i
ii
1
MANAJEMEN BENCANA
MAKALAH
UNTUK MEMENUHI TUGAS MATAKULIAH
Perencanaan dan Evaluasi Program Kesehatan
Yang dibina oleh
Dr. Sapto Adi, M.Kes.
dr. Tisnalia
Oleh :
Afifah 140612601834
Arinda Eka Putri S. 140612603530
Retno Ismawati 140612601729
JURUSAN ILMU KESEHATAN MASYARAKAT
FAKULTAS ILMU KEOLAHRAGAAN
UNIVERSITAS NEGERI MALANG
2016
DAFTAR ISI
BAB 1 PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang 1
1.2 Rumusan Masalah 2
1.3 Tujuan 2
BAB 2 ISI
2.1 Pengkajian Kebutuhan Saat Bencana 3
2.1.1 Perencanaan Dalam Penanggulanan Bencana 3
2.1.2 Mekanisme Pengolahan Bantuan 7
2.2 Air Dan Higiene Sanitasi 9
2.3 Surveilans Bencana 12
2.3.1 Surveilans Penyakit 13
2.3.2 Surveilans Faktor Resiko 14
2.3.3 Surveilans Gizi 15
2.4 Proses Kegiatan Surveilans 16
2.5 Pengendalian Vektor Saat Bencana 19
2.6 Manajemen Korban Masal 20
BAB 3 PENUTUP
3.1 Simpulan 24
3.2 Saran 24
DAFTAR PUSTAKA
BAB 1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Bencana baik karena faktor alam, faktor non-alam, maupun factor manusia selalu mendatangkan kerugian, kerusakan, penderitaan, dan korban jiwa. Dengan meningkatnya kejadian bencana di berbagai daerah di Indonesia baik frekuensi, intensitas, maupun dampaknya, hal tersebut memerlukan penanganan secara terkoordinasi, terencana, dan terpadu (Ulum, 2013)..
Kawasan Asia berada di urutan teratas dari daftar korban akibat bencana alam. Hampir setengah bencana di dunia terjadi di Asia membuat wilayah ini rawan bencana. Laporan dari ESCAP juga merinci daftar negara di kawasan Asia Pasifik mengalami bencana alam selama periode 1980-2009 (Ulum, 2013).
Di Indonesia sampai pada bulan Juni 2015 saja, rekapitulasi data BNPB menunjukkan bahwa 141 orang meninggal, 7 hilang dan 9.556 unit rumah mengalami kerusakan dampak dan bencana yang terjadi. Pada bulan Juni 2015 saja, bencana terjadi sebanyak 93 kali yang mengakibatkan 20 orang meninggal serta lebih dari 300 unit rumah mengalami kerusakan dari rusak ringan, sedang hingga berat (BNPB 2015).
Bencana yang terjadi membawa sebuah konsekuensi untuk mempengaruhi manusia dan atau lingkungannya. Kerentanan terhadap bencana dapat disebabkan oleh kurangnya manajemen bencana yang tepat, dampak lingkungan, atau manusia sendiri. Kerugian yang dihasilkan tergantung pada kapasitas ketahanan komunitas terhadap bencana. Semua kejadian tersebut di atas menimbulkan krisis kesehatan antara lain lumpuhnya pelayanan kesehatan, korban mati, korban luka, pengungsi, masalah gizi, masalah ketersediaan air bersih, masalah sanitasi lingkungan, penyakit menular dan stres/gangguan kejiwaan (Depkes RI 2007).
Kompleksitas dari permasalahan bencana tersebut memerlukan suatu penataan atau perencanaan yang matang dalam penanggulangannya, sehingga dapat dilaksanakan secara terarah dan terpadu. Penanggulangan yang dilakukan harus didasarkan pada langkah-langkah yang sistematis dan terencana, sehingga tidak terjadi tumpang tindih dan bahkan terdapat langkah upaya yang penting tidak tertangani. Sepert yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana mengamanatkan pada pasal 35 dan 36 agar setiap daerah dalam upaya penanggulangan bencana, mempunyai perencanaan penanggulangan bencana. Secara lebih rinci disebutkan di dalam Peraturan Pemerintah Nomor 21 Tahun 2008 tentang Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana (BNPB 2008).
Rumusan Masalah
Bagaimana pengkajian kebutuhan saat bencana ?
Bagaimana air dan hygiene sanitasi bencana ?
Bagaimana surveilans bencana ?
Bagaimana pengendalian vector saat bencana ?
Bagaimana manajemen korban massal bencana ?
Tujuan
Mendeskripsikan pengkajian kebutuhan saat bencana.
Mendeskripsikan air dan hygiene sanitasi bencana.
Mendeskripsikan surveilans bencana.
Mendeskripsikan pengendalian vector saat bencana.
Mendeskripsikan manajemen korban massal bencana.
BAB 2
ISI
Pengkajian Kebutuhan Saat Bencana
Perencanaan Dalam Penanggulangan Bencana
Pemerintah dan pemerintah daerah bertanggung jawab dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana. Sebagaimana didefinisikan dalam UU 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, penyelenggaraan Penanggulangan Bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi.
Pada dasarnya penyelenggaraan adalah tiga tahapan yakni :
Pra bencana yang meliputi:
situasi tidak terjadi bencana
situasi terdapat potensi bencana
Saat Tanggap Darurat yang dilakukan dalam situasi terjadi bencana
Pascabencana yang dilakukan dalam saat setelah terjadi bencana
Dalam Pedoman Penyusunan Rencana Penangulangan Bencana (BNPB: 2008) secara umum perencanaan dalam penanggulangan bencana dilakukan pada setiap tahapan dalam penyelenggaran penanggulangan bencana. Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, agar setiap kegiatan dalam setiap tahapan dapat berjalan dengan terarah, maka disusun suatu rencana yang spesifik pada setiap tahapan penyelenggaraan penanggulangan bencana.
Pada tahap Prabencana dalam situasi tidak terjadi bencana, dilakukan penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana (Disaster Management Plan), yang merupakan rencana umum dan menyeluruh yang meliputi seluruh tahapan/ bidang kerja kebencanaan. Secara khusus untuk upaya pencegahan dan mitigasi bencana tertentu terdapat rencana yang disebut rencana mitigasi misalnya Rencana Mitigasi Bencana Banjir DKI Jakarta.
