LAPORAN PRAKTIKUM BIOKIMIA KEDOKTERAN BLOK CHEM II PEMERIKSAAN ASETILCHOLINESTERASE (Metode DGKC New)
Oleh : Nama
: Akhmad Ikhsan Prafita Putra
NIM
: G1A006069
Kelompok
: B-3
Asisten
: Nia Tri Mulyani
KEMENTERIAN PENDIDIKAN NASIONAL UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS KEDOKTERAN DAN ILMU-ILMU KESEHATAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER PURWOKERTO 2010
LEMBAR PENGESAHAN
Oleh: Akhmad Ikhsan Prafita Putra G1A009069 B-3
Disusun untuk memenuhi persyaratan mengikuti ujian Praktikum Biokimia Kedokteran BLOK CHEM II pada Program Pendidikan Dokter Universitas Jenderal Soedirman Purwokerto
Diterima dan disahkan Purwokerto, 27 Mei 2010 Asisten
Nia Tri Mulyani G1A007003
BAB I PENDAHULUAN
A. Judul Praktikum
Pemeriksaan Enzim Asetilkolinesterase (Metode DGKC New)
B. Hari, Tanggal Praktikum
Kamis, 20 Mei 2010
C. Tujuan Praktikum
a. Mengukur kadar enzim asetilkolinesterase dengan metode DGKC New. b. Menyimpulkan hasil pemeriksaan enzim asetilkolinesterase pada saat praktikum setelah membandingkannya dengan nilai normal. c. Melakukan diagnosa dini penyakit apa saja yang ditandai oleh hasil aktivitas enzim asetilkolinesterase abnormal / patologis melalui bantuan hasil praktikum yang dilakukan.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Asetilkolin
merupakan
salah
satu
jenis
zat
kimia
perantara
(neurotransmiter) yang dikeluarkan oleh sistem saraf melalui ujung akson neuron presinaps (Dorland, 2002). Neurotransmiter dikeluarkan dengan distribusi yang terbatas ke sel-sel sasaran spesifik di dekatnya, kemudian dengan cepat akan mengalami inaktivasi oleh enzim-enzim yang berada di taut sel saraf-sel sasaran atau diserap kembali sebelum mencapai darah oleh ujung-ujung saraf. Sel-sel sasaran untuk neuron tertentu memiliki reseptor yang akan menerima neurotransmiter yang bersangkutan. Namun, reseptor yang sama juga dapat dimiliki oleh sel-sel di tempat lain yang juga dapat berespon apabila terpajan (Sherwood, 2001). Semua sistem saraf yang mempersarafi semua otot rangka dalam tubuh (neuron motorik) menggunakan neurotrasmiter yang sama yaitu ACh. ACh dapat secara tersendiri dikeluarkan dari neuron-neuron motorik yang secara spesifik berhubungan dengan otot. Semua otot rangka dapat secara bersama berkontraksi jika ACh masuk dalam darah karena semua otot rangka memiliki reseptor ACh yang identik (Sherwood, 2001). Inaktivasi ACh disebabkan oleh adanya enzim asetilkolinesterase yang terdapat pada membran motor end plate. Enzim ini mengontrol kontraksi otot dengan menghentikan aktvitas listrik di serat otot jika tidak ada sinyal. Kontraksi otot terjadi karena ACh berkontak dengan motor end plate sehingga aliran Na +
+
dan K tetap ada untuk menimbulkan energi potensial. Jika kerja ACh ini terus
dibiarkan maka otot akan terus bekerja hingga kelelahan walaupun tidak ada potensial aksi lebih lanjut di neuron motorik (Sherwood, 2001). Asetilkolin berikatan dengan reseptornya dalam wa ktu yang sangat singkat sekitar sepersemiliar detik kemudian akan terlepas dan dengan mudah dapat berikatan lagi dengan reseptornya (Sherwood, 2001). Namun demikian, ACh ini dapat segera disingkirkan melalui dua cara. Sebagian besar asetilkolin akan dihancurkan oleh enzim asetilkolinesterase terutama untuk ACh yang terletak pada lapisan yang berbentuk busa di jaringan ikat halus di ruang sinaps antara terminal saraf presinaps dan membran otot pascasinaps. Sedangkan yang lainnya dalam jumlah yang kecil akan berdifusi keluar dari ruang sinaps sehingga tidak tersedia lagi untuk bekerja pada membran serabut otot (Guyton & Hall, 2008). Mekanisme pelepasan ACh, kerja enzim AChE, dan inaktivasi ACh dipengaruhi oleh beberapa zat kimia dan juga beberapa mekanisme. Zat kimia yang dapat mempengaruhi mekanisme tersebut misalnya adalah toksin C lostridium botulinum, kurare, dan beberapa macam organofospat seperti
malation dan parathion. Pengaruh dari gangguan yang terjadi pada mekanisme kerja ACh-AChE dapat menyebabkan beberapa jenis penyakit seperti miastenia gravis, botulisme, dan alzheimer (Sherwood, 2001).
