TUGAS KELAS GEOLOGI MINYAK DAN GAS BUMI PE TROLE TROLE UM SYSTEM SYSTEM DI CEKUNGAN JAWA TIMUR
Oleh :
SAVA SINTYA LARASATI
115.160.028 KELAS B
JURUSAN TEKNIK GEOFISIKA FAKULTAS TEKNOLOGI MINERAL UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL “VETERAN”
YOGYAKARTA 2018
PE TROLE UM SYSTEM DI CEKUNGAN JAWA TIMUR
Gambar 1. Zonasi fisiografi regional Pulau Jawa bagian tengah dan timur (pembagian mengikuti Pannekoek, 1949; van Bemmelen, 1949).
Kenampakan fisiografi tersebut dikontrol oleh tatanan tektonik Pulau Jawa saat ini, yaitu terkait dengan kehadiran busur gunungapi di tepian konvergensi lempeng litosferik (Gambar 3).
Gambar 2. Diagram skematik unsur-unsur tektonik Jawa Timur (Husein, 2015).
1.1. ZONA PERBUKITAN REMBANG
Perbukitan Rembang merupakan suatu perbukitan antiklinorium yang memanjang dengan arah timur-barat (T-B) di sisi utara Pulau Jawa. Zona ini membentang dari bagian utara Purwodadi hingga ke Pulau Madura. Lipatan-lipatan dengan sumbu memanjang berarah timur-barat, dengan panjang dari beberapa kilometer hingga mencapai 100 km (Antiklin Dokoro di utara Grobogan). Zona Rembang terbagi menjadi dua, yaitu Antiklinorium Rembang Utara dan Antiklinorium Rembang Selatan (Van Bemmelen, 1949). Antiklinorium Rembang Selatan juga dikenal sebagai Antiklinorium Cepu. Kedua zona antiklinorium tersebut dipisahkan oleh lembah aliran Sungai Lusi di bagian barat, dan lembah aliran Sungai Kening (anak sungai Bengawan Solo) di bagian timur.
Proses pengelupasan (denudasi) di Zona Rembang hanya dilakukan oleh sungai-sungai kecil yang bermuara langsung ke pesisir utara Pulau Jawa, sehingga tidak terbentuk delta-delta yang cukup signifikan di kawasan tersebut. Perbukitan lipatan di Zona Rembang umumnya tersusun secara en-echelon ke arah kiri (left stepping ), mengindikasikan kontrol patahan batuan alas (basement faults) geser sinistral berarah timur-timurlaut - barat-baratdaya (TTL-BBD) yang membentuk antiklinorium Rembang tersebut (Husein et al ., 2015). Pola ini dapat diamati pada rangkaian perbukitan deretan Antiklin Dokoro hingga Antiklin Lodan (baratlaut Tuban) di Zona Rembang bagian utara, dan rangkaian perbukitan deretan Antiklin Gabus (baratlaut Randublatung) hingga Antiklin Ledok (utara Cepu). a. Stratigrafi Regional Perbukitan Rembang
Berdasarkan data bawah permukaan dari eksplorasi hidrokarbon di kawasan ini, satuan stratigrafi yang tertua di atas batuan dasar adalah Formasi Ngimbang. Namun formasi ini tidak tersingkap di permukaan. 1. Formasi Kujung
Formasi Kujung merupakan satuan stratigrafi tertua yang tersingkap, terutama tersusun oleh batulempung dengan sisipanbatugamping dan batupasir, terutama di bagian bawah. Batugamping di bagian bawah ini sering disebut sebagai Batugamping Kranji. Formasi ini diendapkan lingkungan paparan tengah hingga paparan luar.
Gambar 3. Kolom stratigrafi Cekungan Jawa Timur Utara.
2. Formasi Prupuh
Lokasi tipe formasi ini terletak di Desa Prupuh, Kecamatan Paciran, dengan stratotipe berupa batugamping bioklastik berlapis tebal, keras, kaya akan fosil Orbitoid, yang berlapis dengan batugamping kapuran berwarna putih kotor. Pada bagian bawah formasi ini ditemukan Globigerina ciperoensis, Globigerina tripartita, Globorotalia kugleri, dan Globigerinita dissimilis, sedangkan pada bagian atasnya muncul Globigerinoides immatures. Umur Formasi Prupuh adalah N3-N5 (Oligosen Atas hingga Miosen Bawah). Pada batugamping bioklastika dijumpai Spiroclypeus orbitoides, Lepidocyclina verrucosa, dan Lepidocyclina sumatrensis. Lingkungan sedimentasinya adalah neritik luar pada laut terbuka, dengan indikasi adanya gerakan massa gravitasi lereng dasar laut. Formasi ini selaras terhadap Formasi Kujung di bawahnya, juga terhadap Formasi Tuban yang ada di atasnya.
