PEMBANGUNAN EKONOMI LOKAL BERBASIS PARIWISATA: MENAKAR PELUANG DAN TANTANGAN (Studi Tentang Pengelolaan Wisata Gua Pindul, Gunung Kidul, Yogyakarta)
Oleh: Listiana Asworo
Abstraksi
Sektor pariwisata telah lama disebut sebagai sektor ekonomi. Pariwisata menjadi salah satu faktor yang diyakini mampu memberikan multiplier effect
dengan
memberikan
efek
kesejahteraan
dan
pemberdayaan
masyarakat. Namun, upaya ini harus didukung oleh semua stakeholder yang yang saling bersinergi dalam membangun ekonomi lokal berbasis pariwisata. Tulisan ini hendak menyampaikan bahwa obyek wisata Gua Pindul yang dikembangkan
melalui
gagasan
bottom
up
dan
dengan
logika
pemberdayaan serta didukung dengan kearifan lokal akan memberikan dampak positif yang dapat mensejahterakan masyarakat sekitar. Kata kunci: pariwisata, pembangunan ekonomi local, pemberdayaan
Pendahuluan: Industri Pariwisata dari Bottom dari Bottom up untuk Pemberdayaan
Indonesia dianugerahi bentangan alam yang begitu indah dan mempesona. Keindahan kekayaan alam Indonesia terbentang di seluruh wilayah di Indonesia. Banyak keindahan alam maupun budaya yang dimiliki Indonesia menjadi wisata terbaik di dunia, baik itu keindahan lautnya maupun situs-situs peninggalan sejarah, semua lengkap d itawarkan oleh Indonesia. Tidak heran jika banyak pihak kemudian menaruh harapan terhadap sektor pariwisata sebagai penopang perekonomian dan pemasok devisa utama Negara selain migas. Diskusi soal pariwisata juga tidak terlepas dari perdebatan tentang bagaimana membuat konsep yang baik dalam mengelola potensi wisata yang begitu luar biasa melimpah, apakah 1
pengelolaan wisata diserahkan atau dikelola oleh perusahan-perusahaan swasta yang tentunya akan menguasai seluruh asset yang menopang industry pariwisata, misalnya mulai kepemilikan lahan, fasilitas-fasilita penunjang lainnya seperti hotel, restaurant, tour operators dan lain sebagainya. Ataukah memulai membangun pariwisata dengan berbasis pada komunitas, yang lebih menekankan pada adanya keterlibatan masyarakat setempat dalam mengelola industry pariwisata yang ada di daerahnya. 1 Perdebatan tersebut dimulai ketika terjadi “dominasi” atas konsep pariwisata yang secara massif menjadi rujukan atau pijakan dalam mengelola pariwisata. Industri pariwisata Internasional membuat “pakem” yang bersifat terstandar dan terorganisasi dalam paket-paket, paket-paket, bentuk barunya berpusat pada fleksibilitas, fleksibilitas, segmentasi dan integrasi diagonal. Artinya Artinya bahwa, konsep atau atau gagasan pengelolaan pengelolaan “konvensional” ini tidak memasukkan nilai-nilai nilai-nilai cultural sebagai basis lain dalam mengelola pariwisata. Ide yang ditawarkan oleh jaringan pariwisata Internasional tidak lebih dari “penjualan” obyek wisata tanpa mempertimbangkan aspek -aspek lain yang justru lebih krusial untuk didukung penuh, misalnya kesejahteraan masyarakat local.2 Catatan histori memperlihatkan bahwa sejak awal 1970-an banyak bukti yang menunjukkan bahwa pariwisata Internasional yang dipraktikkan di Negara berkembang bukanlah panacea atau obat mujarab untuk meraih pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan kehidupan
masyarakat. Pariwisata Internasional justru memperlihatkan kegagalan dalam melakukan fungsinya sebagai motor penggerak pembangunan ekonomi Negara-negara berkembang. Bahkan menjadi penyebab terjadinya keterbelakangan dan ketergantungan banyak Negara berkembang. Di samping itu, berbagai studi tentang pariwisata di Negara berkembang menemukan kebocoran atas devisa yang dihasilkan. Kebocoran terjadi terutama sebagai akibat langsung dari industry pariwisata di Negara berkembang yang telah dikuasai oleh para pemiliki modal modal Internasional atau perusahaan-perusahaan dari dar i Negara maju yang termanifestasikan melalui me lalui investasi saham dalam da lam jumlah besar atau seluruh saham dikuasainya. Catatan Bank Bank Dunia menunjukkan bahwa 55 persen penerimaan devisa devisa Negara berkembang dari sektor pariwisata justru justru dinikmati oleh oleh Negara-negara maju yang menguasai pariwisata mereka.3
1
Lihat Ronny Sugiantoro (2000). Pariwisata:Antara Obsesi dan Realita . Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, hal.iv Ibid.,hal.x 3 Ibid., hal.x-xii 2
2
Dengan kompleksitas permasalahan yang ditimbulkan tersebut, maka kemudian lahirlah the new divison of internasional tourism , berupa pengelolaan pariwisata alternative berbasis