Pada tahap Prabencana dalam situasi terdapat potensi bencana, dilakukan penyusunan Rencana Kesiapsiagaan untuk menghadapi keadaan darurat yang didasarkan atas skenario menghadapi bencana tertentu ( single hazard ) maka disusun satu rencana yang disebut Rencana Kontinjensi (Contingency Plan).
Pada Saat Tangap Darurat dilakukan Rencana Operasi (Operational Plan ) yang merupakan operasionalisasi/aktivasi dari Rencana Kedaruratan atau Rencana Kontinjensi yang telah disusun sebelumnya.
Pada Tahap Pemulihan dilakukan Penyusunan Rencana Pemulihan (Recovery Plan) yang meliputi rencana rehabilitasi dan rekonstruksi yang dilakukan pada pasca bencana. Sedangkan jika bencana belum terjadi, maka untuk mengantisipasi kejadian bencana dimasa mendatang dilakukan penyusunan petunjuk /pedoman mekanisme penanggulangan pasca bencana.
Dalam Pedoman Penyusunan Rencana Penangulangan Bencana (BNPB: 2008) secara garis besar proses penyusunan/penulisan rencana penanggulangan bencana adalah sebagai berikut:
Pengenalan dan pengkajian bencana.
Pengenalan kerentanan.
Analisi kemungkinan dampak bencana.
Pilihan tindakan penanggulangan bencana.
Mekanisme penanggulangan dampak bencana.
Alokasi tugas dan peran instansi.
Sebagaimana diuraikan di atas bahwa langkah pertama adalah pengenalan bahaya / ancaman bencana yang mengancam wilayah tersebut. Kemudian bahaya / ancaman tersebut di buat daftar dan di disusun langkah-langkah / kegiatan untuk penangulangannya. Sebagai prinsip dasar dalam melakukan Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana ini adalah menerapkan paradigma pengelolaan risiko bencana secara holistik. Pada hakekatnya bencana adalah sesuatu yang tidak dapat terpisahkan dari kehidupan. Pandangan ini memberikan arahan bahwa bencana harus dikelola secara menyeluruh sejak sebelum, pada saat dan setelah kejadian bencana.
Dalam Pedoman Teknis Penanggulangan Krisis Kesehatan Akibat Bencana (Depkes RI 2007) tugas penyelenggaraan penanggulangan bencana ditangani oleh Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat Pusat dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat Daerah.
Tingkat Pusat
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) merupakan Lembaga Pemerintah Nondepartemen setingkat menteri yang memiliki fungsi perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat serta efektif dan efisien; dan pengoordinasikan pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh.
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) mempunyai tugas senagai berikut :
Memberikan pedoman dan pengarahan terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan tanggap darurat, rehabilitasi, dan rekonstruksi secara adil dan setara;
Menetapkan standardisasi dan kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan;
Menyampaikan informasi kegiatan kepada masyarakat;
Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada Presiden setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan pada setiap saat dalam kondisi darurat bencana;
Menggunakan dan mempertanggungjawabkan sumbangan/bantuan nasional dan internasional;
Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara;
Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan; dan
Menyusun pedoman pembentukan Badan Penanggulangan Bencana Daerah.
Tugas dan kewenangan Departemen Kesehatan adalah merumuskan kebijakan, memberikan standar dan arahan serta mengkoordinasikan penanganan krisis dan masalah kesehatan lain baik dalam tahap sebelum, saat maupun setelah terjadinya. Dalam pelaksanaannya dapat melibatkan instansi terkait baik Pemerintah maupun non Pemerintah, LSM, Lembaga Internasional, organisasi profesi maupun organisasi kemasyarakatan sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Selain itu Departemen Kesehatan secara aktif membantu mengoordinasikan bantuan kesehatan yang diperlukan oleh daerah yang mengalami situasi krisis dan masalah kesehatan lain.
Daerah
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) adalah perangkat daerah yang dibentuk untuk melaksanakan tugas dan fungsi penyelenggaraan penanggulangan bencana di daerah. Pada tingkat provinsi BPBD dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah gubernur atau setingkat eselon Ib dan pada tingkat kabupaten/kota dipimpin oleh seorang pejabat setingkat di bawah bupati/walikota atau setingkat eselon IIa. Kepala BPBD dijabat secara rangkap (ex-officio) oleh Sekretaris Daerah yang bertanggungjawab langsung kepada kepala daerah.
BPBD terdiri dari Kepala, Unsur Pengarah Penanggulangan Bencana dan Unsur Pelaksana Penanggulangan Bencana.
BPBD mempunyai fungsi :
Perumusan dan penetapan kebijakan penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi dengan bertindak cepat dan tepat, efektif dan efisien.
pengoordinasian pelaksanaan kegiatan penanggulangan bencana secara terencana, terpadu dan menyeluruh.
BPBD mempunyai tugas :
Menetapkan pedoman dan pengarahan sesuai dengan kebijakan pemerintah daerah dan BNPB terhadap usaha penanggulangan bencana yang mencakup pencegahan bencana, penanganan darurat, rehabilitasi, serta rekonstruksi secara adil dan setara.
Menetapkan standardisasi serta kebutuhan penyelenggaraan penanggulangan bencana berdasarkan Peraturan Perundang-undangan.
Menyusun, menetapkan, dan menginformasikan peta rawan bencana.
Menyusun dan menetapkan prosedur tetap penanganan bencana.
Melaksanakan penyelenggaraan penanggulangan bencana pada wilayahnya.
Melaporkan penyelenggaraan penanggulangan bencana kepada kepala daerah setiap sebulan sekali dalam kondisi normal dan setiap saat dalam kondisi darurat bencana.
Mengendalikan pengumpulan dan penyaluran uang dan barang.
Mempertanggungjawabkan penggunaan anggaran yang diterima dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.
Melaksanakan kewajiban lain sesuai dengan Peraturan Perundang-undangan.
Mekanisme Pengelolaan Bantuan
Obat dan perbekalan kesehatan
Penyediaan obat dalam situasi bencana merupakan salah satu unsur penunjang yang sangat penting dalam pelayanan kesehatan pada saat bencana. Oleh karena itu diperlukan adanya persediaan obat dan perbekalan Kesehatan sebagai penyangga bila terjadi bencana mulai dari tingkat kabupaten, provinsi sampai pusat.
