DALAQ DI PESANTREN Diajukan sebagai Salah Satu Persyaratan Memperoleh Gelar Master of Arts Program Studi Ilmu Perbandingan Agama
Saifuddin Zuhri NIM: 21594/IV-11/131/04
Sekolah Pascasarjana Universitas Gajah Mada Yogyakarta 2006
Abstract This research tries to answer two questions, how is the discourse and practice of dalaq in pesantrens? How is the rationalization of dalaq practiced in every day life of santris in pesantrens? My basical assumption base on Kinsey statement that in every human sexuality there are two continuum poles that tend and move from one to another. These two are homosexuality and heterosexuality. For example, it happen to someone put in prison. This continuum poles seems appropriate to use regarding on the discourse of dalaq in pesantrens. The theory that I use is analytical discourse. The discourse and practice of dalaq didn’t come from an empty space. It produced ceaselessly and there must be an interaction between power and pleasure. The power relation between teacher and student, or between student and another student in a homosexual practices indicates that, as Foucault said, sexuality is a discursive construction over which the power relation operated by constituting the right and wrong form of sexuality and then working out the bodily discipline mechanism. From the data I found three typologies of homosexual behavior: ngobu, ngecer and nyolo that exist in pesantrens. Here I also found the appearances of discourse such as environment, the continously meeting with one single sex, the bridle, The prohibition in classic books, daily statements, the model of rooms (architecture), bathing place (bathroom), Mahrom office. My analysis falls into paradox happens in pesantrens that in one side do not give enough space to the heterosexuality interaction, but in another side also prohibited homosexuality by arguing sodomy or liwath discourse. This then births the logic of irtikabu akhaffu dhararin (doing something that its risk is smallest) amongst santris. The reproduction dalaq discourse in pesantrens happens first, in the this kind of paradox, second the continuous entrustment done by the parents of santris to teacher, third, the silences of kyais and the parents on this case. Key words: Pesantren, dalaq, homosexuality
INTISARI DALAQ DI PESANTREN Oleh Saifuddin Zuhri Program Studi: Perbandingan Agama Instansi Asal: IAI Nurul Jadid Probolinggo Pembimbing: Prof. Dr. Irwan Abdullah Tanggal Wisuda: 09 November 2006 Penelitian ini berangkat dari pertanyaan: bagaimana diskursus dalaq di pesantren? Kemudian bagaimana dalaq dipraktikkan dan dirasionalisasikan dalam konteks keseharian santri? Asumsi dasar yang dijadikan pijakan di sini adalah penemuan Kinsey yang menyatakan bahwa dalam setiap seksualitas manusia itu terdapat dua kutub orientasi seksual, yakni heteroseksual dan homoseksual. Di antara dua kutub tersebut Kinsey memberikan skala-skala yang hal itu berubah bergantung pada kondisi sosial setiap manusia. Teori yang penulis gunakan di sini adalah discourse analysis. Diskursus dalaq merupakan satu diskursus yang bukanlah berasal dari ruang hampa, tetapi terdapat proses-proses dan relasi-relasi yang memproduksi serta mereproduksi diskursus dan praktik homoseksual ini. Relasi kuasa antara guru dan murid atau dengan sesama murid dalam praktik-praktik homoseksual serta melahirkan beberapa tipologi perilaku seksual di pesantren: Ngobu, Ngecer dan Nyolo. Di sini penulis juga menemukan beberapa faktor yang melatarbelakangi kemunculan diskursus ini, seperti, lingkungan, pergaulan sesama jenis, kekangan, larangan-larangan dalam kitab klasik, statemen sehari-hari santri, model-model kamar, kamar mandi, serta kantor mahrom (panoptic). Analisis penulis terletak pada paradoks yang terjadi di pesantren, yang di satu sisi tidak memberikan ruang yang cukup atas interaksi heteroseksual (dengan lawan jenis), namun di sisi lain juga melarang homoseksualitas dengan argumen agama (larangan sodomi-liwath). Dari sini lahirlah logika irtikabu akhaffu dhararin (yakni melakukan perbuatan yang resikonya lebih ringan) yang dipraktekkan oleh santri. Penulis berkesimpulan bahwa ruang gerak santri yang terbatas, terfokus pada belajar dan menempa diri dengan nilai moral keagamaan, menempatkan santri pada sebuah discipline dan time table aktifitas serta lingkungan yang ketat. Homogenitas interaksi, masuknya santri baru ke pesantren pada masa-masa pertumbuhan (adolescence) serta larangan dan hukuman (punishment) bagi mereka yang melakukan interaksi antar jenis dengan argumen larangan agama, memberikan kontribusi dalam mengkonstruksi nalar seksualitas mereka pada diskursus dalaq. Di samping itu, penyebaran power di pesantren tersebar melalui relasi-relasi yang berhubungan satu sama lain, misalnya dalam bentuk regulasi-regulasi yang diterapkan (discipline), ajaran agama (knowledge), struktur bangunan yang terdapat di pesantren (architecture), serta kantor mahrom (panoptic) menempatkan santri berada dalam posisi yang cukup sulit. Lahirlah kemudian logika yang penulis sebutkan di atas. Kata kunci: Pesantren, dalaq, homoseksualitas
KATA PENGANTAR Mengapa memilih tema dalaq di pesantren? Itulah sejumlah pertanyaan yang diajukan oleh teman-teman maupun orang-orang yang konsen dengan masalah pesantren ataupun homoseksualitas. Harus diakui bahwa penulis sebagai siswa yang pernah tinggal dan mengenyam pesantren secara cukup dominan melatarbelakangi semangat penulis untuk melakukan penelitian ini. Kasus yang penulis angkat merupakan satu kasus yang eksis di antara mushalla, mesjid bilik-bilik serta serambi tiap-tiap ketiganya. Berangkat dari sini penulis melihat meskipun ini menyajikan tema yang akan mendapatkan kritikan dan kecaman dari kalangan pesantren, yang mau tidak mau menjadi resiko yang harus dihadapi, namun penulis mengharapkan bisa memberikan satu kontribusi positif bagi para stake holder pesantren untuk memberikan perhatian tersendiri atas hal ini. Hasil penelitian ini, hanyalah satu titik awal menuju suatu gugusan ide kreatif dalam mendesain model dan aturan pesantren. Namun semua niatan penulis tidak akan terwujud bila penulis tidak mendapatkan jatah kursi BPPS di CRCS UGM. Oleh karena itulah, di sini penulis hendak menghaturkan terimakasih kepada segenap elemen CRCS pada khususnya dan UGM pada umumnya. Kepada Prof. Irwan Abdullah PhD, penulis berhutang banyak atas bentukbentuk provokasinya untuk menyulut api semangat penulis untuk melakukan penelitian, baik dalam masa perkuliahan maupun saat-saat santai bersama beliau. Kepada Mbak Budi Wahyuni, yang masih bersedia memberikan waktu luang disela-sela kesibukannya di PKBI DIY serta
lembaga Ombudsman-nya. Kepada Prof. Dr. Achmad Mursyidi, M.Sc, sebagai direktur CRCS serta segenap staf: Dr. Zainal Abidin Bagir, Bapak Arqom, Mas Agus, Mas Bibit, Mas Helmi, Suhadi dan Yusuf. Juga untuk Mbak Rini, yang telah mendedikasikan dirinya sebagai the single librarian di CRCS. Thesis ini juga tidak akan sempurna tanpa support dari Prof. Antony Reid selaku direktur Asian Research Institute (ARI) National University of Singapore (NUS), Prof Chua Beng Huat atas kritikan tajamnya, Dr. Vedi R. Hadiz (Associate Professor pada Department of Sociology di NUS) yang bersedia meluangkan waktu untuk mengarahkan penelitian ini. Keluarga pasangan Prof. Dr. Aris Ananta dan Dr. Evi Arifin. Secara khusus penulis berhutang banyak atas diskusi-diskusi intens dengan Dr. Dede Oetomo di Gaya Nusantara, Dr. Leong Wai Teng, Dr. Tom Boellstorff, the experts on Homosexuality di Surabaya, NUS dan Antropologi UC Irvine United States. Tak terlewatkan juga teman-teman yang tergabung dalam Asean Research Scholar ARI-NUS yang selama 3 bulan memberikan sumbangsih pemikiran atas penelitian ini. Percikan-percikan pemikiran penelitian ini juga tidak akan muncul tanpa kehadiran teman-teman CRCS, terimakasih kawan; teman-teman lingkar diskusi sewaktu di Berbah, Zaky, Madyan, Khanif, Happy, Supri, Ainun dan Syukron. Kawan-kawan di kontrakan yang masih belum disebutkan di sini, Malik dan Reza yang selalu menginspirasi untuk lebih tahu atas penelitian ini. Tak akan terlewatkan, teman seperjuangan yang
tergabung dalam FORSTUDIA, Badrus, Alex, Burhan, Maufur, Zunly, Ipe, Dzikriyah serta yang lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu di sini. yang terakhir U2L, yang tak bisa ditepiskan auranya, yang selalu menyediakan kesetiaan, keeps and saves my soul. Thanks honey. []
B.1. Pesantren A……………………….………………………….
28
B.2. Pesantren B……………………….………………………….
31
B.3. Pesantren C………………………..…………………………
32
BAB III HOMOSEKSUALITAS: SEBUAH KAJIAN SINGKAT A. Beberapa Istilah Kunci……………………..……………………….
37
B. Homoseksualitas Dalam Islam……………..………………………
40
B.1 Homosexuality sebagai Tradisi……..………………………
42
B.2. Homosexuality sebagai Anal Aggression..………………..
45
B.3. Represi atas praktik-praktik Homoseksualitas..…………
47
C. Homoseksualitas di Jawa…...…………………………….………...
48
BAB IV WACANA HOMOSEKSUALITAS DI PESANTREN A. Bahasa-bahasa Homoseksualitas Pesantren…..………..………...
54
B. Discourse Dalaq di Pesantren……………………..…………..……
58
C. Praktek-praktek homosexualitas ala pesantrens : Ngobu, Ngecer, Nyolo……………………………………………………...…
63
C. 1. Perilaku Seksual Ngobu……………………...….…………
65
C. 2. Perilaku Seksual Ngecer……………………..……..……..
69
C. 3. Perilaku Seksual Nyolo………………………..…….…….
70
D. Discourse Dalaq: Menengok Sikap Pesantren atas Hal ini……
72
BAB V DALAQ: PRODUKSI DAN REPRODUKSI DISCOURSE DI PESANTREN A. Discourse dalaq: masuk kategori homoseksualitas yang mana?
74
B. Dalaq dan Heteroseksualitas: pertarungan antara Truth, Power and Knowledge………………………………………………………
81
C. Produksi dan Reproduksi Discourse Dalaq di Pesantren……...
87
B.1. Pesantren A……………………….………………………….
28
B.2. Pesantren B……………………….………………………….
31
B.3. Pesantren C………………………..…………………………
32
BAB III HOMOSEKSUALITAS: SEBUAH KAJIAN SINGKAT A. Beberapa Istilah Kunci……………………..……………………….
37
B. Homoseksualitas Dalam Islam……………..………………………
40
B.1 Homosexuality sebagai Tradisi……..………………………
42
B.2. Homosexuality sebagai Anal Aggression..………………..
45
B.3. Represi atas praktik-praktik Homoseksualitas..…………
47
C. Homoseksualitas di Jawa…...…………………………….………...
48
BAB IV WACANA HOMOSEKSUALITAS DI PESANTREN A. Bahasa-bahasa Homoseksualitas Pesantren…..………..………...
54
B. Discourse Dalaq di Pesantren……………………..…………..……
58
C. Praktek-praktek homosexualitas ala pesantrens : Ngobu, Ngecer, Nyolo……………………………………………………...…
63
C. 1. Perilaku Seksual Ngobu……………………...….…………
65
C. 2. Perilaku Seksual Ngecer……………………..……..……..
69
C. 3. Perilaku Seksual Nyolo………………………..…….…….
70
D. Discourse Dalaq: Menengok Sikap Pesantren atas Hal ini……
72
BAB V DALAQ: PRODUKSI DAN REPRODUKSI DISCOURSE DI PESANTREN A. Discourse dalaq: masuk kategori homoseksualitas yang mana?
74
B. Dalaq dan Heteroseksualitas: pertarungan antara Truth, Power and Knowledge………………………………………………………
81
C. Produksi dan Reproduksi Discourse Dalaq di Pesantren……...
87
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN…………………………….… DAFTAR PUSTAKA
95
BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH "Dengkuran nafas sasaran meyakinkan Subadar bahwa anak itu sudah terlelap. Dengan posisi tidur di samping sasaran, keberuntungan sudah nyata. Tanpa sempat melihat ke sekililingnya dan dengan posisi tidur miring Subadar bergegas mengepaskan kemaluannya ke paha samping kanan sasaran. Namun naas benar nasibnya kali ini. Baru saja ia mulai angkat sarung, tiba-tiba lampu beranda joglo dinyalakan oleh petugas piket yang seketika itu terkejut melihat apa yang dilakukan Subadar, 'Kurang ajar' kata petugas piket memukul Subadar dengan sarung. 'kowe nyempet ya?!!' 'Durung kang!', jawab Subadar. 'Nyempet yo ayo ngaku!? Desak petugas piket itu. Tak urung semua santri yang terlelap di situ dan di beberapa kamar lain langsung bangun mendengar teriakan petugas itu………, dan akhirnya Subadar mendapatkan bogem-bogem mentah dari beberapa santri. (Syarifuddin, Mairil: Sepenggal Kisah Biru di pesantren) Sepenggal kisah di atas adalah satu kasus kecil dan sederhana yang terjadi di pesantren tradisional. Pesantren yang merupakan tempat para santri menimba ilmu agama akan menemukan sisi paradoksnya jika dikontraskan dengan sepenggal kisah praktik homoseksualitas yang 'hidup' di pesantren. Teks-teks kitab suci telah berkali-kali dijelaskan dikecamnya perbuatan yang terkenal liwath (hubungan seksual antar lelaki melalui lubang anus) yang dipraktikkan oleh kaum Sodom (versi Bible). Sodomi merupakan satu tindakan yang dilarang oleh agama.1 Namun, sudah menjadi hukum alam, bahwa di balik ketaatan (obedience) pasti ada sikap rebellion yang
Michel Foucault, Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas,(terj. Rahayu S. Hidayat), Jakarta: Gramedia: 2000, h. 52. 1
dipraktikkan umat. Kasus-kasus homoseksualitas yang ada di berbagai tradisi agama, Kristen dengan homoseksualitas di Gereja,2 Homoseksualitas di Biara, di Synagogue,3 homoseksualitas di Timur Tengah yang nota bene muslim mayoritas,4 homoseksualitas di Jawa, seperti warok,5 dan lain-lain. Praktik ini seringkali terjadi dalam situasi dan lingkungan yang homogen secara seksual, seperti di camp militer, asrama, dan lain sebagainya. Dalaq sebagai sebuah bentuk perilaku seksual yang dipraktikkan di pesantren menemukan persamaannya dengan praktik homoseksualitas, yakni hubungan dengan sesama jenis. Praktik ini umum diketahui di pesantren baik tradisional maupun modern sekalipun. Namun praktik ini dilakukan secara rahasia sehingga menjadi tabu dibicarakan, terutama di luar pesantren. Begitu pula dengan praktik nyempet yang menjadi pelampiasan seksual dalaq dan pencintanya, adalah satu hal yang amat rahasia. 6
Andrew K.T. Yip, Gay Male Christian Couples: Life Stories, London: Praeger, 1997. Atau Oliver O’Donovan, “Homosexuality in the Church” dalam Eugene F Roger, Theology and Sexuality, Massachusset: Blackwell, 2002. h. 373-386. 2
3 Moshe Shokied, “Why Join a Gay Synagogue”, dalam Scott Thumma & Edward R. Gray, Gay Religion, Walnut Creek: Altamira Press, 2005. h. 81-98.
Baca, Khaleed El-Rouayheb, Before Homosexuality in The Arab-Islamic World, 1500-1800, London: The University of Chicago Press, 2005. 4
Tom Boellstorff, The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia, Princeton: Princeton University Press, 2005. 5
6
27-29.
Syarifuddin, Mairil, Sepenggal Kisah Biru di Pesantren, Yogyakarta: P_Idea Press, 2005. h.
Dalam penelitian pendahuluan, penulis melakukan wawancara dengan salah seorang korban dari perilaku ini, sebutlah namanya Ab, seorang alumnus pesantren. Dia bercerita: "Pernah pada suatu hari, ketika aku masih mondok di pesantren, aku disenangi oleh salah seorang guru. Aku diberinya perhatian lebih daripada yang lain. Pada awalnya, dia memperhatikanku layaknya seorang adik kakak, beberapa bulan berselang aku dan dia selalu bersama, baik ketika hendak makan, ngaji kitab, bahkan mandi dan tidur. Ia sering memelukku dan menciumiku, aku layaknya seorang kekasih baginya. Anehnya aku seolah merasa tersihir oleh perlakuannya, aku diam dan tidak memberontak. Hingga pada suatu hari, sebuah kejadian konyol terjadi, ayah ibuku datang menjengukku. Ayahku melihat tanda merah di leherku, beliau pun menanyakan hal itu. Dan dengan kelabakan aku terpaksa berbohong, kalau itu adalah bekas gigitan nyamuk semalam".7 Wimpie Pangkahila melihat ada empat kemungkinan penyebab homoseksual. Pertama, faktor biologis, yakni ada kelainan di otak atau genetik. Kedua, faktor psikodinamik, yaitu adanya gangguan perkembangan psikoseksual pada masa anak-anak (seperti kasus sodomi pada anak di bawah umur). Ketiga, faktor sosiokultural, yakni adat-istiadat yang memberlakukan hubungan homoseks dengan alasan tertentu yang tidak benar (seperti tradisi warok yang memelihara gemblak di Ponorogo). Keempat, faktor lingkungan, yaitu keadaan lingkungan yang memungkinkan dan mendorong pasangan sesama jenis menjadi erat.
7
Wawancara pada 10 April 2005 dengan Ab, Yogyakarta.
Faktor lingkungan nampaknya akan menjadi cukup dominan dalam penelitian homoseksual di pesantren. Hal ini menjadi semakin jelas, jika dilihat sisi ruang aktifitas sosial yang dilakukan santri di pesantren amat terbatas. Aktifitas santri di sini bisa disebutkan, mulai dari subuh hingga subuh lagi, antara lain: shalat subuh, mengaji al-Qur'an, mengaji kitab pada ustadz atau kyai, lalu sekolah -bila pesantren mempunyai sekolah umum, atau istirahat dan muthalaah (belajar) sendiri bagi pesantren yang tidak mempunyai sekolah umum. Pada siang hari, shalat Dhuhur dilanjutkan dengan istirahat, sore mengaji kitab, Maghrib mengaji al-Qur'an, kemudian Isya' mengaji kitab di bangku madrasah diniyah, lalu setelah itu belajar otodidak, dan dilanjutkan dengan tidur malam (biasanya juga ada aktifitas shalat lail). Aktifitas seperti ini menjadi aktifitas rutin yang dijalani santri setiap harinya. Hal ini ditambah dengan kurangnya kontak santri dengan lawan jenis, karena adanya interpretasi larangan agama yang menyatakan bahwa memandang lain jenis (perempuan) adalah haram hukumnya,8 sehingga di pesantren, santri tidak diperbolehkan melakukan pertemuan dengan lain jenis kecuali dengan muhrimnya. Untuk beberapa pesantren malah santri dilarang keluar pesantren dengan alasan apapun. Sehingga aktifitaspun berputar hanya di dalam pesantren.9
Pemahaman seperti ini disebutkan dalam beberapa literatur kitab kuning semisal Sulam Taufiq, Safinatun Najah serta beberapa rujukan buku-buku Islam lainnya. Penjelasan lebih lanjut akan dikemukakan pada bab-bab selanjutnya. 8
9
1998.
Lihat lebih lanjut dalam Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Jakarta: Paramadina,
Di samping itu, pola konstruksi kehidupan yang homogen pesantren tentunya turut ambil bagian dalam mengkonstruksi perkembangan psikologi santri. Jika santri yang memasuki pesantren adalah 12 tahun, lalu santri belajar di dalamnya hingga 18 tahun, berarti masa-masa pubertas (adolescence) santri dihabiskan di dalam pesantren. Padahal pada masa-masa teenager inilah seseorang mengalami perkembangan dan pematangan secara seksual. Letak pentingnya thesis ini adalah melihat lebih dekat perilaku seksual homoseks di pesantren, bagaimana mereka menerapkan hal ini, apa saja yang mereka lakukan dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan mereka melakukan praktik tersebut. B. RUMUSAN MASALAH Dari
paparan
homoseksualitas
eksis
di
atas, di
penulis
melihat
bahwa
fenomena
pesantren,
terlihat
pula
bagaimana
homoseksualitas itu ber-inkarnasi dalam bentuk lain (dalaq) yang eksis di pesantren. Bagaimana wacana dan praktik homoseksual itu diproduksi, direpresentasi dan kemudian direproduksi terus menerus sehingga terus eksis dalam pesantren. Jika meminjam perspektif analisis wacana yang disuguhkan oleh Foucault, bahwa analisis wacana merupakan satu praktik yang tertuang dalam teks-teks melalui suatu rentetan peristiwa yang meruang dan me-waktu –dengan seluruh kompleksitasnya- dalam sejarah,10
10
Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, (London: Tavistock, 19720, h. 117.
maka, penelitian ini hendak mengajukan kajian bagaimana dalaq telah menjadi praktik diskursif yang berlangsung lama dalam rentetan sejarah pesantren. Sehingga rumusan masalah yang akan penulis kemukakan adalah sebagai berikut: Pertama, Bagaimana wacana dan praktik seksual dalaq
di
pesantren? Elaborasi ini kemudian penulis lanjutkan dengan upaya mengungkap sejumlah alasan yang melatarbelakangi wacana dan praktik ini. Sehingga yang diajukan sebagai pertanyaan selanjutnya adalah: Kedua, mengapa dipraktekkan, serta bagaimana praktek dalaq dirasionalisasikan dalam kehidupan sehari-hari santri? C. TUJUAN DAN MANFAAT PENELITIAN Dengan adanya penelitian ini diharapkan dapat: 1. Mengetahui dengan jelas perilaku seksual para dalaq di pesantren 2. Mengungkap apa yang mendasari mereka mempraktikkan perilaku tersebut. 3. Memperkaya khazanah pengetahuan tentang homoseksualitas. D. TINJAUAN PUSTAKA Tentunya, penelitian yang akan penulis lakukan bukanlah penelitian satu-satunya
tentang
homoseksualitas,
terutama
homoseksualitas
di
pesantren. Telah ada beberapa penelitian yang telah di lakukan sebelumnya. Bisa di sebut di sini antara lain: Dede Oetomo, Kajian ini merupakan kajian
menyeluruh tentang fenomena homoseksualitas baik di Barat maupun di Indonesia. Dalam buku ini disebutkan tentang perilaku para gay, apakah hal itu dianggap sebagai penyakit ataukah alamiah, perjuangannya untuk menunjukkan identitas, dan emansipasi dalam ranah sosial politik. Dede juga sekelumit mengutip tentang fenomena homoseksualitas di pesantren, serta cukup berhasil mencover perbedaan praktik homoseks di pesantren dan di luar, serta perbedaannya dengan praktik sodomi yang dilakukan oleh Kaum Luth.11 Hanya saja hal ini masih bersifat diskursif dan belum menginjak pada pembuktian di lapangan. Buku Sejarah Homoseksualitas: Dari Zaman Kuno hingga Sekarang, yang ditulis oleh Colin Spencer menyebutkan tentang fenomena homoseksualitas di berbagai bangsa yang dimulai pada masa-masa sebelum adanya pelarangan agama, bahkan sebelum adanya kisah kaum Sodom yang disebutkan dalam Holy Bible.