BAB III METODE PRAKTIKUM
A. Alat dan Bahan a. Alat
1. 1 buah spuit 3 cc 2. 1 buah torniquet 3. 1 buah tabung Eppendorf 4. 1 buah sentrifugator 5. 1 buah plakon 6. 1 buah pipet ukur 5 ml 7. 1 buah mikropipet dengan yellow tipe (10 µL-100 µL) 8. 1 buah kuvet 9. 1 buah tabung reaksi 5 cc 10. 1 buah Spektrofotometer b.
Bahan
a. Sampel Darah b. EDTA ( Ethylenediaminetetracetic acid) c. Working Reagen 1 cc
B. Tata Urutan Kerja
1. Mempersiapkan sampel plasma darah a. Mengambil darah probandus sebanyak 2,5 cc dengan menggunakan spuit.
b. Memasukkan darah ke dalam tabung eppendrof kemudian menyentrifugasi dengan kecepatan 4000 rpm selama 10 menit. c. Mengambil 10 µL plasma sebagai sa mpel. 2. Mempersiapkan Working Reagen a. Reagen 1 ( buffer ChE) sebanyak 5 cc + dengan reagen 2 (substrat butirilkolin) sebanyak 1 cc b. Mengambil 1000 µL sebagai pengetes 3. Mencampurkan 1000 µL working reagen dengan 10 µL plasma kemudian
langsung
menginkubasi
selama
3
menit
dalam
spektrofotometer dengan panjang gelombang 405 nm selama 1 menit dengan nilai faktor 13160. 4. Mengalikan hasil dengan 10.
C. Nilai Normal
a. Untuk laki-laki, nilai normalnya adalah 5100 ± 11700 U/L b. Untuk perempuan, nilai normalnya adalah 4000 ± 12600 U/L c. Aktivasi Asetilkolinesterase i.
75 % maka dikategorikan normal
ii. 50% ± 75% maka dikategorikan ringan iii. 25% - 49% maka dikategorikan sedang iv. 25% maka dikategorikan buruk
BAB IV HASIL DAN PEMBAHASAN
A.
Hasil Praktikum
B.
