ANALISIS KASUS SULFITE BLINDING TERHADAP EFISIENSI SO2 REMOVAL PADA SISTEM FLUE GAS DESULFURIZATION DI PLTU TANJUNG JATI B UNIT 1
Disusun oleh: Adik Bela Jannahti NIM : 3.29.10.0.03
PROGRAM STUDI TEKNIK KONVERSI ENERGI JURUSAN TEKNIK MESIN POLITEKNIK NEGERI SEMARANG 2013
ANALISIS KASUS SULFITE BLINDING TERHADAP EFISIENSI SO2 REMOVAL PADA SISTEM FLUE GAS DESULFURIZATION DI PLTU TANJUNG JATI B UNIT 1
Disusun oleh: Adik Bela Jannahti NIM : 3.29.10.0.03
Diajukan untuk melengkapi syarat tugas akhir studi dan memperoleh sebutan Ahli Madya Program Studi Teknik Konversi Energi Jurusan Teknik Mesin
PROGRAM STUDI TEKNIK KONVERSI ENERGI JURUSAN TEKNIK MESIN POLITEKNIK NEGERI SEMARANG 2013
ii
PERNYATAAN KEASLIAN TUGAS AKHIR Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tugas akhir dengan judul “Analisis Kasus Sulfite Blinding terhadap Efisiensi SO2 Removal pada Sistem Flue Gas Desulfurization di PLTU Tanjung Jati B Unit 1” yang dibuat untuk melengkapi sebagian persyaratan menjadi Ahli Madya pada Program Studi Teknik Konversi Energi Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang, sejauh yang saya ketahui bukan merupakan tiruan atau duplikasi dari tugas akhir yang sudah dipublikasikan dan atau pernah dipakai untuk mendapatkan gelar Ahli Madya di lingkungan Politeknik Negeri Semarang maupun di perguruan tinggi atau instansi manapun, kecuali bagian yang sumber informasinya dicantumkan sebagaimana mestinya.
Semarang, 22 Juli 2013
Adik Bela Jannahti NIM 3.29.10.0.03
iii
PERSETUJUAN Tugas Akhir dengan judul "Analisis Kasus Sulfite Blinding terhadap Efisiensi SOz Removal pada Sistem Flue Gas Desulfurization
1" dibuat untuk melengkapi
di PLTU Tanjung Jati B Unit
sebagian persyaratan menjadi
Ahli Madya pada
Program Studi Teknik Konversi Energi, Jurusan Telorik Mesin Politeknik Negeri Semarang dan disetujui untuk diajukan dalam sidang ujian tugas akhir. Semarang, 23 Juli2013
Pembimbing Utama
Pembimbing Pendamping
NIP. 197005 12199601 I 001
Drs. Teguh Harijono Mulud. M.T. NrP. 1 9561027198503 1001
Ka. Prodi Teknik Konversi Energi
Dwiana Hendrawati. S.T. M.T. NIP. 1 96908141998022001
IV
.'
HALAMAN PENGESAHAN Tugas akhir dengan judul "Analisis Kasus Sulfite Blinding terhadap Efisiensi SOz
Removal pada Sistem Flue Gas Desulfurization di PLTU Tanjung Jati B Unit 1"
telah dipertahankan dalam ujian wawancara dan diterima sebagai syarat untuk menjadi seorang Ahli Madya pada Program Studi Teknik Konversi Energi Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang pada tanggal 29 Iuli 2013 .
Penguji III,
Penguji I,
(q 4g*o'n
I Suprivo. S.T.. M.T.
Ir. Ilyas Rochani. M.T. NIP.
195 I 1016.198903.1.001
NrP.
1
9620 427 .1991A3. 1.001
NrP. 1 9630424.19%A3. 1.001 Sekretaris,
Ketua,
n
4\-, Suwarti. S.T.. M.T. NIP. D63A707 .198803.2.001
NrP. 1 9700 512.199601. 1.001 Mengesahkan,
Ketua Jurusan Teknik Mesin
NrP. 19s80430.198803.1.001
PRAKATA Assalamualaikum Wr. Wb. Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah melimpahkan rahmat serta hidayah Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penyusunan laporan Tugas Akhir dengan judul “Analisis Kasus Sulfite Blinding terhadap Efisiensi SO2 Removal pada Sistem Flue Gas Desulfurization di PLTU Tanjung Jati B Unit 1”. Penyusunan tugas akhir ini dimaksudkan untuk memenuhi salah satu persyaratan memperoleh gelar Ahli Madya (A.Md) pada Program Studi Teknik Konversi Energi Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang. Dalam penyusunan Tugas Akhir ini penulis banyak mendapatkan bimbingan dan arahan dari berbagai pihak. Oleh karena itu dalam kesempatan ini penulis ingin menyampaikan rasa hormat dan terima kasih kepada: 1. Sahid S.T, M.T, selaku pembimbing utama dan Teguh Harijono Mulud, Drs, M.T. selaku pembimbing pendamping yang telah memberikan bimbingan dan arahan selama proses penyusunan tugas akhir ini. 2. Direktur Politeknik Negeri Semarang, Ketua Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Semarang, Ketua Program Studi Teknik Konversi Energi, serta wali kelas KE 3D. 3. Dosen pengampu mata kuliah di Program Studi Teknik Konversi Energi yang telah membagi ilmu serta nasihat kepada penulis selama duduk di bangku perkuliahan. vi
4.
Segenap staf laboratorium dan bengkel
Konvesi Energi Politeknik Negeri
Semarang yang telah membantu dalam penyusunan tugas akhir.
Penulis menyadari bahwa dalam penyusunan tugas akhir
ini
masih
terdapat banyak kekurangan. Unfirk itu penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi perbaikan tugas akhir ini.
Wassalamualaikum Wr. Wb.
,
Semarang,23 Jru/ri2}L3 Penulis
'(c/r
')'-*-ot^
Adik Bela Jann*hti NIM 3.29.10.0.03
vtl
MOTTO
“Ada keajaiban di setiap keberanian.” “Gusti mboten sare.” “Karena dedikasi itu memberi, bukan menerima.” “Banyak membaca, banyak menulis. Sedikit membaca, sedikit menulis. Tidak membaca, tidak menulis.” “You’ll never walk alone.”
viii
HALAMAN PERSEMBAHAN
Tugas akhir ini saya persembahkan untuk: Ayah Tubagus Sabdo Wiguno dan Ibu Sri Wahyuni Aulia Najaah Jannahti, Alm. Seluruh staf pengajar dan karyawan Program Studi Teknik Konversi Energi Kawan dan rekan kerja di LPM Dimensi Kawan-kawan seperjuangan di Teknik Konversi Energi Kawan-kawan General Forestry FKT UGM 2010 dan seluruh warga bumi yang merindukan udara bersih dan bebas polusi.
ix
ABSTRAK
“Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh sulfite blinding terhadap efisiensi SO2 removal pada sistem Flue Gas Desulfurization di PLTU Tanjung Jati B Unit 1 dan menentukan laju massa aliran udara oksidasi yang optimum untuk reaksi oksidasi yang sempurna sehingga tidak terjadi sulfite blinding. Metode yang digunakan untuk pengambilan data adalah pengambilan data secara langsung pada monitoring software seperti DCS (Distributed Control System) dan secara tidak langsung pada arsip dan perpustakaan perusahaan saat terjadi kasus tersebut. Selanjutnya dilakukan perhitungan untuk mengetahui efisiensi dan laju massa aliran udara oksidasi. Hasil yang dicapai adalah, sulfite blinding dapat menurunkan efisiensi SO2 removal hingga menjadi 1,82% dengan kadar SO2 dalam gas buang keluar FGD sebesar 1101,45 mg/Nm3. Nilai tersebut melebihi ambang batas yang telah ditetapkan KLH, yaitu sebesar 750 mg/Nm3. Oleh sebab itu sulfite blinding sangat merugikan. Untuk menentukan laju massa aliran udara oksidasi, didapatkan hasil 1012,4 m3/menit pada kisaran beban 500-660 MW.”
Kata Kunci: Sulfite Blinding, Efisiensi SO2 Removal, Flue Gas Desulfurization, pH, Udara Oksidasi
x
ABSTRACT
“The goal of this research is to know the influence of sulfite blinding to SO2 removal efficiency on Flue Gas Desulfurization system in PLTU Tanjung Jati B Unit 1 and to determine optimum mass flow of oxidation air to avoid sulfite blinding. The method that used in this research is search for data directly on monitoring software like DCS (Distribute Control System), and undirectly method by take data from company’s file and documents. And then from data, mass flow of oxidation air was determined. The result is, sulfite blinding could decrease the SO2 removal efficiency until more than 90%, caused by the decrease of pH. For the calculation of mass flow of oxidation air, the result is, 1012,4 m3/minute is the optimum flow on load between 500-660 MW.”
Keywords: sulfite blinding, SO2 removal efficiency, flue gas desulfurization, pH, oxidation air.
xi
DAFTAR GAMBAR Halaman 1.1 Grafik kapasitas pembangkit liatrik Indonesia berdasarkan Bahan bakar ....................................................................................... 2 2.1 Skema proses produksi listrik di PLTU Tanjung Jati B .................... 10 2.2 Skema coal handling ........................................................................... 12 2.3 Skema proses water treatment ........................................................... 13 2.4 Skema siklus uap ............................................................................... 18 2.5 Diagram T-S ....................................................................................... 19 2.6 Skema alur flue gas ............................................................................. 21 2.7 Transmission line PLTU Tanjung Jati B ........................................... 25 2.8 Posisi PLTU Tanjung Jati B di sistem transmisi Jawa-Bali .............. 26 2.9 FGD pada PLTU Tanjung Jati B Unit 1 ............................................ 40 2.10 Skema alur gas buang ...................................................................... 41 2.11 Skema alur sistem FGD .................................................................... 41 2.12 Lokasi limestone jetty and conveyor ............................................... 42 2.13 Skema alur proses limestone handling ............................................. 43 2.14 Lokasi reagent preparation area ....................................................... 44 2.15 Vertical ball mill .............................................................................. 46 2.16 Siklus typical ball mill ..................................................................... 46 2.17 Proses reagent preparation dan persentase padatan Limestone slurry .............................................................................. 47 2.18 Lokasi limestone slurry storage tank ............................................... 48 2.19 Lokasi absorber area ........................................................................ 49 2.20 Absorber module .............................................................................. 50 2.21 Lokasi absorber recirculation pump ................................................. 51 2.22 Perforated trays ................................................................................. 52 2.23 Agitator atau pengaduk .................................................................... 53 2.24 Letak agitator dalam reaction tank ................................................... 54 2.25 Skema proses FGD beserta reaksi yang terjadi ............................... 56
xii
2.26 Lokasi dewatering area .................................................................... 57 2.27 Proses pertama dalam dewatering system ....................................... 58 2.28 Foto mikroskopik terjadinya sulfite blinding ................................... 61 2.29 Hubungan antara efisiensi penyerapan SO2 dengan pH .................. 66 3.1 Nilai pH terhadap penyerapan SO2 .................................................... 75 3.2 Trend DCS saat terjadi sulfite blinding ............................................. 75
xiii
DAFTAR TABEL Halaman 2.1 Pengaruh sulfur dioksida berdasarkan kadarnya ................................ 27 3.1 Data saat terjadi sulfite blinding tanggal 1-2 November 2012 .......... 67 3.2 Hasil perhitungan efisiensi SO2 removal ............................................ 69 3.3 Data yang dibutuhkan untuk menghitung laju massa udara oksidasi .................................................................................... 71
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
Lampiran 1 Lembar Kontrol Bimbingan 1 Lampiran 2 Lembar Kontrol Bimbingan 2 Lampiran 3 Surat Keterangan Selesai Bimbingan Tugas Akhir Lampiran 4 Surat Keterangan Siap Ujian Tugas Akhir Lampiran 5 Revisi Tugas Akhir
xv
DAFTAR LAMBANG Lambang η
Satuan efisiensi
%
Laju aliran
l/min
Massa jenis
Kg/l
massa
Gram atau Kg
molaritas
mol
P
Tekanan
Atm atau bar
V
Volume
m3
T
Temperatur
xvi
DAFTAR ISI
BAB I. PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah....................................................................... 1 1.2 Ruang Lingkup ..................................................................................... 4 1.3 Tujuan .................................................................................................. 5 1.4 Manfaat ................................................................................................ 6 1.5 Metodologi Penelitian .......................................................................... 6 1.6 Sistematika Penyusunan....................................................................... 7 BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS 2.1 Sistem PLTU ...................................................................................... 9 2.1.1 Sistem bahan bakar minyak ....................................................... 10 2.1.2 Sistem batubara ......................................................................... 11 2.1.3 Siklus air umpan ....................................................................... 12 2.1.4 Sistem udara pembakaran .......................................................... 15 2.1.5 Siklus uap .................................................................................. 16 2.1.6 Siklus Air Pendingin.................................................................. 19 2.1.7 Sistem Gas Buang...................................................................... 19 2.1.8 Sistem Penanganan Abu ............................................................ 21 2.1.9 Sistem Penanganan Air Limbah ................................................ 22 2.1.10 Generator ................................................................................. 22 2.1.11 Sistem Transmisi ..................................................................... 24 2.2 Sulfur Dioksida dan Regulasinya ....................................................... 26 2.3 Penanganan Emisi SO2 dari Pembangkit Listrik 2.3.1 Pendahuluan .............................................................................. 29 2.3.2 Teknologi pengendalian SO2 ..................................................... 31 2.3.3 Sistem penyaringan kering untuk pengendalian SO2 ............... 34 2.3.4 Desulfurisasi gas buang dengan sistem FGD ............................ 35 2.3.5 Scrubbers sistem semprot kering untuk kontrol SO2................. 36 2.3.6 Scrubbers sistem basah untuk pengendalian SO2 ...................... 37
xvii
2.4 Sistem FGD pada PLTU Tanjung Jati B Unit 1 ................................. 39 2.4.1 Limestone handling and storage ................................................ 42 2.4.2 Reagent preparation ................................................................... 44 2.4.3 Absorber area system ............................................................... 49 2.4.4 Dewatering system .................................................................... 56 2.4.5 Water system ............................................................................. 58 2.5 Kasus Sulfite Blinding pada Sistem FGD di PLTU Tanjung Jati B Unit 1 2.5.1 Pendahuluan .............................................................................. 60 2.5.2 Indikasi terjadinya sulfite blinding ............................................ 62 2.5.3 Penyebab terjadinya sulfite blinding ........................................ 62 2.5.4 Akibat dari sulfite blinding dan pengaruhnya terhadap efisiensi SO2 removal ................................................ 65 BAB III DATA DAN ANALISIS 3.1 Tujuan pengujian ................................................................................ 67 3.2 Data saat terjadi sulfite blinding ........................................................ 67 3.3 Perhitungan 3.3.1 Perhitungan efisiensi SO2 removal ............................................ 70 3.3.2 Perhitungan laju massa udara oksidasi optimum....................... 71 3.4 Grafik .................................................................................................. 76 3.5 Analisis Data ...................................................................................... 77 BAB IV PENUTUP 4.1 Kesimpulan ......................................................................................... 79 DAFTAR PUSTAKA
xviii
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Pada Juni 1992 bertempat di Rio de Janeiro, Brasil, Indonesia turut serta dalam Konferensi Tingkat Tinggi tentang Lingkungan dan Pembangunan yang diselenggarakan oleh PBB. Konferensi tersebut selanjutnya ditindaklanjuti dengan diselenggarakannya beberapa konvensi terkait lingkungan, dan salah satunya adalah Konvensi Perubahan Iklim yang melahirkan Protokol Kyoto. Agenda terpenting dari keputusan Protokol Kyoto pada tahun 1997 adalah usaha untuk mengurangi gas-gas pencemar, yaitu CO2, NOx, dan SO2, dan selanjutnya keputusan diperluas menyangkut negara-negara berkembang pada Konvensi Copenhagen pada Desember 2009. CO2, NOX, dan SO2, atau yang lebih dikenal dengan sebutan gas rumah kaca, merupakan polutan udara yang saat ini mendominasi. Keberadaannya di alam saat ini makin meningkat, seiring dengan laju pertumbuhan industri, melebihi kadar yang seharusnya. Sehingga terjadilah ketidakseimbangan alam. Kontributor utama yang menyebabkan meningkatnya kadar gas-gas tersebut yaitu pembakaran bahan bakar fosil, seperti minyak dan batubara. Dengan ketersediaan sumberdaya alam batubara yang melimpah, lebih dari 75% suplai energi listrik di Indonesia disediakan oleh pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Angka tersebut diperkirakan akan naik, mengingat pemerintah saat ini telah mencanangkan program PLTU 10.000 MW tahap I, dimana akan dibangun 35 PLTU yang tersebar di seluruh Indonesia. 1
2
Gambar 1.1 Grafik Kapasitas Pembangkit Listrik Indonesia berdasarkan Bahan Bakar (Sumber: indone5ia.files.wordpress.com)
Padahal batubara merupakan bahan bakar fosil yang pembakarannya menghasilkan gas-gas polutan yang sangat berbahaya bagi lingkungan. Salah satunya adalah SO2 atau sulfur dioksida, yang menyebabkan terjadinya hujan asam. Sulfur dalam batubara yang terbakar akan bereaksi dengan oksigen sehingga menghasilkan SO2 pada gas buangnya. Bila tidak dilakukan pengontrolan dan upaya untuk mengurangi kadar SO2, akan sangat berbahaya bagi lingkungan dan nantinya juga akan berdampak buruk pada manusia. Pembakaran batu bara dengan kadar sulfur tinggi akan menghasilkan SO2 dalam jumlah besar dan dapat membahayakan lingkungan. Contoh kasus di Provinsi Zheijiang (Cina), dilaporkan bahwa pada tahun 1998 telah terjadi pencemaran udara akibat pembakaran batubara. Emisi gas SO2 mencapai 620 ribu ton dan asap debu 350 ribu ton serta hujan asam mencakup hingga 96% area provinsi tersebut dengan pH berkisar 4,05 – 4,76. Begitu krusialnya dampak yang diakibatkan oleh pencemaran sulfur dioksida sehingga dikeluarkan regulasi untuk mengaturnya.
