TUGAS MAKALAH MATA KULIAH HUKUM ADAT
FAKULTAS HUKUM UNIVERSITAS PANCASILA TAHUN AJARAN 2016/2017 NAMA KELOMPOK: HILLARY R SIANRESSY (3014210208) YASMIEN NUUR DITTRIE (3014210460) DEWI PRAMESTI (3015210107) KARINA YUNITA A (3015210197) OKE SETIA PERMATA DEWI (3015210290) TEUKU YUDI RIANTO (3015210364) i
KATA PENGANTAR Puji dan syukur kehadirat kehadir at Tuhan Yang Maha Kuasa atas segala rahmat yang diberikan-Nya sehingga tugas Makalah hukum adat ini dapat kami selesaikan. Makalah ini saya kami buat sebagai kewajiban untuk memenuhi tugas.
Dalam kesempatan ini, penulis menghaturkan terimakasih yang dalam kepada semua pihak yang telah membantu menyumbangkan ide dan pikiran mereka demi terwujudnya makalah ini. Akhirnya saran dan kritik pembaca yang dimaksud untuk mewujudkan kesempurnaan makalah ini penulis sangat hargai.
Penulis
ii
Daftar isi
Kata pengantar i Daftar isi ........................................................................................................ii Bab I pendahuluan ........................................................................................1 A. Latar belakang ..........................................................................................1 B. Ruang lingkup materi ................................................................................2 Bab III Landasan teori....................................................................................3 Bab III Pembahasan.......................................................................................5 A. Pengertian hukum adat .............................................................................5 B. Proses terbentuknya hukum adat...............................................................6 C. Ciri-ciri dan sifat hukum adat………………………………………………………………………………….7 D. Sistem Hukum adat……………………………………………………………10 E. Lingkungan berlakunya hukum adat ………………………………….…….15 F. Bidang-bidang hukum adat………………………………………………………………………………….17
Bab IV Kesimpulan dan Saran .....................................................................20 A. Kesimpulan ..............................................................................................20 Daftar pustaka ..............................................................................................20
iii
BAB 1 PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Hukum adat adalah aturan kebiasaan manusia dalam hidup bermasyarakat. Sejak manusia itu diturunkan tuhan je muka bumi, maka ia memulai hidupnya berkeluarga , kemudian bermasyarakat , dan kemudian bernegara. Sjak manusia itu berkeluarga mereka telah mengatur dirinya dan anggota keluarganya menurut kebiasaan mereka, misalnya ayah pergi berburu atau mencari akar-akaran untuk bahan makanan, ibu menghidupkan api untuk membakar hasil buruan kemudia bersantap bersama. Perilaku kebisasaan itu berlaku terus menerus, sehingga merupakan pembagian kerja yang tetap. Maka dilihat dari perkembangan hidup manusia,terjadinya hukum ini mulai dari pribadi manusia yang diberi Tuhan akal pikiran dan perilaku. Perilaku yang terus menerus dilakukan perorangan menimbulkan “kebiasaan peribadi” \. Apabila kebiasaan pribadi
itu ditiru orang lain,maka ia juga akan menjadi kebiasaan orang itu. Lambat laun di antara orang yang satu dengan yang lainnya didalam kesatuan masyarakat ikut pula melaksanakan kebiasaan itu. Kemudian apabilla seluruh anggota masyarakat melakukan perilaku kebiasaan tadi,maka lambat laun kebiasaan itu menjadi “adat” da ri
masyarakat itu. Jadi adat adalah kebiasaan masyarakat, dan kelompok-kelompok masyarakat , lambat laun menjadikan adat itu sebagai adat yang seharusnya berlaku bagi semua anggota masyarakat, sehingga menjadi “hukum adat”
2. Ruang lingkup materi A. Pengertian hukum adat B. Proses terbentuknya hukum adat C. Ciri-ciri dan sifat hukum adat D. Sistem Hukum adat 1
E. Lingkungan berlakunya hukum adat F. Bidang-bidang hukum adat
BAB II LANDASAN TEORI Menurut Fred N. Kerlinger (2003:14), teori adalah“ seperangkat konstruk (konsep), batasan, dan proposisi yang menyajikan suatu pandangan sistematis tentang fenomena dengan merinci hubungan hubungan antarvariabel, dengan tujuan untuk menjelaskan dan memprediksi gejala itu. ”Konsep merupakan unsur unsur abstrak yang mewakili kelas kelas fenomena dalam satu bidang studi sehingga menjadi penjabaran abstrak teori, dan konsep konsep yang bersifat abstrak tersebut harus dijabarkan melalui variabel, dengan demikian, konsep berhubungan dengan teori.
Dalam proses penyelesaian makalah ini, tim penyusun menggunakan metode penelitian hukum normatif empiris dengan bersandarkan pada data sekunder. Adapun data sekunder ini meliputi: 1.
Bahan hukum primer, yaitu bahan-bahan hukum yang mempunyai kekuatan mengikat di masyarakat, seperti peraturan perundang-undangan. Bahanhukum primer yang digunakan oleh penyusun, antara lain, terdiri dari: 1. Pembukaan UUD 1945 dan pasal II aturan peralihan UUD 1945 2. UUD tahun 1945, yang diberlakukan kembali menurut Dekrit Pres iden tertanggal 5 Juli 1959 2
3. UUD Pasal 11 Aturan Peralihan 4. UUD Pasal 104 ayat 1 5. Pasal 131 ayat 2 sub b IS 6. UUD Pasal 29 ayat (1) dan pasal 28 ayat (1) 7. Undang-undang Dasar 1945 Pasal 18B ayat (3) 8. 18 B ayat (2) 9. UU No. 39 Tahun 1999 (TLN No. 3886) Pasal 6 ayat (1) 10. UU dibidang agraria No.5/1960 yang mengakui keberadaan hukum adat dalam kepemilikan tanah.
2. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang dapat memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti buku-buku dan artikel yang ditulis oleh para ahli. 3. Bahan hukum tersier, yaitu bahan-bahan yang dapat memberikan petunjuk bagi bahan hukum primer dan sekunder, seperti kamus hukum maupun kamus bahasa Indonesia.
3
BAB III PEMBAHASAN
A . P eng ertian hukum adat Hukum adat merupakan hukum yang asalanya dari adat istiadat yaitu kaidah sosial yang dibuat oleh seseoarang yang berwibawa dan seseoarang yang dapat dikatakan sebagai penguasa dan berlaku dalam negatur hubungan hukum tiap tiap individu.
Dari pernyataan di atas turut mengundang beberapa ahli untuk mengemukakan pendapatnya mengenai pengertian hukum adat, meliputi: 1. Van Vollenhoven menjelaskan bahwa hukum adat adalah Keseluruhan aturan tingkah laku positif yang di satu pihak mempunyai sanksi. 2. Bushar Muhammad menjelaskan bahwa untuk memberikan definisi hukum ada sulit sekali dilakukan karena, hukum adat masih dalam pertumbuhan; sifat dan pembawaan hukum adat. 3. Terhar berpendapat bahwa hukum adat hukum adat lahir dari & dipelihara oleh keputusan-keputusan, Keputusan berwibawa dan berkuasa dari kepala rakyat (para warga masyarakat hukum) 4. Soerjono Soekanto berpendapat bahwa hukum adat adalah kompleks adat-adat yang tidak dikitabkan (tidak dikodifikasikan) bersifat paksaan (mempunyai akibat hukum. 5. Supomo & hazairin mengambil kesimpulan bahwa hukum adat adalah hukum yang mengatur tingkah laku manusia Indonesia dalam hubungan satu sama lain, baik yang merupakan keseluruhan kelaziman, kebiasaan dan kesusilaan yang benar-benar hidup di masyarakat adat karena dianut dan dipertahankan oleh anggota-anggota masyarakat itu, maupun yang merupakan keseluruhan 4
peraturan yang mengenal sanksi atas pelanggaran dan yang ditetapkan dalam keputusan-keputusan para penguasa adat.
B . Pros es terbentuknya hukum adat Proses terbentuknya hukum adat menurut Soerjono Soekanto dibagi menjadi 2 aspek yaitu:
A. Aspek Sosiologi Pada prinsipnya manusia tidak dapat hidup sendiri dan membutuhkan manusia lainnya karena manusia adalah makhluk sosial dan miliki naluri. Karena hidup manusia membutuhkan manusia lainnya maka setiap manusia akan berinteraksi dengan manusia lainnya, dari interaksi tersebut melahirkan pengalaman. Dari pengalaman ini akan dapat didapati sistem nilai yang dapat dianggap sebagai hal yang baik dan hal yang buruk. Dari Sistem nilai ini akan melahirkan suatu pola pikir / asumsi yang akan menimbulkan suatu sikap yaitu kecendrungan untuk berbuat atau tidak berbuat. Bila sikap ini telah mengarah kecendrungan untuk berbuat maka akan timbulah perilaku. Interaksi pengalaman nilai pola berpikir sikap perilaku kebiasaan Kumpulan prilaku-prilaku yang terus berulang-ulang dapat dilahirkan / diabstraksikan menjadi norma yaitu suatu pedoman prilaku untuk bertindak. Norma-norma tersebut dapat dibagi menjadi a. Norma Pribadi yaitu kepercayaan dan kesusilaan b. Norma Antar Pribadi yaitu kesopanan dan hukum (sanksinya memaksa) B. Aspek Yuridis Aspek ini dilihat dari tingkat sanksinya. Bentuk konkret dari wujud prilaku adalah cara yang seragam dari sekumpulan manusia misalnya cara berjual beli, cara bagi waris, cara menikah, dsb. Bila ada penyimpangan ada sanksi namum lemah. Dari cara tersebut akan terciptanya suatu kebiasaan, dan sanksi atas penyimpangannya agak kuat dibanding sanksi cara/usage. Kebiasaan yang berulang-ulang dalam masyarakat akan lahir standar kelakuan atau mores dimana sanksi atas penyimpangan sudah menjadi kuat. Dalam perkembangan standar kelakuan atau mores ini akan melahirkan Custom yang terdiri dari Adat 5
Istiadat dan Hukum Adat, dan sanksinya pun sudah kuat sekali. Interaksi pengalaman pola berpikir - nilai sikap perilaku kebiasaan Unsur-unsur Hukum Adat : Unsur-unsur hukum adat terdiri dari 2 unsur yaitu: 1. Unsur Adat Istiadat dalam masyarakat adat Contoh: Akibat Perkawinan 2. Unsur Agama Contoh: Syarat Perkawinan. Teori-teori yang menjelaskan asal kedua unsur tersebut adalah : 1. Teori Receptio in Complexu (van den Berg) Hukum suatu golongan masyarakat itu merupakan resepsi / penerimaan secara bulat dari agama yang dianut oleh golongan tersebut. Latar belakang terbentuknya teori ini adalah demi kepentingan Hindia Belanda di Aceh yang sangat berperan adalah para ulama/Tengku sehingga apa yang dikatakan oleh ulama tersebut berdasarkan agamanya dijadikan hukum oleh masyarakat maka yang harus pertama kali ditundukkan adalah ulamanya terlebih dahulu. 2. Teori Receptio oleh Snouck Hurgronye dan Ter Haar. Hukum agama adalah bagian dari Hukum Adat. Apabila antara hukum Adat dan hukum Agama bertentangan, maka tergantung pada agama yang dipeluk masyarakat adat tersebut. 3. Teori Receptio A Contrario oleh Hazairin. Hukum Adat hanya dapat berlaku dan dilaksanakan dalam pergaulan hidup masyarakat jika hukum adat itu tidak bertentangan dengan hukum Islam.
