By Yati Nurhajati, SE.,Msi. Page 1 5/9/2014
MATERI 3
NERACA
AKTIVA TETAP
Aset tetap yang diperoleh dengan pembelian dalam bentuk siap pakai dicatat sejumlah harga beli ditambah dengan biaya-biaya yang terjadi pada sag perolehan atau konstruksi dan/atau jika dapat diterapkan, jumlah yang dapat diatribusikan ke aset pada saat pertama kali diakui sesuai dengan persyaratan tertentu dalam SAK-ETAP. Biaya-biaya tersebut seperti biaya pengiriman, biaya bongkar muat, biaya pemasangan, biaya profesional, bea masuk, pajak masukan yang tidak boleh dikreditkan, dan lain-lain ditambahkan ke dalam harga perolehan. Sementara setiap potongan dagang dan rabat dikurangkan dari harga perolehan.
Dalam penjelasan Pasal 10 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, harga perolehan atau harga penjualan dalam hal terjadi jual beli harta yang tidak dipengaruhi hubungan istimewa sebagaimana yang dimaksud dalam Pasal 18 ayat (4) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 adalah jumlah yang sesungguhnya dikeluarkan/diterima. Termasuk dalam harga perolehan adalah harga beli dan biaya yang dikeluarkan dalam rangka memperoleh harta tersebut, seperti bea masuk, biaya pengangkutan dan biaya pemasangan.
Sedangkan apabila terdapat hubungan istimewa adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan/diterima. Adanya hubungan istimewa antara pembeli dan penjual menyebabkan harga perolehan menjadi lebih besar atau lebih kecil dibandingkan dengan jual beli tesebut tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa.
Pembelian Dalam Negeri
Contoh:
Tanggal 1 Januari 2012 PT Sisi membeli kendaraan operasional seharga Rp200.000.000
belum termasuk PPN 10%. Maka jurnal yang dibuat oleh PT Sisi adalah sebagai berikut.
Jika PT Sisi adalah Pengusaha Kena Pajak (PKP)
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
1 Jan 2012
Kendaraan
Pajak Masukan
Kas/Bank
200.000.000
20.000.000
-
220.000.000
Jika PT Sisi adalah non-PKP
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
1 Jan 2012
Kendaraan Kas/Bank
220.000.000
-
-
220.000.000
Kendaraan = HP + PPn Masukan = 200.000.000 +(10% x Rp200.000.000) = Rp220.000.000
Pembelian Impor dari Luar Negeri
Contoh:
Tanggal 1 Januari 2012 PT Sisi mengimpor komputer dari Taiwan dengan nilai impor sebesar Rp150.000.000 dan PPN sebesar 10%. Jurnal yang dibuat oleh PT Sisi adalah sebagai berikut.
Jika PT Sisi adalah PKP yang mempunyai API
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
1 Jan 2012
Peralatan Kantor
150.000.000
-
Pajak Masukan
15.000.000
PPh 22 dibayar di muka
3.750.000
-
Kas/Bank
-
168.750.000
PPN Masukan = 10% x Rp150.000.000 = Rp15.000.000
PPh 22 = 2,5% x Rp150.000.000 = Rp3.750.000
Jika PT Sisi adalah non-PKP yang mempunyai API
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
1 Jan 2012
Peralatan Kantor
165.000.000
PPh 22 Dibayar di Muka
3.750.000
-
Kas/Bank
-
168.750.000
Komputer
=
110% x Rp150.000.000
= Rp165.000.000
PPh 22
=
2,5% x Rp150.000.000
= Rp 3.750.000
Jika PT Sisi adalah PKP yang tidak mempunyai API
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
1 Jan 2012
Peralatan Kantor
150.000.000
-
Pajak Masukan
15.000.000
PPh 22 Dibayar di Muka
11.250.000
-
Kas/Bank
-
176.250.000
PPh 22 = 7,5% x Rp150.000.000 = Rp11.250.000
Jika PT Sisi adalah non-PKP dan tidak mempunyai API
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
1 Jan 2012
Peralatan Kantor
165.000.000
PPh 22 Dibayar di Muka
11.250.000
-
Kas/Bank
-
176.250.000
Komputer
=
110% x Rp150.000.000 =
Rp165.000.000
PPh 22
=
7,5% x Rp150.000.000 =
Rp11.250.000
SEWA
Dalam KMK-1169/KMK.01/1991 dirumuskan bahwa Sewa Guna Usaha (SGU) adalah
suatu kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal, baik secara :
SGUdengan hak opsi (finance lease) maupun
SGU tanpa hak opsi (operating lease)
untuk dipergunakan oleh lessee selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara berkala. Selain itu, perlakuan perpajakan untuk SGU diatur pula dalam SE-29/PJ.42/ 1992 jo. SE-02/PJ.31/1993.
Ket ( sumber intermediate acc) :
Lessor adalah pihak yang menyerahkan harta tetap (perusahaan Leasing).
Lessee adalah pihak yang menerima dan menggunakan harta tetap tersebut (perusahaan yang mengajukan permohonan leasing).
Jenis SGU yang diakui menurut perpajakan hanya ada 2, yaitu:
A. Sewa Guna Usaha dengan Hak Opsi (Finance Lease)
Kegiatan SGU digolongkan sebagai SGU dengan hak opsi apabila memenuhi karakteristik sebagai berikut.
Jumlah pembayaran SGU selama masa SGU pertama ditambah dengan nilai sisa barang modal, harus dapat menutup harga perolehan barang modal dan keuntungan lessor.
Masa SGU ditetapkan sekurang-kurangnya 2 tahun untuk barang modal golongan I, 3 tahun untuk barang modal golongan II dan III, dan 7 tahun untuk golongan bangunan, (SE-10/PJ.42/1994 jo. SE-129/PJ/2010).
Perjanjian SGU memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
Ketiga kriteria di atas harus dipenuhi seluruhnya agar transaksi SGU dapat digolongkan sebagai SGU dengan hak opsi bagi perusahaan pembiayaan yang ada di dalam negeri.
Tetapi, untuk kepentingan perpajakan maka transaksi yang dilakukan dengan perusahaan pembiayaan luar negeri dapat dikategorikan sebagai SGU dengan hak opsi, apabila memenuhi persyaratan yang sesuai dengan KMK1169/KMK.01/1991.
Perlakuan perpajakan untuk lessor dan lessee adalah sebagai berikut.
Lessor
Lessee
Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan
Penghasilan = angsuran pokok + bunga.
Beban sewa = angsuran pokok + bunga.
Penghasilan bukan objek PPh 23 tetapi
Beban sewa beban yang dapat
pengenaan pajaknya dilakukan dengan
dikurangkan (deductible expenses)
perhitungan akhir tahun dalam SPT
Beban sewa bukan objek PPh 23
Tahunan.
Beban penyusutan aset tetap beban
Beban penyusutan aset tetap beban
yang tidak boleh dikurangkan (non-
yang tidak boleh dikurangkan (non
deductible expenses)
deductible expenses)
Beban penyisihan piutang tak tertagih beban yang dapat dikurangkan (deductible expenses)
Mekanisme angsuran pajak PPh 25 diatur oleh UU PPh
Pajak Pertambahan Nilai
Pajak Pertambahan Nilai
Memungut PPN atas penyerahan barang modal kepada lessee
B. Sewa Guna Usaha tanpa Hak Opsi (Operating Lease)
Kriteria suatu transaksi digolongkan sebagai SGU tanpa hak opsi adalah sebagai berikut.
Jumlah pembayaran SGU selama periode SGU pertama tidak dapat menutupi harga perolehan aset tetap yang di-SGU-kan ditambah keuntungan yang diperhitungkan oleh lessor.
Perjanjian SGU tidak memuat ketentuan tentang opsi untuk lessee.
Kedua syarat di atas menandakan bahwa suatu SGU digolongkan sebagai SGU tanpa hak opsi, apabila lessor benar-benar tidak berniat menjual aset tetap tersebut dan hanya ingin menyewakan saja. Jadi, SGU tanpa hak opsi adalah sewa menyewa biasa, karena kepemilikan aset tetap masih berada di tangan lessor sehingga yang berhak menyusutkan aset tetap adalah lessor.
Perlakuan perpajakan untuk lessor dan lessee adalah sebagai berikut.
Lessor
Lessee
Pajak Penghasilan
Beban penyusutan aset tetap beban yang dapat dikurangkan (deductible expenses)
Penghasilan sewa objek pajak PPh final atau PPh Pasal 15 atau PPh 23
Pajak Penghasilan
Beban sewa - beban yang dapat
dikurangkan (deductible expenses) untuk penyewaan yang barang modalnya termasuk objek PPh 23
Memotong PPh 23 atas pembayaran sewa
Pajak Pertambahan Nilai
Memungut PPN atas jasa sewa yang diberikan
Pajak Pertambahan Nilai
Menurut Mansur dan Wardoyo (2004), SGU dengan hak opsi adalah kegiatan jasa pembiayaan, yang berupa penyediaan kredit bagi lessee oleh lessor, maka penghasilan bagi lessor adalah bunga yang diterima pada saat angsuran pelunasan kewajiban SGU. Karena pada dasarnya SGU dengan hak opsi adalah transaksi pembiayaan maka perpajakan menganggap bahwa sebelum selesainya masa leasing aset tetap bukanlah milik lessee maupun lessor, sehingga keduanya tidak boleh menyusutkan barang tersebut. Kegiatan SGU digolongkan sebagai SGU tanpa hak opsi apabila memenuhi karakteristik sebagai berikut: (1) jumlah pembayaran SGU selama masa SGU pertama tidak dapat menutupi harga perolehan barang modal yang di-SGU-kan ditambah keuntungan lessee; dan (2) perjanjian SGU tidak memuat ketentuan mengenai opsi bagi lessee.
Laporan Keuangan Lessee
Peraturan perpajakan untuk SGU dengan hak opsi bagi lessee adalah:
Selama masa SGU, lessee tidak boleh melakukan penyusutan atas barang modal yang di-SGU-kan sampai saat lessee menggunakan hak opsi untuk membeli barang tersebut.