3
Untuk dapat memenuhi peraturan tentang emisi udara, terutama saat harus membakar batu bara dengan kadar sulfur tinggi, diperlukan peralatan yang mampu menurunkan SO2 sebesar 90% atau lebih. Salah satu upaya yang cukup efektif untuk mengurangi kadar SO2 pada gas buang adalah dengan penyerapan menggunakan Flue Gas Desulfurization atau FGD. Melalui reaksi kimia antara SO2 yang bersifat asam dengan batu kapur yang bersifat alkali, kadar SO2 pada gas buang terbukti dapat menurun. Di Indonesia sendiri belum banyak PLTU yang memiliki FGD. Tercatat PLTU yang telah menggunakan teknologi FGD adalah PLTU Tanjung Jati B dan PLTU Paiton. FGD yang digunakan di Tanjung Jati B dan Paiton berbeda jenisnya. Pada PLTU Tanjung Jati B, digunakan jenis Wet Flue Gas Desulfurization, sedangkan Paiton menggunakan jenis Dry Flue Gas Desulfurization. Perbedaan mengenai kedua jenis tersebut akan dijelaskan pada bab selanjutnya. Dalam pengoperasian FGD, terdapat beberapa masalah yang kerap terjadi dan itu sangat mengganggu. Karena di Indonesia pengetahuan akan sistem FGD masih sangat terbatas, masalah-masalah yang sering terjadi terkadang mengharuskan perusahaan mendatangkan ahli dari luar negeri, biasanya dari perusahaan asing yang memproduksi FGD. Salah satu kasus yang sering terjadi pada sistem FGD di PLTU Tanjung Jati B adalah sulfite blinding, yaitu berkurangnya kemampuan batu kapur dalam menyerap sulfur, diakibatkan permukaan batu kapur yang tertutupi oleh sulfit. Sulfit merupakan produk yang tak diinginkan dalam sistem FGD karena sifatnya yang lengket dan mudah mengeras sehingga menyebabkan
4
pengerakan dan penyumbatan pada komponen-komponen FGD. Sulfit terbentuk dari hasil reaksi absorpsi antara batu kapur dan sulfur. Untuk mengubah sulfit menjadi sulfat, diperlukan reaksi kedua yaitu reaksi oksidasi. Pada reaksi oksidasi, sulfit akan ditambah dengan udara oksidasi sehingga akan menjadi sulfat yang merupakan bahan dasar pembuatan gipsum. Bila reaksi oksidasi tak lancar, proses konversi sulfit menjadi sulfat pun menjadi tersendat. Akibatnya, sulfit menumpuk. Karena sifatnya yang lengket dan mudah mengeras itulah sulfit dapat mengurangi permukaan aktif dari batu kapur, menyebabkan kemampuan menyerap sulfurnya berkurang. Akibat lebih lanjutnya, kadar sulfur dalam gas buang tidak akan terserap banyak, sehingga nantinya gas buang masih mengandung kadar sulfur yang amat tinggi. Untuk itulah penanganan dan pencegahan terhadap sulfite blinding sangat diperlukan demi tercapainya efisiensi penyerapan sulfur yang tinggi sehingga gas buang relatif lebih bersih dan tidak melebihi ambang batas yang telah ditetapkan pemerintah.
1.2 Ruang Lingkup Penelitian dilakukan di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati B unit 1. Maka dari itu sistem yang akan dijelaskan, termasuk sistem produksi listrik adalah sistem yang digunakan di PLTU Tanjung Jati B. Penelaahan dan kajian lebih mendalam tentang sistem FGD juga dititikberatkan pada sistem yang digunakan di PLTU Tanjung Jati B. Kajian meliputi sistem secara umum atau penjelasan cara kerja sistem.
5
Rincian lingkup yang akan menjadi pembahasan dalam Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut: 1. Kajian pustaka mengenai sulfur dioksida dan regulasi yang mengaturnya. 2. Kajian mengenai sistem Wet Flue Gas Desulfurization yang digunakan di PLTU Tanjung Jati B. 3. Kajian mengenai kasus sulfite blinding dan pengaruhnya terhadap efisiensi penyerapan sulfur dioksida di PLTU Tanjung Jati B unit 1 pada Bulan November tahun 2012.
1.3 Tujuan Tujuan dibuatnya Tugas Akhir terbagi menjadi dua, yaitu: 1. Tujuan akademis a. Sebagai syarat untuk menyelesaikan program studi Diploma III. b. Sebagai laporan dari implementasi ilmu yang telah didapat di bangku perkuliahan. 2. Tujuan penelitian a. Untuk mengetahui pengaruh terjadinya sulfite blinding terhadap efisiensi penyerapan sulfur dioksida. b. Untuk menghitung laju massa aliran udara oksidasi yang optimum agar reaksi oksidasi sempurna sehingga tidak terjadi sulfite blinding.
6
1.4 Manfaat Dengan disusunnya Tugas Akhir ini, diharapkan terdapat manfaatmanfaat yang bisa diambil, antara lain adalah: 1. Mengenalkan Sistem Flue Gas Desulfurization yang masih tergolong baru di Indonesia untuk Program Studi Teknik Konversi Energi pada khususnya, dan untuk Politeknik Negeri Semarang pada umumnya. 2. Tercapainya tujuan dari dunia industri untuk menghasilkan gas buang yang lebih bersih dan ramah lingkungan, sehingga proses produksi dan keseimbangan alam dapat terjaga.
1.5 Metodologi Penelitian Dalam penyusunan Tugas Akhir ini, metode-metode yang digunakan untuk mengumpulkan bahan dan data antara lain: 1. Studi pustaka Studi pustaka dilakukan untuk mencari referensi yang menunjang penyusunan laporan. Referensi bisa berbentuk buku, manual book, buklet, arsip hasil pengujian, serta informasi-informasi dari internet. Studi pustaka dilakukan sebelum terjun ke lapangan untuk observasi langsung dan setelah observasi. 2. Observasi Pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan secara langsung ke lapangan dan pengamatan secara tidak langsung. Pengamatan langsung
dilakukan
selama
beberapa
kali,
sesuai
dengan
kelengkapan data yang dibutuhkan. Sedangkan pengamatan secara
7
tidak langsung adalah dengan melihat arsip data yang ada di PLTU Tanjung Jati B. 3. Wawancara Wawancara juga dilakukan dalam rangka pengumpulan data. Wawancara dilakukan antara lain dengan mentor atau pembimbing lapangan.
1.6 Sistematika Penyusunan Sistematika penyusunan laporan Tugas Akhir ini adalah sebagai berikut: Bab I
Pendahuluan Bab ini berisi latar belakang masalah, ruang lingkup, tujuan, manfaat, metodologi penelitian, serta sistematika penyusunan itu sendiri.
Bab II
Tinjauan Pustaka dan Landasan Teoritis Dalam bab II ini dibahas mengenai proses produksi listrik di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Tanjung Jati B, mulai dari sistem bahan bakar hingga sistem distribusi energi. Selanjutnya dibahas mengenai sistem flue gas desulfurization yang digunakan di PLTU Tanjung Jati B. Pada bab ini juga dibahas mengenai sulfite blinding dan pengaruhnya terhadap efisiensi penyerapan SO2.
8
Bab III
Data dan Analisis Bab ini berisi data saat terjadinya sulfite blinding, grafik, dan perhitungan laju udara oksidasi. Selain itu hasil analisis data juga dicantumkan.
Bab IV
Penutup Bab ini berisi kesimpulan dari Tugas Akhir ini dan saran terkait dengan permasalahan yang diangkat.
Daftar Pustaka Berisi daftar buku atau referensi yang digunakan sebagai penunjang dalam penyusunan Tugas Akhir ini.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA DAN LANDASAN TEORITIS 2.1 Sistem PLTU Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batubara merupakan suatu sistem konversi energi, diawali dari energi kimiawi yang tersimpan pada batubara diubah menjadi energi panas melalui sistem pembakaran. Energi panas ini digunakan untuk mengubah air menjadi uap dengan suhu dan tekanan yang tinggi. Kemudian energi panas pada uap akan mampu memutar sudu turbin sehingga terjadilah konversi energi panas menjadi energi kinetik. Turbin yang telah dikopel dengan generator otomatis juga akan membuat generator berputar. Pada generator inilah listrik dihasilkan dan langsung disalurkan. Masing-masing unit di PLTU Tanjung Jati B berkapasitas sebesar 710 MW. Namun karena ada pemakaian sendiri, daya yang ditransmisikan menjadi sebesar 660 MW. Total kapasitas PLTU Tanjung Jati B adalah 4x660 MW. Dalam prosesnya, PLTU terdiri dari beberapa siklus dan sistem, yaitu: 1.
Sistem bahan bakar minyak
2.
Sistem bahan bakar utama (batubara)
3.
Siklus air umpan
4.
Sistem udara pembakaran
5.
Siklus uap
6.
Siklus air pendingin 9
10
7.
Sistem gas buang
8.
Sistem penanganan abu
9.
Sistem penanganan air limbah
10.
Generator
11.
Sistem transmisi
Gambar 2.1 Skema proses produksi listrik di PLTU Tanjung Jati B (Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)
2.1.1 Sistem bahan bakar minyak PLTU Tanjung Jati B menggunakan bahan bakar minyak HSD (High Speed Diesel) sebagai sistem starting. Minyak digunakan sebagai bahan bakar saat beban dibawah 160 MW serta digunakan saat terjadi gangguan. PLTU Tanjung Jati B bekerja sama dengan PT Pertamina untuk suplai minyak.
11
Minyak dari truk tangki dibongkar dan disimpan dalam oil tank. Dengan boiler oil pump, minyak menuju boiler dan dinyalakan dengan ignitor. Pada ignitor, minyak akan diatomisasi untuk memudahkan proses penyalaan.
2.1.2 Sistem batubara PLTU Tanjung Jati B merupakan pembangkit tenaga listrik dengan bahan bakar utama batubara. Batubara yang digunakan di PLTU Tanjung Jati B adalah jenis sub bituminous coal yang disuplai oleh PT Kaltim Prima Coal, PT Indominco Mandiri, PT Wijaya Karya Intrade dan PT Berau Coal, dikirim dengan menggunakan Kapal Panamax berkapasitas 60.000-70.000 ton. Coal handling adalah fasilitas penunjang terhadap kelangsungan produksi listrik dari PLTU Tanjung Jati B. Penerimaan batubara dari supplier batubara dilakukan di jetty (dermaga) atau pelabuhan khusus yang luas dermaganya adalah 279,9 m x 27 m. Akses menuju dermaga tersebut menggunakan jalan akses sepanjang 1,37 km yang membentang dari dari garis pantai. Peralatan utama untuk membongkar batubara terdiri dari 2 unit shunlo (ship unloader) dan 2 line conveyor. Kemudian diangkut dengan menggunakan jetty pada ship unloader. Selanjutnya menggunakan belt conveyor dengan kapasitas 1500 ton/jam, menuju ke coal stockpile (coal yard). Coal yard di PLTU Tanjung Jati berkapasitas 660.000 ton, yang mampu menampung konsumsi batubara selama 2 bulan. Dari coal yard batubara didistribusikan dengan stacker reclaimer (pengeruk) dan sistem conveyor dengan kapasitas 1500 ton/jam menuju crusher untuk dihancurkan.
12
Pecahan batubara ditampung pada silo yang kapasitasnya 550 ton untuk diatur pemakaiannya sesuai kebutuhan bahan bakar saat itu di coal feeder dan selanjutnya masuk pulverizer. Di pulverizer terjadi penggerusan batubara untuk mengubah batubara ukuran sekitar 20 mm menjadi berukuran 200 mesh atau sebesar 0,074 milimeter sebanyak minimal 70%.
Penggerusan ini berfungsi untuk
memaksimalkan luas permukaan kontak pembakaran dari partikel batubara. Selanjutnya hasil
penggerusan batubara
dihembuskan dengan
udara
bertemperatur sekitar 60 °C menuju ruang bakar. Tepung batubara dihembus dengan udara dari primary air fan ke ruang bakar boiler dan terbakar bercampur dengan udara pembakaran dari forced draft fan.