Penyediaan dan pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan dalam penanggulangan bencana pada dasarnya tidak akan membentuk sarana dan prasarana baru, tetapi menggunakan sarana dan prasarana yang telah tersedia, hanya intensitas pekerjaannya ditingkatkan dengan memberdayakan sumber daya daerah (Kab/Kota/ Provinsi).
Pengaturan dan pendistribusian obat dan perbekalan kesehatan adalah sebagai berikut:
Posko Kesehatan langsung meminta obat dan perbekalan kesehatan kepada Dinas Kesehatan setempat.
Obat dan Perbekalan Kesehatan yang tersedia di Pustu dan Puskesmas dapat langsung dimanfaatkan untuk melayani korban bencana, bila terjadi kekurangan minta tambahan ke Dinkes Kab/Kota (Instalasi Farmasi Kab/Kota).
Dinkes Kab/Kota (Instalasi Farmasi Kab/Kota) menyiapkan obat dan perbekalan kesehatan selama 24 jam untuk seluruh sarana kesehatan yang melayani korban bencana baik di Puskesmas, pos kesehatan, RSU, Sarana Pelayanan Kesehatan TNI dan POLRI maupun Swasta.
Bila persediaan obat di Dinkes Kab/Kota mengalami kekurangan dapat segera meminta kepada Dinkes Provinsi.
Prinsip dasar dari pengelolaan obat dan perbekalan kesehatan pada situasi bencana adalah harus cepat, tepat dan sesuai kebutuhan. Oleh karena itu, dengan banyaknya institusi kesehatan yang terlibat perlu dilakukan koordinasi dan pembagian wewenang dan tanggung jawab.
Prinsip utama yang harus dipenuhi dalam proses pemberian bantuan obat dan perbekalan kesehatan mengacu lepada "Guidelines for Drug Donations", yaitu:
Prinsip pertama: obat sumbangan harus memberikan keuntungan yang sebesar-besarnya bagi negara penerima, sehingga bantuan harus didasarkan pada kebutuhan, sehingga kalau ada obat yang tidak diinginkan, maka kita dapat menolaknya.
Prinsip kedua: obat sumbangan harus mengacu kepada keperluan dan sesuai dengan otoritas penerima dan harus mendukung kebijakan pemerintah dibidang kesehatan dan sesuai dengan persyaratan administrasi yang berlaku.
Prinsip ketiga: tidak boleh terjadi standar ganda penetapan kualitas jika kualitas salah satu item obat tidak diterima di negara donor, sebaiknya hal ini juga diberlakukan di negara penerima.
Prinsip keempat: adalah harus ada komunikasi yang efektif antara negara donor dan negara penerima, sumbangan harus berdasarkan permohonan dan sebaiknya tidak dikirimkan tanpa adanya pemberitahuan.
Sumber daya manusia
Pada saat terjadi bencana perlu adanya mobilisasi SDM kesehatan yang tergabung dalam suatu Tim Penanggulangan Krisis yang meliputi:
Tim Reaksi Cepat
Tim yang diharapkan dapat segera bergerak dalam waktu 0–24 jam setelah ada informasi kejadian bencana.
Tim Penilaian Cepat (Tim RHA)
Tim yang bisa diberangkatkan bersamaan dengan Tim Reaksi Cepat atau menyusul dalam waktu kurang dari 24 jam.
Tim Bantuan Kesehatan
Tim yang diberangkatkan berdasarkan kebutuhan setelah Tim Reaksi Cepat dan Tim RHA kembali dengan laporan hasil kegiatan mereka di lapangan.
Air dan Higiene Sanitasi
Seperti diketahui air merupakan kebutuhan utama bagi kehidupan, demikian juga dengan masyarakat pengungsi harus dapat terjangkau oleh ketersediaan air bersih yang memadai untuk memelihara kesehatannya. Bilamana air bersih dan sarana sanitasi telah tersedia, perlu dilakukan upaya pengawasan dan perbaikan kualitas air bersih dan sarana sanitasi.
Pada tahap awal kejadian bencana atau pengungsian ketersediaan air bersih bagi pengungsi perlu mendapat perhatian, karena tanpa adanya air bersih sangat berpengaruh terhadap kebersihan dan mening-katkan risiko terjadinya penularan penyakit seperti diare, typhus, scabies dan penyakit lainnya.
Sumber air bersih dan pengolahannya
Bila sumber air bersih yang digunakan untuk pengungsi berasal dari sumber air permukaan (sungai, danau, laut, dan lain-lain), sumur gali, sumur bor, mata air dan sebagainya, perlu segera dilakukan pengamanan terhadap sumber-sumber air tersebut dari kemungkinan terjadinya pence-maran, misalnya dengan melakukan pemagaran ataupun pemasangan papan pengumuman dan dilakukan perbaikan kualitasnya.
Bila sumber air diperoleh dari PDAM atau sumber lain yang cukup jauh dengan tempat pengung-sian, harus dilakukan pengangkutan dengan mobil tangki air.
Untuk pengolahan dapat menggunakan alat penyuling air (water purifier/water treatment plant).
Beberapa cara pendistribusian air bersih berdasarkan sumbernya
Air Permukaan (sungai dan danau)
Diperlukan pompa untuk memompa air ke tempat pengolahan air dan kemudian ke tangki penampungan air di tempat penampungan pengungsi
Area disekitar sumber harus dibebaskan dari kegiatan manusia dan hewan
Sumur gali
Lantai sumur harus dibuat kedap air dan dilengkapi dengan SPAL (saluran pembuangan air limbah)
Bilamana mungkin dipasang pompa untuk menyalurkan air ke tangki tangki penampungan air
Sumur Pompa Tangan (SPT)
Lantai sumur harus dibuat kedap air dan dilengkapi dengan SPAL (saluran pembuangan air limbah)
Bila lokasinya agak jauh dari tempat penampungan pengungsi harus disediakan alat pengangkut seperti gerobak air dan sebagainya
Mata Air
Perlu dibuat bak penampungan air untuk kemudian disalurkan dengan pompa ke tangki air
Bebaskan area sekitar mata air dari kemungkinan pencemaran
Perbaikan dan Pengawasan Kualitas Air Bersih
Pada situasi bencana dan pengungsian umumnya sulit memperoleh air bersih yang sudah memenuhi persya-ratan, oleh karena itu apabila air yang tersedia tidak memenuhi syarat, baik dari segi fisik maupun bakteriologis, perlu dilakukan:
Buang atau singkirkan bahan pencemar dan lakukan hal berikut.
