TRANSADAPTASI DAN ANALISIS PSIKOMETRI THE MULTIDIMENSIONAL BODY-SELF RELATIONS QUESTIONNAIRE
Bintaro Dwi Yudha Milanzahri Universitas Brawijaya Malang
[email protected] ABSTRACT This research was aimed to transadapt The Multidimensional Body-Self Realtions Questionnaire into Indonesian language and culture. The transadaptation process was conducted by transadaptation cross cultural method. The transadaptation instrument was administrated to 500 subjects with age ranging from 15 until 58 years old in Malang City. Based on exploratory factor analysis, it was found that 61 items represents 10 factors, and the factor loading of the items above 0,403 until 0,827. That items are identified again using item-total correlation in every factors, and all of items have item-total correlation value > 0,30. The calculation of Cronbach Alpha Stratified coefficient from this instrument is 0,918 so it can be assumed that MBSRQ Indonesian version has excellent reliability. Therefore, 61 items of the new Indonesian version of MBSRQ can be further usage.
Kata kunci: MBSRQ, transadaptation, exploratory factor analysis, Cronbach Alpha stratified
ABSTRAK Tujuan dari penelitian ini adalah melakukan transadaptasi The Multidimensional Body-Self Relations Questionnaire ke dalam bahasa dan budaya Indonesia. Proses transadaptasi dilakukan dengan metode transadaptasi cross cultural. Hasil dari transadaptasi diadministrasikan kepada 500 subjek yang merupakan masyarakat di Kota Malang dengan usia subjek 15 tahun ke atas. Berdasarkan analisis faktor eksploratori ditemukan 61 aitem dengan 10 faktor baru yang terbentuk dengan muatan faktor berkisar antara 0,403 sampai 0,827. Aitem-aitem tersebut di uji kembali dengan analisis korelasi aitem-total pada setiap dimensi untuk melihat daya diskriminan aitem, dan semua aitem memiliki nilai korelasi aitem total > 0,30. Perhitungan koefisien Cronbach Alpha berstrata dihasilkan nilai koefisien sebesar 0,918 dan dianggap memiliki reliabilitas yang bagus sekali (excellent). Oleh karena itu, 61 aitem MBSRQ versi Indonesia dapat dianjurkan untuk penggunaan lebih lanjut.
Kata kunci: MBSRQ, transadaptasi, analisis faktor eksploratori, Cronbach Alpha berstrata
PENDAHULUAN Latar Belakang Masalah Isu seputar obesitas seolah tidak pernah habis dibicarakan dalam dunia kesehatan. Peningkatan resiko obesitas, terutama di Indonesia membuat banyak pihak merasa khawatir dan memikirkan berbagai cara agar bisa terhindar dari problema tersebut. Namun ternyata isu yang semakin gencar mengenai peningkatan angka obesitas ini justru menimbulkan permasalahan baru di masyarakat, yaitu munculnya citra yang salah terhadap tubuh sendiri (negative body image). Konsep atau citra yang salah mengenai tubuh ini, selain dipicu oleh kekhawatiran yang berlebihan terhadap obesitas juga disebabkan oleh pengaruh media massa yang memunculkan “ikon” tentang definisi cantik serta bagaimana konsep tubuh ideal yang berlaku di masyarakat (Nadya, 2012). Hal itu dibahas dalam seminar “Shape Your Body, Enhance Your Confidence” yang digelar oleh Mahasiswa Departemen Gizi Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia, di Kampus UI Depok, pada akhir Oktober lalu. Dr. dr. H. Zainal Abidin, DSM, Internist, Sp.GK selaku Ketua Bidang Sport Science dan IPTEK Komite Olahraga Nasional Indonesia (KONI) melihat, selama ini masyarakat yang tidak memiliki pengetahuan yang cukup, akan mendapatkan informasi yang salah dan mulai memberikan arti yang salah pula terhadap bentuk tubuh (body shape) mereka. Kondisi ini membuat banyak orang berlomba untuk mulai menyesuaikan diri dengan definisi bentuk tubuh ideal yang “dimunculkan” oleh media tersebut dengan berbagai cara, termasuk menganiaya diri sendiri dengan diet ketat. Kekhawatiran akan obesitas cenderung terjadi pada wanita, sementara pria justru ingin terlihat berotot di mata wanita sehingga kaum pria lebih gencar melakukan olah tubuh untuk membentuk otot (Nadya, 2012). Akhir-akhir ini, body image menjadi salah satu topik yang sangat menarik untuk dibahas, baik pria maupun wanita pada saat ini sangat memperhatikan penampilan mereka, dari penampilan fisik seperti bentuk tubuh, bentuk wajah hingga gaya berpakaian mereka yang menjadi perhatian penting dalam kehidupan sehari-hari. Fenomena pria metroseksual yang kini melanda seluruh dunia, termasuk di kota-kota besar di Tanah Air, ternyata tidak hanya menarik dibicarakan mengenai pernik-pernik gaya hidupnya, tapi juga menarik untuk diamati. Berdasarkan Indonesian Metrosexual Behavioral Survey yang dilakukan MarkPlus&Co akhir tahun lalu, para pria metroseksual ini umumnya paling suka belanja, tidak tabu untuk berdandan dan memanjakan diri dengan berlama-lama di salon, suka ngerumpi berjam-jam di kafe, dan sangat fashion-oriented, mereka juga selalu update terhadap model baju terbaru di New York atau Milan. Studi yang dilakukan terhadap 400 pria upper class (SEC A+++) di Jabotabek (ditambah Depok) ini bertujuan untuk melihat karekteristik perilaku dan beberapa aspek gaya hidup mereka. Dari studi itu terungkap, pria kalangan atas ternyata mulai melihat bahwa dalam dunia bisnis, berdandan secara menarik adalah hal penting saat ini. Di kalangan pebisnis juga mulai muncul anggapan bahwa pria yang berpenampilan menarik dinilai akan lebih berhasil dari pria yang ceroboh terhadap penampilannya. Di sini terlihat bahwa seperti halnya wanita, pria semakin tegas mengekspresikan dirinya melalui penampilan yang menarik dan sesuai dengan model berpakaian yand ada. Dari studi itu juga terlihat bahwa pria-pria dandy kota besar ini juga melihat bahwa facial di salon layaknya wanita merupakan hal yang wajar. Selain itu, ada kecenderungan pria-pria kota besar dan mapan ini semakin senang bersosialisasi. Pria-pria ternyata juga semakin peduli dengan kesehatan dan penampilan tubuh dengan rajin berolah raga. Karena itu, semakin banyak dari mereka yang rutin ke fitness center atau tempat-tempat pembentukan tubuh agar badan mereka kencang dan fit selalu. Kalau dulu pusat-pusat
kebugaran banyak didominasi oleh kaum hawa, maka kini komposisi wanita dan pria mulai berimbang (Yuswohady, 2004). Menurut Cash dan Pruzinsky (2002), body image adalah konstruk yang bersifat multidimensional yang berhubungan dengan persepsi, pikiran, dan perasaaan tentang tubuh dan pengalaman terhadap tubuh, sehingga banyak pengukuran yang dikembangkan untuk mengevaluasi aspek-aspek yang berbeda dalam konstruk body image. Persepsi, pikiran dan perasaan yang salah terhadap konsep tubuh serta adanya ketidaknyamanan akan bentuk tubuh dapat mengakibatkan tendesi ke arah yang negatif, yaitu terbentuknya citra yang salah terhadap bentuk tubuh dalam diri sendiri. Pengukuran terhadap sikap seseorang terhadap aspek-aspek yang berbeda akan bentuk tubuhnya dapat diketahui dengan alat ukur psikologi mengenai citra tubuh (body image). Alat ukur psikologis yang mengukur sikap seseorang terhadap aspek-aspek yang berbeda akan bentuk tubuh yang dimiliki dapat digunakan sebagai bahan evaluasi, apakah seseorang merasa nyaman dan puas terhadap bentuk tubuh yang dimilikinya ataukah tidak. Multidimensional Body Self-Relations Questionnaire (MBSRQ) adalah alat ukur tentang body image yang hendak di adaptasi oleh peneliti, karena MBSRQ (Multidimensional Body Sel-Realtions Questionnaire) merupakan alat ukur psikologis yang dibuat untuk mengukur tingkat kepuasan individu terhadap bentuk tubuhnya yang mencakup tiga aspek dalam pengukuran citra tubuh yaitu kognitif, afektif, dan behavior. Lebih dari itu, aspek yang diukur tidak hanya penampilan fisik melainkan kebugaran serta kesehatan dan perhatian terhadap penyakit. Keunikan dari MBSRQ ini adalah sudah banyak dan berhasil digunakan sebagai assessment dalam berbagai penelitian mengenai body-image di Amerika. Instrumen ini juga dapat digunakan sebagai bahan investigasi, survei, penelitian terhadap murid normal, penelitian tentang obesitas, gangguan makan, dan berbagai penelitian tentang body-image (Cash, 2000). Alat ukur yang terdiri dari 69 aitem ini terdiri dari 10 dimensi yang mewakili untuk mengukur tingkat kepuasan terhadap bentuk tubuh yaitu evaluasi penampilan (appearance evaluation), orientasi penampilan (appearance orietation), evaluasi kebugaran fisik (fitness evaluation), orientasi kebugaran fisik (fitness orientation), evaluasi kesehatan (health evaluation), orientasi kesehatan (health orientation), orientasi tentang penyakit (illness orientation) kepuasan area tubuh (body area satisfaction scale), kecemasan menjadi gemuk (overweight preoccupation), persepsi terhadap ukuran tubuh (self classification weight). Evaluasi penampilan adalah pengukuran terhadap perasaan menarik atau tidak menarik, kepuasan atau ketidakpuasan terhadap penampilan. Orientasi penampilan adalah pengukuran derajat perhatian individu terhadap penampilannya. Kepuasan area tubuh adalah pengukuran terhadap kepuasan individu terhadap aspek-aspek tertentu dari penampilannya. Adapun aspek-aspek tersebut adalah wajah, rambut, tubuh bagian bawah (pantat, paha, pinggul, kaki), tubuh bagian tengah (pinggang, perut), tampilan otot, berat, tinggi, dan penampilan secara keseluruhan. Kecemasan menjadi gemuk yaitu menggambarkan kecemasan terhadap kegemukan, kewaspadaan akan berat badan, kecenderungan melakukan diet untuk menurunkan berat badan dan membatasi pola makan. Persepsi terhadap ukuran tubuh yaitu menggambarkan bagaimana seseorang mempersepsi dan menilai berat badannya, dari yang sangat kurus sampai dengan yang sangat gemuk. Adaptasi alat ukur Multidimensional Body-Self Relations Questionnaire (MBSRQ) ini pernah diadaptasi di Perancis pada tahun 2009 oleh Untas, Koleck, dan Rascle. Adaptasi ini dilakukan karena yang menciptakan dan mengembangkan alat ukur ini adalah ilmuwan dan psikolog asal Amerika Serikat Thomas F. Cash, oleh karena itu untuk menggunakan alat ukur ini di negara dengan budaya dan bahasa yang berbeda perlu dilakukan adaptasi agar mampu mengukur sesuai dengan tujuan dari alat ukur tersebut. Peneliti melakukan adaptasi alat ukur
