Jurnal Obstetri & Ginekologi, Vol. 15 No. 1 Januari - April 2015 : 34 - 38
Tes HCG Kehamilan & Korelasi Kadar Serum Basal AMH dengan Respons Ovarium terhadap Stimulasi Ovulasi Putu Mahalika, Satyanegara , Ahmad Dori Tiamung 1 Departemen/SMF Obstetri dan Ginekologi 2 Departemen Biomedik FK Andalas ABSTRACT
Anti-Mullerian Hormone (AM H), produced prod uced by pre-antral and antral follicular granulosa cells, has a role in limiting primordial follicular number to develop into primary follicles. Its level can be measured in the serum, which is relatively not fluctuating along the menstrual cycle and its level is decreasing gradually along with the increasing age of a woman. The number of developing follicles depends on the number of remaining follicles in the ovary and the numbers of mature follicles. The number of oocytes obtained in ovarian stimulation depends on the developing follicular number. Therefore, the examination of serum basal ba sal AMH level can indirectly describe ovarian reserve and predict ovarian response on ovulatory stimulation. The objective of this study was to examine correlation of basal serum AMH level and ovarian response with ovulatory stimulation in in vitro fertilization program. Population was women who met the inclusion criteria to participate the in vitro fertilization program in Fertility Clinic, Siloam Hospital, Surabaya, and Graha Amerta, Surabaya, from Februari 2007. Samples comprised 69 persons. AMH level was examined on day 3 menstruation along with the examination of other basal hormones. Data were collected during stimulation process up to ovarian harvesting procedure, which included total gonadothropin ampules, serum E2 level during hCG, pre-ovulatory pre-ovulatory folicular count, and oocyte count. Statistical analysis was undertaken using Pearson’s correlation test to identify intervariable correlation. The result of this study revealed significant correlation between basal serum AMH level and pre-ovulatory follicular count (r = 0.529, p < 0,01), oocyte count (r = 0.535, p < 0.01), serum E2 level during hCG administration (r = 0.456, p < 0.01), and total gonadothropin a mpules per pre-ovulatory follicle (r = -0.311, p < 0.01). PENDAHULUAN
Infertilitas merupakan salah satu masalah dalam kesehatan reproduksi dengan angka kejadian 10 – 10 – 15%. 15%. Angka ini diperkirakan akan semakin meningkat terkait dengan pola hidup, pergaulan bebas, dan semakin banyaknya wanita menunda pernikahan, dan/atau kehamilan karena berbagai alasan terutama pekerjaan. Hadirnya teknologi reproduksi berbantu seperti inseminasi intra uterin dan fertilisasi in vitro memberikan harapan kepada pasangan infertil untuk dapat memiliki keturunan. Sementara itu, tidak semua pasangan infertil dapat memanfaatkan teknologi reproduksi berbantu karena biaya yang relatif mahal dan pusat pelayanan tersebut masih terbatas. Salah satu tahapan dalam program fertilisasi in vitro adalah stimulasi ovarium untuk mendapatkan jumlah oosit yang lebih banyak. Sebelum dilakukan stimulasi ovarium, dilakukan penilaian cadangan ovarium untuk memprediksi respons ovarium terhadap rangsangan gonadotropin yang akan diberikan. Cadangan ovarium mencerminkan jumlah folikel primordial yang masih tersisa pada ovarium dan juga kualitas oosit. 1 Respons ovarium ditentukan oleh jumlah folikel yang berkembang, sedangkan jumlah folikel yang berkembang berkembang ditentukan oleh jumlah folikel primordial. Pada wanita seiring bertambahnya usia terutama tampak semakin jelas pada usia di atas 35 tahun, maka akan terjadi penurunan jumlah folikel primordial sehingga jumlah folikel yang berkembang juga semakin berkurang. Bila dilakukan stimulasi ovulasi akan didapatkan jumlah