komunitas di Negara berkembang. Kehadiran pariwisata yang berbasis komunitas sebagai gagasan alternative dalam mengelola sektor pariwisata agar tercipta pertumbuhan ekonomi yang dapat mensejahterakan masyarakat. Meskipun baru memasuki tahap perkembangan, namun gagasan ini telah mengubah konfigurasi pariwisata Negara berkembang secara fundamental. Perbedaan paling signifikan dari gagasan terdahulu adalah dengan memahami bahwa mas yarakat juga menjadi actor kunci dalam mengelola industry pariwisata. Tren pariwisata berbasis komunitas ini juga lebih menekankan pada aktivitas pariwisata yang lebih ditentukan oleh kekayaan budaya tuan rumah yang menunjukkan kualitas hidup masyarakatnya. Artinya bahwa, pendekatan ini berusaha menawarkan dan mengembangkan pariwisata yang berbeda yang tidak hanya sekedar persiapan fasilitas atau sarana prasana yang menunjang, tidak pula hanya penyediaan pekerja pariwisata yang professional dan ramah, atau hal-hal yang bersifat teknis. Tetapi secara subtansial yang lebih ingin ditonjolkan adalah bagaimana mengemas pariwisata dengan menyuguhkan tradisi, adat atau budaya yang setiap daerah memiliki kekhasannya masing-masing. Memberikan paket wisata yang tidak hanya menikmati keindahan alam tetapi juga menikmati “kebiasaan yang alami” dari masyarakat lokal yang tentu berbeda dengan denga n lingkungan dimana wisatawan tersebut berasal.4 Pendekatan pengelolaan industry pariwisata kontemporer yang berbasis komunitas atau masyarakat mulai dikembangkan dikembangkan di Indonesia. Salah satunya adalah pengelolaan parwisata di obyek wisata Gua Pindul yang terletak di desa Bejiharjo, Kabupaten Gunung Kidul. Pola pengelolaan pariwisata di obyek wisata Gua Pindul adalah dengan cara bottopm up atau yang digagas oleh masyarakat setempat. Masyarakat menjadi actor utama yang memegang kendali pengelolaan obyek wisata Gua Pindul melalui cara-cara pemberdayaan. Sementara, peran pemerintah hanya sebagai faslitator faslitator dan melakukan melakukan pendampingan dalam pengembangan industry pariwisata di Gua Pindul. Sehingga harapan untuk mewujudkan mewujudkan masyarakat sejahtera dan berdaya bisa tercapai.5
4
Ibid., hal.vi-xii Lihat Lihat Artikel “Goa “ Goa Pindul Penopang Perekonomian Masyarakat Sekitar”, diunduh Sekitar”, diunduh dari http://www.dprd-diy.go.i http://www.dprd-diy.go.id/forum-diskusi-war d/forum-diskusi-wartawan-unit-dprdtawan-unit-dprd-diy-goa-pindul-penopang-pe diy-goa-pindul-penopang-perekonomian-masy rekonomian-masyarakatarakatsekitar/, diakses sekitar/, diakses tgl 4 Desember 2013, pkl.10.13 WIB 5
3
Pendekatan bottom up menawarkan konsep masyarakat lokal yang partisipatif yang diharapkan akan tercipta lapangan pekerjaan sehingga dapat meningkatkan perekonomiannya. Dengan demikian, secara otomatis juga akan membawa dampak positif yakni kesejahteraan masyarakat lokal. Selain mengembangkan obyek w isata Gua Pindul mereka juga mengembangkan pariwisata yang berbasis budaya atau kearifan lokal. Mereka mengemas pariwisata yang tidak hanya menikmati keindahan Gua Pindul melalui susur gua, tetapi juga memasukkan budaya budaya lokal setempat untuk “dijual” se bagai daya tarik atau keunikan lain dalam menikmati desa wisata Bejiharjo. Kebiasaan-kebiasaan atau keseharian mereka justru menjadi daya tar ik yang lain dengan yang ditawarkan oleh tempat-tempat wisata lain. Cara ini digunakan sebagai ajang untuk tetap melestarikan budaya mereka dengan memperkenalkan budaya atau tradisi mereka kepada wisatawan yang berkunjung.6 Dan dengan mempertahankan konsep bottom up dan pemberdayaan masyarakat, pengelolaan yang dipegang teguh tersebut juga menjadi contoh bagi pengelolaan pariwisata baik di tingkat nasional hingga level Internasional. Internasional. Sebelum mendiskusikan lebih lanjut, ada baiknya memaparkan beberapa konsep yang terkait untuk lebih memahami konteks yang sedang dibicarakan. Gagasan atau konsep pariwisata tidaklah tunggal. Ada banyak definisi de finisi yang masing-masing memiliki titik tekan yang berbeda. Jika mengacu pada konsep Pariwisata Internasional Internasional yang dimaksud dengan pariwisata menurut WTO adalah : “The activities of persons traveling to and staying in places outside their usual environment for not more than one consecutive year for leisure, business and other purposes” (dalam Richardson & Flicker).7 Sedangkan gagasan alternatif lainnya yakni pengembangan sektor pariwisata berbasis berbas is komunitas atau masyarakat memiliki prinsip pembangunan pariwisata “dari masyarakat, oleh masyarakat dan untuk masyarakat”. Pariwisata berbasis masyarakat adalah konsep yang dirancang untuk dapat memberikan keuntunga n baik secara ekonomi, social, maupun budaya kepada masyarakat setempat.8 Sementara itu, yang dimaksud dengan industry pariwisata menurut R.S Damarjati merupakan rangkuman daripada berbagai macam bidang usaha, yang secara bersama-sama menghasilkan produk-produk maupun jasa-jasa atau layanan-layanan yang nantinya, baik secara 6
Wawancara dengan Ketua Pokdarwsi Dewa Bejo, Bapak Subagyo, di markas Pokdarwis Dewa bejo, tgl 9 Januari 2014, pukul.12.10 – pukul.12.10 – 13.30 13.30 WIB 7 Lihat I Gde Pitana & I Ketut Surya Diarta (2009). Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: ANDI, hal.45 8 Lihat Argyo Demartoto (2009). Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat . Surakarta: UNS Press, hal.20
4
langsung ataupun tidak langsung akan dibutuhkan oleh wisatawan selama perlawatannya. Pariwisata sebagai suatu suatu industry pertama kali dikenal di Indonesia
setelah dikeluarkannya dikeluarkannya
Instruksi Presiden Presiden RI No.9 Tahun 1969 pada tanggal 6 Agustus 1969 , yang disebutkan dalam Bab II pasal 3: “ Usaha-usaha pengembangan pariwisata di Indonesia bersifat suatu pengembangan “industry pariwisata” dan merupakan bagian dari usaha pengembangan dan pembangunan serta kesejahteraan masyarakat dan Negara”.9