MBSRQ dalam bahasa Indonesia, karena latar belakang budaya dan bahasa di indonesia berbeda dengan di Amerika, sehingga perlu dilakukan adaptasi sebelum menggunakan alat ukur MBSRQ di Indonesia. Pengembangan alat ukur dapat dilakukan dengan memperbaiki, mengadaptasi, ataupun memperbaharui dan mengadaptasi. Adaptasi alat ukur perlu dilakukan ketika alat ukur psikologis tersebut akan digunakan di negara lain yang memiliki budaya dan bahasa yang berbeda dengan negara dimana alat ukur psikologis tersebut diciptakan. Oleh karena itu, harus dilakukan standarisasi kembali untuk memastikan alat ukur psikologis tersebut berkualitas, seperti mengevaluasi validitas, reliabilitas, dan norma sehingga setelah proses adaptasi pada alat ukur psikologis dilakukan, diharapkan alat ukur psikologis tersebut bebas dari bias budaya yang dapat mengotori data yang diperoleh (Paterson, 2005). Dalam proses adaptasi alat ukur juga perlu dilakukan analisis faktor terhadap alat ukur yang diadaptasi. Analisis faktor merupakan suatu metode yang dapat digunakan untuk menguji hipotesis-hipotesis mengenai eksistensi konstruk-konstruk atau bila tidak ada hipotesis, analisis dilakukan untuk menentukan karakteristik konstruk dalam kelompok variabel-variabel, dimana sebuah konstruk merupakan suatu atribut atau karakteristik yang disimpulkan dari riset (Kusnadi, 2008). Tujuan utama dari analisis faktor adalah untuk menentukan apakah suatu perangkat variabel dapat digambarkan berdasarkan faktor atau dimensi yang lebih kecil dari pada jumlah variabel, dan menunjukkan karakteristik atau sifat yang dimiliki oleh masing-masing faktor tersebut (Kusnadi, 2008). Terdapat dua pendekatan dalam analisis faktor, yaitu pendekatan eksploratori dan pendekatan konfirmatori. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pendekatan eksploratori atau yang biasa disebut dengan analisis faktor eksploratori. Analisis faktor eksploratori digunakan peneliti dalam adaptasi alat ukur ini sebab analisis faktor eksploratori berfungsi untuk menganalisis saling hubungan diantara variabelvariabel dan menjelaskan saling hubungan tersebut dalam bentuk kelompok variabel yang terbatas yang disebut faktor (Azwar, 2007). Selain itu, analisis faktor eksploratori berfungsi untuk mengeksplorasi dari indikator-indikator atau variabel-variabel manifest yang ada, yang nantinya akan terbentuk faktor-faktor. Yang kemudian dilakukan interpretasi terhadapnya untuk menentukan variabel-variabel laten apa yang dapat diperoleh. Dalam proses adaptasi dalam alat ukur MBSRQ ini, peneliti juga menggunakan metode psikometri pengujian daya diskriminasi aitem. Daya diskriminasi atau daya beda aitem merupakan parameter yang digunakan untuk melakukan seleksi aitem. Daya diskriminasi menunjukkan sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu yang memiliki atribut yang diukur dan yang tidak memiliki atribut yang diukur (Azwar, 2007). Indeks daya diskriminasi aitem juga merupakan indikator keselarasan atau konsistensi antara fungsi aitem dengan fungsi skala secara keseluruhan. Peneliti menggunakan analisis aitem sebagai parameter dari daya diskriminasi aitem, dimana penghitungannya dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi antara distribusi skor aitem dengan distribusi skor skala itu sendiri yang akan menghasilkan koefisien korelasi aitem-total yang dikenal pula dengan sebutan parameter daya beda aitem (Azwar, 2012). Selain metode psikometri tersebut, peneliti juga akan menguji validitas dan reliabilitas dari alat ukur MBSRQ yang telah diadaptasi ke dalam Bahasa Indonesia. Validitas tes yang digunakan peneliti untuk menguji alat ukur MBSRQ ini adalah dengan construct validity (validitas konstruk) dan content validity (validitas isi), dimana validitas isi dan konstrak penting dalam proses adaptasi alat ukur untuk memberikan bukti bahwa alat ukur yang telah diadaptasi tidak asing bagi populasi dimana alat ukur tersebut ditujukan serta aitem-aitem dalam alat ukur tersebut setara dengan
alat ukur aslinya. Validitas isi merupakan validitas yang tidak melibatkan perhitungan statistik apapun, melainkan dinilai melalui analisis rasional atau professional judgement sehingga pendapat setiap orang dapat berbeda mengenai sejauh mana validitas isi suatu alat ukur (Azwar, 2004). Pada validitas ini peneliti menggunakan face validity dan logical validity. Validitas konstrak adalah validitas yang berfungsi untuk melihat apakah suatu alat tes telah memenuhi fungsinya dalam mengukur construct atau trait secara teoritis (Anastasi dan Urbina, 1997), selain itu peneliti menggunakan analisis faktor karena analisis faktor merupakan salah satu metode dalam validitas konstrak. Reliabilitas alat tes ini merujuk pada sejauh mana alat ukur ini bisa dipercaya. Reliabilitas mengacu pada tingkat konsistensi, yaitu apakah suatu instrumen memberikan hasil yang sama dengan instrumen lain yang mengukur konsep yang sama dan apakah suatu instrumen memberikan hasil yang sama di waktu yang berbeda (Gupta, 2007). Koefisien reliabilitas terentang antara 0 hingga 1, dimana semakin mendekati 1 semakin tinggi reliabilitasnya. Dalam penelitian ini, reliabilitas dilihat dengan metode internal konsistensi yakni dengan sekali administrasi tes dan melihat keajegan skala dengan mengkorelasikan dengan belahan-belahan tes. Peneliti menggunakan koefisien Alpha dari Cronbach untuk menguji reliabilitas, karena Gliem dan Gliem (2003) menyatakan bahwa koefisien Alpha dari Cronbach merupakan teknik uji reliabilitas yang hanya membutuhkan sekali pengadministrasian alat ukur untuk memberikan perkiraan reliabilitas dari alat ukur tersebut. Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan, peneliti tertarik melakukan penelitian untuk mengetahui bagaimana karakteristik psikometri MBSRQ setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan disesuaikan dengan budaya di Indonesia serta mengetahui kelayakan dari alat ukur MBSRQ untuk digunakan di Indonesia dan alat ukur MBSRQ dapat memenuhi persyaratan secara psikometris agar dapat digunakan di Indonesia, sehingga peneliti melakukan penelitian yang berjudul “Transadaptation dan analisis psikometri The Multidimensional Body Self Relations Questionnaire”. Rumusan Masalah Rumusan masalah yang diajukan dalam penelitian ini adalah: 1. Apakah karakteristik psikometri MBSRQ valid setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan disesuaikan dengan budaya di Indonesia? 2. Apakah reliabilitas MBSRQ memuaskan setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan disesuaikan dengan budaya di Indonesia?
Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Menganalisis validitas secara psikometri alat ukur MBSRQ yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan disesuaikan dengan budaya di Indonesia. 2. Menganalisis reliabilitas MBSRQ setelah diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia dan disesuaikan dengan budaya di Indonesia.
Manfaat Penelitian 1. Manfaat praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan yang berarti bagi perkembangan ilmu psikologi, terutama pengembangan alat ukur yang sesuai dengan budaya Indonesia. 2. Manfaat teoritis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan informasi mengenai citra tubuh, serta dapat digunakan sebagai bahan untuk melakukan assessment untuk psikolog di Indonesia tentang body image pada individu.
TINJAUAN PUSTAKA Translasi dan Adaptasi Alat Ukur Psikologis Adaptasi alat tes adalah proses dimana alat tes tersebut diterjemahkan dari bahasa aslinya dan/atau budaya asalnya menjadi satu atau lebih bahasa yang diinginkan. Uji validitas merupakan kekuatan pendorong dari adapatasi alat tes. Tujuan dari pengujiannya adalah untuk mengetahui tinggi rendahnya suatu validitas yang digunakan untuk menginterpretasikan hasil dari penilaian terhadap alat tes tersebut, makna dari adaptasi alat tes adalah untuk menyediakan instrumen yang penilaiannya adil, setara dan dapat diinterpretasikan (Matthews, 2003). Transadaptation merupakan salah satu proses dalam sebuah penelitian cross-cultural (Hoegh dan Hoegh, 2009). Transadaptation yang terdiri atas proses translation dan adaptation diterjemahkan sebagai proses dimana sebuah skala atau alat tes yang telah dikonstruksikan dalam suatu bahasa dan budaya tertentu diterjemahkan dan diadaptasi ke dalam bahasa lain dengan menyesuaikan karakter budayanya (Cohen, 2007). ITC (International Test Commission) (2010) yang merupakan sebuah organisasi dunia yang bergerak di bidang konstruksi alat tes psikologi, pada tahun 1992 menggelar sebuah konverensi internasional untuk menyusun sebuah panduan translating and adapting suatu alat tes. Uji transadaptasi (translasi dan adaptasi) adalah proses dimana suatu alat ukur dibangun dalam satu bahasa dan budaya yang siap digunakan dalam bahasa dan budaya yang kedua. Uji transadaptasi melibatkan adaptasi dan translasi dari aitem dalam bahasa asli dan penggantian aitem yang tidak sesuai dengan hasil adaptasi dan translasi dari aitem yang ditulis dalam bahasa kedua. Proses transadaptasi tersebut, tim transadaptasi memiliki efek serangkaian perubahan dan modifikasi sebelum pengujian akhir dari hasil transadapasinya. Menurut Komisi Tes Internasional (ITC) mengenai pedoman uji penerjemahan dan adaptasi (Guideline D1., ITC, 2001; Hambleton, 2005) menyebutkan: “Test developers/publishers should ensure that the adaptation process takes full account of linguistic and cultural differences in the intended populations. The rationale provided for this guideline is that because a single translator cannot be expected to have all of the required qualities and brings a single perspective to the task of translation, in general, it seems clear that a team of specialists is needed to accomplish an accurate adaptation”.
Mengadaptasi alat tes biasanya menggabungkan 3 tipe aitem: aitem yang baru dikembangkan, aitem yang diterjemahkan, dan aitem yang diadaptasi. Tahap-tahap Adaptasi Alat Ukur Psikologis Proses adaptasi lintas budaya menurut Beaton (2000) terdapat enam tahapan, yaitu: Tahap I: Penerjemahan awal (initial translation) Tahapan pertama dalam mengadaptasi adalah melakukan penerjemahan awal dari bahasa asli ke bahasa yang dituju. Direkomendasikan setidaknya 2 orang penerjemah awal untuk melakukan penerjemahan akan alat ukur yang digunakan dari bahasa asli ke bahasa yang dituju. Pada tahapan ini, penerjemah dapat membandingkan dan membedakan kemungkinan adanya ambiguitas kata-kata dari bahasa asli atau mecatatat adanya perbedaan dalam proses menerjemahkan. Pemilihan kalimat yang buruk dapat diidentifikasi serta didiskusikan oleh kedua penerjemah. Masing-masing penerjemah menghasilkan laporan tertulis dari hasil terjemahannya baik isi dari aitem, pilihan jawaban, dan petunjuk yang ada. Kedua penerjemah harus memiliki profil atau latar belakang yang berbeda. Tahap II: Mensistesis hasil terjemahan (synthesis of the translations) Hasil dari penerjemah pertama (T1) dan penerjemah kedua (T2) disintesis untuk dibuat menjadi satu terjemahan umum (T-12). Tahap III: Penerjemahan kembali (back translation) Tahapan ini, seorang penerjemah melakukan penerjemahan hasil sintesis (T1) dan (T2) yaitu (T-12) ke bahasa aslinya, dimana penerjemah benar-benar tidak mengetahui bahasa aslinya. Proses ini adalah proses validitas yang berfungsi untuk memeriksa dan memastikan bahwa versi terjemahan mencerminkan isi dari aitem-aitem seperti versi aslinya. Penerjemahan kembali ini juga dilakukan oleh dua orang penerjemah yang disebut (BT1) dan (BT2). Tahap IV: Komite ahli (expert committee) Komite ini sangat penting untuk pencapaian kesetaraan dalam lintas budaya. Komite ahli ini melakukan konsolidasi terhadap seluruh versi dari alat ukur dan mengembangkan alat ukur untuk menjadi versi prefinal dari alat ukur yang akan digunakan untuk uji coba. Para komite akan meninjau seluruh hasil terjemahan dan menemukan perbedaan-perbedaan yang muncul. Materi yang dibahas oleh komite adalah kuesioner yang asli, dan setiap terjemahan yang telah dilakukan (T1, T2, T12, BT1, BT2), kemudian komite membuat keputusan untuk hasil dari kuesioner atau alat ukur yang akan digunakan sehingga mencapai kesetaraan antara sumber alat ukur dan versi baru dengan memperhatikan 4 hal penting, yaitu: Kesetaraan semantik. Apakah kata-katanya memiliki arti yang sama? Apakah aitem tersebut memiliki makna berganda? Apakah ada kesulitan tata bahasa dalam terjemahannya? Kesetaraan idiomatik. Apakah bahasa atau idiom yang digunakan sulit diterjemahkan? Komite harus merumuskan ekspresi atau makna yang setara dalam versi sasaran. Kesetaraan pengalaman. Penggunaan bahasa sehari-hari sumber dengan sasaran memiliki perbedaan budaya dan pengalamn, sehingga komite harus mengganti aitem tersebut dengan aitem yang memiliki makna yang sama dengan budaya sasaran.
