NAMA : ZAINAL ABIDIN NIM
: 12030117420103
Kelas
: B
KASUS E-KTP Kronologi Awal
Kasus korupsi e-KTP bermula dari rencana Kementerian Dalam Negeri RI dalam pembuatan e-KTP. Sejak 2006 Kemendagri telah menyiapkan dana sekitar Rp 6 triliun yang digunakan untuk proyek e-KTP dan program Nomor Induk Kependudukan (NIK) nasional dan dana senilai Rp 258 milyar mil yar untuk biaya pemutakhiran data kependudukan untuk pembuatan eKTP berbasis NIK pada 2010 untuk seluruh kabupaten/kota kabupaten/kota se-Indonesia. Sebelum proses perekaman e-KTP dilaksanakan, Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat sebagai Menteri Dalam Negeri sempat menemui pimpinan KPK untuk meminta KPK meminta KPK mengawasi proyek e-KTP sembari menjelaskan tentang langkah-langkah pelaksanaan proyek e-KTP. Namun KPK bukan satu-satunya institusi yang ia datangi. Sebelumnya ia juga telah meminta Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan dan Badan Pengawas Keuangan dan Pembangunan (BPKP) untuk terlibat dalam pengawasan proyek ini. Dengan adanya keterlibatan institusi-institusi tersebut ia berharap megaproyek e-KTP dapat bersih dan terhindar dari praktek korupsi. korupsi. Proses Pengadaan e-KTP
Pada pelaksanaannya, proyek e-KTP dilakukan oleh konsorsium yang terdiri dari beberapa perusahaan atau pihak terkait. Untuk memutuskan konsorsium mana yang berhak melakukan proyek, maka pemerintah kemudian melaksanakan lelang tender. Di sela-sela proses lelang, Lembaga Sosial Masyarakat (LSM) bernama Government Watch (Gowa) menilai bahwa terjadi kejanggalan pada proses lelang. Mereka beranggapan bahwa perusahaan yang mengikuti tender tidak sesuai dengan persyaratan seperti yang terangkum dalam PP 54/2010. Setelah melalui serangkaian proses, akhirnya pada 21 Juni 2011 pemerintah mengumumkan konsorsium yang menjadi pemenang lelang. Mereka adalah konsorsium PNRI yang terdiri dari beberapa perusahaan, yakni Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo PT Sucofindo dan PT Sandipala PT Sandipala Artha Putra. Sebagai Putra. Sebagai tindak lanjut, konsorsium PNRI kemudian melakukan penandatanganan kontrak bersama untuk pengadaan e-KTP tahun anggaran 2011-2012 dengan nilai pekerjaan sebesar Rp 5.841.896.144.993. Kontrak tersebut disepakati pada 1 Juli 2011. Mulanya proses perekaman e-KTP ditargetkan akan dilaksanakan secara serentak pada 1 Agustus 2011. Namun karena terlambatnya pengiriman perangkat peralatan e-KTP, maka jadwal perekaman berubah menjadi 18 Agustus 2011 untuk 197 kabupaten/kota di seluruh Indonesia. Perkembangan Perkembangan Kasus
Setelah menyelidiki kasus lebih lanjut, KPK akhirnya menetapkan Sugiharto sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil pada Kementerian Dalam Negeri sebagai tersangka pertama dalam kasus korupsi e-KTP. Sugiharto diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan melakukan suap pada proyek e-KTP di
DPR untuk tahun anggaran 2011-2013. Ia juga diperkaya dengan uang senilai 450.000 dollar AS dan Rp 460 juta. Sugiharto bukan satu-satunya orang yang ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK. Per 30 September 2016, KPK menetapkan mantan Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri Irman sebagai tersangka. Motifnya melakukan korupsi serupa dengan Sugiharto, yakni demi memperkaya diri sendiri atau orang lain dengan melakukan penyalahgunaan wewenang. Berdasarkan surat tuntutan jaksa, Irman diperkaya senilai 573.000 dollar AS, Rp 2,9 milyar dan 6.000 dollar Singapura. Walau ditetapkan sebagai tersangka, Irman mengajukan surat permohonan sebagai justice collaborator untuk membongkar kejahatan pada proyek e-KTP. Pada 8 Februari 2017 KPK mengumumkan bahwa mereka telah menemukan bukti terkait keterlibatan anggota DPR dalam kasus korupsi e-KTP. Pencarian Bukti Baru
Untuk menindaklanjuti pelimpahan berkas oleh KPK, Pengadilan Negeri Tindak Pidana Korupsi kemudian mengadakan sidang. Dalam perjalanannya, ada lebih dari 10 sidang yang dilaksanakan. Namun sidang perdana terkait kasus korupsi e -KTP di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat diadakan pada Kamis, 9 Maret 2017. Dalam sidang pertama, hadir dua orang yang telah ditetapkan sebagai tersangka, yakni Sugiharto dan Irman dengan agenda pembacaan surat dakwaan oleh Jaksa Penuntut Umum dengan tebal sekitar 120 halaman. Selanjutnya Pengadilan Negeri mengadakan sidang kedua pada Kamis, 16 Maret 2017. Pada sidang kali ini KPK telah menghadirkan 8 saksi dari 133 saksi untuk proses persidangan. Beberapa di antaranya adalah Gamawan Fauzi selaku mantan Menteri Dalam Negeri, Yuswandi Temenggung selaku Sekretaris Jenderal Kemendagri, Diah Anggraeni selaku mantan Sekretaris Jenderal Kemendagri, Elvius Dailami selaku Direktur Fasilitas Dana Perimbangan Ditjen Keuangan Kemendagri, Chaeruman Harahap selaku mantan Ketua Komisi II DPR dan Winata Cahyadi selaku Direktur PT Karsa Wira Utama. Dari 8 saksi hanya 6 orang saja yang datang. Terdapat beberapa hasil pada sidang kedua. Gamawan Fauzi mengaku bahwa ia telah menerima beberapa kali pemberian uang namun menurutnya, uang tersebut berhubungan dengan keperluan berobat dan honor kerja. Hasil lainnya adalah Sekjen Kemendagri, Diah Anggarini, mengaku telah menerima uang sebanyak dua kali, yakni sebesar 300.000 dollar AS dari Irman dan uang sebesar 200.000 dollar AS dari Andi Agustinus selaku pengusaha pemenang tender. Diah juga menjelaskan bahwa telah terjadi pertemuan antara Irman, Sugiharto, Andi Narogong dan Setya Novanto di Hotel Gran Melia. Selain itu penyidik KPK juga mendapatkan catatan tentang skema pengendali korupsi e-KTP anggaran e-KTP 20112012 dengan pagu Rp 5,9 triliun di rumah Chairuman Harahap (Ketua Komisi II DPR). Setya Novanto dan Anas Urbaningrum adalah dua nama yang disebut dalam catatan tersebut. Pada sidang kedua terdapat perbedaan keterangan antara keterangan yang Gamawan Fauzi sampaikan dengan keterangan yang Chairuman Harahap katakan. Gamawan Fauzi menuturkan bahwa perubahan anggaran proyek e-KTP diusulkan oleh Komisi II DPR RI periode 2009-2014. Namun Chairuman malah menjelaskan bahwa Kementerian Dalam Negerilah yang melakukan pengusulan.