3. Formasi Tuban
Formasi Tuban terdiri atas perlapisan batulempung yang bersifat monoton dengan beberapa sisipan batugamping. Formasi ini ini secara umum tersusun oleh klastika karbonat dalam bentuk packstone-wackestone, yang mengandung fosil foraminifera besar disertai dengan fragmen koral dan algae. Kandungan fosil Globigerinoides primordius, Globortalia peripheronda, Globigerinoides sicanus yang menunjukkan bahwa umur Miosen Awal dan lingkungan laut dalam.
4. Formasi Tawun
Secara umum Formasi ini tersusun oleh perselingan antara batulempung pasiran dengan batupasir dan batugamping yang kaya akan foraminifera golongan orbitoid ( Lepidocyclina, Cycloclypeus). Batulempung pasiran berwarna abu-abu hingga abu-abu kecoklatan, semakin ke atas cenderung berubah menjadi batulanau dengan konkresi oksida besi. Batupasirnya biasanya cukup keras berwarna kemerahan, sebagian bersifat gampingan dan sebagian tidak. Batugampingnya berwarna coklat muda hingga abu-abu muda, berbutir halus sampai sedang. Penyusun utamanya adalah fosil foraminifera besar dengan sedikit pencampur batupasir kuarsa. Ketebalan batugamping ini mencapai 30 m. Formasi Tawun diendapkan pada Awal
hingga Miosen Tengah, pada lingkungan lingkungan paparan yang agak dalam (outer shelf ) dari suatu laut terbuka.
5. Formasi Ngrayong
Satuan stratigrafi ini kadang berstatus sebagai anggota pada Formasi Tawun. Bagian bawah yang tersusun oleh batugamping Orbitoid (Cycloclypeus) dan batulempung, sedangkan bagian atas tersusun oleh dengan sisipan batugamping orbitoid. Diantara perlapisan batulempung dijumpai struktur sedimen yang khas yaitu gelembur (ripple mark ) dan keping-keping gipsum. Batupasirnya berwarna merah kekuningan, sering menunjukkan struktur soft sediment deformation, disertai fosil jejak berupa lubang vertikal (memotong perlapisan) dari kelompok Ophiomorpha. Dari kenampakan tersebut dapat ditafsirkan bahwa bagian bawah dari satuan ini pada awalnya diendapkan pada dataran pasang-surut (intertidal area) yang kemudian mengalami transgresi menjadi gosong lepas pantai ( offshore bar ) atau shoreface yang tercirikan oleh batupasir merah, yang selanjutnya semakin mendalam menjadi lingkungan paparan tengah hingga paparan luar (middle to outer shelf ) yang menghasilkan batugamping yang kaya akan Cycloclypeus. Kenampakan stratigrafi tersebut dapat dilihat di daerah Polaman. Batupasir Ngra yong merupakan reservoir utama pada lapangan-lapangan minyak di daerah sekitar Cepu. Ketebalan rata-rata mencapai 300 m tetapi menipis ke arah selatan dan juga ke arah timur, karena terjadi perubahan fasies menjadi batulempung.
6. Formasi Bulu
Formasi Bulu terletak di atas batupasir Ngrayong, mempunyai penyebaran yang luas di Antiklinorium Rembang Utara. Formasi ini tersusun oleh kalkarenit berlempeng ( platty sandstones) dengan sisipan napal pasiran. Di beberapa tempat dijumpai kumpulan Cycloclypeus (Katacycloclypeus) annulatus yang sangat melimpah. Kalkarenitnya tersusun oleh litoklas karbonat, foraminifera kecil maupun besar, serta butir-butir kuarsa, feldspar dan glaukonit. Ke arah barat, formasi ini menjadi semakin tebal. Di bagian timur ketebalan hanya 80 m tetapi ke arah barat ketebalannya mencapai 300 m. Formasi ini diendapkan pada kala Miosen Tengah pada lingkungan laut dangkal yang berhubungan dengan laut terbuka.
7. Formasi Wonocolo
Formasi Wonocolo tersusun oleh napal dan batulempung tidak berlapis. Bagian bawahnya tersusun oleh batugamping pasiran dan batupasir gampingan, yang secara umum menunjukkan gejala pengendapan transgresif. Total ketebalan dari formasi ini lebih kurang 500 m, menunjukkan peningkatan ketebalan ke arah selatan. Pengendapannya terjadi pada Miosen Tengah – Atas, pada lingkungan paparan luar.