Penelitian sejarah ini menyisir praktik
homoseksualitas semenjak masa prasejarah, peradaban primitif, Yunani, Yahudi, Kristen, Islam, bahkan di Eropa.12 Kemudian, yang tidak kalah menarik adalah kajian dari Anis Farida, yang berjudul, “Homoseksualitas dan Kekuasaan”.13 Tesis setebal kurang lebih 500–an halaman ini mengungkap jaringan homoseksualitas yang ada di
11
Dede Oetomo, Memberi Suara pada yang Bisu, Yogyakarta: Galang Press, 2001.
Colin Spencer, Sejarah Homoseksualitas, (terj. Ninik R. Syams), Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2004. 12
Anis Farida, “Homoseksualitas dan Kekuasaan”, Yogyakarta: Tesis Sosiologi UGM, 2003, tidak terbit. 13
Surabaya. Lokasi yang dibidik oleh penelitian yang berpusat di Surabaya ini berhasil memetakan jaringan-jaringan homoseksualitas di Surabaya dengan mengidentifikasi dan menyisir tempat-tempat mangkal para gay dan homoseks. Buku lain yang terbaru adalah buku karya Syarifuddin, Mairil; Sepenggal Kisah biru di Pesantren. Buku ini menyajikan kisah homoseksualitas di pesantren dengan gaya bertutur seperti yang digunakan dalam novel. Meskipun dibuat dalam bentuk fiksi, namun, buku ini cukup berhasil memotret perilaku aktor homoseksual mulai dari kehidupan di pesantren hingga menjadi alumni dan menjadi heteroseksual kembali. Hanya saja mengapa mereka menjadi demikian, apa sebabnya, nampaknya luput dari perhatian penulis buku Mairil ini. Tidak ada model analisis kritis atas perilaku homoseksual. Seolah Syarifuddin menampilkan buku ini dengan metode fenomenologis. Tesis Trubus Raharjo, Hubungan Fantasi Seksual dan Lama Tinggal terhadap Kecenderungan Perilaku Homoseksual pada Siswa Dilingkungan Pergaulan Homogen di Pesantren, akan banyak membantu penelitian ini. Penelitian ini menitikberatkan pada perspektif psikologi daripada analisis lainnya atas kasus-kasus homoseksual di pesantren.14 Buku lainnya adalah Islamic Homosexuality; Culture History and Literature, yang diedit oleh Stephen O. Murray dan Will Roscoe. Buku ini
14 Trubus Raharjo, “Hubungan Fantasi Seksual dan Lama Tinggal terhadap kecenderungan Perilaku Homoseksual pada siswa di lingkungan pergaulan homogen di pesantren”, (Yogyakarta: tesis Psikologi UGM, 2003)
mengulas tentang bagaimana perspektif Islam tentang homoseksualitas dan bagaimana Islam mengakomodasinya. Di sini juga terdapat artikel-artikel yang mengulas tentang kasus-kasus homoseksualitas di belahan dunia Islam. Buku ini berguna dalam penelitian ini, setidaknya dalam mencari analogi kasus homoseksualitas pesantren dengan kasus-kasus lain yang terjadi di dunia Islam.15 Dari sini kami menegaskan bahwa penelitian yang kami angkat ini belum dilakukan oleh peneliti sebelumnya. Bisa dikatakan bahwa buku Syarifuddin juga mengupas hal ini, namun, sebagaimana telah dijelaskan di atas, buku ini belum mengupas secara keseluruhan faktor-faktor dan alasan yang membuat perilaku seksual dalaq itu eksis di pesantren. Di sinilah perbedaan antara kajian penulis dengan buku Syarifuddin. E. KERANGKA TEORITIK Di sini penulis hendak memberikan definisi atas beberapa konsep penting yang menjadi bahasan dari penelitian ini. E.1. Perilaku Seksual Pada kalimat ini seringkali terjadi perbedaan pengertian antara perilaku seksual dengan hubungan seksual. Perilaku seksual merupakan perilaku
yang
bertujuan
untuk
menarik
perhatian
orang
yang
diperhatikannya. Perilaku seksual ini sangat luas sifatnya. Contohnya antara
Stephen O. Murray dan Will Roscoe (editor), Islamic Homosexuality; Culture History and Literature, NewYork: NUP, 1997. 15
lain mulai dari berdandan, 'mejeng', ngerling, merayu, menggoda, bersiul sekaligus juga yang terkait dengan aktivitas dan hubungan seksual.16 Jika kita melihatnya dari sudut pandang etimologi, perilaku dapat diartikan sebagai tanggapan atau reaksi individu yang terwujud dalam gerakan (sikap) tidak saja badan melainkan pula ucapan.17 Menurut Chaplin, perilaku terbagi pada dua bagian, pertama, covert behavior, perilaku yang tidak langsung yang dapat diamati misalnya perasaan, pikiran dan sebagainya. Kedua, overt behavior, perilaku yang langsung dapat diamati tanpa menggunakan alat lain. Sedangkan seks, dalam makna sempit diartikan sebagai kelamin yang mencakup: alat kelamin, anggota tubuh pembeda antara laki-laki dan perempuan, kelenjar dan hormon dalam tubuh yang mempengaruhi bekerjanya alat kelamin, hubungan kelamin, proses pembuahan, kehamilan dan kelahiran. Sedangkan makna seks secara luas sebagai akibat perbedaan jenis kelamin adalah: perbedaan tingkah laku antara pria dan wanita, adanya perbedaan atribut yang melekat pada wanita dan pria, adanya peran dan pekerjaan yang berbeda dan hubungan antara pria dan wanita.18 Sehingga perilaku seksual adalah segala bentuk aktifitas yang muncul berkaitan dengan atau tanpa melibatkan orang lain atau pasangan.19
16
Lihat, Harian Waspada online, 13 Mei 2005. tanggal akses, 03 Maret 2006.
17
Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud: 1985, h. 793.
18
Marzuki Umar, Seks dan Kita, Jakarta: Gema Insani Press, 1997. h. 13
Lihat, Eri Wahyuningsih, “Hubungan antara Persepsi Remaja terhadap Seksualitas dalam Media Massa dan Perilaku Seksual pada Siswa SMU Negeri I Purwokerto Kabupaten 19
E.2. Homoseksualitas dan Dalaq Rathus dan Nevid menyatakan, sebagaimana dikutip oleh Trubus, bahwa homoseksualitas merupakan orientasi seks yang melibatkan perilaku seksual dengan jenis kelamin yang sama. Homoseksual laki-laki disebut dengan sebutan gay, sedangkan perempuan disebut dengan lesbian. Namun, pada perkembangannya, penggunaan kata homoseksual lebih mengarah pada orientasi seksual yang dilakukan laki-laki.20 Istilah dalaq sebenarnya mirip dengan istilah mairil yang merujuk pada perilaku seksual dengan memberikan kasih sayang kepada orang sejenis yang disukainya.21 Dalam hal ini santri laki-laki yang masih berumur belasan tahun adalah objek dari praktek mairil ini. Di-mairili berarti kalau dalam konteks saat ini adalah laki-laki yang dipacari, diberikan kasih sayang, dicumbu dan rayu hingga pada praktek hubungan seksual yang dalam hal ini –seperti disinggung dalam latar belakang-, adalah nyempet. Ada padanan lain yang mempunyai makna serupa dengan istilah ini, murdun dengan bentuk jamaknya amrad (bahasa Arab).22 Istilah mairil lazim digunakan dalam pesantren yang menggunakan bahasa Jawa sebagai bahasa formal pesantren, sedangkan istilah dalaq merupakan istilah yang digunakan pada pesantren yang bahasa formalnya adalah bahasa Madura. Banyumas”, Tesis Ilmu Kesehatan Masyarakat, UGM, 2004, h. 18. Cek lebih jauh, Lentera Sahaja, Panduan Konseling Seksualitas Remaja, Yogyakarta: Lentera Sahaja PKBI DIY, 2000. 20
Lihat Trubus Raharjo, ………, h. 18.
21
Syarifuddin, Mairil………., h. 26.
22
Lihat lebih lanjut dalam Dede Oetomo…….. h. 55.
Memang ada beberapa ulama yang menyanggah bahwa praktik mairil maupun dalaq tidak sama dengan praktik homoseksual, dengan alasan bahwa yang terjadi di situ bukan sodomi sebagaimana yang dilakukan oleh para homo, namun, penulis tidak sependapat dengan hal ini, karena, kesukaan terhadap sesama jenis kelamin laki-laki itu sendiri sudah merupakan salah satu definisi yang termasuk dalam kategori homoseksual. Bahkan dalam entri kamus bahasa Madura-Belanda terdapat entri dalaq, yang diterjemahkan sebagai orang yang menjadi objek perbuatan homoseks.23 Bagaimana kemudian wacana dalaq ini diproduksi, direpresentasi dan direproduksi, di sini penulis hendak melakukan kajian analisis wacana yang ditawarkan oleh Michel Foucault. Wacana di sini tidak dipahami sebagai serangkaian kata atau proposisi dalam teks, tetapi adalah sesuatu yang memproduksi yang lain (sebuah gagasan, konsep atau efek),24 wacana bukan sekedar bahasa atau teks –melainkan adalah praktik-praktik seperti wacana ilmiah tentang psikoanalisis beserta jenjang-jenjang institusi, filsafat dan keilmiahannya. Sehingga dengan menganalisis pernyataan –unit tunggal yang menyusun wacana- kita dapat melihat hambatan dan tempat mereka mendudukkan pembicara,25 yang dalam kasus ini adalah dalaq dan pencintanya.
23
Dede Oetomo, “Homoseksualitas di Madura”, dalam Gaya Nusantara, no. 2 edisi April
24
Eriyanto, Analisis Wacana, Yogyakarta: LKIS, 2003, h. 70.
1993.
Chris Horrocks dan Zoran Jevtic, (terj. Salahudin), Mengenal Foucault, Bandung: Mizan, 1997, h. 86. 25
Bagaimana wacana homoseksual diproduksi menjadi dalaq dalam konteks pesantren. Dalam lingkup yang lebih luas bisa dinyatakan bahwa hubungan kita dengan realitas diatur melalui berbagai wacana, yang menentukan
bagaimana
seharusnya
dan
sebaiknya
kita
bertindak,
membentuk kepercayaan-kepercayaan, konsep, dan ide-ide yang kita anut.26 Sampai di sini, kembali meminjam Foucault yang dikutip oleh Chris, ada tiga hukum yang membentuk wacana. Baginya wacana membutuhkan permukaan kemunculan: daerah sosial dan budaya tempat wacana itu muncul. Misalnya keluarga, kelompok kerja dan komunitas agama (dalam kasus penulis adalah pesantren). Kedua, wewenang pembatasan, lembaga beserta pengetahuan dan wewenangnya, seperti profesi hakim dan dokter (pesantren, dalaq, kyai dan struktur yang ada di dalamnya.) Ketiga, batas-batas spesifikasi, sebuah sistem yang dapat menghubungkan beberapa bentuk –katakanlah kegilaan- dengan wacana psikiatri.27 E.3. Pesantren Abdurrahman
Wahid
memberikan
definisi
pesantren
sebagai
kompleks dengan lokasi yang umumnya terpisah dengan kehidupan sekitarnya. Dalam kompleks itu berdiri beberapa buah bangunan; rumah
26
Ibid. h. 72.
27
Chris Horrocks ……, Mengenal Foucault, h. 87.
pengasuh, surau atau mesjid, tempat pengajaran dan asrama tempat tinggal santri.28 Memang, mayoritas pesantren terpisah dengan daerah sekitar (masyarakat), bahkan dalam beberapa kasus, pesantren dikelilingi oleh pagar-pagar yang cukup tertutup sehingga santri tidak bisa keluar, kecuali pada hari-hari tertentu saja. Pesantren yang tertutup ini memungkinkan untuk membuat tingkat praktik dalaq semakin meninggi dan meningkat di pesantren. Di samping itu, banyak pesantren (dalam hal ini pesantren putra) yang melarang kontak dengan santri putri, sehingga mereka sama sekali tidak mempunyai komunikasi meskipun jarak mereka hanya terpisahkan oleh dinding tembok. Foucault menyatakan bahwa seksualitas yang beraneka ragam – seksualitas yang muncul pada usia-usia tertentu (bayi atau anak), seksualitas yang menetap dalam selera atau praktik (seksualitas kaum homoseksual), seksualitas yang mempengaruhi hubungan secara tersamar (seksualitas dalam hubungan dokter-pasien, pendidik-murid, psikiater-orang gila), seksualitas yang menghantui berbagai ruang (seksualitas rumah tangga, sekolah dan penjara)- semua itu membentuk berbagai prosedur rinci kekuasaan yang saling berkaitan.29
Kekuasaan di sini dimaknai sebagai
Abdurrahman Wahid "Pesantren sebagai sub-Kultur" dalam M. Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1995, h. 40. 28
29
Michel Foucault, Seks dan Kekuasaan………, h. 58-59.
suatu model strategis yang canggih dalam masyarakat tertentu dari kekuasaan-kekuasaan mikro yang terpisah-pisah. Sekolah-sekolah atau pendidikan diniyah yang memisahkan kelas putra dan putri juga memungkinkan terjadinya praktik dalaq di pesantren. Ini merupakan salah satu bentuk seksualitas yang menghantui ruang, serta memunculkan selera dan praktik homoseksual yang kemudian menciptakan prosedur rinci kekuasaan yang saling berkaitan di pesantren. F. METODOLOGI PENELITIAN Penelitian ini akan menggunakan metode kualitatif. Dalam kualitatif riset, seorang peneliti adalah instrumen utama dalam proses penelitian. 30 Pemilihan metode kualitatif sebagai pendekatan didasarkan pada fakta bahwa fenomena homoseksualitas –yang oleh sebagian orang dianggap sebagai bentuk yang devian dan dilarang agama, mengakibatkan kelompok santri ini cenderung menutup diri dari orang luar komunitasnya. Di sini pendekatan kualitatif berusaha mengurai tirai gejala sosial dalam diri manusia dan kelompoknya dengan menitikberatkan pada pemahaman gejala itu secara menyeluruh dan komprehensif. Adapun pengumpulan data yang akan dipakai dalam penelitian ini meliputi pengalaman pribadi yang terangkum dalam life story dari santri dan alumni, wawancara mendalam (indepth interview), studi dokumen dan bahan
30
Lexy Moleong, Methodology Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosadakarya, 1991. h. 5.
pustaka lainnya. Interview dilakukan kepada santri yang masih aktif , serta alumni yang pernah nyantri di pesantren itu. F.1.Subjek Penelitian Penelitian ini akan dilakukan pada beberapa alumni santri dari 3 pesantren di Jawa Timur tradisional (salaf) dan modern (kholaf). Alasan pemilihannya dikarenakan pertama, penulis tidak menggunakan satu subjek saja demi menghindari judgment dan memberikan citra buruk terhadap satu pesantren. Kedua, pemilihan tradisional dan modern didasarkan pada usaha mengetahui pola khas dari masing-masing pesantren tentang wacana dan praktek dalaq. Sedangkan asumsi standar amat tradisional, tradisional dan modern di sini didasarkan pada, kondisi pesantren, kurikulum yang dipakai serta pola dan gaya hidup santri. Ketiga, alumni santri dipilih demi menghindari urusan administratif pesantren yang umumnya tertutup dalam masalah perizinan, utamanya mengenai penelitian semacam ini. Sedangkan santri aktif akan penulis wawancarai ketika mereka pulang ke rumah masing-masing
saat
liburan
pesantren.
Konsekuensinya
dalam
pengerjaannya, penulis akan menyembunyikan dan menyamarkan nama pesantren, nara sumber demi menjaga citra nama baik masing-masing. Dari elemen pesantren ini, yang penulis libatkan sebagai nara sumber dalam penelitian ini adalah: 1. Alumni pengurus 2. Santri yang minimal telah nyantri selama 2 tahun 3. Alumni santri
F.2.Analisis Data Usaha analisa data ini bisa dimulai dari pemeriksaan seluruh data dari sumber-sumber yang ada, yakni dari pengamatan mendalam atas kenyataan ril di pesamtren, wawancara dan studi kepustakaan. Data itu kemudian dibaca, dipelajari, ditelaah dan dilakukan abstraksi data.31 Analisis data dilakukan untuk menemukan makna setiap data, hubungannya antara satu dengan yang lain, memberikan tafsiran yang dapat diterima akal sehat dalam konteks masalah secara keseluruhan. Data tersebut dihubung-hubungkan dan dibandingkan satu sama lain. Discourse
analysis-perspektif Foucault-
sebagai tool of analysis, penulis gunakan sebagai cara baca dalam menganalisis data dari lapangan.
31
Lexy, Metodologi ………., h. 90.
BAB II PESANTREN Untuk memberikan gambaran mengenai tema yang penulis usung dalam tesis ini, perlu kiranya penulis memaparkan beberapa bagian yang dianggap memberikan kontribusi bagi terbentuknya konstruksi wacana homoseksualitas di pesantren. Pada bagian pertama dalam bab ini akan dijelaskan beberapa elemen esensial untuk penelitian ini, di samping pemaparan singkat mengenai etimologi pesantren itu sendiri. Pada bagian terakhir dari bab ini penulis menyuguhkan sekilas setting pesantren yang penulis teliti, hal ini demi terpahamkannya mengapa terma dalaq ataupun homoseksualitas itu hidup di pesantren. A. Sekilas tentang Pesantren Pada awal pertumbuhan Islam di Indonesia, para penyebar agama Islam mendirikan tempat-tempat khusus untuk keperluan ibadah bersama masyarakat sekitar yang telah mengikuti jejaknya. Sebagai agama baru, asing dan menggunakan komunikasi bahasa arab agaknya sulit diterima tanpa melalui pendidikan. Maka mereka menyelenggarakan pendidikan dalam bentuk sederhana di tempat-tempat ibadah. Penyelidikan para peneliti mencatat bahwa cikal bakal pesantren berasal dari pengajian di langgar atau surau,32 dan terkadang juga berasal dari pengajian di mesjid-mesjid seperti yang ditempuh oleh Sunan Ampel Djumhur dan H. Danasuparta, Sejarah Pendidikan, Bandung : CV Ilmu tt, h. 112. Cek lebih lebih lanjut pada Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi Menuju Demoikratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2006. 32
yang berlokasi di Kembang Kuning Surabaya. Sehingga dengan demikian mesjid surau atau langgar telah difungsikan sebagai pusat pendidikan pada masa permulaan Islam di Indonesia.33 Karel A. Steenbrink menyatakan “Dalam abad ke 19 –khususnya pada permulaan abad itu- pesantren merupakan satu-satunya lembaga pendidikan sesudah pengajian al-Qur’an, hampir di seluruh wilayah Indonesia.” 34 Sebutan pondok pesantren, merupakan kalimat yang lazim di Indonesia. Kata “Pondok” berarti rumah atau tempat tinggal sederhana yang terbuat dari bambu. Di samping itu kata “pondok” mungkin juga berasal dari bahasa Arab funduk yang berarti hotel atau asrama. Sedangkan pesantren menurut pengertian dasarnya adalah tempat belajar para santri.35 Akar kata dari “pesantren” adalah kata “santri” yang mendapatkan awalan ‘pe’ dan akhiran ‘an’. Salah satu fungsi dari awalan ‘pe’ dan akhiran ‘an’ bermakna tempat. Sedangkan santri adalah orang yang menuntut ilmu agama Islam.36 Jadi secara etimologis, pesantren berarti tempat orang menuntut ilmu agama Islam. Sedangkan secara terminologis, pesantren berarti institusi pendidikan M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia Pendekatan Fiqh dalam Politik, Jakarta Gramedia, 1994, h. 84. 33
34 Karel A. Steenbrink Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia Abad 19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984, h. 150-159.
Lihat Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, Jakarta: LP3S, 1982, h. 18. Lihat juga dalam Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984, h. 1154. 35
Definisi secara komprehensif tentang pesantren dan santri telah dieksplorasi oleh Abdul Mughis, mahasiswa Pasca UIN Sunan Kalijaga, dalam Tesisnya yang berjudul: “Kajian Hukum Islam di Pesantren Salafi”, 2003, h. 22-25; dan Munsoji, Mahasiswa Pasca UNY, dalam Tesisnya yang berjudul: “Pembaharuan Manajemen Pendidikan Pondok Pesantren,” 2005, h. 12-13. 36
yang digunakan sebagai mediator dalam upaya internalisasi ilmu-ilmu keislaman. Setidaknya terdapat empat unsur dalam pesantren, yaitu: santri, asrama, kyai (ustadz),37 serta kurikulum. Penulis akan memaparkannya satu persatu di sini: A.1. Santri Asal kata santri, menurut Nurcholish Majid, terdapat dua pendapat, pertama, pendapat yang mengatakan bahwa santri berasal dari perkataan sastri, sebuah kata dari bahasa sanskerta yang maknanya melek huruf. Nurcholish menengarai kalau pendapat ini dulu pada permulaan tumbuhnya kekuasaan politik Islam di Demak, kaum santri adalah kelas literary bagi orang Jawa. Hal ini disebabkan pengetahuan mereka tentang agama melalui kitab-kitab bertuliskan dan berbahasa Arab. Kedua, pendapat yang menyatakan bahwa kata ini berasal dari bahasa Jawa, persisnya cantrik, yang artinya seseorang
yang selalu mengikuti seorang guru kemana guru itu
pergi menetap, untuk mendapatkan ilmu dan belajar suatu keahlian. 38 Santri merupakan unsur pokok dari pondok pesantren. Dilihat dari macamnya santri bisa digolongkan menjadi dua kelompok. Pertama santri mukim, adalah santri yang berasal dari daerah yang jauh bahkan dari luar negeri menetap di dalam pondok pesantren. Kedua santri kalong, yaitu para santri yang berasal dari daerah-daerah sekitar pesantren dan biasanya
37www.pesantren.net
dalam Kompas\pesantren\20001114140506-pes0.shtml..htm. Akses tanggal 03 Maret 2006. Namun ada juga yang menambahkan Mesjid dan Kitab Kuning dalam unsur pesantren karena mesjid dianggap sebagai kebutuhan primer; dan Kitab Kuning yang dianggap sebagai simbol kelestarian tradisi keilmuan dari Ulama’-Ulama’ terdahulu.
mereka tidak menetap dalam pondok pesantren, mereka pulang ke rumah masing-masing setelah mengikuti suatu pelajaran di pesantren.39 Dalam proses belajar mengajar, secara umum, pesantren memisahkan pengajaran antara santri putra dan putri. Sedangkan tenaga pengajar (ustadz) putra semuanya laki-laki, sedangkan untuk santri putri adapula yang berasal dari tenaga pengajar laki-laki, karena larangan melihat lawan jenis masih berlaku di pesantren dan diterapkan dengan ketat. Hal ini ditunjukkan pada bagaimana sulitnya pihak keluarga yang hendak mengunjungi anak atau keponakannya di pesantren. Mereka, terutama yang berlainan jenis, masih harus menunjukkan kartu mahrom. Di pesantren, pergaulan lain jenis betul betul diawasi oleh pesantren. Bentuk interaksi yang homogenous ini akan memberikan kontribusi dalam menciptakan satu ruang tersendiri bagi terbentuknya praktik homosexualitas di pesantren.40 Setelah santri lama belajar di pesantren, biasanya diangkat menjadi pengurus pesantren, atau juga diangkat sebagai tenaga pengajar (ustadz). Hal ini merupakan satu hal yang umum dipesantren. Untuk menjadi seorang ustadz yang mengajar kitab kuning tidak lah melalui proses seleksi seperti seleksi untuk menjadi guru di sebuah sekolahan umum. Di sini posisi ustadz amat dihormati oleh santri.