Nama Probandus
: Faidh Husnan
Umur Probandus
: 18 Tahun
Jenis Kelamin
: Laki-Laki
Hasil Praktikum
: 12761 U/L
Aktivitas asetilkolinesterase
: 250,2 %
Pembahasan
Berdasarkan
hasil
praktikum
dinyatakan
bahwa
kadar
asetilkolinesterase pada probandus sebanyak 12761 U/L. Nilai itu melebihi dari nilai normal. Namun, untuk AChE angka lebih dari 11700 U/L masih dapat dikatakan normal. Kadar asetilkolinesterase dengan jumlah 12761 U/L didapatkan dengan menggunakan spektrofotometer dengan menggunakan metode kinetik yang pengukurannya menggunakan banyak titik . Hal ini disebabkan karena reaksi enzim tidak bekerja hanya untuk satu kali reaksi namun juga dapat lebih dari satu kali reaksi. Dalam reaksi yang dilakukan oleh enzim, enzim hanya berperan sebagai katalisator reaksi kimia tanpa merusak dirinya sendiri (Dorland, 2002). 12761U/L merupakan angka hasil kali 1276,1 dengan 10. Hal ini disebabkan karena spektrofotometer yang digunakan hanya bisa
sampai 5 digit dan disertai dengan 1 digit dibelakang koma sebagai desimal. Jika angka yang dimasukkan sesuai dengan apa yang tertera pada layar spektrofotometer, maka hasil yang didapatkan akan kurang dari normal (< 5100 U/L). Aktivitas enzim asetilkolinesterase dengan kategori
75%
yaitu 250,2% dengan kata lain menandakan bahwa aktivitas asetilkolinesterase dalam tubuh probandus normal. Jadi secara fisiologis enzim asetilkolinesterase dapat berperan dalam homeostasis tubuh terutama dalam inaktivasi ACh sebagai neurotransmiter. Angka 250,2%
didapatkan
dengan
menghitung
kadar
enzim
asetilkolinesterase yang didapatkan dengan spektrofotometer sebesar 12761 U/L dibagi dengan kadar minimal (probandus laki-laki = 5100 U/L) dikalikan dengan 100%, atau dengan kata lain dapat dirumuskan sebagai berikut.
Aktivitas AChE
Kadar dlm spektrofotometer
Kadar miniman AChE
x 100%
Kadar normal AChE pada manusia dipengaruhi oleh beberapa faktor diantaranya jenis kelamin, faktor genetik dan hormonal, fungsi fisiologis jaringan, serta aktifitas. Kadar normal AChE pada laki-laki memiliki rentang 5100 ± 11700 U/L, sedangkan pada perempuan memiliki rentang 4000 ± 12600 U/L Faktor-faktor yang mempengaruhi kadar AChE dalam tubuh juga mempengaruhi produksi ACh. Produksi ACh terletak pada
neuron-neuron yang terdapat di sebagian besar daerah otak khususnya oleh sel-sel piramid besar korteks motorik di dalam ganglia basalis dan neuron preganglion sistem saraf otonom. Sebagai kompensasinya, tubuh harus memproduksi enzim AChE untuk memecah ACh (Setyono, 2004). Asetilkolintransferase
berperan
sebagai
enzim
yang
mempengaruhi sintesis Asetilkolin. Asetilkolin adalah molekul yang disintesis dari kolin dan KoA. Perannya dalam tubuh adalah sebagai neurotransmiter yang pada umumnya ditemukan pada organisme invertebrata maupun vertebrata. ACh terletak pada ujung-ujung saraf yang berakhir pada membran plasma. Berdasarkan dengan jenis reseptornya, ACh pada sistem saraf pusat, dapat berperan sebagai inhibitor atau eksitator (Setyono, 2004; Campbell, 2002). Pembagian Kolinesterase secara biokimiawi terdapat dua macam, yaitu: 1. Asetilkolinesterase
(AChE),
juga
dikenal
sebagai
eritrositkolinesterase atau asetilkolin asetilhidrolasi. Enzim ini banyak ditemukan pada sel darah merah dan saraf sinapsis. 2. Pseudokolinesterase, dikenal sebagai plasma kolinesterase, butirilkolinesterase (BuChE atau asilkolin asilhidrolase). Pada serum atau plasma dan di hati banyak ditemukan enzim ini (Inge, 2007).
selanjutnya mendepolarisasi membran otot sehingga potensial aksi terbentuk dan ditransmisikan di sepanjang serabut saraf menghasilkan kontraksi otot (Murray, 2003). Enzim kolinesterase mempunyai peranan yang penting dalam proses neuro muskuler dengan menghidrolisis Asetilkolin (Ach) menjadi asam asetat dan kolin.