8. Formasi Ledok
Formasi Ledok mempunyai lokasi tipe di kawasan antiklin Ledok, 10 km di utara kota Cepu. Penyusun utamanya terdiri atas perselang-selingan antara batupasir glaukonitik dengan kalkarenit yang berlempeng-lempeng, dengan beberapa sis ipan napal. Batupasirnya berwarna kehijauan hingga kecoklatan, berbutir halus hingga sedang, dengan komposisi mineral kuarsa, fragmen kalsit serta glaukonit yang secara keseluruhan terpilah sedang. Ketebalan setiap perlapisan berkisar antara 10 hingga 60 cm. Bagian bawah berbutir lebih halus dari bagian atas . Ketebalan Formasi Ledok secara keseluruhan mencapai 230 m di lokasi tipenya. Ke arah utara, Formasi ini berangsur-angsur berubah menjadi Formasi Paciran.
9. Formasi Mundu
Formasi Mundu memiliki ciri litologi yang khas, tersusun oleh napal masif berwarna abu-abu muda hingga putih kekuning-kuningan, dengan kandungan foraminifera plangtonik yang sangat melimpah. Disamping itu juga didapatkan kandungan glaukonit tetapi hanya dalam jumlah sedikit. Di beberapa tempat, bagian atas dari formasi ini secara berangsur berubah menjadi batugamping pasiran. Ketebalan dari formasi ini cenderung bertambah ke arah selatan hingga mencapai 700 m. Formasi Mundu terbentuk sebagai hasil pengendapan laut dalam yang terjadi pada zona N17 – N20 (Miosen Akhir – Pliosen).
10. Formasi Selorejo
Satuan ini tersusun oleh perselang-selingan antara foraminiferal grainstone / packstone yang sebagian bersifat glaukonitan dengan batugamping napalan hingga
batugamping pasiran, dengan lokasi tipe di desa Selorejo dekat Cepu. Ketebalan satuan ini mencapai 100 m. Selorejo kadang dianggap sebagai anggota dari Formasi Mundu, dan merupakan reservoir gas yang terdapat tepat di bawah kota Cepu (Balun reservoir ). Lingkungan sedimentasi diduga terjadi di laut dalam, dimana mekanisme arus turbid dengan penampian oleh arus dasar (bottom current ) yang membuat pemilahan test foraminiferanya teronggok dengan tanpa matriks dalam bentuk grainstone dan packestones, dengan porositas bisa mencapai 50%, baik dalam bentuk vugs, inter maupun intra particles.
11. Formasi Lidah
Formasi ini tersusun oleh batulempung yang berwarna kebiruan dan napal berlapis
yang
diselingi
oleh
batupasir
dan
lensa-lensa
fossiliferous
grainstone/rudstone (coquina). Pada bagian bawah masih merupakan endapan laut, tercirikan akan kandungan Pseudorotalia sp. dan Asterorotalia sp. yang melimpah. Kumpulan fosil ini mencirikan pengendapan di dasar laut pada paparan tengah hingga luar. Di atas satuan ini batuannya menunjukkan produk pengendapan dari lingkungan yang semakin mendangkal. Akhirnya bagian teratas berupa lempung hasil pengendapan air tawar.
12. Formasi Paciran
Formasi Paciran tersusun oleh batugamping masif, umumnya merupakan batugamping terumbu yang lapuk dan membentuk permukaan yang khas akibat pelarutan (karren surface). Gejala permukaan menunjukkan bahwa batuan penyusunnya telah berubah menjadi kapur (chalky limestone). Formasi ini tersebar terutama di bagian utara dari Zona Rembang, dengan masa pembentukan dari Pliosen hingga Awal Pleistosen. Di beberapa tempat batuan ini t elah terbentuk pada umur yang lebih tua, semasa dengan pembentukan dari Pliosen hingga Awal Pleistosen. Di beberapa tempat batuan ini telah t erbentuk pada umur yang lebih tua, semasa dengan pembentukan Formasi Ledok dan Wonocolo di bagian utara, serta semasa dengan Formasi Mundu dan Lidah di selatan.