Pengusutan kasus korupsi e-KTP lalu berlanjut pada sidang ketiga yang diadakan pada 23 Maret 2017. Dari 7 saksi yang diundang, hanya 6 saja yang hadir. Pada sidang kali ini, nama Andi Narogong menjadi nama yang paling banyak disebut. Sidang ini menghasilkan temuan bahwa Andi Narogong yang berperan sebagai pelaksana proyek e-KTP telah melakukan pertemuan dengan Setya Novanto, Anas Urbaningrum dan Muhammad Nazaruddin. Andi Narogong juga menjadi orang yang telah memberikan uang kepada Diah Anggraini. Temuan lainnya adalah 51 persen atau sekitar Rp 2,662 triliun dari anggaran e-KTP sebesar Rp 5,9 triliun digunakan untuk pembiayaan e-KTP sementara sisanya yakni 49 persen atau setara dengan Rp 2,558 triliun dibagi-bagi ke berbagai pihak, tak terkecuali dengan anggota Komisi II DPR RI dan Badan Anggaran DPR RI. Juru bicara KPK Febri Diansyah memperte gas, KPK tidak melakukan tebang pilih dalam memeriksa keterlibatan pihak-pihak lain dalam kasus mega korupsi yang merugikan dana negara hingga Rp2,3 triliun itu. Setelah mengumpulkan berbagai fakta dan petunjuk pada tiga sidang sebelumnya, KPK akhirnya memutuskan untuk menetapkan tersangka baru: Andi Narogong. Ia adalah orang ketiga yang ditetapkan sebagai tersangka pada kasus korupsi e-KTP setelah Irman dan Sugiharto. Berdasarkan penyelidikan KPK, Andi berperan dalam meloloskan anggaran Rp 5,9 triliun untuk pembuatan KTP elektronik dan agar rencananya lancar, ia juga membagikan uang kepada para petinggi dan anggota komisi II DPR serta Badan Anggaran. Andi juga berperan dalam mengatur tender dengan membentuk tim Fatmawati, sesuai dengan lokasi rukonya serta terlibat dalam merekayasa proses lelang, mulai dari menentukan spesifikasi teknis hingga melakukan mark up dalam pengadaan KTP elektronik. Seminggu setelah penangkapan Andi, Pengadilan Negeri menggelar siang keempat. Sidang kali ini menghadirkan 7 saksi, di antaranya adalah Miryam S Haryani, Ganjar Pranowo, Agun Gunanjar Sudarta dan mantan Menteri Keuangan Agus Martowardojo. Pada sidang keempat terjadi pengakuan yang kontradiktif antara Miryam S Haryani dengan Novel Baswedan. Saat diperiksa di KPK, berdasarkan penuturan Novel, Miryam mengaku bahwa telah dilakukan pemberian uang kepada anggota DPR RI. Akan tetapi, saat persidangan Miryam justru membantah berita acara persidangan yang dituturkan Novel sebelumnya. Miryam menjelaskan bahwa ia merasa ditekan oleh penyidik saat itu sehingga ia mengarang isi berita acara persidangan. KPK terus melakukan konfrontasi tapi Miryam tetap menyanggah. Menurut Novel, Miryam melakukan sanggahan karena adanya ancaman beberapa anggota DPR RI periode 2009-2014. Temuan lainnya dalam sidang kali ini adalah adanya pengakuan dari Sugiharto tentang pemberian uang darinya kepada Miryam sebanyak empat kali dengan total 1,2 juta dollar AS yang pada akhirnya disangkal pula oleh Miryam. Setya Novanto mengatakan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo menerima aliran dana proyek e-KTP. Setya Novanto mengungkap hal tersebut saat Ganjar Pranowo bersaksi dalam sidang di Pengadilan Tipikor. Sidang kasus e-KTP belum selesai. Pengadilan kembali menggelar sidang lanjutan (sidang kelima). Kali ini hadir 9 saksi untuk memberikan petunjuk-petunjuk baru terhadap kasus ini, salah satunya adalah Nazaruddin. Terdapat beberapa temuan baru pada sidang ini. Menurut penuturan Nazar, Anas Urbaningrum terlibat dalam menikmati uang untuk proyek eKTP, seperti biaya pemenangan Anas dalam Kongres Pemilihan Ketua Umum Partai Demokrat 2010. Nazar juga menjelaskan bahwa Anas telah menerima uang sebesar Rp 20 miliar dari Andi Narogong. Masih menurut pengakuan Nazar, Jafar Hafsah juga telah menerima uang
sebesar 100.000 dollar AS dari Andi Narogong dan Khatibul Umam Wiranu telah menerima uang sebesar 400.000 dollar AS. Tidak kooperatifnya Miryam S Hani pada sidang sebelumnya membuat KPK menetapkan Miryam S Hani sebagai tersangka. Bukan sebagai koruptor, melainkan sebagai pemberi keterangan palsu saat menjadi saksi pada sidang keempat. Ia pun disangkakan pada Pasal 22 jo Pasal 35 Undang-undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kecurangan Lelang dan Rekayasa Konsorsium
Babak baru dari kasus e-KTP kemudian berlanjut pada sidang keenam yang menghadirkan delapan saksi, di antaranya adalah Anas Urbaningrum, Markus Nari dan Setya Novanto. Pada sidang kali ini Novanto membantah terlibat dalam proyek e-KTP, terlebih dalam menerima uang sebesar Rp 547,2 miliar. Pun dengan Anas dan Markus yang membantah bahwa mereka telah menerima uang dari proyek e-KTP. Sementara hasil dari sidang ketujuh terdapat pengakuan dari anggota tim teknis Kementerian Dalam Negeri tentang pembagian uang. Namun mereka menyebutnya sebagai uang transportasi dan uang lembur. Di samping itu mereka juga mengaku bahwa mereka tidak menjalankan rekomendasi yang Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintah (LKPP) sarankan berupa sembilan lingkup pekerjaan dalam proyek e-KTP yang tidak digabungkan. Memasuki sidang kedelapan dihadiri 10 saksi, KPK menemukan fakta bahwa tim teknis e-KTP sempat dikirim ke AS lalu diberikan uang sebesar 20.000 dollar AS pada 2012 dan terjadi