Setelah menggunakan hak opsi untuk membeli barang modal tersebut, lessee melakukan penyusutan dan dasar penyusutannya adalah nilai sisa barang modal yang bersangkutan.
Pembayaran SGU yang dibayar atau terutang oleh lessee kecuali pembebanan atas tanah merupakan biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto lessee sepanjang transaksi SGU tersebut memenuhi ketentuan capital lease.
Dalam hal masa SGU lebih pendek dari masa yang ditentukan, maka Dirjen Pajak melakukan koreksi atas pembebanan biaya SGU.
Lessee tidak memotong PPh 23 atas pembayaran SGU yang dibayar atau terutang berdasarkan perjanjian SGU dengan hak opsi.
Peraturan perpajakan untuk SGU tanpa hak opsi bagi lessee adalah sebagai berikut.
Pembayaran SGU tanpa hak opsi yang dibayar atau terutang oleh lessee adalah biaya yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Lessee wajib memotong PPh 23 atas pembayaran SGU tanpa hak opsi yang dibayarkan atau terutang kepada lessor.
Atas penyerahan jasa dalam transaksi SGU tanpa hak opsi dari lessor kepada lessee, dikenai utang PPN.
Laporan Keuangan Lessor
Perlakuan perpajakan untuk SGU dengan hak opsi bagi lessor adalah sebagai berikut.
Penghasilan yang dikenakan PPh adalah sebagian dari pembayaran SGU berupa imbalan jasa SGU yaitu seluruh pembayaran SGU dikurangi dengan angsuran pokok.
Lessor tidak berhak menyusutkan atas aset tetap yang di-SGU-kan dengan hak opsi.
Dalam hal masa SGU lebih pendek dari masa yang ditentukan, maka Dirjen Pajak melakukan koreksi atas pengakuan penghasilan pihak lessor.
Lessor dapat membentuk dana cadangan piutang taktertagih yang dapat dikurangkan dari penghasilan bruto, setinggi-tingginya sejumlah 2,5% dari rata-rata saldo awal dan saldo akhir piutang (PMK-81/PMK.03/2009).
Kerugian sebenarnya yang disebabkan piutang yang nyata-nyata tidak dapat ditagih dibebankan pada perkiraan cadangan piutang tak tertagih.
Dalam hal cadangan piutang tak tertagih tidak atau tidak seluruhnya dipakai untuk menutup kerugian sebagaimana dimaksud maka jumlah kelebihan cadangan tersebut diperhitungkan sebagai penghasilan, sedangkan dalam hal jumlah cadangan tersebut tidak mencukupi maka kekurangannya diperhitungkan sebagai kerugian.
Atas penyerahan jasa dalam transaksi SGU dengan hak opsi dari lessor kepada lessee, dikecualikan dari pengenaan PPN. Tetapi penyerahan barang dari lessor ke lessee dikenakan PPN.
Besarnya angsuran PPh 25 setiap bulan bagi WP SGU dengan hak opsi adalah sebesar jumlah PPh yang terutang berdasarkan laporan keuangan triwulan terakhir yang disetahunkan dibagi 12 (dua belas).
Peraturan perpajakan untuk SGU tanpa hak opsi bagi lessor adalah sebagai berikut.
Seluruh pembayaran SGU tanpa hak opsi yang diterima atau diperoleh lessor merupakan objek PPh.
Lessor membebankan biaya penyusutan atas barang modal yang di-SGU-kan tanpa hak opsi, sesuai dengan ketentuan Pasal 11 UU PPh beserta peraturan pelaksanaannya.
Berikut jurnal yang dibuat apabila SGU tidak memiliki hak opsi atau dikategorikan sebagai sewa-menyewa biasa:
Keterangan
Debit
Kredit
Lessor (Wajib pungut PPN)
Kas/Bank
PPh 23 dibayar di muka
Pajak Keluaran
Penghasilan sewa
xxx
xxx
-
-
xxx xxx
Lessee (Wajib pungut PPh 23)
Beban Sewa
Pajak Masukan
Utang PPh 23
Kas/Bank
xxx
xxx
-
xxx xxx
Contoh:
PT. Jocelyn membeli mesin produksi dengan cara leasing pada tanggal 11 Maret 2012 di mana pembelian ini merupakan capital lease dengan periode leasing selama 4 tahun. Pada akhir masa leasing ada opsi pembelian dengan harga Rp2.000.000 tingkat bunga implisit 10%. Pembayaran pertama dilakukan pada tanggal 11 Maret 2012.
Lessee:
Present Value (PV) leasing
= PV IFA Cicilan + PV IF nilai opsi
= CF (PV IFA 10%,4) +CF (PV) nilai Opsi
= (Rp1.500.000 x 3, 4869) + (Rp2.000.000 x 0, 6830)
= Rp5.230.350 + Rp1.336.000 = Rp6.596.350
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
Aset tetap leasing
6.596.350
Utang leasing jangka pendek
-
1.374.239,58
11 Mar 2012
Utang leasing jangka panjang
-
5.222.110,42
Utang leasing jangka pendek
137.423,96
Kas/Bank
-
137.423,96
Utang leasing jangka pendek
137.423,96
11 Apr 2012
Beban bunga
645.892,60
-
Kas/Bank
-
783.316,56
Setiap tanggal 11 tiap bulan selama tahun 2012 dilakukan pembayaran untuk utang leasing dan
bunga leasing sebesar 10% dari sisa utang.
Utang leasing jangka panjang
1.649.087,52
31 Des 2012
Utang leasing jangka pendek Beban penyusutan aset leasing
-
957.572,92
1.649.087,52
-
Akumulasi Depresiasi aset leasing
-
957.572,92
Lessor: Penghasilan atas leasing ini akan dikenakan PPh badan sesuai tarif Pasal 17.
Jurnal penyusutan:
Apabila dalam akuntansi disusutkan oleh lessee, maka di dalam perpajakan lessee dan lessor tidak mengakui penyusutan hingga masa manfaat leasing sudah selesai dan aset tetap baru telah menjadi milik lessee. Hal ini merupakan beda waktu (beda temporer antara akuntansi dan perpajakan). Perusahaan harus melakukan koreksi pada rekonsiliasi fiskal saat pengisian SPT Tahunan.
2.PENYUSUTAN ASET TETAP
Dalam SAK-ETAP yang diatur oleh IAI (2009: 71-73), metode-metode penyusutan yang dapat digunakan adalah sebagai berikut.
Metode garis lurus (straight line method) menghasilkan pembebanan yang tetap selama umur manfaat aset jika nilai residunya tidak berubah.
Metode saldo menurun (diminishing balance method) menghasilkan pembebanan yang menurun selama umur manfaat aset.
Metode jumlah unit produksi (sum of the unit of production method) menghasilkan pembebanan berdasarkan pada penggunaan atau output yang diharapkan dari suata aset.
Suatu entitas harus memilih metode penyusutan yang mencerminkan ekspektasi dalam pola penggunaan manfaat ekonomi masa depan aset.
Berdasarkan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, pengeluaran untuk memperoleh harta berwujud yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun harus dibebankan sebagai pengeluaran untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dengan mengalokasikan pengeluaran tersebut selama masa manfaat harta tersebut melalui penyusutan. Penggunaan metode penyusutan harus dilakukan secara taat asas.
Metode penyusutan yang diperbolehkan dalam ketentuan perpajakan adalah sebagai berikut:
Metode garis lurus (straight line method) untuk kelompok bangunan dan bukan bangunan.
Metode saldo menurun (declining balance method) untuk kelompok bukan bangunan saja, dan pada akhir masa manfaat disusutkan sekaligus (closed ended).
Didalam perpajakan tidak mengenal nilai sisa karena prinsip penyusutan dalam ketentuan Pasal 11 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 adalah mekanisme pengalokasian biaya yang dikeluarkan untuk perolehan aset selama masa manfaat.
Menurut peraturan perpajakan, penyusutan aset tetap dimulai pada saat tahun pengeluaran, untuk tahun 2000 dan sebelumnya (UU PPh Nomor 17 Tahun 1983). Sedangkan untuk tahun 2001 (UU PPh Nomor 17 Tahun 2000) sampai dengan sekarang (UU PPh Nomor 36 Tahun 2008) penyusutan dimulai pada saat bulan pengeluaran aset tetap tersebut, kecuali apabila aset yang masih dalam proses pengerjaan yaitu pada bulan selesainya pengerjaan aset tersebut. Dengan persetujuan Ditjen Pajak, WP diperkenankan melakukan penyusutan mulai pada bulan aset tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan atau pada bulan aset yang bersangkutan mulai menghasilkan.
Kelompok Masa Manfaat dan Tarif Penyusutan
Pasal 11 ayat (6) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 mengatur masa manfaat harta berwujud dan tarif penyusutan baik menurut metode garis lurus maupun saldo menurun sebagai berikut.
Kelompok Harta Berwujud
Masa Manfaat
Tarif Penyusutan
Garis Lurus
Saldo Menurun
I. Bukan Bangunan
Kelompok 1
4 tahun
25 %
50 %
Kelompok 2
8 tahun
12,5 %
25 %
Kelompok 3
16 tahun
6,25 %
12,5 %
Kelompok 4
20 tahun
5 %
10 %
II. Bangunan
Permanen
20 tahun
5 %
-
Tidak Permanen
10 tahun
10%
-
Penentuan kelompok harta berwujud bukan bangunan ditetapkan dengan PMK-96/ PMK.03/2009 disajikan dalam halaman Lampiran L-31. Yang dimaksud bangunan tidak permanen adalah bangunan yang bersifat sementara dan terbuat dari bahan yang tidak tahan lama atau bangunan yang dapat dipindah-pindahkan, yang masa manfaatnya tidak lebih dari 10 tahun.
Baik menurut akuntansi maupun perpajakan, tanah yang berstatus Hak Milik, Hak Guna Bangunan (HGB), Hak Guna Usaha (HGU), dan Hak Pakai untuk pertama kalinya tidak disusutkan, kecuali nilainya berkurang dalam pemakaian.
