tidak langsung berpengaruh pada suplai oksigen. Apabila kelembaban udara lebih besar dari 60 %, hara akan tercuci, volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroorganisme akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap. o Suhu udara di area parkir basement sebesar 33 C dan pada area halaman depan pabrik ialah 32 oC. Soedomo (2001) menyatakan suhu udara secara langsung mempengaruhi kondisi kestabilan atmosfer. Dalam kondisi stabil, yaitu pada suhu udara yang lebih rendah dari lingkungan, maka massa udara polutan tidak dapat naik tetapi tetap berada di atmosfer dan terakumulasi, sehingga akan menaikkan konsentrasi polutan. Sebaliknya, pada saat suhu udara lebih tinggi dari pada suhu udara lingkungan maka massa udara polutan akan naik dan menyebar sehingga tidak terjadi pengendapan di permukaan dan akan meminimalkan konsentrasi polutan.
5.2
Hasil Analisis Udara Ambien
Parameter pengujian kualitas udara ambien meliputi beberapa parameter, seperti total partikulat terusupensi (TSP), sulfur dioksida (SO 2), karbon monoksida (CO), nitrogen dioksida (NO 2), hidrogen sulfida (H 2S), dan amoniak (NH3). Sampel diambil dari dua titik di salah satu industri di Bandar Lampung pada tanggal 0 8 Februari 2013 selama 60 menit. Titik pertama diambil pada area parkir basement (603) dan halaman depan (604). Hasil analisis kemudian dibandingkan dengan baku mutu yang ditetapkan oleh Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2011 yang terdapat pada Tabel 3.
17 Tabel 3 Baku mutu udara ambien menurut Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi No. 13 Tahun 2011 Parameter udara ambien TSP SO2 CO NO2 H2S NH3
Baku mutu (µg/Nm 3) 10000 250 29000 5634 1391 17000
Hasil analisis udara ambien di kawasan industri Bandar Lampung dapat dilihat pada Gambar 5. )1500 m N / g µ1000 ( i s a r t n 500 e s n o K 0
3
Sampel 603 sampel 604
TSPTSPSO2 SO2CO
CO NO2 NO H2S 2
HNH3 NH3 2S
Parameter analisis
Gambar 5 Hasil analisis udara ambien
5.2.1
Total Partikel Tersuspensi (TSP) Total partikel tersuspensi (TSP) merupakan jenis polutan berupa partikel debu yang terdapat di udara. Analisis penentuan TSP menggunakan metode gravimetri dengan menggunakan alat HVAS ( high volume air sampler ). Jumlah minimum partikel yang terdeteksi oleh metode ini adalah 0.3 mg dengan tingkat kepercayaan 95% (SNI 19-7119.3-2005). Filter yang digunakan dikeringkan dulu o dalam oven selama 2 jam pada suhu 110 C dan disimpan pada tempat yang kelembabannya cukup rendah. Hal ini d ilakukan agar filter tidak mengandung uap air. Nilai TSP yang diperoleh pada sampel nomor 603 dan 604 ialah 109.8834 µg/m3, 90.8566 µg/m 3. Nilai TSP yang diperoleh masih dibawah baku mutu yang 3 ditetapkan oleh Permenaker Trans No 13 tahun 2011 sebesar 1000 µ g/m . Nilai TSP di area parkir basement lebih banyak dibandingkan di titik halaman depan. Hal ini disebabkan area parkir basement banyak aktifitas manusia menuju lokasi ruang produksi dan merupakan lokasi datangnya kendaraan bermotor, dan tempat parkir kendaraan. Aktivitas manusia dan transportasi yang datang dari luar membawa partikel debu dari luar ke dalam area parkiran basement. Area parkiran basement merupakan wilayah indoor, sehingga jangkauan penyebaran polutan sempit, dan menyebabkan partikel debu berkumpul pada area parkiran basement dengan membentuk endapan. Kadar TSP di halaman depan lebih sedikit, karena merupakan wilayah outdoor yang luas, sehingga debu dapat menyebar dan tidak terjadi pengendapan di permukaan, sehingga akan meminimalkan konsentrasi TSP. Tanaman yang terdapat di kawasan industri dapat mengurangi masalah polusi melalui penyerapan polutan gas dan pe nyerapan
18 partikel. Selain itu, tanaman dapat digunakan untuk mengalihkan arah angin, sehingga kadar TSP pada sampel halaman depan kadar nya lebih sedikit dibandingkan dengan kadar TSP di area parkiran basement (Soedomo 2001). Partikel dengan ukuran antara 0.01-5µm merupakan sumber pencemaran udara yang utama karena keadaannya tidak terlihat secara nyata dan terus berada di atmosfer untuk waktu yang cukup lama dan kemungkinan besar dengan proses kimia dapat berubah menjadi bahan pencemar sekunder. Dampak negatif dari bahan-bahan pencemar partikel ini biasanya berupa gangguan pada bahan-bahan bangunan, tanaman, hewan, dan manusia (Soedomo 2001). Pengaruh partikel terhadap tanaman terutama dalam bentuk debu ialah ketika debu tersebut bergabung dengan uap air atau air hujan gerimis dapat membentuk kerak yang tebal pada permukaan daun, dan tidak dapat tercuci dengan air hujan kecuali dengan menggosoknya. Lapisan kerak tersebut akan mengganggu proses fotosintesis pada tanaman karena menghambat masuknya sinar matahari dan mencegah pertukaran CO 2 dengan atmosfer. Akibatnya pertumbuhan tanaman menjadi terganggu. Bahaya lain yang mungkin terjadi ialah bahwa partikel tersebut mengandung komponen kimia yang berbahaya bagi hewan yang memakan tanaman tersebut (Achmad 2004). Polutan partikel dapat masuk ke dalam tubuh manusia terutama melalui sistem pernafasan. Partikel yang masuk dan tertinggal di dalam paru-paru dapat membahayakan kesehatan manusia karena tiga hal penting, yaitu: partikel tersebut mungkin beracun karena sifat-sifat kimia dan fisiknya, partikel tersebut mungkin tidak bereaksi tetapi jika tertinggal di dalam paru-paru dapat mengganggu pembersihan bahan-bahan lain yang berbahaya, partikel-partikel tersebut mungkin dapat membawa molekul gas yang berbahaya, baik dengan cara mengabsorbsi atau mengadsorbsi, sehingga molekul-molekul gas tersebut dapat tertinggal di bagian paru-paru (Fardiaz 1992). Menurut Soedomo (2001), pencemaran udara partikel debu biasanya menyebabkan penyakit pernapasan kronis seperti bronhitis kronis, emfiesma paru, asma bronhial, dan bahkan kanker paru-paru.