Kesetaraan konseptual. Komite berusaha untuk menyetarakan konsep dari budaya asal dengan budaya sasaran. Tahap V: Pengujian terhadap versi prefinal (test of the prefinal version) Tahap akhir dari proses adaptasi adalah pretest. Hal ini dilakukan sebagai pengujian di lapangan dari kuesioner atau alat ukur yang baru. Idealnya, sampel yang digunakan dalam uji coba alat ukur adalah antara 30 sampai dengan 40 orang. Masing-masing subjek melengkapi kuesioner yang ada, dan memberikan pendapat (respon) mengenai pemahaman mereka akan aitem-aitem yang ada. Hal ini berfungsi untuk memastikan bahwa versi adaptasi masih mempertahankan kesetaraan dalam situai yang baru. Tahap VI: Penyerahan hasil akhir kepada kordinator pengembang atau komite untuk penilaian terhadap proses adaptasi (Submission of documentation to the developers or coordinating committe for appraisal of the adaptation process) Tahap akhir dari proses adaptasi ini adalah pengajuan semua laporan kepada pengembang atau komite, hal ini dilakukan untuk memverifikasi dari aitem-aitem yang digunakan pada pengujian nantinya. Analisis Deskriptif Analisis deskriptif berkaitan dengan penggunaan metode analisis statistik deskriptif yang merupakan metode analisis statistik yang memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat dari rata-rata, standar deviasi, variance, maksimum, minimum, kurtosis, skewness (kemencengan distribusi) (Ghozali, 2005). Statistik deskriptif mendeskripsikan data menjadi sebuah informasi yang lebih jelas dan mudah dipahami. Uji Validitas Validitas Isi Peneliti menggunakan validitas isi untuk mengestimasi pengujian terhadap kelayakan dan relevansi isi tes melalui analisis rasional oleh panel yang berkompeten atau melalui expert judgment, sehingga alat ukur yang dibuat aitem-aitemnya dapat mengungkap atribut yang diukur sesuai dengan indikator perilakunya, selain itu juga mencakup keseluruhan domain isi yang hendak di ukur serta aitem-aitemnya relevan dengan tujuan ukur dimana aitem tersebut tidak keluar dari batasan tujuan ukur. Haynes et al, mengatakan bahwa makna validitas isi adalah sejauhmana elemen-elemen dalam suatu instrumen dari konstrak yang sesuai dengan tujuan pengukuran (Azwar, 2012). Ley (2007) mengatakan bahwa validitas isi adalah sejauhmana kelayakan suatu tes sebagai sampel dari domain aitem yang hendak diukur. Secara lebih spesifik, validitas isi dapat dibedakan menjadi dua tipe, yaitu face validity (validitas muka) dan logical validity (validitas logis). Validitas muka (face validity) merupakan awal evaluasi kualitas tes yang dilihat dari aitem-aitemnya. Bukti validitas muka sama sekali tidak ada kaitannya dengan semacam statistik validitas seperti koefisien atau indeks. Menurut Gregory (1992) validitas muka sekedar tahap penerimaan orang pada umumnya terhadap fungsi pengukuran tes tersebut (Azwar, 2012). Validitas muka merupakan kondisi yang perlu dipenuhi pertama kali sebelum layak membahas sisi lain dari kualitas tes. Penilaian terhadap kelayakan tampilan aitem-aitem kemudian analisis yang lebih dalam dilakukan dengan maksud untuk menilai kelayakan isi aitem sebagai jabaran dari
indikator keperilakuan atribut yang diukur. Menurut Straub, penilaian ini bersifat kualitatif dan judgemental serta dilaksanakan oleh suatu panel expert, bukan oleh penulis aitem atau perancang tes itu sendiri. Validitas Konstruk Peneliti menggunakan validitas konstrak untuk membuktikan apakah hasil pengukuran yang diperoleh melalui aitem-aitem tes berkorelasi tinggi dengan konstrak teoritik yang mendasari penyusunan tes tersebut, serta mengetahui apakah skor yang diperoleh mendukung konsep teoritik dari tujuan ukurnya. Menurut Allen & Yen, validitas konstrak adalah tipe validitas yang menunjukkan sejauhmana tes mengungkap suatu trait atau konstrak teoritik yang hendak diukurnya (Azwar, 2010). Cronbach & Meehl mengatakan bahwa menguji validitas konstrak melibatkan paling tidak tiga langkah, yaitu a) mengartikulasikan serangkaian konsep teoritik dan interrelasinya, b) mengembangkan cara untuk mengukur konstrak hipotetik yang diteorikan, dan c) menguji secara empirik hubungan hipotetik diantara konstrak tersebut dan manifestasinya yang nampak. Prosedur pengujian validitas konstrak berawal dari hasil komputasi interkorelasi diantara berbagai hasil tes dan kemudian diikuti oleh analisis lebih lanjut terhadap matriks korelasi yang diperoleh melalui berbagai metode, dua diantara pendekatan yang banyak dilakukan dalam pengujian validitas konstrak adalah pendekatan multitrait-multimethod dan pendekatan factor analysis. Analisis Faktor Peneliti menggunakan faktor analisis untuk menganalisis saling hubungan diantara variabel-variabel dan menjelaskan saling hubungan tersebut dalam bentuk kelompok variabel yang terbatas yang disebut faktor. Analisis faktor merupakan saah satu teknik analisis statistika multivariat, dengan menitikberatkan pada data yang mempunyai hubungan yang sangat erat secara bersama-sama pada segugusan variabel, tanpa membedakan antara variabel tergantung atau variabel endogen Y dan variabel bebas atau variabel eksogen X, cara ini disebut sebagai metode antarketergantungan (independence methods) (Wijanto, 2008). Menurut Munro, analisis faktor adalah sebuah metode statistik yang biasa dipergunakan, dalam pengembangan alat ukur, untuk menganalisis hubungan diantara banyak sekali variabel. Sebuah faktor adalah kombinasi aitem-aitem tes yang diyakini sebagai suatu kumpulan. Aitem-aitem yang berhubungan membentuk sebagian dari konstrak dan dikelompokkan bersama, aitem-aitem yang tidak berhubungan tidak membentuk bagian dari konstrak dan harus dikeluarkan dari kelompoknya (Azwar, 2012). Sardjana (2005) menyebutkan bahwa analisis faktor adalah kajian tentang saling ketergantungan antara variabel-variabel, dengan tujuan untuk menemukan himpunan-himpunan variabel-variabel baru, yang lebih sedikit jumlahnya daripada variabel-variabel semula yang merupakan faktorfaktor persekutuan. Field (2009) menyebut analisis faktor dengan sebutan R-matrix, dimana metode analisis faktor ini digunakan untuk memahami struktur dari satu set variabel yang digunakan, untuk menyusun sebuah kuesioner yang mengukur variabel yang mendasarinya, untuk memperkecil kumpulan data pada ukuran yang mudah untuk dikelola dengan mempertahankan informasi asli yang terkandung di dalamnya. Memperkecil kumpulan data dari sekelompok variabel yang saling terkait dalam bentuk faktor yang lebih kecil, analisis faktor mencapai penghematan dengan menjelaskan jumlah maksimum varians umum dalam matriks korelasi menggunakan jumlah terkecil konsep yang dijelaskan. Tujuan utama analisis faktor adalah untuk menjelaskan struktur hubungan diantara banyak variabel dalam bentuk faktor atau variabel laten. Faktor yang terbentuk merupakan
besaran acak (random quantities) yang sebelumnya tidak dapat diamati atau diukur secara langsung. Tujuan lain dari analisis faktor adalah mereduksi sejumlah variabel asal yang jumlahnya banyak menjadi sejumlah variabel baru yang jumlahnya lebih sedikit dari variabel asal, dan variabel baru tersebut dinamakan faktor atau variabel laten (konstruk). Analisis faktor juga berfungsi mengidentifikasi adanya hubungan antar variabel penyusun faktor (dimensi) dengan faktor yang terbentuk, dengan menggunakan pengujian koefisien korelasi antarfaktor dengan komponen pembentuknya. Analisis faktor ini disebut analisis faktor konfirmatori, selain itu analisis faktor juga menguji validitas dan reliabilitas instrumen dengan analisis faktor konfirmatori. Analisis faktor memiliki tujuan lain yaitu melakukan validasi data untuk mengetahui apakah hasil analisis faktor tersebut dapat digeneralisasi ke dalam populasinya, sehingga setelah terbentuk faktor, maka peneliti sudah mempunyai suatu hipotesis baru berdasarkan hasil analisis faktor (Wijanto, 2008). Analisis faktor mengurangi kelipatgandaan tes dan pengukuran hingga menjadi jauh lebih sederhana, sehingga analisis faktor dapat memberikan informasi mengenai tes-tes dan ukuran-ukuran yang tujuannya sama, dan membantu menemukan serta mengidentifikasi keutuhan-keutuhan yang melandasi tes dan pengukuran (Kerlinger, 2006). Analisis Faktor Eksploratori Giudici (2003) mengemukakan bahwa analisis faktor eksploratori merupakan analisis yang digunakan untuk mencari hubungan dari data yang ada ketika hubungan data tersebut tidak diketahui secara apriori. Menurut Steven, analisis faktor eksploratori digunakan untuk mengidentifikasi struktur faktor atau model untuk satu set variabel. Hal tersebut menentukan berapa banyak faktor yang ada, serta factor loading yang digunakan, pada umumnya analisis faktor eksploratori lebih digunakan untuk membangun suatu teori daripada menguji suatu teori yang sudah ada (Stapleton, 1997). Analisis faktor eksploratori akan menghasilkan muatan faktor yang menjelaskan antara faktor (konstruk laten yang diukur) dengan aitem. Karena merupakan eksplorasi maka analisis akan menghasilkan nilai muatan faktor yang idkaitkan dengan faktor lain yang tidak hendak diukur. Nilai muatan faktor inilah yang dinamakan dengan nilai mutan silang (cross loading) (Widhiarso, 2011). Gorsuch menjelaskan bahwa ketika aitem dari setiap dimensi disusun menjadi beberapa paket, ketidakstabilan setiap aitem dapat diatasi. Aitem yang digunakan oleh para peneliti biasanya ada yang baik dan kurang baik, hal tersebut menghasilkan distribusi yang negatif dan positif. Pembagian aitem dalam analisis faktor eksploratori dapat menghasilkan distribusi yang lebih normal antara variabel-variabel dan dapat mengurangi kesulitan faktor (Groves, 2007). Suhr (2003) menyebutkan bahwa analisis faktor eksploratori digunakan untuk membantu peneliti menentukan sejumlah konstruk laten yang mendasari set aitem, menyediakan cara untuk menjelaskan variasi antara aitem, dan menentukan isi atau makna faktor. Penggunaan analisis faktor eksploratori juga membantu peneliti untuk memperkirakan faktor g (g factor), yaitu faktor yang mempengaruhi respon pada variabel yang diamati. Prosedur penggunaan analisis faktor eksploratori Prosedur yang dapat digunakan dalam analisis faktor eksploratori menurut Stapleton (1997) adalah sebagai berikut: a) Data matriks Stapleton (1997) menyebutkan bahwa langkah pertama yang digunakan dalam analisis faktor eksploratori adalah menampilkan data dalam analisis matriks. Raymon dan Joreskog menjelaskan bahwa sebuah data matriks merupakan setiap susunan angka dengan satu atau
lebih baris dan kolom. Masalah yang biasa muncul pada proses ini adalah adanya vektor atau matriks yang hanya memiliki satu baris, dan skalar atau matriks yang keduanya memiliki satu baris dan satu kolom, serta berbagai matriks yang diidentifikasi oleh Gorsuch dalam mengembangkan faktor analitik. b) Korelasi matriks Widarjono (2010) menjelaskan bahwa langkah ini digunakan untuk menghitung matriks korelasi untuk mengetahui syarat kecukupan data dalam analisis faktor. Ada beberapa ukuran yang dapat digunakan untuk syarat kecukupan data sebagai rule of thumb, yaitu: (1) Korelasi matriks antar indikator Metode yang pertama adalah memeriksa korelasi matriks. Tingginya korelasi antara indikator mengindikasikan bahwa indikator-indikator tersebut dapat dikelompokkan dalam sebuah indikator yang bersifat homogen sehingga setiap indikator mampu membentuk faktor umum atau faktor konstruk. Sebaliknya korelasi yang rendah antara indikator mengindikasikan bahwa indikator-indikator tersebut tidak homogen sehingga tidak mampu membentuk faktor konstruk. (2) Korelasi parsial Metode kedua adalah memeriksa korelasi parsial yaitu mencari korelasi satu indikator dengan indikator dengan mengontrol indikator lain. Korelasi parsial ini disbeut dengan negative anti-image correlations, agar bisa dimasukkan dalam analisis faktor maka korelasi parsial ini seharusnya sekecil mungkin. Tidak ada ukuran yang pasti seberapa kecil korelasi parsial, biasanya besarnya penentuan korelasi parsial ini bersifat subjektif. (3) Kaiser Meyer Olkin (KMO) Metode ini paling banyak digunakan untuk melihat syarat kecukupan data untuk analisis faktor. Metode KMO ini mengukur kecukupan jumlah sampel secara menyeluruh dan mengukur kecukupan jumlah sampel untuk setiap indikator. Metode ini mengukur homogenitas indikator. Metode KMO tidak memerlukan uji statistika, tetapi ada petunjuk yang bisa digunakan untuk melihat homogenitas indikator seperti yang disarankan oleh Kaiser sebagaimana terlihat dalam tabel 1. Tabel 1. Ukuran KMO Ukuran KMO Rekomendasi Sangat baik (Malvelous) ≥0.90 Berguna (Meritorious) 0.80 – 0.89 Biasa (Middling) 0.70 – 0.79 Cukup (Mediocre) 0.60 – 0.69 Buruk (Miserable) 0.50 – 0.59 Tidak diterima (Unacceptable) ≤0.50 Adapun formula untuk menghitung KMO sebagai berikut:
Keterangan:
Secara umum tingginya KMO sangat diperlukan. Dilihat dari tabel 1, disarankan untuk paling tidak di atas 0,80, namun di atas 0,50 biasanya masih bisa diakomodasikan untuk penentuan analisis faktor. Selain memasukkan semua indikator di dalam perhitungan korelasi, Kaiser Meyer Olkin juga menghitung koefisien korelasi di dalam analisis faktor untuk indikator tertentu. Adapun formulanya sebagai berikut:
Sebagaimana KMO, semakin tinggi nilai koefisien korelasi KMO MSA maka sangat beralasan untuk memasukkan indikator secara individual di dalam analisis faktor. (4) Bartlett’s of sphericity Uji bartlett ini merupakan uji statistik untuk signifikansi menyeluruh dari semua korelasi di dalam matriks korelasi, dalam hal ini kita menguji hipotesis nol bahwa data yang diobservasi merupakan sampel dari distribusi populasi normal multivariat yang mana semua koefisien korelasi besarnya nol. Uji ini biasanya bisa diproksi dengan menggunakan uji distribusi Chi Squares. Hetzel menjelaskan bahwa analisis faktor merupakan usaha untuk menyederhanakan matriks korelasi dengan perhitungan sejumlah besar hubungan dengan sejumlah kecil konstruksi yang jelas, dan faktor-faktor hipotesis ditentukan dengan menguji data matriks tambahan, khususnya pada pola matriks faktor dan struktur matriks faktor (Stapleton, 1997). Stapleton menjelaskan bahwa terdapat istilah factor loading yang merupakan elemen yang terdiri dari pola matriks faktor dan struktur matriks faktor, selain itu Stevens menyebutkan bahwa poin pentingnya adalah koefisien faktor pola mewakili hubungan dari sebuah variabel spesifik dengan sebuah faktor spesifik tanpa adanya pengaruh variabel lain. Hatzel juga menjelaskan bahwa koefisien faktor struktur dapat dianggap sama dengan koefisien struktur pada jenis-jenis analisis korelasional yang lain, diaman koefisien tersebut menunjukkan korelasi antara variabel dan faktor, dengan melihat hasil korelasi matriks ini, maka faktor dapat diekstrak dan diinterpretasikan. c) Mengekstrak faktor Widarjono (2010) menjelaskan bahwa ekstraksi faktor adalah suatu metode yang digunakan untuk mereduksi data dari beberapa indikator untuk menghasilkan faktor yang lebih sedikit yang mampu mejelaskan korelasi antara indikator yang diobservasi. Ada beberapa metode yang bisa digunakan untuk melakukan ekstraksi faktor yaitu:
(1) Principal components analysis Analisis komponen utama (principal componenets analysis) merupakan metode yang digunakan untuk membentuk kombinasi liniear dari indikator yang diobservasi. Komponen utama yang pertama adalah kombinasi yang menjelaskan jumlah varian paling besar dari sampel. Selanjutnya, komponen utama yang kedua adalah menjelaskan varian yang paling besar kedua dan tidak berhubungan dengan komponen utama yang pertama. Komponen utama berikutnya menjelaskan porsi yang lebih kecil dari varian sampel total dan tidak berhubungan dengan yang lainnya. (2) Principal axis factoring Langkah pertama dalam metode ini adalah mencari koefisien korelasi ganda yang dikuadratkan (squared multiple correlation coefficients) yang digunakan sebagai estimasi awal dari indikator kebersamaan, kemudian berdasarkan langkah pertama ini, sejumlah faktor yang diperlukan diekstraks. Indikator kebersamaan kemudian diestimasi kembali dari factor loading dan faktor kembali diekstraksi dengan indikator kebersamaan baru yang menggantikan indikator kebersamaan yang lama. Faktor loading merupakan nilai korelasi yang antara hasil tes dengan faktor yang terbentuk, nilainya berkisar antara -1,0 sampai dengan +1,0 dan nilai dari factor loading dapat memenuhi dengan nilai >0,40 dengan tidak memperhatikan nilai positif atau negatifnya. Metode ini terus dilakukan sampai terjadi perubahan kecil dan bisa diabaikan dalam estimasi indikator kebersamaan. (3) Unweight least squares Metode unweight least squares adalah prosedur untuk meminimumkan jumlah perbedaan yang dikuadratkan antara matriks korelasi yang diobservasi dan yang diproduksi dengan mengabaikan matriks diagonal dari sejumlah faktor tertentu. (4) Generalized least squares Metode generalized least squares adalah metode meminimumkan eror sebagaimana metode unweight least squares, namun korelasi diberi timbangan sebesar keunikan dari indikator (error). Korelasi dari indikator yang mempunyai eror yang besar diberi timbangan yang lebih kecil dari indikator yang mempunyai eror yang kecil. (5) Maximum likelihood Maximum likelihood merupakan suatu prosedur ekstraksi faktor yang menghasilkan estimasi parameter yang paling mungkin utnuk mendapatkan matriks korelasi observasi jika sampel mempunyai distribusi normal multivariat. Korelasi diberi timbangan sebesar keunikan dari indikator (error) dan metode algorithm digunakan untuk melakukan ekstraksi faktor. Setelah dilakukan ekstraksi faktor kemudian dilakukan analisis communalities. Communalities merupakan nilai total varian berdasarkan faktor baru yang dijelaskan oleh tiap-tiap aitem yang dapat diketahui dengan melihat besarnya common variance pada output SPSS 17.0 (Field, 2009). Nilai common variance paling tinggi, paling rendah, dan berapa nilai rata-rata dari common variance seluruh aitem dapat dilihat dari nilai common variace tersebut. Menurut Field (2009) apabila besarnya nilai rata-rata common variance lebih dari 0,6 maka jumlah faktor yang terbentuk dikatakan akurat untuk subjek sebanyak 250, namun bila besarnya nilai rata-rata common variance kurang dari 0,6 maka jumlah faktor yang
terbentuk dikatakan kurang akurat karena kurangnya jumlah subjek yang digunakan dalam penelitian. d) Rotasi faktor Setelah faktor diekstraksi, langkah selanjutnya adalah rotasi faktor (rotation), rotasi faktor ini diperlukan jika metode ekstraksi faktor belum menghasilkan komponen faktor utama yang jelas. Tujuan dari rotasi faktor ini agar dapat memperoleh struktur faktor yang lebih sederhana agar mudah diinterpretasikan. Menurut Field (2009) terdapat dua metode rotasi yang disediakan dalam software SPSS, metode tersebut yaitu metode rotasi ortogonal (orthogonal rotation) dan metode rotasi miring (oblique rotation). Field (2009) menjelaskan bahwa metode rotasi miring merupakan metode rotasi yang digunakan bila dalam suatu penelitian peneliti berasumsi bahwa teori yang digunakan menunjukkan bahwa faktor yang ada memiliki korelasi satu sama lain. Terdapat dua alternatif pilihan yang dapat digunakan dengan metode rotasi miring yaitu promax dan direct oblimin. Direct oblimin digunakan untuk melihat sampai sejauhmana faktor-faktor diizinkan untuk saling berkorelasi yang ditentukan oleh sebuah nilai konstanta yang disebut dengan delta. Besarnya nilai delta dalam default SPSS adalah 0. Alternatif lain yang dapat digunakan adalah metode promax. Metode ini digunakan sebagai suatu prosedur cepat yang dirancang untuk jumlah data yang sangat besar. Menurut Field (2009), metode ortogonal merupakan metode rotasi yang digunakan bila dalam suatu penelitian peneliti berasumsi bahwa teori yang digunakan berdiri sendiri atau independen, dengan kata lain teori yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa faktor yang ada tidak memiliki korelasi satu sama lain. Ada beberapa alternatif pilihan yang dapat digunakan dalam metode rotasi ortogonal, yaitu: (1) Varimax method, adalah metode rotasi ortogonal untuk meminimalisasi jumlah indikator yang mempunyai factor loading tinggi pada tiap faktor. (2) Quartimax method, adalah metode rotasi ortogonal untuk meminimalisasi jumlah faktor yang digunakan untuk menjelaskan indikator. (3) Equamax method, adalah metode gabungan antara varimax method yang meminimalkan indikator dan quartimax method yang meminimalkan faktor. Prosedur exploratory factor analysis (EFA) membantu pengembang tes dalam mengenali dan mengidentifikasi berbagai faktor yang membentuk suatu konstrak dengan cara menemukan varians skor terbesar dengan jumlah faktor yang paling sedikit, yang dinyatakan dalam bentuk eigenvalue > 1,0 (Azwar, 2012) Analisis korelasi aitem-total Analisis aitem atau yang diukur melalui daya diskriminasi aitem dilakukan dengan menggunakan software SPSS Inc 16.0. Daya diskriminasi aitem adalah sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur. Penghitungannya dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi antara distribusi skor aitem dengan distribusi skor skala itu sendiri. Komputasi ini akan menghasilkan koefisien korelasi aitem-total. Sementara itu untuk menghindari adanya sporious overlap (overestimasi terhadap korelasi antara aitem yang bersangkutan dengan skor tes), koefisien korelasi aitem-total secara manual dihitung melalui formula produk momen Pearson koreksi sebagai berikut (Azwar, 2012) :
Dimana, ri(x-i) = rix = Si = Sx =
Koefisien korelasi aitem total setelah dikoreksi Koefisien korelasi aitem total sebelum dikoreksi Deviasi standar skor aitem yang bersangkutan Deviasi standar skor skala
Nilai hasil koefisien korelasi aitem total yang telah dikoreksi akan nampak lebih rendah dari pada yang belum dikoreksi. Hal ini karena nilai korelasi aitem yang sedang diukur tidak diikutsertakan dalam penghitungan ini. Untuk melengkapi formula diatas, berikut adalah formula atau rumus yang digunakan untuk mengukur Koefisien korelasi aitem total sebelum dikoreksi (Azwar, 2012) :
Dimana, i = skor aitem X = skor skala n = banyaknya subjek Besarnya koefisien korelasi aitem total bergerak dari -1,00 sampai dengan +1,00. Sebagai kriteria pemilihannya, biasanya digunakan batasan minimal 0,30 sebagai indikasi bahwa aitem tersebut memiliki daya diskriminasi yang baik. oleh karena itu, aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total di bawah 0,30 dinyatakan gugur karena tidak memiliki daya diskriminasi yang cukup baik untuk skala ini. Reliabilitas Reliabilitas adalah kekonsistenan pengukuran atau konsistensi skor yang dihasilkan. Bila suatu instrumen dipakai berulang-ulang untuk mengukur gejala yang sama dan hasil yang diperoleh relatif stabil atau konsisten, maka instrumen tersebut terpercaya. Reliabilitas adalah konsistensi suatu instrumen mengukur sesuatu yang hendak diukur. Tinggi rendahnya reliabilitas ditunjukkan oleh suatu angka yang disebut koefisien reliabilitas. Makin tinggi koefisien reliabilitas suatu instrumen, maka kemungkinan kesalahan yang terjadi akan semakin kecil (Yusrizal, 2008). Reliabilitas merupakan ketepatan atau konsistensi atau kepercayaan. Artinya, instrumen yang digunakan akan memberikan hasil yang sama meskipun diulang-ulang dan dilakukan oleh subjek dan waktu yang berbeda. Untuk mengetahui reliabilitas instrumen, harus dilakukan uji coba beberapa kali. Bila hasil yang didapatkan dari berbagai uji coba memiliki kecenderungan hampir sama, maka instrumen tersebut dikatakan reliabel (Idrus, 2009). Menurut Azwar (2012) reliabilitas mengacu kepada keterpercayaan atau konsistensi hasil ukur, yang mengandung makna seberapa tinggi kecermatan pengukuran. Koefisien reliabilitas ( ) berada dalam rentang angka dari 0 sampai dengan 1,00. Sekalipun bila koefisien reliabilitas semakin tinggi mendekati angka 1,00 berarti pengukuran semakin reliabel, namun dalam kenyataan pengukuran psikologi koefisien sempurna yang mencapai
angka ( ) = 1,00 belum pernah dijumpai. Azwar (2012) menjelaskan bahwa konsep reliabilitas dapat dilihat dari tingginya korelasi antara skor tampak tes dengan skor-murninya sendiri, selain itu juga dapat dilihat dari seberapa tingginya korelasi antara skor tampak pada dua tes yang pararel. Teori skor murni klasik menyatakan bahwa skor tampak (skor kuantitatif yang langsung diperoleh dari pengukuran dan belum diolah) terdiri atas komponen skor murni dan komponen eror dalam kadar tertentu. Semakin tinggi koefisien reliabilitas ( berarti estimasi skor tampak (X) terhadap skor murni (T) semakin dapat dipercaya karena varians erornya smakin kecil. Hal tersebut berarti bahwa semakin besar eror suatu alat ukur maka alat ukur semakin kurang reliabel, sebaliknya semakin kecil eror suatu alat ukur maka semakin reliabel alat ukur tersebut. Koefisien reliabilitas dapat dipengaruhi oleh jumlah aitem dan derajat heterogenitas skor subjek. Penambahan jumlah aitem yang memiliki kualitas yang setara dengan aitem-aitem pada alat ukur dapat meningkatkan koefisien reliabilitas dari alat ukur tersebut. Sebaliknya, pengurangan jumlah aitem yang bersifat pararel atau setara dengan aitem-aitem lain pada alat ukur dapat menurunkan koefisien reliabilitas dari alat ukur tersebut. Semakin heterogen subjek yang digunakan, yaitu sekelompok subjek yang memiliki varians skor tampak yang besar, akan menghasilkan koefisien reliabilitas yang lebih tinggi. Sebaliknya, semakin homogen sekelompok subjek yang digunakan, yaitu sekelompok subjek yang memiliki varians skor tampak yang kecil, akan menghasilkan koefisien reliabilitas yang lebih rendah (Azwar, 2009). Terdapat tiga pendekatan reliabilitas, yaitu tes ulang (test-retest), bentuk pararel (parallel forms), dan konsistensi internal (internal consistency). Pada penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan konsistensi internal. Konsistensi internal dilakukan dengan menggunakan satu bentuk alat ukur yang hanya diberikan sekali kepada sekelompok subjek untuk menguji reliabilitas dari alat ukur yang diadaptasi. Oleh karena itu, pendekatan konsistensi internal dapat mengatasi kelemahan yang ada pada pendekatan tes ulang, yaitu timbulnya efek bawaan pada subjek karena pengalamannya dalam mengerjakan tes yang sama sebelumnya, maupun kelemahan yang ada pada pendektana pararel, yaitu adanya kesulitan dalam menyusun dua alat ukur yang pararel (Azwar, 2004). Pendekatan konsistensi internal bertujuan untuk melihat konsistensi antar aitem atau antar bagian dalam alat ukur itu sendiri. Perhitungan koefisien reliabilitas dengan pendekatan konsistensi internal dalam penelitian ini menggunakan koefisien Alpha (α) dari Cronbach (Azwar, 2004). Koefisien Reliabilitas Alpha Berstrata Koefisien Alpha terstratifikasi (Alpha stratified) ini diperkenalkan oleh Cronbach, Schoneman, dan McKie (1965) yang berguna untuk mengestimasi reliabilitas instrumen yang terdiri dari beberapa subtes. Sama seperti koefisien Alpha, koefisien Alpha berstrata adalah pengukuran internal konsistensi dengan melibatkan komponen-komponen tes. Koefisien Alpha terstratifikasi ini tepat dikenakan pada kasus skor komposit multidimensi. Formula untuk mendapatkan besarnya reliabilitas Alpha berstrata (αs) adalah sebagai berikut:
Koefisien reliabilitas pengukuran multidimensional dengan menggunakan koefisien reliabilitas Alpha berstrata digunakan karena jika koefisien Alpha diaplikasikan pada pengukuran yang multidimensi, maka akan didapatkan hasil yang underestimate (Widhiarso, 2009). Gliem dan Gliem (2003) menyatakan bahwa nilai koefisien Alpha dari Cronbach berkisar antara 0 sampai 1. Jika nilai koefisien Alpha dari Cronbach semakin mendekati 1 maka konsistensi internal aitem-aitem dalam suatu alat ukur semakin baik sehingga alat ukur tersebut semakin reliabel. Nilai koefisien Alpha dari Cronbach adalah sebagai berikut: Tabel 2. Batasan nilai koefisien Alpha dari Cronbach Nilai Koefisien Alpha dari Cronbach Batasan Bagus sekali (excellent) >0,90 Bagus (good) >0,80 Dapat diterima (acceptable) >0,70 Dipertanyakan (questionable) >0,60 Buruk (poor) >0,50 Tidak dapat diterima (unacceptable) <0,50 METODE PENELITIAN Subyek Peneliti membatasi usia subjek pada penelitian ini dengan usia 15 tahun ke atas. Batas tersebut digunakan peneliti berdasarkan manual dari MBSRQ yang ditetapkan oleh Thomas F. Cash (2000), Cash menjelaskan bahwa subjek yang dapat digunakan untuk alat ukur ini adalah orang dewasa dan remaja (15 tahun ke atas). Instrumen ini tidak digunakan untuk anak-anak. Alat ukur ini diadministrasikan kepada 500 orang (236 orang berjenis kelamin perempuan dan 264 orang berjenis kelamin laki-laki) dengan rentang usia antara 15-58 tahun (M=27,06 dan SD=8,947) yang termasuk dalam batasan usia tersebut di Kota Malang . Adaptasi Alat Ukur Proses adaptasi lintas budaya menurut Beaton (2000) terdapat enam tahapan, yaitu: Tahap I: Penerjemahan awal (initial translation) Tahapan pertama dalam mengadaptasi adalah melakukan penerjemahan awal dari bahasa asli ke bahasa yang dituju. Direkomendasikan setidaknya 2 orang penerjemah awal untuk melakukan penerjemahan akan alat ukur yang digunakan dari bahasa asli ke bahasa yang dituju. Pada tahapan ini, penerjemah dapat membandingkan dan membedakan kemungkinan adanya ambiguitas kata-kata dari bahasa asli atau mecatatat adanya perbedaan dalam proses menerjemahkan. Pemilihan kalimat yang buruk dapat diidentifikasi serta didiskusikan oleh kedua penerjemah. Masing-masing penerjemah menghasilkan laporan tertulis dari hasil terjemahannya baik isi dari aitem, pilihan jawaban, dan petunjuk yang ada. Kedua penerjemah harus memiliki profil atau latar belakang yang berbeda. Tahap II: Mensistesis hasil terjemahan (synthesis of the translations)