folikel matang lebih sedikit serta diperlukan jumlah gonadotropin lebih banyak. Penilaian cadangan ovarium sangatlah penting untuk menentukan strategi stimulasi dan menentukan prognosis keberhasilan stimulasi. Selama ini parameter yang digunakan untuk mengetahui cadangan ovarium adalah pengukuran kadar serum basal FSH, E2, atau kombinasi FSH dan E2, serta hitung jumlah folikel antral. Kedua parameter tersebut sangat berfluktuasi sehingga kurang mencerminkan keadaan ovarium yang sesungguhnya. Oleh karena itu beberapa penelitian dilakukan untuk mencari parameter lain yang dapat menggambarkan cadangan ovarium dengan akurasi yang lebih baik di antaranya adalah pemeriksaan kadar serum hormon anti-Mullerian a nti-Mullerian (AMH). AMH adalah suatu glikoprotein dimerik yang terdiri dari 2 monomer dengan ikatan disulfida, termasuk dalam golongan Transforming Growth Factor- β (TGF-β) (TGF-β) menyebabkan regresi duktus Mulleri selama perkembangan fetus laki-laki.2 Ekspresi mRNA AMH didapatkan pada sel granulosa folikel primer anak tikus dan tikus dewasa, dan kemudian pada folikel preantral kedua, folikel antral kecil selama perkembangan pubertas pertama, serta selama siklus estrus. 3 Pada wanita AMH dihasilkan oleh sel granulosa, berfungsi membatasi jumlah folikel primordial berkembang ke tahap berikutnya. AMH diduga berperan pada fase transisi dari folikel primordial inaktif menjadi folikel yang berkembang karena rangsangan gonadotropin. 4 Oleh karena sampai saat ini belum ada cara untuk melakukan pengukuran jumlah folikel primordial secara langsung maka pengukuran kadar serum AMH dapat memberikan gambaran cadangan ovarium pada seorang wanita. Serum wanita
34
Jurnal Obstetri & Ginekologi, Vol. 15 No. 1 Januari - April 2015 : 34 - 38
dewasa mengandung kadar AMH dalam jumlah yang dapat diukur selama masa reproduksi. 5 Produksi AMH tidak dipengaruhi oleh mekanisme umpan balik pada poros hipotalamus-pituitari-ovarium sehingga kadarnya dalam serum tidak terlalu berfluktuasi. Kadar AMH akan semakin menurun seiring bertambahnya usia seorang wanita6 dan berhubungan dengan respons ovarium yang jelek ( poor response) pada program fertilisasi in vitro meskipun kadar FSH masih nor mal.7
HGC dalam urine akan diketahui pada wanita hamil karena HGC terbentuk hanya pada wanita yang sedang hamil. Adanya HCG dapat dideteksi 8-9 hari setelah adanya peristiwa ovulasi. HCG dalam urine berisi dua reagen, pertama adalah suspensi partikel lateks yang dilapisi atau terikat secara kovalen dengan HCG dan yang lain berisi larutan antibodi HCG. Bila terdapat HCG dalam urine, HCG terikat pada antibodi dan dengan demikian akan mencegah aglutinasi partikel lateks yang dilapisi HCG yang diperlihatkan oleh antibodi tersebut. Dengan demikian uji kehamilan positif, apabila tidak terjadi aglutinasi, dan kehamilan negatif jika terjadi aglutinasi. Identifikasi HCG ini dapat dilakukan pada awal-awal kehamilan.
Kadar serum basal AMH dapat dipakai untuk memprediksi respons ovarium terhadap stimulasi ovulasi. Penelitian yang dilakukan Renato Fanchin, dkk mendapatkan ada korelasi positif antara kadar serum basal AMH dengan jumlah estradiol total dan jumlah folikel antral saat pemberian hCG serta jumlah oosit yang didapat saat petik ovum. Hal yang sama ditunjukkan pada penelitian Seifer,dkk bahwa ada korelasi positif antara kadar serum basal AMH dengan jumlah oosit pada saat petik ovum pada program fertilisasi in vitro.7,8
Hormone gonadotropin chronik (HCG) merupakan hormone glikoprotein yang unik untuk plasenta yang sedang tumbuh. Sebelum immunoassay tersedia paa tahun 1960-an uji – uji kehamilan menggunakan bioassay yang memerlukan hewan (kelinci, tikus, dan katak) untuk membuktkan adanya HCG dalam serum atau urine. Tes yang menggunakan kelinci, tikus, dan katak pada waktu ini telah diganti oleh tes imunologik yang menggunakan antibody terhadap HCG, (Sacher, 2004)
HCG (Human Chorionic Gonadotropin) merupakan suatu hormon yang dihasilkan oleh jaringan plasenta yang masih muda dan dikeluarkan lewat urin. Human Chorinic Gonadotropin adalah suatau glikoprotein yang mengandung galaktosa dan heksosamin. Kadar HCG meningkat dalam darah dan urine segera setelah implantasi ovum yang sudah dibuahi. Dengan demikian ditemukannya HCG merupakan dasar bagi banyak tes kehamilan (Murray et al, 1999). Tes kehamilan menggunakan urine, karena urine dalam wanita hamil mengadung HCG (Human Chorionic Gonadotropin).