HARTA BERWUJUD YG MENURUT PAJAK TDK DAPAT DISUSUTKAN
Di lain pihak, ada harta berwujud yang menurut akuntansi dapat disusutkan, tetapi menurut perpajakan tidak dapat dibebankan sebagai penyusutan secara keseluruhan yang dapat menjadi pengurang penghasilan bruto dikarenakan hal-hal sebagai berikut.
1. Atas perolehan aset tersebut termasuk pengeluaran yang tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto sesuai Pasal 9 ayat 1 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, misalnya:
biaya perolehan aset yang tidak mempunyai hubungan langsung dengan usaha atau kegiatan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak;
biaya perolehan aset yang digunakan untuk memberi penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan kepada karyawan, kecuali penggantian atau imbalan dalam bentuk natura dan kenikmatan di daerah tertentu dan yang berkaitan dengan pelaksanaan pekerjaan yang ditetapkan dengan PMK-83/ PMK.03/2009.
2. Barang modal yang di-SGU-kan (asset Leasing), baik SGU dengan hak opsi ataupun tanpa hak opsi bagi Lessee dan SGU dengan hak opsi bagi Lessor.
PERLAKUAN PPH ATAS BIAYA PEMAKAIAN TELEPON SELULER DAN KENDARAAN PERUSAHAAN
Sesuai KEP-220/PJ./2002 tentang perlakuan PPh atas biaya pemakaian telepon seluler dan kendaraan perusahaan terdapat perlakuan PPh yang memberikan batasan-batasan tertentu atas biaya perolehan dapat dibebankan melalui penyusutan untuk aset sebagai berikut.
Biaya perolehan atau pembelian telepon seluler yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50%
dari jumlah biaya perolehan atau pembelian melalui penyusutan aset tetap kelompok 1,
dan atas biaya berlangganan atau pengisian ulang pulsa dan perbaikan telepon selular tersebut dapat dibebankan sebagai biaya rutin perusahaan sebesar 50%.
Biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan bus, minibus, atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk antar jemput para pegawai,
dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya perusahaan melalui penyusutan aset tetap kelompok 2,
dan atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan tersebut dapat dibebankan seluruhnya sebagai biaya rutin perusahaan.
Biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar kendaraan sedan atau yang sejenis yang dimiliki dan dipergunakan perusahaan untuk pegawai tertentu karena jabatan atau pekerjaannya, dapat dibebankan sebagai biaya perusahaan sebesar 50%
dari jumlah biaya perolehan atau pembelian atau perbaikan besar melalui penyusutan aset tetap kelompok 2,
dan atas biaya pemeliharaan atau perbaikan rutin kendaraan tersebut dapat dibebankan sebagai biaya rutin perusahaan sebesar 50%.
Contoh:
Gedung dibeli pada tanggal 1 Januari 2000 dengan harga Rp 600.000.000. Estimasi masa manfaat gedung tersebut menurut akuntansi adalah 30 tahun, sedangkan menurut pajak adalah 20 tahun.
Jurnal yang dibuat oleh perusahaan untuk mencatat beban penyusutan gedung tersebut pada tahun 2011 adalah sebagai berikut.
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
31 Des 2011
Beban penyusutan gedung Akumulasi penyusutan gedung
20.000.000
-
-
20.000.000
Akuntansi ; Beban penyusutan gedung = Rp600.000.000: 30 = Rp20.000.000
Perpajakan ; Sementara itu, perhitungan beban penyusutan gedung untuk tahun 2011 menurut perpajakan adalah 5% x Rp600.000.000 = Rp30.000.000.
Atas perbedaan perhitungan tersebut, perusahaan tidak perlu membuat jurnal penyesuaian. Perbedaan estimasi masa manfaat tersebut menimbulkan beda waktu (beda temporer) antara perpajakan dan akuntansi. Dengan demikian,
perusahaan harus melakukan koreksi negatif pada rekonsiliasi fiskal saat pengisian SPT Tahunan PPh badan sebesar Rp30.000.000 - Rp20.000.000 = Rp10.000.000
3.Perubahan Umur Manfaat
Dalam SAK-ETAP yang diatur oleh IAI (2009:70-73), kebijakan perbaikan dan perawatan aset tetap yang dilakukan oleh entitas dapat mempengaruhi masa manfaat aset tetap, maka entitas harus menelaah ulang metode penyusutan saat ini dan mengubah metode penyusutan untuk mencerminkan pola yang baru. Pengeluaran yang memperpanjang masa manfaat atau memberikan manfaat ekonomis pada masa mendatang dalam bentuk peningkatan kapasitas, mutu produksi, atau peningkatan standar kinerja harus ditambahkan pada jumlah tercatat aset tetap tersebut. Namun apabila pengeluaran untuk perbaikan atau perawatan aset tetap tersebut tidak dapat memperpanjang masa manfaat, maka umumnya langsung diakui sebagai beban dalam laporan laba rugi pada periode terjadinya.
Contoh:
Sebuah mobil boks Isuzu Panther yang dibeli pada tanggal 11 Desember 2006 dengan harga Rp100.000.000 dengan masa manfaat 10 tahun. Pada tanggal 25 Oktober 2011 perusahaan mengeluarkan Rp20.000.000 (capital expenditure) untuk mobil boks Isuzu Panther, di mana pengeluaran tersebut diprediksi dapat menambah masa manfaat 3 tahun lagi. Metode penyusutan menurut akuntansi dan pajak adalah metode garis lurus.
Diminta:
Buatlah jurnal atas transaksi tersebut untuk tanggal 25 Oktober 2011.
Hitunglah beban penyusutan untuk tahun 2011, baik secara akuntansi maupun perpajakan.
Hitunglah besarnya koreksi fiskal pada saat pengisian SPT untuk tahun 2011.
Jawab:
1. Jurnal transaksi untuk tanggal 25 Oktober 2011
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
25 Okt 2011
Kendaraan
Kas/Bank
20.000.000
-
-
20.000.000
Beban penyusutan untuk tahun 2011
Keterangan
Akuntansi (Rp)
Biaya perolehan
100.000.000
Akum. Penyusutan 11 Des 2006 s.d. 25 Okt 2011 = 59 bulan
(49.200.000)
Nilai buku
50.800.000
Pengeluaran capital expenditure, yang menambah masa manfaat
20.000.000
Biaya perolehan setelah disesuaikan
70.800.000
Menurut Akuntansi
Total beban penyusutan kendaraan mobil boks Isuzu Panther adalah:
=(Rp100.000.000 /UE10 )x 10/12 + Rp70.800.000 x 2bln/(12x10UE)-61 = Rp10.733.333 Rp10.740.000, dan dibuatkan jurnal untuk membukukannya yaitu:
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
31/12/11
Beban penyusutan
Akumulasi penyusutan
10.733.333
-
-
10.733.333
Beban penyusutan atas mobil boks Isuzu Panther menurut perpajakan adalah
(Rp100.000.00 x 12,5% x10/12) + (Rp20.000.000 x 12,5%x 2/12) = Rp10.833.333 Rp10.840.000
Atas perbedaan pengakuan besarnya beban penyusutan aset tetap yang terjadi antara akuntansi dan perpajakan, maka perusahaan tidak perlu membuat jurnal penyesuaian. Perbedaan pengakuan besarnya beban penyusutan aset tersebut menimbulkan beda tetap (beda permanen) antara perpajakan dan akuntansi. Oleh karena itu, perusahaan harus melakukan koreksi positif pada rekonsiliasi fiskal saat pengisian SPT Tahunan sebesar Rp10.740.000 - Rp10.840.000 = Rp100.000.
PERTUKARAN ASET TETAP
Dalam SAK-ETAP yang diatur oleh IAI (2009: 70), apabila aset tetap diperoleh melalui petukaran dengan aset nonmoneter atau kombinasi aset moneter dan aset nonmoneter maka biaya perolehan diukur pada nilai wajar, kecuali:
transaksi pertukaran tidak memiliki substansi komersial; atau
nilai wajar aset yang diterima atau aset yang diserahkan tidak dapat diukur secara andal, maka biaya perolehan diukur pada jumlah tercatat aset yang diserahkan.
Menurut penjelasan Pasal 10 UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, nilai perolehan atau nilai penjualan dalam hal terjadi tukar-menukar harta adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar. Harta yang diperoleh berdasarkan transaksi tukar menukar dengan harta lain, maka nilai perolehan atau nilai penjualannya adalah jumlah yang seharusnya dikeluarkan atau diterima berdasarkan harga pasar. Selisih antara harga pasar dengan nilai sisa buku harta yang dipertukarkan merupakan keuntungan yang dikenakan pajak.
Contoh:
Tanggal 11 Agustus 2011 terjadi pertukaran kendaraan operasional yaitu mobil Avanza yang dibeli pada tanggal 14 Desember 2009 ditukar dengan mobil Kijang Innova. Harga pasar mobil Kijang Innova sebesar Rp230.000.000, sisanya dibayar secara tunai melalui bank. Mobil Avanza dibeli dengan harga Rp150.000.000. Metode penyusutan menurut pajak dan akuntansi adalah metode garis lurus, dengan masa manfaat sama dengan PMK-96/PMK.03/2009.
Diminta:
Hitunglah laba atau rugi atas pertukaran, secara akuntansi maupun perpajakan.
Buatlah jurnal atas pertukaran aset tersebut.
Hitunglah besarnya koreksi fiskal pada saat pengisian SPT.