5.2.2
Sulfur Dioksida (SO2) Kandungan sulfur dioksida pada udara ambien dapat diketahui secara manual dan dapat diidentifikasi melalui terbentuknya warna merah setelah sampel yang mengandung SO 2 diberi pararosanilin. Gas SO 2 terperangkap dalam absorber TCM (Tetrakloromerkurat) membentuk senyawa kompleks dikloro sulfitomerkurat 2 2 (II) atau HgCl2SO3 -. Senyawa HgCl2SO3 - bersifat stabil dan tidak mudah menguap. Senyawa kompleks ini kemudian direaksikan dengan asam sulfamat 0.6%, formaldehida, dan pararosanilin yang menghasilkan kompleks pararosanilin metil sulfonat yang berwarna merah (Gambar 6). Internsitas warna yang dihasilkan diukur pada panjang gelombang 548 nm (SNI 19-7119.7.2005). SO2 + HgCl4 - + H2O HCHO + HgCl2SO32- + 2H+
HgCl2SO3 - + 2H+ +2ClHOCH2SO3H + HgCl2
19
NH2
NHCH2 SO3H
3 HO-CH2-SO3H
+3H2
Hidrosimetana sulfonat
Pararosanilin metil sulfonat
H2 N
NH2
HO3SH2 CHN
NHCH2SO3H
Pararosanili
Gambar 6 Reaksi pembentukan kompleks pararosanilin metilsulfonat (Fiandita 2012) Warna yang terbentuk ialah warna merah muda sampai ungu. Semakin pekat warna yang dihasilkan semakin besar kadar SO 2 yang ada dalam sampel. Warna yang terbentuk diukur serapannya pada panjang gelombang 548 nm. Hasil analisis yang diperoleh dari sampel nomor 603 dan 604 ialah sebesar 21.8214 3 3. µg/Nm dan 29.8739 µg/Nm Nilai yang diperoleh masih di bawah baku mutu PerMenaker Trans No. 13 tahun 2011 sebesar 250 µg/Nm 3. Perbedaan kadar SO 2 di halaman depan lebih tinggi di sebabkan adanya polusi dari kendaraan yang ada di kawasan industri dan disebabkan oleh polusi yang disebabkan oleh gas buangan pabrik industri. Sampel udara selain mengandung zat SO 2 juga terdapat kandungan zat-zat yang lain yang dapat mengganggu pengukuran kadar gas SO 2, diantaranya ialah, NOx, O3, Fe, Mn, Cr. Gangguan dari gas yang lain dapat dicegah dengan cara: NOx dapat dihilangkan dengan asam sulfamat (HNSO 3H), ozon dapat dihilangkan dengan memperlambat waktu sampling, Fe, Mn, Cr dapat dihilangkan dengan menambahkan Na 2EDTA dan asam fosfat (Wiharja 2002). Pencemaran udara oleh sulfur oksida terutama disebabkan oleh dua komponen gas yang tidak berwarna, yaitu sulfur dioksida (SO 2) dan sulfur trioksida (SO3), dan keduanya disebut sebagai SOx. Pembakaran bahan-bahan yang mengandung sulfur akan menghasilkan kedua bentuk sulfur oksida, tetapi jumlah relatif masing-masing tidak dipengaruhi oleh jumlah oksigen yang tersedia. Meskipun udara tersedia dalam jumlah cukup, sulfur dioksida selalu terbentuk dalam jumlah terbesar. Sulfur dioksida biasanya diproduksi dalam jumlah kecil selama pembakaran (Pradana dan Heriyanto 2011). Pengaruh utama polutan SO 2 terhadap manusia adalah iritasi sistem pernafasan, beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada konsentrasi SO 2 sebesar 5 ppm atau lebih, bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada konsentrasi 1–2 ppm. Sulfur dioksida merupakan polutan berbahaya terutama penderita koronis pada sistem pernafasan dan kardiovaskular. Individu dengan gejala tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan SO2, meskipun dengan konsentrasi rendah, misalnya 0.2 ppm atau lebih. Kerusakan akibat polutan SO 2 terhadap bahan lain terutama disebabkan oleh asam sulfat yang diproduksi jika SO 3 bereaksi dengan uap air di atmosfer (Rusmayadi 2010). Salah satu pengaruh SO 2 terhadap bahan lain adalah pada cat saat pengeringan dan pengerasan beberapa cat meningkat jika mengalami kontak dengan SO2. Beberapa film cat menjadi lunak dan rapuh jika dikeringkan dengan
20 SO2. Kecepatan korosi pada logam terutama besi, baja dan seng, dirangsang pada kondisi lingkungan yang terpencemaran SO 2. Bahan-bahan partikel, kelembaban udara tinggi dan suhu juga berpengaruh penting dalam korosi tersebut. Konsentrasi asam sulfat dalam jumlah tinggi sebagai polutan udara dapat menyerang berbagai bahan bangunan, terutama bahan-bahan yang mengandung karbonat seperti marmer, batu kapur, genteng, dan batu. Karbonat di dalam bahan bahan tersebut diubah menjadi sulfat yang larut air (Rusmayadi 2010).
5.2.3
Nitrogen Dioksida (NO 2) Penentuan nitrogen dioksida (NO 2) menggunakan metode Griess Saltzman secara spektrofotometri. Nitrogen dioksida dijerap dalam larutan Griess Saltzman membentuk senyawa diazomino berwarna merah muda yang stabil setelah 15 menit ( SNI 19-7119-2.2005). Warna kompleks tersebut sebanding dengan jumlah NO2 di udara yang dapat diukur dengan spektrofotometer pada panjang gelombang 550 nm. Griess Saltzman merupakan pereaksi yang terdiri dari asam sulfanilat, asam asetat, dan NED. Pereaksi ini sangat rentan terhadap udara, oleh sebab itu harus disimpan di dalam tempat yang suhu nya dibawah suhu ruangan. NO2 di udara diubah menjadi ion nitrit NO 2- yang kemudian bereaksi dengan NED membentuk ion diazonium. Senyawa diazonium ini tidak stabil. Oleh sebab itu ditambahkan asam sulfanilat yang berfungsi untuk menstabilkan reaksi pembentukan diazonium. Penggabungan diazo membentuk senyawa baru yang berwarna merah muda (Gambar 7). NO2- + HO3S-C6H4+H3 Asam Sulfanilat
HO3S-C6H4 -N+ N + H2O
HO3S-C6H4-N+ N + C10H7 -NH-CH2-CH2-NH2 N-(1-naptil)-etilendiamina dihidroklorida HO3 S-C6H4-N=N-C10 H6-NH-CH2-CH2-NH2 senyawa diazo
Gambar 7 Reaksi metode Griess-Saltzman (Pra yudi dan Susanto 2000) Hasil analisis kualitas udara ambien pada sampel 603 dan 604 ialah 3 3 sebesar 7.5170 µg/Nm dan 20.3808 µg/Nm . Hasil tersebut masih di bawah baku 3 PerMenaker Trans No. 13 tahun 2011 ialah 5634 µg/Nm . Kadar NO 2 di titik halaman depan lebih besar dari pada di area parkir basement, hal ini disebabkan oleh gas buangan pabrik yang masuk p ada udara ambien, dan kendaraan bermotor yang melintas di kawasan industri. Nilai NO 2 pada kawasan industri daerah Bandar lampung masih aman bagi pekerja dan penduduk setempat. Gas NO2 dan NO sangat berbahaya terhadap manusia. Penelitian aktivitas mortalitas kedua komponen tersebut menunjukan bahwa NO 2 empat kali lebih beracun dari pada NO. Gas NO tidak mengakibatkan iritasi dan tidak berbahaya, tetapi pada konsentrasi udara ambien yang normal NO dapat mengalami oksidasi menjadi NO2 yang lebih beracun. Keracunan gas NO 2 pada manusia pada konsentrasi rendah dapat mengakibatkan kesulitan dalam bernafas, sedangkan pada konsentrasi yang tinggi dapat mengakibatkan kematian (Fardiaz 1992).