Hasil dari penerjemah pertama (T1) dan penerjemah kedua (T2) disintesis untuk dibuat menjadi satu terjemahan umum (T-12). Tahap III: Penerjemahan kembali (back translation) Tahapan ini, seorang penerjemah melakukan penerjemahan hasil sintesis (T1) dan (T2) yaitu (T-12) ke bahasa aslinya, dimana penerjemah benar-benar tidak mengetahui bahasa aslinya. Proses ini adalah proses validitas yang berfungsi untuk memeriksa dan memastikan bahwa versi terjemahan mencerminkan isi dari aitem-aitem seperti versi aslinya. Penerjemahan kembali ini juga dilakukan oleh dua orang penerjemah yang disebut (BT1) dan (BT2). Tahap IV: Komite ahli (expert committee) Komite ini sangat penting untuk pencapaian kesetaraan dalam lintas budaya. Komite ahli ini melakukan konsolidasi terhadap seluruh versi dari alat ukur dan mengembangkan alat ukur untuk menjadi versi prefinal dari alat ukur yang akan digunakan untuk uji coba. Para komite akan meninjau seluruh hasil terjemahan dan menemukan perbedaan-perbedaan yang muncul. Materi yang dibahas oleh komite adalah kuesioner yang asli, dan setiap terjemahan yang telah dilakukan (T1, T2, T12, BT1, BT2), kemudian komite membuat keputusan untuk hasil dari kuesioner atau alat ukur yang akan digunakan sehingga mencapai kesetaraan antara sumber alat ukur dan versi baru dengan memperhatikan 4 hal penting, yaitu: Kesetaraan semantik. Apakah kata-katanya memiliki arti yang sama? Apakah aitem tersebut memiliki makna berganda? Apakah ada kesulitan tata bahasa dalam terjemahannya? Kesetaraan idiomatik. Apakah bahasa atau idiom yang digunakan sulit diterjemahkan? Komite harus merumuskan ekspresi atau makna yang setara dalam versi sasaran. Kesetaraan pengalaman. Penggunaan bahasa sehari-hari sumber dengan sasaran memiliki perbedaan budaya dan pengalamn, sehingga komite harus mengganti aitem tersebut dengan aitem yang memiliki makna yang sama dengan budaya sasaran. Kesetaraan konseptual. Komite berusaha untuk menyetarakan konsep dari budaya asal dengan budaya sasaran. Tahap V: Pengujian terhadap versi prefinal (test of the prefinal version) Tahap akhir dari proses adaptasi adalah pretest. Hal ini dilakukan sebagai pengujian di lapangan dari kuesioner atau alat ukur yang baru. Idealnya, sampel yang digunakan dalam uji coba alat ukur adalah antara 30 sampai dengan 40 orang. Masing-masing subjek melengkapi kuesioner yang ada, dan memberikan pendapat (respon) mengenai pemahaman mereka akan aitem-aitem yang ada. Hal ini berfungsi untuk memastikan bahwa versi adaptasi masih mempertahankan kesetaraan dalam situai yang baru. Tahap VI: Penyerahan hasil akhir kepada kordinator pengembang atau komite untuk penilaian terhadap proses adaptasi (Submission of documentation to the developers or coordinating committe for appraisal of the adaptation process) Tahap akhir dari proses adaptasi ini adalah pengajuan semua laporan kepada pengembang atau komite, hal ini dilakukan untuk memverifikasi dari aitem-aitem yang digunakan pada pengujian nantinya.
Analisis Deskriptif Analisis deskriptif berkaitan dengan penggunaan metode analisis statistik deskriptif yang merupakan metode analisis statistik yang memberikan gambaran atau deskripsi suatu data yang dilihat dari rata-rata, standar deviasi, variance, maksimum, minimum, kurtosis, skewness (kemencengan distribusi) (Ghozali, 2005). Statistik deskriptif mendeskripsikan data menjadi sebuah informasi yang lebih jelas dan mudah dipahami. Analisis ini digunakan untuk mengetahui tingkat kepuasan individu terhadap citra tubunya yang diukur berdasarkan sampel penelitian. Analisis content validity MBSRQ Analisis isi merupakan analisis yang tidak melibatkan perhitungan statistik apapun, melainkan dinilai melalui analisis rasional atau expert judgement (dosen psikologi dan dosen pembimbing). Analisis tersebut dilakukan dengan dua cara, yaitu analisis tampilan dan analisis logik. Analisis face validity Analisis tampilan dilakukan untuk mengetahui sejauhmana tampilan alat ukur sesuai dengan isi dari alat ukur itu sendiri. Proses transadaptasi yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan serangkaian cara untuk memperoleh validitas tampilan yang baik. Validitas tampilan digunakan untuk melihat kesesuaian tampilan dari alat ukur MBSRQ versi Indonesia dengan isinya , kesesuain ini sangat penting untuk memotivasi subyek agar mengerjakan tes dengan sungguh-sungguh. Validitas tampilan yang baik akan memancing motivasi individu yang dites untuk menghadapi tes tersebut dengan sungguh-sungguh. Pengujian validitas tampilan dari instrumen MBSRQ versi Indonesia dilakukan peneliti dengan mengkonsultasikan serta mendiskusikan dengan dosen pembimbing dan dosen psikologi. Selain itu, peneliti juga melakukan pengujian tampilan berdasarkan komntar dan pendapat dari responden pada uji coba prefinal version alat ukur MBSRQ versi Indonesia. Setelah diperoleh MBSRQ versi adaptasi yang berbahasa Indonesia, MBSRQ tersebut diujikan kepada tiga puluh subjek yang tidak terlibat dalam proses adaptasi MBSRQ. Tiga puluh subjek tersebut diminta untuk memberikan komentarnya apakah kalimat dalam alat ukur tersebut mudah dimengerti, tidak membingungkan, dan sesuai dengan budaya Indonesia, serta melingkari kata-kata yang kurang tepat baik secara penulisan ataupun maknanya. Komentar-komentar dari tiga puluh subjek tersebut kemudian dijadikan pertimbangan untuk memperbaiki kata-kata dalam MBSRQ. Melalui proses tersebut, diharapkan MBSRQ menjadi alat ukur yang mudah dimengerti dan sesuai dengan budaya Indonesia sehingga dapat menarik subjek untuk mengerjakannya dengan sungguh-sungguh. Analisis validity by non-group Analisis validitas by non-group ini merupakan salah satu validitas konstruk, dimana dengan validitas ini berfungsi untuk menguji apakah hasil dari data penelitian yang dilakukan sesuai dengan teroi yang sudah ada sebelumnya. Pada penelitian ini, peneliti melihat apakah hasil penelitian transadaptasi ini memperoleh hasil yang sama dengan penelitian sebelumnya yang menyebutkan bahwa tingkat ketidakpuasan perempuan lebih tinggi dibandingkan dengan laki-laki. Hasil ini diperoleh dari nilai means kelompok subjek laki-laki dan perempuan. Analisis faktor eksploratori
Analisis faktor eksploratori dilakukan untuk menguji kelayakan MBSRQ. Kelayakan tersebut dapat dilihat melalui rangkaian analisis yang dilakukan. Langkah-langkah yang dilakukan dalam analisis data dengan metode analisis faktor eksploratori yang dilakukan dalam penelitian ini digambarkan dalam gambar 1.
Gambar 1. Metode analisis faktor eksploratori
Analisis korelasi matriks Analisis korelasi matriks dilakukan untuk mengetahui layak atau tidaknya analisis faktor eksploratori dilakukan terhadap suatu data. Melihat kelayakan suatu data dalam penelitian ini dapat dilakukan dengan beberapa cara di bawah ini: (1) Kaiser Mayer Olkin Measures of Sampling Adequancy (KMO MSA) Kaiser Mayer Olkin Measures of Sampling Adequancy (KMO MSA) merupakan suatu indeks untuk membandingkan koefisien korelasi sampel (yang diobservasi) koefisien korelasi parsial, dengan kriteria berdasarkan Widarjono (2010) yang disebutkan dalam tabel 1. Berdasarkan kriteria yang disajikan pada tabel 1, data penelitian yang diperoleh dari subjek baru bisa dianalisis dengan menggunakan analisis faktor eksploratori apabila besarnya nilai KMO MSA yang diperoleh lebih dari 0,50, semakin tingngi nilai KMO MSA semakin baik untuk dilakukan analisis faktor.
(2) Bartlett test of sphericity (X2) Selain menggunakan ukuran KMO MSA, peneliti menggunakan Bartlett test of sphericity (X2) untuk menguji apakah matriks korelasi yang terbentuk merupakan matriks satuan atau matriks identitas.
Analisis ekstraksi faktor Widarjono (2010) menjelaskan bahwa ekstraksi faktor adalah suatu metode yang digunakan untuk mereduksi data dari beberapa indikator untuk menghasilkan faktor yang lebih sedikit yang mampu menjelaskan korelasi antara indikator yang diobservasi. Peneliti menggunakan beberapa tahapan analisis berikut: (1) Analisis nilai communalities Communalities merupakan nilai total varian berdasarkan faktor baru yang dijelaskan oleh tiap-tiap aitem yang dapat diketahui dengan melihat besarnya common variance pada output SPSS 16.0 (Field, 2009). Nilai common variance paling tinggi, paling rendah, dan berapa nilai rata-rata dari common variance seluruh aitem dapat dilihat dari nilai common variace tersebut. Menurut Field (2009) apabila besarnya nilai rata-rata common variance lebih dari 0,6 maka jumlah faktor yang terbentuk dikatakan akurat untuk subjek sebanyak 250, namun bila besarnya nilai rata-rata common variance kurang dari 0,6 maka jumlah faktor yang terbentuk dikatakan kurang akurat karena kurangnya jumlah subjek yang digunakan dalam penelitian. (2) Analisis nilai total varian yang dijelaskan Total varian yang dijelaskan memberikan informasi mengenai besarnya varian yang dapat dijelaskan oleh faktor baru yang terbentuk. Untuk melihat besarnya varian yang dapat dijelaskan oleh faktor yang baru terbentuk perlu dilihat besarnya nilai eigenvalue dan nilai total varian aitem. Selain melihat nilai eigenvalue, analisis nilai total varian yang dijelaskan, peneliti mengetahui dan menjelaskan mana faktor yang memiliki persentase varian paling tinggi, paling rendah, serta mengetahui dan menjelaskan berapa varian total yang dapat dijelaskan oleh faktor-faktor yang terbentuk. Faktor yang terbentuk juga dapat dilihat dari hasil visualisasi scree plot dari analisis total varian yang dijelaskan berdasarkan kemiringan dari titik-titik yang ada. (3) Analisis komponen matriks Analisis komponen matriks dilakukan untuk mengetahui besarnya muatan faktor atau factor loading yang menunjukkan korelasi antar satu aitem dengan faktor yang terbentuk sebelum dilakukan rotasi faktor. Analisis rotasi faktor Rotasi faktor ini diperlukan jika metode ekstraksi faktor belum menghasilkan komponen faktor utama yang jelas. Tujuan dari rotasi faktor ini agar dapat memperoleh struktur faktor yang lebih sederhana agar mudah diinterpretasikan. Peneliti menggunakan rotasi miring orthogonal dengan metode rotasi faktor Varimax method, dimana rotasi faktor
ini merupakan metode rotasi faktor orthogonal yang berfungsi untuk meminimalisasikan jumlah indikator yang mempunyai factor loading tinggi pada tiap faktor. Hasil rotasi faktor yang terbentuk, didapatkan jumlah faktor yang terbentuk serta aitem-aitem mana saja yang menyusun setiap faktor. Berdasarkan tabel structure matrix pada output SPSS 16.0 dapat diketahui besarnya muatan faktor atau besarnya korelasi aitem tersebut terhadap faktor yang terbentuk, kemudian membuat blue print baru dari setiap faktor yang ada dan memberikan nama baru dari faktor-faktor tersebut. Pengecekan ulang jumlah faktor yang terbentuk Pengecekan ulang jumlah faktor yang terbentuk dilakukan untuk memastikan bahwa jumlah faktor yang terbentuk dari hasil analisis faktor eksploratori benar-benar akurat. Analisis korelasi aitem-total Analisis aitem atau yang diukur melalui daya diskriminasi aitem dilakukan dengan menggunakan software SPSS Inc 16.0. Daya diskriminasi aitem adalah sejauh mana aitem mampu membedakan antara individu atau kelompok individu yang memiliki dan yang tidak memiliki atribut yang diukur. Penghitungannya dilakukan dengan menghitung koefisien korelasi antara distribusi skor aitem dengan distribusi skor skala itu sendiri. Besarnya koefisien korelasi aitem total bergerak dari -1,00 sampai dengan +1,00. Sebagai kriteria pemilihannya, peneliti menggunakan batasan minimal 0,30 sebagai indikasi bahwa aitem tersebut memiliki daya diskriminasi yang baik. Oleh karena itu, aitem yang memiliki koefisien korelasi aitem total di bawah 0,30 dinyatakan gugur karena tidak memiliki daya diskriminasi yang cukup baik untuk skala MBSRQ versi Indonesia ini. Analisis koefisien Alpha dari Cronbach Koefisien Alpha terstratifikasi (Alpha stratified) ini diperkenalkan oleh Cronbach, Schoneman, dan McKie (1965) yang berguna untuk mengestimasi reliabilitas instrumen yang terdiri dari beberapa subtes. Sama seperti koefisien Alpha, koefisien Alpha berstrata adalah pengukuran internal konsistensi dengan melibatkan komponen-komponen tes. Koefisien Alpha terstratifikasi ini tepat dikenakan pada kasus skor komposit multidimensi. Koefisien reliabilitas pengukuran multidimensional dengan menggunakan koefisien reliabilitas Alpha berstrata digunakan karena jika koefisien Alpha diaplikasikan pada pengukuran yang multidimensi, maka akan didapatkan hasil yang underestimate (Widhiarso, 2009). Gliem dan Gliem (2003) menyatakan bahwa nilai koefisien Alpha dari Cronbach berkisar antara 0 sampai 1. Jika nilai koefisien Alpha dari Cronbach semakin mendekati 1 maka konsistensi internal aitem-aitem dalam suatu alat ukur semakin baik sehingga alat ukur tersebut semakin reliabel. Mengacu pada George dan Mallery (Gliem dan Gliem, 2003), peneliti menggunakan 0,70 ke atas sebagai batasan nilai koefisien Alpha dari Crobach yang berarti bahwa alat ukur tersebut dapat diterima dan memiliki reliabilitas yang bagus.
