Desain Tebal Perkerrasan Perkerrasan Jalan Kaku
PERENCANAAN PERENCANAAN RIGID RIGID PAVEMENT DENGAN METODE METODE AASHTO 1993 1993 A.
Umum Perenca Perencanaa naan n mengacu engacu pada pada AASH AASHTO TO (American (American Asso Associati ciation on of State Highwa Highway y and and Transpo Transportati rtation on Off Official icials) s) guide for design design of pavement structures 1993 1993 (selanjutnya disebu disebutt AA AASHTO 1993). La Langkah-lan langkah / tah tahapan, pr prosedur da dan pa parameterter-p param rameter ter pe perencanaan secara praktis diberikan sebagai berikut dibawah ini. Parameter perencanaan terdiri :
•
An Analis lisis lalu lalu--lin lintas tas : me mencakup um umur ren rencana, lalu lalu-l -lin inta tas s ha haria rian ra rata-r ta-ra ata, ta, pe pertu rtumbuhan lalu-lintas lalu-lintas tahu tahunan nan,, vehicle damage factor, equivalent single axle load
•
Terminal serviceabili serviceability ty index
•
Initial servicea serviceabilit bility y
•
Serviceability loss
•
Reliability
•
Standar normal deviasi
•
Standar deviasi
•
CBR dan Modulus reaksi tanah dasar
•
Modulus elastisitas beton, fungsi dari kuat tekan beton
•
Flexural Flexural strength
•
Drainage coefficient
•
Load Load transfer coeffi coefficient cient
Bagan alir prosedur perencanaan diperlihatkan seperti pada Gam Gambar 3.1. B.
Analisis lisis La Lalu– lu – Linta intas s (Tra (Traffi ffic c De Desain) in) 1. Umur renc rencan ana a Umur rencana rigid rigid pavem pavement umumnya ent umumnya diambil 20 tahun untuk konstruksi baru. Lalu-lintas Lalu-lintas harian rata-rata (LHR) (LHR) dan pertum pertumbuh buhan an lalu-lintas lalu-lintas tah tahuna unan n Ciri pengenalan penggolongan kendaraan seperti dibawah ini, penggolongan lalu-lintas terdapat paling paling tidak 3 versi yaitu yaitu berdasar berdasar Manual Kapasitas Kapasitas Jalan Indonesia 1997 1997(Tabel (Tabel 3.1.), berdasar Pedom Pedoman an Teknis Teknis No. Pd.T-19-2004-B Survai Survai pencacahan pencacahan lalu lalu lintas lintas dengan dengan cara manual (Tab (Tabel el 3.2.) 3.2.),, dan berdasar berdasar PT. PT. Jasa Marga (Persero) lihat lihat Tabe Tabell 3.3.
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
1
Desain tebal perkerasan perkerasan jalan kaku
BAGAN ALIR PROSEDUR PERENCANAAN TEBAL PERKERAS PERKERASAN AN KAKU KAKU– – CARA CARA AASHTO AASHTO 1993 Umur Umur rencana Faktor distribusi arah Faktor distribusi lajur LHR pada tahun dibuka dibuka Pertumbuhan lalu-lint lalu-lintas as tahunan Vehicle damage damage factor
Traffic
Reliability
Desain ESAL
Standard normal deviation Standard Standard deviation Tidak
Serviceability
Terminal serviceability Initial serviceability
CBR
Modulus reaksi tanah dasar
Kuat tekan beton
Modulus elastisitas beton
Serviceability loss
Coba Tebal pelat
Check Equation
Ya
Tebal pelat rencana
Flexural strength
Drainage coefficient
Load transfer coefficient
Gambar ambar 3.1. Pengenalan ciri kendaraan :
•
Kecuali Combi, umumnya sebagai kendaraan penumpang umum maximal 12 tempat duduk seperti mikrolet, angkot, minibus, pick-up yang diberi penaung kanvas / pelat dengan rute dalam kota dan sekitarnya atau angkutan pedesaan.
•
Umumnya sebagai kendaraan barang, maximal beban sumbu belakang 3,5 ton dengan bagian belakang sumbu tunggal roda tunggal (STRT).
•
Bus kecil adalah sebagai kendaraan penumpang umum dengan tempat duduk antara 16 s/d 26 kursi, seperti Kopaja, Metrom etromini ini,, Elf Elf dengan bagian bagian belakang sumbu sumbu tunggal tunggal roda roda ganda ganda (STRG) dan panjang kendaraan maximal 9 m dengan sebutan bus ¾. : Golongan 5a.
•
Bus besar adalah sebagai kendaraan penumpang umum dengan tempat duduk antara 30 s/d 50 kursi, seperti bus malam, bus kota, bus antar kota yang berukuran ± 12 m dan STRG : Golongan 5b.
Perencanaan Teknik Perkerasan Perkerasan Jalan 1
2
Desain tebal perkerasan perkerasan jalan kaku
•
Truk 2 sumbu sumbu adalah sebagai kendaraan barang dengan dengan beban sumbu sumbu belakang antara 5 10 ton (MST 5, 8, 10 dan STRG) : Golongan 6.
•
Truk 3 sumbu adalah sebagai kendaraan barang dengan 3 sumbu yang letaknya STRT dan SGRG (sumbu ganda roda ganda) : Golongan 7a.
•
Truk gandengan adalah sebagai kendaraan no. 6 dan 7 yang diberi gandengan bak truk dan dihubungka dihubungkan n dengan dengan batang segit segitiga. iga. Disebut juga Full Trailer Trailer Truck : Golongan Golongan 7b. 7b.
•
Truk semi trailer atau truk tempelan adalah sebagai kendaraan yang terdiri dari kepala truk dengan dengan 2 - 3 sumbu yang yang dihubungkan dihubungkan secara secara sendi sendi dengan pelat pelat dan rangka rangka bak yang yang beroda belakang yang mempunyai 2 atau 3 sumbu pula : Golongan 7c. Tabel Tabel 3.1. : Penggolongan Penggolongan kendaraan kendaraan berdasar berdasar MKJI. MKJI. No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Type kendaraan Sedan, jeep, st. wagon Pick-up, combi Truck 2 as (L), micro truck, mobil hantaran Bus kecil Bus besar Truck 2 as (H) Truck 3 as Trailer 4 as, truck gandengan Truck s. trailer
Golongan 2 3 4 5a 5b 6 7a 7b 7c
Tabel 3.2. : Penggolongan Penggolongan kendaraan kendaraan berdasar Ped Pedom oman an Teknis No. No. Pd.T-19-2004-B. Pd.T-19-2004-B.
No.
Jenis kendaraan yang masuk kelompok ini adalah
Golongan
1. 2. 3.
Sedan, jeep, dan Station Wagon Opelet, Pick-up opelet, Sub-urban, Combi, Mi Minibus Pick-up, Micro Truck dan Mobil hantaran atau Pick-up Box
2 3 4
4.
Bus Kecil
5a
5.
Bus Besar
5b
6.
Truk ringan 2 sumbu
6a
7.
Truk sedang 2 sumbu
6b
8.
Truk 3 sumbu
7a
9.
Truk Gandengan
7b
10.
Truk Semi Trailer
7c
Perencanaan Teknik Perkerasan Perkerasan Jalan 1
3
Desain tebal perkerasan perkerasan jalan kaku
Tabel Tabel 3.3. : Penggolonga Penggolongan n kendaraan kendaraan berdasar berdasar PT. PT. Jasa Marga Marga (Persero). No.
Golongan kendaraan
1
Golongan 1
2
Golongan 1 au
3
Golongan 2 a
4
Golongan 2 a au
5
Golongan 2 b
Data Data yang dibutuhka dibutuhkan n untuk perenc perencana anaan an dari dari param parameter lalu-lintas lalu-lintas harian rata-rata dan pertumbuhan lalu-lintas tahunan, untuk memudahkan dalam analisis, disajikan dalam suatu tabel (lihat Tabel abel 3.4.), 3.4.), dalam tabel ini digabungkan sekalian data / parameter vehicle parameter vehicle damage factor factor (VDF). Tabel Tabel 3.4. : Data / parameter parameter Golongan kendaraan, kendaraan, LHR, LHR, Pertumbuha Pertumbuhan n lalu-l lalu-lint intas as ( i ) & VDF. VDF.
No.
Jenis kendaraan
Gol.
1. 2. 3.
Sedan edan,, jeep, jeep, dan dan Station tation Wagon agon Opelet, pelet, Pick-u Pick-up p ope opelet, let, Sub-u Sub-urba rban, n, Com Combi, Minib Minibus us Pick-u Pick-up, p, Micro Micro Truc Truck k dan dan Mobil obil hantara hantaran n atau atau Pick-up ick-up Box Box
2 3
4. 5. 6. 7. 8. 9. 10.