21 5.2.4
Amoniak (NH 3) Kadar amoniak di udara ditentukan dengan metode indofenol. Amoniak diserap dengan asam sulfat dan akan membentuk amonium sulfat. Amonium sulfat kemudian bereaksi dengan fenol dan natrium hipoklorit dalam suasana basa membentuk senyawa kompleks indofenol yang berwarna biru (Gambar 8). Reaksi indofenol dapat bereaksi dengan sempurna dalam suasana basa, oleh sebab itu ditambahkan larutan hipoklorit yang bersifat basa. Agar suasana basa tetap stabil, digunakan larutan penyangga phosfat. Warna yang dihasikan dari reaksi indofenol diukur serapannya pada panjang gelombang 640 nm. Semakin pekat warna yang dihasilkan, menunjukkan bahwa kadar amoniak dalam sampel semakin tinggi (SNI 19-7119.1-2005).
2NH3 + H2SO4 (NH4)2SO4 (NH4)2SO4 + 2C6H5OH + 3NaOCl
-
+ 2H2O +OH +3 Cl
Gambar 8 Reaksi pembentukan indofenol (SNI 19-7119.1-2005) Hasil analisis kadar amoniak pada sampel 603 dan 604 ialah sebesar 3 3 33.1188 µg/Nm dan 52.1089 µg/Nm . Kadar amoniak pada sampel 604 yaitu di lokasi halaman depan lebih besar dibandingkan dengan sampel nomor 603 di area parkir basement. Hal ini disebabkan oleh banyaknya kadar amoniak di halaman depan yang disebabkan oleh menguapnya amoniak yang berada di tempat pembuangan sampah dan asap yang disebabkan oleh aktifitas industri dan kendaraan bermotor yang ada di sekitar lokasi industri. Kelembaban udara di area parkiran basement sebesar 62%. Menurut Prasetyanto (2011), kelembaban udara yang lebih dari 60% dapat menyebabkan volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroorganisme akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap. Amoniak yang terukur pada area parkiran basement kemungkinan disebabkan oleh bau tidak sedap yang disebabkan oleh fermentasi anaerobik. Meskipun ada kadar amoniak yang terukur, tetapi kadar amoniak pada salah satu kawasan industri daerah Bandar Lampung, masih memenuhi baku mutu yang ditetapkan oleh PerMenaker Trans No 13 yaitu 3 sebesar 17000 µg/Nm . Udara yang tercemar gas amoniak dapat menyebabkan iritasi mata serta saluran pernapasan. Gas amoniak melalui inhalasi menyebabkan iritasi hebat pada mata (Keraktitis), sesak nafas ( Dyspnea), Bronchospasm, nyeri dada, sembab paru, batuk darah, Bronchitis dan Pneumonia. Amoniak pada kadar tinggi (30.000 ppm) dapat menyebabkan luka bakar pada kulit. Sisa-sisa makanan dan sampah organik dibuang ke tempat sampah. Sampah-sampah tersebut kemudian membusuk dan menghasilkan gas amoniak. Gas amoniak tersebut merupakan salah satu gas rumah kaca yang dapat menyebabkan global warming. Akibat yang terjadi adalah terjadinya perubahan iklim dan cuaca serta efek global warming lainnya (Soemirat 2002).
-
22 5.2.5
Hidrogen Sulfida (H 2S) Hidrogen sulfida merupakan bentuk lain dari gas buangan yang mengandung sulfur. Penentuan kadar hydrogen sulfida di udara menggunakan metode spektrofotometri. Hidrogen sulfida diserap di udara oleh larutan CdSO 4 membentuk CdS dalam suasana basa. CdS kemudian bereaksi dengan N,Ndimetil-p-fenilendiamin dehidroklorida (larutan tes t amino) yang dilarutkan dalam H2SO4 pekat membentuk 3-merkapto-N,N-dimetil-p-fenilendiamina. Senyawa ini 3+ kemudian dioksidasi oleh Fe membentuk senyawa biru metilena (Gambar 9). Warna kompleks yang terbentuk dari reaksi tersebut diukur serapannya pada panjang gelombang 670 nm. Intensitas warna yang dihasilkan sebanding dengan konsentrasi H2S pada sampel udara (SNI 19-7117.7-2005).
Gambar 9 Reaksi biru metilen (Fiandita 2012) Hasil pengujian H2S pada sampel 603 dan 604 ialah sebesar 8.2426 3 µg/Nm dan 5.6983 µg/Nm . Kadar H2S yang sangat kecil dibandingkan dengan kandungan dari parameter yang lainnya, hal ini disebabkan karena H 2S merupakan gas yang keberadaannya di atmosfer secara cepat diubah menjadi SO 2 melalui reaksi berikut: 3
2H2S + 3O2
2SO2 + 2H2O (Achmad 2004).
Hidrogen diproduksi oleh pembusukan mikrobiologi dari senyawa sulfat dan reduksi mikroba dari sulfat, uap panas bumi, serbuk kayu, aktivitas antropogenik seperti pembakaran batu bakar dan residu minyak bumi (Prasetyanto 2011). Kadar hidrogen sulfida pada sampel masih di bawah ambang batas Permenaker Trans 3 No. 03 tahun 2011 yaitu 1391 µg/Nm . Kadar H2S sampel 603 lebih besar dibandingkan kadar sampel 604. Hal ini kemungkinan disebabkan oleh tingginya kelembaban udara pada area parkiran basement. Kelembaban udara di area parkiran basement sebesar 62%. Menurut Prasetyanto (2011), kelembaban udara yang lebih dari 60% dapat menyebabkan volume udara berkurang, akibatnya aktivitas mikroorganisme akan menurun dan akan terjadi fermentasi anaerobik yang menimbulkan bau tidak sedap. Amoniak yang terukur pada area parkiran basement kemungkinan disebabkan oleh bau tidak sedap yang disebabkan oleh fermentasi anaerobik. Pengaruh gas hidrogen sulfida pada manusia disajikan pada Tabel 4.