Dari kelima reaksi yang dilakukan untuk menguji adantya kehamilan pada seorang wnita, yang banyak di gunakan pada rumah sakit besar maupun kecil adalah reaksi Galli Mainini hal ini disebabkan karena reaksi ini menggunakan kodok yang mudah di dapat. Kodok yang di gunakan adalah kodok biasa yaitu Buffo vulgaris dengan berat katak antara 25 – 30 gram yang hidup di padang rumput dekat rumah – rumah, tetapi katak jantan tersebut tidak mempunyai sel mani. Jadi kodok ini sebelum disuntikan dengn urin wanita yang sedang hamil, diperiksa terlebih dahulu urin katak tersebut apakah mengandung sel mani atau tidak mengandung sel mani, lalu urin penderiuta disuntikkan pada katak, jika mengandung sel mani berarti menandakan bahwa reaksi kehamilan positif, sehingga dapat di ketahui pregnandiol mempengaruhi keluarnya sel mani. Telah kita ketahui bahwa dalam melakukan reaksi Galli Mainini harus di gunakan katak Buffo vulgaris jantan. Adapun ciri – ciri dari katak Buffo vulgaris jantan adalah sebagai berikut : 1. Pada telapak kaki depan terdapat penebalan berwarna hitam. 2. Pada kulit leher bagian ventral terdapat warna agak merah yang kekuning – kuningan. 3. Warna tubuh biasanya lebih agak gelap di banding dengan betina. Hormone HCG tidak hanya terdapat pada perempuan hamil saja, tetapi terdapat juga pada cancer dari ovarium, permulaan menopause, kehamilan yang abnormal, abnrtus, tumor dari testis, dan lain – lain.
HCG yaitu suatu hormon glikoprotein yang mempertahankan system reproduksi wanita dalam keadaan cocok untuk kehamilan . HCG disintesa pada retikulum endoplasma kasar, glikosilasi disempurnakan apparatus golgi . HCG dapat juga digunakan dalam upaya mersinkronkan ovulasi dan perkawianan yang diperlukan agar terjadi suatu konsepsi . Bila terdapat HCG dalam urine , HCG terikat pada antibodi dan dengan demikian akan mencegah aglutinasi partikel lateks yang dilapisi HCG yang diperlihatkan oleh antibodi tersebut. Dengan demikian uji kehamilan positif apabila tidak terjadi aglutinasi, dan kehamilan negatif jika terjadi aglutinasi. HCG berfungsi untuk mempertahankan corpus luteum yang membuat estrogen dan progesteron sampai saat plasenta terbentuk sepenuhnya dan dapat membuat sendiri cukup estrogen dan progesteron. Pada waktu itu kadar HCG juga turun. . Human Chorionic Gonadotropic adalah hormon yang terdapat pada urine semasa kebuntingan pada manusia. Oleh sebab itu HCG hanya dapat digunakan pada manusia saja, sedangkan pada hewan tidak dapat digunakan.
35
Jurnal Obstetri & Ginekologi, Vol. 15 No. 1 Januari - April 2015 : 34 - 38
Penetapan HCG dalam urin sejak lama di pakai sebagai indikator kehamilan. Saat ini uji serologic, HCG dalam cairan tubuh, di samping digunakan untuk kehamilan, juga dapat dipakai untuk menunjang diagnosis kehamilan I luar kandungan, memperkirakan terjadinya abnotus, tumor tiofoblastik, tumor testicular, bahkan beberapa jenis tumor lain yang tidak berasal dari tiofoblas, (Kresno, 2009).
ke RS, puskesmas, atau pada bidan setempat. d. Hasil pemeriksaan mudah dibaca sehingga tidak perlu diragukan. Meskipun banyak keuntungan dari pemeriksaan metode ini, tetapi juga terdapat beberapa kekurangan yaitu : tidak diketahui kadar HCG secara pasti, membutuhkan biaya yang mahal. Test kehamilan metode ini terutama digunakan untuk mendeteksi kehamilan pada awal setelah terjadinya ovulasi. HCG dapat di deteksi dalam urine wanita hamil kira-kira 7 hari setelah pembuahan sel telur.
BAHAN DAN METODE
Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional untuk mengukur kadar serum basal AMH pada wanita yang dilakukan stimulasi ovulasi pada program fertilisasi in vitro (IVF/ICSI). Sampel penelitian adalah semua wanita yang telah memenuhi syarat untuk mengikuti program fertilisasi in vitro di RS Siloam dan RSU Dr. Soetomo Surabaya sejak bulan Februari 2007 sampai dengan jumlah sampel yang diperlukan terpenuhi. Besar sampel penelitian adalah 69 sampel. Untuk menilai hubungan antara serum basal AMH dengan respons stimulasi ovulasi digunakan uji Pearson’s correlation dengan Program SPSS. Pemeriksaan HCG dengan metode imunokromatografi Pemeriksaan HCG immunokromatografi merupakan reaksi antara urine wanita hamil yang mengandung Į dan ȕ HCG (monoclonal HCG lengkap) dengan anti Į dan anti ȕ HCG pada test line (T) dan control line (C). Apabila stick planotest dimasukkan dalam urine, maka urine akan meresap secara kapiler, sehingga terjadi ikatan antara urine yang mengandung Į dan ȕ HCG dengan anti Į dan anti ȕ HCG pada test line (T) dan control line (C) akibatnya akan timbul garis warna merah pada test line (T) dan control line (C), garis warna merah ini menunjukkan hasil yang positif. Dan apabila garis warna.merah tidak tampak pada test line (T) atau hanya terdapat pada control line (C) menunjukkan hasil test yang negative, karena tidak terjadi reaksi antara monoklonal HCG lengkap dengan anti Į dan anti ȕ HCG. Garis warna merah yang terjadi pada test line (T) dapat terjadi karena pada test telah disensitisasi Ag dan konjugat ditambah urine sehingga kromogen berikatan dengan Ab maka akan terbentuk reaksi garis warna merah. Konjugat berisi Ab yang ditempeli enzyme jika kromogen bereaksi dengan enzyme (peroksidase), maka warna tereduksi sehingga tidak terbentuk warna merah tetapi apabila warna teroksidasi akan terbentuk warna merah pada test line (T). Pada pemeriksaan kehamilan menggunakan dapat menggunakan sampel urin karena pengambilan sampel mudah, praktis, dan hanya memerlukan tempat penampung urin saja. Keuntungan pemeriksaan HCG secara immunokromatograÞ : a. Cepat, sehingga waktu yang dibutuhkan sangat singkat b. Mudah didapat karena diperdagangkan secara komersil c. Pasien dapat melakukan sendiri tanpa pergi
Prinsip a. HCG Rapid Test Sample Urine yang mengandung HCG akan bergerak secara kapilaritas pada sepanjang membrane , kemudian akan bereaksi drngan konjugat warna. Sampel positif bereaksi dengan antibody spesifik anti HCG yang melapisi membran sehingga terbentuk garis warna pada test. b. HCG Pregnancy latex Tes hCG-lateks adalah prosedur aglutinasi geser cepat, dikembangkan untuk deteksi langsung dari human chorionic gonadotropin (hCG) dalam urin. Uji yang dilakukan dengan menguji suspensi partikel latex yang dilapisi dengan monoklonal antibodi anti hCG terhadap sampel yang tidak diketahui. Ada atau tidak adanya aglutinasi terlihat, menunjukkan ada atau tidak adanya hCG dalam sampel diuji II.
III.
36
Alat dan Bahan a. HCG Urine Rapid Test Alat : 1. HCG Rapid Test 2. Wadah Sampel b. HCG Pregnancy latex Alat : 1. Slide warna 2. Disposable dropper c. Bahan : 1. Urine segar 2. Tissue Cara Kerja a. One Med HCG Urine Pregnancy Test. 1. Di gunakan APD secara baik benar dan lengkap. 2. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dan dipastikan siap untuk digunakan. 3. Ditampung Urine Segar (Urine pertama di pagi hari setelah bangun tidur) dalam wadah yang bersih. 4. Dicelupkan strip ke dalam urine sesuai dengan tanda panah batas akhir maksimum selama 30-60 detik. 5. Diangkat strip , ditunggu 1-3 menit dan di baca hasilnya. b. HCG Pregnancy latex
Jurnal Obstetri & Ginekologi, Vol. 15 No. 1 Januari - April 2015 : 34 - 38
1. 2.
3. 4. 5.
6.
7.
8.
9. IV.
Di gunakan APD secara baik benar dan lengkap. Disiapkan alat dan bahan yang akan digunakan dan dipastikan siap untuk digunakan. Di Bawa reagen tes dan sampel ke suhu kamar (Catatan 1) Dihomogenkan Larutan Untuk mendapatkan sampel yang homogen. Diteteskan 2 tetes (100 ul) urin yang diuji ke salah satu lingkaran pada kartu . Diteteskan 1 tetes kontrol positif dan 1 tetes kontrol negatif kedalam dua lingkaran yang berbeda. Tambahkan 1 tetes hCG-lateks reagen ke setiap lingkaran di sebelah sampel yang akan diuji. Dicampurkan isi dari setiap lingkaran dengan pipet sekali pakai sampai tersebar di seluruh wilayah lingkaran. Digunakan pipet terpisah untuk setiap campuran. Diputar slide perlahan dengan menggunakan rotator mekanik (100 rpm) untuk jangka waktu 2 menit Diamati adanya aglutinasi
Interprestasi Hasil : a. One Med HCG Urine Pregnancy Test.