Peran Stakeholder: Menciptakan Pembangunan Ekonomi Lokal di Desa Wisata Bejiharjo
Kembali lagi bahwa prinsip pembangunan community based tourism juga menekankan pada pengembangan pengemba ngan berdasarkan keseimbangan dan keselarasan antara actor-aktor actor -aktor yang terlibat, yakni pemerintah dan pihak swasta. Meskipun pembangunan pariwisata berbasis masyarakat menekankan pada faktor masyarakat sebagai komponen atau a ctor utama, tetapi keterlibatan actor lain juga diperlukan. Pengembangan pariwisata model ini menuntut koordinasi dan kerjasama antar actor yang terlibat. Sehingga penting untuk melacak atau memahami bagaimana peran masing-masing actor yang terlibat tersebut.10 Dalam konteks pengelolaan obyek wisata Gua Pindul, masyarakat memiliki posisi istimewa dengan menjadi actor sentral dari pembangunan pariwisata yang ada di desa Bejiharjo, termasuk obyek wisata Gua Pindul. Namun, untuk mewujudkan masyarakat sejahtera yang ditandai dengan meningkatnya status perekonomian mereka. tidak dapat dipisahkan dari peran atau andil dari unsur-unsur yang terlibat. Masyarakat bisa berdaya karena juga mendapat du kungan dari actor-aktor lain melalui peran dan fungsi yang diembannya. Sehingga koordinasi dan kerjasama adalah sebuah keniscayaan dalam rangka menciptakan kesejateraan masyarakat. Ada tiga unsur yang diklasifkasikan sebagai actor yang memiliki kontribusi dalam membangun perekonomian masyarakat setempat. Masing-masing akan ditelaah bagaimana peran dan kontribusinya dalam membangun industri pariwisata di desa Bejiharjo. a. Peran Pemerintah Dalam konteks ini yang dimaksud dengan pemerintah adalah baik pemerintah pusat maupun pemerintah daerah yang memiliki peran baik secara langsung maupun tidak 9
Lihat Oka A Yoeti (1982). Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: ANGKASA. Hal.138-141 Op.,cit., hal.20-21
10
5
langsung.11 Dalam pembangunan pariwisata pemerintah telah menetapkan ketentuan kepariwisataan dalam suatu payung hukum yaitu, Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1990 tentang kepariwisataan. Sedangkan pelaksanaanya diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 67 Tahun 1996 tentang Penyelenggaraan Kepariwisataan. Produk hukum yang mengatur tentang asas dan tujuan kepariwisataan, obyek dan daya tarik wisata, usaha wisata, peran serta masyarakat, pembinaan, penyerahan urusan dan lain sebagainya menandakan bahwa Pemerintah memiliki political willing untuk membangun sektor pariwisata yang ada di d i Indonesia. Dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999
tentang
Pemerintah
Daerah,
maka
kewenangan
dalam
penyelenggaraan
kepariwisataan dilimpahkan kepada Pemerintah Daerah.12 Dengan adanya desentralisasi dan otonomi daerah, maka Daerah dalam hal ini pemerintah Kabupaten Kabup aten Gunung G unung Kidul memiliki peran pera n besar b esar dalam d alam membangun memba ngun kawasan industry pariwisata di daerahnya. Terkait dengan pengembangan obyek wisata Gua Pindul di desa Bejiharjo, peran Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul menurut Bapak Yunus selaku Bagian Pengembangan Pariwisata Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Gunung Kidul13 mengatakan bahwa peran yang dijalankan oleh Pemerintah adalah pertama, pembinaan masyarakat terkait dengan upaya untuk untu k mempersiapkan masyarakat Bejiharjo yang agraris beralih ke bidang jasa pariwisata melalui cara-cara reflektif (memberikan pemahaman tentang sektor pariwisata). Peran yang kedua, adalah memberikan pelatihan pelatihan yang terkait dengan pengembangan obyek wisata Gua Pindul. Misalnya, pelatihan SAR, pemandu wisata, kuliner, homestay dan lain-lain yang tidak jarang menggandeng akademi dalam pelaksanaanya. Ketiga, adalah adalah perannya sebagai fasilitator fasilitator atau mediator dalam upaya penyelesaian konflik yang terjadi terkait perseteruan masyarakat dengan pemiliki lahan. Terkait dengan tantangan dan peluang yang dihadapi dalam membangun obyek wisata Gua Pindul, menurut Bapak Yunus tantangan terbesar dalam upaya pengembangan
11
Lihat I Gde Pitana & I Ketut Surya Diarta (2009). Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: ANDI, hal.113 Lihat I Putu Gelgel (2006). Industri Pariwisata Indonesia Dalam Globalisasi Perdagangan Jasa. Bandung: PT.Refika PT.Refika Aditama, hal 53-61 13 Wawancara dengan Bapak Yunus, Bagian Pengembangan Pariwisata, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gunung Kidul, tgl 9 Januari 2014, pkl. 09.30-10.45 WIB, di Kantor Dinas Kebudayaan dan Paiwisata. 12
6
pariwisata tersebut adalah koordinasi masih belum belum maksimal, karena masing-masing pihak pada titik tertentu tertentu belum memiliki kesamaan pemikiran. Beliau mengatakan bahwa karena pengelolaannya berbasis masyarakat dimana masyarakat yang memegang me megang penuh otoritas dalam menjalankan roda industry pariwisata Gua Pindul, maka koordinasi belumlah maksimal dijalankan. Selain itu tantang yang berat juga adalah bagaimana menjaga ekosistem agar tidak terganggu dengan aktivitas pariwisata tersebut. Untuk peluang yang dimiliki dalam upaya pengembangan obyek wisata Gua Pindul, pihaknya meyakini bahwa Gua Pindul akan a kan menjadi contoh con toh bagi daerah-daerah lain dan da n bahkan kalangan Internasional untuk mengikuti pola atau cara pengelolaan pariwisata yang yang berbasis masyarakat. Karena saat ini Pengelolaan Pindul menjadi rujukan dan studi banding bagi daerah-daerah yang ingin belajar dari Pindul. Dan hal hal tersebut akan membuat Gua Pindul semakin dikenal secara luas. Beliau juga menuturkan bahwa desa bejiharjo tidak hanya berpeluang menjadi desa budaya yang telah dicanangkan sejak 2008, tetapi akan semakin besar dengan konsep desa d esa wisata.14