23 Tabel 4 Pengaruh paparan gas hidrogen sulfida (H 2S) pada manusia Kadar Gas H2S (ppm) 10 2 50-100 200 500 per menit 600 per menit (Sumber: Prasetyanto 2011)
Pengaruh pada Manusia Iritasi mata Iritasi mata, hidung, tenggorokan Mual, muntah, diare Pusing, depresi, rentan pneumonia Mual, muntah, pingsan Kematian
5.2.6
Karbon Monoksida (CO) Karbon monoksida dianalisis dengan metode NDIR ( Non Dispersive Infrared ) menggunakan spektrofotometer. Metode ini merupakan metode yang mengandalkan serapan karbon monoksida pada panjang gelombang radiasi inframerah. Non Dispersive Infrared merupakan metode yang spesifik untuk CO. Karbon monoksida diserap oleh I 2O5 pada tabung pertama dan terjadi reaksi substitusi antara CO dan I 2O5 yang membebaskan I 2. Iodida bebas tersebut kemudian ditangkap oleh larutan KI pada tabung ke dua sehingga warna larutan menjadi kuning kecoklatan yang kemudian serapannya diukur pada panjang gelombang 420 nm. Intensitas warna yang dihasilkan sebanding dengan jumlah CO dalam sampel udara bebas. Reaksi yang terjadi ialah :
5CO + I2O5
5CO2 + I2
(Fardiaz 1992).
Kadar CO yang diperoleh pada sampel 603 dan 604 ialah sebesar 3 3 1025.9013 µg/Nm dan 421.4871 µg/Nm . Kadar CO pada area parkir basement lebih besar dibandingkan pada kadar CO di halaman depan pabrik. Hal ini disebabkan banyaknya kendaraan bermotor yang ada di area parkiran dan terperangkap di dalam ruangan. Sedangkan pada halaman depan CO yang dihasilkan oleh kendaraan bermotor akan mudah menyebar ke udara terbuka, sehingga konsentrasi CO akan terminimalkan karena CO tersebar di udara dan konsentrasinya akan semakin sedikit karena terbawa oleh angin ke tempat lain. Karbon monoksida diproduksi oleh proses-proses yang diduga 80% nya berasal dari kendaraan bermotor. Konsentrasi CO di udara perkotaan menunjukkan korelasi yang positif dengan kepadatan lalu lintas. Secara alami CO diproduksi oleh Hidrozoa, suatu makhluk laut, dan juga oleh reaksi-reaksi kimia yang terjadi di dalam atmosfer. Efeknya terhadap kesehatan disebabkan karena CO dapat menggeser oksigen yang terikat pada hemoglobin (Hb) dan mengikat Hb menjadi karbon monoksida hemoglobin (COHb), seperti pada reaksi sebagai berikut: O2Hb + CO
COHb + O 2
Reaksi ini mengakibatkan berkurangnya kapasitas udara menyalurkan O 2 kepada jaringan tubuh. Kadar COHb akan meningkat dengan meningkatnya kadar CO dalam atmosfir (Soemirat 2002).
24 5.3
Pencegahan Pencemaran Udara
Proses dan kegiatan industri secara umum dapat menimbulkan pencemaran terhadap lingkungan kerja dan lingkungan di luar industri. Meskipun hasil pengujian kualitas udara ambien di kawasan industri Bandar Lampung di bawah baku mutu Permenaker Trans No 13 tahun 2011, kita tetap harus selalu menjaga kelestarian lingkungan dari pencemaran udara. Oleh sebab itu sejak dini harus dilakukan suatu upaya pencegahan, agar pencemaran udara tidak terjadi. Pencegahan pencemaran udara yang dapat dilakukan dengan cara melakukan kontrol terhadap polusi gas pencemar. Kontrol terhadap polutan gas ditujukan untuk mengurangi polutan dari kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar yang bersumber dari energi fosil, karena 64% dari seluruh pencemaran udara dihasilkan dari transfortasi, terutama yang menggunakan bahan bakar bensin. Saat ini sumber energi yang paling banyak digunakan di dunia adalah energi fosil yang berupa bahan bakar minyak. Indonesia sendiri saat ini masih sangat tergantung pada energi fosil. Hampir 95% dari kebutuhan energi Indonesia masih disuplai oleh energi fosil. Sekitar 50% dari energi fosil tersebut adalah minyak bumi dan sisanya adalah gas dan batubara. Beberapa energi alternatif telah dikembangkan seperti panas bumi, biomassa, sinar matahari, nuklir, angin, listrik, dan hidrogen. Kebanyakan energi alternatif yang dikembangkan merupakan energi terbarukan. Namun ada pula yang tidak terbarukan, salah satunya nuklir. Namun nuklir dapat menjadi energi alternatif karena lebih ramah lingkungan dan sangat hemat sehingga ketersediaannya di alam dapat digunakan dalam jangka waktu yang lama (Soedomo 2001). Cara untuk mengurangi pencemaran gas di udara dapat dilakukan dengan memodifikasi mesin pembakar untuk mengurangi jumlah polutan yang terbentuk selama pembakaran, pengembangan reaktor sistem ekshaust sehingga proses pembakaran berlangsung sempurna, dan polutan yang berbahaya diubah menjadi polutan yang lebih aman, pengembangan sumber tenaga yang rendah polusi untuk menggantikan mesin pembakar yang ada ( Fardiaz 1992). Pengembangan reaktor sistem ekshaust misalnya ialah reaktor ekshaust termal dan reaktor katalitik (Gambar 10). Reaktor ekshaust termal terdiri dari suatu wadah yang bersuhu tinggi yang menempel pada mesin. Jika gas buangan melalui wadah tersebut, udara akan dimasukkan dengan oksigen untuk proses pembakaran yang lengkap. Tipe reaktor yang kedua disebut reaktor katalitik. Reaktor katalitik menggunakan suatu bed yang berisi butiran bahan katalis yang menjadi aktif pada suhu sedang. Gas buangan akan bercampur dengan udara melalui katalis yang telah diaktifkan. Katalis berfungsi agar proses oksidasi berlangsung sempurna pada suhu yang lebih rendah dari pada di dalam reaktor termal. udara
(a) Ekshaust
Udara bersuhu tinggi
Ke atmosfer
25
(b)
udara
Ke atmosfer _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ __ _ _ _ _ _ _ _
_ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _ _
Bed katalitik
Ekshaust katalitik
Gambar 10 Bagan reaktor buangan gas (a) reaktor ekshaust termal (b) reaktor katalitik (Fardiaz 1992) Menurut Manahan (2001), teknik untuk mengontrol polutan partikel didasarkan pada penangkapan partikel sebelum dilepaskan ke atmosfer. Metode yang digunakan untuk mengontrol polutan partikel diantaranya ialah sistem pengendapan gravitasi, kolektor siklon, penggosok/ sikat basah dan presipitator elektrostatik. Sistem ruang pengendapan gravitasi merupakan sistem yang memasukkan aliran gas ke dalam ruangan yang cukup besar sehingga kecepatan gas akan menurun dan waktu tinggal di dalam ruangan tersebut cukup lama untuk mengendapkan partikel. Partikel dengan ukuran diameter lebih besar dari 50 mikron biasanya dapat dibersihkan dengan cara ini. Waktu yang lebih lama yang dibutuhkan untuk mengendapkan partikel yang lebih kecil mengakibatkan alat ini tidak praktis digunakan jika ukuran partikel terlalu kecil. Sistem kolektor siklon digunakan berdasarkan prinsip gas yang mengalir menurut spiral berputar menghasilkan tenaga sentrifugal terhadap partikel tersuspensi, sehingga partikel terdorong keluar dari aliran gas ke dinding tabung tempat partikel dikumpulkan. Sistem kolektor siklon mempunyai efisiensi pembersihan partikel sebesar 95% untuk partikel dengan ukuran diameter antara 5 sampai 20 mikron. Alat yang dapat menghilangkan kontaminan padatan, cairan, atau gas disebutk penggosok atau sikat basah ( wet scrubber ). Efektivitas alat ini dipengaruhi oleh tingkat kontak dan interaksi antara fase ca iran dengan yang akan dibersihkan. Sistem presipitator elektrostatik didasarkan pada prinsip bahwa partikel yang bergerap melalui suatu bagian yang mempunyai potensial yang bergerak melalui suatu bagian yang mempunyai potensi elektrostatik tinggi, mempunyai kemampuan untuk bermuatan, sehingga partikel-partikel tersebut akan tertarik ke bagian lain yang muatannya berlawanan sehingga partikel tersebut akan mengumpul. Cara pencegahan pencemaran udara dapat dilakukan dengan cara lain, yaitu mensosialisasikan pelajaran lingkungan hidup (PLH) di sekolah dan masyarakat, mewajibkan dilakukannya AMDAL (Analisis Mengenai Dampak Lingkungan) bagi industri atau usaha yang menghasilkan limbah, tidak membakar sampah di pekarangan rumah, ikut berpartisipasi dalam kegiatan penghijauan, tidak melakukan penebangan hutan, pohon dan tumbuhan liar secara sembarangan, menghentikan penggunaan busa plastik yang mengandung CFC (Chloro Fluoro Carbon). Semua itu harus dilakukan dengan peran serta masyarakat dan pemerintah. Masyarakat berperan agar menaati peraturan tersebut dan pemerintah menegakkan hukum yang adil untuk masyarakat yang melanggarnya, sehingga ada keseimbangan peran antara pemerintah dan masyarakat (MENKLH 1988).