38
Nurcholish Madjid, Bilik-bilik Pesantren, …… h. 19-20.
39
Dhofier, Tradisi …………….. h. 52.
Hal ini biasa terjadi dalam sebuah lingkungan yang pergaulannya bersifat homogenous, kasus-kasus seperti homoseksualitas di penjara, dolmitory dan boarding school. 40
A.2. Kyai Kyai merupakan elemen yang paling esensial dari pondok pesantren, kemasyhuran, perkembangan dan kelangsungan kehidupan suatu pesantren banyak bergantung pada keahlian dan kedalaman ilmu, kharismatik, wibawa serta ketrampilan kyai yang bersangkutan dalam mengelola pesantrennya. Gelar kyai diberikan oleh masyarakat kepada orang yang mempunyai ilmu pengetahuan mendalam tentang agama Islam dan memimpin pondok pesantren serta mengajarkan kitab-kitab klasik pada para santri. Kyai adalah pemimpin nonformal sekaligus pemimpin spiritual, dan posisinya sangat dekat dengan kelompok-kelompok masyarakat lapisan bawah di desa-desa. Sebagai pemimpin masyarakat, kyai memiliki jamaah komunitas dan masyarakat yang diikat dengan hubungan keguyuban yang erat dan dan ikatan budaya paternalistik. Petuah-petuahnya selalu didengar, diikuti dan dilaksanakan oleh jamaah, komunitas dan massa yang dipimpinnya. Jelasnya, kyai menjadi seseorang dituakan oleh masyarakat, atau menjadi bapak masyarakat terutama masyarakat desa.41 Kyai adalah figur pendidik yang dihormati dan selalu didengar petuah dan nasehatnya oleh santri. Bagi santri, membangkang atas nasehat dan instruksi kyai merupakan satu kesahalan besar, dan ilmunya dianggap tidak berkah. Ketaatan atas instruksi dan petuah kyai ini juga, secara umum,
41
Mujamil, Pesantren……. h. 27-29
berlaku pada orang tua santri, lebih-lebih orang tua yang pada masa mudanya pernah menjadi santri kyai tersebut. A.3. Pondok atau Asrama Ketika santri yang mengaji kian membengkak jumlahnya dan berdatangan dari jauh, kyai merasakan perlunya membangun tempat sebagai penginapan santri yang –sebagaimana telah dipaparkan- disebut pondok.42 Ada beberapa alasan yang mendasari kenapa pesantren harus menyediakan asrama (pondok), bagi para santri: Pertama, kemashuran seorang kyai dan kedalaman ilmunya menarik santri-santri dari jauh, sehingga untuk dapat menggali ilmu dari kyai secara teratur dan dalam waktu yang lama para santri harus menetap di dekat kediaman kyai. Kedua, sebagian besar pesantren berada di desa-desa di mana tidak tersedia perumahan (akomodasi) yang cukup untuk menampung para santri, maka dibutuhkan suatu asrama khusus bagi para santri. Ketiga, adanya sikap timbal balik antara kyai dan santri di mana para santri menganggap kyai seolah-olah sebagai bapaknya sendiri, sedangkan kyai menganggap para santri sebagai titipan Tuhan yang harus dilindungi.43 Problem kamar hingga saat ini masih menjadi tantangan pesantren. Karena biasanya satu buah kamar dihuni oleh banyak orang. Di pesantren
Jamali , “Kaum Santri dan Tantangan Kontemporer,” dalam Marzuki Wahid, Suwendi dan Saifuddin Zuhri (peny), Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999, h. 133. Lihat juga, Mujamil, Pesantren…., h. 88. 42
43Dhofier,
Tradisi …….,h. 48.
umumnya, kamar berukuran 3x4 dihuni oleh sekitar 10-15 orang, bahkan lebih. Sehingga ini santri terpaksa tidur di luar kamar atau di mushalla atau mesjid, karena tidak mungkin kamar sekecil itu muat untuk tempat tidur untuk santri sebanyak itu. Agar santri bisa berkonsentrasi belajar, serta –menurut Dhofier, untuk memudahkan pengawasan, biasanya kompleks pondok ini dikelilingi pagar tembok agar santri yang keluar masuk bisa diketahui sesuai dengan peraturan yang berlaku.44 Di samping itu, biasanya pesantren memberikan aturan mengenai keluar masuk santri di pesantren. Umumnya, pesantren tidak mengizinkan santri untuk keluar pada malam hari, bahkan pada pesantren tertentu, ada pula yang sama sekali tidak mengizinkan santri untuk keluar pesantren dengan berbagai alasan. Dalam tradisi pesantren, pondok merupakan asrama di mana para santri tinggal bersama dan belajar di bawah bimbingan kyai. Bangunan pondok pada tiap-tiap pesantren berbeda-beda baik kualitas maupun kelengkapannya. Ada yang didirikan atas biaya kyai-nya, gotong-royong para santri, dari sumbangan warga masyarakat atau sumbangan pemerintah. Pada awalnya pondok tersebut bukanlah semata-mata dimaksudkan sebagai tempat tinggal atau asrama para santri untuk mengikuti pelajaran yang diberikan oleh kyai, akan tetapi Dhofier, Tradisi ……, h. 44. Sebenarnya dari tembok-tembok inilah kemudian tercipta satu bentuk lokalisasi dan disiplinisasi di pesantren. Dalam bahasa Foucault adalah tehnik pengurungan yang menjadi pemisah antara santri dengan masyarakat. Di samping itu tidak hanya pendisiplinan, namun juga terdapat penertiban waktu yang ketat (time table), misalnya aktifitas sehari-hari pesantren yang selalu dimonitor oleh pengurus pesantren. Lihat Michel Foucault, Disiplin Tubuh: Bengkel Individu Modern, disadur oleh P. Sunu Hardiyanta, Yogyakarta: LKIS, 1997, h. 79. 44
juga sebagai training atau latihan bagi santri yang bersangkutan agar mampu hidup mandiri dalam masyarakat, namun dalam perkembangannya sekarang tampaknya lebih menonjol fungsinya sebagai tempat pemondokan atau asrama. A.4. Sistem Pengajaran Sedangkan
mengenai
sistem
pengajaran,
di
dalam
sejarah
perkembanganya pondok pesantren memiliki model-model pengajaran yang bersifat non klasikal yaitu model sistem pendidikan dengan metode pengajaran sorogan dan wetonan, bandongan (Jawa Barat} atau halaqah (di Sumatera). Metode sorogan adalah metode di mana santri menyodorkan sebuah kitab kepada Kyai untuk dibaca di hadapannya, kesalahan pada bacaan langsung dibetulkan oleh Kyai. Metode ini dapat disebut sebagai proses belajar individual. Sedangkan wetonan (bandongan) adalah metode di mana seorang Kyai membacakan dan menjelaskan isi sebuah kitab, dikerumuni oleh sejumlah santri, masing-masing memegang kitabnya sendiri, mendengar, menyimak, dan mencatat keterangan Kyai. Metode ini dapat dikatakan sebagai proses belajar cara kelompok (kolektif).45 Secara keseluruhan, kitab-kitab yang diajarkan di pesantren bisa dikategorikan pada 8 kelompok: Nahwu (syntax) dan Sharaf (morphology); Fiqih; Ushul Fiqh; Hadis; Tafsir; Tauhid; Tasawuf dan Etika; serta cabangcabang lain seperti Ilmu Tarikh dan Balaghah. Kesemuanya dapat
45
26.
Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam, Jakarta : Mulia Offset, 1989,
digolongkan pada tiga kelompok: pertama, kitab-kitab dasar; kedua, kitabkitab tingkat menengah; dan ketiga kitab-kitab besar.46 Rata-rata, masih menurut Dhofier, kitab yang diajarkan di Jawa dan Madura sama, yang kemudian kesamaan tersebut menghasilkan homogenitas pandangan hidup, kultural dan praktek-praktek keagamaan di kalangan santri seluruh Jawa dan Madura. 47 Nurcholish Madjid mencoba memberikan gambaran nama-nama kitab yang biasa diajarkan di pesantren. Mantan Rektor Paramadina itu mengkategorikannya pada empat cabang besar: a. Cabang Ilmu Fiqh : Safinatus Shalah : Safinatun Najah : Fathul Qorib : Taqrib : Fathul Muin : Minhajul Qawim : Muthmainnah : Al-Iqna : Fathul Wahhab b. Cabang Ilmu Tauhid : Aqidatul 'Awam : Bad'ul Amal : Sanusiyah c. Cabang Ilmu Tasawuf : An-Nashaihu al-Diniyah : Irsyadul 'Ibad : Tanbihu al-Ghafilin : Minhajul 'Abidin
46
Dhofier, Tradisi…….., h. 50.
47
Ibid.
: : : :
Ad-Da'watut tammah Al-Hikam Risalatu al-Mu'awanah wa al-Muzaharah Bidayatul Hidayah
d. Cabang ilmu Nahwu dan Sharaf : Nadmu al-Maqshud : Nadmu Al-'Awamil : Nadmu Imrithi : Al-Ajrumiyah : Al-Kailani : Mirhatu al-i'rab : Ibnu 'Aqil48 Secara keseluruhan, pondok pesantren dibagi menjadi tiga macam, yaitu: Pertama pesantren salaf, yaitu pesantren yang mengajarkan kitab-kitab klasik, sistem madrasah diterapkan untuk mempermudah teknis pengajaran sebagai pengganti metode sorogan, pada pesantren ini tidak diajarkan pengetahuan umum. Kedua pesantren kholaf, yaitu pesantren yang selain memberikan pengajaran kitab Islam klasik juga membuka sekolah umum di lingkungan dan di bawah tanggung jawab pesantren. Ketiga perpaduan antara yang salaf dengan kholaf. 49 Berdasarkan laporan Direktorat Departemen Agama tahun 2002, kondisi pesantren secara makro di Indonesia adalah bahwa hingga saat ini pesantren jumlahnya sudah mencapai sekitar 11.312 buah yang terdiri dari 7.462 atau 65,97%,
48
merupakan pesantren salafiyah (tradisional), 599 atau
Nurcholish Madjid, Bilik…… h. 28-29.
49Wahjoetomo,
Perguruan Tinggi Pesantren, Jakarta : Gema Insani Press, 1997, h. 83-89.
5,30% adalah pesantren kholafiyah (modern), dan 3.251 atau 28,74% adalah pesantren perpaduan antara kholaf dan salaf.50 B. Potret Singkat Tiga Pesantren Sebenarnya, secara umum, setting pesantren telah terakomodir pada penjelasan di atas, namun untuk lebih spesifik, penulis mencoba memberikan pemaparan sekilas mengenai tiga potret pesantren yang menjadi subjek penelitian. Hal ini penting untuk mengetahui setting sosial yang berlaku di tiap pesantren yang tentunya akan membantu dalam proses analisis penulis nantinya. Adapun paparannya adalah sebagai berikut: B.I. Pesantren A tempat Iruq mondok merupakan sebuah pesantren yang unik. Pesantren ini mirip sebuah dusun kecil yang terdiri dari rumahrumah yang terbuat dari anyaman bambu dan triplek. Tidak ada satupun yang dibangun dengan batu bata dan semen. Setiap pondokan dihuni oleh 23 orang saja. Dan uniknya, pondokan-pondokan tersebut rata-rata mirip apartemen yang sangat sederhana, dimana di setiap pondokan terdapat satu buah kamar yang berpintu, ruang kecil untuk tempat lemari dan ruang serambi (tamu). Memang secara ukuran bisa dikatakan sekitar 3x4, namun, pesantren yang saat ini mempunyai santri 2000 ini, hanya dihuni sekitar 2-3 orang dan tentunya santri yang tinggal di dalamnya akan lebih leluasa
50Lukman
Hakim, “Eksistensi Pesantren di Era Otonomi Daerah” dalam Majalah Pesantren edisi ke dua tahun 2002, h. 12.
mengatur dan menata pondokan tersebut. Menurut Awi, santri biasanya dipersilahkan membangun pondokan sendiri bila masih ada lahan kosong. 51 Sedangkan sistem pemandian santri adalah berupa sebuah kolam terbuka (mirip kolam renang) yang lebar memanjang sekitar 10x40 an meter. Di situlah semua santri
mandi dan mencuci, hanya saja santri dilarang
telanjang bila mandi, mereka harus menggunakan sarung. Air kolam tersebut berasal dari sebuah sanyo besar yang mengaliri kolam tersebut sehingga posisinya selalu penuh. Di dalam kolam itu dipelihara ikan-ikan yang bila tidak ada santri yang mandi, maka kolam tersebut lebih mirip sebuah kolam ikan. Adapun sistem pengajaran yang dilaksanakan dalam pesantren ini sebenarnya sama dengan pesantren lainnya, yakni sistem klassikal. Kurikulum yang digunakan adalah kurikulum pesantren yang dibuat sendiri, mirip dengan madrasah diniyah dipesantren-pesantren umumnya. Ruangan yang digunakan adalah bekas gedung sebuah pendidikan tinggi yang saat ini sudah tidak digunakan lagi. Dengan terdiri dari 11 ruang, yang dibagi dalam enam kelas. Tentu dengan adanya ruang yang terbatas ini dipastikan tidak bisa menampung seluruh kelas pada saat yang bersamaan, oleh karenanya jam pelajarannya diatur. Misalnya kelas satu mulai dari jam 06:30 hingga 09:00, dengan menggunakan seluruh ruangan yang ada. Lalu dilanjutkan dengan kelas-kelas lain. Sehingga praktis jam sekolah mereka –setiap kelasnya- memakan waktu sekitar 2 ½ setiap harinya. 51
Wawancara dengan Awi , 18 April 2006 (21:00).
Di pesantren ini santri diajak hidup dengan pola yang sangat sederhana, dengan fasilitas seadanya. Hal ini tercermin pada mesjid yang menjadi sentral kegiatan pesantren, berbentuk sangat sederhana. Lantainya masih semen biasa dan sudah amat tua, kayu-kayu yang pasak dan reng-nya sudah mulai lapuk. Hal ini nampaknya memang sengaja dibiarkan seperti itu. Menurut Iruq, jika mesjid kayunya rusak satu, misalnya tiang, maka yang diganti hanya tiang yang rusak itu saja. Bila gentengnya pecah satu, maka yang diganti hanya satu saja, padahal gentengnya sudah amat tua. Padahal sebenarnya, jika pesantren ini mau dibangun, sebenarnya mudah, hal ini karena, pertama, menurut Awi, pesantren pernah mau disumbang dana yang cukup besar dari kabupaten, akan tetapi ditolak oleh pesantren. Kedua, pesantren ini tidak mau melakukan penggalangan dana ke alumni. Di samping
itu,
berdasarkan
pengamatan
penulis,
kyai
pesantren
ini
mempunyai sebuah supermarket cukup terkenal. Di pesantren ini tidak ada larangan tertulis mengenai praktik dalaq, karena bagi pesantren, apa yang menjadi larangan agama pasti juga menjadi larangan pesantren, dan dalaq merupakan satu praktik yang dilarang agama. Di sini, tidak ada sanksi bagi santri yang melakukan praktik ini. Jika memang terjadi praktek seperti ini, maka diserahkan kepada santri, tanpa memberikan sanksi kepada santri yang melakukannya. Larangan-larangan yang berkaitan dengan seksualitas adalah larangan berpacaran dengan lawan jenis.52
52
Sumber Iruq, 17 Maret 2006. (22:00)
B.II. Sedangkan di Pesantren B yang pernah ditempati Nip, berbeda 180 derajat dengan kondisi pesantren Iruq. Di sini semua fasilitas tersedia. Mulai dari warung-warung makan yang biasa disebut dengan koperasi. Kamar-kamarnya sudah menggunakan dinding bata, berlantai tegel dan keramik. Pesantren ini bukanlah pesantren tradisional namun sudah modern dimana sekolahan-sekolahan umum semuanya tersedia. Segala bentuk keterampilan, seperti menjahit, komputer, pembuatan tahu tempe, listrik dan lain sebagainya tersedia. Pesantren yang mempunyai santri putra sekitar 3000 orang dan ratarata usianya antara 13-18 tahun ini,53 pondokannya terdiri dari gang-gang dari A hingga F. Tiap kamar dihuni oleh sekitar 10-20 santri bergantung pada luas kamar. Sehingga jika hendak tidur, santri tidur di depan kamar, yang biasanya menjadi tempat belajar dan kegiatan daerah serta di serambi mesjid atau musholla. Sedangkan sistem mandi santri, di sana disediakan kamar mandi dan WC yang jumlahnya (dengan santri putri, sehingga total jumlahnya sekitar 5300 santri) sekitar 246 buah.54 Kamar mandi dan WC arenanya dipisahkan. Biasanya dalam keadaan jam-jam non sibuk, santri melakukan aktifitas mandi sendirian. Namun dalam jam-jam sibuk seperti ketika hendak berangkat sekolah, menjelang Maghrib dan Jumatan, satu kamar mandi diisi antara 2-4 santri. Di samping itu, kamar mandinya tidak Banyak pula yang sudah diatas 18 tahun. Biasanya bagi yang telah melewati umur ini, diangkat menjadi pengurus, atau menjadi mahasiswa di dua kampus yang ada dipesantren tersebut. 53
54
Data dari makalah yang diterbitkan oleh pesantren ini dan disebarkan kepada alumni.
dilengkapi pintu, hanya disekat dengan tembok saja, sehingga mudah diintip, dan dimasuki. Di pesantren ini, aktifitas santri dilakukan terdiri dari dua bagian besar, aktifitas di sekolah yang biasanya rutin dilaksanakan pada pagi hingga tengah hari, kemudian aktifitas pesantren sendiri yang dilakukan sejak pagi hari sebelum masuk sekolah,55 dan sore hingga malam hari jam 09:30. Kegiatan pesantren meliputi pengajian kitab kuning, dan kegiatan madrasah diniyah. Pada sore hari biasanya santri mengaji secara non klasikal yang diajar oleh pengasuh pesantren. Kitab yang diajarkan adalah Riyadus Shalihin (Hadist) dan Fathul Muin (kitab Fiqih). Pada pesantren ini, tidak terdapat larangan dalaq, meskipun menurut sebuah sumber, beberapa tahun yang lalu hal ini pernah hendak diundangkan, namun tidak disetujui dalam rapat pengurus dengan berbagai alasan tertentu.56 Yang diundangkan di sini dalam masalah yang berkaitan dengan seksualitas adalah larangan melakukan hubungan atau pembicaraan dengan lawan jenis yang non muhrim (dalam hal ini sesama santri di dalam pesantren), serta larangan berpacaran. B.III. Pesantren C yang pernah didiami Ady adalah sebuah pesantren yang sudah amat tua umurnya, sekitar 280 tahun. Dengan kapasitas santri yang Di pesantren ini, tersedia sekolahan-sekolahan, mulai dari sekolah dasar hingga perguruan tinggi. 55
56 Berdasarkan Surry, alasan tidak diundangkannya malasah ini adalah demi menjaga reputasi pesantren. Menurut sumber tersebut, pemberlakuan sebuah undang-undang pasti didahului oleh sebab-sebab yang melatarbelakanginya, oleh karenanya jika praktek dalaq ini diundangkan, berarti kasus ini pernah menjadi kasus di pesantren.
berjumlah sekitar 4000 lebih, asrama pemukiman santri terbagi dalam beberapa blok yang disebut Daerah. Masing-masing daerah terdiri atas beberapa kamar. Hingga saat ini, terdapat 14 daerah (A sampai L, dan Z plus asrama khusus anak-anak yatim) dengan jumlah total 276 kamar. Mengenai pendidikan Secara umum, kegiatan pendidikan di Pondok ini terbagi menjadi dua bagian; pendidikan madrosiyah (diniyah-klasikal), dan pendidikan
ma’hadiyah
(luar
madrasah,
non-klasikal).57
Pendidikan
madrosiyah menggunakan kurikulum klasik, yakni berupa kitab kuning. Kitab-kitab fiqih seperti Fathul Qorib, Fathul Muin, Iqna’ dan I’anatut Thalibin diajarkan tergantung pada tingkat kelas dan madrasah. Dan nampaknya sepanjang pengamatan penulis, kitab-kitab ini adalah kitab yang lazim digunakan di pesantren-pesantren. Untuk santri kelas III Tsanawiyah yang telah menyelesaikan ujian akhir, dikenakan satu wajib mengajar ilmu agama ke madrasah atau ke pesantren lain, hal ini biasa dikenal dengan istilah tugas mengajar selama 1 tahun. Hal ini merupakan satu fenomena yang menarik di pesantren ini, karena pesantren menekankan kualitas santri yang siap terjun ke masyarakat dengan adanya wajib mengajar ini. Ady misalnya ditugaskan mengajar di sebuah pesantren di Madura. Di pesantren ini banyak peraturan dan berbagai disiplin yang diberlakukan. Contoh sederhana saja, sandal, tidak diperbolehkan disimpan Madrasah di sini terdiri dari Isti’dadiyah, yakni bagi santri baru yang akan masuk pada madrasah ibtidaiyah (isti’dadiyah ini bisa dikatakan sebagai matrikulasi); ibtidaiyah, tsanawiyah dan aliyah. 57
di dalam kamar. Semua sandal harus berada diluar, dan tertata rapi diluar. Kemudian contoh lain, santri tidak diperbolehkan tidur di kamar selain kamarnya sendiri, padahal 1 kamar berisikan 20 santri (kecuali di serambi kamar), santri tidak diperbolehkan mandi bersama-sama dalam satu kamar mandi. Santri di sini juga mempunyai sarung khas warna hijau yang menjadi semacam seragam dan identitas santri. Aturan lainnya misalnya, santri tidak diperbolehkan membaca Koran, larangan ini berlaku bagi santri yang statusnya masih pada madrasah Ibtidaiyah dan Tsanawiyah. Bahkan di dalam pesantren sendiri juga dilarang ada kertas-kertas Koran. Bahkan penguruspun juga tidak diperbolehkan membaca di kamar, karena sudah disediakan di perpustakaan.58 Secara bangunan fisik, pesantren C sama dengan pesantren B, hanya saja lingkungan area yang dimiliki oleh pesantren yang disebutkan pertama ini tidak seluas pesantren B. Karena lahan yang tidak cukup luas, kemudian bangunan-bangunan di pesantren Ady banyak yang bertingkat hingga 3 lantai. Mengenai praktik mairilan, pesantren C mempunyai satu undangundang tersendiri yang mengatur praktik ini, yang isinya melarang santri melakukan praktik ini. Barangsiapa yang melakukannya, maka akan diberikan sanksi berupa hukuman marathon 7 kali mengelilingi daerahdaerah di dalam pesantren, serta diumumkan di tiap gang-gang mengenai 58
Sumber Siin.
perilaku yang telah dilakukan oleh santri yang melanggar tersebut. Di samping itu, pesantren juga mengirimkan surat kepada wali santri yang isinya memberitahukan pelanggaran yang telah dilakukan.59 Pelanggaran di atas berlaku bagi santri biasa, sedangkan bagi ustadz yang diketahui melakukan hal itu, maka akan dihukum di hadapan ustadz atau pengurus pesantren lain, serta disaksikan oleh salah seorang pengasuh. Sedangkan larangan mengenai yang berkaitan dengan hubungan laki-laki dan perempuan, tidak mempunyai perbedaan dalam penerapannya dengan 2 pesantren yang telah disebutkan di atas.