HASIL Proses transadaptasi alat ukur MBSRQ versi Indonesia ini, pada proses awal setelah dilakukan transadaptasi, peneliti melakukan uji validitas dan reliabilitas terhadap kelayakan alat ukur yang sudah di adaptasi dan telah diadministrasikan kepada 30 orang expert judgement. Validitas diperoleh dengan melakukan analisis isi. Setelah proses tersebut, dilakukan perbaikan terhadap aitem-aitem yang dianggap tidak layak berdasarkan hasil
validitas dan reliabilitasnya. Hasil alat ukur MBSRQ yang sudah mengalami perbaikan, diadministrasikan kepada 500 subjek sebagai real study dalam penelitian ini. Berdasarkan hasil real study pengisian alat ukur MBSRQ yang diadministrasikan kepada 500 subjek, peneliti melakukan proses analisis data dengan menggunakan metode analisis faktor eksploratori terhadap data yang telah terkumpul. Kemudian, analisis korelasi aitem untuk melihat daya diskriminasi aitem, uji reliabilitas yang diperoleh dengan melakukan analisis koefisien Alpha berstrata dari cronbach. Data tersebut diolah dengan menggunakan bantuan software SPSS 16.0. Analisis Statistik Deskriptif Dalam penelitian ini jumlah subjek berjenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan dengan subjek yang berjenis kelamin perempuan, dengan proporsi subjek lakilaki sebanyak 264 orang (52,8%) dan proporsi subjek perempuan 236 orang (47,2%). Dengan menggunakan analisis statistik non-parametrik Mann-Whitney U, diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara subjek laki-laki dan subjek perempuan dilihat dari tingkat kepuasan terhadap faktor-faktor pembentuknya. Nilai rata-rata kesepuluh variabel saat dikelompokkan berdasarkan jenis kelamin tidak jauh berbeda, meskipun ada beberapa variabel yang memiliki nilai rerata lebih tinggi pada salah satu (antara pria dan wanita), nilai rata-rata pada setiap aspek yang ada dapat diketahui tingkat kepuasan dari setiap kategori baik laki-laki maupun perempuan berdasarkan aspek yang ada. Hasil tingkat kepuasan berdasarkan variabel MBSRQ menunjukkan nilai rata-rata subjek perempuan (231,31) lebih tinggi dibanding nilai rata-rata subjek laki-laki (231,05). Hasil uji Mann-Whitney U pada tingkat kepuasan individu terhadap tubuhnya (MBSRQ) diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,971, jauh lebih tinggi dari derajat Alpha yang ditentukan yaitu 0,05. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kepuasan individu laki-laki dan perempuan terhadap tubuhnya. Sedangkan ditinjau dengan BMI, diketahui bahwa jumlah subjek dengan kategori BMI normal lebih banyak dibandingkan dengan kategori BMI yang lain, dengan proporsi subjek kategori normal sebanyak 321 orang (64,2%), proporsi subjek kategori underweight sebanyak 121 orang (24,2%), proporsi subjek kategori overweight sebanyak 51 orang (10,2%) dan sisanya kategori obesitas sebanyak 7 orang (1,4%). Kategorisasi serta perhitungan BMI ini diperoleh berdasarkan data WHO mengenai kategorisasi BMI untuk orang Asia (Lancet, 2004). Perhitungan BMI dari setiap individu diperoleh dari berat badan (kg) dibagi kuadrat dari tinggi badan (m). Kategorisasi dari setiap individu didasarkan pada hasil BMI nya, BMI cut-off points for public health menyebutkan bahwa BMI < 18,5 (underweight), BMI 18,5-24,9 (normal), BMI ≥ 25 (overweight) dan BMI ≥ 30 (obesity). Dengan menggunakan analisis statistik non-parametrik Kruskal Walls, diperoleh hasil bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara subjek dengan kategori underweight, normal, overweight dan obesity dilihat dari tingkat kepuasan terhadap tubuhnya. Nilai signifikansinya sebesar 0,251 jauh lebih besar dibanding nilai ktitik sebesar 0,05. Akan tetapi, nilai rata-rata-rata kelompok subjek dengan kategori overweight (238,43) jauh lebih tinggi dibandingkan kelompok yang lain, hal ini dapat dikatakan bahwa kelompok obesity memiliki tingkat kepuasan terhadap tubuh lebih tinggi dibanding kelompok lain. Sedangkan kelompok yang memiliki nilai rata-rata terendah adalah kelompok underweight (227,90).
Analisis Content Validity Tampilan luar MBSRQ versi Indonesia yang disesuaikan dengan content dari MBSRQ dibuat agar responden yang mengisi alat ukur tersebut dapat mengetahui bahwa alat ukur yang diberikan berkaitan dengan bentuk tubuh. Tampilan luar dari MBSRQ versi Indonesia tersebut mendapatkan evaluasi dari expert judgement (subjek serta dosen pembimbing dan dosen psikologi) terkait dengan kesan dari alat ukur tersebut. Hasil evaluasi yang diberikan oleh expert judgement terkait gambar pada skala tersebut adalah tampilan luar yang terdapat gambar siluet seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan warna hitam putih dianggap kurang representatif dan kurang menarik, maka tampilan luar dari alat ukur MBSRQ versi Indonesia dibuat lebih berwarna. Pixels dari gambar awal sedikit pecah sehingga perlu diperbaiki, selain itu komposisi tulisan dan gambar dari tampilan luar awal juga kurang proporsional. Beberapa subjek juga memberikan komentar bahwa tampilan luar dari MBSRQ versi Indonesia (prefinal version) juga kurang eyes catching sehingga perlu diperbaiki. Tampilan tersebut diharapkan mampu menarik responden untuk memberikan respon yang sesuai dengan keadaan dirinya sendiri sehingga data informasi psikologis yang diperoleh merupakan data yang valid. Selain itu, tulisan MBSRQ scale disarankan untuk tidak dicantumkan, berdasarkan respon dan komentar dari psikolog yang merupakan dosen psikologi tulisan tersebut diganti dengan tulisan Skala Psikologi, hal ini dimaksudkan agar nama alat ukur lebih representatif dibandingkan dengan tulisan MBSRQ Scale. Analisis korelasi matriks Analisis korelasi matriks ini, merupakan proses awal dari analisis faktor eksploratori. Proses analisis korelasi matriks terhadap antar indikator yang ada dilakukan peneliti untuk mengetahui apakah indikator tersebut layak dianalisis dengan menggunakan metode analisis faktor atau tidak. Data-data yang terkumpul dikatakan layak untuk di analisis dengan metode analisis faktor apabila memenuhi syarat kecukupan. Ukuran yang digunakan peneliti sebagai acuan syarat kecukupan suatu data untuk dilakukan proses analisis faktor adalah dengan melihat besarnya nilai Kaiser Meyer Olkin Measure of Sampling Adequacy (KMO-MSA). Teori menyebutkan bahwa data yang diperoleh dari subjek baru bisa dianalisis dengan menggunakan analisis faktor eksploratori apabila besarnya nilai KMO-MSA yang diperoleh lebih besar dari 0,50. Semakin tinggi nilai KMO-MSA semakin baik untuk dilakukan analisis faktor. Hasil analisis data subjek yang ada dengan SPSS menunjukkan bahwa nilai KMOMSA yang diperoleh adalah 0,731, sehingga proses analisis faktor dapat dilakukan. Nilai KMO-MSA sebesar 0,731 juga memenuhi asumsi Kaiser yang menyebutkan bahwa nilai antara 0,70 sampai 0,79 termasuk pada kategori middling yang memenuhi kecukupan untuk dilakukan analisis faktor. Selain itu, hasil analisis SPSS terhadap uji Bartlett menunjukkan nilai 22665,310 dengan tingkat signifikansi (sig = 0,000), hal ini menujukkan bahwa syarat kecukupan juga telah dipenuhi melalui metode pengujian Bartlett. Hasil analisis korelasi matriks dengan bantuan SPSS 16.0 dapat dilihat pada tabel 3 berikut Tabel 3. Hasil analisis korelasi matriks KMO-MSA dan Uji Bartlett Kategori Besar Signifikansi Keterangan Kaiser Meyer Olkin of Sampling Adequacy 0,731 (KMO-MSA)
-
Memenuhi
Kategori
Besar
Signifikansi
Keterangan
Bartlett’s Test Approx. Chi-Square (X2)
22665,310
0,000
Memenuhi
Analisis ekstraksi faktor Proses analisi ekstraksi faktor dilakukan peneliti untuk mereduksi data dari beberapa indikator menjadi faktor yang lebih sedikit. Jumlah aitem yang ada pada alat ukur MBSRQ adalah 69 aitem, dengan jumlah faktor yang terbentuk adalah 10 faktor. Setelah dilakukan pengumpulan data dari 500 subjek di Kota Malang yang telah mengisi alat ukur yang sudah diadaptasi ke dalam bahasa Indonesia, peneliti menguji faktor yang terbentuk apakah sesuai dengan faktor yang sudah ada, yaitu berjumlah 10 faktor. Analisis rotasi faktor Analisis rotasi faktor merupakan metode lanjutan dari ektraksi faktor apabila metode ekstraksi faktor belum menghasilkan komponen faktor utama yang jelas. Tujuan dari rotasi faktor ini adalah untuk mendaptakan struktur faktor yang lebih sederhana agar mudah diinterpretasikan. Pada proses analisis faktor ini, peneliti menggunakan metode rotasi orthogonal dengan metode varimax, metode ini digunakan untuk meminimalisasi jumlah indikator yang mempunyai factor loading tinggi pada tiap faktor. Terdapat 10 faktor yang menyusun alat ukur MBSRQ versi Indonesia. Masingmasing faktor yang terbentuk memiliki jumlah aitem yang berbeda pada setiap faktornya dan besarnya muatan faktor yang berbeda pada setiap aitemnya. Ada beberapa hal dalam tabel yang dapat diketahui: a. Terdapat 6 aitem yang memiliki dua muatan faktor pada faktor yang berbeda, antara lain: aitem 20, aitem 43, aitem, aitem 38, aitem 47, aitem 19, dan aitem 14. b. Terdapat 2 aitem yang memiliki lebih dari dua muatan faktor pada faktor yang berbeda serta nilai muatan faktornya < 0,40, yaitu; aitem aitem 8 dan aitem 24. Penggolongan aitem dilakukan peneliti untuk mempermudah melihat besarnya muatan faktor setiap aitem terhadap faktor pembentuknya. Penggolongan aitem ini telah diseleksi dengan tidak mengikutsertakan aitem-aitem yang memiliki muatan faktor lebih dari dua muatan faktor pada faktor yang berbeda serta aitem-aitem yang memiliki nilai muatan faktor <0,40. Dengan demikian, aitem-aitem tersebut dinyatakan gugur dan tidak dapat digolongkan ke dalam faktor pembentuk yang baru.
Reliabilitas Koefisien Alpha dari Cronbach berstrata mengahsilkan nilai sebesar 0,918. Jika dilihat dalam kategorisasi batasan nilai koefisien Alpha dari Cronbach dalam tabel 2 halam 53, nilai 0,918 berada pada kategori excellent dengan batasan nilai > 0,90. Jadi, reliabilitas dari alat ukur MBSRQ versi Indonesia sangat bagus.