Bus Kecil Bus Besar Truk ruk ring ringan 2 sumbu Truk ruk se sedang 2 sum sumbu Truk 3 sumbu Truk ruk Gandengan Truk ruk Se Semi Tra Traile iler r
5a 5b 6a 6b 7a 7b 7c
LHR
i (%)
VDF
4
Keterangan : Contoh Contoh diatas, penggolongan penggolongan kendaraan kendaraan mengacu engacu pada pada Pedom Pedoman Teknis No. No. Pd.T-192004-B. LHR LHR : Jumlah lalu-lintas lalu-lintas harian rata-rata (kendaraa (kendaraan) n) pada pada tahun survai survai / pada pada tahun tahun terakhir. i
:
VDF :
Pertum tumbuhan lalu lalu--lin lintas tas per tah tahun (%) Nila ilai da damage fac factor tor
Perencanaan Teknik Perkerasan Perkerasan Jalan 1
4
Desain tebal perkerasan jalan kaku
2. Analisa lalu lintas (Traffic design) Data dan parameter lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan meliputi:
• • • • • • • •
Jenis kendaraan. Volume lalu-lintas harian rata-rata. Pertumbuhan lalu-lintas tahunan. Damage factor . Umur rencana. Faktor distribusi arah. Faktor distribusi lajur. Equivalent Single Axle Load , ESAL selama umur rencana (traffic design).
Faktor distribusi arah : DD = 0,3 – 0,7 dan umumnya diambil 0,5 (AASHTO 1993 hal. II-9). Faktor distribusi lajur (DL), mengacu pada Tabel 6.14.(AASHTO 1993 halaman II-9). Tabel 3.14. : Faktor distribusi lajur (DL). Jumlah lajur setiap arah
DL (%)
1
100
2
80 – 100
3
60 – 80 4
Rumus umum desain traffic (ESAL = Equivalent Single Axle Load) : Nn
W 18
= ∑ LHR j × VDF j × D D × D L × 365 N 1
dimana : W18 = Traffic design pada lajur lalu-lintas,Equivalent Single Axle Load . LHR j = Jumlah lalu-lintas harian rata-rata 2 arah untuk jenis kendaraan j. VDF j = Vehicle Damage Factor untuk jenis kendaraan j. DD
= Faktor distribusi arah.
DL
= Faktor distribusi lajur.
N1
= Lalu-lintas pada tahun pertama jalan dibuka.
Nn
= Lalu-lintas pada akhir umur rencana.
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
5
Desain tebal perkerasan jalan kaku
Lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan adalah lalu-lintas kumulatif selama umur rencana. Besaran ini didapatkan dengan mengalikan beban gandar standar kumulatif pada jalur rencana selama setahun dengan besaran kenaikan lalu-lintas (traffic growth). Secara numerik rumusan lalu-lintas kumulatif ini sebagai berikut : W t
= W 18 ×
(1 +
g
)n − 1
g
dimana : Wt
= Jumlah beban gandar tunggal standar kumulatif
W18
= Beban gandar standar kumulatif selama 1 tahun.
n
= Umur pelayanan, atau umur rencana UR (tahun).
g
= perkembangan lalu-lintas (%)
3. California Bearing Ratio (CBR) California Bearing Ratio (CBR), dalam perencanaan perkerasan kaku digunakan untuk penentuan nilai parameter modulus reaksi tanah dasar (modulus of subgrade reaction : k). CBR yang umum digunakan di Indonesia berdasar besaran 6 % untuk lapis tanah dasar, mengacu pada spesifikasi (versi Kimpraswil / Departemen Pekerjaan Umum edisi 2004 dan versi Dinas Pekerjaan Umum DKI Jakarta edisi 2004). Akan tetapi tanah dasar dengan nilai CBR 5 % dan atau 4 % pun dapat digunakan setelah melalui kajian geoteknik, dengan CBR kurang dari 6 % ini jika digunakan sebagai dasar perencanaan tebal perkerasan, masalah yang terpengaruh adalah fungsi tebal perkerasan yang akan bertambah, atau masalah penanganan khusus lapis tanah dasar tersebut. 4. Material Konstruksi Perkerasan Material perkerasan yang digunakan dengan parameter yang terkait dalam perencanaan tebal perkerasan sebagai berikut : 1. Pelat beton
• Flexural strength (Sc) = 45 kg/cm2 • Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm) : f c = 350 kg/cm2 (disarankan) 2. Wet lean concrete Kuat tekan (benda uji silinder 15 x 30 cm) : f c =105 kg/cm2 Sc digunakan untuk
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
6
Desain tebal perkerasan jalan kaku
penentuan paramater flexural strength, dan f c digunakan untuk penentuan parameter modulus elastisitas beton (Ec). C.
Parameter Perhitungan Tebal Pelat 1. Reliability Reliability : Probabilitas bahwa perkerasan yang direncanakan akan tetap memuaskan selama masa layannya. Penetapan angka Reliability dari 50 % sampai 99,99 % menurut AASHTO merupakan tingkat kehandalan desain untuk mengatasi, mengakomodasi kemungkinan melesetnya besaran-besaran desain yang dipakai. Semakin tinggi reliability yang dipakai semakin tinggi tingkat mengatasi kemungkinan terjadinya selisih (deviasi) desain. Besaran-besaran desain yang terkait dengan ini antara lain :
• Peramalan kinerja perkerasan. • Peramalan lalu-lintas. • Perkiraan tekanan gandar. • Pelaksanaan konstruksi. 1.
Kinerja perkerasan diramalkan pada angka desain Terminal Serviceability pt = 2,5 (untuk jalan raya utama), pt = 2,0 (untuk jalan lalu-lintas rendah), dan Initial
Serviceability po = 4,5 (angka ini bergerak dari 0 – 5). 2.
Peramalan lalu-lintas dilakukan dengan studi tersendiri, bukan hanya didasarkan rumus empirik. Tingkat kehandalan jauh lebih baik dibandingkan bila dilakukan secara empiris, linear, atau data sekunder.
3.
Perkiraan tekanan gandar yang diperoleh secara primer dari WIM survey, tingkat kehandalannya jauh lebih baik dibanding menggunakan data sekunder.
4.
Dalam pelaksanaan konstruksi, spesifikasi sudah membatasi tingkat / syarat agar perkerasan sesuai (atau lebih) dari apa yang diminta desain. Bahkan desain merupakan syarat minimum dalam spesifikasi.
Mengkaji keempat faktor diatas, penetapan besaran dalam desain sebetulnya sudah menekan sekecil mungkin penyimpangan yang akan terjadi. Tetapi tidak ada satu jaminan-pun berapa besar dari keempat faktor tersebut menyimpang. Reliability (R) mengacu pada Tabel 3.15. (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-9). Standard normal deviate (ZR) mengacu pada Tabel 2.17. (diambil dari AASHTO 1993 halaman I-62). Standard deviation untuk rigid pavement : So = 0,30 – 0,40 (diambil dari AASHTO 1993 halaman I-62). Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
7
Desain tebal perkerasan jalan kaku
Penetapan konsep Reliability dan Standar Deviasi : Parameter reliability dapat ditentukan sebagai berikut :
Berdasar parameter klasifikasi fungsi jalan
Berdasar status lokasi jalan urban / rural
Penetapan tingkat Reliability (R)
Penetapan standard normal deviation (ZR)
Penetapan standar deviasi (So)
Kehandalan data lalu-lintas dan beban kendaraan Tabel3.15. : Reliability (R) disarankan. Klasifikasi jalan Jalan tol
Reliability : R (%) Urban Rural 85 – 99,9 80 – 99,9
Arteri
80 – 99
75 – 95
Kolektor
80 – 95
75 – 95
Lokal
50 – 80
50 – 80
Catatan : Untuk menggunakan besaran-besaran dalam standar AASHTO ini sebenarnya dibutuhkan suatu rekaman data, evaluasi desain / kenyataan beserta biaya konstruksi dan pemeliharaan dalam kurun waktu yang cukup. Dengan demikian besaran parameter yang dipakai tidak selalu menggunakan “angka tengah” sebagai kompromi besaran yang diterapkan. Tabel 3.16. : Standard normal deviation (ZR). R (%)
ZR
R (%)
ZR
50
- 0,000
93
- 1,476
60
- 0,253
94
- 1,555
75
- 0,674
96
- 1,751
80
- 0,841
97
- 1,881
85
- 1,037
98
- 2,054
90
- 1,282
99
- 2,327
91
- 1,340
99,9
- 3,090
92
- 1,405
99,99
- 3,750
2. Serviceability Terminal serviceability index (pt) mengacu pada Tabel 3.17. (diambil dari AASHTO 1993 hal II-10). Initial serviceability untuk rigid pavement : po = 4,5 (diambil dari AASHTO 1993 hal. II-10). Total loss of serviceability : ∆PSI = po − pt
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
8
Desain tebal perkerasan jalan kaku
Tabel3.17. : Terminal serviceability index (pt). Percent of people stating unacceptable 12 55 85
pt 3,0 2,5 2,0
Penetapanparameter serviceability :
Initial serviceability : po = 4,5
Terminal serviceability index Jalur utama (major highways) : pt = 2,5
Terminal serviceability index Jalan lalu-lintas rendah : pt = 2,0
Total loss of serviceability : ∆PSI = po − pt
3. Modulus Reaksi Tanah Dasar Modulus of subgrade reaction (k) menggunakan gabungan formula dan grafik penentuan modulus reaksi tanah dasar berdasar ketentuan CBR tanah dasar. MR = 1.500 x CBR k=
MR 19,4
MR = Resilient modulus. Koreksi Effective Modulus of Subgrade Reaction, menggunakan Grafik pada Gambar 3.4. (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-42). Faktor Loss of Support (LS) mengacu pada Tabel 3.18. (AASHTO 1993 halaman II-27).