Jawab:
1. Laba atau rugi pertukaran aset tetap
Keterangan
Akuntansi
(Rp)
Perpajakan
(Rp)
Biaya perolehan
150.000.000
150.000.000
Akum. Penyusutan
(31.250.000)
(31.250.000)
Nilai buku
118.750.000
118.750.000
Harga pasar aset lama
100.000.000
100.000.000
Rugi aset lama
18.750.000
18.750.000
Harga pasar aset baru
230.000.000
230.000.000
Harga pasar aset lama
100.000.000
Kas/Bank yang dikeluarkan
130.000.000
Akumulasi penyusutan menurut:
Akuntansi = (Rp150.000.000/8) +((Rp150.000.000/8 )x 8 bln /12bln) = Rp31.250.000
Perpajakan = (12,5% x Rp150.000.000)+ ((12,5% x Rp150.000.000)x 8 /12) = Rp31.250.000
2. Jurnal pertukaran aset tetap
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
11-08-11
Kendaraan baru
230.000.000
-
Pajak Masukan
23.000.000
Akumulasi penyusutan kendaraan lama
31.250.000
Rugi pertukaran aset
18.750.000
Kendaraan lama
-
150.000.000
PPN Pasal 16D
-
10.000.000
Kas/Bank
-
143.000.000
PPN Masukan = 10% x Rp230.000.000 = Rp23.000.000
Sesuai Pasal 16D UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 atas penyerahan aset oleh PKP yang menurut tujuan semula aset tersebut tidak untuk diperjualbelikan terutang PPN, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
Kas/Bank = Rp130.000.000 + Rp23.000.000 - Rp10.000.000 = Rp143.000.000
3.Tidak ada perbedaan pengakuan besarnya rugi pertukaran aset yang terjadi antara akuntansi dan perpajakan. Oleh karena itu, perusahaan tidak melakukan koreksi pada rekonsiliasi fiskal saat pengisian SPT Tahunan PPh.
5.PENGHENTIAN ASET TETAP
a. Pelepasan Aset Tetap
Dalam setiap penjualan aset, dapat timbul laba atau rugi sebesar selisih antara harga pasar dengan nilai buku aset. Namun karena perbedaan metode penyusutan dan estimasi masa manfaat, laba atau rugi penjualan aset dapat berbeda jumlahnya antara akuntansi dengan perpajakan.
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta
Keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta terjadi apabila WP menjual aset dengan harga yang lebih tinggi dari nilai sisa buku atau lebih tinggi dari harga atau nilai perolehan.
Penjualan atau pengalihan harta sesuai dengan Pasal 4 ayat (1) huruf d UU PPh Nomor 36 Tahun 2008,
jumlah nilai sisa buku dibebankan sebagai kerugian dan jumlah harga jual atau penggantian asuransi dicatat sebagai penghasilan. Hal ini dicatat pada tahun terjadinya pengalihan harta tersebut.
Apabila terdapat kerugian sebesar nilai sisa buku harta karena penggantian asuransi yang jumlahnya baru diketahui pada masa yang datang maka jumlah nilai sisa buku fiskal harta yang bersangkutan dapat dicatat sebagai beban masa yang akan datang dengan persetujuan Dirjen Pajak.
Menurut Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b UU PPh Nomor 36 Tahun 2008, keuntungan atas pengalihan harta berupa hibah atau warisan, bantuan atau sumbangan, kecuali harta tersebut dialihkan kepada keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, serta badan keagamaan atau badan pendidikan atau badan sosial termasuk yayasan atau pengusaha kecil termasuk koperasi yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan, sepanjang tidak ada hubungannya dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan atau penguasaan antara pihak-pihak yang bersangkutan maka:
jumlah nilai sisa buku tidak boleh dibebankan sebagai biaya (kerugian) bagi pihak yang mengalihkan dan bukan penghasilan bagi pihak yang menerima.
Sebaliknya, apabila tidak memenuhi Pasal 4 ayat (3) huruf a dan b tersebut, maka bagi pihak yang mengalihkan nilai sisa bukunya tidak dapat diakui sebagai biaya, dan bagi penerimanya merupakan penghasilan.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki dan digunakan dalam perusahaan atau yang dimiliki untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan dapat dikurangkan dari penghasilan bruto.
Kerugian karena penjualan atau pengalihan harta yang dimiliki tetapi tidak digunakan dalam perusahaan, atau yang dimiliki tetapi tidak digunakan untuk mendapatkan, menagih dan memelihara penghasilan, tidak boleh dikurangkan dari penghasilan bruto. Tetapi apabila terjadi keuntungan, maka keuntungannya merupakan objek PPh yang dihitung dari selisih antara harga jual (harga pasar) dengan harga perolehan.
Menurut Pasal 16D UU PPN Nomor 42 Tahun 2009, pengalihan aset oleh PK yang menurut tujuan semula aset tersebut tidak untuk diperjualbelikan dikenakan PPN sebesar 10% dari DPP, kecuali atas penyerahan aset yang pajak masukannya tidak dapat.dikreditkan, yaitu:
aset yang tidak berhubungan langsung dengan kegiatan usaha sesuai Pasal 9 ayat (8) huruf b; dan
aset kendaraan bermotor berupa sedan dan station wagon
sesuai Pasal 9 ayat (8) huruf c. DPP-nya adalah sebesar harga jual atau harga pasar wajar dari aset yang diserahkan.
PKP tidak perlu menyetorkan sendiri secara langsung tetapi dapat dikompensasikan dengan pajak masukannya terlebih dulu atau diperlakukan sama dengan pajak keluaran.
PKP juga melaporkan PPN atas penyerahan aset bekas dengan menggunakan SPT Masa PPN masa pajak yang sama dengan bulan penyerahan.
Contoh:
Sebuah mobil boks yang dibeli perusahaan pada tanggal 12 Juli 2010 dengan harga Rp48,000.000. Estimasi masa manfaat mobil boks menurut akuntansi adalah 6 tahun, sedangkan menurut perpajakan adalah 8 tahun. Pada tanggal 31 Desember 2011, mobil boks tersebut dijual dengan harga Rp40.000.000. Metode penyusutan menurut akuntansi dan perpajakan adalah metode garis lurus.
Diminta:
Hitunglah laba atau rugi atas penjualan mobil boks, secara akuntansi maupun perpajakan.
Buatlah jurnal atas penjualan aset tersebut.
Hitunglah besarnya koreksi fiskal pada saat pengisian SPT Tahunan.
Jawab:
Laba atau rugi penjualan mobil boks
Keterangan
Akuntansi
(Rp)
Perpajakan
(Rp)
Biaya perolehan
48.000.000
48.000.000
Akum. Penyusutan
(12.000.000)
( 8.500.000)
Nilai buku
36.000.000
39.500.000
Harga pasar
40.000.000
40.000.000
Laba penjualan asset
4.000.000
500.000
Akumulasi penyusutan menurut:
- Akuntansi = (Rp 48.000.000 / 6) + (Rp 48.000.000 x 6/12 )= Rp 12.000.000
- Perpajakan = (12,5% x Rp 48.000.000) + (12,5% x Rp 48.000.000)x 5/12 = Rp 8.500.000
Jurnal penjualan mobil boks
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
31 Des 2011
Kas/Bank
44.000.000
Akumulasi penyusutan kendaraan
12.000.000
-
Kendaraan
-
48.000.000
PPN 16D
-
4.000.000
Laba penjualan kendaraan
-
4.000.000
Sesuai Pasal 16D UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 atas penyerahan aset oleh PKP yang menurut tujuan semula aset tersebut tidak untuk diperjualbelikan terutang PPN, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
3. Atas perbedaan pengakuan besarnya laba penjualan aset yang terjadi antara akuntansi dan perpajakan, maka perusahaan tidak perlu membuat jurnal penyesuaian. Perbedaan pengakuan besarnya laba penjualan aset tersebut menimbulkan beda tetap (beda permanen) antara perpajakan dan akuntansi. Oleh karena itu, perusahaan harus melakukan koreksi negatif pada rekonsiliasi fiskal saat pengisian SPT Tahunan sebesar Rp4.000.000 - Rp500.000 = Rp3.500.000.
Tidak Memiliki Masa Manfaat
Menurut SAK-ETAP yang diatur oleh IAI (2009: 74), entitas harus menghentikan pengakuan aset tetap pada saat ketika tidak ada manfaat ekonomi masa depan yang diekspektasikan dari penggunaannya. Entitas dapat mencatat aset tetap sebesar nilai tercatat aset tetap (Rp 1 ), apabila aset tetap masih dapat digunakan untuk operasional sehari-hari. Tetapi apabila aset tetap sudah tidak dapat digunakan lagi maka entitas harus mengakui keuntungan atau kerugian atas penghentian pengakuan aset tetap dalam laporan laba rugi ketika aset tersebut dihentikan pengakuannya. Keuntungan tersebut tidak boleh diklasifikasikan sebagai pendapatan.
Berikut ini merupakan perbedaan mendasar antara perlakuan menurut akuntansi dengan perpajakan berkaitan dengan aset tetap:
No
Uraian
Akuntansi
Perpajakan
1.
Biaya perolehan
Setara harga tunainya pada tanggal pengakuan. Jika pembayaran ditangguhkan lebih dari waktu
kredit normal, maka sebesar nilai tunai semua pembayaran masa akan datang.
Untuk pertukaran aset
menggunakan nilai wajar.
Untuk transaksi yang tidak mempunyai hubungan istimewa berdasarkan harga yang sesungguhnya.
Untuk transaksi yang mempunyai hubungan istimewa dihitung berdasarkan harga pasar.
Untuk transaksi tukar menukar adalah berdasarkan harga pasar.
Dalam rangka likuidasi, peleburan, pemekaran, pemecahan atau penggabungan adalah harga pasar kecuali ditentukan lain oleh Menteri Keuangan.
Revaluasi adalah sebesar nilai setelah revaluasi.
2.
Penentuan masa manfaat
Tergantung pada justifikasi manajemen dengan mempertimbangkan faktor- faktor seperti daya pakai aset, perkembangan teknologi, pembatasan hukum.
Sudah diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan.
3.
Saat dimulainya penyusutan
Penyusutan dimulai ketika aset tersedia untuk digunakan.
Penyusutan dimulai sejak bulan timbulnya pengeluaran atas perolehan aset.
Penyusutan dimulai sejak bulan selesainya pengerjaan harta. (untuk harta yang masih dalam proses pengerjaan).
Dengan persetujuan Dirjen Pajak, WP dapat melakukan penyusutan mulai pada bulan harta tersebut digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan atau pada bulan harta yang bersangkutan mulai menghasilkan.
No
Uraian
Akuntansi
Perpajakan
4.