pemberian uang oleh kakak Andi Narogong yakni Dedi Prijanto kepada tim teknis e-KTP. Dalam sidang tersebut juga terkuak tentang keanehan pada proses lelang tender karena dalam proses lelang konsorsium tidak melampirkan sertifikat ISO 9001 dan ISO 14001 sesuai persyaratan. Sementara itu hasil yang didapatkan pada sidang kesembilan adalah adanya temuan bahwa tim teknis e-KTP mengaku diperintah untuk meloloskan konsorsium dalam proses lelang padahal sebenarnya tidak memenuhi syarat. Sugiharto dan Irman menjadi dua nama yang bertanggung jawab atas hal ini. Pada sidang kesepuluh yang dihadiri oleh 6 saksi KPK menemukan fakta-fakta baru terkait kasus e-KTP. Nama Setya Novanto disebut te lah mendapat bagian sebesar 7 persen dari proyek e-KTP berdasarkan penuturan tim IT proyek e-KTP, Johanes Richard Tanjaya yang saat itu menjadi saksi. Hal itu juga diakui oleh Irvanto Hendra Pambudi yang tak lain adalah keponakan dari Setya Novanto. Sementara itu menurut penuturan Jimmy Iskandar Tedjasusila alias Bobby, Andi Narogong memang sengaja dalam membuat tiga konsorsium dalam proyek e-KTP. Dari ketiga konsorsium tersebut, Andi telah mempersiapkan satu konsorsium pemenang lelang, yakni Konsorsium PNRI sedangkan konsorsium Astragraphia dan Murakabi hanya sebagai pendamping. Nama Setya Novanto kembali disebut pada sidang kesebelas selain adanya keterlibatan Irvan Pambudi (keponakan Setya Novanto), dalam sidang itu terungkap bahwa salah satu saksi, yakni Presiden Direktur PT Avidisc Crestec Interindo, Wirawan Tanzil menolak bergabung dalam konsorsium untuk proyek e-KTP karena ada nama Set ya Novanto. Sementara itu mantan anggota Badan Anggaran DPR, Olly Dondokambey bersaksi bahwa proyek e-KTP dipenuhi oleh para calo dari Badan Anggaran DPR dan menyanggah tentang terjadinya penerimaan uang
sebesar 1,2 juta dollar AS dalam proyek e-KTP. Fakta lain yang ditemukan adalah terjadinya kecurangan karena konsorsium E-KTP memilih perangkat lunak yang tak lolos uji kompetensi. Adapun pada sidang keduabelas yang digelar pada 4 Mei 2017 ditemukan fakta bahwa Andi Narogong memegang andil terhadap pengaturan proyek e-KTP. Peran Markus Nari dan Anang Sugiana
Jumlah tersangka korupsi pada proyek e-KTP tidak berhenti pada Sugiharto, Irman, Andi Narogong dan Setya Novanto saja. Markus Nari dan Anang Sugiana Sudiharjo menambah daftar panjang otak di balik kasus korupsi ini. KPK telah menetapkan anggota DPR periode 2009-2014 sekaligus politisi Partai Golkar, Markus Nari sebagai salah satu tersangka. Alasan penetapan Markus sebagai tersangka adalah karena ia berperan dalam penambahan anggaran e-KTP di DPR dan diduga meminta uang sebanyak Rp 5 milyar kepada Irman dalam pembahasan perpanjangan anggaran e-KTP sebesar Rp 1,4 triliun. Di samping itu ia juga diduga telah menerima uang sebesar Rp 4 milyar, berupaya menghalangi penyidikan yang dilakukan oleh KPK dalam menguak kasus e-KTP dan diduga memengaruhi anggota DPR Miryam S Haryani untuk memberikan keterangan yang tidak sesuai dengan kenyataan . Dua bulan setelah penetapan Markus, barulah KPK menetapkan Anang Sugiana Sudiharjo, direktur utama PT Quadra Solutions sebagai tersangka keenam pada kasus megakorupsi e-KTP. Penetapan tersebut dilakukan berdasarkan dua bukti yang ditemukan oleh penyidik KPK beserta fakta-fakta yang dibeberkan oleh Irman, Sugiharto dan Andi Narogong dalam persidangan. Anang terbukti terlibat dalam penyerahan sejumlah uang kepada Setya Novanto dan anggota DPR lainnya dari Andi Narogong. Hal itu membuatnya melanggar Pasal 2 ayat (1) subsider Pasal 3 Undang-Undang tentang pemberantasan Tipikor Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, J unto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Keterlibatan Setya Novanto
Pada Senin, 17 Juli 2017 KPK menetapkan Setya Novanto yang kala itu menjabat sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR sebagai tersangka kasus korupsi pengadaan e-KTP untuk 2011-2012. Penetapannya menjadikan ia sebagai tersangka keempat yang ditetapkan oleh KPK sebagai tersangka setelah Irman, Sugiharto dan Andi Narogong. Setya Novanto diduga melakukan penyalahgunaan wewenang dan tindakan menguntungkan diri sendiri atau orang lain atau korporasi dengan ikut mengambil andil dalam pengaturan anggaran proyek eKTP sebesar Rp 5,9 triliun sehingga merugikan negara hingga Rp 2,3 triliun. Hal ini sesuai dengan pernyataan Irman dan Sugiharto di Pengadilan Tipikor. Selagi KPK sedang menyelidiki kasus Novanto dengan memeriksa para saksi, Setya Novanto mendaftarkan gugatan praperadilan melawan KPK di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan. Sidang Praperadilan
Sebagai tindak lanjut, KPK lalu memanggil Setya Novanto untuk diperiksa sebagai tersangka. Akan tetapi, Novanto tidak datang dengan alasan sakit karena sedang mengalami perawatan di Rumah Sakit Siloam Jakarta. Rencananya sidang praperadilan pertama akan dilaksanakan pada Selasa, 12 September 2017. Namun karena Novanto masih sakit dan atas permintaan KPK, maka hakim kemudian memutuskan untuk menggeser jadwal sidang. Pada