Effective Modulus of Subgrade Reaction, k (pci)
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
9
Desain tebal perkerasan jalan kaku
Tabel 3.18. : Loss of Support Factors (LS). No.
Tipe material
LS
1.
Cement Treated Granular Base ( E = 1.000.000– 2.000.000psi )
0– 1
2.
Cement Aggregate Mixtures ( E = 500.000 – 1.000.000 psi )
0–1
3.
Asphalt Treated Base ( E = 350.000 – 1.000.000 psi )
0–1
4.
Bituminous Stabilized Mixtures ( E = 40.000 – 300.000 psi )
0–1
5.
Lime Stabilized ( E = 20.000 – 70.000 psi )
1–3
6.
Unbound Granular Materials ( E = 15.000 –45.000 psi )
1 –3
7.
Fine grained / Natural subgrade materials ( E = 3.000 – 40.000 psi )
2–3
Pendekatan nilai modulus reaksi tanah dasar dari referensi / literatur : Pendekatan nilai Modulus Reaksi Tanah Dasar (k) dapat menggunakan hubungan nilai CBR dengan k seperti yang ditunjukkan pada Gambar 3.5. Diambil dari literatur Highway Engineering (Teknik Jalan Raya), Clarkson H Oglesby, R Gary Hicks, Stanford University & Oregon State University, 1996. Modulusreaksitanahdasar:k(psi/in) 100
150
200
250
300
400
500
600 700 800
CaliforniaBearingRatio(CBR) 2
3
4
5
6
10
15
20
25
30
40
50
60
70 80 100
Gambar 3.5. : Hubungan antara (k) dan (CBR). 4. Modulus Elastisitas Beton E c
= 57 .000
f c'
dimana : Ec = Modulus elastisitas beton (psi). f c = Kuat tekan beton, silinder (psi). Kuat tekan beton f c ditetapkan sesuai pada Spesifikasi pekerjaan (jika ada dalam spesifikasi). Di Indonesia saat ini umumnya digunakan : f c = 350 kg/cm2
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
10
Desain tebal perkerasan jalan kaku
5. Flexural Strength Flexural strength (modulus of rupture) ditetapkan sesuai pada Spesifikasi pekerjaan. Flexural strength saat ini umumnya digunakan : Sc = 45 kg/cm2 = 640 psi. 6.
Drainage Coefficient Variabel faktor drainase AASHTO memberikan 2 variabel untuk menentukan nilai koefisien drainase.
• Variabel pertama : mutu drainase, dengan variasi excellent, good, fair, poor, very poor. Mutu ini ditentukan oleh berapa lama air dapat dibebaskan dari pondasi perkerasan.
• Variabel kedua : persentasi struktur perkerasan dalam satu tahun terkena air sampai tingkat mendekati jenuh air (saturated), dengan variasi < 1 %, 1 – 5 %, 5 – 25 %, > 25 % Penetapan variable mutu drainase Penetapan variable pertama mengacu pada Tabel 3.19. (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-22), dan dengan pendekatan sebagai berikut : a. Air hujan atau air dari atas permukaan jalan yang akan masuk kedalam pondasi jalan, relatif kecil berdasar hidrologi yaitu berkisar 70 – 95 %air yang jatuh di atas jalan aspal / beton akan masuk ke sistem drainase (sumber : BINKOT Bina Marga & Hidrologi Imam Subarkah). Kondisi ini dapat dilihat acuan koefisien pengaliran pada Tabel 3.20 . & 3.21. b. Air dari samping jalan yang kemungkinan akan masuk ke pondasi jalan, inipun relatif kecil terjadi, karena adanya road side ditch, cross drain, juga muka air tertinggi di-desain terletak di bawah subgrade. c. Pendekatan dengan lama dan frekuensi hujan, yang rata-rata terjadi hujan selama 3 jam per hari dan jarang sekali terjadi hujan terus menerus selama 1 minggu. Maka waktu pematusan 3 jam (bahkan kurang bila memperhatikan butir b.) dapat diambil sebagai pendekatan dalam penentuan kualitas drainase, sehingga pemilihan mutu
, dengan pertimbangan air yang mungkin masih akan drainase adalah berkisar Good masuk, quality of drainage diambil kategori Fair . Untuk kondisi khusus, misalnya sistem drainase sangat buruk, muka air tanah terletak cukup tinggi mencapai lapisan tanah dasar, dan sebagainya, dapat dilakukan kajian tersendiri. Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
11
Desain tebal perkerasan jalan kaku
Tabel 3.19. : Quality of drainage. Quality of drainage
Water removed within
Excellent
2 jam
Good
1 hari
Fair
1 minggu
Poor
1 bulan
Very poor
Air tidak terbebaskan
Tabel 3.20. : Koefisien pengaliran C (Binkot) No.
Kondisi permukaan tanah
Koefisien pengaliran (C)
1.
Jalan beton dan jalan aspal
0,70 –0,95
2.
Bahu jalan : - Tanah berbutir halus
0,40 –0,65
- Tanah berbutir kasar
0,10 –0,20
- Batuan masif keras
0,70 – 0,85
- Batuan masif lunak
0,60 – 0,75
Sumber : Petunjuk desain drainase permukaan jalan No. 008/T/BNKT/1990, Binkot, Bina Marga, Dep. PU, 1990.
Tabel 3.21. : Koefisien pengaliran C (Hidrologi, Imam Subarkah) Type daerah aliran Jalan
C
Beraspal
0,70 - 0,95
Beton
0,80 - 0,95
Batu
0,70 - 0,85
Sumber : Hidrologi, Imam Subarkah. Penetapan variable prosen perkerasan terkena air Penetapan variable kedua yaitu persentasi struktur perkerasan dalam 1 tahun terkena air sampai tingkat saturated , relatif sulit, belum ada data rekaman pembanding dari jalan lain, namun dengan pendekatan-pendekatan, pengamatan dan perkiraan berikut ini, nilai dari faktor variabel kedua tersebut dapat didekati. Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
12
Desain tebal perkerasan jalan kaku
Prosen struktur perkerasan dalam 1 tahun terkena air dapat dilakukan pendekatan dengan asumsi sebagai berikut : Pheff =
T jam 24
×
Thari 365
× WL × 100
dimana : Pheff
=
Prosen hari effective hujan dalam setahun yang akan berpengaruh terkenanya
perkerasan (dalam %). T jam
= Rata-rata hujan per hari (jam).
Thari
= Rata-rata jumlah hari hujan per tahun (hari)
WL
= Faktor air hujan yang akan masuk ke pondasi jalan (%)
Selanjutnya drainage coefficient (Cd) mengacu pada Tabel 6.22.(AASHTO 1993 halaman II– 26). Tabel 3.22. : Drainage coefficient (Cd).
Percent of time pavement structure is exposed to moisture levels approaching saturation Quality of drainage
<1%
1–5%
5 – 25 %
> 25 %
Excellent
1.25 – 1.20
1.20 – 1.15
1.15 – 1.10
1.10
Good
1.20 – 1.15
1.15 – 1.10
1.10 – 1.00
1.00
Fair
1.15 – 1.10
1.10 – 1.00
1.00 – 0.90
0.90
Poor
1.10 – 1.00
1.00 – 0.90
0.90 – 0.80
0.80
Very poor
1.00 – 0.90
0.90 – 0.80
0.80 – 0.70
0.70
Penetapan parameter drainage coefficient :
Berdasar kualitas drainase
Kondisi Time pavement structure is exposed to moisture levels approaching saturation dalam setahun
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
13
Desain tebal perkerasan jalan kaku
7. Load Transfer Load transfer coefficient (J) mengacu pada Tabel 3.23. (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-26), dan AASHTO halaman III-132. Tabel 3.23. : Load transfer coefficient. Shoulder
Asphalt
Load transfer devices
Tied PCC
Yes
No
Yes
No
3.2
3.8 – 4.4
2.5 – 3.1
3.6 – 4.2
2.9 – 3.2
N/A
2.3 – 2.9
N/A
Pavement type 1. Plain jointed & jointed reinforced 2. CRCP
Pendekatan penetapan parameter load transfer :
D.
Joint dengan dowel :
J = 2,5– 3,1 (diambil dari AASHTO 1993 halaman II-26).
Untuk overlay design : J = 2,2 – 2,6(diambil dari AASHTO 1993 halaman III-132).
Perhitungan Tebal Pelat 1. Persamaan Penentuan Tebal Pelat (D)
log10 W 18 = Z R S o + 7,35 log10 ( D + 1) − 0,06+
∆PSI log10 4,5 − 1,5 1+
1,624×10
7
+ ( 4,22− 0,32 pt ) × log10
( D + 1)
8,46
S c C d ×[ D '
0,75
− 1,132]
215,63× J × D0,75 −
( E c : k ) 18,42
0,25
dimana : W18 =
Traffic design, Equivalent Single Axle Load (ESAL).