C . C ir i-ciri dan s ifat hukum adat Ciri Hukum adat Soekanto (Dalam Nurlin Ibrahim, 2009: 10) pada umumnya adat memiliki ciri-ciri khas sebagai berikut : 1. Tradisional Traditional disini mengandung arti turun-temurun sejak dahulu hingga sekarang tetap dipertahankan dan dihormati, misalnya orang Minangkabau tetap mempertahankan Datauk Parpatihman Sebatan. Hukum adat yang traditional ini disesuaikan dengan tradisi kepercayaana alam saat ini masih besar pengaruhnya terhadap alam pikiran masyarakat. Contoh dalam masyarakat di Lampung bahwa dalam hukum kewarisan berlaku sistem mayorat lelaki , artinya anak tertua lelaki menguasai seluruh harta peninggalan dengan kewajiban mengurus adikadiknya sampai dewasa dan dapat berdiri sendiri. Harta peninggalan itu tetap tidak terbagi-bagi, merupakan milik keluarga bersama, yang kegunaanya untuk kepentingan anggota-anggota keluarga/kerabat bersama di bawah pengaturan anak tertua lelaki sebagai pengganti kedudukan ayahnya. 2. Keagamaan Adat menghendaki agar setiap manusia percaya dan taqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan mengakui segala sesuatu terjadi karena berkat dan rahmat Tuhan, dan yang ada di muka bumi tidak ada yang kekal abadi selalu, ada awal ada akhirnya. Menurut keprcayaan bangsa 6
Indonesia Oleh karena itu hukum adat selalu menghendaki agar setiap perbuatan mendapat ridho dari Yang Maha Pencipta. Tidak melanggar pantangan (pamali) yang dapat berakibat timbulnya kutukan dari Yang Maha Pencipta. Contoh di Banten dan Bali orang berpantangan menjual padi yang masih hijau buahnya, orang beragama Islam kalau memulaipembicaraan dengan salam seperti “Assalamualaikum wa rohmatullahi wa barakatuh” 3. Kebersamaan Kebersamaan dalam hukum adat ini mengandung arti bahwa manusia menurut hukum adat merupakan makhluk dalam ikatan kemasyarakatan yang erat seluruh lapisan makhluk diliputi oleh rasa kebersamaan anggota baik sesama keluarga, kerabat, tetangga yang didasarkan pada tolong-menolong saling membantu satu sama lain. Sifat-sifat kebersamaan dapat dilihat dari kenyataan sehari-hari, seperti hukum kampong, rukun tetangga atau rukun warga, di mana jika ada yang sakit atau meninggal dunia maka berduyun-duyunlah para tetangga mendatangi sanak saudara untuk turut serta berduka cita. Bahkan corak dan sifat kebersamaan ini terangkat pula dalam Pasal 33 ayat (1) UUD 1945 yang menyatakan “Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan”. Didalam penjelasannya dikatakan bahwa pasal 33 tercantum dasar demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua di bawah pimpinan atau pemilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan kemakmuran orang-orang. 4. Konkret dan Visual Serba kongkrit mengandung hubungan-hubungan hukum dilakukan tidak samar-samar antara kata dan perbuatan berjalan serasi, jelas dan nyata. Misalnya dalam perjanjian jual beli, perjanjian baru terjadi jika jelas dan nyata pembeli telah membayar harganya dan penjual telah menyerahkan barang yang telah dijualnya. Hukum adat bercorak sangat visual mengandung arti hubungan-hubungan hukum itu dianggap terjadi jika sudah ada tanda ikatan yang nampak, jika belum ada tanda-tanda maka hubungan itu baru merupakan omong kosong saja, baru sekedar menyampaikan keinginan atas menaruh perhatian. Jadi sifat hubungan hukum yang berlaku dalam hukum adat itu “terang dan tunai”, tidak samar- samar, terang disaksikan, diketahui, diliat dan didengar orang lain, dan Nampak terjadi “ijab-kabul” (serah terima). 5. Terbuka dan Sederhana Corak hukum adat itu “terbuka” artinya dapat menerima masuknya unsur -unsur yang datang dari luar asal saja tidak bertentangan dengan jiwa hukum adatitu sendiri. Corak dan sifatnya yang “sederhana” artinya bersahaja, tidak rumit, tidak banyak dan dilaksanakan berdasar saling percaya-mempercayainya. Keterbukaan misalnya dapat dilihat dari masukanya pengaruh hukum Hindu, dalam hukum perkawinan adat yang disebut “ kawin anggau”, jika suami wafat maka istri kawin lagi dengan saudara suami. Kesederhaan misalhnya dapat dilihat dari terjadinya transaksitransaksi yang berlaku tanpa surat-menyurat, misalnya dalam perjanjian bagi hasil dengan pemilik tanah dan penggarap, cukup adanya kesepakaan antara kedua belah pihak secara lisan, tanpa surat-menyurat dan kesaksian kepala desa. 6. Dapat Berubah Menyesuaikan Hukum adat dapat berubah menurut keadaan, waktu dan tempat. Orang Minangkabau berkata “Sakali aik gadang sakali tapian beranja, sakali raja baganti, sakali adat berubah” . (Begitu air besar, begitu pula tempat permandian bergeser, bergitu pemerontahan berganti, begitu pula adat lalu berubah). Adat yang Nampak pada kita sekarang sudah jauh berbeda dari adat di masa 7