b. Peran Masyarakat Karena di dalam konsep pembangunan pariwisata yang berbasis masyarakat, masyarakat itu sendiri merupakan actor kunci maka ia mengambil peran yang sangat besar dalam menentukan arah pembangunan pariwisata par iwisata tersebut. Dalam setiap tahapannya, mulai perencanaan, pembangunan, pengelolaan dan pengembangan hingga pemantauan dan evaluasi, masyarakat Bejiharjo memiliki andil yang sangat besar, karena yang menjadi prinsip utama adalah ada lah pemberdayaan. Konsep pembangunan pembangu nan sektor pariwisata p ariwisata Gua Pindul P indul memang benar-benar berasal dari bottom up yang dimulai dari ide sekelompok orang warga Bejiharjo, yakni yakni Pak Subagyo, Pak Tukijo dan Pak Ratmin sebagai penggagas obyek wisata susur Gua Pindul. P indul.15 Dengan inisiatif dari masyarakat Bejiharjo se ndiri, maka mereka mulai mengembangkan sektor pariwisata alam yang digagas dan didisain sendiri oleh masyarakat setempat. Mulai dengan membuka kerjasama dengan pihak-p ihak terkait, tidak 14
Ibid., Wawancara dengan Ketua Pokdarwsi Dewa Bejo, Bapak Subagyo, di markas Pokdarwis Dewa b ejo, tgl 9 Januari 2014, pukul.12.10 – pukul.12.10 – 13.30 13.30 WIB 15
7
hanya kepada pemerintah tetapi juga dengan organisasi-organisasi yang memiliki kontribusi penting dalam upaya pengembangan wisata Gua Pindul itu sendiri. Misalnya, membangun kerjasama dengan Basarnas dalam hal pelatihan keamanan dan keselamatan wisatawan, meminta bantuan lembaga bahasa asing untuk meningkatkan profesionalisme sebagai pemandu wisata, dan sebagainya.16 Selain itu, peran yang tidak kalah pentingnya adalah menampilkan eksistensi atau jati diri sebagai citra DTW (Daerah Tujuan Wisata) yang menyuguhkan nilai-nilai kearifan lokal sebagai faktor lain dalam menarik wisatawan. Masyarakat desa Bejiharjo justru menggunakan nilai-nilai kekhasan dan indigenisasi (keaslian) lokal sebagai aset yang memiliki daya saing tinggi yang mampu berkompetisi dengan globalisasi. Peran masyarakat lain dalam upaya pengembangan wisata Gua Pindul guna menciptakan pembangunan ekonomi lokal adalah dengan cara berbagi peran. Misalnya, merancang sistem bergilir dalam urusan kuliner yang dikerjakan oleh Rukun Tetangga (RT) secara bergantian. Kemudian dengan konsep homestay, masyarakat setempat mempersiapkan diri untuk menerima kedatangan wisatawan dengan ramah yang justru ingin merasakan kebiasaan-kebiasaan mereka. Misalnya, tidur di rumah penduduk yang beralaskan tikar berdinding bambu yang umunya memang berbeda dari lingkungan wisatawan berasal, dan menurut Pak Subagyo itulah yang d icari oleh wisatawan.17 Mengenai masalah masalah tantangan, menurut Pak Subagyo tantangan yang dihadapi oleh masyarakat dalam upaya menciptakan pembangunan ekonomi lokal berbasis pariwisata adalah konflik yang sempat memanas dengan pemilik tanah Gua Pindul. Namun, menurut pihaknya hal tersebut tidak mempengaruhi kunjungan wisatawan ke Gua Pindul, justru semakin meningkat karena justru orang penasaran dengan peristiwa tersebut. Hanya saja dapat mengganggu keamanan dan kenyamanan wisatawan. Terkai peluang yang dimiliki adalah masih terbukanya lapangan pekerjaan karena belum adanya souvenir yang khas. c. Peran Swasta
16
Wawancara dengan narasumber Mas Nunu sebagai Pemandu Wisata Gua Pindul, tanggal 9 Januari 2014, pukul 11.15 – 11.15 – 11.45 11.45 WIB di Markas Pokdarwis Dewa Bejo. 17 Op.,cit.,
8
Swasta merupakan salah satu actor yang diberikan ruang untuk ikut terlibat dalam pembangunan pariwisata berbasis masyarakat. Nam un, dalam konteks pe ngelolaan obyek wisata Gua Pindul, swasta tidak hanya mengambil peran dalam pembangunan pariwisata tersebut. Peran swasta hanya sebatas pembuatan gazebo yang digunakan untuk tempat istirahat yang dilakukan oleh Bank BPD. Selebihnya, tidak ada peran swasta yang ikut terlibat secara jauh dalam pembangunan sektor pariwisata Gua Pindul. Baik Pemerintah Kabupaten Gunung Kidul18 maupun Masyarakat desa Bejiharjo19 sama-sama meyakini bahwa jika swasta diajak untuk mengelola obyek wisata Gua Pindu l, maka pemberdayaan masyarakat yang selalu menjadi “prinsip agung” akan h ilang karena akan diganti perannya oleh pihak swasta. Oleh karena itu, swasta tidak diijinkan untuk masuk menanamkan sahamnya karena takut akan merusak tatanan yang sudah mewujudkan kesejahteraan melalui pembangunan ekonomi lokal berbasis pariwisata. Padahal, menurut penuturan Pak Subagyo, ada banyak swasta yang menawarkan konsep kerjasama dengan masyarakat desa Bejiharjo tetapi tetap tidak diperkenankan ada campur tangan pihak swasta baik nasional maupun asing.