Lakukan penjernihan air secara cepat apabila tingkat kekeruhan air yang ada cukup tinggi.
Lakukan desinfeksi terhadap air yang ada dengan menggunakan bahan bahan desinfektan untuk air
Periksa kadar sisa klor bilamana air dikirim dari PDAM
Lakukan pemeriksaan kualitas air secara berkala pada titik-titik distribusi
Pembuangan Kotoran
Langkah langkah yang diperlukan:
Pada awal terjadinya pengungsian perlu dibuat jamban umum yang dapat menampung kebutuhan sejumlah pengungsi. Contoh jamban yang sederhana dan dapat disediakan dengan cepat adalah jamban kolektif (jamban jamak).
Pada awal pengungsian: 1 (satu) jamban dipakai oleh 50 – 100 org Pemeliharaan terhadap jamban harus dilakukan dan diawasi secara ketat dan lakukan desinfeksi di area sekitar jamban dengan menggunakan kapur, lisol dan lain-lain.
Pada hari hari berikutnya setelah masa emergency berakhir, pembangunan jamban darurat harus segera dilakukan dan 1 (satu) jamban disarankan dipakai tidak lebih dari 20 orang.
1 (satu) jamban dipakai oleh 20 orang. Jamban yang dibangun di lokasi pengungsi disarankan:
Ada pemisahan peruntukannya khusus laki laki dan wanita
Lokasi maksimal 50 meter dari tenda pengungsi dan minimal 30 meter dari sumber air.
Konstruksi jamban harus kuat dan dilengkapi dengan tutup pada lubang jamban agar tidak menjadi tempat berkembang biak lalat
Sanitasi Pengelolaan Sampah
Kegiatan yang dilakukan dalam upaya sanitasi pengelolaan sampah, antara lain:
Pengumpulan Sampah
Sampah yang dihasilkan harus ditampung pada tempat sampah keluarga atau sekelompok keluarga
Disarankan menggunakan tempat sampah yang dapat ditutup dan mudah dipindahkan/diangkat untuk menghindari lalat serta bau, untuk itu dapat digunakan potongan drum atau kantung plastik sampah ukuran 1 m x 0,6 m untuk 1 – 3 keluarga
Penempatan tempat sampah maksimum 15 meter dari tempat hunian
Sampah ditempat sampah tersebut maksimum 3 (tiga) hari harus sudah diangkut ke tempat pembuangan akhir atau tempat pengumpulan sementara.
Pengangkutan Sampah
Pengangkutan sampah dapat dilakukan dengan gerobak sampah atau dengan truk pengangkut sampah untuk diangkut ke tempat pembuangan akhir.
Pembuangan Akhir Sampah
Pembuangan akhir sampah dapat dilakukan dengan beberapa cara, seperti pembakaran, penimbunan dalam lubang galian atau parit dengan ukuran dalam 2 meter lebar 1,5 meter dan panjang 1 meter untuk keperluan 200 orang. Perlu diperhatikan bahwa lokasi pembuangan akhir harus jauh dari tempat hunian dan jarak minimal dari sumber air 10 meter
Surveilans Bencana
Kejadian bencana umumnya berdampak merugikan, seperti rusaknya sarana dan prasarana fisik (perumahan penduduk, bangunan perkantoran, sekolah, tempat ibadah, sarana jalan, jembatan dan lain-lain) hanyalah sebagian kecil dari dampak terjadinya bencana disamping masalah kesehatan seperti korban luka, penyakit menular tertentu, menurunnya status gizi masyarakat, stress pasca trauma dan masalah psikososial, bahkan korban jiwa. Menurut Pedoman Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan Dalam Penanggulangan Bencana, bencana dapat pula mengakibatkan arus pengungsian penduduk ke lokasi-lokasi yang dianggap aman. Hal ini tentunya dapat menimbulkan masalah kesehatan baru di wilayah yang menjadi tempat penampungan pengungsi, mulai dari munculnya kasus penyakit dan masalah gizi serta masalah kesehatan reproduksi hingga masalah penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, penyediaan air bersih, sanitasi serta penurunan kualitas kesehatan lingkungan. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu adanya tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui surveilans bencana (Simms, 2013).
Berdasarkan Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI, surveilans bencana merupakan tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi. Tindakan yang dapat dilakukan adalah seperti melakukan pencegahan terhadap penyakit potensi KLB dan penyakit menular, pencegahan terjadinya trauma psikologis pasca bencana (traumatic stress), mengatasi masalah pangan dan kesehatan lingkungan terutama di tempat pengungsian. Langkah-langkah penyelidikan dan pengendalian awal dalam surveilans menjadi tanggung jawab unit kesehatan setempat yang terkait bencana (PAHO, 2000).
Di dalam Pedoman Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan Dalam Penanggulangan Bencana dan beberapa Surveilans yang dilaksanakan di daerah bencana bencana meliputi beberapa survei sebagai berikut
Surveilans Penyakit
Surveilans penyakit memiliki tujuan menyediakan informasi kebutuhan pelayanan kesehatan di lokasi bencana dan tempat pengungsian, dan secara khusus menyediakan informasi mengenai kesakitan dan kematian dari penyakit potensial wabah (Depkes R1, 2007).
Untuk menunjang ketersediaan informasi kebutuhan pelayanan kesehatan di lokasi bencana dan tempat pengungsian ada beberapa hal yang diidentifikasi adalah sebagai berikut;
Mengidentifikasi sedini mungkin kemungkinan terjadinya peningkatan penyakit potensial KLB/wabah
Mengidentifikasi kelompok risiko tinggi
Mengidentifikasi daerah risiko tinggi
Mengidentifikasi status gizi di daerah bencana
Mengidentifikasi status sanitasi lingkungan
Surveilans yang dilakukan terhadap beberapa penyakit menular dan bila menemukan kasus penyakit menular, semua pihak termasuk LSM kemanusiaan di pengungsian, harus melaporkan kepada Puskesmas dibawah koordinasi Dinas Kesehatan Kabupaten sebagai penanggung jawab pemantauan dan pengendalian
Langkah-langkah surveilans penyakit di daerah bencana meliputi:
Pengumpulan data
Data kesakitan dan kematian
Data kesakitan yang dikumpulkan meliputi jenis penyakit yang diamati berdasarkan kelompok usia. Data kematian adalah setiap kematian pengungsi, penyakit yang kemungkinan menjadi penyebab kematian berdasarkan kelompok usia
Data denominator (jumlah korban bencana) diperlukan untuk menghitung pengukuran epidemiologi, misalnya angka insidensi, angka kematian, dsb.