PEMBAHASAN Penelitian yang dilakukan oleh peneliti ini bertujuan untuk melakukan transadaptasi terhadap alat ukur psikologi The Multidimensional Body-Self Realtions Questionnaire (MBSRQ) yang berfungsi untuk mengukur tingkat kepuasan individu terhadap bentuk tubuhnya. Proses transadaptasi ini dilakukan peneliti untuk melakukan adaptasi terhadap budaya dan bahasa yang ada di Indonesia, sebab MBSRQ adalah alat ukur yang dikembangkan berdasarkan budaya dan bahasa di Amerika, dimana alat ukur psikologis ini dikembangkan. Adanya uji validitas dan reliabilitas serta analisis faktor dari hasil transadaptasi digunakan untuk melihat kelayakan alat ukur MBSRQ versi di Indonesia ketika digunakan di Indonesia. MBSRQ versi Indonesia ini dapat digunakan di Indonesia untuk mengetahui tingkat kepuasan individu terhdap bentuk tubuhnya, selain itu dapat digunakan dalam aplikasi lingkup psikologi klinis sebagai assessment awal terhadap adanya gangguan terhadap bentuk tubuh atau yang biasa disebut body dismorphic disorders. Tampilan luar dari MBSRQ versi Indonesia dibuat semenarik mungkin untuk menarik minat subjek dalam mengisi alat ukur MBSRQ versi Indonesia. Tampilan luar MBSRQ versi Indonesia terdapat gambar siluet seorang laki-laki dan seorang perempuan dengan adanya backgroud yang berwarna serta tulisan skala psikologi. Tampilan luar tersebut merupakan hasil evaluasi dari expert judgement agar sesuai dengan isi dari MBSRQ yang mengukur mengenai body-image seseorang, selain itu juga dapat menarik minat dan sikap subjek untuk mengisi alat ukur tersebut sesuai dengan kondisi yang sesungguhnya. Kalimat-kalimat instruksi dan pernyataan dari aitem-aitem yang ada pada MBSRQ versi Indonesia diperoleh dari hasil transadapatasi yang dilakukan oleh beberapa translator yang kemudian dievaluasi oleh expert committee untuk mendapatkan hasil bahasa yang sesuai dengan budaya di Indonesia akan tetapi tetap menggambarkan isi dari MBSRQ. Setelah itu, hasil transadaptasi diadministrasikan kepada 30 subjek untuk memastikan kelayakan dari kalimat-kalimat yang ada agar mudah dipahami oleh subjek yang menjadi target dari penelitian. Komentar dan saran dari 30 subjek dijadikan acuan dalam penyusunan kalimat pada aitem-aitem MBSRQ versi Indonesia. Proses tersebut dilakukan oleh peneliti agar alat ukur MBSRQ versi Indonesia mudah dimengerti dan sesuai dengan budaya di Indonesia. Data deskriptif berdasarkan jenis kelamin dari 500 subjek pada tabel 17 menjelaskan bahwa tidak ada perbedaan yang signifikan antara subjek laki-laki dan subjek perempuan dilihat dari tingkat kepuasan terhadap faktor-faktor pembentuknya. Begitu pula dengan hasil tingkat kepuasan berdasarkan variabel MBSRQ menunjukkan nilai rata-rata subjek perempuan (231,31) lebih tinggi dibanding nilai rata-rata subjek laki-laki (231,05). Hasil uji Mann-Whitney U pada tingkat kepuasan individu terhadap tubuhnya (MBSRQ) diperoleh nilai signifikansi sebesar 0,971, jauh lebih tinggi dari derajat Alpha yang ditentukan yaitu 0,05. Dapat disimpulkan bahwa tidak ada perbedaan tingkat kepuasan individu laki-laki dan perempuan terhadap tubuhnya. Saat ini, baik laki-laki maupun perempuan sudah banyak yang mulai memperhatikan tubuh dan penampilan mereka, kaum laki-laki yang mulai memperhatikan mengenai pembentukan masa ototnya agar terlihat lebih tegap sedangkan perempuan yang menginginkan penampilannya lebih langsing dan menarik. Penelitian dari Paterson (2007) mengenai body image in men menjelaskan bahwa saat ini laki-laki menganggap bahwa penampilan itu penting, apalagi memiliki dada yang bidang, dan mereka mengatakan bahwa tubuh bagian atas merupakan aspek terpenting dalam tubuh yang ideal bagi laki-laki. Bahkan, mereka mulai mengembangkan tubuh ideal itu sejak usia tujuh tahun, dan lebih intens pada masa remaja, dan puncaknya pada usia dewasa.
Selain itu, perkembangan media serta lingkungan sosial sangat berpengaruh terhadap citra tubuh mereka, baik laki-laki maupun perempuan. Karena citra tubuh merupakan refleksi dari adanya interaksi antara realitas tubuh dan tubuh ideal, dimana realitas tubuh merupakan karakteristik fisik secara nyata, seperti: tinggi badan, berat badan, kesehatan dan sebagainya. Sedangkan tubuh ideal merupakan cara berpikir seseorang tentang bagaimana tubuhnya dan terlihat menarik dan berfungsi secara baik. Media juga sangat berpengaruh terhadap pembentukan citra tubuh seseorang, menampilkan sosok yang memiliki tubuh ideal, baik laki-laki maupun perempuan. Oleh karena itu, saat ini baik laki-laki maupun perempuan tidak ada perbedaan yang signifikan terhadap kepuasan citra tubuhnya, tingkat ketidakpuasan tidak hanya dimiliki oleh wanita, bahkan laki-laki juga banyak yang tidak memiliki ketidakpuasan terhadap penampilan mereka. Hasil analisis awal dengan analisis faktor menghasilkan, 10 faktor baru yang terbentuk dengan komposisi jumlah aitem yang berbeda-beda di setiap faktor. Setelah melakukan proses rotasi faktor, peneliti membatasi muatan faktor dari setiap aitem terhadap faktor yang terbentuk adalah di atas 0,40, sehingga aitem yang muatan faktornya kurang dari 0,40 tidak dianalisis lebih lanjut dan juga ditemukan beberapa aitem yang memiliki cross loading tinggi dengan faktor lain, aitem-aitem yang memiliki cross loading tinggi dengan faktor yang bukan faktor pembentuknya juga tidak dianalisis (digugurkan). Aitem-aitem tersebut adalah aitem 8, aitem 14, aitem 19, aitem 20, aitem 24, aitem 38, aitem 43, dan aitem 47. Aitem 8 memiliki muatan faktor di bawah 0,40, yaitu pada faktor keempat sebesar 0,329. Aitem 14 memiliki muatan faktor yang berada pada dua faktor yang terbentuk, yaitu pada faktor pertama sebesar 0,409 dan pada faktor kelima sebesar 0,420. Aitem 19 memiliki muatan faktor yang berada pada dua faktor yang terbentuk, yaitu pada faktor ketiga sebesar 0,427 dan faktor ketujuh sebesar 0,400. Aitem 20 memiliki muatan faktor yang berada pada dua faktor yang terbentuk, yaitu sebesar 0,525 pada faktor pertama dan sebesar 0,458 pada faktor ketiga. Aitem 24 memiliki muatan faktor yang berada pada tiga faktor yang terbentuk, yaitu sebesar 0,344 pada faktor pertama, 0,366 pada faktor yang kedua, dan 0,335 pada faktor ketiga. Jumlah aitem yang tersisa dari hasil analisis faktor eksploratori berjumlah 61 aitem. Setelah itu, hasil dari aitem-aitem yang lolos seleksi, dilakukan analisis korelasi aitem-total terhadap setiap faktor yang terbentuk dan menghasilkan 61 aitem yang memiliki korelasi aitem yang baik. Korelasi aitem-total dari 61 aitem yang ada dianggap baik karena nilai korelasi aitem-total yang ada di atas 0,30. Seleksi butir pada pengukuran yang bersifat multidimensi ini harus dilakukan secara terpisah pada setiap dimensinya, jika tidak aitemaitem yang ada banyak yang yang berguguran (rit < 0,30). Gugurnya 10 aitem dalam analisis faktor juga di analisis reliabilitas dari alat ukur MBSRQ versi Indonesia dengan menggunakan reliabilitas Alpha berstrata, karena reliabilitas yang terbentuk dilihat berdasarkan setiap dimensi yang ada, maka jumlah reliabilitas dari alat ukur MBSRQ versi Indonesia ini ada 10 buah. Nilai reliabilitas yang lebih dari satu ini dapat dijadikan satu dengan menggunakan reliabilitas yang berbasis pada data terstratifikasi. Hasil reliabilitas Alpha berstrata dari alat ukur MBSRQ versi Indonesia ini adalah 0,918. Dari hasil reliabilitas Alpha berstrata tersebut dapat diketahui bahwa 61 aitem yang tersisa dari alat ukur MBSRQ versi Indonesia ini dianggap dapat memberikan hasil yang konsisten dan akurat untuk mengukur tingkat kepuasan individu terhadap bentuk tubuhnya. Koefisien Alpha yang diperoleh dari hasil pengukuran sangat bagus. Sesuai teori yang dijelaskan oleh (Gliem & Gliem, 2003) koefisien Alpha dianggap sangat bagus (excellent) jika nilainya > 0,90, dapat disimpulkan bahwa konsistensi internal dari aitem-aitem alat ukur
MBSRQ versi Indonesia ini reliabel. Jadi, 61 aitem yang ada layak untuk digunakan di Indonesia. Peneliti merangkum hasil aitem yang baik dalam tabel 4.
Nomor Aitem
Tabel 4. Penggantian nomor Aitem Lama 1 2 3 4 5 6 7 9 10 11 12 13 15 16 Baru 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 Lama 17 18 21 22 23 25 26 27 28 29 30 31 32 33 Baru 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 Lama 34 35 36 37 39 40 41 42 44 45 46 48 49 50 Baru 29 30 31 32 33 34 35 36 37 38 39 40 41 42 Lama 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60 61 62 63 64 Baru 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 Lama 65 66 67 68 69 Baru 57 58 59 60 61 Setelah dilakukan penggantian nomor aitem, peneliti membuat blue printbaru dari instrumen MBSRQ versi Indonesia yang siap digunakan sebagai pengukuran tingkat kepuasan individu terhadap tubuhnya yang disajikan pada tabel 5. Tabel 5. Tabel Spesifikasi MBSRQ versi Indonesia yang baru Dimensi/Faktor Aitem Soal Jumlah 6,13,14,21,30,44,45 7 11,48% 1. Orientasi Kebugaran 5,24,36,37,40,53,54,57,58,60,61 11 18,03% 2. Penilaian terhadap Area Tubuh 1,9,16,27,33,35,39,41,42,46 10 16,4% 3. Orientasi Penampilan 7,15,23,31,38 5 8,19% 4. Evaluasi Kesehatan 10,19,29,34 4 6,56% 5. Evaluasi Penampilan 4 6,56% 6. Perhatian terhadap Kegemukan dan 49,50,51,52 Berat Badan 2,4,17,20,47,59 6 9,84% 7. Orientasi Kesehatan 3,11,12,28,32 5 8,19% 8. Evaluasi Kebugaran 8,18,25,26,43 5 8,19% 9. Orientasi Fisik 22,46,55,56 4 6,56% 10. Evaluasi Fisik 61 100 % Total Diantara 61 aitem MBSRQ versi Indonesia yang dianggap layak digunakan, aitem yang paling bagus, yaitu: 1. Aitem no 49 “Saya sedang melakukan diet untuk mengurangi berat badan”, aitem tersebut mampu menjelaskan variasi dari alat ukur MBSRQ versi Indonesia sebesar 78,2% dan memiliki nilai korelasi aitem-total dikoreksi sebesar 0,687. 2. Aitem no 52 “Dengan melihat saya, kebanyakan orang akan mengira berat badan saya:”, aitem tersebut mampu menjelaskan variasi dari alat ukur MBSRQ versi Indonesia sebesar 75,7% dan memiliki nilai korelasi aitem-total dikoreksi sebesar 0,550. 3. Aitem no 46 “Saya adalah orang yang sehat secara fisik”, aitem tersebut mampu menjelaskan variasi dari alat ukur MBSRQ versi Indonesia sebesar 75,4% dan memiliki nilai korelasi aitem-total dikoreksi sebesar 0,381. Sedangkan aitem yang memiliki sumbangan paling sedikit dalam mengukur tingkat kepuasan individu terhadap bentuk tubuhnya adalah:
1. Aitem no 5 “Badan saya terlihat menarik secara seksual”, aitem tersebut mampu menjelaskan variasi dari alat ukur MBSRQ versi Indonesia sebesar 32,9% dan memiliki nilai korelasi aitem-total dikoreksi sebesar 0,376. Aitem 5 memiliki sumbangan yang paling kecil karena di Indonesia kata-kata seksual memiliki makna “negatif”. Maksud dari kalimat tersebut terlalu ekstrem jika di aplikasikan untuk masyarakat di Indonesia, sehingga aitem 5 hanya memberikan sumbangan yang kecil dalam mengukur dimensi evaluasi penampilan. 2. Aitem no 53 “Wajah (fitur wajah, kulit wajah)”, aitem tersebut mampu menjelaskan variasi dari alat ukur MBSRQ versi Indonesia sebesar 39,6% dan memiliki nilai korelasi aitem-total dikoreksi sebesar 0,403. Aitem 53 tersebut menjelaskan mengenai tingkat kepuasan individu terhadap wajahnya. Di Indonesia, evaluasi penampilan terhadap wajah adalah hal penting dalam penampilan seseorang, kemungkinan yang terjadi dalam pengisian aitem ini adalah adanya faking good dari responden dalam memberikan respon terhadap tingkat kepuasan terhadap wajahnya, oleh karena itu aitem tersebut memberikan sumbangan yang kecil bagi dimensi evaluasi penampilan. Berdasarkan hasil transadaptasi serta analisis psikometri alat ukur MBSRQ versi Indonesia ini, dapat dikatakan bahwa alat ukur MBSRQ versi Indonesia ini layak digunakan di Indonesia, karena aitem-aitem yang ada valid dan reliabel saat digunakan di Indonesia. Akan tetapi, perlu dilakukan uji lanjutan dari alat ukur MBSRQ versi Indonesia dengan persebaran subjek yang lebih banyak dan lebih luas sehingga lebih representatif agar alat ukur ini dapat digunakan sebagai assessment terhadap tingkat kepuasan individu yang dijadikan acuan untuk melihat apakah individu tersebut memiliki gangguan atau tidak terhadap citra tubunya dengan hasil yang lebih reliabel lagi, orang dikatakan memiliki gangguan terhadap citra tubuhnya apabila memiliki nilai tingkat ketidakpuasan terhadap citra tubuhnya di bawah rata-rata orang normal pada kelompoknya, gangguan tersebut bisa berupa distorsi citra tubuh atau body dismorphic disorders (Cash, 2000). Peneliti membuat sebuah norma baru dari MBSRQ versi Indonesia, dimana norma ini dapat dijadikan sebagai acuan dalam penelitian selanjutnya. Peneliti melaporkan norma yang digunakan untuk subjek lakilaki dalam setiap dimensi adalah sebagai berikut: orientasi kesehatan = 2,93, evaluasi penampilan = 3,60, orientasi penampilan = 3,78, evaluasi kesehatan = 3,41, orientasi kebugaran = 2,52, perhatian terhadap kegemukan dan berat badan = 2,67, orientasi terhadap kerentanan penyakit = 3,61, orientasi fisik = 3,07, penilaian terhadap area tubuh = 3,39, evaluasi fisik = 3,57. Sedangkan norma yang digunakan untuk subjek perempuan dalam setiap dimensi adalah: orientasi kesehatan = 2,89, evaluasi penampilan = 3,59, orientasi penampilan = 3,84, evaluasi kesehatan = 3,45, orientasi kebugaran = 2,56, perhatian terhadap kegemukan dan berat badan = 2,54, orientasi terhadap kerentanan penyakit = 3,66, orientasi fisik = 3,08, penilaian terhadap area tubuh = 3,44, evaluasi fisik = 3,54.