Gua Pindul: Denyut Nadi yang Memberdayakan
Gua Pindul terletak di desa Bejiharjo. Sebuah desa yang tidak jauh berbeda dengan kawasan pedesaan lainnya. Namun, desa ini menjadi sangat istimewa ketika dipromosikan menjadi desa wisata yang menyuguhkan keindahan alam yang dimilikinya. Wajar apabila kini desa Bejiharjo menjadi menjadi magnet bagi wisatawan baik domestic maupun maupun mancanegara untuk beramairamai mengunjungi obyek wisata yang ada di desa Bejiharjo. Salah satunya adalah obyek wisata Gua Pindul yang membelah dusun Gelaran. Obyek wisata ini menawarkan petualangan susur gua (cavetubing) yang tentunya menantang untuk dicoba. Obyek wisata alam minat khusus ini, bagi masyarakat Bejiharjo bukanlah hal yang baru. Namun, sebelum dikelola menjadi obyek obyek wisata, gua ini hanya hanya dijadikan sarang burung wallet dan airnya yang mengalir dimanfatkan penduduk untuk irigasi pertanian. Dengan pemikiran 18
Wawancara dengan Bapak Yunus, Bagian Pengembangan Pariwisata, Dinas Kebudayaan Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Gunung Kidul, tgl 9 Januari 2014, pkl. 09.30-10.45 WIB, di Kantor Dinas Kebudayaan dan Paiwisata. 19 Wawancara dengan Ketua Pokdarwsi Dewa Bejo, Bapak Subagyo, di markas Pokdarwis Dewa b ejo, tgl 9 Januari 2014, pukul.12.10 – pukul.12.10 – 13.30 13.30 WIB
9
sekelompok warga Bejiharjo yakni Bapak Subagyo, Bapak Tukijo, dan Bapak Ratmin yang pertama kali sadar sad ar bahwa gua tersebut memiliki potensi p otensi yang sangat besar apabila dikelola dan dikembangkan secara serius. Kondisi tersebut kemudian mendorong ketiga pencetus ini untuk mulai menggarap potensi tersebut bersama Karang Taruan D esa Bejiharjo. Awalnya mereka tidak terlalu yakin dengan usaha yang dilakukan untuk mengembangkan p otensi Gua Pindul mengingat banyaknya penolakan dari masyarakat Bejiharjo sendiri yang masih menganggap bahwa Gua Pindul adalah tempat yang mistis dan sacral.20 Namun, pada akhirnya gagasan tersebut mendapat respond dan dukungan dari warga lainnya. Sehingga upaya yang dilakukan adalah dengan membentuk Kelompok Pengelola Desa Wisata Bejiharjo (Dewa Bejo) pada tanggal 30 Juni 2010 yang perta kali direstui oleh P emerintah desa Bejiharjo. Untuk mengawali operasionalnya, mereka menyewa rumah penduduk sebagai kantor secretariat. Sedangkan sarana pendukungnya berupa ban dan pelampung meminjam pengelola Kali Suci di Semanu. Dan pada tanggal 10 Oktober 2010, untuk pertama kalinya obyek wisata Gua Pindul dibuka secara resmi oleh Bupati Gunung Kidul pada waktu itu Pro f.Ir.Sumperno Puro (Alm), dengan tiket masuk seharga Rp.30ribu – Rp.45ribu. Tahun 2011, Pokdarwis (Kelompok Sadar Wisata) Dewa Bejo mendapat bantuan dana PNP M Mandiri Pariwisata sebebsar Rp.50 juta yang kemudian digunakan untuk pengadaan sarana pendukung seperti ban, pelampung dan MCK. Promosi yang digencarkan lewat media membuat Gua Pindul menjadi terkenal dan menarik perhatian wisatawan secara luar biasa.21 Menurut data yang dihimpun melalui Bapak Subagyo, terjadi peningkatan jumlah pengunjung yang sangat besar dalam rentang waktu 4 tahun. Sehingga Se hingga juga terjadi peningkatan pe ningkatan perekonomian melalui pendapatan yang diperoleh. 2010
2011
2012
2013
Jumlah pengunjung
98 orang
4.928 orang
59.312 orang
312.746 orang
Pendapatan
Rp.460 ribu
Rp.162 juta
Rp. 1,8 Miliar
Rp.10 Miliar
20
Lihat Artikel yang berjudul “ Berebut Rupiah Goa Pindul (1), diunduh dari http://krjogja.com/read/163135 http://krjogja.com/read/163135/berebut/berebutrupiah-goa-pindul-1, diakses rupiah-goa-pindul-1, diakses tgl 4 Desember 2013, pkl.10.21 WIB 21 Wawancara dengan Ketua Pokdarwsi Dewa Bejo, Bapak Subagyo, di markas Pokdarwis Dewa b ejo, tgl 9 Januari 2014, pukul.12.10 – pukul.12.10 – 13.30 13.30 WIB
10
Dengan melihat perputaran perekonomian di obyek wisata Gua Pindul yang menyentuh angka fantastis, tidak heran jika obyek wisata Gua Pindul mengangkat derajat sebuah desa terpencil yang pada tahun 2012 dinobatkan menjadi Desa Wisata Terbaik yang diberikan oleh Kemenparekraf mengalahkan desa wisata-desa wisata yang sudah mapan seperti di Bali. Selain itu, obyek wisata Gua Pindul termasuk ke dalam 15 besar nasional.22 Pendapatan tersebut jauh melampaui Pendapatan Asli Daerah Kabupaten Gunung Kidul yang hanya 5 Miliar. Dan pendapatan tersebut menurut Bapak Subagyo tidak ada yang disetor ke Pemerintah Kabupaten, karena beliau menegaskan bahwa konsep pembanguan pariwisata Gua Pindul berbasis Pemberdayaan masyarakat. Penghargaan tersebut berdasarkan cara pengelolaan pariwisata yang berbasis masyarakat setempat, sehingga dapat meningkatkan perekonomian penduduk sekitar dan tercipta masyarakat yang sejahtera dan berdaya. Keterlibatan aktif dari masyarakat membuat obyek Wisata Gua P indul menjadi miliki bersama yang mampu mengubah perekonomian mereka yang semula miskin menjadi relatif terpenuhi. Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat diarahkan untuk memberikan keuntungan kepada masyarakat baik secara ekonom i, social maupun budaya sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup mereka. Sehingga dengan pengembangan pariwisata model masyarakat ini mampu mengurangi dan menanggulangi kemiskinan. Seperti pendekatan Pro-poor tourism yang merupakan upaya meningkatkan kesempatan untuk kelompok masyarakat miskin di bidang p ariwisata.23 Menurut Ketua Pokdarwis Dewa Bejo, Bapak Subagyo, mengenai pemerataan dari hasil pendapatan yang diterima ada mekanisme pembagian yang telah disepakati. Hasil pendapatan tersebut akan dkurangi biaya operasional. Setelah dikurangi biaya operasional, maka sesuai dengan aturan yang disepakati bersama bahwa 50 persen untuk pemandu yang berjumlah 84 orang, 25 persennya lagi untuk pengurus dan 25 persen sisanya untuk kas kelompok. Dari pembagian tersebut penghasilan pemandu rata-rata Rp.200 r ibu/hari atau Rp.1,5 juta – juta – 3 3 juta/bulan tergantung dari berapa banyak kelompok wisata yang dipandunya. Setidaknya, saat ini ada sekitar 800 orang
22
Lihat Artikel yang berjudul “Obyek Wisata Goa Pindul Masuk 15 Besar Nasional, diunduh dari http://desawisatabejiharjo http://desawisatabejiharjo.net/berita/det .net/berita/detail/3, ail/3, diakses diakses tg; 4 Desember 2013, pkl. 10.34 WIB 23 Lihat Argyo Demartoto (2009). Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat . Surakarta: UNS Press, hal.27-30
11
termasuk Pokdarwis-Pokdarwis lainnya yang juga menggantungkan hidupnya dari obyek wisata Gua Pindul. Kini, Gua Pindul tidak hanya menjadi magnet bagi wisatawan, tetapi juga bagi masyarakat desa Bejiharjo sendiri. Dari obyek wisata Gua Pindul kemudian tercipta lapangan pekerjaan yang yang begitu besar yang yang dapat mengentaskan kemiskinan, kemiskinan, dan membuat para remaja tidak berniat untuk pergi perg i merantau seperti dulu sebelum obyek ob yek wisata Gua Pindul P indul hadir, tetapi mereka lebih memilih untuk bekerja memajukan desanya sekaligus mendapatkan insentif dari kontribusinya berupa gaji. Tidak hanya pengelola yang menikmati kesuksesan pembangunan pariwisata obyek wisata Gua Pindul, tetapi masyarakat sekitar dan pemerintah desa. Masyarakat desa seperti Rukun Tetangga juga dilibatkan dalam pengembangan kawasan pariwisata Gua Pindul dengan menyediakan kuliner atau menerima pesanan makanan dari para w isatawan yang dikelola melalui sistem bergantian. Selain mendapat setoran wajib sebesar 75 tahun (2013) dari obyek wisata Gua Pindul, pemerintah desa juga diberikan peran dalam mengelola warung-warung yang ada di sepanjang area obyek Wisata Gua Pindul. Masyarakat juga diberikan otoritas dalam mengelola parkir yang pendapatannya bisa menjadi penghasilan tambahan bagi mereka untuk untu k mencukupi kebutuhan mereka. Masyarakat juga menawarkan rumah pribadinya sebagai homestay bagi wisatawan yang ingin menikmati kelokalan dan kebiasaan masyarakat setempat yang tentunya akan menambah pendapatan mereka. Dengan demikian, sangat jelas bahwa obyek wisata Gua Pindul telah menjadi denyut nadi masyarakat desa Bejiharjo yang memang menggantungkan hidupnya melalui pariwisata minat khusus tersebut. Dengan perputaran perekonomian yang begitu besar, maka dampak yang bisa dirasakan
adalah
meningkatnya
kesejahteraan
masyarakat
setempat
melalui
program
pemberdayaan masyarakat. mas yarakat. Mereka Mere ka tidak perlu lagi lag i mencari pekerjaan jauh di d i kota, karena desa mereka menawarkan potensi wisata yang begitu besar, termasuk Gua Pindul. Dan desa kecil bernama Bejiharjo kini bu kanlah kampong biasa, b iasa, tetapi telah menjelma men jelma tidak hanya sebagai sebag ai desa budaya tetapi juga desa wisata yang menghasilkan pundi-pundi yang begitu fantastis. Hadirnya obyek wisata Gua Pindul juga menciptakan multiplier effect . Tidak hanya menjadi denyut nadi pengelola wisata saja tetapi kesuksesan obyek wisata Gua Pindul sebagai kawasan industry pariwisata juga dapat dirasakan melalui pengelolaan-pengelolaan sarana dan prasarana atau fasilitas-fasilitas fasilitas-fasilitas penunjang yang memang dikelola secara baik oleh masyarakat 12