ZR = Standar normal deviasi. So = Standar deviasi. D
= Tebal pelat beton (inches).
∆PSI =
Serviceability loss = po – pt
po
=
Initial serviceability.
pt
=
Terminal serviceability index.
Sc
=
Modulus of rupture sesuai spesifikasi pekerjaan (psi).
Cd
=
Drainage coefficient.
J
=
Load transfer coefficient.
Ec
=
Modulus elastisitas (psi).
k
=
Modulus reaksi tanah dasar (pci).
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
14
Desain tebal perkerasan jalan kaku
2. Parameter Desain Dan Data Perencanaan Rigid Pavement Parameter desain dan data perencanaan untuk kemudahan bagi perencana dalam menentukan tebal pelat beton rigid pavement, disajikan seperti pada Tabel 3.24. Tabel 3.24. : Parameter dan data yang digunakan dalam perencanaan. No.
Parameter
AASHTO
1.
Umur Rencana
-
2.
Lalu-lintas, ESA
-
3.
Terminal serviceability (pt)
4.
Initial serviceability (po)
5.
Serviceability loss (∆PSI)
6.
Reliability (R)
7.
Standard normal deviation (ZR)
8.
Standard deviation (So)
9.
Modulus reaksi tanah dasar (k)
Berdasar CBR = 6 *)
10.
Modulus elastisitas beton (Ec)
Berdasar : fc = 350 kg/cm2
11.
Flexural strength (Sc)
Berdasar : Sc = 45 kg/cm2
12.
Drainage coefficient (Cd)
1,10 – 1,20
13.
Load transfer coefficient (J)
2,50 –2,60
Keterangan :
Desain
2,0 – 3,0 4,5 po – pt 75 – 99,9 - 0,674 s/d - 1,645 0,30 – 0,40
Parameter dan data diatas, sebagai contoh.
*) Dapat dikaji secara khusus terhadap nilai CBR rencana. 3. Desain Gabungan Rigid & Flexible Pavement (Composite Pavement) Perencanaan gabungan rigid & flexible pavement (composite) yang digunakan adalah pendekatan desain overlay hotmix diatas rigid pavement yang mengacu pada AASHTO guide for design of pavement structures 1993. Prosedur, parameter-parameter perencanaan mengikuti metode perencanaan Rigid Pavement diatas dengan gabungan formula overlay diatas rigid pavement tersebut, sebagai berikut ini. Dol = A ( Df – Deff ) A = 2,2233 + 0,0099 ( Df – Deff )2 – 0,1534 ( Df – Deff ) dimana : Dol = Tebal flexible pavement (inches). Df = Tebal total perkerasan rencana (inches). Deff = Tebal lapis pelat beton effective (inches). A
= Faktor konversi lapis perkerasan beton ke hotmix.
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
15
Desain tebal perkerasan jalan kaku
4. Additional Overlay Jika gabungan rigid & flexible pavement tersebut di-desain dengan konstruksi awal pelat beton dan kemudian di-overlay, maka perencanaan menjadi sebagai berikut : Konstruksi awal Konstruksi awal digunakan rigid pavement tebal D cm, di-analisis equivalent standard axle load dan nilai umur rencana terhadap struktur perkerasan kaku setebal D cm tersebut.
Remaining life (RL) dan pavement condition factor (CF)
R L
=
100
× 1 −
N p N 1 , 5
dimana : RL
= Remaining life (%)
Np
= Total traffic saat overlay, ESAL
N1,5
= Total traffic pada kondisi perkerasan berakhir (failure), ESAL
Condition factor (CF), menggunakan Gambar 3.6. (diambil dari Figure 3.2. AASHTO 1993 halaman III-90). Atau formula : CF = RL0,165
Gambar 3.6. : Hubungan Condition Factor dan Remaining life. Desain additional overlay Lihat sub-bab 3.14. diatas.
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
16
Desain tebal perkerasan jalan kaku
Tinjauan kemampu-layanan a. Kondisi pada akhir tahun ke Np Pada akhir tahun ke-Np diperkirakan kondisi kemampu-layanan perkerasan sebagai berikut :
• Tebal pelat rencana • Tebal pelat effective • Umur rencana • ESAL design • Terminal serviceability index = 2,5 b. Kondisi pada akhir tahun ke N1,5 Pada akhir tahun ke-N1,5 diperkirakan kondisi kemampu-layanan perkerasan sebagai berikut :
• Tebal pelat rencana • Umur rencana • ESAL design • Serviceability index (failure) = 1,5 c. Kondisi pada akhir tahun umur rencana Pada akhir tahun umur rencana diperkirakan kondisi kemampu-layanan perkerasan sebagai berikut :
• Tebal overlay • Tebal pelat • Umur rencana = 20 tahun • ESAL design • Terminal serviceability index = 2,5 d. Overlay Diperkirakan diperlukan overlay agar kondisi perkerasan tetap diatas nilai batas terminal serviceability index 2,5 sebelum menurun kemampu-layanannya menjadi 1,5 dan selanjutnya dapat mencapai umur rencana 20 tahun. Kondisi kemampu-layanan perkerasan sebelum dan sesudah di-overlay digambarkan seperti pada Gambar 3.7. Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
17
Desain tebal perkerasan jalan kaku
Serviceability
Rigid pavement ( Initial construction )
Overlay
Po = 4,5 4.0 3.5 3.0 Pt = 2,5 2.0 1.5
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tebal pelat Umur Rencana ESAL design Pt
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
Failure 2,5 Tebal pelat Umur Rencana ESAL design Pt
1,5
Tebal AC Tebal pelat Umur Rencana ESAL design Pt
20 tahun 2,5
Gambar 3.7. Kemampu-layanan rigid pavement dan additional overlay 5. Reinforcement Design a. Steel working stress Allowable working stress f s untuk grade 40 = 30.000 psi. b. Friction factor Tabel 3.25. : Recommended friction factor. Type material dibawah slab
Friction factor (F)
Surface treatment
2,2
Lime stabilization
1,8
Cement stabilization
1,8
River gravel
1,5
Crushed stone
1,5
Sandstone
1,2
Natural subgrade
0,9
Sumber : AASHTO 1993 halaman II-28.
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
18
Tahun
Desain tebal perkerasan jalan kaku
c. Longitudinal & transverse steel reinforcing Prosen longitudinal & transverse steel diperlukan : Ps
=
LF
2 f s
× 100
dimana : Ps = Longitudinal & transverse steel diperlukan (%). L = Panjang slab (feet). f s = Steel working stress (psi). F = Friction factor. d. Tie bar Tie Bar dirancang untuk memegang plat sehingga teguh, dan dirancang untuk menahan gaya-gaya tarik maksimum. Tie bar tidak dirancang untuk memindah beban. Jarak tie bar dapat mengacu pada Tabel 3.26. Tabel 3.26. : Tie bar.
Diameter batang ½ in
Diameter batang 5/8 in
Jenis dan
Tegangan
Tebal
mutu baja
kerja
perkerasan
Panjang
Lebar
Lebar
Lebar
Panjang
Lebar
Lebar
Lebar
(psi)
(in)
(in)
lajur
lajur
lajur
(in)
lajur
lajur
lajur
10 ft
11 ft
12 ft
10 ft
11 ft
12 ft
Grade 40
30.000
Jarak maximum (in)
Jarak maximum (in)
6
25
48
48
48
30
48
48
48
7 8 9 10 11 12
25 25 25 25 25 25
48 48 48 48 35 32
48 44 40 38 32 29
48 40 38 32 29 26
30 30 30 30 30 30
48 48 48 48 48 48
48 48 48 48 48 48
48 48 48 48 48 48
Sumber : Literartur / Makalah UI. e. Dowel Alat pemindah beban yang biasa dipakai adalah dowel baja bulat polos . Syarat perancangan minimum dapat mengacu pada Tabel 3.27, atau penentuan diameter dowel dapat menggunakan pendekatan formula : d =
D
8
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
19
Desain tebal perkerasan jalan kaku
dimana : d = Diamater dowel (inches). D = Tebal pelat beton (inches) Tabel 3.27. : Rekomendasi dowel. Tebal perkerasan (in)
Dowel diameter (in)
Panjang dowel (in)
Jarak dowel (in)
6
3/4
18
12
7
1
18
12
8
1
18
12
9
1 1/4
18
12
10
1 1/4
18
12
11
1 1/4
18
12
12
1 1/4
18
12
Sumber : Literartur / Makalah UI.
f. Parameter desain dan data reinforcement design Parameter desain dan data untuk reinforcement design disajikan seperti pada Tabel 3.28. Tabel 3.28. : Parameter dan data yang digunakan dalamperencanaan. No.
Parameter
AASHTO
Desain
Grade 40
30.000 psi
1,8
1,8
1.
Steel working stress ( fs ) : grade 40
2.
Friction factor ( F )
3.
Tebal pelat
4.