Sumber data Data dikumpulkan melalui laporan masyarakat, petugas pos kesehatan, petugas Rumah Sakit, koordinator penanggulangan bencana setempat.
Jenis form
Form BA-3: Register Harian Penyakit pada Korban Bencana
Form BA-4: Rekapitulasi Harian Penyakit Korban Bencana
Form BA-5: Laporan Mingguan Penyakit Korban Bencana
Form BA-6: Register Harian Kematian Korban Bencana
Form BA-7: Laporan Mingguan Kematian Korban Bencana
Pengolahan dan penyajian data
Data surveilans yang terkumpul diolah untuk menyajikan informasi epidemiologi sesuai kebutuhan. Penyajian data meliputi deskripsi maupun grafik data kesakitan penyakit menurut umur dan data kematian menurut penyebabnya akibat bencana.
Analisis dan interpretasi
Kajian epidemiologi merupakan kegiatan analisis dan interpretasi data epidemiologi yang dilaksanakan oleh tim epidemiologi. Langkah-langkah pelaksanaan analisis:
Menentukan prioritas masalah yang akan dikaji
Merumuskan pemecahan masalah dengan memperhatikan efektifitas dan efisiensi kegiatan
Menetapkan rekomendasi sebagai tindakan korektif.
Penyebarluasan informasi hasil analisis disampaikan kepada pihak-pihak yang berkepentingan.
Surveilans Faktor Risiko
Surveilans faktor risiko adalah surveilans yang dilakukan terhadap kondisi lingkungan disekitar lokasi bencana, lokasi penampungan pengungsi yang dapat menjadi faktor risiko penyebaran penyakit pada para pengungsi. Kegiatan ini dilakukan dengan cara menidentifikai :
Cakupan pelayanan air bersih;
Cakupan pemanfaatan sarana pembuangan kotoran;
Pengelolaan sampah;
Pengamanan makanan;
Kepadatan vector;
Kebersihan lingkungan;
Tempat-tempat yang berpotensi menjadi tempat perindukan vektor (genangan air, sumber pencemaran, dll)
Surveilans Gizi
Surveilans gizi adalah proses pengamatan keadaan gizi korban bencana khususnya kelompok rentan secara terus menerus untuk pengambilan keputusan dalam menentukan tindakan intervensi(Kemenkes R1, 2012).
Dalam pengadaan surveilans gizi menurut KemenKes RI tahun 2012 dalam Pedoman Teknis Penanggulanan Krisis Akibat Bencana terdapat langkah langkah sebagai berikut :
Registrasi pengungsi
Registrasi perlu dilakukan secepat mungkin untuk mengetahui jumlah Kepala Keluarga, jumlah jiwa, jenis kelamin, usia dan kelompok rawan (balita, bumil, buteki, dan usila). Di samping itu diperlukan data penunjang lainnya misalnya: luas wilayah, jumlah camp, dan sarana air bersih. Data tersebut digunakan untuk menghitung kebutuhan bahan makanan pada tahap penyelamatan dan merencanakan tahapan surveilans berikutnya.
Pengumpulan data dasar gizi
Data yang dikumpulkan adalah data antropometri yang meliputi, berat badan, tinggi badan dan umur untuk menentukan status gizi, dikumpulkan melalui survei dengan metodologi surveilans atau survei cepat. Disamping itu diperlukan data penunjang lainnya seperti, diare, ISPA, Pneumonia, campak, malaria, angka kematian kasar dan kematian balita. Data penunjang ini diperoleh dari sumber terkait lainnya,. Data ini digunakan untuk menentukan tingkat kedaruratan gizi dan jenis intervensi yang diperlukan. Data latar belakang harus dikumpulkan pada daerah geografis yang terkena dampak, risiko penyakitutama di daerah yang terkena (misalnya, apakah kolera atau malaria adalah endemik) (PAHO, 2000).
Penapisan
Penapisan atai skrining adalah proses pendeteksian kasus atau kondisi kesehatan. Penapisan ini dilakukan apabila diperlukan intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) darurat terbatas dan PMT terapi. Untuk itu dilakukan pengukuran antropometri (berat badan dan tinggi badan) semua anak untuk menentukan sasaran intervensi. Pada kelompok rentan lainnya seperti bumil, buteki dan usila, penapisan dilakukan dengan melakukan pengukuran Lingkar Lengan Atas/LILA.
Untuk keperluan surveilans gizi pengungsi, di dalam Pedoman Teknis Penanggulanan Krisis Akibat Bencana sudah dicantumkan beberapa hal yang perlu disiapkan, yakni sebagai berikut:
Petugas pelaksana adalah tenaga gizi (Ahli gizi atau tenaga pelaksana gizi) yang sudah mendapat latihan khusus penanggulangan gizi dalam keadaan darurat. Jumlah petugas pelaksana gizi minimal tiga orang tenaga gizi terlatih, agar surveilans dapat dilakukan secepat mungkin. Tenaga pelaksana gizi ini akan bekerja secara tim dengan surveilans penyakit atau tenaga kedaruratan lainnya.
Alat untuk identifikasi, pengumpulan data dasar, pemantauan dan evaluasi:
Formulir untuk registrasi awal dan pengumpulan data dasar dan screening/penapisan; dan juga formulir untuk pemantauan dan evaluasi secara periodik.
Alat ukur antropometri untuk balita dan kelompok umur golongan rawan lainnya. Untuk balita diperlukan timbangan berat badan (dacin/salter),alat ukur panjang badan (portable), dan medline (meteran).
Monitoring pertumbuhan untuk balita (KMS).
Jika memungkinkan disiapkan komputer yang dilengkapi dengan sistem aplikasi untuk pemantauan setiap individu.
Melakukan kajian data surveilans gizi dengan mengintegrasikan informasi dari surveilans lainnya (penyakit dan kematian).