sendiri. Misalnya, penginapan (homestay), warung kuliner yang menyuguhkan makanan khas daerah setempat, tempat parkir, toko-toko baju yang memang skalanya masih kecil dan sebagainya. Semua fasilitas atau jasa yang disiapkan tersebut juga menjadi sumber matapencaharian dari masyarakat yang memang dapat diandalkan. Selain itu, obyek wisata Gua Pindul yang memperlihatkan geliat perkembangan yang luar biasa, juga mendorong para pengelola untuk menyediakan sarana penunjang penun jang bagi pengembangan pariwisata ke arah profesionalisme pariwisata dengan menyediakan berbagai macam faslitas seperti keamanan dan kenyamanan wisatawan diutamakan (mulai pelampung, ban, helm, sepatu), juga terdapat mushola, kamar mandi untuk ganti pakaian,tempat penitipan barang dan sebagainya. Profesionalisme lainnya ditunjukkan dengan para pemandu wisata diberikan pelatihan bahasa asing seperti Inggris, Jepang, Korea dan Spanyol kepada para pemandu agar bisa lebih berinteraksi dengan wisatawan dari mancanegara. Pemandu wisata juga diberikan pelatihan lain terkait keselamatan oleh Basarnas, dan pelatihan-pelatihan pengembangan pariwisata dari pemerintah provinsi hingga pemerintah kabupaten.24 Pengelola juga mulai mengembangkan paket-paket wisata sebagai pilihan bagi para wisatawan untuk untuk lebih menikmati keindahan alam maupun buda ya yang ada di desa Bejiharjo. Dan hal yang tidak kalah penting adalah pengelola sudah menjamin keselamatan jiwa pengunjung dengan memberikan asuransi yang bekerjasama dengan PT.Jasa Raharja Putera. Keseluruhan cerita di atas sebetulnya hendak bercerita tentang pembangunan ekonomi lokal berbasis masyarakat dengan pariwisata sebagai modalnya. Menurut Munir, yang dimaksud dengan Pembangunan Ekonomi Lokal (LED) adalah proses dimana actor-a ktor dalam sebuah kota atau distrik (Negara, masyarakat sipil dan pengusaha) bekerja secara kolektif untuk meningkatkan kualitas hidup dengan menciptakan kondisi yang lebih baik untuk pertumbuhan ekonomi, peningkatan lapangan kerja, dan membantu pemerintah lokal untuk menyediakan pelayanan yang lebih baik untuk penduduknya.25 Pembangunan Ekonomi Lokal (LED) sebagai model lebih menekankan pada bagaimana merumuskan indigenous development policies dengan sebanyak mungkin menggunakan aspek lokalitas dalam pembangunan yang meliputi: sumber daya manusia, 24
Wawancara dengan narasumber Mas Nunu sebagai Pemandu Wisata Gua Pindul, tanggal 9 Januari 2014, pukul 11.15 – 11.15 – 11.45 11.45 WIB di Markas Pokdarwis Dewa Bejo. 25 Lihat Risfan Munir (2005). Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif Partisipatif : Masalah, Kebijakan dan panduan Pelaksanaan Kegiatan, LGSP-USAID
13
sumber daya alam, sumber daya buatan dan da n kelembagaan. Indikator yang sering digunakan adalah adanya peningkatan kesempatan kerja atau penciptaan lapangan kerja lokal dan penyerapan komoditas lokal. Harapan pada LED ditujukan pada suatu pencapaian untuk meningkatkan jumlah dan keanekaragaman kesempatan kerja yang disedikan untuk masyarakat setempat.26Menurut Maliza dan Feser pada pelaksanaannya tahapan LED mengacu pada: (a). organizing the effort, yakni tahap yang dilakukan untuk membangun visi, komitmen dan kesepakatan untuk pengembangan ekonomi lokal yang dirumuskan oleh para stakeholder , (b). local economy assessment, berupa proses pengidentifikasian atau upaya untuk memahami karakteristikkarakteristik ekonomi lokal agar dapat membantu para stakeholder untuk membangun strategi ke depan dan membuat kemungkinan-kemungkinan pilihan program, (c). strategy making, terkait dengan memberikan gambaran yang ideal dan unik tentang program atau aktivitas apa yang akan dikembangkan, (d). strategy implementastion, strategi yang dijalankan berdasarkan rencana pelaksanaan yang yang sudah disusun sebelumnya, juga terkait implementasi strategi LED (fungsi (fungsi peran siapa melakukan apa), (e). strategy review, review tentang sumber daya yang bisa dijangkau dalam upaya mencapai strategi.27
Penutup: Indigenisasi sebagai Modal untuk Bersaing dengan Globalisasi
Pembangunan pariwisata yang berhasil adalah pembangunan pariwisata yang dapat memberikan keuntungan secara ekonomi, social dan budaya kepada masyarakat setempat. Hal ini membuktikan bahwa pengembangan obyek wisata Gua Pindul telah berhasil meningkatkan kesejahteraan dan kualitas hidup masyarakat setempat. Pemberdayaan masyarakat yang bersifat bottom up telah mampu merubah masyarakat desa Bejiharjo yang miskin dan terbelakang menjadi
masyarakat yang maju dan mampu mencukupi kebutuhan hidupnya. Gua Pindul telah menjadi sumber kehidupan bagi masyarakat setempat yang kini tidak perlu merantau ke kota demi mencari pekerjaan. Artinya bahwa pengembangan pariwisata berbasis masyarakat mas yarakat telah berhasil menjadi industry yang mampu menciptakan pertumbuhan ekonomi sehingga tercipta kesejahteraan masyarakat lokal.