Panjang pelat arah longitudinal
15,00 feet
5.
Traffic lane & shoulder wide
24,00 feet
6.
Jarak dari tepi bebas
11,00 feet
7.
Lebar lajur
11,00 feet
Lihat desain tebal pelat
Keterangan : Parameter dan data diatas, sebagai contoh. g. Tinjauan Khusus Perencanaan Penulangan dan Sambungan Untuk perencanaan penulangan dan sambungan pada perkerasan jalan kaku, berikut ini diambilkan referensi dari beberapa standard dan literatur, yaitu dari sumber :
• Principles of pavement design by Yoder & Witczak 1975 • SNI 1991. • SKBI 2.3.28.1988. Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
20
Desain tebal perkerasan jalan kaku
1. Tata cara perencanaan penulangan Tujuan dasar distribusi penulangan baja adalah bukan untuk mencegah terjadinya retak pada pelat beton tetapi untuk membatasi lebar retakan yang timbul pada daerah dimana beban terkonsentrasi agar tidak terjadi pembelahan pelat beton pada daerah retak tersebut, sehingga kekuatan pelat tetap dapat dipertahankan. Banyaknya tulangan baja yang didistribusikan sesuai dengan kebutuhan untuk keperluan ini yang ditentukan oleh jarak sambungan susut, dalam hal ini dimungkinkan penggunaan pelat yang lebih panjang agar dapat mengurangi jumlah sambungan melintang sehingga dapat meningkatkan kenyamanan. a. Kebutuhan penulangan pada perkerasan bersambung tanpa tulangan Pada perkerasan bersambung tanpa tulangan, penulangan tetap dibutuhkan untuk mengantisipasi
atau
meminimalkan
retak pada
tempat-tempat
dimana
dimungkinkan terjadi konsentrasi tegangan yang tidak dapat dihindari. Tipikal penggunaan penulangan khusus ini antara lain :
•
Tambahan pelat tipis.
•
Sambungan yang tidak tepat.
b. Penulangan pada perkerasan bersambung dengan tulangan Luas tulangan pada perkerasan ini dihitung dari persamaan sebagai berikut : As
=
11,76 F L h f s
dimana : As
= luas tulangan yang diperlukan (mm2/m lebar)
F = koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya (Tabel 6.29.) L
= jarak antara sambungan (m)
h
= tebal pelat (mm)
f s
= tegangan tarik baja ijin (MPa)
As min. menurut SNI 1991 untuk segala keadaan = 0,14 % dari luas penampang beton.
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
21
Desain tebal perkerasan jalan kaku
Tabel 3.29. : Koefisien gesekan antara pelat dengan lapisan pondasi dibawahnya. Type material dibawah slab
Friction factor (F)
Burtu, Lapen dan konstruksi sejenis
2,2
Aspal beton, Lataston
1,8
Stabilisasi kapur
1,8
Stabilisasi aspal
1,8
Stabilisasi semen
1,8
Koral sungai
1,5
Batu pecah
1,5
Sirtu
1,2
Tanah
0,9
Sumber : SKBI 2.3.28.1988 c. Penulangan pada perkerasan menerus dengan tulangan 1. Penulangan memanjang Ps
=
100 f t ( 1,3 − 0 ,2 F ) f y
− n f t
dimana : Ps = persentase tulangan memanjang yang dibutuhkan terhadap penampang beton (%). f t = kuat tarik lentur beton yang digunakan = 0,4 – 0,5 f r f y = tegangan leleh rencana baja (SNI 1991. f y < 400 MPa– BJTD40)
E n = angka ekivalen antara baja dan beton = s (Tabel 6.30.) Ec F = koefisien gesekan antara pelat beton dengan lapisan di bawahnya (Tabel 6.29.) Es = modulus elastisitas baja (berdasarkan SNI 1991 digunakan 200.000 MPa) Ec = modulus elastisitas beton (SNI 1991 digunakan 4700
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
'
f c
MPa)
22
Desain tebal perkerasan jalan kaku
Tabel 3.30. : Hubungan antara kuat tekan beton dan angka ekivalen baja & beton (n) serta f r. f c
f c
f r
(kg/cm2)
(MPa)
115
11,3
13
2,1
120 – 135
11,8 – 13,2
12
2,2
140 – 165
13,7 – 16,2
11
2,4
170 – 200
16,7 – 19,6
10
2,6
205 – 250
20,1 – 24,5
9
2,9
260 – 320
25,5 – 31,4
8
3,3
330 – 425
32,4 – 41,7
7
3,7
450
44,1
6
4,1
n
(MPa)
Sumber : SNI 1991 Persentase minimum tulangan memanjang pada perkerasan beton menerus adalah 0,6 % dari luas penampang beton. Jarak antara retakan pada perkerasan beton menerus dengan tulangan dapat dihitung dengan persamaan : L cr
=
f t n p 2 u f b
2
( S E c − f t )
dimana : Lcr = jarak teoritis antara retakan (m), jarak optimum antara 1 – 2 m. p = luas tulangan memanjang per satuan luas. f b = tegangan lekat antara tulangan dengan beton yang dikenal sebagai lekat lentur (MPa). Besaran lekat lentur yang dipakai dalam praktek menurut ACI 1963 untuk tulangan dengan diameter ≤ 35,7 mm (# 11) : tegangan lekat dasar = 9 ,5 f ’ c
d
≤ 800 psi atau dalam SI unit : tegangan lekat dasar = 0 ,79 d
f c’
≤ 5,5 MPa
d = diameter tulangan (cm). S = koefisien susut beton, umumnya dipakai antara 0,0005 – 0,0006 untuk pelat perkerasan jalan. f t
= kuat tarik lentur beton yang digunakan = 0,4 – 0,5 f r (MPa).
n = angka ekivalen antara baja dan beton =
Es
(Tabel 6.30.)
Ec
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
23
Desain tebal perkerasan jalan kaku
u = keliling penampang tulangan per satuan luas tulangan = 4/d (dalam m-1) Ec = modulus elastisitas beton = 4700
f c’ (MPa)
2. Penulangan melintang Luas tulangan melintang yang diperlukan pada perkerasan beton menerus, dihitung dengan persamaan yang sama seperti pada perhitungan penulangan perkerasan beton bersambung dengan tulangan. a.
Sambungan Perencanaan sambungan pada perkerasan kaku, merupakan bagian yang harus dilakukan, baik jenis perkerasan beton bersambung tanpa atau dengan tulangan, maupun pada jenis perkerasan beton menerus dengan tulangan. 1. Jenis sambungan Sambungan dibuat atau ditempatkan pada perkerasan beton dimaksudkan untuk menyiapkan tempat muai dan susut beton akibat terjadinya tegangan yang disebabkan : perubahan lingkungan (suhu dan kelembaban), gesekan dan keperluan konstruksi (pelaksanaan). Sambungan pada perkerasan beton umumnya terdiri dari 3 jenis, yang fungsinya sebagai berikut : a. Sambungan susut Atau sambungan pada bidang yang diperlemah (dummy) dibuat untuk mengalihkan tegangan tarik akibat : suhu, kelembaban, gesekan sehingga akan mencegah retak. Jika sambungan susut tidak dipasang, maka akan terjadi retak acak pada permukaan beton. b. Sambungan muai Fungsi utamanya untuk menyiapkan ruang muai pada perkerasan, sehingga mencegah terjadinya tegangan tekan yang akan menyebabkan perkerasan tertekuk. c. Sambungan konstruksi (pelaksanaan) Diperlukan untuk kebutuhan konstruksi (berhenti dan mulai pengecoran). Jarak antara sambungan memanjang disesuaikan dengan lebar alat atau mesin penghampar (paving machine) dan oleh tebal perkerasan.