Gambar 2.2 Skema coal handling (Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)
13
2.1.3 Siklus air umpan Uap yang digunakan untuk memutar turbin merupakan hasil pemanasan dari air umpan yang berasal dari laut. Namun sebelum digunakan sebagai air umpan atau feed water, terlebih dahulu air harus ditreatment untuk memenuhi standar baku. Standar utama yang harus dipenuhi adalah air harus bebas dari mineral dan oksigen serta berbagai senyawa bawaan. Karena akan sangat berbahaya bagi komponen-komponen PLTU terutama turbin bila air umpan mengandung berbagai senyawa yang tak diinginkan. Air bebas mineral didapatkan melalui sistem pemurrnian air laut yang diproses di Water Treatment Plant. Proses desalinasi adalah proses pemisahan air laut dari kandungan garamnya. Service water merupakan air yang telah dihilangkan kandungan garamnya melalui proses reverse osmosis sehingga dapat digunakan untuk mencukupi kebutuhan di PLTU. Sedangkan proses demineralisasi adalah proses pemurnian service water dari kandungan mineral-mineral untuk menjadi make up water.
14
Sea Water
Reserve Osmosis
Service Water
Pre-Treatment
Desalination Plant
Kation
Anion
Mixed Bed Polisher
Make Up Water
Demineralized Plant
Gambar 2.3 Skema proses water treatment (Sumber: PT PLN Tanjung Jati B)
Air yang telah murni dari water treatment plant selanjutnya dipompakan ke kondenser. Dengan bantuan pompa vakum, uap keluaran low pressure turbine akan turun ke kondenser. Dalam kondenser, terjadi perpindahan panas secara tidak langsung melalui pipa-pipa. Air pendingin atau cooling water yang
melalui
pipa-pipa
kondenser
bersuhu
rendah
sehingga
dapat
mendinginkan uap dan uap terkondensasi menjadi cair. Air hasil ekstraksi tersebut bercampur dengan make up water yang berasal dari water treatment plant. Berikut adalah spesifikasi kondenser yang digunakan pada PLTU Tanjung Jati B unit 1 dan 2.
Condenser vacuum
: 0.0832 Bar abs
Inlet C.W. Temp.
: 29.2 ⁰C
Output C.W. Temp.
: 36.2 ⁰C
15
Circulating water flow : 1,780 m3/mnt
Type circulating water : Sea water
Number of tubes
: 34,074
Tube surface area
: 27.523 m2
Dari kondenser, air dipompa oleh Condenser Extraction Pump menuju Low Pressure Pre Heater atau LP Heater 1, LP Heater 2, dan LP Heater 3 sebagai pemanasan awal. Selanjutnya, air menuju deaerator untuk dihilangkan kandungan oksigennya. Oksigen tak diinginkan karena dapat merusak turbin secara lebih cepat akibat proses oksidasi. Dari deaerator, air dipompakan menuju HP Heater 5, HP Heater 6, dan HP Heater 7 untuk dipanaskan lagi menggunakan boiler feed pump dengan spesifikasi sebagai berikut:
Number
: 3 x 50%
Capacity
: 21.5 m3/min at 174.3 ⁰C
Driver Output : 9000 kW
Driver Speed : Electric motor driven variable speed
Air umpan sebelumnya dipanaskan agar proses penguapan di boiler dapat berlangsung lebih cepat, sehingga menambah efisiensi. Proses pemanasan adalah dengan menggunakan sebagian uap keluaran turbin. Setelah melewati feed water heater, air menuju economizer untuk pemanasan lebih lanjut dan selanjutnya menuju steam drum. Dari steam drum, air yang sudah berubah menjadi uap akan melalui super heater dan menuju ke turbin. Proses tersebut terjadi secara kontinu sehingga membentuk siklus.
16
2.1.4 Sistem udara pembakaran Udara yang akan disuplai ke ruang pembakaran terlebih dahulu dipanaskan agar mencapai efisiensi pembakaran yang baik. Pemanasan dilakukan oleh air heater dengan cara konduksi dengan memanfaatkan panas dari gas buang sisa pembakaran didalam furnace. Udara yang akan digunakan untuk pembakaran terbagi menjadi dua saluran. Yang pertama melalui primary air fan atau PA Fan. PA Fan berfungsi menghasilkan primary air yang berfungsi antara lain untuk:
Mensirkulasikan batubara didalam pulverizer
Membantu mengeringkan batubara
Mendorong batubara dari pulverizer ke burner
Primary air berkontribusi sekitar 25% dari total udara pembakaran yang dibutuhkan. Sedangkan saluran kedua, udara melewati forced draft fan. FD Fan berfungsi menghasilkan secondary air untuk mensuplai udara langsung ke ruang pembakaran. Secondary air adalah udara yang digunakan untuk proses pembakaran. Sekitar 66% udara yang digunakan untuk proses pembakaran adalah secondary air.
2.1.5 Siklus uap Uap merupakan fluida kerja yang menggerakkan turbin. Uap pada PLTU berasal dari hasil pemanasan air umpan di dalam boiler. Karena pemanasan tersebut, air berubah fase menjadi uap dan nantinya tekanannya akan dinaikkan sehingga memiliki energi yang cukup untuk menggerakkan turbin.
17
Boiler Feed Pump adalah pompa yang berfungsi untuk mengalirkan air umpan menuju boiler. Air pada tekanan 2 bar dinaikkan tekanannya menjadi 170 bar oleh BFP. Sebelum masuk ke dalam boiler, air dipanaskan dengan menggunakan HP heater 5, HP heater 6, HP heater 7. Penambahan temperatur pada HP Heater 5, 6, dan 7 menggunakan uap yang dibocorkan dari HP Turbine yang disebut juga Extraction. Heater berfungsi untuk menaikkan temperatur air umpan sebelum masuk ke boiler. Dengan heater, efisiensi pemanasan akan meningkat. Pada economizer, temperatur air kembali dinaikkan. Economizer terletak di dalam boiler yang kalornya didapat dari pembakaran boiler. Setelah melalui economizer, uap dimasukan ke steam drum yang fungsinya untuk memisahkan antara uap dengan air. Air dari steam drum akan dialirkan menuju wall tube pada boiler untuk dipanaskan agar menjadi uap. Sedangkan uap dari steam drum langsung dipanaskan dengan menggunakan super heater agar temperatur naik dan menjadi uap superheat. Uap superheat dengan temperatur sekitar 541°C dan tekanan 174 bar digunakan untuk memutar High Pressure Turbine (HP Turbine) melalui Main Control Valve (MCV). MCV dikontrol secara otomatis secara motorized berdasarkan beban. Saat start up, turbin tidak digerakkan oleh uap melainkan dengan turning motor. Setelah uap siap, yaitu uap dengan tekanan 174 bar dan temperatur 541⁰ C, MCV akan dibuka. Uap akan mengalami penurunan temperatur dan tekanan setelah menumbuk sudu HP Turbine, untuk itu uap dialirkan ke reheater agar temperatur uap kering dapat naik kembali menjadi sekitar 539 °C dengan
18
tekanan sekitar 37,9 bar. Kemudian uap tersebut digunakan untuk memutar Intermediate Pressure Turbine (IP Turbine), setelah itu uap kering langsung digunakan untuk memutar Low Pressure Turbine (LP Turbine). PLTU menggunakan turbin multi stage untuk memaksimalkan pemanfaatan uap sehingga efisiensi dapat meningkat. HP, IP, dan LP Turbine dikopel sehingga seporos. Uap kering yang telah melalui serangkaian proses tersebut, masuk ke dalam kondenser untuk didinginkan dengan cooling water yang berasal dari air laut dengan menggunakan proses heat exchanger secara cross flow. Setelah itu uap berubah menjadi air kembali. Pada kondenser diberikan penambahan air yang disebut make up water untuk menambah jumlah feed water karena pada proses blowdown terjadi pembuangan uap. Untuk menjaga kualitas dari uap dan air yang disirkulasikan, dilakukan sistem blowdown, yaitu membuang sebagian kecil uap melalui suatu katup bernama blowdown valve. Tujuan dari blowdown adalah untuk menjaga agar uap yang disirkulasikan benar-benar tidak mengandung oksigen atau senyawa lain yang tak diinginkan yang dapat merusak turbin. Tekanan pada boiler dibuat negatif, agar tidak terjadi radiation loss. Radiation loss adalah hilangnya panas yang harus disalurkan akibat panas berpindah ke permukaan pipa. Berikut adalah gambar diagram T-S dan skema siklus uap di PLTU Tanjung Jati B.
19
Gambar 2.4 Skema siklus uap (Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)
Gambar 2.5 Diagram T-S (Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)
20
2.1.6 Siklus air pendingin Air pendingin dibutuhkan untuk mengkondensasikan uap keluaran Low Pressure Turbine sehingga air hasil ekstraksi bisa dialirkan kembali untuk menjadi air umpan boiler. Air pendingin tersebut diambil dari laut oleh cooling water pump dan dipompakan menuju kondenser. Pada kondenser, air dialirkan dalam pipa-pipa yang berfungsi sebagai alat penukar panas (heat exchanger) dan langsung mengalir keluar menuju saluran cooling water outfall.
2.1.7 Sistem gas buang Gas sisa pembakaran dari boiler dilewatkan air preheater, dimanfaatkan panasnya untuk meningkatkan suhu udara pembakaran. Setelah itu, gas buang menuju ke ESP atau Electronic Precipitator. ESP adalah komponen yang berfungsi untuk menyerap abu sisa pembakaran dalam gas buang sebelum gas buang ditreatment lebih lanjut. Abu yang terkandung dalam gas buang apabila tidak dihilangkan akan mencemari lingkungan. Pada ESP, gas buang dilewatkan pada suatu medan listrik yang terbentuk diantara discharge electrode dengan collector plate. Flue gas yang awalnya bermuatan netral, setelah melewati medan listrik akan terionisasi sehingga menjadi bermuatan negatif. Partikel debu yang bermuatan negatif akan menempel pada collector plate. Debu yang terkumpul pada collector plate kemudian dipindahkan secara periodik melalui suatu getaran (rapping) dari collector plate ke pengumpul debu (ash hopper) dan kemudian dipindahkan ke fly ash silo.
21
Setelah melalui ESP, flue gas masih harus melalui FGD atau Flue gas Desulfurization untuk dihilangkan kandungan sulfurnya. Kandungan sulfur pada flue gas sangat berbahaya apabila dilepaskan begitu saja ke atmosfer karena dapat menyebabkan hujan asam. Pada FGD, kandungan sulfur pada flue gas dinetralisir dengan semprotan kapur secara counter flow. Setelah melalui FGD, flue gas menuju ke stack atau cerobong untuk dilepaskan ke atmosfer.
Gambar 2.6 Skema alur flue gas (Sumber: PT PLN Tanjung Jati B)
2.1.8 Sistem penanganan abu Sistem penanganan abu pada PLTU Tanjung Jati B terbagi menjadi 2 bagian. Yang pertama, penanganan abu dasar, menggunakan submerged charged chain conveyor (konveyor pengeruk) yang berada dibawah ruang
22
pembakaran dan terendam air. Dari konveyor, abu dasar dicurahkan ke area penampungan, untuk kemudian diambil oleh loader dan dikirim menggunakan truk menuju ke area penimbunan. Yang kedua adalah fly ash yang terdapat pada flue gas. Fly ash pada flue gas ditangkap dan dikumpulkan oleh electronic precipitator. Dari ESP, fly ash dikumpulkan ke truk tertutup untuk diangkut menuju tempat pembuangan abu atau dibawa ke industri semen.
2.1.9 Sistem penanganan air limbah Pada beberapa bagian dari saluran air terdapat katup blowdown untuk pembersihan. Air keluaran blowdown tersebut langsung menuju ke retention basin. Retention basin adalah tempat penampungan air-air buangan atau limbah dari berbagai komponen PLTU. Flue Gas Desulfurization juga menghasilkan air limbah yang menuju ke retention basin. Air-air buangan lainnya antara lain berasal dari air buangan tungku, air limpasan dari sistem penanganan batubara, air limpasan penanganan abu, dan lain-lain. Di retention basin, air kemudian menuju ke Waste Water Treatment Plant (WWTP) untuk dinetralkan pada neutralization basin. Setelah air menjadi netral, langsung menuju ke discharge atau saluran keluaran. Terdapat alat yang digunakan untuk memantau proses dan memantau kualitas air yang dibuang. Bila air keluaran ternyata tidak memenuhi standar baku mutu maka akan dikembalikan lagi untuk diproses ulang.
23
2.1.10 Generator Generator adalah mesin konversi energi yang mengubah energi kinetik menjadi energi listrik. Rotor generator terpasang 1 poros dengan rotor turbin sehingga putaran rotor generator sama dengan putaran rotor turbin yaitu sebesar 3.000 rpm yang ekuivalen dengan keluaran frekuensi energi listrik sebesar 50 Hz.
Saat berputar, medan magnet pada rotor generator memotong penghantar pada lilitan-lilitan stator sehingga menimbulkan tegangan pada stator generator mengacu pada induksi elektromagnetik. Arus listrik mengalir saat generator terhubung ke beban. Besarnya arus listrik yang mengalir tergantung pada besarnya hambatan listrik (resistansi) pada beban. Pengaturan tegangan dan arus listrik akan dilakukan dengan menggunakan transformator (trafo) step up/down. Generator di PLTU Tanjung Jati B berjumlah 4 unit, merupakan generator sinkron 3 phasa yang menghasilkan masing-masing 22,8 kV. Kemudian dinaikkan menggunakan generator transformer menjadi 2 x 500 kV untuk dikirim menuju Ungaran dan 2 x 150 kV untuk dikirim ke Jepara. Adapun Spesifikasi Generator yang digunakan di PLTU Tanjung Jati B: Type
: 3 phase synchronous generetor totally enclosed
Stator Wind. Cool. : Direct water cooled Stator Core Cooling : Hydrogen cooled Rotor Wind. Cool. : Direct hydrogen cooled Excitation System : Static excitation with thyristor rectifier Active Power
: 721.8 MW
Apparent Power
: 802 MVA
24
Power Factor
: 0.9 (lag) – 0.95 (lead)
Voltage
: 22.8 kV
Speed Rotation
: 3,000 rpm
Frequency
: 50 Hz
Rated H2 Pressure : 4.4 barg
2.1.11 Sistem transmisi Sistem transmisi Tanjung Jati B adalah proses penyaluran listrik yang dihasilkan PLTU Tanjung Jati dari generator yang diputar oleh turbin. Listrik yang dihasilkan PLTU Tanjung Jati B dikirim ke gardu induk (GI) Ungaran melalui 500kV line. Untuk sistem SUTET (Saluran Udara Tegangan Ekstra Tinggi) 500 kV diturunkan kembali dengan Trafo IBT 500/150 kV menjadi 150 kV menuju GI Jepara dan sistem 20 kV melalui Town Feeder Trafo 150/20 kV untuk Jaringan Distribusi 20 kV sekitar PLTU Tanjung Jati B. Arus pada generator di PLTU Tanjung Jati B adalah 800 A. Sedangkan arus maksimal pada line sistem transmisinya hingga 2500 A. Excitation System pada masing-masing unit pembangkit mempunyai trafo step-down dari 22.8 kV yang dihasilkan oleh generator diturunkan menjadi 890 V untuk sistem penguatan generator. Pada sistem di Unit Transformator A (UTA) dan Unit Transformator B (UTB), 22.8 kV yang dibangkitkan diturunkan menjadi 10.5 kV untuk membangkitkan peralatan pada Unit tersebut yang dayanya hingga 50 MVA. Daya yang dibangkitkan PLTU Tanjung Jati B adalah 710 MW untuk setiap unitnya, tetapi sekitar 50 MW digunakan untuk membangkitkan
25
peralatan. Jadi daya bersih yang dihasilkan PLTU Tanjung Jati B adalah 4 x 660 MW. Transmission Line of TJB Jepara
Jepara
1
Ungaran 1
Arus max 2500 A
2
Ungaran 2
Arus Min 250 A
IBT 1
IBT 2 500/150 KV
CB
CB CB
GT 22.8/ 528 KV
GT
GT
GT
2
1
4
3
EXITATION SYSTEM
UTA
UTB 22.8/10.5 KV
22.8 KV 800 A
G
G
U .1
U. 2
G
G 22.8/ 890 V
U. 3
59 KVA 59 KVA
U. 4
Gambar 2.7 Transmission Line PLTU TJB (Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B) Spesifikasi generator transformer yang digunakan adalah: Rated power
: 786 MVA at 65 oC winding temp.