59
Sumber, Nal, Siin, Daso (pesantren C)
BAB III HOMOSEKSUALITAS: SEBUAH KAJIAN SINGKAT Setelah memaparkan kajian tentang pesantren pada bab II, pada bab ini penulis hendak menyuguhkan kajian singkat mengenai homoseksualitas itu sendiri, istilah-istilah kunci yang penulis pakai, serta kajian mengenai homoseksualitas di dalam dunia Islam (dalam hal ini di Middle East), kemudian dilanjutkan dengan kajian mengenai sejarah homoseksualitas di Jawa. Kajian mengenai dua sub tema yang disebutkan terakhir ini berangkat dari asumsi bahwa penulis melihat adanya kesinambungan serta kemiripan model mengenai homoseksualitas di Timur Tengah dan pesantren, serta berangkat dari asumsi bahwa pesantren sendiri mengadopsi pengetahuan melalui kitab-kitab yang dikarang oleh para ulama Timur Tengah, dan terdapatnya istilah yang menunjuk pada homoseksualitas yang digunakan dalam bahasa santri yang merupakan bentuk serapan dari kitab-kitab kuning yang dipelajari mereka. Kemudian asumsi menyuguhkan mengapa Jawa terpilih sebagai salah satu bagian kajian ini di karenakan banyaknya literaturliteratur Jawa kuno yang memaparkan praktek homoseksualitas sebagai tradisi yang tidak problematik, sekaligus juga melihat homoseksualitas sebagai identitas orientasi seksual di Jawa terlihat kurang populer dan kurang bisa diterima oleh banyak kalangan. Hal ini bisa dirunut dari kajian atas Serat Centini, kemudian dilanjutkan dengan pembahasan mengenai homoseksualitas di Jawa yang terkini dan masih hidup.
A. BEBERAPA ISTILAH KUNCI Sebelum melangkah lebih jauh pada inti kajian tesis ini, perlu dijelaskan di sini beberapa konsep yang berkaitan dengan fokus kajian. Pertama, homoseksualitas mengacu pada rasa tertarik secara perasaan (kasih sayang, hubungan emosional) dan atau secara erotik, baik secara predominan (lebih menonjol) maupun eksklusif (semata-mata) terhadap orang-orang yang berjenis kelamin sama,60 dengan atau tanpa hubungan fisik (jasmaniyah).61 Dalam A Glossary of Terms on Sexuality and Gender disebutkan bahwa homosexuality adalah “sexual and/or romantic attraction to people of the same sex.”62 Hal ini senada dengan James Henslin yang menyatakan bahwa “I will use homosexuality to refer to sexual preference for members of one's own sex”.63 Homoseksualitas seringkali dipahami sebagai orientasi seksual yang diberikan ciri-ciri lasting aesthetic attraction, cinta romantis, nafsu seksual yang secara eksklusif kepada orang yang sesama jenis atau gender.64 Berdasarkan data dari Ensiklopedia Wikipedia, disebutkan bahwa kata ini muncul pertama
Diane Richardson and Steven Seidman, “Introduction”, dalam Handbook of Lesbian and Gay Studies. London, Sage Publication, 2002. h. 1-3. 60
PT61 TP Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, ed. II 1983 (revisi), Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI, 1985, h. 241. A Glossary of Terms on Sexuality and Gender, diterbitkan oleh Southeasth Asian Consortium on gender, Sexuality and Health, Mahidol University of Thailand, 2005, h. 21. 62
63
The Sociology of Human Sexuality, dalam www.chss.iup.edu. Akses tanggal 03 Maret
64
www.en.wikipedia.org /wiki/homosexuality. Akses tanggal 03 Maret 2006.
2006.
kali dalam tulisan adalah pada tahun 1869 dalam sebuah pamflet German yang ditulis oleh Karl-Maria Kertbeny, seorang novelis kelahiran Austria.65 Lawan dari homoseksualitas adalah heteroseksualitas yang mengacu kepada rasa tertarik kepada lawan jenis (the opposite sex) yang didefinisikan secara tepat sebagai “sexual, emotional and/or romantic attraction to a sex other than your own.”66 Sedangkan yang merupakan orientasi sexual yang lain dari kedua istilah di atas adalah biseksual yang didefinisikan sebagai “A person who is sexually attracted to both men and women”67 atau “a sexual orientation, as a feeling of attraction for both men and women, whether the individual is sexual active or not.68 Kecenderungan
ke
arah
heteroseksualitas
ataupun
ke
arah
homoseksualitas merupakan gejala yang tidaklah asing. Dalam kata lain, pada diri seseorang mungkin terdapat orientasi homoseksual maupun heteroseksual dengan perbandingan yang berbeda-beda. Perbandingan tersebut bisa berubah tergantung waktu dan suasana.69 Konsep kedua adalah homoseks atau homoseksual (disingkat homo) mengacu pada orang, baik laki-laki maupun perempuan, yang memakai
65
www.en.wikipedia.org /wiki/homosexuality. Ibid.
66
A Glossary of Terms on Sexuality and Gender,…… h. 21.
67
A Glossary of Terms on Sexuality and Gender,…….h. 14.
“Bisexuality: Neither Homosexuality www.religioustolerance.org Akses tanggal 3 Maret 2006. 68
PT69 TP Dede Oetomo, Memberi Suara…….. h. 24.
nor
Heterosexuality”
dalam
orientasi homoseksualnya sebagai kriteria pokok dalam mendefinisikan identitasnya.70
Di sini penulis tidak mengikuti makna homosexual yang
diajukan oleh modern, northern European and American notion yang menyatakan “Everyone who repeatedly engages in homosexual behavior is a homosexual”.71 Secara lebih spesifik, asumsi dasar yang penulis bangun mengenai homoseksualitas di pesantren adalah mengikuti pola yang diajukan oleh Kinsey yang menyatakan bahwa dalam setiap diri manusia itu terdapat dua kutub ekstrim yakni kutub heteroseksualitas dan homoseksualitas. Dengan mengajukan teori ini, dia memaparkan adanya skala continuum dimulai dari 0 hingga 6 (Nol sebagai heteroseksual murni dan 6 sebagai homoseksual murni). Skala ini akan berubah sesuai dengan situasi dan kondisi yang dialami oleh seseorang.72 Sehingga pada waktu-waktu tertentu, seseorang bisa jadi kecenderungan heteroseksualitasnya dominan, atau sebaliknya homoseksualitasnya lebih dominan. Salah satu kasus yang bisa diajukan di sini adalah kasus homoseksualitas di penjara, dimana orang-orangnya sebenarnya adalah heteroseksual, namun karena suatu lingkungan yang homogen, kemudian membuat mereka menjadi cenderung homoseksual. PT70 TP Dede Oetomo, Memberi Suara…….. h.. 25-26. Di sini penulis tidak mengikuti terminologi yang dipakai oleh oleh Paula C Rodriguez Ruth yang memakai kata homosexual “as sexual behavior or attraction occurs exclusively with or toward people of the same sex”. Lihat, Paula C Rodriguez Ruth, A Social Science Reader, Bisexuality in United States, New York: Columbia University Press, 2000. h. xvii . 71 Stephen O. Murray, Homosexualities, Chicago and London: The University of Chicago Press, 2000, h. 1. 72
Dede Oetomo, Memberi Suara…….. h. 24.
B. HOMOSEKSUALITAS DALAM ISLAM Sepanjang pengamatan penulis, kajian utuh mengenai homosexuality dalam terutama di Timur Tengah, dilakukan oleh
Khaleed El-Rouayheb
Before Homosexuality in The Arab-Islamic World 1500-1800, serta Stephen O. Murray and Will Roscoe, dalam Islamic Homosexuality, Culture, History and Literature. Vern L. Bullough pernah menyatakan bahwa Islam adalah agama yang “a sex positive”, dalam Islam abad pertengahan, homoseksualitas begitu umum dan ditoleransi aktifitasnya dalam masyarakat.73 Hal serupa ditunjukkan
dalam
penjelasan
Khaleed
yang
menunjukkan
betapa
homoseksualitas di Arab pada abad-abad yang menjadi kajiannya cukup marak terjadi. Kajian yang dilakukan Khaleed adalah kajian atas literaturliteratur, puisi-puisi dan sejarah Arab. Mungkin banyak orang yang bertanya-tanya mengapa masalah homoseksualitas di Arab tidak banyak yang mengetahuinya dan masih belum banyak penelitian-penelitian yang dilakukan di sana. Hal ini bisa di karenakan beberapa sebab pertama: filosofi Spanish “Todos hecho, nada dicho” (everything is done, nothing is said) menjadi strategi dan resep demi memelihara moral mereka, sehingga mereka melakukan aksi diam atas
Khaleed El-Rouayheb, Before Homosexuality in The Arab-Islamic World, 1500-1800,, London: The University of Chicago Press, 2005), h. 3. Rujuk pada Vern. L. Bullough, Sexual Variance in Society and History, New York and London, 1976, chapt. 9. 73
perbuatan ini.74 Hal ini, menurut Stephen Murray, sama dengan mandat para
senator
dan
Presiden
Clinton
pada
pertengahan
1993,
yang
mendiskusikan “don’t ask, don’t tell don’t pursue to approach homosexuality in US military”.75 Kebijakan seperti ini pula yang dilakukan oleh pos-Vatikan II dalam menanggapi masalah homoseksualitas di gereja-gereja.76 Kedua, masalah ini merupakan satu hal yang tabu dibicarakan oleh orang Arab, lebih dari itu untuk melakukan pembuktian misalnya harus terdapat saksi yang menyaksikan hal itu. Ketiga, dalam dunia Timur Tengah, melakukan kontak seksual dengan lawan jenis merupakan satu hal yang sulit dilakukan. Dalam kasus di Iran misalnya, menurut Wockner: “Premarital (heterosexual) sex and sex outside marriage not only a sin, but are also difficult to find,77 and in addition, being gay, for them, is a western phenomena, nevertheless, being sodomized will be a graceful condition if it known, even it damages someone’s reputation.78 Sehingga tidak aneh jika kemudian terjebak pada praktik homoseksual, meskipun harus secara sembunyi-sembunyi, karena jika diketahui khalayak
74 Stephen O. Murrray, “The Will To Not Know”, dalam Islamic Homosexualities: Culture, History and Literature, New York: NY University Press, 1997, h. 17. 75
Ibid.
Donald L. Boisvert and Robert E. Goss, Gay Chatholic Priests and Clerical Sexual Misconduct: Breaking The Silence, New York: Harrington Park Press, 2005. h. 3. 76
77
Dikutip dari Wockner 1992:110, oleh Stephen O. Murray, Islamic……, h. 18.
Arno Schmitt, “Some Reflections on Male-male Sexuality in Muslim Society” dalam Klein Schriften zu Zwischmeannlicker Sexualitat un Erotik in der Muslimischen Gesellschaft, by G. De Martino and A. Schmitt, Berlin. h. 55. Cek lebih lanjut pada, Stephen O. Murray, Islamic…….., h. 18. 78
hal itu adalah satu aib besar dan merusak reputasi. Akhirnya terjadilah aksi diam seperti yang diungkapkan oleh Stephen Murray di atas. Namun kendatipun penelitian tentang homoseksualitas di Timur Tengah tidak banyak dilakukan, tetapi penemuan-penemuan atas aksi-aksi homoseksualitas mereka bervariasi dan menarik. Di bawah ini penulis akan menerangkan tentang sebenarnya mengapa mereka melakukan hal itu dan mengapa hal itu terus berlangsung di kalangan mereka? Di sini penulis jabarkan menjadi dua bagian bahasan yang akan dilanjutkan dengan bahasan tentang hukuman-hukuman atas hal ini: B.1 Homosexualitas sebagai Tradisi Sebenarnya homoseksualitas di Timur Tengah merupakan hal umum di kalangan mereka, meskipun, sebagaimana dikatakan di atas, di mayoritas daerah, hal itu cukup tabu dibicarakan. Memang secara hukum formal agama Islam yang dianut oleh mayoritas penduduk, homoseksualitas adalah sebuah hal yang sinful. Namun bukti-bukti kesejarahan membuktikan bahwa having sex with male menjadi satu kebiasaan tersendiri bagi laki-laki Arab. Hal ini dibuktikan dalam buku-buku literature Arab, The Arabian Nights karya Robert Irvin; The Thousand and a Night terjemahan Madrus & Mathers dan lain-lain. Salah satu contoh yang bisa diajukan di sini adalah sebuah anekdot seorang suami yang suka melakukan hubungan intercourse dengan laki-laki.
“…… His wife said: I have what boys have (indi ma inda al-ghulam), then he replied: Yes but it has unpleasant neighbor (i.e. vagina).”79 Kemudian ditambah lagi dengan bukti-bukti visual: gambar-gambar yang disuguhkan Stephen Murray -di dalam Islamic Homosexualities- yang diambil dari lukisan-lukisan di berbagai perpustakaan Timur Tengah. Jika masalah homoseksualitas ini menjadi satu hal yang rahasia yang tabu dibicarakan, maka berbeda dengan daerah Arab lain, di daerah yang disebut dengan Siwa (yang terletak di daerah Ammon, Libyan desert of Western Egypt), misalnya, sebagaimana dilaporkan Walter Cline, bahwa semua
laki-laki
normal
mempraktekkan
sodomi,
dan
mereka
membicarakannya secara terang-terangan, tanpa rasa malu, sebagaimana mereka membicarakan wanita. Kebanyakan perkelahian-perkelahian yang mereka lakukan adalah untuk kompetisi mendapatkan pasangan homo.80 Bahkan pesta perkawinan dengan pasangan homo, dilakukan secara meriah jauh lebih meriah daripada perkawinan dengan wanita (heteroseksual).81 Bukti anekdot di atas juga menunjukkan bahwa sebenarnya lelaki itu mempunyai isteri, namun mereka juga suka melakukan aktifitas seksual dengan sesama lelaki. Hal ini berbeda dengan perempuan dimana posisi perempuan pada waktu itu masih subordinate, di samping itu, akses perempuan pada wilayah publik masih kurang, sehingga praktek seperti ini 79
Khaleed, Before Homosexuality in ……, h. 16.
80
Stephen,”The Will……………, h. 39.
81
Stephen,”The Will……………, h. 40.
banyak terjadi pada sesama laki-laki. Menurut hemat penulis pada tataran ini, mereka tidak lagi berada pada wilayah heterosexual atau homosexual,
82
namun lebih pada bisexual.83 Sebagai tambahan bukti, Ibnu Hazm (seorang tokoh kenamaan dalam dunia Islam d. 1064) sendiri mengakui kalau ia pernah jatuh cinta kepada seorang anak laki-laki, sehingga ketika diundang dalam sebuah pesta, dimana anak laki-laki itu ada di dalamnya, ia tidak berani hadir karena kuatir akan dosa. Menurut Louis Crompton, Ibnu Hazm dalam buku karangannya tentang cinta “The Dove’s Neck Ring about Love and Lovers”, memberikan bab khusus tentang homoseksualitas dan lesbians.84 Dalam suatu riwayat disebutkan bahwa Ali bin Abu Thalib pernah ditanyakan mengenai hal ini oleh seorang Zindiq, “Kenapa liwath itu dilarang?” Ali menjawab: karena jika diperbolehkan, maka laki-laki akan melepaskan wanita dan ini akan mengganggu prokreasi. 85 Sehingga dalam konklusi artikelnya, Murray menyatakan bahwa
Terkecuali jika kita mengikuti konsep Alfred Kindsey yang menyatakan bahwa di dalam jiwa manusia itu terdapat dua kecenderungan orientasi seksual, yakni homosexualitas dan heterosexualitas. Namun memang umumnya sexual orientation itu tetap dua hal di atas. Lihat Jay P. Paul, “The Bisexual Identity an Idea Without Social Recognition” dalam Bisexual and Homosexual Identities, New York: Haword Press, 1984 h. 45. Penulis tidak mendapatkan data lebih lanjut mengenai apakahpraktek seperti ini masih terus berlangsung hingga kini, namun hal ini paling tidak memperkuat data betapa praktek ini eksis di Timur Tengah. 82
83
Jay P. Paul, “The Bisexual…….., h. 45.
Louis Crampton, “Male Love and Islamic Law in Arab Spain’ in Stephen O Murray (edit) Islamic Homosexualities,……….h. 148-149. 84
85
Khaleed, Before Homosexuality in……., h. 16.
“……It’s possible to think of a great (pederastic) tradition and a little (effeminate) tradition of homosexuality in Islam. Pederasty is the “great tradition” both in being the subject of considerable elite discourse and in seeming to be statistically most prevalent form in muslim societies”.86 B.2. Homosexuality sebagai Anal Aggression Dalam pemahaman dunia Arab Islam pada abad 1500-1800 M, seorang laki-laki bisa ereksi bukan hanya semata karena dia itu merasakan kesenangan atau kenikmatan seksual, namun juga bisa karena feeling of aggressive hostility, yakni karena rasa permusuhan yang begitu dalam dan keinginan melakukan balas dendam.87 Bahkan seorang sarjana Iraq Mahmud al-Alusi menyatakan bahwa beberapa penduduk menggunakan sodomi sebagai satu cara untuk membalas dendam terhadap anggota keluarga (vendettas). Sebagian pemikir muslim malah menyatakan kemunculan sodomi pada kaum Luth sebenarnya adalah mereka melakukan sodomi kepada orang asing sebagai satu cara untuk mengusir mereka dari daerahnya, tanpa mempunyai any sexual desire to do that.88 Sehingga konsep modern tentang homosexuality di Timur Tengah menyisakan satu signifikansi simbolik antara sang penetrator dan yang dipenetrasi. Oleh karena itu tidak heran jika dalam ordinary language tidak ada korespondensi konsep antara activeinsertive serta passive-resertive dalam aksi-aksi homoseksual. Di sini kemudian,
86
Stephen, “The Will……………………h. 41.
87
Khaleed, Before Homosexuality in……., h. 14.
Khaleed, Before Homosexuality in……., h. 14. Cek lebih lanjut, Hashim al-Bahrani, AlBurhan fi Tafsir al-Qur’an,, Tehran, 1375 H, h. 2:348, 4:233. 88
salah satu tujuan dari munculnya praktek sodomi di dunia Arab adalah untuk melakukan dominasi, penaklukan dan lebih jauh lagi adalah untuk merendahkan seseorang, yang kemudian oleh seorang psychiatrist T. Vanggaard disebut dengan Phallic aggression.89
Bukti-bukti akan hal ini
ditunjukkan oleh Khaleed dengan amat bagus, salah satunya, misalnya, dalam pembuka dalam bukunya pada bab I tentang seorang amir Damaskus yang ditelanjangi, dirampok dan kemudian diperkosa (disodomi) oleh sekitar 20 pasukan Turki. Sang amir ini kemudian dibiarkan hidup dengan hanya menggunakan pakaian dalamnya.90 Berdasarkan hal itulah, jika act of penetration itu bisa dilihat sebagai a uniting of two persons or as making love, maka hal itu bisa juga dipakai sebagai sebuah bentuk polarizing experience yang membedakan antara yang dominant dan dominated, honored dan yang dishonored serta yang victorious from the defeated.91 Polarisasi semacam ini nampaknya juga menumbuhkan satu imagi dalam dunia Arab pada waktu itu, bahwa jika seseorang dipenetrasi secara anal oleh orang yang kedudukannya lebih rendah atau musuh, contoh di atas salah satunya, maka kedudukan orang tersebut akan terhina, akan tetapi berbeda jika yang melakukan penetrasi itu lebih tinggi kedudukannya dari yang dipenetrasi, maka ia akan menjadi mulya, dan tanda akan hari yang
89
Khaleed, h. 14.
Amir ini sejak awal memang mempunyai tabiat buruk sebagai buaya darat, dan dia diperlakukan seperti di atas ketika ia berada di rumah salah seorang perempuan penduduk lokal. Khaleed, Before Homosexuality in……., h. 13. 90
91
Khaleed, Before Homosexuality in……., h. 15.
baik di masa depannya. Abdul Ghani al-Nabulusi, menyatakan bahwa: “dreaming that one is being anally penetrated by a social equal or inferior (a rival, a younger brother, a slave) usually has an inauspicious portent, while being penetrated by social superior (the sultan or one’s father) is a good omen”.92 B.3. Represi atas praktik-praktik Homoseksualitas Meskipun homoseksualitas dilarang dalam agama, dan praktik itu masih terjadi, bukan berarti larangan itu sama sekali tidak mempunyai penalti. Usaha-usaha untuk membumihanguskan homoseksualitas dalam masyarakat Islam telah banyak dilakukan. Hal ini mengingat bahwa pada masa Islam diturunkan praktek seperti ini memang telah secara tegas dilarang. Dalam sebuah hadits misalnya, bahwa pelaku dalam hal ini sodomi, baik yang aktif maupun pasif akan dirajam dengan batu (stoned). Malik bin Medina (d. 795), seorang teolog dan ahli hukum Spanyol Africa Utara, menjatuhkan hukuman mati, beberapa madzhab lain menurunkan hukuman menjadi hukuman cambuk sebanyak 100 kali. Bahkan pada masa Khalifah Abu Bakar, seorang pelaku homoseksual dibakar hidup-hidup, pada masa Ali bin Abi Thalib dihukum dengan dilemparkan dari menara.93 Bahkan dalam kasus-kasus di Iran beberapa waktu yang lalu, banyak sangsi-sangsi tegas yang sudah dilakukan.