KESIMPULAN Berdasarkan hasil analisis data yang diperoleh dari penelitian ini, dapat diambil kesimpulan dari penelitian yaitu:
1. Proses transadaptasi yang dilakukan terhadap alat ukur MBSRQ menjadi MBSRQ versi Indonesia dengan beberapa tahapan yaitu initial translation, synthesis of the translation, back translation, expert committee, test of the prefinal version, dan Submission of documentation to the developer. Proses transadaptasi yang dilakukan juga memperhatikan kesetaraan semantik, kesetaraan idiomatik, kesetaraan konseptual dan pengalaman dari budaya di Amerika dengan budaya di Indonesia. Pada proses transadaptasi hasil konsolidasi komite ahli menjadi bahan pertimbangan terhadap hasil dari versi MBSRQ Indonesia yang sesuai dengan budaya di Indonesia. Selain itu, uji coba terhadap 30 subjek dilakukan untuk mengetahui tingkat pemahaman terhadap kalimat-kalimat dari aitem yang ditransadaptasi oleh responden yang memiliki karakteristik yang sama dengan karakteristik subjek penelitian. Setelah proses transadaptasi tersebut, hasil dari MBSRQ versi Indonesia diadministrasikan kepada 500 subjek dan dilakukan analisis secara psikometri untuk mengetahui kelayakan dari alat ukur MBSRQ versi Indonesia. 2. Hasil analisis faktor eksploratori terhadap alat ukur MBSRQ versi Indonesia didapatkan 61 aitem dari 69 aitem pada MBSRQ versi Amerika yang membentuk 10 faktor baru. Terdapat 8 aitem yang gugur dalam proses analisis faktor eksploratori yang dilakukan oleh peneliti, aitem yang gugur tersebut dikarenakan memiliki muatan faktor di bawah 0,40 dan atau memiliki cross loading dengan faktor lain. 3. Hasil uji korelasi aitem-total 61 aitem terhadap dimensi-dimensi yang terbentuk menunjukkan bahwa 61 aitem MBSRQ versi Indonesia yang lolos analisis faktor eksploratori memiliki nilai korelasi aitem-total di atas 0,30. 4. Reliabilitas dari alat ukur MBSRQ versi Indonesia dengan metode Cronbach Alpha Stratified menghasilkan koefisien Alpha sebesar 0,918 (bagus sekali), sehingga alat ukur MBSRQ versi Indonesia memiliki konsistensi internal yang baik. 5. Berdasarkan keseluruhan hasil analisis psikometri dari alat ukur MBSRQ versi Indonesia yang memiliki 10 faktor pembentuk dengan 61 aitem dianggap reliabel dan valid sehingga alat ukur tersebut layak digunakan di Indonesia, khususnya di Kota Malang.
SARAN Berdasarkan hasil penelitian yang telah diperoleh, maka peneliti dapat memberikan beberapa saran, yaitu: 1. Dalam proses transadaptasi, pengaruh budaya dan bahasa membuat alat ukur ini tidak dapat digeneralisasikan pada subjek yang berbeda dari subjek penelelitian, sehingga perlu persebaran subjek yang lebih luas lagi untuk dapat menggeneralisasikan hasil dari penelitian. 2. Penambahan jumlah subjek juga diperlukan, terkait dengan karakteristik subjek dari pengguna alat ukur MBSRQ ini adalah 15 tahun ke atas. Selain itu juga ditambahkan pengkategorisasian berdasarakan rentang usia serta status pernikahan sebagai follow-up study terhadap MBSRQ versi Indonesia. 3. MBSRQ versi Indonesia ini dapat digunakan sebagai alat untuk mngukur tingkat kepuasan individu terhadap bentuk tubunya, namu jika ingin digunakan dalam konteks assessment terhadap gangguan citra tubuh pada seseorang perlu menyertakan data atau
pertimbangan diagnosis lain, seperti hasil wawancara, observasi, dan hasil tes lain yang mendukung. 4. Dalam pengujian psikometri diperlukan kajian yang lebih terhadap alat ukur MBSRQ versi Indonesia ini, dengan melakukan uji validitas konstruk (multitrait multimethod) yang berguna untuk menguji validitas dari alat tes dengan membandingkan dengan alat tes lain yang mengukur konstruk yang serupa. 5. Pengujian reliabilitas dengan dengan metode test-retest juga diperlukan untuk melengkapi hasil uji psikometri dari alat ukur MBSRQ versi Indonesia. 6. Perbaikan kembali aitem-aitem yang gugur agar dapat digunakan kembali untuk pengukuran tingkat kepuasan individu dengan menggunakan MBSRQ versi Indonesia. 7. Mengeksplorasi data hasil pengujian dengan menggunakan analisis faktor konfirmatori dengan subjek yang lebih besar agar diperoleh data yang lebih luas. 8. Pembuatan norma MBSRQ versi Indonesia dengan subjek yang lebih banyak sebagai dasar interpretasi hasil MBSRQ versi Indonesia baik dari kategorisasi usia dan juga status pernikahan.
DAFTAR PUSTAKA Anastasi, A & Susan U. (2007). Tes Psikologi: Psychological Testing, Edisi Ketujuh. Indonesia: Indeks. Anonim. (2006). How do you determine if a test has validity, reliability, fairness, and legal defensibility?. Professional Testing Inc. Azwar, S. (2004). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2007). Reliabilitas dan Validitas. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2009). Dasar-dasar Psikometri. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Azwar, S. (2010). Penyusunan Skala Psikologi. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. Beaton, D.E., Bombardier, C., Guillemin, F., Ferraz, M.B. (2000). Guidelines for the Process of Cross-Cultural Adaptation of Self-Report Measures. SPINE Volume 25, Number 24, pp 3186-3191: Lippincott Williams & Wilkins Inc. Cash, T.F. (2000). MBSRQ User’s Manual. (3rd Edition). Norfolk, VA: Old Dominion University Press. Cash, T.F., & Pruzinsky, T. (2002). Body-Image: A Handbook of Theory, Research an Clinical Practice. New York: Guilford. Cohen, Y., Gafni, N., Hanani, P. (2007). Translating and Adapting a Test, yet Another Source of Variance; the Standard Error of Translation. Israel: National Institute for Testing & Evaluation. Field, A. (2009). Discovering Statistics Using SPSS: Third Edition. London: Sage Publications Ltd.
Giudici, P. (2003). Applied Data Mining: Statistical Methods for Business and Industry. England: John Wiley & Sons Ltd. Gliem, J.A., & Gliem, R.R. (2003). Calculating, interpreting, and reporting Cronbach’s Alpha reliability coefficient for likert-type scales. Presented at The Midwest Research to Practice Conference in Adult, Continuing, and Cmmunity Education, The Ohio State University. Groves, S.W. (2007). An Exploratory Factor Analysis Of The Human Behavior Rating Scale. A Dissertation Submitted to the Graduate Faculty of Auburn University in Partial Fulfilment of The Requirements for The Degree of Doctor of Philosophy. Auburn: Alabama. Gupta, K. (2007). A Practical Guide to Needs Assessment. San Fransisco: Pfeiffer. Hambleton, R.K., Merenda, P.F., & Spielberger, C. D. (2005). Adapting Educational and Psychological Tests for Cross-Cultural Assessment. Mahwah, NJ: Erlbaum. Hernita, A. (2006). Psikologi Perkembangan: Pendekatan Ekologi Kaitannya dengan Konsep Diri dan Penyesuaian Diri pada Remaja. Bandung: PT Refika Aditama. Hoegh, M.C., & Hoegh, S. (2009). Trans-adapting Outcome Measures In Rehabilitation: Cross-cultural Issues. Neuropsychological Rehabilitation, 19 (6), 955-970: Psychology Press. Idrus, M. (2009). Metode Penelitian Ilmu Sosial. Yogyakarta : Erlangga. International Test Commission. (2010). International test commission guideliness for translating and adapting tests. http://www.intestcom.org. Janda, L. (2001). The Psychologist’s Book of Personality Tests. New York: John Wiley & Sons, Inc. Kerlinger, F.N. (2006). Asas-Asas Penelitian Behavioral Edisi Ketiga. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Kusnadi, E. (2008). Menentukan Karakteristik Kepuasan Mahasiswa Sebagai Pelanggan Internal Melalui Aplikasi Analisis Faktor. Forum Kependidikan, Volume 28, No. 1, September 2009. Lancet. (2004). Appropriate body-mass index for Asian populations and its implications for policy and intervention strategies. Journal of Public Health, 363,157-163. Nadya. (2012). Tubuh Ideal: Langsing atau Berotot?. Artikel, Kulinologi, Volume IV, 2012. Bogor: PT Media Pangan Indonesia. Artikel diakses secara online pada tanggal 14 Januari 2013 melalui alamat: http://kulinologi.biz/index1.php? Paterson, H. (2005). Critical issues in psychological test use in the south african workplace. Journal of Industrial Psychology, 31(3), 12-22. Peterson, C.M. (2007). Body Image in Men: Drive for Muscularity and Social Influences, Body Image Evaluation and Investment, and Psychological Well-Being. Thesis. Department of Psychology University of Saskatchewan, Saskatoon.
Rahadian, S.S. (2006). Analisis Pengaruh Loyalitas Pelanggan dan Perilaku Mencari Variasi Terhadap Perpindahan Merek. Tesis. Program Studi Magister Manajemen Universitas Diponegoro. Saptiani, M.D. (2010). Hubungan Antara Citra Tubuh Dengan Harga Diri Pada TPR (Telkomsel Personal Representative) di Telkomsel. e-Jurnal Universitas Gunadarma Jakarta. http://library.gunadarma.ac.id. 20 Maret 2013. Sardjana. (2005). Statistik Multivariat. Jakarta: UIN Jakarta Press. Stapleton, C.D. (1997). Basic Concepts in Exploratory Factor Analysis (EFA) as a tool to Evaluate Score Validity: A Right-Brained Approach. Hasil riset diakses secara online pada tanggal 28 Februari 2013 melalui alamat: http://ericae.net/ft/tamu/Efa.htm. Suhr, D.D. (2003). Exploratory or Confirmatory Factor Analysis?. Papper of Statistics and Data Analysis 200-31. Untas, A., Koleck M., & Rascle, N. (2009). Psychometric Properties of The French Adaptation of The Multidimensional Body-Self Relations Questionnaire-Appearance Scale. Journal Psychological Reports, 105, 461-471. Widarjono, A. (2010). Analisis Statistik Multivariat Terapan. Yogyakarta: Unit Penerbit dan Percetakan Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YPKN. Widhiarso, W. (2007). Eksplorasi karakteristik item skala psikologis yang rentan terhadap tipuan respon. Penelitian Fakultas Psikologi Universitas Gadjah Mada. Widhiarso, W. (2009). Koefisien Reliabilitas Pada Pengukuran Kepribadian yang Bersifat Multidimensional. Jurnal Psikobuana Volume 1, No. 1, 39-48. Wijanto, S.H. (2008). Structural Equation Modeling dengan LISREL 8.8: Konsep dan Tutorial. Yogyakarta: Graha Ilmu Yusrizal. (2008). Pengujian Validitas Konstrak dengan Menggunakan Analisis Faktor. Jurnal Tabularasa PPS Unimed, Volume 5, No. 1, Juni 2008. Yuswohady. (2004). Pasar Metroseksual. Artikel Republika. Jakarta: Markplus&Co Ltd.