Hindia Belanda. Begitu pula apa yang di katan di atas kebanyakan transaksi tidak dibuat dengan bukti tertulis namun sekarang dikarenakan kemajuan pendidikan dan banyakanya penipuan yang terjadi dalam masyarakat, maka sudah banyak pula setiap transksi dibuat dengan surat-menyurat walaupun di bawah tangan tidak/belum dimuka Notaris. 7. Tidak dikodifikasi Hal ini mengandung arti tidak dihimpun dalam suatu atau beberapa kitab undang-undang menurut system tertentu, sebagaimana halnya dengan hukum yang berasal dari Eropa. Hal ini tidak berarti bahwa tidak ada hukum adat yang tertulis dan dibuat menjadi buku, namun tidak sedikit hukum adat yang tidak pernah dicatat, dibukukan menurut cara setempat. Jadi hukum adat pada umunya tidak di kodifikasi seperti hukum barat yang disusun secara teratur dalam kitab yang disebut kitab perundangan. Oleh karenanya maka hukum adat itu mudah berubah dan dapat disesuaikan dengan perkembangan masyarakat. 8. Musyawarah dan Mufakat Hukum adat mengutamakan adanya musyawarah dan mufakat di dalam keluarga, di dalam hubungan kekerabatan dan ketetanggan baik untuk memulai suatu pekerjaan maupun dalam mengakhiri pekerjaan , apalagi bersifat “peradilan” dalam menyelesaikan perselisihan antara satu dan yang lain. Di dalam penyelesaian penyelisihan selalu diutamakan jalan penyelesaian seacara rukun dan damai dengan musyawarah dan mufakat dengan saling memaafkan, tidaklah tergopoh-gopoh begitu saja langsung menyampaikan ke pengadilan Negara. Jalan penyelesaian damai itu membutuhkan adanya itikad baik para pihak dan adanya semangat yang adil dan bijaksana dari orang yang di percayakan sebagai “penengah” atau semangat dari majelis permusyawaratan adat.
Sifat-sifat Hukum Adat menurut Prof . Koesno 1. bersifat tradisional: setiap ketentuan-ketentuan dalam hukum adat ini selalu ada hubungannya dengankejadian di masa yang lampau secara berurutan dapat diketahui 2. bersifat suka pamor yang keramat ; ketentuan hukum adat mempunyai sifat pamor yang keramat, karena unsur-unsuryang berasal dari bidang kepercayaan memegang peranan penting di dalam ketentuan-ketentuan hukum adat tersebut. Pamor keramat itu lebih menitikberatkan kepadawibawa yang dalam ekspresi lahiriah berupa kekuatan kekeramatan 3. bersifat luwes : ketentuan-ketentuan hukum adat sebagai hukum yang bersumber dalam kehidupanmasyarakat yang selalu mengalami perkembangan masyarakat yang bersangkutan. Halini dimungkinkan karena hukum adat itu hanya memuat asas-asasnya saja tidakmemberikan perincian yang mendetail 4. bersifat dinamis : hukum adat itu dalam perkembangannya adalah sejalan dan seirama denganperkembangan yang terjadi dalam perkembangan kehidupan rakyat di dalammasyarakat
8
D. Sistem Hukum adat SISTEM HUKUM ADAT Untuk mengetahui sistem hukum adat, maka Soepomo membedakan antara sistem hukum adat dari sistem hukum barat agar dapat mengetahui sistem hukum adat. (1) Hukum barat mengenal zakelijke rechten (yaitu hak atas suatu barang yang berlaku terhadap setiap orang) dan persoonlijke rechten (yaitu hak yang bersifat perorangan terhadap suatu objek), sedangkan hukum adat tidak mengenal pembagian ke dalam dua jenis hak tersebut. (2) Hukum barat membedakan antara publiek recht dan privaatrecht, sedangkan perbedaan demikian tidak dikenal dalam hukum adat. Jika diadakan perbedaan seperti itu, maka batas-batas kedua lapangan hukum itupun berbeda pada kedua sistem hukum itu. (3) Pelanggaran hukum dalam sistem hukum barat dibedakan atas yang bersifat pidana dan pelanggaran yang hanya mempunyai akibat dalam lapangan perdata sehingga masing-masing harus ditangani oleh hakim yang berbeda pula, perbedaan demikian tida k dikenal dalam hukum adat. Setiap pelanggaran hukum adat memerlukan pembentulan hukum dengan adatreaksi yang ditetapkan oleh hakim (kepala adat). Sistem hukum adat inilah yang berlaku di seluruh nusantara sejak orang-orang Belanda belum dan sesudah menginjakkan kakinya di nusantara. Sebagai suatu sistem, meskipun 9