Positif : Muncul 2 garis merah muda dan mengindikasikan Hamil Negatif : Muncul satu garis merah muda, dan mengindikasikan tidak hamil b. HCG Pregnancy latex Positif : Terlihat adanya aglutinasi secara makroskopis Negatif : suspense halus dengan Tidak adanya aglutinasi, seperti yang di tunjukan oleh control negatif HASIL DAN PEMBAHASAN Tabel 1. Karakteristik subjek Karakteristik Sampel Jumlah Umur (tahun) 25 – 29 17 30 – 34 22 35 – 39 26
% 24,64 31,88 37,68
> 40 Lama infertilitas (tahun) 1 – 5 >5 Faktor penyebab infertilitas Suami Obstruksi tuba falopii Kombinasi (suami + tuba) Unexplained SOPK Endometriosis
4 6,00 34 35 25 16 14 6 5 3
49,28 50,72 36,23 23,89 20,29 8,69 7,25 4,34
Umur sampel penelitian berkisar antara 25 sampai 43 tahun dengan rerata 33,26 ± 4,64 tahun, sebagian besar sampel (56,52%) termasuk kelompok usia reproduksi sehat (< 35 tahun). Penyebab infertilitas terbanyak adalah faktor suami (36,23%), dan bila digabungkan dengan faktor obstruksi tuba (23,89%) serta kombinasi kedua faktor yang didapatkan bersama-sama (20,29%) jumlahnya menjadi 79,7%. Pada tahapan selanjutnya 1 dari 69 sampel tersebut di atas karena kesulitan teknis tidak bisa dilakukan prosedur petik ovum padahal saat pemberian hCG didapatkan 4 buah folikel preovulasi, oleh karena itu diasumsikan tidak didapatkan jumlah oosit. Sedangkan 3 orang lagi mengalami kegagalan stimulasi dimana tidak dijumpai adanya folikel preovulasi (no response), oleh karenanya diberikan nilai nol pada variabel jumlah folikel preovulasi dan oosit, tetapi tetap disertakan pada perhitungan statistik. Didapatkan 21 kehamilan biokimiawi (30,43%) dengan sebaran lebih banyak pada umur dibawah 35 tahun sebesar 18 kehamilan (85,7%) dan 3 kehamilan pada kelompok umur ≥ 35 tahun (14,3%). Karena kehamilan bukan merupakan variabel yang disertakan dalam penelitian ini, selanjutnya tidak dimasukkan dalam uji statistik. Sebelum dilakukan uji statistik untuk membuktikan korelasi kadar serum basal AMH dengan respons ovarium terhadap stimulasi terlebih dahulu dilakukan uji Kolmogorov-Smirnov untuk menguji normalitas distribusi variabel. Hanya variabel dosis gonadotropin per folikel preovulasi didapatkan p < 0,005 (p = 0,004), artinya distribusi variabelnya tidak normal sehingga untuk perhitungan statistik dipakai uji nonparametrik. Sedangkan kadar serum AMH, jumlah folikel preovulasi, jumlah oosit, dan kadar estradiol saat hCG didapatkan p > 0,005, dengan demikian untuk perhitungan statistik dipakai uji parametrik dengan distribusi normal. Korelasi dinilai dengan perhitungan komputer ( Pearson’s correlation test ). Pada penelitian ini didapatkan korelasi positif antara kadar serum basal AMH dengan jumlah folikel preovulasi saat pemberian hCG (r = 0,529, r 2 = 0,280, dan p = 0,000) dengan derajat kemaknaan 95%. Dengan analisis regresi didapatkan persamaan jumlah
37
Jurnal Obstetri & Ginekologi, Vol. 15 No. 1 Januari - April 2015 : 34 - 38
folikel preovulasi = 5,87 + 0,53 x AMH. Artinya setiap peningkatan 1 unit kadar serum basal AMH akan didapatkan peningkatan jumlah folikel preovulasi 0,53 buah. Bila nilai kadar serum basal AMH = 1 akan didapatkan 6,4 folikel preovulasi. Didapatkan korelasi positif antara kadar serum basal AMH dengan kadar serum E2 saat pemberian hCG pada derajat kemaknaan 95% (r = 0,456, r 2 = 0,21, dan p = 0,000). Dengan analisis regresi didapatkan persamaan kadar E2 serum saat hCG = 1299,56 + 78,55 x AMH. Setiap peningkatan 1 unit kadar AMH basal akan terjadi peningkatan kadar E2 saat pemberian hCG sebesar 78,55. Pada derajat kemaknaan yang sama juga didapatkan korelasi positif antara kadar serum basal AMH dengan jumlah oosit yang diperoleh saat prosedur petik ovum dengan koefisien korelasi (r) = 0,535 dan r 2 = 0,287 (p = 0,000). Dengan analisis regresi didapatkan rumus jumlah oosit = 3,89 + 0,46 x AMH. Akan didapatkan peningkatan jumlah oosit pada saat petik ovum sebanyak 0,46 buah pada setiap peningkatan 1 unit kadar serum basal AMH. Dosis gonadotropin yang dimaksud pada penelitian ini adalah jumlah total ampul gonadotropin yang dipakai pada stimulasi per jumlah folikel preovulasi yang dijumpai saat pemberian hCG. Didapatkan korelasi negatif antara kadar serum basal AMH dengan ampul gonadotropin per folikel dengan r = -0,311 dan r 2 = 0,10 (p = 