Penghitungan jumlah bulan sejak dimulainya penyusutan
Jumlah bulan dapat dibulatkan ke atas atau ke bawah. Misalnya pembelian di atas tanggal 15 dibulatkan ke bawah dan belum diakui penyusutannya.
Jumlah bulan selalu dibulatkan ke atas, walaupun dibeli di atas tanggal 15 setiap bulannya.
5.
Metode penyusutan
Metode garis lurus
Metode saldo menurun
Metode jumlah unit produksi Entitas harus memilih metode penyusutan yang mencerminkan ekspektasi dalam pola penggunaan manfaat ekonomi masa depan aset.
Kelompok bangunan harus menggunakan metode garis lurus.
Kelompok selain bangunan boleh menggunakan metode garis lurus
atau metode saldo menurun asalkan diterapkan secara taat asas.
6.
Nilai residu
Nilai residu harus di-review minimum setiap akhir tahun buku.
Tidak mengakui adanya nilai residu.
7.
Sistem penyusutan
Penyusutan secara individual, kecuali untuk peralatan kecil (small tools), boleh secara golongan.
Penyusutan individual
Penyusutan gabungan/grup
8.
Aset yang boleh disusutkan
Semua aset tetap yang dimiliki entitas, kecuali tanah dan aset tetap yang memenuhi definisi properti investasi.
Hanya aset yang dimiliki dan digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan
memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak tidak final.
9.
Pengeluaran yang
dapat memperpanjang umur masa manfaat
Disusutkan sesuai masa manfaat yang ditinjau ulang, dalam hal ini jumlah tercatat aset tetap harus ditambahkan dengan pengeluaran biaya perbaikan tersebut.
Disusutkan terpisah dari aset lamanya, seolah-olah seperti aset dengan masa manfaat baru sehingga akan menjadi lebih lama pembebanannya.
Contoh:
PT Asia adalah PKP yang mempunyai API. Pada tanggal 17 Maret 2011, PT Asia mengimpor sebuah mesin dengan harga faktur sebesar US$ 10,000. Biaya asuransi dan biaya angkut masing-masing sebesar 2% dan 4% dari harga faktur. Tarif bea masuk dan bea masuk tambahan masing-masing sebesar 20% dan 10% dari CIF. Mesin tersebut juga dikenakan PPN sebesar 10%. Kurs Menteri Keuangan pada saat itu adalah 1US$ = Rp10.000.
Selain itu, perusahaan juga mengeluarkan biaya pelatihan untuk operator mesin tersebut sebesar Rp22.200.000 termasuk biaya untuk teknisi dari Taiwan selama melatih operator mesin tersebut.
Menurut akuntansi, mesin tersebut mempunyai estimasi umur 5 tahun, sementara menurut perpajakan mesin tersebut termasuk kelompok 1. Metode penyusutan baik menurut akuntansi maupun perpajakan adalah metode garis lurus. Pada tanggal 31 Desember 2012, perusahaan memutuskan untuk menjual aset tetapnya dengan harga Rp 100.000.000.
Diminta:
Buatlah jurnal yang dibuat PT Asia untuk perolehan aset tetap.
Buatlah jurnal penyusutan aset tetap pada akhir tahun 2011 oleh perusahaan dan tentukan besarnya koreksi fiskal yang harus dilakukan.
Hitunglah laba atau rugi atas penjualan aset tetapnya, baik secara akuntansi maupun perpajakan
Buatlah jurnal atas penjualan aset tetap tersebut.
Tentukan besarnya koreksi fiskal yang harus dilakukan untuk SPT Tahunan PPh.
Jawab:
No. 1 ;
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
17 Mar 2011
Mesin
160.000.000
-
Pajak Masukan
13.780.000
PPh 22 dibayar di muka
3.445.000
-
Kas/Bank
-
177.225.000
PPN Masukan
=
10% x Rp137.800.000
= Rp13.780.000
PPh 22
=
2,5% x Rp137.800.000
= Rp 3.445.000
Jurnal penyusutan mesin pada akhir tahun 2011
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
31 Des 2011
Beban penyusutan mesin Akumulasi penyusutan mesin
24.000.000 -
-
24.000.000
Akuntansi ; Beban penyusutan = Rp160.000.000 / 5 x 9/12 = Rp24.000.000
Pajak ; Sementara itu, perhitungan beban penyusutan untuk tahun 2011 menurut perpajakan adalah 25% x Rp160.000.000 x 10/12= Rp33.333.333.
Atas perbedaan perhitungan tersebut, perusahaan tidak perlu membuat jurnal penyesuaian. Perbedaan estimasi masa manfaat tersebut menimbulkan beda waktu (beda temporer) antara perpajakan dan akuntansi.
Oleh karena itu perusahaan harus melakukan koreksi negatif pada rekonsiliasi fiskal saat pengisian SPT Tahunan sebesar :
Rp33.333.333 - Rp24.000.000 = Rp9.333.333.
Laba atau rugi penjualan mesin
Keterangan
Akuntansi
(Rp)
Perpajakan
(Rp)
Biaya perolehan
160.000.000
160.000.000
Akum. Penyusutan
(
56.000.000)
(
73.333.333)
Nilai buku
104.000.000
86.666.667
Harga pasar
100.000.000
100.000.000
(Rugi) Laba penjualan asset
(4.000.000)
13.333.333
Akumulasi penyusutan menurut:
- Akuntansi = Rp160.000.000 / 5 x 1 9/12 = Rp56.000.000
- Perpajakan = 25% x Rp160.000.000 x 1 10/12 = Rp73.333.333
Jurnal penjualan mesin
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
31 Des 2012
Kas/Bank
110.000.000
Akumulasi penyusutan mesin
56.000.000
Rugi penjualan mesin
4.000.000
-
Mesin
-
160.000.000
PPN pasal 16D
-
10.000.000
Sesuai Pasal 16D UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 atas penyerahan aset oleh PKP yang menurut tujuan semula aset tersebut tidak untuk diperjualbelikan terutang PPN, sepanjang PPN yang dibayar pada saat perolehannya dapat dikreditkan.
Atas perbedaan pengakuan besarnya laba atau rugi penjualan aset yang terjadi antara akuntansi dan perpajakan, perusahaan tidak perlu membuat jurnal penyesuaian. Perbedaan pengakuan besarnya laba atau rugi penjualan aset tersebut menimbulkan beda tetap (beda permanen) antara perpajakan dan akuntansi. Oleh karena itu, perusahaan harus melakukan koreksi positif pada rekonsiliasi fiskal saat pengisian SPT Tahunan sebesar Rp17.333.333.
REVALUASI ASET TETAP
Revaluasi aset tetap adalah suatu penilaian kembali atas aset tetap yang dimiliki perusahaan sehingga sesuai dengan harga pasar saat dilakukannya revaluasi tersebut. Dalam akuntansi, revaluasi aset tetap pada umumnya tidak diperkenankan. Hal ini disebabkan karena SAK-ETAP menganut penilaian aset tetap berdasarkan biaya perolehan atau harga pertukaran.
Namun demikian, menurut paragraf 15.15 (2009) penyimpangan dari ketentuan ini mungkin dilakukan berdasarkan ketentuan pemerintah. Dengan adanya kewenangan dari pemerintah untuk mengatur penyimpangan dari konsep biaya perolehan maka dikeluarkanlah peraturan mengenai penilaian kembali aset tetap melalui PMK-79/ PMK.03/2008 tanggal 23 Mei 2008 yang menggantikan KMK-486/KMK.03/2002 tanggal 28 November 2002.
Di dalam laporan keuangan haruslah dijelaskan mengenai penyimpangan tersebut di dalam penyajian aset tetap serta pengaruh dari penyimpangannya terhadap gambaran keuangan entitas.
Selisih nilai revaluasi aset tetap diakui dalam ekuitas dengan akun "Surplus Revaluasi Aset Tetap". Akun tersebut dalam ekuitas dapat dipindahkan langsung ke saldo laba pada aset tersebut dihentikan pengakuannya. Hal ini meliputi pemindahan sekaligus "Surplus Revaluasi Aset Tetap" pada saat penghentian atau pelepasan aset tersebut. Tetapi, surplus revaluasi aset tetap dapat dipindahkan sejalan dengan penggunaan aset oleh entitas.
Surplus revaluasi aset tetap yang dipindahkan ke saldo laba adalah sebesar perbedaan antara jumlah penyusutan berdasarkan nilai revaluasian aset dengan jumlah penyusutan berdasarkan biaya perolehan aset tersebut. Pemindahan surplus revaluasi ke saldo laba tidak dilakukan melalui laporan laba rugi.
Perhitungan dapat dilakukan dengan membandingkan:
Harga pasar (penilaian dari jasa penilai atau ahli penilai) xxx
Nilai tercatat aset tetap xxx
Surplus Revaluasi Aset Tetap xxx
Beberapa perbedaan antara KMK-486/KMK.03/2002 dengan PMK-79/ PMK.03/2008 dijelaskan pada tabel berikut:
No
Pembanding
KMK-486/KMK.03/2002
(Peraturan Lama)
PMK-79/PMK.03/2008
(Peraturan Baru)
1
Objek revaluasi.
Seluruh atau sebagian aset tetap termasuk
Seluruh aset tetap berwujud, termasuk
aset tetap perusahaan yang sudah pernah dilakukan penilaian kembali berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelumnya. (Pasal 3 ayat (2))
Tidak ada ketentuan mengenai status
tanah yang berstatus hak milik atau hak guna bangunan; atau
Seluruh aset tetap berwujud tidak
termasuk tanah, yang terletak atau berada di Indonesia, dimiliki dan
dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan objek pajak.
(Pasal 3 ayat (1))
kepemilikan tanah yang dapat direvaluasi.
2
Jangka waktu.
Penilaian kembali dapat dilakukan paling
Penilaian kembali aset tetap perusahaan tidak dapat dilakukan kembali sebelum
banyak 1 kali dalam tahun buku yang sama.
(Pasal 3 ayat (3))
lewat jangka waktu 5 tahun terhitung sejak
penilaian kembali aset tetap perusahaan terakhir yang dilakukan berdasarkan PMK ini.