Phase
:3
Voltage
: 22.8/525 kV
Vector Groups
: YNd11
Cooling
: ODAF
Tap Changer
: NO-LOAD, + 5 %, 5 steps
26
PLTU Tanjung Jati B sendiri sejak tahun 2006 telah mensuplai sekitar 7% dari total kebutuhan listrik Jawa-Madura-Bali. Dan setelah unit 3 dan 4 dioperasikan, PLTU Tanjung Jati B berkontribusi sekitar 11,5% dari total kebutuhan listrik Jawa-Madura-Bali.
Gambar 2.8 Posisi PLTU TJB di sistem transmisi Jawa-Bali (Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)
2.2 Sulfur Dioksida dan Regulasinya Pencemaran oleh sulfur oksida terutama disebabkan oleh 2 komponen sulfur berbentuk gas yang tidak berwarna, yaitu sulfur dioksida (SO2) dan sulfur trioksida (SO3), kedua gas tersebut dikenal dengan sulfur oksida (SOX). Sulfur dioksida memiliki karakteristik bau yang tajam dan tidak mudah terbakar di udara. Sedangkan sulfur trioksida merupakan komponen yang tidak reaktif. Pembakaran bahan-bahan yang mengandung sulfur akan menghasilkan kedua bentuk sulfur oksida, tetapi jumlah relatif masing-masing tidak dipengaruhi oleh jumlah oksigen. Di udara SO2 selalu terbentuk dalam jumlah yang besar. Jumlah SO3 yang terbentuk bervariasi antara 1-10 % dari total SOX.
27
Pengaruh utama polutan SO2 terhadap manusia adalah iritasi saluran pernafasan. Beberapa penelitian menunjukkan bahwa iritasi tenggorokan terjadi pada kadar SO2 sebesar 5 ppm atau lebih bahkan pada beberapa individu yang sensitif iritasi terjadi pada kadar 1-2 ppm. SO2 dianggap pencemar yang berbahaya bagi kesehatan terutama terhadap orang tua dan penderita yang mengalami penyakit kronis pada sistem pernafasan kadiovaskular. Individu dengan gejala penyakit tersebut sangat sensitif terhadap kontak dengan SO2, meskipun dengan kadar yang relatif rendah. (jurnalingkungan.wordpress.com)
Tabel 2.1 Pengaruh sulfur dioksida berdasarkan kadarnya. Konsentrasi Pengaruh ( ppm ) 3–5
Jumlah terkecil yang dapat dideteksi dari baunya
8 – 12
Jumlah terkecil yang segera mengakibatkan iritasi tenggorokan
20
Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan iritasi mata
20
Jumlah terkecil yang akan mengakibatkan batuk
20
Maksimum yang diperbolehkan untuk konsentrasi dalam waktu lama
50 – 100 Maksimum yang diperbolehkan untuk kontrak singkat (30 menit) 400 -500 Berbahaya meskipun kontak secara singkat
Sumber: jurnalingkungan.wordpress.com
28
Selain itu, pencemaran oleh sulfur dioksida sangat merusak lingkungan. Adanya sulfur dioksida yang berlebih dalam udara dapat menyebabkan terjadinya hujan asam. Salah satu sifat dari senyawa sulfur dioksida adalah mudah larut dalam air dan membentuk asam sulfat. Jika asam sulfat bereaksi dengan air maka akan menyebabkan terjadinya hujan asam (acid rain). Reaksi kimia sulfur dioksida dengan air hujan adalah sebagai berikut: 2 SO2 + O2 → 2 SO3 SO3 + H2O → H2SO4 Asam sulfat merupakan asam kuat yang bersifat sangat korosif. Karena sifat korosifnya ini, hujan asam dapat menyebabkan korosi pada berbagai material baik dari peralatan maupun konstruksi. Asam sulfat juga dapat menurunkan pH pada air dan tanah sehingga kualitas air dan tanah menjadi menurun. Batubara Indonesia memiliki kadar sulfur antara 0,3 – 6% dari beratnya. Meski kandungan sulfur dalam batubara tersebut tergolong minor, bila pembakaran dilakukan dalam kapasitas besar, hingga berton-ton per hari, dapat menghasilkan sulfur dioksida dalam jumlah besar pula. Jika suatu bahan batubara mengandung sulfur 1% maka dalam pembakaran batubara tersebut sebanyak 100 ton per hari akan menghasilkan sulfur maksimal 1 ton, membentuk gas SO2 maksimal 2 ton, membentuk polutan SO2 maksimal 0,1 ppm dalam 1,4 x 1010 m3 udara (Aladin, 2011). Emisi SO2 telah diatur oleh provisi aturan CAAA (Clean Air Act Amandment) pada tahun 1990. Clean Air Act sebenarnya disahkan pada tahun 1970, kemudian mengalami amandemen pada tahun 1977 dan amandemen
29
terbaru pada tahun 1990. CAAA mengharuskan adanya penurunan emisi SO2 yang cukup tinggi dari boiler yang beroperasi pada tahun 2000 dan mengumumkan penurunan setiap tahun sesudahnya. Selain itu, Konferensi Tingkat Tinggi tentang Bumi (The Earth Summit) di Rio de Janeiro pada Juni tahun 1992 telah menghasilkan ISO (International Standard
Organization)
14000
tentang
Standar
Sistem
Manajemen
Lingkungan yang meliputi berbagai masalah terkait lingkungan, salah satunya adalah emisi udara. (Murdiyoso, 2003) Di
Indonesia
sendiri,
Kementerian
Lingkungan
Hidup
telah
mengeluarkan regulasi untuk mengatur dan membatasi emisi gas buang untuk pembangkit listrik tenaga termal, termasuk yang berbahan bakar batu bara. Dalam Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) no. 21 tahun 2008 tentang Baku Mutu Emisi Sumber Tidak Bergerak Bagi Usaha dan/atau Kegiatan Pembangkit Tenaga Listrik Termal, tertulis bahwa kadar SO2 maksimum yang diizinkan dalam gas buang Pembangkit Listrik Tenaga Uap berbahan bakar batu bara adalah sebesar 750 mg/Nm3. Ambang batas tersebut dapat dilampaui sampai batas 5% dari data rata-rata harian selama 3 bulan operasi bila pembangkit tersebut telah memasang CEMS (Continuous Emission Monitoring System) pada cerobongnya.
30
2.3 Penanganan Emisi SO2 dari Pembangkit Listrik 2.3.1 Pendahuluan Clean Coal Technology (CCT) Program atau program pemanfaatan batubara bersih di Amerika Serikat merupakan suatu program hasil kerjasama antara pemerintah dan swasta dalam membiayai program inovasi baru tentang pemanfaatan batubara yang ramah lingkungan di berbagai lokasi di Amerika Serikat. Proyek ini telah dilaksanakan dalam skala yang cukup besar untuk menghasilkan informasi tentang pemanfaatan teknologi tersebut secara komersial dan menghasilkan data-data pencemaran, data konstruksi, operasi, dan evaluasi teknis serta ekonomis pada ukuran komersial secara penuh. Tujuan dari CCT yang utama adalah menyediakan teknologi pemanfaatan batubara yang efisien dan dapat memenuhi syarat-syarat standar lingkungan. Teknologi ini diharapkan dapat mengatasi berbagai hambatan oleh syarat-syarat standar lingkungan yang membatasi penggunaan batubara. Untuk mencapai tujuan tersebut, sejak tahun 1985, lima program utama telah dirintis oleh Departemen Energi Amerika Serikat (US DOE), khususnya Federal Energy Technology Center (FETC). Proyek-proyek yang dipilih melalui tahap penyaringan ini mendemonstrasikan pilihan teknologi yang dapat memenuhi kebutuhan sektor energi dan memenuhi persyaratan lingkungan hidup. Sebagian dari program ini adalah demonstrasi teknologi yang disebut sebagai proses Flue Gas Desulfurization (FGD) yang dirancang untuk mengurangi emisi sulfur dioksida dari pembangkit-pembangkit listrik berbahan bakar batubara. Tiga buah proyek CCT yang telah selesai dan telah berhasil memperlihatkan penurunan emisi SO2 melalui usaha-usaha inovasi pada proses
31
FGD tersebut telah dibahas dalam sebuah laporan khusus. Tujuan dari ketiga proyek tersebut adalah untuk memperoleh angka penurunan SO2 lebih dari 90%. Sasaran ini dapat dicapai dengan mengurangi kadar SO2 hingga 98%. Pemindahan partikel-partikel pengotor dengan tingkat efisiensi tinggi juga berhasil diperoleh. (Abdulkadir, 2011)
2.3.2 Teknologi pengendalian emisi SO2 Sebagian besar teknologi untuk mengendalikan emisi SO2 menyangkut pemakaian sistem penyerapan dengan senyawa berbasis kalsium dalam sistem. Dalam kondisi normal, material ini akan bersenyawa dengan SO2 untuk membentuk kalsium sulfit (CaSO3) yang kemudian teroksidasi menjadi kalsium sulfat (CaSO4). Karena harganya yang murah, limestone dan lime adalah material yang paling sering dipakai untuk penyerapan. Pada sebagian besar pemakaian, penyerap (sorbent) ini dilarutkan dalam campuran slurry dengan air. Kontak antara gas buang dengan slurry terjadi dalam alat yang disebut scrubber. Atau dengan cara lain, sorbent atau penyerap disemprotkan langsung ke dalam ruang bakar (furnace) atau ke dalam saluran gas buang. Pengalaman untuk membersihkan SO2 dari gas buang yang berasal dari batubara dilakukan antara tahun 1920-1930, pada saat instalasi pembersihan (scrubber) dibangun di Inggris. Instalasi ini ditutup selama Perang Dunia II sehingga sistem pembangkit listrik Inggris tidak mudah dideteksi oleh pasukan Jerman yang dapat mengikuti arah asapnya. Scrubber pertama ini sudah mampu mengurangi SO2 sebesar 90%. Teknologi scrubber terus dikembangkan hingga tahun 1960 dengan pembangunan instalasi di Amerika Serikat, Eropa, dan
32
Jepang. Akan tetapi, di Amerika Serikat, instalasi ini tidak dimanfaatkan dengan baik sehingga diberlakukan Clean Air Act pada 1970. Di Amerika Serikat, banyak pembangkit listrik yang dilengkapi dengan scrubber pada tahun 1970 hingga awal 1980. Peralatan ini sebagian besar dipasang pada pembangkit listrik yang baru dibangun karena belum ada kewajiban menurut undang-undang untuk memasang scrubber pada instalasiinstalasi lama yang sudah ada. Sekitar tahun 1980, pembangunan pembangkit listrik menurun. Hal ini menyebabkan pemasaran teknologi scrubber pindah ke luar negeri, dimana terdapat perkembangan teknologi yang berbasis nol pencemaran lingkungan. Namun saat ada keharusan untuk mengatasi hujan asam, sesuai dengan aturan Clean Air Act Amandment (CAAA) tahun 1990, terjadi peningkatan pasar terhadap teknologi scrubber di Amerika Serikat. Perkembangan teknologi selanjutnya terus meningkatkan kinerja (performance) dan penurunan biaya. Perkembangan teknologi pengurangan SO2 pada gas buang pada saat itu terdiri dari antara lain: a) Sistem injeksi penyerap (sorbent) kering dan semikering Suatu kalsium reaktif atau sodium-based absorbent diinjeksikan ke dalam economizer atau saluran gas buang, dimana partikel-partikel yang disemprotkan bereaksi dengan SO2 sehingga dapat dipindahkan bersama dengan fly ash dengan cara boilers pacticulate control device. Dua calcium based sorbent yang paling sering digunakan adalah limestone, CaCO3, dan slaked lime Ca (OH2). Limestone yang umumnya memerlukan suhu reaksi yang tinggi, biasanya diinjeksikan kedalam sebagai bubuk kering (dry
33
powder). Tetapi, sebaliknya, lime biasanya ditangani sebagai slurry yang mengering seketika setelah diinjeksikan ke dalam aliran gas buang yang panas. Metode ini disebut semi-dry scrubbing, yang mendominasi pasaran sistem injeksi sorbent. Seluruh sistem semi-dry sorbent di Amerika Serikat memakai lime dan fly ash yang didaur ulang (recycled) sebagai sorbent. Sistem ini meliputi kurang lebih 8-10% dari seluruh instalasi FGD di Amerika Serikat. b) Produksi asam sulfat Meskipun jarang dimanfaatkan, pendekatan lain adalah mengoksidasi SO2 menjadi SO3 melalui suatu katalisator dan mengabsorpsinya dalam air untuk menghasilkan asam sulfat (H2SO4) yang memiliki nilai jual yang cukup tinggi. c) Teknologi FGD basah konvensional Sistem FGD basah konvensional (conventional wet FGD technology) umum didesain untuk penyerapan SO2 dengan efisiensi sekitar 90%, yang merupakan level yang disyaratkan untuk memenuhi standar kualitas udara saat membakar batubara dengan kadar sulfur yang tinggi. Skema proses untuk sebagian besar sistem FGD jenis basah pada dasarnya adalah: gas buang dari pengumpul partikulat mengalir kearah absorber SO2, energi yang diperlukan untuk mengatasi sistem FGD pressure drop diberikan oleh Induce Draft (ID) Fan. Didalam absorber, suatu varietas dari teknologi yang spesifik mengatur kontak antara gas buang dengan cairan slurry. Gas yang mengalir per unit luas penampang, yang menentukan diameter scrubber, harus cukup rendah untuk meminimalkan hambatan.