0,009, CI = 95%). Dengan analisis regresi didapatkan rumus dosis gonadotropin (ampul/folikel) = 5,13 + (-0,27) AMH, artinya pada setiap peningkatan 1 unit kadar serum basal AMH akan terjadi pengurangan 0,27 ampul gonadotropin per folikel preovulasi. Didapatkan korelasi negatif antara umur dengan kadar serum basal AMH dengan r = -0,482 , r 2 = 0,232 (p = 0,000, CI = 95%). Dengan analisis regresi didapatkan persamaan untuk memprediksi kadar serum basal AMH yaitu 19,10 + (-0,44) umur. Artinya setiap peningkatan umur 1 tahun akan terjadi penurunan kadar serum basal AMH sebesar 0,44 unit. Pada penelitian ini didapatkan korelasi yang bermakna antara kadar serum basal AMH dengan respons ovarium terhadap stimulasi ovulasi pada program fertilisasi in vitro. Respon ovarium dinilai dari jumlah folikel preovulasi dan kadar estradiol saat pemberian hCG, jumlah ampul gonadotropin eksogen per folikel preovulasi, serta jumlah oosit saat petik ovum. Terdapat korelasi yang bermakna antara kadar serum basal AMH dengan jumlah folikel preovulasi saat pemberian hCG. Dengan Pearson correlation test didapatkan r = 0,529, r 2 = 0,28, dan p = 0,000. Sehingga semakin tinggi kadar serum basal AMH akan didapatkan semakin banyak folikel preovulasi. Dengan analisis regresi didapatkan persamaan jumlah folikel preovulasi = 5,87 + 0,53 AMH. Artinya pada nilai AMH 1 ng/mL akan didapatkan 6,4 folikel preovulasi, atau setiap peningkatan 1 ng/mL serum basal AMH akan terjadi peningkatan 0,53 folikel preovulasi. Penelitian Renato Fanchin,8 dkk terhadap 93 orang wanita yang mengikuti
program fertilisasi in vitro juga mendapatkan korelasi yang bermakna antara kadar serum basal AMH dengan jumlah folikel preovulasi (r = 0,36 dan p < 0,002). Terdapat korelasi bermakna antara kadar serum basal AMH dengan jumlah oosit (r = 0,535 , r 2 = 0,29 dan p = 0,000). Pada analisis regresi didapatkan persamaan jumlah oosit saat petik ovum = 3,89 + 0,46 AMH, artinya bila nilai kadar serum basal AMH 1 ng/mL akan didapatkan 4,35 buah oosit saat petik ovum, atau setiap peningkatan kadar serum basal AMH 1 ng/mL akan didapatkan peningkatan 0,46 buah oosit. David Randel, 9 dkk juga mendapatkan korelasi bermakna antara kadar serum basal AMH dengan jumlah oosit dengan r = 0,734, p = 0,000. Penelitian yang dilakukan Van Rooij, 10 dkk juga mendapatkan ada korelasi bermakna antara kadar serum basal AMH dengan jumlah oosit saat petik ovum (r = 0,57, p < 0,01). Demikian juga penelitian Renato Fanchin, 8 dkk yang mendapatkan korelasi bermakna kadar serum basal AMH dengan jumlah oosit (r = 0,43, p < 0,001). Sedangkan dengan jumlah ampul gonadotropin yang dipakai untuk stimulasi didapatkan korelasi negatif yang bermakna dengan kadar serum basal AMH (r = -0,311, r 2 = 0,10, dan p = 0,009). Pada analisis regresi didapatkan persamaan jumlah ampul gonadotropin per folikel preovulasi yang dipakai untuk stimulasi akan sama dengan 5,13 + (-0,27) AMH. Setiap peningkatan kadar serum basal AMH akan semakin sedikit gonadotropin yang dipakai untuk stimulasi. Pada kadar AMH 1 ng/mL akan dibutuhkan 4,86 ampul gonadotropin eksogen untuk menumbuhkan 1 folikel preovulasi. Pada penelitian ini didapatkan korelasi bermakna antara kadar serum basal AMH dengan kadar serum E2 saat pemberian hCG (r = 0,456, r 2 = 0,21, dan p = 0,000). Pada analisis regresi didapatkan persamaan kadar serum E2 saat hCG sama dengan 1.299,56 + 78,55 AMH. Bila kadar serum basal AMH 1 ng/mL maka kadar serum E2 saat hCG sama dengan 1.378,11 pg/mL atau setiap peningkatan 1 ng/mL kadar serum basal AMH akan terjadi peningkatan kadar serum E2 sebesar 78,55 pg/mL. Hasil yang sama diperoleh pada penelitian Renato Fanchin, 8 dkk yang mendapatkan korelasi bermakna antara kadar serum basal AMH dengan kadar serum E2 saat hCG (r = 0,25, p < 0,04). Pada uji korelasi didapatkan korelasi negatif bermakna antara umur dengan kadar serum basal AMH ( r = -0,482, r 2 = 0,23, dan p = 0,000). Pada analisis regresi didapatkan persamaan kadar serum basal AMH sama dengan 19,10 + (-0,44) umur, dimana akan terjadi penurunan kadar serum basal AMH 0,44 ng/mL setiap penambahan umur 1 tahun. Dengan uji t juga didapatkan rerata kadar serum AMH pada kelompok umur ≤ 35 tahun 5,749 ± 4,554 lebih tinggi dari kelompok umur > 35 tahun 2,131 ± 1,810 (p = 0,001). Sementara itu didapatkan korelasi yang tidak bermakna antara umur dengan kadar serum basal FSH (r = 0,163, p = 0,246) maupun umur dengan kadar serum basal E2 (r = 0,106, p = 0,388). Hal ini