(Pasal 3 ayat (3))
3
Batas waktu
penilaian kembali terhitung sejak laporan penilai diterbitkan.
Tidak ada.
Penilaian kembali aset tetap perusahaan dilakukan dalam jangka waktu paling
lama 1 (satu) tahun sejak tanggal laporan
perusahaan jasa penilai atau ahli penilai. (Pasal 4 ayat (3))
4
Perhitungan
PPh Final atas revaluasi aset tetap (penggunaan sisa
Atas selisih lebih penilaian kembali di atas nilai sisa buku fiskal semula setelah
Atas selisih lebih penilaian kembali aset tetap perusahaan di atas nilai sisa buku fiskal semula dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 10%.
(Pasal 5)
Tidak disebutkan lagi adanya hak untuk
dikompensasikan terlebih dahulu dengan
nilai sisa kerugian fiskal tahun-tahun
rugi fiskal sebagai
sebelumnya dikenakan PPh yang bersifat
pengurang selisih
final sebesar 10%. (Pasal 5 ayat (1))
lebih revaluasi).
mengkompensasikan rugi fiskal tahun
tahun sebelumnya.
5
Hak untuk mengangsur PPh final yang terutang.
WP yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus dapat mengangsur PPh yang terutang dengan mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran paling lama 12 bulan sesuai ketentuan dalam UU
KUP. Dalam hal besarnya PPh lebih dari
Perusahaan yang kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus PPh yang terutang dapat mengajukan pembayaran secara angsuran paling lama 12 bulan sesuai ketentuan dalam UU KUP. (Pasal (6))
Tidak disebutkan adanya kemudahan
Rp2.000.000.000.000 dapat mengajukan
pembayaran angsuran lebih dari 1 hingga 5
permohonan pembayaran secara angsuran
tahun untuk WP dengan PPh terutang lebih
lebih dari 1 tahun hingga 5 tahun kepada
dari Rp2.000.000.000.000.
Dirjen Pajak.
(Pasal 6 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3))
No
Pembanding
KMK-486/KMK.03/2002
(Peraturan Lama)
PMK-79/PMK.03/2008
(Peraturan Baru)
6
Pengalihan aset
tetap sebelum berakhir masa manfaat baru (early divestment).
Dalam hal WP melakukan pengalihan asset
Dalam hal perusahaan melakukan
pengalihan aset tetap berupa:
Aset tetap kelompok 1 dan kelompok 2 yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat baru; atau
Aset tetap kelompok 3, kelompok 4, bangunan, dan tanah yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum lewat jangka waktu 10 tahun,
maka atas selisih lebih penilaian kembali di atas nilai sisa buku fiskal semula, dikenakan tambahan PPh yang bersifat final dengan tarif sebesar tarif tertinggi PPh WP badan
tetap perusahaan yang telah memperoleh
persetujuan penilaian kembali sebelum
berakhirnya masa manfaat baru,. Maka
atas pengalihan tersebut, dikenakan tambahan PPh yang bersifat final sebesar 20% dari selisih lebih penilaian kembali di atas nilai sisa buku fiskal semula tanpa dikompensasikan dengan sisa kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya.
(Pasal 8 ayat (1))
dalam negeri yang berlaku pada saat
penilaian kembali dikurangi 10%.
(Pasal 8 ayat (1))
7
Pengalihan aset tetap dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha.
Dikecualikan dari tambahan PPh final sebesar 20% (Pasal 8 ayat (1)) dalam hal pengalihan aset tetap perusahaan dalam rangka memenuhi persyaratan
penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha untuk tujuan perpajakan.
(Pasal 8 ayat (2) huruf b)
Tambahan PPh final sebesar tarif tertinggi PPh WP badan dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi 10% tidak berlaku bagi pengalihan aset tetap perusahaan dalam rangka penggabungan, peleburan, atau pemekaran usaha yang mendapat persetujuan.
(Pasal 8 ayat (2) huruf b)
Revaluasi aset tetap juga diatur dalam PER-12/PJ/2009. WP dalam negeri dan BUT tidak termasuk perusahaan yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam mata uang Dolar Amerika Serikat, dapat melakukan penilaian kembali aset tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan.
Dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.
Ketentuan lain :
Untuk dapat melakukan penilaian kembali aset tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan, WP wajib mengajukan permohonan kepada Kepala Kantor Wilayah Dirjen Pajak yang membawahi KPP tempat perusahaan terdaftar (KPP Domisili), untuk mendapatkan Persetujuan Dirjen Pajak terlebih dahulu.
Perusahaan yang karena kondisi keuangannya tidak memungkinkan untuk melunasi sekaligus pembayaran PPh final yang terutang dalam rangka penilaian kembali aset tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan, maka dapat mengajukan permohonan pembayaran secara angsuran paling lama untuk 12 bulan kepada Kepala Kanwil Dirjen Pajak dengan menggunakan formulir. Pengajuan permohonan tersebut dapat dilakukan bersama-sama dengan permohonan persetujuan penilaian kembali aset tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan.
PPh final yang terutang atas selisih lebih penilaian kembali aset tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan wajib dibayar lunas ke Kas Negara dengan menggunakan SSP paling lama 15 hari setelah tanggal diterbitkannya keputusan persetujuan atau paling lama pada tanggal jatuh tempo setiap angsuran pembayaran dalam hal perusahaan memperoleh keputusan persetujuan pembayaran secara angsuran.
Keterlambatan pelunasan PPh terutang final tersebut baik secara keseluruhan maupun secara angsuran, maka akan dikenakan sanksi administrasi berupa bunga sesuai dengan UU KUP Nomor 28 Tahun 2007.
Perhitungan dapat dilakukan dengan membandingkan:
Harga pasar (penilaian dari jasa penilai atau ahli penilai) xxx
Nilai buku fiskal xxx
Selisih lebih penilaian kembali aset tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan xxx
Pengaruhnya:
Atas selisih lebih penilaian kembali aset tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan dikenai PPh yang bersifat final sebesar 10%.
Apabila perusahaan melakukan pengalihan aset tetap yang telah direvaluasi, maka perusahaan dikenai tambahan PPh yang bersifat final, dengan tarif sebesar tarif tertinggi PPh WP badan dalam negeri yang berlaku pada saat penilaian kembali dikurangi 10%.
Tambahan PPh bersifat final tersebut wajib dibayar lunas ke Kas Negara paling lama 15 hari setelah akhir bulan terjadinya pengalihan aset tetap tersebut.
Keterlambatan pelunasan tambahan PPh yang bersifat final yang terutang, akan dikenai sanksi administrasi berupa bunga sesuai dengan UU KUP Nomor 28 Tahun 2007 dan peraturan pelaksanaannya.
Jurnal pencatatan atas revaluasi aset tetap adalah sebagai berikut:
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
Aset tetap
Akumulasi penyusutan aset tetap
Surplus Revaluasi Aset Tetap
PPh Final atas Revaluasi Aset Tetap
Kas/Bank
xxxx
xxxx
xxxx
xxxx
xxxx
Contoh:
Tanggal 31 Desember 2011 PT Benhur menerima Surat Persetujuan dari Dirjen Pajak untuk melakukan revaluasi aset tetap yang dimilikinya. Berikut daftar aset tetap yang akan direvaluasi:
Tanah yang diperoleh pada Desember 2006 dengan harga perolehan Rp500.000.000 dan harga revaluasi Rp1.000.000.000.
Bangunan permanen yang diperoleh pada Januari 2009 dengan harga perolehan Rp600.000.000 dan harga revaluasi Rp850.000.000 (masa manfaat akuntansi sesuai dengan masa manfaat perpajakan).
Mesin produksi yang termasuk pada kelompok 2 (masa manfaat akuntansi sesuai dengan masa manfaat perpajakan), diperoleh pada Juli 2009 dengan harga perolehan Rp100.000.000 dan harga revaluasi Rp200.000.000.
Penghasilan sebelum kompensasi rugi pada tahun berjalan sebesar Rp350.000.000 Rugi fiskal yang belum dikompensasikan adalah sebagai berikut:
Rugi tahun 2010
Rp 150.000.000
Rugi tahun 2009
Rp125.000.000
Rugi tahun 2008
Rp115.000.000
Metode penyusutan aset tetap baik akuntansi maupun perpajakan menggunakan metode garis lurus.
Jawab :
Nilai buku fiskal
Biaya perolehan tanah
Biaya perolehan bangunan:
/- Akumulasi penyusutan:
Biaya perolehan mesin:
/- Akumulasi penyusutan:
Rp 500.000.000
Rp 600.000.000
(Rp 90.000.000) (Rp600.000.000/UE20 )x 3th
Rp 510.000.000
Rp100.000.000
Rp 31.250.000) - (Rp100.000.000 /UE8)x 30/12
Rp 68.750.000
Nilai tercatat aset tetap = Nilai Buku Fiskal Rp 1.078.750.000
b. Selisih lebih penilaian kembali aset tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan
- Harga pasar (1.000.000.000 + 850.000.000 + 200.000.000) = Rp 2.050.000.000
- Nilai tercatat aset tetap = Nilai buku fiskal = Rp 1.078.750.000
- Surplus Revaluasi Aset Tetap = Selisih lebih penilaian kembali aset tetap perusahaanuntuk tujuan perpajakan = Rp 971.250.000
- PPh final = 10% x Rp971.250.000 = Rp97.125.000
Jurnal:
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
Tanah
500.000.000
-
Bangunan
250.000.000
Akumulasi penyusutan bangunan
90.000.000
-
Mesin
100.000.000
Akumulasi penyusutan mesin
31.250.000
Surplus Revaluasi Aset Tetap
-
971.250.000
PPh Final atas Revaluasi Aset Tetap
97.125.000
-
Kas/Bank
-
97.125.000
Perlakuan aset tetap setelah direvaluasi akan memiliki:
Nilai buku yang sama dengan nilai pasar.
Nilai pasar (nilai setelah dilakukan revaluasi aset tetap) tersebut merupakan dasar penyusutan yang baru dan mulai berlaku pada saat dilakukannya revaluasi.