34
Karakteristik mass-transfer akan menghitung keperluan tingginya absorber. Setelah kontak dengan slurry, flue gas yang telah dibersihkan melewati eliminator bintik-bintik air yang membuang butiran-butiran kecil slurry saat masuk. Eliminator bintik-bintik air perlu dibersihkan secara periodik dengan air. d) Inovasi teknologi FGD basah Perubahan baru terhadap scrubbers yang ada sekarang signifikan dengan teknologi wet scrubber pada tahun 1970. Wet scrubbers yang baru mempunyai efisiensi lebih tinggi, harga lebih rendah, dan kompak. Scrubber ini telah mengeliminasi permasalahan waste disposal system dengan memakai sistem oksidasi limpahan kalsium sulfit menjadi gipsum berkualitas tinggi. Sistem ini sangat reliable sehingga tidak diperlukan sistem serap dan telah diterima dengan baik oleh industri pembangkit listrik di Amerika Serikat, Eropa, dan Jepang, serta memenuhi syarat-syarat yang ditetapkan dalam CAAA.
2.3.3 Sistem penyaringan kering untuk pengendalian SO2 Campuran cairan dan serbuk batubara diambangkan dan diputar dengan memakai campuran kering untuk mereduksi SO2 didalam aliran gas buang, bertempat di ruang pencampuran. Di dalam CFB (Circulating Fluidized Bed) sistem campuran kering (dry scrubber process), cairan kapur diinjeksikan langsung ke dalam CFB. Air juga diinjeksikan ke dalam campuran agar memperoleh suasana campuran operasional mendekati suhu campuran adiabatik. Proses ini memindahkan CO2 dengan efisiensi kurang lebih 93-97%.
35
Gas buang memasuki reaktor CFB dari bawah, kemudian mengalir vertikal ke atas melalui suatu venturi dan masuk ke dalam saluran silinder. Tinggi saluran ini dirancang agar dapat mengakomodasi jumlah massa dari material yang diperlukan untuk mencapai waktu pencampuran selama kurang lebih 3 detik. Semua masukan material dari luar yang disirkulasikan, pelarut (sorbent) yang masih segar, dan gas yang dibasahi air dimasukkan ke dalam arus gas melalui dinding yang membesar pada saluran. Proses ini mudah diatur dan dilakukan karena tidak memerlukan peralatan suhu tinggi seperti pompa slurry yang abrasif, water otomiser, atau pengering limbah cair. Proses ini dapat mencapai tingkat efisiensi pemisahan SO2 diatas 95%. Dalam sistem pencampur padat yang berputar, serbuk penyerap kering terdiri dari serbuk batubara dan kapur (lime) yang diinjeksikan kedalam absorber. Dalam praktiknya, banyak peralatan yang menggunakan proses semacam ini dapat mencapai penyerapan SO2 diatas 90%. (Abdulkadir, 2011)
2.3.4 Desulfurisasi gas buang dengan sistem FGD Ariono Abdulkadir dalam bukunya yang berjudul Teknologi Pembangkit Listrik Ramah Lingkungan membagi proses desulfurisasi gas buang dalam enam kategori, yaitu: a) Sistem wet scrubbers b) Spray dry scrubbers c) Sorbent injection process d) Dry scrubbers e) Referable system
36
f) Combined SO2/Nox removal process Sistem wet scrubbers memimpin di pasar FGD diseluruh dunia, diikuti oleh sistem spray dry scrubbers dan sorbent injection system. Instalasi kombinasi SO2/Nox yang dapat dipisahkan dan digabung mempunyai andil kecil dalam pemasaran dan diperkirakan tidak akan mengalami perubahan dalam waktu dekat menurut
penelitian yang dilakukan terhadap kebutuhan
pemasangan FGD. Teknologi baru yang berkembang adalah sistem injeksi (penyemprotan) sorbent, dan jenis instalasi FGD ini akan lebih banyak diaplikasikan pada pembangkit listrik yang sudah tua.
2.3.5 Scrubbers sistem semprot kering untuk kontrol SO2 Scrubbers sistem semprot kering (spray dry scrubber) memerlukan pemakaian suatu alat pengendali partikel seperti Electronic Precipitator (ESP) atau filter kain. Suatu fasilitas daur ulang (recycling) akan memperbaiki pemanfaatan sorbent dan sistem pembuangan produk sampingan (by product). Sorbent yang biasanya dipakai adalah lime dan kalsium oksida. Campuran slurry dengan lime, yang juga disebut susu lime (lime milk) diatomisasi dan disemprotkan kedalam reaktor vessel dalam bentuk butiran air kecil-kecil seperti awan (droplets). Air dievaporasi oleh panasnya gas buang. Resident time kurang lebih 10 detik dalam reaktor cukup untuk membiarkan SO2 dan gas-gas asam lainnya, seperti SO3 dan HCl, untuk bereaksi secara bersamaan dengan lime (kapur) yang terhidrasi, untuk membentuk campuran kering yang terdiri dari kalsium sulfat dan sulfit. Pembersihan air bekas pakai tidak diperlukan pada sistem spray dry
37
scrubbers sebab air telah sepenuhnya terevaporasi dalam spray dry absorber. Produk sampingan (by product) juga mengandung lime yang tidak bereaksi, dapat didaur ulang dan dicampur dengan fresh lime slurry untuk meningkatkan efisiensi sorbent. Faktor-faktor yang memengaruhi sifat-sifat absorpsi meliputi suhu gas buang, konsentrasi SO2 dalam gas buang, dan ukuran butir-butir atomis dari slurry yang disemprotkan. Material konstruksi dari absorber biasanya carbon steel yang dapat membuat proses yang diinginkan menjadi tidak mahal dalam capital cost dibandingkan dengan sistem wet scrubbers. Akan tetapi, keperluan pemakaian kapur (lime) dalam proses ini akan meningkatkan biaya operasi. Spray dry scrubbers adalah jenis teknologi kedua dari FGD yang paling banyak digunakan. Tetapi, penggunaannya dibatasi pada volume gas buang pada pembangkit-pembangkit berukuran 200 MW secara rata-rata. Pembangkit yang lebih besar akan memerlukan beberapa jenis modul untuk dapat menangani jumlah gas buang yang ada. Itulah sebabnya, pada umumnya, teknologi ini dipakai pada pembangkit berukuran kecil dan medium dengan bahan bakar batubara. Spray dry scrubbers di dalam pemakaian komersial telah mencapai efisiensi pengambilan partikel-partikel diatas 90% dan beberapa pabrikan telah menjanjikan angka efisiensi yang dapat dicapai diatas 95%.
2.3.6 Sistem scrubbers basah untuk pengendalian SO2 Jenis scrubber yang paling banyak digunakan pada teknologi FGD untuk pengendalian SO2 di seluruh dunia adalah wet scrubbers. Sorbent berbasis kalsium, sodium, dan ammonium telah dicoba dalam campuran slurry yang
38
diinjeksikan kedalam bejana yang dirancang khusus untuk bereaksi dengan SO2 dalam gas buang. Sorbent yang paling sering digunakan untuk mengoperasikan wet scrubbers adalah limestone diikuti oleh lime. Kombinasi ini disukai karena keberadaan dan biayanya yang murah. Seluruh reaksi kimiawi yang terjadi pada limestone atau lime sorbent dapat dinyatakan dalam persamaan sederhana sebagai berikut: SO2 + CaCO3 = CaSO3 + CO2 (2.1) Dalam praktiknya, udara di dalam gas buang dapat menyebabkan terjadinya beberapa oksidasi dan pada reaksi yang terakhir menghasilkan produk yang merupakan campuran basah dari kalsium sulfat dan kalsium sulfit (bentuk lumpur atau sludge). Suatu sistem oksidasi yang terjadi di tempat scrubber (in situ) atau di tempat lain (ex situ) yang menyangkut injeksi udara, menghasilkan produk yang dapat dijual, yaitu gipsum, melalui reaksi sebegai berikut: SO2 + CaCO3 + ½ O2 + 2H2O = CaSO4 . 2H2O + CO2 (2.2) Berikut beberapa jenis desain scrubber yang ada: a. Desain dengan spray tower dimana tekanan pompa dan nozel penyemprot (spray nozzles) mengatomisasi scrubbing liquids kedalam ruang reaksi (reactions chamber) dan memberikan particle surface area yang luas agar terjadi transfer massa yang efisien. b. Plate tower design dimana gas dilarutkan kedalam gelembung-gelembung, yang juga memberikan permukaan sorbent surface area yang luas. c. Suatu scrubber design yang didasarkan pada gesekan dimana ruang vertikal menampung plat-plat perforasi (berlubang-lubang) dengan bukaan yang cukup lebar. Plat-plat ini akan dibanjiri oleh lapisan sorbent slurry dan gas
39
buang yang diakselerasikan keatas melalui lubang-lubang perforasi. Gas buang dan cairan sorbent membuat kontak di sekitar plat yang menjadi sasaran, menciptakan daerah turbulen yang diharapkan dapat menyebabkan reaksi yang lebih cepat. d. Design packed tower dimana gas buang mengalir keatas melalui suatu packing material agar terjadi gerakan counter current terhadap sorbent. e. Design fluidized tower atau turbulent contact absorber, turbulasi yang terbentuk akan membersihkan packing materials dan memperbaiki transfer massa antara flue gas dan slurry liquid.
2.4 Sistem FGD pada PLTU Tanjung Jati B Unit 1 PLTU Tanjung Jati B unit 1 menggunakan bahan bakar batubara jenis Medium Caloric Value (MCV), dengan nilai kalori sekitar 5000-6000 kkal dan dengan kadar sulfur yang cukup tinggi, yaitu sekitar 1,05 % weight. Rata-rata setiap harinya PLTU Tanjung Jati B unit 1 membakar batubara sebanyak 6750 ton/hari dan menghasilkan gas buang dengan kadar SO2 maksimal 1750 mg/m3. Kadar tersebut melebihi ambang batas yang telah ditetapkan oleh Kementerian Lingkungan Hidup yaitu sebesar 750 mg/m3. Untuk itu PLTU Tanjung Jati B unit 1 menggunakan Flue Gas Desulfurization (FGD) untuk mengurangi kadar sulfur dioksida dalam gas buangnya. FGD pada PLTU Tanjung Jati B unit 1 dan 2 mampu mengurangi kadar sulfur dalam gas buang sebanyak 80-98%.
40
FGD pada PLTU Tanjung Jati B merupakan jenis Wet Flue Gas Desulfurization yang menggunakan batu kapur (limestone) sebagai penyerap SO2.
Gambar 2.9 FGD pada PLTU Tanjung Jati B unit 1 (Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)
Gas buang dari ruang pembakaran setelah melewati Electronic Precipitator (ESP) untuk diserap abunya, kemudian disedot oleh induced draft fan dan dibawa menuju FGD. Gas buang perlu melewati ESP terlebih dahulu, agar kerja FGD tidak berat. Bila gas buang yang masuk ke FGD masih mengandung abu atau fly ash, hal itu dapat menurunkan performa FGD dan gas buang yang dikeluarkan tidak akan sesuai dengan standar yang telah ditetapkan. Setelah melalui FGD, gas buang yang sudah bersih akan menuju ke cerobong.
41
Gambar 2.10 Skema alur gas buang (Sumber: Babcock & Wilcox)
FGD pada PLTU Tanjung Jati B terdiri dari 4 subsistem utama serta 1 subsistem pendukung, yaitu: 1. Limestone Handling and storage 2. Reagent preparation 3. Absorber system 4. Dewatering Area 5. Water System
Gambar 2.11 Skema alur sistem FGD (Sumber: Babcock & Wilcox)
42
2.4.1 Limestone Handling and Storage
Gambar 2.12 Lokasi Limestone Jetty and Conveyor (Sumber: Babcock & Wilcox)
Limestone Handling and Storage System atau Sistem Penanganan dan Penyimpanan batu kapur adalah proses pemindahan atau pembongkaran batu kapur dari tongkang hingga Limestone Storage Silos atau penyimpanan batu kapur. Batu kapur diangkut ke dermaga pembongkaran batu kapur oleh kapal tongkang. Ukuran batu kapur yang dibawa rata-rata sebesar 20 mm2. Pembongkaran di dermaga dilakukan dengan cara memindahkan bucket unloader ke satu limestone unloading conveyor. Limestone unloading conveyor menyalurkan batu kapur menuju ke limestone storage pile. Sebuah front end loader yang bergerak memindahkan batu kapur dari limestone storage pile menuju dua limestone storage silo melalui feed hopper dari sebuah bucket elevator yang berdekatan dengan silo. Bucket elevator terhubung ke satu limestone silo feed reversing conveyor. Reversing conveyor atau konveyor pembalik dapat dihubungkan ke kedua limestone silo.
43
Semua sistem dalam penanganan dan penyimpanan batu kapur ini diatur secara otomatis menggunakan Programmable Logic Control (PLC). Sistem Pembongkaran dan Penanganan Batu Kapur terdiri dari komponen-komponen utama sebagai berikut: a. Limestone Unloading Hopper b. Limestone Unloading Conveyor c. Limestone Bucket Elevator Reclaim Hopper d. Limestone Bucket Elevator e. Limestone Silo Feed Reversing Conveyor f. Limestone Unloading Conveyor Vibrating Feeder g. Magnetic Separator h. Limestone Bucket Elevator Vibrating Feeders i. Limestone Silo j. Limestone Silo Dust Collector
Gambar 2.13 Skema alur proses limestone handling (Sumber: Babcock & Wilcox)
44
2.4.2 Reagent Preparation
Gambar 2.14 Lokasi Reagent Preparation Area (Sumber: Babcock & Wilcox)
Reagent preparation adalah proses pengolahan batu kapur kasar dari Limestone silo hingga menjadi limestone slurry (bubur) yang nantinya akan disimpan dalam limestone slurry storage tank. “Fresh” Limestone slurry yang diproduksi oleh vertical ball mills digunakan
untuk
mengganti
slurry
yang
telah
habis
kemampuan
penyerapannya atau yang telah menjadi gypsum slurry dan keluar dari modul absorber selama operasi. Sistem ini terdiri dari 6 komponen utama, yaitu: a.
The vibrating bin activator Terletak di keluaran masing-masing limestone silo. Fungsinya adalah untuk merontokkan batu kapur dari silo agar jatuh ke limestone feeder.
45
b.
Limestone Feeder Fungsinya adalah untuk mengontrol jumlah atau flow rate dari batu kapur kasar yang akan dimasukkan ke limestone pre-crusher. Kapasitas dari limestone feeder adalah sebesar 25 metric ton/jam.
c.
Limestone pre-crusher Fungsinya adalah memperkecil ukuran batu kapur hingga 80%. Batu kapur yang awalnya berukuran 20 mm diubah menjadi sekitar 0,36 mm atau sekitar 45 mesh.
d.