92
Khaleed, Before Homosexuality in……., h. 24
Louis Crompton, “Male Love and Islamic Law in Arab Spain” dalam Stephen, Islamic Homosexualities…… h. 143. 93
C. HOMOSEKSUALITAS DI JAWA Pemaparan tentang homoseksualitas yang akan penulis suguhkan disini akan langsung pada pembahasan homoseksualitas di Jawa. Penulis tidak berpretensi untuk menjelaskan masalah homoseksualitas yang ada di Nusantara, karena bagi penulis hal itu sudah selesai di tangan-tangan kreatif Dede Oetomo dan Tom Boellstorff.94 Di samping itu, penulis memaparkan kasus-kasus homoseksual di Jawa di karenakan letak dan setting penulisan penelitian ini di Jawa khususnya Jawa Timur. Di sini akan dijelaskan juga beberapa terma berbahasa Madura, karena meskipun riset ini di Jawa Timur, namun berada di beberapa titik daerah yang amat kental Bahasa Maduranya. Berbicara tentang homoseksualitas di Jawa Ben Anderson dalam salah satu pengantar buku karya Dede Oetomo menyatakan bahwa, dalam Serat Centini banyak terdapat adegan-adegan seks yang dilakukan sesama lelaki. Dalam Serat ini banyak digambarkan tentang masalah pelampiasan nafsu, kesenangan, iseng dan lain sebagainya. Tidak ada konsep cinta dalam sastra
94 Sebagai pengantar saja, Dede dan Tom, mengungkapkan bahwa homoseksualitas di Nusantara sudah lama terekam dalam sejarah tulisan-tulisan para peneliti masa colonial, Snouck Hurgronje misalnya yang mengungkapkan masalah homoseksualitas yang dilakukan oleh para Uleebalang di Aceh pada budak-budak remaja putra Nias (pada awal abad 20), begitu juga kasus di Pulau Irian dimana homoseksualitas menjadi ritus sinisasi, atau di Makassar yang terkenal dengan Bissu, Dayak Ngaju dengan sebutan Basir, Suku Toraja Pamona dengan shaman, atau di Minangkabau yang dikenal dengan induk jawi-anak jawi dan lain-lain. Lihat juga pada Justus M. van der Kroef, “Transvestitism and the Religious Hermaphrodite in Indonesia” dalam Wayne R. Dynes and Sthepen Donaldson, Asian Homosexualities, London: Gerland Publishing, 1992. h. 8998.
klasik maha besar ini. Hal ini menurutnya berbeda dengan sastra melayuIndonesia yang banyak bertutur tentang cinta dan dosa.95 Dalam Babad Sangkala disebutkan tentang bagaimana sang Raja Pakubuwono II mempunyai sexual preferences pada laki-laki. Berita ini sangat umum pada waktu itu. Salah satu contohnya: The king took great pleasure in (men named) Bayar and Bangun, whom his Highness enjoyed like women, for he feared not God’s prohibition and nearly forgot women. Then this was copied by the servants of the Kamlayan, taken as an example, indeed surpassing all the actions which were to the taste of the king. He who acted as a woman was one named Wardiningsih. Everyday the Ponakawans (companions) were able to give lesson in the Sri Menganti.96 Hanya saja pada tahun-tahun berikutnya, Pakubuwono II melarang praktik ini di Istana, meskipun ia mempunyai preferences atas hal ini.97 Dalam Serat Cebolek juga disebutkan bagaimana pangeran Urawan tertarik pada seorang anak dari bupati Banyumas: 16….. this was the son of the bupati, Ki Banyumas.
Tg. Yudanagara of
95 Kata pengantar Ben Anderson, “Dari Centini Sampai Gaya Nusantara”, dalam Dede Oetomo, Memberi Suara ….., h. xii
M.C. Ricklefs, The Seen and Unseen World in Java 1726-1749, Hawaii: Uiversity of Hawai, 1998. h. 137. 96
Kasus praktik homoseksualitas ini juga terjadi pada Pangeran Blitar, adik paling muda dari sang raja Pakubuwono II. Yang kemudian oleh raja ditahan disebuah istana yang hanya didatangi oleh perempuan saja. Kasus homoseksualitas ini juga terjadi pada penurunan Tg. Puspanegara di Batang, namun masih tidak jelas apakah penurunan ini dikarenakan masalah homoseksualitas atau karena intervensi dari VOC Ibid, h. 222-224. 97
17. Like Bangbang Wijanarka was the beauty of M. Gondakusuma. He was exceedingly beloved , taken up as his most intimate friend by R. Dm (Urawan) indeed, in most intimate intercourse with him day and night.98 Urawan’s homosexual attraction to Yudanagara on 1735 also reported by VOC.99 Isu ini merupakan satu isu yang hangat pada itu, bagaimana kemudian dalam manuskrip Ratu Pakubuwono menyatakan bahwa perbuatan ini melawan the divine law, perbuatan yang sama dengan perbuatan yang dilakukan oleh kaum nabi Luth.100
Meskipun banyak
kalangan orang-orang istana (courtiers) yang melakukan hal tersebut., namun mereka tetap menganggap bahwa perbuatan homoseksual itu adalah dosa.101 Di Ponorogo, terdapat ritual seni pertunjukan yang disebut dengan Reog. Ritual yang sebenarnya telah menjadi budaya nusantara semenjak abad 13 ini, juga dikenal luas sebagai tempat praktik homoseksual. Menurut Tom Bollstorff, berdasarkan legendanya, reog telah ada semenjak abad 13 yang diciptkan oleh Kelono Sewandono, seorang pangeran dari kerajaan Bantarangin (di dekat Ponorogo). Ini dimulai saat sang pangeran hendak menyunting Dewi Songgolangit dari kerajaan Daha, Kediri. Sang puteri mau dipersunting dengan syarat sang pangeran bisa membuat suatu performance
Rikclefs, The Seen…., h. 184.
98 99
Ibid.
100
Ibid., h. 137.
101
Ibid., h. 210.
yang berbeda dari apa yang telah ada pada waktu itu.102 Kemudian dibuat lah performance reog. Dari sini terdapat hubungan antara warok dan Gemblak. Aktor yang disebut dengan warok dikenal dengan bravery, pride, aggressive masculinity dan memiliki mystical knowledge. Hanya saja pada awalnya, warok bisa diperankan wanita, meskipun saat ini diperankan oleh laki-laki. Untuk mempunyai mystical power warok harus menghindari hubungan seksual selama ia menyandang status sebagai warok. Para warok boleh mengambil anak muda yang berumur 8-16 tahun untuk diajari, dan domestic partner biasanya kemudian anak muda ini disebut gemblak. Menurut Tom, para warok tidak mesti melakukan hubungan sex dengan gemblak; hanya saja, seorang warok kontemporer pernah berkata: “Paling jauh yang dilakukan dengan para gemblak adalah mencium dan mengemong (cuddling). Tetapi kemudian memang umum diketahui kalau aktifitas seksual terjadi antara warok dan gemblak.103 Ben Anderson menjelaskan bahwa terdapat satu hal yang disepakati dalam Centini adalah bahwa kasus homoseksualitas merupakan satu hal yang bukanlah problematik, dan menjadi bagian sehari-hari dari budaya tradisional seksual masyarakat Jawa. Anderson menjelaskan, dalam Serat Centini disebutkan bahwa Cebolang, setelah diusir oleh ayahnya karena melakukan penghinaan dan kasus-kasus perzinahan, dia bergabung dengan kelompok tarian jalanan yang biasa disebut dengan terbangan. Hingga 102
Tom Bollstorff, The Gay………. , h. 40-41.
103
Tom Bollstorff, The Gay………. , h. 41.
akhirnya rombongan ini sampai di Daha dan diundang Adipati untuk melakukan pertunjukan. Nah pada malam harinya, seusai pertunjukan, sang adipati mengundang Nuwitri, seorang anak muda yang effeminate, untuk tidur dengannya. Si Nuwitri ini menurut dan terjadilah praktik homoseksual sodomi. Keesokan harinya, sang adipati merasa ingin melakukan praktik ini dengan laki-laki yang lebih maskulin. Kemudian pilihan itu jatuh kepada Cebolang. Dan dia menurut saja akan hal ini terlebih, sebelumnya si Nuwitri mendapatkan hadiah yang menarik dari adipati. Dan memang benar ia diberikan hadiah yang proporsional dengan pekerjaannya. Pada hari berikutnya, sang Adipati memberikan opsi pada Cebolang apa dia menginginkan untuk melakukan penetrasi atau dipenetrasi. Cebolang menjawab dipenetrasi (dubur). Lalu kemudian sang adipati dipenetrasi. Nah karena besarnya ukuran penis cebolang, sang adipati meringis penuh kesakitan sehingga keesokan harinya dia tidak dapat duduk. Dari sini kemudian baik Nuwitri dan Cebolang merasa puas, merasa sudah dapat menipu (hoodwinking) pejabat aristokrat. Mereka berdua telah melayaninya dan adipati menerima ganjarannya; tidak itu saja, mereka mendapatkan apa yang mereka inginkan, harta, favors, serta menikmati wanita-wanita yang ada di daerah kabupaten tersebut.104 Masih menurut Anderson: “The reverse sodomy represents a sharp contrast in almost every respect. The adipati first yields up his social and political preeminence by permitting the young, adventurer 104
Ben Anderson, Language and Power, US: Cornell University Press, 1990. h. 279-280
to address him in ngoko, then he asks for knowledge, about which he concedes his ignorance, and in effects asks for instruction from an experience teacher. As the results, because of the skillfulness and the penis of Cebolang, the Adipati became feel like woman, a virgin or beginning student.105 Sedangkan kisah tentang homoseksualitas yang hadir pada abad 19, adalah sebagaimana terkupas dalam disertasi Tom Boellstorff. Di sini Tom mendapatkan sebuah buku yang berjudul Jalan Hidupku yang diterbitkan dan diedit oleh Budiman. Teks ini menjadi satu bukti yang sebelumnya belum pernah ada di awal abad 20.106 buku ini merupakan satu buku yang bercerita tentang kisah hidup Sucipto, seorang gay dari Situbondo, sebuah kota di bagian timur Jawa Timur.
105 Ben Anderson, Language,…….. h. 281-282. hal ini juga menegaskan bahwa betapa, masalah sodomi ini menjadi satu ajang untuk melakukan sebuah agressi, antara muda pada yang tua, hamba dan majikan, jelata dan adipati dalam masalah Cebolang. Hal ini sepertinya menjadi satu consensus yang umum di sini, baik di Indo ataupun di Timur Tengah. Pertanyaannya adalah adakah sebuah transfer pengetahuan tentang masalah sodomi dari Arab ke Jawa? Hal ini menurut hemat penulis membutuhkan sebuah penelitian yang lebih lanjut.
Tom Boellstorff, “The Gay Archipelago: Postcolonial Sexual Subjectivities in Indonesia” A dissertation on Department of Cultural and Social Anthropology Of Stanford University, 2000. h. 94. 106
BAB IV WACANA HOMOSEKSUALITAS DI PESANTREN Setelah menjelaskan tentang pesantren, homoseksualitas secara umum serta dalam diskursus pengetahuan di Timur Tengah dan Jawa, penulis mengandaikan telah terkumpulnya berbagai gagasan dan pengantar atas penelitian yang diusung. Untuk menjaga keteraturan struktur bahasan, pada bab IV ini penulis akan memaparkan mengenai bahasa homoseksualitas di pesantren, dilanjutkan dengan analisis awal mengenai diskursus yang membentuk hal ini, tipologi atau model perilaku homoseksual di pesantren, serta penjelasan mengenai sikap pesantren atas hal ini. Pada bagian ini penulis akan menjawab rumusan masalah yang pertama yang diajukan pada penelitian ini. A. Bahasa-bahasa Homoseksualitas Pesantren Di sini penulis mencoba mengetengahkan berbagai bahasa yang biasa digunakan oleh santri di pesantren yang berkaitan dengan hoomoseksualitas. Istilah-istilah tersebut antara lain: dalaq, mairil, sempet, amrad, bondet, maf'ul, motor cina, motor honda. Semua istilah ini merujuk kepada aktifitas dan perilaku seksual para santri. Sebenarnya tidak ada istilah penggunaan yang baku dalam pemakaian istilah di atas, semua itu tergantung konteks sosial dan konsensus di suatu pesantren. Penggunaan istilah di tiap-tiap pesantren berbeda satu sama lain. Kata dalaq misalnya, kadang digunakan untuk menyebut si lelaki yang menjadi
objek homoseksual, kadang juga digunakan dengan makna sempet seperti kata “tak dalaq kuwe yo!”. Jika dijadikan kata kerja, maka istilah ngadalaq merujuk pada makna memacari atau mengencani. Eksplorasi linguistic yang dilakukan oleh Dede Oetomo pada kata dalaq, sebenarnya menurut penulis bergantung kepada konteks dan konsensus yang berlaku. Di sini kata dalaq dipakai dan diujarkan secara arbiterer oleh santri. Dalam kamus bahasa Madura-Belanda, kata ini berarti "Schand-jongen"
yang
berarti objek
perbuatan homoseks lewat dubur. Dalam pergaulan sehari-hari terdapat kata-kata imbuhan dalam menggunakan kata ini antara lain laq-dalaq (saling melakukan perbuatan homoseks), kadalaq: menjadi objek dalam perbuatan homoseks, ngadalaq; menyetubuhi pantat laki-laki oleh laki-laki lain.107 Dalam kamus tersebut juga ada sistem rujuk silang dengan mempersilangkan kata dalaq dengan pertama, dengan entri njen-onjenan yang mempunyai definisi yang sama, yang berasal dari kata onjen (baca: onyen) yang diterjemahkan dengan melakukan perbuatan homoseks. Istilah ini menurut Dede masih lazim digunakan bagi kalangan homo dan banci yang berbahasa Madura dengan arti yang sama dan, menariknya, juga digunakan oleh kalangan umum untuk merujuk pada perbuatan heteroseks. Kedua, kata dalaq
PT107 TPH.N Kilian, Madoereesch-Nederlandsch Woordenboek, cek lebih lanjut pada buku Dede Oetomo, Memberi Suara……..h 55-56.
disilangkan dengan kata apeq kepeq yang berarti sama dengan njen-onjen. Namun menurut Dede kata ini lazim diucapkan oleh kalangan heteroseks, tapi jarang dipakai di kalangan banci dan homo. Rujukan silang ketiga adalah kang-pokang (paederastie uitoefenen) yang diterjemahkan sebagai melakukan hubungan homoseks. Dede menduga kata ini lebih merujuk pada hubungan penis di sela paha. Hal ini ia kuatkan dengan hasil informasi yang didapatnya bahwa di kalangan santri, hubungan lewat dubur (liwath) amat diharamkan, namun hubungan di sela paha lazim dilakukan oleh para santri. Rujukan terakhir terakhir adalah las-ghellasan yang oleh Killian digolongkan sebagai kiasan dari sodomie plegen (melakukan hubungan lewat dubur). Namun, menurut Dede, istilah ini belum pernah dikomentari oleh para informan karena memang tidak lazim dipakai. Tambahan pula, menurut Dede, pemaknaan las-ghellasan sebagai bentuk hubungan lewat dubur terasa janggal. Karena kata las-ghellasan ini jika dirujukkan pada permainan layang-layang terdapat kebiasaan orang untuk menggelas benang agar bisa menang kalau diadu. Menurut Dede bukankah pemaknaan dengan mengadu atau menggesek-gesekkan penis itu lebih dekat dan cocok maknanya?108 Di pesantren, kata dalaq juga dekat dengan makna sempet (bahasa Jawa) yang merujuk pada praktek homoseksual santri. Kata ini secara lebih PT108 TP Dede Oetomo, Memberi Suara …, hal 58.
spesifik merujuk kepada aktifitas homoseksual dengan cara mengapit kemaluan di sela-sela kedua paha. Sedangkan bahasa lain yang mempunyai padanan makna yang sama dengan kata sempet adalah ta’abbath (Arab) yang secara literal bermakna menjepit. Kata ini juga kerap diujarkan santri ketika mempraktikkan bahasa Arab di pesantren. Sedangkan kata bondet merujuk pada makna si pelaku (subjek),109 maf’ul (objek) yang lazim digunakan di sebuah pesantren di Ponorogo. Kata amrad, memiliki makna yang sama dengan homoseksualitas yang ada di Timur Tengah, yakni beardless boy (anak yang tidak berjanggut). Sedangkan kata motor Cina dan motor Honda merujuk kepada paras dan postur si objek. motor Cina diasosiasikan pada seorang santri yang mempunyai raut muka dan tubuh yang cukup ganteng, hanya saja nampaknya agak kurus, dan kurang bertenaga.110 Sedangkan motor Honda diasosiasikan pada santri yang raut mukanya ganteng dan berbadan bagus. Kedua istilah motor ini digunakan di sebuah pesantren C, dan digunakan hanya tertentu di kalangan pengurus asrama sebagai kinayah (bahasa kiasan). Karena, di samping menjaga muruah (kehormatan), juga karena mengingat
Sebenarnya istilah bondet amatlah popular di media, hanya saja, makna bondet lebih merujuk mada lelaki mata keranjang dengan orientasi heteroseksual. Istilah ini dipopulerkan oleh Jawa Pos pada tahun 1990 an dengan rubriknya yang terkenal Opo Maneh. Biasanya rubrik ini berisikan perselingkuhan yang terjadi di masyarakat. 109
Sebagaimana dalam dunia Sepeda Motor di Indonesia, motor Cina adalah motor yang dilihat dari segi bodi cukup bagus, namun biasanya tidak tahan lama, dibandingkan dengan motor-motor Jepang, misalnya Honda, Yamaha, Suzuki dan lain-lain. 110
konteks sosial di pesantren itu memang betul-betul melakukan represi dan hukuman atas para pelaku dan objek yang melakukan praktik ini. Di sini penulis sama sekali tidak menemukan suatu bahasa-bahasa homoseksual yang umum seperti di luar pesantren. Istilah, gay, homo dan lain-lain tidak pernah penulis jumpai selama penelitian ini. Bahasa-bahasa yang mereka gunakan merupakan bahasa yang betul-betul orisinil berasal dari pesantren, berasal dari mereka sendiri. Hanya satu istilah yang menurut penulis tidak orisinil, yakni amrad, bahasa ini murni bahasa serapan yang diambil pesantren dari kitab-kitab kuning yang diajarkan. B. Discourse Dalaq di Pesantren Dari paparan di atas memunculkan satu pertanyaan inti dari pembahasan penelitian ini, bagaimana semua wacana itu terbentuk, dipraktekkan dan dirasionalisasikan oleh sekelompok kecil santri di pesantren? Di sini kami mencoba melakukan eksplorasi bagaimana wacana homoseksualitas dikonstruksi di pesantren. Sebelum melangkah lebih jauh, untuk memperjelas permasalahan, penulis akan memberikan definisi wacana yang akan penulis pakai dalam tesis ini. Definisi wacana yang penulis ikuti adalah definisi wacana yang disuguhkan oleh Michel Foucault. Pakar poststrukturalis Prancis ini mendefinisikan wacana dalam sebuah range yang amat luas sebagai berikut: “…. Instead of gradually reducing the rather fluctuating meaning of the word discourse, I believe I have in fact added to its meanings: treating it sometimes as the general domain of all statements, sometimes as an individualizable group of
statements, and sometimes as a regulated practice that accounts for a number of statements.” 111 Salah satu cara yang paling produktif dalam memahami discourse adalah dengan tidak memahaminya sebagai sebuah grup dari sejumlah tanda atau sekumpulan teks (stretch of text), namun lebih memahaminya sebagai praktik-praktik yang secara sistematis membentuk berbagai objek yang mereka bicarakan.112 Dalam hal ini Sara Mills menambahkan: In this sense, a discourse is something which produces something else (an utterance, a concept, and effect), rather than something exists in and of itself and which can be analyzed in isolation. A discursive structure can be detected because of systematicity of the ideas, opinions, concepts, ways of thinking and behaving which are formed within a particular context, and because of the effects of those ways of thinking and behaving. 113 Sedangkan bagi Foucault wacana tidaklah harus mengacu pada kehadiran asal-usul yang jauh, tapi cukup disuguhkan (treated) seperti dan ketika ia terjadi.114 Hal yang penting dalam mempelajari masalah discourse ala Foucaultian, adalah mempertimbangkan masalah truth, power dan knowledge. Hal ini akan penulis gunakan sebagai analisis dalam penelitian ini.
111
Michel Foucault, The Archeology of Knowledge, Tavistock, London 1972, h. 80.
112
Ibid. h. 49.
113
Sara Mills, Discourse, Canada: Routledge, 1997. h. 15.
Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan, (terj. M. Mochtar Zoerni), Yogyakarta: Qalam, 2002. h. 41. 114
Sebagaimana telah dijelaskan di muka mengenai pesantren, kondisi ruang pesantren yang kurang memberikan ruang bagi terbentuknya interaksi heteroseksualitas nampaknya turut memberikan kontribusi bagi terciptanya ruang homoseksualitas. Di sini kami mencoba mengambil contoh dari nara sumber mengenai discourse ini, serta melibatkan pengamatan penulis sendiri terhadap hal-hal yang visible dari fisik bangunan pesantren. Dari situ bisa dilihat bahwa discourse tentang dalaq dibentuk oleh banyak faktor, di antaranya: Pertama, lingkungan. Jika kembali kepada setting pesantren di atas, tentang kondisi dan aktifitas sehari-hari di pesantren, maka akan terlihat betapa kemudian pesantren menjadi sebuah entitas kelompok yang terpisah dari masyarakat, mereka diletakkan pada suatu tempat khusus yang biasanya sekelilingnya diberikan pagar sebagai batas-batas teritori pesantren. Merupakan suatu hal yang sudah berlaku umum pada mayoritas pesantren, bahwa pada malam hari, santri dilarang keluar dari pesantren. Bahkan tidak hanya itu saja, di tiga pesantren di atas, santri tidak diperbolehkan keluar pesantren –dengan batasan-batasan teritori tertentu- di siang maupun malam hari, kecuali telah mendapatkan izin dari pengurus dan keamanan. Kedua seringnya pertemuan dengan santri yang itu-itu saja,115 yang dalam istilah Jawa witing tresno jalaran songko kulino. Absennya lawan jenis di tengah-tengah komunitas santri, secara otomatis membentuk konstruksi
Wawancara dengan Nal (nama samaran) seorang mantan wakil ketua asrama (19962006) pada (15 Maret 2006 pukul 20.00-21.30). 115
seksual mereka, terlebih para santri mayoritas masuk ke dalam pesantren pada masa-masa pubertas, dimana pada masa ini proses pematangan seksualitas baik fisik maupun psikis mulai terbentuk.116 Ketiga, keterkekangan,117 dalam artian santri dikekang dan diatur sedemikian rupa sehingga mereka tidak mempunyai ruang leluasa untuk bergerak. Keterkekangan ini bukan hanya lingkungan pesantren yang sempit, namun juga kekangan norma agama, nilai-nilai dan etika sosial serta instruksi-instruksi dan kebijakan pesantren. Di dalam pesantren, santri terbiasa dilatih dengan berbagai bentuk disiplin dan time table kegiatan sehari-hari. Keempat, Larangan dalam kitab-kitab.118 Setidaknya setelah kami cek dalam beberapa literatur kitab klasik, memang beberapa kitab Fiqih juga membahas mengenai masalah dalaq ini, yang diwakili oleh kata amrad, misalnya saja dalam kitab al-Asbah wa an-Nadhair, Fathul Mu’in dan I’anatut Thalibin.119 Larangan ini kemudian membuat santri ingin mengetahui lebih
116 Cek lebih jauh tentang Adolescence, dalam Jerome Kagan (edt) The Gale Encyclopedia of Childhood and Adolescence, GALE: Detroit, 1998. p. 10-13. 117
Wawancara dengan Iruq, (1991-1999) 20 Maret 2006, pukul 22.00-24.00
118
Wawancara dengan Nip, 12 Maret 2006, pukul 06.30, hal ini diakui pula oleh Iruq.