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
24
Desain tebal perkerasan jalan kaku
Selain 3 jenis sambungan tersebut, jika pelat perkerasan cukup lebar (> 7 m) maka diperlukan sambungan ke arah memanjang yang berfungsi sebagai penahan gaya lenting (warping) yang berupa sambungan engsel, dengan diperkuat batang pengikat (tie bar). 2. Geometrik sambungan Geometrik sambungan adalah tata letak secara umum dan jarak antara sambungan. 1 - 1,5 m Tepi luar
Sambungan melintang serong
Bahu
Sambungan memanjang
Dowel
Lajur 1
Lajur 2
Tie bar
Tie bar
Dowel
Sambungan memanjang
Lajur 3
Tie bar
Tepi dalam
Jarak sambungan melintang Dowel
Tiebar
Gambar 3.8. : Tata letak sambungan pada perkerasan kaku. a. Jarak sambungan Pada umumnya jarak sambungan konstruksi memanjang dan melintang tergantung keadaan bahan dan lingkungan setempat, dimana sambungan muai dan susut sangat tergantung pada kemampuan konstruksi dan tata letaknya. Untuk sambungan muai, jarak untuk mencegah retak sedang akan mengecil jika koefisien panas, perubahan suhu atau gaya gesek tanah dasar bertambah bila tegangan tarik beton bertambah. Jarak berhubungan dengan tebal pelat dan kemampuan daya ikat sambungan. Untuk menentukan jarak sambungan yang akan mencegah retak, yang terbaik dilakukan dengan mengacu petunjuk dari catatan kemampuan pelayanan setempat. Pengalaman setempat penting diketahui karena perubahan jenis
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
25
Desain tebal perkerasan jalan kaku
agregat kasar akan memberi dampak yang nyata pada koefisien panas beton dengan konsekuensi jarak sambungan yang dapat diterima. Sebagai petunjuk awal, jarak sambungan untuk beton biasa ≤ 2 h (dua kali tebal pelat beton dalam satuan berbeda, misalkan tebal pelat h = 8 inci, maka jarak sambungan = 16 feet, jadi kalau dengan SI unit jarak sambungan = 24 – 25 kali tebal pelat, misalkan tebal pelat 200 mm, maka jarak sambungan = 4.800 mm) dan secara umum perbandingan antara lebar pelat dibagi panjang pelat ≤ 1,25. Penggunaan sambungan muai biasanya diminimalkan pada proyek dengan pertimbangan masalah biaya, kompleksitas dan penampilannya. Sambungan digunakan pada struktur dimana jenis perkerasan berubah (misalnya : dari jenis menerus ke jenis bersambung) pada persimpangan. Jarak antara sambungan konstruksi, biasanya diatur pada penempatan di lapangan dan kemampuan peralatan. Sambungan konstruksi memanjang harus ditempatkan pada tepi lajur untuk memaksimalkan kerataan perkerasan dan meminimalkan persoalan pengalihan beban. Sambungan konstruksi melintang terjadi pada akhir pekerjaan atau pada saat penghentian pengecoran. b. Tata letak sambungan Sambungan menyerong atau acak (random), akan meminimalkan dampak kekasaran sambungan, sehingga dapat memperbaiki mutu pengendalian. Sambungan melintang serong akan meningkatkan penampilan dan menambah usia perkerasan kaku, yaitu biasa atau bertulang, dengan atau tanpa ruji. Sambungan harus serong sedemikian agar beban roda dari masing-masing sumbu dapat melalui sambungan pada saat yang tidak bersamaan. Sudut tumpul pada sisi luar perkerasan harus dibagian depan sambungan pada arah lalu-lintas, karena sudut akan menerima dampak beban roda terbesar secara tiba-tiba. Keuntungan dari sambungan serong sebagai berikut :
• Mengurangi lendutan dan tegangan pada sambungan, sehingga menambah daya dukung beban pelat dan memperpanjang usia pelat. Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
26
Desain tebal perkerasan jalan kaku
• Mengurangi dampak reaksi kendaraan pada saat melintasi sambungan dan memberikan kenyamanan yang lebih. Untuk lebih meningkatkan penampilan perkerasan biasa adalah dengan menggunakan sambungan serong pada jarak acak atau tidak teratur. Pola jarak acak mencegah irama atau resonansi pada kendaraan yang bergerak dalam kecepatan normal. Dari hasil penelitian menunjukkan bahwa pada pola jarak pelat 2,50 m harus dihindarkan c. Dimensi sambungan Lebar sambungan, ditentukan oleh alur yang akan diuraikan pada bagian bawah. Kedalaman takikan sambungan susut harus cukup memadai untuk memastikan akan terjadi retak pada tempat yang dikehendaki dan tidak pada sembarang tempat. Biasanya kedalaman takikan sambungan susut melintang ¼ tebal pelat dan sambungan memanjang 1/3 ketebalan. Sambungan tersebut dibuat dengan pemotongan, penyelipan atau pembentukan. Waktu pemotongan sangat kritis untuk mencegah retak acak sehingga sambungan harus dipotong dengan hati-hati untuk memastikan semuanya bekerja bersamaan. Jarak waktu untuk pengecoran dengan pemotongan akan berubah dengan perubahan suhu pelat, keadaan pengeringan dan proporsi campuran. 3. Dimensi bahan penutup sambungan a. Sambungan susut Pergerakan sambungan dan kemampuan bahan penutup alur harus dioptimalkan. Pada umumnya mutu bahan penutup sambungan harus ditingkatkan jika pergerakan sambungan diperkirakan akan bertambah. Bertambahnya pergerakan sambungan dapat diakibatkan oleh perpanjangan pelat, perubahan suhu yang besar dan atau koefisien panas beton yang tinggi. Pergerakan sambungan pada perkerasan dipengaruhi faktor-faktor seperti perubahan sifat volume panjang beton dan gesekan antara pelat dan pondasi bawah (tanah dasar). Dalam hal untuk menjaga bentuk penutup-lapangan yang efektif, lubang alur (takikan) yang akan diisi bahan penutup harus mempunyai faktor bentuk (lebar Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
27
Desain tebal perkerasan jalan kaku
dan dalam) yang benar. Dalam batasan praktis, kedalaman sambungan minimum lubang harus mendekati segiempat dan berada dibawah permukaan minimum 3 mm (1/8 inci). Dengan demikian berarti takikan biasanya dibentuk dengan menambah lebar dan mengurangi kedalaman bagian atas sambungan untuk mengikat bahan penutup. Untuk sambungan yang sempit dengan jarak sambungan yang dekat, lubang dapat dibentuk dengan menyisipkan tali atau bahan lain sampai kedalaman yang telah ditentukan. Metoda ini mengurangi kebutuhan bahan penutup. Pada umumnya dalam berbanding lebar berkisar 1 – 1,5 dengan kedalaman minimum 9,5 mm (3/8 inci) untuk sambungan memanjang dan 12,5 mm (1/2 inci) untuk sambungan melintang. Lebar sambungan didefinisikan sebagai nilai maximum yang terjadi pada suhu minimum. Jadi nilai maximum meliputi pergerakan horisontal yang diantisipasi ditambah dengan lebar sisa disebabkan sifat bahan penutup. Pergerakan horisontal dapat dihitung dengan memperkirakan bukaan sambungan yang disebabkan siklus temperatur ditambah dengan penyusutan beton. Besarnya bukaan dan sebaliknya tergantung pada :
• perubahan temperatur dan kelembaban • jarak antara sambungan kerja (pelaksanaan) atau retak • gesekan antara lapis pondasi dan pelat • kondisi dari rencana pemberian beban sambungan, dan sebagainya. Untuk keperluan perencanaan bukaan sambungan melintang rata-rata pada selang waktu dapat dihitung dengan pendekatan. Lebar sambungan harus memperhitungkan pergerakan ditambah dengan tegangan sisa yang diijinkan pada penutup sambungan.
• Menurut AASHTO : disyaratkan lebar bukaan ≤ 0,04 inci untuk sambungan tanpa ruji (dowel).
• Menurut Yoder & Witczak : lebar bukaan ≤ 0,04 inci untuk sambungan tanpa dowel, lebar bukaan ≤ 0,25 inci untuk sambungan dengan dowel.
• Menurut SKBI 1988 : lebar bukaan retakan minimum (mm) = 0,45 x Panjang Pelat (m), umumnya lebar retakan yang diijinkan berkisar antara 1 – 3 mm, tetapi untuk kemudahan pengisian bahan penutup, lebar bukaan pada bagian atas diperlebar maximum 6 – 10 mm dengan Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
28
Desain tebal perkerasan jalan kaku
• kedalaman tidak lebih dari 20 mm dan semua sambungan susut melintang harus dipasang ruji.
b. Sambungan muai Pergerakan pada sambungan muai didasarkan pada pengalaman agen pembuat. Dimensi alur takikan akan optimal didasarkan pada pergerakan dan kemampuan bahan pengisi. Pada umumnya, dimensi akan lebih besar dari pada untuk sambungan susut. c. Sambungan pelaksanaan Menurut AASHTO, tipikal sambungan susut melintang juga dapat digunakan untuk sambungan pelaksanaan dan sambungan memanjang lainnya. 4. Dowel (ruji) Dowel berupa batang baja tulangan polos (maupun profil), yang digunakan sebagai sarana penyambung / pengikat pada beberapa jenis sambungan pelat beton perkerasan jalan. Dowel berfungsi sebagai penyalur beban pada sambungan, yang dipasang dengan separuh panjang terikat dan separuh panjang dilumasi atau dicat untuk memberikan kebebasan bergeser. Tabel 3.31. : Ukuran dan jarak batang dowel (ruji) yang disarankan. Tebal pelat inci mm
Diameter inci mm
Panjang inci mm
Jarak inci
mm
6
150
¾
19
18
450
12
300
7
175
1
25
18
450
12
300
8
200
1
25
18
450
12
300
9
225
1¼
32
18
450
12
300
10
250
1¼
32
18
450
12
300
11
275
1¼
32
18
450
12
300
12
300
1½
38
18
450
12
300
13
325
1½
38
18
450
12
300
14
350
1½
38
18
450
12
300
Sumber : Principles of pavement design by Yoder & Witczak, 1975 Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
29
Desain tebal perkerasan jalan kaku
Bahan penutup
6 - 10 mm
max. 20 m
Batang polos diminyaki / dicat
0,25 D 0,5 D d
D
0,5 D 0,5 Ld
0,5 Ld
Gambar 3.9. : Sambungan susut melintang dengan dowel. d = diameter batang dowel Ld = panjang batang dowel D = tebal pelat beton perkerasan
19 mm
Terikat / fixed
Bahan penutup Batang polos diminyaki / dicat 0,25 D 0,5 D
D
d 0,5 D Bahan pengisi / filler
0,5 Ld
50 mm
25 mm
0,5 Ld
Gambar 3.10. : Sambungan muai dengan dowel. d = diameter batang dowel Ld = panjang batang dowel D = tebal pelat beton perkerasan 5.