Proses Kegiatan Surveilans
Menurut Pedoman Teknis Penanggulanan Krisis Akibat Bencana proses kegiatan surveilans ada 3 dengan berdasarkan wilayah adalah sebagai berikut :
Kegiatan di Pos KesehatannKegiatan surveilans yang dilakukan di pos kesehatan, antara lain:
Pengumpulan data kesakitan penyakit yang diamati dan kematian melalui pencatatan harian kunjungan rawat jalan.
Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat, pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit dan golongan umur per minggu.
Pembuatan dan pengiriman laporan. Dalam kegiatan pengumpulan data kesakitan penyakit yang ditujukan pada penyakit-penyakit yang mempunyai potensi menimbulkan terjadinya wabah, dan masalah kesehatan yang bisa memberikan dampak jangka panjang terhadap kesehatan dan/atau memiliki fatalitas tinggi.
Jenis penyakit yang diamati , antara lain:
Diare berdarah
Campak
Diare
Demam berdarah dengue
Pnemonia
Lumpuh layuh akut (AFP)
ISPA non-pneumonia
Tersangka hepatitis
Malaria klinis
Gizi buruk, dsb.
Apabila petugas kesehatan di pos kesehatan, maupun puskesmas menemukan atau mencurigai kemungkinan adanya peningkatan kasus-kasus tersangka penyakit yang ditularkan melalui makanan (foodborne diasease) ataupun penyakit lain yang jumlahnya meningkat dalam kurun waktu singkat, maka petugas yang bersangkutan harus melaporkan keadaan tersebut secepat mungkin ke Puskesmas terdekat atau Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Kegiatan di Puskesmas
Kegiatan surveilans yang dilakukan di puskesmas, antara lain:
Pengumpulan data kesakitan penyakit-penyakit yang diamati dan kematian melalui pencatatan harian kunjungan rawat jalan dan rawat inap pos kesehatan yang ada di wilayah kerja.
Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat.
Pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit golongan usia dan tempat tinggal per minggu.
Pembuatan dan pengiriman laporan.
Kegiatan di Rumah Sakit
Kegiatan surveilans yang dilakukan di Rumah Sakit, antara lain:
Pengumpulan data kesakitan penyakit yang diamati dan kematian melalui pencatatan rujukan kasus harian kunjungan rawat jalan dan rawat inap dari para korban bencana.
Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat.
Pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit, golongan usia dan tempat tinggal per minggu.
Pembuatan dan pengiriman laporan.
Kegiatan di Kabupaten/Kota
Kegiatan surveilans yang dilakukan di tingkat Kabupaten/Kota, antara lain:
Pengumpulan data berupa jenis bencana, keadaan bencana, kerusakan sarana kesehatan, angka kesakitan penyakit yang diamati dan angka kematian korban bencana yang berasal dari puskesmas, Rumah Sakit, atau Poskes khusus.
Pengumpulan data berupa jenis bencana, keadaan bencana, kerusakan sarana kesehatan, angka kesakitan penyakit yang diamati dan angka kematian korban bencana yang berasal dari Puskesmas, Rumah Sakit atau Poskes khusus.
Surveilans aktif untuk penyakit tertentu.
Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat
Pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit, golongan umur dan tempat tinggal per minggu.
Pertemuan tim epidemiologi kabupaten/kota untuk melakukan analisis data dan merumuskan rekomendasi rencana tindak lanjut penyebar-luasan informasi.
Kegiatan di Provinsi
Kegiatan surveilans yang dilakukan di tingkat Provinsi, antara lain:
Pengumpulan data kesakitan penyakit-penyakit yang diamati dan kematian korban bencana yang berasal dari Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.
Surveilans aktif untuk penyakit-penyakit tertentu.
Validasi data agar data menjadi sahih dan akurat.
Pengolahan data kesakitan menurut jenis penyakit golongan umur dan tempat tinggal per minggu.
Pertemuan tim epidemiologi provinsi untuk melakukan analisis data dan merumuskan rekomendasi rencana tindak lanjut, penyebarluasan informasi , pembuatan dan pengiriman laporan.
Keluaran
Adanya rekomendasi dari hasil kajian analisis data oleh tim epidemiologi diharapkan dapat menetapkan rencana kegiatan korektif yang efektif dan efisien sesuai dengan kebutuhan. Rencana kegiatan korektif ini tentunya dapat menekan peningkatan penyakit khususnya penyakit menular di lokasi bencana yang akhirnya menekan angka kematian akibat penyakit pada pasca bencana.
Pengendalian Vektor Saat bencana
Saat terjadi bencana di sebuah wilayah maka masyarakat yang ada di sana dibawa ke tempat pengungsian agar keselamatan mereka terjaga dengan baik. Namun selama berada di lokasi pengungsian tersebut masih ada masalah yang harus dihadapi oleh para pengungsi yaitu mengenai adanya vektor di sekitarnya. Kebanyakan vektor yang mengganggu para pengungsi afalah lalat, nyamuk dan tikus.
Dengan adanya fakta bahwa kondisi para pengungsi di lokasi pengungsian juga masih terganggu dengan adanya vektor maka harus dilakukan pengendalian yang tepat sasaran. Menurut Departemen Kesehatan RI (2007) ada beberapa upaya yang bisa dilakukan dalam pengawasan dan pengendalian vektor yaitu :
Pembuangan sampah atau sisa makanan dengan baik
Jika diperlukan maka bisa menggunakan insektisida
Tetap menjaga kebersihan individu selama berada di lokasi pengungsian
Penyediaan Sarana Pembuangan Air Limbah (SPAL) dan pembuangan sampah yang baik
Kebiasaan penanganan makanan secara higienis
Dalam pelaksanaannya pengendalian vektor tidak hanya bisa dilakukan dengan pengelolaan lingkungan seperti yang telah disebutkan di atas, tetapi bisa juga melalui bahan kimia seperti berikut ini :
Dilakukan dengan cara melakukan penyemprotan atau pengasapan di luar tenda pengungsi menggunakan insektida
Penyemprotan dengan insektisida sedapat mungkin dihindari dan hanya dilakukan untuk menurunkan populasi vektor secara drastis apabila dengan cara lain tidak memungkinkan
Frekuensi penyemprotan, pengasapan serta jenia insektisida yang digunakan sesuai dengan rekomendasi dari Dinas Kesehatan setempat
Manajemen Korban Masal
Dalam manajemen penanggulangan korban massal yang harus diutamakan adalah penolongnya lebih dulu baru kemudian menyelamatkan korban. Hal tersebut perlu dilakukan untuk meminimalisasi semakin bertambahnya korban apalagi dalam keadaan bencana. Menurut Departemen Kesehatan (2001) penanganan korban massal dikelompokkan menjadi 3 tahap yaitu pencarian (search), penyelamatan korban (rescue) dan pertolongan pertama (live saving). Kemudian perlujuga dilakukan Triase atau melakukan selekai korvan berdasarkan tingkat kegawar daruratannya sebagai dasar dalam memberikan prioritas pertolongan.