waktu yang sama, Novanto melalui surat meminta KPK untuk menunda penyidikan atas kasus yang melibatkan namanya serta meminta KPK untuk menghormati sidang praperadilan yang ia ajukan sampai adanya putusan praperadilan. Menanggapi hal tersebut, KPK kemudian merespon bahwa KPK tidak akan memenuhi permintaan Novanto dan tetap melakukan penyidikan kepadanya. Hal itu sesuai dengan tiga dasar hukum yang dimiliki Indonesia, yakni Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana, UU Nomor 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan UU Nomor 30 tahun 2002 te ntang KPK. Proses praperadilan Setya Novanto berlanjut dan saat sidang perdana digelar, Agus Trianto yang saat itu berperan sebagai pengacara mengajukan keberatan karena ia menilai ada keanehan atas penetapan status tersangka pada Novanto yang dilakukan oleh KPK. Novanto ditetapkan sebagai tersangka pada 17 Juli 2017 namun Surat Perintah Dimulainya Penyidikan (SPDP) baru diterima Novanto pada 18 Juli 2017. Ia menilai bahwa KPK telah melanggar KUHAP dan Undang-Undang Nomor 30 tahun 2002 tentang KPK dan seharusnya KPK menetapkan tersangka setelah keluarnya SPDP. Ia juga beranggapan bahwa tuduhan terhadap Novanto atas kasus e-KTP tidak berdasar karena nama Novanto tidak disebutkan dalam putusan sidang Irman dan Sugiharto. Setelah 2 bulan menyandang status sebagai tersangka, stat us Novanto sebagai tersangka kemudian dibatalkan oleh Hakim Cepi pada sidang praperadilan lanjutan yang diselenggarakan pada 29 September 2017. Menurut Hakim Cepi, penetapan Novanto sebagai tersangka tidak sah karena diputuskan di awal penyidikan, bukan di akhir. Selain itu ia juga tidak bisa menerima alat bukti yang digunakan KPK untuk menangkap Novanto karena telah digunakan sebelumnya dalam penyidikan Irman dan Sugiharto. Kembalinya Status Tersangka
Sebulan setelah pembatalan status tersangka oleh Hakim Cepi, KPK menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) atas nama Setya Novanto. Setya Novanto disangkakan pada Pasal 2 ayat 1 subsider Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001 juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Keputusan ini dibuat oleh KPK setelah melakukan penyelidikan lebih dalam dengan mengumpulkan berbagai bukti dan minta keterangan dari para saksi. Pada 13 dan 18 Oktober 2017 KPK pernah meminta Novanto untuk dimintai keterangan, namun ia absen dengan alasan tugas kedinasan. Sebagai tindak lanjut, KPK lalu mengantarkan surat pemberitahuan dimulainya penyidikan (SPDP) ke kediamann ya. Pada 10 November 2017 KPK menetapkan Setya Novanto sebagai tersangka untuk kedua kalinya setelah sempat dibatalkan oleh Hakim Cepi. KPK memangggil Novanto untuk melakukan proses pemeriksaan sebagai tersangka. Namun karena ia tidak hadir, maka penyidik KPK memutuskan untuk mendatangi rumahnya. Setibanya di sana penyidik KPK tidak menemukan Novanto sama sekali. Keesokkan harinya, KPK mendatangi rumah Novanto kembali. Kali ini mereka melakukan penggeledahan dan menyita CCTV. Pada malam harinya di hari yang sama, Friedrich Yunadi memberitahukan bahwa Novanto tengah dirawat di Rumah Sakit Medika Permata Hijau karena mengalami kecelakaan di kawasan Permata Hijau hingga tak sadarkan diri. Setelah sempat dipindahkan di RS Cipto Mangunkusumo, Jakarta Pusat Novanto akhirnya dibawa ke gedung KPK dengan
menggunakan kursi roda pada 19 November 2017 untuk dilakukan pemeriksaan dan penahanan. Berdasarkan keterangan tim dokter, Novanto tak perlu dirawat lagi di Rumah Sakit . Pemeriksaan pun diadakan keesokan harinya di gedung KPK pada 20 November 2017. Pada 5 Desember KPK menyatakan bahwa berkas-berkas Novanto telah P21 atau lengkap. Oleh karena itu KPK melimpahkan berkas-berkas tersebut ke Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada 6 Desember 2017. Sehari setelahnya, yakni pada 7 Desember 2017 Pengadilan Negeri Jakarta menggelar sidang praperadilan perdana. Seharusn ya sidang perdana praperadilan diadakan pada 30 November 2017. Namun berhubung KPK tidak hadir, maka sidang ditunda selama 7 hari. Setelah itu sidang praperadilan dilanjutkan lagi pada 8 dan 11 Desember 2017. Sidang praperadilan dilakukan karena Novanto sempat mengajukan gugatan praperadilan ke pengadilan pada 15 Desember 2017. Berdasarkan aturan yang mengacu pada Pasal 82 ayat 1 huruf c, putusan praperadilan harus diselesaikan maksimal 7 hari setelah sidang diadakan. Itu artinya, putusan maksimal dibacakan pada 14 Desember 2017 mengingat sidang diselenggarakan pada 7 Desember 2017. Namun berhubung sidang pokok perkara akan diselenggarakan pada 13 Desember 2017 di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, maka secara otomatis praperadilan Novanto pun gugur. Hal itu dinyatakan oleh hakim tunggal praperadilan Setya. Sidang Pokok Perkara
Pada 13 Desember 2017 Pengadilan Tindak Pidana Korupsi mengadakan sidang pokok perkara dengan agenda pembacaan dakwaan. Dalam sidang tersebut terdapat beberapa hal yang terjadi pada Setya Novanto, mulai dari tak menjawab saat ditanya hakim, mengaku sakit diare dan telah 20 kali bolak-balik ke WC bahkan hingga mengatakan bahwa ia lahir di Jawa Timur padahal sebenarnya Bandung. Atas tindakan yang Novanto lakukan, hakim sidang sempat melakukan skors lalu meminta dokter untuk memeriksakan kesehatannya.