26
Lihat E.J Blakely (1994). Planning Local Economic Development: Theory and Practise, second edition, Sage Publication 27 Lihat Maliza and Feser (1999). “ Understanding Local Economic Development”. New Development”. New Jersey: Center for Urban Policy Research
14
Pembangunan pariwisata berbasis masyarakat yang mempu menciptakan perekonomian lokal melalui cara pemberdayaan ternyata menjadi rujukan atau contoh pengelolaan pariwisata di dunia termasuk di Negara-negara ASEAN.28 Hal ini menegaskan bahwa dengan pemberdayaan masyarakat yang menonjolkan kearifan lokal justru menjadi pilihan dalam upaya mengelola sektor pariwisata, sekaligus memperlihatkan bahwa indigenisasi budaya, adat, ataupun kebiasaankebiasaan yang dilakukan masyarakat lokal telah mampu bersaing dengan sektor pariwisata yang menawarkan konsep modernitas. Justru wisatawan banyak mencari obyek-obyek pariwisata yang menyuguhkan tradisionalitas serta kearifan lokal dalam menjaga lingkungannya. Pengembangan pariwisata berbasis masyarakat bertujuan untuk: 1) memberdayakan masyarakat melalui pembangunan pariwisata; 2) meningkatkan peran dan partisipasi masyarakat dalam pembangunan pariwisata agar dapat memperoleh keuntungan ekonomi, social dan budaya dari pembangunan pariwisata; 3) memberikan kesempatan yang seimbang kepada semua anggota masyarakat baik laki-laki laki-laki maupun perempuan (gender based and equity).29 Pendekatan ini juga mendorong masyarakat untuk ikut merasa memiliki (sense of belonging) terhadap kekayaan baik alam maupun budaya sebagai aset pembangunan pariwisata. Sehingga, masyarakat akan terus menjaga dan melestarikan apa yang menjadi milikinya dengan kearifan lokal yang terus dijaga. Dslam mengelola dan mengembangkan pariwisata par iwisata berbasis masyarakat hal lain yang perlu diperhatikan adalah mempertahankan unique values seperti adat istiadat, upacara tradisional, kepercayaan, seni pertunjukkan tradisional, dan seni kerajinan khas yang dimiliki oleh masyarakat setempat. Dengan pembangunan pariwisata berbasis masyarakat yang menawarkan indigenisasi budaya masyarakat setempat justru menjadi magnet bagi wisatawan untuk berkunjung dan menikmati segala hal yang ditawarkan di daerah tersebut. Sehingga, justru dengan mengangkat indigenisasi (kelokalan) atau kearifan lokal sebagai sebua h paket wisata yang dikemas sedemikian rupa, kita mampu bersaing dengan pariwisata Internasional yang modern dan justru menjadi kiblat dalam pengelolaan pariwisata yang memberdayakan sekaligus menciptakan kesejahteraan masyarakat lokal.
28
Lihat Artikel yng berjudul “Pengelolaan Gua Pindul Jadi Contoh di ASEAN”, diunduh dari http://www.metrotvne http://www.metrotvnews.com/metronew ws.com/metronews/read/2013/07/04/6 s/read/2013/07/04/6/165926/Pengelolaan-Gua-P /165926/Pengelolaan-Gua-Pindul-Jadi-Contoh-diindul-Jadi-Contoh-diASEAN, diakses ASEAN, diakses tgl 4 Desember 2013, pkl.10.42 WIB 29 Lihat Argyo Demartoto (2009). Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat . Surakarta: UNS Press, hal.100
15
Sumber Referensi
Blakely, E.J (1994). Planning Local Economic Development: Theory and Practise, second edition, Sage Publication. Demartoto, Argyo,dkk (2009). Pembangunan Pariwisata Berbasis Masyarakat. Surakarta: UNS Press. Gelgel, I Putu (2006). Industri Pariwisata Indonesia Dalam Globalisasi Perdagangan Jasa: Implikasi Hukum dan Antisipasinya. Bandung: PT.Refika Aditama.
”. New Jersey: Center for Maliza and Feser (1999). “Understanding Local Economic Development ”. New Urban Policy Research. Munir, Risfan (2005). Pengembangan Ekonomi Lokal Partisipatif : Masalah, Kebijakan dan panduan Pelaksanaan Kegiatan, LGSP-USAID
Pitana, I Gde dan Diarta, I Ketut Surya Sur ya (2009). Pengantar Ilmu Pariwisata. Yogyakarta: ANDI. Sugiantoro, Ronny (2000). Pariwisata: Antara Obsesi dan Realita. Yogyakarta: Adicita Karya Nusa. Yoeti, Oka A (1982). Pengantar Ilmu Pariwisata. Bandung: Angkasa ----------,“ ----------,“ Berebut Rupiah Goa G oa Pindul (1), diunduh dari http://krjogja.com/read/163135/berebutdari http://krjogja.com/read/163135/berebutrupiah-goa-pindul-1, diakses rupiah-goa-pindul-1, diakses tgl 4 Desember 2013, pkl. 10.21 WIB ---------,“Goa ---------,“Goa Pindul Penopang Perekonomian Masyarakat Sekitar, diunduh dari http://www.dprd-diy.go.id/forum-diskusi-wartawan-unit-dprd-diy-goa-pindul-penopang perekonomian-masyarakat-sekitar/, diakses perekonomian-masyarakat-sekitar/, diakses tgl 4 Desember 2013, pkl.10.13 WIB ----------,” ----------,”Obyek
Wisata
Goa
Pindul
Masuk
15
Besar
Nasional,
diunduh
dari
http://desawisatabejiharjo.net/berita/detail/3,diakses http://desawisatabejiharjo.net/berita/detail/3, diakses tgl 4 Desember 2013,pkl.10.34 WIB ----------,“Pengelolaan ----------,“Pengelolaan
Goa
Pindul
Jadi
Contoh
di
ASEAN”, ASEAN”,
diunduh
dari
http://www.metrotvnews.com/metronews/read/2013/07/04/6/165926/Pengelolaan-GuaPindul-Jadi-Contoh-di-ASEAN, diakses Pindul-Jadi-Contoh-di-ASEAN, diakses tgl 4 Desember 2013, pkl. 10.42 WIB
16
Wawancara:
Wawancara dengan narasumber Bapak Yunus yang menjabat sebagai Karyawan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gunung Kidul,Bagian Pengembangan Pariwisata, tanggal 9 Januari 2014, pukul 09.30 – 10.45 WIB di Kantor Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Gunung Kidul. Wawancara dengan narasumber Bapak Subagyo sebagai Ketua Pokdarwis Dewa Bejo sekaligus Penggagas Obyek Wisata Gua Pindul, tanggal 9 Januari 2014, pukul 12.10 – 12.10 – 13.30 13.30 WIB di Markas Pokdarwis Dewa Bejo. Wawancara dengan narasumber Mas Nunu sebaga i Pemandu Wisata Gua Pindul, tanggal 9 Januari 2014, pukul 11.15 – 11.15 – 11.45 11.45 WIB di Markas Pokdarwis Dewa Bejo.
17
LAMPIRAN FOTO
(Foto Penghargaan yang diterima Pokdarwis Dewa Bejo)
18
(Foto Peralatan Pendukung Keselamatan)
19
(Fasilitas Penunjang di Obyek Wisata Gua Pindul)
20