Menurut Departemen Kesehatan (2001) pasien gawat darurat adalah pasien yang memerlukan pertolongan segera (tepat, cepat dan cermat) untuk mencegah kematian atau kecacatan. Hal itu menjadikan satu keharusan bahwa pendekatan pelayanan gawat darurat harus memenuhi kebutuhan sebagai berikut :
Penanganan Korban
Dalam situasi kedaruratan kompleks sering terjadi korban luka dan bahkan korban meninggal dunia, untuk itu diperlukan kesiapan dalam penanggulangannya yang antara lain :
Transportasi dan alat kesehatan
Fasilitas Kesehatan yang berupa sarana evakuasi/transportasi meliputi :
(1) Kendaraan roda dua kesehtan lapangan
(2) Kendaraan ambulans biasa
(3) Kendaraan ambulans rusuh masal
(4) Kapal motor sungai/laut
(5) Helikopter udara
(6) Pesawat
Sarana pelayanan kesehatan
Pos kesehatan lapangan
Rumah sakit lapangan
Puskesmas/poliklinik/RS Swasta/RSLSM.
Rumah sakit rujukan tingkat Kabupaten RSUD/RS Polri/TNI
Rumah sakit rujukan tingkat Provinsi
Rumah sakit pusat rujukan Depkes/Polri/TNI
Obat dan alat kesehatan
Obat rutin
Obat Khusus
Bermacam-macam pembalut cepat
Kit Keslap
Minor surgery
Oxigyn dan perlengkapannya
Fasilitas pendukung non medis
Seragam berupa rompi dan topi khusus (bertuliskan identitas kesehatan daerah dan ditengah ada simbol palang merah)
Tandu
Alat Komunikasi
Kendaraan taktis untuk pengawalan evakuasi
Posko satgas kesehatan
Posko kesehatan di lapangan
Posko kesehatan koordinator wilayah
Ketenagaan
Di tempat kejadian/peristiwa sebagai koordinator adalah kasatgas lapangan (dokter/para medik senior) yang berkedudukan di poskes lapangan atau di salah satu ambulans dan mengatur seluruh kegiatan dilapangan.
Pada setiap ambulans minimal terdiri dari 2 orang para medik dan satu pengemudi (bila memungkinkan ada 1 orang dokter).
Pada Puskesmas / Poliklinik / RS Swasta / RS Polri / RS TNI tim penanggulangan korban minimal dipimpin seorang dokter dan telah menyiapkan ruang pelayanan khusus atau perawatan khusus.
Rumah sakit rujukan dipimpin oleh dokter bedah dan telah menyiapkan ruang pelayanan dan rawat khusus.
Pada Puskesmas dan RS rujukan dapat dibentuk tim khusus untuk pembuatan visum at repertum yang dipimpin oleh dokter dan dibantu 2 orang tenaga administrasi.
Pelaksanaan dilapangan
Pertolongan dan evakuasi korban masyarakat umum
Petugas lapangan menilai tingkat kegawatan korban untuk korban luka ringan dan sedang diberi pertolongan pertama di tempat kejadian atau pos kesehatan lapangan.
Korban luka berat segera dievakuasi ke RS rujukan wilayah /RS Swasta/RS Polri/RS TNI terdekat. Korban yang memerlukan perawatan lebih lanjut dapat dievakuasi ke pusat rujukan melalui jalan darat/sungai/laut/ udara sesuai sarana yang dimiliki.
Pertolongan dan evakuasi korban petugas/aparat pengamanan
Korban luka ringan dan sedang diperlakukan sama seperti masyarakat umum.
Korban luka berat segera dievakuasi dengan prioritas ke Rumah Sakit terdekat.
Korban yang memerlukan rawat lanjut dievakuasi ke RS Pusat rujukan.
Penanganan Korban Meninggal
Sasarannya adalah semua korban yang meninggal akibat kerusuhan masal.
Pelaksanaan Penanganan Korban meninggal adalah sebagai berikut
Korban meninggal akibat kerusuhan seluruhnya dievakuasi ke satu tempat khusus yaitu RSUD/RS Polri/RS TNI setempat.
Pada tempat tersebut jenazah yang datang dilakukan registrasi dan pencatatan (minimal diberi nomor, tanggal dan tempat kejadian) oleh petugas.
Kemudian jenazah dimasukan keruang pemeriksaan untuk dilakukan identifikasi medik, pemeriksaan luar oleh dokter.
Pemeriksaan dalam (otopsi) untuk mengetahui sebab kematian bisa dilakukan setelah ada permintaan dari pihak kepolisian setempat dan persetujuan dari keluarga korban serta sesuai peraturan yang berlaku.
Pemeriksaan medik dilakukan sesuai dengan formulir yang ada.
Barang bukti berupa pakaian, perhiasaan surat -surat dan lain-lain dimasukan dalam kantong plastik tersendiri diberi nama, nomor sesuai dengan nama dan nomor jenazah.
Jenazah dan barang bukti setelah selesai pemeriksaan dokter diserahkan kepada petugas kepolisian.
BAB 3 PENUTUP
Simpulan
Penyelenggaraan Penanggulangan Bencana adalah serangkaian upaya yang meliputi penetapan kebijakan pembangunan yang berisiko timbulnya bencana, kegiatan pencegahan bencana, tanggap darurat, dan rehabilitasi. Persediaan obat dan perbekalan kesehatan diperlukan sebagai penyangga bila terjadi bencana mulai dari tingkat kabupaten, provinsi sampai pusat.