berbeda dengan sistem hukum barat sebagaimana perbedaannya antara lain diungkapkan oleh Soepomo di atas, hukum adat juga memiliki aspek-aspek hukum perdata, hukum pidana, hukum tata negara, bahkan hukum internasional. Sebagai suatu sistem, hukum adat mempunyai asas-asas yang sama, tetapi mempunyai perbedaan corak hukum yang bersifat lokal. Mengacu pada adanya perbedaan corak antara hukum barat, sehingga Van Vollenhoven membagi lingkungan hukum adat atas 19 dan dari kesembilanbelas itu dirinci lagi atas beberapa kukuban hukum. Pembagian lingkungan hukum adat itu didahulukannya, karena diperlukan sebagai petunjuk arah agar hukum adat di seluruh Indonesia dapat dipahami dan ditaksir dengan baik. Menurut Van Vollenhoven, pada masa VOC yang didirikan di negeri Belanda dengan hak oktroi, hubungan hukum dengan orang-orang di nusantara tetap menggunakan hukum adat. Hukum adat merupakan Hukum indonesia asli yang tidak tertulis di dalam perundangundangan RI yang mengandung unsur agama. Kedudukan Hukum Adat yaitu sebagai salah satu sumber penting guna memperoleh bahan-bahan bagi pembangunan hukum nasional yang menuju pada penyamaan hukum. Menurut Prof. Dr. R. Soepomo, S.H dalam bukunya Bab-bab Tentang Hukum Adat dituliskan sistem hukum adat antara lain Bahasa hukum, Pepatah adat, dan Penyelidikan Hukum Adat. Berikut akan dijelaskan mengenai hal tersebut.
A.
Bahasa Hukum
Maksud dari Bahasa hukum adalah kata-kata yang dipakai terus-menerus untuk menyebut dengan konsekuen suatu perbuatan atau keadaan, lambat laun menjadi istilah yang mempunyai isi yang tertentu. Bagi hukum adat di Indonesia, pembinaan bahasa hukum adalah soal yang minta perhatian khusus kepada para ahli hukum Indonesia. Bahasa hukum lahir dan tumbuh setapak demi setapak. Kata-kata yang terusmenerus dipakai dengan konsekuen untuk menyebut suatu perbuatan atau keadaan, lambat laun menjadi istilah yang memiliki isi dan makna tertentu.
10
Hukum Barat telah memiliki istilah-istilah hukum teknis yang dibina berabadabad oleh para ahli hukum, para hakim dan oleh pembentuk undang-undang. Hukum adat, pembinaan bahasa hukum ini justru masih merupakan suatu masalah yang sangat meminta perhatian khusus pada para ahli hukum Indonesia. Baik Van Vollenhoven dan Ter Haar, mengemukakan dengan jelas betapa pentingnya soal bahasa-hukum adat bagi pelajaran serta pengertian sistem hukum adat dan bagi perkembangan ilmu pengetahuan hukum adat selanjutnya. Bahasa hukum adalah bukan sesuatu yang dapat diciptakan dalam satu dua hari saja, tetapi harus melalui suatu proses yang cukup lama. Bahasa rakyat yang bersangkutanlah merupakan bahasa yang pertama-tama yang sanggup melukiskan perasaan rakyat dimaksud secara tepat. Dan oleh karena itulah pada zaman kolonial Belanda dahulu terjemahan istilah-istilah hukum adat dalam bahasa Belanda yang pada zaman itu orang menganggap seolah-olah isi serta artinya sudah lama, sesungguhnya merupakan suatu kesalahan, sebab istilah-istilah dalam bahasa asing dimaksud ternyata tidak dapat melukiskan makna yang terkandung dalam istilah-istilah bahasa aslinya. Sebagai Contoh: Pada zaman Hindia-Belanda, istilah yang digunakan untuk menyebut kata jual dan sewa dengan Bahasa Belanda yaitu dengan istilah varkopen dan huren, seolah-olah arti istilah varkopen dan huren sama dengan arti jual dan sewa dalam istilah hukum adat. Dalam ilmu hukum adat sendiri istilah jual berarti mengenai pengoperan hak (overdracht) dari seseorang kepada orang lain. Ada tiga jenis pengoperan yang juga
menggunakan istilah jual, dan dalam pengoperan tersebut berlaku dengan pembayaran kontan dari pihak pembeli. Lain halnya dengan istilah verkopen, yang dimaksud dengan
11
verkopen adalah sistem hukum barat tentang suatu perbuatan hukum yang bersifat obligatoir, artinya verkoper berjanji dan wajib mengoperkan barang yang di verkoop
kepada pembeli dengan tidak dipersoalkan apakah harga barang itu dibayar kontan atau tidak. Dari apa yang telah dijelaskan diatas, maka kata jual sebagai istilah hukum adat tidaklah sama artinya dengan kata verkopen sebagai istilah hukum barat. Dalam sistem hukum adat, pembelian barang dengan tidak membayar kontan bukanlah termasuk perbuatan jual, melainkan temasuk dalam golongan hutang piutang. Dalam sistem hukum adat, segala perbuatan dan keadaan yang bersifat sama disebut dengan istilah yang sama pula. Misalnya istilah gantungan dipakai untuk menyebut segala keadaan yang belum bersifat tetap.
B.