26
6 SIMPULAN DAN SARAN
6.1
Simpulan
Berdasarkan percobaan diperoleh kadar SO 2, CO, NO2, H2S, NH3, dan 3 TSP pada sampel di area parkiran basement berturut–turut: 21.8214 µg/Nm , 1025.9013 µg/Nm 3, 7.5170 µg/Nm 3, 8.2426 µg/Nm 3, 33.1188 µg/Nm 3, dan 3 109.8834 µg/Nm , sedangkan sampel pada halaman depan berturut-turut: 29.8739 µg/Nm3, 421.4871 µg/Nm 3, 20.3808 µg/Nm 3, 5.6983 µg/Nm 3, 52.1089 µg/Nm 3, 3 dan 90.8566 µg/Nm . Besaran parameter uji tersebut masih memenuhi baku mutu PerMenaker Trans No. 13 tahun 2011 dan dinyatakan aman untuk kesehatan manusia dan lingkungan.
6.2
Saran
Pemantauan kualitas udara harus dilakukan terus menerus dan berkesinambungan, agar sampel yang diperoleh dapat mewakili kumpulannya dan data yang dihasilkan dapat menunjukkan kualitas udara ambien di kawasan tersebut. Pengendalian mutu di laboratorium selain menggunakan blanko laboratorium, sebaiknya dilakukan minimal 2 kali ulangan untuk melihat ketelitian dalam analisis yang dilakukan.
DAFTAR PUSTAKA
Achmad R. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta:ANDI [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Emisi Gas Buang Sumber Tidak Bergerak–Bagian 7: cara Uji Kadar Hidrogen Sulfida (H 2S) dengan Metode Biru Metiden dengan Menggunakan Spektrofotometer. SNI 19.7119.7-2005.Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Udara Ambien-Bagian 1: Cara Uji Kadar Amoniak (NH 3) dengan Metode Indofenol menggunakan Spektrofotometer. SNI 19.7119.1-2005 . Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Udara Ambien-Bagian 2: Cara Uji Kadar Nitrogen Dioksida (NO 2) dengan Metode Griess-Saltzman menggunakan Spektrofotometer. SNI 19.7119.2-2005 . Jakarta:Badan Standardisasi Nasional. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Udara Ambien-Bagian 3: Cara Uji Partikel Tersuspensi Total (TSP) menggunakan Peralatan High Volume Air Sampler (HVAS) dengan metode gravimetri. SNI 19.7119.32005.Jakarta: Badan Standardisasi Nasional.
27 [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 2005. Udara Ambien-Bagian 7: Cara Uji Kadar Sulfur Dioksida (SO2) d engan Metode Pararosanilin menggunakan Spektrofotometer. SNI 19.7119.7-2005 .Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. [BSN] Badan Standardisasi Nasional. 1998. Metode Pengujian Kandungan Gas CO di Udara dengan Menggunakan NDIR (Non Dispersive Infra Red). SNI 19-4845-1998 . Jakarta: Badan Standardisasi Nasional. Fardiaz S. 1992. Polusi Udara dan Air . Yogyakarta: Kanisius. Fiandita R. 2012. Penentuan Kualitas Udara Ambien di Lingkungan Industri Bekasi. [Tugas Akhir]. Bogor: Institut Pertanian Bogor. Hadi A. 2005. Prinsip Pengelolaan Pengambilan Sampel Lingkungan. Jakarta: PT Gramedia. Manahan SE.2001. Fundamentals of Environmental Chemistry. Boca Raton: CRC Press LLC [MENKLH] Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. 1988. Keputusan Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Nomor: Kep-02/MenKLH/I/1988 tentang Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan.Jakarta: Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup. Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. 2011. Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor Per.13/Men/X/2011 Tahun 2011 tentang Nilai Ambang Batas Faktor Fisika dan Faktor Kimia di Tempat Kerja . Jakarta: Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Nugraha A.2005. Bioindikator Kualitas Udara. Jakarta: Universitas Trisakti. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 41 Tahun 1999. Tentang Pengendalian Pencemaran Udara . Jakarta. Pohan N. 2002. Pencemaran Udara dan Hujan Asam . Fakultas Teknik Program Studi Teknik Kimia Universitas Sumatera Utara: USU digital library. Pradana RP, Heriyanto E.2011. Analisis Pemantauan Kualitas Udara pada Saat Arus Mudik dan Balik Lebaran di Gerbang Tol Cikampek Tahun 2009. Jurnal Meteorologi Dan Geofisika volume 12 Hal: 261-269. Prasetyanto N. 2011. Kadar H 2S, NO2, dan Debu pada Peternakan Ayam Broiler dengan Kondisi Lingkungan yang Berbeda Di Kabupaten Bogor, Jawa Barat [Skripsi]. Bogor. Departemen Ilmu Produksi Dan Teknologi Peternakan Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Prayudi T dan Susanto PJ. 2000. Penerapan Metode Passive Sampler untuk Analisa NO2 Udara Ambien di Beberapa Lokasi di Jakarta dan Sekitarnya. Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 1 No. 3 Desember 2000 : 227-232 Rusmayadi G. 2010. Konsentrasi Sulfur Oksida di Pemukiman Sekitar Factory Outlet dan Jalan Raya Bogor. Jurnal Agroscientiac. Vol. 17-Agustus 2010: 90-95. Soedomo M. 2001. Kumpulan Karya Ilmiah, Pencemaran Udara . Bandung: ITB Soemirat JS. 2002. Kesehatan Lingkungan. Yogyakarta: UGM Press. Supratman U. 2010. Elusidasi Struktur Kimia Organik . Jakarta: PT Gramedia Wiharja. 2002. Identifikasi Kualitas Gas SO 2 di Daerah Industri Pengecoran Logam Ceper. Jurnal Teknologi Lingkungan Vol. 3 No. 3 Hal 251-255.