Vertical ball mills Vertical ball mills memproses batu kapur dari limestone pre-crusher menjadi “fresh” limestone slurry yang akan dibawa menuju hydroclone melewati mill outlet sump dimana slurry akan diklasifikasikan. Slurry yang telah memenuhi standar, yaitu yang berupa 30% padatan, akan disalurkan ke limestone slurry storage tank. Sedangkan slurry yang belum memenuhi standar akan dikembalikan ke mill recirculation sump. Setiap vertical ball mill memiliki satu recirculation sump yang berfungsi mengklasifikasikan limestone slurry yang meninggalkan ball mill. Recirculation sump memiliki low level switch untuk memastikan bahwa level cairan didalam vertical ball mill cukup untuk proses operasi. Sump juga memiliki satu agitator untuk menjaga agar batu kapur tidak mengendap.
46
Limestone slurry pada mill recirculation sump langsung disalurkan ke mill outlet sump dan ke vertical ball mill oleh mill recirculation pump.
Gambar 2.15 Vertical Ball Mill (Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)
Gambar 2.16 Siklus Typical Ball Mill (Sumber: Babcock & Wilcox)
47
e.
Hydroclones & mill outlet sump Hydroclone
berfungsi
untuk
mengklasifikasikan
atau
mendistribusikan limestone slurry dengan 30% padatan ke limestone slurry tank. Limestone slurry yang tidak memenuhi 30% padatan dikembalikan ke mill recirculation sump untuk diproses kembali di vertical ball mill. Terdapat alat yang mengukur apakah padatan slurry sudah memenuhi standar atau belum, yaitu density meter. Limestone slurry yang keluar dari mill hydroclone harus memenuhi standar sebagai berikut: Flow
: 19,38 metric ton/jam
Density : 30% padatan Ukuran : 95% sebesar 325 mesh
Gambar 2.17 Proses reagent preparation dan persentase padatan limestone slurry (Sumber: Babcock & Wilcox)
48
f.
Limestone slurry storage tank Limestone slurry storage tank terletak disebelah limestone silo, dapat menyimpan 472 m3 fresh slurry untuk 8 jam penyimpanan bila kedua unit beroperasi pada pembakaran penuh batubara Bengalon dengan kandungan sulfur 1%.
Gambar 2.18 Lokasi Limestone Slurry Storage Tank (Sumber: Babcock & Wilcox)
49
2.4.3 Absorber Area System
Gambar 2.19 Lokasi Absorber Area (Sumber: Babcock & Wilcox)
Sistem FGD memiliki dua ruang absorber. Fungsi dari sistem absorber adalah untuk menghilangkan sulfur dioksida dalam gas buang melalui proses penyerapan yang disemprotkan berlawanan arah. Penyerapan dapat dicapai bila terjadi kontak antara limestone slurry dan gas buang didalam ruang absorber. Dengan menyemprotkan limestone slurry ke gas buang, sulfur dioksida diubah menjadi hidrat kalsium sulfit dan kalsium sulfat. Satu ruang absorber dapat membersihkan gas buang yang ekivalen dengan beban 660 MW.
50
Gambar 2.20 Absorber Module (Sumber: Babcock & Wilcox)
Gas buang dari boiler mengalir melalui absorber inlet duct dan menuju ke ruang absorber. Gas buang yang telah diabsorpsi keluar melalui outlet gas buang dan akan menuju ke stack. Guillotine dampers terletak pada absorber inlet, absorber outlet, dan bypass gas buang untuk mengamankan absorber saat sedang dalam perbaikan. Penyerapan sulfur dioksida terjadi karena proses penyerapan oleh semprotan yang berlawanan arah yang terjadi dalam absorber. Dengan menyemprotkan limestone slurry ke gas buang, sulfur dioksida dikonversikan menjadi hidrat kalsium sulfit (CaSO3. ½ H2O) dan kalsium sulfat (CaSO4.2H2O). Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: CaCO3 + SO2 + H2O → CaSO3. ½ H2O + CO2 (2.3)
51
Setiap absorber memiliki satu perforated absorption tray, dan dua absorber spray header levels untuk penyerapan sulfur dioksida. Setiap dua level header memiliki dua interspatial spray header. Setiap header disuplai oleh absorber recirculation pump, 3 pompa beroperasi dan 1 pompa sebagai cadangan.
Gambar 2.21 Lokasi absorber recirculation pump (Sumber: Babcock & Wilcox)
Saat gas buang panas memasuki absorber, gas didinginkan hingga saturasi oleh slurry yang disemprotkan dari atas. Gas buang yang telah tersaturasi akan naik melewati perforated absorber tray. Perforated absorber tray mendistribusikan gas buang dan cairan dari spray level melewati absorber cross sectional area.
52
Gambar 2.22 Perforated trays (Sumber: Babcock & Wilcox)
Ketika gas melewati lapisan dari slurry diatas tray, meningkatnya kecepatan gas akibat lubang-lubang dari tray menyebabkan tumbukan keras, dengan demikian menjamin optimalnya kontak liquid-gas. Kemudian gas buang akan melewati absorber spray zone diatas tray dimana slurry disemprotkan kebawah, berlawanan arah dengan aliran gas buang dari dua spray levels, melengkapi proses penyerapan sulfur dioksida. Setelah itu gas buang akan terus naik keatas menuju mist eliminator pertama yang terletak setelah absorber. Mist eliminator tahap pertama merupakan 3 laluan vertikal berlapis, dirancang untuk menangkap uap air yang terbawa dalam gas buang dan slurry yang terbawa dalam gas buang. Diatas dan dibawah mist eliminator tahap pertama terdapat header dengan spray nozzle yang menyemprotkan air laut dari mist eliminator wash water tank ke mist eliminator tahap pertama. Semprotan ini berfungsi untuk membersihkan berbagai padatan yang terkumpul pada lapisan-lapisan mist eliminator bagian atas dan bagian bawah. Setelah melewati mist eliminator
53
tahap pertama, gas kemudian memasuki mist eliminator tahap kedua. Mist eliminator tahap kedua juga memiliki 3 laluan berlapis, dan fungsinya adalah untuk menangkap uap air bawaan dari wash water spray pada mist eliminator tahap pertama. Bagian atas dari mist eliminator tahap kedua juga disemprot dengan air laut. Setelah melewati mist eliminator tahap kedua, kemudian gas akan keluar dari ruang absorber melewati outlet. The recycle slurry atau slurry yang disirkulasikan dan mist eliminator wash water yang disemprotkan di dalam ruang absorber akan turun dan akan dikumpulkan di dasar ruang absorber atau yang disebut sebagai absorber reaction tank. Terdapat empat agitator atau pengaduk (dimana 3 beroperasi dan 1 sebagai cadangan) yang menjaga agar slurry tidak memadat.
Gambar 2.23 Agitator atau pengaduk (Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)
54
Gambar 2.24 Letak agitator atau pengaduk dalam reaction tank (Sumber: Babcock & Wilcox)
Setiap absorber reaction tank mendapat recycle slurry dari keempat absorber recirculation pump (dimana 3 beroperasi dan 1 sebagai cadangan). Setiap absorber recirculation pump mensuplai kebutuhan semprotan slurry dari satu spray header. Slurry batu kapur baru yang berasal dari limestone slurry feed ditambahkan ke dalam absorber untuk mengontrol pH dari recycle slurry. Jumlah limestone slurry yang ditambahkan ke dalam absorber merupakan fungsi dari perkiraan beban boiler, nilai SO2, dan pH aktual dari recycle slurry dalam absorber seperti yang terukur pada gypsum slurry blowdown line. Faktor-faktor kimiawi yang menentukan efisiensi penyerapan SO2 yaitu: a. pH atau alkalinitas. b. Batu kapur yang ditambahkan pada slurry yang disirkulasikan. c. Kandungan kimiawi dari larutan.
55
d. Masukan SO2 (kombinasi dari konsentrasi dan beban) (Maller, 2008). Sedangkan faktor-faktor mekanik yang menentukan efisiensi penyerapan SO2 yaitu: a. Rasio Liquid to Gas (L/G Ratio). b. Karakteristik transfer massa dari absorber. c. Distribusi gas dan cairan. d. Bypass gas buang. (Maller, 2008) Proses penyerapan sulfur dioksida membentuk hasil padatan. Ini menyebabkan meningkatnya densitas atau kepadatan dari slurry yang diresirkulasikan.
Kepadatan
slurry
secara
kontinu
dikontrol
dengan
penambahan air dari process water tank ke absorber. Sebuah pengukur kepadatan ultrasonik diletakkan pada pipa blowdown gypsum slurry untuk mengukur kepadatan dari slurry yang diresirkulasikan. Sulfur dioksida, secara kontinu dihilangkan dari gas buang, membentuk hasil reaksi, menyebabkan level cairan pada absorber reaction tank meningkat. Level cairan ini dikontrol dengan cara menyalurkan slurry yang diresirkulasikan menuju ke dewatering system menggunakan skema blowdown yang kontinu. Proses penyerapan sulfur dioksida juga melibatkan sistem oksidasi in situ. Sistem oksidasi akan mengubah kalsium sulfit (CaSO3. ½ H2O) yang terbentuk dari proses penyerapan SO2 menjadi kalsium sulfat (CaSO4. 2H2O) dengan mengoksidasinya.
56
Reaksi yang terjadi adalah sebagai berikut: CaSO3. ½ H2O + O2 + H2O → CaSO4. 2H2O (2.4) Udara oksidasi yang digunakan untuk mengoksidasi slurry disuplai oleh 3 oxidation air blower, masing-masing 1 untuk 1 unitnya dan 1 sebagai cadangan. Udara oksidasi masuk ke absorber melalui air sparger yang terletak dibawah level slurry yang diresirkulasikan pada absorber reaction tank untuk memastikan bahwa proses oksidasi dapat berjalan baik.
Gambar 2.25 Skema proses FGD beserta reaksi yang terjadi Sumber: Data PT PLN TJB
2.4.4 Dewatering system Dewatering system memproses slurry yang dikeluarkan dari absorber dalam dua tahap, dan membuatnya menjadi gypsum cake. Gypsum cake yang
57
terbentuk diharapkan berupa 80% padatan dan 20% air. Air yang diambil dari absorber akan dikembalikan untuk digunakan kembali di FGD.
Gambar 2.26 Lokasi Dewatering Area (Sumber: Babcock & Wilcox)
Tahap pertama dari proses dewatering adalah Primary Dewatering System yang mengambil slurry dari absorber dan memompakannya menuju Hydroclone separator. Kemudian slurry dipompakan menuju ke Rotary Drum Vacuum Filter. Tahap ini merupakan Secondary Dewatering System, tahap kedua dan terakhir dalam proses Dewatering. Gypsum slurry yang berasal dari absorber tank dialirkan menuju hydroclone oleh gypsum slurry pump. Dalam hydroclone, gypsum slurry dinaikkan konsentrasi padatannya, dari 15% padatan menjadi 45% padatan. Untuk mengukur kepadatan dari slurry, terdapat density meter yang dipasang pada sisi keluaran gypsum slurry pump.
58
Gambar 2.27 Proses pertama dalam dewatering system (Sumber: Babcock & Wilcox)
Gipsum yang sudah berupa 45% padatan akan disalurkan ke Vacuum Filter Feed Tank berkapasitas 565 m3 untuk diproses lebih lanjut oleh vacuum filter. Dari vacuum filter feed tank, gypsum slurry dipindahkan ke vacuum filter oleh vacuum filter feed pump untuk proses final dewatering. Selama beroperasi, slurry diresirkulasikan dari vacuum filter feed tank menuju vacuum filter, sebagian akan diproses langsung oleh vacuum filter dan sebagian dikembalikan menuju vacuum filter feed tank. Hal ini bertujuan untuk menjaga agar tak ada slurry yang mengendap dalam pipa. Vacuum filter merupakan proses kedua atau secondary process sekaligus proses terakhir dalam dewatering system. Vacuum filter tank yang berupa drum-type akan memproses gypsum slurry dan menjadikannya berupa 80% padatan.
59
Gypsum slurry yang sudah berupa 80% padatan dikeluarkan ke dewatering area bunker. Sedangkan 20% air filtrat akan dialirkan menuju process water tank untuk digunakan kembali.
2.4.5 Water system Water system dalam FGD terdiri dari beberapa subsistem, yaitu: a. Seawater Seawater atau air laut digunakan untuk memenuhi kebutuhan dalam sistem. Air laut digunakan dalam reagent preparation area untuk mengolah batu kapur menjadi limestone slurry dan juga digunakan dalam absorber untuk membersihkan mist eliminator. Satu Mist Eliminator Wash Spray Water Tank digunakan untuk menyediakan air untuk mist eliminator wash spray header pada absorber melalui mist eliminator wash water pump. Air laut juga digunakan untuk membilas atau membersihkan reagent preparation area. Terdapat dua seawater vertical sump pump (1 beroperasi dan 1 sebagai cadangan) yang digunakan untuk mensirkulasikan air ke sistem FGD termasuk ke reagent preparation area, ke process water tank, dan ke mist eliminator wash water tank. b. Process Water Process water merupakan gabungan dari air laut dan filtrat dari sistem dewatering, digunakan untuk mengendalikan densitas dari absorber dan juga digunakan untuk membersihkan komponen-komponen lainnya.
60
c. Service Water Service water adalah air laut yang telah melalui proses desalinasi atau dihilangkan kandungan garamnya. Service water pada FGD digunakan untuk beberapa keperluan yaitu oxidation air humidification, vacuum pump gland seal, tower mill reducer, lube oil system cooling, dan untuk pembersihan beberapa komponen. d. Cooling Water Terdapat dua siklus air pendingin pada FGD. Masing-masing adalah untuk setiap absorber area. Air pendingin digunakan untuk pendinginan minyak recirculation pump gear box, pendinginan minyak pelumas oxidation air blower, dan pendinginan oxidation air blower bearing. Air disirkulasikan secara tertutup. Air pendingin juga digunakan untuk pendingin minyak pelumas tower mill reducer.
2.5 Kasus Sulfite Blinding pada Sistem FGD di PLTU Tanjung Jati B Unit 1 2.5.1 Pendahuluan Sulfite Blinding merupakan suatu fenomena yang terjadi pada FGD, yaitu meningkatnya konsentrasi sulfit pada absorber, diakibatkan oleh reaksi oksidasi yang tidak sempurna. Sistem oksidasi dibutuhkan untuk mengubah CaSO3 menjadi CaSO4. Sistem oksidasi berjalan dengan penambahan oksigen atau udara oksidasi pada absorber, seperti pada persamaan reaksi 2.2.
61
Sistem oksidasi bergantung pada beberapa faktor, yaitu: a. Rasio antara O2 dan SO2. b. Sifat kimia larutan. c. Temperatur. Masalah yang sering terjadi adalah pada suplai udara oksidasi, sehingga menyebabkan proses oksidasi tak berjalan lancar dan menyebabkan kegagalan reaksi oksidasi sehingga sulfit tidak diubah menjadi sulfat. Di dalam area sekitar partikel kalsium karbonat (komposisi aktif dalam batu kapur) terdapat pH yang relatif tinggi, yaitu antara 6 hingga 8. Sedangkan sebagian besar slurry berada pada kisaran pH 5,2 hingga 5,6. Daya larut dari campuran seperti kalsium sulfit akan menurun seiring dengan meningkatnya pH. Akibatnya, sulfit akan mengendap pada permukaan limestone. Sulfite blinding akan mengurangi area permukaan aktif dari limestone. Hal ini menyebabkan pH menjadi tidak terkontrol. pH akan terus menurun dan semakin menurun.