Kolin yang berfungsi untuk
menghantarkan impuls syaraf akan berkurang, jika terjadi suatu penumpukan asetilkolin, sehingga timbul berbagai kelainan-kelainan pada berbagai kerja tubuh (Murray, 2003). Aktivitas kolinesterase pada bayi masih rendah, yang kemudian meningkat pada masa awal perkembangan anak. Umumnya rentang nilai yang dianggap patologis dan perlu penanganan adalah nilai kolinesterase yang kurang dari batas bawah normal, namun sulit untuk mendapatkan hasil pemeriksaan yang konsisten sehingga sulit dimanfaatkan untuk pemeriksaan klinis. Aktivitas Kolinesterase serum dapat menurun pada pasien dengan pemakaian oral kontrasepsi atau pasien yang sedang menjalani terapi estrogen (Murray, 2003). Kolinesterase juga rendah pada beberapa penyakit hati, termasuk sirosis dekompensasi, hepatitis, karsinoma metastasis, CHF, dan pada malnutrisi (Inge, 2007). Walaupun demikian, sulit didapatkan hasil pemeriksaan yang konsisten sehingga sulit dimanfaatkan untuk pemeriksaan klinis (Murray, 2003).
C.
Aplikasi Klinis 1. Botulisme
Botulisme
adalah
penyakit
yang
disebabkan
oleh
neurotoksik yang dibawa oleh makanan busuk yang terkontaminasi oleh C lostridium botulinum yang mengeluarkan toksin botulinum. Toksin botulinum dikenal sebagai salah satu racun yang mematikan karena mengganggu transmisi neuromuskular yaitu dengan menghambat pengeluaran ACh dari ter minal button sebagai respon dari terminal aksi di neuron motorik (Gyuton & Hal, 2008; Sherwood, 2001). Toksin ini menghambat otot-otot untuk berespon terhadap impuls saraf. Kematian biasanya disebabkan karena gangguan
pernapasan
yang
yang
ditimbulkan
oleh
ketidakmampuan diafragma untuk berkontraksi (Sherwood, 2001). 2. Keracunan Organofosfat dan Kar bamat
Organofosfat memodifikasi
merupakan
aktivitas
taut
suatu
zat
kimia
yang
neuromuskulus
dengan
cara
menghambat AChE secara irreversibel. Inhibisi AChE akan membuat otot yang tereksitasi tetap dalam keadaan berkontraksi dikarenakan tidak adanya inaktivasi ACh sehingga tidak mampu melakukan repolarisasi ke keadaan istirahat. Kematian akibat zat ini ditimbulkan oleh ketidakmampuan diafragma untuk berelaksasi dan kemudian bekontraksi untuk menghirup udara segera (Sherwood, 2001).
Organofosfat dan karbamat merupakan inhibitor atau penghambat kerja enzim AChE atau dengan kata lain antiAChE. Keracunan senyawa seperti malation, parathion, paraoxon, dan diazinon
bersifat
irreversibel.
Waktu
paruh
penghambat
asetilkolinesterase oleh organofosfat berkisar 2-3 hari. Gejala yang ditimbulkan pada keracunan organofosfat mulai timbul setelah 30 menit disertai oleh penurunan enzim AChE. Sedangkan keracunan oleh karbamat bersifat reversibel selama 30 menit. Gejala yang timbul akibat keracunan pestisida golongan karbamat dan organofospat adalah miosis, penglihatan kabur, kelemahan otot, diare, mual, banyak mengeluarkan air liur, berkeringat, edem paru, dan reaksi konvulsif (Munaf, 2003). Zat-zat toksik ini sering ditemukan pada pestisida dan gasgas saraf yang digunakan dalam dunia militer pada saat perang (Sherwood, 2001). Pestisida adalah suatu zat kimia yang digunakan untuk membasmi hama jenis apapun. Beberapa jenis pestisida adalah
fungisida,
herbisida,
insektisida,
rodentisida,
dan
anthelminyic (Dorland, 2002). 3. Alzheimer
Penyakit Alzheimer merupakan gangguan neuropsikiatri yang irreversibel. Gambaran patologik dasar penyakit Alzheimer adalah gambaran proses degeneratif yang dicirikan hilangnya sel di daerah tertentu otak, misalnya korteks serebri dan hipokampus. Diduga akibat munculnya peptida amiloid ß (A ß), unsur utama
pembentuk plak pada penderita Alzheimer, yang menandakan terjadi peningkatan kadar aluminium. Peptida amioid ini berasal protein prekursor berukuran besar yang dinamakan Protein Prekursor Amiloid (APP), yang gennya terletak pada kromosom 21, didekat daerah yang terkena Sindrom Down. Itulah sebabnya, penderita Sindrom Down yang bertahan hingga berusia 50 tahun sering terkena Alzheimer. Alzheimer sering kali memperlihatkan penurunan nyata kadar
asetilkolintransferase
dan
asetilkolin.