28
LAMPIRAN Lampiran 1 Struktur organisasi laboratorium servis SEAMEO-BIOTROP PEMBINA
MANAJER EKSEKUTIF
MANAJER MUTU
STAF AHLI
MANAJER TEKNIS
PENYELIA LAB. PANGAN & PAKAN
PENYELIA LAB. TANAH & TANAMAN
PENYELIA LAB. AIR & UDARA
ANALIS
ANALIS
BAGIAN ADMINISTRASI
ANALIS
Lampiran 2 Rangkain peralatan impinger
Lampiran 3 Pembuatan larutan penentuan kadar SO 2 No 1 2
3 4
Nama Larutan Penyerap tetrakloromerkurat (TCM) 0.04 M Larutan induk natrium metabisulfit
Pembuatan Larutan HgCl2, KCl, dan EDTA (Komplekson III) ditimbang berturut – turut sebanyak 10.86 g, 5.96 g, dan 0.066 g. kemudian dilarutkan dalam 1000 ml akuades.
Larutan standar metabisulfit Larutan induk iodine 0.1 N
2.0 ml larutan induk natrium metabisulfit dalam 100 ml larutan penyerap 12.7 gram I2 dan 40.0 gram KI dalam labu uk ur 1000 ml dilarutkan menggunakan akuades 50 ml latutan induk iodin 0.1 N dalam labu ukur 500 ml akuades 0.4 gram kanji dan 0.002 gram merkuri (II) HgI2 dalam
5
Larutan iodin 0.01 N
6
Indikator kanji
0.3 g Na2S2O5 dalam 500 ml akuades yang dididihka n.
29 Lanjutan Lampiran 3
7 8 9 10 11 12 13
Larutan HCl (1:10) Larutan induk natrium tiosulfat 0.1 N Larutan natrium tiosulfat (Na2S2O3) 0.01 N Larutan HCl 1 M Larutan asam sulfamat 0.6 % b/v Larutan asam fosfat (H3PO4) 3 M Larutan induk pararosanilin hidroklorida 0.2 %
14
Larutan kerja pararosanilin
15
Larutan formaldehida
gelas piala 200 ml air mendidih. Larutan dipanaskan sampai jernih dan didinginkan 10 ml HCl p.a dalam 100 ml akuades 24.82 gram Na2S2O3.5H2 O dalam 1000 ml akuades yang telah dididihkan 50 ml larutan induk dalam labu ukur 500 ml akuades 83 ml HCl 37% dalam 1000 ml akuades 0.6 gram asam sulfamat dalam 100 ml akuades 205 ml H3PO4 85% dalam 1000 ml akuades 0.2 gram pararosanilin dalam 100 ml HCl 1 M 40 ml larutan induk pararosanilin hidroklorida 0.2 % ditambahkan 50 ml larutan asam fosfat 3 M dalam 500 ml HCl 1 M 5 ml larutan formaldehida 36-38 % dalm 1000 ml akuades
Lampiran 4 Pembuatan larutan penentuan kadar H 2S No 1
2 3 4 5 6
Nama Larutan Penyerap CdSO4 Larutan induk asam ammonia sulfuric Larutan test amino Larutan ammonium fosfat Larutan feri klorida (FeCl.6H2O) Laruatn induk standar H2S
Pembuatan Larutan 4.3 gram CdSO4.8H2O dan 0.3 gram NaOH dilarutkan menggunakan akuades secara terpisah. Larutan dicampurkan dan ditambahkan straktan 10 dan dilarutkan dalam 1000 ml akuades 3 gram N,N-dimetil-p-fenilendiamin dehidroklorida dilarutkan dalam 50 ml H2SO4 p.a. Larutan diencerkan hingga 100 ml dengan akuades 2.5 ml larutan induk asam ammonia sulfurik dalam 100 ml ml H2SO4 1:1 40 gram diammonium hidrogen fosfat (NH4)2HPO4 1:1 10 gram feri klorida dalam 100 ml akuades
0.12 gram Na2S.9H2O dalam 100 ml akuades
Lampiran 5 Pembuatan larutan penentuan kadar NH 3 No 1 2 3 4 5
Nama Larutan Penyerap H2SO4 Larutan natrium nitroprusida 2% Larutan NaOH 6.75 M Larutan natrium hipoklorit 3.7% Larutan kerja
Pembuatan Larutan 3 ml H2SO4 97% dalam 1000 ml akuades 2 gram Na2Fe(CN).5 H2O dalam 100 ml akuades 270 gram NaOH dalam 1000 ml akuades 3.7 gram NaOCl dalam 100 ml akuades 30 ml NaOH 6.75 M dam 30 ml NaOCl 3.7% dalam
30 Lanjutan Lampiran 5 hipoklorit Larutan fenol 45%
6 7 8
100 ml akuades 50 gram fenol dilebur diatas penangas air pada suhu o 60 C dalam gelas piala. Kemudian diencerkan dalam 100 ml methanol 20 ml fenol 45% dan 1 ml natrium nitroprusida 2% dalam 100 ml akuades 50 gram Na 3PO4.12H2O dan 74 ml laruatn NaOH 6.75 M dalam 1000 ml akuades
Larutan kerja fenol Larutan Na3PO4.12H2O
Lampiran 6 Pembuatan larutan penentuan kadar NO 2 No. Nama Larutan 1 Penyerap GriessSaltzman
2 3
Cara Pembuatan 5 gram asam sulfanilat ditambahkan 140 m l asam asetat glasial, 20 ml larutan NED ( N-(1 naftil)etilendiamin dihidroklorida) 0.1% dalam aseton sebanyak 10 ml. Kemudian ditepatkan hingga 1000 ml.
Larutan NED 0.1% Larutan baku nitrit (NaNO2)
0.1 gram NED dalam 100 ml akuades 0.246 gram NaNO 2 dalam 100 ml akuades
Lampiran 7 Pembuatan larutan penentuan kadar CO No. 1
Nama Larutan Penyerap KI 4%
2
Larutan I2O5 0.5%
3
Larutan Iodida 0.0025 N
Cara Pembuatan 4 gram kalium iodida (KI) dalam 100 ml akuades 0.5 gram iodium pentoksida (I2O5) dalam 100 ml akuades 25 ml larutan iodida 0.01 N dalam 100 ml akuades
Lampiran 8 Perhitungan penentuan kadar SO 2
Standardisasi SO2
Ulangan 1 2 3 Rerata Blanko
Volume Na-Thio (mL) 41.00 41.00 40.95 40.98 (a) 47.95 (b)
Konsentrasi Na-Thio (N)
BE SO2 (mg/mL)
Volume SO2 (mL)
Konsentrasi SO2 (µg/mL)
0.0120
32.03
25
107.1595
SO2 (µg/mL) = ( b mL – a mL) x N Na-Thio x BE SO2 x 1000 Vol. SO2 = ( 47.95 – 40.98 ) x 0.0120 N x 32.03 mg/mL x 1000 25 ml = 107.1595 µg/mL
31 Lanjutan Lampiran 8
= .