Salah satu kasus kecilnya adalah di dalam kitab I’anah disebutkan bahwa demi menjaga keabsahan shalat, seorang laki-laki disunnahkan untuk ambil wudhu kembali jika memegang seorang murdun (lelaki yang tidak berjanggut) karena dikuatirkan syahwat, cek Zaenuddin bin Abdul Aziz, Fathul Mu’in, Surabaya: Al-Hidayah, tt. H. 9. 119
jauh, apalagi, sekali lagi, umur santri yang masuk ke pesantren umumnya memasuki usia-usia pubertas.120 Kelima, statemen-statemen sehari-hari. Bagaimanapun, gurauan dengan menggunakan bahasa dalaq merupakan salah satu humor yang terlihat mengasyikkan bagi santri maupun alumni. Setidaknya hal ini menjadi pengalaman penulis ketika berada di pesantren-pesantren di atas. Salah satu contoh kecil saja statemen Ady kepada salah seorang temannya “Di, engkok nyiommah alek’en been ye” (Di, saya akan mencium adik kamu ya?), atau bahasa yang berbau sexual harassment seperti “Ju mapajuh been” (sok laku) yang ditujukan pada seorang dalaq yang tidak mau dipegang. Atau istilah delek sepo (dalaq yang sudah tua) Keenam, Model kamar (architecture). Sebagaimana telah dijelaskan di atas bahwa bentuk kamar yang ada di pesantren A mirip halnya dengan apartemen kecil dan hanya diisi oleh 2-3 santri saja. Kemudian bentuk kamar tidurnya yang amat sempit sehingga untuk tidur berdua, posisi tidurnya akan berdekatan. Kemudian untuk pesantren B dan C, adalah terlalu banyaknya penghuni santri dalam satu kamar.
Sehingga tidur mereka
berdesak-desakan dan bahkan banyak di antara mereka yang tidur di luar. Ketujuh, Tempat pemandian santri. Hal ini utamanya terjadi pada santri di pesantren A dan B dimana santri terbiasa melaksanakan mandi bersama. Hal ini juga turut memberikan konstribusi terhadap discourse dalaq di pesantren. Karena di pesantren, membuka aurat, seperti menunjukkan 120
Wawancara dengan Lily (santri aktif), 15 April 2006.
kulit paha merupakan satu hal yang tabu dilakukan, meskipun yang melihatnya adalah satu jenis. Kedelapan, Kantor mahrom. Kantor ini merupakan ajang pertemuan famili yang berlainan jenis. Dalam Islam yang disebut muhrim adalah, ayah, ibu, anak, keponakan, paman, bibi, dan kakek, nenek. Lalu kenapa kantor mahrom? Eksistensi kantor mahrom di pesantren mengandaikan bahwa pertemuan santri baik dengan santri lain yang berlainan jenis, maupun dengan lawan jenis yang non santri adalah dilarang. Hal ini kemudian turut membantu mempengaruhi alam bawah sadar santri –di samping doktrin agama- , bahwa pertemuan antar jenis yang bukan muhrim adalah di larang. C. Praktek-praktek homosexualitas ala pesantrens : Ngobu, Ngecer dan Nyolo Dalam memahami perilaku seksual santri di pesantren, penulis tidak mengikuti tiga pola yang disuguhkan Syarifuddin. Dalam bukunya Mairil; Sepenggal Kisah Biru di Pesantren, Syarifuddin membagi perilaku seksual santri menjadi tiga macam, pertama, nyempet, yang dilakukan dengan bergonta ganti korban, yang rata-rata dipraktekkan ketika korban masih tidur, dan dalam praktiknya dilakukan dengan cara memepetkan penis pada paha. Kedua, mairil, yang dimaknainya dengan perilaku seksual dengan memberikan kasih sayang kepada orang yang disukainya. Ketiga, cinta sejenis. Penulis tidak mengikuti pembagian perilaku seksual ini di karenakan dua alasan: pertama, pembagian
yang dilakukan oleh Syarifuddin ini
memiliki banyak kelemahan, di antaranya, penggunaan istilah mairil yang
diujarkan oleh santri tidak hanya semata merujuk pada pengertian yang didefinisikan Syarifuddin, tetapi penggunaannya beragam, sebagaimana telah penulis jelaskan pada bahasa-bahasa homoseksualitas santri. Kemudian kategori kedua yang digunakan Syarifuddin, sempet, yang menurut hemat penulis tidak bisa digunakan sebagai kategori tersendiri, karena perilaku sempet dilakukan juga oleh santri, dalam pengamatan di lapangan- yang mempraktikkan
mairilan.
Kedua,
penulis
berusaha
mempertahankan
orisinalitas bahasa dan istilah yang digunakan nara sumber yang rata-rata didominasi oleh bahasa Madura.121 Sebagaimana dijelaskan di atas, pada bagian ini penulis akan menjelaskan perilaku seksual di pesantren. Perilaku ini penulis bagi menjadi tiga bagian besar: ngobu, ngecer dan nyolo. Istilah ngobu adalah bahasa Madura yang bermakna memelihara, sedangkan ngecer adalah bahasa yang samasama dipakai dalam bahasa Madura dan Jawa yang bermakna eceran dalam arti si pelaku tidak mempunyai pasangan tetap tetapi melakukannya dengan bergonta ganti pasangan yang dilakukan atas dasar suka sama suka. Dua istilah ini digunakan oleh para pelaku laq-dalaq-an. Yang pertama merujuk pada pelaku yang memelihara objek layaknya pasangan suami istri, sedangkan yang kedua biasanya pelaku yang tidak mempunyai pasangan tetap. Sedangkan nyolo adalah istilah yang digunakan untuk si pelaku yang Di Jawa Timur, meskipun secara geografis dan etnik para penduduknya adalah Jawa namun, banyak juga yang menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa sehari-hari, hal ini umumnya eksis di daerah tapal kuda. Begitu pula pesantren-pesantren yang ada di area ini, menggunakan bahasa Madura sebagai bahasa pergaulan, meski dalam pengajaran ada juga yang menggunakan bahasa Jawa, misalnya di pesantren C. 121
melakukan aktifitas dalaq dengan cara ‘mencuri’ (bukan atas dasar suka-sama suka), dan memaksa, biasanya, penggunaan magic seperti sirep dilakukan oleh si pelaku, sehingga si objek tidak menyadari praktik ini. Menurut pengamatan penulis ketiga perilaku seksual (ngobu, ngecer dan nyolo) menjadi ciri-ciri dan model para santri dalam meluapkan hasrat seksual mereka. C. 1. Perilaku Seksual Ngobu “Engkok saonggunah seneng ka been, sengkok sengoca’ah kabeter, takok been tak endek, polanah sajenis” (Saya sebenarnya senang ke kamu, tapi untuk mengatakannya saya takut, kuatir kamu tidak mau, karena sejenis) Sebagaimana dijelaskan dalam kerangka teori bahwa perilaku seksual adalah keseluruhan tingkah laku manusia yang didorong oleh hasrat seksual yang aktifitasnya mulai dari perasaan tertarik sampai tingkah laku berkencan bercumbu dan bersenggama. Di sini awal mula ketertarikan santri kepada dalaq adalah dikarenakan pada fisiknya. Jika merujuk kepada istilah yang ada dalam kitab Fathul Mu’in, di situ terdapat istilah murdun dengan bentuk plural amrad,
mempunyai arti lelaki yang tidak berbulu, dan biasanya
identik dengan ketampanan, maka
begitu pula di pesantren, umumnya
santri yang mempunyai ciri-ciri seperti ini kondang dan terkenal di kalangan para santri. Namun menurut Iruq sebenarnya kategorinya tidak harus seperti itu, minimal punya wajah yang halus. Dari wajah kemudian si pelaku tertarik dan melakukan berbagai pendekatan. Biasanya dilakukan dengan berbagai cara, mulai dari mentraktir makan, diajak belajar bersama, hingga dengan
melakukan pendekatan magic, yakni dengan menjampi-jampi si objek yang disenangi.122 Ketika telah senang dan melakukan berbagai pendekatan, si pelaku kemudian
mengutarakan
maksudnya
misalnya
sebagaimana
pernah
ditirukan oleh Iruq dengan menggunakan bahasa Madura “Engkok saonggunah seneng ka been, sengkok sengoca’ah
kabeter, takok been tak endek,
polanah sajenis” (saya sebenarnya suka kepada sampean, saya mau mengatakan hal ini kuatir sampean tidak mau, karena sejenis). Baik Ady maupun Iruq sama-sama melihat bahwa cara mengungkapkan cinta yang dilakukan para pelaku itu sama dengan menyatakan cinta kepada selain jenisnya. Menurut Nip, pada tahun 1970an, sebenarnya terdapat modus lain mengenai model ngobu ini, biasanya dengan cara nitip. Biasanya ketika ada santri baru, maka sang orang tua santri itu menitipkan pada salah seorang senior di kamar yang akan ditempati si santri baru. Bahkan dia sendiri mengatakan “Kalau saya lain lagi, malah saya sampai dikirim sama orang tuanya, tapi itu sebetulnya hanya minta lindung kepada saya untuk menjaga”. Saya malah sempat dikirim sama orang tuanya hingga dua tahun”.123 Dari proses seperti ini kemudian praktek itu terjadi. Dari pemaparan di atas nampak bahwa perilaku seksual ngobu banyak terjadi antara senior dengan yunior.
122 123
Pendekatan melalui magic ini diakui baik oleh Nal, Iruq dan Ady.
Sumber Nip, op.cit.
Hanya saja yang harus diperhatikan di sini adalah bahwa kegiatan sehari-hari yang mereka lakukan bukan semata-mata seks semata, namun juga melibatkan belajar bersama, berdiskusi, serta melakukan aktifitas bersama-sama. Iruq misalnya ketika menjadi dalaq seniornya, maka keseluruhan aktifitas pesantren dilaksanakan secara bersama-sama. Sehingga praktik homoseksualitas ini hanya satu bagian kecil saja, di sela-sela aktifitas lainnya. Yang menarik, di pesantren Iruq terdapat semacam mitos bahwa santri yang menjadi dalaq senior biasanya pintar, dalam hal ini membaca kitab kuning. Karena, seperti disebutkan di atas mereka belajar bersama, berdiskusi, sehingga jika si yunior mempunyai permasalahan dalam suatu mata pelajaran, ia bisa langsung menanyakan kepada senior yang menjadi pasangannya. Di sini kemudian letak keunikan dalaq di pesantren yang berbeda dengan praktik-praktik situasional homoseksualitas lainnya. Hal ini diakui pula oleh Dede Oetomo yang menyebutkan dalaq juga tidak hanya terpaku pada perbuatan seks semata, tapi ada yang lain, seperti persahabatan, belajar bersama, saling memberikan perhatian, membantu, memasak bersama. Yang jelas di sini, selain pada aspek seksualnya, maka mereka tidak berbeda dengan yang lain (dengan santri lain).124
Wawancara dengan Dede Oetomo, 19 April 2006 (16:15) di kantor GAYa NUSANTARA, Surabaya. 124
Memang setelah cinta bersambut, maka aktifitas sehari-hari yang mereka lakukan mirip seperti yang dilakukan oleh suami istri, yakni dengan memberi perhatian, dibangunkan ketika subuh, bahkan menanak nasi bersama,125 serta belajar bersama. Sedangkan aktifitas seksual biasanya dilakukan di kamar, di madrasah, serta di kamar mandi. Dalam masalah dalaq dengan cara ngobu ini, rasa saling memiliki begitu besar di antara pasangan serta menuntut kesetiaan masing-masing. Sehingga ketika salah satunya berselingkuh dengan yang lain maka rasa cemburu, marah itupun muncul. Tak jarang di pesantren, terjadi pertengkaran dan perkelahian karena masalah ini. Iruq misalnya, ia di obu (dipelihara) seniornya selama 4 tahun hingga pasangannya itu berhenti menjadi
santri
karena
menikah
dan
kembali
kepada
kehidupan
heteroseksual. Di sini kemudian perlu dicermati bahwa rata-rata berdasarkan banyak nara sumber, ketika para pelaku dan objek keluar dari pesantren, mereka kembali kepada kehidupan heteroseksual. Namun kadang masih ada yang melakukan hal itu, namun hanya sebatas aktifitas seksualnya dan itupun dengan jarang-jarang dilakukan dengan berbagai alasan. Ady misalnya, yang kini telah mempunyai tunangan wanita, sebenarnya masih ada keinginan untuk melakukan aktifitas seksual dengan laki-laki, namun takut dilaporkan karena melakukan pelecehan seksual.
125
Sumber dari Iruq, 14 Maret 2006, (15: 00)
C. 2. Perilaku Seksual Ngecer “…….Apolong bik Nan, alumni nak kanak pesantren C (edt), pas bede nak kanak Banyuwangi, se biasa agabung e geneka, nah geneka se elakoneh. Tak oneng, rombongan gerueh. Mak tak keneng ridek kiya guleh, norok’ah, nah se elakoneh sadar.” Iruq. (Kumpul dengan Nan, seorang alumni pesantren C. Pada waktu itu ada anak Banyuwangi, yang biasa ngobrol di situ. Nah anak Banyuwangi ini yang digarap. Gak tau ya, mereka giliran. Lo kok kayaknya saya gak kuat juga, jadi saya ikutan. Yang digarap itu sadar) Tidak jauh berbeda dengan perilaku seksual dalaq ngobu, pelaku seksual ngecer ini juga mempunyai rasa tertarik dari wajah hingga mempunyai hasrat untuk melakukan praktek tersebut. Dalam penerapannya mereka tidak mempraktikkannya dengan satu orang, namun berganti-ganti pasangan. Menurut Nip, yang mengakui bahwa selama ini tidak pernah memiliki pasangan yang tetap, tidak begitu mementingkan masalah ketampanan, yang penting dia mau melakukan dalaqan (atas dasar suka sama suka). Dalam hal ini menurut Iruq terdapat berbagai istilah yang digunakan oleh teman-teman santrinya, istilah tersebut antara lain taxi, argo bagi mereka yang menawarkan diri dengan bentuk upah, bahkan ada sebagian kecil yang sampai melakukan praktik liwath. Namun perilaku eceran tidak mesti ada perjanjian masalah upah, namun banyak yang dilakukan atas dasar suka sama suka. Praktek ngecer ini dilakukan santri ketika telah ada perasaan suka sama suka, atau meminjam istilah Tom Boellstorff, ‘desiring the same’ yang dilakukan ketika hasrat seksual mereka bergairah. Adapun pendekatan yang dilakukan oleh pelaku yang ngecer ini –menurut Iruq- adalah dengan cara
memanggil objeknya atau mendatangi kamar si pelaku, setelah melakukan perjanjian terlebih dahulu. Praktek ngecer ini tergantung pada perjanjian dan deal yang dilakukan. Menurut Nip, praktik ini tetap bermula dari perkawanan yang cukup kental antar sesama santri, sehingga jika terjadi praktik tersebut, maka mereka sudah saling kenal satu sama lain. Angle yang disebutkan di atas menunjukkan bahwa betapa praktik seksual yang ngecer ini tidak dilakukan oleh dua orang saja, namun bisa bergilir dengan satu orang subjek. Dari sini juga bisa dinyatakan bahwa model perilaku ngecer biasanya dilakukan oleh santri yang umurnya tidak terpaut jauh, antar kawan dan berdasar pada relationship. C. 3. Perilaku Seksual Nyolo "Dengkuran nafas sasaran meyakinkan Subadar bahwa anak itu sudah terlelap. Dengan posisi tidur di samping sasaran, keberuntungan sudah nyata. Tanpa sempat melihat ke sekililingnya dan dengan posisi tidur miring Subadar bergegas mengepaskan kemaluannya ke paha samping kanan sasaran. Namun naas benar nasibnya kali ini. Baru saja ia mulai angkat sarung, tiba-tiba lampu beranda joglo dinyalakan oleh petugas piket yang seketika itu terkejut melihat apa yang dilakukan Subadar, 'Kurang ajar' kata petugas piket memukul Subadar dengan sarung. 'kowe nyempet ya?!!' , 'Durung kang!', jawab Subadar. 'Nyempet yo ayo ngaku!? Desak petugas piket itu. Tak urung semua santri yang terlelap di situ dan di beberapa kamar lain langsung bangun mendengar teriakan petugas itu………, dan akhirnya Subadar mendapatkan bogem-bogem mentah dari beberapa santri.126
126
Syarifuddin, Mairil, ……..., h. 21-22.
Sama halnya dengan model kedua di atas, perilaku nyolo ini didasarkan pada kebutuhan akan pelampiasan hasrat seksual semata. Di sini, biasanya pelaku memilih-milih paras santri yang akan menjadi korbannya.127 Setelah menentukan target, biasanya para pelaku ini mempraktekkannya pada malam hari, di saat si korban sedang tidur. Hanya saja, untuk membuat aman, biasanya pelaku menggunakan ilmu sirep agar si korban yang sedang tertidur kian lelap, tidak bangun serta tidak sadar akan apa yang sedang terjadi pada dirinya. Kadang hal ini juga dilakukan santri senior kepada yuniornya, misalnya ustadz pada murid. Nah jika hal ini dilakukan oleh dua pihak ini, biasanya, jika santri senior ini tidak menggunakan magic, maka ia melakukannya dengan memaksa, sehingga si yunior takut karena diancam. Dalam satu kasus, di pesantren Nip, pada tahun 1992 hingga 2000 terdapat seorang yang punya pengaruh di pesantren itu yang suka melakukan praktek ini. Biasanya orang ini melakukannya dengan cara memaksa santri agar diam dan tidak melawan. Melihat hal ini, tentu santri amat takut sekali sehingga kemudian pasrah saja.128 Hanya saja dalam beberapa kasus, dia sering mendapatkan perlawanan oleh santri yang resisten atas perlakuan orang ini. Sebenarnya banyak santri yang dianggap dalaq di pesantren B yang bersikap resisten atas perlakuan ini. Model praktik seperti ini biasanya dilakukan oleh senior pada yunior, atau orang yang mempunyai kuasa untuk memaksa si korban. 127
Sumber Nip, op. cit.
128
Wawancara dengan salah seorang ustadz, Surry, 19 April 2006
Di pesantren B terdapat satu istilah menarik mengenai hal ini, yakni thawaf (yang kata asalnya adalah mengelilingi Ka’bah). Kata ini dipakai untuk mengamsalkan pelaku nyolo yang sedang berkeliling mesjid dan wilayah-wilayah untuk mencari korban. Biasanya hal ini dilakukan di teras depan kamar, dan mesjid. D. Discourse Dalaq: Menengok Sikap Pesantren atas Hal ini Semua pesantren sepakat bahwa praktik Dalaq adalah haram hukumnya. Hanya saja, tidak semua pesantren yang memberikan undangundang khusus mengenai hal ini. di pesantren C misalnya, terdapat pasal khusus yang mengatur dan memberikan sanksi atas masalah ini. Sebagaimana yang disebutkan, bagi santri yang diketahui melakukan praktik ini akan dihukum melakukan lari marathon sebanyak 7 kali di depan semua santri setiap hari Jum’at. Bahkan jika parah, maka diberikan sanksi skorsing selama 1 tahun dari pesantren. Nal, misalnya menyatakan ketika ia menjadi pengurus, ia pernah melakukan sidang dan menghukum seorang santri karena masalah ini. Hal yang serupa dan lebih keras lagi diberikan kepada santri di sebuah pesantren di Ponorogo. Santri yang melakukan hal ini akan dikeluarkan dari pesantren karena alasan melakukan tindakan asusila. Sedangkan di pesantren lainnya, menggunakan undang-undang umum bahwa apa yang dilarang oleh agama, maka berarti juga menjadi larangan yang juga berlaku di pesantren. Sebenarnya menarik untuk diteliti alasan ‘diamnya’ sejumlah pesantren atas praktek homoseksualitas ini. Banyak pengasuh yang menjadi
pengendali kuasa di pesantren nampaknya membiarkan hal itu. Penulis mencoba mengajukan pertanyaan kepada santri dan alumni yang telah diwawancarai tentang adakah keterlibatan pengasuh pesantren dalam hal ini, namun mereka semua menjawab tidak tahu pasti dan sebagian menyatakan tidak ada. Di pesantren C misalnya yang mengundangkan aturan larangan hal ini, dalam sejarahnya, banyak terjadi praktek dalaq, dan cukup banyak. Hanya sejak sekitar akhir tahun 90an praktik ini dibabat habis dan ditindak ketika pesantren dipegang oleh pengasuh baru, dan terbukti, peraturan ini efektif meminimalisir praktik itu. Sedangkan pesantren lain seperti pesantren B sebenarnya sudah ada keinginan mengundangkan, namun hal itu tidak disetujui, karena berbagai pertimbangan tertentu.