38
Jurnal Obstetri & Ginekologi, Vol. 15 No. 1 Januari - April 2015 : 34 - 38
mungkin karena jumlah sampel penelitian tidak mencukupi untuk uji beda kadar serum basal FSH dan E2 pada kedua kelompok umur tersebut di atas. Van Rooij, 10 dkk pada penelitian terhadap 119 pasien yang mengikuti program fertilisasi in vitro melakukan pemeriksaan kadar serum basal E2, FSH, inhibin, dan AMH, serta hitung jumlah folikel antral. Pada uji korelasi hanya kadar serum basal AMH dan hitung folikel antral yang memiliki korelasi bermakna dengan umur (r = -0,30, p < 0,005). De Vet, 6 dkk yang melakukan pemeriksaan serum AMH selama 2 kali dengan interval 3 tahun mendapatkan bahwa kadar serum AMH akan menurun secara bermakna dengan bertambahnya umur wanita sementara belum terjadi perubahan pada kadar serum FSH, inhibin B, dan jumlah folikel antral. Van Rooij, 10 dkk yang melakukan penelitian pada wanita dengan ovulasi normal dengan interval 4 tahun juga mendapatkan bahwa kadar serum AMH memiliki akurasi terbaik dalam memprediksi terjadinya menopause (ROC AUC 0,87). Pada penelitian ini didapatkan 9 sampel dengan SOPK. Dengan uji t didapatkan rerata kadar serum AMH kelompok SOPK 9,282 ± 7,821 secara bermakna lebih tinggi dibandingkan pada non SOPK 3,833 ± 2,866 (p = 0,000). Hal ini sesuai dengan teori bahwa terjadi gangguan pada seleksi folikel dominan pada pasien SOPK sehingga jumlah folikel antralnya lebih banyak. Meskipun folikel pada SOPK masih peka terhadap rangsangan gonadotropin tetapi rerata jumlah folikel preovulasi berbeda tidak bermakna antara kelompok SOPK (n = 9) dan non-SOPK (n = 60) 10,333 ± 4,183 dengan 7,983 ± 4,196 (p = 0,122). Hal ini disebabkan oleh karena dosis gonadotropin yang dipakai pada stimulasi biasanya lebih kecil pada pasien SOPK pada kelompok umur yang sama, untuk mencegah terjadinya sindroma hiperstimulasi. Pigny P, 11 dkk mendapatkan bahwa kadar serum AMH 2 – 3 kali lebih tinggi pada wanita SOPK dibandingkan wanita normal, peningkatan kadar serum AMH disebabkan oleh meningkatnya jumlah folikel antral. Sementara itu Sir Petermann T, 12 dkk melakukan penelitian pada bayi usia 2 – 3 bulan dan wanita prepubertas (4 – 7 tahun) dari ibu SOPK dibandingkan dengan bayi dan wanita prepubertas dari ibu tanpa SOPK. Didapatkan kadar serum AMH secara bermakna lebih tinggi pada bayi dan wanita prepubertas dari ibu SOPK dibandingkan kontrol (20,4 ± 15,6 vs 9,16 ± 8,6, p = 0,024, dan 14,8 ± 7,7 vs 9,61 ± 4,4, p = 0,007). Dengan perhitungan yang sama didapatkan korelasi bermakna antara kadar serum basal FSH dengan jumlah folikel preovulasi saat pemberian hCG (r = 0,430, r 2 = 0,185, dan p = 0,000), tetapi didapatkan korelasi tidak bermakna antara kadar serum basal E2 dengan jumlah folikel preovulasi saat pemberian hCG (r = 0,080, r 2 = 0,006, dan p = 0,511). Koefisien korelasi kadar serum basal AMH dengan jumlah folikel preovulasi lebih besar dibandingkan koefisien korelasi kadar serum basal FSH dengan jumlah folikel preovulasi (r = 0,529,
r 2 = 0,28 vs r = 0,430, r 2 = 0,185). Dengan memakai kriteria Chicago (Chicago Fertility Center) jumlah folikel preovulasi dibagi menjadi 2 kelompok yaitu kelompok dengan respons jelek bila jumlah folikel preovulasi kurang dari 5 dan kelompok dengan respons baik bila jumlah folikel preovulasi minimal 5 buah. Dari perhitungan statistik didapatkan nilai cut off kadar serum basal AMH adalah 1,815 ng/mL dengan sensitivitas 83,9% dan spesifisitas 77% (OR = 17,407, p = 0,000). Tabel 2. Hubungan kadar AMH dan respons ovarium Jumlah Folikel Preovulasi Kadar serum Total AMH >5 <5 47 (83,9 %) 3 (23,1 %) 50 ≥ 1,815 < 1,815 9 (16,1 %) 10 (76,9 %) 19 Total 56 (100%) 13 (100%) 69 Pada penelitian retrospektif yang melibatkan 109 wanita yang mengikuti program fertilisasi in vitro didapatkan bahwa wanita dengan kadar AMH < 1,1 ng/ml berkaitan dengan kegagalan program fertilisasi in vitro. 13 Hal ini telah dikonfirmasi oleh penelitian Tremellen, 14 dkk dengan sampel lebih besar, 328 orang, dan dengan memakai batas nilai AMH 1,13 ng/ml mampu memprediksi cadangan ovarium dengan sensitivitas 80% dan spesifisitas 85%.