Pepatah Adat
Di berbagai lingkaran hukum adat terdapat pula pepatah adat yang sangat berguna sebagai petunjuk tentang adanya sesuatu peraturan hukum adat. Berikut cnntoh pepatah dari daerah Batak: “Molo metmet binanga, na metmet do dengke” “Molo gadang binanga, gadang dengke”
Dalam bahasa Indonesia: “Jika (anak) sungai kecil, maka ikannya juga kecil, “Jika (anak) sungai besar, maka ikannya juga besar”
Perumpamaan ini mengandung dasar hukum, bahwa upah bagi mereka yang menyelesaikan sesuatu soal hukum harus seimbang dengan pentingnya soal tersebut.
12
Dari daerah Minangkabau: “Sakali aye gadang, sakali tapian beranja, “Sakali raja ba(r) ganti, sakali adat berobah”
Dalam bahasa Indonesia : “Apabila air meluap, tempat pemandian bergeser. “Apabila ada penggantian raja, maka adat akan bergati juga”
Pepatah ini mengandung pengertian, bahwa adat tidak statis melainkan berubah menurut perubahan yang berlaku dengan penggantian kepala adat. Prof. Snouck Hurgronje menegaskan bahwa pepatah adat tidak boleh dianggap sebagai sumber atau dasar hukum adat. Pepatah adat harus diberi interpretasi yang tepat agar terang maknanya. Pepatah adat memang baik untuk diketahui dan disebut, akan tetapi pepatah itu tidak boleh dipandang sebagai pasal -pasal kitab undangundang pepatah adat tidak memuat peraturan hukum positif. Vergouwen menulis bahwa pepatah adat tidak mempunyai sifat normatif seperti pasal undang-undang. Pepatah itu hanya mengandung aliran hukum dalam bentuk yang menyolok saja. Ter Haar berkata bahwa pepatah adat bukan merupakan sumber hukum adat, melainkan mencerminkan dasar hukum yang tidak tegas. Prof. Soepomo menegaskan bahwa pepatah adat memberi lukisan tentang adanya aliran hukum yang tertentu. C.
Penyelidikan Hukum Adat
Berlakunya
sesuatu
peraturan
hukum
adat
tampak
dalam
putusan
(penetapan) petugas hukum, misalnya putusan kumpulan desa, putusan kepala adat dan sebagainya. Yang dimaksud dengan putusan atau penetapan itu ialah perbuatan atau
13
penolakan perbuatan (non-action) dari pihak petugas hukum dengan tujuan memelihara atau untuk menegakkan hukum. Maka dari itu penyelidikan hukum adat haruslah ditujukan kepada Research tentang putusan-putusan petugas hukum, selain itu kita juga harus men yelidiki kenyataan sosial (social reality), yang merupakan dasar bagi para petugas hukum untuk menentukan putusan-putusannya. Cara atau metode penyelidikan setempat adalah mendekati para pejabat desa, orang-orang tua, para cerdik pandai, rang-orang terkemuka di daerah yang bersangkutan, dan sebagainya. Persoalan yang akan ditanyakan harus hanya faktafakta, hanya kejadian-kejadian yang telah dialami atau diketahui sendiri oleh mereka. Perlu kita ketahui bahwa dalam penyelidikan hukum adat yang menentukan bukan banyaknya jumlah perbuatan yang terjadi, meskipun jumlah itu adalah penting sebagai petunjuk bahwa perbuatan itu adalah dirasakan sebagai hal yang diharuskan oleh masyarakat. akan tetapi yang penting adalah suatu perbuatan itu benar-benar dirasakan oleh masyarakat sebagai hal yang memeng sudah seharusnya. Maka dari itulah kita sudah dapat menarik kesimpulan adanya norma hukum. maka agar memperoleh bahan-bahan yang tepat serta berharga tentang hukum adat perhatian harus diarahkan kepada berikut ini: a.
Research tentang putusan-putusan petugas hukum ditempat yang bersangkutan.
b.
Sikap penduduk dalam hidupnya sehari-hari terhadap hal-hal yang sedang disoroti dan diinginkan mendapat keterangan dengan melakukan field research itu. Untuk mendapatkan hasil penyelidikan sebagaimana mestinya, kenyataan sosial yang merupakan dasar bagi para petugas hukum untuk menentukan putusan-
14
putusannya, wajib pula diindahkan serta dipahami. Cara melakukan Field Research wajib menemui para pejabat desa, orang-orang tua, orang terkemuka, sert a menanyakan faktafakta yang telah dialami atau diketahui sendiri oleh mereka itu.
E . L ing kung an berlakunya hukum adat PEMBAGIAN LINGKUNGAN HUKUM ADAT MENURUT VAN VOLLEN HOVEN Van Vollen Hoven membagi lingkungan hukum adat menjadi 19 lingkungan hukum adat (Rechtskringen). Satu daerah dimana garis-garis besar, corak dan sifatnya hukum adat adalah seragam oleh Van Vollen Hoven disebut “rechtskring”. Tiap-tiap lingkaran hukum tersebut dibagi lagi kepada beberapa bagian yang disebut dengan “Kuburan Hukum” atau “Rechtsgouw”. Kesembilan belas lingkaran hukum adat itu ialah : 1.
Aceh (Aceh Besar, Pantai Barat, Singkel, Semeulue).
2.
Tanah Gayo, Alas, dan Batak.
a.
b.
3.
1.
Tanah Gayo (Gayo Leus).
2.
Tanah Alas.
3.
Tanah Batak (Tapanuli).
Tapanuli Utara: 1.
Batak Pakpak (Barus).