Ketersediaan air bersih untuk memelihara kesehatan bagi pengungsi perlu mendapat perhatian, karena tanpa adanya air bersih sangat berpengaruh terhadap kebersihan dan mening-katkan risiko terjadinya penularan penyakit seperti diare, typhus, scabies dan penyakit lainnya. Tempat penampungan pengungsi muncul gangguan kesehatan, seperti kasus penyakit dan masalah gizi serta masalah kesehatan yang lain salah satunya masalah penyediaan fasilitas pelayanan kesehatan, penyediaan air bersih, sanitasi serta penurunan kualitas kesehatan lingkungan. Untuk mengatasi masalah tersebut perlu adanya tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui surveilans bencana.
Surveilans yang dilakukan adalah sebuah tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi
Pengendalian vektor dilakukan melalui pengelolaan lingkungan dan penanganan melalui bahan kimia. Namun harus diperhatikan aturan yang telah dikeluarkan oleh dinas kesehatan setempat.
Dalam melakukan manajemen penanganan korban massal maka harus dipentingkan keselamatan penolong lebih dulu untuk meminimalisasi adanya korban, sehingga perlu adanya manajemen yang tepat dalam menangani korban dalam suatu bencana.
Saran
Bagi Pembaca
Diharapkan dengan makalah ini pembaca dapat memahami bagaimana tindakan yang dilakukan pasca bencana, beberapa hal mengenai masalah yang timbul setelah bencana dan bagaimana penanggulanan serta pencegahan terhadap masalah kesehatan yang di timbulkan
Bagi pemerintah
Dengan makalah ini diharapkan pemerintah dapat menganilisis tindakan pasca bencana yang tidak berjalan dengan baik supaya dapat berjalan dengan baik dan sesuai dengan tujuan yang diinginkan dan menentukan indicator keberhasilan dari tindakan penanggulangan secara efektif dan efisien melalui proses pengumpulan data, pengolahan dan penyebaran informasi
Bagi Masyarakat
Masyarakat diharapkan dapat berpartisipasi dalam penanggulanan bencana yang terjadi agar meminimalisir masalah yang ditimbulkan setelah bencana.
DAFTAR PUSTAKA
BNPB. 2015. Info Bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (Online), (http://www.bnpb.go.id), diakses 30 Januari 2016.
Manajemen Epidemiologi Bencana. 2011. Pusat Data dan Surveilans Epidemiologi Kementerian Kesehatan RI. (Online), (http://www.cs.unsyiah.ac.id/~frdaus/PenelusuranInformasi/File-Pdf/manajemenepidbencana.pdf), diakses 26 Januari 2016.
PAHO. 2000. Natural Disaster: Protecting the Public's Health. (Online), ().diakses pada 27 Januari 2016
Pedoman Manajemen Sumber Daya Manusia (SDM) Kesehatan Dalam Penanggulangan Bencana. 2006. Departemen Kesehatan RI. (Online),(http://www.penanggulangankrisis.depkes.go.id/__pub/files84935Buku_Pedoman_SDM_Kes.pdf), Diakses 29 Januari 2016.
Pedoman Penanggulangan Masalah Kesehatan Akibat Kedaruratan Kompleks. 2001. Departemen Kesehatan RI. (Online), (http:// www.depkes.go.id), diakses pada 30 Januari 2016.
Pedoman Teknis Penanggulanan Krisis Akibat Bencana. 2007. Departemen Kesehatan RI. (Online), (http://www.depkes.go.id/resources/download/penanganan-krisis/buku_pedoman_teknis_pkk_ab.pdf), diakses 26 Januari 2016.
Peraturan Kepala Badan Nasional Penaggulangan Bencana No. 4 Tahun 2008 Tentang Pedoman Penyusunan Rencana Penanggulangan Bencana. Badan Nasional Penanggulangan Bencana. (Online), (http://www.bnpb.go.id), diakses 30 Januari 2016.
Simms, Erin. 2013. Disaster Surveillance Capacity In The Unitedstates: Results From A 2012 Cste Assessment. (Online), (http://c.ymcdn.com/sites/www.cste.org/resource/resmgr/EnvironmentalHealth/Disaster_Epi_Baseline731KM.pdf), diakses pada 27 Januari 2016
Ulum, Mochamad Chazienul. 2013. Governance dan Capacity Building dalam Manajemen Bencana Banjir di Indonesia. Jurnal Penanggulangan Bencana, (Online), 4 (2): 5-12, (bnpb.go.id/uploads/migration/pubs/595.pdf), diakses 30 Januari 2016.
Undang-Undang RI No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. (Online), (http://www.bnpb.go.id), diakses 30 Januari 2016.
Pertanyaan
a. Pengenalan dan pengkajian bencana.
Pengenalan kerentanan.
Analisi kemungkinan dampak bencana.
Pilihan tindakan penanggulangan bencana.
Mekanisme penanggulangan dampak bencana.
Uraian langkah diatas adalah…
Proses penyusunan/penulisan rencana penanggulangan bencana
Dasar-dasar penyelenggaraan penanggulangan bencana
Tugas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB)
Langkah-langkah pelaksanaan analisis
Jawaban: A
Penyelengaraan penanggulangan bencana tingkat daerah dilaksanakan oleh…
Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) di tingkat Pusat
Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) di tingkat Daerah
Menteri Kesehatan RI
Dinas Kesehatan Kab/Kota
Jawaban: B
Dalam pengadaan surveilans gizi terdapat langkah penapisan atau skrining. Dalam langkah ini ada syarat agar penapisan dapat dilaksanakan yaitu apabila …
Diperlukan intervensi Pemberian Makanan Tambahan (PMT) darurat terbatas dan PMT terapi.
Perlu dibuat jamban umum yang dapat menampung kebutuhan sejumlah pengungsi.
Diperlukan adanya persediaan obat dan perbekalan Kesehatan sebagai penyangga bila terjadi bencana mulai dari tingkat kabupaten, provinsi sampai pusat.
Pengendalian vektor tidak hanya bisa dilakukan dengan pengelolaan lingkungan
Jawaban : A
3 tahap penanganan korban massal adalah sbb :
Pencarian, pengobatan, pertolongan
Pencarian, penyelamatan korban, pertolongan pertama
Penyelamatan, pengobatan, evakuasi
Pencarian, membuat prioritas korban, penyelamatan
Jawaban : B
Dalam melakukan pengendalian vektor dapat dilakukan dengan beberapa cara, kecuali :
Pembuangan sisa makanan dengan benar
Penggunaan insektisida
Kebiasaan penanganan makanan secara higienis
Pemburuan secara langsung
Jawaban : D