Gambar 2.28 Foto mikroskopik terjadinya sulfite blinding (Sumber: Dokumen PT PLN Tanjung Jati B)
62
Meski limestone bersifat basa, namun menambahkan limestone slurry saat terjadi sulfite blinding tidak akan menaikkan pH, malah akan memperparah keadaan. Semakin banyak slurry ditambahkan saat terjadi blinding akan menyebabkan semakin banyak sulfit yang terbentuk.
2.5.2 Indikasi Terjadinya Sulfite Blinding Indikasi terjadinya blinding: a. pH absorber menurun (dalam keadaan normal, pH berada dalam kisaran 5,2 – 5,6). b. Pada Distribute Control System (DCS), trend pH terlihat flat (tidak berosilasi). c. Presentase SO2 reduction menurun. d. Outlet SO2 meningkat.
2.5.3 Penyebab terjadinya sulfite blinding Penyebab utama terjadinya sulfite blinding adalah kurangnya suplai udara oksidasi sehingga reaksi oksidasi tidak berjalan sempurna. Selain itu, juga ada faktor lain yang dapat menimbulkan potensi terjadinya sulfite blinding. a. Kurangnya suplai udara oksidasi ke dalam absorber Wet FGD yang digunakan pada PLTU Tanjung Jati unit 1 adalah sistem Wet Flue Gas Desulfurization yang menggunakan kalsium karbonat
63
pada batu kapur (limestone) sebagai penyerap SO2 dengan hasil samping berupa gipsum yang bernilai jual. Untuk memperoleh gipsum tersebut, diperlukan proses lagi setelah proses absorpsi, yaitu proses oksidasi. Karena proses absorpsi hanya menghasilkan CaSO3 atau kalsium sulfit, sedang yang diinginkan adalah berupa CaSO4 atau kalsium sulfat. Kalsium sulfit tidak diinginkan dalam proses ini. Selain nilai jualnya kurang, sulfit bersifat lebih asam sehingga lebih korosif, mudah mengendap dan cenderung lengket sehingga dapat menempel pada komponen-komponen dalam absorber dan menimbulkan penyumbatan atau masalah-masalah lain. Untuk itu pada WFGD ini CaSO3 yang terbentuk perlu dioksidasi (ditambahkan oksigen) agar berubah menjadi CaSO4 atau gipsum. Untuk proses oksidasi tersebut, pada absorber ditambahkan sistem udara oksidasi atau oxidation air system. Terdapat 3 buah oxidation air blower, 2 beroperasi untuk masingmasing absorber dan 1 sebagai cadangan. Saat oxidation air blower mulai beroperasi, air dialirkan ke aliran dasar pipa untuk proses humidify atau melembabkan udara hingga titik saturasinya. Tujuan dari proses humidify adalah untuk mengurangi potensi terbentuknya endapan di dalam air header dan pada header nozzle akibat wet-dry interface antara gypsum slurry dan air header piping.
64
Masalah yang sering terjadi diakibatkan ketidakandalan oxidation air blower. Oxidation air blower yang digunakan sering mengalami vibrasi tinggi. Selain itu, masalah disebabkan akibat kurang terdistribusinya udara oksidasi yang telah masuk ke absorber. Hal tersebut dapat diakibatkan karena tertutupnya lubang udara oksidasi pada oxidation air headers oleh endapan slurry ataupun kerak. b. Tertutupnya lubang keluaran udara oksidasi pada absorber Pada PLTU Tanjung Jati B unit 1 dan 2 sebelum tahun 2012 sering terjadi sulfite blinding karena kurangnya udara oksidasi. Desain absorber ternyata juga mempengaruhi timbulnya masalah tersebut. Sebelum diganti, sistem udara oksidasi pada absorber di FGD unit 1 dan 2 hanya berupa udara yang berasal dari air blower disalurkan ke pipa atau air headers dalam absorber. Pada header tersebut terdapat beberapa titik nozel tempat keluarnya udara oksidasi. Pada nozel-nozel tersebut sering terjadi penyumbatan akibat slurry ataupun kerak. Berbeda dengan desain pada unit 3 dan 4, dimana dalam absorber, nozel tempat keluarnya udara oksidasi memiliki lubang keluaran yang lebih besar dan diletakkan didepan agitator sehingga udara akan tercampur dengan lebih merata. Hal tersebut juga dapat menghindari tersumbatnya nozel.
65
c. TSS slurry yang tak memenuhi standar (45% solids) TSS atau Total Suspended Solids merupakan
padatan yang
tersuspensi di dalam air berupa bahan-bahan organik dan inorganik yang dapat disaring dengan kertas millipore berpori-pori 0,45 μm. TSS dalam slurry berarti padatan yang terkandung dalam limestone slurry, yaitu padatan kalsium karbonat. Kalsium karbonat merupakan kandungan utama dalam limestone yang bersifat basa sehingga digunakan untuk menyerap SO2 yang bersifat asam. Untuk reaksi penyerapan yang baik, dibutuhkan limestone slurry yang paling tidak terdiri dari 45% solids. Permasalahannya, hydroclone yang digunakan untuk memisahkan antara slurry yang telah memenuhi TSS standar dengan yang belum kini semakin berkurang performansinya, mengakibatkan slurry sering tidak memenuhi standar.
2.5.4 Akibat dari sulfite blinding dan pengaruhnya terhadap efisiensi SO2 removal Efisiensi penyerapan SO2 adalah persentase jumlah SO2 yang bisa diserap oleh FGD, dapat dirumuskan sebagai berikut: (2.5) Akibat-akibat lebih lanjut ditimbulkan oleh sulfite blinding yang juga menyebabkan efisiensi SO2 removal menurun adalah: a. pH absorber menurun.
66
b. Korosif material. c. Plugging pada tray, mist eliminator, dan komponen lain. Salah satu kunci yang menentukan efisiensi penyerapan SO2 pada sistem Flue Gas Desulfurization adalah pH. pH yang terlalu rendah mengakibatkan efisiensi penyerapan SO2 rendah. Sedangkan pH yang terlalu tinggi menyebabkan reaksi penyerapan tidak terjadi. pH absorber dijaga dalam kisaran 5,2 – 5,6. (Babcock & Wilcox, 2005) Meningkatnya kadar sulfit dalam absorber dapat menurunkan pH karena sulfit bersifat asam.
Gambar 2.29 Hubungan antara efisiensi penyerapan SO2 dengan pH (Sumber: Maller FGD Module)
BAB III DATA DAN ANALISIS 3.1 Tujuan Pengujian Tujuan dari pengambilan data ini adalah untuk mengetahui kondisi parameter-parameter tertentu saat terjadi sulfite blinding. Parameter yang diambil adalah beban atau energi listrik yang dihasilkan pembangkit, kadar SO2 dalam gas buang yang dihasilkan, kadar SO2 dalam gas buang setelah keluar FGD, pH slurry, dan laju aliran limestone slurry dalam absorber. Selain itu, tujuan pengujian adalah untuk mengetahui nilai laju aliran udara oksidasi optimum untuk menghindari terjadinya sulfite blinding.
3.2 Data Saat Terjadi Sulfite Blinding Data diambil saat terjadi sulfite blinding pada tanggal 1-2 November 2012 di FGD PLTU Tanjung Jati B Unit 1 melalui pengamatan tidak langsung pada monitoring software. Nilai yang tertera merupakan nilai rata-rata dalam waktu 60 menit.
67
68
Tabel 3. 1 Data saat terjadinya sulfite blinding tanggal 1-2 November
MW Net
FGD Inlet SO2
FGD Outlet SO2
MW
mg/Nm3
mg/Nm3
Limestone Slurry Feed Flow l/m
556.54
1282.57
380.69
216.217
4.96
556.08
1291.30
388.07
212.131
4.97
553.65
1296.76
404.54
207.523
4.97
588.29
1245.59
362.85
206.732
4.96
653.99
1261.98
353.94
220.893
4.96
611.53
1249.12
137.40
208.465
4.98
561.91
1243.88
86.70
197.560
4.96
575.70
1313.56
82.98
212.995
5.01
611.42
1398.94
79.39
223.003
5.00
611.00
1409.08
383.95
222.689
5.02
613.40
1449.91
104.11
217.357
5.03
600.23
1495.03
78.46
203.042
5.04
565.70
1487.62
77.48
210.478
4.98
600.21
1548.28
85.78
225.273
5.01
612.88
1612.49
80.13
227.173
5.02
559.51
1526.65
115.37
202.823
5.04
558.80
1420.44
444.33
197.607
5.01
589.05
1410.04
486.46
215.271
5.02
658.06
1590.74
627.13
241.882
5.03
655.74
1678.50
682.72
235.874
5.03
654.42
1767.48
759.55
252.164
4.97
623.85
1751.32
677.42
289.225
4.96
607.28
1700.94
594.25
298.536
4.89
605.84
1666.57
641.01
316.574
4.80
607.07
1642.85
671.51
334.121
4.77
606.45
1579.42
635.38
341.519
4.78
535.47
1494.70
531.14
294.209
4.84
pH
69
507.42
1455.19
383.74
229.480
4.96
551.08
1458.11
339.92
19.491
5.04
557.86
1475.56
581.88
-0.909
4.78
555.53
1490.50
1040.89
-0.903
4.37
558.43
1518.43
1101.45
93.357
3.98
558.57
1555.53
1009.38
172.731
4.47
608.43
1601.16
924.02
182.126
4.66
657.59
1728.69
933.96
248.725
4.80
617.31
1652.62
691.28
287.805
5.01
563.28
1615.84
601.84
217.579
5.12
636.56
1685.53
703.80
273.649
4.99
645.57
1699.80
657.76
271.500
5.00
601.18
1577.59
553.57
213.740
5.11
556.21
1529.94
532.43
182.449
5.00
599.98
1549.34
602.95
266.746
4.92
613.40
1559.15
553.02
265.760
5.07
610.96
1562.96
543.70
241.611
5.06
613.06
1570.39
583.13
241.576
5.02
613.60
1620.96
610.52
269.134
4.99
614.80
1720.15
656.82
307.345
5.08
611.53
1779.31
670.12
342.641
5.15
(Sumber: PT PLN Tanjung Jati B)
70
3.3 Perhitungan 3.3.1 Perhitungan efisiensi SO2 removal Efisiensi SO2 removal adalah jumlah atau kadar SO2 dalam gas buang yang dapat dikurangi oleh FGD, dapat dirumuskan sebagai berikut: (4.1)
Untuk contoh perhitungan, digunakan data pertama pada tabel 3.1.
Data hasil perhitungan efisiensi SO2 removal adalah sebagai berikut: Tabel 3.2 Hasil perhitungan efisiensi SO2 removal MW Net
Inlet SO2
Outlet SO2
η SO2 Reduction
MW
mg/Nm3
mg/Nm3
%
556.54 556.08 553.65 588.29 653.99 611.53 561.91 575.70 611.42 611.00 613.40 600.23 565.70 600.21 612.88 559.51 558.80 589.05 658.06
1282.57 1291.30 1296.76 1245.59 1261.98 1249.12 1243.88 1313.56 1398.94 1409.08 1449.91 1495.03 1487.62 1548.28 1612.49 1526.65 1420.44 1410.04 1590.74
380.69 388.07 404.54 362.85 353.94 137.40 86.70 82.98 79.39 383.95 104.11 78.46 77.48 85.78 80.13 115.37 444.33 486.46 627.13
70.31% 69.93% 68.80% 70.88% 71.97% 89.13% 93.01% 93.68% 94.32% 72.46% 92.78% 94.76% 94.81% 94.45% 95.02% 92.36% 68.22% 65.45% 60.53%
71
655.74 654.42 623.85 607.28 605.84 607.07 606.45 535.47 507.42 551.08 557.86 555.53 558.43 558.57 608.43 657.59 617.31 563.28 636.56 645.57 601.18 556.21 599.98 613.40 610.96 613.06 613.60 614.80 611.53
1678.50 1767.48 1751.32 1700.94 1666.57 1642.85 1579.42 1494.70 1455.19 1458.11 1475.56 1490.50 1518.43 1555.53 1601.16 1728.69 1652.62 1615.84 1685.53 1699.80 1577.59 1529.94 1549.34 1559.15 1562.96 1570.39 1620.96 1720.15 1779.31
682.72 759.55 677.42 594.25 641.01 671.51 635.38 531.14 383.74 339.92 581.88 1040.89 1101.45 1009.38 924.02 933.96 691.28 601.84 703.80 657.76 553.57 532.43 602.95 553.02 543.70 583.13 610.52 656.82 670.12
59.32% 57.04% 61.45% 65.07% 61.44% 59.03% 59.82% 64.51% 73.69% 76.63% 60.13% 16.10% 1.82% 34.61% 42.32% 46.09% 58.46% 62.69% 58.30% 61.34% 64.94% 65.06% 61.12% 64.56% 65.28% 62.79% 62.46% 61.76% 62.49%
3.3.2 Perhitungan laju massa udara oksidasi optimum Penyebab utama terjadinya sulfite blinding adalah akibat tidak sempurnanya proses oksidasi karena suplai udara oksidasi yang kurang. Untuk mengatasi permasalahan itu, diperlukan laju udara oksidasi yang optimum agar proses oksidasi dapat berjalan lancar dan tidak menyebabkan blinding. Untuk contoh perhitungan laju udara oksidasi, diambil contoh data yaitu nilai rata-rata data tanggal 1-2 November. Nilai yang dicari adalah massa O2
72
yang dibutuhkan untuk reaksi oksidasi sempurna dan laju aliran udara oksidasi yang dibutuhkan. Perhitungan menggunakan data-data yang dibutuhkan adalah sebagai berikut: Tabel 3.3 Data yang dibutuhkan untuk menghitung laju massa udara oksidasi Parameter
Sumber data
Satuan
Nilai
Kadar inlet SO2 Laju aliran gas buang
Data PT PLN Tanjung Jati B Data PT PLN Tanjung Jati B
ppm m3/min
708 41688,5
η SO2 Removal Laju aliran limestone slurry Massa jenis limestone slurry % padatan limestone slurry Laju aliran process water Tekanan oxidation air blower Temperatur udara oksidasi
Data PT PLN Tanjung Jati B
%
66,73
Data PT PLN Tanjung Jati B
l/min
224,1
FGD Daily Report PT TJBPS
kg/l
1.24
FGD Daily Report PT TJBPS Data PT PLN Tanjung Jati B Oxd. Air Blower Technical Data
% l/min
30 969
atm
2.02
Data PT PLN Tanjung Jati B
⁰C
45
a. Analisis massa pada reaksi I (reaksi absorpsi) Reaksi: CaCO3 + SO2 + H2O CaSO3.1/2 H2O + CO2 1) Menghitung massa CaCO3 Laju aliran limestone slurry = 224,1 liter/menit Persentase padatan slurry atau kadar CaCO3 dalam slurry = 30% Laju aliran CaCO3 : = 30% x 224,1 = 67,23 liter/menit Massa jenis limestone slurry = 1,239 kg/l Massa CaCO3 per menit: massa jenis x laju aliran (4.2)
73
Massa CaCO3 = 1,239 x 67,23 = 83,3 kg/menit 2) Menghitung massa SO2 yang bereaksi : Inlet SO2 = 708 ppm = 70,8 g/m3 Laju aliran gas buang = 41688,5 m3/min Massa SO2 = 70,8 g/m3 x 41688,5 m3/min = 2951,55 kg/menit (4.3) η SO2 removal = 66,73 % Massa SO2 yang bereaksi = 66,73 % x 2951,55 kg = 1969,56 kg/menit 3) Menghitung massa H2O : Laju aliran process water = 969 l/menit Volume = 969 liter = 0,969 m3 Seawater density = 1025 kg/m3 Massa H2O: = 993,2 kg/menit 4) Menghitung massa CaSO3.1/2 H2O dengan perbandingan molar: Reaksi: CaCO3 + SO2 + H2O CaSO3.1/2 H2O + CO2 Massa Mol Relatif CaCO3 = 100 g/mol Massa Mol Relatif SO2 = 64 g/mol Massa Mol Relatif CaSO3 = 120 g/mol Massa Mol Relatif H2O = 18 g/mol Massa Mol Relatif CO2 = 44 g/mol Massa CaSO3.1/2 H2O =
74
Massa CaSO3.1/2 H2O =
x (83,3 + 1969,56 + 993,2)
= 2271,34 kg/menit
b.