Rata – rata volume natrium tiosulfat =
.
.
= 40.98 ml
∑ SD = (
)
(..) (..) ( ..) ∑ =
= 0.0289 %RSD =
SD mean
0.0289
× 100% =
40.98
× 100%
= 0.07%
Standardisasi Na-Thiosulfat Volume Na-Thio (mL) 21.20 21.25 21.25 21.23 0.20
Ulangan 1 2 3 Rerata Blanko Selisih (V Na-Thio)
Titrasi (V1)
Labu (V2)
Konsentrasi Na-Thio (N)
0.0900
35.76
25
250
0.0120
Bobot KIO3 x 1000 x V 1 BE KIO3 x V Na-Thio x V2
Rerata volume =
=
BE KIO3 (mg/mL)
Volume KIO3 (mL)
21.03
N Na-Thio =
SD =
Bobot KIO3 (gram)
= 0.0900 g x 1000 x 25 ml 35.67 mg/ml x 21,03 mlx250 ml
= 0.0120 N
... =
21.23
∑ (
)
∑ (
.
.
)
(
.
.
)
(
.
.
)
= 0.0289
%RSD =
SD mean
× 100% =
0.0289 40.98
× 100% = 0.1%
32 Lanjutan Lampiran 8 Deret Standar SO2
Larutan Standar 1 2 3 4 5 6 7
Kurva Standar [SO2] Absorbansi (µg) 0.00 0.000 0.05 0.001 0.09 0.008 0.47 0.038 0.95 0.091 1.89 0.184 2.84 0.258
Kurva Deret Standar SO 2
0.300 i s n a b r o s b A
0.200
y = 0.093x - 0.001 R² = 0.997
0.100 0.000 -0.100 0.00
0.50
1.00
1.50 2.00 SO2 (µg)
2.50
Penentuan kadar SO 2
Sampel
Absor bansi
ƩSO2 (µg)
603 604 QC-1 QC-2
0.050 0.069 0.039 0.040
0.5464 0.7497 0.4287 0.4394
Kecepatan aliran menit ke(L/mnt) 0 60 (F1) (F2) 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09
Suhu (K)
Tekanan (mmHg)
Volume udara (L)
Kadar SO2 3 (µg/Nm )
306 305 300 300
747 745 720 720
62.6008 62.7407 61.5448 61.5448
21.8214 29.8739 17.4145 17.8492
y = 0.093x - 0.001 a = - 0.001 b = 0.093x
∑ SO (μg)= = = 0.5464 μg ,
(
,
,
Volume udara (L) =
=
)
F + F × t × P × 298 2 × T × 760
( 1.09 + 1.09) × 60 × 747 × 298 2 × 306 × 760
Kadar SO
× 1000 × fp = ∑. = 21.8214
Rerata QC =
SD = ∑
= 62.6008 L
μgNm
= .. =
− − −
2 n (x rata rata QC) i= 0 n 1
17.6318
μ × 1000 ×
0.5464 g
25
62.6008 L
10
μg
Nm
3
3.00
33 Lanjutan Lampiran 8
=
∑ ( .
)
.
( .
)
.
= 0.3074 %RSD =
SD mean
0.3074
× 100% =
17.6318
× 100%
= 1.7% Lampiran 9 Perhitungan penentuan kadar NO 2
Deret Standar NO 2
Larutan Standar 1 2 3 4 5 6 7
Kurva standar [NO2] Absorbansi (µg) 0.00 0.0009 0.20 0.0329 0.40 0.0476 0.80 0.0831 1.20 0.1062 1.60 0.1512 2.00 0.1758
Kurva Deret Standar NO2
0.2000 0.1500
i s n a 0.1000 b r o s b 0.0500 A
y = 0.084x + 0.010 R² = 0.990
0.0000 0.000
0.500
1.000
1.500
2.000
NO2 (µg)
Penentuan kadar NO 2
Sampel
603 604 QC-1 QC-2
Absorbansi
ƩNO2 (µg)
0.0312 0.0670 0.1784 0.1811
0.2461 0.6687 1.9837 2.0156
Kecepatan aliran menit ke(L/mnt) 60 0 (F1) (F2) 0.57 0.57 0.57 0.57 0.57 0.57 0.57 0.57
Suhu (K)
Tekanan (mmHg)
Volume udara (L)
306 305 300 300
747 745 720 720
32.7362 32.8094 32.1840 32.1840
y = y = 0.084x + 0.010 a = 0.010 b = 0.084x
= 0.2461 μg ∑ NO (μg)= = .
.
)
.
Volume udara (L) =
F + F × t × P × 298 2 × T × 760
Kadar NO2 (µg/Nm 3) 7.5170 20.3808 61.6363 62.6266
2.500
34 Lanjutan Lampiran 9
.)× × × = 32.7362 L × × Kadar NO ∑ × 1000 × fp . =
( .
=
0.2461 μg 32.7362 L
= 7.5170
Rerata QC =
SD =
μgNm
= .. =
− −
∑
2 n ( x rata rata volume) i= 0 n 1
−
× 1000 × 1
62.1314
μg
3
Nm
∑ (
=
.
)
.
(
.
.
)
= 0.7002 %RSD =
SD
mean = 1.13%
× 100% =
0.7002 62.1314
× 100%
Lampiran 10 Perhitungan penentuan kadar NH 3
Deret standar NH3
Larutan Standar 1 2 3 4 5 6
Kurva standar NH3 (µg/) Absorbansi 0.00 0.000 0.20 0.005 0.40 0.013 0.60 0022 1.00 0.037 1.50 0.055
Kurva Deret Standar NH3
0.060 i s n a b r o s b A
0.040 0.020
y = 0.037x - 0.001 R² = 0.997
0.000 -0.0200.00
0.50
Absorbansi
ƩNH3 (µg)
603 604 QC-1 QC-2
0.030 0.048 0.037 0.038
0.8293 1.3077 1.0154 1.0419
1.50
2.00
NH3 (µg)
Penentuan kadar NH3
Sampel
1.00
Kecepatan aliran menit ke(L/ml) 60 0 (F1) (F2) 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09
Suhu (K)
Tekanan (mmHg)
Volume udara (L)
Konsentrasi NH3 (µg/Nm3)
306 305 300 300
747 745 720 720
62.6008 62.7407 61.5448 61.5448
33.1188 52.1089 41.2448 42.3245
35 Lanjutan Lampiran 10
y = 0.037x - 0.001 a = 0.001 b = 0.037
= 0.8293 μg ∑ NH (μg)= = .
.