1.2. ANTIKLIN BRAHOLO (SENDANGHARJO, BLORA)
Antiklin Braholo terletak di lembah Sungai Braholo, Sendangharjo, Blora dengan singkapan batuan setebal kurang lebih 31 m, dari bawah ke atas tersusun oleh perselang-selingan rudstone, kemudian berubah menjadi batupasir yang tidak karbonatan, semakin ke atas batupasir. Dijumpai singkapan pada bagian hulu sungai dengan urutan batuan yang tersingkap setebal 7 m berupa foraminiferal rudstone yang berubah menjadi batupasir, batulanau dan ditutup oleh batupasir kembali. Singkapan ini diperkirakan masuk ke dalam Formasi Tawun. Di atas Formasi Tawun secara gradasional terendapkan Formasi Ngrayong yang didominasi oleh batupasir kuarsa. Akibat lingkungan pengendapan yang sangat dangkal maka pada batas Formasi Tawun-Ngrayong ini diduga pernah mengalami fase darat sehingga terjadi diagenesis pada batuan-batuan di batas antara kedua formasi ini. Diagenesis terlihat jelas pada batuan karbonat yang menghasilkan batuan karbonat berpori bagus dan yang mengalami sementasi. Beberapa sesar juga dijumpai memotong singkapan batuan pada daerah ini. Petroleum system yang bisa diamati berupa batuan induk, reservoir, seal, dan jalur migrasi.
Gambar 4. (a) Singkapan di Kali Braholo yang menunjukkan perubahan dari batugamping menjadi batuan silisiklastik dan menjadi batuan mix-silisiklastik sampai batugamping di bagian atasnya (kamera menghadap barat daya). (b) Sumbu antiklin berarah relatif barat – timur di Kali Braholo (kamera menghadap barat).
Gambar 5. Diagram singkapan Braholo.
Husein dkk. (2015) melakukan interpretasi model elevasi digital serta pengukuran kedudukan batuan di lembah Sungai Braholo, Blora, mengindikasikan perkembangan lipatan konikal (non-silindris, dimana sumbu lipatannya tidak linear dan ujung dari sumbu lipatannya akan menunjam) Antiklin Braholo yang menunjam ke arah WSW. Formasi Tawun tersingkap sebagai inti lipatan, yang memanjang berarah E-W hingga ke Desa Plantungan, dimana Lapangan Plantungan berada. Kemiringan perlapisan batugamping Tawun relatif landai, disebabkan posisinya yang menempati bagian inti antiklin. Di bagian tengah lipatan, sumbu antiklin membelok ke arah WSW, sebelum kemudian menunjam ke arah barat di ujung baratnya.
Gambar 6. Peta struktur geologi, orientasi sumbu Antiklin Braholo mengalami pelengkungan (bending) yang diakomodir oleh sesar geser sinistral berarah timurlaut-baratdaya.
Formasi Ngrayong tersebar mengikuti orientasi sumbu perlipatan. Formasi Ngrayong menempati kemiringan yang relatif besar di bagian sayap antiklin, rerata 25o baik ke sayap utara maupun sayap selatan. Meski demikian, kemiringan perlapisan hingga >35o juga dapat terjadi di bagian sayap lipatan, terutama pada perlapisan batupasir dan batugamping yang menyusun fasies batupasir-grainstone. Nilai kemiringan perlapisan yang berbeda-beda tersebut mengindikasikan perlipatan terbentuk sebagai lipatan kelas 3 di dalam klasifikasi Ramsay (Ramsay, 1967). Hal ini lazim terjadi bila beberapa lapisan yang kompeten (batupasir dan batugamping) diselingi oleh lapisan yang tidak kompeten (batulempung) mengalami perlipatan aktif (buckling ), dimana lapisan yang kompeten akan lebih rapat di bagian sayap dan rengang di bagian puncak, yang selanjutnya memicu lapisan tidak kompeten untuk berkumpul di bagian puncak antiklin (Price & Cosgrove, 1990). Husein dkk. (2015) melakukan 745 pengukuran pada struktur rapuh ( brittle) pada Antiklin Braholo, mencakup struktur kekar dan patahan. Populasi data tersebut kemudian dipisahkan secara iterasi dan dikelompokkan menjadi dua, kelompok pertama memberikan hasil gaya tektonik transtensional dengan kompresi dari arah NW-SE dan regangan ke arah NE-SW, sedangkan kelompok kedua memberikan hasil gaya tektonik ekstensional dengan regangan ke arah NW-SE (Gambar 13). Dengan dipandu oleh adanya data perpotongan dua striasi pada satu bidang sesar, didapatkan bila gaya kompresi NW-SE bekerja terlebih dahulu dan gaya regangan NW-SE terjadi setelahnya. Melihat hubungan spasial kedua gaya tersebut, diinterpretasikan bila gaya kompresi NW-SE merupakan gaya pembentuk lipatan Braholo, sedangkan gaya regangan NW-SE merupakan gaya rilis pasca kompresi. Kedua gaya tersebut di atas diduga bekerja setelah sedimentasi Formasi Selorejo, yaitu pada akhir Pliosen saat sedimentasi Formasi Lidah. Indikasi ini didukung oleh litostratigrafi Formasi Lidah yang menunjukkan telah adanya pengangkatan seiring sedimentasi formasi tersebut ( syn-sedimentary tectonic) (Susilohadi, 1995). Dari analisis regional pada model elevasi digital, diketahui pula bahwa lipatanlipatan yang berkembang di Zona Rembang memiliki orientasi en echelon berarah
ENE-WSW (Gambar 14). Terhadap gaya tektonik regional Pulau Jawa yang relatif berarah utara-selatan, orientasi antiklinorium Rembang membentuk sudut (α) yang besar, sekitar 70o. Kondisi ini mengindikasikan bila Antiklinorium Rembang tersebut berkembang pada sesar batuan dasar (basement fault) berarah ENE-WSW dengan pergeseran horisontal yang relatif kecil (< 5 km) (Cramez & Letouzey, 2001).