Batang pengikat (Tie bar) Tie bar adalah potongan baja yang diprofilkan yang dipasang pada sambungan lidah-alur dengan maksud untuk mengikat pelat agar tidak bergerak horisontal. Batang pengikat dipasang pada sambungan memanjang, lihat Gambar 3.11. Cara menentukan dimensi batang pengikat : Jarak sambungan dari tepi terdekat, lihat sketsa Gambar 3.11.
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
30
Desain tebal perkerasan jalan kaku
Tabel perhitungan : Nomor
Jarak (X)
Sambungan 2
meter 3,50
Jarak maximum Tie bar (cm)
φ 12 mm
φ 16 mm
Tergantung tebal pelat
Tergantung tebal pelat
X3 X
2 1, 2, 3, = Sambungan pelaksanaan memanjang Laur 0,5 m
Laur 3,5 m
3,5 m
Gambar 3.11. : Jarak sambungan dari tepi terdekat Sketsa sambungan pelaksanaan memanjang seperti pada Gambar 3.12. Batang pengikat baja profil
6 - 10 mm
Bahan penutup
0,25 D 12 mm D
d
D/3 12 mm
50 mm 0,5 Lt
0,5 Lt
Lt
= panjang batang pengikat (tie bar) dari baja tulangan yang diprofilkan, dapat dibengkokkan dan diluruskan kembali tanpa rusak
d
= diameter tie bar
D
= tebal pelat perkerasan
Gambar 3.12. : Sambungan pelaksanaan memanjang dengan lidah alur dan Tie bar.
h. Tinjauan Khusus Kapasitas Jalan Untuk Parameter Distribusi Lajur Dalam perencanaan tebal pelat suatu rigid pavement , diperlukan penentuan faktor distribusi lajur (DL), lihat Sub-bab 3.2.4. Traffic design dan Tabel 3.14, dalam tabel tersebut terlihat bahwa makin banyak jumlah lajur setiap arah nilai faktor distribusi lajur
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
31
Desain tebal perkerasan jalan kaku
makin kecil, yaitu dari 100 ∼ 50 %, dan jika diperhitungkan dengan distribusi arah nilai tersebut menjadi 0,50 ∼ 0,25 Penentuan jumlah lajur dapat di-analisis dengan kapasitas jalan. Dalam buku ini akan menggunakan rujukan Manual Kapasitas Jalan Indonesia (MKJI) 1997. Ruas jalan (non tol) merupakan bagian segmen jalan dalam suatu jaringan jalan. Segmen jalan, rural dan khususnya urban memiliki perkembangan secara permanen dan menerus sepanjang seluruh / hampir seluruh jalan, minimum pada satu sisi jalan, berupa perkembangan lahan atau bukan. Biasanya terdapat pada daerah dengan penduduk lebih dari 100.000 jiwa. Segmen jalan ini merupakan panjang jalan di antara dan tidak dipengaruhi oleh simpang bersinyal atau simpang tak bersinyal utama dan memiliki karakteristik yang hampir sama di sepanjang jalan. Tipe jalan (perkotaan) yang terdapat dalam MKJI 1997 adalah :
• Jalan dua-lajur dua-arah (2/2 UD) • Jalan empat-lajur dua-arah • Tak terbagi (tanpa median) (4/2 UD) Terbagi (dengan median) (4/2 D)
• Jalanenam-lajur dua-arah terbagi (6/2 D) • Jalan satu-arah (1-3/1) 1.
Kapasitas ruas jalan Kapasitas ruas jalan adalah arus lalu-lintas maksimum yang melintasi suatu penampang ruas jalan yang dapat dipertahankan per satuan waktu (jam) dalam kondisi tertentu (geometri, komposisi dan distribusi arus lalulintas, serta faktor lingkungan). Kapasitas dinyatakan dalam satuan mobil penumpang (smp). Untuk jalan 2 lajur 2 arah, kapasitas ditentukan untuk arus 2 arah (kombinasi 2 arah), akan tetapi untuk jalan dengan banyak lajur, arus dipisahkan per arah dan kapasitas ditentukan per lajur. Jenis kapasitas jalan dibedakan menurut keperluan penggunaannya sebagai berikut :
• Kapasitas dasar adalah jumlah kendaraan maksimum yang dapat melintasi suatu penampang ruas jalan selama 1 (satu) jam dalam keadaan jalan dan lalu-lintas mendekati ideal yang dapat dicapai. Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
32
Desain tebal perkerasan jalan kaku
• Kapasitas praktis adalah jumlah maksimum kendaraan yang dapat melintasi suatu penampang jalan selama 1 (satu) jam dalam keadaan jalan dan lalulintas yang berlaku sedemikian rupa sehingga kepadatan lalu-lintas yang bersangkutan mengakibatkan kelambatan, bahaya dan gangguan-gangguan kelancaran lalu-lintas yang masih dalam batas yang ditetapkan.
• Kapasitas yang mungkin adalah jumlah maksimum kendaraan yang melintasi suatu penampang jalan selama 1 (satu) jam, dalam keadaan jalan dan lalu-lintas yang sedang berlaku pada jalan tersebut. Untuk menentukan kapasitas jalan (perkotaan) dipergunakan perhitungan : C = Co x FCw x FCsp x FCsf x FCcs dengan : C
= kapasitas sesungguhnya (smp/jam)
Co
= kapasitas dasar untuk kondisi tertentu/ideal (smp/jam)
FCw = faktor penyesuaian lebar jalan FCsp = faktor penyesuaian pemisah arah (hanya untuk jalan tak terbagi) FCsf = faktor penyesuaian hambatan samping dan bahu jalan/kerb FCcs = faktor penyesuaian ukuran kota, ukuran jumlah penduduk kota tersebut Tabel-tabel berikut ini diambil dari sumber / referensi : Manual Kapasitas Jalan Indonesia tahun 1997 , Departemen Pekerjaan Umum. Tabel 3.32. : Kapasitas Dasar (Co) untuk Jalan Perkotaan Tipe jalan
Kapasitas dasar (smp/jam)
Keterangan
4 lajur terbagi/jalan 1 arah
1.650
Per lajur
4 lajur tak terbagi
1.500
Per lajur
2 lajur tak terbagi
2.900
Total 2 arah
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
33
Desain tebal perkerasan jalan kaku
Tabel 3.33. : Faktor penyesuaian untuk pemisahan arah (FCsp) untuk jalan tak terbagi Pemisahan arah %- %
50 - 50
60 - 40
70 - 30
80 - 20
90 - 10
100 - 0
Dua lajur 2/2
1.00
0.94
0.88
0.82
0.76
0.70
Empat lajur 4/2
1.00
0.97
0.94
0.91
0.88
0.85
Jalan terbagi dan jalan satu arah
1.00
Tabel 3.34. : Faktor Penyesuaian Lebar Jalan (FCw) Tipe jalan
Lebar jalur lalu-lintas efektif / Wc (m)
FCw
4 lajur terbagi / jalan 1 arah
Per lajur 3.00 3.25 3.50 3.75 4.00
0.92 0.96 1.00 1.04 1.08
4 lajur tak terbagi
Per lajur 3.00 3.25 3.50 3.75 4.00
0.91 0.95 1.00 1.05 1.09
2 lajur tak terbagi
Per lajur 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 11.00
0.56 0.87 1.00 1.14 1.25 1.29 1.24
Faktor penyesuaian kapasitas untuk hambatan samping dibagi dua, yaitu :
• Berdasarkan lebar bahu efektif untuk jalan yang mempunyai bahu jalan • Berdasarkan jarak antara kerb dan penghalang pada trotoar untuk jalan yang memiliki trotoar.