ANALISA KASUS E-KTP PRINSIP FRAUD a. Segitiga Fraud 1. Tekanan atau Dorongan
Tekanan atau dorongan (motivasi) mengacu pada sesuatu yang telah terjadi dalam kehidupan pribadi seseorang sehingga mengakibatkan orang tersebut memiliki kebutuhan yang sangat mendesak yang akhirnya mendorong seseorang tersebut untuk melakukan fraud . Dalam kasus e-KTP adanya pengakuan dari tim teknis e-KTP Kementerian Dalam Negeri bahwa diperintahkan untuk meloloskan konsorsium dalam proses lelang padahal sebenarnya tidak memenuhi syarat dan orang paling bertanggungjawab dalam meloloskan proses pelelangan tersebut adalah Sugiharto dan Irman. Hal ini mengindentifikasikan bahwa adanya tekanan dari atasan untuk meloloskan konsorsium PNRI yang terdiri dari beberapa perusahaan, yakni Perum PNRI, PT LEN Industri, PT Quadra Solution, PT Sucofindo dan PT Sandipala Artha Putra. 2. Kesempatan (Opportunity )
Menurut penelitian Cressey, pelaku fraud selalu memiliki pengetahuan dan kesempatan untuk melakukan kecurangan. Pelaku biasanya memiliki pengetahuan mengenai kelemahan dari perusahaan dan kesempatan yang diperoleh karena pelaku berada dalam posisi yang dipercaya. Sehingga ketika motivasi diiringi dengan peluang, maka potensi terjadinya fraud akan semakin meningkat. Pada mulanya proyek ini berjalan lancar dengan pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) dan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) yang diminta oleh Gamawan Fauzi yang saat itu menjabat sebagai menteri dalam negeri. Namun kembali lagi, kasus E-KTP merupakan kasus yang melibatkan Sugiharto sebagai Pejabat Pembuat Komitmen (PPK) Direktorat Jenderal Kependudukan dan Catatan Sipil pada Kementerian Dalam Negeri, Irman sebagai mantan Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri, dan Setya Novanto sebagai Ketua Fraksi Partai Golkar di DPR RI dengan tingginya jabatan (position) yang dimiliki memberikan kesempatan untuk tersangka dalam melakukan korupsi ( fraud ). 3. Rasionalisasi
Kebanyakan pelaku fraud tidak memiliki catatan kriminal. Bahkan penjahat kerah putih biasanya memiliki kode etik pribadi. Pelaku membenarkan tindakan yang secara obyektif bersifat kriminal dengan membenarkan kejahatan mereka dipengaruhi keadaan mereka. Dalam kasus ini, adanya pembagian uang dalam mega proyek e-KTP kepada Setya Novanto, namun hal tersebut dibantah oleh Setya Novanto karena dianggap sebagai uang transportasi dan uang lembur. Pemikiran rasionalisas i yang menyatakan bahwa pemberian uang transportasi dan uang lembur merupakan suatu kegiatan yang benar padahal nyatanya itu merupakan kegiatan fraud (menyuap) yang membenarkan sebuah kesalahan (berfikir rasional).
b. Profil Pelaku Fraud
Dalam kasus e-KTP, beberapa pelaku kunci yang terlibat dalam korupsi ini, antara lain: 1) 2) 3) 4) 5) 6)
Sugiharto : Pejabat Pembuat Komitmen Direktorat Jenderal Dukcapil Kemendagri Irman : Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri Andi Narogong : Pengusaha pelaksana proyek e-KTP (pemenang tender) Setya Novanto : Ketua Umum Partai Golkar Markus Nari : Anggota DPR Anang Sugiana : Direktur PT Quadra Solutions
SKEMA FRAUD Skema Korupsi
Dalam kasus e-KTP, fraud yang terjadi dikategorikan sebagai skema korupsi. Skema korupsi terbagi dalam 4 sub kategori yaitu konflik kepentingan, penyuapan, gratifikasi ilegal, dan pemerasan ekonomi. a. Konflik Kepentingan
Konflik kepentingan terjadi ketika karyawan, manajer, atau eksekutif memiliki kepentingan ekonomi atau pribadi yang dirahasiakan dalam suatu transaksi sehingga berdampak negatif terhadap perusahaan. Beberapa hal yang terkait dengan konflik kepentingan dalam kasus ini diuraikan sebagai berikut:
Benturan kepentingan yang terjadi antara pejabat Sugiharto dengan atasannya Irman untuk melakukan skandal pengadaan e-KTP. Tujuannya untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, dan korporasi. Benturan kepentingan juga melibatkan anggota DPR untuk melancarkan proses pengadaan e-KTP dari segi penganggaran, pelelangan, dan pengadaan proyek E-KTP. Terjadinya konflik kepentingan antara Andi dengan pejabat Irman dan Sugiharto dalam kasus E-KTP. Andi Agustinus merupakan pengusaha di bidang konveksi yang ikut terlibat dalam kasus ini sebagai pengusaha pelaksana proyek E-KTP. Andi terbukti memberikan dana kepada Irman dan Sugiharto untuk melakukan pemenang lelang dalam pengadaan EKTP. Sehingga pemenangnya dapat bekerja sama dengan Andi untuk menjadi sub kontraktornya. Konflik kepentingan terjadi pada saat Irman dan Sugiharto meloloskan PNRI sebagai pemenangnya. Dalam proses pelelangan, akhirnya diketahui berdasarkan serangkaian evaluasi teknis uji coba alat dan “output” bahwa tidak ada peserta lelang (konsorsium) yang dapat mengintegrasikan Key Manajemen Server (KMS) dengan Hardwere Security Module (HMS) sehingga tidak dapat dipastikan perangkat tersebut memenuhi criteria keamanan wajib. Namun Irman dan Sugiharto tetap memerintahkan Djarat Wisnu Setyawan dan Husni Fahmi melanjutkan proses lelang sehingga konsorsium PNRI dan konsorsium Astragraphia dinyatakan lulus. Konflik kepentingan berikutnya adalah terjadinya hubungan bisnis atas nama perusahaan dengan personal yang masih ada hubungan keluarga (family). Dalam kasus ini Andi Agustinus melibatkan dua saudara kandungnya yakni, Vidi Gunawan dan Dedi Prijanto