Analisis massa pada reaksi kedua (reaksi oksidasi)
Reaksi: CaSO3.1/2 H2O + O2 + H2O CaSO4. 2 H2O Sesuai dengan persamaan 4.6, didapatkan massa CaSO3.1/2 H2O = 2271,34 kg/menit 1) Menghitung massa O2 yang diperlukan: Massa mol relatif CaSO3.1/2 H2O = 129 g/mol Massa mol relatif H2O = 18 g/mol Massa mol relatif O2 = 32 g/mol Massa O2 = Massa O2 =
x 2271,34 x 1000 = 526687,5 g/menit
2) Menghitung Volume O2 yang diperlukan: Menggunakan Hukum Gay-Lussac atau persamaan gas ideal (4.4) Dimana:
75
Volume gas pada keadaan STP dicari dengan Hukum Avogadro: (4.5)
Volume O2 yang dibutuhkan:
/menit 3) Menghitung laju udara oksidasi Kadar O2 dalam udara = 21% by volume Volume O2 yang dibutuhkan =
Liter/menit
V udara oksidasi = Laju udara oksidasi yang dibutuhkan per menit = 1012,4 m3/menit.
76
3.4 Grafik
pH terhadap SO2 Removal 6 5 y = -1.6212x2 + 2.6974x + 3.9078 R² = 0.8236
pH
4 3
pH Poly. (pH)
2 1 0 0%
20%
40%
60%
80%
100%
SO2 Removal
Gambar 3.1 Nilai pH terhadap penyerapan SO2
Gambar 3.2 Trend DCS saat terjadi sulfite blinding pada 1-2 November 2012 (Sumber: PT TJBPS)
77
3.5 Analisis Data Dari data yang diambil saat terjadinya sulfite blinding, dapat dilihat bahwa: 1. Berdasarkan hasil perhitungan yang tercantum dalam tabel 3.2, efisiensi penyerapan SO2 tertinggi pada tanggal 1-2 November 2012 adalah sebesar 95.02%, yaitu pada saat pembangkit berbeban 612,88 MW, dengan gas buang berkadar SO2 1612,49 mg/Nm3, nilai ini masih jauh dari ambang batas yang ditetapkan Kementerian Lingkungan Hidup (KLH) yaitu sebesar 750 mg/Nm3. Gas buang yang keluar dari FGD memiliki kadar SO2 sebesar 80,13 mg/Nm3. Nilai ini sudah memenuhi standar yaitu sebesar 750 mg/Nm3. 2. Pada saat-saat pH rendah, persentase SO2 reduction atau efisiensi penyerapan SO2 rendah. Hal ini menyebabkan kadar SO2 dalam gas buang yang keluar menuju stack masih cenderung tinggi, bahkan hingga melewati standar yang telah ditetapkan KLH yaitu sebesar 750 mg/Nm3. 3. pH terendah adalah sebesar 3,98. Di titik ini pula efisiensi penyerapan SO2 berada pada titik yang paling rendah, yaitu sebesar 1,82% dengan kadar SO2 pada gas buang yang menuju ke stack sebesar 1101,45 mg/Nm3, nilai ini melewati ambang batas dari KLH yaitu sebesar 750 mg/Nm3. 4. Hal itu dapat disebabkan karena meningkatnya sulfit dalam absorber, sehingga menyebabkan pH menurun.
78
5. Berkurangnya
efisiensi
penyerapan
SO2
mungkin
awalnya
disebabkan oleh tertutupnya permukaan aktif dari batu kapur atau limestone sehingga jumlah SO2 yang dapat terserap menjadi berkurang. 6. Selain itu, pH yang semakin menurun menyebabkan reaksi absorpsi menjadi semakin sulit. pH standar adalah dalam kisaran 5,2 hingga 5,6. Dasar dari sistem FGD ini adalah menetralisir asam (SO2) menggunakan alkali atau basa (CaCO3). Bila keadaan absorber terlalu asam atau terlalu basa, reaksi penetralisiran akan tidak sempurna. 7. Terjadinya sulfite blinding tidak dipengaruhi oleh variasi beban. 8. Saat pH absorber semakin menurun, laju aliran limestone slurry perlahan juga diturunkan. Hal ini bertujuan untuk mengembalikan pH seperti keadaan operasi normal. Menambah limestone slurry saat pH menurun dapat semakin menurunkan pH karena akan terus menerus terjadi reaksi yang tak sempurna antara CaCO3 dan SO2. 9. Berdasarkan perhitungan, laju udara oksidasi yang dibutuhkan agar terjadi proses oksidasi yang sempurna adalah sebesar 1012,4 m3/menit.
Bab IV PENUTUP
4.1 Kesimpulan Dari hasil kajian terhadap data-data dan perhitungan yang telah dilakukan, dapat disimpulkan: 1. Pada kisaran beban 500-660 MW, PLTU Tanjung Jati B Unit 1 menghasilkan gas buang dengan kadar SO2 berkisar antara 1282 hingga 1779 mg/Nm3. 2. Dalam kondisi operasi normal, FGD dapat mengurangi kadar SO2 dalam gas buang hingga menjadi 77,48 mg/Nm3, dengan efisiensi SO2 removal sebesar 94,81%. 3. Sulfite blinding dapat mengurangi efisiensi penyerapan SO2 hingga 90% karena saat terjadi, pH absorber dapat menurun hingga 3,98 dan menurunkan efisiensi penyerapan SO 2 menjadi 1,82%. 4. Sulfite blinding terjadi karena reaksi oksidasi yang tidak sempurna. Penyebab utamanya adalah kurangnya suplai udara oksidasi. 5. Pada kisaran beban 500-660 MW, laju udara oksidasi yang dibutuhkan agar terjadi proses oksidasi yang sempurna adalah sekitar 1012,4 m3/menit.
79
DAFTAR PUSTAKA
Abdulkadir, Ariono. 2011. Teknologi Pembangkit Listrik Ramah Lingkungan. Bandung: Penerbit ITB Achmad, Rukaesih. 2004. Kimia Lingkungan. Yogyakarta: Penerbit Andi Aladin, Andi. 2011. Sumber Daya Alam Batubara. Bandung: Penerbit Lubuk Agung Babcock and Wilcox. 2005. Tanjung Jati B Power Station Flue Gas Desulfurization System Training. The Babcock and Wilcox Company. Indone5ia.files.wordpress.com Jurnalingkungan.wordpress.com Maller, Gordon. 2008. FGD Chemistry Module on WPCA Duke Energy Seminar. Concord: World Pollution Control Association Murdiyoso, Daniel. 2003. 10 Tahun Perjalanan Konvensi Perubahan Iklim. Jakarta: Penerbit Buku Kompas Suharto, Ign. 2011. Limbah Kimia dalam Pencemaran Udara dan Air. Yogyakarta: Penerbit Andi Susetyo, Arif. 2012. Flue Gas Desulfurization, An Operational Point of View. Jepara: PT PLN Tanjung Jati B Sutresna, Nana. 2006. Kimia untuk SMA kelas II. Bandung: Grafindo Media Pratama
No.
LEMBAR KONTROL BIMBINGAN TUGAS AKHIR
FPM
Revisi
Tanggal Halaman
NAMA : Adik Bela Jannahti
JUDUL TUGAS AKHIR : ANALISIS KASUS SULFITE BLINDING TERHADAP
KELAS : KE_3D
EFISIENSI SO2 REMOVAL PADA SISTEM FLUE GAS DESULFURIZAT]ON DI PLTU TANJUNG JATI B UNIT
NIM
: 3.29.10.0.03
NO
t.
9 ?.'ti
L.
{O
3.
i5 J"q
I s,
URAIAN
TANGGAL
Zo tg
)*u Lot} 2ol3
lL bY zotz l*Lu 2-ct.,r
[}-uulol.^^.
6rU
l1olr,-. b--tl a A
oc b.,t I
Bi."run^.aor^ Vb
&r*=f bc,t, -it
[&-S 6.r" g
b
L8 )r[
?
2z
8
72 Ju-u 2.>t g
I
Z\ J*u ,otg
I Rqr s Lqt [,
lo
LE ]au J4t7
Aec hot E ?
2otB
S"u )or3
TANDA TANGAN PEMBIMBING
Acc
b*u ff,
Pe*>< beb
Lr,E
IV
\,
Semarang, ........?.:..'.. Pembimbirig Utama,
20r
1
No.
LEMBAR KONTROL BIMBINGAN
FPM
Revisi
TUGAS AKHIR
Tanggal Halaman
NAMA : Adik Bela Jannahti
JUDUL TUGAS AKHIR: ANALISIS KASUS SULFITE BLINDING TERHADAP
KELAS : KE-3D
EFtStENSt SO2 REMOVAL PADA SISTEM FLUE GAS OESULFURIZATION DI PLTU TANJUNG JATI B UNIT 1
NIM NO
: 3.29.10.0.03
TANGGAL
URAIAN
TANDATANGAN PEMBIMBING
t"
5 J,^t^ 2-o1t
I
9 ).ru Zb\, io ]ut^ 2ot3
3
$'ijnt2,na1
Rc-rS Acc
bav
ol^
6ou
Bi
-Ul,.qp. b"b 3
Re
*.si bc"b T
+.
i+ lut
g.
iB ).rli
4.
i9 XrE tt.f
4 cC lr.b E.
lo.
.2J- Utu, )ot5
[cc
)ots J-bt3
Re\dsr *,v If ? bqt
Rwin
b".b
4/?
,q)Gry
JJ
7fr
f[
&Cc ba,r E
torr"
.
342
f
6
5"
'/ ,.fu
bcru 5
it Juti 2r>r5 i5 J"h -)or3 U, Juu 2o r!
4
lfl
-1
Rcrtsi
E't Iv
q.
&
P.rS,
NrP.
'Lr
q
, t"/r
TegU-h Ha.f iio n-o. M Ult t{, MT. 1 9561 0271 985031 001
SURAT KETERANGA}I SELESAI BIMBINGAN TUGAS AKHIR
Yth. Kaprodi Teknik Konversi Energi Dwiana Hendrawati, S.T., M.T. di tempat
Yang bertandatangan dibawah ini, Pembimbing Utama menerangkan bahwa Mahasiswa
:
Nama
: Adik Bela Jannahti
NIM
: 3.29.10.0.03
Kelas
:KE-3D
denganjudul Tugas Akhir
dan Pembimbing Pendamping
:
ANALISIS KASUS SIILFITE BLINDING TERIIADAP EFISIENSI
SOZ
REMOVAL
PADA SISTEM F'LUE GAS DESULFURIZATION DI PLTU TANJT]NG JATI B T]hIIT Benar-benar telah menyelesaikan pembuatan Tugas
Akhir
1
dan smp melakukan ujian
wawancara TA.
'zot3 Mengetahui, Pembimbing Utama
t2tee60tl00I
Pembimbing Pendamping
Drs. Teeuh Harijono Mulud. M.T. NrP. 19561027198s03 1001
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL
POLITEKI{IK I{E GERI
SE
MARANG
Jl. Prof. H. Sudharto, S.H. Tembalang, Kotak Pos 6199/SMS, Semarang 50329 Tlp . 7 473417 , 7 499585, 7 499586 (hunting) Fax : 7 472396 Web : http://r!'rvii .polines.ac.id. Email :
f@
SURAT KETERANGA]\ SIAP UJIAN TUGAS AKHIR
Yang bertanda tangan bahwa Mahasiswa
di bawah ini, Pembimbing Utama dan Pembimbing Pendamping
menerangkan
:
NO.
NAMA
NIM
KELAS
1
Adik Bela Jannahti
3.29 10 0 03
Konversi Energi 3D
dengan
judul tugas akhir
:
ANALISIS KASUS SULFITE BLINDING TERI{ADAP EFISIENSI
SOZ
REMOVAL PADA
SISTEM FLUE GAS DESULFURIZATION DI PLTU TANJUNG JATI B UNIT
1
Benar-benar telah siap untuk diuji dalam ujian tugas akhir. Surat keterangan
ini dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
Semarang, fla,rrl; zQ.t >.. U
Pembimbing Utama
12199601 1001
Pembimbing Pendamping
Drs. Teguh Harijono Mulud. M.T. NrP. 19561027198s03 1001
Setelah ditandatangani pembimbing diserahkan kepada administrasijurusan saat pendaftaran ujian
RHITISI TUGAS AKHIR
Yang beftanda tangan di bawah ini, penguji
VfilIfi
menerangkan bahwa
No. FPM
7.5.2U8
Revisi
2
Tanggal
1Juli2010
Halaman
UT
:
Analisis Kasus Sulfite Blinding terhadap Efisiensi SO2 Removat Sistem Flue Gas Desulfurization di pLTU Tanjung Jati B Unit
1
benar-benar telah melaksanakan revisi tugas akhir. Surat keterangan ini dapat dipergunakan sebagaimana mestinya.
PengujI
Ir. Ilyas Rochani, M.T. NIP. 195110161989031001
1. 2.
Dr. Totok Prasetyo, B.Eng, M.T. NrP. 196204271991031001
Supriyo, S.T., M.T.
NIP. 196304241993031001
Surat dibuat rangkap tiga, satu hmbar untuk mahasiswa. Setelah ditandatangani pengujil,
u, ilI
diserahkan kepada Ketua program Studi masing-masing.