Masa manfaat aset tetap menjadi nol kembali atau seolah-olah belum pernah disusutkan.
Ketentuan perpajakan atas revaluasi aset tetap, sebelum PMK-79/PMK.03/2008 jo. PER-12/PJ/2009 jo. SE-56/PJ/2009, diatur dalam KMK-486/KMK.03/2002 jo. Kep519/PJ/2002 tanggal 2 Desember 2002 dan SE-08/PJ.31/2002 tanggal 4 Desember 2002. WP badan dalam negeri dan BUT selain yang memperoleh izin menyelenggarakan pembukuan dalam mata uang Dolar Amerika Serikat, dapat melakukan penilaian kembali aset tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan, dengan syarat telah memenuhi semua kewajiban pajaknya sampai dengan masa pajak terakhir sebelum masa pajak dilakukannya penilaian kembali.
Untuk dapat melakukan penilaian kembali aset tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan, WP wajib mengajukan permohonan kepada Kepala Kanwil yang membawahi KPP tempat WP terdaftar, untuk mendapatkan Keputusan Persetujuan Dirjen Pajak terlebih dahulu.
Aset tetap yang dilakukan penilaian kembali aset tetap perusahaan untuk tujuan perpajakan adalah aset tetap berwujud yang terletak atau berada di Indonesia, yang dimiliki dan dipergunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan yang merupakan Objek Pajak.
WP orang pribadi dalam negeri yang melakukan pembukuan tidak dapat melakukan revaluasi. Hal ini disebabkan karena tidak adanya pemisahan harta antara harta pribadi dan perusahaan.
Penilaian kembali aset tetap perusahaan harus dilakukan berdasarkan nilai pasar atau nilai wajar aset tetap tersebut yang berlaku pada saat penilaian kembali yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai yang diakui atau memperoleh izin Pemerintah.
Dalam hal nilai pasar atau nilai wajar yang ditetapkan oleh perusahaan jasa penilai atau ahli penilai yang diakui oleh Pemerintah ternyata kemudian tidak mencerminkan keadaan yang sebenarnya, maka Dirjen Pajak akan menetapkan kembali nilai pasar atau nilai wajar aset yang bersangkutan.
Atas selisih lebih penilaian kembali di atas nilai sisa buku fiskal semula setelah dikompensasikan terlebih dahulu dengan sisa kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya berdasarkan ketentuan Pasal 6 ayat (2) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 yaitu kerugian tersebut dikompensasikan dengan penghasilan neto atau laba fiskal selama 5 tahun berturut-turut dimulai sejak tahun berikutnya sesudah tahun didapatnya kerugian tersebut, dikenakan PPh yang bersifat final sebesar 10%. Kompensasi kerugian fiskal sebagaimana dimaksud tetap harus dilakukan terlebih dahulu, meskipun dalam tahun pajak dilakukannya penilaian kembali terdapat PhKP dari keuntungan usaha dan/atau sumber lainnya.
Contoh:
Aset tetap dibeli pada tahun 2009, dan direvaluasi pada tahun 2011. Aset tersebut termasuk dalam kelompok 1 bukan bangunan dengan masa manfaat 4 tahun. Setelah direvaluasi, maka masa manfaat aset sejak 2011 kembali menjadi 4 tahun bukan 2 tahun.
Melakukan pengalihan aset tetap perusahaan yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat baru
Dalam hal WP melakukan pengalihan aset tetap perusahaan yang telah memperoleh persetujuan penilaian kembali sebelum berakhirnya masa manfaat baru kelompok aset dimaksud, maka atas pengalihan tersebut dikenakan tambahan PPh yang bersifat final sebesar 20% dari selisih lebih penilaian kembali di atas nilai sisa buku fiskal semula tanpa dikompensasikan dengan sisa kerugian fiskal tahun-tahun sebelumnya.
Dikecualikan dari ketentuan pengenaan tambahan PPh final 20% sebagaimana dimaksud tersebut, dalam hal:
Pengalihan aset tetap perusahaan yang bersifat force majeur berdasarkan keputusan atau kebijakan Pemerintah atau keputusan Pengadilan.
Pengalihan aset tetap perusahaan dalam rangka memenuhi persyaratan penggabungan, peleburan atau pemekaran usaha untuk tujuan perpajakan.
Penarikan aset tetap perusahaan dari penggunaan karena mengalami kerusakan berat yang tidak dapat diperbaiki lagi.
Contoh:
Aset tetap kelompok 1:
31 Desember 2005 : Revaluasi aset tetap
Masa manfaat baru adalah 4 tahun (2006-2010): Pengalihan dikenakan PPh final 20%
Tahun 2011 - ke atas : Pengalihan tidak dikenakan PPh
Lain-lain :
Penilaian kembali dapat meliputi seluruh atau sebagian aset tetap perusahaan termasuk aset tetap perusahaan yang sudah pernah dilakukan penilaian kembali berdasarkan ketentuan yang berlaku sebelumnya.
Penilaian kembali tersebut dapat dilakukan paling banyak 1 kali dalam tahun buku yang sama.
Aset tetap yang direvaluasi tidak diperbolehkan dilakukan revaluasi kembali pada tahun yang sama, sehingga setelah revaluasi aset tetap dilakukan dalam suatu tahun, aset tetap tersebut tidak dapat dinilai kembali walaupun terjadi inflasi lebih dari satu kali dalam satu tahun. Hal ini terkecuali untuk tahun 1998 karena WP boleh melakukan revaluasi selama 2 kali, mengingat pada tahun tersebut terjadi depresiasi Rupiah yang sangat signifikan
ASET TAK BERWUJUD
Proses penyusutan aset tak berwujud dalam akuntansi dan perpajakan disebut amortisasi. Aset tak berwujud menurut perpajakan (Penjelasan Pasal 11A ayat (1) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008) harus diamortisasikan apabila harta itu mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun yang digunakan untuk mendapatkan, menagih, dan memelihara penghasilan.
Namun untuk penghitungan amortisasi dalam perpajakan sesuai dengan ketentuan UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 11A, aset tak berwujud dikelompokkan menjadi kelompok 1, 2, 3, dan 4 dengan masa manfaat 4, 8, 16, dan 20 tahun.
Adapun tarif amortisasi yang diatur dalam UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 11A ayat (2) sebagai berikut.
Kelompok Aset
Tak Berwujud
Masa
Manfaat
Tarif Amortisasi Berdasarkan Metode
Garis Lurus
Saldo Menurun
Kelompok 1 Kelompok 2 Kelompok 3 Kelompok 4
4 tahun
8 tahun
16 tahun
20 tahun
25%
12,5%
6,25 %
5%
50% 25% 12,5% 10%
Menurut PMK-248/PMK.03/2008, amortisasi atas pengeluaran untuk mempeoleh aset tak berwujud dan pengeluaran lainnya untuk bidang usaha tertentu dimulai pada bulan dilakukannya pengeluaran atau pada bulan produksi komersial Bulan produksi komersial adalah bulan di mana penjualan mulai dilakukan.
Diatur juga untuk bidang usaha kehutanan, yaitu bidang usaha hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 tahun. Untuk bidang usaha perkebunan tanaman keras, yaitu bidang usaha perkebunan yang tanamannya dapat berproduksi berkali-kali dan baru menghasilkan setelah ditanam lebih dari 1 tahun dan bidang usaha peternakan, yaitu bidang usaha peternakan yang dapat berproduksi berkali-kali dan baru dapat dijual setelah dipelihara sekurang-kurangnya 1 tahun.
Penentuan masa manfaat dan tarif amortisasi untuk aset tak berwujud yang masa manfaatnya tidak tercantum pada kelompok masa manfaat yang ada, maka WP dapat menggunakan masa manfaat yang terdekat.
Contoh: aset tak berwujud dengan masa manfaat yang sebenarnya adalah 5 tahun, maka aset tak berwujud tersebut dapat diamortisasikan dengan menggunakan kelompok masa manfaat 4 tahun.
Biaya pendirian dan perluasan modal dapat dibebankan sebagai biaya pada tahun pengeluaran atau diamortisasi berdasarkan metode garis lurus atau saldo menurun dengan masa manfaat sesuai dengan Pasal 11A ayat (1) UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 di atas.
Pengeluaran yang dilakukan sebelum operasi komersial (biaya pendirian) mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun, dapat dikapitalisasi dan diamortisasi sesuai dengan ketentuan masa manfaat dan tarif amortisasi dalam UU PPh. Sedangkan untuk, pengeluaran biaya pendirian yang memiliki masa manfaat kurang dari 1 tahun, harusnya dibebankan sekaligus pada tahun berjalan yang bersangkutan.
Contoh:
PT Boki yang baru berdiri tahun 2008 telah menghabiskan biaya sebesar Rp50.000.000 untuk mendapatkan berbagai izin pengurusan pendirian perusahaan. Biaya tersebut diperlakukan sebagai aset lainnya dan memiliki masa manfaat 5 tahun ( pertimbangan pihak manajemen), sehingga oleh perusahaan diamortisasi metode garis lurus.
Jurnal untuk mencatat pengakuan biaya tersebut pada tahun pertama adalah sebagai berikut
Akuntansi = Rp. 50.000.000/5 th = Rp 10.000.000
Sementara itu, menurut fiskal beban-beban tersebut dapat dikapitalisasi kemudian diamortisasi dengan metoda garis lurus dengan masa manfaat 4 tahun sesuai dengan kelompok 1 = 50.000.000 x 25% =Rp12.500.000.
Selisih antara akuntansi dengan perpajakan 10.000.000 – 12.500.000 = 2.500.000
maka WP harus melakukan koreksi negatif sebesar Rp2.500.000 pada rekonsiliasi fiskal tanpa perlu membuat jurnal koreksi. Cara penyajian biaya praoperasi dalam neraca adalah disajikan dengan nilai bersih (neto) setelah dikurangi dengan amortisasi.