BAB V DALAQ: PRODUKSI DAN REPRODUKSI DISCOURSE DI PESANTREN Penjelasan dan analisis pada bab IV kemudian mengantarkan penulis untuk melakukan sebuah penelusuran lanjut mengenai discourse yang telah dipaparkan pada bab IV. Pertama-tama penulis ingin menegaskan termasuk dalam kategori manakah homoseksualitas yang ada
di pesantren lalu
dilanjutkan dengan bagaimana santri melakukan rasionalisasi atas kasus homoseksualitas yang mereka lakukan. Di sini penulis juga memberikan analisis kritis atas pesantren yang kurang –bila tidak bisa dikatakan tidakmemberikan ruang terhadap bentuk interaksi heterosexual. A. Discourse dalaq: masuk kategori homoseksualitas yang mana? Dari hasil interview dan pengamatan atas sejumlah alumni santri yang pernah terlibat hubungan sesama jenis, penulis belum –jika tidak bisa dikatakan tidak- menemukan satu alumnipun yang kemudian menggunakan homoseksualitas sebagai pilihan identitas orientasi seksualnya. Iruq yang pernah berkata: “gule lambek sampe tak seneng ka oreng binne’, gule ngalamin neka sampe du taon” (saya dulu sampai
tidak tertarik pada wanita, saya
mengalami hal ini selama 2 tahun), mengaku saat ini rasa ketertarikan kepada sesama jenis itu sudah hampir tidak ada. Bahkan ia mempunyai keinginan untuk menikah. Alumni-alumni lain yang oleh para nara sumber sebut-sebut pernah teribat akan hal ini malah saat ini sudah banyak yang
mempunyai anak. Hal ini membuat satu pertanyaan di benak penulis, termasuk kategori homoseksualitas manakah dalaq ini? Penulis tertarik dengan kategori yang ditulis oleh Stephen K. Sanderson. Ia membagi sexual relation pada dua kategori besar: pertama, situational sexuality, dan kedua, preferential homosexuality.129 Pada kategori yang pertama dijelaskan oleh Tina, sebagai berikut: “Situational, or "emergency" homosexuality is commonly defined as sexual activity with partners of the same sex that occurs not as part of a gay life style, but because the participants happen to find themselves in a single-sex environment for a prolonged period. “130 Biasanya, masih menurut Tina, hal ini terjadi di penjara, basecamp militer, di perkapalan, biara, atlet tim dalam suatu perjalanan, asrama serta colleges. Dalam kasus homoseksualitas situasional ini biasanya memunculkan nama-nama seperti “rugger-buggers”, jailhouse turnouts dan lain sebagainya sebagaimana dalam istilah pesantren adalah dalaq, sempet atau mairil. Dalam bagian ini, Stephen menjelaskan bahwa para leluhur Yunani mempraktikkan hal ini dalam framework sistem pendidikan mereka. Tutortutor (guru) laki-laki akan mengambil muridnya sebagai orang yang dicintai untuk beberapa waktu yang cukup lama, serta melakukan praktik anal dan
Stephen K. Sanderson, “The Sociology of Human Sexuality: A Darwinian Alternative to Social Constructionism and Postmodernism ”, dipresentasikan dalam Annual Meeting of the American Sociological Association, Atlanta, Georgia, 18 Agustus 2003. Penulis mendownload tulisan ini dari www.chss.iup.edu. Akses tanggal 30 Maret 2006. 129
Gianoulis, Tina, “Situational Homosexuality”, dalam glbtq: An Encyclopedia of Gay, Lesbian, Bisexual, Transgender, and Queer Culture. www.glbtq.com/socialsciences/situational_homosexuality.html. Akses tanggal 30 Maret 2006. 130
intercrural131 intercourse. Hubungan homoseksual seperti ini benar-benar diidealkan serta dianggap bermanfaat bagi kedua pihak, dengan mitos bahwa si murid akan menjadi lebih maskulin dan dikaitkan dengan semangat militer serta mempunyai keberanian. Lalu beberapa waktu kemudian, sang guru memutuskan hubungan tersebut, ia menikah serta menempuh orientasi kehidupan heterosexual.132 Situasional homosexuality juga umum terjadi pada sejumlah kelompok dan masyarakat Tribat. The Azande di Sudan, contohnya, merayakan model homoseksualitas gaya Yunani di atas. Demikian halnya di China, Melanesia. Kelompok Etoro di New Guinea, dimana semua laki-lakinya menikah, namun mereka masih melakukan praktik homoseksual.
Mereka percaya
bahwa setiap laki-laki memiliki cairan semen (mani) yang terbatas, dan orang-orang itu harus mendapatkan cairan mani dari orang lain dalam bentuk hadiah. Ini terjadi terutama sebagai akibat dari praktek oral (fellatio) yang dilakukan oleh anak laki-laki muda pada laki-laki yang lebih tua. Para anak lelaki juga melakukan sodomi dengan laki-laki lain, karena di situ – dalam kasus di Yunani- hubungan seperti itu dapat memberikan kontribusi pada maskulinitas si anak laki-laki.133
Kata ini merujuk kepada meletakkan penis si tutor pada kedua kaki si murid untuk melakukan ejakulasi. 131
132
Stephen K. Sanderson, “The Sociology of Human………”
133
Ibid.
Namun, situasional homosexuality bisa muncul karena ditakut-takuti paksaan- (frightened). Contohnya pemerkosaan di penjara serta dominasi seksual, atau juga karena keenakan (comfortable), misalnya eksperimen yang dilakukan oleh kelompok lesbian yang terjadi di antara sahabat di sebuah asrama kampus.134 Menurut Ruts, Riset tentang homoseksualitas situasional cukup popular pada tahun 1960 dan 1970, termasuk kajian SSB (same sex behavior) antara laki-laki dan perempuan heteroseksual di penjara.135 Kategori
kedua
adalah
preferential
homosexuality
dimana
para
pelakunya betul-betul, atau hampir total mempunyai kecenderungan pada hubungan sesama jenis dan tidak bisa menemukan kepuasan hubungan dengan lain jenis.136 Kategori yang pertama cukup tepat dan analog dengan discourse dalaq di
pesantren.
Pengkategorian
Ngobu
ekuivalen
dengan
tutor
yang
mempunyai siswa, nyolo ekuivalen dengan kasus-kasus di penjara, dan ngecer yang ekuivalen dengan praktek pertemanan yang dilakukan oleh sesama teman.
Hanya saja yang membedakan adalah bahwa para santri tidak
melakukan anal sex, karena pertimbangan dosa lebih dominan dalam diri santri, sehingga mereka mempertimbangkan resiko yang lebih ringan. Bahkan santri memilih melakukan hubungan dengan sesama jenis juga salah
134
Situational Homosexuality, dalam www.glbtq.com Akses tanggal 30 Maret 2006.
Rust, Paula C Rodriguez, Bisexuality: The state of the union, Annual Review of Sex Research, 2002 dalam http://www.findarticles.com/p/articles/mi_qa3778/is_200201. Akses tanggal 30 Maret 2006. 135
136
Stephen K. Sanderson, The Sociology of Human……… op.cit.
satunya karena logika ‘daripada’ dalam masalah dosa. Dengan kata lain, daripada melakukan dengan wanita yang dosanya lebih besar dan beresiko, lebih baik dengan laki-laki yang dosanya lebih kecil dan tidak beresiko. Hal ini dikatakan Iruq dengan memakai dalih kaidah “Irtikabu akhaffu dhararin” (melaksanakan sesuatu yang resiko bahayanya lebih ringan). Di samping itu, mitos-mitos yang digambarkan dengan maskulinitas juga terepresentasi di pesantren dengan mitos cerdas. Atau seperti yang dijelaskan oleh Dede, mengutip pernyataan salah seorang wartawan yang alumni santri bahwa ‘Menjadi mairil dari kyai merupakan satu kebanggan di pesantrennya’. Ketika santri yang suka melakukan aktifitas homoseksual telah menjadi keluar dari pesantren, mereka kembali kepada kehidupan heteroseksual dengan dibuktikan bahwa mereka menikah dan mempunyai anak. Sehingga bisa ditegaskan disini bahwa menjadi praktik homoseksual di pesantren lebih banyak dikarenakan situasi, oleh karenanya disebut situational.
Kembalinya
santri
pada
kehidupan
heteroseksual
bisa
disebabkan oleh pertama, kuasa aturan agama yang hanya mengakui dan memperbolehkan hubungan heteroseksual, serta menganggap homoseksual itu melawan kodrat dan berdosa. Kedua, pola hidup mainstream yang di anut masyarakat adalah heteroseksualitas, sedangkan homoseksualitas masih dianggap
sebagai
suatu
orientasi
yang
abnormal,
ketiga,
menjadi
homoseksual –dalam artian menjadikan homoseksual sebagai identitas orientasi seksual- di Indonesia masih belum bisa diterima. Konstruksi sosial mainstream untuk ‘menjadi gay secara sadar dan sebagai pilihan’ masih tidak
bisa diterima. Hanya orang yang mempunyai orientasi seksual ganda (biseksual) yang
bisa diterima, dengan
heteroseksual sebagai orientasi
utama. Terbukti dalam penelitian-penelitian terhadap homoseksualitas di Indonesia, misalnya oleh Tom Boellstorff ataupun Dede Oetomo. Hal ini juga dibuktikan dalam kisah-kisah yang disebutkan dalam Serat Centini maupun Babad sebagaimana telah dijelaskan pada bahasan homoseksualitas di Jawa. Dan yang tidak kalah penting adalah keempat, homoseksualitas itu merupakan bahasa yang masih asing bagi santri, bahkan banyak santri tidak mengenal apa itu homoseksualitas, terlebih santri di pesantren yang sangat salaf di mana media dan pelajaran umum (non agama)
tidak diajarkan,
seperti di pesantren A dan C. Yang mereka kenal hanyalah istilah sodomi yang dipraktekkan pada zaman nabi Luth. Sedangkan jika mereka mengenalnya, maka mereka mengatakan bahwa itu produk Barat; bahwa praktek dalaq itu tidak sama dengan praktik homoseksualitas dan sodomi, sebagaimana yang pernah dinyatakan oleh KH Ahmad Sidiq, pesantren Putra Jember, yang membedakan homoseksualitas dan mairil/dalaq yang terjadi di pesantren.137 Memang, jika menilik pada perilaku seksual dalaq pada bab sebelumnya, dapat muncul pertanyaan, apakah semua perilaku tersebut dikategorikan dalam homoseksualitas ataukah masturbasi? Pertanyaan ini berangkat dari asumsi bahwa pertama, jika memahami masturbasi sebagai
137
Cek lebih jauh mengenai hal ini dalam Dede Oetomo, Memberi Suara…….., h. 29.
“Manual stimulation of oneself or of a partner for sexual pleasure”,138 apakah juga tepat jika perilaku ngecer dan nyolo dianggap sebagai praktik masturbasi?139 Kedua, karena berdasarkan pengakuan para nara sumber, pelaku tidak mempraktekkan anal sex, serta bergonti-ganti pasangan. Seolah-olah pelaku melakukan praktik itu hanya semata-mata demi kenikmatan saja, tanpa melibatkan adanya sexual attraction pada sesama jenisnya. Seolah pelaku hanya membutuhkan teman untuk bermasturbasi ria. Memang secara sekilas, pandangan bahwa hal itu hanyalah bentuk lain dari masturbasi cukup beralasan. Akan tetapi, perlu juga diperhatikan bahwa terdapat seleksi yang dilakukan oleh pelaku saat menemaninya dalam bermasturbasi (jika ngecer dan nyolo dikategorikan sebagai masturbasi). Setidaknya hal ini terungkap pada pernyataan Iruq yang memberi kategori ‘mulus’ pada laki-laki yang akan menemaninya, serta Lily yang memang adalah pada saat itu dianggap sebagai dalaq. Pada wilayah inilah kemudian perlu diadakan pemilahan atas orientasi seksual dan aktifitas seksual. Jika menilik pada kasus dalaq di pesantren, beberapa nara sumber menyatakan bahwa ketika melakukan praktik ngecer dan nyolo, mereka membayangkan si objek sebagai perempuan, sebagaimana diakui oleh Sul.140 Ini juga menunjukkan bahwa pada sebagian
138
A Glossary of Terms…….., h. 23.
139 Penulis tidak memasukkan perilaku ngobu dalam pertanyaan masturbasi ini, karena perilaku yang disebutkan terakhir ini jelas merupakan sexual attraction pada sesama jenis (homoseksualitas). 140
Wawancara dengan Sul, 18 Maret 2006.
santri yang suka mempraktikkan laq-dalaqan, sebenarnya masih berorientasi hetereroseksual, namun karena tidak ada ruang untuk melampiaskan hasratnya dengan lawan jenis maka, merekapun melampiaskan aktifitas seksualnya pada laki-laki. Di sini penulis melihat perlunya sebuah kajian lebih lanjut mengenai hal ini. B. Dalaq dan Heteroseksualitas: pertarungan antara Truth, Power And Knowledge Pada titik puncak pembahasan ini, penulis mencoba mengurai bagaimana
homoseksualitas
di
pesantren
itu
dibentuk,
diproduksi,
direpresentasi secara terus menerus, sebagaimana ucapan Foucault, “I want to try to discover how this choice of truth, inside which we are caught but which we ceaselessly renew, was made –but also how it was repeated, renewed and displaced”.141 Namun masalah discourse dalam konteks Foucaultian harus dianalisa melalui truth, power, dan knowledge; dengan kata lain, bagaimana dalaq itu menjadi satu discourse harus dipahami melalui tiga model analsis tersebut. Foucault berkata: Truth is the world; it is produced there by virtue of multiple constraints….. each society has its regime of truth, its ‘general politic’ of truth: that is the types of discourse it harbours and causes to function as true: the mechanism and instances which enable one to distinguish true from false statements, the way in which are
Michel Foucault, “The Order of Discourse”, dalam Young R (edt) Untying the Text: a Postructuralis Reader, London: Routledge, 1981. h. 70. 141
valorized for obtaining truth: the status of those who are charged with saying what counts as true. 142 Homoseksualitas merupakan usaha kerja produksi yang dilakukan sejak lama hingga saat ini capaian kerja dari berbagai generasi tersebut mencapai satu titik persamaan pandang; yakni homosexualitas ekuivalen dengan heteroseksualitas, yang keduanya kemudian disebut orientasi seksual. Hal ini nampak berhasil pada riset Kinsey yang kemudian menyatakan bahwa di dalam jiwa manusia sebenarnya ada dua kutub orientasi seksual yang saling berlawan, dimana di tengah-tengah antara dua kutub itu seksualitas manusia bergerak seperti pendulum: kadang ke arah heteroseksualitas, kadang lebih cenderung ke homoseksualitas.143 Namun kendatipun demikian, homoseksualitas tetap saja menjadi anak tiri; marginal, subordinated dan minoritas, bahkan tidak diakui dan dibenci. Di sinilah sebuah rezim kebenaran itu. Yakni bahwa orientasi seksual masih tetap dirajai oleh heteroseksualitas. Jika kembali pada discourse, ciri utamanya adalah kemampuannya untuk menjadi suatu himpunan wacana yang
berfungsi
membentuk
dan
melestarikan
hubungan-hubungan
142 Michel Foucault, “Truth and Power: an Interview with Alessandro Fontano and Pasquale Pasquino” in Morris, M. And Patton, P (eds), Michel Foucault Power/Truth/Strategy, Sydney: Feral Publication, 1979. h.46.
Untuk lebih jelasnya silahkan rujuk Jonathan Gahorne –Hardy, Kinsey, Sex Measure all Things, Indiana: Indiana University Press, 1998. Laporan Kinsey tentang Sexual Behavior in human male and Female, telah membelalakkan mata masyarakat Amerika pada saat itu. Survey yang melibatkan ribuan masayarakat Amerika inilah yang menyampaikan satu kesuksesan homoseksualitas sebagai satu orientasi social. Lebih lanjut cek, Miriam G. Reumann, American Sexual Character, Los Angelos: University of California Press, 2005. 143
kekuasaan kemudian
dalam terus
masyarakat.144 menerus
Dengan
melestarikan
wacana,
rezim
heteroseksualitas
kebenarannya
dengan
menyatakan bahwa homoseksualitas sebagai abnormal dari sudut pandang behavioral studies dan sosiologis, atau homoseksualitas sebagai gejala mental ill dari sudut pandang psikologi. Rezim ini kemudian dilegitimasi oleh teks-teks keagamaan, seperti yang tertuang dalam ayat-ayat Al-Qur’an –sebagaimana juga dalam kitab Injil dan Taurat, serta mayoritas teks-teks keagamaan lainnya.
Hal ini dalam bahasa Foucault adalah pengetahuan. Yakni
bagaimana pengetahuan mendukung dan mensupport suatu discourse tertentu. Dalam Al-Qur’an misalnya disebutkan: “Dan di antara tanda-tanda kekuasaanNya ialah Dia menciptakan untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya dan dijadikannya di antaramu rasa kasih sayang. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda bagi kaum yang berpikir“ [30 : 21] Serta ayat: Dan (kami juga telah mengutus) Lut (kepada kaumnya). (Ingatlah) tatkala dia berkata kepada kaumnya, “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan fahisyah itu, yang belum pernah dikerjakan oleh seorangpun (di dunia ini, sebelummu [80]. Sesungguhnya kamu mendatangi lelaki untuk melepaskan nafsumu (kepada mereka) bukan kepada wanita, malah kamu ini adalah kaum yang melampaui batas.[81]. Jawaban kaumnya tidak lain hanya mengatakan “Usirlah mereka (Lut dan pengikut-pengikutnya) dari kotamu ini; sesungguhnya mereka adalah orang yang berpura-pura menyucikan diri. [82] 144
Eriyanto, Analisis Wacana, ……. h. 76.
Kemudian kami selamatkan dia dan pengikut-pengikutnya kecuali istrinya; dia termasuk orang yang tertinggal (dibinasakan). [83]. Dan kami turunkan kepada mereka hujan (batu); maka perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang berdosa itu.[84]. [7: 80-84] Dari teks-teks keagamaan, di satu sisi, nampaknya homoseksualitas tidak mempunyai ruang dalam wilayah agama, tetapi dalam konteks tertentu, dalam ketatnya sebuah penerapan hukum, menciptakan dua binary opposition, yakni obedience and rebellion. Dimana kuasa agama melahirkan individu yang patuh, namun juga menciptakan suatu bentuk rebellion. Di sisi lain, tidak adanya ruang untuk melakukan interaksi dengan lain jenis, yang menyebabkan interaksi hanya dengan sesama jenis, serta masa-masa nyantri santri yang memasuki usia pubertas, membuat santri mencari solusi atas pengeluaran desire nya. Salah satunya kepada praktik dalaq ini. Pada wilayah ini homoseksualitas di pesantren bermain. Bagi penganut Foucaultian, sebuah discourse disebarkan melalui kuasa dan pengetahuan. Kehidupan, menurut Eriyanto, bukan diatur lewat serangkaian represi melainkan melalui kekuatannya memberikan definisi dan melakukan regulasi. Berbagai regulasi itu di antaranya yang menentukan kita, memilih, mengklasifikasikan, dan menggolongkan mana yang benar dan yang mana yang harus dihindari, mana yang sah dan mana yang tidak. Di
sini
kekuasaan
dipahami
sebagai
serangkaian
prosedur
yang
memproduksi, menyebarkan dan mereproduksi pernyataan-pernyataan.145
145
Eriyanto, Analisis Wacana, ……. h. 72.
Kuasa, dalam perspektif Foucaultian, tidak dipahami sebagai possession, tidak dimiliki, bahkan kuasa dipahami sebagai suatu hal yang positive, non repressive and even productive yang dibentuk oleh social relations. Atau jika kita meminjam istilah Gavin Kendall, kuasa yang dimaksud Foucault adalah strategy, yakni a strategy that maintain a relation between sayable and visible.
146
Misalnya, definisi normal dan abnormal yang murni merupakan definisi sosial dan merupakan hasil dari interaksi sosial. Lewat definisi semacam itu, individu dikontrol bahwa yang normal dan baik seperti ini, yang tidak normal seperti itu, sehingga jika tidak ingin disebut tidak normal, maka janganlah seperti itu. Hal yang sama terjadi pada pendefinisian sosial seperti wadam, banci, homoseksual yang kesemuanya merupakan sosial kontrol. 147 Dalam konteks pesantren, kontrol sosial di pesantren pada hakekatnya masih tetap memihak pada pendefinisian homoseksualitas sebagai satu hal yang abnormal. Hal ini diakui oleh para santri dan alumni yang penulis wawancarai. Bagi yang mempraktikkan hal itu, mereka sadar bahwa itu merupakan satu hal yang salah dan berdosa. Hal yang sama juga banyak diakui juga oleh para Gay muslim di Indonesia yang diwawancarai oleh Tom Boellstorff , mereka juga merasa berdosa. Akan tetapi juga banyak di antara mereka yang menyatakan hal itu sebagai fitrah alamiah, karena mereka sama sekali tidak mempunyai ketertarikan terhadap lawan jenis. Oleh karena itu orang-orang yang seperti ini kemudian mencari ruang untuk berijtihad untuk 146
Gavin Kendall, Using Foucault’s…….., h. 49.
147
Lihat, Eriyanto, Analisis Wacana, ……. h. 72.
melegitimasi eksistensinya.148 Hanya saja, perbedaannya dengan riset Boellstorff, sepanjang pengamatan penulis, tidak ada santri dan alumni yang berani menyatakan bahwa praktik homoseksual itu tidaklah berdosa. Hal ini menarik sebenarnya, bagaimana pertarungan antara melakukan praktek homoseksual dan menjadi muslim yang taat beradu dalam benak santri. Jika kuasa merupakan sebuah strategi untuk memelihara suatu discourse, tidak heran jika kemudian discourse dalaq menjadi discourse pinggiran yang dilakukan oleh sekelompok kecil santri. Karena kuasa di sini masih memihak pada discourse mainstream, yakni discourse heteroseksualitas, dan tak heran pula jika santri yang melakukan praktek dalaq inipun merasa berdosa. Karena berdosa, -perlu diperhatikan bahwa discourse dosa merupakan satu hal yang amat dipegang teguh santri, karena ini menjadi standar moralitas dan akhlak mereka-, maka saat santri keluar pesantren, mereka kembali kepada kehidupan heteroseksual. Kenapa kembali? Hal ini sebenarnya efek dari discourse mainstream. Kemudian juga di karenakan menjadikan homoseksual sebagai suatu identitas diri masih belum bisa diterima di Indonesia.
Kasus-kasus waria misalnya yang umum ada di
Indonesia, keberadaannya masih kurang diterima. Kasus-kasus di kerajaan Mataram,
hingga
kasus
warok
dan
gemblak,
menegaskan
bahwa
homoseksualitas sebagai leisure dan tradisi jauh lebih diterima.149 Hal ini juga
Lihat, Tom Boellstorff, “Between religion and Desire: Being Moslem and Gay in Indonesia” dalam Journal of American Anthropologist, vol. 104, No. 4, 2005. h. 578-581. 148
Lihat juga kisah-kisah Cebolang, Nuwitri dan sang Adipati yang disuguhkan oleh Ben Anderson, Language and Power, US: Cornell University Press, 1990. h. 279-280. 149
menjadi kuasa yang menyetir alumni santri untuk lebih memilih heteroseksualitas sebagai pilihan orientasi seksual.