dalam proyek E-KTP. Vidi Gunawan menyerahkan uang 1,5 juta dolar AS kepada Sugiharto. b. Penyuapan
Penyuapan atau bribery merupakan tindakan pemberian atau penerimaan sesuatu yang bernilai dengan tujuan untuk mempengaruhi tindakan orang yang menerima. Penyuapan ini melibatkan banyak pihak untuk mendapatkan kelancaran dalam pengadaan E-KTP. Dugaan korupsi itu dilakukan dengan mengatur proses penganggran, pelelangan, dan pengadaan proyek E-KTP dalam kontrak tahun jamak senialai Rp5,952 triliun. Berikut ini tindakan penyuapan yang terjadi:
Penyuapan dilakukan untuk melancarkan proses penganggaran, pada November 2009, Gamawan Fauzi meminta Menteri Keuangan dan Kepala Bappenas untuk mengubah sumber pembiayaan proyek penerapan KTP berbasis Nomor Induk Kependudukan (NIK) yang semua dibiayai menggunakan Pinjaman Hibah Luar Negeri (PHLN) menjadi bersumber dari APBN murni. Untuk melancarkan pembahasan anggaran E-KTP, Irman dan Sugiharto mengucurkan uang kepada 54 anggota Komisi II DPR dan juga Ketua DPR saat itu Marzuki Ali. Selain itu, uang juga mengalir ke pimpinan Badan Anggran (Banggar) DPR yaitu Melchias Marcus Mekeng selaku ketua Banggar partai Golkar, Wakil Ketua Banggar Mirwan Amir (Partai Demokrat) dan Olly Dondokambe (PDI-Perjuangan) serta Tamsil Linrung (PKS). Pembagian uang untuk seluruh anggota Komisi II DPR dengan rincian: 1) 2) 3) 4)
Ketua Komisi II DPR sejumlah 30 ribu dolar AS, 3 orang Wakil Ketua Komisi II DPR masing-masing 20 ribu dolar AS, 9 orang Ketua Kelompok Franksi Komisi II DPR masing-masing 15 ribu dolar AS, 37 orang anggota Komisi II DPR masing-masing 5 ribu dolar AS sampai 10 ribu dolar AS.
Tidak hanya individu, partai juga mendapat aliran dana E-KTP yaitu Partai Golkar sejumlah Rp150 miliar, Partai Demokrat sejumlah Rp150 miliar, PDI Perjuangan sejumlah Rp80 miliar. Tindakan Invoice Kickbacks atau menerima aliran dana dari perusahaan rekanan kepada para pejabat Kemendagri yang mengurus pengadaan E-KTP yaitu Gamawan Fauzi, Diah Anggraeni, Irman, Sugiharto, serta staf Kemendagri, auditor BPK, Staf Sekretari at Komisi II DPR, staf Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), staf Kementerian Keuangan, panitia pengadaan E-KTP, hingga Deputi bidang politik dan Keamanan Sekretariat Kabinet. Tindakan Bid Ringging juga terjadi dalam kasus ini yaitu terjadinya permainan dalam pemenangan tender atau proses lelang dan pengadaan. Pemenangan ini diatur oleh Irman dan Sugiharto serta diinisiasi oleh Andi Agustinus yang membentuk tim Fatmawati yang melakukan pertemuan di rumah toko Fatmawati milik Andi Agustinus. Andi memberikan uang kepada Irman dan Sugiharto sebesar 1,5 juta dolar AS untuk mendapat pekerj aan sub kontraktor. Sehingga yang mendapat pemenang adalah konsorsium PNRI dan konsorsium Astagraphia.
Meski pekerjaan PNRI tidak sesuai target dan tidak sesuai kontrak, Irman dan Sugiharto justru memerintahkan panitia pemeriksa dan penerima hasil membuat berita acara yang disesuaikan dengan target dalam kontrak sehingga seolah-olah konsorsium PNRI telah melakukan pekerjaan sesuai target.
c. Gratifikasi Ilegal
Gratifikasi ilegal serupa dengan penyuapan, namun gratifikasi ilegal tidak ada maksud untuk mempengaruhi keputusan bisnis. Misalnya, seseorang bisa diberikan hadiah mahal, liburan gratis, dan sebagainya untuk mempengaruhinya dalam bentuk negosiasi atau kesepakatan bisnis, tetapi hadiah tersebut diberikan setelah kesepakatan selesai. Dalam kasus e-KTP pelaku Andi Agustinus telah melakukan tindakan gratifikasi illegal dengan motif pemberian uang kepada seseorang memiliki hubungan relasi kuasa yang bersifat strategis. Maksudnya disini adalah terdapat kaitan berkenaan dengan/menyangkut akses ke aset-aset dan control atas aset sumber daya strategis ekonomi, politik, sosial, dan budaya yang dimiliki oleh orang tersebut. Misalnya panitia pengadaan barang dan jasa atau lainnya. Tindakan Andi Agustinus dengan motif memberikan uang sebesar 1,5 juta dolar AS kepada Irman dan Sugiharto untuk mempengaruhi keputusannya dalam melakukan pemenang pelelangan pengadaan proyek e-KTP. Tujuannya agar Andi dapat menjadi sub kontraktor dalam proyek tersebut. Pemberian ini tergolong gratifikasi illegal karena diberikan secara diam-diam (rahasia) kepada Irman dan Sugiharto. Selain itu ti ndakan gratifikasi juga dilakukan kepada anggota DPR untuk memuluskan proyek e-KTP. d. Pemerasan Ekonomi