2.
Batak Karo.
3.
Batak Simelungun.
4.
Batak Toba (Simsir, Balige, Laguboti, Lumban, Julu).
Tapanuli Selatan: 1.
Padang Lawas (Tano Sepanjang).
2.
Angkola.
3.
Mandailing (Sayurmatinggi).
Nias (Nias Selatan).
4. Tanah Minagkabau ( Padang, Agam, Tanah Datar, Lima puluh Kota, Tanah Kampar, Kerinci). Mentawai (Orang Pagai). 5.
Sumatera Selatan. 15
a.
B engkulu (Rejang).
b.
Lampung ( Abung, Paminggir, Pubian, Rebang, Gedongtataan, Tulang Bawang).
c.
Palembang (Anak Lakitan, Jelma Daya, Kubu, Pasemah, Semendo).
d. Jambi (Batin dan Penghulu). e.
Enggano.
6.
Tanah Melayu (Lingga-Riau, Indragiri. Sumatera Timur, Orang Banjar).
7.
Bangka dan Belitung.
8. Kalimantan (Dayak Kalimantan Barat, Kapuas, Hulu, Pasir, Dayak, Kenya, Dayak Klemanten, Dayak Maanyan Siung, Dayak Ngaju, Dayak Ot Danum, Dayak Penyambung Punan). 9.
Gorontalo (Bolaang Mangondow, Boalemo).
10. Tanah Toraja (Sulawesi Tengah, Toraja, Toraja Baree. Toraja Barat, Sigi, Kaili, Tawali, Toraja Sadan, To Mori, To Lainang, Kep. Banggai). 11. Sulawesi Selatan (Orang Bugis, Bone, Goa, Laikang, Ponre, Mandar, Makassar, Selayar, Muna). 12.
Kepulauan Ternate (Ternate, Tidore, Halmahera, Tobelo, Kep. Sula).
13. Maluku Ambon (Ambon, Hitu, Bandar, Kep. Uliasar, Saparua, Buru, Seram, Kep. Kei, Kep. Aru, Kisar). 14.
Irian.
15. Kep. Timor (Kepulauan Timor - Timor, Timor Tengah, Sumba Timur, Kodi, Flores, Ngada, Riti, Sayu Bima). 16. Bali dan Lombok (Bali Tanganan-Pagrisingan, Kastala, Karang Asem, Buleleng, Jembrana, Lombok, Sumbawa). 17. Jawa Pusat, Jawa Timur, serta Madura ( Jawa Pusat, Kedu, Puworejo, Tulungagung, Jawa Timur, Surabaya, Madura). 18.
Daerah Kerajaan (Surakarta, Yogyakarta).
19.
Jawa Barat (Pariangan, Sunda, Jakarta, Banten).
F. B idang -bidang hukum adat Di dalam buku yang berjudul Bab-bab tentang Hukum Adat, Soepomo menegaskan bahwa antara sistem hukum adat dan sistem hukum Barat, terdapat perbedaan fundamental (Soepomo 1977:25). Hal ini disebabkan karena masing-masing sistem mempunyai latar belakang yang berbeda-beda. Apabila memang ada satu perbedaan yang fundamental, maka pembidangan hukum adat dengan sendirinya juga berbeda dengan pembidangan hukum Barat. Pada dewasa ini, 16
tampak dari kurikulum pada fakultas-fakultas hukum di Indonesia, hendak “dipaksakan” suatu pembidangan yang tidak cocok dengan kenyataan hidup hukum adat. Sehingga mata kuliah Hukum Adat senantiasa diartikan sebagai hukum adat perdata belaka. Mata kuliah yang berisikan hukum perdata Barat diberi nama Hukum Perdata, sedangkan isi mata kuliah Hukum Adat yang semata hukum perdata, diberi nama Hukum Adat. Kenyataan semacam itu timbul karena adanya kecenderungan untuk berpegang pada kebiasaan yang sudah menjadi tradisi, dengan agak melupakan segi kebenarannya. Mengenai pembidangan hukum adat tersebut, terdapat pelbagai variasi yang berusaha untuk mengidentifikasikan kekhususan hukum adat apabila disbanding dengan hukum Barat. Van Vollenhoven berpendapat, bahwa pembidangan hukum adat, adalah sebagai berikut: 1. Bentuk-bentuk masyarakat hukum adat 2. Tentang pribadi 3. Pemerintahan dan peradilan 4. Hukum keluarga 5. Hukum perkawinan 6. Hukum waris 7. Hukum tanah 8. Hukum hutang piutang 9. Hukum delik 10. Sistem sanksi Di dalam bukunya yang berjudul Het Adatprivaatrecht van West Java (1933) yang kemudian diterjemahkan oleh Ny. Nani Soewondo dengan judul Hukum Adat Perdata Jawa Barat, Soepomo menyajikan pembidangan, sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6.