C. Produksi dan Reproduksi Discourse Dalaq di Pesantren Dalaq dalam konteks pesantren sebenarnya merupakan satu discourse kecil. Namun kendatipun demikian, statemen-statemen yang diucapkan, guyonan dan bahasa-bahasa, model dan gaya dalam mempraktikkan serta aturan tentang homoseksualitas di pesantren merupakan satu hal yang sayable. Di samping itu, kondisi bangunan ruang misalnya model kamar, populasi santri di setiap kamar, kemudian adanya gardu pos keamanan di tiap-tiap pintu keluar pesantren, serta kantor-kantor mahrom, merupakan bagian dari yang visible, yang kasat mata, yang juga turut ambil bagian dalam membentuk produksi dan reproduksi discourse dalaq di pesantren.
Di sini
penulis akan memaparkannya dalam beberapa bagian: Pertama, Iruq pernah menyatakan bahwa larangan yang ada di pesantrennya fokus dalam masalah seksualitas adalah berhubungan dengan pertemuan dengan lawan jenis. Dalam dunia pesantren, melakukan kontak, misalnya berbicara, -kecuali dengan muhrim-, lebih lebih berpacaran dengan lawan jenis adalah dilarang. Dalam hal ini pesantren menerapkan ajaran agama yang mengatur pergaulan dengan lawan jenis secara strict. Bahkan, di pesantren salaf, melihat perempuan saja adalah suatu hal yang dilarang karena merupakan satu dosa, dan juga terdapat statemen yang lazim dikenal santri ‘laka al-ula wa alaika as-Tsani’ (kamu diperbolehkan memandang pada
pandangan pertama, tapi pandangan yang kedua adalah tidak boleh). Ini hanya terkait hal sepele mengenai masalah memandang saja, lebih-lebih sampai berpacaran, tentu bila ketahuan, santri digundul bahkan dikeluarkan dari pesantren. Kitab-kitab seperti Sulam Taufiq dan Safinatun Najah yang mengajarkan tatakrama dan hukum dalam masalah pergaulan antar jenis betul-betul diterapkan oleh pesantren. Dalam Sulam Taufiq misalnya, melihat perempuan non muhrim merupakan bagian dari zina mata -dalam kitab ini dijelaskan tentang beberapa tingkatan zina, misalnya zina mata- yang harus dihindari.150 Ketatnya kontak pergaulan antar jenis ini memang berlaku di sebagian besar pesantren di Indonesia, terutama di pesantren salafiyah. Di
sini
kemudian
muncul
bagaimana
discourse
tentang
heteroseksualitas juga diatur secara ketat oleh agama dan diterapkan di pesantren. Ketatnya model pergaulan dan interaksi antar kelamin di pesantren juga memberikan side effect tersendiri: male-male intimacy. Salah satu kasus yang dimunculkan oleh Murray adalah bagaimana kemudian orang Iran memberikan alasan mengapa melakukan praktek homoseksual. Di Iran tidak hanya melakukan hubungan badan dengan perempuan sebelum menikah itu sulit dilakukan, dilarang dan merupakan pelanggaran besar, tetapi, bahkan menemukan perempuanpun merupakan satu hal yang sulit di sana.151 Hal ini disadari atau tidak juga berlaku di pesantren; bahwa, melakukan interaksi dengan lawan jenis merupakan satu hal yang sulit, dan
150
Muhammad Nawawi, Syarh Sullam Taufiq, Semarang: Pustaka ‘Alawiyah, tt. H. 76.
151
Stephen O. Murray, Islamic….., h. 18.
dilarang keras. Di dinding-dinding gedung-gedung pesantren bisa dilihat tulisan “Lawan jenis dilarang berada di area ini” , “Dilarang berbicara dengan non muhrim” atau eksistensi kantor mahrom sendiri secara fisik merupakan –meminjam istilah Foucault- bagian dari panoptic discourse, dimana efek utama dalam model panoptikan adalah bahwa kuasa berfungsi secara otomatis.152 Eksistensi kantor mahrom sebenarnya berangkat dari asumsi larangan pertemuan antar jenis, kecuali dengan muhrim yang telah dijelaskan pada bab IV. Dari sini penulis berani menyatakan bahwa sebenarnya aturan ketat agama tentang interaksi antar kelamin memberikan kontribusi terhadap tumbuhnya benih-benih homoseksualitas. Akhirnya yang muncul adalah logika daripada atau penggunaan kaidah irtikabu akhaffu dhararin yang dipakai oleh santri untuk justifikasi praktek homoseksualitas, sebagaimana dijelaskan pada bahasan sebelumnya. Santri nampak bermain-main dalam dua wilayah yang sama-sama dilarang dalam pesantren, yakni pergaulan antar jenis (misalnya berinteraksi dengan lawan jenis –heteroseksualitas-), serta larangan praktek sodomi (homoseksualitas), karena kedua-duanya dianggap sebagai dosa. Akhirnya logika melakukan sesuatu yang lebih ringan dendanya baik secara moral (dosa) maupun social (hukuman dari pesantren), melahirkan dalaq.
Michel Foucault, Disiplin Tubuh, disadur oleh Petrus Sunu Hardiyanta, Yogyakarta: LKiS, 1997. h. 108-109. 152
Harus diakui bahwa posisi agama –jika dipraktekkan secara strictterlihat paradoks di sini. Di satu sisi, agama memihak heteroseksualitas, sebagai identitas orientasi seksual serta melarang praktek homoseksualitas, akan tetapi disisi lain –secara tidak langsung interpretasi ajaran agama yang dianut pesantren telah memberikan ruang bagi tumbuhnya benih-benih homoseksualitas, melalui aturan ketat mengenai pergaulan dan interaksi dengan lawan jenis. Hal ini
kemudian juga memberikan kontribusi proses
produksi dan reproduksi praktik homoseksualitas di pesantren. Kedua, dalam beberapa kasus yang disebutkan dalam beberapa praktik dalaq di pesantren misalnya, modus menitipkan santri baru kepada senior atau ketua kamar (subjek) yang dilakukan oleh orang tua santri menjadi salah satu medium produksi dan reproduksi discourse dalaq di pesantren. Memang pola relasi yang dibangun layaknya ustadz dan muridnya, dan pada awalnya perhatian dan pengawasan yang dikedepankan. Tapi bentuk perhatian ini meningkat menjadi satu hubungan yang amat akrab dan intim. Apalagi, hilangnya sosok orang tua yang memberikan perhatian dan kasih sayang ketika santri di pesantren, akan membuat santri memiliki rasa haus akan perhatian dan kasih sayang. Nah bentuk perhatian dan kasih sayang yang diberikan senior atau ustadz ini yang kemudian sedikit dahaga itu. Dalam kasus di pesantren A misalnya, hubungan senior yunior terjadi di kamar yang hanya berisikan 2-3 santri. Mereka belajar dan berdiskusi bersama bahkan memasak dan tidur juga bersama. Saling membantu, dalam masalah sepele misalnya si yunior meminta tolong si senior untuk
mengambilkan handuk, sabun, atau si yunior memberitahukan kalau dia mau pergi ke suatu tempat dengan bahasa yang sopan kepada si senior merupakan salah satu wujud bagaimana pola interaksi antar senior yunior ini. Dari hal sederhana seperti ini kemudian hubungan batin yang erat itu tercipta, hingga pada hubungan sejenis. Kemudian model kamar yang seperti itu, sebagaimana dijelaskan di atas, tidur berdua atau bertiga, dengan ruang privasi yang cukup terjaga, ada pintu masuk dan pintu kamar, juga menciptakan ruang kesempatan bagi terjadinya praktik ini. Terjadilah model praktek homoseksual yang sifatnya ngobu. Setelah santri baru di obu (menjadi objek) selama beberapa tahun, ia menjadi dewasa dan menjadi senior bagi santri baru lainnya yang baru masuk. Dari situ ia kemudian ia beralih profesi menjadi subjek. Subjek baru dimana dia dulunya tumbuh selama bertahun-tahun menjadi objek, dengan seperangkat pengalaman psikologi sebagai objek di masa lalu. Nah ketika ada santri baru dititipkan kepadanya (objek), maka perlakuannya akan mirip dengan perlakuan yang sudah pernah dia alami sebelumnya. Di sinilah, sudah pasti, proses produksi dan reproduksi discourse terus menerus berlangsung sebagai taken for granted. Ketiga, di samping itu, para pengasuh pesantren, pada waktu mudanya rata-rata juga mengenyam pendidikan di pesantren, baik di pesantrennya sendiri maupun pesantren lainnya. Ketika menjadi santri, amat dimungkinkan pengasuh mengetahui dan memahami dan mengerti resiko-
resiko dalam masalah dalaq di pesantren ini. Ketika ia menjadi pengasuh di pesantrennya –karena memahami kalau dalaq itu semenjak lama sudah adamaka ia tidak berusaha mengundangkan dalaq secara formal menjadi satu larangan di pesantren, terkecuali di pesantren C. Kenapa tidak diundangkan sebagai sebuah larangan? Beberapa hal yang bisa menjadi pertimbangan adalah bahwa masalah dalaq bukanlah suatu masalah yang dianggap serius (unproblematic) di pesantren, dan pesantren nampaknya tidak menganggap hal itu sebagai sinyal bahaya. Keempat, rezim diam para orang tua santri. Setidaknya terdapat beberapa alasan yang bisa diajukan di sini; a.
Karena dianggap sebagai satu hal yang secara resiko tidak berbahaya, maka kemudian orang tua yang tahu akan hal ini tidak memberikan saran dan kritik dan menggunakan aksi diam. Logika “daripada” yang dilakukan santri (misalnya, daripada anak saya berzina bila tidak dipondokkan, lebih baik masuk pesantren meski ada beresiko melakukan praktek ini).
b.
Kepatuhan orang tua santri terhadap pesantren, terutama jika orang tua tersebut adalah alumni dari pesantren dimana anaknya akan masuk di dalamnya, kepatuhan untuk selalu menjaga nama pesantren, kepatuhan yang kuat kepada titah sang kyai amatlah tinggi. Tentunya karena patuh, maka segala bentuk kritisisme terhadap kyai dan atas kebijakan pesantren tidak akan muncul di benak orang tua, atau kalau muncul kemudian mereka mencari alasan-alasan rasional untuk
membenarkan hal itu. Lahirlah apa yang disebut Michel Foucault sebagai normalisasi.153 Kasus-kasus ketaaatan orang tua santri terhadap kyai begitu kuat terutama di pesantren tradisional. Hartono Ahmad Jaiz, mengungkap bahwa betapa kyai di pesantren itu sangat dihormati dan menjadi patron yang amat berpengaruh di pesantren. Kyai-kyai karismatik semacam Mbah Holil Bangkalan, Kyai Alawi, atau KH. Abdurrahman Wahid menjadi fokus kritik dari Ahmad Jaiz.154 Bagaimana normalisasi bisa terbentuk? Jika merunut pada awal pembentukannya, maka melihat kyai sebagai figur masyarakat yang amat disegani, petuah dan nasehatnya senantiasa didengar oleh masyarakat lebih-lebih santri. Orang tua santri yang pada masa mudanya pernah masuk pesantren, pasti telah tertempa dengan rezim disiplin yang diterapkan oleh pesantren. Mereka telah teruji dan mengalami berbagai –apa yang disebut Foucault sebagai- le examen, ujian dan bentuk-bentuk tapa dan tirakat di pesantren. Sehingga normalisasi itu tidak hanya terbentuk pada santri, tetapi juga pada orang tua santri. Sehingga ketika dihadapkan pada masalah homoseksualitas yang terjadi pada kelompok kecil santri, maka
153
Lihat Gavin Kendall, Using…….., h.137.
Cek lebih lanjut dalam Hartono Ahmad Jaiz dan Abduh Zulfidar Akaha, Bila Kyai di Pertuhankan: Membedah Sikap Beragama NU, cet. V. Jakarta: al-Kautsar, 2005. 154
mereka berpikir seperti yang dikatakan oleh Murray sebagai the will not to know atau sok tidak tahu-menahu atas hal ini.155
155
Stephen O. Murrray, “The Will To Not Know”, dalam Islamic ……………., h. 17.
BAB VI KESIMPULAN Ruang gerak santri yang terbatas, terfokus pada belajar dan menempa diri dengan nilai moral keagamaan, menempatkan santri pada sebuah discipline dan time table aktifitas serta lingkungan yang ketat. Homogenitas interaksi, masuknya santri baru ke pesantren pada masa-masa pertumbuhan (adolescence) serta larangan dan hukuman (punishment) bagi mereka yang melakukan interaksi antar jenis dengan argumen larangan agama, memberikan kontribusi dalam mengkonstruksi nalar seksualitas mereka pada discourse dalaq. Di samping itu, penyebaran power di pesantren tersebar melalui relasi-relasi yang berhubungan satu sama lain, misalnya dalam bentuk
regulasi-regulasi
yang
diterapkan
(discipline),
ajaran
agama
(knowledge), struktur bangunan yang terdapat di pesantren (architecture), serta kantor mahrom (panoptic) menempatkan santri berada dalam posisi yang cukup sulit. Dalam konteks seksualitas, santri berada kekangan rezim kebenaran (truth) yakni heteroseksualitas yang selama ini merupakan satu discourse dominan yang dianut mayoritas, sementara itu, pada dasarnya homoseksualitas masih dianggap sebagai discourse yang marjinal dan terkucilkan, posisinya selalu saja berada pada pinggiran, bahkan kasus dalaq pun masih dianggap sebagai kasus devian yang menyalahi kodrat manusia yang diciptakan berpasang-pasangan dan prokreasi. Discourse dalaq merupakan satu discourse yang tidak pernah berakhir yang terjadi di pesantren. Praktik ini sudah ada selama bertahun-tahun yang terus menerus berproduksi dan direproduksi melalui relasi kuasa dan
pengetahuan yang ada di pesantren. Relasi kuasa (power relation) yang tercipta antara kyai, ustadz, santri serta sistem yang ada di pesantren telah memelihara hal ini. Paradoks antara larangan untuk melakukan interaksi dengan lawan jenis serta larangan untuk mempraktikkan homoseksualitas telah
membuat
(ekses)
santri
tidak
mempunyai
pilihan
untuk
mempertimbangkan kemungkinan mendapatkan jalan yang paling mudah dan teringan resikonya –baik secara hukuman pesantren maupun hukuman moral agama (baca: dosa), dan ini termanifestasi dalam bentuk dalaq yang dibedakan oleh santri dari praktik sodomi. Penulis melihat, di sini santri bermain-main dalam wilayah yang dianggap sebagai dosa, yakni pilihan antara melakukan interaksi antar jenis seperti berpacaran, yang merupakan satu dosa dan mempunyai implikasi sosial semisal dicukur gundul sebagai tanda bahwa seorang santri melakukan satu tindakan yang dilarang oleh pesantren, bahkan bisa berkosekuensi dikeluarkannya santri dari pesantren. Pilihan melakukan praktek dalaq, bagi santri mempunyai resiko dosa yang relatif lebih rendah daripada melakukan sodomi, ataupun berpacaran dengan lain jenis. Di samping itu, secara sosial, dalaq dianggap sebagai satu hal yang tidak problematik, meskipun di pesantren C, hal ini sudah dilarang keras. Penulis tidak tahu apakah praktik dalaq ini terjadi di semua pesantren di Indonesia. Namun bagaimanapun, penemuan praktik ini di 3 pesantren yang menjadi subjek riset ini bisa digunakan sebagai sinyal peringatan akan kemungkinan munculnya HIV ataupun bentuk STDs di pesantren. Salah satu contohnya adalah bilamana ada seorang santri yang mengidap HIV semenjak
lahir, amat mungkin bisa menyebarkan virus ini melalui praktek perilaku seksual dalaq yang Ngecer ataupun Nyolo. Oleh karena itu, karena jumlah pesantren yang lebih dari 11.000 di Indonesia, penulis mengusulkan adanya suatu penelitian lebih lanjut tentang dalaq, dengan melakukan penelitian tentang modus-modus lain yang terjadi di pesantren. [Wallahu A’lam]
DAFTAR PUSTAKA A Glossary of Terms on Sexuality and Gender, Southeasth Asian Consortium on gender, Sexuality and Health, Mahidol University of Thailand, 2005. Ahmad Warson Munawwir, al-Munawwir Kamus Arab Indonesia, Yogyakarta: Pustaka Progresif, 1984 Amir Hamzah, Pembaharuan Pendidikan dan Pengajaran Islam Jakarta: Mulia Offset, 1989 Andrew K.T. Yip, Gay Male Christian Couples: Life Stories, London: Praeger, 1997. Anis Farida, “Homoseksualitas dan Kekuasaan”, Yogyakarta: Tesis Sosiologi UGM, 2003, tidak terbit. Ben Anderson, Language and Power, US: Cornell University Press, 1990. Chris Horrocks dan Zoran Jevtic, Mengenal Foucault, Bandung: Mizan, 1997 Dede Oetomo, Memberi Suara pada yang Bisu, Yogyakarta: Galang Press, 2001 Diane Richardson and Steven Seidman, Handbook of Lesbian and Gay Studies. London, Sage Publication, 2002 Djumhur dan H. Danasuparta, Sejarah Pendidikan, Bandung : CV Ilmu tt. Donald L. Boisvert and Robert E. Goss, Gay Chatolic Priests and Clerical Sexual Misconduct: Breaking the Silence, New York: Harrington Park Press, 2005 Eri Wahyuningsih, “Hubungan antara Persepsi Remaja terhadap Seksualitas dalam Media Massa dan Perilaku Seksual pada Siswa SMU Negeri I Purwokerto Kabupaten Banyumas”, Tesis Ilmu Kesehatan Masyarakat, Universitas Gajah Mada, 2004 Eriyanto, Analisis Wacana, Yogyakarta: LKIS, 2003 Eugene F Roger, Theology and Sexuality, Massachusset: Blackwell, 2002 Hiroko Horikoshi, Kyai dan Perubahan Sosial, Jakarta: P3M, 1987
Jay P. Paul, Bisexual and Homosexual Identities, New York: Haword Press, 1984 Jonathan Gahorne –Hardy, Kinsey, Sex Measure all Things, Indiana: Indiana University Press, 1998. Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Depdikbud: 1985 Karel A. Steenbrink beberapa Aspek Tentang Islam di Indonesia Abad 19, Jakarta: Bulan Bintang, 1984 Khaleed El-Rouayheb, Before Homosexuality in The Arab-Islamic World, 15001800, London: The University of Chicago Press, 2005 Lentera Sahaja, Panduan Konseling Seksualitas Remaja, Yogyakarta: Lentera Sahaja PKBI DIY, 2000 Lexy Moleong, Methodology Penelitian Kualitatif, Bandung: Rosadakarya, 1991 Lukman Hakim, Eksistensi Pesantren di Era Otonomi Daerah dalam Majalah Pesantren II, 2002 M. Ali Haidar, Nahdatul Ulama dan Islam di Indonesia pendekatan Fiqh dalam Politik, Jakarta Gramedia, 1994. Miriam G. Reumann, American Sexual Character, Los Angelos: University of California Press, 2005. M. Dawam Raharjo, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta: LP3ES, 1995 M.C. Ricklefs, The Seen and Unseen World in Java 1726-1749, Hawaii: Uiversity of Hawai, 1998. Marzuki Umar, Seks dan Kita, Jakarta: Gema Insani press, 1997 Marzuki Wahid, Suwendi dan Saifuddin Zuhri (peny), Pesantren Masa Depan Wacana Pemberdayaan dan Transformasi Pesantren, Bandung: Pustaka Hidayah, 1999 Michel Foucault, Arkeologi Pengetahuan, terj. M. Mochtar Zoerni, Yogyakarta: Qalam, 2002.
…………………., Disiplin Tubuh, (penyadur Petrus Sunu Yogyakarta: LKiS, 1997
Hardiyanta),
………………….., Seks dan Kekuasaan: Sejarah Seksualitas, (Jakarta: Gramedia: 2000) ………………….., The archaeology of Knowledge, (London: Tavistock, 1972 Morris, M. And Patton, P (eds), Michael Foucault Power/Truth/Strategy, Sydney: Feral Publication, 1979. Mujamil Qomar, Pesantren Dari Transformasi Metodologi Menuju Demoikratisasi Institusi, Jakarta: Erlangga, 2006. Muhammad Nawawi, Syarh Sullam Taufiq, Semarang: Pustaka ‘Alawiyah, tt. Nurcholish Madjid, Bilik-Bilik Pesantren, Jakarta: Paramadina, 1998. Paula C Rodriguez Ruth, A Social Science Reader, Bisexuality in United States, New York: Columbia University Press, 2000 Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa di Indonesia, ed. II 1983 (revisi) (Jakarta: Direktorat Jenderal Pelayanan Medik, Departemen Kesehatan RI, 1985) Sara Mills, Discourse, Canada: Routledge, 1997. Scott Thumma & Edward R. Gray, Gay Religion, Walnut Creek: Altamira Press, 2005 Stephen K. Sanderson, “The Sociology of Human Sexuality: A Darwinian Alternative to Social Constructionism and Postmodernism ”, presented at the Annual Meeting of the American Sociological Association, Atlanta, Georgia, August 18, 2003. Stephen O. Murray dan Will Roscoe (editor), Islamic Homosexuality; Culture History and Literature,, (NewYork: NUP, 1997). Stephen O. Murray, Homosexualities, (Chicago and London: The University of Chicago Press, 2000),
Syarifuddin, Mairil, Sepenggal Kisah Biru di Pesantren, Yogyakarta: P_Idea Press, 2005 Tom Boellstorff, “The Gay Archipelago: Postcolonial Sexual Subjectivities in Indonesia” disertasi pada Department of Cultural and Social Anthropology Of Stanford University, 2000 …………………, The Gay Archipelago: Sexuality and Nation in Indonesia, Princeton: Princeton University Press, 2005. …………………., “Between religion and Desire: Being Moslem and Gay in Indonesia” Journal of American Anthropologist, vol. 104, No. 4, 2005. Trubus Raharjo, Hubungan Fantasi Seksual dan Lama Tinggal terhadap kecenderungan Perilaku Homoseksual pada siswa di lingkungan pergaulan homogen di pesantren, (Yogyakarta: tesis Psikologi UGM, 2003) (tidak terbit) Vern. L. Bullough, Sexual variance in Society and History, New York and London, 1976 Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, Jakarta : Gema Insani Press, 1997 Wayne R. Dynes and Sthepen Donaldson, Asian Homosexualities, London: Gerland Publishing, 1992. Young R (edt) Untying the Text: a Postructuralis Reader, London: Routledge, 1981. Zamakhsyari Dhofier, Tradisi Pesantren, (Jakarta: LP3S, 1982)
WEBSITE DAN SURAT KABAR www.en.wikipedia.org /wiki/homosexuality www.pesantren.net www.religioustolerance.org www.chss.iup.edu
www.glbtq.com/social-sciences/situational_homosexuality.html Harian Waspada online, 13 Mei 2005 Gaya Nusantara, no. 2 edisi April 1993.