Gambar 14. [kiri] Distribusi lipatan di Zona Rembang (garis berwarna merah) dan hubungannya dengan patahan basement . [kanan] Model orientasi gaya tektonik, dimana gaya kompresi σ1 regional mengalami reorientasi dari arah relatif utara-selatan menjadi berarah relatif baratlaut-tenggara akibat kedudukan patahan yang menyudut besar terhadap gaya tektonik utama (Husein et al ., 2015).
Lipatan konikal yang berkembang akibat sesar geser pada batuan dasar umumnya tidak memiliki orientasi sumbu yang tegaklurus terhadap gaya tektonik σ1 regional, karena kecenderungan lipatan konikal untuk mengorientasikan sumbunya sejajar dengan patahan (Cramez & Letouzey, 2001). Akibatnya gaya tektonik σ1 lokal akan mengalami modifikasi arah, berupaya tegak lurus terhadap sesar basement. Kondisi ini terekam di Antiklin Braholo, dimana gaya kompresi pembentuk lipatan yang berarah NW-SE memiliki orientasi relatif tegak lurus terhadap sesar basement. Karena lipatan konikal memiliki kecenderungan untuk sejajar dengan patahan basement, maka lazim pula berkembang sesar geser pada tubuh lipatan yang orientasinya menyudut lancip terhadap patahan (Cramez & Letouzey, 2001), dimana sesar geser tersebut berfungsi untuk mengakomodasi perpanjangan yang dialami oleh lipatan ke arah gaya tektonik σ3 regional. Pada Antiklinorium Rembang banyak berkembang sesar-sesar geser sinistral NE-SW yang memotong lipatan seperti demikian, termasuk yang melewati Sungai Braholo.
DAFTAR PUSTAKA Cramez, C., and J. Letouzey (2001) Basic Principles in Tectonics. Universidade Husein, S. (2015) Petroleum and Regional Geology of Northeast Java Basin, Indonesia - Excursion Guide Book for Universiti Teknologi Petronas Malaysia. Department of Geological Engineering Universitas Gadjah Mada, 21 p. Husein, S., K. Kakda, dan H.F.N. Aditya (2015) Mekanisme Perlipatan En-Echelon di Antiklinorium Rembang Utara, Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-8 Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, GEO41, pp 224-234 Husein, S. and M. Nukman (2015) Rekonstruksi Tektonik Mikrokontinen Pegunungan Selatan Jawa Timur: sebuah hipotesis berdasarkan analisis kemagnetan purba. Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-8 Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, GEO42, p 235-248. Pannekoek, A.J. (1949) Outline of the Geomorphology of Java. Reprint from Tijdschriftvan Het Koninklijk Nederlandsch Aardrijkskundig Genootschap, vol. LXVI part 3, E.J. Brill, Leiden, pp. 270-325. Novian, M.I., P.P. Utama, dan S. Husein (2013) Penentuan Batuan Sumber Gununglumpur di Sekitar Purwodadi Berdasarkan Kandungan Fosil Foraminifera. Prosiding Seminar Nasional Kebumian ke-6 , Jurusan Teknik Geologi FT UGM, Yogyakarta, pp. 519-534. Novian, M.I., S. Husein, R.N. Saputra (2014) Buku Panduan Ekskursi Geologi Regional 2014, Jurusan Teknik Geologi Fakultas Teknik Universitas Gadjah Mada, 54 hal. Price, N.J., and J.W. Cosgrove (1990) Analysis of Geological Structures. Cambridge University Press., 246 p. Ramsay, J. G. (1967) Folding and Fracturing of Rocks. New York: McGraw-Hill Van Bemmelen, R.W. (1949) The Geology of Indonesia, vol. I.A. General Geology. Martinus Nyhoff, The Hague.