Dalam sub skema ini melibatkan Markus Nari untuk memuluskan pembahasan dan penambahan anggran proyek e-KTP di DPR. Oleh karena itu, Markus meminta uang kepada Irman sebanyak Rp 5 miliar atas tindakan yang dilakukan tersebut. Markus juga menghalagi atau merintangi penyidikan yang dilakukan KPK. Selain itu, Markus diduga memengaruhi anggota DPR Miryam S Haryani untuk memberikan keterangan tidak benar dalam persidangan kasus korupsi e-KTP. RED FLAGS a. Red Flags dari Skema Konflik Kepentingan
Kecurangan konflik kepentingan melibatkan karyawan yang memiliki hubungan dengan pihak ketiga dimana karyawan dan atau pihak ketiga memperoleh keuangan keuntungan. Penipu menggunakan pengaruh untuk kepentingan pihak ketiga karena kepentingan pribadi ini pada pihak ketiga. Red Flags yang timbul dalam kasus e-KTP adalah sebagai berikut: 1. Terjadi transaksi dalam jumlah besar secara tunai maupun transfer kepada Anggota DPR, Kemendagri, dan Andi Agustinus. Terjadinya transfer yang tidak biasa (dalam jumlah besar) ke rekening Irman dan Sugiharto. Irman mendapatkan sejumlah uang atas perbuatannya tersebut sebesar Rp2,371 miliar, 877,7 ribu dolar AS dan 6 ribu dolar
singapura. Selain itu, Sugiharto menerima sejumlah 3.474.830 dolar AS. Pemberian uang juga dilakukan kepada anggota DPR dan Kemendagri serta perusahaan korporasi. 2. Penemuan hubungan antara karyawan dengan atasan dan pihak keti ga:
Penemuan hubungan baik antara Sugiharto selaku Pejabat Pembuat Komitmen Dukcapil kemendagri dengan atasannya Irman selaku Direktur Jenderal Dukcapil Kemendagri. Selain itu, hubungan Andi Agustinus dengan Irman dan Sugiharto terungkap telah mendapat aliran dana atas pemenangan lelang yang diiniasi oleh Andi. Terungkapnya hubungan rahasia antara Andi Agustinus dengan Setya Novanto selaku Ketua Fraksi Partai Golkar. Mereka bekerja sama dalam mengkondisikan perusahaan pemenang lelang pengadaan e-KTP. Pemisahan tugas yang lemah dalam menetapkan kontrak dan menyetujui proses lelang. Tersangka Irman, Sugiharto, dan Andi mengabaikan prosedur demi memenangkan pelelangan pengadaan E-KTP. Dalam proses pelelangan yang dilakukan telah diketahui bahwa evaluasi teknik uji coba alat dan “output” tidak ada peserta lelang yang dapat memenuhi kriteria keamanan wajib. Namun, para pelaku Irman dan Sugiharto tetap meloloskan konsorsium PNRI dan Astragraphia. Oleh karena pemisahan tugas yang lemah tersebut men yebabkan terpilihnya PNRI tidak sesuai prosedur yang benar. Kecurangan dalam pencatatan transaksi. Kecurangan ini dilakukan dalam pekerjaan PNRI yang tidak memenuhi target dan tidak sesuai kontrak. Para tersangka membuat berita acara yang tidak benar seolah-olah konsorsium PNRI telah melakukan pekerjaan sesuai target.
b. Red Flags dari Skema Penyuapan/ Bribery
Berikut adalah red flags dalam skema penyapan/bribery: 1. Perubahan Gaya Hidup Andi Agustinus yang memberikan puluhan aset kepada istrinya Inayah untuk dikelola seperti rumah, bangunan serta tanah. 2. Andi memiliki satu unit Toyota Alphard B-30. 3. Andi membantu istrinya dalam membuka berbagai usaha seperti usaha kos-kosan dan salon. Selain itu, membuat perusahaan baru yakni PT. Selaras Clorin Pratama, PT. Inayah Properti Indonesia. Kemudian PT. Prasetya Putra Naya yang diatasnamakan adik Inayah Raden Gede sebagai pemilik perusahaan. 4. Hubungan antara Andi Agustinus dengan Anggota DPR dan Kemendagri. Hubungan baik yang terjadi pada Andi dengan para DPR dan Kemendagri adalah untuk melancarkan pengadaan proyek E-KTP. Para anggota DPR dan Kemendagri menerima aliran dana yang berasal dari perusahaan rekanan. 5. Kurangnya review atas persetujuan manajemen terhadap laporan anggaran proyek EKTP. Pihak pemerintah kurang melakukan review atas kelengkapan laporan anggran proyek E-KTP yang telah dibuat. Hal tersebut karena tersangka telah melakukan suap terhadap pihak yang memeriksa laporan agar anggran tersebut dapat dinaikkan.
c.
Red Flags dari Skema Gratifiasi Ilegal
Berikut adalah red flags dalam skema gratifikasi illegal: 1. Adanya pertemuan rahasia yang dilakukan di rumah toko Fatmawati milik Andi Agustinus untuk membahas proses lelang dan pengadaan oleh Irman dan Sugiharto yang dipimpin oleh Andi Agustinus. 2. Adanya anomali dalam menyetujui vendor yakni terpilihnya PNRI tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan oleh pemerintah. d.
Red Flags dari Skema Pemerasan Ekonomi
Berikut adalah red flags dalam skema pemerasan ekonomi: 1. Dalam skema ini red flags yang muncul adalah adanya hubungan rahasia antara Irman dengan Markus Nari. 2. Anggaran dalam proyek e-KTP tinggi, tidak sesuai dengan realisasinya. Hal ini terjadi karena peran Markus Nari dalam skandal kasus e-KTP berperan sebagai memuluskan pembahasan dan penambahan anggaran proyek pengadaan e-KTP.