Perubahan
tampaknya terjadi sekunder karena kerusakan sel, bukan
ini
causa
primer penyakit Alzheimer (Murray, 2003). 4.
Miastenia Gravis
Penyakit ini mengenai taut neuromuskulus yang ditandai dengan kelelahan otot yang ekstrim. Penyakit ini merupakan penyakit autoimun yaitu tubuh menghasilkan antibodi terhadap reseptor ACh pada motor and plate sehingga ACh tidak dapat berikatan menemukan dan berikatan dengan reseptornya. AChE merusak ACh sebelum berikatan dengan reseptornya pada post sinaps sehingga tidak terbentuk potensial end plate (Sherwood, §
2001). 5.
Keracunan Kurare
Kurare merupakan zat kimia yang menghambat aktivitas neuromuskulus dengan menghambat pengeluaran ACh. Zat ini berikatan dengan reseptor pada motor end plate. Ikatan tersebut
bersifat reversibel, tidak mengubah permeabilitas membran, dan tidak diinaktivasi oleh AChE. Ikatan kurare-reseptor menyebabkan ACh tidak dapat berikatan dengan reseptor tersebut. Sehingga saluran yang memungkinkan pergerakan ion-ion untuk menimbulkan EPP tidak terbuka. Hal ini menimbulkan paralisis karena potensial otot tisak terjadi. Paralisis merupakan respons impuls saraf terhadap otot tersebut. Apabila zat kurare terlalu banyak dan berikatan dengan reseptor ACh, maka akan terjadi gangguan pernapasan yang ditimbulkan
dengan
ketidakmampuan
diafragma
untuk
berkontraksi akibat paralisis. Kurare, pada jaman dahulu, digunakan sebagai racun mata panah yang mematikan. Namun, kurare dan beberapa jenis obat lain digunakan secara medis pada proses pembedahan untuk membantu mencapai relaksasi otot rangka yang lebih baik dengan dosis anastetik sedikit. Penggunaan sebagai obat anastetik harus disertai dengan perangkat yang bisa mempertahankan pernapasan secara artifisial sampai obat tersebut lenyap (Sherwood, 2001).
BAB V KESIMPULAN
1. Hasil praktikum menggunakan spektrofotometer menyatakan bahwa kadar enzim asetilkolinesterase pada probandus sebesar 12761 U/L dengan aktivitas 205,2%. 2. Berdasarkan hasil praktikum dapat dinyatakan bahwa kondisi enzim AChE dalam tubuh probandus dalam keadaan normal. 3. Ada beberapa zat kimia dan mekanisme penyakit yang berkaitan dengan enzim asetilkolinesterase dan asetilkolin. Diantaranya adalah keracunan organofosfat dan karbamat, kurare, miastenia gravis, alzheimer, dan botulism.
DAFTAR PUSTAKA
Murray, K. Robert. 2003. Biokimia Harper.Edisi 25. Jakarta : EGC.
Munaf, Sjamsuir. 2003. Keracunan Akut Pestisida. Jakarta : Widya Medika.
Dorland, W. N. 2002. Kamus Kedokteran Dorland. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Guyton, A. C., & Hall, J. E. 2008.
Buku
Ajar Fisiologi Kedokteran . Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Sherwood, L. 2001. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Jakarta: Penerbit Buku Kedokteran EGC.
Gunawan, Adi. 2001. Mekanisme dan Mekanika Pergerakan Otot. Integral, vol. 6: 2.