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
34
Desain tebal perkerasan jalan kaku
Tabel 3.35. : Faktor penyesuaian pengaruh hambatan samping dan lebar bahu (FCsf)
FCsf Tip e jalan
Kelas hambatan samping
4/2 D
4/2 UD
2/2 atau jalan 1 arah
Lebar bahu Ws (meter)
≤ 0.5
1.0
1.5
≥ 2.0
sangat rendah (VL) rendah (L) sedang (M) tinggi (H) sangat tinggi (VH)
0.96 0.94 0.92 0.88 0.84
0.98 0.97 0.95 0.92 0.88
1.01 1.00 0.98 0.95 0.92
1.03 1.02 1.00 0.98 0.96
sangat rendah (VL) rendah (L) sedang (M) tinggi (H) sangat tinggi (VH)
0.96 0.94 0.92 0.87 0.80
0.99 0.97 0.95 0.91 0.86
1.01 1.00 0.98 0.94 0.90
1.03 1.02 1.00 0.98 0.95
sangat rendah (VL) rendah (L) sedang (M) tinggi (H) sangat tinggi (VH)
0.94 0.92 0.89 0.82 0.73
0.96 0.94 0.92 0.86 0.79
0.99 0.97 0.95 0.90 0.85
1.01 1.00 0.98 0.95 0.91
Tabel 3.36. : Faktor penyesuaian untuk pengaruh hambatan samping dan jarak kerbpenghalang (FCsf)
Tipe jalan
4/2 D
4/2 UD
2/2 atau jalan 1 arah
Kelas hambatan samping sangat rendah (VL) rendah (L) sedang (M) tinggi (H) sangat tinggi (VH) sangat rendah (VL) rendah (L) sedang (M) tinggi (H) sangat tinggi (VH) sangat rendah (VL) rendah (L) sedang (M) tinggi (H) sangat tinggi (VH)
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
FCsf Jarak kerb penghalang Wk (meter) 1.0 1.5 ≤ 0.5 ≥ 2.0 0.95 0.94 0.91 0.86 0.81
0.97 0.96 0.93 0.89 0.85
0.99 0.98 0.95 0.92 0.88
1.01 1.00 0.98 0.95 0.92
0.95 0.93 0.90 0.84 0.77
0.97 0.95 0.92 0.87 0.81
0.99 0.97 0.95 0.90 0.85
1.01 1.00 0.97 0.93 0.90
0.93 0.90 0.86 0.78 0.68
0.95 0.92 0.88 0.81 0.72
0.97 0.95 0.91 0.84 0.77
0.99 0.97 0.94 0.88 0.82
35
Desain tebal perkerasan jalan kaku
Tabel 3.37. : Faktor penyesuaian untuk pengaruh ukuran kota (FCcs)
2.
Ukuran kota (juta jiwa)
FCcs
< 0.1 – 0.5 0.5– 1.0 1.0– 3.0 > 3.0
0.86 0.90 0.94 1.00 1.04
Kinerja ruas jalan Guna mengetahui kinerja ruas jalan, perlu diketahui besarannya arus lalu-lintas di ruas serta pengukuran geometri ruas.
3.
Penilaian kualitas ruas jalan Kualitas suatu ruas jalan dapat dinilai dari : a. Perbandingan antara volume lalu-lintas yang lewat pada ruas jalan tersebut dibandingkan dengan kapasitasnya (V/C ratio), b. Kecepatan perjalanan pada ruas jalan tersebut (travel speed). Semakin tinggi perbandingan V/C, semakin rendah kualitas jalan tersebut. Sebaliknya semakin tinggi kecepatan perjalanannya, semakin tinggi kualitas ruas jalan tersebut. Jika akan diadakan penilaian suatu jaringan jalan, sebaiknya dinilai dulu perbandingan V/C ruas-ruas jalan utama, dan penilaiannya dimasukkan dalam suatu gambar atau tabel. 4.
V/C ratio V/C ratio dapat dihitung dengan menghitung dulu komponen-komponennya, yaitu : a. Volume lalu-lintas ruas jalan tersebut, b. Kapasitas jalan tersebut. Hitungan volume lalu-lintas dilakukan dengan melakukan pencacahan arus lalu-lintas (traffic counting) pada ruas-ruas jalan tertentu. Caranya yaitu : a. Melakukan pencacahan arus lalu-lintas, pada setiap interval 10 menit pada jam sibuk pagi, siang, dan sore masing-masing selama 2 jam.
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
36
Desain tebal perkerasan jalan kaku
b. Dari hasil tersebut, dicari 1 jam tersibuk untuk dipergunakan dalam analisis kapasitas. Arus lalu-lintas dibagi atas 4 jenis, yaitu : a. Mobil penumpang (LV) b. Kendaraan berat (HV) c. Sepeda bermotor (MC) d. Kendaraan lambat (UM) Hasil hitungan dikonversikan ke satuan mobil penumpang (smp), dengan konversi sesuai dengan Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997 untuk ruas jalan, yaitu : a.
Mobil penumpang
=
1,00
b.
Kendaraan berat
=
1,20
c.
Sepeda motor=
0,25
d.
Kendaraan lambat
=
0,80
Sedangkan kapasitas jalan dihitung sesuai dengan prosedur perhitungan menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997. Cara hitungan adalah sebagai berikut : a.
Dihitung kapasitas dasar yang tergantung pada jumlah lajur dan apakah jalan tersebut jalan satu arah atau jalan dua arah. 2/2 artinya 2 lajur - 2 arah, 4/2 artinya 4 lajur - 2 arah sedangkan 3/1 artinya 3 lajur - 1 arah.
b.
Kapasitas dasar tersebut dikoreksi dengan koreksi-koreksi Fw (lebar jalan), Fks (lebar kerb), Fsp (perbandingan jumlah arus masing-masing arah), Fsf (faktor gesekan) dan Fcs (besar kota).
Menurut Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997, ada suatu hubungan antara perbandingan V/C dengan kecepatan perjalanan. Hubungan tersebut dapat dilihat pada Tabel 3.38. di bawah ini. Tabel 3.38. : Hubungan V/C dengan kecepatan perjalanan V/C ratio
Kecepatan perjalanan (km/jam)
0.24 0,54 0,76 0,91 1.00
39 35 31 27 21
Sumber: Manual Kapasitas Jalan Indonesia 1997 Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
37
Desain tebal perkerasan jalan kaku
Kriteria Highway Capacity Manual Amerika 1994 juga digunakan sebagai referensi. Menurut kriteria kecepatan, kinerja ruas dapat dibagi atas 6 kategori seperti di bawah ini : Tabel 3.39. :
Tingkat pelayanan pada jalan arteri perkotaan dengan kecepatan perjalanan antara 40 – 54 km/jam
Tingkat pelayanan
Kecepatan (km/jam)
A B C D E F
40 31 21 14 11 <11
Sumber: HCM Amerika 1994 Dari tabel di atas, kriteria kinerja ruas didefinisikan sebagai berikut : Table 3.40. : Kriteria ruas Kriteria Sangat baik Baik Dapat diterima Buruk
Perbandingan V/C < 0.70 0.70 – 0.80 0.80 – 1.00 > 1.0
Perbandingan volume / kapasitas dihitung dengan program KAJI dari hasil survai lalu-lintas dan geometri, dengan memperhitungkan faktor-faktor yang mempengaruhi seperti hambatan samping dan klasifikasi jalan. Klasifikasi arus lalu-lintas dan perbandingan V/C kemudian disusun, V/C maksimum yang dapat diterima adalah 0,8 karena angka ini diharapkan tidak akan melampaui 1,0 dalam jangka waktu 5 tahun jika pertumbuhan arus lalu-lintas tidak lebih dari 5 %. Periode jam puncak pagi umumnya merupakan arus lalu-lintas tertinggi di kota, kecuali di daerah pertokoan. Untuk evaluasi maka dilakukan tes untuk evaluasi perbaikan jaringan jalan. Intisari hasil tes model transportasi tersebut merekomendasikan alternatif terbaik perbaikan jaringan jalan.
5. Model pendekatan berdasar geometrik jalan Model pendekatan dalam mengkaji jaringan jalan didasarkan pada geometrik Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
38
Desain tebal perkerasan jalan kaku
jalan yang menyangkut jumlah dan lebar lajur jalan yang diperlukan akibat V/C ratioyang terjadi, dapat disajikan seperti pada Gambar 3.13. Jarin an Jalan
Kondisi Penam an Melintan
Klasifikasi Fun si
Pola Tata Guna
Analisa Ka asitas Jalan Ruas +
Model
Volume Lalulintas
V/C ratio ≥
Manaemen Lalu-lintas
Pembuatan Jalan Baru
Pelebaran Jalan
Tidak Jumlah lajur Ya
Gambar 3.13. : Diagram alir pengelolaan dan penentuan jumlah lajur jalan.
E. Rangkuman. parameter lalu-lintas yang digunakan untuk perencanaan tebal perkerasan meliputi:
• Jenis kendaraan. • Volume lalu-lintas harian rata-rata. • Pertumbuhan lalu-lintas tahunan. • Damage factor . • Umur rencana. • Faktor distribusi arah. • Faktor distribusi lajur. Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
39
Desain tebal perkerasan jalan kaku
• Equivalent Single Axle Load , ESAL selama umur rencana (traffic design). 3. Umur rencana rigid pavement umumnya diambil 20 tahun untuk konstruksi jalan baru. lalu-lintas harian rata-rata (LHR) dan pertumbuhan lalu-lintas tahunan F.
Latihan . 1. Jelaskan mengenai penger tian analisa lalu lintas (tr af f fi c design) 2. Jelaskan apa yang dimaksud dengan lalu lintas harian rata-rata (LHR) 3. Jelaskan mengenai Calif or nia Bear ing Ratio (CBR) 4. Jelaskan Par ameter Per hitungan Tebal Pelat 5. Ur aikan mengenai tahapan Per hitungan Tebal Pelat
Perencanaan Teknik Perkerasan Jalan 1
40