PENCEGAHAN FRAUD
Berdasarkan kasus proyek E-KTP, salah cara terbaik untuk pencegahan fraud tindak pidana kriminal korupsi sehingga tidak terjadi hal yang serupa dikemudian hari yaitu meningkatkan persepsi deteksi atau “takut ketahuan”. 1. pengawasan yang tepat atas fungsi suatu kontrak pengadaan barang dan jasa. Jika sebuah entitas baik swasta maupun sektor publik beringinan mencoba mencegah penyuapan dan korupsi, kegiataan pencegahaan harus mencakup pemeriksaan dokumentasi kontrak pengadaan barang dan jasa baik secara teratur dalam bentuk kertas dan elektronik. Kontrak pengadaan barang dan jasa sudah sesuai dengan prosedur yang telah di tetapkan dan tidak ada pelanggaran tindak pidana yang dilakukan dapat dilihat dari pemeriksaan secara rutin terhadap dokumentasi kontrak pengadaan barang dan jasa. 2. Budaya organisasi yang baik akan kejujuran dan pemahaman tentang bahayanya penyuapan dan korupsi yang berdampak bukan hanya pada perusahaan melainkan kepada pelaku yang berangkutan. Oleh karna itu, entias harus meciptakan budaya organisasi sedemikian rupa yang anti terhadap penyuapan dan korupsi sehingga berdampak pada mencegah seseorang ketika dihadapkan untuk melakukan penyuapan dan korupsi. 3. Menggunakan e-budgeting. Bila menggunakan e-budgeting ini akan ada suatu system yang saling mengawasi, sehingga dapat tercipta transparansi anggaran. Dengan menggunakan system ini masyarakat pun akan dapat melihat dan memantau mengenai anggaran apa saja yang dibuat dan diajukan. Dalam kasus E-KTP ini dapat dikatakan sebagai suatu kasus fraud yang terstruktur dan rapi. Dengan menggunkan e-budgeting yang terbuka untuk siapa saja untuk memantaunya bisa meningkatkan control terhadap proyek yang ada. Hal ini dikarenakan masyarakat tidak memiliki konflik kepentingan didalamnya sehingga dapat menilai dengan lebih netral. Dengan ebudgeting ini pula
dapat berfungsi sebagai pedoman kerja alat dalam pengkoordinasian kerja didalam suatu proyek. 4. Penuntutan merupakan sesuatu kegiatan ketika seseorang telah ditetapkan sebagai tersangka harus di tuntut seadil-adilnya dan dijatuhkan hukuman yang sangat berat sehingga tidak terjadi kasus proyek e-KTP terulang kembali dikemudian hari. Pada kasus e-KTP pemberian vonis yang diberikan kepada Sugiharto divonis selama 5 tahun dan denda sebesar Rp 400 juta subsider 6 bulan kurungan penjara, Irma divonis 7 tahun dan membayar denda Rp 500 juta subsider 6 bulan kurungan, Andi Agustinus di hukum penjara selama 8 tahun dan denda sebesar Rp 1 miliar subsider 6 bulan penjara masih tergolong ringan dan belum memberikan efek jera kepada koruptor. Namun pemberian vonis yang cukup berat yang diberikan kepada Set ya Novanto di vonis 15 tahun penjara, membayar denda Rp 500 Juta subsider 3 bulan kurungan. 5. Keterbukaan dan perbaikan pembahasan anggaran yang lebih teliti diyakini bisa mencegah terulangnya kasus korupsi anggaran seperti dalam kasus KTP elektronik, yang diduga merugikan negara sekitar Rp2,3 triliun (Sri Mulyani Indrawati). Menurut Sri Mulyani, perbaikan pembahasan anggaranan meliputi, diantaranya: (1) keterbukaan dan akuntabilitas, (2) perbaikan kinerja untuk menciptakan kepastian dari unit cost . Hal tersebut dapat mengurangi potensi mark up (penggelembungan nilai anggaran). DETEKSI FRAUD
Medeteksi fraud merupakan suatu cara untuk mengidentifikasi suatu kecurangan ( fraud ) yang telah melanggar tindak pidana peraturan perundang-undangan yang ada. Pada kasus e-KTP dalam medeteksi suatu kecurangan ( fraud ) dalam pelanggaran tindak pidana peraturan perundang-undangan penyidik ahli seperti akuntansi forensik, penyidik POLRI dan atau penyidik KPK dapat melakukan yaitu: 1.
2.
Menginvestigasi suatu kontrak dan persetujuan (tender). Akuntansi forensik, penyidik POLRI, dan penyidik KPK dapat memulai penyidikan dari proses lelang konsorsium yang tidak melampirkan sertifikat ISO 9001 dan ISO 14001 sesuai persyaratan dan adanya temuan juga bahwa tim teknis e-KTP mengaku diperintah untuk meloloskan konsorsium dalam proses lelang padahal sebenarnya tidak memenuhi syarat. Akuntansi forensik, penyidik POLRI dan penyidik KPK dapat menginvestigasi dari pernyataan-pernyataan pengakuan kesaksian yang diberikan oleh Andi Naragong pada 21 Desember 2017 yang mengaku bahwa adanya mark up dan kerugiaan negara dalam pengadaan e-KTP, Azmin Aulia adik mantan Mendagri Gamawan Fauzi mendapat ruko dari proyek e-KTP, ada jatah untuk Setya Novanto dan anggota DPR sebanyak 7 JT Dollar AS, adik Gamawan Fauzi salah satu kunci dalam proses lelang e-KTP, dan Andi Agustinus mengaku beberapa kali bertemu di rumah Setya Novanto yang membahas bagian fee dan teknis dalam pengadaan barang dan jasa e-KTP.
PENGUMPULAN BUKTI FRAUD
Sebagaimana kejahatan lainnya, kasus megakorupsi e-KTP meninggalkan berbagai bukti. Bukti-bukti fraud yang dibawa ke pengadilan adalah sebagai berikut:
Direct Evidence 1)
2)
Rekaman video berdurasi 8 menit dari total durasi selama 1,5 jam tersebut, berisi sejumlah pengakuan terdakwa Andi Agustinus yang diperiksa di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Kamis 30 November 2017. Jam tangan seharga Rp 1,3 miliar sebagai bukti keterlibatan Setya
Circumstatial Evidence 1)
Novanto yang merupakan bentuk
ucapan terima kasih dari Andi Agustinus atas lolosnya anggaran mega proyek E-KTP sebesar Rp 5,9 Triliun . 3)
4)
5)
6)
Surat kontrak pada 1 Juli 2011, surat jaminan penerimaan uang Rp 50 juta dan tiga orang saksi sebagai bukti kecurangan dalan konsorsium pemilihan tender. Bukti-bukti aliran dana dan penerimaan uang yang dimiliki oleh KPK. Uang senilai Rp 150 miliar untuk Partai Golkar, Rp 150 miliar untuk Partai Demokrat dan Rp 80 miliar untuk PDIP, serta bukti uang yang diterima oleh terdakwa lainnya. Keterangan para tersangka yang ditanyai.
2)
Lima saksi dihadirkan untuk bersaksi di pengadilan, diantaranya: a) Ardiansyah Dosen di Fakultas Ilmu Komputer Universitas Indonesia b) Yunus Husein mantan Kepala Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) c) Suaedi auditor Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) d) Ahli teknologi yang juga dosen di Fakultas Ilmu Komputer UI Bob Hardian e) Dosen Fakultas Hukum Universitas Atma Jaya Jogyakarta Riawan Tjandra Dokumen dan surat-surat keterangan dari ahli.