Hukum keluarga Hukum perkawinan Hukum waris Hukum tanah Hukum hutang piutang Hukum pelanggaran
Ter Haar di dalam bukunya Beginselen en stelsel van bet Adat-recht, mengemukakan pembidangan, sebagai berikut: 1. Tata masyarakat 2. Hak-hak atas tanah 3. Transaksi-transaksi tanah 4. Transaksi-transaksi dimana tanah tersangkut 5. Hukum hutang piutang 6. Lembaga/yayasan 7. Hukum pribadi 8. Hukum keluarga 9. Hukum perkawinan 10. Hukum delik 11. Pengaruh lampau waktu
17
Pembidangan hukum adat sebagaimana dikemukakan oleh para sarjana tersebut di atas cenderung untuk diikuti oleh para ahli hukum adat pada dewasa ini. Surojo Wignjodipuro sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Tata susunan rakyat Indonesia Hukum perseorangan Hukum kekeluargaan Hukum perkawinan Hukum harta perkawinan Hukum (adat) waris Hukum tanah Hukum hutang piutang Hukum (adat) delik
Tidak jauh berbeda dengan pembidangan tersebut di atas adalah dari Iman Sudiyat di dalam bukunya yang berjudul Hukum Adat, Sketsa Asas (1978) sebagai berikut: 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Hukum tanah Transaksi tanah Transaksi yang bersangkutan dengan tanah Hukum perutangan Status badan pribadi Hukum kekerabatan Hukum perkawinan Hukum waris Hukum delik adat
Pelbagai pembidangan tersebut diatas, disajikan agar mendapatkan suatu gambaran relatif yang menyeluruh. Pembidangan hukum adat harus merupakan suatu refleksi dari sistem masyarakat yang mendukung hukum adat tersebut. Refleksi tersebut akan diperoleh dengan menerapkan metode induktif, yang bertitik tolak pada kekhususan untuk kemudian disimpulkan menjadi pola yang umum sifatnya. Dengan demikian maka pendekatannya lebih bersifat sosiologis dan antropologis, pendekatan mana sangat penting di dalam pembahasan mengenai hukum adat. Pendekatan-pendekatan sosiologis, antropologis, dan yuridis, tidaklah pantas untuk dipertentangkan bahkan ketiga pendekatan tersebut seyogyanya digabungkan agar diperoleh tingkat kelengkapan yang lebih tinggi. Pembidangan hukum yang dipergunakan pada pembidangan hukum atas (Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto 1979:52) 1. Hukum public dan hukum perdata 2. Hukum materiil dan hukum formil Pembidangan antara hukum publik dan hukum perdata mengakibatkan timbulnya pelbagai masalah, oleh karena banyaknya kasus marginal. Namun, pembidangan tersebut masih tetap dimungkinkan karena apabila hukum public di bandingan dengan hukum perdata, makan hukum pulik merupakan hukum khusus (dengan unsur umum) dan hukum perdata adalah hukum umum. Pemisahan atau batas antara isinya, ditentukan oleh hukum positif masyarakat yang bersangkutan. Sudah tentu hal ini diterapkan pada hukum adat, sebagaimana dinyatakan oleh ter Haar, hukum adat timbul dari keputusan pejabat hukum maupun keputusan warga masyarakat(yang pertama menyangkut kepentingan umum, kedua menyangkut 18
kepentingan pribadi). Atas dasar hal-hal tersebut makan dapat dikemukakan pembidangan sebagai berikut: Hukum publik materiil dan formil, yang mencakup: a. Hukum tantra, yakni: 1. Hukum tata tantra atau hukum tata Negara 2. Hukum Administrasi tantra atau Hukum Administrasi Negara Hukum Perdata materil dan formil, yang mencakup: a. b.
Hukum pribadi Hukum harta kekayaan 1. Hukum benda: a. Hukum benda tetap atau hukum agrarian b. Hukum beda lepas Hukum perikatan: Hukum perjanjian Huku penyelewengan perdata Hukum hak immateril Hukum penyelewengan Hukum waris
2. a. b. c. d. e.
Bidang-bidang tersebut kesemuanya dapat menjadi ruang lingkup dari hukum adat, setidaknya sebagai ilmu (ilmu hukum adat) Di dalam menganalisa setiap bidang tersebut dapat dipergunakan pengertian dasar dari sistem hukum sebagai berikut (Purnadi Purbacaraka & Soerjono Soekanto, 1979:46, 48 dan 49) 1. 2. 3. 4. 5.
Subyek hukum, yakni setiap pihak yang menjadi pendukung hak dan kewajiban Hak dan kewajiban Peristiwa hukum Hubungan hukum Obyek hukum
19
BAB IV PENUTUP 1.Kesimpulan Adat sering dipandang sebagai sebuah tradisi sehingga terkesan sangat lokal, ketinggalan jaman, tidak sesuai dengan ajaran agama dan lain-lainnya. Hal ini dapat dimaklumi karena “adat” adalah suatu aturan tanpa adanya sanksi riil (hukuman) di
masyarakat kecuali menyangkut soal dosa adat yang erat berkaitan dengan soal-soal pantangan untuk dilakukan (tabu dan kualat). Terlebih lagi muncul istilah-istilah adat budaya, adat istiadat, dll. Hukum Adat adalah wujud gagasan kebudayaan yang terdiri atas nilai-nilai budaya, norma, hukum, dan aturan-aturan yang satu dengan lainnya berkaitan menjadi suatu sistem dan memiliki sanksi riil yang sangat kuat. Hukum Adat tidak sama dengan Hukum Kebiasaan. Kebiasaan yang dibenarkan ( diakui) didalam perundang-undangan merupakan hukum kebiasaan, sedangkan Hukum Adat adalah hukum kebiasaan diluar perundang-undangan.
Daftar pustaka Hadi kusuma,hilman. Pengantar ilmu hukum adat Soekanto,soerjono. Hukum adat indonesia Wignjodipoero,soerjono. Pengantar dan asas-asas hukum adat https://www.academia.edu/5698084/cici_ciri_hukum_adat
20
21