Contoh: memperoleh waralaba dr Luar negeri
PT Hercules pada tanggal 1 Januari 2012 mengeluarkan uang sebesar Rp200.000.000 (belum termasuk PPN dan PPh 26) untuk memperoleh waralaba dari McDoLPhin selama 4 tahun. Penghitungan amortisasi untuk setiap metode yang diperbolehkan dipilih sebagai berikut: ( dalam rupiah)
Tahun
Metode Garis Lurus
Metode Saldo Menurun
Amortisasi
Nilai sisa buku
Amortisasi
Nilai sisa buku
25% x 200.000.000 =
50% x 200.000.000 =
2012
150.000.000
150.000.000
50.000.000
50.000.000
25% x 200.000.000 =
50% x 150.000.000 =
2013
100.000.000
75.000.000
50.000.000
75.000.000
25% x 200.000.000 =
50% x 75.000.000 =
2014
50.000.000
37.500.000
50.000.000
37.500.000
25% x 200.000.000 =
2015
0
37.500.000
0
50.000.000
Jurnal untuk transaksi tersebut (apabila PT Hercules menggunakan metode garis lurus) adalah.
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
1-Jan-12
Waralaba
200.000.000
Pajak masukan
20.000.000
-
Utang PPh 26 (20% x200jt)
-
40.000.000
Kas/Bank
180.000.000
31-Dec-12
Beban amortisasi
50.000.000
Waralaba
-
50.000.000
31-Dec-13
Beban amortisasi
50.000.000
Waralaba
-
50.000.000
31-Dec-14
Beban amortisasi
50.000.000
Waralaba
-
50.000.000
31-Dec-15
Beban amortisasi
50.000.000
Waralaba
-
50.000.000
Sesuai UU PPN Nomor 42 Tahun 2009 Pasal 4 huruf d atas BKP takberwujud yang berasal dari luar Daerah Pabean yang dimanfaatkan oleh siapa pun di dalam Daerah Pabean dikenakan PPN. Dan sesuai UU PPh Nomor 36 Tahun 2008 Pasal 26 ayat (1), untuk transaksi dengan WP luar negeri selain BUT di Indonesia, pajak dipotong sebesar 20% atau dengan tarif lain berdasarkan P3B yang berlaku dari jumlah bruto oleh pihak yang wajib membayarkan.
Untuk pembelian waralaba McDoLPhin, PT Hercules harus memungut pajak berdasarkan P3B antara Indonesia dengan Taiwan di mana tarifnya adalah sebesar 10%. Utang pajak P3B ataupun PPh 26 yang telah dipungut akan disetorkan ke kas negara paling lambat tanggal 10 Februari 2012. Jurnal untuk penyetoran pajak yaitu sebagai berikut.
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
10-Feb-12
Utang PPh 26 Kas/Bank
40.000.000
-
-
40.000.000
Contoh: memperoleh waralaba dr Dalam negeri
Apabila PT Hercules membeli waralaba Keripik Sehat DeDE (WP dalam negeri). maka PT Hercules harus melakukan pemotongan PPh 23. Misalnya bahwa PT Hercules membeli waralaba dengan uang kas Rp200.000.000 (belum termasuk PPN dan PPh 23). Perhitungan amortisasi adalah sebagai berikut.
Tahun
Metode Garis Lurus
Metode Saldo Menurun
Amortisasi
Nilai sisa buku
Amortisasi
Nilai sisa buku
25% x 200.000.000
=
50% x 200.000.000 =
2012
150.000.000
150.000.000
50.000.000
50.000.000
25% x 200.000.000
=
50% x 150.000.000 =
2013
100.000.000
75.000.000
50.000.000
75.000.000
25% x 200.000.000
=
50% x 75.000.000 =
2014
50.000.000
37.500.000
50.000.000
37.500.000
25% x 200.000.000
=
2015
0
37.500.000
50.000.000
Jurnal atas transaksi pembelian waralaba Keripik Sehat DeDE adalah sebagai berikut
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
1-Jan-12
Waralaba
200.000.000
-
Pajak Masukan
20.000.000
-
Utkig PPh 23
-
30.000.000
Kas/Bank
-
190.000.000
31-Dec-12
Beban amortisasi
50.000.000
Waralaba
-
50.000.000
31-Dec-13
Beban amortisasi
50.000.000
Waralaba
-
50.000.000
31-Dec-14
Beban amortisasi
50.000.000
Waralaba
-
50.000.000
31-Dec-15
Beban amortisasi
50.000.000
Waralaba
-
50.000.000
Utang PPh 23 akan disetorkan oleh PT Hercules paling lambat tanggal 10 Feb 2012.
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
10-Feb-12
Utang PPh 23 Kas/Bank
30.000.000
-
30.000.000
Jurnal untuk pihak Keripik Sehat DeDE adalah sebagai berikut.
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
1-Jan-12
Kas/Bank
190.000.000
PPh 23 yang dibayar di muka
30.000.000
-
Pajak keluaran
-
20.000.000
Pendapatan waralaba
200.000.000
AKUNTANSI UNTUK SUMBER ALAM
Deplesi adalah istilah yang digunakan dalam akuntansi untuk menyatakan alokasi sistematis dan rasional perolehan sumber alam. Perpajakan menggunakan istilah lain untuk deplesi, yaitu amortisasi.
Rumus untuk menghitung deplesi adalah:
{Total perolehan - Nilai residu} /Total unit yang diestimasi = Deplesi per unit
Deplesi per unit x Jumlah unit yang dihasilkan dan dijual = Beban deplesi per tahun
Sumber: Weygandt, Kimmel & Kieso (2011: 405).
Contoh:
Suatu perusahaan pertambangan melakukan investasi sebesar Rp5.000.000 pada lahan pertambangan yang diestimasikan memiliki 10.000.000 ton bahan tambang dan tidak memiliki nilai residu. Pada tahun pertama, perusahaan menghasilkan dan menjual bahan tambang sebanyak 800.000 ton.
Deplesi per unit = Rp5.000.000: 10.000.000 = Rp0,5 per ton
Beban deplesi tahun ini adalah Rp0,5 x 800.000 ton = Rp400.000.
Perusahaan membukukan beban deplesi untuk tahun pertama perusahaan beroperasi, adalah sebagai berikut.
Tanggal
Keterangan
Debit
Kredit
14 Feb 2012
Beban deplesi Akumulasi deplesi
400.000
-
400.000
Menurut ketentuan perpajakan, hak penambangan dan pengusahaan hutan termasuk aset tak berwujud. Oleh karena itu, harga perolehannya dapat diamortisasi berdasarkan metode satuan produksi dengan pembatasan sebagai berikut.
Biaya untuk memperoleh hak penambangan selain minyak dan gas bumi, hak pengusahaan hutan dan hak pengusahaan sumber alam serta hasil alam lainnya seperti hak pengusahaan hasil laut yang mempunyai masa manfaat lebih dari 1 tahun; dapat diamortisasikan dengan menggunakan
metode satuan produksi persentase yang tidak lebih dari 20% setahun.
Ketentuan ini dapat dinyatakan dengan rumus:
Amortisasi per tahun = Jumlah penambangan/penebangan x 20%
Taksiran total produksi/deposit
Contoh:
Perusahaan pertambangan batu bara telah mengeluarkan biaya sebesar Rp1.000.000.000 untuk mendapatkan hak pengelolaan penambangan tersebut selama 5 tahun. Pada tahun pertama produksinya adalah sebesar Rp2.000.000.000. Besarnya amortisasi atas biaya untuk mendapatkan hakpenambangan tersebut dalam tahun bersangkutan adalah sebesar 20% x Rp1.000.000.000 = Rp200.000.000.
Biaya untuk memperoleh hak dan/atau biaya lain-lain yang mempunyai masa manfaat lebih dari satu tahun dalam bidang penambangan minyak dan gas bumi dilakukan dengan menggunakan metode satuan produksi.
Ketentuan ini dapat dinyatakan dengan rumus:
Amortisasi per tahun = Jumlah Penambangan x tanpa batasan
Taksiran total produksi
Amortisasi menggunakan metode satuan produksi berarti persentase amortisasi dari biaya tersebut dalam setiap tahun pajak harus sama dengan persentase penambangan atau penebangan yang dihasilkan setiap tahun. Angka ini diperoleh dengan membandingkan dengan taksiran jumlah basil produksinya.
Amortisasi dengan menggunakan metode satuan produksi dapat dirumuskan sebagai berikut:
Metode satuan = (Jumlah penambangan/penebangan dihasilkan setahun produksi : Taksiran jumlah seluruh produksi) x 100%
Contoh:
Suatu konsesi pertambangan ditaksir jumlah depositnya 100.000 ton, hasil produksi satu tahun 10.000 ton.
Persentase hasil produksi satu tahun adalah (10.000: 100.000) x 100% = 10%.
Dengan demikian, hak penambangan tersebut dalam setahun diamortisasikan sebesar 10%. Apabila biaya untuk memperoleh hak penambangan dan hak pengusahaan hutan pada akhir masa produksi belum habis diamortsisasikan, maka sisa biaya tersebut tidak boleh dibebankan sekaligus sebagai biaya dalam tahun pajak yang bersangkutan. Sisa tadi harus diamortisasikan setinggi-tingginya 20%. Sebaliknya, apabila ternyata jumlah produksi sebenarnya lebih kecil daripada jumlah cadangan yang diperkirakan sehingga masih terdapat sisa biaya untuk memperoleh hak yang belum habis diamortisasikan, maka sisa biaya tersebut boleh dibebankan sekaligus sebagai biaya dalam tahun pajak yang bersangkutan.
Perbedaan utama antara deplesi dan amortisasi adalah nilai residu tidak dipertimbangkan dalam menghitung persentase amortisasi hak penambangan dan pengusahaan hutan.
LATIHAN ;
Apabila terdapat sewa kantor untuk 5 tahun. Bagaimana pencatatan dan penyajiannya dalam laporan keuangan?
Bagaimana perlakuan perpajakan untuk aset tak berwujud yang Anda ketahui?
Jelaskan mengenai biaya pendirian dan perluasan modal juga biaya pra-operasi, menurut akuntansi dan perpajakan.
Apakah perbedaan antara biaya pendirian dengan biaya pra-operasi?