)
.
Volume udara (L) =
F + F × t × P × 298 2 × T × 760
( 1.09 + 1.09) × 60 × 747 × 298
=
= 62.6008 L
2 × 306 × 760 Kadar NH
=
× 1000 × fp ∑.
μg × 1000 × 25
0.8293
62.6008 L
= 33.1188
10
μgNm
= .. = 41.7847 ( ) SD = ∑ Rerata QC =
=
∑ = 0.76 (
%RSD =
.
.
SD mean
)
(
.
× 100% =
.
0.76
41.7847 = 1.83%
)
× 100%
Lampiran 11 Perhitungan penentuan kadar H 2S
Standardisasi Na-Thiosulfat Ulangan 1 2 3 Rerata Blanko Selisih (V Na-Thio)
Volume Na-Thio (mL) 24.50 24.60 24.60 24.57 0.40 24.17
Bobot KIO3 (gram)
BE KIO3 (mg/mL)
0.0900
35.76
Volume KIO3 (mL) Titrasi Labu (V1) (V2 )
25
250
Konsentrasi Na-Thio (N)
0.0104
36 Lanjutan Lampiran 11
N Na-Thio =
Bobot KIO3 x 1000 x V 1 BE KIO3 x V Na-Thio x V2
= 0.0900 g x 1000 x 25 ml 35.67 mg/ml x 24.17 mlx250 ml
= 0.0104 N
... = 24.57 ( ) ∑ SD = (..) (..) ( .. ) = ∑ Rerata volume =
= 0.0577 %RSD =
SD mean
× 100% =
0.0577 24.57
× 100% = 0.2%
Standardisasi H2S
Ulangan
Volume Na-Thio (mL)
Konsentrasi Na-Thio (N)
BE SO2 (mg/mL)
Volume H2S (mL)
Konsentrasi H2S (µ g/mL)
1 2 3 Rerata Blanko
2.95 2.95 2.90 2.93(a) 9.00 (b)
0.0104
1.7
10
107.6767
Konsentrasi H2S = (b mL – a mL) x N Na-Thio x 17 x 1000 Vol. H2S = ( 9.00-2.93 ) x 0.0104 N x 17 x 1000 10 ml g = 107.6767 ml
μ
Rata – rata volume (mean) =
= .
= 2.93
SD =
∑ (
)
.
.
37 Lanjutan Lampiran 11
=
= 0.03 ∑ ( .
%RSD =
)
.
SD mean
( .
.
× 100% =
)
( .
0.03 2.93
.
)
× 100% = 0.98%
Kurva deret standar H2S
Kurva Deret Standar H2S
1 2 3 4 5
Kurva standar H2S Absorbansi (µg) 0.00 0.000 0.05 0.002 0.11 0.003 0.22 0.008 0.54 0.020
6
1.08
0.035
7
2.15
0.068
Larutan Standar
0.080 0.070 i 0.060 s n0.050 a b r0.040 o s0.030 b A 0.020 0.010 0.000
0.00
Penentuan kadar H2S
Sampel
Absor bansi
ƩH2S (µg)
603 604 QC-1 QC-2
0.004 0.003 0.035 0.034
0.1032 0.0715 1.0858 1.0541
y = 0.031x + 0.0007 R² = 0.997
Kecepatan aliran menit ke(L/ml) 60 0 (F1) (F2) 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09
0.50
1.00 1.50 H2S (µg)
2.00
2.50
Suhu (K)
Tekanan (mmHg)
Volume udara (L)
Kadar H2S (µg/Nm3)
306 305 300 300
747 745 720 720
62.6008 62.7407 61.5448 61.5448
8.2426 5.6983 88.2099 85.6349
y = 0.031x + 0.0007 a = 0.0007 b = 0.031
= 0.1032 μg ∑ HS (μg)= = ,
,
)
,
Volume udara (L) =
=
F + F × t × P × 298 2 × T × 760
( 1.09 + 1.09 ) × 60 × 747 × 298 2 × 306 × 760
= 62.6008 L
× 1000 × fp = ∑.
Kadar H S
0.1032 μg 62.6008 L
× 1000 ×
50 10
38 Lanjutan Lampiran 11
μgNm
= 8.2426
Rerata QC =
= .. =
μg
86.9224
Nm3
∑ − −− = 1.8208 = ∑ 2 n ( x rata rata QC ) i= 0 n 1
SD =
(
%RSD =
.
SD
mean
.
)
(
× 100% =
.
.
1.8208
86.9224
)
× 100% = 2.1%
Lampiran 12 Penentuan Kadar CO
Deret standar CO
Kurva Standar CO
0.160
Larutan Standar 1 2 3 4 5 6
Kurva standar CO (µg) Absorbansi 0.00 0.000 17.5 0.015 35.0 0.031 70.0 0.057 105.0 0.092 157.5 0.139
0.140
y = 0.0009x - 0.0008 R² = 0.998
0.120 0.100 i 0.080 s n a0.060 b r o0.040 s b A0.020
0.000 -0.020 0.0
50.0
100.0
150.0
200.0
Konsentrasi CO
Penentuan kadar CO
Sampel
Absor bansi
ƩCO (µg)
603 604 QC-1 QC-2
0.057 0.023 0.058 0.059
64.2222 26.4444 65.3333 66.4444
Kecepatan aliran menit ke(L/ml) 0 60 (F1) (F2) 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09 1.09
Suhu (K)
Tekanan (mmHg)
Volume udara (L)
306 305 300 300
747 745 720 720
62.6008 62.7407 61.5448 61.5448
y = 0.0009x - 0.0008 a = -0.0008 b = 0.0009
= 64.2222 μg ∑ CO (μg)= = ( .
(
.
)
.
Volume udara (L) =
F + F × t × P × 298 2 × T × 760
Kadar CO (µg/Nm3)
1025.9013 421.4871 1061.5561 1079.6096
39 Lanjutan Lampiran 12
=
( 1.09 + 1.09) × 60 × 747 × 298 2 × 306 × 760
Kadar CO
× 1000 ∑. =
64.2222 μg 62.6008 L
= 1025.9013
=
∑
× 1000
μgNm
= .. =
Rerata QC =
SD =
= 62.6008 L
1070.5828
μg
Nm3
− − −
2 n ( x rata rata QC) i= 0 n 1
∑ = 12.7657 (
.
.
%RSD =
SD mean
)
(
.
.
× 100% =
)
12.7657 1070.5829
× 100% = 1.2 %
Lampiran 13 Perhitungan penentuan kadar TSP Sampel
W1 (g)
W2 (g)
(W1-W2) (g)
F1 (m3)
F2 (m3)
P (mmHg)
V (m3)
T (K)
μ( [TSP] g Nm)
603 604
0.41901 0.42391
0.42368 0.42778
0.00467 0.00387
0.740 0.740
0.740 0.740
747 745
42.4996 42.5946
306 305
109.8834 90.8566
)× × × = (,,)× × × = 42.4996 m × × × × ( )× ( ,)× μg Konsentrasi TSP = = = 109.8834 . Nm 3
Vol. udara (m ) =
(
3
3