KESIMPULAN
Terdapat korelasi bermakna kadar serum basal AMH dengan jumlah folikel preovulasi saat pemberian hCG (r = 0,529, p < 0,01), kadar serum E2 saat pemberian hCG (r = 0,456, p < 0,01), jumlah oosit saat petik ovum (r = 0,535, p < 0,01), dan jumlah ampul gonadotropin per folikel preovulasi (r = -0,311, p < 0,01).
DAFTAR PUSTAKA
1. Te Velde ER, Pearson PL. The variability of female reproductive ageing. Human Reprod Update. 2002; 8:141 – 54. 2. Josso N, Racine C, di Clemente N, Rey R, Xavier F. The role of anti-mullerian hormone in gonadal development. Mol Cell Endocrinol. 198; 145:3 – 7. 3. Baarends WM, Uilenbroek JT, Kramer P, Hoogerbrugge JW, van Leeuwen EC, Themmen AP et al. Anti-mullerian hormone and anti-mullerian hormone type II receptor mRNA expression in rat ovaries during postnatal development, the estrous cycle and gonadotropin-induced follicle growth. Endocrinology. 1995; 136:4951 – 62. 4. Durlinger AL, Kramer P, Karels B, de Jong FH, Uilenbroek JT, Grootegoed A et al. Control of primordial recruitment by anti-mullerian hormone in the mouse ovary. Endocrinology. 1999; 140:5786 – 9. 5. Lee MM, Donahoe PK, Hasegawa T, Silverman B, Crist GB, Best S, et al. Mullerian inhibiting substance
39
Jurnal Obstetri & Ginekologi, Vol. 15 No. 1 Januari - April 2015 : 34 - 38
in humans: normal levels from infancy to adulthood. J Clin Endocrinol Metab. 1996; 81:571 – 6. 6. DeVet A, Laven JS, de Jong FH, Themmen AP, Fauzer BC. Anti-mullerian hormone serum levels: a putative marker for ovarian aging. Fertil Steril. 2002; 77:357 – 62. 7. Seifer DB, MacLaughlin DT, Christian BP, Feng B, Shelden RM. Early follicular serum mullerian inhibiting substance levels are associated with ovarian response during assisted reproductive technology cycles. Fertil Steril. 2002; 77:468 – 71. 8. Fanchin R, Schonauer LM, Righini C, Frydman N, Frydman R, Taieb J. Serum anti-mullerian hormone dynamics during controlled ovarian hyperstimulation. Hum Reprod. 2003; 18:328 – 32. 9. Randel CD, Duddy S, Tono Djuwantono. Hubungan kadar serum AMH hari ketiga dengan jumlah oosit saat petik ovum pada wanita yang mendapat hiperstimulasi ovarium terkontrol dalam program fertilisasi in vitro. Bandung: Fakultas Kedokteran Universitas Padjadjaran; 2007. 10. Van Rooij IAJ, Broekmans FJM, Fauser BCJM, Banesi LFJMM, de Jong FH, Themmen APN. Serum
anti-mullerian hormone levels: a novel measure of ovarian reserve. Human Reproduction. 2002; 17:3065 – 71. 11. Pigny P, Merlen E, Robert Y, Cortet-Rudelli C, Decanter C, Jonard S, et al. Elevated serum level of anti-mullerian hormone in patients with polycystic ovary syndrome: relationship to the ovarian follicle excess and to the follicular arrest. J Clin Endocinol Metab. 2003; 88:5957 – 62. 12. Petermann TS, Codner E, Maliqueo M, Echiburu B, Hitschfeld C, Crisosto N, et al. Increase anti-mullerian hormone serum concentrations in prepubertal daughters of women with polycystic ovary syndrome. J Clin Endocrinol Metab. 2006; 91:3105 – 9. 13. Hazout A, Bouchard P, Seifer DB, Aussage P, Junca AM, Cohen-Bacrie P. Serum anti-mullerian hormone/mullerian-inhibiting substance appears to be a more discriminatory marker of assisted reproductive technology outcome than FSH, inhibin B or estradiol. Fertil Steril. 2004; 82:1323 – 9. 14. Tremellen KP, Kolo M, Gilmore A, Lekamge DN. Anti-mullerian hormone as a marker of ovarian reserve. Aust NZ J Obstet Gynaecol. 2005; 45:20 – 4.
40